Download - !!!Pengayaan Agra
MAKALAH
TUGAS PENGAYAAN DOKTER MUDA
COMPLETE SPINAL TRANSECTION:
Patofisiologi, Diagnosis, dan Differential Diagnosis
Oleh:
Agra Dhira Narendraputra
NIM. 0910710001
Pembimbing:
dr. Badrul, Sp.S
SMF/LABORATORIUM ILMU PENYAKIT SARAF
RSU DR. SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................
..........................................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................
..........................................................................................................2
A. DEFINISI DAN LATAR BELAKANG...........................................
...................................................................................................3
B. ALGORITMA LUMPUH DUA KAKI............................................
...................................................................................................5
C. EPIDEMIOLOGI...........................................................................
...................................................................................................6
D. ETIOLOGI....................................................................................
...................................................................................................7
E. PATOFISIOLOGI.........................................................................
...................................................................................................8
F. KLASIFIKASI..............................................................................
.................................................................................................15
G. TANDA DAN GEJALA KLINIS...................................................
.................................................................................................16
H. PEMERIKSAAN FISIK................................................................
.................................................................................................18
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG...................................................
.................................................................................................22
J. DIAGNOSIS.................................................................................
.................................................................................................23
K. DIAGNOSIS BANDING...............................................................
.................................................................................................24
3
L. RINGKASAN...............................................................................
.................................................................................................25
M. PERTANYAAN............................................................................
.................................................................................................26
N. DAFTAR PUSTAKA....................................................................
.................................................................................................29
O. LAMPIRAN..................................................................................
.................................................................................................31
4
PENDAHULUAN
A. DEFINISI DAN LATAR BELAKANG
Complete Spinal Transection (Transeksi Medula
Spinalis) merupakan kerusakan total medula spinalis akibat lesi
transversal yang menyebabkan hilangnya seluruh fungsi
neurologis medula spinalis di bawah area yang terkena. Fungsi
neurologis yang dimaksud adalah sensoris, motoris, dan otonom.
Manifestasi yang paling terasa oleh penderita adalah
kelumpuhan (disfungsi motorik). Definisi asia menyebutkan
bahwa Complete injury merupakan hilangnya fungsi sensoris
dan motoris di segmen sacral terakhir (S4-S5), disebut dengan
klasifikasi ASIA A.1
Kelumpuhan merupakan salah satu morbiditas yang
paling ditakutkan manusia. Tubuh yang awalnya aktif dan enerjik
tiba-tiba tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya terbaring di
tempat tidur. Pekerjaan, pendidikan, kesenangan bermain
dengan teman akhirnya sirna akibat tidak berfungsinya organ
motorik tubuh. Apabila kelumpuhan diderita seorang ayah yang
menjadi tulang punggung keluarga, ia menjadi tidak bisa
melakukan fungsinya, bahkan akan menjadi beban dalam
keluarga. Kadangkala kelumpuhan menimbulkan komplikasi
psikologis yang justru lebih berat. Pasien menjadi depresi dan
kualitas hidupnya menjadi terus menurun, tak jarang pasien
mencoba bunuh diri akibat rasa malu dan tertekan. Perceraian
akibat kelumpuhan 2,5 kali lebih sering terjadi pada pasangan
suami istri akibat suami tak bisa memenuhi kebutuhan biologis
istri karena mengalami disfungsi seksual.2
5
Complete spinal transection (CST) merupakan salah
satu penyakit yang mengakibatkan kelumpuhan kedua kaki. CST
paling sering diakibatkan oleh trauma kecelakaan kendaraan
bermotor. Dengan berkembangnya ilmu pengobatan modern,
94% pasien dapat bertahan hidup dengan raawat inap awal,
dibandingkan pada tahun 1927 ketika perang dunia pertama,
hingga 80% korban dengan cedera medula spinalis meninggal
dalam beberapa minggu pertama akibat komplikasi.3
Permasalahannya kini, penyakit ini seringkali memerlukan
rehabilitasi seumur hidup yang membutuhkan biaya besar. Di
Amerika Serikat (AS) pembiayaan bagi pasien-pasien dengan
tetraplegia (lumpuh keempat anggota gerak) dan paraplegia
(lumpuh anggota gerak bawah) memerlukan biaya yang besar
seperti dapat dilihat di Tabel 1.2
Tabel 1. Pembiayaan Pasien-pasien dengan Tetraplegia dan Paraplegia di AS.2
Prognosis kelumpuhan pada cedera tulang belakang
termasuk buruk, karena regenerasi neuron hampir bisa
dikatakan mustahil terjadi. Karenanya, penanganan cedera
medula spinalis lebih dititikberatkan pada pencegahan primer
dan sekunder. Pada makalah ini akan dibahas Complete Spinal
Transection (CST) yang mengakibatkan manifestasi lumpuh
kedua kaki (paraplegia).
