Download - Pengaruh Temperatur Lingkungan
PENGARUH TEMPERATUR LINGKUNGAN TERHADAP RESPON KEKEBALAN AYAM RAS PEDAGING
1. Temperatur Lingkungan dan Stres
Dalam pemeliharaan ayam broiler dengan sistem perkandangan terbuka, secara alami
akan terekspos oleh variasi stres lingkungan (kedinginan, kepanasan, kecepatan angin/aliran
udara) dan stres sosial (kompetisi pakan, transportasi, kepadatan populasi ayam dalam kandang,
dll).
Perkembangan ayam broiler di berbagai belahan dunia dihadapkan pada tingginya angka
mortalitas dan rendahnya produktifitas karena pengaruh tingginya temperatur lingkungan pada
musim panas. Pada kondisi ini secara nyata dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa stres
karena suhu lingkungan yang tinggi akan menekan respon kekabalan dalam memproduksi
antibodi. Pengaruh suhu lingkungan yang tinggi ini juga berpengaruh pada hasil vaksinasi. Untuk
itu vaksinasi pada peternakan unggas hendaknya dilakukan pada suhu yang moderat yaitu sekitar
18,3 – 32,3 oC, (Beard et al. 1987).
Stres dapat digambarkan sebagai suatu respon dari lingkungan luar yang diterima oleh
kelompok ayam untuk adaptasi pada situasi yang abnormal atau baru. Proses adaptasi ini
meyebabkan pelepasan hormon dan memerlukan penggantian cadangan tubuh termasuk energi
dan protein yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan dan dalam
waktu yang lama unggas menjadi kelelahan dan lemah, sering menderita kelaparan dan
terserang penyakit infeksi.
Secara genetik ayam ras pedaging saat ini mempunyai pertumbuhan yang cepat,
konversi pakan lebih baik, dan menghasilkan bobot badan yang tinggi. Oleh karena itu perlu
mengusahakan manajemen dan nutrisi yang baik karena ayam broiler tidak toleran terhadap
masalah manajemen dan penyakit.
Unggas yang mengalami stres, memerlukan energi dan nutrisi agar tetap hidup untuk
pertumbuhan, imunitas, pertumbuhan bulu, dan reproduksinya. Selama periode pertumbuhan,
unggas yang mengalami stres tidak mengalami pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan
menjadi menurun.
Pada tahap awal, stres merangsang syaraf postganglionik dan jaringan medula dari
kelenjar adrenal yang melepaskan catecholamin termasuk adrenalin dan noradrenalin. Dengan
adanya catecholamin ini, unggas menyiapkan diri untuk melepaskan glukosa dengan cepat. Pada
tahap adaptasi ini rangsangan dari susunan pusat syarap otak (hypothalamus) memerintahkan
cortex adrenal untuk melepaskan hormon glucocorticoid yang dikenal sebagai corticosterone.
Hormon ini bertanggung jawab untuk pembentukan glukosa dari cadangan karbohidrat, lemak
dan protein. Pada akhirnya jika unggas tidak bisa mengendalikan stres dan ketersediaan
cadangan energi tidak mencukupi, maka akan mengalami fase kelelahan, gangguan
keseimbangan dan kematian.
Stres menyebabkan respon antibodi dari vaksinasi menurun dan meningkatkan kepekaan
terhadap berbagai penyakit (Gross, 1985) Stres juga dapat menyebabkan perubahan jumlah
leucocytes (heterophil/lymphocyte rations), dalam jangka pendek meningkatkan resistensi
terhadap infeksi Escherichia coli (Gross, 1992). Stres dalam jangka waktu lama dapat
menurunkan feed intake, menurunkan jumlah lymphocyte dan atrophy organ lymphoid (Latshaw,
1990).
Pengaruh stress pada unggas adalah :
1. Meningkatkan level hormon corticosterone, insulin atau glucagon
2. Meningkatkan kecepatan metabolisme dan pengurasan energi
3. Meningkatkan pemakaian glukosa sebagai sumber energi.
4. Peningkatan pembebasan asam lemak dalam plasma
5. Hypoglycemia (peningkatan pemanfaatan glukosa)
6. Menurunkan pertumbuhan dan meningkatkan degradasi otot
7. Melepaskan cytokines fase akut (monokynes dan lymphokynes)
8. Pertumbuhan tulang dan tulang rawan menjadi lemah
9. Redistribusi trace mineral menjadi jelek
10. Sintesis protein terhambat
11. Menurunkan feed intake (anorexia)
12. Meningkatkan temperatur tubuh
13. Immunosuppression.
Yang bertindak sebagai pemicu stres diantaranya adalah :
1. Pembatasan pakan (feed restriction)
2. Temperatur lingkungan yang tinggi dan rendah
3. Ketakutan dan frustasi
4. Suara gaduh
5. Transportasi
6. Sebab perbedaan respon leukosit
Beberapa studi menunjukkan bahwa temperatur lingkungan dapat mempengaruhi respon
kekebalan unggas (Henken et al. 1982) Mekanisme mengenai temperatur lingkungan dapat
bertindak sebagai penekan kekebalan tidak diketahui sepenuhnya. Hal ini dapat dijelaskan
dengan pertimbangan bahwa peningkatan aktifitas kelenjar adrenal berkaitan dengan
peningkatatan level serum corticosteroid penyebab stres, yang menekan faktor proliferasi sel
atau interleukin II (Siegel et al. 1984). Intensitas dan durasi stres yang diinduksi oleh temperatur
akan merusak sistem kekebalan unggas.
