Penindasan Dalam Dunia Pendidikan Pondok Pesantren
(Studi Kasus di Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar)
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
2
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pondok pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan nonformal yang
telah eksis sejak dulu kala bahkan sebelum pendidikan formal mulai
dimasyarakatkan. Dalam perkembangannya, pendidikan pondok pesantren
berubah sesuai dengan perkembangan zaman, melakukan adaptasi-adaptasi
melalui perubahan kurikulum dan penambahan atau pengurangan mata pelajaran
yang diajarkan di bilik-bilik kelas. Bahkan, beberapa sekolah formal merangkul
pondok pesantren sebagai fitur tambahan untuk menarik perhatian wali murid
dengan kebiasaan dan budaya pondok pesantren yang kental dengan nilai-nilai
agama dan moralitas.
Pondok pesantren, sebagai sebuah realitas pendidikan yang eksis
menciptakan pribadi-pribadi yang bersesuaian dengan norma-norma agama dan
apa yang diharapkan oleh masyarakat secara umum terkait dengan nilai kebaikan,
kejujuran, kesopanan, dan religiusitas dalam setiap tindakannya membuat
lembaga pendidikan pondok pesantren dilirik sebagai sebuah lembaga pendidikan
yang paling efektif untuk menciptakan individu dengan spesifikasi yang sesuai
dengan harapan dan dambaan masyarakat secara luas (terutama masyarakat yang
kental dengan ajaran-ajaran agama islam). Belum lagi, dewasa kini pondok
pesantren eksis dengan berbagai macam bahan ajar tambahan yang diajarkan oleh
lembaga- lembaga pendidikan formal seperti pengetahuan alam, pengetahuan
sosial, dan mata pelajaran umum lainnya. Namun, hal tersebut juga berimpilasi
pada beban yang diterima oleh para santri.
Melihat pondok pesantren sebagai sebuah model lembaga pendidikan yang
diidam-idamkan oleh masyarakat secara luas, kemudian membuat kita bertanya-
tanya. Apakah benar pondok pesantren membentuk pribadi yang sesuai dan
mempunyai spesifikasi yang pas dengan harapan masyarakat secara luas?, atau
justru tak ubahnya dengan individu-individu yang diciptakan oleh lembaga
pendidikan formal yang terus mereproduksi kesenjangan antara mereka yang telah
menghafal lebih banyak kitab dengan mereka yang baru saja dan belum pernah
3
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
sama sekali menghafal kitab-kitab? Apakah benar pondok pesantren merupakan
sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang
mampu berpikir secara rasional atau justru tak ubahnya seperti individu- individu
yang tercipta dari lembaga pendidikan formal yang hanya berfungsi sebagai
mesin-mesin penghafal dan menerima segala bentuk pengetahuan yang
menghegemoni? Apakah benar pondok pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan yang melahirkan orang-orang yang mampu menciptakan dan bertindak
melakukan transformasi sosial, ataukah hanya menciptakan sekumpulan manusia
yang bahkan tak mempunyai kesadaran atas dirinya dan ketertindasannya?
Secara empiris, pondok pesantren justru mereproduksi kesenjangan,
hegemoni, dan melakukan pembisuan dan pembungkaman terhadap pemikiran
para santri melalui hubungan-hubungan yang kental akan stratifikasi sosial dan
ajaran-ajaran yang dogmatis dan naratif. Dalam hal ini, realitas pondok pesantren
menjadi sebuah fenomena yang unik untuk dikaji. Di satu sisi pondok pesantren
menawarkan sebuah konsep pendidikan yang mampu menjamin pemenuhan
kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap sosok penerus dan pemimpin di masa
depan sesuai dengan kriteria-kriteria yang didasarkan atas prinsip moralitas yang
kental dengan nilai-nilai religiusitas. Di sisi lain, pondok pesantren jika dilihat
secara kritis justru melakukan penindasan dan kekerasan terhadap pemikiran para
santri melebihi apa yang dilakukan oleh sekolah-sekolah formal pada umumnya.
Karya tulis ini secara khusus akan membahas mengenai bentuk-bentuk
penindasan dalam dunia pendidikan pondok pesantren khususnya di Pondok
Pesantren “XXX” Kota Blitar yang akan dikaji dari tokoh-tokoh pendidikan kritis
seperti Emile Durkheim, Antonio Gramschi, Pierre Bordieu, dan Paulo Freire.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah realitas pendidikan di Pondok Pesantren “XXX” Kota
Blitar kaitannya dengan teori kekerasan terhadap anak (chile abuse)?
2. Bagaimana pendidikan moral yang terdapat dalam Pondok Pesantren
“XXX” Kota Blitar? Apakah sesuai dengan pandangan Emile Durkheim
tentang pendidikan moral?
4
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
3. Bagaimana kaitan antara pendidikan pada Pondok Pesantren “XXX” Kota
Blitar dengan proses hegemoni dalam pendidikan (sesuai pandangan
Antonio Gramsci)?
4. Apakah kaitan antara pendidikan pada Pondok Pesantren “XXX” Kota
Blitar dengan reproduksi budaya dan sosial, sesuai dengan pandangan
Pierre Bourdieu?
5. Apakah kesadaran kritis seperti pandangan Paulo Freire sudah diterapkan
dalam pendidikan pada Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar?
C. TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan penulisan karya tulis ini secara umum adalah untuk mengetahui
potret pendidikan di Indonesia yang dalam hal ini difokuskan pada lembaga
pendidikan pondok pesantren “XXX” kota Blitar sebagai salah satu pondok
pesantren yang prestigious di kawasan Kota dan Kabupaten Blitar.
Manfaat penulisan karya tulis ini ini secara akademis adalah untuk
meningkatkan sensitifitas masyarakat dalam berpikir ilmiah, serta manfaat praktis
yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat sebagai pembaca dalam menganalisis
realitas pendidikan pada pondok pesantren khususnya pada Pondok Pesantren
“XXX” Kota Blitar melalui data yang berhasil dihimpun baik bersifat sekunder
maupun primer. Dengan demikian setelah membaca karya tulis ini diharapkan
masyarakat tidak serta merta menjustifikasi bahwa pendidikan pondok pesantren
jauh lebih bagus dari pada pendidikan formal, namun keduanya sama-sama
memiliki kekuarangan dan kelebihan masing-masing.
5
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
BAB II
KAJIAN TEORI
Kerangka teori merupakan kerangka dasar dalam suatu penelitian dan
mutlak diperlukan. Untuk sahihnya suatu penelitian, tentunya ada teori yang
mendasari penelitian ini. Berikut adalah teori kekerasan terhadap anak di lembaga
pendidikan pondok pesantren yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
A. TEORI KEKERASAN TERHADAP ANAK
Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) dapat didefinisikan
sebagai peristiwa pelukaan fisik, mental atau seksual yang umumnya dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak
yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap
kesehatan dan kesejahteraan anak (Krisis & Child Abuse, 2002). Richard J Gelles
(2004:1) dalam Encyclopedia Article from Encarta, mengartikan child abuse
sebagai “intentional acts that result in phsycal or emotional harm to children. The
term, child abuse covers a wide, range of behavior, from actual phsycal assault by
parents or other adult” caretakers to neglect at child basic needs” (Kekerasan
terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau
bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Sementara itu, Barker,
(1987:23) mendefinisikan child abuse yaitu: “the recurrent infliction of phsycal or
emotional injury on a dependent minor, through intentional beating, uncontrolled
corporal punishment persistent redicule, and degradation, or sexual abuse, usully
comminted by parents or other in charge of the child's care” (kekerasan terhadap
anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional
terhadap anak yang ketergatungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang
tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual;
biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Menurut para ahli tindakan kekerasan atau pelanggaran hak anak dapat
terwujud setidaknya ke dalam empat kategori :
6
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
Pertama, kekerasan fisik yang meliputi menampar, menendang,
memukul/meninju, mencekik, mendorong, menggigit, membenturkan,
mengancam dengan benda tajam, dan sebagainya.
