PEMACUAN KEMATANGAN GONAD
IKAN LELE DUMBO (Clarias sp.) BETINA
DENGAN KOMBINASI HORMON PMSG DAN Spirulina
NOVI MAYASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemacuan Kematangan Gonad Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Betina dengan Kombinasi Hormon PMSG dan Spirulina adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Novi Mayasari NIM C151090181
ABSTRACT
NOVI MAYASARI. Induction of gonadal maturation in female catfish (Clarias sp.) with PMSG hormone and Spirulina. Under direction of AGUS OMAN SUDRAJAT and TJANDRA CHRISMADHA The demand of catfish in the market has been growing annually. It is a significant errand for farmers to provide an amount of seed continually in an adequate number in order to support catfish production. Rematuration is one of the ways to enhance spawning frequency. The aim of the research was to develop a process for accelerate gonad maturity of female catfish using combination of Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) mix hormone and the addition of Spirulina in feeds. PMSG dosage used were 0 IU, 5 IU, 10 IU and 20 IU , whereas Spirulina were 0%, 1.5% and 3%. The results showed that gonad maturity process of female catfish could be accelerated only in 4 weeks by administering the combination of PMSG mix hormone and Spirulina supplementation in the feeds. The treatment of PMSG mix 5 IU/kg weight seemed to be significantly effective to accelerate gonad maturity in female catfish. Keywords : catfish, gonad maturation, PMSG mix, Spirulina
RINGKASAN
NOVI MAYASARI. Pemacuan Kematangan Gonad Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Betina dengan Kombinasi Hormon PMSG dan Spirulina. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan TJANDRA CHRISMADHA.
Ikan lele merupakan salah satu dari sepuluh komoditas perikanan
unggulan yang ditetapkan oleh Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). Permintaan akan ikan lele di pasar semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu produksi ikan ini pun semakin meningkat setiap tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi adalah dengan peningkatan frekuensi pemijahan. Oleh karena itu proses percepatan kematangan gonad/rematurasi perlu dilakukan. Jika ditinjau dari segi endokrin maupun dari segi penambahan nutrisi aditif pada pakan maka hal ini sangat mungkin dilakukan. Dari segi endokrin, aplikasi hormon eksogen untuk merangsang reproduksi ikan sering dilakukan karena biasanya sinyal lingkungan kurang mampu mengaktivasi ikan untuk segera bereproduksi. Melalui penggunaan pakan dengan kualitas yang baik dapat menunjang reproduksi ikan sehingga produktivitas yang dihasilkan pun semakin tinggi.
Pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) merupakan chorionic gonadotropin dari jenis kuda yang disekresikan oleh endometrium di rahim kuda hamil. Hormon PMSG biasa digunakan untuk menginduksi superovulasi pada mamalia. Hormon ini adalah hormon yang kandungannya berupa folikel stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya akan mempengaruhi pituitary untuk memproduksi gonadotropin. Setelah itu gonadotropin akan merangsang ovary untuk proses pematangan telur pada ikan. Hormon PMSG ini mampu merangsang pertumbuhan sel interstisial ovarium, pertumbuhan dan pemasakan folikel. Dengan kemampuan tersebut, PMSG diharapkan mampu meningkatkan diameter telur ikan dan selanjutnya menyebabkan kematangan telur terjadi.
Spirulina merupakan salah satu jenis mikroalga yang memiliki nilai nutrisi yang cukup tinggi. Kadar protein Spirulina dilaporkan berkisar antara 60-70%. Spirulina merupakan sumber gamma linolenic acid (GLA), asam lemak esensial tak jenuh ganda. Asam lemak esensial ini adalah prekursor untuk prostaglandin. Prostaglandin berperan sebagai hormon yang membantu pada ovulasi yaitu saat pecahnya sel folikel. Penggunaan 3% Spirulina dalam pakan ikan patin (Pangasius bocourti) mampu meningkatkan kemampuan reproduksi ikan tersebut. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ikan nila yang hanya diberi makan Spirulina saja bisa tetap normal bereproduksi sepanjang tiga generasi. Penggunaan Spirulina dalam pakan kerang/bay scallops juga berhasil untuk pematangan gonad yang normal serta menghasilkan fekunditas dan derajat penetasan yang tinggi.
Dengan melakukan pendekatan dari segi hormonal (PMSG mix) maupun dari segi nutrisi aditif dalam pakan (Spirulina) maka diharapkan adanya percepatan kematangan gonad dari induk betina ikan lele dumbo. Selain itu diharapkan pula telur yang dihasilkan berkualitas baik sehingga derajat pembuahan dan derajat penetasannya tinggi.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan November 2011. Pakan merupakan pakan laboratorium (kadar protein 30%) yang biasa digunakan untuk pembesaran ikan lele. Penambahan Spirulina dilakukan sewaktu pembuatan pakan sesuai dengan dosis yang diinginkan. Selama pemeliharaan ikan diberi makan dengan feeding rate sebesar 3% dari bobot tubuhnya. Frekuensi pemberian pakan yaitu 2 kali pada pukul 08.00 dan 16.00 WIB.
Induk ikan lele dumbo (Clarias sp.) yang digunakan berasal dari petani ikan di daerah Cianjur dan Sawangan (Depok). Bobot induk yang digunakan berkisar antara 216-858 g/ ikan. Adaptasi pakan dilakukan terlebih dahulu selama 1 minggu sebelum penelitian dimulai. Penyeragaman tingkat kematangan gonad dilakukan sebelum penelitian sehingga ikan dalam keadaan kosong (tidak ada telur). Hormon PMSG mix yang digunakan merupakan produk dari Intervet dengan nama dagang PG600. Penelitian ini menggunakan wadah berupa 12 buah bak semen berukuran 2.5 x 1.2 x 0.5 m . Selain itu juga digunakan wadah plastik sebanyak 80 buah dengan ukuran 25 x 25 x 10 cm yang akan digunakan pada proses inkubasi, penetasan telur dan pemeliharaan larva. Perlakuan yang diujicobakan dalam penelitian ini sebanyak 12 perlakuan yang merupakan kombinasi dari dosis hormon PMSG mix dan dosis Spirulina. Dosis PMSG yang akan diujicobakan sebanyak 4 dosis masing-masing sebesar 0 IU, 5 IU, 10 IU dan 20 IU, sedangkan dosis Spirulina sebanyak 3 dosis yaitu 0%, 1.5% dan 3%. Penyuntikan hormon dilakukan sebanyak 4 kali dengan interval selama 1 minggu. Setiap perlakuan menggunakan satu wadah dan tiap wadah diisi 9 ekor ikan. Sebanyak 5 ikan diamati performa reproduksinya pada akhir penelitian sedangkan 4 lainnya masing-masing diambil seekor tiap minggu untuk pengamatan histologi gonad. Penambahan Spirulina dalam pakan menyebabkan peningkatan terhadap kadar lemak maupun kadar protein pakan. Akan tetapi kadar serat kasar mengalami penurunan dengan adanya penambahan Spirulina. Kadar asam lemak jenuh dan asam lemak monoenoat di pakan menurun dengan adanya penambahan 1.5% Spirulina, namun dengan penambahan yang semakin tinggi (3%) menyebabkan kadar asam lemak tersebut naik kembali. Hal yang sama juga terjadi pada kadar asam lemak n-3, eicosapentaenoic Acid (EPA) dan docosahexaenoic Acid (DHA). Sebaliknya terlihat ada peningkatan kadar asam lemak n-6 dan juga GLA dalam pakan seiring dengan bertambahnya dosis Spirulina yang digunakan. Rasio asam lemak n-6 dibanding dengan n-3 mengalami kenaikan sejalan dengan peningkatan dosis Spirulina dalam pakan.
Selama penelitian terlihat bahwa semua ikan pada setiap perlakuan mengalami pertumbuhan dan perkembangan gonad, walaupun dimulai pada waktu yang berbeda. Setelah 28 hari perlakuan, induk ikan yang matang gonad kemudian dipijahkan secara buatan. Pada akhir penelitian, baik pada perlakuan A maupun B tidak terdapat induk ikan yang matang gonad. Persentase tertinggi dari ikan yang matang gonad diperoleh pada perlakuan D (5 IU; 0%) yaitu sebesar 80%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses rematurasi/pematangan gonad kembali pada induk betina ikan lele dumbo dapat dipercepat hanya dalam 4 minggu dengan penyuntikan hormon PMSG mix dan pemberian pakan bersuplemen Spirulina.
Fekunditas relatif yang diperoleh pada penelitian ini cukup besar berkisar antara 66968 sampai dengan 137291 butir telur/kg induk. Pada penelitian ini, fekunditas relatif yang terbesar diperoleh pada perlakuan D (0%; 5 IU) dengan rata-rata sebesar 137291 (yang berkisar antara 98467 – 195618) butir telur/kg induk.
Penambahan Spirulina dalam pakan dengan dosis berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter telur, dimana dosis 3% memberikan hasil yang terbaik (p<0.10). Perlakuan penyuntikan hormon PMSG mix memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter telur ikan (p<0.10). Secara umum terlihat bahwa diameter telur ikan lele dumbo bertambah seiring dengan lamanya waktu penelitian. Perkembangan kematangan gonad juga dapat terlihat dari nilai GSI dan HSI pada penelitian ini.
Perlakuan penyuntikan hormon PMSG mix dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa hormon) juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap FR dan HR (p<0.10). Pemberian perlakuan kombinasi hormon PMSG mix dan Spirulina (pada perlakuan C sampai perlakuan L) jika dibandingkan dengan perlakuan A (0%; 0 IU) dan perlakuan B (1.5%; 0 IU) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai FR dan HR (p<0.10). Nilai FR dan HR yang diperoleh pada penelitian ini (perlakuan C sampai perlakuan L) juga cukup besar yaitu lebih dari 80%.
Hasil uji Dunn terhadap data SR4 menunjukkan bahwa perlakuan hormon PMSG mix dan penambahan Spirulina dalam pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap SR4 jika dibandingkan dengan perlakuan A dan B (p<0.10). Penambahan Spirulina 1.5% dan hormon PMSG mix 20 IU (pada perlakuan K) memberikan pengaruh yang lebih baik dimana hasil rata-rata SR4 lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Persentase abnormalitas larva pada penelitian ini berkisar antara 0-0.91%. Penambahan Spirulina 1.5% dalam pakan ikan (perlakuan E dan H) mampu mengurangi persentase abnormalitas jika dibandingkan dengan perlakuan yang tidak ditambah Spirulina.
Hasil penelitian menunjukkan proses rematurasi pada ikan lele dumbo betina dapat dipercepat menjadi hanya 4 minggu (28 hari) pasca pemijahan dengan penyuntikan hormon PMSG mix dan pemberian pakan bersuplemen Spirulina. Penggunaan perlakuan hormon PMSG mix 5 IU/kg induk efektif untuk mempercepat kematangan gonad induk (dengan 4x penyuntikan) dengan kualitas larva yang baik serta biaya yang terjangkau yaitu Rp. 13.380,- per kg induk. Penambahan 3% Spirulina dalam pakan ikan lele dumbo dapat menjadi alternatif dalam proses rematurasi dengan biaya yang relatif murah sebesar Rp. 12.144,-.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PEMACUAN KEMATANGAN GONAD
IKAN LELE DUMBO (Clarias sp.) BETINA
DENGAN KOMBINASI HORMON PMSG DAN Spirulina
NOVI MAYASARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
Judul : Pemacuan Kematangan Gonad Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Betina dengan Kombinasi Hormon PMSG dan Spirulina
Nama : Novi Mayasari NRP : C151090181
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc.
Ketua Anggota
Drs. Tjandra Chrismadha, M.Sc
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Akuakultur
Prof.Dr. Enang Harris
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 11 Januari 2012 Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Ir. Harton Arfah, M.Si.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan November 2011 ini ialah rematurasi pada ikan lele dumbo, dengan judul Pemacuan Kematangan Gonad Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) Betina dengan Kombinasi Hormon PMSG dan Spirulina
Dengan keikhlasan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr.Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc., Drs. Tjandra Chrismadha, M.Sc. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan dan pembimbingan terhadap kesempurnaan tesis ini.
2. Prof.Dr. Enang Harris selaku Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur (AKU) SPs IPB.
3. Ir. Harton Arfah, M.Si atas saran dan masukan yang diberikan dalam ujian akhir untuk kesempurnaan tesis ini.
4. Pimpinan LIPI melalui Bapak Sekertaris Utama-LIPI yang telah memberikan kesempatan kepada penulis melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB melalui karyasiswa LIPI.
5. Dr. Tri Widiyanto, M.Si. selaku Kepala Pusat Penelitian Limnologi-LIPI dan Ir. Lukman, M.Si. selaku Kepala Bidang Produktivitas Perairan Darat, Puslit Limnologi-LIPI yang telah memberikan ijin dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi.
6. Ayahanda Marsidi (Alm), Ibunda Sumiyati, Ayahanda Sukiran, Ibunda Ngatini, Eyang Kakung Sahli serta Eyang Putri Sarni yang selalu memberikan doa dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan
7. Suami tercinta Agus Waristriatmaja dan ananda Nararya Hylmi Kenzie yang selalu memberikan semangat dan doa selama penulis menyelesaikan pendidikan
8. Teman-teman Akuakultur 2009 yang selalu menemani penulis mulai dari awal pendidikan hingga selesai
9. Seluruh anggota Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika Ikan BDP-IPB, terutama Erna Thalib, Wahyuni Fanggitasik, Safrizal dan Aras Syazili serta Fajarruddin Manurung yang telah menemani dan memberikan bantuan selama penelitian.
10. Seluruh teknisi di Kolam Percobaan, FPIK IPB yang telah memberikan bantuan selama penelitian.
11. Semua pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
Novi Mayasari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Metro, Lampung pada tanggal 7 Oktober 1983. Penulis merupakan anak dari Bapak Marsidi (alm) dan Ibu Sumiati. Penulis adalah bungsu dari dua bersaudara.
Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Metro dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur IPB pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis diterima bekerja di Pusat Penelitian Limnologi LIPI sebagai staf peneliti bidang Produktivitas Perairan Darat. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan dari pihak beasiswa Karyasiswa LIPI untuk melanjutkan kuliah di Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Akuakultur IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xvi
PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 3
Hipotesis .......................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5
Perkembangan Gonad Ikan ............................................................... 5
Peranan Hormon PMSG ................................................................... 8
Peranan Spirulina .............................................................................. 10
BAHAN DAN METODE ....................................................................... 13
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 13
Bahan dan Alat .................................................................................. 13
Metode Penelitian ............................................................................. 14
Pelaksanaan Penelitian ...................................................................... 17
Analisis Statistik ............................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 21
Hasil ............................................................................................. 21
Pembahasan ...................................................................................... 42
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 49
Simpulan ........................................................................................... 49
Saran …. ............................................................................................ 49
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 51
LAMPIRAN ............................................................................................ 55
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kandungan asam lemak esensial dalam Spirulina ....................... 11
2. Perlakuan penelitian pemacuan kematangan gonad ikan lele
dumbo betina dengan hormon PMSG dan Spirulina .................. 15
3. Analisa proksimat (% bobot kering) dan total asam lemak
(% area) terhadap Spirulina dan pakan perlakuan ...................... 21
4. Diameter telur ikan lele dumbo selama penelitian ....................... 22
5. Perkembangan kematangan gonad ikan lele dumbo dengan
pemberian kombinasi hormon PMSG dan Spirulina .................. 23
6. Perkembangan kematangan gonad dan kinerja reproduksi ikan
lele dumbo betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon
PMSG dan Spirulina (variabel pada uji Kruskal wallis
dikelompokkan berdasarkan hormon PMSG) ............................. 37
7. Perkembangan kematangan gonad dan kinerja reproduksi ikan
lele dumbo betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon
PMSG dan Spirulina (variabel pada uji Kruskal wallis
dikelompokkan berdasarkan Spirulina) ...................................... 38
8. Perkembangan kematangan gonad dan kinerja reproduksi ikan
lele dumbo betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon
PMSG dan Spirulina (variabel pada uji Kruskal wallis
dikelompokkan berdasarkan kombinasi hormon PMSG dan
Spirulina) .................................................................................... 39
9. Kualitas air selama penelitian ..................................................... 41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 0 IU dan Spirulina 0% ............................... 24
2. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 0 IU dan Spirulina 1.5% ............................ 25
3. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 0 IU dan Spirulina 3% ................................ 26
4. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 5 IU dan Spirulina 0% ................................ 27
5. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 5 IU dan Spirulina 1.5% ............................. 28
6. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 5 IU dan Spirulina 3% ................................ 29
7. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 10 IU dan Spirulina 0% .............................. 30
8. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 10 IU dan Spirulina 1.5% ........................... 31
9. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 10 IU dan Spirulina 3% .............................. 32
10. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 20 IU dan Spirulina 0% .............................. 33
11. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 20 IU dan Spirulina 1.5% ........................... 34
12. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi
hormon PMSG mix 20 IU dan Spirulina 3% .............................. 35
13. Kelangsungan hidup larva setelah 4 hari / SR4 (%) .................... 40
14. Persentase abnormalitas pada larva hari ke-4 ............................. 40
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Produksi perikanan budidaya lele (ton) ...................................... 57
2. Produksi benih ikan lele .............................................................. 57
3. Komposisi pakan laboratorium untuk ikan lele dumbo .............. 58
4. Prosedur analisis proksimat ......................................................... 59
5. Prosedur penyiapan preparat histologi gonad ............................. 63
6. Histogram diameter telur ikan lele dumbo betina yang diberi
perlakuan hormon PMSG dan Spirulina ..................................... 66
7. Hasil analisa asam lemak pada pakan perlakuan yang
ditambahkan Spirulina ................................................................ 68
8. Kinerja reproduksi induk ikan lele dumbo yang diberi perlakuan
hormon PMSG dan Spirulina ....................................................... 69
9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 ........................ 72
10. Contoh perhitungan uji Dunn ..................................................... 82
11. Perhitungan analisa ekonomi ...................................................... 85
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan lele merupakan salah satu dari sepuluh komoditas perikanan
unggulan yang ditetapkan oleh Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP).