6
B. ALGORITMA
Masalah: lumpuh kedua kaki (paraplegia). Complete
Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis) memiliki gejala
paraplegia yang kelumpuhannya bersifat LMN dan topisnya
berasal dari medula spinalis. Algoritma Paraplegia dapat dilihat
di Gambar 1.
Gambar 1. Algoritma Lumpuh Kedua Kaki (Paraplegia)
7
COMPLETE SPINAL TRANSECTION
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan Cidera Korda Spinalis/Spinal Cord
Injury (SCI) kira-kira 40 kasus per 1 juta populasi di AS atau
12.000 kasus per tahun. Jumlah populasi di AS pada tahun 2012
yang hidup dengan SCI sekitar 270.000 orang. Secara
keseluruhan, 80,6% SCI terjadi pada pria. Rata-rata penderita
mengalami SCI pada usia 16 –30 tahun. Gambar 2 memaparkan
berbagai penyebab SCI.2
Gambar 2. Penyebab Spinal Cord Injury di AS.2
Berdasarkan tingkat pendidikan, siswa SMA (high
school) merupakan korban cedera medula spinalis
terbanyakPada tahun 2005 kategori neurologis paling banyak
pada penderita SCI adalah incomplete tetraplegia (40,8%), diikuti
complete paraplegia (21.6%), incomplete paraplegia (21.4%)
dan complete tetraplegia (15.8%). Kurang dari 1% penderita
mengalami pemulihan neurologis sempurna setelah keluar dari
rumah sakit.2
8
D. ETIOLOGI4
Complete Spinal Transection/Transeksi Medula Spinalis
(TMS) dapat disebabkan oleh:
1. Kompresi Medula Spinalis:
Fraktur kompresi
Tumor
Herniasi diskus
Spondylosis
Epidural abcess
Pott’ disease (TB spinal)
Oklusi arteri
2. Systemic degeneration
Multiple sclerosis
Motor Neuron disease
Subacute combined degeneration of cord
3. Infeksi
Transverse myelitis
Akut: Staphylococcal, Kronis: Tuberculous, Syphilitic
(Neurosyphilis=Tabes Dorsalis)
Parasit: Hydatid, Cysticercosis, Schistosomiasis,
Falciparum Malaria
Viral: Thypus Fever, Spotted Fever
Fungal: Cryptococcus, Actinomycosis,
Coccidiomycosis
4. Autoimun
Guillain-Barre Syndrome (paraplegia without sensory
loss)
Kelainan autoimun
Sindrom post-vaksin (Rabies, Tetanus, Polio)
9
E. PATOFISIOLOGI
Respon awal setelah adanya trauma yang menyebabkan
SCI adalah stimulasi simpatis yang hebat dan aktivitas reflek
parasimpatis yang biasanya bertahan 3 – 4 menit dan dimediasi
oleh reseptor alfa-adrenergik. Efek hemodinamik yang
ditimbulkan adalah severe hypertension, reflek bradikardi
atau takiaritmia.5
Setelah respon awal ini muncul defisit fungsi neurologi
yang disebut spinal shock yang ditandai dengan flaccid paralysis
bersamaan dengan menghilangnya seluruh reflek di bawah
lesi termasuk reflek bulbocavernosus. Paralisis flasid di GI tract
dan kandung kemih menyebabkan ileus dan retensi urin.
Hilangnya inervasi autonomik menyebabkan vasodilatasi pada
area yang terkena. Lesi di atas T5 menyebabkan bradikardi dan
hipotensi arterial akibat terputusnya inervasi simpatis yang
menuju ke jantung. Fase spinal shock ini berlangsung beberapa
minggu dan bisa sampai berbulan-bulan.
Fase spinal shock diikuti fase peningkatan spastisitas
otot dan munculnya kembali reflek spinal (hyperreflexia phase).
