Download - Pendekatan-Pendekatan Untuk Memahami Konflik
Tugas Summary
KONSEP DAN ANALISIS: PENDEKATAN-PENDEKATAN UNTUK MEMAHAMI
KONFLIK
Tugas Kelompok 1
Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Resolusi Konflik
Oleh:
Indah Chartika Sari
Rahmi Yulia
Purwasandi
Iskandar
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau
2012
KONSEP DAN ANALISIS: PENDEKATAN-PENDEKATAN UNTUK MEMAHAMI
KONFLIK
Tulisan ini merupakan summary dari tulisan Ho-Won Jeong yang berjudul
Understanding Conflict and Conflict Analysis yang diterbitkan pada tahun 2008 oleh SAGE
Publications. Tema tulisan ini adalah konsep dan analisis yang meliputi sifat konflik,
pendefinisian konflik, dinamika sosio-psikologis, situasi konflik, intractable conflict, konflik
konstruktif versus konflik destruktif, akar penyebab konflik dan level analisis. Konflik
merupakan hal yang tidak akan pernah berakhir, oleh karena itu penting untuk memahami cara
untuk menyelesaikan konflik tersebut. Salah satu strategi untuk menangani dan memungkinkan
untuk penyelesaian konflik dapat melalui analisa mendalam tentang tingkah laku manusia serta
lingkungan disekitarnya.
Menurut Ho-Won Jeong, konflik skala besar dapat muncul dari tindakan kolektif manusia
yang lebih sering tergesa-gesa atau dikontrol oleh struktur lingkungan. Setiap 20 hingga 40 tahun
konflik bersenjata terjadi di seluruh dunia dengan skala yang beraneka ragam dimana beberapa
diantaranya secara sukses dapat ditangani sedangkan beberapa konflik yang lain telah
mengakibatkan kehancuran seperti pembunuhan massal. Adapun beberapa konflik yang
mengakibatkan kehancuran diantaranya; konflik Kambodja yang mengakibatkan lebih dari satu
juta jiwa meninggal, konflik Rwanda yang mengakibatkan pembunuhan masyarakat sipil oleh
kelompok militan hampir satu juta jiwa, perang sipil di Sudan dan Kongo yaitu perang internal
brutal dan mengakibatkan kematian 4 juta jiwa baik melalui pertempuran langsung maupun tidak
langsung, pembersihan etnis di Bosnia-Herzegovina yaitu pembunuhan massal penduduk muslim
oleh kelompok militan Serbia. Meskipun sebagian besar konflik berakhir dengan kondisi tragis
manusia, namun beberapa konflik sukses ditransformasi melalui resolusi. Beberapa konflik
tersebut diantaranya perjuangan untuk membangun institusi-institusi baru yang memberikan
kekuasaan kepada masyarakat kulit hitam yang terjadi di Afrika Selatan, perang sipil yang terjadi
di Angola selama tiga dekade yang dapat diselesaikan melalui transisi politik pada tahun 2002,
penyelesaian perang sipil melalui negosiasi di El Salvador, Guatemala dan Mozambik pada awal
hingga pertengahan tahun 1990-an.
Pemahaman konflik memerlukan pengujian terhadap sumber-sumber ketidakpuasan dan
rasa dendam untuk dapat melakukan identifikasi tahapan-tahapan hubungan permusuhan disertai
peningkatan tindakan pihak-pihak yang terlibat dimana pada akhirnya dapat mengurangi konflik
kekerasan melalui resolusi damai yang berbeda-beda. Luasnya tindakan-tindakan kekerasan
yang tidak terkontrol mendapat perhatian yang serius, oleh karena itu diperlukan penyediaan
regulasi atau aturan-aturan serta penanganan hubungan permusuhan bahkan jika hal tersebut
memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. Terdapat beberapa metode intervensi ditiap-
tiap bentuk kekerasan yang harus disertai dengan pemahaman sifat, penyebab dan dinamika
konflik.
