Download - Pbl Neng Blok 21
Batuk dan konjungtiva hemorragik pada anak
Diabetes Melitus tipe 2
Neng Nurmalasari
10-2010-326
B5
12 November 2012
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.
World health organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan suatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor
dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan
mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. 1
Alamat korespodensi :
Jln. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Email : [email protected]
1
Tinjauan pustaka
Anamnesis
1. Diabetes melitus
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemik,
disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsi, nokturia), efek
samping diabetes pada organ akhir (IHD, retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati
perifer) atau komplikasi akibat meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (misalnya ISK,
ruam kandida). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan
pemeriksaan darah atau urin.
Ketoasidosis diabetik
Keadaan ini bisa terjadi sebagai manifestasi pertama diabetes melitus atau bisa juga
terjadi pada pasien yang sudah diketahui mengidap diabetes melitus. Onset gejala bisa
bertahap mulai dari haus dan poliuria. Gejala lain di antaranya adalah sesak napas, nyeri
abdomen, mengantuk, bingung atau bahkan koma. Pada pemeriksaan fisik bisa
ditemukan tanda-tanda asidosis (pernapasan cepat, kussmaul [dalam dan panjang]), atau
dehidrasi (disertai hipotensi, takikardia dan penurunan TD postural) atau kerusakan
diabetik yang sudah lama ada (misalnya retinopati, neuropati). Mungkin terdapat gejala
atau tanda penyakit yang memicu seperti infeksi bakteri disertai demam, menggigil dan
sebagainya. Manifestasi serupa bisa timbul pada hiperglikemia non-ketotik tetapi tanda-
tanda asidosis. Asidosis bisa terjadi pada pasien diabetes akibat asidosis laktat; tetapi
jarang berhubungan dengan penggunaan metformin.
Hipoglikemia
Hipoglikemia umumnya terjadi pada pengidap diabetes akibat pemberian insulin atau
obat-obat yang bersifat hipoglikemik, atau dalam keadaan kekurangan asupan kalori. Bisa
juga terjadi pada alkhoholik, adanya tumor yang mensekresi glukagon, malnutrisi dan
yang jarang terjadi, pada sepsis.
Gejala hipoglikemia adalah rasa lapar, gelisah, ingin pingsan, takikardia, berkeringat dan
berbagai gejala neurologis mulai dari nyeri kepala, defisit neurologis, sampai koma.
Pengenalan hipoglikemia dengan segera sangat penting agar pengobatan (glukosa
intravena) bisa diberikan dan menghindarkan kerusakan neurologis yang ireversibel. Pada
setiap pasien diabetes yang sakit berat pada setiap pasien koma atau mengantuk harus
dilakukan pemeriksaan gula darah langsung di tempat tidur. Jika tak ada fasilitas
2
pemeriksaan gula darah, glukosa harus diberikan untuk menghindari kerusakan
neurologis dari hipoglikemia potensial. Sebagai pengidap diabetes sudah akrab dengan
gejala hipoglikemia dan bisa mengkoreksinya dengan makan. Akan tetapi, hipoglikemia
bisa terjadi tanpa gejala awal pada sebagian pasien: khususnya di malam hari atau saat
menggunakan obat bloker beta.
Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya dan apa
obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan urin,
tes darah, HbA1C buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia? Tanyakan mengenai
komplikasi sebelumnya.
Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hiperglikemia
Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer
(klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi ) neuropati
perifer, nerupati otonom (gejala gastroparesis-muntah, kembung, diare)
Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser
Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida
Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria)
Hipertensi-terapi
Diet/berat badan/olahraga
Obat-obatan
Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan hipoglikemia oral
atau insulin?. Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogneik (misalnya
kortikosteroid, siklosporin). Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol, apakah
pasien memiliki alergi.
Riwayat keluarga dan sosial
Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?. Apakah diabetes mempengaruhi
kehidupan? Siapakah yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah dan sebagainya
(pasangan/pasien/perawat)?
Pemeriksaan fisik
3
Apakah pasien sakit berat? Bagaimana kadar gula darahnya? PERIKSALAH!. Apakah
tercium bau aceton? Adakah tanda-tanda takipneu atau pernapasan kussmaul (cepat dan
dalam)? Adakah tanda-tanda dehidrasi akibat hiperglikemia (takikardia, hipotensi,
hipotensi postural, membran mukosa kering, turgor kulit menurun dan sebagainya)?
Apakah pasien mengantuk, bingung, atau koma? Bagaimana suhu tubuh pasien? Periksa
sistem kardiovaskular: TD adakah tanda-tanda gagal jantung?. Periksa vaskularisasi
perifer untuk : nadi teraba, bruit?. Periksa kaki untuk: ulkus, selulitis, neuropati (sensasi
raba halus), tusuk jarum, monofilamen, rasa getar, rasa posisi sendi, refleks dan neuropati
otonom (TD postural, respons valsava). Periksa mata untuk ketajaman penglihatan dan
respon pupil. Lakukan funduskopi untuk: pendarahan bintik + bercak, retinopati
proliferatif, makulopati. Periksa setiap perubahan hipertensif. Periksa urin untuk:
proteinuria, glukosa, keton. Cari dan obati komplikasi akut berbahaya dari diabetes
melitus (misalnya hipoglikemia, ketoasidosis diabetik). Peritmbangkan infeksi atau
pemicu kemunduran lain. Periksa kerusakan organ-akhir akibat diabetes. 2
Penapisan dan diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan
diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaaan glukosa dengan
cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan
glukosa seyogyanya dilakukan dilaboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program
pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kendali kondisi
setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang memiliki risiko DM.
(serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan
penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif).
4
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya
gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala yang tidak khas DM diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pada pria) dan pruritus
vulva (pada wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala
khas DM maka diperlukan dua kali pemeriksaaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga
dapat ditegakkan cara tabel 1.1. 1
Tabel 1. Kriteria diagnosis DM 1
1. Gejala klasik DM+ glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol.L) glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau gejala klasik DM+ glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L) puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mml/L) TTGO dilakukan
dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram
glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO 1994)1
3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dengan
(karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak dilarutkan
dalam air 350 mL dan diminum dalam waktu 5 menit)
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok
5
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:1
< 149 mg/dL : normal
140-<200 mg/dL : toleransi glukosa terganggu
≥200 mg/dL : diabetes.
Diabetes melitus
Gambaran klinis
Diabetes melitus adalah suatu penyakit heterogen yang didefinisikan berdasarkan adanya
hiperglikemia. Kriteria diagnostik untuk diabetes mencangkup 1. Glukosa plasma puasa >125
mg/dl, 2. Gejala diabetes plus glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl, atau 3. Kadar glukosa
plasma > 200 mg/dl setelah pemberian 75 g glukosa per oral (uji toleransi glukosa oral).