Permintaan akan ikan lele di pasar semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh
karena itu produksi ikan ini pun semakin meningkat setiap tahun. KKP (2010)
melaporkan bahwa selama periode tahun 2005-2009 terjadi peningkatan produksi
sebesar 108.62% (Lampiran 1) atau rata-rata peningkatan produksi setiap
tahunnya yaitu 23.33% . Pada kegiatan pembenihan, faktor induk menjadi penentu
keberhasilan kegiatan. Ketersediaan benih yang berkualitas dalam jumlah cukup
dan kontinu menjadi suatu keharusan bagi pembudidaya untuk menunjang
peningkatan produksi. Selama periode tahun 2008-2009 terjadi peningkatan
produksi benih lele yaitu sebesar 2.21% (Lampiran 2).
Pemijahan induk lele pada skala produksi massal seringkali dilakukan
melalui induce spawning maupun induce breeding. Diketahui bahwa ikan lele
dumbo (Clarias sp.) mampu memijah sepanjang tahun. Dalam satu tahun secara
alami (dengan pemberian pakan biasa) ikan lele mampu memijah sampai dengan
3 kali. Untuk dapat meningkatkan produksi maka diperlukan peningkatan
frekuensi pemijahan. Oleh karena itu proses percepatan kematangan
gonad/rematurasi perlu dilakukan. Jika ditinjau dari segi endokrin maupun dari
segi penambahan nutrisi aditif pada pakan maka hal ini sangat mungkin
dilakukan. Dari segi endokrin, aplikasi hormon eksogen untuk merangsang
reproduksi ikan seringkali dilakukan karena biasanya sinyal lingkungan kurang
mampu mengaktivasi ikan untuk segera bereproduksi. Melalui penggunaan pakan
dengan kualitas yang baik dapat menunjang reproduksi ikan sehingga
produktivitas yang dihasilkan pun semakin tinggi.
PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) atau chorionic gonadotropin
dari jenis kuda disekresikan oleh endometrium di rahim kuda hamil.
Hormon ini dapat ditemukan dalam darah kuda hamil antara hari ke-40 dan 120
kehamilan, mencapai puncaknya sekitar hari ke-60. Sebelum pengukuran PMSG
dibutuhkan tes khusus untuk kehamilan karena hormon hanya ditemukan dalam
kuda hamil. Setelah 150 hari usia kehamilan, kadar hormon ini tidak terdeteksi
2
lagi. Hormon PMSG biasa digunakan untuk menginduksi superovulasi pada
mamalia. Hormon ini adalah hormon yang kandungannya berupa FSH (folikel
stimulating hormone) dan LH (luteinizing hormone). PMSG merangsang
terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya akan mempengaruhi pituitary
untuk memproduksi gonadotropin (Bolamba et al. 1992). Setelah itu gonadotropin
akan merangsang ovary untuk proses pematangan telur pada ikan. Menurut
Partodiharjo (1987) dalam Basuki (1990), PMSG sangat banyak mengandung
unsur daya kerja FSH dan sedikit LH, sedangkan HCG (Human Chorionic
Gonadotropin) memiliki potensi LH yang amat kuat.
Perbaikan yang dilakukan pada nutrisi dan pemberian pakan ke induk
ikan telah menunjukkan peningkatan yang besar tidak hanya pada sperma dan
telur, akan tetapi juga pada produksi benih. Perkembangan gonad dan fekunditas
(jumlah telur yang dihasilkan induk) juga dipengaruhi beberapa nutrien tertentu,
terutama pada ikan yang memijah secara terus-menerus dengan periode
vitelogenesis yang pendek (Izquierdo et al. 2001).
Dalam proses pematangan gonad, induk ikan perlu mendapatkan nutrisi
yang mampu menunjang perkembangan gonadnya. Spirulina merupakan salah
satu jenis mikroalga yang memiliki nilai nutrisi yang cukup tinggi. Kadar protein
Spirulina dilaporkan berkisar antara 55-70%. Penelitian mengenai penggunaan
Spirulina dalam pakan ikan patin (Pangasius bocourti) dilaporkan mampu
meningkatkan performa reproduksi ikan tersebut (Meng-Umphan 2009).
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ikan nila yang hanya diberi makan
Spirulina saja bisa tetap normal bereproduksi sepanjang tiga generasi (Lu &
Takeuchi 2004). Zhou et al. (1991) melaporkan bahwa penggunaan Spirulina
dalam pakan kerang/bay scallops berhasil untuk pematangan gonad yang normal
serta menghasilkan fekunditas dan derajat penetasan yang tinggi.
Dengan melakukan pendekatan dari segi hormonal (PMSG mix) maupun
dari segi nutrisi aditif dalam pakan (Spirulina) maka diharapkan adanya
percepatan kematangan gonad dari ikan lele dumbo. Selain itu diharapkan pula
telur yang dihasilkan berkualitas baik sehingga derajat pembuahan dan derajat
penetasannya tinggi. Proses pemacuan kematangan gonad pada ikan lele betina di
luar musim pemijahan dengan menggunakan hormon PMSG mix dan
3
penambahan Spirulina dalam pakan diharapkan mampu meningkatkan produksi
sehingga ketersediaan benih cukup dan kontinu.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan proses percepatan
kematangan gonad pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) betina di luar musim
pemijahan dengan menggunakan kombinasi dosis PMSG mix serta penambahan
Spirulina dalam pakan. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap peningkatan produksi ikan lele dumbo.
Hipotesis
Penggunaan kombinasi penyuntikan hormon PMSG mix dan penambahan
Spirulina dalam pakan mampu memacu kematangan gonad dari ikan lele dumbo
(Clarias sp.) betina sehingga reproduksinya lebih cepat daripada pemeliharaan
dengan sistem biasa.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Gonad Ikan
Effendie (1997) menyebutkan bahwa pengetahuan mengenai tingkat
kematangan gonad (TKG) sangat penting dan akan menunjang keberhasilan
pembenihan ikan. Hal ini karena pengetahuan tersebut akan mempermudah dalam
pemilihan calon-calon induk ikan yang akan dipijahkan. Seiring dengan
berkembangnya TKG, diameter telur yang ada dalam gonad juga semakin
membesar sebagai hasil dari akumulasi kuning telur, hidrasi, dan pembentukan
butir-butir minyak yang berjalan secara berurutan.
Perkembangan gonad pada ikan dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu
tahap pertumbuhan gonad hingga mencapai tingkat dewasa kelamin dan tahap
pematangan produksi seksual. Tahap pertumbuhan berlangsung sejak ikan
menetas hingga dewasa kelamin, sedangkan tahap pematangan berlangsung
setelah ikan dewasa. Tahap pematangan akan terus berlangsung dan
berkesinambungan selama fungsi reproduksi berjalan normal (Lagler et al. 1977).
Selama proses reproduksi, sebagian energi akan dipakai untuk
perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan
akan memijah dan kemudian akan menurun dengan cepat selama proses
pemijahan berlangsung hingga selesai. Effendie (1997) menyatakan umumnya
pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat
mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10%. Selain itu,
disebutkan pula bahwa dengan semakin meningkatnya tingkat kematangan gonad,
diameter telur yang ada dalam gonad juga akan bertambah semakin besar.
Tingkat kematangan gonad ikan menurut Nikolsky (Bagenal dan Braum 1968)
yang diacu dalam Effendie (1979):
1. Tidak masak
Individu muda belum berhasrat dalam reproduksi; gonad sangat kecil
2. Tahap istirahat
Produk seksual belum mulai berkembang; gonad kecil ukurannya; telur
belum dapat dibedakan dengan mata biasa
6
3. Pemasakan
Telur-telur dapat dibedakan oleh mata biasa; pertambahan berat gonad
dengan cepat sedang berjalan
4. Masak
Produk seksual masak; gonad mencapai berat yang maksimum tetapi
produk seksual tersebut belum keluar bila perutnya ditekan
5. Reproduksi
Produk seksual keluar bila perut ditekan perlahan; berat gonad turun
dengan cepat dari awal pemijahan sampai selesai
6. Kondisi salin
Produk seksual telah dikeluarkan; lubang pelepasan kemerah-merahan;
gonad seperti kantung kempis; ovari biasanya berisi beberapa telur sisa
7. Tahap istirahat
Produk seksual sudah dilepaskan; lubang pelepasan tidak kemerah-
merahan lagi; gonad bentuknya kecil; telur belum dapat dibedakan oleh
mata biasa.
Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan belanak (Mugil dussumieri) modifikasi
dari Cassie (Effendie dan Subardja 1977 dalam Effendie 1979) :
1. TKG I
Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Warna
jernih. Permukaan licin.
2. TKG II
Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan.
Telur belum terlihat jelas dengan mata.
3. TKG III
Ovari berwarna kuning. Secara morfologi telur mulai kelihatan butirnya
dengan mata
4. TKG IV
Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir
minyak tidak tampak, mengisi 1/2 - 2/3 rongga perut, usus terdesak.
7
5. TKG V
Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan.
Banyak telur seperti pada TKG II.
Perkembangan ovarium dapat terlihat dari adanya peningkatan nilai indeks
gonad somatik yang disebabkan oleh perkembangan stadia oosit. Pada saat
perkembangan oosit terjadi pula perubahan morfologis yang mencirikan masing-
masing stadianya. Chinabut et al. (1991) membagi oosit dalam 6 kelas/stadium
untuk Clarias sp, dimana setiap stadium dicirikan sebagai berikut:
Stadium 1 : oogonia dikelilingi satu lapis set epitel dengan pewarnaan
hematoksilin-eosin plasma berwarna merah jambu, dengan inti yang besar
di tengah.
Stadium 2 : oosit berkembang ukurannya, sitoplasma bertambah besar, inti
biru terang dengan pewarnaan, dan terletak masih di tengah sel. Oosit
dilapisi oleh satu lapis epitel.
Stadium 3 : pada stadium ini berkembang sel folikel dan oosit membesar
dan provitilin nukleoli mengelilingi inti.
Stadium 4 : euvitilin inti telah berkembang dan berada disekitar selaput
inti. Stadium ini merupakan awal vitelogenesis yang ditandai dengan
adanya butiran kuning telur pada sitoplasma. Pada stadium ini, oosit
dikelilingi oleh dua lapis sel dan lapisan zona radiata tampak jelas pada
epitel folikular.
Stadium 5 : stadia peningkatan ukuran oosit karena diisi oleh kuning telur.
Butiran kuning telur bertambah besar dan memenuhi sitoplasma dan zona
radiata terlihat jelas.
Stadium 6 : inti mengecil dan selaput inti tidak terlihat, inti terletak di tepi.
Zona radiata, sel folikel dan sel teka terlihat jelas.
Ukuran telur juga memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup ikan.
Benih ikan brown trout yang berasal dari telur yang berukuran besar mempunyai
daya hidup yang lebih tinggi daripada benih ikan yang berasal dari telur yang
berukuran kecil. Hal ini terjadi karena kandungan kuning telur yang berukuran
besar lebih banyak sehingga larva yang dihasilkan mempunyai persediaan
8
makanan yang cukup untuk membuat daya tahan tubuh yang lebih tinggi
dibanding dengan telur-telur yang berukuran kecil (Bagenal 1969).
Woynarovich dan Horvath (1980) menyatakan bahwa induk yang pantas
dipijahkan adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur (fase
vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase pembentukan kuning telur
dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur da!am sel telur
dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ke
tengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak
mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat
(dorman). Menurut Lam (1985), apabila rangsangan diberikan pada saat ini, maka
akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, kemudian inti pecah atau
melebur pada saat pematangan oosit, ovulasi (pecahnya folikel), dan oviposisi.
Apabila kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak tersedia maka telur
dorman tersebut akan mengalami degenerasi (rusak) lalu diserap kembali oleh
lapisan folikel (atresia). Faktor-faktor eksternal lain yang menyebabkan terjadinya
atresia adalah ketersediaan pakan, sedangkan faktor internal adalah umur telur.
Ukuran sel telur juga berhubungan dengan fekunditas. Makin banyak telur
yang dipijahkan maka ukuran telurnya makin kecil, misalnya ikan cod
(diameternya 1-1,7mm) produksinya 10 juta telur dan Salmon Atlantik yang
memiliki diameter telur 5-6 mm, produksi telurnya 2.000-3.000 butir (Blaxter
1969).
Peranan Hormon PMSG
Superovulasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan jumlah anak per
kelahiran dan sekresi hormon mammogenik seperti estradiol dan progesteron
selama kebuntingan (Manalu et al. 1999). Superovulasi pada kambing etawa
dengan dosis PMSG sebesar 15 IU/kg bobot badan dapat meningkatkan
produktivitas kambing berdasarkan produksi susu dan bobot badan anak serta
keuntungan, yang sejalan dengan peningkatan jumlah korpus luteum, konsentrasi
hormone progesteron, estrogen selama bunting, volume ambing dan bobot badan
anak (Adriani et al. 2003).
Hormon yang bekerja pada proses pematangan gonad ikan adalah
gonadotropin (Lam 1985). PMSG merupakan salah satu dari chorionic
9
gonadotropin yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian. Hormon PMSG
ini memiliki aktivitas biologi serupa FSH dan LH dimana pengaruh FSH-nya
lebih besar. PMSG merangsang terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya
akan mempengaruhi pituitary untuk memproduksi gonadotropin (Bolamba et al.
1992). Setelah itu gonadotropin akan merangsang ovari untuk proses pematangan
telur pada ikan.
PMSG lebih sering digunakan pada superovulasi sapi perah daripada FSH
dan LH karena memiliki waktu paruh yang lebih panjang mencapai 123 jam
(Menzer and Schams 1979 dalam Supriatna et al. 1998), namun terhadap hipofisis
menyebabkan penekanan produksi LH (Yadav 1983 dalam Supriatna et al. 1998).
Penelitian bioassay menunjukkan bahwa hormon PMSG ada dalam peredaran
darah dari kelinci dan kuda (Catchpole et al. 1935; Cole et al. 1967 dalam
McIntosh et al. 1975), tikus (Parlow and Ward 1961 dalam McIntosh et al. 1975)
selama paling sedikit 20 jam setelah penyuntikan intravenous. Sebaliknya, FSH
dan LH secara cepat akan hilang dari peredaran darah manusia (Kohler et al.
1968; Coble et al. 1969 dalam McIntosh et al. 1975) dan kambing (Akbar et al.
1974 dalam McIntosh et al. 1975).
Hormon PMSG ini mampu merangsang pertumbuhan sel interstisial
ovarium, pertumbuhan dan pemasakan folikel. Dengan kemampuan tersebut,
PMSG diharapkan mampu meningkatkan diameter telur ikan dan selanjutnya
menyebabkan kematangan telur terjadi. Jika ikan sudah matang gonad (diameter
telur bertambah dan telur sudah matang) maka telur akan siap untuk diovulasikan.
Proses tersebut membutuhkan rangsangan hormon sehingga ovulasi pun dapat
terjadi. Untuk itu digunakan hormon HCG (Human Chorionic Gonadotropin)
yang kandungannya adalah LH. Hormon HCG ini memiliki peranan penting untuk
merangsang ovulasi, pecahnya folikel dan pengeluaran oosit yang telah matang
(Rudiana 2000).
Pemberian salmon Gonadotropin Realizing Hormone analog + anti
dopamine (sGnRH-a + ad) dan PMSG secara terpisah dapat menstimulasi
kematangan telur tahap akhir dan ovulasi dari induk ikan gabus. Induksi dengan
PMSG menghasilkan diameter telur yang lebih besar dibandingkan dengan
diameter telur yang dihasilkan dengan induksi sGnRH-a + ad. Jumlah telur
10
terovulasi dengan induksi sGnRH-a + ad lebih banyak dibandingkan jumlah telur
terovulasi dengan induksi PMSG. Perlakuan dengan sGnRH-a + ad dan PMSG
menghasilkan daya fertilitas dan daya tetas telur yang tinggi. Kelangsungan hidup
dari larva yang didapat dengan induksi hormonal dengan PMSG selama
pemeliharaan 14 hari yaitu 100% (Fitriliyani 2005).