Sifat Konflik
Menurut Ho-Won Jeong, konflik mewakili sifat yang telah diresap oleh inter-group dan
kompetisi internasional antara kepentingan-kepentingan serta nilai-nilai yang terpisah,
khususnya dinamika kekuasaan. Pemahaman mengenai kekerasan massa dan perang harus
didasari oleh pemahaman peran-peran institusi disamping elemen psikologis dan tingkah laku
yang membawa kearah agresi. Penyebab hubungan permusuhan tidak terbatas pada kepentingan
ekonomi yang nyata atau kontrol penuh akan kekuasaan, tetapi juga diperpanjang dengan
perbedaan-perbedaan nilai dan identitas. Pertanyaan yang berlawanan muncul dari ketegangan
perseorangan antara pemimpin pemerintahan, penanganan isu-isu tentang buruh meliputi
kerjasama multinasional dan pekerja-pekerja biasa, ketidaksepakatan antar negara dalam
kebijakan luar negeri, atau perselisihan mengenai ketidakseimbangan perdagangan dan
perbedaan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan didalam World Bank atau organisasi
internasional lainnya.
Pada umumnya potensi keberadaan konflik adalah ketika terdapatnya perbedaan-
perbedaan kepentingan, nilai dan ketidakharmonisan hubungan antara satu pihak dengan pihak
lainnya. Oleh karena itu, kondisi laten konflik pada akhirnya akan diterjemahkan dalam berbagai
bentuk isu-isu kekerasan yang tampak. Menurut Boulding, konflik pada umumnya dapat
digambarkan sebagai bentuk memperjuangkan nilai-nilai dan klaim atas suatu status, kekuasaan
dan sumber daya. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk mencapai objek yang diinginkan akan
menjadi lebih intens karena tidakadanya kesepakatan hukum yang menentukan pembagian yang
adil diantara mereka. Dugaan-dugaan masyarakat dapat merubah tanggapan terhadap pergeseran
lingkungan sosial dan ekonomi. Dalam situasi konflik dinamika-dinamika aksi dan reaksi yang
tidak terelakkan dapat terjadi oleh karena itu, diperlukan usaha-usaha untuk mengkontrol tingkah
laku dan tindakan yang berpotensi merugikan dan menghancurkan.
Esensi dari sifat situasi konflik dapat dengan mudah untuk dipahami tetapi juga menjadi
sulit untuk memahami pendapat setiap orang secara serempak. Tujuan dan aktivitas menjadi
tidak sesuai ketika terdapat satu kepentingan merasa terancam oleh tindakan pihak lain. Pihak-
pihak yang berkonflik akan membuat usaha-usaha untuk mencegah pihak lain mendapat sesuatu
yang diinginkan. Selanjutnya, situasi konflik diwakili oleh ketidaksesuaian dalam pencapaian
tujuan dan usaha-usaha untuk mengkontrol pilihan pihak lain yang akan mengakibatkan
timbulnya ketidakcocokan perasaan dan tingkah laku antara pihak satu dengan pihak lain.
Hubungan konflik sering digambarkan sebagai sebuah coercive power. Menurut Winter, dalam
pemahaman umum menganggap bahwa kekuasaan dapat memberikan kemampuan untuk
memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dan juga sebagai sumber kemampuan orang-orang
untuk menggunakan kontrol penuh dalam pembuatan keputusan untuk kedudukan yang bernilai,
barang-barang yang terbatas dan pelayanan. Dalam hubungan permusuhan, proses pemaksaan
menghubungkan usaha satu pihak untuk melakukan perubahan terhadap tujuan dan tingkah laku
pihak lain. Oleh karena itu, kekuasaan menjadi elemen yang sangat penting untuk
memperjuangkan kemenangan dalam konflik.
Konteks Pendefinisian Konflik
Konsep konflik dalam arti yang luas telah menjadi bagian dan membentuk gambaran
perselisihan yang diakibatkan dari sebagian besar aspek situasi sosial. Kata ‘konflik’ telah
diterapkan pada bentuk perselisihan yang ada didalam keluarga dan tempat bekerja hingga
perselisihan yang mengakibatkan bentrok antar negara-negara. Menurut Mack dan Snyder,
sebenarnya perbedaan antara konflik dan non-konflik telah diumumkan sejak lama namun masih
tidak begitu jelas mana yang terbaik atau terburuk diantaranya. Berdasarkan pemaparan John W.
Burton, konflik diinterpretasikan kedalam konteks yang lebih serius serta menantang keberadaan
norma-norma, hubungan dan aturan-aturan dalam pembuatan keputusan. Dengan kata lain, kata
‘perselisihan’ digunakan dalam pengelolaan isu-isu serta pengawasan terhadap rasa tidak puas
yang dihubungkan melalui implementasi kebijakan-kebijakan yang spesifik. Oleh karena itu,
kemungkinan munculnya tanggapan ketidakadilan terhadap keputusan-keputusan otoritatif tanpa
pertanyaan terhadap legitimasi pembuatan kebijakan berakar dari nilai-nilai dan prosedur
pembangunan institusi.