Thaxton et al. (1968), temperatur lingkungan yang tinggi (44.4-47.8oC) mempengaruhi
perkembangan respon imun spesifik unggas, menekan sirkulasi sel darah putih (Nathan et al.
1976) dan meningkatkan rasio heterophil/lymphocyte (Mogement and Youbicier-Simo, 1998)
serta menurunkan produksi antibodi unggas muda (Zulkifi et al. 2000). Konsentrasi
corticosteron dalam darah digunakan untuk mengukur stres dan aktifitas fisiologis unggas.
Ketika corticosteron ditambahkan pada pakan dalam suatu percobaan ayam, sejumlah besar
lymphocyte darah menurun dan sejumlah besar heterophil meningkat (Gross dan Siegel, 1983).
Bagaimanapun menentukan level corticosteroid atau rasio heterophil/lymphocyte tidak
dapat selalu diterima sebagai suatu pengukuran yang akurat terhadap stres unggas. Metode yang
lebih dapat dipercaya untuk pengkuran stres adalah sistem immune yang ditentukan oleh jumlah
dan proporsi leukosit, perbedaan fungsi immunological dan ukuran organ lymphoid.
Corticosteroid pada unggas saat stres dapat menyebabkan penurunan bobot badan dan
atrophy dari organ limpa, thymus dan bursa fabrisius. (Gross dan Siegel, 1981); menurunkan
respon antibodi (Gross et al. 1979), meningkatkan kepekaan terhadap coccidiosis dan produksi
oocyst yang lebih tinggi (Long dan Ross, 1970); menurunkan level lymphokines (molekul biologi
aktif yang dihasilkan oleh sel T-lymphocytes), Interferon (protein yang dikeluarkan oleh sel
terinfeksi untuk menghambat replikasi virus), dan menurunkan jumlah sel T-lymphocytes
(thymus, lymphocytes) dan natural killer sel (Isobe dan Lillehaj, 1992). Produksi protein selama
heat stress menurunkan aktifitas phagocytes seperti produksi dari sebuah faktor tumoricidal oleh
chicken macrophages.
Hangalapura (2006), menerangkan bahwa panas yang ekstrim atau dingin akan
mempengaruhi performans unggas dengan mengurangi pertambahan bobot badan dan
menurunkan produksi telur, juga meningkatkan kematian dan peka terhadap penyakit. Pengaruh
stres jenis ini selama periode brooding akan mempengaruhi imunitas dan performans kelompok
unggas. Stres karena faktor iklim dapat juga mempengaruhi B-cell immunity (produksi antibodi)
dan T-cell immunity. Resistensi penyakit seperti salmonellosis dan colibacillosis pada unggas
serta mycoplasmosis pada kalkun adalah menurun oleh stres dingin. Pada percobaan telah
menunjukkan bahwa tingkat kematian pada ayam yang diinfeksi dengan infectious bronchitis
dan avian nephritis virus akan meningkat oleh cold stress dan kekurangan energi dan protien
dalam jumlah banyak.
Dibawah kondisi normal, mikroflora usus dapat mencegah translokasi bakteri patogenik
pada aliran darah dan hati dengan syarat mucosa usus tetap baik. Dan ketika pelindung ini
dirusak oleh stres, terjadi invasi ke aliran darah (bakterimia), rangsangan sistem immun dan
kematian terjadi pada ayam yang terinfeksi oleh Escherichia coli
Pengaruh Heat stress pada flock unggas akan menurunkan feed intake, untuk
meminimalkan sejumlah besar panas dari proses pencernaan dan energi metabolis. Unggas akan
mnurunkan konsumsi pakan 10-20% pada musim panas dibandingkan musim penghujan.
Hewan yang terpapar penyakit infeksi pada umumnya akan menjadi stres, apalagi
didukung dengan kurangnya biosekuriti dan sanitasi di lingkungan kandang.
Unggas yang terekspos oleh temperatur yang tinggi akan menjadi stres. Stres akan
menurunkan humoral dan cellmediated immunity, serta resistensi terhadap penyakit infeksi.