Hiperglikemia pada semua kasus disebabkan oleh defisiensi fungsional kerja insulin. Defisiensi
efek insulin dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin oleh sel B pankreas, penurunan
respons terhadap peningkatan hormon counterregullatory yang melawan efek insulin. Kontribusi
relatif masing-masing dari ketiga faktor ini tidak saja membentuk dasar klasifikasi penyakit ini
menjadi beberapa subtipe tetapi juga membantu menjelasan gambaran klinis untuk setiap
subtipe.
Lebih dari 90% kasus diabetes dianggap sebagai proses primer dan individu yang bersangkutan
memiliki predisposisi genetik untuk mengalaminya, dan diklasifikasikan sebagai tipe 1 atau tipe
2. Diabetes melitus tipe 1 lebih jarang dijumpai daripada tipe 2, yang menyebabkan kurang dari
10% kasus diabetes primer. Diabetes tipe 1 ditandai oleh kerusakan autoimun sel B pankreas
yang menyebabkan defisiensi insulin berat. Pada sebagian kecil pasien kausa diabetes tipe 1
tidak diketahui.
Penyakit ini sering mengenai individu berusia kurang dari 30 tahun; insidens puncak terjadi pada
saat pubertas. Meskipun destruksi autoimun sel B tidak terjadi akut, gejala klinisnya muncul
mendadak. Pasien mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan serta peningkatan
mencolok kadar glukosa serum dalam beberapa hari atau minggu. Benda keton juga meningkat
akibat ketiadaan insulin, yang menyebabkan asidosis berat yang mengancam nyawa
(ketoasidosis diabetes). Pasien dengan diabetes melitus tipe 1 memerlukan terapi dengan insulin.
6
Diabetes tipe 2 berbeda dari tipe 1 dalam beberapa hal: penyakit ini 10 kali lebih sering terjadi;
memiliki komponen genetik yang lebih kuat; terjadi terutama pada orang dewasa; meningkat
prevalensinya seiring bertambahnya usia (mis, prevalensi 20% pada orang berusia lebih dari 65
tahun); di Amerika Serikat terjadi lebih sering pada orang asli Amerika, Amerika-Meksiko, dan
Amerika-Afrika (terutama wanita); dan berkaitan dengan peningkatan resistensi terhadap efek
insulin ditempat-tempat kerjanya serta penurunan sekresi insulin oleh pankreas. Tipe ini sering
(80% kasus) berkaitan dengan obesitas, suatu faktor tambahan yang meningkatkan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah tanda utama diabetes tipe 2. Karena para pasien ini sering
memiliki insulin dalam jumlah yang bervariasi yang mencegah hiperglikemia berat atau ketosis,
mereka sering asimtomatik dan didiagnosis dalam waktu lama setelah timbulnya awitan penyakit
yang sebenarnya, oleh peningkatan glukosa puasa yang ditemukan saat pemeriksaan penyaring
rutin. Survei penyaring pada populasi memperlihatkan bahwa ternyata 44% kasus diabetes tipe 2
di Amerika Serikat tidak terdiagnosis. Setelah teridentifikasi, para pasien ini biasanya dapat
ditangani dengan diet saja atau dengan diet obat yang meningkatkan sekresi insulin endogen
(mis. Sulfonilurea), menurunkan resistensi insulin di hati (mis, biguanid) atau perifer (mis,
tiozolidinedion) atau mengintervensi penyerapan karbohidrat di usus (mis, inhibitor alfa-
glukosidase usus). Karena itu, mereka tidak memerlukan pemberian insulin untuk kelangsungan
hidup. Namun, sebagian pasien diabetes tipe 2 diterapi dengan insulin untuk mencapai kontrol
glukosa yang optimal.
Saat ini, terjadi epidemi diabetes tipe 2 diseluruh dunia, terutama pada populasi non-eropa.
Selain itu, diabetes tipe 2 juga semakin banyak ditemukan pada non-hispanik dengan diabetes
mengidap tipe 1, 50% anak hispanik atau Amerika-Afrika kini didiagnosis dengan tipe 2. Pada
semua kelompok usia, peningkatan insidens diabetes tipe 2 berkaitan dengan obesitas.
Kausa lain diabetes, yang menyebabkan kurang dari 5% kasus, antara lain proses-proses yang
merusak pankreas (mis, pankreatitis) khususnya menghambat sekresi insulin (mis, defek genetik
sel B [MODY]), menginduksi resistensi insulin (mis, inhibitor protease HIV tertentu), atau
meningkatkan hormon counterregulatory (mis, sindrom cushing). Gambaran klinis kasus-kasus
ini bergantung pada sifat proses dan tidak dibahas disini.
Diabetes melitus gestasional terjadi pada 4% wanita hamil, dapat kambuh pada kehamilan
berikutnya dan cenderung sembuh setelah melahirkan. Penyakit ini berkaitan dengan
7
peningkatan mencolok risiko-hingga 50% pada wanita kegemukan-terjadinya diabetes di
kemudian hari (terutama diabetes tipe 2). Diabetes gestasional biasanya terjadi pada paruh kedua
gestasi, yang dipicu oleh peningkatan kadar hormon-hormon seperti somatotropin khorion,
progesteron, kortisol, dan prolaktin yang memiliki efek counterregulatory anti-insulin. Karena
efeknya yang merugikan pada prognosis janin, diabetes gestasional harus didiagnosis atau
disingkirkan dengan pemerikasaan penyakit rutin dengan pemberian glukosa oral pada
kunjungan pranatal pertama populasi berisiko tinggi- obesitas, usia >24 tahun, riwayat diabetes
dalam keluarga, atau anggota etnik tertentu dengan prevalensi diabetes yang tinggi-atau pada
usia gestasi 24 minggu pada mereka dengan risiko rerata. 3
Diagnosis kerja
Diabetes tipe 2
Epidemiologi
Tingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes
di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan
penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada
orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2
½ kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita
diabetes.
Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular.
Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan ganggren adalah komplikasi yang paling utama. Selain
itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga
meningkat.
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat akibat pada biaya pengobatan dan hilangnya
pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan
penyakit vaskular. 4
Etiologi
8
Meskipun diabetes tipe 2 sepuluh kali lebih sering ditemukan ketimbang diabetes tipe1 dan
memiliki predisposisi genetik yang jauh lebih kuat (35% anggota keluarga generasi pertama
mengidap diabetes atau gangguan toleransi glukosa ), defek molekular spesifik atau defek yang
menyebabkan diabetes tipe 2 sebagian besar masih belum diketahui, sebagian karna sifat
penyakit yang heterogen serta kemungkinan kausa poligenik. Selain itu, peningkatan prevalensi
diabetes tipe 2 sebesar 61% yang terjadi di amerika serikat antara tahun 1991 dan 2001 (sesuai
dengan peningkatan prevalensi obesitas sebesar 74%) menekan pentingnya hubungan timbal
balik factor genetic dan lingkungan. Meskipun diabetes tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin,
baik gangguan sekresi insulin maupun adanya resistensi insulin di jumpai pada diabetes tipe 2
dan keduanya harus ada pada kebanyakan kasus agar penyakit ini bermanifestasi secara klinis.