Sumber-sumber kesalahpahaman dan kekeliruan persepsi disebabkan oleh bermacam-
macam hal seperti; kurangnya sumber informasi, kesalahan dalam pemberian informasi,
pengetahuan yang tidak mencukupi dan perbedaaan interpretasi data. Kepentingan yang saling
bertentangan, perasaan bermusuhan, nilai-nilai yang tidak dapat mendamaikan yang ditandai
dengan sikap dan tingkah laku yang berlawanan. Diluar elemen-elemen ini, sebuah konflik yang
bertipe destruktif atau merusak yang pada sisi lain berdampak pada kejahatan fisik. Secara luas
konflik dapat dibadingkan dengan sebuah bentuk kompetisi intens yang tidak dapat dihindari.
Selanjutnya kompetisi yang terjadi antara unit-unit secara keseluruhan berbasis pada bentuk
interaksi antara makhluk hidup di dunia dimana tiap-tiap pihak merasa tidak puas terhadap posisi
mereka satu sama lain. Menurut Mack dan Snyder, faktanya kompetisi tidak diidentifikasi
sebagai konflik karena tujuan dari kompetisi adalah memenangkan sesuatu yang bernilai atau
langka, bukannya menghancurkan atau menyakiti pihak lawan. Banyak bentuk-bentuk interaksi
kompetitif dalam hubungan ekonomi dan olahraga yang menjadi terlalu diatur dan melembaga
sehingga partispan tidak mempertanyakan keadilan dari aturan-aturan yang telah akan
menentukan hasilnya. Banyak jenis kompetisi yang secara otomatis dapat diselesaikan melalui
kekuatan perseorangan dalam transaksi-transaksi ekonomi dan sosial. Pembuatan prosedur-
prosedur dan aturan-aturan dapat memperjelas bentuk-bentuk legitimasi serta derajat koersif
sehingga pengaturan mengenai pembatasan izin penggunaan kekuatan dalam keadaan tertentu
dapat ditoleransi.
Kompetisi derajat kelembagaan berbeda-beda berdasarkan bagaimana aturan-aturan
diinternalisasi oleh partisipan dan juga telah didukung oleh norma-norma tradisional atau dapat
diterima secara luas. Selanjutnya keefektifan dalam mengontrol pelaksanaan tidak hanya
dipengaruhi oleh sanksi-sanksi dan kemampuan dalam menyelenggarakan atura-aturan, tetapi
juga dipengaruhi oleh perasaan internal terhadap kewajiban moral. Perselisihan dapat
diprovokasi melalui pembatalan kesepakatan, penolakan terhadap norma-norma dan
ketidakadilan peraturan terkait akses ke sumber daya. Menurut Burton, perselisihan yang ada
didalam sebuah kerangka institusi juga dapat diselesaikan melalui tawar-menawar secara
langsung atau difasilitasi oleh para profesional. Perselisihan internasional dapat ditangani
melalui prosedur institusi yang berasal dari lingkungan internasional atau perjanjian
perdagangan. Aturan-aturan lembaga merefleksikan kebutuhan untuk penanganan secara
profesional terhadap permasalahan internasional. Dalam situasi kerapuhan institusi politik dan
institusi peradilan yang dikombinasikan dengan ambiguitas aturan-aturan dalam kompetisi dan
perjuangan dan munculnya proses tawar-menawar disertai kemunduran kewenangan pusat
menimbulkan peluang terjadinya konflik. Oleh karena itu, menurut Goodman, kurangnya otoritas
dunia ditambah dengan lemahnya sistem internasional yang legal telah menjadi suatu rintangan
untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan serta perbedaan nilai-nilai yang biasanya
ditujukan dalam konflik internasional.
Anarki yang diterapkan dalam sistem internasional sebagian besar berdampak pada
perselisihan serius yang sering ditangani melalui kekuatan militer. Invasi Amerika Serikat ke
Irak pada tahun 2003 mewakili kebodohan prosedur-prosedur yang dibuat dalam sistem
internasional seperti pengambilan suara dalam DK PBB yang menyetujui inspeksi PBB terkait
dengan isu senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh Irak. Penggunaan kekuatan dan siksaan
dapat menjadi tidak seimbang dan tidak adil seperti yang terjadi dalam kasus China-Tibet.
