PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon
MESSALINA. L. SALAMPESSY
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku
MESSALINA. L. SALAMPESSY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
Propinsi Maluku
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2010
Messalina.L.Salampessy
NIM E051060021
ABSTRACT MESSALINA.L.SALAMPESSY. Public group participation in managemen of forest protected area case in forest protected Gunung Nona Ambon city Moluccas Province). Under direction of BRAMASTO NUGROHO and HERRY PURNOMO.
Management of forest protected area be often confronted at dilemma between importance of conservation with importance and requirement of public to the area. Effectivity management of the area would annoyed because the low of its public participation and interaction unable to support. Various factor public heterogenity will influence form of interaction. The aim of this study was to : know and measure participation public in management of forest protected area and analyses characteristic factor (Individual and Organisation) influencing level participation in realizing collective action at management of Protected forest area. This research be design as an research of survey having the character of descriptive corelation where there are variable dependen research that is public participation and variable consists of individual character and organizational character which is heterogenity factor be in public nature. This research population is active public group in management of land (dusung) around forest protect area in Gunung Nona (HLGN) Ambon city. Data analysis applies will test technical Chi square (Chi Square) and its the participation level and be applied will test coefficient of contingency. The result showed that : character factor (Individual and Organisation) having connection tightly and influential to participation public in management of HLGN area is knowledge about protected forest, wide acquisition of area of dusung, status ownership of dusung, old of involvement in organization and official member connection and member of public in organization. Public shows participation calkulatif in role of they as HLGN organizer and shows participation with characteristic compliance of morale in role of they as dusung activity. Keyword : Participation, heterogenity, collective action, dusung.
RINGKASAN MESSALINA.L.SALAMPESSY. Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku. Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO dan HERRY PURNOMO.
Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema antara
kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan kawasan tersebut akan terganggu karena rendahnya partisipasi masyarakat dan interaksinya yang kurang mendukung. Berbagai faktor heterogenitas masyarakat akan mempengaruhi bentuk interaksi yang terjadi antar masyarakat dengan kawasan tersebut. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan kawasan pelestarian alam. Selain itu keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pengelolaan juga turut mempengaruhi strategi pengelolaan kawasan tersebut
Semenjak Hutan Lindung Gunung Nona ditetapkan sebagai kawasan lindung melalui keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430/Kpts-II/1996 tentang kawasan hutan Gunung Sirimau dan hutan Gunung Nona, program reboisasi giat dilakukan oleh berbagai pihak dimana hal ini mengambarkan adanya keikutsertaan masyarakat baik secara kelembagaan maupun personal terhadap kelestarian hutan lindung ini. Namun demikian hingga saat ini pemerintah menemui kendala untuk mengendalikan perambahan dan meningkatnya penebangan liar. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Nona (HLGN) masih memiliki ketergantungan erat dengan kawasan ini dan berhubungan dengan mata pencaharian mereka dari pengelolaan dusungnya. Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan ternak.
Faktor heterogenitas dan karakteristik (Individu dan Organisasi) yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi. Melalui berorganisasi dan berpartisipasi, upaya membangun koordinasi termasuk pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut. Untuk itulah maka partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat mempengaruhi kebijakan yang dibuat. Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai pihak.
Analisa penggunaan tangga partisipasi seperti yang diungkapkan Arnstein (1995) memperlihatkan bahwa tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan tangga kemitraan. Tingkatan Partisipasi masih tergolong rendah dan belumlah optimal seperti yang diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi (proyek jangka pendek).
Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan HLGN dan juga menggambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain : 1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai
peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan lahan dusung oleh masyarakat.
2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh pengelolaan kawasan.
3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan, pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik.
4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan, hubungan social serta partisipasi dan aksi bersama yang terbangun. Pemahaman dan aplikasi yang tepat tentang variabel ini akan sangat
membantu pengelolaan kawasan HLGN dengan baik bagi kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya hutan tersebut. Kata kunci: partisipasi, heterogenitas, aksi bersama dan dusung
Ⓒ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PARTISIPASI KELOMPOK MASYARAKAT DALAM
PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG
Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku
MESSALINA L SALAMPESSY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2 01 0
Judul Penelitian : Partisipasi Kelompok Masyarakat Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, Kasus di Hutan Lindung Gunung Nona kota Ambon Propinsi Maluku
Nama : Messalina.L.Salampessy NIM : E051060021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, M.S.
Ketua
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 14 Juni 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TuhanYesusku yang Maha Baik atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah partisipasi kelompok masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, kasus di hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon Propinsi Maluku.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya terutama kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mamaku, suami dan anakku Daniella tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan terutama Arie, Ratih, Fenti, abang Iskar dan john serta Dini yang telah banyak membantuku serta rekan-rekan lainnya tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi setiap pembaca.
Bogor, 30 Juli 2010
Messalina L Salampessy
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 24 September 1976 dari ayah Adolf E Salampessy (Almarhum) dan ibu Selvia Pieter. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Tommy Pesiwarissa, pada tanggal 1 September 2007 dan telah dikaruniai seorang putri yang bernama Daniella V Pesiwarissa.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ambon dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Pattimura (UNPATTI) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk UNPATTI. Selanjutnya penulis memilih Jurusan Manajemen Hasil Hutan Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2001. Penulis bekerja sebagai staf asisten pengajar di Jurusan Kehutanan Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura sejak tahun 2001 hingga tahun 2003 diangkat sebagai Dosen Tetap pada program studi tersebut. Sebelumnya penulis pernah bekerja juga sebagai Program Manager Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat pada tahun 2001-2002 pada Yayasan Diakonia Maluku, Program Officer dan sekretaris eksekutif Yayasan Diakonia pada tahun 2002 - 2005.
Pada tahun 2006 penulis mendapatkan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xii
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................... 2 Tujuan dan Manfaat ......................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ......................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
Hutan Lindung ................................................................................. 5 Pengertian Partisipasi....................................................................... 7 Faktor-faktor yang berpengaruh pada partisipasi............................. 8 Kelembagaan.................................................................................... 9 Heterogenitas/Homogenitas dan Partisipasi..................................... 12
METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 16
Desain Penelitian ............................................................................. 16 Populasi dan Sampel ........................................................................ 16 Teknik Penarikan Sampel ............................................................... 16 Defenisi operasional variabel penelitian........................................... 17 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 21 Metode Pengumpulan Data.............................................................. 22 Metode Analisis Data ...................................................................... 22
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................ 23
Letak dan Luas ................................................................................ 23 Topografi dan Iklim ........................................................................ 24 Penggunaan Lahan .......................................................................... 26 Komposisi Penduduk ...................................................................... 27 Tingkat Pendidikan ......................................................................... 29 Sarana dan Prasarana....................................................................... 30 Sejarah Pengelolaan Dusung ........................................................... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 37
Karakteristik Responden .................................................................. 37 Partisipasi Responden ...................................................................... 46 Hubungan antara faktor karakteristik responden dengan Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan HLGN... ......... 49 Pembahasan Umum ......................................................................... 58 Analisis Stakeholder………………………………………………. 60
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 69
Kesimpulan ...................................................................................... 69 Saran ................................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 71
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kriteria penilaian partisipasi masyarakat........................................... 18 2 Variabel, defenisi dan parameter pengukurannya ............................. 19
3 Nilai interpretasi koefisien korelasi dan tingkat hubungan ............... 23 4 Jenis penggunaan lahan desa Urimesing ........................................... 26 5 Jenis penggunaan lahan desa Amahusu ............................................ 26 6 Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon ..................... 27 7 Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan kelompok umur ...... 27 8 Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan kelompok umur ....... 28 9 Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian............................................................................. . 28 10 Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian.............................................................................. 29 11 Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan ............................................................................. 29 12 Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan......................................................... 29 13 Sarana dan prasarana desa Urimesing ............................................... 30 14 Sarana dan prasarana desa Amahusu.. .............................................. 30
15 Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung ..... 37
16 Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung ... 44
17 Partisipasi responden dalam pengelolaan hutan lindung ................... 47
18 Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan Partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat hubungannya untuk desa Amahusu .......................................................................... 50
19 Hubungan antara berbagai karakteristik responden dengan Partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat hubungannya untuk desa Urimesing ......................................................................... 50
20 Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa ............... 51 21 Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa................................................................................... 52 22 Matriks identifikasi pihak terkait dalam kawasan Kawasan Hutan lindung gunung nona Ambon ................................... 61
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan dan manusia sejak awal peradaban ditandai dengan adanya
hubungan saling ketergantungan, karena hutan merupakan sumber kehidupan
mendasar yang diperlukan manusia seperti air, energi, udara bersih dan
perlindungan. Hubungan ketergantungan secara tradisional ini berlangsung di
berbagai kawasan hutan termasuk hutan lindung dan dirasakan makin meningkat
sesuai dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk di sekitarnya.
Pada beberapa kawasan hutan lindung, interaksi antar masyarakat local
dengan sumberdaya alam masih sangat kuat. Bahkan di beberapa lokasi, pola
interaksi yang terjalin memberikan kecenderungan positif terhadap kelestarian
hutan (Wiratno et al.2004). Upaya untuk berpartisipasi senantiasa diinginkan oleh
masyarakat namun demikian, hingga saat ini peran partisipasi belum sepenuhnya
optimal masih pada tahapan menginformasikan dari tahapan tangga partisipasi
yang diharapkan (Arnstein 1995). Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang
memberi kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok untuk
mempengaruhi keputusan public termasuk didalamnya kesempatan berpartisipasi
dalam pengelolaan hutan ( Cohan dan Sharp 1995).
Seperti halnya kawasan hutan lindung lainnnya, Hutan Lindung Gunung
Nona (HLGN) di kota Ambon menghadapi tekanan populasi penduduk yang terus
bertambah dan persoalan social-ekonomi yang harus dipenuhi dan cenderung
meningkat. Di sisi lain, pemerintah menetapkan konsep hutan lindung yang pada
prinsipnya memiliki perbedaan dengan konsep pengelolaan sumberdaya alam
masyarakat pada kedua desa (desa Amahusu dan Urimesing) yang tepat berada di
kawasan ini yakni perbedaan yang pertama system dusung dan perbedaan yang
kedua terletak pada defenisi tentang hak penguasaan (property right), yang
menyebabkan lebih dari 80% wilayah pengelolaan dusung ditetapkan oleh
pemerintah sebagai kawasan hutan lindung.
Permasalahan yang dialami oleh HLGN terjadi pula dibeberapa lokasi
kawasan konservasi dan hutan lindung sebagai contoh, konflik antara masyarakat
local dengan taman nasional di TN Komodo, TN Siberut dan TN Lauser
2
(Iskandar, 1992 dan Wiratno et al.2004). Permasalahan yang terjadi di HLGN
maupun di tempat lain merupakan masalah kelembagaan terutama menyangkut
hak penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam antara pemerintah dan
masyarakat local dimana aspek partisipasi diupayakan sebagai salah satu jalan
keluar dari persoalan ini. Banyak factor mempengaruhi bentuk partisipasi
masyarakat, dimana salah satunya adalah aspek heterogenitas dan karakteristik
masyarakat itu sendiri.
Terdapat sejumlah kajian terdahulu tentang factor heterogenitas yang
mempengaruhi bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan
dengan focus dan tujuan yang beragam. Gibson (200), Gibson dan Becker (2000),
Gibson dan Koontz (1998), Varughese (1999,2000) dan Varughese dan Ostrom
(2001), membuktikan bahwa heterogenitas berpengaruh pada bentuk pengelolaan
dan ketertarikan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Selain itu, terdapat pula
kajian yang mempertanyakan perihal kemampuan masyarakat local dalam
mengelola dan mempertahankan kelestarian sumberdaya alam, diantaranya
Maertens et al. 2002 dan Sitorus 2004.
Kajian-kajian tersebut di atas telah menjelaskan tentang partisipasi dengan
berbagai factor yang mempengaruhi aktivitas keterlibatan masyarakat. Namun
demikian, kajian-kajian tersebut belum mampu menjelaskan bagaimana peran
partisipasi masyarakat, heterogenitas serta karakteristik individu dan organisasi itu
terhadap efektivitas pencapaian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
kawasan tersebut. Untuk itu penelitian ini dilakukan.