Peranan Spirulina
Di antara mikroalga digunakan sebagai bahan makanan, makanan
suplemen dan pakan ternak di banyak bagian dunia, Spirulina sp. adalah yang
paling populer karena memiliki nilai gizi yang tinggi dan efektivitas biaya pada
skala budidayanya. Spirulina adalah sumber asam linolenat gamma (GLA, ~ 1%),
asam lemak esensial tak jenuh ganda. Asam lemak esensial ini adalah prekursor
untuk prostaglandin tubuh (PGE1), hormon utama yang mengontrol banyak fungsi
tubuh. PGE1 terlibat dalam banyak tugas termasuk pengaturan tekanan darah,
sintesis kolesterol, inflamasi dan proliferasi sel. PGE1 biasanya terbentuk dari
asam linolenat yang ada di makanan dan GLA diubah menjadi PGE1.
Lemak jenuh yang berlebih dalam pakan dapat menyebabkan defisiensi
GLA dan menekan pembentukan prostaglandin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pada banyak problem kesehatan dan penyakit ditemukan
adanya kekurangan GLA. Oleh karena itu asupan GLA dari makanan sangatlah
penting. Sumber GLA dari makanan yaitu air susu ibu, ekstrak minyak dari
evening primrose, blackcurrant dan borage seed. Spirulina merupakan salah satu
sumber GLA, dimana 10 gram Spirulina mengandung 135 mg GLA (Tabel 1).
Kandungan GLA dalam Spirulina lebih tinggi dibandingkan dengan sumber
makanan lainnya (Henrikson 2009).
James et al. (2006) menyebutkan penggunaan Spirulina dalam akuakultur
adalah dalam bentuk pakan cair yang dipakai untuk ikan-ikan muda, sedangkan
bentuk pakan padat digunakan untuk ikan dewasa. Spirulina mengandung protein
sebesar 60—70% dan merupakan sumber vitamin B-12 dan β-karoten yang tinggi
(20 kali lipat dari wortel), sumber mineral, asam-asam amino esensial (62%) dan
asam lemak. Spirulina memperbaiki flora usus pada ikan dengan cara memecah
komponen pakan yang tidak tercerna sehingga lebih banyak nutrien dari pakan
dapat diserap. Venkataraman (1993) menambahkan bahwa dinding sel Spirulina
11
kaya akan mukoprotein sehingga akan meningkatkan lapisan mucus alami dari
kulit ikan yang pada akhirnya menghasilkan penampilan sisik yang mengkilap dan
meningkatkan resistensi terhadap infeksi melalui kulit.
Tabel 1. Kandungan asam lemak esensial dalam Spirulina
James et al. (2009) dalam penelitiannya mendapati bahwa penggunaan
kombinasi dosis Spirulina sebesar 30 g/kg diet dan penambahan vitamin E 300
mg menghasilkan pertumbuhan, berat gonad dan fekunditas ikan maskoki
Carassius auratus yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya (p<0.01).
Selain itu pada semua perlakuan kombinasi Spirulina 30 g/kg diet dengan dosis
vitamin E didapati bahwa penampilan warna dari ikan maskoki tersebut pun lebih
cerah.
Pada banyak spesies ikan, penggunaan Spirulina dalam pakan mampu
meningkatkan laju pertumbuhan. Spirulina dilaporkan juga meningkatkan
kecernaan dari pakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kato (1989) dalam Vonshak
(2002), mendapatkan hasil bahwa ikan yang diberi pakan dengan Spirulina
memiliki lemak perut yang lebih sedikit dan juga FCR yang bagus. Penelitian
lainnya menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan bersuplemen Spirulina
menghasilkan produksi ikan dengan kualitas yang lebih baik, rasa enak, daging
yang lunak, dan juga warna tubuh yang lebih cemerlang (Hirano 1985, Suyama
1985, Mori 1987 dalam Vonshak 2002).
12
Vonshak (2002) juga menyebutkan pemberian Spirulina dalam pakan juga
menurunkan tingkat mortalitas dari fingerling maupun pada stadia post larva.
Penambahan 0,5 sampai 1% Spirulina dalam pakan memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap pertumbuhan (peningkatan sekitar 17-25%) dan
menurunkan mortalitas (30-50%), tergantung pada spesies ikan dan dosis
Spirulina yang digunakan. Ungsethaphand et al. (2010) menyatakan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang nyata (p> 0,05) pada hasil proksimat daging dari ikan
yang diberi tambahan Spirulina dalam pakannya jika dibandingkan dengan
kontrol. Lebih lanjut, disebutkan bahwa penggantian tepung ikan oleh Spirulina
sampai dengan konsentrasi 20% tidak mempengaruhi pertumbuhan ikan nila
merah hybrid.
13
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengembangbiakan dan Genetika
Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai dengan November 2011. Analisa
histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan,FPIK, IPB. Sedangkan
analisa proksimat pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas, IPB
dan analisa asam lemak pakan dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu IPB
Baranangsiang.
Bahan dan Alat
Pakan uji
Semua pakan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar protein
yang sama (sebelum ditambahkan Spirulina) yaitu 30%. Pakan merupakan pakan
laboratorium (Lampiran 3) yang biasa digunakan untuk pembesaran ikan lele.
Penambahan Spirulina dilakukan sewaktu pembuatan pakan sesuai dengan dosis
yang diinginkan. Pakan kemudian dioven pada suhu 60oC selama 12 jam. Pakan
kemudian dianalisa proksimat untuk melihat kandungan nutrisinya (Takeuchi
1988). Selain itu pakan juga dianalisa kandungan asam lemaknya. Selama
pemeliharaan ikan diberi makan dengan feeding rate sebesar 3% dari bobot
tubuhnya. Frekuensi pemberian pakan yaitu 2 kali pada pukul 08.00 dan 16.00
WIB.
Hewan Uji
Induk ikan lele dumbo (Clarias sp.) yang digunakan berasal dari petani
ikan di daerah Cianjur dan Sawangan (Depok). Penelitian ini menggunakan induk
yang sudah pernah memijah untuk dirematurasi. Induk yang digunakan beratnya
berkisar antara 216-858 gram/ekor. Umur induk yang digunakan ± 8 bulan dan
sudah matang gonad. Sebelum penelitian dimulai dilakukan adaptasi pakan
terlebih dahulu selama 1 minggu. Sebelum perlakuan penelitian dimulai,
dilakukan penyeragaman tingkat kematangan gonad sehingga ikan dalam keadaan
kosong (tidak ada telur). Pengeluaran telur dilakukan dengan stripping setelah
14
sebelumnya induk ikan diinduksi ovaprim (1 bagian ovaprim diencerkan dengan 2
bagian larutan fisiologis) dengan dosis 0.6 ml/kg ikan. Sekitar 10 jam setelah
penyuntikan ovaprim, telur dikeluarkan dari induk dengan cara stripping. Setelah
telur dikeluarkan, induk diamati nafsu makannya selama 2-3 hari. Bila nafsu
makan induk sudah normal maka penelitian segera dilaksanakan. Selama
penelitian, dari tiap-tiap perlakuan diambil 1 ekor ikan untuk pembuatan preparat
histologi gonad.
Hormon yang digunakan
Hormon PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) mix yang digunakan
merupakan produk dari Intervet dengan nama dagang PG600. Masing-masing
vialnya (5 ml) berisi 400 IU PMSG dan 200 IU HCG. Sebelum digunakan hormon
tersebut diencerkan terlebih dahulu menggunakan larutan fisiologis (NaCl 0.9%)
hingga mencapai dosis yang diinginkan. Selain itu juga digunakan hormon
luteinizing hormone releasing hormone (LHRH)+ anti dopamine (nama dagang
Ovaprim; produk dari Syndel, Canada) untuk merangsang pemijahan ikan di akhir
penelitian.
Wadah
Penelitian ini menggunakan wadah berupa 12 buah kolam semen
berukuran 2.5 x 1.2 x 0.5 m . Pada permukaan atas wadah diberi jaring penutup
untuk mencegah agar ikan uji tidak melompat ke luar wadah. Selain itu juga
digunakan wadah plastik sebanyak 80 buah dengan ukuran 25 X 25 X 10 cm yang
akan digunakan pada proses inkubasi, penetasan telur, dan pemeliharaan larva.
Metode Penelitian
Perlakuan
Perlakuan yang diujicobakan dalam penelitian ini sebanyak 12 perlakuan
yang merupakan kombinasi dari dosis hormon PMSG mix dan dosis Spirulina.
Dosis PMSG mix yang akan diujicobakan sebanyak 4 dosis masing-masing
sebesar 0 IU, 5 IU, 10 IU dan 20 IU sedangkan dosis Spirulina sebanyak 3 dosis
dengan interval selama 1 minggu. Secara lengkap, perlakuan dalam penelitian ini
dapat dilihat di Tabel 2.
15
Tabel 2. Perlakuan penelitian pemacuan kematangan gonad ikan lele dumbo
betina dengan hormon PMSG dan Spirulina
Spirulina
Dosis PMSG mix (400 IU PMSG& 200 IU HCG)
0 IU 5 IU 10 IU 20 IU
0 % A/kontrol
(0 IU;0%) D (5 IU; 0%) G (10 IU; 0%) J (20 IU; 0%)
1.5 % B (0 IU; 1.5%) E (5 IU; 1.5%; H (10 IU; 1.5%) K (20 IU; 1.5%)
3 % C(0 IU; 3%) F (5 IU; 3%) I (10 IU; 3%) L (20 IU; 3%)
Setiap perlakuan menggunakan satu wadah dan tiap wadah diisi 9 ekor
ikan. Sebanyak 4 ekor ikan diambil seekor setiap minggu untuk pengamatan
histologi gonad serta analisis Gonadosomatik Indeks (GSI) dan Hepatosomatik
Indeks (HSI). Sedangkan 5 ekor ikan lainnya diamati performa reproduksinya
pada akhir penelitian.
Parameter yang dievaluasi
Dalam penelitian ini, parameter yang diamati yaitu sebagai berikut :
1) Analisa proksimat Spirulina dan pakan perlakuan (Takeuchi 1988;
Lampiran 4).
2) Analisa asam lemak pada Spirulina dan pakan perlakuan (metode gas
chromatografi).
3) Pengamatan kematangan gonad, yang dilakukan dengan membuat
preparat histologis ovarium (Lampiran 5). Pengamatan ini akan
dilakukan pada hari ke-0, 7, 14 dan 21.
4) Diameter telur. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran
40x pada preparat histologis gonad dan telur pemijahan (Lampiran 6).
Induk yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur
≥ 0.9 mm sebanyak 60-70%. Selain itu dilihat juga keadaan perut dari
induk, dipilih induk yang perutnya lebih besar dan lembek.
5) Gonad Somatik Indeks (GSI)
𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺𝐺 = 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑏𝑏𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑏𝑏𝑜𝑜𝑏𝑏𝑜𝑜ℎ 𝑜𝑜𝑖𝑖𝑜𝑜𝑖𝑖
𝑥𝑥 100
16
6) Hepato Somatik Indeks (HSI)
𝐻𝐻𝐺𝐺𝐺𝐺 = 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 ℎ𝑜𝑜𝑏𝑏𝑜𝑜
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑏𝑏𝑜𝑜𝑏𝑏𝑜𝑜ℎ 𝑜𝑜𝑖𝑖𝑜𝑜𝑖𝑖 𝑥𝑥 100
7) Fekunditas relatif, merupakan perbandingan antara jumlah telur yang
dihasilkan dengan bobot tubuh induk (kg). Perhitungannya dengan
cara mengambil 0.1 gr telur hasil ovulasi kemudian dihitung jumlah
telurnya. Pengambilan telur dilakukan sebanyak tiga kali dan jumlah
telur tersebut dirata-ratakan. Nilai rata-rata ini kemudian dikalikan
dengan bobot telur yang diovulasikan.
8) Derajat pembuahan telur (FR), perhitungan FR dilakukan 12 jam
setelah pembuahan, sebanyak tiga kali terhadap sampel telur yang
diambil dan hasilnya kemudian dirata-ratakan.
𝐹𝐹𝐹𝐹 (%) = 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑦𝑦𝑜𝑜𝑖𝑖𝑦𝑦 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑜𝑜𝑏𝑏𝑜𝑜𝑜𝑜ℎ𝑜𝑜
𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑜𝑜𝑗𝑗 𝑑𝑑𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑠𝑠𝑜𝑜𝑜𝑜𝑠𝑠𝑡𝑡𝑗𝑗 𝑥𝑥 100
9) Derajat penetasan (HR), perhitungan HR dilakukan sebanyak tiga kali
terhadap sampel telur yang diambil dan hasilnya kemudian dirata-
ratakan.
𝐻𝐻𝐹𝐹 (%) = 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑦𝑦𝑜𝑜𝑖𝑖𝑦𝑦 𝑜𝑜𝑡𝑡𝑖𝑖𝑡𝑡𝑏𝑏𝑜𝑜𝑠𝑠
𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑦𝑦𝑜𝑜𝑖𝑖𝑦𝑦 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑜𝑜𝑏𝑏𝑜𝑜𝑜𝑜ℎ𝑜𝑜 𝑑𝑑𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑠𝑠𝑜𝑜𝑜𝑜𝑠𝑠𝑡𝑡𝑗𝑗 𝑥𝑥 100
10) Survival rate larva (SR4), perhitungan SR ini dilakukan sebanyak tiga
kali dan hasilnya kemudian dirata-ratakan.
𝐺𝐺𝐹𝐹 (%) = 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑦𝑦𝑜𝑜𝑖𝑖𝑦𝑦 𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑠𝑠𝑜𝑜 ℎ𝑜𝑜𝑑𝑑𝑜𝑜𝑠𝑠 𝑠𝑠𝑜𝑜𝑜𝑜𝑠𝑠𝑜𝑜𝑜𝑜 4 ℎ𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜
𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑜𝑜𝑎𝑎𝑜𝑜𝑗𝑗 𝑥𝑥 100
11) Persentase abnormalitas pada larva
𝐴𝐴𝑏𝑏𝑖𝑖𝑏𝑏𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜𝑏𝑏𝑜𝑜𝑠𝑠 (%) = 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑦𝑦𝑜𝑜𝑖𝑖𝑦𝑦 𝑜𝑜𝑏𝑏𝑖𝑖𝑏𝑏𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗
𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑗𝑗𝑜𝑜ℎ 𝑗𝑗𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑜𝑜𝑗𝑗 𝑥𝑥 100
17
Pelaksanaan Penelitian
Sebelum induk ikan dimasukkan ke dalam wadah pemeliharaan berupa
bak, dilakukan pemeriksaan bak dari kebocoran. Bila ada kebocoran pada bak
maka bak terlebih dahulu ditambal. Bak kemudian diisi air dengan kedalaman 40-
50 cm. Selama penelitian ini tidak dilakukan pergantian air karena khawatir ikan
menjadi stress. Jika ketinggian air berkurang maka dilakukan penambahan air ke
dalam bak. Sebelum dilakukan percobaan, ikan uji diadaptasikan selama 1
minggu. Selama periode adaptasi, ikan diberi pakan dari perlakuan kontrol
sebanyak 3% bobot tubuh perhari. Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini
ditandai secara individu dengan menggunting sedikit siripnya. Setiap perlakuan
menggunakan satu wadah dan tiap wadah diisi 9 ekor induk betina. Selama
penelitian, ikan tersebut diberi pakan perlakuan 2 kali sehari dengan FR sebesar
3% dari bobot tubuh. Pengukuran parameter kualitas air untuk suhu dilakukan
setiap hari yaitu di pagi dan sore hari. Kandungan oksigen (DO) dan pH diukur
sekali seminggu, sedangkan kandungan alkalinitas dan amonia diukur tiga kali,
yaitu pada awal, tengah, dan akhir penelitian.
Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap minggu berbarengan
dengan waktu penyuntikan hormon. Evaluasi gonad ikan uji yang terpilih secara
acak dilakukan secara mikroskopis dengan membuat preparat histologis
(Lampiran 5). Evaluasi gonad ini dilakukan sebanyak 4 kali selama penelitian
yaitu pada hari ke-0 (awal penelitian), hari ke-7, hari ke-14 dan hari ke-21.
Saat pemeriksaan kematangan telur, induk yang telah matang gonad segera
dipindahkan ke wadah lain untuk persiapan pelaksanaan pemijahan buatan.
Pemijahan buatan dilakukan dengan menyuntikkan ovaprim dosis 0.6 ml/kg ikan
secara intramuscular. Sekitar 10 jam setelah penyuntikan, dilakukan pengecekan
kesiapan induk untuk memijah. Kemudian telur dikeluarkan dengan cara
stripping/pengurutan. Telur-telur hasil pengurutan tersebut kemudian ditampung
di mangkuk kecil dan ditimbang. Sebanyak ± 0.1 gram sampel telur diambil untuk
penghitungan fekunditas relatif. Perhitungan fekunditas ini dilakukan sebanyak
tiga kali dan nilai yang didapat kemudian dirata-ratakan.
Sampel telur yang diambil kemudian dicampurkan dengan sperma yang
sebelumnya telah diencerkan menggunakan larutan fisiologis (1:20). Setelah itu
18
dimasukkan air untuk mengaktifkan sperma supaya terjadi pembuahan. Sebelum
dipindahkan ke wadah penetasan, telur dibilas sebanyak 3 kali dengan air untuk
mencegah terjadinya penjamuran.
Untuk mendapatkan sperma, induk jantan lele dibedah hidup-hidup, lalu
gonadnya diambil. Sperma yang didapat kemudian diencerkan dengan
menggunakan larutan fisiologis dengan perbandingan 1:20. Induk jantan yang
digunakan untuk membuahi telur berasal dari induk jantan yang dipelihara
terpisah dengan induk betina di bak lain.