Kedua, kekerasan psikis, bentuk kekerasan ini meliputi penggunaan kata-
kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan anak di depan orang
lain atau di depan umum dan melontarkan ancaman dengan kata-kata.
Ketiga, kekerasaan seksual. Termasuk dalam kategori ini adalah segala
tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan
hubungan seksual (sexual intercource), melakukan penyiksan atau bertindak sadis
serta meninggalkan seseorang termasuk mereka yang tergolong masih berusia
anak-anak setelah melakukan hubungan seksual. Segala perilaku yang mengarah
pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik di sekolah, di dalam
keluarga, maupun lingkungan sekitar tempat tinggal anak.
Keempat, kekerasan ekonomi, meliputi tindakan memaksa anak untuk
memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Pada anak-anak, kekerasan jenis ini
sering terjadi ketika memberikan kontribusi ekonomi keluarga.
B. TORI EMILE DURKHEIM: PENDIDIKAN MORAL
Karya-karya yang berkaitan dengan dunia pendidikan yaitu : 1) Education
and society 2) Moral Education 3) Evolution of Educational
Pernyataan Emile Durkheim tentang Pendidikan :
Pendidikan menurut Durkheim juga merupakan sarana sosial untuk
mencapai tujuan sosial, sarana yang mana suatu masyarakat menjamin
kelangsungan hidupnya. Pendidikan bukan hanya bertugas mengembangkan
seorang individu sesuai kodratnya, atau hanya menyingkapkan segala kemampuan
tersembunyi pada individu yang mengganggu penampakannya, akan tetapi
pendidikan haruslah menciptakan makhluk baru. (Elle Cree Dans I Homme Un
Etre Nouveau).
Bagi Durkheim bertindak moral berarti bertindak demi kepentingan orang
lain atau kolektif yaitu suatu tindakan atau aktifitas yang impersonal, sebab yang
menjadi objek perilaku moral adalah sesuatu yang berada diluar diri seseorang,
atau diluar sejumlah orang dari sejumlah orang yang lain yang disebut
7
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
masyarakat. Menurutnya seseorang yang bertindak demi kepentingan dirinya
belum dianggap sebagai suatu tindakan yang bersifat moral, karena tindakan
tersebut tidak bersifat sosial.
Menurut Durkheim yang terpenting yaitu pendidikan dianggap sebagai
“social think” karena
a. Cita-cita masyarakat dapat direalisasikan melalui lembaga pendidikan. Jika
kita melihat model pondok pesantren secara umum, maka pondok pesantren
inilah yang merupakan alternatif terbagik bagi masyarakat indonesia yang
mayoritas beragama islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislamannya.
b. Cita-cita masyarakat : bahwa masyarakat harus dapat bertahan hidup, untuk
itu harus ada suatu tingkat homogenitas dan keseimbangan di kalangan
warganya. Dalam hal ini, apa yang ditawarkan oleh pondok pesantren ialah
homogenitas dalam pandangan dan pemikiran, homogenitas dalam
pandangan tentang kehidupan yang didapatkan melalui pedoman-pedoman
dogmatis yang dipercaya sebagai suatu kebenaran.
c. Pendidikanlah yang mampu melaksanakan cita-cita masyarakat, melalui
proses penanaman nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat (sosialisasi
moral). Melihat tingkat disiplin yang diajarkan oleh pondok pesantren
sangatlah tinggi, maka fungsi pendidikan sebagai penanaman nilai
sepertinya sangat baik.
d. Pendidikan dapat menjamin jalannya/berlangsungnya diferensiasi karena
pendidikan menyediakan beraneka ragam jenjang maupun spesialisasi,
mengikuti banyaknya perbedaan fungsi/peran di lingkungan masyarakat itu
sendiri (division of labor)
1) Pengertian Moral Menurut Durkheim
Dalam pandangan Durkheim, moral memiliki tiga unsur, yaitu:
1. Disiplin
adalah konsistensi dan keteraturan tingkah laku, yang juga meliputi
wewenang. Sehingga fungsi disiplin antara lain adalah sebagai berikut.
(1) membantu manusia untuk menetapkan cara-cara memberi respon yang
pantas;
8
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
(2) memberi jawaban kepada kebutuhan individu akan pengekangan, yang
memungkinkan individu menahan diri (mencapai secara bertahap) untuk
mendapatkan tujuan-tujuan tertentu.
2. Keterikatan/identifikasi dengan kelompok :
Obyek perilaku moral adalah kelompok/masyarakat. Bertindak secara
moral berarti bertindak demi kepentingan kolektif (tindakan untuk kepentingan
sendiri tidak pernah dianggap bersifat moral).
3. Otonomi yang didukung oleh pengetahuan yang dapat diandalkan:
Otonomi menyangkut keputusan-keputusan pribadi yang diinginkan
dengan pengetahuan sepenuhnya terhadap konsekuensi dari berbagai tindakan itu.
Dengan memperhatikan unsur-unsur moral tersebut, maka Durkheim melihat,
bahwa pendidikan adalah sarana sosial untuk suatu tujuan sosial, yaitu
terjaminnya kelangsungan hidup masyarakat.
2) Pendapat Durkheim Tentang Guru :
Guru adalah agen masyarakat, sehingga merupakan mata rantai yang berfungsi
untuk pengalihan budaya. Peran guru adalah menciptakan makhluk sosial, yaitu
makhluk yang bermoral, yaitu menciptakan manusia sesuai dengan citra
masyarakat itu sendiri.
C. ANTONIO GRAMSCI: PROSES HEGEMONI DALAM PENDIDIKAN
Hegemoni merupakan sebuah teori politik yang diungkapkan oleh Antonio
Gramsci. Dalam teori hegemoninya Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai
suatu dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan
terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang
bersifat moral, intelektual serta budaya 1. Dalam memperoleh dominasi kekuasaan
atas kaum yang terdominasi atau dikuasai tersebut melalui mekanisme konsensus
pada kelompok masyarakat sehingga baik secara sadar maupun tak sadar bahwa
sejatinya masyarakat telah dikuasai. Hegemoni seringkali menyusup melalui
sekolah, media massa, dan lembaga- lembaga kepentingan.
1 Dominic,1995 dalam jurnal. www.isi-dps.ac.id
9
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
Melalui konsep hegemoni, Gramsci mengungkapkan bahwa dalam
memperoleh kekuasaan abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua
perangkat kerja. Pertama, adalah perangkat kerja yang mampu melakukan tindak
kekerasan yang bersifat memaksa atau dengan kata lain kekuasaan membutuhkan
perangkat kerja yang bernuansa law enforcemant. Kedua, adalah perangkat kerja
yang mampu membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada
mereka yang berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan
bahkan juga keluarga.
D. PIERRE BOURDIEU: REPRODUKSI BUDAYA DAN SOSIAL
1) Pandangan pemikiran Bourdieu tentang peran pendidikan:
Sistem pendidikan berperan dalam mereproduksi budaya masyarakat kelas
dominan, artinya: melalui sistem pendidikanlah modal budaya yang dimiliki
kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat direproduksi dan didistribusikan.
