Download - Pembahasan.docx
BAB I
1.1 Pendahulan
Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga
suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara sering terjadi tindakan
separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap memberatkan rakyat
ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai pondasi yang kuat
dimana tidak bisa diubah dan menjadi statis. Jika suatu pemerintahan mempunyai
sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung selama-
lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal tersebut.
Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan
masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas, menjaga
pondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi,
keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontiniu dan demokrasi
dimana seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan
sistem pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa
mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh. Secara sempit,
sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda
pemerintahan guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama dan
mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.
1.2 Sejarah Indonesia
a. Sebelum kedatangan bangsa Eropa
Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan Indonesia dinamai
Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai
kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang). Nama yangditurunkan
dari kata Sansekerta Ddwipa (pulau) dan Antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayang diculik Ravana, sampai ke
1
Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban
jawi(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari
batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Sampai hari ini jemaah kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang
Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis,
Sundah, kulluh Jawi (Sumatera, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang
pedagang di Pasar Seng, Mekah.
b. Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari
Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara
Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka
sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische
Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost,
Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah
“Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel
Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang
digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah
pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
c. Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan
tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa
Latin insula berarti pulau).
2
Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung,
Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di
Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-
1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik
Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu
istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman
Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh
J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan
Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada
masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar
Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari
awadwipa( Pulau Jawa).
Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, ”Lamun
huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau
seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi katanusantara
zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang
nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki
arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa
pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer
penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini
istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari
Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah
Indonesia . Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah
Melayu ini muncul.
3
d. Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan,
Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola
oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih
sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849
seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-
1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
James Richardson Logan
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel
On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian
Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi
penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas
(a distinctive name), sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau
Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti Pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian
Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or
Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras
Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan
Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di
seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah
Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu
juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology
of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya
nama khas bagi kepulauan tanahair kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu
panjang dan membingungkan.
4
Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u
digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak
pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical
term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely
geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian
Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “ Indonesia ”
agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi
nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di
muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “ Indonesia ”
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar
di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru
besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905)
menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air
kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan
sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia”
itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam
Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah “ Indonesia ” itu dari tulisan-tulisan
Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “ Indonesia ”
adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke
negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama
Indonesische Pers-bureau.
5
e. Masa Kebangkitan Nasional
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah
ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki
makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!
Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian
kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang
mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam,
organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun
1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia . Majalah mereka, Hindia Poetra,
berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka
yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut
“Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan
dengan India yang asli.
Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek
doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan,
dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha
dengan segala tenaga dan kemampuannya. “Sementara itu, di tanah air Dr.
Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga
Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
“ Indonesia ”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air,
bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28
6
Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939
tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad
Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo,
mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan
sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.
Kongres Pemuda
Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan
Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk
selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah
Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
1.3 UUDS 1950
a. Sejarah UUDS 1950
UUDS 1950 merupakan undang-undang sementara setelah sebelumnya
terdapat UUD RIS atau undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS
menuju pemberlakuan kembali UUD 1945. Dalam UUDS diatur juga tentang
pembagian kekuasaan dari Presiden, wakil presiden, mentri-mentri, Dewan
Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Dewan Pengawas Keuangan. Setiap
lembaga memiliki tugas dan wewenang yang berbeda.
Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950 ”Presiden menunjuk seorang atau
beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk
kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat
mentri-mentri yang lain.”
Kekuasaan legeslatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan
Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah
anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000
jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950).
7
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan
Pengawas Keuangan. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi
(Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950). Selain MA dalam lembaga yudikatif juga
ada DPK (Dewan Pengawas Keuangan). Pengangkatan anggota DPK seumur
hidup, undang-undang menetapakan ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat
diberhentikan apabila mencapai usia tertentu.
Pada UUDS 1950 ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang
sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS.
Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut
ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal).
Pandangan Umum: Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya
pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan
kepentingan partai atau golongannya.
Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa
Demokrasi Liberal:
Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS)
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut
sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk
parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada
parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR
berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI
(17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi),
dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau
perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.
Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-
pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian
tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.
8
Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet
yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak
percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik
diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki
kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-
kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang
rumit.
Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan
dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi
panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.
Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi
dengan partai besar dalam hal ini adalah Masyumi dan PNI. Mereka sadar betul
bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di
parlemen.
Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi
liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen
tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam
pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan
pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.
Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang
dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar
bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak
sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap
bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959
mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya
kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.
9
b. Seputar Dekrit Presiden
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah
disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.
Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :
1. Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara
belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS
1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai
dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
2. Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga
membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak
mempunyai pijakan hukum yang mantap.
3. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
4. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin
bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
5. Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
6. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat.
7. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala
cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan
mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya
dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang
semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.
10
Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
1. Pembubaran konstituante
2. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
1. Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas
politik yang telah goyah selama masa Liberal.
2. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit
Presiden.
3. KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan
pengamanan Dekrit Presiden.
4. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya
untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif
1. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
2. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan
negara.
3. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga
tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen
tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif
1. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional
penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-
slogan kosong belaka.
2. Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi
negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut
sampai Orde Baru.
11
3. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak
Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang
disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa
sampai sekarang.
12
BAB II
2.1 Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD Sementara
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Sementara 1950
yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 adalah sistem
parlementer. Hai ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut.
a. Pasal 45 ayat1 UUDS 1950
"Presiden adalah kepala negara"
b. Pasal 83 ayat1 UUDS 1950
"Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat"
c. Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950
"Menteri-menteri beitanggungjawab atas keseluruhan kebijaksanaan
pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing
untuk bagiannya sendiri-sendiri"
d. Pasal 84 UUDS 1950
"Presiden berhak membubarkan DPR, keputusan presiden yang menyatakan
pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan DPR
dalam 30 hari"
Namun sistem pemerintahan yang dianut UUDS 1950, tidak jauh berbeda
dengan yang dianut oleh Konstitusi RIS 1949 yaitu sistem parlementer semu
(Quasi parlementer). Hal ini ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Perdana menteri diangkat oleh presiden (seharusnya oleh parlemen) (Pasal 51
ayat 2).
b.Kekuasaan perdana menteri sebagai ketua dewan menteri masih
dicampurtangani oleh presiden (seharusnya presiden hanya sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahannya adalah perdana menteri) (Pasal 46 ayat
1).