Meskipun begitu, komunitas internasional tidak terfokus pada usaha-usaha untuk meredakan
konflik tersebut. Terorisme merupakan bentuk baru dari tindakan kekerasan yang menambah
buruknya pandangan terhadap dunia internasional. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang
berbeda-beda untuk memahami suatu konflik dan tidak bisa menyelesaikan konflik yang berbeda
dengan cara yang sama.
Dinamika Sosio-Psikologis
Persaingan yang terjadi akan berdampak pada hubungan sosial dan ekonomi. Menurut
Fisher bahwa beragam bentuk dari persaingan antara pihak-pihak dengan tujuan yang tidak
kompatibel dapat dijelaskan dengan karakter subjektif. Namun juga harus mencerminkan situasi
objektif yang mendasari nilai-nilai yang berisi perdebatan dan ketidakseimbangan kekuasaan.
Jadi, basis material dari kehidupan sosial serta aspek psikologi hubungan sosial memiliki
dampak utama pada respon prilaku dan interaksi. Sisi subjektif konflik, terdapat pada persepsi
niat masing-masing pihak dan interpretasi respon perilaku yang menunjukkan bahwa
pengambilan keputusan tidak selalu rasional serta jauh dari cerminan dari peristiwa nyata di
dunia luar. Komunikasi yang buruk, kesalahpahaman dan pandangan stereotip tentang musuh
sering dinilai berasal dari kesalahan persepsi dan penafsiran atas kejadian yang berkembang.
Tingkat dimana komponen subjektif berbeda dengan realitas objektif dapat menjadi indikator
seberapa realistis respon aktor untuk situasi konflik tertentu.
Menurut Ho-Won Jeong, kombinasi antara unsur obyektif dan subyektif bervariasi dalam
keadaan yang berbeda, yang dipengaruhi oleh tingkat daya asimetris dan aspek hubungan
konfliknya seperti moral yang asimetris. Khalayak umum dapat menerima legitimasi moral dan
klaim politik setiap partisan yang berbeda. Sementara satu pihak mungkin tidak memiliki
kapasitas fisik tujuan untuk mengubah perilaku orang lain, legitimasi moralnya dapat menarik
dukungan publik yang menciptakan realitas baru untuk perjuangan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok terpinggirkan. Perbedaan kepentingan, nilai dan kebutuhan yang dirasakan
merupakan elemen paling dasar dalam motivasi dibalik konflik sosial. Gaya hidup antar
kelompok konflik sering berbeda antara ideologi dengan implikasi untuk melihat kongruen
tentang hubungan dengan orang lain. Perasaan ketidakadilan muncul dari penindasan kebutuhan
sosial yang melekat dan nilai-nilai yang memiliki makna eksistensial dan yang tidak dapat
dikompromikan. Dalam diskusi tentang isu-isu substantif, perbedaan persepsional tidak
menggambarkan adanya realitas objektif yang independen terhadap kesadaran menentang pihak
lain.
Hubungan antar kelompok dibatasi oleh struktur politik disamping dinamika internalnya
sendiri. Dengan demikian analisis konflik sosial perlu menekankan pada bagaimana proses
kelompok terkait dengan kondisi struktural seperti hubungan sosial yang menindas dan sistem
ekonomi eksploitatif. Dimensi beragam dinamika konflik dapat dilihat dalam hal sifat hubungan
kekuasaan yang berkembang dalam mendukung salah satu pihak atas yang lain serta hambatan
psikologis. Hubungan antara unsur-unsur subyektif dan obyektif dalam pengambilan keputusan
masing-masing pihak juga bisa berubah seiring dengan evolusi konflik. Proses psikologis
negatif, yang realitas obyektif jelas berasal dari eskalasi permusuhan. Aspek emosi termasuk
marah, benci, rasa sakit, dan ketakutan mengintensifkan kerugian material dan kerusakan fisik.