Awalnya gerakan spastik spontan pada pasien dikira gerakan
sadar dan menyebabkan kesalahan asesmen proses
penyembuhan. Biasanya aktifitas hiperefleksia ini ditandai
dengan peningkatan ekstrim tekanan darah arteri selama
manipulasi kandung kemih dan saluran cerna dan diakibatkan
oleh hilangnya inhibisi dari aktifitas reflek di daerah di bawah
level lesi.6
Patofisiologi kerusakan sel neuron pada medula spinalis
dimulai dari cedera primer. Mekanisme cedera primer dibagi
menjadi empat: 1. Tumbukan ditambah dengan kompresi yang
10
menetap; 2. Tumbukan saja, tanpa kompresi; 3. Distraksi; dan 4.
Laserasi atau transeksi. Laserasi atau transeksi merupakan
bentuk akhir dari mekanisme primer cedera. Berbagai jenis
cedera primer ini menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan
yang akhirnya berujung pada infark yang diawali oleh substansia
grisea (gray matter) medula spinalis. Neuron-neuron yang
melawati daerah ini secara fisik terputur dan mengalami
penipisan myelin. Transmisi saraf juga lama kelamaan akan
terputus oleh karena microhemorrhage atau edema di sekitar
daerah cedera. Dalam satu jam gray matter rusak secara
irreversibel, sedangkan white matter dalam 72 jam.5
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan neurogenic
shock (perfusi jaringan yang inadekuat akibat dari kelumpuhan
input vasomotor), ditandakan dengan bradikardi, hipotensi, dan
hipotermia dengan penurunan resistensi kapiler dan penurunan
cardiac output. Hal ini bisa memperparah kerusakan jaringan
saraf.5
Seperti dijelaskan sebelumnya peran vaskular dapat
memperparah cedera medula spinalis. Venul dan kapiler rusak di
sekitar tempat cedera baik ke arah rostral maupun kaudal akibat
cedera mekanis awal. Keberlanjutan iskemik postrauma ini
tergantung dari kemampuan aliran darak. Vasospasme sering
terjadi akibat trauma langsung. Trombosis intravaskular dapat
juga berkontribusi pada iskemik postrauma ini. Kelainan
autoregulasi homeostasis (penurunan kemampuan memelihara
aliran darah pada cakupan tekanan yang luas) dapat
memperparah iskemia akibat hipoperfusi sistemik (neurogenic
shock) atau dapat juga memperparah perdarahan dengan
peningkatan tajam tekanan darah sistemik. Proses reperfusi
11
dapat memperparah cedera dan kematian sel akibat
dihasilkannya radikal bebas dan produk toksik lainnya (cedera
sekunder).5
Kekacauan biokimia bersamaan dengan gangguan
cairan dan elektrolit berperan utama dalam mekanisme sekunder
pada cedera akut medula spinalis. Neurotransmiter excitator
dilepaskan dan terkumpul dan hal ini menyebabkan kerusakan
langsung pada jaringan medula spinalis bersamaan dengan
kerusakan tidak langsung akibat dari produksi ROS dan RNS,
juga dari perubahan fungsi mikrosirkulasi dan iskemia
sekunder.glutamat, neurotransmiter excitatory utama di CNS,
dilepaskan secara eksesif setelah cedera. Aktivasi reseptor
NMDA dan AMPA-kainate penting dalam mennyebabkan
iskemia. Proses ini disebut excitotoxicity yaitu aktivasi eksesif
reseptor glutamat yang menyebabkan cedera neuron. Lebih
lanjut, proses ini menyebabkan akumulasi awal natrium
intraseluler, sehingga menyebabkan edema sitotoksik dan
asidosis intraseluler. Kegagalan Na-K-ATPase memperparah
penumpukan air dan natrium intrasel dan hilangnya kalium
ekstrasel. Sebagai tambahan, kalsium intrasel menumpuk dan
menyebabkan perubahan fisiologi dan kerusakan yang akan
datang. Akumulasi kalsium intrasel ini disebut sebagai hasil akhir
toxic cell death di CNS.
Konsentrasi tinggi ion kalsium dalam sel berkontribusi
dalam kerusakan sekunder melalui berbagai mekanisme.