13
c. Pembentukan kabinet dilakukan oleh presiden dengan menunjuk seseorang
atau beberapa orang pembentuk kabinet (lazimnya oieh parlemen) (Pasal 50
jo 51 ayat 1).
d. Pengangkatan atau penghentian menteri-menteri dan kabinet dilakukan
dengan keputusan presiden (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 51 ayat 5).
e. Presiden dan wakil presiden berkedudukan selain sebagai kepala negara juga
sebagai kepala pemerintahan (seharusnya terpisah) (Pasal 45 jo 46 ayat 1) .
Berdasarkan penjelasan di atas, ditunjukkan bahwa sistem pemerintahan
dalam UUDS 1950, adalah sistem parlementer yang masih terdapat pula ciri-ciri
Kabinet presidensiil. Dan juga sistem pemerintahan yang dianut dalam konstitusi
RIS, masih dapat ditemukan dalam UUDS 1950.
Pada tanggal 1 April 1953, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum
yaitu UU No. 7 tahun 1953 diumumkan selanjutnya tanggal 29 september 1955
diadakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama kali di Indonesia, pemilu ini
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR. Pada tanggal 10 November 1956
Konstituante hasil pemilu 1955 mulai menggelar sidangnya di Bandung. Dalam
sidang ini agenda utama adalah menetapkan UUDS 1950.
Namun setelah bersidang selama tiga tahun, badan yang bertugas membuat
konstitusi tersebut gagal membuat UUD baru. Kegagalan ini disebabkan karena
adanya perdebatan panjang diseputar persoalan dasar negara. Pada tanggal 25
April 1950, presiden Soekarno memberikan amanatnya dalam sidang Konstituante
agar menetapkan UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Selanjutnya tanggal
29 Mei 1950 konstituante kembali bersidang, namun perdebatan tentang dasar
negara Republik Indonesia masih saja terjadi. Karena konstituante telah dianggap
gagal menetapkan UUD 1945, akhirnya tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekamo
mengeluarkan Dekrit yang berisi antara Iain bahwa konstituante dibubarkan dan
kembali ke UUD 1945.
14
2.2 Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945
Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR.
Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah
ditangan prsiden.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat
persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk
menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan
mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan
sungguh – sungguh usaha DPR.
Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai
dengan pasal 16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24
adalah:
1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang
dilakukan oleh pemerintah.
2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau
kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA.
3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang
dilakukan oleh DPR.
4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif
atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan
yudikatif yang dilakukan oleh MA.
15
Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan
tata kerja lembaga tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi
Negara ialah sebagai berikut:
1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat
memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil presiden untuk
melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan
MPR lainnya. MPR dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan
berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai dengan pasal 8 UUD
1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
2. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD
1945 ialah presiden (pasal 4 – 15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal
23), dan MA (pasal 24).
a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR.
Dalam melaksanakan kegiatannya dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas
nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR membentuk UU termasuk
menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang.
b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah
yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak
mengajukan pertimbangan kepada presiden.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh
masyarakat berkewajiban selain bersama – sama dengan presiden membuat UU juga
wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam pelaksanaan haluan Negara.
d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung
jawab tentang keuangan Negara. Dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil
pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam bidang hukum, baik diminta
maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara.
16
Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan
lembaga tinggi Negara dan lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya
menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan – bagan dibawah ini yang
dielaborasi oleh kansil.:
Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal
4 sampai dengan pasal 15. Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur
pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah Pusat, Aperatur
Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara. Aperatur pemrintah pusat terdiri dari:
Kepresidenan beserta aparatur utamanya meliputi :
1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif).
2) Wakil presiden .
3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden
Republik Indonesia nomor 102 Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa
departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin oleh seorang
menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Departemen luar negeri, departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya.
4) Kejaksaan agung
5) Sekretariat Negara
6) Dewan – dewan nasional
7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166
tahun 2000, seperti publik Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain –
lain.
1. Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945
Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia
menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial.
Keyakinan ini secara yuridis samasekali tidak berdasar. Tidak ada dasar argumentasi
yang jelas atas keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka
tampaklah bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah
17
sistem campuran. Namun sistem campuran ini bukan campuran antara sistem presidensial
model Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris. Sistem campuran
yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintah¬an campuran model Indische
Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis
model Uni Sovyet.
Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
merupakan turunan langsung dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda
dahulu, yang berkembang melalui pengalaman sejarahnya sendiri sejak zaman VOC.
Sementara itu, sesuai dengan keterangan Muhammad Yamin (1971) yang tidak lain
adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet
yang disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas, maka apabila lembaga-lembaga
pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsregeling dan lembaga-lembaga
negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut disejajarkan, maka akan tampak sebagai
berikut:
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sovyet Tertinggi
Presiden/Wakil Presiden Gouverneur Generaal / Luitenant Gouverneur
Generaal
Dewan Pertimbangan Agung Raad van Nederlandsch-Indie
Dewan Perwakilan Rakyat Volksraad
Badan Pemeriksa Keuangan Algemene Rekenkamer
Mahkamah Agung Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie
2. Hubungan antara Presiden dengan DPR
Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami
mengapa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan
yang luar biasa besar. Hal ini dapat dimengerti, sebab Gouverneur Generaal, yang
kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan Presiden itu, adalahviceroy
18
Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda
itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa Presiden menurut UUD 1945
(sebelum amandemen) itu relatif omnipotent.
Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan
diri dari sifat-sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu
dibentuk sebagai ‘wakil’ rakyat Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur
Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu. Fungsi Volksraad dengan demikian
pertama-tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan kolonial Hindia Belanda,
bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga legislatif Hindia Belanda tetaplahGouverneur
Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh UUD 1945 (sebelum amandemen).
DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden, dan bukan lembaga legislatif.
Lembaga legislatif menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama dengan DPR).
Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi
kekuasaan Presiden, dan mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR
tersebut kepada DPR (bersama Presiden). Konstruksi konstitusional ini lebih mirip
dengan konstruksi model Inggris. Kekuasaan legislatif di Inggris sepenuh¬nya ada
di tanganParliament, meskipun pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja.
Presiden dengan demikian bertindak sebagai the ‘royal’ gouvernment, dan DPR bertindak
sebagai the loyal opposition.