De-eskalasi interaksi permusuhan disertai dengan realitas objektif dari dampak buruk
konflik dan upaya berikutnya untuk menilai realitas yang ada lebih serius. Sementara perubahan
dalam persepsi musuh diperlukan untuk mengurangi permusuhan timbal balik yang seharusnya
tertanam dalam perubahan dalam realitas tertentu, yang melibatkan penghapusan kebijakan
khusus atau tindakan terlihat, misalnya sanksi ekonomi atau strategi militer yang terus
menimbulkan kerugian kepada orang lain. Memahami hubungan permusuhan harus melampaui
masalah kesalahan persepsi dan atribut emosional konflik, yang melibatkan pengambilan
keputusan kekuasaan yang menentukan hasil substantif. Kesulitan dalam pembentukan realitas
obyektif melalui pemahaman subyektif di dunia telah dipinjamkan kepada kerangka
intersubjektif dari analisis konflik yang memungkinkan untuk memahami konflik yang akan
dibangun melalui interaksi sosial. Persepsi dan kognisi yang bias oleh nilai-nilai dan motivasi,
sedangkan komunikasi sering dibebankan dengan emosi dan salah tafsir. Dengan demikian,
realitas dari mana kita beroperasi harus muncul dari indra kita bersama, yang juga mencerminkan
pengalaman subyektif kita dalam dunia objektif.
Situasi Konflik
Terdapat dua atau lebih entitas sosial yang terhubung ke satu bentuk interaksi antagonis
didalam situasi konflik. Melalui interferensi dengan upaya satu sama lain untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan mereka dengan mengorbankan yang lain. Ketidakcocokan tujuan
yang dirasakan cenderung mempromosikan kondisi untuk hubungan permusuhan, karena entitas
lain dipandang menjadi penghalang untuk mencapai tujuan. Proses konflik nyata melibatkan
usaha langsung dan tidak langsung yang merusak tujuan pencarian kemampuan musuh.
Perjuangan nyata ini kontras dengan situasi konflik laten dimana kelompok mungkin tidak
menyadari kepentingan lawan mereka. Kepentingan tidak harmonis antara kelas ekonomi,
misalnya, tidak akan secara otomatis diterjemahkan ke dalam ekspresi tertentu dari kepentingan
terorganisasi tanpa upaya mobilisasi.
Realitas emosional tertanam dalam dinamika interaksional yang dapat didefinisikan
dengan pola psikologis yang mendasari perjuangan. Permusuhan dan perasaan terkait lainnya
dapat berasal dari penilaian kognitif dari ancaman terhadap kepentingan sendiri dan eksistensi.
Persepsi ancaman bersama dengan reaksi efektif terhadap perilaku agresif orang lain,
mengaktifkan perasaan intens marah, takut, khawatir dan ketidakpuasan dalam tujuan yang dapat
lebih mudah dikelola atau dihapus oleh klarifikasi kesalahpahaman jika perbedaan yang
dirasakan adalah ilusi, atau tidak didasarkan pada sumber-sumber nyata.
Derajat yang berbeda serta ketidakcocokan tujuan membentuk arah konflik. De-eskalasi
konflik dapat mengikuti tujuan yang dikejar sebelumnya ketika tujuan dianggap menarik. Secara
khusus, daya tarik tujuan mungkin akan berkurang dengan meningkatnya biaya yang terlibat
dalam mengambilnya. Arti penting tujuan bisa berbeda, tergantung pada tingkat wilayah dan
keterlibatan masing-masing pihak dalam mengejar mereka. Tidak akan ada lagi konflik jika salah
satu pihak menyerah. Pencapaian sebagian tujuan melalui pembagian juga dapat menimbulkan
kepuasan tertentu. Pihak-pihak yang bersengketa bersama-sama dapat mencari solusi yang saling
diinginkan dengan mengejar tujuan yang lebih tinggi. Solusi integratif berdasarkan kepuasan
bersama memperkuat hubungan kolaboratif, memaksimalkan keuntungan jangka panjang.
Intractable Conflict
Konflik ini mencakup banyak aspek hubungan yang juga melibatkan beragam aktor baik
antar individu, antar kelompok etnik dan antar negara berdaulat. Konflik ini bukan termasuk
konflik yang dapat dikendalikan dengan mudah karena sumber perselisihan berdasarkan
kepentingan yang melibatkan keagamaan atau nilai-nilai yang bermakna eksistensial yang dapat
berkembang sebagai ancaman terhadap identitas individu atau identitas kolektif. Menurut
Coleman, konflik ini dimulai dengan ‘perbedaan tatanan dinamika, keadaan dan isu-isu’
sehingga membuat pengenalan terhadap konflik akan lebih kebal terhadap usaha-usaha resolusi.
Dampaknya akan meluas dihampir sebagian besar dimensi kehidupan manusia dengan ancaman
penghancuran disertai pengakaran dan proses eskalasi yang berbahaya.