Individu dengan diabetes tipe 2 mengeluarkan lebih sedikit insulin sebagai respons terhadap
glukosa dan memperlihatkn penurunan yang khas pada pelepasan awal insulin ( pelepasan
insulin fase-pertama). Selain itu, pasien dengan diabetes tipe 2 resisten terhadap efek insulin.
Tidak diketahui apakah resistensi insulin atau gangguan sekresi insulin sel β merupakan lesi
primer pada diabetes tipe 2. Namun, beberapa decade sebelum munculnya diabetes klinis , terjadi
resistensi insulin dan peningkatan kadar insulin. Hal ini mendorong para peneliti berhipotesis
bahwa resistensi insulin mungkin merupakan kelainan primer, yang menyebabkan peningkatan
kompensatorik sekresi insulin yang akhirnya tidak dapat dipertahankan oleh pankreas. Ketika
pankreas telah “kelelahan” dan tidak dapat mengimbangi kebutuhan insulin, mungkin akibat
efek toksik dari tumpukan protein-protein di reticulum endoplasma sel β, timbulnya diabetes
klinis. Peneliti-peneliti lain menduga bahwa porses awal dipicu oleh hiperinsulinemia, suatu
defek primer sel β. Peningkatan kadar insulin menekan jumlah reseptor insulin, yang
meyebabkan resistensi insulin dan akhirnya menyebabkan kelelahan sel β. dalam scenario ini
hiperinsulinemia diperkirakan sebagai ekspresi “genotipe hemat” yang memberikan
keunggulan selektif bagi populasi dengan pasokan makanan yang inkonsisten tetapi
menyebabkan obesitas dan peningkatan resistensi insulin jika pasokan makanan berlimpah.
Sebagian peneliti lainnya menduga bahwa defek primernya dapat berupa gangguan sekresi awal
insulin oleh sel-sel pulau sebagai respons terhadap glukosa (pelepasan insulin fase-pertama),
yang kemudian menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia kompensatorik
kemudian menyebabkan terjadinya resistensi insulin.
9
Dalam beberapa decade terakhir, banyak penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi gen-
gen yang berperan dalam diabetes tipe 2. Contohnya gen-gen kandidat dengan produk gen
defektif yang dapat menjelaskan resistensi terhadap efek insulin, mungkin mencakup gen insulin
itu sendiri, reseptor insulin, atau produk gen lain yang bertanggung jawab dalam efek insulin
pascareseptor, sedangkan gen-gen yang mengatur sel-β. namun meskipun hasil berbagai
penelitian tersebut telah membantu mengungkapkan berbagai gen dan jalur yang terlibat dalam
patogenesis diabetes tipe 2 yang dapat dijadikan target untuk intervensi medis, penelitian–
penelitian tersebut hanya mengidentifikasi dasar genetic penyakit bagi hanya sebagian kecil
pasien. contohnya, defek di enam gen yang penting untuk fungsi sel-β (mis, glukokinase, factor
nucleus hati) terbukti menjadi penyebab diabetes pada orang dengan maturity onset diabetes of
the young (MODY), suatu penyakit autosomal dominan yang hanya menimbulkan 2-5% kasus
diabetes tipe 2 yang ditandai oleh muda ketimbang pada kebanyakan pasien diabetes tipe 2
dewasa. demikian juga, resistensi insulin akibat defek pada insulin, seperti mutasi yang
menyebabkan hilangnya pemrosesan proinsulin menjadi insulin, jarang ditemukan , seperti
halnya sindrom-sindrom resistensi insulin berat akibat defek reseptor insulin tipe A. karena itu ,
resistensi insulin diperkirakan timbul akibat defek pascaresepsor pada zat-zat antara penyalur
sinyal yang berada disebelah distal dari kinase reseptor insulin , misalnya pengangkut glukosa di
jaringan lemak dan otot (GLUT-4). Upaya–upaya untuk mengidentifikasi gen-gen kandidat
pascareseptor pada manusia dipengaruhi oleh hasil-hasil penelitian pada mencit transgenic yang
membuktikan pentingnya efek delesi elemen-elemen penting dalam jalur sinyal insulin
(termasuk reseptor insulin, IRS, dan GLUT-4) di jaringan tertentu (mis, hati otot, lemak, otak).
Contohnya, penurunan ekspresi glut-4 di jaringan lemak, yang juga terjadi pada individu dengan
diabetes, menyebabkan (melalui mekanisme yang belum jelas) gangguan kerja insulin di otot dan
hati, sementara mutasi di protein IRS dapat menyebabkan resistensi insulin dan defek sekresi
insulin sel β. karena penelitian terhadap berbagai gen kandidat spesifik untuk mutasi genetic
belum berhasil mengidentifikasi kausa utama diabetes tipe 2, studi-studi linkage-analysis kini
juga dilakukan pada populasi atau keluarga tertentu (mis, orang Indian pinna, dengan insidens
diabetes tipe 2 yang mencapai 50%) untuk mengidentifikasi lokasi kromosomal defek genetic
yang mendasari diabetes tipe 2. Dengan menggunakan pendekatan ini, gen untuk calpain 10,
suatu sistien protease yang fungsinya dalam pelepasan atau kerja insulin baru kini ditelaah,
berkaitan dengan diabetes tipe 2 pada orang Amerika-mesiko dan populasi tertentu lainnya.
10
Sebagian besar (80%) pengidap diabetes tipe 2 mengalami obisitas. Obisitas terutama obisitas
abdomen sentral , berkaitan dengan peningkatan resistensi insulin. Orang dengan obesitas yang
tidak mengidap diabetes memperlihatkan peningkatan insulin dan penurunan reseptor insulin.
