3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bagi seorang individu keluarga adalah kumpulan manusia yang saling
memberikan kasih sayang (afeksi), cinta, rasa aman yang mana juga harus saling
menjaga, melindungi antara anggota keluarga satu dengan yang lainnya.
Disamping itu, keluarga merupakan terdiri dari ayah sebagai kepala keluarga, ibu,
dan anak dimana terbentuk karena adanya ikatan tali perkawinan. Pendapat lain
tentang keluarga merupakan suatu kelompok sosial atau unit terkecil dari
masyarakat yang tinggal di dalam satu rumah dalam keadaan saling
ketergantungan, mulai dari anak bergantung kepada ibu, ayah, kakak, abang
maupun sebaliknya, bahwa semuanya saling membutuhkan (Andryani, 2016 : 40).
Melalui lingkungan sosial yang terdekat inilah individu mendapatkan kebahagian
sejati yang tidak akan didapatkan ditempat atau lingkungan lain.
Kelompok sosial terkecil yang bernama keluarga adalah instansi pertama
yang memberikan pengaruh sosialisasi kepada anggotanya, yang kemudian akan
membentuk kepribadian yang dalam keadaan normalnya para anak-anak akan
meniru, terpengaruh, dan terbentuk oleh sikap, tindakan dari kedua orang tuanya
(Tirtawinata, 2013 : 1142). Pada dasarnya kepribadian anak lahir dan terbentuk
tergantung bagaimana kedua orangtua bersikap dan bertindak terutama dalam
mendidik, memberi pembelajaran yang terbaik bagi anak serta menanamkan nilai
dan norma yang baik maka, disini anak akan tumbuh dan berkembang dengan
kepribadian serta sikap baik yang ditanamkan pada dirinya dari kedua orang
tuanya.
4
Setiap individu yang telah berkeluarga atau sudah memiliki keluarga pasti
ingin hidup bahagia, memiliki hubungan yang harmonis dengan setiap anggota
keluarga terutama dengan pasangan, hal tersebut merupakan ciri untuk menjadi
keluarga yang ideal dan menjadi cita-cita untuk setiap rumah tangga yang ada,
apabila dalam pandangan islam untuk mewujudkan keluarga yang sakinah,
mawaddah, rohmah. Selain itu, juga untuk mencapai keluarga sehat dan sejahtera,
namun dalam arti lain sehat disini adalah bukan sehat secara fisik namun sehat
secara mental dan sosial. Oleh karena itu, seluruh anggota keluarga yang ada
harus berusaha untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan rumah tangga untuk
melahirkan individu-individu yang sehat dan sejahtera secara jasmani dan rohani.
Menjaga keutuhan, ketahanan dan keharmonisan didalam sebuah rumah
tangga merupakan suatu hal yang sangat penting, sehingga kehancuran (broken)
akan membawa dampak yang negatif untuk hubungan keluarga terutama dalam
pertumbuhan, perkembangan serta pola perilaku anak yang akan membuat sang
anak akan melakukan perilaku-perilaku yang tidak semsetinya dilakukan atau
menyimpang. Karena faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang,
kenakalan yang dilakukanoleh anak ini disebabkan tidak berfungsinnya orang tua
sebagai figur tauladan yang baik bagi anak di dalam keluarga (Sujoko, 2011).
Jadi, keluarga ibarat cermin bagi anak sehingga baik-buruknya sikap maupun
perilaku anak tergantung dari orang tua atau lingkungan dari keluarga itu sendiri.
Perlu dipahami bahwa dalam interaksi sosial dalam sebuah keluarga tidak
hanya anak namun juga bagaimana sikap dan peran ayah dan ibu kepada anggota
keluarga. Apakah dalam keluarga tiap-tiap individu tersebut telah menjalankan
perannya dengan sebaik-baiknya seperti tidak hanya anak yang membutuhkan
5
pembelajaran serta bimbingan tetapi juga seorang ibu atau istri juga perlu
mendapat bimbingan penuh dari ayah sebagai kepala keluarga serta ayah sebagai
kepala keluarga harus memberikan contoh yang baik bagi anggota keluarganya.
Karena untuk menyatukan tali perkawinan yang didasari oleh cinta dan kasih
namun juga harus siap menerima dan hidup bersama dalam kelebihan serta
kekurangan masing-masing.