Melalui reproduksi dan distribusi modal budaya itu pula hubungan-hubungan di
dalam struktur kekuasaan dan hubungan simbolis di antara berbagai kelas juga
direproduksi. Sehingga sistem pendidikan mereproduksi masyarakat kelas
dominan. Dalam proses reproduksi, sekolah menggunakan kekerasan simbolik
untuk melegitimasi tatanan sosial yang sudah ada /dianggap sah.
2) Asumsi-asumsi Bourdieu:
Terdapat hubungan antara sukses akademis anak dengan posisi sosial
orang tua atau keluarga yang kemudian anak-anak akan menggantikan posisi dan
sukses akademis orangtuanya. Kegagalan anak-anak dari kelompok masyarakat
kelas pekerja dalam meraih sukses akademis bukanlah karena kesalahan mereka,
tetapi karena kesalahan sistem pendidikan. Sukses dalam sistem pendidikan
didapat melalui (kemampuan) individu menyerap sebanyak-banyaknya (nilai-
nilai) budaya dominan atau seberapa banyak “modal budaya“ yang mereka miliki.
Modal budaya dalam hal ini menurut Bourdieu adalah latar belakang budaya
secara umum, pengetahuan, tindakan dan keahlian yang didapat dari satu generasi
ke generasi yang lain.
10
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
3) Konsep-konsep di dalam perspektif Reproduksi Budaya dan Sosial
(Bourdieu)
Melalui teori reproduksi sosial dan budaya, Bourdieu memperkenalkan
konsep tentang:
a) Habitus;
b) ranah sosial & (relasi) kekuasaan;
c) modal (budaya, sosial, ekonomi, dan simbolis); dan
d) kekerasan simbolis.
Melalui konsep-konsep itu Bourdieu berusaha menjelaskan realitas sosial
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang dialami oleh anggota masyarakat,
khususnya melalui relasi- relasi sosial yang terbentuk di dalam sistem pendidikan.
Melalui konsep-konsep itu pula Bourdieu berusaha membongkar peranan sentral
yang dimainkan sekolah dalam mengubah maupun mereproduksi berbagai
ketidaksetaraan sosial dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4) Modal Menurut Bourdieu
a. Bersifat Material:
Modal ekonomi: kepemilikan harta benda, uang atau investasi
b. Modal Immaterial:
Modal budaya : terdiri dari berbagai hal yang tak teraba. seperti misalnya:
ijazah, pengetahuan yang sah (legitimate knowledge) atau pengetahuan dan
keterampilan dari seseorang ke orang lain, kode-kode budaya cara
berbicara, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya
Modal sosial: variasi relasi sosial berdasakan jaringan hubungan sosial
(network) dengan orang-orang lain yang bermakna (significant others),
dan merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial;
Modal simbolik: berkaitan dengan prestis atau gengsi, penghargaan
sosial, penghormatan intelektual atau gelar pendidikan, kekuasaan
(politik), gaya hidup dengan ciri-ciri yang menunjukkan perbedaan status
pemiliknya, dan sebagainya.
5) Habitus:
11
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
Gaya hidup, nilai-nilai, perilaku, kecenderungan atau aturan (disposisi),
dan harapan-harapan dari suatu kelompok sosial. Habitus dikembangkan melalui
pengalaman, seperti ketika individu- individu belajar tentang apa yang diharapkan
dari kehidupan, bagaimana orang lain merespon mereka jika mereka melakukan
suatu tindakan, misalnya bersopan-santun dengan cara-cara yang khusus, dan
seterusnya. Habitus pada masing-masing kelompok sosial berbeda, karena
masing-masing kelompok memiliki pengalaman dan kesempatan yang berbeda
pula dalam kehidupan mereka.
6) Ranah (Field):
Tempat di mana relasi antara agen dan struktur terbentuk dan saling
berhadapan. Sekolah adalah sebuah ranah yang di dalamnya para agen, dalam hal
ini adalah kepala sekolah dan para guru, memperjuangkan mandat atau
kepercayaan kelompok masyarakatnya, termasuk pemerintah atau negara, yang
berbudaya klas dominan.
Secara tradisional, sebagian kelompok masyarakat memanfaatkan sekolah
untuk mereproduksi posisi sosial yang dapat meneguhkan posisi kelas mereka
(khususnya pada kelompok masyarakat kelas menengah atas atau kelas dominan),
sementara sebagian lainnya tidak (kelompok petani, pedagang, kelas pekerja atau
orang-orang miskin lainnya).
7) Kekerasan simbolis
Mekanisme pengendali atau kontrol terhadap individu- individu yang
menjadi anggota dari suatu kelompok. Para individu menerima 'pembebanan'
nilai-nilai kultural agar mereka dianggap sah atau terlegitimasi (legitimate) dan
diakui sebagai bagian dari kelompok atau kelas yang memiliki nilai-nilai kultural
tersebut proses sosialisasi: menggunakan kekerasan simbolis
a) Mekanisme bekerjanya kekerasan simbolis:
Halus dan tidak dapat dirasakan sebagai kekerasan fisik atau verbal, pihak-pihak
yang mengalami kekerasan simbolis juga dianggap telah salah mengenali
(misrecognition) nilai-nilai kultural yang disosialisasi dan diinternalisasikan
kepada mereka.
12
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
b) Pengertian masyarakat kelas dominan:
Memiliki nilai-nilai budaya sendiri yang berbeda dengan nilai-nilai budaya
kelompok lain. Memiliki kekuasaan untuk „memaksa‟ nilai-nilai yang dimilikinya
kepada kelompok kelas lainnya; dan menganggap apa yang dimilikinya sebagai
sesuatu yang sah/benar (legitimate). Mendefinisikan budaya mereka sebagai
„layak dimiliki‟ dan sebagai dasar pengetahuan dalam sistem pendidikan.
Ketika pendidikan menjadi semakin tersebar luas dan tersedia bagi setiap
anggota masyarakat: kelompok masyarakat dominan berusaha melanggengkan
'perbedaan' di antara kelompok masyarakat melalui perangkat-perangkat lain
yang terpaksa digunakan. Yang paling jelas di antara strategi untuk
melanggengkan 'perbedaan' tersebut adalah melalui sekolah swasta alternatif.
Habitus kelompok dominan, berusaha mempertahankan perbedaan pendidikan
melalui kepemilikan modal budaya dan simbolik tertentu (etos kerja, gaya
berpakaian, gaya berbicara, bentuk bangunan sekolah, model pembelajaran, dan
sebagainya). Biaya pendidikan yang cukup mahal, sebagai simbol modal
ekonomi, menjadi sarana penukar modal budaya, dengan menjamin sebuah tempat
yang nyaman bagi anak-anak yang berasal dari masyarakat kelompok dominan.
E. TEORI PAULO FREIRE: BANKING EDUCATION
Sebagai salah satu tokoh dan kritikus pendidikan, pemikiran Freire banyak
dipengaruhi oleh aliran Fenomenologi, Personalisme, Eksistensialisme, dan
Marxisme. Dalam salah satu kritiknya terhadap pendidikan yang ada pada saat itu,
Fraire menyusun sebuah konsep pemikiran yang kemudian dinamakan dengan
“Banking Concept Education”. Melalui konsep itulah Freire mengecam metode
belajar-mengajar yang sering dijumpainya di kelas-kelas. Konsep “Banking
Concept Education” dalam pembelajaran bagi Freire tak lain adalah sebagai
sebuah metode penindasan para guru terhadap muridnya. Menurut Freire, BCE
secara fundamental mempunyai karakter naratif, terjadi pola di mana subjek
(guru) berbicara dan objek (murid) mendengarkan dengan sabar dan seksama.