Partisan-partisan tidak akan merubah posisi mereka berdasarkan kebutuhan atau nilai-
nilai yang dianggap merupakan identitas vital. Pertanyaan yang muncul dari perselisihan agama
dan kepercayaan etnik atau personal tidak mudah dirundingkan ketika perasaan terancam telah
muncul terlebih dahulu. Babbit memaparkan bahwa hal yang paling penting adalah meskipun
pertempuran tidak dapat dihindari dapat berdampak pada penyimpangan hak-hak sistemik dan
psikologis yang ada dalam suatu kelompok atau negara. Pengulangan usaha-usaha serta fokus
pada penyelesaian konflik yang berurat akar dan berlarut-larut dapat menahan delegitimasi
kebutuhan antara pihak satu dengan pihak yang lain. Kepercayaan-kepercayaan terhadap
keselamatan fisik, territorial, budaya dan ekonomi menjadi pembenaran untuk setiap sikap yang
terjadi dalam situasi konflik. Adanya keterlibatan emosional dari pihak yang berkonflik
berdampak pada kuatnya keinginan untuk membalas dendam.
Konflik dapat bertransformasi menjadi negatif melalui kenaikan atau penurunan
pertarungan yang berkelanjutan. Konflik yang sudah lama terjadi dan tidak dapat diselesaikan
contohnya; antara Amerika Serikat dan Iran, Israel dan Syria, serta antara Yunani dan Turki di
Syprus. Intensitas tinggi dan sifat destruktif dipelihara secara terus-menerus hingga terjadi
periode eskalasi, sebelum terjadi pertempuran fisik dan psikologis yang intens pada akhirnya.
Psikologis suatu negara dalam pengalaman intractable conflict merefleksikan perasaan kronis
akan ketidak percayaan, stress dan kesedihan digabungkan dengan rasa penderitaan, kurangnya
kontrol dan putus asa seperti yang terjadi di Palestina dan Chechnya. Berdasarkan pernyataan
Pruitt, pada waktu yang sama, mekanisme psikologis diadaptasi sebagai tantangan intractable
conflict termasuk didalamnya adalah kesabaran dan ketahanan. Patriotisme dapat menjadi poin
tambahan untuk bertahan dari serangan musuh. Menurut Deutsch, konflik eksternal dapat
mengalihkan perhatian dari masalah interen yang dapat memberikan persatuan dan kesatuan
untuk mengembangkan tujuan. Dengan kata lain, penanaman secara mendalam terhadap
keberlanjutan konflik seringkali mengalami pergantian sumber-sumber orisinil keluhan kedalam
elemen analisa psikologis sebagai penyebab kesalahan.
Konstruktif VS Konflik Destruktif
Jika dilakukan pertimbangan kembali, konflik itu sendiri bukanlah buruk atau baik yang
terpenting adalah kondisi apa yang muncul karenanya apakah konstruktif atau destruktif.
Fenomena konflik konstruktif atau destruktif dapat dilihat melalui kemungkinan-kemungkinan
terjadinya transformasi hubungan permusuhan yang disertai dengan sikap saling memahami.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi bersumber pada proses fasilitasi atau proses komunikasi yang
terhambat. Aspek positif dan negatif konflik juga memerlukan penafsiran mengenai dampak
yang akan terjadi pada hubungan kedepannya jika terjadi konflik secara terus-menerus.
Orientasi konflik dipahami bahwa tiap-tiap pihak saling mempengaruhi pilihan tindakan apakah
akan menghancurkan musuh atau mencari solusi untuk dapat saling menerima satu sama lain.
Fungsi konflik dalam arti sempit adalah pencarian jalan keluar untuk menghentikan
naluri agresif permusuhan diluar kelompok. Peningkatan terhadap perebutan antar kelompok
cenderung membentuk perselisihan terhadap nilai-nilai sistem dan sub-budaya. Disfungsi konflik
sosial berdampak pada instansi, seperti; kemunculan pergerakan ultra-nasionalis di Eropa yang
tampak melalui serangan terhadap nilai-nilai inti masyarakat demokratis Barat. Ketidakteraturan
konflik ditambah dengan operasi normal organisasi atau sistem dapat mempengaruhi
kefektivitasan komunikasi internal, sehingga lebih mengarahkan pada tujuan destruktif daripada
produktivitas sosial dan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan pendapat Kellet dan Dalton, sikap kekerasan didorong oleh proses
pembentukan sifat yang dibentuk untuk menyebabkan ketakutan pada pihak lain yang terlibat
konflik. Rangkaian interaksi perselisihan yang bersifat destruktif sangat berpotensi terjadinya
kekerasan, kecurangan dan manipulasi kekuasaan. Meskipun konflik dikonotasikan negatif,
namun tidak semua konflik berbahaya jika pada akhirnya dihasilkan elemen-elemen kreatif
untuk melakukan perubahan dalam masyarakat ketika tujuan dan aspirasi individu atau
kelompok tercapai. Jika hasil membawa perubahan positif yang ditunjukkan melalui permintaan
maaf dan kompensasi untuk kekejaman yang terjadi pada masa lampau serta mencegah penipuan
pada masa yang akan dating, maka dapat dipertimbangkan sebagai konflik yang berdampak
konstruktif.