Pengidap diabetes tipe 2 dengan obesitas sering memperlihatkan peningkatan kadar insulin
relative terhadap control non-obesitas. Namun, untuk kadar glukosa tertentu, kadar insulin pada
pengidap diabetes tipe 2 dengan obesitas lebih rendah dari pda kadar yang dijumpai pada control
dengan obesitas. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengidap diabetes tipe 2 mengalami defisiensi
relative insulin dan tidak dapat mengompensasi peningkatan resistensi insulin yang disebabkan
oleh obisitas. Karena itu. Obisitas berperan timbulnya diabetes tipe 2. juga ditekankan oleh
kenyataan bahwa penurunan berat badan pada pengidap diabetes tipe 2 dengan obesitas dapat
meringankan atau bahkan menghilangkan penyakit. Semakin banyak bukti yang menunjukan
bahwa jaringan adipose, dengan menghasilkan hormon dan bahan bakar, merupakan suatu organ
penting dalam pathogenesis resistensi insulin pada diabetes tipe 2. Hormon-hormon yang
dihasilkan oleh lemak (adipokin), misalnya resistin, suatu protein yang banyak diproduksi oleh
jaringan lemak pada mencit dengan obesitas dan menyebabkan resistensi insulin di lemak dan
otot, atau adiponektin, suatu protein yang mungkin meningkatkan sensitivitas terhadap insulin
(produksi protein ini menurun pada mencit dengan obesitas), mungkin merupakan penghubung
antara obesitas dan diabetes pada manusia. Selain itu, produksi factor nekrosis tumor (TNF)
oleh jaringan lemak juga dapat menyebabkan resistensi insulin dengan merangsang dan
menginaktifkan fosforilasi protein penambat reseptor insulin, misalnya IRB-1. Bukti-bukti juga
mengisyaratkan bahwa peningkatan pengelihatan glukosa ke jalur heksosamin, suatu proses
yang digerakkan oleh glukosa atau asam lemak yang dalam kadar tinggi, menurunkan kepekaan
sel terhadap insulin. Kerena itu, kelebihan nutrien itu sendiri tampaknya juga dapat berperan
meningkatkan prevalensi resistensi insulin pada masyarakat kaya.5
Perkembangan klasifikasi diabetes melitus
Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinik maupun laboratorik menunjukkan
bahwa diabetes melitus merupakan keadaan yang heterogen baik sebab maupun macamnya.
Selama bertahun-tahun ini telah digumuli oleh banyak ahli ternama dengan tujuan mencapai
persetujuan internasional tentang prosedur diagnostik kriteria dan terminologi. Dahulu terdapat
11
banyak perbedaan dalam masing-masing bidang walaupun diusahakan untuk mendapat suatu
konsensus.
Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes tetapi sebenarnya ada yang berpendapat
diabetes hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin. Individu yang kekurangan insulin
secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes “juvenile onset” atau “insulin
dependent” atau “ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari
yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang “stable” atau
“maturity onset” atau “non insuline dependent”. Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi
insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi
insulin (insulin requering), tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin
eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terjadi kenaikan jumlah insulin secara
absolut bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas
dan/atau inaktifitas fisik.
Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas kelompok
kecil. Pada satu kelompok besar “IDDM” atau diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA
tetentu pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi virus
pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan patogenesis diabetes.
Pada percobaan binatang, virus, dan toksin diduga berpengaruh pada kerentanan prosen auto-
imunitas ini.
Kelompok besar lainnya (NIDDM atau diabetes tipe 2) tidak mempunyai hubungan dengan
HLA, virus atau autoimunitas dan biasanya mempunyais el beta yang masih berfungsi, sering
memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.
Dalam terminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985 tidak lagi
terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal umum maka untuk
tidak membingungkan maka kedua istilah ini masih dapat dipakai tetapi tanpa mempunyai arti
khusus seperti implikasi etiopatologik. Istilah ini pun kemudian digunakan oleh ADA pada 1997
sampai 2005, sehingga DM tipe 1 dan tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai ketimbang
NIDDM (DMTTI) dan IDDM (DMTI). 1
Tabel 2. Klasifikasi diabetes melitus ADA 2009. 1
12
I. Diabetes melitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut)
A. Melalui proses imunologik
B. Idiopatik
II. Diabetes melitus tipe 2 (bervariasi mulai yang pedoman resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin
bersama resistensi insulin)
III. Diabetes melitus tipe lain
A. Defek genetik fungsi beta
- Kromosom 12, NHF-α (dahulu MOD 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insulinpromoter factor (IPF dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom2, neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA mitokondria
- Lainnya
B. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, I eprechaunism, sindrom
Rabson Mendelhall diabetes lipoatropik, lainnya
C. Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma,
fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya
D. Endrokinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme
somaostatinoma, aldosteronoma, lainnya
E. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormon tiroid, diazoksid, aldosteronema, lainnya
F. Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya
G. Imunologi (jarang): sindrom :stiffman”, antibodi anti reseptor insulin, lainnya
H. Sindrom genetik lain: sindrom down, sindrom klinefelter, sindrom turner,
sindrom wolfram’s, ataksia friedrich’s, chorea huntington, sindrom laurence
moon biedl distropi miotonik, porfiria sindrom prader willi, lainnya
IV. Diabetes kehamilan
13
Patofisiologi
Pasien NIDDM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologi: sekresi insulin abnormal dan resistensi kerja
insulin pada jaringan sasaran atau target. Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Secara
deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap
normal meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua,
resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat,
tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga,
resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia
puasa dan diabetes yang nyata. Kebanyakan penulis yakin bahwa resistensi insulin merupakan
hal pertama, hiperinsulinemia kedua, jadi sekresi insulin meningkat untuk mengkompensasi
keadaan resistensi. Namun, hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin, yaitu defek sel
pankreas primer menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya hipersekresi insulin
menyebabkan resistensi insulin. Hipotesis yang menjelaskan melibatkan sintesis lemak
terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak (melalui lipoprotein kepadatan sangat
rendah) menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak
akan mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang
terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau pankreas atau akibat defek
genetik yang mendasari. Sebagian besar pasien NIDDM obes, dan obesitas itu sendiri
menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIDDM yang relatif tidak obes didapat
mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin, membuktikan bahwa obesitas
bukan penyebab resistensi satu-satunya. Hal ini bukan untuk mngurangi pentingnya peranan
kelebihan lemak karena penurunan barat badan yang sederhana seringkali memberikan perbaikan
besar dalam pengendalian glukosa darah pada penderita NIDDM yang obes.
Sebagai ringkasan, defek sekresi insulin dan resistensi insulin merupakan ciri khas NIDDM.
Mungkin keduanya diperlukan untuk penampakan diabetes, karena individu yang sangat obes
dengan resistensi yang nyata dapat mempunyai glukosa yang normal. Mungkin individu ini tidak
mempunyai lesi sel beta. Hal ini dapat menunjukkan bahwa defek utama terletak pada sel
penghasil insulin. Massa sel beta intak pada NIDDM tipe dua berlawanan dengan NIDDM tipe
satu. Populasi sel alfa meningkat, menyebabkan peningkatan rasio sel alfa dan beta. Hal ini
14
menyebabkan kelebihan relative glukagon dibanding insulin yang merupakan ciri khas NIDDM
dan gambaran semua hiperglikemik.