Perumusan Masalah
Pengelolaan kawasan Hutan Lindung sering dihadapkan pada dilema
antara kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan
kebutuhan masyarakat terhadap kawasan tersebut. Efektifitas pengelolaan
kawasan tersebut akan terganggu karena rendahnya partisipasi masyarakat dan
interaksinya yang kurang mendukung. Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan
tersebut dan kondisi sosial ekonomi masyarakat akan mempengaruhi bentuk
interaksi yang terjadi antar masyarakat dengan kawasan tersebut. Interaksi ini
dapat berdampak positif atau negatif yang selanjutnya akan mempengaruhi
3
efektifitas pengelolaan kawasan pelestarian alam. Selain itu keterlibatan berbagai
pihak dalam upaya pengelolaan juga turut mempengaruhi strategi pengelolaan
kawasan tersebut.
Pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk rakyat. Keberhasilan
pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang
diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila
masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi,
masyarakat dapat mengagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap
sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat dan berbagai stakeholder
lainnya akan bekerjasama dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang
membahayakan.
Upaya ini dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam rangka
mengakomodasi kepentingan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan
mereka. Tujuan ini akan tercapai apabila tindakan yang dilakukan oleh individu-
individu dalam kelompok masyarakat sejalan dengan tujuan kelompok, dalam
bentuk partisipasi.
Pada konteks apa efektivitas partisipasi dapat dilaksanakan oleh sebuah
kelompok yang terdiri dari individu-individu? Ini terjadi ketika mereka akan
mengelola sumberdaya bersama (commonpool resource) seperti HLGN yang
dijadikan objek studi kasus ini. Jika mereka egois atau tidak ada partisipasi maka
individu tertentu akan beruntung sedangkan yang lain tidak akan memperoleh
bagiannya. Jika semua keuntungan ini dijumlahkan maka hasilnya akan lebih
kecil dibandingkan jika mereka bekerja bersama.
Dari uraian diatas, maka timbul pertanyaan yang perlu dijawab dalam
penelitian ini yaitu :
(1) Bagaimana peran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN?
(2) Mengetahui heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola sumberdaya HLGN?
4
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk :
(1) Mengatahui dan mengukur partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
kawasan Hutan Lindung?
(2) Menganalisis heterogenitas dan karakteristik individu dan organisasi
masyarakat yang mempengaruhi tingkat partisipasi dalam pengelolaan
kawasan Hutan Lindung?
Pengetahuan dan pemahaman tentang partisipasi ini akan bermanfaat bagi
berbagai pihak, seperti: Dinas Kehutanan, Universitas, Lembaga swadaya
masyarakat dan berbagai pihak terkait, untuk meningkatkan peran serta dan
merumuskan kebijakan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut diatas maka
hipotesis penelitian yang akan diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut : Tingkat partisipasi dan heterogenitas mempengaruhi
keberhasilan aktivitas masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah (UU No. 41 tahun 1999). Sebagaimana fungsinya maka hutan
lindung memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pengelolaan hutan ini
perlu dilakukan dengan bijaksana dan melibatkan para pihak yang berkepentingan
terhadap kawasan tersebut. Pengelolaan hutan lindung diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008.
Pengelolaan hutan lindung dimaksudkan meliputi kegiatan: tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan
kawasan hutan lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung dan perlindungan
hutan dan konservasi alam di hutan lindung. Pentingnya dilakukan pengelolaan
kawasan lindung karena upaya pengelolaan ini bertujuan untuk:
a. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa
serta nilai sejarah dan budaya bangsa;
b. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan
keunikan alam.
Indonesia memiliki kawasan hutan lindung seluas 32,43 juta hektar dari
total luas areal hutan di Indonesia, yaitu 130,85 juta hektar (Kompas 17 Juni
2007) atau ± 23 % dari luas kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2007).
Menurut catatan Departemen Kehutanan tahun 2006, terdapat 24,78 persen dari
total luas hutan lindung atau 6,27 juta hektar areal hutan lindung rusak parah,
khususnya yang berbatasan atau berdekatan dengan permukiman atau lahan
masyarakat. Hal ini terjadi akibat tekanan pertambahan jumlah penduduk dan
rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan lindung.
Kondisi ini menyebabkan degradasi lingkungan dan terancamnya fungsi hutan
lindung.
6
Hutan lindung dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak dengan persyaratan
memperoleh izin pemanfaatan antaralain: izin usaha pemanfaatan kawasan, izin
usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Sebagai kawasan yang dilindungi, pemerintah mengatur criteria penetapan
suatu kawasan sebagai kawasan lindung yakni melalui Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan,
dimana kriteria penetapan hutan lindung adalah dengan memenuhi salah satu
persyaratan berikut ini:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas
hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai (score) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh per
seratus) atau lebih;
3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2000 (dua ribu) meter atau lebih
di atas permukaan laut;
4. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas per seratus);
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air;
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
Di Maluku, lebih khusus kota Ambon memiliki 2 (dua) hutan lindung
yaitu Hutan Lindung Gunung Sirimau dan Hutan Lindung Gunung Nona. Kedua
hutan ini memiliki arti penting bagi lingkungan dan masyarakat kota Ambon
karena merupakan daerah resapan air yang berfungsi mengatur penyediaan
kebutuhan air bagi kehidupan masyarakat. HLGN ditetapkan oleh Pemerintah
sebagai kawasan lindung pada tahun 1996 berdasarkan keputusan Menteri
Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996. Sebelum ditetapkan sebagai kawasan
lindung, HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang tanpa status namun
kemudian karena memiliki arti penting sebagai daerah resapan air dan memenuhi
kriteria sebagai kawasan lindung maka ditetapkan sebagai kawasan hutan
lindung. Pada kawasan ini, terdapat 2 (dua) desa yaitu desa Amahusu dan
Urimesing dimana masyarakatnya memiliki dusung-dusung sebagai bagian dari
kawasan hutan yang mereka kelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
7
Keberadaan masyarakat pada kedua desa ini memiliki arti penting bagi
keberadaan kawasan HLGN ini.
Pengertian Partisipasi
Di dalam masyarakat terjadi kontrol sosial yang bertujuan untuk mencapai
keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Suatu proses kontrol sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada
pokoknya berkisar pada perilaku yang terbentuk dari tiap masyarakat antara lain :
a. Persuasive : cara-cara tanpa kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam
mencapai tujuan tertentu. Suatu masyarakat yang tidak terjadi banyak konflik
maka cara-cara persuasif mungkin akan lebih efektif karena pada masyarakat
itu sebagian besar kaidah dan nilai-nilai telah melembaga dalam diri para
warga masyarakat sehingga pencapaian tujuan tertentu dilakukan secara
persuasif.
b. Coersive : cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dengan paksaan. Cara ini
lebih sering diperlukan di dalam masyarakat yang berubah dimana kontrol
sosial berfungsi untuk membentuk kaidah lama yang telah goyah. Namun
cara-cara kekerasan ada batasnya karena akan melahirkan reaksi yang negatif .
c. Partisipatif : Jika dicermati, makna partisipatif berbeda-beda menurut mereka
yang terlibat, misalnya antara penentu kebijakan, pelaksana di lapangan, dan
masyarakat. Oleh karena itu, beberapa pakar mencoba menggolong-golongkan
tingkatan partisipasi ke dalam beberapa kelompok. Misalnya Deshler dan
Sock (1985) diacu dalam Selener (1997) menyebut adanya partisipasi semu
(pseudo-participation) dan partisipasi sebenarnya (genuine participation).
Berdasarkan ragam tipe partisipasi, Sajogyo (2002) kemudian memberi
definisi partisipasi sebagai suatu proses dimana sejumlah pelaku bermitra
punya pengaruh dan membagi wewenang di dalam prakarsa ”pembangunan”,
termasuk mengambil keputusan atas sumberdaya. Dalam definisi ini
membangun partisipasi akan mencapai puncaknya pada saat pemberdayaan.
Secara lebih spesifik, FAO (1975) mengemukan bahwa partisipasi merupakan
suatu proses kegiatan bersama, termasuk didalamnya keikutsertaan setiap
individu dalam kelompok, tentang tanggungjawab serta konsekuensi dari
8
setiap tugas-tugas, baik yang sifatnya umum sampai kepada tugas-tugas yang
sifatnya khusus.
Arnstein (1995) mendefenisikan partisipasi masyarakat adalah proses yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat secara individu atau kelompok,
untuk mempengaruhi keputusan public, ia juga menekankan bahwa tingkat
partisipasi sangat bervariasi mulai tahap manipulasi, terapi,
menginformasikan, konsultasi, menentramkan (placation), kemitraan, delegasi
kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan tersebut dikenal dengan
istilah tangga partisipasi. Dalam implementasi pendekatan partisipatif, tangga
partisipasi seringkali dipandang sebagai sebuah kontinum untuk mewujudkan
tingkat partisipasi yang diharapkan.
Sebagai kawasan Lindung, HLGN memiliki sumber daya hutan yang
potensial dengan berbagai manfaatnya baik langsung dan tidak langsung serta
melibatkan para pihak (Stakeholder) yang melaksanakan perannya terhadap
kawasan tersebut. Persoalan dalam pengelolaan sumberdaya hutan ini adalah
bagaimana mengatur atau memanipulasi perilaku para pihak itu melalui berbagai
bentuk institusi yang akan menghasilkan tujuan bersama melalui partisipasi
tersebut.
Kemitraan, kolaborasi atau koalisi merupakan konsep yang saling terkait
namun masing-masing digunakan untuk menggambarkan salah satu tingkat
tertentu dalam konsep partisipasi
Faktor - faktor yang berpengaruh pada partisipasi
Berbagai kegiatan yang mencerminkan partisipasi seseorang dalam
organisasi dipengaruhi oleh factor individu dan factor organisasi. Segala aktivitas
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, organisasi maupun kelompok timbul
sebagai resultan dari factor individu dan factor organisasi, walaupun secara pasti
kekuatan kedua factor tersebut tidak dapat diketahui tanpa melalui suatu
penelahan empiric yang seksama. Faktor individu sering disebut sebagai factor
internal yaitu factor yang terdapat pada diri individu yang bersangkutan dan factor
organisasi atau factor eksternal dapat berupa lingkungan fisik dan non fisik yang
merupakan kendala maksimalitas dari segala aktivitas manusia (Tenang, 1993).
9
Berdasarkan tinjauan factor-faktor peubah tingkat partisipasi anggota
organisasi maka factor individu yang dianggap dominan adalah (1) tingkat
pengetahuannya dan (2) kondisi kehidupan masyarakat (tingkat social
ekonominya). Faktor organisasi dimaksudkan sebagai karakteristik yang melekat
pada organisasi tersebut antaralain : tujuan organisasi, upaya-upaya pelayanannya
dan juga tingkat kemampuan anggota memahami organisasi itu (Nasoetion,
1990).
Menurut Ostrom, untuk mempertahankan sumberdaya alam menurut
tekanan demografi dan ekonomi tergantung pada keberhasilan koordinasi dan
partisipasi yang dilakukan.
Eksistensi individu dengan kepentingan kuat pada aksi bersama dan
partisipasi akan meningkatkan harapan setiap orang untuk tingkat kerjasama yang
diharapkan (Hardin, 1982 dan Olson, 1965)
Kedekatan kelompok masyarakat dengan hutan merupakan factor penting
yang mempengaruhi partisipasi yang dilakukan karena hal ini berhubungan
dengan pertimbangan disribusi tanggungjawab dan tipe produk hutan yang
dihasilkan (Chertri dan Pandey, 1992).
Kelembagaan/Institusi
Setiap masyarakat punya institusi sendiri, baik karena kekerabatan,
persamaan kepentingan, pekerjaan maupun prinsip-prinsip organisasi lainnya.
Dalam suatu masyarakat, orang melakukan banyak hal bersama-sama, atas dasar
ikatan yang mereka anggap penting. Bagian dari riset ini adalah menemukan
institusi- institusi yang ada di masyarakat. Institusi tersebut berupa kumpulan
modal sosial, rasa saling percaya, pola komunikasi dan persahabatan.
Untuk itulah maka perlu kita ketahui defenisi dari kelembagaan itu.
Kelembagaan atau institusi adalah aturan main (formal dan informal) yang
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi
Schmid (1987) mengartikan kelembagaan sebagai berikut : “Institutions
are sets of ordered relationships among people that define their rights, their
exposure to the rights of others, their privileges, and their responsibilities”.
Common (1950) dalam Schmid (1987) mengartikan kelembagaan : “ An
10
institution is collective action in control, liberation, and expansion of individual
action”.
Oleh karena itu kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol
masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Dalam hal ini Randall (1981)
memberikan batasan mengenai kelembagaan : “Institutions include laws,
constitutions (which have been called “laws about making laws”), traditions,
moral and ethical structures, and “customary and accepted ways of doing
things”.