Keharmonisan dan kebahagiaan merupakan cita-cita hidup setiap keluarga
yang ada, namun didalam kehidupan sosial pasti akan adanya masalah sosial
(konflik). Menurut Randall Collins dalam George Ritzer (2016 : 550) konflik
merupakan sesuatu yang penting dan selalu akan muncul, namun tidak semua
konflik memberikan dampak negatif. Benar bahwa konflik merupakan sesuatu
yang penting dan selalu muncul karena dengan adanya konflik-konflik yang
terjadi sebagai individu akan dapat memperbaiki kehidupan sosialnya agar
menjadi lebih baik. Terutama dalam keluarga pasti akan mengalami yang
namanya berkonflik, dari konflik tersebut tiap-tiap anggota keluarga diharapkan
dapat menemukan solusi atau setidaknya ada sisi positif dari konflik yaitu dapat
menumbuhkan sifat pengendalian serta menurunkan ego pada tiap-tiap individu.
Wilayah Kabupaten Tuban dalam catatan Pengadilan Agama Kabupaten
Tuban tercatat sebanyak 10.451 pasangan bercerai dalam lima tahun terakhir,
apabila dalam kalkulasi setiap bulannya sekitar 200 hingga 250 pasangan dalam
kasus perceraian, hal tersebut bukan angka yang sedikit walaupun masih ada
banyak di kota-kota besar yang lebih tinggi angka kasus perceraian. Adapun data
lima tahun terakhir kasus perceraian di Kabupaten Tuban adalah :
6
Tabel 1. Data Kasus Perceraian di Kabupaten Tuban dalam lima tahun
terakhir
No. Tahun Jumlah Kasus Perceraian 1. 2018 14 kasus 2. 2017 2.286 kasus 3. 2016 2.281 kasus 4. 2015 2.142 kasus 5. 2014 3.728 kasus
Sumber : Direktori Putusan Peradilan Agama Kabupaten Tuban, maret 2018
Apabila dilihat dari data tersebut angka perceraian di wilayah Kabupaten
Tuban mengalami naik turun pada setiap tahunnya. Pada kasus perceraian yang
terjadi di Kabupaten Tuban, rata-rata istrilah yang melayangkan gugatan cerai
kepada suami karena disebabkan adanya perselingkuhan, dengan adanya orang
ketigasehingga suami meninggalkan istri, cemburu tehadap pasangan, tidak
adanya tanggung jawab suami terhadap keluargadari faktor ekonomi
(Memorandum, 2018). Kasus perceraian maupun broken home pasti akan
membawa dampak yang tidak baik khususnya kepada anak.
Penelitian yang mengkaji tentang pola interaksi sosial anak korban
perceraian dengan anggota keluarga ini dilakukan di Kabupaten Tuban yang lebih
tepatnya di Kelurahan Ronggomulyo. Berdasarkan hasil wawancara dengan lurah
Ronggomulyo yang memaparkan bahwa tahun 2018 hingga bulan Mei
penduduknya belum ada yang melayangkan perkara gugatan perceraian. walaupun
begitu, generasi penerus atau anak yang memiliki perilaku menyimpang,
disebabkan karena salah satunya yaitu perpecahan atau perceraian didalam
keluarga. Pada observasi awal, diketahui bahwa pada lintasan Rukun Tetangga
(RT) 01 terdapat 9 pasangan keluarga yang mengalami broken home akibat
perceraian yang disebabkan karena adanya orang ketiga didalam keluarga
7
(selingkuh), tidak adanya tanggung jawab dari suami serta ada faktor ekonomi dan
dari awalpun tidak adanya persetujuan pernikahan dari orang tua pada pihak laki-
laki, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), komunikasi yang tidak
memperoleh titik temu dan ego yang tinggi dari masing-masing individu yang
saling mempertahankan mindset, prinsip masing-masing. Dari semua konflik
maupun permasalahan tersebut pada akhirnya menghasilkan perceraian.