Maskipun resistensi insulin pada NIDDM tipe dua disertai penurunan jumlah reseptor insulin,
sebagian besar resistensi adalah paska reseptor. Sudah lama diketahui bahwa endapan amiloid
ditemukan dalam pankreas diabetes tipe dua. Bahan ini adalah peptida asam amino 37 yang
disebut amilin. Amilin normalnya terbungkus bersama-sama insulin dalam granula sekretori dan
dikeluarkan bersam-sama sebagai respon terhadap pengeluaran insulin. Pada hewan, amilin
dilaporkan memicu resistensi insulin. Penumpukan amilin pada pulau pankreas mungkin
merupakan akibat kelebihan produksi sekunder karena resistensi sekunder. Kemungkinan lain,
penumpukan amilin pada pulau pankreas dapat menyebabkan kegagalan lambat produksi insulin
dengan NIDDM yang sudah berjalan lama. Kesimpulan yang paling aman adalah bahwa peran
amilin belum dibuktikan.
Tanpa memandang mekanisme resistensi insulin, konsekuensi fisiologiknya jelas. Tidak ada
kelainan utama baik pada ambilan glukosa oleh sel atau metabolisme oksidatif menjadi co2 air
dan laktat. Blok metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen atau metabolisme oksidatif.
Metabolism enon oksidatif glukosa yang terganggu seperti hiper insulinemia dan resistensi
insulin dapat terlihat pad aindivudu non obes relative normo glikemik dengan NIDDM.6
Bentuk NIDDM tipe dua yang jarang, secara klinis ringan, karena prodksi insulin abnormal yang
tidak terikat baik pada reseptor insulin. Individu seperti ini berespon normal pada insulin
eksogen.6
Diagnosis banding
Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 disebabkan oleh destruksi imunologis selektif B pulau pankreas yang diperantai
oleh limfosit T. Makrofag diperkirakan merupakan salah satu sel radang pertama yang terdapat
di pulau tersebut. Kemudian, pulau langerhans disebuki oleh sel-sel mononukleus aktif
15
penghasil-sitokin. Limfosit T supresor CD8 merupakan bagian terbesar sel-sel ini dan diduga
sebagai sel utama yang bertanggung jawab dalam kerusakan sel B. Limfosit T penolong CD4
dan limfosit B juga terdapat di pulau ini. Destruksi autoimun sel B, suatu proses yang
diperkirakan diperantai oleh sitokin, berlangsung secara bertahap dalam periode beberapa tahun
sampai cukup banyak massa sel B yang lenyap untuk menimbulkan gejala defisiensi insulin.
Pada saat diagnosis, peradangan sedang berlangsung di sebagian pulau sementara pulau-pulau
lain telah atrofik dan hanya terdiri atas sel A penghasil-glukagon serta sel D penghasil-
somatostatin.
Kerentanan genetik tampaknya beperan kurang penting dalam terjadi diabetes tipe 1 ketimbang
tipe 2, seperti dibuktikan oleh perbandingan angka concordance pada kembar monozigot. Risiko
diabetes tipe 1 juga meningkat pada anggota keluarga generasi pertama dengan diabetes tipe 1
(2-6%). Sedikitnya 50% kerentanan genetik untuk diabetes tipe 1 dilaporkan berkaitan dengan
gen-gen kompleks histokompatibilitas mayor (MHC) yang menyandi antigen leukosit manusia
(human leukocyte antigen) kelas II, yaitu molekul-molekul yang diekspresikan dipermukaan sel
penyaji-antigen spesifik seperti makrofag. Molekul kelas II membentuk suatu kompleks dengan
autoantigen atau antigen asing yang telah diproses, yang kemudian mengaktifkan limfosit T CD4
melalui interaksi dengan reseptor T.
Alel-alel di lokus HLA-DQ atau HLA-DR kelas II memiliki pengaruh terkuat terhadap risiko
diabetes tipe 1. Identifikasi haplotipe HLA saat ini masih menjadi alat riset.
Meskipun destruksi sel B diperkirakan diperantai oleh proses selular, bukan hormonal.
Autoantibodi berkaitan dengan diabetes tipe 1 telah digunakan dalam berbagai riset untuk
memperkirakan awitan penyakit. Terdapat hipotesis bahwa berbagai antibodi ini berfungsi
sebagai penanda destruksi imunologis pulau langerhans dan mungkin ditujukkan pada antibodi
sel B yang memicu respons imun. Islet cell antibodies (ICA), yang diukur dengan memanjankan
serum pada potongan-potongan pankreas, pertama kali dikemukakan pada tahun 1970an dan
merupakan bukti pertama adanya dasar autoimun untuk diabetes tipe 1.
Kini diakui bahwa glutamic acid decarboxylase (GAD, asam glutamat dekarboksilase) dan
tyrosine phosphatase-2 protein (IA2, protein tiroksin fosfatase-2) merupakan antigen utama yang
dikenal oleh ICA. ICA terdapat lebih dari 50% orang saat didiagnosis dibuat dan bersifat
16
prediktif untuk awitan penyakit pada baik anggota keluarga generasi pertama maupun populasi
utama. Antibodi terhadap insulin (insulin autoantibodi [IAA], autoantibodi insulin) juga terdapat
pada 50% orang yang baru didiagnosis. Kombinasi antibodi sel pulau dan autoantibodi insulin
sangat prediktif untuk terjadinya diabetes tipe 1 (70% anggota keluarga generasi pertama yang
positif unntuk kedua antibodi akan mengalami diabetes selama 5 tahun). Rendahnya angka
corcodance untuk diabetes tipe 1 pada penelitian terhadap pasien kemabar, serta meningkatnya
insidens diabetes tipe 1 sejak perang dunia II, mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan juga
mungkin berperan dalam pembentukan diabetes tipe 1. Bukti-bukti mengisyaratkan bahwa
infeksi virus, misalnya rubela kongenital, dapat memicu terjadinya penyakit, terutama pada
orang yang rentan secara genetis. Terdapat hipotesis bahwa respon imun terhadap suatu antigen
asing dapat memicu destruksi sel B jika antigen sel pulau yang teridentifikasi (GAD) memiliki
homologi dengan suatu protein coxsakievirus, dan yang lain dengan albumin serum sapi, suatu
protein yang terdapat dalam susu sapi; konsumsinya pada masa kanak-kanak dini mungkin
berkaitan dengan peningkatan insidens diabetes tipe 1.