(Dabbert et al. 1997)
2. Heat Production (HP) dan Heat Lost (HL)
Unggas termasuk hewan berdarah panas. Burung/unggas seperti juga mamalia adalah
tergolong homeothermis yaitu dapat mengatur suhu tubuhnya relatif konstan terhadap perubahan
kondisi lingkungan agar dapat melaksanakan fungsi fisiologis secara normal. Temperatur organ
vital seperti sistem syaraf pusat, hati, jantung, viscera, dan lain-lain cenderung konstan dan
dapat dikontrol dengan baik. Terdapat fenomena, jumlah panas yang dihasilkan oleh aktivitas
otot dan metabolisme jaringan/”heat prouction”(HP) sebanding dengan jumlah panas yang
hilang/”heat loss” (HL), maka bilamana HP melebihi HL temperatur tubuh akan naik, sedangkan
bila melebihi HP, suhu tubuh akan turun. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi
keseimbangan panas (”heat balance”) adalah temperatur. Secara teoritis dikenal adanya ”zona
thermoneutral” yaitu suatu kisaran temperatur lingkungan dimana pada kisaran ini tidak ada
/sedikit sekali terjadi perubahan pada HP, sehingga cenderung HP = HL. Berdasarkan penelitian
”zone thermoneutral” bervariasi tergantung pada faktor umur, status gizi pakan, status fisiologis,
ayam dan lainnya. Kalau usaha menaikkan HP tidak mampu melampaui HL, maka temperatur
tubuh akan naik, peristiwa ini disebut ”hyperthermia”.
Sumber utama untuk meningkatkan HP adalah pakan, oleh karena itu aya yang dipelihara
pada lingkungan yang bertemperatur rendah , cenderung lebih banyak makan dibanding yang
bertemperatur tinggi. Reaksi ayam kalaui dipelihara dibawah ”lower critical point” akan
berusaha meningatkan HP dengan cara menggigil (shievering), kalau usaha untuk menaikkan
HP tidak mampu melampaui HL, maka temperatur tubuh akan turun.
Ada dua jeni panas yang hilang karena pengaruh lingkungan yaitu :
1. Sensible heat loss yaitu panas yang hilag dari tubuh karena :
a) Radiasi : panas hilang karena temperatur permukaan tubuh lebi tinggi dari temperatur
lingkungan.
b) Konduksi : perpindahan panassecara langsung dari permukaan tubuh ke uara sekelilingnya
melalui suatu konduktor
c) Konveksi : panas yang keluar dari permukaan tubuh karena bersinggungan dengan udara
lingkungan yang bergerak.
2. Insensible heat loss / evaporative heat loss yaitu panas tubuh yang dikeluarkan selama peristiwa
panting, karena ayam tidak mempunyai kelenjar keringat.
Faktor penyebab cekaman pada unggas terbagi menjadi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal antara lain meliputi program pencahayaan, kelaparan, kehausan, kandang kotor
dan buruknya ventilasi, kandang terlampau padat, pindah kandang, ventilasi, pergantian pakan,
tindakan potong paruh yang kasar dan juga perubahan cuaca yang mendadak. Sedangkan faktor
internal meliputi sistim syaraf, sistem indera dan sistem hormonal.
Pada prinsipnya, berbagai faktor eksternal tersebut merupakan tekanan yang
menyebabkan terlepasnya radikal bebas dalam tubuh, sehingga keseimbangan elektrolit
terganggu. Radikal bebas adalah molekul atau senyawa yang dapat berdiri sendiri, mempunyai
elektron tidak berpasangan dan berat molekulnya rendah. Berat molekul rendah menyebabkan
radikal bebas sangat sensitif. Hal ini memungkinkan unsur radika bebas menyusup ke tempat-
tempat yang ikatan elektronnya kuat. Sebagian elektron kuat berpotensi mengganggu, tetapi
sebagian yang lain penting untuk reaksi metabolisme sel, fungsi fagositik sel dan transduksi
sinyal senyawa pengoksidasi yang bersifat reaktif, dapat merusak sel-sel tubuh. Lepasnya
radikal bebas pada tubuh unggas, terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan hormonal dalam
tubuh sehingga fungsi organ terganggu. Akhir dari proses tersebut daya tahan tubuh menurun,
pembentukan antibodi terganggu dan unggas lebih peka terhadap serangan aneka penyakit.
Cekaman melibatkan pertukaran panas antara unggas dengan lingkungan, yang dalam
prosesnya terdapat mekanisme produksi panas, penyesuaian sistem cairan tubuh, hormon,
sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan pada keadaan tercekam dan kebutuhan pakan ternak
sedang tercekam.
Unggas yang tercekam ditandai dengan beberapa ketidaknormalan kondisi fisik maupun
tingkah laku seperti pial kebiruan, telur benjol, kulit telur tipis, lesu, gelisah, nafsu makan
berkurang, terengah-engah (panting), bersuara keras terus-menerus, panas tubuh naik/turun,
minum terlampau banya, saling mematuk dan berkelahi.