Berdasarkan hasil wawancara awal yang telah dilakukan dengan subjek
penelitian yakni anak korban perceraian, status-status baru yang dialami para
orangtuadi Kelurahan Ronggomulyo dengan kasus perceraian ternyata
mengakibatkan trauma, luka yang begitu mendalam, luka tersebut diakibatkan
yang dulu orangtua selingkuh dan akhirnya orangtua menikah lagi, sehingga
seperti yang dirasakan oleh anak korban perceraian (seperti subjek penelitian yaitu
MA dan MAF) adalah mereka tidak lagi mendapatkan kasih sayang, perhatian,
sehingga merasa tidak ada lagi motivasi untuk menjalani hidup. Hingga akhirnya
mereka bertemu dengan seseorang yang mereka anggap teman, sahabat bahkan
dianggap keluarga atau saudara sendiri sehingga lebih nyaman menghabiskan
waktu diluar rumah daripada waktu bersama keluarga, meskipun tidak berpikir
panjang apakah teman-teman yang dipilih memiliki sikap dan kepribadian yang
baik atau buruk (nakal). Dari hal tersebut, peneliti melihat bahwa tidak
mudahuntuk dapat melakukan interaksi yang baik antara anak korban perceraian
dan orangtua sehingga menyebabkan tidak adanya keakraban, kedekatan antara
orangtua dan anak seperti keluarga utuh pada umumnya.
Perceraian yang dialami kedua orangtua dan akhirnya memutuskan untuk
menikah lagi merupakan hidup yang berat dialami oleh MA dikarenakan
8
orangtuanya (ayah) tidak lagi memberikan kasih sayang, dan perhatian.
Menurutnya, semua kasih sayang dan perhatiannya hanya diberikan kepada istri
baru serta anak-anak dari istri barunya. Berbeda dengan MAF yang akhirnya
diadopsi oleh (kakak) dari ibu kandungnya karena masalah ekonomi dan juga
merasa kurang diperhatikan setelah memiliki anak dari pernikahan barunya selain
itu juga dipengaruhi oleh teman. Itulah penyebab seringnya pulang malam atau
bahkan tidak pulang kerumah dalam waktu 1 hingga 2 hari yang dialami oleh MA
begitupun juga MAF untuk menghilangkan stres yang mengakibatkan depresi,
frustasi yang dialami untuk mendapatkan kesenangan.
Masa remaja yang mengalami pubertas merupakan masa yang rawan bagi
anak, dimana anak mengalami perubahan atau pembentukan sikap dan karakter.
Dimana pada masa remaja tersebut, anak sangat membutuhkan perhatian dari
orangtua yakni melalui interaksi, komunikasi yang dilakukan oleh orangtua
dengan anak. Dimana dengan adanya pola interaksi sosial yang baik, orangtua
bisa memperkenalkan anak pada aturan, norma, tata nilai yang baik yang berlaku
(Sari, 2014 : 2). Namun, yang terjadi pada subjek penelitian MA mengalamiemosi
sering tidak terkendali karena tidak adanya kepedulian dari orangtua, dan merasa
hidup sendiri. Disamping itu, orangtuanya yang selalu menuntut, meminta untuk
menuruti untuk menjadi apa maupun semua yang orangtua mereka inginkan,
sehingga terjadi depresi, frustasi seperti yang dialami subjek penelitian yang
mengakibatkan menjadi kepribadian yang sulit untuk diatur, brutal,bergaul dengan
teman dengan melakukan hal-hal yang bisa membuatnya merasa senang, yaitu
nongkrong, dengan mabuk-mabukan, merokok. Dampak yang ditimbulkan dari
nongkrong, mabuk-mabukan, merokok hingga sering pulang malam bahkan tidak
9
pulang menjadikan pembelajaran disekolah menjadi terbengkalai karena sering
tidak bisa bangun pagi, terutama juga tidak ada motivasi tersendiri dalam
mengikuti pelajaran disekolah.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penulis ingin
melakukan penelitian bagaimana interaksi sosial anak korban perceraian dengan
anggota keluarga secara lebih mendalam, karena anggota keluarga broken home
pada realitas diatas menimbulkan dampak anak menjadi susah diatur dan lain
sebagainya, maka dari itu peneliti mengangkat judul “Pola Interaksi Sosial Pada
Anggota Keluarga Broken Home Studi Tentang Interaksi Anak Korban Perceraian
Dengan Anggota Keluarga Di Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana anak korban perceraian di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten
Tuban memaknai perceraian orang tua ?