Dalam pembentukan diabetes munculnya antibodi di sel pulau diikuti dengan gangguan progresif
pengeluaran insulin sebagai respons terhadap glukosa. Kriteria ini telah berhasil digunakan untuk
mengidentifikasi anggota keluarga generasi pertama yang berisiko terkena diabetes tipe l dengan
tujuan untuk mengintervensi agar timbulnya diabetes dapat dicegah. Namun, karena hanya 10%
individu yang baru didiagnosis diabetes tipe 1 memiliki riwayat diabetes dalam keluarga, metode
pemeriksaan penyaring semacam ini tidak akan mengidentifikasi sebagaian besar pasien yang
sedang terkena diabetes. Karena rendahnya insidens diabetes tipe 1 dalam populasi, metode-
metode penyaring yang saat ini tidak memiliki sensitivitas yang memadai untuk mengidentifikasi
sebagian besar orang yang berisiko dalam populasi umum. 3
Diabetes tipe lain
Bentuk diabetes sekunder mencakup keadaan penjamu. Penyakit pankreas, terutama pankreatitis
kronik pada alkoholik, merupakan penyebab yang lazim. Penghancuran massa sel beta
merupakan mekanisme penyebab. Penyebab hormonal meliputi feokromositoma, akromegali,
sindroma cushing dan pemberian hormon steroid terapeutik.”hiperglikemia beban”, yang
17
berhubungan dengan luka bakar berat, infark miokard akut dan penyakit-penyakit lain yang
mengancam kehidupan disebabkan oleh pelepasan glukagon dan katekolamin endogen.
Mekanisme hiperglikemia hormonal termasuk berbagai kombinasi gangguan pelepasan insulin
dan induksi resistensi insulin. Sejumlah besar obat dapat menyebabkan hiperglikemia tetapi
paling sederhana menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Hiperglikemia dan bahkan
ketoasidosis dapat terjadi akibat kelainan kadar reseptor insulin. Disfungsi ini dapat disebabkan
oleh kerusakan kualitatif atau bahkan kuantitatif pada reseptor itu sendiri atau pada antibodi itu
sendiri terhadap insulin. Mekanisme ini sendiri pada dasarnya adalah resistensi insulin murni.
Sejumlah sindrom genetik disertai dengan gangguan toleransi glukosa atau hiperglikemia. Tiga
sindroma yang paling lazim adalah lipodistrofi, distrofi miotonik dan ataksia-telangiektasia.
Kategori terakhir, lain-lain, belum dapat dijelaskan dan dimaksudkan untuk mencakup keadaan-
keadaan yang tidak dapat dimasukkan pada skema etiologi lainnya. Adanya metabolisme
karbohidrat yang abnormal disertai penyebab sekunder apapun tidak perlu menunjukkan adanya
diabetes yang mendasari meskipun ada beberapa kasus diabetes primer tidak bergejala yang
ringan dapat menjadi jelas dengan adanya penyakit sekunder.1,6
Manifestasi klinis
A. Penyulit akut
1. Hiperglikemia. Jika peningkatan kadar glukosa melebihi ambang ginjal ntuk
reabsorpsi glukosa, glukosuria akan terjadi. Ini menyebabkan diuresis osmotik yang
secara klinis bermanifestasi sebagai poliuria, termasuk nokturia. Timbul dehidrasi,
yang merangsang rasa haus dan menyebabkan polidipsia. Pengeluaran kalori yang
dignifikan dapat terjadi akibat glukosuria karena pengeluaran glukosa urine dapat
melibihi 75 g/hari. Polifagia terjadi karena menurunnya aktivitas pusat kenyang
dihipotalamus. Tiga “poli” pada diabetes- poliuria, podipsia, dan polifagia-
merupakan gejala awal yang umum terjadi pada pasien diabetes tipe 1 dan tipe 2.
Penurunan berat badan juga dapat terjadi akibat dehidrasi dan hilangnya kalori
melalui urin. Penurunan berat badan yang parah mungkin terjadi pada pasien dengan
insulinopenia berat (diabetes tipe 1) dan sibebabkan oeh kehilangan kalori dan
penyusutan otot. Peningkatan katabolisme protein juga berperan menyebabkan gagal
tumbuh pada anak dengan diabetes tipe 1.
18
Peningkatan kadar glukosa meningkatkan osmolalitas plasma. Perubahan kandungan
lensa mata sebagai respons terhadap perubahan osmolalitas dapat menyebabkan
penglihatan kabur.
Pada wanita, glukosuria dapat meningkatkan insidens vulvovaginitis kandida. Pada
sebagian kasus, hal ini mungkin satu-satunya gejala awal. Pada pria yang belum
disunat, balanitis akibat kandida (infeksi serupa di glans penis) dapat terjadi.
2. Ketoasidosis diabetik. Penurunan mencolok aktivitas insulin tidak saja menyebabkan
peningkatan adar glukosa serum akibat meningkatnya pengeluaran glukosa oleh hati
dan penyerapan glukosa oleh berbagai jaringan peka-insulin tetapi juga menyebabkan
ketogenesis. Tanpa adanya insulin, lipolisis terpacu sehingga asam-asam lemak
dihasilkan yang cenderung diubah menjadi benda keton di hati oleh efek glukagon
yang tidak terimbangi. Hiperglikemia berat dan ketosis (ketoasidosis diabetes)
biasanya terjadi pada pengidap diabetes tipe 1, yaitu orang yang tida memiliki insulin
endogen. Namun, ketoasidosis diabetik juga dapat terjadi pada pengidap diabetes tipe
2, terutama sewaktu infeksi, trauma berat, atau kausa lain stres yang meningkatkan
kadar-kadar hormon counterregulatory sehingga menciptakan suatu keadaan kerja
insulin sangat terhambat.
Pada ketoasidosis diabetes, koma terjadi pada sebagian kecil pasien (10%).
Hiperosmolalitas (bukan asidosis) adalah penyebab koma. Penurunan cairan intrasel
di otak yang parah menyebabkan koma.
Peningkatan ketogenesis yang disebabkan oleh penurunan mencolok kerja insulin
menyebabkan peningkatan kadar keton serum dan ketonuria. Asetoasetat dan β-
hidroksibutirat yaitu benda keton utama yang dihasilkan hati adalah asam-asam
organik sehingga menyebabkan asidosis metabolik, yang menurunkan pH darah dan
bikarbonat serum. Respirasi dirangsang yang secara parsial mengompensasi asidosis
metabolik dengan menurunkan PCO2 jika pH lebih rendah daripada 7,20 terjadi
pernapasan cepat-dalam yang khas (pernapasan kussmaul).
Hipertrigliseridemia berat juga dapat menyertai ketoasidosis diabetik karena
meningkatnya produksi dan penurunan bersihan VLDL yang terjadi pada keadaan
defisiensi insulin. Peningkatan produksi disebabkan oleh meningkatnya aliran asam-
asam lemak hati yang selain digunakan untuk ketogenesis dapat dikemas kembali dan
19
dieksresikan sebagai VLDL; penurunan bersihan disebabkan oleh berkurangnya
aktivitas lipoprotein lipase.
Mual dan muntah sering menyertai ketoasidosis diabetes dan ikut berperan
menimbulkan dehidrasi. Nyeri abdomen yang terdapat pada 30% pasien mungkin
disebabkan oleh statis dan peregangan lambung.