Konflik non-kekerasan dapat bertransformasi dari bentuk hubungan yang menindas
menjadi hubungan baik serta membawa kearah liberalisasi. Perubahan orientasi teori konflik
dapat dilihat sebagai sebuah proses kemajuan sosial yang tidak dapat dihindari. Melalui
perubahan sosial yang positif dimana dapat disertai dengan keadilan dan persamaan seharusnya
diperoleh melalui perjuangan serta menghilangkan ketergantungan tunggal terhadap penggunaan
pemaksaan dan kekerasan, sehingga membuat resolusi konflik menjadi lebih mungkin berhasil.
Akar Penyebab Konflik
Sebagian besar sumber konflik berasal dari perbedaan nilai dan perbedaan kekuasaan,
sedangkan persepsi dan kesalahpahaman memainkan peran penting dalam evolusi hubungan
permusuhan. Meskipun konflik dapat berasal dari aspek ekonomi dan lainnya, namun dapat
dengan cepat diperluas hingga ke aspek-aspek lainnya. Dalam konflik yang paling kompleks,
berbagai isu seperti ketersediaan sumber daya dan kebutuhan dasar manusia, saling terkait satu
sama lain. Isu-isu substantif konflik dapat dikaitkan dengan berbagai objek diperebutkan (yaitu,
kekayaan, kekuasaan, dan prestis). Selain itu, alasan untuk berjuang juga dapat didasarkan pada
perasaan kekurangan, ketidakadilan, dan frustasi karena ketidakpuasan terhadap posisi atau
kedudukan. Tantangan juga muncul dalam hubungan ketika harapan berbagai kelompok tidak
terpenuhi dalam suatu struktur sosial tertentu.
Berdasarkan pemaparan Burton, strategi pencegahan berdasarkan ancaman dan hukuman
kemungkinan untuk tidak berhasil atau tidak beroperasi ketika terjadi akumulasi kebencian yang
mendalam oleh kelompok penindas yang melakukan kekerasan. Oleh karena itu, perasaan takut
tidak selalu menekan perilaku manusia. Banyak konflik ketidakadilan yang berakar dari sebuah
sejarah kolonialisme, pelanggaran hak asasi, etnosentrisme, rasisme dan sebagainya. Dalam
situasi yang mengalami ketidakseimbangan kekuasaan, lebih cenderung untuk mengeksploitasi
atau menyalahgunakan yang lemah. Akses yang tidak merata terhadap peluang ekonomi dan
sosial sering dikaitkan dengan kurangnya partisipasi politik. Perjuangan ini mencerminkan
sebagian, riwayat dominasi politik, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan akses terhadap
perumahan, pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan.
Tingkat Analisa
Sebuah perselisihan yang mendalam berakar pada struktur organisasi, berbeda dari
konflik kepribadian yang hanya bersifat emosional. Perpecahan internal berasal dari kompetisi
diantara faksi ganda yang berdampak pada kemampuan untuk bertarung dengan musuh eksternal.
Pengakuan divisi dalam masyarakat multi etnis dan multi ras dapat mempengaruhi proses
pengambilan keputusan dalam politik dan kehidupan sosial seperti pemilihan teman. Kategorisasi
ini mempersulit hubungan manusia diberbagai tingkatan. Sementara elit politik mengejar ambisi
dan bersaing untuk sumber daya ekonomi. Aspirasi nasionalisme yang berlebihan telah
menyebabkan penolakan terhadap penentuan nasib sendiri bagi kelompok minoritas. Sementara
negara adalah unit yang paling penting dalam hubungan internasional, etnis, agama, dan
kelompok-kelompok identitas berbasis lain telah memainkan peran penting dalam menentukan
isu-isu konflik kontemporer didalam batas negara atau teritorial negara.