Perubahan iklim yang ekstrim dapat menyebabkan fluktuasi yang luas pada penampilan
unggas. Sebagai ternak homeothermis unggas berusaha mempertahankan suhu tubuh sekitar
41.5oC sebagai suhu thermonetral. Suhu tubuh unggas biasanya lebih tinggi daripada suhu
sekitarnya, sehingga panas akan terus menerus hilang melalui empat macam mekanisme yaitu :
konveksi, konduksi, radiasi dan evaporasi. Selanjutnya konveksi, konduksi dan radiasi diartikan
kehilangan panas yang wajar, sedangkan evaporasi diartikan kehilangan panas yang tidak wajar.
Kemampuan mengubah kehilangan panas yang dimiliki unggas untuk mengontrol suhu
tubuhnya. Unggas yang kepanasan akan mengalirkan aliran darah ke jengger dan pial di kepala
dan juga meningkatkan aliran darah ke kaki. Unggas akan membuat perubahan posisi seperti
istirahat dengan sayap mengembang dan kaki terbentang menjauhi badan (stretching) untuk
meningkatkan konveksi hilangnya panas. Unggas dalam sebuah kelompok akan berpencar untuk
berusaha meningkatkan aliran udara di sekitar mereka dan untuk mengurangi pertambahan panas
konduksi dan panas radiasi dari unggas yang lain.
Unggas yang kedinginan akan mengurangi aliran darah ke kaki dengan cara berkerumun
bersama, menghindari aliran udara dan berkumpul di sumber panas radiatif misalnya lampu
brooder. Unggas tidak mempunyai kelenjar keringat dan satu-satunya cara adalah penguapan air
melalui paru-paru dengan cara panting (terengah-engah).
Panting berkepanjangan dapat mengakibatkan dehidrasi, keseimbangan elektrolit asam
dan basa dalam tubuh terganggu serta terganggunya proses metabolisme terutama pada
pencernaan nutrisi.
3. Standar Fisiologis
Aspek lain kondisi nyaman bagi unggas dapat ditunjukkan dari standar fisiologis
normalnya yaitu; suhu tubuh ayam dewasa sekitar 41,49oC; angka respirasi 20-30 kali/menit;
jumlah darah sekitar 7% berat badan; tekanan darah 150-190 mmHg, jumlah leukosit disominasi
oleh limfosit berjumlah 40.000-80.000/mm3. Denyut jantung ayam dewasa 250-350/menit,
sedangkan day old chick 300-560/menit. Kadar glukosa plasma day old chick 235 mg/100 ml,
sedangkan ayam berumur 2-5 bulan 242/100 ml. Jumlah eritrosit ayam betina 2,72 juta – 3 juta /
mm3, sedangkan ayam jantan 3,24 juta – 3,8 juta/mm3
4. Problem Perunggasan di Daerah Tropis
Kondisi daerah tropis termasuk Indonesia dikenal memiliki temperatur dan kelembaban
tinggi (lebih 24oC dan 40%), yang kondisi tersebut sering menimbulkan cekaman pada unggas
yang pada akhirnya berakibat turunnya produksi. Problem utama daerah tropis yang sering
dijumpai adalah tingginya angka mortalitas (diatas 10%). Disamping hal tersebut juga sulitnya
menghasilkan performans (bobot badan, berat daging, produksi telur, konversi ransum) yang
sesuai dengan standart potensi genetik. North (1984), menyatakan bahwa setiap kenaikan
temperatur kandang 3oC akan secara nyata mempengaruhi performans unggas yang dipelihara.
Sehubungan dengan tingginya temperatur dan kelembaban di daerah tropis perlu
diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain : umur unggas (bobot badan),
panjang waktu terpaan panas, suhu air minum, sirkulasi udara, besarnya radiasi maupun
kepadatan unggas per m2. Secara fisiologis sebenarnya unggas senantiasa berupaya untuk
mempertahankan suhu tubuhnya melalui : evaporasi (pernafasan dan panting), konduksi
(mengurangi aktifitas, mencari tempat dingin), konveksi (menjauhkan sayap dari tubuh), radiasi
(lewat pembuluh darah perifer), minum lebih banyak, ekskresi (kadang-kadang diare). Lebih
lanjut efek suhu tinggi akan semakin besar apabila diikuti dengan kelembaban yang tinggi.
Kombinasi suhu dan kelembaban serta kombinasi faktor-faktor tersebut mengakibatkan
kenaikan suhu tubuh unggas. Kondisi ini merupakan cekaman. Pada suhu lingungan 37oC dan
kelembaban 55%, maka suhu tubuh unggas meningkat menjadi 45oC, sedangkan pada suhu
ambien yang sama dengan kelembaban 75% maka suhu tubuh ungas menjadi 47oC dan dapat
menyebabkan kematian. Kasus kematian ayam pada industri perunggasan di Indonesia yang
berhubungan dengan suhu dan kelembaban adalah heat stress syndrome. Heat stress syndrome
lazim terjadi pada waktu dini hari saat udara dingin ataupun siang hari saat terik matahari,
bahkan sering dijumpai kematian ayam mendadak. Hal ini dapat dimegerti karena pada udara
dingin unggas akan menguras energi dalam rangka memprtahankan suhu tubuhnya, semetara
pada udara panas proses metabolisme pakan akan melepaskan panas yang harus dilepaskan
melalui proses evaporasi (penguapan melalui udara pernafasan) bahkan mengalami panting(
megap-megap).