3. Hipoglikemia. Hipoglikemia adalah penyulit terapi insulin pada diabetes tipe 1 dan
tipe 2, tetapi penyulit ini juga dapat terjadi pada apemberian obat hipoglikemik oral
yang merangsang sekresi insulin endogen ( mis, sulfonilurea, atau turunan asam
benzoat). Hipoglikemia sering terjaid sewaktu olahraga atau puasa yaitu keadaan-
keadaan yang dalam keadaan normal ditandai oleh peningkatan ringan hormon-
hormon counterregulatory dan penurunan kadar insulin. Kadar insulin yang rendah
pada keadaan-keadaan ini memudahkan mobilisasi substrat bahan bakar yang
diperantai oleh hormon-hormon counterregulatory yang meningkatkan pengeluaran
glukosa hati, dan menghambat pengeluaran glukosa di jaringan peka-insulin. Respon-
respon ini normalnya akan meningkatkan kadar glukosa darah. Namun pada pasien
diabetes keadaan-keadaan tersebut memicu hipoglikemia akibat pemberian insulin
eksogen dalam dosis yang tidak sesuai atau akibat induksi insulin endogen.
Gejala-gejala awal hipoglikemia terjadi akibat pengeluaran kotekolamin (gemetar,
berkeringat dan berdebar-debar). Sering dengan menurunnya kadar glukosa, gejala
neuroglikopenik juga timbul akibat efek langsung hipoglikemia terhadap fungsi SSP
(delirium, koma). Kumpulan khas gejala (keringat malam, mimpi buruk, nyeri kepala
pagi hari) juga menyertai serangan-serangan hipoglikemik yang terjadi sewaktu tidur
(hipoglikemia nokturnal). 3
B. Penyulit kronik
Tabel 4. Penyulit kronik diabetes mellitus. 3
Penyakit mirovaskular
Retinopati
Neuropati
20
Penyulit makrovaskular
Penyakit arteri koroner
Penyakit serebrovaskular
Penyakit vaskular perifer
Penyakit neuropati
Polineuropati simetris perifer
Neruropati otonom
Mononeuropati
Tukak kaki
Infeksi
Penatalaksanaan
Edukasi pasien: penting untuk mempunyai perawat pribadi, edukasi mandiri dan lain-lain
Penilaian klinis: setelah menegakkan diagnosis diabetes melitus, lakukan terapi
komplikasi metabolik akut dan terapi hipoglikemik seumur hidup, pemeriksaan untuk
mencari kerusakan end-organ setiap 6-12 bulan- penglihatan (retinopati dan katarak),
sistem kardiovaskular (denyut nadi perifer, tanda-tand agagal jantung, hipertensi) sistem
saraf ( neuropati sistem saraf otonom dan/atau saraf sensoris perifer) dan kaki (ulkus
gangren dan infeksi). Fungsi ginjal (kreatinin dan albuminuria) harus diperiksa.
Terapi harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi dan harus
memungkinkan pasien menjalani hidup normal- hal ini membutuhkan edukasi dan
dukungan kepada pasien. Usaha memaksimalkan prognosis tergantung pada kontrol
glukosa darah secara optimal dan menyingkitkan faktor-faktor risiko kardiovaskular
seperti merokok. Hipertensi (usahakan tekanan darah < 130/80 mmHg) dan
hiperlipidemia. Kontrol glukosa yang optimal dengan sendirinya dapat memperbaiki
kadar kolesterol. Namun apabila kadar kolesterol tetap tinggi setelah ini terapi penurunan
lipid secara agresif dengan statin dapat dilakukan. Hampir semua orang yang menderita
diabetes dan memiliki penyakit vaskular seharusnya mendapat terapi statin. 7
Terapi spesifik diabetes melitus
21
Sarankan perubahan pola makan: usahakan mencapai berat badan ideal (karena
obesitas dapat meningkatkan resistensi terhadap insulin, dan pengurangan berat badan
dapat mengurangi diabetes tipe 2. Batasi asupan karbohidrat olahan dan perbanyak
karbohidrat kompleks. Kurangi lemak jenuh. Hindari konsumsi alkohol yang
berlebihan
Obat hipoglikemik oral diindikasikan pada diabetes tipe 2 apabila diet saja tidak
cukup mengontrol metabolisme
Sulfonilurea: glikazid, glibenklamid, tolbutamid, dapat meningkatkan pelepasan
insulin dari sel β pankreas (dengan menutup saluran K+, menyebabkan depolarisasi
sel). Dapat menyebabkan kenaikan berat badan atau hipoglikemia
Biguanid: metformin. Mekanisme kerjanya belum jelas. Dapat menimbulkan
anoreksia ringan sehingga diindikasikan pada individu obesitas/ mengurangi
resistensi insulin dan glukoneogenesis di hati. Efek sampingnya: gangguan
pencernaan dan asidosis laktat walupun jarang
Inhibitor α-glukosidase: akarbose menghambat pencernaan karbohidrat, mengurangi
absorpsi glukosa di usus. Efek samping kembung dan diare
Regulator glukosa setelah makan (post-prandial glucose regulator [PPGR]) repaglinid
menstimulasi pelepasan insulin oleh sel β pankreas. Hipoglikemia lebih jarang terjadi
pada penggunaan obat ini dibandingkan dengan golongan sulfonilurea karena durasi
kerjanya yang pendek. Efek samping: disfungsi hati
Tiozolidinedion: troglitazon (ditarik dari peredaran), rostigtazon, pioglitazon. Obat-
obat tersebut bekerja dengan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin,
mengaktivasi peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR-γ) sehingga
menstimulasi transkripsi molekul transporter glukosa glut-1. Efek samping:
hepatotoksisitas.
Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes
tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Ada beberapa jenis: insulin
rekombinan manusia adalah yang paling sering digunakan. Walaupun beberapa
pasien lebih memilih menggunakan insulin sapi atau babi. Sediaan yang berbeda
memiliki onset dan lama kerja yang bervariasi (pendek, menengah, atau panjang).
Sediaan dengan kombinasi berbeda antara lain kerja pendek dengan
22
menengah/panjang sering digunakan. Analog insulin adalah insulin yang mengalami
modifikasi kimiawi. Misalnya lispro, yang memiliki onset yang cepat dan lama kerja
yang lebih singkat, sehingga memungkinkan pemberian langsung sebelum makan.
Obat hipoglikemik oral (misalnya metformin) terkadang diberikan bersama terapi
insulin untuk penderita diabetes tipe 2 untuk memperbaiki sensitivitas terhadap
insulin. Efek samping dari insulin adalah hipoglikemia, kenaikan berat badan, dan
lipohipertropi pada tempat-tempat injeksi.7
Prognosis
Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti orang normal,
sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk meninggal lebih
cepat.
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor: 1.
Komplikasi metabolik akut, dan 2. Komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.
Komplikasi metabolik akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi
metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis diabetika (DKA). Apabila
kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan
lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan asam lemak bebas disertai pembentukan
benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi benda keton meningkatkan beban ion hidrogen
dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis
osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi
dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena
pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan
pengobatanDKA dapat dilakukan sedini mungkin.