1. Bekerjasama dengan fungsi mitokondria. Keterkaitan ini
berperan dalam menghambat respirasi sel yang
sebelumnya sudah terganggu oleh hipoksia dan iskemia.
12
2. Stimulasi penyusunan calpain, fosfolipase A2,
lipooksigenase dan siklooksigenase.
a. Aktivitas dan ekspresi calpain meningkat pada sel-
sel glia dan inflamasi di penumbra pada lesi
medula spinalis. Calpain dapat menghancurkan
struktur penting di CNS termasuk protein di unit
akson-myelin.
b. Calcium-dependent protease dan kinse lainnya
menghancurkan membran sel dan berakibat pada
larutnya komponen ultrastruktur sel seperti
neurofilament.
c. Aktivasi Lipase, lipooksigenase, siklooksigenase
mengakibatkan konversi asam arakhidonat menjadi
tromboksan, prostaglandin, leukotrien, dan
peningkatan level metabolit-metabolit ini.
d. Peningkatan asam arakhidonat yang lambat
berhubungan dengan penghambatan Na-K-
ATPase dan edema jaringan.
e. COX-1 menumpuk menyebabkan penurunan aliran
darah dan menyebabkan agregasi platelet serta
vasokonstriksi.
f. Semuanya ini menyebabkan respon inflamasi dan
peroksidasi lipid dan akhirnya kerusakan membran
sel
g. Peroksidasi lipid menyebabkan pembentukan
radikal bebas. Lingkaran ini terus berputar kecuali
bila dihentikan dengan entioksidan endogen seperti
vitamin E dan SOD.
13
Setelah cedera, regulasi homeostasis oleh sel glia
gagal, menyebabkan asidosis jaringan dan proses excitotoxic.
Aktivitas sel glia yang lain yang berfungsi untuk membuang
debris sel menyebabkan peningkatan oksidatif tertentu dan
enzim lisosom yang menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut.
Pada fase awal infiltrasi neutrofil mendominasi. Pelepasan
enzim lisis dari leukosit dapat memperparah kerusakan neuron,
sel glia dan pembuluh darah. Fase kedua berkaitan dengan
rekrutmen dan migrasi makrofag yang memfagosit jaringan
yang rusak.
Mekanisme ekstrinsik (receptor dependent) apoptosis
sel dipengaruhi sinyal TNF. Mekanisme intrinsik (receptor
independent) dipengaruhi sinyal intraseluler saat konsentrasi
kalsium dalam sel tinggi menginduksi kerusakan mitokondria,
pelepasan sitokrom c, dan aktivasi caspase.
Kerusakan mitokondria dapat menyebabkan kematian
sel secara langsung maupun tidak langsung melalui toleransi
kepada stress seluler. Trauma pada CNS menyebabkan
gangguan respirasi dan fosforilasi oksidatif.5
14
Gambar 3. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Faktor Lokal)
IL6, TNF, IL1
Sitokin
Kerusakan membran sel
Neutrofil
Microglia
Reperfusi/ reoksigenasi
ROS
KEMATIAN SEL
APOPTOSIS
Perubahan pada ekspresi gen
Aktivasi reseptor glutamat: NMDA,
metabotrobik
Perubahan pada potensial membran dan
aktivasi kanal ion
EKSITOTOKSISITAS
Dampak vaskular
Faktor sistemik: syok neurogenik,
gagal napas
ISCHEMIA
Release Glutamat
Edema interstisial dan compresi medula
Kegagalan autoregulasi: vasospasm, thrombosis, hemorrhage
Peningkatan permeabilitas
Peradangan
FAKTOR LOKAL
CEDERA PRIMER
15
Gambar 4. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Iskemia)
Pembengkakan sel
Faktor sistemik: syok neurogenik,
gagal napas
ISKEMIA
FAKTOR LOKAL: dampak vaskular,
kerusakan membran, kompresi medula, release glutamat,
edema, peradangan
CEDERA PRIMER
KEMATIAN SEL
APOPTOSIS
produksi ATP
Transisi permeabilitas,
release sitokrom C
Proteolisis dan kerusakan
sitoskeleton
Aktivasi caspase dan calpain Kerusakan mitokondria
Kerusakan oksidatif protein, lipid, DNA dan
degradasi membran
Lipolisis ROS
Ca 2+ INTRASEL
Vasospasme
Depolarisasi membran
O2, Kegagalan energi glukosa
16
F. KLASIFIKASI7
1. TMS Cervical
TMS cervical, di atas Ver. C.III fatal karena dapat
menghilangkan fungsi N. frenikus dan N. interkostales
secara total sehingga dapat menghentikan pernapasan.