Cekaman akan menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh yang
rendah akan sangat mudah terinfeksi virus. Virus yang ada pada saluran pencernaan ini hanya
menyebabkan hipoglisemia ringan dan immunosupresi. Kondisi ini semakin parah pada saat
unggas lepas indukan atau divaksin IBD. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya gejala tremor,
yang ada kalanya diikuti dengan kematian tiba-tiba (James dan Thomas, 1996).
5. Respon Kekebalan Unggas
Sharna (1991) menerangkan bahwa, sistem kekebalan pada unggas (avian immune
system) pada prinsipnya adalah sama dengan sistem kekebalan pada mammalia dalam hubungan
selular diantara macrophage dan lymphocytes dan hubungan antara sel-B dan sel-T. T-
lymphocytes adalah komponen kekebalan seluler sedangkan B-lymphocytes adalah komponen
kekebalan humoral (Toivanen & Toivanen 1987)
Seperti virus lainnya, Newcastle Disease Virus (NDV) dapat menginduksi cell-mediated
immunity, humoral immunity, local immunity dan passive immunity. Penyakit immunosupressive
dapat mempengaruhi respon kekebalan, seperti pengaruh infeksi NDV, alamiah lainnya atau
oleh pengaruh vaksin. (Alexander 1991; Sharna 1991)
Passive Immunity (kekebalan pasif) adalah transfer maternal antibody dari induk ke
anak-anak keturunannya dan yang terpenting adalah untuk memberi proteksi awal pada anak-
anaknya (Alexander 1991). Passive immunity bisa mengganggu respon kekebalan dari vaksinasi
ketika digunakan vaksin hidup (live vaccines). Passive immunity menyebabkan timbulnya
immunoglobulin tipe G (IgG) tetapi tidak Immunoglobullin tipe A (IgA) atau Immunoglobullin
tipe M (IgM). (Darbyshire 1987; Alexander 1991). Induk Ayam dengan antibodi NDV
diturunkan pada turunannya melalui kuning telur dan antibodi tersebut akan bertahan sampai 4,5
hari setelah penetasan, dengan uji HI. (Alexander 1991).
Cell Mediated Immunity (CMI) adalah sistem kekebalan (antibodi yang independent),
dibawah kontrol thymus (Schultz 1982; Toivane &Toivane 1987). CMI memberikan respon
kekebalan awal saat infeksi, dan dapat dideteksi lebih awal pada 2-3 hari setelah vaksinasi
dengan live vaccines (Ghuman & Bankowski 1975; Timms & Alexander 1977; Agraval &
Reynolds 1991; Jayawardane & Spradbrow 1955a).
Pada kasus infeksi NDV, sel-sel infeksi dapat dihancurkan oleh kepekaan lymphocytes
ketika mereka mengenal antigen-antigen virus pada permukaan reseptor sel dimana replikasi
NDV terjadi. Antigen NDV dapat dilarutkan oleh induksi dari kepekaan lymphocyte yang
melepaskan lymphokin sehingga dapat mempermudah membentuk respon kekebalan lokal (local
immune response) dan respon kekebalan humoral (humoral immune response), (Timms &
Alexander 1977; Russel 1993; Schat 1991; Slauson & Cooper 1984).
Local Immunity (kekebalan lokal) adalah bagian integral dari total immunity, dimana
CMI dan factor-faktor humoral lainnya adalah adalah proteksi dini. Lokal immunity tidak hanya
menyebabkan IgA (Timms & Alexander 1977; Russel 1993; Alexander 1991; Baba, Kawata,
Masumoto & Kajikawa 1990; Russell & Kock 1993) tetapi juga mensintesis IgG dan IgM dalam
glandula Harderian ( Russel 1993; Russell & Kock 1993). IgA adalah bersatu dengan sekresi
permukaan mukosa. IgA bersatu dengan mukosa tractus respiratorius bagian atas (Aitaken &
Parry 1976), tractus intestinalis (Zigterman, Van de Van, Van Geffen, Loeffen, Panhujizen,
Rijke & Vermeulen 1993) dan glandula Harderian (Russel & Kock 1993)
Mekanisme induksi kekebalan lokal adalah tidak diketahui (Alexander 1991).
Bagaimanapun, fakta yang kuat menunjukkan bahwa mekanisme kekebalan lokal ini berkorelasi
lebih baik dengan respon kekebalan humoral terhadap pertahanan pada infeksi.
Pada infeksi NDV, kekebalan lokal diinduksi secara alami atau dengan vaksin NDV aktif
yang tergabung dalam strain lentogenic atau apathogenic (Russell 1993; Russell & Koch 1993;
Jayawrdane & Spradbrow 1995b)
Humoral Immunity (Kekebalan Humoral) merupakan pertahanan menengah (resistance
mediated) oleh sistem kekebalan seluler, yaitu (B-lymphocyte) dibawah kontrol bursa fabrisius.