Untuk penetasan telur digunakan wadah plastik yang berukuran 25 x 25 x
10 cm yang disi air dengan ketinggian 9 cm. Telur yang sudah dibuahi dengan
sperma kemudian disebarkan secara merata pada wadah penetasan. Penghitungan
jumlah telur dan FR dilakukan 12 jam setelah pembuahan. Telur yang tidak
terbuahi ditandai dengan warnanya yang memutih, sedangkan telur yang terbuahi
terlihat adanya pembelahan sel pada telur tersebut. Telur yang menetas dan yang
tidak menetas dihitung untuk mendapatkan nilai HR. Telur-telur yang tidak
menetas segera dipindahkan dengan menggunakan pipet.
Pemeliharaan larva tetap dilakukan di wadah penetasan hingga 4 hari
setelah larva menetas. Jika selama pemeliharaan larva, air terlihat keruh maka air
segera diganti untuk menunjang kualitas air yang baik selama pemeliharaan larva.
Jumlah larva yang masih hidup sampai dengan 4 hari pemeliharan kemudian
dihitung untuk mendapatkan nilai SR4. Pengamatan terhadap abnormalitas larva
juga dilakukan bersamaan dengan penghitungan SR4.
Analisis statistik
Rancangan perlakuan dari penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
Faktorial (RAL Faktorial). Sementara analisis data dilakukan dengan analisis non
parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis (p<0.10) menggunakan SPSS versi 16. Hal ini
dilakukan karena asumsi kenormalan data dan kehomogenan ragam data tidak
terpenuhi untuk melakukan analisa ragam (analisa parametrik). Upaya untuk
membuat data menjadi normal dan ragamnya homogen melalui transformasi data
pun tidak berhasil. Sehingga diputuskan untuk menggunakan analisis non
parametrik (Lampiran 9) untuk menganalisis data hasil penelitian. Perbedaan
19
signifikan antara perlakuan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan uji Dunn
(Dunn 1964 in Hollander & Wolfe 1973). Jika tidak terdapat perbedaan nyata
(p>0.10) maka semua data akan dianalisa secara deskriptif dalam bentuk tabel dan
gambar. Khusus untuk data persentase abnormalitas larva dianalisa secara
deskriptif.
20
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Komposisi bahan yang dipakai untuk pakan perlakuan adalah sama untuk
setiap pakan. Perbedaan hanya terdapat pada jumlah Spirulina yang ditambahkan
dalam pakan. Tabel 3 menunjukkan bahwa Spirulina yang digunakan memiliki
kadar protein yang cukup besar. Penambahan Spirulina dalam pakan
menyebabkan peningkatan terhadap kadar lemak maupun kadar protein pakan.
Akan tetapi kadar serat kasar mengalami penurunan dengan adanya penambahan
Spirulina. Penambahan sebesar 1.5% Spirulina dalam pakan menyebabkan kadar
protein meningkat 1.97% dan kadar lemak meningkat 0.49% dibandingkan
dengan pakan kontrol (A). Kadar protein pada pakan yang ditambah Spirulina 3%
meningkat 2.1% dan kadar lemaknya meningkat 0.72% dibandingkan dengan
pakan kontrol.
Tabel 3. Analisa proksimat (% bobot kering) dan total asam lemak (% area)
terhadap Spirulina dan pakan perlakuan
Spirulina (tepung)
Pakan A1 (0% SP) A2 (1.5% SP) A3 (3% SP)
Komposisi proksimat : Protein 61.47 ± 1.12 29.52 ± 0.11 31.49 ± 0.17 31.62 ± 0.35
Lemak 3.90 ± 0.30 9.27 ± 0.07 9.76 ± 0.06 9.99 ± 0.09 Serat Kasar 0 5.80 ± 0.36 4.91 ± 0.28 4.47 ± 0.24 Abu 7.35 ± 0.23 17.55 ± 0.07 18.11 ± 0.33 17.45 ± 0.21
Asam lemak : ∑ A l. jenuh 16.28 21.37 20.62 21.67
∑ monoenoat 3.24 2.88 2.59 2.92 ∑ A l. n-6 12.05 0.42 0.49 0.61 ∑ A l. n-3 0.78 5.45 4.96 5.86 Rasio A l. n-6/n-3 15.449 0.077 0.099 0.104 EPA 0.28 1.58 1.41 1.85 DHA 0.31 2.54 2.38 2.8 GLA 11.75 0.05 0.13 0.23
Kadar asam lemak jenuh dan asam lemak monoenoat di pakan menurun
dengan adanya penambahan 1.5% Spirulina, namun dengan penambahan yang
semakin tinggi (3%) menyebabkan kadar asam lemak tersebut naik kembali. Hal
22
yang sama juga terjadi pada kadar asam lemak n-3, eicosapentaenoic Acid (EPA)
dan docosahexaenoic Acid (DHA). Sebaliknya terlihat ada peningkatan kadar
asam lemak n-6 dan juga GLA dalam pakan seiring dengan bertambahnya dosis
Spirulina yang digunakan (Tabel 3, Lampiran 7). Dari tabel tersebut terlihat pula
bahwa rasio asam lemak n-6 dibanding dengan n-3 mengalami kenaikan sejalan
dengan peningkatan dosis Spirulina dalam pakan.
Secara umum terlihat bahwa diameter telur ikan lele dumbo bertambah
seiring dengan lamanya waktu penelitian (Tabel 4, Lampiran 6). Pengamatan
perlakuan A dan B pada hari ke-28 tidak didapati ikan yang matang gonad. Oleh
karena itu diameter telur kedua perlakuan tersebut tidak diamati. Perkembangan
kematangan gonad juga dapat dilihat dari nilai GSI dan HSI (Tabel 5).
Tabel 4. Diameter telur ikan lele dumbo selama penelitian
Perlakuan
Pengamatan pada
hari ke-0 hari ke-7
hari ke-
14
hari ke-
21 hari ke-28
A (0 IU;0%)
0.65±0.11
0.69±0.11 0.74±0.08 0.70±0.12 -
B (0 IU;1.5%) 0.48±0.17 0.36±0.10 0.75±0.13 -
C (0 IU;3%) 0.69±0.12 0.75±0.09 0.74±0.13 1.09 ± 0.05
D (5 IU;0%) 0.65±0.10 0.74±0.11 0.72±0.13 1.04 ± 0.10
E (5 IU;1.5%) 0.64±0.12 0.74±0.07 0.69±0.16 1.03 ± 0.11
F (5 IU;3%) 0.71±0.09 0.71±0.14 0.72±0.14 1.03 ± 0.09
G (10 IU;0%) 0.69±0.14 0.72±0.09 0.69±0.11 1.09 ± 0.04
H (10 IU;1.5%) 0.66±0.11 0.73±0.11 0.70±0.12 1.07 ± 0.08
I (10 IU;3%) 0.68±0.14 0.76±0.08 0.70±0.12 1.10 ± 0.07
J (20 IU;0%) 0.61±0.10 0.70±0.09 0.70±0.10 1.05 ± 0.04
K (20 IU;1.5%) 0.66±0.11 0.69±0.10 0.70±0.11 1.00 ± 0.05
L (20 IU;3 %) 0.67±0.11 0.71±0.10 0.71±0.14 1.05 ± 0.05
23
Tabel 5. Perkembangan kematangan gonad ikan lele dumbo betina dengan
pemberian kombinasi hormon PMSG dan Spirulina
Diameter telur yang bertambah besar merupakan hasil dari pengendapan
kuning telur, hidrasi dan pembentukan bulir-bulir minyak di dalam telur tersebut
(Gambar 1). Nilai HSI akan menurun seiring dengan bertambahnya tingkat
kematangan gonad. Hal ini terlihat pada nilai HSI di awal penelitian dibandingkan
dengan HSI pada hari ke-21 (Tabel 5). Hati merupakan organ tempat
diproduksinya vitellogenin . Vitellogenin ini selanjutnya akan dibawa ke gonad
untuk pembentukan kuning telur.
Pada gambar 1a terlihat persentase dari oosit muda dan germ cell yang
cukup tinggi. Oosit mulai terlihat tumbuh, berkembang dan bertambah
diameternya seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan (Gambar 1b, 1c dan
1d). Sampai dengan hari ke-21, butiran telur semakin terlihat jelas dan nukleolus
masih terlihat di tengah (TKG III). Akan tetapi pada akhir penelitian, tidak
diperoleh ikan yang matang gonad pada perlakuan A.
Perlakuan hari ke-0 hari ke-7 hari ke-14 hari ke-21 hari ke-28
G S I H S I G S I H S I G S I H S I G S I H S I G S I
A (0 IU;0%)
3.26
(2.19-4.33)
1.07
(0.94-1.19)
1.94 1.37 6.96 2.08 11.27 1.08 -
B (0 IU;1.5%) 1.54 0.84 0.99 0.97 8.15 1.30 -
C (0 IU;3%) 7.19 1.17 5.94 0.79 9.24 0.89 11.39 (9.31-13.47)
D (5 IU;0%) 8.49 1.02 9.48 1.09 7.04 0.79 14.37 (11.06-19.78)
E (5 IU;1.5%) 6.04 1.56 3.92 0.85 5.20 1.15 10.13 (8.83-11.43)
F (5 IU;3%) 6.58 0.82 4.40 0.80 2.59 1.24 9.66 (4.91-14.40)
G (10 IU;0%) 5.11 1.56 5.03 1.73 7.79 1.19 8.83 (3.75-13.90)
H (10 IU;1.5%) 5.18 1.03 3.21 0.70 3.01 0.86 8.95 (8.39-9.36)
I (10 IU;3%) 5.14 1.29 6.69 0.92 3.07 0.85 8.11 (6.40-9.82)
J (20 IU;0%) 4.00 1.46 8.73 1.16 13.72 0.70 8.45 (6.89-10.02)
K (20 IU;1.5%) 5.10 1.26 11.76 0.88 11.71 0.98 9.08 (7.44-10.71)
L (20 IU;3 %) 10.73 1.61 7.25 1.00 11.86 0.68 12.03 (9.65-14.40)
24
Gambar 1. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon
PMSG mix 0 IU dan Spirulina 0% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
a b
c d
n
n
n
n f
f
25
Gambar 2. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 0 IU dan Spirulina 1.5% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Pada gambar 2a terlihat persentase dari oosit muda dan germ cell yang
cukup tinggi. Begitu pula pada Gambar 2b dan 2c terlihat persentase oosit dan
germ cell yang lebih besar. Walaupun demikian oosit mulai terlihat tumbuh,
berkembang dan bertambah diameternya seiring dengan bertambahnya waktu
pengamatan (Gambar 1d). Sampai dengan hari ke-21, gonad ikan terlihat pada
kondisi menuju ke TKG III. Tahapan ini ditunjukkan dengan makin membesarnya
diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan proses pertumbuhan gonad.
Seperti pada perlakuan A, di akhir penelitian tidak diperoleh ikan yang matang
gonad pada perlakuan B.
a b
c d
n
n
n n
f
26
Gambar 3. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 0 IU dan Spirulina 3% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan, terlihat oosit tumbuh,
berkembang dan bertambah diameternya (Gambar 3). Sampai dengan hari ke-21
terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini ditunjukkan dengan
makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan
proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah. Pada akhir
penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad sebesar
40% pada perlakuan C (Tabel 6).
a b
c d
n
n
n
f
f n
27
Gambar 4. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 5 IU dan Spirulina 0% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya seiring
dengan bertambahnya waktu pengamatan (Gambar 4). Sampai dengan hari ke-21
terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini ditunjukkan dengan
makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan
proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah. Pada akhir
penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad sebesar
80% pada perlakuan D (Tabel 6).
a b
c d
n
n f n
f
28
Gambar 5. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 5 IU dan Spirulina 1.5% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan, terlihat oosit tumbuh,
berkembang dan bertambah diameternya (Gambar 5). Sampai dengan hari ke-21
terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini ditunjukkan dengan
makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan
proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah. Pada akhir
penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad sebesar
40% pada perlakuan E (Tabel 6).
a b
c d
n
n
f
f
29
Gambar 6. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 5 IU dan Spirulina 3% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya seiring
dengan bertambahnya waktu pengamatan (Gambar 6). Sampai dengan hari ke-21
terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini ditunjukkan dengan
makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan
proses pertumbuhan gonad. Pada Gambar 6d tampak bahwa masih terdapat oosit
muda dan germ cell dalam jumlah yang relatif banyak. Posisi inti sel telur masih
di tengah. Pada akhir penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase
kematangan gonad sebesar 40% pada perlakuan F (Tabel 6).
a b
c d
f
f
n
n
30
Gambar 7. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 10 IU dan Spirulina 0% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Gambar 7 menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya waktu
pengamatan, terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya.
Sampai dengan hari ke-21 terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini
ditunjukkan dengan makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses
vitellogenesis dan proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah.
Pada akhir penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad
sebesar 40% pada perlakuan G (Tabel 6).
a b
c d
n n f
n
f
31
Gambar 8. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 10 IU dan Spirulina 1.5% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Gambar 8 menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya waktu
pengamatan, terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya.
Sampai dengan hari ke-21 terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini
ditunjukkan dengan makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses
vitellogenesis dan proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah.
Pada akhir penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad
sebesar 60% pada perlakuan H (Tabel 6).
a b
c d
n
n
f
f f n
32
Gambar 9. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 10 IU dan Spirulina 3% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan, terlihat oosit tumbuh,
berkembang dan bertambah diameternya (Gambar 9). Sampai dengan hari ke-21
terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini ditunjukkan dengan
makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan
proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah. Pada akhir
penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad sebesar
40% pada perlakuan I (Tabel 6).
a b
c d
n
f
f
n
33
Gambar 10. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 20 IU dan Spirulina 0% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya seiring
dengan bertambahnya waktu pengamatan (Gambar 10). Sampai dengan hari ke-21
terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini ditunjukkan dengan
makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses vitellogenesis dan
proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah. Pada akhir
penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad sebesar
40% pada perlakuan J (Tabel 6).
a b
c d
n f
n f
34
Gambar 11. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 20 IU dan Spirulina 1.5% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Gambar 11 menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya waktu
pengamatan, terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya.
Sampai dengan hari ke-21 terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini
ditunjukkan dengan makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses
vitellogenesis dan proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah.
Pada akhir penelitian (setelah hari ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad
sebesar 40% pada perlakuan K (Tabel 6).
a b
c d
n f
35
Gambar 12. Struktur histologis gonad ikan lele dumbo pada kombinasi hormon PMSG mix 20 IU dan Spirulina 3% (Pengamatan histologis pada bagian tengah ovarium dengan Bouin’s HE, perbesaran 40x)
Keterangan: n = nukleolus f = folikel
Gambar 12 menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya waktu
pengamatan, terlihat oosit tumbuh, berkembang dan bertambah diameternya.
Sampai dengan hari ke-21 terlihat oosit sudah memasuki tahap TKG III. Tahap ini
ditunjukkan dengan makin membesarnya diameter telur sebagai akibat proses
vitellogenesis dan proses pertumbuhan gonad. Posisi inti sel telur masih di tengah,
hanya ada beberapa yang bergeser ke pinggir. Pada akhir penelitian (setelah hari
ke-28) diperoleh persentase kematangan gonad sebesar 40% pada perlakuan L
(Tabel 6).
a b
c d
n f
f n
36
Setelah 28 hari perlakuan, induk ikan yang matang gonad kemudian
dipijahkan secara buatan. Dari Tabel 6 terlihat bahwa semua ikan pada setiap
perlakuan mengalami pertumbuhan dan perkembangan gonad, walaupun dimulai
pada waktu yang berbeda. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pada akhir penelitian,
baik pada perlakuan A maupun B tidak terdapat induk ikan yang matang gonad.
Pada perlakuan A (kontrol), induk ikan mulai terlihat bunting setelah hari ke-22
(setelah 3 minggu perlakuan). Sedangkan pada perlakuan lainnya (perlakuan B
sampai L) didapati induk mulai terlihat bunting setelah hari ke-15 (2 minggu
perlakuan). Persentase tertinggi dari ikan yang matang gonad diperoleh pada
perlakuan D (0%; 5 IU) yaitu sebesar 80%.
Fekunditas relatif yang diperoleh pada penelitian ini cukup besar berkisar
antara 66968 sampai dengan 137291 butir telur/kg induk. Perlakuan penyuntikan
hormon PMSG mix secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap
diameter telur, fekunditas relatif, FR, HR dan SR4 (p<0.10). Perlakuan hormon
PMSG mix 10 IU/kg induk menghasilkan diameter telur yang lebih besar
dibandingkan perlakuan lainnya walaupun tidak berbeda nyata jika dibandingkan
dengan perlakuan 5 IU dan 20 IU/kg induk. Perlakuan penyuntikan hormon
PMSG jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa hormon) memberikan
hasil fekunditas relatif, FR dan HR yang lebih baik dan lebih besar (Tabel 6).