Metode belajar mengajar yang secara umum digunakan inilah yang menurutnya
tidak sehat dan “menindas,” karena melalui metode ini hanya mengajarkan narasi
pendidikan dalam bilik-bilik kelas.
13
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
Kemudian Freire menyusun tiga asumsi yang melatarbelakangi konsep
BCE sendiri, Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek
dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia
dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan
dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-
kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai
sepenuhnya.
Pemikiran Freire terhadap BCE setidaknya menggambarkan pendidikan
pada saat itu. Guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang
akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru
serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru
adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa,
dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru
kepada murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan
dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah
statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi.
“Banking Concept Education” sendiri bagi Freire tidak akan menolong
siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi
penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa
mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada
dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah
menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam
dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan
baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah
yang “cocok” dengan dunia.
Dengan latarbelakang realitas pend idikan berupa “Banking Concept
Education”, Freire kemudian mencoba membuat solusi agar para siswa dapat
bersikap lebih kritis dalam pembelajaran. Freire kemudian memperkenalkan
sebuah solusi yang kemudian disebutnya sebagai “Problem Poshing Method”,
yaitu metode pendidikan yang tidak “menindas” dan bertujuan untuk
membangkitkan kesadaran akan realitas. Gagasan Tentang PPM kemudian
diwujudkan Freire dalam kelas, menurutnya, hubungan yang ideal antara guru dan
14
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
murid bukanlah hierarkikal sebagaimana dalam BCE , tetapi merupakan hubungan
dialogikal. Melalui hubungan yang bersifat dialogikal. Jadi, dalam hal ini guru
bukan hanya semata-mata sosok tunggal yang mengajar, tetapi juga sosok yang
diajar dalam proses dialog dengan murid; sementara murid bukan hanya diajar,
tetapi pada saat yang sama juga mengajar. Murid bukan hanya pendengar yang
semata-mata patuh, tetapi juga rekan penyelidik yang kritis dalam dialog bersama
guru. Guru bertugas mengedepankan suatu materi di hadapan murid-muridnya
untuk meminta pertimbangan mereka tentang materi tersebut. Guru
mempertimbangkan ulang materi ketika murid-murid mengekspresikan perspektif
mereka tentang materi tersebut.
15
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
BAB III
METODOLOGI
A. TIPE PENELITIAN
Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk
memberi gambaran secara rinci dan jelas mengenai fenomena sosial tertentu.
Sedangakan tujuan digunakannya tipe penelitian ini adalah untuk mendapatkan
data-data yang tidak mungkin didapat hanya dengan menggunakan pertanyaan-
pertanyaan tertutup dalam kuesioner. Dengan menggunakan tipe penelitian seperti
demikian ini, rumusan-rumusan masalah akan terjawab dengan lebih detil. Selain
tipe penelitian deskriptif peneliti juga menyertakan pendekatan kualitatif sebagai
analisis deskriptif tersebut. Sasaran atau obyek penelitian dibatasi agar data yang
diambil dapat digali sebanyak mungkin serta agar penelitian ini tidak
dimungkinkan adanya pelebaran obyek penelitian, oleh karena itu, maka
kredibilitas dari peneliti sendiri menentukan kualitas dari penelitian ini (Bungin;
2001:26)
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran
kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan
melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor
(Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
B. LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren “XXX” Kota
Blitar. Adapun pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut :
1. Kota Blitar merupakan sebuah kota masyarakatnya sebagian besar masih
menganggap lembaga pendidikan pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang lebih bagus dari pada lembaga pendidikan sekolah umum
biasa.
16
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
2. Di Pondok Pesantren yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat berbaga i
penindasan terhadap anak yang sesuai dengan tema yang diangkat dalam
penelitian ini.
C. TEKNIK PENENTUAN INFORMAN
Pemilihan Subyek merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu
penelitian karena Subyek penelitian inilah yang akan mewakili dan
merepresentasikan apa yang kita teliti, dari para informan inilah data-data yang
kita perlukan kita dapatkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
pengambilan subyek dengan teknik “Snowball” atau biasa disebut dengan teknik
“Bola Salju”. Cara ini dipakai karena peneliti tidak banyak tahu tentang populasi
penelitian. Peneliti hanya tahu satu orang yang berdasarkan penilaiannya bisa
dijadikan subyek penelitian. Di dalam penelitian di Pondok Pesantren XXX Kota
Blitar ini, peneliti mencari satu subyek kemudian melakukan wawancara. Setelah
selesai, peneliti meminta kepada subyek pertama tersebut untuk menunjukkan
teman yang bisa dijadikan subyek penelitian berikutnya. Langkah ini diteruskan
sampai data yang dibutuhkan oleh peneliti cukup atau sudah terpenuhi. Dalam
penelitian ini peneliti mengambil subyek santri/wati yang masih aktif di pondok
pesantren dan masih berusia di bawah 18 tahun, hal ini sesuai dengan definisi
“anak” di dalam UU Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa anak
merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun.
Untuk subyek pendukung peneliti memilih ustadz sekaligus pengurus
Pondok Pesantren guna melengkapi dan mendukung data yang telah diperoleh
dari subyek utama. Validitas dan reliabilitas juga menjadi pertimbangan bagi
peneliti dalam memperoleh data. .
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data merupakan bagian terpenting dalam suatu penelitian; karena hakikat
dari penelitian in adalah pencarian data yang nantinya diinterpretasikan dan
dianalisa. Ada dua jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Data Primer, merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara. Penelitian
ini menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara mendalam (indepth
17
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
interview). Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lebih khusus jenis wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum,
dan berisi isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.
Adapun fungsi dari pedoman wawancara adalah mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas atau telah ditanyakan (Poerwandari,
2007). Hal ini ditetapkan untuk menjaga perkembangan pembicaraan dalam
wawancara tetap dalam fokus penelitian. Setiap informan dapat saja
mengalami kekerasan yang berbeda, sehingga pengembangan pertanyaan
wawancara yang menyesuaikan dengan kehidupan masing-masing informan.
Jadi, pedoman umum untuk pertanyaan awal wawancara akan dibuat sama,
sedangkan perkembangan berikutnya akan menyesuaikan dengan kekhasan di
lapangan pada masing-masing informan.
Alat yang digunakan dalam wawancara adalah tape recorder, kertas
kosong dan alat untuk mencatat. Hasil rekaman dari tape recorder kemudian
diketik dalam bentuk transkrip wawancara (verbatim) dan hasil inilah yang
kemudian dianalisis lebih lanjut.
Selain wawancara, peneliti juga melakukan observasi untuk memperoleh
informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Observasi
sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena-fenomena
yang sedang diteliti. Berdasar hal tersebut, maka peneliti mengamati secara
langsung fenomena-fenomena yang terdapat dilokasi penelitian untuk
mendapatkan data-data awal penelitian serta pengenalan yang lebih dekat
terhadap lokasi penelitian.
2. Data sekunder, merupakan data yang secara tidak langsung untuk mendukung
penulisan pada penelitian ini melalui dokumen atau catatan yang ada dari
tulisan-tulisan karya ilmiah dari berbagai media. Data sekunder juga sebagai
penunjang dan memperkuat data utama untuk dianalsis.
E. TEKNIK ANALISIS DATA
Definisi dari analisa data terdiri dari beberapa sub proses (Miles &
Huberrman. 1984. 1994) yaitu: reduksi data, penampilan data, dan penggambaran
18
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
kesimpulan atau verifikasi (lihat gambar). Proses ini terjadi sebelum pengumpulan
data, selama mendesain dan merencanakan penelitian; selama pengumpulan data
sementara dan pada awal analisa; dan setelah pengumpulan data yang telah selesai
dihasilkan dan telah lengkap (Denzin, 1994 dalam Poerwandari, 2005).