Untuk merubah prilaku (behavior) masing-masing para pihak
(stakeholder) sehingga dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik perlu
dilakukan perubahan terhadap unsur-unsur kelembagaan seperti yang dinyatakan
oleh Pakpahan (1989) yang meliputi tiga unsur utama, yakni: 1) batas yurisdiksi
(jurisdictional boundry); 2) hak kepemilikan (property rights); dan 3) aturan
representasi (rules of representation). Batas yurisdiksi akan menentukan siapa dan
apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti
batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga,
atau mengandung makna kedua-duanya. Selanjutnya konsep property atau
pemilikan muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang
didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat dan tradisi, atau konsensus yang
mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap
sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang
berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut Kartodiharjo (2006), institusi adalah perangkat lunak, aturan
main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang diterapkan di
dalammnya. Para pengambil keputusan tidak dapat memperbaiki penyelenggaraan
kehutanan hanya dengan melihat perangkat keras, hukum yang berlaku dan
instruksi-instruksi yang terkandung dalam kebijakan. Melainkan juga sangat
tergantung pada perangkat lunak sebagai bagian penting untuk menumbuhkan
rasa saling percaya, patuh karena peduli yang dapat diwujudkan dalam bentuk
komunikasi serta keterbukaan informasi.
Peters (2000) menyebutkan bahwa terdapat empat aliran pemikiran
mengenai institusi. Pertama institusi dirumuskan dengan pendekatan normatif.
11
Dalam pendekatan ini logika kesesuaian dianggap menjadi dasar perilaku individu
sebagai anggota dari institusi. Yang berlawanan dengan logika kesesuain tersebut
adalah logika konsekuensi yang menjadi dasar teori pilihan rasional. Berdasarkan
pendekatan normatif, individu-individu sebagai anggota dari suatu institusi
mempunyai perilaku yang didasarkan pada standar normatif dan tidak
menggunakan keputusan-keputusan untuk menguntungkan diri sendiri. Standar
perilaku normatif ini kemudian dijadikan pegangan oleh institusi yang menjadi
landasan nilai-nilai sosial yang berlaku untuk anggota-anggotanya.
Kedua, insitusi dirumuskan berdasarkan pilihan rasional. Dalam hal ini,
institusi mengatur dan menetapkan insentif bagi anggota-anggotanya dan perilaku
anggotanya tersebut ditentukan oleh struktur insentif yang tersedia. Dalam
pendekatan ini nilai dan sikap anggota-anggotanya yang didasarkan atas
rasionalitas tersebut dianggap tidak pernah berubah.
Ketiga, pendekatan historis. Dalam pendekatan ini, kebijakan dan aturan di
dalam institusi yang ditetapkan dianggap selalu memberi pengaruh anggota-
anggotanya dalam jangka panjang. Dalam kondisi ini dianggap terdapat
ketergantungan antar waktu yang pada gilirannya institusi saat ini tetap akan
memberi warna terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dikemudian hari.
Terjadinya kondisi “status quo” dapat dijelaskan oleh pendekatan ini.
Keempat, pendekatan empiris. Dalam pendekatan ini biasanya pertanyaan
yang dijawab adalah apakah bentuk institusi yang berbeda akan dikeluarkan
kebijakan yang berbeda. Pendekatan ini banyak digunakan untuk menganalisis
lembaga-lembaga pemerintah. Lembaga-lembaga inilah yang dianggap sebagai
institusi.
Berdasarkan keempat tersebut, dalam setiap analisis mengenai institusi,
yang terpenting adalah menetapkan pendekatan mana yang akan digunakan.
Untuk itulah penelitian ini menganalisis institusi berdasarkan pendekatan normatif
dimana berbagai individu yang menjalankan perannya pada kawasan HLGN
dianalisis perilaku dan tingkatan partisipasinya.
12
Heterogenitas/homogenitas dan Partisipasi
Masalah partisipasi dan aksi bersama berasal dari beberapa sumber
termasuk informasi yang tidak sempurna, konflik kepentingan atau sifat itu
sendiri. Saat masyarakat memiliki kelemahan informasi, koordinasi yang sulit
akan mempengaruhi tujuan yang ingin dicapai. (Amy dan Ostrom, 2004).
Pengaturan partisipasi dan aksi bersama meliputi ukuran beberapa potensi dimensi
dari aspek heterogen termasuk etnik, kasta, agama, kekayaan, penduduk, lokasi
hutan, model hutan dan model penggunaan sumber daya.
Ostrom,(2004) mengungkapkan bahwa untuk mempertahankan
pembaharuan system sumber daya dalam jangka panjang seperti hutan, tindakan
pengaturan aksi bersama dibutuhkan untuk membatasi penggunaan sumber daya
dan melakukan berbagai macam bentuk pengelolaan sumber daya secara aktif.
Heterogenitas sangat diharapkan mempengaruhi prospek kepercayaan dan tingkat
divergensi kepentingan dan dengan demikian mempengaruhi prospek upaya
pengumpulan data yang perlukan bagi aksi bersama dan partisipasi tersebut.
Velded (2000) secara spesifik menjelaskan lima wujud heterogenitas: (1)
heterogenitas di dalam pemberian kontribusi; (2) heterogenitas politik; (3)
kekayaan dan hak; (4) heterogenitas budaya; dan (5) minat ekonomi.
Baland dan Platteau (2000) memfokuskan pada sumber utama
heterogenitas yang berasal dari ras, etnik atau jenis pembagian budaya dan
perbedaan menurut sifat kepentingan ekonomi di antara individu.
Homogenitas juga mengikat aksi bersama dan partisipasinya. Pentingnya
pembagian karakteristik social, budaya atau ekonomi dapat meningkatkan
pendugaan/prediksi interaksi yang terjadi (Fearon dan Laitin, 1996). Prediksi
tersebut dapat menyediakan kepercayaan dimana homogenitas dapat memfasilitasi
aksi bersama yang diinginkan.
Homogenitas di beberapa dimensi sering kali bertepatan dengan
heterogenitas yang lain, sebagai contoh para anggota suatu kelompok mungkin
punya minat ekonomi yang sama walau berbeda secara budaya. Perbedaan budaya
akan menghalangi pengembangan tingkat kepercayaan, atau dihubungkan dengan
pemahaman-pemahaman yang berbeda dari isu manajemen yang ada. Individu
kadang-kadang menggunakan perbedaan-perbedaan budaya sebagai dasar untuk
13
tidak masuk anggota tertentu untuk berbagi manfaat terhadap sumber daya
tersebut meskipun terlihat membagi bersama minat ekonominya (Baland dan
Platteau, 1998, 2000).
Konflik dapat memperlemah efektivitas kelompok yang mengorganisir
sendiri namun hubungan antara heterogenitas dan aksi bersama serta peran
partisipasinya adalah non linear dan kontingen atas factor lain. Ketidakadilan
dalam kekayaan, contohnya : ketidakadilan dalam pembagian kekayaan yang
berinteraksi dengan biaya dan keuntungan relative yang digabungkan dengan
kerjasama dalam pengelolaan sumber daya untuk menghasilkan enam situasi
berbeda (1) penggunaan terus menerus untuk kepentingan setiap orang namun
tidak ada masalah, partisipasi dan aksi bersama terjadi; (2) penggunaan terus
menerus untuk kepentingan tiap orang namun masalah partisipasi dan aksi
bersama terjadi; (3) penggunaan terus menerus untuk kepentingan tidak
seorangpun dan kerusakan bersama terjadi; (4) keuntungan terus menerus dari
pengunaan yang meningkat dengan tingkat kecukupan yang tinggi oleh kaum
kaya akan memaksa kaum miskin untuk mempraktekkan tindakan konservatif; (5)
penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum
miskin namun partisipasi dan aksi bersama tidak dapat dilakukan dan (6)
penggunaan terus menerus dengan keuntungan yang tidak proposional bagi kaum
miskin namun partisipasi dan aksi bersama dapat dilakukan karena pengelolaan
kekayaan tersebut membutuhkan hubungan kerjasama dengan kaum miskin
dengan melibatkan aspek interaksi social atau karena institusi yang memberikan
kekuatan bagi kaum miskin tersebut (Amy dan Ostrom,2004).
Bagaimana heterogenitas dan karakteristik individu serta organisasi
berpengaruh terhadap kinerja partisipasi tersebut? tentunya merupakan argumen
yang menarik untuk di telusuri melalui penelitian ini.
16
METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survai yang bersifat
deskriptif korelasional. Variabel dependen penelitian adalah partisipasi
masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat
serta monitoring dan evaluasi terhadap kawasan hutan lindung , Sedangkan
variabel independennya terdiri dari kelompok variabel faktor individu dan faktor
organisasi yang merupakan karakteristik masyarakat. Faktor individu terdiri dari
variabel: (1) pengetahuan tentang hutan lindung, (2) luas penguasaan lahan hutan,
(3) status pemilikan lahan hutan, (4) pendapatan dari pengusahaan dusun, (5) nilai
aset (6) identitas daerah asal responden, (7) tingkat pendidikan, (8) umur, (9) jumlah
tanggungan, (10) lama keterlibatan dalam organisasi. Sedangkan faktor organisasi
terdiri dari variabel: (1) Presepsi tentang organisasi (komunikasi dan informasi,
Pemahaman aturan organisasi, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah), (2)
hubungan pengurus dan anggota organisasi.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang aktif dalam
pengelolaan lahan (dusung) di sekitar kawasan Hutan Lindung Gunung Nona
Kota Ambon dan berbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan yang
akan diidentifikasi dengan cara analisis stakeholder.
Teknik Penarikan Sampel
Proses penarikan sampel pada penelitian dilakukan melalui dua tahap,
yaitu: (1) tahap pertama adalah penentuan sampel desa yang pada akhirnya dipilih
kedua desa yang tepat berada di dalam kawasan HLGN, (2) tahap kedua adalah
penentuan sampel masyarakat pengelola dusung. Unit analisis penelitian ini adalah
individu yaitu masyarakat pengelola dusung dan untuk memahami faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pengelolaan
kawasan. Jumlah sampel masyarakat pada setiap desa sampel sebanyak 30
17
orang untuk tiap desa yang mana didasari pada jumlah pemilik dusung
pada tiap desa ± 50 orang dan dipilih secara sengaja (purposive sampling).
Definisi operasional Variabel Penelitian
Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi masyarakat di
sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan
kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat
kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan
monitoring terhadap kawasan HLGN. Partisipasi masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan kawasan tersebut ditinjau secara keseluruhan, artinya
semua bentuk kegiatan dipandang sebagai satu kesatuan. Partisipasi masyarakat
dalam kegiatan kawasan HLGN dan benar-benar sebagai manifestasi perilaku
masyarakat pada kawasan HLGN.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan kegiatan kawasan
HLGN adalah peran serta masyarakat yang diukur dari indikator
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan survei, pemberian informasi dan
pengajuan usul dan saran terhadap aktivitas pengelolaan kawasan.
Part isipasi dalam pelaksanaan berkaitan dengan aktivitas pemberian
sumbangan pikiran, tenaga dan materi dalam aktivitas pengelolaan kawasan.
Partisipasi dalam penerimaan manfaat berkaitan dengan upaya
peningkatan pendapatan, kesadaran terhadap manfaat hutan terhadap
lingkungannya dan ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Partisipasi
dalam monitoring dan evaluasi kawasan diukur dari keikutsertaan dalam
kegiatan monitoring, mengawasi dan mengevaluasi hutan lindung.