B-lymphocyte diaktifkan menjadi sel plasma (plasma cells) dan disekresikan dalam darah dan
derivatnya dengan menghasilkan immunoglobulin IgM dan IgG (Tizzard 1982; Spradbrow &
Samuel 1991). IgM dan IgG tersusun dalam proses perkembangan respon kekebalan humoral
(Daryshire 1987)
Metoda untuk mengukur dan deteksi respon kekebalan humoral (Tizzard 1982; Bead
1989; Alexander 1991) yaitu virus neutralization test (VN), plaque neutralization, single radial
immunodiffusion, single radial hemolysis, agar gel precipitation dan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA). Respon VN adalah sama dengan respon HI, dan digunakan
sebagai uji standart untuk mengukur respon kekebalan humoral yang diinduksi oleh strain NDV,
(Snyder et al. 1983; Miers et al. 1983; Adair et al. 1989; Alexander 1991). Bagaimanapun
komersial kits ELISA-NDV terus dikebangkan dan membuat uji ini lebih popular daripada uji
konvensional yang lain untuk monitoring banyak penyakit unggas termasuk NDV.
Immunosupression. Tizzard (1982), Alexander (1991) dan Sharna (1991) menerangkan
bahwa beberapa agent (penyakit) seperti infectious bursal disease virus (IBD), chicken anemia
virus (CAV) dan lymphoid leucosis virus, termasuk immunosupession. Mekanisme
immunosupression pada unggas tidak dimengerti dengan baik. Immunosuppression
menyebabkan kekacauan kontrol mekanisme immune system (Biggs et al. 1988, Alexander
1991, dan Sharna 1991). Immunodeficiency dapat menerangkan lebih jelas terhadap wabah
penyakit dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh strains NDV dan hancurnya respon
vaksinasi dengan vaksin NDV (Alexander 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Beard, C.W., Mitchell, B.W. 1987. Infuence of environmental temperature on the serologic responses of broiler chickens to inactivated and viable Newcastle Disease vaccine. American Association of Avian Pathologists.Inc. Avian Disease vol.31, No.2.
Dabbert,C.B., Lochmiller, R.L., Teeter, G. 1997. Effects of acute thermal stress on the immune system of the northern bobwhite. The Auk 114(1):103-109
Darbyshire, J.H. 1987. Immunity and resistence in respiratory tract disease in Avian Immunology: basis and practice volume II edited by Toivanen,A. & Toivanen,P. Florida. USA. CRC Press: 129-141.
Gross, W.B. Siegel, P.B. 1981. Long-therm exposure of chickens to three levels of social stress. Avian Dis. 25:312-325.
Gross, W.B., 1985. Effect of stress on poultry. Poultry Digest 45 (2):58.
Gross, W.B., Siegel,H.S. 1983. Evaluation of the heterophil/lymphocyte ratio as a measure of stress in chicken. Avian Diseases vol, 27 No.4.
Gross, W.B., Siegel, P.B., Dubois, R.T. 1979. Some effect of feeding corticosterone to chickens Poultry Sci. 59:516-522.
Henken, A. M., Groote Schaarsberg, A.M.J., Nieuwland, M.G.B. 1982. The effect of environmental temperature on immne response and metabolism of the young chicken. Poult. Sci. 62: 51-58.
Hangalapura, B.N. 2006. Cold stress and immunity: Do chickens adapt to cold by trading-off immunity for thermoregulation. Wageningen Institut of Animal Science. Netherland. Thesis-PhD
Isobe, T., Lillehej, H.S.1992. Effect of corticosteroid on lymphocyte subpopulations and lymphokine secretion in chicken. Avian Dis. 36:590-596.
Latshaw, J.D.,1990. Mechanisme of immunosuppresion. Page 25 in: Proc. 41st. Nort Central Dis. Conf and Poultry immunosuppressive Dis Symposium, Columbus, OH.
Mogement, L.Y., Youicier-Simo, B.J. 1998. Determinaton of reliable biochemical parameter of heat stress, and application to the evaluation of medications : example of erythromycin E. pages 538-541 in Proceeding of 10th Eoropean Poultry Conference, Jerusalem, Israel.
Nathan, D.B., Heller, E.D., Perek,M. 1976. The effect of short heat stress upon leucocyte count, plasma corticosterone level, plasma and leucocyte ascorbic acid content. Br. Poult. Sci. 17:481-485
Russell,P.H. 1993. Newcastle disease virus: virus replication in the Harderian gland stimulates lachrymal IgA, the yolk sac provides early lachrymal IgG. Veterinary Immunology and Immunopathology, 37:151-163.
Russell, P.H. & Koch,G. 1993. Local antibody forming cells responses to the Hitchner B1 and Ulster Strains of Newcastle disease virus. Veteriary Immunology and Immunopathology, 37:165-180.