19
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
BAB IV
PEMBAHASAN
A. REALITAS PENDIDIKAN KAITANNYA DENGAN TEORI CHILE
ABUSE
Tak dapat dipungkiri jika dalam pesantren pada umumnya sangat kental
sekali dengan nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama yang mendominasi seluruh
proses pendidikan di dalamnya. Tak jarang pula kita jumpai nilai-nilai tersebut
ternyata berkontribusi dalam memberikan ruang bagi munculnya kekerasan dalam
proses pendidikan di pondok pesantren. Nilai-nilai seperti konsep kepatuhan
murid terhadap guru memberi ruang bagi guru untuk melakukan kekerasan. Jika
kita pilah menurut bentuknya, bentuk kekerasan yang terjadi di pondok pesantren
adalah kekerasan fisik yang diwujudkan dalam aturan tertulis. Bentuk kekerasan
lainnya adalah kekerasan psikis dalam bentuk intimidasi dan ancaman. Pelaku
kekerasan atau aktor dalam melakukan kekerasan tak lain dan tak bukan adalah
guru dan santri senior, sedangkan yang menjadi korban adalah santri junior dan
hal itu secara terus menerus terjadi dari generasi ke generasi antara senior dengan
junior tanpa adanya pemutusan mata rantai atas permasalahan ini. Relasi
kekuasaan di pondok pesantren di dominasi oleh pimpinan pondok yang secara
penuh mengendalikan kehidupan pesantren. Seperti yang dapat kita lihat melalui
contoh kasus di bawah ini ;
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu santri pada Pondok
Pesantren XXX di kota Blitar ditemukan fakta bahwa sistem pendidikan yang
terdapat pada pondok pesantren tersebut semakin melanggengkan budaya
penindasan struktural. Dimana penindasan tersebut dilakukan atas dasar senior
dengan junior namun juga didukung oleh para pendidik seperti guru, ustadz dan
juga para kiyai yang menitikberatkan pada ajaran agama islam sebagai alasan
diberlakukannya sebuah perintah atau suruhan terhadap para santri. Selain itu
materi yang diajarkan pada pondok pesantren akan lebih didominasi oleh
pelajaran atau pengetahuan berbasis ajaran agama islam. Mata pelajaran umum
akan diajarkan pada waktu pagi hingga siang hari. Namun mulai siang hari hingga
malam bahkan hingga dini hari pelajaran yang diberikan akan berbasis pada
20
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
pengetahuan mengenai ajaran agama islam seperti mengaji, tadarus, dan lain
sebagainya. Waktu yang diberikan kepada para peserta didik untuk dapat
beristirahat tidak sebanding dengan waktu yang harus dipergunakan untuk belajar
sepanjang hari. Kemudian dalam pondok pesantren seperti yang telah diketahui
bersama oleh masyarakat pada umumnya, tidak diperbolehkan adanya alat
komunikasi dan media elektronik seperti handphone, televisi, dan radio. Hal
tersebut dilakukan karena alat komunikasi dan media elektronik dianggap sebagai
sarana yang bisa menjerumuskan pada peserta didik ke arah yang salah, arah yang
didukung oleh setan.
Dalam sistem pendidikan pondok pesantren, junior diharuskan mentaati
dan melakukan seluruh suruhan yang diberikan oleh senior mereka. Hal tersebut
dapat melanggengkan budaya penindasan yang terjadi secara turun temurun.
Selain itu kekerasan juga kerap kali terjadi dalam pondok pesantren sebagai
sebuah bentuk hukuman jika terdapat para santri yang melanggar peraturan yang
telah dibuat oleh para pengurus pondok pesantren. Peserta didik dalam pondok
pesantren hanya akan diajarkan atau di didik berdasarkan mata pelajaran yang
sesuai dengan ajaran agama islam. Kreatifitas santri seringkali tidak dihiraukan.
Dalam sistem pendidikan pondok pesantren sangat jarang bahkan tidak ada
matapelajaran yang dirasa dapat meningkatkan kreatifitas santri. Santri diharapkan
juga berperilaku yang sesuai dengan ajaran agama islam dan tidak menuntut
apapun kepada pihak pondok pesantren karena jika ada santri yang berani
melawan maka akan diberikan sanksi berupa hukuman fisik dan juga hukuman
psikis.
Dalam kasus tersebut terlihat bahwa praktek hegemoni2 yang dilakukan
oleh para pengasuh pondok seperti, kiai, guru spiritua l, ustad atau guru, guru
murid membuat santri menjadi patuh, pasrah dan tertunduk pada pimpinan yang
berkuasa dalam hal ini guru. Hegemoni yang dilakukan dengan Modus
menggunakan beragam jenis, misalnya dengan mengancam para santri kalau
menolak ilmu yang didapatkan tidak akan bermanfaat, akan celaka hidupnya
dikemudian hari, dan tentunya akan mendapatkan dosa besar yang akan
2 Penjelasan mengenai hegemoni dapat dilihat pada pembahasan mengenai e pemikiran kritis
Gramsci pada sub-bab berikutnya
21
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
membawanya masuk ke dalam neraka. Namun apa bila taat akan dijanjikan
derajatnya meningkat dan akan masuk surga. Sebagian besar para pengasuh
Ponpes kadang menggunakan dalil agama untuk melegitimasi mereka dalam
melakukan tindak kekerasan, sehingga membuat santri seraya sepakat bahwa
apapun yang dilakukan pimpinan adalah benar dan sebagai bawahan santri harus
pasrah dan tak berhak untuk melawan karena dengan pasrah maka segala berkah
dan barokah yang dimiliki oleh para pimpinan akan dilimpahkan pada santri dan
santri akan naik derajatnya satu tingkat.
B. EMILE DURKHEIM: PENDIDIKAN MORAL
Sistem pendidikan yang terdapat pada pondok pesantren “XXX” kota
Blitar sedikit bertentangan dengan pemikiran mengenai pendidikan moral yang
dicanangkan oleh Emile Durkheim. Pondok pesantren yang seharusnya
menanamkan banyak nilai dan norma yang berlaku di masyarakat pada kasus ini
malah semakin menjauhkan santri atau peserta didik terhadap lingkungan
sosialnya. Santri hanya dibekali pengetahuan yang lebih pada bidang ilmu
keagamaan namun untuk pengetahuan mengenai nilai dan norma tidak diimbangi
dengan praktek yang sesuai dalam kehidupan para santri. Hal tersebut berdasarkan
fakta pada pondok pesantren bahwa para santri dilarang keluar pondok pesantren
tanpa keperluan yang dianggap daruraut. Bahkan untuk menemui orang tua yang
sedang berkunjung ke pondok pesantren jika bukan pada jadwal kunjungan, santri
tidak diperbolehkan menemui. Kemudian para santri juga dilarang menggunakan
alat komunikasi dan juga media elektronik karena hal tersebut dianggap dapat
memicu perbuatan dosa dengan segala aspek yang dipertontonkan.
Setiap peraturan yang terdapat pada sistem pendidikan yang disediakan
oleh pondok pesantren selalu disesuaikan dengan pengetahuan dan ajaran Agama
Islam yang digunakan sebagai pedoman sistem pendidikan yang sesuai dengan
kaidah agama. Guru, ustad atau kiyai yang seharusnya dapat mengajarkan nilai
dan norma yang berlaku di masyarakat luas, dalam kasus ini hanya akan
mengajarkan pengetahuan yang disetujui oleh para petinggi dan para pendiri
pondok pesantren yang telah disesuaikan dengan ajaran agama yang digunakan
22
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
sebagai pedoman sistem pendidikan yang ada pada pondok pesantren XXX kota
Blitar.