37
Tabel 6. Perkembangan kematangan gonad dan kinerja reproduksi ikan lele
dumbo betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon PMSG dan
Spirulina (variabel pada uji Kruskal wallis dikelompokkan berdasarkan
hormon PMSG)
Perlakuan ∑ ikan awal
Pertama kali terlihat bunting
Akhir penelitian
Fekunditas (butir/kg induk)
Diameter telur (mm) FR (%) HR (%) %
ikan bun-ting
% ikan matang gonad
Waktu (hari ke-)
% ikan bun-ting
A (0 IU; 0%) 5 22 40 100 0 -a -a -a -a B (0 IU; 1.5%) 5 15 40 100 0 -a -a -a -a C (0 IU; 3%) 5 15 40 100 40 95496 ± 34783a 1.09 ± 0.05a 98.03 ± 2.40a 87.74 ± 6.97a D (5 IU; 0%) 5 15 60 100 80 137291 ± 45921b 1.04 ± 0.10ab 99.05 ± 0.82b 91.75 ± 11.5b E (5 IU; 1.5%) 5 15 60 100 40 95022 ± 23049b 1.03 ± 0.11ab 99.95 ± 0.10b 82.28 ± 15.46b F (5 IU; 3%) 5 15 60 100 40 75696 ± 50825b 1.03 ± 0.09ab 97.27 ± 2.05b 97.69 ± 2.82b G (10 IU; 0%) 5 15 60 100 40 72316 ± 51845ab 1.09 ± 0.04b 97.32 ± 4.06b 94.87 ± 6.48b H (10 IU; 1.5%) 5 15 60 100 60 87251 ± 27777ab 1.07 ± 0.08b 99.29 ± 0.75b 95.31 ± 3.63b I (10 IU; 3%) 5 15 40 100 40 66968 ± 16410ab 1.10 ± 0.07b 97.54 ± 4.78b 98.94 ± 1.26b J (20 IU; 0%) 5 15 40 100 40 77031 ± 25195b 1.05 ± 0.04ab 99.38 ± 0.55b 94.52 ± 5.84ab K (20 IU; 1.5%) 5 15 40 100 40 93341 ± 22654b 1.00 ± 0.05ab 99.22 ± 0.99b 89.61 ± 3.64ab L (20 IU; 3 %) 5 15 60 100 40 85405 ± 30190b 1.05 ± 0.05ab 99.14 ± 0.98b 92.25 ± 4.51ab
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.10); rata-rata ± simpangan baku
Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan Spirulina secara tunggal tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap fekunditas relatif, FR dan HR (p>0.10).
Akan tetapi, penambahan Spirulina dalam pakan dengan dosis berbeda
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter telur, dimana dosis
3% memberikan hasil yang terbaik (p<0.10).
38
Tabel 7. Perkembangan kematangan gonad dan kinerja reproduksi ikan lele dumbo
betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon PMSG dan Spirulina
(variabel pada uji Kruskal wallis dikelompokkan berdasarkan Spirulina)
Perlakuan ∑ ikan awal
Pertama kali terlihat bunting
Akhir penelitian
Fekunditas (butir/kg induk)
Diameter telur (mm) FR (%) HR (%) %
ikan bun-ting
% ikan matang gonad
Waktu (hari ke-)
% ikan bun-ting
A (0 IU; 0%) 5 22 40 100 0 -a -ab -a -a D (5 IU; 0%) 5 15 60 100 80 137291 ± 45921a 1.04 ± 0.10ab 99.05 ± 0.82a 91.75 ± 11.5a G (10 IU; 0%) 5 15 60 100 40 72316 ± 51845a 1.09 ± 0.04ab 97.32 ± 4.06a 94.87 ± 6.48a J (20 IU; 0%) 5 15 40 100 40 77031 ± 25195a 1.05 ± 0.04ab 99.38 ± 0.55a 94.52 ± 5.84a B (0 IU; 1.5%) 5 15 40 100 0 -a -a -a -a E (5 IU; 1.5%) 5 15 60 100 40 95022 ± 23049a 1.03 ± 0.11a 99.95 ± 0.10a 82.28 ± 15.46a H (10 IU; 1.5%) 5 15 60 100 60 87251 ± 27777a 1.07 ± 0.08a 99.29 ± 0.75a 95.31 ± 3.63a K (20 IU; 1.5%) 5 15 40 100 40 93341 ± 22654a 1.00 ± 0.05a 99.22 ± 0.99a 89.61 ± 3.64a C (0 IU; 3%) 5 15 40 100 40 95496 ± 34783a 1.09 ± 0.05b 98.03 ± 2.40a 87.74 ± 6.97a F (5 IU; 3%) 5 15 60 100 40 75696 ± 50825a 1.03 ± 0.09b 97.27 ± 2.05a 97.69 ± 2.82a I (10 IU; 3%) 5 15 40 100 40 66968 ± 16410a 1.10 ± 0.07b 97.54 ± 4.78a 98.94 ± 1.26a L (20 IU; 3 %) 5 15 60 100 40 85405 ± 30190a 1.05 ± 0.05b 99.14 ± 0.98a 92.25 ± 4.51a
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.10); rata-rata ± simpangan baku
Pemberian kombinasi hormon PMSG mix dan Spirulina (perlakuan C
sampai perlakuan L) jika dibandingkan dengan perlakuan A (0%; 0 IU) dan
perlakuan B (1.5%; 0 IU) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
fekunditas relatif (p<0.10). Sedangkan pembandingan antar perlakuan C sampai
dengan perlakuan L pengaruhnya tidak berbeda nyata terhadap fekunditas relatif
(p>0.10). Pada penelitian ini, fekunditas relatif yang terbesar diperoleh pada
perlakuan D (0%; 5 IU) dengan rata-rata sebesar 137291 (yang berkisar antara
98467 – 195618) butir telur/kg induk (Tabel 8).
39
Tabel 8. Perkembangan kematangan gonad dan kinerja reproduksi ikan lele
dumbo betina yang diberi perlakuan kombinasi hormon PMSG dan
Spirulina (variabel pada uji Kruskal wallis dikelompokkan berdasarkan
kombinasi PMSG dan Spirulina)
Perlakuan ∑ ikan awal
Pertama kali terlihat bunting
Akhir penelitian
Fekunditas (butir/kg induk)
Diameter telur (mm) FR (%) HR (%) %
ikan bun-ting
% ikan matang gonad
Waktu (hari ke-)
% ikan bun-ting
A (0 IU; 0%) 5 22 40 100 0 -a -a -a -a B (0 IU; 1.5%) 5 15 40 100 0 -a -a -a -a C (0 IU; 3%) 5 15 40 100 40 95496 ± 34783ab 1.09 ± 0.05ab 98.03 ± 2.40ab 87.74 ± 6.97ab D (5 IU; 0%) 5 15 60 100 80 137291 ± 45921b 1.04 ± 0.10ab 99.05 ± 0.82ab 91.75 ± 11.5b E (5 IU; 1.5%) 5 15 60 100 40 95022 ± 23049ab 1.03 ± 0.11ab 99.95 ± 0.10b 82.28 ± 15.46ab F (5 IU; 3%) 5 15 60 100 40 75696 ± 50825ab 1.03 ± 0.09ab 97.27 ± 2.05ab 97.69 ± 2.82b G (10 IU; 0%) 5 15 60 100 40 72316 ± 51845ab 1.09 ± 0.04b 97.32 ± 4.06ab 94.87 ± 6.48ab H (10 IU; 1.5%) 5 15 60 100 60 87251 ± 27777ab 1.07 ± 0.08ab 99.29 ± 0.75ab 95.31 ± 3.63b I (10 IU; 3%) 5 15 40 100 40 66968 ± 16410ab 1.10 ± 0.07ab 97.54 ± 4.78ab 98.94 ± 1.26b J (20 IU; 0%) 5 15 40 100 40 77031 ± 25195ab 1.05 ± 0.04ab 99.38 ± 0.55ab 94.52 ± 5.84ab K (20 IU; 1.5%) 5 15 40 100 40 93341 ± 22654ab 1.00 ± 0.05ab 99.22 ± 0.99ab 89.61 ± 3.64ab L (20 IU; 3 %) 5 15 60 100 40 85405 ± 30190ab 1.05 ± 0.05ab 99.14 ± 0.98ab 92.25 ± 4.51ab
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.10); rata-rata ± simpangan baku
Hasil uji Dunn terhadap data SR4 (Gambar 13) menunjukkan bahwa
perlakuan hormon PMSG mix dan penambahan Spirulina dalam pakan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap SR4 jika dibandingkan
dengan perlakuan A dan B (p<0.10). Perlakuan penyuntikan hormon PMSG mix
secara tunggal memberikan pengaruh nyata (p<0.10) terhadap SR4 jika
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (tanpa hormon). Pemberian Spirulina
secara tunggal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai SR4
(p>0.10). Penambahan Spirulina 1.5% dan hormon PMSG mix 20 IU (pada
perlakuan K) memberikan pengaruh yang lebih baik dimana hasil rata-rata SR4
lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya.
40
0a
0a
97.86ab
97.47ab
99.46ab
98.68ab
98.98ab
99.64ab
99.48ab
99.09ab
99.87b
99.28ab
0
20
40
60
80
100
120
A B C D E F G H I J K L
SR 4
(%)
Perlakuan
0.78
0.46
0
0.91
0.41
0.27
0.59
0.28
0.81
0.09
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
A B C D E F G H I J K L
% A
bnor
mal
itas
larv
a
Perlakuan
Gambar 13 Kelangsungan hidup larva setelah 4 hari / SR4 (%).
Gambar 14 Persentase abnormalitas pada larva hari ke-4.
Persentase abnormalitas larva pada penelitian ini berkisar antara 0-0.91%.
Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan persentase abnormalitas larva lele pada
penelitian Sinjal (2007) dan Mokoginta (1992) masing-masing sebesar 1.4-12.8%
dan 1.7-6.8%. Penambahan Spirulina 1.5% dalam pakan ikan (perlakuan E dan
H) mampu mengurangi persentase abnormalitas jika dibandingkan dengan
perlakuan yang tidak ditambah Spirulina.
41
Tabel 9. Kualitas air selama penelitian
Perlakuan Suhu (oC) DO (mg/L) pH Ammonia
(mg/L) Alkalinitas
(mg CaCO3/L) A (0 IU; 0%) 26.3 - 31.1 8.65 - 11.91 8.73 - 8.94 0.001 - 0.033 194.36 - 309.4 B (0 IU; 1.5%) 26.3 - 31.1 8.38 - 12.33 8.41 - 8.68 0.010 - 0.028 238.43 - 362.95 C (0 IU; 3 %) 26.3 - 31 9.59 - 14.60 8.75 - 9.06 0.005 - 0.008 200.01 - 351.05 D (5 IU; 0%) 26.3 - 31.2 9.60 - 12.14 8.56 - 8.87 0.004 - 0.009 215.83 - 285.6 E (5 IU; 1.5%) 26.0 - 31 8.60 - 16.70 8.72 - 9.26 0.007 - 0.027 186.45 - 297.5 F (5 IU; 3 %) 26.1 - 31 9.19 - 17.80 8.81 - 9.35 0.006 - 0.019 184.19 - 306.43 G (10 IU; 0%) 26.2 - 31 9.43 - 10.82 8.47 - 8.55 0.005 - 0.020 305.1 - 389.73 H (10IU;1.5%) 26.3 - 31 8.66 - 10.98 7.03 - 7.11 0.019 - 0.033 284.76 - 398.65 I (10 IU; 3 %) 26.0 - 31 8.97 - 15.42 8.55 - 8.86 0.010 - 0.035 229.39 - 318.33 J (20 IU; 0%) 26.0 - 30.9 9.03 - 11.30 8.27 - 8.69 0.007 - 0.061 258.77 - 362.95 K (20 IU;1.5%) 26.1 - 30.9 8.50 - 11.10 7.03 - 7.18 0.027 - 0.028 366.12 - 407.58 L (20 IU; 3 %) 26.3 - 31 9.05 - 10.78 7.7 - 8.23 0.002 - 0.045 204.53 - 410.55
Tabel 9 menunjukkan kualitas air selama penelitian berlangsung. Suhu,
DO (kandungan oksigen terlarut) dan pH pada wadah pemeliharaan masih berada
dalam kisaran toleransi ikan lele untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Nilai DO pada penelitian ini cukup stabil karena adanya aerasi pada masing-
masing bak pemeliharaan. Penggunaan air hijau (bekas pemeliharaan ikan nila)
mengakibatkan nilai ammonia dan pH yang terukur sedikit lebih tinggi dari
kisaran normal. Begitu pula pada nilai alkalinitas (yang teramati cukup tinggi)
menunjukkan bahwa produktivitas plankton pada air kolam cukup tinggi. Nilai-
nilai kualitas air yang teramati berada dalam ambang toleransi ikan sehingga ikan
tetap dalam kondisi sehat selama penelitian.
42
Pembahasan
Dalam SNI 01- 4087-2006 disebutkan bahwa pakan buatan untuk induk
ikan lele dumbo pada budidaya intensif harus memiliki kadar protein minimal
30%, kadar lemak minimal 5% dan kadar serat kasar maksimal 8%. Pakan pada
penelitian ini sudah memenuhi persyaratan tersebut, kecuali pada pakan kontrol
(0% Spirulina) dimana kadar proteinnya 29.52%. Nilai ini dianggap tidak berbeda
terlalu jauh dan cukup untuk menunjang reproduksi ikan lele dumbo. Penelitian
sebelumnya dengan menggunakan pelet komersil yang ditambah dengan Spirulina
juga memberikan hasil yang baik, dimana proses rematurasi ikan lele dumbo
betina juga dapat dipercepat menjadi 28 hari (data tidak ditampilkan).
Ikan lele dumbo adalah ikan air tawar yang kebutuhan akan asam lemak
n-6 umumnya sama atau lebih tinggi dari asam lemak n-3. Takeuchi (1996)
menyatakan bahwa pada umumnya ikan air tawar membutuhkan asam lemak n-6
atau kombinasi dari asam lemak n-6 dengan n-3, akan tetapi kebutuhan asam
lemak esensial pada setiap spesies ikan berbeda-beda. Penggunaan asam lemak
esensial n-6 dan n-3 pada pakan induk ikan lele (Clarias batrachus Linn.) masing-
masing sebesar 0.26% dan 1.68% (rasio n-6/n-3 adalah 0.1547), dimana sebagian
besar asam lemak n-3 dalam bentuk EPA dan DHA, menghasilkan derajat
penetasan telur sebesar 80.7% dan persentase abnormalitas larva sebesar 2.5%
(Mokoginta 1992). Kadar asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan penelitian ini
masing-masing berkisar antara 0.42-0.61% dan 5.45-5.86%.Sedangkan rasio asam
lemak n-6 dengan n-3 pada pakan perlakuan berkisar antara 0.077-0.104. Nilai
rasio asam lemak ini lebih kecil dibandingkan dengan rasio asam lemak yang
disarankan oleh Mokoginta (1992). Walaupun demikian nilai HR yang didapat
pada penelitian ini lebih besar dibandingkan HR pada penelitian Mokoginta
(1992), Sinjal (2007) dan Manurung (2011). Selain itu rata-rata persentase
abnormalitas pada penelitian ini cukup kecil yaitu di bawah 1%. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa kadar asam lemak esensial dalam pakan yang digunakan
sudah mencukupi kebutuhan induk lele dumbo untuk reproduksi.
Effendie (1997) menyatakan bahwa GSI akan semakin meningkat nilainya
dan akan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Semakin
meningkat nilai GSI maka diameter telur dalam gonad akan semakin besar pula.
43
Secara umum terlihat adanya peningkatan nilai GSI pada pengamatan hari ke-0,
hari ke-14 dan pada akhir penelitian (Tabel 5). Nilai GSI yang cukup bervariasi
pada pengamatan hari ke-7 sampai dengan hari ke-21 dikarenakan sampel ikan
yang diambil untuk histologi gonad hanya 1 ekor. Nilai GSI yang relatif kecil
kemungkinan disebabkan ikan selain dalam proses reproduksi juga masih dalam
proses pertumbuhan somatik. Sehingga energi dari makanan yang masuk selain
digunakan untuk reproduksi juga digunakan untuk pertumbuhan somatiknya.
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai GSI pada akhir penelitian secara keseluruhan
berkisar antara 8.11-14.37%. Nilai GSI tertinggi diperoleh pada perlakuan D
(5IU; 0%). Hasil penelitian Efrizal (1995) pada lele dumbo diperoleh nilai GSI
16.80 %, sementara Basuki (1990) mendapatkan nilai GSI 13.88%. Penelitian
Sinjal (2007) pada pemijahan ikan lele dumbo memperoleh nilai GSI berkisar
8.39-16.81%. Peningkatan nilai GSI ini disebabkan oleh perkembangan oosit.
Pada saat proses vitelogenesis berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam
jumlah dan ukuran sehingga menyebabkan volume oosit membesar (Nagahama
1994). Effendi (1997) menyebutkan pertambahan gonad pada ikan betina secara
umum berkisar antara 10-25% dari bobot tubuh.