3. Kedudukan MPR
Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang presis sama dengan fungsi Sovyet
Tertinggi di Uni Sovyet atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari
berlaku di Taiwan dan Republik Rakyat Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi
maupun Majelis Nasional merupakan pelaksana Kedaulatan Rakyat. Dalam rangka itu
MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi pedoman
kerja pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang
sebenarnya merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat
pemerintahan itu kepada Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka
19
maka Kepala Negara merupakan Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab
kepada MPR. Hal inilah yang mendasari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di Indonesia itu. Hal ini mirip dengan sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet
Tertinggi menyerahkan mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet Tertinggi, yang
bersifat kolektif itu (Denisov, A. dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu
berfungsi sebagai Kepala Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika
Serikat (Thomas James Norton, 1945). Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945,
MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Untuk kemudian MPR mengangkat
Kepala Negara yang bergelar Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang menjalankan
pemerintahan itu adalah Kepala Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari
Kepala Negara Indonesia semata. Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa
Presiden Indonesia itu juga merangkap sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana
Menteri Inggris (William A. Robson, 1948 dan Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970).
Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu mendapat mandat pemerintahan dari
Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen.
Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem
ketatanegaraan Indonesia secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi
sistem pemerintahan Indonesia. Sejak awal masa Reformasi, ada upaya nyata untuk
menghapus eksistensi MPR ini, dan diubah menjadi sistem pemerintahan model Amerika
Serikat. Pada ini muncul lembaga negara yang samasekali baru, yaitu Dewan Perwakilan
Daerah. Secara politis, lembaga ini merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi Daerah
dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut kelembagaan itu sendiri, lembaga baru
ini menjadi semacam lembaga Senate dalam susunan Congressdi Amerika Serikat.
Dengan demikian susunan MPR itu sendiri terdiri atas DPR dan DPD, mirip dengan
susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House of Representatives itu. Bedanya,
DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya memberi usulan
dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif. Masalahnya mengapa
Indonesia harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah. Seringkali muncul
pertanyaan ironik: mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak mengacu saja
pada Uganda atau Nepal misalnya, sebagai sesama negara yang berdaulat?
20
4. Eksistensi Penasehat Presiden
Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di
atas ditandai pula dengan sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat
pada tanggal 10 Agustus 2002 Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga
pemasehat Presiden dihapus. Namun pada saat yang sama dibentuklah Dewan
Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya, perbedaan antara kedua lembaga ini hanya
pada istilah ‘Agung’ dan istilah ‘Presiden’ semata. Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini
menunjukkan bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak mengacu pada sejarah
lembaga prestisius ini, dan rupanya juga tidak pernah mempelajari Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan Pertimbangan Agung itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan
suatu lembaga kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar
Romawi itu senantiasa didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam
Curia Regis. Lembaga pendamping Kepala Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di
pelbagai negara. Di Inggris terdapat Privy Council yang merupakan pendamping Kepala
Negara Inggris (King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis dikenal lembaga
conseil du roy, yang pada masa Napoleon diganti menjadiconseil d’etat. Di Belanda
terdapat Raad van State, dan di Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Raja.
Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan
sistem pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan
pembanding sejak munculnya teori Trias Politika, yang diterapkan di Amerika Serikat
atas dasar Konstitusi Amerika Serikat itu sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi
dagangnya VOC-pun juga mengikuti pola ini.Gouverneur Generaal mengendalikan reksa
dagangnya di seberang lautan (overzee) bersama dengan Raad van Indie (Kleintjes, Ph.,
1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939). Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda
lembaga ini berubah nama menjadiRaad van Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius
dan terhormatnya kedudukan lembaga pendamping Gubernur Jenderal ini, sehingga
Kleintjes (1932) menempatkanRaad van Nederlandsch-Indie ini sejajar dengan jabatan
Gubernur Jenderal itu sendiri.
21
Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan
Presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara. Akan tetapi apapun posisinya, baik DPA
maupun DPP merupakan lembaga pendamping Presiden. Tidak ada perubahan fungsi
sedikitpun antara keduanya. Hal ini tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi, tidak ada dasar akademik yang signifikan
sedikitpun untuk menghapus DPA dan mengubahnya menjadi DPP itu. Tidak lebih
daripada sekedar dagelan konstitusional itu tadi.
5. Sistem Keuangan Negara
Adapun mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini
mengam¬bil alih fungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet
(ICW) dan Indische Bedrijvenswet (IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja BPK
sampai munculnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara.
Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa badan ini '... dulu
dinamakanRekenkamer, ...' (Muhammad Yamin, 1971:311).
Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah.
Akan tetapi tidak berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu
diberitahukan kepada DPR (Bonar Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-
311). Artinya, BPK hanya wajib melaporkan hasil pemeriksaannya kepada DPR.
Dengan demikian BPK merupakan badan yang mandiri, serta bukan bawahan DPR. Hal
yang sama dijumpai pula pada hubungan kerja antara Algemeene Rekenkamerdengan
Volksraad.
6. Kekuasaan Kehakiman
Sama halnya dengan BPK, Mahkamah Agung juga mengam¬bil alih
fungsiHooggerechtshof van Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan
kehakiman warisan Hindia Belanda diambil alih pula ke dalam sistem hukum tentang
22
kekuasaan kehakiman Indonesia beberapa waktu lamanya sampai terbentuk ketentuan
yang baru. Bedanya, pada masa penjajahan Belanda dahulu, terdapat dualisme susunan
kekuasaan kehakiman ini. Ada Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai
perkara golongan Eropa, dan ada pula Indische Rechtssspraak yang menangani perkara-
perkara golongan inlanders (pribumi). Kelak pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini
dihapus.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan
badan peradilan khusus yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada Pengadilan Landraad
ada jabatan Penghoeloe yang menangani perkara-perkara agama Islam, atas nama
KetuaLandraad setempat. Hal ini tetap berlangsung di Pengadilan Negeri di masa
Kemerdekaan. Perkara-perkara agama itu masih memerlukan fiat eksekusi dari Ketua
Pengadilan Negeri manakala hendak dilakukan eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun
1989 dengan munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan
Agama. Sejak itu Badan Peradilan Agama menjadi badan peradilan khusus yang berdiri
sendiri, sejajar dengan badan peradilan Umum.
Pada masa Reformasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga
kehakiman tersebut adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul
pada Amandemen Ketiga pada tanggal 9 November 2001. Komisi Yudisial tersebut
diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang menyangkut mafia peradilan, sesuatu
yang keberadaannya antara ada dan tiada itu. Sementara itu Mahkamah Konstitusi
merupakan suatu lembaga antitesa atas buruknya kinerja lembaga peradilan itu sendiri
yang berpuncak pada Mahkamah Agung itu.
Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak
menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni
sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian
kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena
Undang-Undang Dasar 1945 :
a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu
organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
23
b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi
kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja
c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada
lembaga-lembaga negara lainnya.
a. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia
1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi
dalam beberapa provinsi. Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali,
Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra
Selatan.
2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah
presidensial.
3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh
MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004, Presiden dan
Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa
jabatan 2004 – 2009.
4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung
jawab kepada presiden.
5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan
anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan
sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing
provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat
melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan
DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga
dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi
jalannya pemerintahan.
24
6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di
bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial.
7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih
tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai
kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar
pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun
sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer &
melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada
dalm sistem presidensial.
b. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI
1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR
tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau
persetujuan DPR. Contohnya dalam pengangkatan Duta untuk negara asing,
Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian.
3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau
persetujuan DPR. Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar,
tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi.
4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang
dan hak budget (anggaran).
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa dalam
perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah
amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika politik
bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang
lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem
bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar
pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945
pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap
25
ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi
manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan
model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 :
Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945)
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai berikut :
a. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara,
termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam
melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
b. Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini
memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh
ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang
merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-
undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.
c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah:
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
26
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh
Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada
Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan
ketetapan-ketetapan Majelis.
d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada
di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi
juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang
berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.
e. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal
pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat
persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR.
Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam
kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab
kepada Dewan Perwa-kilan Rakyat.
g. Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-
mentri itu tidak bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung
dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu
presiden.
h. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan
berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab
kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR
27
karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah
anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR
untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden,
apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tarcela.
Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945)
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia
dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut :
a. Negara Indonesia adalah negara Hukum.
Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan.
b. Sistem Konstitusional
Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal
sebagai berikut:
- Pasal 2 ayat (1)
- Pasal 3 ayat (3)
- Pasal 4 ayat (1)
- Pasal 5 ayat (1) dan (2)
- Dan lain-lain
c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai
wewenang dan tugas sebagai berikut :
- Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
- Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
28
- Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD.
d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara
(Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B),
maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih
relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan
sistem presidensial.
f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-
tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya
diatur dalam undang-undang Pasal 17).
f. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang.
MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3).
Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan
pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta
hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).
2.3 Terbentuknya Negara RIS
a. Latar Belakang Terbentuknya RIS
29
Pada tanggal 15 Juli 1946, Dr. H.J. van Mook memprakarsai
penyelenggaraan konferensi di Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi ini dihadiri
oleh beberapa utusan daerah yang telah dikuasai Belanda. Konferensi Malino
membahas pembentukan Negara-negara bagian dari suatu Negara federal.
Berawal dari konferensi tersebut, Van Mook atas nama Negara Belanda mulai
membentuk negara-negara boneka yang tujuannya adalah untuk mengepung dan
memperlemah keberadaan Republik Indonesia. Dengan terbentuknya Negara-
negara boneka, RI dan Negara-negara bagian akan dengan mudah diadu domba
oleh Belanda. Hal ini merupakan perwujudan dari politik koloniall Belanda, yaitu
devide et impera.
Sejak kembalinya para pemimpin RI ke Yogyakarta 6 Juli 1949,
perundingan dengan BFO yang telah dirintis di Bangka dimulai lagi. Yang
dibahas dalam perundingan itu adalah pembentukan pemerintah peralihan
sebelum terbentuknya Negara Indonesia Serikat. Kemudian pada tanggal 19-
22 Juli 1949, diadakan perundingan diantara kedua belah pihak, yang disebut
konferensi antar Indonesia. Konferensi itu memperlihatkan bahwa politik divide
et impera Belanda untuk memisahkan daerah-daerah di luar Republik dari
Republik Indonesia, mengalami kegagalan. Pada konferensi antar Indonesia
yang diselenggarakan di Yogyakarta itu dihasilkan persetujuan mengenai bentuk
Negara dan hal-hal yang bertalian dengan ketatanegaraan Negara Indonesia
Serikat.
1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama RIS berdasarkan demokrasi
dan federalisme.
2. RIS akan dikepalai seorang Presiden konstitusional dibantu oleh menteri-
menteri yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Akan dibentuk dua badan perwakilan, yaitu sebuah dewan perwakilan
rakyat dan sebuah dewan perwakilan Negara bagian (senat). Pertama kali
akan dibentuk dewan perwakilan rakyat sementara.
30
4. Pemerintah federal sementara akan menerima kedaulatan bukan saja dari
pihak Negara Belanda, melainkan pada saat yang sama juga dari Republik
Indonesia.(Ilmu Negara, prof,drs,c.s.t,2007,hal. 170)
Di bidang Militer juga telah disepakati persetujuan sebagai berikut :
1. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional. Presiden RIS adalah
Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
2. Pertahanan Negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS; Negara-negara
bagian tidak akan memiliki angkatan perang sendiri.
3. Pembentukan Angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa
Indonesia. Angkatan perang RIS akan dibentuk oleh pemerintah RIS dengan
inti angkatan perang RI (TNI), bersama-sama dengan orang-orang Indonesia
yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB, dan territoriale bataljons.
4. Pada masa permulaan RIS Menteri Pertahanan dapat merangkap sebagai
Panglima Besar APRIS.
Konferensi antar Indonesia dilanjutkan kembali di Jakrta pada tanggal 30
Juli sampai 2 Agustus 1949, dan dipimpin oleh Perdana Menteri Hatta yang
membahas masalah pelaksanaan dari pokok-pokok persetujuan yang telah
disepakati di Yogyakarta. Kedua belah pihak setuju untuk membentuk Panitia
Persiapan Nasional yang bertugas menyelenggarakan suasana tertib sebelum dan
sesudah KMB. Sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri dengan
musyawarah di dalam konferensi antar Indonesia, kini Indonesia siap menghadapi
KMB.
Pada tanggal 4 Agustus 1949, diangkat delegasi RI yang terdiri dari : Drs.
Moh Hatta, Mr. Moh Roem, Prof. Dr.Mr. Supomo, dr. J.Leimena, Mr.
Alisastroamidjojo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Soemitro
Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr.