Pasien hanya akan dapat bertahan apabila diberikan
ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma
penyebabnya. Keadaan ini sangat jarang dijumpai. Gejala
lain: nyeri hebat di occiput dan leher, bisa diikuti oleh gejala
N. V. Transeksi pada tingkat cervical di bawahnya (C5-C6)
dapat menyebabkan quadriparesis dengan keterlibatan otot-
otot intercostal, pernapasan dapat sangat terganggu. Muscle
wasting: deltoid, biceps, brakhioradialis, infraspinatus,
supraspinatus, rhomboideus.
Autonomic dysreflexia peningkatan tekanan darah
abnormal, berkeringat, dan respon otonom lainnya terhadap
gangguan sensoris. Ketidakmampuan untuk meregulasi
tekanan darah, pengeluaran keringat, dan suhu tubuh.
2. TMS Thoraks
TMS Thoraks bagian atas tidak mengganggu
ekstrimitas atas tapi mengganggu pernapasan dan
menimbulkan ileus paralitik melalui keterlibatan N.
splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan autonomic
dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi, retensi
urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. TMS thoraks bagian
bawah tidak mengganggu otot abdomen dan pernapasan.
3. TMS Lumbal
TMS Lumbal sering menyebabkan gangguan yang
berat karena diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai
17
medulla spinalis bagian bawah, arteri radikularis mayor
(Adamkiewicz). Hasilnya adalah infark seluruh medulla
spinalis lumbalis dan sakralis.
Efek cedera medula spinalis lumbal menyebabkan
disfungsi kandung kemih, usus, dan seksual.
4. Sindrom Epikonus
Sindrom epikonus isebabkan lesi medulla spinalis
setinggi L4-S1: kelemahan rotasi eksterna panggul, ekstensi
panggul, fleksi lutut, fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
dan jari-jari kaki. Reflek Achilles menghilang, reflek lutut
tetap ada, potensi seksual hilang, pengosongan kandung
kemih dan rectum secara refleksif, kemampuan berkeringat
hilang sementara.
5. Sindrom Konus
Sindrom konus disebabkan oleh lesi medulla spinalis
S3 ke bawah. Sering disebabkan oleh tumor spinal, iskemia
atau herniasi diskus lumbal yang masif. Menifestasi:
arefleksia detrusor inkontinensia overflow, retensi urin,
inkontinensia alvi, impotensi, saddle anesthesia, hilangnya
reflek ani. Ekstrimitas bawah tidak paresis dan reflek Achilles
tetap ada.
G. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya
jaras sensoris dari bawah level lesi dan jaras desendens dari
atas lesi seperti terlihat pada Gambar 5.8 Meskipun kelainan
sensoris mencakup seluruh modalitas terjadi di bawah level lesi,
letak lesi sebenarnya dapat diketahui dari adanya nyeri radikuler
atau parestesia yang segmental.
18
Kelemahan, baik itu paraplegia maupun tetraplegia
muncul di bawah level lesi akibat terputusnya jaras corticospinal
desenden. Awalnya paralisis bisa berupa flaccid dan arefleksif
akibat spinal shock. Selanjutnya muncul hipertonus,
hiperrefleksia, paraplegia atau tetraplegia disertai dengan
menghilangnya reflek dinding abdomen dan cremaster. Pada
level lesi muncul manifestasi Lower Motor Neuron (paresis,
atrofi, fasciculasi, dan arefleksia) pada distribusi segmentalnya.
Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan
inkontinensia, disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi
otonom (anhidrosis, perubahan tropis kulit, kegagalan
mengontrol suhu tubuh, dan ketidakstabilan vasomotor) dibawah
level lesi juga muncul.8
Gambar 5. Modalitas Neurologis yang Terganggu pada Spinal Cord Injury dan Tanda serta Gejala Klinis Spinal Cord
Injury
19
H. PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksi: deformitas pada tulang belakang (akibat trauma,
proses destruktif neoplasma atau infeksi)
2. Palpasi: nyeri radikuler, krepitasi, tenderness di tulang
belakang (akibat trauma, proses destruktif neoplasma atau
infeksi)
3. Pemeriksaan khusus sensoris: menggunakan pinprick dan
sentuhan ringan pada tubuh (Gambar 6)
4. Pemeriksaan khusus motoris: pasien diminta menggerakan
kelompok otot sesuai dengan miotom masing-masing radiks
medulla spinalis.9 (Tabel 2)
20
Gambar 6. Titik-titik Lokasi Pemeriksaan Pinprick dan
Sentuhan Ringan Pada Tubuh
Tabel 2. Otot-otot Kunci untuk Pemeriksaan Neurologis
21
22
Gambar 7. Bagan ASIA yang Digunakan untuk Mendeteksi
Kelumpuhan Neurologis
23
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk
melihat adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi
Odontoid (open mouth), Swimmer’s view (untuk melihat C7
dan T1).
Tanda degenerasi spina:
Ruang intervertebral menyempit
Foramina intervertebral menyempit
Bentukan osteofit
Pelebaran foramina
2. Darah lengkap, urin lengkap
3. Pungsi Lumbal analisis CSF
4. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique
5. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin
dan akson)
6. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom
24
J. DIAGNOSIS
1. Anamnesa
a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi
b. Usia muda: penyakit bawaan
c. Usia tua: keganasan
d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi),
kronis (MND, polyneuropathy, muscle dystrophy)
e. Gangguan sfingter retensi urin/alvi
f. Nyeri radikuler
g. Keluhan unilateral/bilateral
h. Nyeri kepala
i. Nyeri punggung
2. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran lesi cerebral/spinal shock
b. Meningeal sign tanda infeksi meningen
c. Penilaian skor ASIA (motoris dan sensoris)
d. Pemeriksaan tonus otot, reflek fisiologis dan reflek
patologis
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom
b. Analisis CSF
c. X-ray cervical, thoracal, lumbal, sacral (AP/Lat/Obl)
menilai abnormalitas tulang
d. MRI vertebrae menilai abnormalitas medula spinalis
(jaringan lunak)
25
K. DIAGNOSIS BANDING10
Diagnosis banding Transeksi Medula Spinalis adalah
penyakit-penyakit yang dapat bermanifestasi paraplegia yang
berasal dari medula spinalis seperti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Differential Diagnosis Paraplegia
26
DDx. Penyakit-penyakit dengan manifestasi Paraplegia dengan tipe
LMN maupun yang berasal dari Cerebri 10:
1. Lesi LMN
a. Poliomyelitis
b. MND
c. Myasthenia gravis
d. Muscular dystrophy
2. Lesi UMN cerebral:
a. Tumor
b. Thrombosis
c. Hydrocephalus
L. RINGKASAN
Transeksi medula spinalis merupakan penyakit yang sering
mengakibatkan kecacatan, meskipun penangannyanya sudah
cukup baik. Kecacatan yang ditimbulkan seringkali membawa
dampak sosial dan ekonomi yang besar. Pencegahan primer
dan sekunder sangat diutamakan untuk mendapatkan kualitas
hidup yang lebih baik.
Transeksi medula spinalis merupakan kerusakan seluruh
penampang medula spinalis akibat trauma, inflamasi, kompresi,
dan lain-lain. Penyebab paling sering dari transeksi medula
spinalis adalah trauma saat kendaraan bermotor. Hal ini sering
dialami laki-lagi usia SMA dengan rentang usia 16 – 30 tahun.
Patofisiologi transeksi medula spinalis berkaitan dengan
primary injury dan secondary injury. Primary injury berasal dari
proses mekanis yang mengawali terjadinya cedera. Secondary
27
injury berasal dari proses vaskular dan imunitas yang
memperparah cedera yang terjadi pada medula spinalis.
Gejala yang ditimbulkan pada transeksi medula spinalis
adalah hilangnya seluruh modalitas neurologis (motoris,
sensoris, dan otonom) di bawah level lesi. Gejala ini bervariasi
sesuai dengan tinggi lesi, dan yang paling sering
membahayakan adalah lesi cervical atas (C2-C4) yang dapat
menimbulkan depresi napas dan sering menyebabkan kematian
secara cepat.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa singkat mengenai
cara kejadian (trauma), progresifitas keluhan, dan riwayat
penyakit dahulu, dilanjutkan pemeriksaan fisik yang berfokus
untuk mencari tinggi level cedera neurologis dengan
pemeriksaan sensoris (pinprick dan raba halus) dan motoris
sesuai miotom.