2. Bagaimana pola interaksi sosial anak korban perceraian dengan anggota
keluarga di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, adapun tujuan
penelitian ini, yakni :
1. Untuk mengetahui, memahami, serta mendeskripsikan pola interaksi sosial
anak korban perceraian dengan anggota keluargadi Kelurahan
Ronggomulyo Kabupaten Tuban.
10
2. Untuk mengetahui, memahami, serta mendeskripsikan anak korban
perceraian di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban memaknai
perceraian orang tua.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan
mampu memberikan kontribusi pengembangan terhadap teori interaksionisme
simbolik oleh George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi sosial anak
korban perceraian dengan anggota keluargadi Kelurahan Ronggomulyo
Kabupaten Tuban.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak
terkait, diantaranya :
a. Bagi Penulis
Pada penelitian ini, penulis dapat mengaplikasikan mata kuliah
yang telah didapatkan selama perkuliahan yakni, sosiologi keluarga
yang didalamnya mempelajari tentang definisi tentang keluarga, ciri-ciri
keluarga, fungsi keluarga, peran dari tiap-tiap anggota keluarga, konflik
dalam keluarga. Serta dalam penelitian ini, peneliti mengaitkan dengan
realitas yaitu bagaimana interaksi sosial anak korban perceraian dengan
anggota keluarga di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban.
b. Bagi Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang
Penelitian yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat
memberikan referensi bagi jurusan sosiologi serta dapat dijadikan
11
referensi bagi mahasiswa mahasiswi sosiologi pada penelitian-
penelitian selanjutnya.
c. Bagi Anak Korban Perceraian (Broken Home)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi anak
korban perceraian (broken home). Bahwa mengalami hal tersebut tidak
menjadikan individu-individu terutama pada anak korban perceraian
menyerah dalam hidup meskipun tidak ada keharmonisan dalam
keluarga tetapi dapat mengambil hikmah untuk dijadikan sebuah
pembelajaran bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus namun life must
go on dan selalu berpikir positif, serta ambil sisi positif pada masalah
tersebut serta menjalani hidup dengan melakukan hal-hal positif dan
semangat untuk mencapai cita-cita.
1.5 DEFINISI KONSEP
a. Pola Interaksi Sosial
Interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (1954 : 489) dalam Soerjono
Soekanto (2013 : 55) merupakan hubungan sosial dinamis yang menyangkut
hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-perorangan, maupun
kelompok dengan kelompok.
Menurut Maryati dan Suryawati (2013) dalam Yesmil Anwar (2013 : 194),
interaksi sosial adalah hubungan timbal balik atau kontak atau intersimulasi dan
respons antar individu, antar kelompok atau individu dan kelompok.
Jadi apabila dapat disimpulkan interaksi sosial merupakan bentuk
hubungan aksi dari perilaku atau tindakan seseorang kemudian orang lain
memberikan reaksi dari aksi yang dilakukan. Dalam proses interaksi sosial ini
12
terdapat tiga pola interaksi sosial yakni asosiatif (kerjasama, akomodasi,
asimilasi) dan disosiatif (persaingan, kontraversi, pertentangan).
b. Anggota Keluarga
Keluarga jika didefinisikan secara umum, adalah unit sosial atau
sekelompok sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak ataupun lebih
anak ataupun tanpa anak yang diikat oleh tali perkawinan, dimana didalamnya
anak-anak dipelihara untuk menjadi seorang yang mempunyai rasa kepedulian
sosial (Sulistyowati, 2005 : 9).
Menurut Burges (1963) dalam Reginal Kansil (2017), anggota keluarga
merupakan individu-individu atau orang-orang yang berkumpul menjadi suatu
kelompok bagian yang terikat karena hubungan perkawinan, hubungan darah dan
diangkat atau diadopsiserta hidup bersama dalam satu atap rumah atau hidup
berjauhan (tidak tinggal dalam satu atap rumah)
c. Broken Home
Broken Home adalah suatu peristiwa dalam sebuah keluarga dimana ayah,
ibu telah bercerai karena suatu konflik atau perselisihan atau kurang adanya
perhatian, dari ayah atau ibu sehingga menimbulkan hilangnya keteladanannya,
kurang kasih sayang, yang mengakibatkan anak menjadi frustasi, sulit diatur serta
memiliki perilaku buruk (Oetari, 2016 : 3).