Sesuai dengan uraian yang telah dijelaskan pada bab 2 di atas tentang tiga
unsur pendidikan moral yaitu kedisiplinan, keterkaitan/identifikasi dengan
masyarakat, dan otonomi yang didukung oleh pengetahuan yang diandalkan. Dari
ketiga unsur tersebut, lembaga pendidikan pondok pesantren “XXX” Kota Blitar
secara teoritis belum menjalankan pendidikan moral dengan baik. Hal ini dapat
dilihat dari dari ketiga unsur tersebut hanya unsur pertama saja yang
diprioritaskan yaitu kedisiplinan, sementara itu unsur yang kedua dan ketiga tidak
dijalankan. Unsur kedua yaitu keterkaitan/identifikasi dengan masyarakat belum
dijalankan dengan baik hal ini dapat dilihat dari terisolasinya santri di dalam
lembaga pendidikan, sudah dijelaskan di paragraf sebelumnya bahwa santri tidak
diijinkan keluar dari lokasi pondok pesantren tanpa alasan yang dianggap darurat.
Kondisi seperti ini tentusaja akan membuat santri semakin jauh dari masyarakat,
tertutup, dan berpikiran sempit. Padahal tujuan dari pendidikan sendiri menurut
Emile Durkheim adalah untuk mencetak para santri yang memahami dan peduli
terhadap masyarakatnya.
Unsur ketiga adalah otonomi yang didukung oleh pengetahuan yang
diandalkan. Para santri seharusnya diberikan kebebasan (otonomi) selama hal
tersebut tidak melanggar pengatahuan yang dapat diandalkan (dalam hal ini
adalah pengetahuan yang berasal dari Al-Qur‟an dan Al-Haditz). Selama tidak
melanggar dan bertentangan dengan aturan Agama Islam, seharusnya para santri
diberikan kebebasan untuk bertindak dan mengambangkan pengatahuannya.
Semisal keluar lokasi pondok pesantren untuk sekedar berjalan-jalan menikmati
udara luar di sekitar pondok pesantren di jam-jam kosong, membeli barang-barang
keperluan di luar lokasi pondok pesantren, dan juga menemui orang tua yang
sedang menjenguk ke pondok pesantren. Dari hasil wawancara yang penulis
lakukan terhadap salah satu santri, dia mengaku bahwa dengan adanya peraturan
tersebut para santri merasa sedang berada dalam penjara. Lebih lanjut, secara
sembunyi-sembunyi banyak santri yang nekat keluar wilayah pondok pesantren
tanpa sepengetahuan petugas karena ingin menikmati udara kebebasan untuk
sejenak. Melihat dari realitas ini, pondok pesantren “XXX” Kota Blitar dapat
23
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
dikatakan belum bisa melaksanakan pendidikan moral seperti yang dicanangkan
oleh teori dari Emile Durkheim dengan baik.
C. PERSPEKTIF KRITIS GRAMSCI : HEGEMONI DALAM PONDOK
PESANTREN
Sesuai dengan teori hegemonisasi dari Antonio Gramsci yang telah
dijelaskan pada bab 2, pondok pesantren yang merupakan salah satu institusi
pendidikan dalam ranah agama sejatinya dalam praktek kesehariannya tanpa
disadari atau tidak telah melanggenkan praktek hegemoni. Aktor atau pihak yang
mendominasi dalam hegemoni pondok pesantren tak lain dan tak bukan adalah
sang guru atau Kyai itu sendiri. Hegemoni itu sendiri sering kita jumpai dalam
bentuk aturan-aturan yang berlaku di setiap pondok pesantren.
Dalam sistem pendidikan pesantren pihak pesantren seringkali
memandang bahwa ilmu yang diperoleh para santri bukan berasal dari berpikir
secara metodologis namun sebuah “berkah” yang didapat dengan sendirinya
melalui pengabdian pada kyai3. Dari uraian tersebut dapat kita paparkan bahwa
dalam memperoleh kemampuan berpikir. Para santri harus patuh, tunduk dan
pasrah pada kyai jika ingin memperoleh ilmu, dan segala ilmu yang diberikan kyai
adalah suatu kebenaran yang tak perlu diperdebatkan lagi sehingga bila ada santri
yang melanggar atau tak mau patuh pada kyai seringkali kali mendapatkan
semacam gunjingan bahwa ilmu yang didapatkan tidak akan barokah atau bahkan
tak mendapatkan ilmu pengetahuan sama sekali selama di pesantren dan semacam
itupun ternyata memperoleh semacam persetujuan atau konsensus dari para santri.
Wujud lain hegemoni dalam pesantren dapat kita temui dalam aturan atau tata
tertib yang dibuat oleh pihak pesantren semisal
Peraturan yang terdapat pada Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar
sebagai berikut : Seorang santri harus mempunyai keyakinan penuh bahwa tujuannya tak akan tercapai tanpa adanya sosok guru
(ustadz/ustadzak/kiyai). Santri sepenuhnya pasrah, tunduk dan tawaduk kepada guru. Santri harus senang bersama senangnya guru, dan harus benci bersama bencinya guru...
3 Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Indonesia-Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS).
24
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
Jelaslah dalam aturan tersebut dalam pola interaksinya dalam segala hal
terutama dalam sistem pendidikanya menunjukkan bahwa kekuasaan sepenuhnya
dipegang oleh kyai. Aturan-aturan semacam ini disebut oleh Gramsci sebagai
salah satu alat untuk memperoleh kekuasaan dengan suatu alat kerja yang mampu
membujuk masyarakat beserta pranata-pranata untuk taat pada mereka yang
berkuasa melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian dan bahkan juga
keluarga. Singkat kata dengan adanya serangkaian peraturan semacam itu
memunculkan persepsi apabila para santri ingin “selamat” maka pasrahlah pada
segala kehendak kyai.
D. PIERRE BOURDIEU: REPRODUKSI BUDAYA DAN SOSIAL DI
LEMBAGA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu santri pondok pesantren
“XXX” kota Blitar, kebanyakan kiyai yang berada pada pondok pesantren tersebut
tergolong kiyai muda. Kiyai tersebut merupakan generasi penerus dari kiyai
sebelumnya yang pernah menjadi petinggi atau pengurus pondok pesantren.
Dalam pondok pesantren ini terdapat sistem turun temurun antar generasi untuk
penentuan kiyai (pemimpin pondok pesantren). Seorang anak kiyai sebelumnya
memang telah dipersiapkan oleh orang tuanya untuk meneruskan generasinya
untuk menjadi seorang kiyai. Dengan demikian pemilihan calon kiyai di pondok
pesantren ini menurut Bourdiew termasuk Ascribed Status atau satatus yang
diwariskan secara turun temurun, bukan berdasarkan prestasi yang dimiliki.
Dari realitas tersebut kaitannya dengan teori Bourdieu, pondok pesantren
ini secara tidak langsung menjadi sarana reproduksi sosial mengenai status kiyai
yang dimiliki karena didasarkan pada pola turun temurun yang digunakan oleh
para kiyai. Para kiyai tersebut secara tidak langsung melanggengkan status dan
budaya sosial mengenai proses itu. Sehingga masyarakat dari keturunan akan
sangat sudah (bahkan tidak dapat) menjadi kiyai di dalam pondok pesantren ini.