Fekunditas relatif yang diperoleh pada penelitian ini cukup besar berkisar
antara 66968 sampai dengan 137291 butir telur/kg induk (Tabel 6). Nilai ini lebih
besar daripada fekunditas induk lele Sangkuriang yang diperoleh Sunarma (2004)
dan fekunditas induk lele dumbo yang diperoleh pada penelitian Sinjal (2007) dan
Manurung (2011). Nikolsky (1969) dalam Effendie (1997) menyebutkan bahwa
fekunditas relatif lebih mencerminkan status individu dari ikan betina dan kualitas
dari telur yang dihasilkan. Ikan yang berumur tua dan berukuran besar cenderung
mempunyai fekunditas relatif yang lebih kecil. Nilai fekunditas relatif ini akan
maksimum pada golongan ikan yang masih muda.
Perbedaan nilai fekunditas relatif yang didapatkan pada penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya diduga disebabkan perbedaan umur dan berat dari
ikan yang digunakan. Umur induk pada penelitian ini ± 8 bulan dan beratnya
berkisar antara 216-858 gram/ekor. Sementara pada penelitian Sunarma (2004)
disebutkan bahwa induk betina yang digunakan berumur minimal 1 tahun dan
beratnya antara 0.7-1 kg/ekor. Sinjal (2007) melaporkan bahwa induk pada saat
44
memijah berumur 7-9 bulan dan fekunditas relatifnya berkisar antara 654.10-
711.20 butir telur/1 gram telur. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan,
fekunditas relatif pada penelitian ini berkisar antara 647.04-1192.60 butir telur/1
gram telur. Nilai tersebut masih lebih tinggi dibandingkan fekunditas relatif pada
penelitian Sinjal (2007). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perlakuan
kombinasi hormon PMSG dan Spirulina dapat meningkatkan fekunditas relatif.
Menurut Woynarovich and Horvath (1980) bahwa jumlah telur ikan dapat
dipengaruhi oleh bobot tubuh induk betina dan ukuran diameter telur. Ukuran
diameter telur dan fekunditas dari induk memiliki kaitan yang erat. Blaxters
(1988) menyebutkan bahwa ikan betina dengan fekunditas yang besar, cenderung
memiliki ukuran telur yang relatif kecil. Sebaliknya, induk betina dengan
fekunditas yang rendah cenderung memiliki ukuran telur yang relatif besar. Hal
ini terlihat pada perlakuan I (10 IU; 3%) yang memiliki nilai fekunditas paling
rendah dibanding perlakuan lainnya, ternyata memiliki ukuran telur yang relatif
besar dibandingkan yang lain. Sebaliknya, pada perlakuan D (5 IU; 0%) dimana
nilai fekunditasnya paling besar ternyata memiliki ukuran telur yang relatif kecil
(Tabel 6).
Diameter telur yang diperoleh pada penelitian ini sedikit lebih kecil
dibandingkan diameter telur ikan lele pada penelitian Sunarma (2004) dan Sinjal
(2007). Sunarma (2004) menyebutkan bahwa kisaran diameter telur baik pada lele
dumbo maupun Sangkuriang berkisar antara 1.1-1.4 mm. Sementara penelitian
yang dilakukan Sinjal (2007) memperoleh hasil diameter telur lele dumbo sebesar
1.18-1.23 mm. Perbedaan hasil penelitian diduga disebabkan oleh perbedaan
ukuran dan umur dari induk yang digunakan.
Perlakuan penyuntikan hormon PMSG mix secara tunggal memberikan
pengaruh yang nyata terhadap diameter telur, fekunditas relatif, FR, HR dan SR4
(p<0.10). Perlakuan hormon PMSG mix 10 IU/kg induk menghasilkan diameter
telur yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya walaupun tidak berbeda
nyata jika dibandingkan dengan perlakuan 5 IU dan 20 IU/kg induk (Tabel 6).
Pemberian Spirulina secara tunggal tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap fekunditas relatif, FR, HR dan SR4, akan tetapi memberikan
pengaruh nyata terhadap diameter telur (Tabel 7). Penambahan Spirulina 3%
45
dalam pakan menghasilkan nilai diameter telur yang relatif lebih besar
dibandingkan perlakuan lain. Asam-asam lemak tak jenuh (n-6 dan n-3 ) yang ada
dalam Spirulina merupakan asam lemak esensial yang dapat mempengaruhi sifat
fluiditas dari membran sel. Perubahan fluiditas membran yang diakibatkan oleh
perubahan komposisi asam lemak akan mempengaruhi metabolisme sel melalui
perubahan aktivitas enzim-enzim yang terdapat pada membran sel (Sargent et al.
1989). Vitellogenin secara selektif diambil dari aliran darah oleh oosit yang
sedang berkembang. Reseptor dari vitellogenin terdapat di membran dari oosit.
Dengan fluiditas membran yang lebih baik akibat penambahan Spirulina dalam
pakan menyebabkan vitellogenin masuk dengan mudah dan diserap oleh oosit
sehingga menyebabkan diameter telur menjadi lebih besar.
Izguierdo et al. (2001) menyatakan bahwa kelebihan dan kekurangan asam
lemak n-3 dapat menimbulkan efek negatif terhadap kualitas telur. Asam lemak
esensial dalam proses reproduksi juga mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan pembentukan senyawa prostaglandin. Meng-Umphan (2009)
menyebutkan Spirulina adalah sumber asam linolenat gamma (GLA) yang
menjadi prekursor untuk prostaglandin. Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar GLA
dalam pakan meningkat seiring dengan meningkatnya dosis Spirulina dalam
pakan. Dengan adanya kadar GLA yang meningkat dalam pakan perlakuan diduga
kadar prostaglandin dalam tubuh ikan pun meningkat. Lehninger (2003)
menyebutkan bahwa prostaglandin berperan sebagai hormon yang membantu
pada ovulasi yaitu saat pecahnya sel folikel. Djojosoebagio (1990) menyatakan
bahwa prostaglandin terlibat dalam proses peningkatan produksi cAMP (mediated
adenylate cyclase system) yang dipicu oleh LH. Sehingga dapat diduga bahwa bila
fluiditas membran sel dan kandungan prostaglandin meningkat akan
menyebabkan aksi gonadotropin dalam rangka vitellogenesis juga meningkat. Hal
ini tentunya akan membantu proses pematangan gonad ikan lele dumbo berjalan
dengan cepat.
Sistem reproduksi pada vertebrata, termasuk ikan dikontrol oleh poros
hipotalamus-pituitari-gonad. Perubahan lingkungan sebagai salah satu sinyal
reproduksi menyebabkan hipotalamus melepaskan GnRH (gonadotropin releasing
hormone). GnRH akan merangsang kelenjar pituitari mensekresikan gonadotropin
46
menuju gonad sebagai organ target. Gonadotropin (FSH dan LH) akan
mempengaruhi folikel ovary memproduksi androgen terutama testosteron yang
selanjutnya diubah menjadi hormon estradiol 17β dengan bantuan enzim
aromatase. Hormon estradiol 17β akan merangsang proses vitellogenesis di hati.
Proses vitellogenesis sendiri merupakan induksi dan sintesis vitellogenin di hati
sebagai respon dari hormon estradiol 17β. Vitellogenin selanjutnya akan
dilepaskan ke dalam sistem peredaran darah dan diserap secara selektif oleh oosit
yang sedang berkembang untuk ditimbun menjadi bakal kuning telur
(Nagahama 1994).
Supriatna (1998) menyebutkan bahwa hormon PMSG merupakan hormon
gonadotropin eksogen yang memiIiki potensi biologis tinggi dalam merangsang
ovaria sapi untuk tanggap dalam menghasilkan bentuk fungsional ovaria berupa
folikel dan corpus luteum (CL). Menurut Rudiana (2000), hormon PMSG ini
mampu merangsang pertumbuhan sel interstisial ovarium, pertumbuhan dan
pemasakan folikel. Fitriliyani (2005) melaporkan pemberian salmon gonadotropin
releasing hormone analog + anti dopamine (sGnRH-a + ad) dan PMSG secara
terpisah dapat menstimulasi kematangan telur tahap akhir dan ovulasi dari induk
ikan gabus. Perlakuan dengan sGnRH-a + ad dan PMSG juga menghasilkan
derajat pembuahan dan derajat penetasan telur yang tinggi.
Hormon FSH dan LH yang ada dalam PMSG mix berperan dalam proses
vitellogenesis dan kematangan telur tahap akhir. FSH yang berasal dari PMSG
maupun HCG memiliki peran dominan dalam meningkatkan jumlah folikel dan
meningkatkan diameter telur. Sementara LH, baik yang berasal dari PMSG
maupun dari HCG berperan dalam proses kematangan telur tahap akhir.
Penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan kombinasi hormon PMSG mix
dan Spirulina dapat memacu kematangan gonad ikan lele dumbo betina menjadi
hanya 28 hari (Tabel 8). Perlakuan tersebut memberikan hasil persentase
kematangan gonad pada ikan lele dumbo betina mencapai 80% (pada perlakuan
penyuntikan hormon PMSG 5 IU/kg induk) serta menghasilkan derajat
pembuahan dan derajat penetasan telur yang tinggi.
Hal serupa juga didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lestari
(2010) dan Fibriana (2010) dimana perlakuan penyuntikan hormon PMSG mix
47
serta penambahan vitamin mix dalam pakan menyebabkan 100% ikan patin siam
menjadi bunting. Di akhir penelitian mereka, diperoleh hasil yang sama dimana
tidak semua ikan yang bunting jugamengalami kematangan gonad. Persentase
kematangan gonad ikan patin siam yang berhasil dicapai dengan perlakuan
hormon PMSG mix yaitu mencapai 60%. Dosis hormon PMSG mix yang
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Lestari (2010) dan
Fibriana (2010) yaitu sebesar 0 ; 5 ; 10 dan 20 IU/kg bobot induk. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan hormon PMSG efektif untuk rematurasi
beberapa spesies ikan (Lestari 2010, Fibriana 2010, Manurung 2011), termasuk
udang (Yusuf 2011). Walaupun demikian, dosis hormon optimal yang dibutuhkan
akan berbeda-beda pada tiap spesies ikan. Dosis hormon yang optimal untuk
memacu kematangan gonad baik pada ikan lele dumbo maupun ikan patin siam
adalah dosis 5 IU dan 10 IU/kg bobot induk. Penggunaan hormon PMSG mix
dalam dosis yang lebih rendah dari 5 IU perlu dikaji lebih lanjut. Selain itu,
diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai penggunaan hormon PMSG mix
ini untuk memacu kematangan gonad pada spesies ikan lain.
Berdasarkan hasil analisis statistik yang telah dilakukan terhadap data
reproduksi ikan lele (Lampiran 8, Lampiran 9 dan Lampiran 10), diketahui bahwa
perlakuan D (5 IU; 0%), F (5 IU; 3%) dan perlakuan I (10 IU; 3%) merupakan
perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Dari ketiga perlakuan tersebut, perlakuan penyuntikan hormon PMSG
mix 5 IU/kg induk (tanpa penambahan Spirulina) adalah perlakuan yang paling
efektif dan efisien dalam hal biaya (Lampiran 11). Dalam satu siklus produksi
total biaya yang harus ditambahkan bila mengunakan hormon PMSG mix 5 IU/kg
yaitu sebesar Rp. 13.380,- . Dengan menggunakan penyuntikan hormon PMSG
mix 5 IU/kg induk maka persentase kematangan gonad ikan lele dumbo yang
berhasil dicapai yaitu sebesar 80%, FR sebesar 99.05% dan HR 91.75%.
Alternatif lain jika terjadi kesulitan dalam pengadaan hormon PMSG mix yaitu
dengan menambahkan 3% Spirulina dalam pakan induk, dimana persentase
kematangan gonad yang berhasil dicapai yaitu sebesar 40%, FR sebesar 98.03%
dan HR mencapai 87.74% serta biaya relatif murah sebesar Rp. 12.144,-.
48
49
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan proses rematurasi pada ikan lele dumbo
betina dapat dipercepat menjadi hanya 4 minggu (28 hari) pasca pemijahan
dengan penyuntikan hormon PMSG mix dan pemberian pakan bersuplemen
Spirulina. Penggunaan perlakuan hormon PMSG mix 5 IU/kg induk efektif untuk
mempercepat kematangan gonad induk (dengan 4x penyuntikan) dengan kualitas
larva yang baik serta biaya yang terjangkau yaitu Rp. 13.380,- per kg induk.
Penambahan 3% Spirulina dalam pakan ikan lele dumbo dapat menjadi alternatif
dalam proses rematurasi dengan biaya yang relatif murah sebesar Rp. 12.144,-.
Saran
Rematurasi ikan lele dumbo betina dapat dilakukan dengan penyuntikan
hormon PMSG mix 5 IU/kg induk (sebanyak 4 kali penyuntikan dengan interval 1
minggu), atau penambahan 3% Spirulina dalam pakan dengan feeding rate 3%
selama 4 minggu. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui seberapa
sering proses rematurasi ini dapat dilakukan terhadap ikan lele dumbo. Aplikasi
hormon PMSG mix dalam dosis yang lebih rendah dari 5 IU perlu diteliti lebih
lanjut. Selain itu, diperlukan adanya kajian lanjutan mengenai penggunaan
hormon PMSG mix ini untuk memacu kematangan gonad pada spesies ikan
lainnya.
50
DAFTAR PUSTAKA Adriani, Sudono A, Sutardi T, Manalu W, Sutama IK. 2003. Optimalisasi
produksi anak dan susu kambing peranakan etawah dengan superovulasi dan suplementasi seng. Forum Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 26 (4): 335-352.
Bagenal TB. 1969. Relationship between egg size and fry survival in Brown Trout (Salmo truta L). J Fish Biol 1: 349-353.
Basuki F. 1990. Pengaruh kombinasi hormon PMSG dan HCG terhadap ovulasi Clarias gariepinus (Burcell). [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Blaxters JHS. 1969. Development of egg and larvae. p: 184-190. In Hoar WS, Randall DJ (ed). Fish Physiology Vol III. Canada: Academic Press Inc.
Blaxter JHS. 1988. Pattern and variety in development. In Hoar WS, Randall DJ (ed). Fish Physiology Vol. XI A Part. Eggs and larvae. London: Academic Press Inc.
Bolamba D, Matton P, Estrada R, dan Dufour J J. 1992. Effect of Pregnant Mare
Serum Gonadotropin on follicular population and ovulation rates in prepubertal gilts with two morphologically different ovarium types. J. Anim.Sci 70 : 1916-1992.
Chinabut S, Limsuwan LC, Kitsawat P. 1991. Histology of the walking catfish Clarias batrachus. International Development Research Centre. Canada.
Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Kelenjar Endokrin. Jakarta: UI Press.
Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Efrizal. 1995. Pengaruh penyuntikan 17α-hidroksi progesterone dan HCG terhadap ovulasi dan kualitas telur ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Fibriana C. 2010. Rekayasa rematurasi ikan patin siam Pangasianodon hypophthalmus dengan kombinasi penyuntikan hormon PMSG dan HCG serta penambahan vitamin mix 100 mg/kg pakan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Fitriliyani I. 2005. Pembesaran larva ikan gabus (Channa striata) dan efektifitas induksi hormon gonadotropin untuk pemijahan induk. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Henrikson R. 2009. Earth Food Spirulina. Ronore Enterprises, Inc. Hawaii USA
51
Hoars WS, Randall DJ, Donaldson EM. 1983. Fish Physiology, Volume IX Reproduction. Part B. Behaviour and Fertility Control. London: Academic Press Inc.
Hollander M, Wolfe DA. 1973. Nonparametric Statistical Methods. Canada: J Wiley. p 114-132.
Izquierdo MS, Fernandez-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture 197 : 25–42.
James R, Sampath K, Thangarathinam R, Vasudhevan I. 2006. Effects of dietary Spirulina level on growth, fertility, coloration and leucocyte count in red swordtail, Xiphophorus helleri. Isr J Aquac - Bamidgeh, 58(2):97-104.
James R, Vasudhevan I, Sampath K. 2009. Interaction of Spirulina with Different
Levels of Vitamin E on Growth, Reproduction, and Coloration in Goldfish (Carassius auratus). Isr J of Aquac - Bamidgeh 61(4): 330-338.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2009. Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Lagler KF, Bordach JE, Miller RR, Passino DRM.1977. Ichthyology. New York: John Willey&Sons Inc.
Lam TJ. 1985. Induced spawning in fish. Workshop on the reproduction culture of milk fish. Oceanic Institute Hawaii.
Lehninger LA. 2003. Dasar-dasar biokimia (terjemahan). Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga. 368 hal.
Lestari UN. 2010. Induksi rematurasi ikan patin siam dengan kombinasi penyuntikan hormon PMSG mix dan penambahan vitamin mix 200 mg/kg pakan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Lu J, Takeuchi T. 2004. Spawning and egg quality of the tilapia Oreochromis niloticus fed solely on raw Spirulina throughout three generations. Aquaculture 234: 625–640
Manalu, W, Sumaryadi M, Sujatmogo Y, Satyaningtias AS. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Small Rumin Res 33: 279-284.
Manurung F. 2011. Rekayasa rematurasi ikan lele Clarias sp. menggunakan hormon GtH dan penambahan tepung Spirulina sp. pada pakan [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
52
McIntosh JEA, Moor RM, Allen WR. 1975. Pregnant Mare Serum Gonadotropin: Rate of clearance from the circulation of sheep. J Reprod. Fert 44: 95-100.