Klasifikasi partisipasi dibedakan atas partisipasi tinggi, sedang
dan rendah, dimana kriterianya sebagai berikut :
18
Tabel 1. Kriteria penilaian partisipasi masyarakat
Kriteria tingkatan
No
Indikator Penilaian
Tinggi sedang Rendah
A Perencanaan
1 Kegiatan survey Keterlibatan pada semua proses kegiatan survey
Keterlibatan hanya pada tahap pelaksanaan survey
Keterlibatan hanya pada tahap diskusi perencanaan survey
2 Pemberian informasi Informasi tentang hutan lindung dikuasai dengan baik
Informasi tentang hutan lindung terbatas pada sumberdaya tertentu
Informasi tentang hutan terbatas pada dusungnya
3 Pengajuan usul dan saran Aktif mengajukan usul dan saran pada berbagai pihak
Mengajukan usul dan saran apabila diminta
Tidak mengajukan usul dan saran
B Pelaksanaan 1 Pemberian sumbangan pikiran Aktif
menyampaikan sumbangan pikiran
Jarang menyampaikan sumbangan pikiran
Tidak pernah menyampaikan sumbangan pikiran
2 Pemberian sumbangan tenaga Aktif memberikan sumbangan tenaga
Jarang memberikan sumbangan tenaga
Tidak pernah memberikan sumbangan tenaga
3 Pemberian sumbangan materi Aktif
menyampaikan sumbangan materi
Jarang menyampaikan sumbangan materi
Tidak pernah menyampaikan sumbangan materi
C Penerima Manfaat 1 Peningkatan pendapatan Hasil hutan sebagai
sumber utama pendapatannya
Hasil hutan sebagai pendapatan tambahannya
Baginya hasil hutan hanya memberikan jasa lingkungan
2 Manfaat hutan Merasakan manfaat hasil hutan kayu dan non kayu
Merasakan manfaat hasil hutan berupa kayu saja
Merasakan manfaat hasil hutan non kayu saja
3 Ketergantungan terhadap hutan Bergantung sepenuhnya pada hasil-hasil hutan
Ketergantungan terbatas pada produk tertentu
Tidak bergantung pada hasil-hasil hutan
D Monitoring dan evaluasi 1 Monitoring hutan lindung Aktif dalam
pelaksanaan monitoring hutan
Terlibat apabila di butuhkan
Tidak aktif
2 Mengawasi hutan lindung Aktif dalam pengawasan hutan
Terlibat apabila di butuhkan
Tidak aktif
3 Mengevaluasi hutan lindung Aktif dalam kegiatan evaluasi hutan
Terlibat apabila di butuhkan
Tidak aktif
19
0leh karena partisipasi masyarakat dalam kegiatan kawasan HLGN
merupakan variabel dependen maka nilai skornya tergantung kepada variabel
independennya.
Adapun variabel, defenisi dan parameter pengukuran variabel independen
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Variabel, definisi dan Parameter pengukurannya
Variabel Defenisi Operasional Parameter Pengukuran Pengetahuan
Luas penguasaan lahan Status pemilikan lahan dusung
Pendapatan masyarakat
Pengetahuan masyarakat tentang kawasan hutan lindung, tujuan dan manfaatnya bagi masyarakat pedesaan, peraturan tentang hak dan kewajiban masyarakat di sekitar kawasan HLGN. Luas penguasaan lahan sekitar hutan adalah luas lahan yang digarap oleh masyarakat disekitar kawasan dan benar-benar diusahakan sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan (dusung). Tingkatan status masyarakat anggota kawasan HLGN atas hak pemilikan lahan yang diga-rap dan d iusahakann ya. Tingkat pendapatan yang diperoleh masyarakat dari usaha dusungnya yaitu penerimaan yang diperoleh masyarakat dari nilai hasil dusungnya setelah dikurangi segala biaya riil yang dikeluarkan oleh masyarakat tersebut, sedangkan nilai nominal penerimaan usaha dusungnya didasarkan kepada nilai konversi jumlah
Klasifikasi tingkat pengetahuan tentang kawasan HLGN dibedakan atas berpengetahuan : a. Sangat kurang memahami
tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya
b. Kurang memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya
c. Cukup baik memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya.
d. Sangat baik memahami tentang defenisi Hutan Lindung, fungsi dan manfaatnya
Luas penguasaan lahan tersebut diukur dalam satuan hektar : Luas lahan di dalam kawasan Hutan : a. > 5 ha (tidak baik) b. > 2,5 – 5 ha (kurang baik) c. 1-2,5 ha (cukup baik) d. < 1 ha (baik) S ta tus pemi l i kan dusung dibedakan atas : a.dusung adat b.dusung mil ik sendiri
dengan sertifikat c. dusung disewa. d. Tanpa status Pendapatan usaha dusung diukur dalam satuan rupiah per tahun. Penggolongan pendapatan ini berdasarkan rata-rata pendapatan dusungnya perkepala keluarga hingga diperoleh klasifikasi berikut : a. < Rp 1.000.000,- b. Rp 1.000.000 - 5.000.000,- c. Rp 5.000.000, – 10.000.000,- d. > Rp 10.000.000,-
20
Variabel Kekayaan Identitas asal responden
Jumlah tanggungan
Pendidikan Umur Lama keterlibatan dalam organisasi Presepsi tentang organisasi
Defenisi Operasional Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden Identitas daerah asal dari responden Jumlah tanggungan keluarga adalah istri, anak dan semua orang yang tinggal serumah. Jenjang pendidikan formal yang diikuti oleh responden Usia responden Jangka waktu keterlibatan responden didalam organisasi masyarakat Pandangan responden terhadap aktivitas berorganisasi.
Parameter pengukuran Diukur dalam satuan rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki dibedakan atas : a. < Rp 5.000.000,- b. Rp 5.000.000 – 10.000.000 c. Rp 10.000.000 – 20.000.000 d. Rp > 20.000.000
a. Masyarakat asli b. Pendatang c. Perkawinan dengan
masyarakat asli d. Tanpa identitas yang jelas a.1-4 orang b.5-8 orang c. > 8 orang a. SD b. SMP c. SMA d. Universitas e. a. Muda (30-45 tahun) b. Tua (46-72 tahun)
a. Keanggotaan baru (1-4 tahun) b. Keanggotaan lama (4-6 tahun) Diukur melalui 4 (empat) indikator yaitu :
1). Komunikasi dan informasi. a. kurang baik : berpura-pura
tidak tahu terhadap informasi dan komunikasi yang terjalin.
b. cukup baik : informasi dan komunikasi di simpan sendiri oleh anggota tertentu
c. Baik : informasi dan komunikasi diketahui dan direspon baik semua anggota.
d. Sangat baik : informasi dan komunikasi disebarkan dengan baik ke semua anggota dan direspon baik
2). Pemahaman aturan organisasi
a. Tidak paham : tujuan dan visi organisasi tidak diketahui
b. sedikit paham : memahami tujuan berorganisasi saja
21
Variabel
Hubungan Pengurus dan anggota organisasi
Defenisi operasional
Bagaimana hubungan yang terjalin antara pengurus dan anggota organisasi tersebut
Parameter pengukuran
c. cukup paham : sedikit memahami tujuan dan visi organisasi
d. Sangat paham: sangat memahami visi dan tujuan organisasi
3). Pengambilan keputusan
a. kurang baik : tidak adanya partisipasi pada proses pengambilan dan penerapan keputusan.
b. cukup baik : berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saja
c. Baik : berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan penerapannya.
d. Sangat baik : partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan dan penerapannya.
4). Penyelesaian masalah
a. Kurang baik : proses dan keterlibatan individu tidak terkontrol baik.
b. Cukup baik ; proses melibatkan pihak terkait tanpa aturan yang berlaku
c. Baik : proses melibatkan pihak yang terkait dengan aturan yang diberlakukan
d. Sangat baik : proses berdasarkan aturan yang berlaku dan melibatkan pihak-pihak yang terkait.
a. kurang baik : kerjasama
terjalin bila terpenuhi keinginan anggota tertentu
b. cukup baik : kerjasama terjalin bila ada insiatif anggota tertentu
c. Baik : kerjasama terbangun dengan baik tanpa melihat situasi & kondisi
d. Sangat baik : ada motivasi bersama untuk senantiasa bekerjasama.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada kawasan Hutan Lindung Gunung
Nona di Kota Ambon, Provinsi Maluku dari Oktober sampai dengan
22
Desember 2009. Responden penelitian ini adalah masyarakat di sekitar
kawasan yang memiliki aktivitas pengelolaan dusung. Sedangkan unit
analisisnya adalah individu masyarakat. Sumber data penelitian ini adalah (1)
masyarakat pada desa di sekitar kawasan dan (2) pengelola kawasan antara
lain Dinas Kehutanan Kota Ambon dan berbagai pihak yang terkait.
Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara, yaitu:
Wawancara dan kuesioner
Wawancara dilakukan terhadap tiap responden dan dilengkapi dengan
kuesioner yang berguna untuk melengkapi data karakteristik individu dan
organisasi.
Observasi partisipan
Observasi partisipan merupakan suatu bentuk observasi khusus dimana
peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil
berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa
yang akan diteliti. Observasi partisipan memberikan peluang kepada peneliti
untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok
yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Peluang yang
lainnya adalah kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang ”orang
dalam” dibandingkan orang luar pada studi kasus tersebut (Yin 2006).
Metode Analisis Data
Analisis data dengan mengunakan metode analisis kuantitatif yaitu
menyusun hasil dari kompilasi data yang diperoleh dalam bentuk tabulasi
kemudian dianalisis.
Untuk mengambarkan hubungan antara karakteristik responden
(heterogenitas) dan tingkat partisipasinya digunakan analisis distribusi frekuensi
dengan tabulasi silang yang kemudian di uji dengan teknik Chi kuadrat (Chi
Square) dengan rumus sebagai berikut (Djarwanto dan Sudjana, 1996) :
23
X2 = (fo – fh)2 dimana : X2 = uji chi kuadrat
fh fo = nilai yang diamati (nilai observasi) fh = nilai yang diharapkan (nilai harapan) Pengujian signifikansi antara tingkat partisipasi dengan faktor
heterogenitas dilakukan dengan membandingkan nilai X2 hitung dengan X2 tabel
dengan kriteria sebagai berikut :
a. Jika X2 hitung > X2 tabel berarti variabel heterogenitas mempunyai hubungan
dengan tingkat partisipasinya.
b. Jika X2 hitung < X2 tabel berarti variabel heterogenitas tidak mempunyai
hubungan dengan tingkat partisipasinya.
Untuk mengetahui derajat keeratan hubungan antara variabel bebas
(heterogenitas) dengan variabel terikat (tingkat partisipasi) maka digunakan uji
koefisien kontingensi dengan rumus (Sudjana, 1996) :
x2
C = ---------- dimana :C = koefisien kontingensi
x2+n x2 = nilai x2 hitung
n = jumlah responden
Nilai C berkisar antara 0-1,00 makin besar nilai C berarti hubungan antara 2
variabel makin erat. Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien kontigensi
digunakan batasan yang dikemukan oleh Sugiyono (2007) seperti disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Nilai interpretasi koefisien korelasi dan tingkat hubungan
Interval koefisien Tingkat hubungan
0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1.00 Sangat kuat
Sumber : Sugiyono, 2007
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas
Secara astronomi HLGN terletak di antara 128º11’12” – 128º12’52” BT
dan 3º41’31” – 3º40’45” BT dengan kawasan seluas 877,78 ha yang secara
administratif termasuk pada dua daerah kecamatan yakni kecamatan Sirimau dan
kecamatan Nusaniwe di pulau Ambon dan secara geografis pada bagian utara
berbatasan dengan teluk Ambon Baguala, sebelah selatan berbatasan dengan laut
Banda, Sebelah timur berbatasan dengan desa Kilang, kelurahan Honipopu dan
kelurahan Ahusen dan sebelah barat berbatasan dengan laut Banda. Lokasi
kawasan hutan lindung ini berbatasan langsung dengan kota Ambon, berakibat
pada tingginya kerentanan konversi lahan oleh masyarakat.
Pada Kawasan HLGN ini terdapat 2 (dua) desa yang berada di dalam
kawasan yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu. Desa Urimesing berada dalam
wilayah Kecamatan Sirimau - Kota Ambon, Propinsi Maluku. Luas desa adalah
sekitar 46,16 Km2, yang terdiri dari 4 dusun yaitu Kusu-kusu, Tuni, Mahia dan
Seri. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 4 km2, yang dapat ditempuh dalam
waktu 15 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun
roda empat. Desa Urimesing merupakan daerah perbukitan dan daerah pantai.
Secara administratif desa Urimesing memiliki batas-batas sebagai berikut :
• Sebelah timur berbatasan dengan desa Hatalai dan Soya.
• Sebelah barat berbatasan dengan desa Nusaniwe (Amahusu, Latuhalat).
• Sebelah utara berbatasan dengan teluk Ambon/kota Ambon.
• Sebelah selatan berbatasan dengan laut Banda.
Desa Amahusu berada pada wilayah kecamatan Nusaniwe – kota Ambon.