Siegel, H.S., Latimer, J.W.1984. Interaction of high temperature and Salmonella pullorum antigen concentration on serum agglutinin and corticosteroid responses in White Rock Chicken. Poult. Sci. 63:2483-2491.
Sharna, J.M. 1991. Overview of the avian immune system. Veterinary Immunology and Immunopathologi, 30:13-17.
Thaxton, P., Sadler, C.R.,Glick,B., 1968. Immune response of chicken following het exposure or injection with ACTH. Poult. Sci. 47:264-266.
Toivanen, A. & Toivanen, P. (Eds). 1987. Stem cells of the lymphoid system in Avian Immunology: Basis and Practice edited by Toivanen, A, & Toivanen,P. Florida. USA.CRC:23-38
Zulkifi, I., Norma, M.T., Israf, D.A., Omar, A.R. 2000. The effect o early feed restriction on subsequent response to high enfironmental temperatures in female broiler chickens. Poult.Sci. 79:1401-1407.
BAB IPENDAHULUANFaktor lingkungan yang berpengaruh langsung pada kehidupan ternak adalah iklim. Iklim merupakan faktor yang menentukan ciri khas dari seekor ternak. Ternak yang hidup di daerah yang beriklim tropis berbeda dengan ternak yang hidup di daerah subtropis. Namun hal tersebut dapat diatasi misalnya di beberapa negara tropis, Air Condition (AC) digunakan dalam beternak untuk mengendalikan atau menyesuaikan suhu di lingkungan sekitar ternak yang berasal dari daerah subtropis, sehingga ternak tersebut dapat berproduksi dengan normal.Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk membahas lebih lanjut tentang iklim yang merupakan hal terpenting dalam penentuan kerja status fisiologi dari ternak terutama pada produktivitasnya. Manfaat dari penyusunan makalah ini adalah pembaca dapat memahami pengaruh iklim dan unsur-unsur lain seperti suhu dan kelembaban yang dapat mempengaruhi fisiologis ternak.
BAB IIPEMBAHASAN2.1. IklimIklim merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh langsung terhadap ternak juga berpengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap faktor lingkungan yang lain. Selain itu berbeda dengan faktor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia. Untuk memperoleh produktivitas ternak yang efisien, manusia harus “menyesuaikan“ dengan iklim setempat.Iklim yang cocok untuk daerah peternakan adalah pada klimat semi-arid. Daerah dengan klimat ini ditandai dengan kondisi musim yang ekstrim, dengan curah hujan rendah secara relatif dan musim kering yang panjang. Fluktuasi temperatur diavual dan musim sangat besar, lengas udara sepanjang tahun kebanyakan sangat rendah dan terdapat intensitas radiasi solar yang tinggi karena atmosfir yang kering dan langit yang cerah. Meskipun curah hujan keseluruhan berkisar antara 254 sampai 508 mm, hujan dapat turun lebih lebatt meskipun kejadian itu sangat jarang.Iklim yang ada diberbagai daerah tidaklah sama, melainkan bervariasi tergantung dari faktor-faktor yang tak dapat dikendalikan (tetap) seperti altitude (letak daerah dari ekuator, distribusi daratan dan air, tanah dan topografinya) dan latitude (ketinggian tempat) dan faktor-faktor tidak tetap (variabel) seperti aliran air laut, angin, curah hujan, drainase dan vegetasi.
2.2. Temperatur LingkunganSetiap hewan mempunyai kisaran temperatur lingkungan yang paling sesuai yang disebut Comfort Zone. Temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10°C-27°C (50°F-80°F). Sedangkan keadaan lingkungan yang ideal untuk ternak di daerah sub tropis (sapi perah) adalah pada temperatur antara 30°F-60°F dan dengan kelembaban rendah. Selain itu, sapi FH maupun PFH memerlukan persyaratan iklim dengan ketinggian tempat ± 1000 m dari permukaan laut, suhu berkisar antara 15°- 21°C dan kelembaban udaranya diatas 55 persen. Kenaikan temperatur udara di atas 60°F relatif mempunyai sedikit efek terhadap produksi.
2.3. Kelembaban LingkunganIklim di indonesia dalah Super Humid atau panas basah yaitu klimat yang ditandai dengan panas yang konstan, hujan dan kelembaban yang terus menerus. Temperatur udara berkisar antara
21.11°C-37.77°C dengan kelembaban relatir 55-100 persen. Suhu dan kelembaban udara yang tinggi akan menyebabkan stress pada ternak sehingga suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung meningkat, serta konsumsi pakan menurun, akhirnya menyebabkan produktivitas ternak rendah. Selain itu berbeda dengan factor lingkungan yang lain seperti pakan dan kesehatan, maka iklim tidak dapat diatur atau dikuasai sepenuhnya oleh manusia.