Menurut Matinka (dalam Lestari (2013) broken home merupakan sebuah
istilah yang digunakan untuk melukiskan suasana yang tidak adanya
keharmonisan dan tidak sesuainya kondisi keluarga yang rukun, sejahtera, dan
bahagia yang menyebabkan terjadinya konflik dan perpecahan didalam sebuah
keluarga.
13
Apabila disimpulkan dari beberapa pendapat diatas, broken home adalah
istilah yang menggambarkan perpecahan dalam sebuah hubungan keluarga yang
tidak adanya kerukunan, kesejahteraan, keakraban dalam sebuah keluarga
sehingga menciptakan suasana yang kurang nyaman, hilangnya komunikasi
sehingga munculnya konflik dan kurang harmonisnya hubungan sosial dalam
sebuah keluarga yang mengakibatkan anak menjadi frustasi dan sulit untuk diatur.
d. Korban Perceraian
Korban menurut Arif Gosita (1993 : 63) dalam Octorina Ulina (2014 : 4)
adalah mereka yang menderita secara jasmani maupun rohaniah yang diakibatkan
oleh tindakan orang lain untuk memenuhi kepentingan diri sendiri ataupun orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan hak azasi pihak yang dirugikan.
Perceraian menurut Hurlock (1993 : 307) dalam Reski Yuliana (2015 : 79)
merupakan titik tertinggi dari penyelesaian sebuah perkawinan buruk yang terjadi
antara pasangan suami istri yang tak mampu dalam menyelesaikan permasalahan
dimana hasil dari penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah
pihak.
Jadi, korban perceraian adalah mereka yang mengalami atau menderita
secara jasmani maupun rohani akibat buruknya perkawinan yang dialami antara
pasangan suami istri yang tak mampu menyelesaikan permasalahan sehingga ada
yang bertentangan dengan kepentingan tersebut hingga menjadi pihak yang
dirugikan.
14
1.6 METODE PENELITIAN
1.6.1 Pendekatan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi secara
alamiah dimana peneliti sebagai instrumen kunci, dan metode penelitian kualitatif
ini berlandaskan pada filsafat postpositivisme serta teknik pengumpulan data yang
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis bersifat kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono,
2014 : 9).
Pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena untuk
mendeskripsikan, menggambarkan permasalahan yang secara alamiah terjadi dan
tidak untuk melakukan pengukuran ataupun melakukan penghitungan data
statistik, yakni dengan mengangkat permasalahan mengenai polainteraksi sosial
pada anggota keluarga broken home studi tentang interaksi anak korban
perceraian dengan anggota keluarga di Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten
Tuban dengan peneliti sebagai instrumen kunci.
1.6.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kualitatif jenis deskriptif. Jenis penelitian atau metode deskriptif menurut Whitney
(1960) dalam Moh. Nazir (2014 : 43) merupakan pencarian atau menemukan
fakta-fakta dengan menggunakan interpretasi yang tepat.Sehingga dalam
penelitian ini peneliti menggunakan jenis deskriptif karena tepat untuk
mendeskripsikan, menggambarkan fenomena pola interaksi sosial anak korban
15
perceraian dengan anggota keluarga di Keluarhan Ronggomulyo Kabupaten
Tuban secara faktual dan akurat.
1.6.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tentang pola interaksi sosial pada anggota keluarga
broken home studi tentang interaksi anak korban perceraian dengan anggota
keluargadilaksanakan dan ditetapkan oleh peneliti di Kelurahan Ronggomulyo,
Kabupaten Tuban dengan melihat dari sudut pandang kehidupan anak-anak pada
keluarga broken home yang berperilaku negatif sehingga peneliti ingin
mengetahui pola interaksi sosial seperti apa yang diterapkan didalam keluarga.
1.6.4 Teknik Penentuan Subjek
Teknik penentuan subjekmerupakan cara untuk memudahkan peneliti agar
dapat menentukan subjek penelitian dengan tepat.Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik purposive sampling dimana guna memudahkan peneliti
menentukkan kriteria-kriteria tertentu pada subjek penelitian.