Luas desa adalah sekitar 4 Km2, yang terdiri dari 3 dusun antara lain dusun
Wakkang, Westapong dan Nahel. Jarak dari ibu kota Provinsi sekitar 2 km, yang
dapat ditempuh dalam waktu 10 menit perjalanan dengan menggunakan
kendaraan roda dua maupun roda empat. Secara administrative batas-batas
wilayah terdiri dari :
• Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Ambon
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Urimesing
24
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Ambon
• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Nusaniwe
Topografi dan Iklim
Desa Urimesing 2000 meter di atas permukaan laut sedangkan desa
Amahusu berada di ketinggian 3 – 8 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi
topografi yang berbukit dan kemiringan lereng berkisar antara 50-80%. Kondisi
inilah yang merupakan salah satu kriteria mengapa kawasan ini ditetapkan sebagai
kawasan lindung. Jenis tanahnya adalah latosol dengan warna merah kehitam-
hitaman dan sebagian lainnya podsolid merah kuning dengan tekstur liat berpasir
dan pH berkisar 5-7.
Curah hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun dengan musim hujan
pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau pada bulan April-September,
sedangkan suhu udara berkisar antara 30-36oC dan kelembaban udara berkisar
antara 80-85%. Kawasan hutan Gunung Nona tertutup vegetasi yang
bertipe sangat spesifik. Spesifikasinya adalah pada aspek komposisi,
yakni komposisi vegetasi campuran antara hutan alam dengan upaya budidaya
manusia, sehingga bentuk penutup lahan yang dijumpai merupakan
perpaduan antara tipe vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah yang dipengaruhi
oleh iklim laut (Marine climate) dan bentuk lahan pekarangan (dusung) dengan
vegetasi campuran.
26
Pada peta tergambar jelas bahwa kedua desa tepat berada pada kawasan
HLGN.
Penggunaan Lahan
Pada desa Urimesing dari total luas lahan (46,16 km), sekitar 32,15 km
(69,65%) digunakan sebagai lahan kebun campuran. Untuk desa Amahusu
dari total luas 4 km, sekitar 2 km (50%) juga digunakan sebagai kebun
campuran. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati.
Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan
sedarah dari beberapa keluarga.
Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara alami di lahan ini
yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu vegetasi penghasil
buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga terdapat di kawasan
ini terutama di pekarangan, seperti cengkih (Eugenia aromatica), pala
(Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun zeylannicim).
Tabel 4. Jenis penggunaan lahan desa Urimesing
Jenis penggunaan lahan Luas lahan (km2) Persentase (%) Pemukiman penduduk 11.36 24,61 Kebun Campuran 32,15 69.65 Lahan peternakan 0,15 0,32 Perkantoran 1,5 3,25 Lain-lain 1 2,2
Jumlah 46,16 100,00
Sumber: BPS Maluku (2006)
Tabel 5. Jenis penggunaan lahan desa Amahusu
Jenis penggunaan lahan Luas lahan (km2) Persentase (%) Pemukiman penduduk 1,8 45 Kebun Campuran 1,2 30 Perkantoran 0,5 12,5 Lain-lain 0,5 12,5
Jumlah 4 100,00
Sumber: BPS Maluku (2006)
27
Tabel 6. Pemanfaatan kawasan Hutan Lindung di kota Ambon
Luas lahan (ha) Persentase (%) Pemukiman penduduk 164,58 18,75 Kebun Campuran (dusung) 474,77 54,02 Semak belukar/lahan kosong Hutan Primer
147,12 65,31
16,76 7,44
Lain-lain 26,60 3,03 877,78 100,00
Sumber : BAPEDA Maluku (2008)
Dari tabel 6 tergambar kondisi hutan lindung di kota Ambon didominasi
oleh dusung (54,02%) dan pemukiman penduduk (18,75%). Perkembangan
keberadaan pemukiman penduduk sangat penting menjadi perhatian pemerintah
agar tidak bertambah luasannya mengingat pentingnya fungsi kawasan HLGN.
Komposisi Penduduk
Jumlah penduduk desa Urimesing pada tahun 2008 adalah 6.823 jiwa yang
terdiri dari 2.481 jiwa laki-laki (36,36%) dan 4.342 jiwa perempuan (63,63 %).
Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif yang
berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 68,57% (Tabel
4). Sebagian besar kaum perempuan di desa ini ikut terlibat secara aktif
membantu bekerja dan biasanya pengelolaan lahan dilakukan secara bersama-
sama oleh seluruh anggota keluarga.
Tabel 7. Jumlah penduduk Desa Urimesing berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%) <10
10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57
1076 489 513 781
1326 1570 1068
15,77 7,16 7,52
11,45 19,43 23,01 15.65
Jumlah 6823 100,00
Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)
Sedangkan jumlah penduduk desa Amahusu pada tahun 2008 adalah 2.484
jiwa yang terdiri dari 1.481 jiwa laki-laki (59,62%) dan 1003 jiwa perempuan
(40,37%). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif
28
yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 84,33%
(Tabel 7.).
Tabel 8. Jumlah penduduk Desa Amahusu berdasarkan kelompok umur
Kelompok umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%) <10
10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57
296 303 242 501 502 249 391
11,92 12,19 9,74
40,46 10,02 15,66
Jumlah 2484 100,00
Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)
Sebagian besar penduduk desa Urimesing bermata pencaharian sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 874 orang atau 38,74% (Tabel 7).
Ketersediaan lahan bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk
memperoleh pendapatan tambahan.
Sedangkan untuk penduduk Desa Amahusu sebagian besar juga bermata
pencaharian sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebesar 243 orang atau
28,12 % (Tabel 9).
Tabel 9. Jumlah penduduk desa Urimesing berdasarkan jenis mata pencaharian
Jenis mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) PNS Swasta Wiraswasta/pedagang Petani pengolah dusung Pertukangan Pensiunan Peternak Jasa Nelayan
874 516 415 225 36 44 4
94 48
38,74 22,87 18,39 9,97 1,59 1,95 0,17 4,16 2,12
Jumlah 2256 100,00
Sumber: Monografi Desa Urimesing (2008)
29
Tabel 10. Jumlah penduduk desa Amahusu berdasarkan jenis mata pencaharian
Jenis mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) PNS Swasta Wiraswasta Petani pengolah dusung Nelayan Pertukangan Pensiunan Jasa TNI/POLRI
243 131 118 68 43 37 94
111 19
28,12 15,16 13,65 7,87 4,97 4,28
10.87 12,84 2,19
Jumlah 864 100,00
Sumber: Monografi Desa Amahusu (2008)
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan kepala keluarga masyarakat desa Urimesing pada
tahun 2008 masih tergolong rendah. Sebagian kepala keluarga hanya menamatkan
pendidikannya sampai tingkat SD/SLTP, yaitu sebesar 71,37.% (Tabel 9). Tetapi
dalam kegiatan mengolah dusung, pemahaman mereka terhadap pengetahuan
budidaya suatu jenis tanaman, baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun
orang lain cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mereka dalam
membudidayakan tanaman cengkeh, kakao dan pala serta jenis buah-buahan yang
tiap tahun rutin dipasarkan. Sedangkan tingkat pendidikan kepala keluarga
masyarakat desa Amahusu pada tahun 2008 tergolong tinggi 63,85 % adalah
lulusan SLTA/sarjana.
Tabel 11. Jumlah kepala keluarga desa Urimesing berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas
22 4391 1739
0,35 71,37 28,26
Jumlah 6152 100,00
Sumber: BPS Maluku (2008)
Tabel 12. Jumlah kepala keluarga desa Amahusu berdasarkan tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas
359 271
1113
20,59 15,72 63,85
Jumlah 1743 100,00
Sumber: BPS Maluku (2008)
30
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang cukup baik di Desa Urimesing dan Amahusu,
terutama prasarana jalan, yang memungkinkan akses ke ibukota Provinsi berjalan
lancar. Kondisi jalan yang cukup baik dan jarak yang relatif dekat dengan ibukota
kecamatan dan propinsi membuat upaya menjalurkan hasil-hasil olahan dusung
berjalan baik. Bahkan beberapa penduduk menjual langsung hasil dusungnya ke
beberapa pasar yang berada di ibukota propinsi (Tabel 13).
Tabel 13. Sarana dan prasarana desa Urimesing
Sarana/prasarana Jenis Jumlah (unit) Perhubungan Jalan aspal
Jalan batu Jalan tanah
5 km 0,7 km
2 km Pendidikan TK
SD SMP
3 buah 4 buah 1 buah
Tempat ibadah Gereja 7 buah Sosial Balai desa
Poskamling 1 buah
19 buah
Sumber: BPS Maluku (2008)
Tabel 14. Sarana dan prasarana desa Amahusu
Sarana/prasarana Jenis Jumlah (unit) Perhubungan Jalan aspal
Jalan batu Jalan tanah
4 km 0,5 km
4 km Pendidikan TK
SD SMP
1 buah 1 buah 1 buah
Tempat ibadah Gereja 1 buah Sosial Balai desa
Poskamling 1 buah 4 buah
Sumber: BPS Maluku (2008)
Belum adanya SMA di desa ini membuat sebagian masyarakat berupaya
menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah yang berada di Ibukota provinsi.
Kegiatan-kegiatan rutin seperti ibadah-ibadah unit gereja, arisan, koperasi
dan kegiatan olahraga, baik di tingkat desa maupun dusun juga turut membantu
proses terjadinya tukar menukar pengalaman pengelolaan dusung di masyarakat.
31
Sejarah Pengelolaan Dusung
Keberadaan keragaman vegetasi di sekitar kawasan hutan lindung,
disebabkan oleh keberadaan interaksi antara kawasan ini dengan
beragam jenis vegetasi dalam daerah penyangga. Daerah ini merupakan satuan
ruang yang dapat menghasilkan buah maupun kayu serta hasil hutan
lainnya. Kondisi ini tetap dijaga untuk kelangsungan hidup masyarakat
yang ada di sekitar hutan lindung. Kondisi seperti ini telah tertanam lama
dalam budaya masyarakat setempat, yakni suatu s ist im sosial
dalam mengant isipasi sumber daya alam baik vegetasi darat
maupun komponen biotik lautnya (aspek konservasi) yang dikenal
dengan petuanan dusun dati. Keberadaan petuanan dusun dati ini
membentuk suatu kondisi yang memungkinkan terbentuknya daerah-
daerah penyangga bayangan terhadap daerah-daerah kritis lingkungan
yang dikelola secara tradisional.
Beberapa bagian kawasan lindung yang telah dikonversi menjadi kebun
campuran (untuk permukiman), bukan saja di daerah perbatasan kawasan
hutan lindung, tetapi juga ditemukan hingga daerah hulu DAS dalam kawasan
inti lindung. Kawasan termodifikasi ditemukan yaitu di petuanan Desa Soya,
Desa Urimessing (Mahia, Kusu-kusu, Seri), Desa Ema dan Desa Naku dan
petuanan Kilang. Penggunaan lahan ini dikenal dengan nama Dusung Dati.
Dusung Dati adalah penguasaan atas lahan berdasarkan garis kekeluargaan
sedarah dari beberapa keluarga. Biasanya vegetasi yang tumbuh baik secara
alami di lahan ini yaitu vegetasi pohon hutan dan budidaya yaitu
vegetasi penghasil buah-buahan. Beberapa jenis tanaman industri juga
terdapat di kawasan ini terutama di pekarangan, seperti cengkih
(Eugenia aromatica), pala (Mirystica frarans) dan kayu manis (Cinnamomun
zeylannicim). Vegetasi semak belukar ditemukan terutama di bagian tengah
DAS terutama di DAS Air Besar, Batu Gajah sampai daerah Kudamati,
jumlahnya ± 10% dengan pertumbuhan jelek. Tumbuhanya semak belukar ini
akibat penebangan hutan dengan sistim perladangan berpindah-pindah
pada masa lalu. Di samping itu terbakarnya semak belukar dari tahun ke
tahun (sengaja atau bencana alam) tidak memberi kesempatan untuk
32
tumbuhnya tanaman pohon-pohon, melainkan semakin memberi
kesempatan meluasnya semak belukar. Pada umumnya bentuk vegetasi yang
ditemukan pada bentuk penggunaan lahan ini, adalah paku kawat
(Equistentum debile), kayu bunga (Melastoma, sp), kayu putih (Melaleuca
lecadendron), alang-alang (Impreta cilindria) dan beberapa jenis rumput-
rumputan yang tidak merambat.