Jika kita berbicara dalam konteks ini, Bourdieu benar jika berkata bahwa
pendidikan berperan dalam mereproduksi budaya masyarakat kelas dominan. Pada
taraf ini, kelas dominan diartikan sebagai mereka yang memegang otoritas penuh
melalui nilai-nilai yang sakral dan religius. Mereka yang telah mendapatkan gelar
25
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
Haji dan telah “nyantri” lebih dari 10 tahun dianggap telah layak menjadi Kiyai di
sebuah pondok pesantren misalnya, tentu akan masuk dalam jajaran orang-orang
yang dapat dikatakan sebagai kelas dominan. Dalam kasus ini, dapat ditemukan
seorang Kiyai yang mati-matian menyekolahkan dan memasukkan anak-anaknya
ke dalam pondok pesantren demi meneruskan keduduka orang tuanya dalam kelas
dominan. Pendidikan pondok pesantren diyakini sebagai sebuah media yang
melanggengkan kedudukan kelas-kelas dominan, pendidikan mempersiapkan
mereka yang merupakan anak-anak dari kelas dominan untuk mempertahankan
status keturunannya sebagai pemegang kelas dominan. Namun, dalam hal ini
Bourdieu juga bisa dikatakan salah, jika kita melihat esensi pesantren yang kental
dengan ajaran agama islam, maka akan kita temukan bahwasanya apa yang
membedakan satu orang dengan orang lainnya hanyalah tingkat ketaqwaan dan
keimanan. Manusia itu sama, anak seorang pejabat, anak seorang guru, Kiyai, atau
bahkan anak seorang raja. Semuanya sama, hanya saja taraf keimanan dan
ketaqwaannya yang berbeda. Oleh karena hal tersebut berbeda-beda dari para
santri yang ada, tak hanya anak-anak kelas dominan yang hanya bisa menjadi
Kiyai dan meneruskan statusnya sebagai masyarakat kelas dominan, namun
mereka yang mulanya tersisih dan berada di kelas pinggiran dapat bergeser
menjadi kelas dominan jika mempunyai kualitas iman dan taqwa yang melebihi
santri-santri lain, juga ilmu yang didapatkan melalui kitab-kitab yang ada di
pondok pesantren.
Jika kita berbicara dalam konteks lain, pondok pesantren “XXX” Kota
Blitar ini termasuk lembaga pendidikan yang dapat dikatakan mahal sehingga
hanya golongan-golongan tertentu saja yang dapat memasukkan anaknya untuk
bersekolah di lembaga pendidikan ini. Realitas ini tentu saja sesuai dengan teori
Bourdieu bahwa lembaga pendidikan termasuk lembaga pendidikan yang
memiliki begraund agama pun merupakan agen reproduksi budaya dan soaial.
Dengan biaya pendidikan yang tergolong mahal tersebut, tentu saja hanya
masyarakat kelas menengah keatas saja yang dapat menyekolahkan anaknya di
lembaga pendidikan. Sementara masyarakat golongan bawah tidak akan sanggup
menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan seperti ini. Kondiri seperti ini
tentu saja akan mereproduksi kesenjangan sosial yang sudah ada. Masyarakat dari
26
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
golongan menengah keatas akan dapat mempertahankan statusnya dengan
menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan yang mahal dan prestigious
seperti ini. Sementara masyarakat yang berasal dari golongan bawah tidak dapat
menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan seperti ini. Kondisi demikian
tentu saja akan mereproduksi atau bisa dikatakan sebagai agen masyarakat kelas
kelas atas untuk mempertahankan status quo-nya.
E. KONSEPSI PAULO FREIRE TENTANG PENDIDIKAN DI PONDOK
PESANTREN “XXX” KOTA BLITAR
Praktek pendidikan yang terdapat pada pondok pesantren didominasi
dengan pengetahuan atau pelajaran mengenai ajaran Agama Islam. Selain itu
proses belajar mengajar yang terdapat pada pondok pesantren tentu saja akan
sangat berbeda dengan proses atau sistem belajar mengajar pada sekolah umum.
Jika pada sekolah umum peserta didik dituntut untuk dapat berkreasi dan
meningkatkan pengetahuan serta kreatifitas yang dimiliki maka hal sebaliknya
akan diberlakukan pada pondok pesantren. Peserta didik di pondok pesantren akan
lebih dihargai jika mempunyai sikap patuh pada sistem pengajaran dan pendidikan
yang terdapat pada pondok pesantren. Pada proses belajar mengajar pada pondok
pesantren akan lebih sering menggunakan gaya bank education seperti yang
dikemukakan oleh Paulo Freirre. Peserta didik hanya sebagai wadah dari
pengetahuan dan pendidikan yang diajarkan oleh peserta didik atau guru. Santri
sebagai peserta didik atau murid hanya berkewajiban mendengarkan dan secara
pasif menerima keseluruhan proses pengajaran yang diberikan. Para santri akan
lebih membutuhkan proses yang aktif ketika pelajaran dengan unsur agama
diberikan seperti mengaji, tadarus, bahasa arab dan lain sebagainya. Kebanyakan
praktek tersebut diikuti dengan kewajiban atau keharusan untuk dapat menghafal
ayat-ayat suci Al-Qur‟an dalam waktu yang ditentukan oleh pihak pondok
pesantren. Pada mata pelajaran umum yang diajarkan, santri hanya diharapkan
dapat menerima dan memahami keseluruhan materi yang diajarkan tanpa harus
bersikap aktif.
Jika melihat dari konsep pendidikan pondok pesantren yang ada pondok
pesantren “XXX” Kota Blitar, bisa dikatakan bahwa model-model tersebut sangat
27
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
terkait dan bahkan serupa dengan konsep Freire tentang “Banking Concept
Education” karena memenuhi kriteria yang Pertama, pemahaman yang keliru
tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Hal ini
dapat dilihat dari tiap-tiap pertemuan dan pembelajaran yang dilakukan oleh Kiyai
dan para santri. Pengetahuan diartikan sebagai sebuah ajaran yang turun dari
langit. Padahal, jika dilihat dari ajaran-ajaran Islam sendiri, proses untuk
mendapatkan pengetahuan harusnya berasal dari kajian-kajian yang empiris dan
oleh karena itu dalam hal ini pengetahuan merupakan sebuah hasil pengindraan
yang berasal dari para santri, bukan semata-mata pemberian tuhan yang turun dari
langit melalui kitab-kitab dan ajaran yang telah ada. Kedua, adanya dikotomi
antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan
bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton
dan bukan re-kreator. Hal ini lebih disebabkan karena apa saja yang diajarkan
merupakan pemahaman dan konsep-konsep dogmatis yang statis dan berlaku
patent. Dalam hal ini, para santri tidak akan mampu melakukan penciptaan-
penciptaan terhadap ilmu pengetahuan, sebaliknya pemahaman tentang ilmu
pengetahuan dalam prespektif yang dogmatis merupakan sesuatu yang sudah ada
dan telah diciptakan dalam skal yang telah final, tidak mampu lagi digugat dan
dipertanyakan kembali eksistensinya. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang
dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya. Kepatuhan menjadi salah satu faktor
terpenting dalam pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh Kiyai dan para
santri. Dalam hal ini, stratifikasi dan kesenjangan antara Kiyai dan para santri
amat jelas terlihat, oleh karena itulah posisi santri dengan Kiyai tidak bisa
disejajarkan dalam proses pendidikan dan pada akhirnya hal ini membuat para
santri tidak mempunyai kemampuan untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan
Kiyai. Kiyai sebagai pengatur dan penguasa para santri, apa yang dikatakan oleh
Kiyai adalah sebuah kebenaran yang tak pantas untuk dipertanyakan dan
pembangkangan merupakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai
dalam pesantren yang identik dengan “Banking Concept Education” yang
dikatakan oleh Freire, dalam hal ini pendidikan dalam pondok pesantren tidak
akan menolong para santri untuk secara kritis mempertimbangkan realitas.