Sumardi. Delegasi BFO di wakili oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. (Ilmu
Negara, prof,drs,c.s.t,2007,hal. 175)
31
Pada tanggal 23 Agustus 1949 KMB dimulai di Den Haag. Konferensi
selesai pada tanggal 2 November 1949. Hasil Konferensi adalah sebagai berikut :
• Serah-terima kedaulatan dari pemerintah koloniall Belanda kepada RIS
kecuali Papua Bagian Barat. Indonesia ingin agar semua daerah bekas
jajahan Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda
sendiri ingin menjadikan Papua bagian barat Negara terpisah karena
perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini, karna
itu pasal kedua menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari
serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu
tahun.
• Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia , dengan monarch
Belanda sebagai Kepala Negara.
• Pengambilalihan hutang Hindia Belanda oleh RIS.
• Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia yang
sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat
lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia
Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
• Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-
ketentuan pada Konstitusinya; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan
kepada Keradjaan Nederland.
• Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember
1949.
• Pasukan Belanda, KL, dan KM akan dipulangkan, sedangkan KNIL akan
dibubarkan dan bekas anggota KNIL diperbolehkan menjadi APRIS.
Hasil-hasil KMB kemudian diajukan kepada KNIP untuk diratifikasi.
Selanjutnya pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS
dengan calon tunggal Presiden Soekarno. Keesokan harinya Ir. Soekarno terpilih
menjadi presiden RIS. Pada tanggal 20 Desember 1949 Moh. Hatta diangkat
sebagai Perdana Menteri RIS. Adapun pemangku jabatan Presiden RI adalah Mr.
32
Asaat ( mantan Ketua KNIP ) yang dilantik pada tanggal 27 Desember 1949. Pada
tanggal 23 Desember 1949 delegasi RIS dipimpin Moh. Hatta berangkat ke negeri
Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan dari pemerintah
Belanda. Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan itu dilakukan
bersamaan, yaitu di Indonesia dan Belanda pada 27 Desember 1949. Dengan
demikian, sejak saat itu RIS menjadi Negara merdeka dan berdaulat, serta
mendapat pengakuan internasional. Berakhirlah periode perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
b. Keadaan RIS dari Tahun 1949 – 1950
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merdeka dan berdaulat adalah Negara
hukum demokratis yang berbentuk federal. RIS dlakukan oleh pemerintah federal
bersama parlemen dan senat. Wilayahnya meliputi seluruh daerah Indonesia yang
terdiri atas:
1. Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan,
Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dan Negara
Sumatera Selatan.
2. Kesatuan poltik yang berkebangsaan yaitu Jawa Tengah Bangka, Belitung,
Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara dan
Kalimantan Timur.
3. Daerah-daerah lain yang bukan daerah bagian.
Alat perlegkapan RIS terdiri atas presiden, Dewan Menteri, Senat, Dewan
perwakilam Rakyat, mahkamah agung, dan dewan pemerksa keuangan. Parlemen
terdiri atas 150 orang, Senat sebagai perwakilan Negara-negara bagian adalah
Badan Penasehat. Tiap Negara bagian mengangkat 2 orang wakil di Senat.
Sementara itu rakyat tidak setuju apabila Konstitusi RIS diberlakukan
secara dominan. Dalam keadaan rakyat yang kecewa, ada beberapa pihak yang
33
mengambil kesempatan tersebut dengan mengadakan suatu aksi pengacaan atau
pemberontakan di beberapa daerah.
Gerakan pertama adalah aksi pengacauan oleh Westerling di daerah
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Bandung. Dalam melancarkan aksinya,
Westerlint menyatakan dirinya sebagai “Ratu Adil” dengan dalih untuk
menyelamatkan RIS.
Pada 23 Januari 1950 Westerling menguasai Bandung dan merencanakan
akan mengambil alih pemerintahan di Jakarta. Pemberontakan berhasil ditumpas,
namun Westerling berhasil meloloskan diri. Melalui penyelidikan intelijen, Sultan
Hamid II terlibat dalam pemberontakan ini. Ia menentang masuknya TNI ke
Negara Bagian Kalimantan Barat dan tidak mau mengakui menteri pertahanan
RIS, Sultan Hamengkubuwono IX.
Di Makasar terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis
yang semula menolak peleburan anggota-anggota KNIL ke dalam APRIS.
Pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh pasukan APRIS. Andi Azis
menyerahkan diri dan ia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh Panglima
Tentara di Yogyakarta. (Ilmu Negara, prof,drs,c.s.t,2007,hal. 176)
Di Maluku Selatan, timbul pemberontakan pimpinan Dr. Soumokil,
bekas jaksa agung NIT. Pada tanggal 25 April 1950 ia memproklamasikan
berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Pemerintah mengirimkan dr.
Leimena untuk menyelesaikan masalah tersebut secara diplomatik. RMS
menolak untuk berunding. Akhirnya pemerintah membentuk ekspedisi di bawah
pimpinan Kol. Kawilarang untuk menumpas RMS. Pada tanggal 28 September
1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan menguasai pulau Ambon.
Pemberontakan berhasil dipatahkan namun beberapa tokohnya melarikan diri
ke Belanda, kemudian membentuk “Pemerintah buangan”. (Ilmu Negara,
prof,drs,c.s.t,2007,hal. 177)
34
Ketiga pemberontakan yang terjadi selama masa pemerintahan RIS
merupakan suatu keadaan yang memang dipersiapkan oleh Belanda untuk
mengacau RIS melalui kekuatan militernya. Kondisi ini akan menimbulkan suatu
anggapan pada dunia internasional bahwa RIS tidak dapat memelihara keamanan
di wilayahnya.
Persoalan lain yang dihadapi Pemerintah RIS adalah adanya desakan dari
rakyat di beberapa Negara bagian untuk segera dapat bergabung dengan RIS dan
mengubah bentuk Negara. Kebijaksanaan pemerintah dalam hal ini didasarkan
pada konstitusi sementara yang terbentuk sebagai hasil persetujuan bersama, di
mana pemerintah telah berjanji untuk menjalankan dan memelihara peraturan
yang tercantum dalam onstitusi RIS. Oleh karena itu, dalam melaksanakan
kebijakan politik dalam negerinya terutama menyangkut perubahan bentuk
kenegaraan RIS, pemerintah harus berpegang pada ketentuan-ketentuan Konstitusi
Sementara itu.