Desa Urimesing
Desa Urimesing memiliki 192 buah dusung dati dan pusaka berdasarkan
register dati tanggal 26 Mei 1814. Rincian hak pemilik dusung dati sesuai dengan
register 26 Mei 1814 adalah 65 dusung negeri, 29 dusung dati perintah/raja dan
127 dusung dati yang dikuasai oleh 7 kepala dati masing-masing :
1. Jacob Wattimena 14 dusung dati
2. Marthen Janaren 9 dusung dati
3. Zadrach Wattimena 11 dusung dati
4. Corneles Samaleleway 11 dusung dati
5. Paulus Matiluseny 15 dusung dati
6. Amos Salakay 16 dusung dati
7. Stevanus Wattimena 30 dusung dati
Ditambah dengan sejumlah dusung pusaka yang telah menjadi milik warga
tertentu. Dusung pusaka adalah dusung yang merupakan hak bersama dari
kelompok ahli waris yang mereka peroleh melalui warisan. Hak pemilikan dusung
dati ini ada sebelum tahun 1814. Kemudian pada masa peralihan Pemerintah
Inggris dirasa perlu untuk menata kelompok kerja dengan hak-hak pemilikannya
agar dengan mudah dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pemerintah pada waktu
itu. Kemudian oleh pemerintah Belanda dilakukan registrasi di Pulau-pulau Lease
dan pulau Ambon tahun 1883 dengan batas-batas yang jelas tetapi tidak tuntas
(Godlief pada artikel Ziwar Effendi,1997).
Valentyn F. dalam bukunya ”Oud en nieuw India II” hal 184 : Dati adalah
Hoofdienst dimana pada bulan dilaksanakan pelayaran Hongi (Hongi Tohten)
setiap tumah tangga diwajibkan menyerahkan seorang laki-laki untuk selama
lebih kurang 1 (satu) bulan kepada VOC untuk melaksanakan tugas pelayaran
33
Hongi tanpa usaha (imbalan). Sedangkan menurut Reidel G.E.F mengartikan
sebagai petak tanah yang dibagi-bagikan kepada orang kuat kerja (weebaar) atau
kepala rumah tangga dengan syarat harus hongi. Sehingga menurut G.A.Adries
(2009) yang dimaksud dengan tanah dati adalah sebidang tanah negeri yang
diberikan negeri kepada salah satu cabang keluarga yang pernah berjasa bagi
negeri sebagai suatu unit produksi yang berfungsi menjamin keberlangsungan
kehidupan ekonomi dari cabang keluarga tersebut menurut garis keturunan
bapanya, dengan ketentuan bahwa anak perempuan yang tidak menikah juga
berhak ”Makan Dati” (menikmati hasilnya juga) oleh karena anak wanita masih
memikul nama keluarga ayah (Holleman 1923,12.70).
Hak pemilikan dusun dati adalah hak kelompok (dati artinya kelompok
kerja), bukan perorangan. Dusung dati memiliki 2 (dua) hak kepemilikan yaitu
hak penguasaan tanaman (usaha) adalah pemegang dusung dati dan hak petuanan
adalah hak saniri negeri/desa. Pada tanggal 1 Juni 1923 hak dati dihapuskan. Hak
dati atas dusung-dusung dati tidak lagi diatur secara jelas sehingga dusung
tersebut dimiliki oleh dati yang kemudian menjadi persoalan negeri/desa dengan
pemilik dati-dati tersebut. Hingga saat ini, penguasaan lahan dusung di desa ini
tetap dikuasai oleh keluarga-keluarga pemegang hak dati tersebut dan diakui oleh
Pemerintah Desa.
Desa Amahusu
Hingga era tahun 1970-an, dalam melaksanakan pemerintahan desa istilah-
istilah adat masih digunakan. Misalnya pemimpin pemerintahan adalah Raja
(Kepala Desa) dan dibantu oleh staf pemerintahan seperti Kapitang, Kepala
kewang, Marinyo kemudian perkumpulan pemuda-pemudi yang disebut Jujaro-
mungare yang dipimpin oleh Kepala Jujaro-mungare. Selain itu terdapat juga
lembaga musyawarah desa yang disebut Saniri Negeri.
Sejak tahun 1980-an, Desa Amahusu memiliki sistem Pemerintahan yang
telah menyesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dimana
istilah-istilah seperti Raja (Kepala Pemerintahan Desa/Negeri), Saniri Negeri
(Lembaga Musyawarah Desa/Negeri) beserta staf desa/negeri antara lain
Kapitang, Marinyo, Kepala Kewang yang sudah tidak dipergunakan.
34
Sebagai desa adat, masyarakat Desa Amahusu juga memiliki kemiripan
dengan desa-desa adat yang terdapat di Kota Ambon. Hal ini dapat dilihat dari
istilah kemasyarakatan seperti soa, marga (asli dan pendatang) dan dusun dati
seperti halnya desa Urimesing.
Istilah Soa diartikan sebagai bentuk kekerabatan genealogis dalam batas
territorial tertentu. Pada masyarakat Desa Amahusu terdapat tiga soa yaitu : Soa
Wakkang, Soa Westopong dan Soa Nahel dimana saat ini ketiga soa tersebut telah
berubah nama menjadi dusun yaitu dusun Wakkang, dusun Westopong dan dusun
Nahel. Marga asli desa Amahusu antara lain Silooy, de Costa, Matitaputi,
Mainake, Soplanit, Tomasila, Akioar, Tahalele, Nussy dan Pupela yang memiliki
hak atas beberapa dusung dati.
Masyarakat masih memiliki ketergantung pada HLGN, penggarapan
kawasan hutan berdasarkan sistem dusung tetap diberlakukan dan diakui oleh
Pemerintah. Secara de jure adalah hak pemerintah namun secara de facto adalah
hak masyarakat. Untuk itulah maka sangat diperlukan aspek partisipasi dalam
pengelolaan kawasan ini.
Sebelum tahun 1996, kawasan HLGN adalah sebuah kawasan hutan yang
sebagai besar (18,75%) telah dijadikan pemukiman dimana terdapat 2 desa di
dalamnya yaitu desa Amahusu dan Urimesing dengan sejumlah dusung yang telah
dikelola secara bertahun-tahun oleh masyarakat. Tidak semua kawasan hutan
lindung di kota Ambon dimanfaatkan sebagai dusung hanya 54,02 % dari
keseluruhan luas kawasan hutan (BAPEDA kota Ambon, 2007). Kemudian pada
tahun 1996 kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan keputusan
Menteri Kehutanan Nomor : 430/KPTS-II/1996 tentang Penetapan kelompok
hutan lindung gunung Sirimau seluas 3.449 hektar dan kelompok hutan Gunung
Nona seluas 877,78 hektar yang terletak di Kotamadya Ambon, Provinsi Daerah
Tingkat I Maluku, sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan lindung.
Penetapan ini diberlakukan karena HLGN memiliki fungsi sebagai daerah resapan
air bagi masyarakat kota Ambon.
Banyak kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar, makanan ternak,
terutama air bersih dan lain-lain yang berasal dari hutan tersebut. Pemerintah telah
berupaya menegakkan hukum dengan mengosongkan hutan tersebut dari aktivitas
35
masyarakat dan melibatkan masyarakat dalam aktivitas pengelolaan kawasan
seperti kegiatan reboisasi namun peran aktif masyarakat masih sebatas
keterlibatan dalam proyek tertentu dan perlindungan mereka terhadap kawasan
dusungnya. Saat ini, keterlibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan
dengan membentuk Kelompok tani yang dikhususkan untuk memelihara berbagai
jenis tanaman reboisasi.
Keberadaan HLGN seluas sekitar 877,78 ha di Provinsi Maluku ini
memiliki arti yang sangat penting dan strategis ditinjau dari aspek ekologi dan
lingkungan hidup serta aspek pembangunan sosial ekonomi Provinsi Maluku,
antara lain: (1) sebagai kawasan pelestarian alam yang diperlukan untuk
perlindungan sistem penyangga kehidupan, untuk pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa (plasma nutfah) serta pemanfaatan sumberdaya hayati
dan ekosistemnya secara lestari, (2) sebagai daerah tangkapan air bagi Kota
Ambon, yang dalam hal ini sangat penting artinya dalam menjaga siklus tata air,
menangkap, menyimpan dan menyediakan air permukaan dan air bawah tanah,
serta menjaga kestabilan lingkungan dari bahaya kekeringan, banjir dan tanah
longsor; dan (3) sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah di
sekitarnya, serta menunjang budidaya pertanian, peternakan, perkebunan, dan
perikanan (Dinas Kehutanan Propinsi Maluku, 2006).
Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan
kota Ambon bersama BAPEDA kota Ambon serta dikoordinasikan dengan Dinas
Kehutanan Provinsi Maluku serta BPDAS Waihapu Batumerah. Berbagai pihak
pun dilibatkan dalam pengelolaan kawasan HLGN ini antaralain berbagai
lembaga swadaya masyarakat baik nasional maupun internasional dan beberapa
universitas di kota Ambon, dengan tujuan meningkatkan fungsi kawasan dan
kelestariannya serta peningkatan peran serta masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan uraian diatas maka terurai beberapa pembelajaran (lesson
learn) bagi pengembangan penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan peran partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan dusung saat ini yang akan berguna mendukung upaya
perlindungan kawasan HLGN.
36
2. Mendiskripsikan pembelajaran dari kerjasama yang diperlihatkan oleh
berbagai pihak (stakeholder) dalam pengelolaan kawasan HLGN.
37
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karakteristik Individu
Karakteristik individu sebagai kelompok variabel independen dalam
penelitian ini terdiri dari: (1) pengetahuan tentang HLGN, (2) luas lahan dusung
garapan, (3) status pemilikan lahan dusung, (4) pendapatan per tahun responden,
(5) umur responden, (6) lama keterlibatan dalam organisasi masyarakat, (7)
pendidikan Responden, (8) nilai aset/kekayaan, (9) jumlah tanggungan keluarga
dan (10) identitas asal responden. Keragaman setiap variabel tersebut secara
deskriptif dipaparkan pada Tabel 15.
Tabel 15. Keragaman karakteristik individu masyarakat pengelola dusung
Uraian karakteristik individu Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total Jumlah (Orang)
Presentase (%)
Pengetahuan tentang HLGN Sangat kurang memahami 5 8 13 21.67 Kurang memahami 6 5 11 18.33 Cukup baik memahami 5 7 12 20.00 Sangat baik memahami 14 10 24 40.00 Luas Penguasaan dusung
a. Penggolongan berdasarkan standar luas dusung
Dusung luas (2,5-5 ha) 5 7 12 20 Dusung sedang (1-2,5 ha) 12 5 17 28.33 Dusung sempit (<1 ha) 13 18 31 51.67
b. Penggolongan berdasarkan kelompok responden
Dusung sempit (<1 ha) 13 18 31 51.67 Dusung Luas (1 – 5 ha) 17 12 29 48.33 Status Pemilikan lahan dusung Dusung adat 11 9 20 33.33 Dusung milik sendiri dengan sertifikat 2 5 7 11.67 Dusung disewa. 0 0 0 0.00 Tanpa status 16 16 32 53.33
Pendapatan dari dusung rendah (1 - 5 juta) 12 14 26 43.33 tinggi (5- 10 juta) 18 16 34 56.67 Umur Muda (30-45) 3 5 8 13.33 Tua (47-72) 27 25 52 86.67
38
Uraian karakteristik individu Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total Jumlah (Orang)
Presentase (%)
Keterlibatan dalam organisasi Keanggotaan baru (1-4 thn)
3
2
5
8.33
Keanggotaan lama (4-6 thn) 27 28 55 91.67
Tingkat pendidikan SD 4 4 8 13.33 SMP 8 9 17 28.33 SMU 18 16 34 56.67 Univ/akademi 0 1 1 1.67
Nilai asset 5 - 10 jt 13 11 24 40.00 10 - 20 jt 10 15 25 41.67 > 20 jt 7 4 11 18.33
Jumlah tanggungan 1 - 4 org 8 5 13 21.67 5 - 8 org 22 23 45 75.00 > 8 org 0 2 2 3.33
Identitas asal Masyarakat Asli 28 28 56 93.33 Pendatang (telah menetap lama) 1 2 3 5.00 Pengungsi (menetap karena konflik) 1 0 1 1.67
Pengetahuan Masyarakat tentang HLGN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang
HLGN ternyata 21.63 persen sangat kurang memahami dan 40 persen sangat
memahami tentang HLGN tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
telah memahami, bagaimana fungsi dan tujuan dari hutan lindung tersebut dan
mengakibatkan timbulnya aktivitas yang sesuai dengan perilakunya dalam
berbagai aktivitas pengelolaan hutan terutama aktivitasnya mengelola dusung.