Menurut Sugiyono (2014 : 9), purposive sampling adalah teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti halnya orang yang
memang ahli atau bisa dikatakan memahami peristiwa yang terjadi dalam tema
penelitian yang diambil, jadi sampel semacam ini cocok digunakan pada penelitan
kualitatif, maupun penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi, yang
artinya pada teknik purposive sampling tidak memberikan peluang-peluang bagi
yang lain dalam penemuan data untuk menggali informasi-informasi dalam
penelitian ini.
16
1.6.5 Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini merupakan anak korban perceraian, orangtua
yang tinggal di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban dimana
yangmengetahui, memahami secara mendalam kajian yang diangkat oleh peneliti
mengenai pola interaksi sosial anak korban perceraian dengan anggota keluarga.
Adapun kriteria-kriteria yang telah ditentukan sebagai subjek penelitian oleh
peneliti adalah sebagai berikut :
a. Anak korban perceraian (broken home)yang tinggal bersama orangtua
laki-laki (bapak), dengan alasan karena anak yang tinggal bersama ayah
kurang mendapatkan perhatian.
b. Anak korban perceraian (broken home) yang tinggal bersama orangtua
perempuan (ibu), dengan alasan karena anak yang tinggal bersama ibu
kurang mendapat figur ayah sebagai pelindung.
c. Anak korban perceraian (broken home) yang tinggal bersama saudara
ayah/ibu (orangtua angkat/asuh), dengan alasan karena kurang
mendapatkan perhatian dari orangtua.
d. Anak korban perceraian diatas umur 16 tahun, dengan alasan karena
biasanya anak sudah memahami makna perceraian orangtuanya.
Selain subjek penelitian, untuk memberikan informasi kepada peneliti,
serta untuk menggali data secara mendalam tentang interaksi anak korban
perceraian dengan anggota keluarga di Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten
Tuban ini, peneliti membutuhkan beberapa informan untuk mendapatkan
beberapa data yang diinginkan oleh peneliti, adapun informan yang telah
ditentukan oleh peneliti, yakni :
17
Tabel 2. Informan penelitian
No. Informan
1. Extended family (keluarga besar) :
- Ibu
- Nenek
- Bibi
- Dalam penggalian informasi dari informan, peneliti melakukan
wawancara yang berisi :
1. Tanggapan terhadap tindakan atau perilaku anak korban
perceraian
2. Tanggapan pergaulan anak korban perceraian dengan
teman-temannya
3. Tanggapan tentang pola interkasi anak korban perceraian
dengan anggota keluarga (extended family)
2. Perangkat daerah :
- Lurah Kelurahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban
- Dalam penggalian informasi dari informan, peneliti melakukan wawancara yang berisi : 1. Kondisi wilayah Kelurahan Ronggomulyo 2. Pendapat atau tanggapan tentang perceraian 3. Pendapat atau tanggapan tentang perilaku menyimpang pada
anak pasca perceraian
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi menurut Sutrisno Hadi (1986) dalam Sugiyono (2014 : 85),
merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari
dari berbagai proses biologis dan psikologis dan dua yang terpenting adalah
pengamatan dan ingatan serta observasi pada penelitian kualitatif digunakan
apabila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala
alam, serta subjek penelitian tidak terlalu besar.
Pada tahap awal sebelum memulai untuk melakukan wawancara dengan
subjek penelitian, peneliti melakukan tahap awal yakni observasi dengan
18
melakukan pengamatan secara langsung dilokasi yang telah ditetapkan
yakni Kelurahan Ronggomulyo, Kabupaten Tuban. Dengan melihat seperti
apa kehidupan subjek penelitian ketika dirumah, interaksi sosial, sikap,
perilaku serta bagaimana subjek penelitian menerima maupun menghadapi
individu lain.
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan, perbincangan dengan maksud tertentu
dengan dilakukan oleh dua pihak, yakni pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara (interviewer)
(Moleong, 2017 : 186)
Tahap wawancara, peneliti terjun langsung dan melakukan wawancara
dengan subjek penelitian atau informan yang telah ditentukan oleh peneliti
serta memahami dan mengetahui mengenai permasalahan yang diangkat
oleh peneliti melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti
kepada subjek penelitian guna menggali informasi atau data-data yang ingin
diketahui maupun dibutuhkan tentang pola interaksi sosial anak dengan
orangtua korban perceraian. Pada tahap awal wawancara, informasi yang
didapat dari subjek penelitian yaitu kisah awal perceraian orangtua,
sehingga mengalami perubahan sikap menjadi pribadi yang sulit diatur, dan
cara untuk menghilangkan kejenuhan didalam rumah.