23
DKA ditangani dengan 1. Perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, 2.
Pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan 3. Pengobatan kedaaan yang mungkin
mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat- diberikan
melalui infus intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering dan infus glukosa dalam
air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan
benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga memerlukan
penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada
penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya
dekompensasi diabetik akut dan DKA. Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin
perlu pengobatakn antibiotika.
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain
dari diabetes yang sering pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi
insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan
kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg.dl. hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas,
diuresis osmotik dan dehidrasi berat. Padien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila
keadaan ini tidak ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK
adalah rehidrasi, penggantian elektrolit dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan
DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin, syok,
insulin) terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin mungkin saat
menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk
mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala-gejala
hipoglikemi disebabkan oleh pelepasan efineprin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan
palpitasi) juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang
tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila
sering terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau
bahkan. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral
maupun intravena. Kadang-kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikoneolisis secara
intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin
pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin,
24
kortisol dan hormon pertumbuhan) yang seringkali meningkaykan kadar glukosa dalam kisaran
hiperglikemia (efek somogryi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan
diabetik yang buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin, dan
dengan demikian menurunkan hiperglikemia.
Komplikasi kronik jangka panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil-
mikroangiopati-dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar-makroangiopati. Mikroangiopati
merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik)
dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia,
lesi-lesi ini ditandai dnegan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa
kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan
bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel
ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada
penderita IGT. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retionopati atau netropati biasanya
baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.
Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dnegan insidens dan berkembangnya retinopati.
Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola
retina. Akibatnya pendarahan, neurovaskularisasi dan jaringan retina dapat mengakibatkan
kebutaan. Pengobatan yang oaling berhasil untuk retinopati adalah fotokuagulasi keseluruhan
retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan parut karioretinal. Setelah pemberian
sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800 parut yang ditempatkan pada kutub
posterior retina. Pengobatana dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan
pendarahan yang menyertainya.
Manifestasi klinis nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus
berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien mungkin
memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal.
Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur polipol (glukosasorbitol-fruktosa) akibat
kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan
pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi pembimbunan sorbitol dan
25
fruktosa serta penurunan kadar mionisitol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia
dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolisme sl-sel schwann dan menyebabkan
hilangnya akson. Kecepatan konduksi mototrik akan berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar, dan propriospetik
dan gangguan motorik yang disertai hilanngya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan
atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan plineuropati), saraf-
saraf kranial atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare
noktural, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroporesis, hipotensi postural, dan
impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut
tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons kotekolamin terhadap hipoglikemia dan
tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia.
Makroangipati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa arteriosklerosis. Gabungan
dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis
penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: 1. Penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, 2. Hiperlipoproteinemia dan 3. Kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya,
makroangiopati diabetik ini akan menyebabkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-
arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan gangren pada ektermitas serta insfusiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena
adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.
Diabetes juga mengganggu kehamilan, perempuan yang menderita diabetes dan hamil,
cenderung mengalami abortus spontan, kehamilan janin intrauterin, ukuran janin besar dan bayi
prematur dengan insidens sindrom distres pernapasan yang tinggi, serta malformasi janin. Tetapi
sekarang ini kehamilan ibu-ibu dengan diabetes telah mengalami perbaikan berkat pengontrolan
glukosa darah yang lebih ketat selama kehamilan, kelahiran yang dibuat lebih dini dan
kemajuan-kemajuan dibidang neonatologi dna penatalaksanaan komplikasi pada neonatus
menyebabkan peningkatan kebutuhan insulin yang progresif yang mencapai puncaknya pada
semester ketiga, dan penurunan tajam kebutuhan insulin setelah melahirkan.
Bukti klinis dan pecobaan sekarang ini menunjukkan bahwa timbulnya komplikasi diabetik
jangka panjang karena kelainan kronik metabolisme disebabkan oleh insufisiensi sekresi insulin.
Komplikasi dibetik dapat dikurangi atau dicegah jika pengobatan dibetes cukup efektif untuk
26
membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal seperti yang diindikasikan oleh hemoglobin
glikat. Pentingnya pengontrolan glukosa dalam menurunkan atau mencegah komplikasi diabetes
telah disoroti oleh diabetes control and complications trial (DCCT) yang merupakan pusat
penelitian selama lebih dari 10 tahun. Pasien dengan diabetes tipe 1 yang menerima terapi insulin
secara efektif dan menurunkan kadar hemoglobin glikat hingga <70%, 50% hingga 75%
mengalami penurunan dalam komplikasi mikroangiopati mayor termasuk retinopati, nepropati
dan neuropati. Penelitian selama 10 tahun yang dilakukan united kingdom prospective diabetes
study (UKPDS), memperlihatkan pentingnya pengontrolan glukosa untuk menurunkan risiko
komplikasi pada pasien dengan diabetes tipe 2.
Objektif akhir dari pengobatan diabtetes adalah pencegahan. Pengenalan indvidu beresiko
terhadap diabetes tipe 1 dapat mengarahkan pada deteksi dini dari proses autoimun yang
mengakibatkan kerusakan sel-sel beta, serta pengobatannya dengan agen imunosupresif yang
spesifik. Jika penyakit telah terjaid, transplantasi pankreas mungkin akan memulihkan kapasitas
sekresi insulin. Pada pasieb-pasie diabetes tipe 2, pengertian yang lebih mengenai mekanisme
molekuler resistensi insulin dapat mengarahkan untuk dikembangkannya agen farmakologik
yang secara spesifik udapat memperbaiki kerja insulin. Riset dalam bidang-bidang ini masih
terus berjalan. 4
Kesimpulan
Diabetes adalah merupakan kelompok penyakit metabolik dengan onset atau mulai terjadinya
lama sehingga mortalitas dan morbilitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini.
Penderita Diabetes melitus tipe 2 biasanya terdapat riwayat obsesitas dan diagnosis biasa dibuat
bila individu tanpa gejala ditemukan mempunyai peningkatan glukosa plasma pada pemeriksaan
laboratorium rutin.
Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta Pusat : Interna Publishing. 2009. Hal. 1880, 2003-2049
2. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: penerbit
erlangga;2007.h.138-141
27
3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes: Kedokteran klinis. Ed.6. Jakarta:
Erlangga; 2010.h.557-587.
4. Price SA. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC;
2005.h. 1259-1270
5. Ganong WF, McPhee SJ, Pendit BU, Dany F. Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju
kedokteran klinis. Ed.5. Jakarta: EGC; 2010.h.566-84.
6. Hartono A. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Ed.13. Vol.5. Jakarta: EGC;
2012.h.2196-217.
7. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: penerbit Erlangga;2002.h.267
28