Walaupun faktor yang mempengaruhi tidak hanya pengetahuan tentang
HLGN, tetapi melalui pengetahuan dan pemahamannya tentang HLGN yang
telah dimiliki, masyarakat pengelola dusung akan dapat memberikan respon yang
sesuai bagi kondisi HLGN dalam bentuk perilakunya yang sekaligus
menggambarkan partisipasinya dalam kegiatan pengelolaan hutan tersebut sesuai
aturan yang berlaku. Hal ini nampak dengan difungsikan lagi kewang (polisi
hutan) pada masing-masing desa. Fungsi kewang dalam melaksanakan fungsi
pengawasan terhadap pengelolaan hutan antaralain : 1). Mengawasi batas-batas
negeri, 2). Memeriksa jenis-jenis tanaman yang sudah atau belum dipanen serta
39
menentukan kapan pemberlakuan sasi 3). Menindak para pelanggar sasi, 4)
menentukan area yang boleh ditebang dan tidak boleh ditebang, 5) melakukan
penghijuan pada Daerah aliran Sungai, serta 6) pengawasan galian C (batu dan
pasir) ini merupakan tugas baru dari kewang.
Sasi adalah larangan untuk mengambil (mengelola dan mamanfaatkan)
hasil sumberdaya alam tertentu, selama periode tertentu (biasanya tiga bulan,
enam bulan, bahkan lebih dari satu tahun) tergantung jenis dan perkembangan
populasinya sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi
sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Jenis sasi antaralain
sasi laut, sasi kali, sasi hutan, sasi dalam negeri/desa.
Saat ini pada masing-masing desa ditugaskan 2 – 3 orang kewang dimana
penunjukan perwakilan kewang ditentukan oleh kepala dusun dengan persetujuan
masyarakat. Pada tahun 2009, petugas kewang diangkat dan telah digaji oleh
Pemerintah kota Ambon, khususnya Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota
Ambon atas persetujuan masyarakat setempat. Masyarakat sangat menghargai
fungsi kewang ini dan sangat terbantu oleh tugasnya karena secara tidak
langsung, kewang setiap hari bertugas di hutan dan mengawasi dusung-dusung
yang ada dan segera bertindak serta melakukan kerjasama dengan pihak
kepolisian bila terjadi persoalan tindak pidana (Illegal logging dan lain-lain).
Masyarakat memahami hak individu yang dimilikinya atas pengelolaan
dusung yaitu memelihara, memungut, memanfaatkan, mentransfer atau
memindahtangankan hak ke pihak lain atas dusungnya. Hak-hak tersebut
dipegang oleh individu pengelola dan diakui oleh anggota masyarakat. Meskipun
individu mempunyai hak penguasaan secara penuh atas dusung dan hasil yang
diperolehnya, namun secara satuan kolektif masih mempunyai kewenangan-
kewenangan untuk mengatur penggunaan dan alokasi kembali lahan tersebut
dalam batas teritorial tertentu yang diakui sebagai haknya berdasarkan ketentuan
adat. Sebagai contoh untuk memanen hasil hutan dalam jumlah besar terutama
hasil kayu dan pemanfaatan kawasan di sekitar dusung dati, diwajibkan
menyampaikan pemberitahuan kepada kewang dan memperoleh ijin dari kepala
desa setempat. Masyarakatpun memahami fungsi HLGN ini, sehingga
pengetahuan lokal yang dimiliki berorientasi pada pengaturan dan pembatasan
40
pengambilan dan pemanfaatan sumberdaya baik dusung maupun hutannya.
Dalam kondisi demikian, maka pola pengelolaan dusung diharapkan membantu
mempertahankan fungsi kawasan HLGN agar tetap lestari.
Luas Penguasaan Dusung
Luas penguasaan lahan dusung oleh masyarakat adalah luas lahan hutan
yang digarapnya tanpa memandang tingkatan haknya atas hutan yang digarap.
Luas lahan dusung berkisar antara 1 – 2,5 hektar. Berdasarkan luas dusung yang
digarap, penguasaan dusung dapat dibedakan atas dua katagori yaitu (1)
pengelola dusung sempit dengan penguasaan < 1 hektar dan (2) pengelola dusung
luas dengan penguasaan 1 - 5 hektar. Para pemilik dusung didominasi oleh
pemilik dusung dengan lahan sempit (51,67 %) dan hanya 48,33 persen saja yang
mengarap dusung dengan luas antara 1 – 5 hektar.
Luas Penguasaan dusung ini telah ada secara turun temurun dan di
usahakan oleh keluarga-keluarga yang memiliki hak tersebut khususnya dusung
dati dan hal ini diakui oleh pemerintahan desa setempat, pemerintah kota Ambon
serta pemerintah provinsi. Namun untuk pemerintah pusat belum ada pengakuan
resmi tentang status dusung ini.
Status Pemilikan lahan dusung
Status pemilikan lahan dusung merupakan tingkatan hak masyarakat atas
dusung yang digarapnya. Berdasarkan pemilikan dusung yang diusahakan, status
pemilikan dusung dibedakan atas dusung adat (33,33%), dusung milik sendiri
dengan sertifikat (11,67%), dusung disewakan (0%) dan tanpa status (53,33%).
Terlihat bahwa sebagian besar lahan dusung yang digarap (53,33%) adalah
dusung yang tanpa status. Oleh pemiliknya diklaim sebagai haknya (menurut
warisan orangtunya) namun secara tertulis tidak dapat dibuktikan. Hal inilah yang
sering menimbulkan masalah di masyarakat karena sering terjadi upaya saling
mengklaim dari masing-masing keluarga terhadap dusung tersebut. Status
pemilikan inipun berimplikasi dengan pendapatan mereka karena harus membagi
hasilnya dengan keseluruhan keluarganya yang merasa juga memiliki hak atas
dusung tersebut. Status penguasaan inipun berkaitan erat dengan pola pengelolaan
dusung yang dijalani artinya tidak ada jaminan bahwa pengelola dusung tersebut
41
akan secara leluasa merencanakan pengembangan usahanya dalam jangka panjang
karena sewaktu-waktu dapat diklaim oleh keluarga yang lain.
Pendapatan dari dusung
Pendapatan pengelola dusung yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah pendapatan bersih yang diperoleh dari usaha pengelolaan dusung selama 1
(satu) bulan. Pendapatan usaha dusung masyarakat kedua desa berkisar antara Rp
1.000.000,- sampai dengan Rp 7.000.000,- per bulan. Penggolongan pemilik
dusun berdasarkan pendapatan, ternyata 34% mempunyai pendapatan yang tinggi.
Pendapatan usaha dusung yang tinggi ini berkaitan erat dengan luas lahan
yang digarap, status pemilikan dan tentunya manajemen usahanya. Saat ini
banyak kawasan dusun dimanfaatkan sebagai usaha peternakan dan tanaman
sayur-sayuran yang cukup produktif sehingga berimplikasi terhadap pendapatan
yang diperoleh walau luas lahan sempit dan tanpa status yang jelas.
Umur responden
Mendiskripsikan tingkatan umur pengelola dusun pada prinsipnya untuk
mengetahui tingkatan usia produktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebaran umur tua (47 - 72 tahun) dan umur muda (30-45) adalah 86,67% berada
pada umur tua. Hal ini menunjukan bahwa gambaran responden kebanyakan
tergolong usia tua dalam mengupayakan lahan hutan lindung sebagai mata
pencaharian mereka karena yang usia muda tidak lagi beraktivitas sebagai
pengelola dusung, mereka telah memiliki pekerjaan tetap dimana sebagian besar
sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mempekerjakan orang lain dalam pengelolaan
dusungnya. Walau dikelola oleh para orangtua namun generasi penerus tetap
menghargai keberadaan dusungnya sebagai warisan yang perlu senantiasa dijaga
kelestarianya.
Lama keterlibatan dalam organisasi
Adapun organisasi yang dimaksudkan dalam riset ini adalah organisasi
yang dibentuk oleh gereja (unit) dimana pada kedua desa masyarakat terlibat aktif
didalamnya dan memiliki peran dalam pengelolaan dusung terutama sebagai
media komunikasi dan informasi masyarakat.
Lama keterlibatan menjadi anggota organisasi di masyarakat berimplikasi
luas, terutama dari segi pengalaman pengelola dusung dalam berorganisasi secara
42
partisipasif dengan suatu asumsi bahwa praktek organisasi masyarakat
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi yang benar, artinya dalam
menyelenggarakan tatahubungan kerja dalam organisasi benar-benar
mencerminkan ciri-ciri kerjasama yang terbangun dengan baik. Berdasarkan hasil
penelitian pada kedua desa, keterlibatan masyarakat pengelola dusung berkisar 1-
6 tahun. Sebagian besar (91,67%) termasuk dalam keanggotaan lama dan 8,33 %
keanggotaan baru.
Masyarakat memiliki kesadaran tinggi pentingnya berorganisasi. Mereka
menyadari dengan berorganisasi senantiasa dapat membangun pola kerjasama
untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang dialami dan
terbangunnya komunikasi yang baik terutama dalam menunjang aktivitas
pengelolaan dusungnya.
Tingkat pendidikan
Pendidikan yang dimaksud adalah jenjang pendidikan formal yang diikuti
oleh responden. Pentingnya pendidikan formal bagi responden, agar dapat
mengukur pengetahuan dalam memahami aspek pengelolaan hutan lindung di
wilayahnya.
Dari tabel 15 menunjukkan bahwa responden 56,67 % memiliki strata
pendidikan SMU. Tingkat pendidikan ini tergolong cukup tinggi dari kedua
masyarakat desa tersebut, sehingga Pemerintah sangat terbantu dalam menjalin
kerjasama dengan masyarakat kedua desa karena pemahaman yang tinggi dan
mudah membangun komunikasi.
Nilai aset/kekayaan
Sejumlah aset yang dimiliki oleh responden dan diukur dalam satuan
rupiah berdasarkan total nilai aset tetap yang dimiliki. Aset yang dimiliki
responden berdasarkan penelitian 41,67% berkisar Rp 10.000.000,- – Rp
20.000.000,- . Nilai aset atau kekayaan ini sangat mempengaruhi strata
sosial di dalam masyarakat dan pada kedua desa ini, masyarakat yang
memiliki aset terutama luas dusung yang cukup besar sangat berpengaruh
dan dihormati oleh masyarakat lainnya.
43
Jumlah Tanggungan Keluarga
Yang dimaksudkan dengan jumlah tanggungan keluarga adalah
istri,anak dan semua orang yang tinggal serumah. Jumlah tanggungan
keluarga responden berkisar antara 1 sampai 8 orang, dengan rata-rata
jumlah tanggungan keluarga responden 3 sampai 8 orang.
Dari Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga
responden yang paling banyak berjumlah 5 sampai 8 orang yaitu sebesar
45 orang atau 75 %. Jumlah tanggungan ini mencerminkan akan jumlah
kebutuhan sandang, perumahan dan makan bagi seluruh anggota
keluarganya. Pada kedua desa, sebagian besar masyarakatnya memanfaat
hasil dusung yang berupa sayur-sayuran sebagai makanannya sehari-hari
sedangkan hasil buah-buahannya yang dipasarkan.
Identitas Asal Responden
Merupakan identitas asal daerah dari responden ini. Berdasarkan hasil
penelitian, 93.33% adalah penduduk asli dari kedua desa tersebut dimana secara
turun temurun telah menetap pada masing-masing desa. Namun demikian nampak
juga 5 % pendatang dan 1,67% pengungsi karena konflik yang juga telah
menetap.
Saat ini, pada ± 8% arael di sekitar kawasan HLGN telah dibangun
pemukiman baru masyarakat yang terkena imbas konflik dan dibangun atas
persetujuan pemilik tanah masyarakat kedua desa dan Pemerintah setempat.
Keberadaan mereka sangat mempengaruhi keberadaan kawasan karena selain
ditempati sebagai tempat tinggal, ada sebagian arealpun dimanfaatkan mereka
sebagai lahan bercocok tanam sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari dan aktivitas penambangan pasir dan batukarang yang diperjualbelikan.
Sistem bagi hasilpun diberlakukan oleh pemilik dusung dengan masyarakat
pekerja penambangan pasir dan batu yang berada di sekitar dusung miliknya. Hal
ini semakin memperparah keberadaan kawasan HLGN. Pemerintahpun hingga
saat ini, tidak bertindak untuk aktivitas penambangan ini dan terkesan
membiarkan.
44
Interaksi masyarakat asli dan pendatang ini cukup baik dan terjalin lebih
baik karena keterlibatan bersama dalam berorganisasi terutama organisasi
keagamaan.