Menurut Leatherman dan Webber, hasil dari konflik ditingkat global sering
mencerminkan kekuatan asimetris antara aktor ganda, termasuk suku, penduduk asli, kelompok
advokasi, dan perusahaan multinasional dalam bidang isu-isu seperti perusakan hutan, perburuan
ikan, dan banyak isu penting lain yang akan menentukan masa depan peradaban. Banyak aktor
non-negara seperti kelompok lingkungan dan kelompok agama beroperasi tidak hanya ditingkat
lokal tetapi juga global. Permusuhan pada tingkat tertentu dapat mempengaruhi dinamika
hubungan konflik pada tingkat lain dalam cara yang kompleks. Manusia tidak boleh
diperlakukan berbeda pada tingkat pribadi, komunal, nasional, dan internasional. Perilaku
individu yang cenderung mencari pengakuan dalam masyarakat tidak berbeda dari kelompok
identitas dengan status dan legitimasi politik yang ditolak. Kebutuhan untuk pembangunan dan
otonomi individu sering disebabkan oleh motivasi yang sama dari kelompok identitas untuk
mencari keamanan. Penindasan harga diri individu dan otonomi kelompok telah menghasilkan
permintaan untuk perlindungan hak asasi manusia dan menentukan nasib sendiri.
Simpulan
Konflik merupakan hal yang tidak akan pernah berakhir, oleh karena itu penting untuk
memahami cara untuk menyelesaikan konflik tersebut. Salah satu strategi untuk menangani dan
memungkinkan untuk penyelesaian konflik dapat melalui analisa mendalam tentang tingkah laku
manusia serta lingkungan disekitarnya. Pemahaman konflik memerlukan pengujian terhadap
sumber-sumber ketidakpuasaan dan rasa dendam untuk dapat melakukan identifikasi tahapan-
tahapan hubungan permusuhan disertai peningkatan tindakan pihak-pihak yang terlibat dimana
pada akhirnya dapat mengurangi konflik kekerasan melalui resolusi damai yang berbeda-beda.
Pada umumnya potensi keberadaan konflik adalah ketika terdapatnya perbedaan-perbedaan
kepentingan, nilai dan ketidakharmonisan hubungan antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Oleh karena itu, kondisi laten konflik pada akhirnya akan diterjemahkan dalam berbagai bentuk
isu-isu kekerasan yang tampak.
Esensi dari sifat situasi konflik dapat dengan mudah untuk dipahami tetapi juga menjadi
sulit untuk memahami pendapat setiap orang secara serempak. Konflik diinterpretasikan kedalam
konteks yang lebih serius serta menantang keberadaan norma-norma, hubungan dan aturan-
aturan dalam pembuatan keputusan. Dimensi beragam dinamika konflik dapat dilihat dalam hal
sifat hubungan kekuasaan yang berkembang dalam mendukung salah satu pihak atas yang lain
serta hambatan psikologis. Hubungan antara unsur-unsur subyektif dan obyektif dalam
pengambilan keputusan masing-masing pihak juga bisa berubah seiring dengan evolusi konflik.
Realitas emosional tertanam dalam dinamika interaksional yang dapat didefinisikan dengan pola
psikologis yang mendasari perjuangan. Permusuhan dan perasaan terkait lainnya dapat berasal
dari penilaian kognitif dari ancaman terhadap kepentingan sendiri dan eksistensi.
Konflik sering dikonotasikan negatif, namun tidak semua konflik berbahaya jika pada
akhirnya dihasilkan elemen-elemen kreatif untuk melakukan perubahan dalam masyarakat ketika
tujuan dan aspirasi individu atau kelompok tercapai. Jika hasil membawa perubahan positif yang
ditunjukkan melalui permintaan maaf dan kompensasi untuk kekejaman yang terjadi pada masa
lampau serta mencegah penipuan pada masa yang akan datang, maka dapat dipertimbangkan
sebagai konflik yang berdampak konstruktif. Melalui perubahan sosial yang positif dimana dapat
disertai dengan keadilan dan persamaan seharusnya diperoleh melalui perjuangan serta
menghilangkan ketergantungan tunggal terhadap penggunaan pemaksaan dan kekerasan,
sehingga membuat resolusi konflik menjadi lebih mungkin berhasil.