Sebaliknya, murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang
28
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan
pengetahuan yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam
metode ini adalah ketika santri telah menghafalkan dengan baik semua
pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, santri yang
baik adalah santri yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada
di sekelilingya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia dan
kehidupan di pondok pesantren. Tak heran, hanya mereka yang selalu menurut
perkataan dari para Kiyai lah yang akan dekat dan menjadi anak emas dari para
Kiyai. Sedangkan, para santri yang disinyalir mempunyai bibit-bibit tidak akan
disukai oleh para Kiyai bahkan dicap sebagai seorang pribadi yang menyimpang.
Jika kita kembali melihat pemikiran freire tentang fungsi pendidikan
dalam masyarakat, maka konsep pendidikan Pondok Pesantren bagi freire tidak
akan mampu membawa generasi muda menuju apa yang disebut dengan
transformasi sosial. Menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah
membuka mata peserta didik guna menyadari realitas ketertindasannya untuk
kemudian bertindak melakukan transformasi sosial. Model-model pendidikan
layaknya pondok pesantren merupakan sebuah model pendidikan yang hanya akan
melanggengkan kondisi masyarakat yang fatalis, masyarakat hanya akan terus
tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa, sehingga masyarakat tidak bisa
atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung
menerima keberadaan itu secara fatalistis karena apa yang diajarkan dan
diperolehnya dari pondok pesantren hanya mengajarkan untuk tunduk dan taat
pada penguasa melalui dalil-dalil yang dogmatis yang dibungkus dengan nilai-
nilai kepatuhan dan ketaatan yang semu.
29
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berkaitan dengan konsep kekerasan terhadap anak (child abuse), di
lembaga pendidikan pondok pesantren “XXX” Kota Blitar tersebut banyak
dijumpai kasus-kasus kekerasan baik secara fisik maupun psikis yang dilakukan
oleh guru/ustadz maupun oleh senior.
Jika kasus dilihat dari pandangan Durkheim melalui konsep pendidikan
moralnya, maka lembaga pendidikan di Pondok Pesantren “XXX” Kota Blitar ini
kurang berhasil menerapkan pendidikan moral yang semestinya dilakukan. Sebab
dari tiga unsur pendidikan moral, hanya kedisiplinan saja yang ditonjolkan,
sementara dua unsur lainnya diabaikan.
Berkaitan dengan konsep hegemonisasi dari Antonio Gramsci, pihak guru
melakukan hegemonisasi terhadap para santrinya agar tunduk dan patuh terhadap
aturan dan semua hal yang dikatakan oleh guru. Sehingga santri menganggap
apapun yang dikatakan oleh guru (ustadz) terlebih adalah kiyai adalah yang paling
benar dan tidak boleh dibantah, sebab kalau dibantah akan mendapatkan dosa.
Sistem pendidikan di pondok pesantren “XXX” Kota Blitar terbukti
mereproduksi budaya dan sosial dari kesenjangan yang sudah ada di masyarakat.
Reproduksi sosial ini dapat dilihat dari pemilihan seorang kiyai dan juga sistem
penerimaan santri yang secara tidak langsung hanya diperuntukkan bagi golongan
masyarakat kelas dominan saja.
Kesadaran kritis seperti yang dicanangkan oleh Paulo Freire belum
diterapkan di lembaga pendidikan ini. Hal tersebut terbukti dari penerapan sistem
pendidikan bank education, di mana para santri hanya menerima ilmu secara
searah dari guru tanpa mengeksplore dan mempertajan ilmunya dengan
mendiskusikan dan mencari pengathuan dari sumber lain (empiris maupun
literatur lain).
30
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
B. SARAN
Beberapa poin penting yang menjadi rekomendasi kami adalah:
1) Penelitian lebih lanjut pada pondok pesantren lain yang telah
mengadaptasi pendidikan yang maju;
2) Penelitian lebih mendalam tentang pendidikan pondok pesantren,
mengingat kesulitan kami mengadakan studi secara mendalam dalam
lingkup pondok pesantren;
3) Peningkatan keterbukaan (cek and balance) atau akuntabilitas dan
kredibilitas untuk institusi pondok pesantren, agar mengurangi „hegemoni‟
yang seringkali membebani para santrinya; dan
4) Mengerahkan kerjasama untuk membangun kesadaran kritis peserta didik
untuk pendidikan yang lebih baik.
31
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
- Dhofir, Zamakhsari. Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup
Kiyai (Jakarta, - Fuchan, Arif, Penelitian Kualitatif (Surabaya : Usaha Nasional)
- Hadimulyo, “Dua Pesantren Dua Wajah Budaya” dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta, LP3S, 1985), h. 99
- Huraerah, Abu, kekerasan Terhadap Anak (Bandung Nuansa, 2006) - Johnson, Victoria .dkk. 2002. Anak-Anak Membangun Kesadaran Kritis.
Yogyakarta. Read Book. - Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan
Pertumbuhan dan Pemerataan (Jakarta. PT. Pustaka Cidesindo)
- Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung. Mirzan, 1991) h, 247
- Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: Indonesia-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
- Miles, Mattew B & Huberman, Michael A (1984). Qualitative data analysis a
sourcebook of new method. London : Sage Publications - Neuman, Lawrence (1994). Social research method, qualitative and
quantitative approaches (2nd ed). Boston : Ally and Bacon
- Purwati. Kristi E (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta : LPSP3
- Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Jakarta : Erlangga, 2006)
- Santoso, Thomas, Teori- teori Kekerasan. (Jakarta : PT. Ghalia Indonesia,
2002) - Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survai,
Jakarta : LP3ES - Sudiarti Luhulima, Achie, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Jakarta : PT. Alumni,
2000) - Sugiyono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfabeta
- Sulthon HM, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global (LaksBang PRESSindo : 2006)
- Suroto. 1986. Strategi Pembangunan dan Perencanaan Tenaga Kerja.
Yogyakarta. Gajah Mada Univ Press - Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti. Krisis dan Child Abuse (Surabaya :
Airlangga University Press, 2002)
Jurnal
- Nurhilaliati, 2002. Kekerasan terhadap Anak dalam Sistem Pendidikan Pesantren (Studi di PP Nurul Hakim Kediri). Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram
32
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id
- Pusat Penelitian Kependudukan, 2009. Pola Anak di Panti Asuhan dan Pondok
Pesantren Kota Solo dan Kabupaten Klaten. LPPM UNS dengan UNICEF
Internet
- (http://bataviase.co.id/detailberita-10569402.html). - http://darulhikmah.blogspot.com/pembinaan-santri-di-dalam-pondok-
pesantren.10413.html
- http://data.tp.ac.id/dokumen/artikel-kekerasan-kepada-anak-tentang-ham - (http://wikipedia.org/wiki/kota_Kota Blitar/)
- http://kabar-pendidikan-blogspot.com/2011/04/pengertian-pondok-pesantren-dalam.html)
- http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&i
d=1293:pengertian-kekerasan-terhadap-anak&catid=37;wawasanperspective&itemid=66
- http://psikologi45.blospot.com/201/06/pengertian-kekerasan-terhadap-anak.html
- (http://wikipedia.org/wiki/pesantren)