Meng-Umphan K. 2009. Growth performance, sex hormone levels and maturation ability of pla poa (Pangasius bocourti) fed with Spirulina supplementary pellet and hormone application. Int J Agric Biol 11: 458–462
Mokoginta I. 1992.Essential fatty acid requirement of catfish (Clarias batrachus Linn) for broodstock development [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Nagahama Y. 1983. The functional morphology of teleost gonads.In Hoar WS, Randall DJ, Donaldson EM (eds). Fish Physiology IX B. Acad Press New York. Hal 223-275.
Nagahama Y. 1994. Endocrine regulation of gametogenesis in fish. Int J 0 Biol 38: 217-229.
Rudiana E, Moeljono MPE, Handari S. 2000. Pengaruh Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan Prostaglandin (PGF2α) terhadap pematangan telur dan ovulasi ikan lele dumbo (Clarias gariepinus Burchell). Teknosains 13 (3): 263-276.
Sargent JR, Henderson RJ, Tocher DR. 1989. The Lipid. P.153-217. In : Halver JE (Eds.). Fish Nutriton. New York: Academic Press.
Sinjal HJ. 2007. Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui penambahan ascorbyl phosphate magnesium sebagai sumber vitamin C dan implantasi dengan estradiol-17β [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Supriatna I, Yusuf TL, Purwantara B, Moekti G, Hernomoadi LP. 1998. Kajian pemberian Human Chorionic Gonadotropin (HCG) pada sapi perah yang telah disuperovulasi dengan Pregnant Mare Serum Gonadotropin Monoclonal Antibody (PMSG-MoAb) Anti PMSG. Fakultas Kedokteran Hewan, Media Veteriner 5 (2) : 15-20.
Sunarma A. 2004. Peningkatan Produktifitas Usaha Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Makalah disampaikan pada Temu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Temu Usaha Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bandung 04 - 07 Oktober 2004. Bandung. 13 halaman.
Takeuchi T. 1988. Laboratory Work Chemical Evaluation of Dietary Nutrition. p. 179 – 229. In Watanabe T (Eds). Fish Nutrition and Mariculture JICA Textbook. The General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center.
Takeuchi T. 1996. Essential fatty acid requirements in carp. Animal Nutrition (49): 23-32.
53
Ungsethaphand T, Peerapornpisal Y, Whangchai N, Sardsud U. 2010. Effect of feeding Spirulina platensis on growth and carcass composition of hybrid red tilapia (Oreochromis mossambicus × O. niloticus). Maejo Int. J. Sci. Technol. 4(02) : 331-336
Venkataraman LV. 1993. Spirulina in India. pp. 92-100. In: Proc. Natl. Symp. Cyanobacterial Res.- Indian Scene NFMC, BARD, Tiruchirapalli, India.
Vonshak A. 2002. Spirulina Platensis (Arthrospira) physiology, cell-biology and biotechnology. Edited by Avigad Vonshak. Ben-Gurion University of the Negev, Israel. Taylor & Francis e-Library.
Woynarovich E, Horvath L. 1980. The artificial propagation of warm water finfish. FAO Fisheries Technical Paper No. 201. FIR/T 201.
Yusuf K. 2011. Efektivitas dan Efisiensi Antidopamin dan Hormon GTH sebagai Pengganti Ablasi Mata dalam Upaya Percepatan Kematangan Gonad Udang Vaname [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zhou B, Liu W, Qu W, Tseng CK. 1991. Application of Spirulina mixed feed in the breeding of Bay Scallop. Bioresource Technology Volume 38, Issues 2-3, Pages 229-232.
54
55
Lampiran 1. Produksi Perikanan Budidaya Lele (ton)
Tempat produksi Tahun
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Kolam 28,991 34,136 38,051 57,740 50,761 67,529 75,142 88,405 109,293 137,747
Keramba 798 1,390 775 659 266 761 840 984 821 2,489
Sawah 2,357 1,453 367 215 244 519 1,008 1,429 4,142 3,497
Jaring apung - - - - - 577 282 917 116 1,022
Jumlah 32,146 36,979 39,193 58,614 51,271 69,386 77,272 91,735 114,372 144,755 Persentase kenaikan produksi 15.03 5.99 49.55 -12.53 35.33 11.37 18.72 24.68 26.57
Lampiran 2. Produksi Benih Ikan Lele
Tahun
Persentase peningkatan produksi
Produksi benih lele (per 1000 ekor)
2008 2009
6,782,595 6,932,740 2.21
56
Lampiran 3. Komposisi pakan laboratorium untuk ikan lele dumbo
Komposisi Pakan Laboratorium (untuk 100 kg pakan)
Satuan (kg)
Tepung DDGS (Dried Distillers Grains with Solubles) 21 T. Kedelai 20,5 Dedak/Pollard 18 T.Ikan 17,6 T.Kopra 5,5 T.Kapuk 5 T.Kepala Udang 2 Tapioka 2 Minyak ikan 1,5 Minyak sawit 0,5 Antioksidan 60 g Zeolit 100 g DCP (kalsium) 25 g
57
Lampiran 4. Prosedur analisis proksimat
A. Kadar Protein
Tahap Oksidasi
1. Sampel ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.
2. Katalis (K2SO4+CuSo4.5H2O) dengan rasio 9:1 ditimbang sebanyak 3 gram
dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.
3. 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan kemudian labu
tersebut dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion pada suhu 400oC selama 3-4
jam sampai terjadi perubahan warna cairan dalam labu menjadi hijau bening.
4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilasi 100 ml. Kemudian larutan
dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan akuades sampai
volume larutan mencapai 100 ml. Larutan sampel siap didestilasi.
Tahap Destilasi
1. Beberapa tetes H2SO4 dimsukkan ke dalam labu, sebelumnya labu diisi
setengahnya dengan akuades untuk menghindari kontaminasi oleh ammonia
lingkungan. Kemudian didihkan selama 10 menit.
2. Erlenmeyer diisi 10 ml H2SO4 0.05 N dan ditambahkan 2 tetes indicator methyl
red diletakkan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan
sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.
3. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong
yang kemudian dibilas dengan akuades dan ditambahkan 10 ml NaOH 30%
lalu dimasukkan melalui corong tersebut dan ditutup.
4. Campuran alkaline dalam labu destilasi disuling menjadi uap air selama 10
menit terjadi pengembunan pada kondensor.
5. Labu erlenmeyer diturunkan hingga ujung pipa kondensor berada di leher labu,
diatas permukaan larutan. Kondensor dibilas dengan akuades selama 1-2
menit.
Tahap Titrasi
1. Larutan hasil destilasi ditritasi dengan larutan NaOH 0.05 N.
2. Volume hasil titrasi dicatat.
3. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blanko.
58
Kadar protein (%) = 0.0007 𝑥𝑥 (𝑉𝑉𝑏𝑏−𝑉𝑉𝑠𝑠)𝑥𝑥 6.25 𝑥𝑥 20
𝐺𝐺 𝑥𝑥 100%
Keterangan : Vb = Volume hasil titrasi blanko (ml)
Vs = Volume hasil titrasi sampel (ml)
S = Bobot sampel (gram)
Setiap ml 0.05 NaOH ≅ 0.0007 gram Nitrogen
6.25 = Faktor Nitrogen
B. Kadar Lemak
Metode ekstraksi Soxhlet
1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 110o dalam waktu 1 jam.
Kemudian didiinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot
labu tersebut (X1)
2. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram (A), dan dimasukkan ke dalam
selongsong tabung filter dan dimasukkan ke dalam soxhlet dan pemberat
diletakkan di atasnya.
3. N-hexan 100-150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong
terendam dan sisa N-hexan dimasukkan ke dalam labu.
4. Labu yang telah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water bath
sampai cairan yang merendam sampel dalam soxhlet berwarna bening.
5. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap.
6. Labu dan lemak yang tersisa dipanakan dalam oven selama 15-60 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan ditimbang (X2)
Metode Folch
1. Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110oC selama 1 jam,
didinginkan dalam desikaotr selama 30 menit kemudian ditimbang (X1).
2. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram (A) dan dimasukkan ke dalam gelas
homogenize dan ditambahkan larutan kloroform / methanol (20xA) , sebagian
disisakan untuk membilas pada saat penyaringan.
3. Sampel dihomogenizer selama 5 menit setelah itu disaring dengan vacuum
pump.
59
4. Sampel yang telah disaring tersebut dimasukkan dalamlabu pemisah yang
telah diberi larutan MgCl2 0.03 N(0.2xC), kemudian dikocok dengan kuat
minimal selama 1 menit kemudian ditutup dengan aluminium foil dan
didiamkan selama 1 malam.
5. Lapisan bawa yang terdapat dalam labu pemisah disaring ke dalam labu
silinder kemudian dievaporator sampai kering. Sisa kloroform / methanol yang
terdpat dalam labu ditiup dengan menggunakan vacuum setelah itu ditimbang
(X2)
Kadar lemak (%) = 𝑋𝑋2−𝑋𝑋1𝐴𝐴
𝑥𝑥 100%
C. Kadar Air
1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan
kemudian dimasukkan dalam dessikator selama 30 menit dan ditimbang
(X1)
2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)
3. Cawan dan bahan dipansakan dalam oven pada suhu 110oC selama 4 jam
kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2)
Kadar air (%) = (𝑋𝑋1+𝐴𝐴)− 𝑋𝑋2𝐴𝐴
𝑥𝑥 100%
D. Kadar Abu
1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan kemudian
dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (X1)
2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)
3. Cawan dan bahan dipansakan dalam tanur pada suhu 600oC sampai mnejadi
abu kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2)
Kadar abu (%) = 𝑋𝑋2−𝑋𝑋1𝐴𝐴
𝑥𝑥 100%
E. Kadar Serat Kasar
60
1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC setelah itu
didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (X1)
2. Sampel ditimbang sebnayak 0.5 gram (A) dimasukkan kedalam Erlenmeyer
250 ml
3. H2SO4 0.3 N sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer kemudian
dipanaskan di atas pembakar Bunsen selama 30 menit. Setelah itu NaOH 1.5 N
sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer dan dipanskan kembali
selama 30 menit.
4. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disraing dalam corong
Buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat filtrasi.
5. Larutan dan bahan yang ada pada corong Buchner kemudaian dibilas secara
berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air panas, dan
25 ml acetone.
6. Kertas saring dan isinya dimasukkan dalam cawan porselin, lalu dipanaskan
dalam oven 105-110oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator 5-
15 menit dan ditimbang (X2).
7. Setelah itu dipanaskan dalam tanur 600oC hingga berwarna putih atau menjadi
abu (± 4 jam). Kemudian dimasukkan dalam oven 105-110oC selama 15 menit,
didinginkan dalam desikator selama 5-15 menit dan ditimbang (X3).
Kadar serat kasar (%) = 𝑋𝑋2−𝑋𝑋1−𝑋𝑋3
𝐴𝐴 𝑥𝑥 100%
Lampiran 5. Prosedur penyiapan preparat histologi gonad
61
Fiksasi dilakukan dengan cara merendam jaringan ke dalam larutan
fiksatif. Fiksatif yang digunakan adalah Bouin dan paraformaldehida 4%.
Sebelum perendaman dilakukan, jaringan gonad disayat-sayat terlebih
dahulu dengan tujuan agar larutan fiksatif tersebut dapat masuk ke dalam
jaringan secara merata. Lama perendaman jaringan di dalam larutan
fiksatif adalah seminggu.
Bahan dehidrasi/dehidratan yang digunakan pada penelitian ini adalah
alkohol. Prosedur dehidrasi dengan dehidratan alkohol adalah
memasukkan jaringan ke dalam alckhol secara bertahap, mulai dari
konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Konsentrasi alkohol dimulai dari
70%, 80%, 90% dan 95% masing-masing selama 24 jam. Selanjutnya
jaringan dimasukkan ke dalam alkohol absolut (100%) I, II, dan III
masing-masing 1 jam.
Bahan yang digunakan sebagai bahan penjernih adalah xylol. Proses
penjernihan ini dapat dilakukan secara bertahap, yaitu melalui xylol (1),
xylol (2) dan xylol (3). Lama perendaman pada masing-masing xylol
adalah 1 jam. Dalam prose infiltrasi dengan parafin yang bertitik didih
sekitar 58oC digunakan inkubator yang suhunya dapat tetap terjaga sekitar
58oC. Agar proses ini berjalan sempurna, perendaman spesimen jaringan
diulang 3 kali masing-masing selama 1 jam. Pemindahan jaringan dari
masing-masing parafin dilakukan dengan menggunakan pinset.
Prosedur embedding adalah sebagai berikut :
1. Wadah untuk penanaman dipanaskan kemudian diolesi dengan gliserin
secara merata di permukaan cetakan.
2. Cetakan dipanaskan, dan parafin cair dituangkan ke dalam cetakan.
3. Jaringan diambil dari oven dengan menggunakan pinset yang telah
dipanaskan.
4. Kemudian parafin cair dimasukkan ke dalam cetakan.
5. Pengaturan jaringan pada cetakan untuk memudahkan orientasi pada
saat pemotongan.
6. Pemberian label pada cetakan, yang diletakkan di dinding cetakan.
62
7. Cetakan yang berisi parafin yang masih cair dan jaringan diapungkan
di atas permukaan air dingin. Setelah parafin mengeras, cetakan yang
berisi jaringan tersebut ditenggelamkan dan direndam selama satu
malam.
8. Cetakan diangkat dari dalam air, kemudian dimasukkan ke dalam
refrigerator untuk memudahkan pelepasan blok parafin.
9. Blok parafin dikeluarkan dari cetakan dengan menggunakan ujung
pisau.
10. Blok parafin dipotong (sesuai dengan banyaknya jaringan di dalam
cetakan) dengan menggunakan pisau yang dipanaskan.
11. Blok parafin dibentuk persegi empat dengan sudut-sudutnya
ditumpulkan, kemudian dilekatkan pada blok kayu dengan
menggunakan pisau yang dipanaskan.
Prosedur pemotongan (sectioning) adalah sebagai berikut :
1. Sebelum pemotongan, blok parafin dimasukkan ke dalam
refrigerator atau lemari pendingin.
2. Blok parafin dipasang pada penjepit yang ada di mikrotom.
3. Pengaturan orientasi blok parafin untuk mendapatkan posisi
yang tegak lurus dan tepat di depan pisau.
4. Trimming, yaitu proses pemotongan untuk mendapatkan
keseluruhan jaringan yang terdapat pada blok. Ketebalan proses
trimming ini adalah 10 µm.
5. Setelah proses trimming dan jaringan pada blok sudah
terpotong sempurna, pengatur ketebalan irisan diputar pada
ketebalan 5 µm.
6. Mikrotom diputar, sambil mengambil hasil irisan dengan
menggunakan kertas yang ujungnya dibasahi.
7. Pita-pita hasil irisan dimasukkan dan diapungkan ke dalam air
dingin, kemudian diseleksi dengan menggunakan jarum.
8. Pengambilan irisan yang diapungkan di air dingin
menggunakan objek gelas untuk dipindahkan ke dalam
penangas air yang bersuhu 48-50oC untuk beberapa saat
63
(bergantung pada suhu penangas). Pengapungan pada penangas
air dimaksudkan untuk mengembangkan irisan.
9. Fiksasi dengan cara menyentuhkan irisan dengan objek gelas,
kemudian ditiriskan untuk beberapa saat sebelum diletakkan di
atas hot plate sampai air yang terdapat pada objek gelas
mengering.
10. Penyimpanan preparat ke dalam inkubator minimal 24 jam
sebelum proses pewarnaan.
Prosedur pewarnaan adalah sebagai berikut :
Pewarnaan hematoksilin-eosin
1. Deparafinasi, yaitu proses menghilangkan parafin secara
bertahap menggunakan xylol (xylol I, xylol II, dan xylol III)
selama kurang lebih 5 menit.
2. Rehidrasi, yaitu proses pemberian air pada jaringan secara
bertahap ke dalam deretan alkohol mulai dari konsentrasi tinggi
sampai konsentrasi rendah (mulai 100-70%) selama kurang
lebih 5 menit.
3. Pencucian pada air mengalir selama 10 menit, kemudian air
suling selama 5 menit.
4. Pewarnaan dengan hematoksilin selama 5-7 menit.
5. Pencucian pada air mengalir lagi selama 10 menit, kemudian
air suling selama 5 menit.