Differential diagnosis Transeksi Medula Spinalis adalah
penyakit-penyakit yang bermanifestasi paraplegia yang topisnya
berasal dari medula spinalis itu sendiri, dari cerebri maupun
paraplegia yang bertipe LMN.
M. PERTANYAAN
1. Pemeriksaan fisik relevan dengan diagnosis dan
hasilnya?
Pada pasien dengan cedera saraf komplit tulang belakang,
adanya hilang fungsi sensori dan motoris di bawah tingkat
tertentu. Jadi khusus pada pasien pada lumpuh kaki,
pemeriksaan fisik yang perlu adalah dari pemeriksaan tanda
tanda vital seperti tensi, nadi, respiratory rate dan suhu,
status interna dari kepala ke extremitas dan selanjutnya
28
pemerikasaan status neurologis dari pemeriksaan GCS,
nerve cranialis, motoris, sensoris dan autonom. Menurut
criteria ASIA Impairment Scale, debuah pemeriksaan
neurologis hati-hati, termasuk fungsi motorik, sensorik
evaluasi, refleks tendon dalam, dan evaluasi perineum,
sangat penting dan diperlukan untuk menetapkan ada atau
tidak adanya cedera tulang belakang dan mengklasifikasikan
lesi menurut sindrom kabel tertentu. Penilaian fungsi
sensorik membantu mengidentifikasi jalur yang berbeda
untuk sentuhan ringan, proprioception, getaran, dan nyeri.
Gunakan cocokan peniti untuk mengevaluasi sensasi rasa
sakit. Dan dari pemeriksaan ini kita dapat temukan parase
tipe flasid atau spastic pada kedua tungkai bawah bersertai
kehilangkan fungsi sensori seperti raba, sahu dan nyeri.
Membedakan cedera akar saraf dari cedera tulang belakang
bisa sulit. Adanya defisit neurologis yang menunjukkan
keterlibatan multilevel cedera tulang belakang banding
dengan cedera akar saraf. Dengan tidak adanya syok spinal,
kelemahan motor dengan refleks utuh menunjukkan cedera
tulang belakang, sedangkan kelemahan motor dengan
refleks absen menunjukkan lesi akar saraf. Tingkat cedera
didefinisikan oleh Skala Gangguan ASIA (dimodifikasi dari
klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori berikut:
A = Lengkap: Tidak ada fungsi sensoris atau motoris
dipertahankan dalam segmen sakral S4-S5 [5]
B = Incomplete: Sensory, tetapi tidak motorik, fungsi
dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan meluas
melalui segmen sakral S4-S5
29
C = Incomplete: Fungsi motorik dipertahankan di bawah
tingkat neurologis, dan otot yang paling utama di bawah
tingkat neurologis memiliki kelas otot kurang dari 3
D = Incomplete: Fungsi motorik dipertahankan di bawah
tingkat neurologis, dan otot yang paling utama di bawah
tingkat neurologis memiliki kelas otot yang lebih besar
dari atau sama dengan 3
E = normal: Sensory dan motorik fungsi normal
Dengan demikian, definisi cedera tulang belakang komplit
dan inkomplit, karena berdasarkan ASIA definisi di atas,
dengan sakral-sparing, adalah sebagai berikut:
Complete: Tidak adanya fungsi sensorik dan motorik di
segmen sacral terendah
Incomplete: Preservasi fungsi sensoris atau motoris di bawah
tingkat cedera, termasuk segmen sakral terendah
ASIA telah membentuk definisi yang bersangkutan. Tingkat
cedera neurologis adalah yang terendah (paling ekor) tingkat
dengan fungsi sensorik dan motorik normal.
2. Jenis pemeriksaan penunjang dan hasilnya?
Pemeriksaan penunjang adalah foto thorax sebagai
penafsiran semua penyakit, X foto vertebral seperti Foto
toraco/ thoracolumbal/ lumbosacral: AP/lateral (untuk lesi
thorakal/ torakal bawah/ lumbal/ sacral tergantung pasien
dicuragai mendapat lesi dimana. Pemeriksaan Ct scan/ MRI
Vetebral untuk memastikan apakah benar pada tulang
belakangnya mengalami kerusakkan disampaing
30
memastikan etiologi. Dan pemeriksaan lab lain untuk
mengekslusi diagnosis banding lain.