Negara bagian yang menghendaki adanya perubahan bentuk Negara itu
antara itu antara lain NIT. Dalam rapat istimewa yang terjadi pada bulan Maret
1950, di mana partai-partai politik dan organisasi yang mewakili rakyat Indonesia
Timur telah mengeluarkan suatu pernyataan:
1. Rakyat Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya NIT, karena NIT adalah
ciptaan Van Mook;
2. Rakyat Indonesia Timur adalah rakyat Indonesia yang setia pada
kemerdekaan 17 Agustus 1945;
3. Republic Indonesia adalah ciptaan Rakyat Indonesia sendiri bedasarkan
pada Proklamasi 17 Agustus 1945;
4. Dalam mempertahankan isi Proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia
Timur tetap menganggap Irian adalah suatu daerah Republik Indonesia yang
harus direbut kembali.
Selain NIT, dewan Bangka menyatakan setuju dengan segala resolusi dan
mosi-mosi yang menuntut pemasukan daerah otonom Bangka ke dalam Republik
35
Indonesia. Di Madura muncul suatu tuntutan dari fraksi Indonesia dan Fraksi
Islam dalam DPRS Madura yang menuntut agar Madura hendaknya digabungkan
dalam Republik. Hal yang serupa dilakukan oleh Negara Sumatera Selatan.
RIS dihadapkan pada persoalan keuangan Negara. Sesuai dengan hasil
keputusan KMB bahwa Repulik harus menanggung semua hutang, baik hutang
dalam negeri maupun hutang luar negeri yang merupakan warisan dari pemerintah
Hindia-Belanda. Untuk mengatasi kesulitan di bidang keuangan, RIS mengambil
jalan:
1. Mengadakan rasionalisasi dalam susunan Negara dan dalam badan-badan
serta alat-alat pemerintahan;
2. Menyelidiki secara lebih baik dan teliti mengenai anggaran Negara-negara
bagian;
3. Mengintensiveer pemungutan berbagai iuran dan cukai;
4. Mengadakan pajak baru;
5. Mengadakan pinjaman nasional.
Masalah berikutnya yang dihadapi oleh Pemerintah RIS adalah mengenai
persoalan “Negara Hukum”. Langkah pertama dalam lapangan kehakiman ialah
mempelajari keadaan tata hokum Indonesia pada waktu penyerahan kedaulatan,
terutama menyelidiki bagian hokum mana yang masih berlakumenurut Konstitusi
RIS, dan bagian hokum mana yang telah hilang kekuatannya terkait dengan
penyerahan kedaulatan. Ini akan diselidiki pula, hokum mana yang harus segera
dicabut, diubah atau diganti terkait dengan RIS.
Masalah terakhir adalah angkatan perang. TNI merupakan inti dari
Angkatan Perang RIS. Maka dalam persetujuan KMB mengenai persoalan tentara
yang disebut hanya persoalan reorganisasi KNIL. Masalah ini pula yang turut
menyebabkan pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis.
36
c. Akhir Pemerintahan RIS
Negara RIS buatan Belanda tidak dapat bertahan lama karena muncul
tuntutan-tuntutan untuk kembali ke dalam bentuk NKRI sebagai perwujudan
dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Gerakan menuju pembentukan NKRI
mendapat dukungan yang kuat dari seluruh rakyat. Banyak Negara-negara bagian
satu per satu menggabungkan diri dengan Negara bagian Republik Indonesia.
Pada tanggal 10 Februari 1950 DPR Negara Sumatera Selatan
memutuskan untuk menyerahkan kekuasaannya pada RI. Tindakan semacam
ini dengan cepat dilakukan oleh Negara-negaa bagian lainnya ynag cenderung
untu menghapuskan Negara-negara bagian dan menggabungkan diri ke dalam
RI. Pada akhir Maret 1950, hanya tersisa empat Negara bagian dalam RIS, yaitu
Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Negara Indonesia Timur, dan Republik
Indonesia. Pada akhir April 1950, maka hanya Republik Indonesia yang tersisa
dalam RIS.
Penggabungan Negara-negara bagian ke dalam RI menimbulkan persoalan baru
khususnya dalam hubungan luar negeri. Hal ini karena RI hanya Negara bagian
RIS, hubungan luar negeri yang berlangsung selama ini dilakukan oleh RIS.
Sehingga peleburan Negara RIS ke dalam RI harus dihindari untuk menjamin
kedaulatan negara. Solusinya adalah RIS harus menjelma menjadi RI.
Setelah diadakan konferensi antara Pemerintah RIS dan RI untuk
membahas penyatuan negara, pada tanggal 19 Mei 1950, pemerintah RIS dan
RI menandatangani Piagam Persetujuan pembentukan Negara kesatuan. Pokok
dari isi piagam tersebut adalah kedua belah pihak dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya melaksanakan pembentukan Negara kesatuan berdasar Proklamasi 17
Agustus 1945.
Rapat-rapat antara pemerintah RIS dan RI mengenai Negara kesatuan
semakin sering dilakukan. Setelah rapat mengenai Pembagian daerah yang akan
merupakan wilayah NKRI, maka pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat
37
gabungan yang terakhir dari DPR dan Senat RIS di mana dalam rapat ini akan
dibicarakan “piagam pernyataan” terbentuknya NKRI oleh Presiden Soekarno.
Setelah pembacaan piagam pernyataan terbentuknya NKRI, maka dengan
demikian secara resmi Negara Kesatuan RI terbentuk kembali pada tanggal 17
Agustus 1950.
BAB III
a. Bentuk Lembaga Negara
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan dimana lembaga tersebut
dibuat oleh negara, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk
membangun negara itu sendiri.
3.1 Bentuk Lembaga Negara pada Masa Pemerintahan Parlementer
Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa Pemerintahan Parlementer
(UUDS) yaitu pada periode 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959 menurut UUDS pasal
44 lembaga negara yang ada yaitu:
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Menteri-menteri
3. Dewan Perwakilan Rakyat
4. Mahkamah Agung
5. Dewan Pengawas Keuangan. (Ilmu Negara, prof,drs,c.s.t,2007,hal. 179)
Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bahwa sudah ada pembagian
kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Presiden yang
berkedudukan sebagai kepala negara dibantu oleh wakil presiden, sedangkan
38
menteri sebagai eksekutif atau pelaksana pemerintahan.
Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950 ”Presiden menunjuk seorang atau beberapa
orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet
presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-
mentri yang lain. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan
pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk
bagiannya sendiri-sendiri.