6. Pewarnaan dengan eosin selama 15 menit.
7. Pencucian pada air suling selama 5 menit.
66
Lampiran 6. Histogram diameter telur ikan lele dumbo betina yang diberi perlakuan hormon PMSG dan Spirulina
01020304050
0.4…
0.5…
0.6…
0.8…
Mor
eFreq
uenc
y
A awal
05
1015
Freq
uenc
yA(I)
05
1015
Freq
uenc
y
A (II)
05
101520
Freq
uenc
y
A (III)
01020304050
Freq
uenc
y
B awal
05
1015
Freq
uenc
y
B (I)
05
1015
Freq
uenc
yB (II)
05
101520
Freq
uenc
y
B (III)
01020304050
Freq
uenc
y
C awal
05
1015
Freq
uenc
y
C (I)
05
101520
Freq
uenc
y
C (II)
05
10152025
Freq
uenc
yC (III)
0
20
40
60
80
Freq
uenc
y
C (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
D awal
05
101520
Freq
uenc
y
D (I)
05
101520
Freq
uenc
y
D (II)
05
1015
Freq
uenc
y
D (III)
020406080
100
Freq
uenc
y
D (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
E awal
05
1015
Freq
uenc
y
E (I)
05
10152025
Freq
uenc
y
E (II)
05
101520
Freq
uenc
y
E (III)
05
10152025
Freq
uenc
y
E (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
F awal
05
1015
Freq
uenc
y
F (I)
05
1015
Freq
uenc
y
F (II)
05
1015
Freq
uenc
y
F (III)
0
50
100
150
Freq
uenc
y
F (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
G awal
05
101520
Freq
uenc
y
G (I)
05
101520
Freq
uenc
y
G (II)
05
1015
Freq
uenc
y
G (III)
0
50
100
150
Freq
uenc
y
G (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
H awal
05
1015
Freq
uenc
y
H (I)
0102030
Freq
uenc
y
H (II)
05
101520
Freq
uenc
y
H (III)
020406080
100
Freq
uenc
y
H (akhir)
67
Lampiran 6. Histogram diameter telur ikan lele dumbo betina yang diberi perlakuan hormon PMSG dan Spirulina (lanjutan)
01020304050
Freq
uenc
y
I awal
05
1015
Freq
uenc
y
I (I)
05
10152025
Freq
uenc
y
I (II)
05
1015
Freq
uenc
y
I (III)
0
20
40
60
80
Freq
uenc
y
I (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
J awal
05
1015
Freq
uenc
y
J (I)
05
1015
Freq
uenc
y
J (II)
05
1015
Freq
uenc
y
J (III)
020406080
100
Freq
uenc
y
J (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
K awal
05
101520
Freq
uenc
y
K (I)
0510152025
Freq
uenc
y
K (II)
05
101520
Freq
uenc
y
K (III)
0
50
100
150
Freq
uenc
y
K (akhir)
01020304050
Freq
uenc
y
L awal
051015
Freq
uenc
y
L (I)
05
101520
Freq
uenc
y
L (II)
05
101520
Freq
uenc
y
L (III)
020406080
100
Freq
uenc
y
L (akhir)
68
Lampiran 7. Hasil analisa asam lemak pada pakan perlakuan yang ditambahkan Spirulina
Fatty Acid: Pakan Spirulina
(SP) A1 (0%SP)
A2 (1.5%SP)
A3 (3%SP)
Lauric acid, C12:0 0.04 0.04 0.05 0.28 Tridecanoic Acid, C13:0 n.d 0.01 Myristic Acid, C14:0 1.68 1.52 1.75 0.27 Myristoleic Acid, C14:1 0.02 0.02 0.03 0.22 Pentadecanoic Acid, C15:0 0.23 0.22 0.23 0.07 Palmitic Acid, C16:0 14.94 14.34 15.09 13.33 Palmitoleic Acid, C16:1 1.86 1.63 1.9 2.81 Heptadecanoic Acid, C17:0 0.3 0.29 0.29 0.17 Cis-10-Heptadecanoic Acid, C17:1 0.17 0.15 0.15 0.11 Stearic Acid, C18:0 3.24 3.17 3.3 1.76 Elaidic Acid, C18:1n9t 0.1 0.12 0.11 0.06 Oleic Acid, C18:1n9c 18.25 19.03 19.05 2.34 Linoleic Acid, C18:2n6c 17.75 21.98 21.57 9.45 Arachidic Acid,C20:0 0.31 0.34 0.33 0.13 g-Linolenic Acid, C18:3n6 0.05 0.13 0.23 11.75 Cis-11-Eicosenoic Acid, C20:1 0.66 0.63 0.67 0.08 Linolenic Acid, C18:3n3 1.29 1.14 1.17 0.19 Heneicosanoic Acid, C21:0 0.04 0.04 0.03 0.02 Cis-11,14-Eicosedienoic Acid, C20:2 0.23 0.23 0.23 0.16 Behenic Acid, C22:0 0.24 0.24 0.22 0.15 Cis-8,11,14-Eicosetrienoic Acid, C20:3n6 0.06 0.05 0.06 0.19 Erucic Acid, C22:1n9 0.08 0.07 0.08 0.02 Cis-11,14,17-Eicosetrienoic Acid, C20:3n3 0.04 0.03 0.04 n.d Arachidonic Acid, C20:4n6 0.31 0.31 0.32 0.11 Tricosanoic Acid, C23:0 0.05 0.05 0.05 0.02 Cis-13,16-Docosadienoic Acid, C22:2 0.02 0.02 0.02 n.d Lignoceric Acid, C24:0 0.3 0.36 0.33 0.08 Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoic Acid, C20:5n3 1.58 1.41 1.85 0.28 Nervonic Acid, C24:1 0.17 0.16 0.17 0.02 Cis-4,7,10,13,16,19-Docosahexaenoic Acid, C22:6n3 2.54 2.38 2.8 0.31
Asam lemak lainnya 33.45 29.89 27.88 55.62
69
Lampiran 8. Kinerja reproduksi induk ikan lele dumbo yang diberi perlakuan hormon PMSG dan Spirulina
Fekunditas relatif (butir telur/kg induk)
Spirulina (A) Dosis Hormon (B) B1 (0 IU) B2 (5 IU) B3 (10 IU) B4 (20 IU)
A1 (0%)
0 125796 38606 64813 0 195618 106026 89249 0 98467
0 129283 0
A2 (1,5%)
0 79630 75070 88741 0 118110 84361 97942 0
102323
0 0
A3 (3%)
124453 118015 54657 107922 66539 33376 79279 62888
Fertilization Rate/FR (%)
Spirulina (A)
Dosis Hormon (B) B1 (0 IU) B2 (5 IU) B3 (10 IU) B4 (20 IU)
A1 (0%)
0 99.33 95.34 99.38 0 98.36 99.30 99.38 0 100.00
0 98.50 0
A2 (1,5%)
0 99.92 99.70 99.54 0 100.00 99.59 98.91 0
98.59
0 0
A3 (3%)
99.93 95.69 95.32 98.94 96.14 98.85 99.76 99.35
70
Lampiran 8. Kinerja reproduksi induk ikan lele dumbo yang diberi perlakuan hormon PMSG dan Spirulina (lanjutan)
Hatching Rate/HR (%)
Spirulina (A)
Dosis Hormon (B) B1 (0 IU) B2 (5 IU) B3 (10 IU) B4 (20 IU)
A1 (0%) 0 97.48 93.58 94.52
0 96.31 96.82 94.52
0 73.22 0 100 0
A2 (1,5%) 0 71.03 97.90 92.34
0 99.16 95.79 86.89
0
92.24
0 0
A3 (3%) 90.37 98.55 98.35 94.20
85.12 96.83 99.53 90.31
Survival Rate4/ SR4 (%)
Spirulina (A)
Dosis Hormon (B) B1 (0 IU) B2 (5 IU) B3 (10 IU) B4 (20 IU)
A1 (0%)
0 97.12 99.78 99.09 0 96.70 98.17 97.70 0 98.45
0 97.62 0
A2 (1,5%)
0 99.40 100.00 99.75 0 99.56 99.22 100 0
99.69
0 0
A3 (3%)
98.82 97.94 99.44 98.85 96.89 99.42 99.52 99.71
71
Lampiran 8. Kinerja reproduksi induk ikan lele dumbo yang diberi perlakuan hormon PMSG dan Spirulina (lanjutan)
Abnormalitas larva (%)
Spirulina (A)
Dosis Hormon (B) B1 (0 IU) B2 (5 IU) B3 (10 IU) B4 (20 IU)
A1 (0%)
0.31 0.34 0.28
0.45 0.48 0.28
0.63 A2 (1,5%)
0 0.56 0.83
0 0 0.79
0.25 A3 (3%) 0 0.76 0.93 0.18
1.55 1.06 0.24 0
72
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 Kruskal-Wallis Test: DATA FEKUNDITAS RELATIF
Ranks
Spirulina N
Mean Rank
fecundity A1 13 17.12
A2 12 15.12 A3 8 19.62 Total 33
Test Statisticsa,b
fecundity Chi-Square 1.072 df 2 Asymp. Sig. .585
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Spirulina
Kruskal-Wallis Test Ranks
Dosis_Hormon N
Mean Rank
fecundity B1 12 8.42 B2 8 25.88 B3 7 18.71 B4 6 20.33 Total 33
Test Statisticsa,b fecundity Chi-Square 17.613 df 3 Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Dosis_Hormon
73
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test
Ranks nomor
_interaksi N Mean Rank
fecundity 1 5 5.50 2 5 5.50 3 2 23.00 4 4 30.00 5 2 24.00 6 2 19.50 7 2 19.00 8 3 20.67 9 2 15.50 10 2 18.50 11 2 22.00 12 2 20.50 Total 33
Test Statisticsa,b fecundity Chi-Square 25.438 df 11 Asymp. Sig. .008
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: nomor_interaksi
74
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test: DATA FR
Ranks Spiruli
na N Mean Rank FR A1 13 15.00
A2 12 17.25 A3 8 19.88 Total 33
Test Statisticsa,b FR Chi-Square 1.308 df 2 Asymp. Sig. .520
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Spirulina Kruskal-Wallis Test
Ranks Dosis
_Hormon N Mean Rank
FR B1 12 8.33 B2 8 22.38 B3 7 20.71 B4 6 22.83 Total 33
Test Statisticsa,b FR Chi-Square 15.768 df 3 Asymp. Sig. .001
75
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test
Ranks nomor
_interaksi N Mean Rank
FR 1 5 5.50 2 5 5.50 3 2 22.50 4 4 21.38 5 2 31.25 6 2 15.50 7 2 16.50 8 3 24.00 9 2 20.00 10 2 24.50 11 2 22.50 12 2 21.50 Total 33
Test Statisticsa,b FR Chi-Square 24.746 df 11 Asymp. Sig. .010
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: nomor_interaksi
76
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test: DATA HR
Ranks Spiruli
na N Mean Rank HR A1 13 16.19
A2 12 14.12 A3 8 22.62 Total 33
Test Statisticsa,b HR Chi-Square 3.969 df 2 Asymp. Sig. .137
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Spirulina
77
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test
Ranks Dosis
_Hormon N Mean Rank
HR B1 12 7.00 B2 8 24.25 B3 7 24.71 B4 6 18.33 Total 33
Test Statisticsa,b HR Chi-Square 22.526 df 3 Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Dosis_Hormon
78
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test
Ranks nomor
_interaksi N Mean Rank
HR 1 5 5.50 2 5 5.50 3 2 14.50 4 4 24.00 5 2 21.00 6 2 28.00 7 2 22.00 8 3 22.67 9 2 30.50 10 2 21.50 11 2 16.00 12 2 17.50 Total 33
Test Statisticsa,b
HR Chi-Square 25.948 df 11 Asymp. Sig. .007
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: nomor_interaksi
79
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test: DATA SR4
Ranks Spiruli
na N Mean Rank SR4 A1 13 12.88
A2 12 18.54 A3 8 21.38 Total 33
Test Statisticsa,b SR4 Chi-Square 4.420 df 2 Asymp. Sig. .110
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Spirulina
80
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test
Ranks Dosis
_Hormon N Mean Rank
SR4 B1 12 7.17 B2 8 18.25 B3 7 25.93 B4 6 24.58 Total 33
Test Statisticsa,b
SR4 Chi-Square 22.836 df 3 Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Dosis_Hormon
81
Lampiran 9. Hasil analisa data dengan program SPSS ver.16 (lanjutan) Kruskal-Wallis Test
Ranks nomor
_interaksi N Mean Rank
SR4 1 5 5.50 2 5 5.50 3 2 15.50 4 4 14.00 5 2 25.00 6 2 20.00 7 2 24.00 8 3 27.50 9 2 25.50 10 2 18.00 11 2 31.25 12 2 24.50 Total 33
Test Statisticsa,b SR4 Chi-Square 28.633 df 11 Asymp. Sig. .003
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: nomor_interaksi Keterangan : α (taraf nyata) = 10% = 0.1
Jika nilai asymp.Sig. < α maka tolak Ho (artinya sedikitnya ada satu perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda terhadap data pengamatan)
Jika hasil tes Kruskall wallis berbeda nyata,maka perhitungan selanjutnya dilakukan menggunakan uji Dunn
82
Lampiran 10. Contoh perhitungan uji Dunn
Data fekunditas relatif Ranks
nomor_interaksi N Mean Rank
fecundity 1 5 5.50 2 5 5.50 3 2 23.00 4 4 30.00 5 2 24.00 6 2 19.50 7 2 19.00 8 3 20.67 9 2 15.50 10 2 18.50 11 2 22.00 12 2 20.50 Total 33
Test Statisticsa,b fecundity Chi-Square 25.438 df 11 Asymp. Sig. .008
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: nomor_interaksi Dari data di atas terlihat bahwa Asymp.Sig < 0.10, maka Tolak Ho (artinya sedikitnya ada satu perlakuan kombinasi hormon dan Spirulina yang memberikan pengaruh berbeda terhadap fekunditas relatif) Uji Dunn Jika | Ri – Rj| > z (1-[α/k(k-1)]) . ((N(N+1))/12)1/2.((1/ni)+(1/nj))1/2 Maka perbandingan antara 2 perlakuan (i dan j) tersebut nyata.
83
Lampiran 10. Contoh perhitungan uji Dunn (lanjutan)
Keterangan : N= banyaknya hasil pengamatan dalam semua sampel k = banyak sampel (perlakuan) α = taraf nyata Pertama-tama, perlakuan diurutkan berdasarkan nilai mean rank-nya
nomor_interaksi N Mean Rank 1/Ni
fecundity D 4 30 0.25 E 2 24 0.5 C 2 23 0.5 K 2 22 0.5 H 3 20.67 0.33 L 2 20.5 0.5 F 2 19.5 0.5 G 2 19 0.5 J 2 18.5 0.5 I 2 15.5 0.5 A 5 5.5 0.2 B 5 5.5 0.2 Total 33
α/k(k-1) = 0.10/4(3)
= 0.10/12 = 0.00833 Cari nilai z yang daerah sebelah kanannya memiliki luas 0.00833
Maka nilai z yang dicari adalah = 0.5 – 0.00833 = 0.49167
z = 3.1708 (dari Tabel A.2 dalam Hollander&Wolfe 1973)
z* = nilai z x ((N(N+1))/12)1/2.((1/ni)+(1/nj))1/2
84
Lampiran 10. Contoh perhitungan uji Dunn (lanjutan)
perlakuan Ri-Rj z*
D-E 6 26.55249 tidak nyata
D-C 7 26.55249 tidak nyata
D-K 8 26.55249 tidak nyata
D-H 9.33 23.4171 tidak nyata
D-L 9.5 26.55249 tidak nyata
D-F 10.5 26.55249 tidak nyata
D-G 11 26.55249 tidak nyata
D-J 11.5 26.55249 tidak nyata
D-I 14.5 26.55249 tidak nyata
D-A 24.5 20.56747 NYATA
D-B 24.5 20.56747 NYATA
Dengan cara yang sama, didapatkan hasil bahwa perlakuan E dengan C (E-C)
sampai dengan C dengan B (C-B) menghasilkan pembandingan yang tidak
berbeda nyata.
D E C K H L F G J I A B
b ab ab ab ab ab ab ab ab ab a a
85
Lampiran 11. Perhitungan analisa ekonomi
PERLAKUAN Kebutuhan hormon (ml)
Kebutuhan Spirulina
(kg)
Harga (Rp)
Total Harga (Rp)
Hormon 0 IU; Spirulina 0% (A) 0 0 0 5.880,- Hormon 0 IU; Spirulina 1.5% (B) 0 0.01305 3.132,- 9.012,- Hormon 0 IU; Spirulina 3 % (C) 0 0.0261 6.264,- 12.144,- Hormon 5 IU; Spirulina 0% (D) 0.25 0 7.500,- 13.380,- Hormon 5 IU; Spirulina 1.5% (E) 0.25 0.01305 10.632,- 16.512,- Hormon 5 IU; Spirulina 3 % (F) 0.25 0.0261 13.764,- 19.644,- Hormon 10 IU; Spirulina 0% (G) 0.5 0 15.000,- 20.880,- Hormon 10 IU; Spirulina 1.5% (H) 0.5 0.01305 18.132,- 24.012,- Hormon 10 IU; Spirulina 3 % (I) 0.5 0.0261 21.264,- 27.144,- Hormon 20 IU; Spirulina 0% (J) 1 0 30.000,- 35.880,- Hormon 20 IU; Spirulina 1.5% (K) 1 0.01305 33.132,- 39.012,- Hormon 20 IU; Spirulina 3 % (L) 1 0.0261 36.264,- 42.144,-
Keterangan : Asumsi berat induk = 1kg/ekor; Feeding rate 3%; Harga Spirulina Rp.240.000,-/kg; Harga hormon PMSG mix = Rp.30.000,-/ml. Pakan per hari = 0.03 x 1 kg = 0.03 kg Biaya pakan per bulan = 0.03 kg x 28 hari x Rp.7.000,- = Rp.5.880,- Total harga = biaya pakan per bulan + harga hormon dan Spirulina