3. Bagaimana dengan prognosis? apakah bisa sembuh?
Pasien dengan cedera tulang belakang komplit memiliki
kesempatan kurang dari 5% dari pemulihan. Jika
kelumpuhan komplit berlanjut pada 72 jam setelah cedera,
tingkat kesembuhan adalah nol. Prognosis jauh lebih baik
untuk inkomplit cord sindrom .Jika beberapa fungsi sensorik
yang diselamatkan, kemungkinan bahwa pasien akhirnya
akan dapat berjalan lebih besar dari 50%. Pada akhirnya,
90% pasien dengan cedera tulang belakang kembali ke
rumah mereka dan menjadi independan. Memberikan
prognosis yang akurat untuk pasien dengan cedera batang
otak akut biasanya tidak mungkin di departemen darurat
(ED) dan sebaiknya dihindari. Sekitar 10-20% dari pasien
yang telah menderita cedera tulang belakang tidak bertahan
untuk mencapai rumah sakit akut, sedangkan sekitar 3% dari
pasien meninggal selama rawat inap akut.
N. DAFTAR PUSTAKA
1. Jacob dan Nash. 2004. Exercise Recommendations for
Individuals with Spinal Cord Injury. Sport Medicine 2004.
2. The National SCI Statistical Center. 2012. Spinal Cord
Injury Facts and Figures at a Glance. The University of
Alabama: Birmingham.
31
3. John F. Ditunno, Jr., and Christopher S. Formal, 1994,
Chronic Spinal Cord Injury, The New England Journal of
Medicine
4. Meenakshi. Syndrome of Spinal Cord. Departement of
Medicine, Stanley Medical College.
5. Dumont, et. Al., 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I:
Pathophysiologic Mechanisms dalam Clinical
Neuropharmacology. Vol. 24, No. 5, pp. 254–264.
Lippincott Williams & Wilkins, Inc. Philadelphia.
6. Gbandi, R dan Kanonidou Z. 2005. Management of
patients with transection injury of the spinal cord. Dept. of
Anesthesiology, Hippokratio General Hospital,
Thessaloniki, Greece.
7. M. Baehr dan M. Frotscher. 2010. Diagnosis Topik
Neurologi DUUS Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.
8. Gregory Gruener dan Jose Biller. 2008. Spinal Cord
Anatomy, Localization, And Overview Of Spinal Cord
Syndromes. American Academy of Neurology.
9. Veteran Health Initiative. 2001. Medical Care of Person
with Spinal Cord Injury. Departement of Veterans Affairs
Employee Education System. Washington DC.
10. Scheweinkreis, Peter et. al. 2006. Differential Diagnosis of
Acute and Subacute Non-Traumatic Paraplegia. Dtsch
Arztebl.
32
O. LAMPIRAN: LATIHAN9
1. What are the important tracts of the spinal cord? Where are
they located? What direction do they travel? What are their
functions?
2. What are the clinical signs and implications for upper motor
neuron injury vs. lower motor neuron injury? Where are
these types of injury most likely to occur? Which types of SCI
are likely to occur immediately? Which types of injury are
more likely to be subacute or secondary? What are some
types of nontraumatic injury?
3. List the key muscles to be tested for motor function along
with the movement and corresponding neurologic root.
4. How are the sensory and motor neurologic levels defined?
5. What are the characteristics of the five severity levels on the
ASIA Impairment Scale?
6. What are the differential diagnostic features of five SCI
syndromes?
7. Describe the effects of autonomic dysfunction on several
organ systems and the corresponding impairment of control.
8. 32 y.o. woman is hospitalized because of symptoms that
began as numbness and tingling in both feet and progressed
over few days to include gait instability, hand weakness,
diplopia, and dyspnea. The symptoms began 11 days after a
viral illness. On admission she has sinus tachycardia,
proximal and distal weakness in her upper and lower
extermities bilaterally, areflexia, and marked vibratory and
position sense loss in the toes and fingers. She cannot walk.
Which of the following is the most appropriate treatment?
33
a. Prednisone
b. Pyridostigmine
c. Plasma exchange
d. Intravenous methylprednisolone.