Pada tahap wawancara secara mendalam dilakukan peneliti pada bab
hasil dimana wawancara kepada subjek penelitian mengenai seperti apa
anak memaknai, memahami perceraian orangtuanya, dimana peneliti
19
menggunakan wawancara pembicaraan informal dan wawancara tidak
terstruktur agar peneliti dengan subjek penelitian menciptakan keakraban
serta tidak adanya rasa canggung.
c. Dokumentasi
Guba dan Lincoln (1981) dalam Lexy J. Moleong (2017 : 216),
mendefinisikannya ialah dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film,
lain dari record yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan dari
seorang penyidik. Selain bahan tertulis maupun film dokumen bisa berupa
gambar ataupun foto untuk dapat dianalisis dari temuan terdahulu dan
peneliti bisa mendokumentasikan berupa foto menggunakan kamera sendiri
sebagai data pendukung untuk penelitiannya saat melakukan penelitian.
Pada penelitian skripsi tentang interaksi sosial pada keluarga broken
home yang dilakukan di Keluarahan Ronggomulyo, Kabupaten Tuban ini
peneliti menggunkan dokumen dari pemerintah kelurahan sebagai informasi
profil kelurahan serta keadaan geografis Kelurahan Ronggomulyo guna
menunjang serta melengkapi penelitian ini.Pengumpulan data dalam bentuk
dokumen kelurahan dilakukan dengan observasi serta wawancara pada bab
deskripsi wilayah.
1.6.7 Teknik Analisa Data
Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Ulber Silalahi (2012 : 339),
kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang harus dilakukan secara
bersamaan, yakni reduksi data, penyajian data, dan setelah itu adalah penarikan
kesimpulan/verifikasi.
20
Berikut ini adalah komponen-komponen analisis data : model interaktif
menurut Miles dan Huberman (1992 : 20):
Gambar 1. Komponen analisis data
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan bentuk analisa yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, serta
mengorganisasi data hingga kesimpulan final dapat ditarik dan diverifikasi
(Silalahi, 2012 : 339)
b. Penyajian Data
Merupakan alur kedua yang penting didalam kegiatan analisis dalam
penelitian kualitatif adalah penyajian data, adalah kumpulan informasi
tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan, melalui data yang disajikan dapat dilihat dan
akan dapat dipahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan
lebih jauh (Ulber, 2012 : 340)
Pengumpulan
Data
Penyajian Data
Kesimpulan-kesimpulan
Penarikan/Verifikasi
Reduksi
Data
21
c. Penarikan Kesimpulan
Kegiatan analisisyang ketiga yaitu penarikan kesimpulan atau verifikasi
data dimana tahap tersebut dilakukan ketika tahap penyajian data selesai
yang diawali dari kesimpulan awal yang belum jelas tetapi kian meningkat
sehingga menjadi lebih terperinci yang menghasilkan data final (Silalahi,
2012 : 341)
1.6.8 Keabsahan Data
Pada penelitian kualitatif pada dasarnya ada usaha meningkatkan
kepercayaan data yang dinamakan keabsahan data, keabsahan data merupakan
konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan
(realibilitas) (Moleong, 2017 : 321). Dalam melakukan keabsahan data, pada
penelitian ini menggunkan teknik trianggulasi yang diartikan sebagai teknik
pengumpulan data dengan menggabungkan berbagai teknikpengumpulan dan
sumber data yang telah ada. (Sugiyono, 2014 : 241)
Teknik trianggulasi berarti peneliti menggunkan teknik pengumpulan
data yang berbeda-beda, yakni observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi
untuk sumber data yang didapatkan secara bersamaan, selain itu trianggulasi
merupakan teknik untuk mendapatkan data yang sama dari berbagai sumber
(Sugiyono, 2014 : 241).
Pada penelitian ini, peneliti akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada subjek penelitian serta pendapat dari berbagai informan yang telah
ditentukan, yakni anak korban perceraian dan orangtua yang mengalami
perceraian mengenai pola interaksi anak dengan orang korban perceraian di
Keluarahan Ronggomulyo Kabupaten Tuban, serta informan dalam penelitian ini