Sebagai kepala negara berdasarkan pasal 84 “Presiden berhak untuk
membubarkan DPR.” Kekuasaan legeslatif dipegang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri
sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap
300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950).
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih untuk masa 4 tahun. Dan keanggotan DPR
tidak dapat dirangkap oleh lembaga lainnya, hal ini agar tidak tumpang tindih
dalam pembagian kekuasaan. Seorang anggota DPR yang merangkap dalam
lembaga lainnya tidak boleh mempergunakan hak dan kewajiban sebagai anggota
badan tersebut selama ia memangku jabatan ganda.
Dalam wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang
kepada pemerintah dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul
Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan
mengusulkan Undang-undang maka mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh
pemerintah kepada presiden.
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas
Keuangan. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi (Pasal 105
Ayat 1 UUDS 1950). Sebagai lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan
UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup. Mahkamah
Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh
39
undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang
sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa ”Mahkamah Agung dapat
diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”. Selain sebagai pengawas
atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi
nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden.
Selain MA dalam lembaga yudikatif juga ada DPK (Dewan Pengawas
Keuangan). Pengangkatan anggota DPK seumur hidup, undang-undang
menetapakan ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat diberhentikan apabila
mencapai usia tertentu. DPK dapat diberhentikan oleh presiden atas permintaan
sendiri.
3.2 Bentuk Lembaga Negara pada Masa Pemerintahan Presidensial
Pada masa pemerintahan presidensial kekuasaan lebih besar di tangan
presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative).
Menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada
presiden.
Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 2 unsur yaitu:
• Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan mengangkat
pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
• Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan yang tetap,
tidak bisa saling menjatuhkan. (Sistem Pemerintahan Indonesia, drs.inu
kencana,dkk,2002,hal. 61)
Dalam sistem presidensial, jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi,
pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden
bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu,
biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya.
40
Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang
lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih
menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan
sosial,dan sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan
negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara
yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislatif.
Presiden menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai
mandataris MPR.
Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegang supremasi kedaulatan,
MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang”
kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian MPR yang menjalankan
kekuasaan legislatif, sedangkan presiden adalah mandataris yang bertugas
menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan presiden menyusun
undang-undang. DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada
sistem parlementer maupun presidensial.
Sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara
berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi. Sehingga
para anggota legislatif bisa lebih independent dalam membuat UU karena
tidak khawatir dengan jatuh bangunnya pemerintahan. Sistem presidensial
mempunyai kelebihan dalam stabilitas pemerintahan, demokrasi yang lebih besar
dan pemerintahan yang lebih terbatas. Adapun kekurangannya, kemandekan
(deadlock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal, dan pemerintahan yang lebih
eksklusif.
Secara konstitusional, DPR mempunyai peranan untuk menyusun APBN,
mengontrol jalannya pemerintahan, membuat undang-undang dan peranan lain
seperti penetapan pejabat dan duta. Presiden tak lagi bertanggung jawab pada
DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat.
41
Konstitusi RI jelas telah menetapkan sistem pemerintahan presidensial.
Pemerintahan presidensial mengandalkan pada individualitas. Sistem
pemerintahan presidensial bertahan pada citizenship yang bisa menghadapi
kesewenang-wenangan kekuasaan dan juga kemampuan DPR untuk memerankan
diri memformulasikan aturan main dan memastikan janji presiden berjalan.
Pemerintahan presidensial memang membutuhkan dukungan riil dari rakyat
yang akan menyerahkan mandatnya kepada capres. Namun, rakyat tak bisa
menyerahkan begitu saja mandatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan capres.
Tugas Presiden Sebagai Kepala Negara:
Kepala negara adalah orang yang mengepalai negara dan sebagai symbol
resmi negara Indonesia di dunia yang mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Menetapkan dan mengajukan anggota dari hakim konstintusi. (Pasal 24A
ayat 3)
2. Mangangkat duta dan konsul untuk negara lain dengan pertimbangan DPR.
(Pasal 13 ayat 1)
3. Menerima duta dari negara lain dengan pertimbangan DPR. (Pasal 13 ayat 2)
4. Memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi dengan pertimbangan dari
MA dan DPR. (Pasal 14)
5. Memegang kekuasaan tertinggi atas AU / Angkatan Udara, AD / Angkatan
Darat dan AL / Angkatan Laut. (Pasal 10)
6. Menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syaratnya ditetapkan oleh Undang-
Undang. (Pasal 12)
7. Menyatakan perang dengan negara lain, damai dengan negara lain dan
perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR. (Pasal 11)
8.Membuat perjanjian yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
mempengaruhi beban keuangan negara dan atau mengharuskan adanya
42
perubahan / pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan DPR.
(Pasal 11 ayat 2)
9. Memberi gelar, tanda jasa, tanda kehormatan dan sebagainya yang diatur oleh
UU. (Pasal 15)
10.Menetapkan calon Hakim Agung yang diusulkan oleh KY / Komisi Yudisial
dengan persetujuan DPR. (Pasal 24A ayat 3)
11.Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih DPR atas
dasar pertimbangan DPD. (Pasal 6A)
12.Membentuk dewan pertimbangan yang memiliki tugas memberi nasehat dan
pertimbangan untuk Presiden yang diatur oleh UU. (Pasal 16)
Tugas Presiden Sebagai Kepala Pemerintahan:
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri
dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan sehari-hari. Tugas presiden sebagai kepala pemerintahan yaitu
sebagai berikut :
1. Menjalankan roda pemerintahan dengan di bantu oleh para menteri dan
stafnya. (Pasal 15 ayat 2)
2. Menetapkan peraturan pemerintah. (Pasal 15 ayat 1)
3. Mengajukan rancangan Undang-Undang. (Pasal 5 ayat 1)
3.3 Bentuk Lembaga Negara pada Masa Orde baru dan Reformasi
Pada Era sebelum reformasi atau Orde Baru kita mengenal lembaga negara
yakni lembaga tertinggi Negara yaitu MPR dan lembaga tinggi negara yakni
Presiden, DPR, DPA, MA dan BPK. Namun seiring dengan bergulirnya reformasi
terjadi perubahan lembaga tinggi negara yang mulai tahun 1999 terdiri dari
Presiden, DPR, MA, MK, DPD dan BPK, sedangkan DPA dilikuidasi. Lembaga
43
seperti yudikatif, eksekutif dan legislatif merupakan perangkat keras, sedangkan
perangkat lunaknya menyangkut pemilu, akuntabilitas, hak dasar, kesamaan
hukum, kompetensi, keterbukaan dan integrasi.
Pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh para pelakunya tetap berada
dalam koridor NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 serta norma dasar
yang berlaku. Dalam penyelenggaraa kekuasaan tiap-tiap lembaga mempunyai
susunan dan saling berhubungan satu dengan yang lain sehingga merupakan satu
kesatuan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara bangsa
sesuia dengan peran, kewenangan dan tanggung jawab masing-masing. Adapaun
penyelenggaraan fungsi-fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, konstitutif dan
auditif terdiri atas:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyar (MPR)
Majelis ini mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD
(fungsi konstitutif) serta melantik dan memberhentikan presiden dan waki
presiden. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut, majelis terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah melaksanakan sidang-
sidang.
2. Presiden
Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam
melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh satu orang wakil Presiden
dan sejumlah menter-menteri serta dewan pertimbangan yang diatur dengan
UU untuk memberikan nasehat dan perimbangan kepada Presiden. Sebagai
lembaga eksekutif, Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang dan
menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan undang-undang. Presiden
mengesahkan RUU yag telah disetujui DPR menjadi UU.
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
44
Sebagai Manifestasi dari prinsip demokrasi perwakilan, dibentuk DPR
sebagai lembaga perwakilan rakyat yang harus mampu menyerap aspirasi rakyat
dan merumuskannya dalam kebijakan negara serta memperjuangkan aspirasi
rakyat sesuai dengan tuntutan politik yang berkembang. Dewan memegang
kekuasaan membentuk UU yang mempunyai fungsi legislative, fungsi anggaran,
serta pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
4. Dewan Perwakilan Daerah
Dalam rangka menerapkan prinsip demokrasi dan prinsip desentralisasi
serta dalam upaya mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan kebijakan
pemerintahan negara maka dibentuk Dewan Perwakilan Daerah. Lembaga ini
dapat mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK dibentuk untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan negara secara bebas dan mandiri. Badan ini melaksanakan fungsi auditif
yaitu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya untuk ditindaklanjuti serta kepada pemerintah untuk tindakan
perbaikan dan penindakan.
6. Mahkamah Agung (MA)
MA dibentuk untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman bersama
peradilan yang berada dobawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
leingkungan peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara.
7. Mahkamah Konstitusi (MK)
45
Mahkamah Konstitussi dibentuk untuk melaksanakan kekuasaan
kehakiman disamping MA dan badan peradilan untuk mengadili dengan putusan
final dalam menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara sesuai dengan UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus
perselisihan hasil pemilu dan sebagainya.
8. Bank Sentral
Negara memiliki bank Sentral yang menurut UU No 23 tahun 1999
dilaksanakan oleh Bank Indonesia dengan tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga sistem pembayaran dan mengatur serta
mengawasi bank.
BAB IV
4.1 Kesimpulan
UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) tegas menyebutkan Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Artinya pemerintahan yang kita anut
adalah sistem presidensial. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua,
masa jabatannya pasti selama lima tahun. Ketiga, tidak mudah dijatuhkan,
meskipun tidak berarti tidak boleh diberhentikan (impeachment).
Dalam praktik pemerintahan presidensial yang berlangsung selama
ini terutama sebelum perubahan UUD 1945 diserahkan sepenuhnya kepada
Presiden dan menempatkannya sebagai hak prerogatif Presiden (hak mutlak
yang dimiliki presiden) walaupun tidak pernah diatur dalam UUD 1945 dan
peraturan pemerintah namun dalam orde baru hak ini dilakukan secara nyata.
Akibatnya semua berjalan dengan landasan Keppres, seperti pembentukan
kabinet, pengangkatan menteri, duta, konsul, grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi,
pemberian gelar, kesemuanya tidak ada kontrol yang “cukup” dari lembaga negara
lainnya.Catatan sejarah politik ketatanegaraan kita jelas membuktikan apabila
46
penggunaan hak-hak prerogatif yang pernah dipraktikkan di masa lalu, malah
menyebabkan timbulnya model kekuasaan politik yang tidak terkontrol.
Terlepas dari polemik model kepemimpinannya, di era Orde Lama,
Presiden Sukarno hampir terjerumus ke “lobang” kekuasaan yang diktatorialisme,
karena penggunaan hak prerogatif yang berlebihan. Demikian juga di era
kepresidenan Soeharto yang berlangsung hampir 32 tahun, hak prerogatif yang
dimilikinya secara akumulatif justru menjatuhkan kekuasaannya, akibat desakan
gerakan reformasi di tahun 1998, yang intinya tuntutan demokrasi dan tegaknya
hukum.
Jadi, tidak ada jaminan penggunaan hak prerogatif yang berlebihan
terhadap stabilitas jalannya roda pemerintahan. Belajar dari pengalaman sejarah
inilah, maka penggunaan hak prerogatif memang harus dibatasi. Namun,
akan lebih efektif lagi apabila penguatan sistem presidensial juga dilakukan
dengan membuat payung hukum yang melindungi efektivitas kinerja lembaga
kepresidenan. Karenanya, kehadiran UU No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan
Pertimbangan Presiden dan pembentukan UU Kementerian Negara serta wacana
untuk menerbitkan UU Lembaga Kepresidenan menjadi mutlak perlu, sebagai
langkah operasional dari amanat UUD 1945. Kehadiran UU ini semua akan
memberikan jaminan yang pasti terhadap stabilitas roda pemerintahan didalam
sistem pemerintahan presidensial. Sekaligus memberi kepastian atas kelangsungan
pelayanan publik, yang dibutuhkan rakyat.
47
4.2 Referensi
Prof.Drs.Kansil C.S.T. Ilmu Negara .Pradnya Paramita. Jakarta:2007
Retnowulan Sutantio SH. dan Iskandar Oerip Kartawinata SH. Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju. Bandung: 1989.
Kencana Syafiie Inu, Drs. Dkk. Sistem Pemerintahan Indonesia. Rineka Cipta.
Jakarta: 2002.
Ndraha Taliziduhu. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Rineka Cipta. Jakarta: 1997.
Widjaja H.A.W. Prof. Drs. Pedoman Pancasila pada Perguruan Tinggi. Rajawali
Pers. Jakarta: 2002.
48