2.4. Daya Tahan PanasPenerapan ternak di daerah yang iklimnya sesuai akan menunjang dihasilkannya produksi secara optimal. Salah satu unsur penentu iklim adalah suhu lingkungan. Bagi sapi potong yang mempunyai suhu tubuh optimum 38.33°C, suhu lingkungan 25°C dapat menyebabkan peningkatan rata pernafasan, suhu rektal dan pengeluaran keringat, yang semuanya merupakan manifestasi tubuh untuk mempertahankan diri dari cekaman panas. Semakin banyak jumlah keringat yang dikeluarkan, hewan makin tidak tahan terhadap cekaman panas.
2.5. Menghitung RH-Tbk-TbbKelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di dalam udara. Total massa uap air per satuan volume udara disebut sebagai kelembaban absolut (absolute humidity, umumnya dinyatakan dalam satuan kg/m3). Perbandingan antara massa uap air dengan massa udara lembab dalam satuan volume udara tertentu disebut sebagai kelembaban spesifik (spesifik humidity, umumnya dinyatakan dalam satuan g/kg). Massa udara lembab adalah tital massa dari seluruh gas-gas atmosfer yang terkandung, termasuk uap air, jika massa uap air tidak diikutkan, maka disebut sebagai massa udara kering (dry air). Data klimatologi untuk kelembaban udara yang umum dilaporkan adalah kelembaban relatif (relative humidity, disingkat RH). Kelembaban relatif adalah perbandingan antara tekanan uap air aktual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi jenuh. Umumnya dinyatakan dalam persen.RH = [PA/Pg] x 100%Di mana: PA = tekanan uap air aktualPg = tekanan uap air pada kondisi jenuh
2.6. Fisiologis TernakFisiologis ternak meliputi suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung. Suhu tubuh hewan homeotermi merupakan hasil keseimbangan dari panas yang diterima dan dikeluarkan oleh tubuh. Dalam keadaan normal suhu tubuh ternak sejenis dapat bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan dan jumlah air yang diminum.Suhu normal adalah panas tubuh dalam zone thermoneutral pada aktivitas tubuh terendah. Variasi normal suhu tubuh akan berkurang bila mekanisme thermoregulasi telah bekerja sempurna dan hewan telah dewasa. Salah satu cara untuk memperoleh gambaran suhu tubuh adalah dengan melihat suhu rectal dengan pertimbangan bahwa rectal merupakan tempat pengukuran terbaik dan dapat mewakili suhu tubuh secara keseluruhan sehingga dapat disebut sebagai suhu tubuh.Respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai suatu rangkaian kegiatan fisik dan kimis dalam tubuh organisme dalam lingkungan sekitarnya. Oksigen diambil dari udara sebagai bahan yang dibutuhkan jaringan tubuh dalam proses metabolisme. Frekuensi respirasi bervariasi tergantung antara lain dari besar badan, umur, aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Meningkatnya
frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan. Kelembaban udara yang tinggi disertai suhu udara yang tinggi menyebabkan meningkatnya frekuensi respirasi.Frekuensi denyut nadi dapat dideteksi melalui denyut jantung yang dirambatakan pada dinding rongga dada atau pada pembuluh nadinya. Frekuensi denyut nadi bervariasi tergantung dari jenis hewan, umur, kesehatan dan suhu lingkungan. Disebutkan pula bahwa hewan muda mempunyai denyut nadi yang lebih frekuen daripada hewan tua. Pada suhu lingkungan tinggi, denyut nadi meningkat.Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk mensuplai O2 dan nutrient melalui peningkatan aliran darah dengan jalan peningkatan denyut nadi. Bila terjadi cekaman panas akibat temperatur lingkungan yang tinggi maka frekuensi pulsus ternak akan meningkat, hal ini berhubungan dengan peningkatan frekuensi respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga memepercepat pemompaan darah ke permukaan tubuh dan selanjutnya akan terjadi pelepasan panas tubuh. Frekuensi Pulsus sapi dalam keadaan normal adalah 54-84 kali per menit atau 40-60 kali per menit dan sapi muda 80-90 kali per menit.
BAB IIIKESIMPULANKesimpulan dari materi yang dibahas diatas adalah: (1)Lingkungan berpengaruh besar terhadap sifat genetik ternak; (2) Penerapan ternak di daerah yang iklimnya sesuai akan menunjang dihasilkannya produksi secara optimal; (3) Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi dapat menyebabkan stress terhadap ternak sehingga fisiologis ternak tersebut meningkat dan konsumsi pakan menurun, sehingga produktivitasnya menurun; (4) Suhu tubuh dengan suhu rektal dan suhu kulit saling berpengaruh karena suhu tubuh di dapat dari kedua suhu tersebut; (5) Frekuensi pernapasan berpengaruh kepada lingkungan, apabila suhu dan kelembaban naik maka frekuensi respirasi dan denyut jantung akan meningkat; (6) Daya tahan terhadap panas dapat dihitung dengan melihat jumlah keringat yang diekskresikan oleh hewan atau ternak.