Karakteristik Organisasi
Variabel yang dikelompokkan ke dalam kelompok variabel karakteristik
organisasi terdiri dari : (1) presepsi tentang organisasi yang meliputi komunikasi
dan informasi, pemahaman aturan organisasi, pengambilan keputusan,
penyelesaian masalah, (2) hubungan pengurus dengan anggota. Keragaan setiap
variabel tersebut tertera pada Tabel 16.
Tabel 16. Keragaman karakteristik organisasi masyarakat pengelola dusung
Uraian karakteristik Organisasi Desa Amahusu
Desa Urimesing
Total Jumlah (Orang)
Presentase (%)
Presepsi tentang organisasi a.Komunikasi & informasi
kurang baik 0 0 0 0.00 cukup baik 0 8 8 13.33 Baik 24 22 46 76.67 sangat baik 0 0 0 0.00
b.Pemahaman aturan organisasi
tidak paham 0 2 2 3.33 sedikit paham 1 7 8 13.33 cukup paham 10 11 21 35.00 sangat paham 11 10 21 35.00
c. Pengambilan keputusan
kurang baik 0 2 2 3.33 cukup baik 0 1 1 1.67 Baik 20 26 46 76.67 sangat baik 4 1 5 8.33
d.Penyelesaian masalah
kurang baik 0 0 0 0.00 cukup baik 16 9 25 41.67 Baik 2 21 23 38.33
Hubungan pengurus dengan anggota
kurang baik 0 7 7 11.67 cukup baik 11 4 15 25.00 Baik 12 14 26 43.33
Presepsi responden terhadap organisasi
Pada bagian presepsi ini dijabarkan lagi dalam 4 (empat) indikator yaitu :
45
(1) Komunikasi dan informasi dimana melalui penelitian ini tergambar bahwa 46
orang atau 76,67 % responden menyatakan bahwa jalinan komunikasi dan
informasi mereka dalam berorganisasi dikatagorikan baik. Hal inipun tercermin
pada pola komunikasi yang dibangun didalam masyarakat dimana hingga saat ini
pada desa Urimesing masih memanfaatkan fungsi Marinyo (salah satu perangkat
desa adat) yaitu pesuruh desa/negeri yang bertugas menyampaikan perintah dan
pemberitahuan dari pemerintah kepada masyarakat Urimesing dengan istilah
”bataria tita” atau tabaos (membacakan pengumuman di hadapan masyarakat).
Kata marinyo berasal dari bahasa Portugis merincho artinya pesuruh. Selain itu
pada berbagai organisasi terutama organisasi keagamaan dijadikan sarana
komunikasi dan informasi diantara masyarakat sehingga di dalam
mengorganisasikan aktivitas partisipasi masyarakat untuk partisipasi tidaklah sulit
dilakukan. Di sini tergambar bahwa adanya sistim informasi yang terbuka yang
akan menjadi kontrol masyarakat terhadap penyimpangan-penyimpangan
kebijakan maupun pengelolaan hutan di lapangan yang senantiasa dapat terjadi.
(2) Pemahaman aturan organisasi, melalui penelitian ini tergambar 35%
responden sangat dan cukup paham memahami aturan organisasi yang ia jalani.
Pemahaman ini sangat membantu masyarakat melakukan peranannya sesuai
dengan tujuan organisasi dan tentunya sangat membantu mengarahkan aktivitas
partisipasi yang dilakukan di dalam masyarakat. Saat ini, dalam penerapan salah
satu kebijakan Pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan, telah
dimulai pemberlakuan sistem insentif bagi masyarakat yang terlibat dalam
kelompok pemeliharaan tanaman reboisasi pada lokasi HLGN. Kelompok ini
telah menjalankan fungsi selama setahun dan senantiasa di evaluasi peranannya
oleh Pemerintah.
(3) Pengambilan keputusan, melalui penelitian ini tergambar 76,67% responden
memberikan penilaian ”baik” tiap proses dan keputusan yang diambil dalam
aktivitas berorganisasi selama ini. Saat ini bagi masyarakat kedua desa,
pengambilan keputusan diambil melalui pertemuan bersama yang melibatkan
semua pihak terkait. Sebagai contoh keterlibatan masyarakat dalam aktivitas
reboisasi HLGN dimana keikutsertaan masyarakat secara berkelompok dan
46
penentuan lokasi pemeliharaan tanaman reboisasi ditentukan berdasarkan
pertemuan bersama semua pihak.
(4) Penyelesaian masalah, melalui penelitian ini tergambar 41,67% responden
memberikan penilaian cukup baik terhadap upaya penyelesaian berbagai masalah
di dalam berorganisasi di masyarakat. Upaya penyelesaian masalah selama ini
diberlakukan secara bertahap dimana dimulai dengan pelaporan dan penyelesaian
yang diupayakan oleh kepala dusun atau ketua RT, apabila tidak terselesaikan di
lanjutkan ke tingkat desa/negeri dan lebih lanjut diupayakan ke tingkat
pengadilan. Untuk persoalan dusung, upaya penyelesaian diupayakan terlebih
dahulu oleh kedua pihak yang bertikai dan difasilitasi oleh kewang.
Hubungan Pengurus dan Anggota
Dari hasil penelitian ini menilai bahwa hubungan pengurus dan anggota di
dalam berorganisasi selama ini dikatagorikan baik (43,33%) dan kurang baik
(11,67%). Hal ini menggambarkan bahwa telah terjadi kesesuaian hubungan
sebagaimana yang diharapkan oleh anggota masyarakat.
Kawasan HLGN adalah sumberdaya yang dikuasai oleh kelompok
masyarakat tertentu yaitu sumberdaya yang dikuasai dan dikelola berdasarkan
tata aturan kelompok masyarakat tersebut. Hal ini nampak pada sistem
pengelolaan dusung yang berlaku dimana akses tiap individu anggota kelompok
terhadap sumberdaya yang dikuasai bersama menghasilkan pendapatan yang
cukup nyata. Seringkali tambahan manfaat ini tidak menguntungkan apabila harus
disediakan oleh individu pengelola dusung secara sendiri-sendiri (Kartodihardjo,
2006) untuk itulah diperlukan partisipasi yang dikoordinasi oleh pengurus
organisasi di masyarakat, misalnya untuk memanen hasil cengkeh dari pemilik
dusung yang memiliki luas dusung yang besar, ia membutuhkan partisipasi
masyarakat yang lain untuk membantunya. Begitupun Dinas Kehutanan kota
Ambon sangat membutuhkan peran serta masyarakat untuk memelihara tanaman-
tanaman reboisasi pada kawasan HLGN yang telah ditanam.
Partisipasi Responden
Variabel dependen penelitian ini adalah partisipasi masyarakat di
sekitar kawasan hutan lindung. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan
47
kawasan hutan dimaksudkan sebagai manifestasi perilaku masyarakat
kawasan hutan dalam bentuk peran serta mereka dalam kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, penerimaan manfaat serta evaluasi dan
monitoring terhadap kawasan HLGN. Adapun hasilnya tercantum pada
tabel 17 berikut ini :
Tabel 17. Partisipasi responden dalam pengelolaan Hutan Lindung
No
Indikator Penilaian
Desa Amahusu Desa Urimesing Total Presentase
T S R T S R T S R T S R
Perencanaan Kegiatan survey 3 12 15 4 12 14 7 24 29 11.67 40.00 48.33
2 Pemberian informasi 1 8 21 1 8 21 2 16 42 3.33 26.67 70.00
3 Pengajuan usul & Saran 3 13 14 4 10 16 7 23 30 11.67 38.33 50.00
Pelaksanaan
1 Pemberian sumbangan pikiran 1 17 12 1 11 18 2 28 30 3.33 46.67 50.00
2 Pemberian sumbangan tenaga 6 16 8 2 11 17 8 27 25 13.33 45.00 41.67
3 Pemberian sumbangan materi 0 4 26 2 2 26 2 6 52 3.33 10.00 86.67
Penerimaan Manfaat
1 Peningkatan pendapatan 10 18 2 12 13 5 22 31 7 36.67 51.67 11.67
2 Manfaat hutan 1 18 11 0 30 0 1 48 11 1.67 80.00 18.33
3
Ketergantungan terhadap hutan 0 28 2 1 27 2 1 55 4 1.67 91.67 6.67
Monitoring dan Evaluasi
1 Monitoring Hutan lindung 3 8 19 2 6 22 5 14 41 8.33 23.33 68.33
2 Mengawasi hutan lindung 2 10 18 1 3 26 3 13 44 5.00 21.67 73.33
3 Mengevaluasi hutan lindung 1 4 25 1 4 25 2 8 50 3.33 13.33 83.33
Ket : T = tinggi, S = Sedang dan R= rendah
48
Partisipasi masyarakat ini di nilai melalui 4 (empat) indikator yaitu :
1). Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan
Dalam kegiatan perencanaan pengelolaan HLGN, partisipasi
masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti keterlibatan
dalam kegiatan survei lapangan, pemberian informasi, dan mengajukan
usul/saran. Lebih jelas tertera pada tabel 17.
Dari tabel tersebut menunjukan bahwa masyarakat sekitarnya belum
dilibatkan untuk melakukan kegiatan perencanaan terhadap pelestarian hutan
lindung. Untuk kegiatan survei, hanya 7 responden atau 11,67% yang pernah
melakukan bersama dengan petugas dari Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kota Ambon. Masyarakat yang aktif memberikan informasi kepada petugas
untuk pengelolaan kawasan hanya 2 responden atau 3,33% dan yang pernah
mengajukan usul, saran atau pendapat hanya sebesar 7 responden atau
11,67%.
2). Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan
Dalam kegiatan perencanaan pengelolaan HLGN, partisipasi
masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti pemberian
sumbangan pikiran, tenaga dan materi. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17
di atas.
Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat setempat dalam
memberikan sumbangan saran masih rendah dan hanya beberapa anggota
masyarakat yang memberikan sumbangan pikiran,tenaga maupun materi
untuk pengelolaan HLGN yaitu sebesar 3,33% untuk sumbangan pikiran,
untuk sumbangan tenaga 13,33% dan sumbangan materi sebesar 3,33%.
3). Partisipasi Masyarakat dalam Penerimaan Manfaat
Dalam kegiatan penerimaan manfaat dari pengelolaan HLGN,
partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti
peningkatan pendapatan, pengertian manfaat hutan terhadap lingkungannya
dan ketergantungan terhadap hutan. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di
atas.
49
Dari tabel di atas menunjukan bahwa masyarakat berpartisipasi tinggi
tethadap pengelolaan kawasan HLGN apabila ada motivasi untuk keuntungan
mereka yaitu peningkatan pendapatannya yaitu sebesar 36,67 %. Tetapi
mereka mengabaikan manfaat hutan terhadap kelestarian lingkungan
terutama dapat mencegah erosi dan tanah longsor serta sumber air bersih.
Ketergantungan hidup terhadap hutan rendah sebesar 1,67 %, hal ini karena
mereka juga mengusahakan dusung di dalam kawasan hutan.
4). Partisipasi Masyarakat dalam Monitoring Dan Evaluasi
Dalam kegiatan monitoring dan evaluasi dari pengelolaan HLGN,
partisipasi masyarakat dapat ditunjukkan dengan beberapa aspek seperti
memonitor hutan, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan pada
hutan lindung. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 17 di atas.
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat setempat masih
rendah tingkat partisipasinya terhadap kegiatan monitoring, mengawasi dan
mengevaluasi hutan lindung yaitu sebesar 8,33%, 5% dan 3,33%.
Hubungan antara Karakteristik Responden
dengan Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Pengelolaan HLGN
Hubungan karakteristik responden dengan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan HLGN dikaji berdasarkan analisis Chi Square (X2) dan
digunakan uji Koefisien Kontigensi (C). Nilai X2 dan koefisien keeratan
hubungan dari masing-masing variabel heterogenitas dari kedua desa dapat
dilihat pada tabel 18.
50
Tabel 18 Hubungan berbagai karakteristik responden dengan partisipasi, nilai
X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Amahusu
No Hubungan partisipasi
dengan karakteristik..........
Nilai X2 Nilai C Hubungan
1 Umur 3,600 0,327 Tidak ada
2 Pendidikan 0,764 0,158 Tidak ada
3 Jumlah tanggungan keluarga 1,765 0,236 Tidak ada
4 Pengetahuan 25,378 0,677 Ada hubungan/kuat
5 Luas dusun 12,573 0,543 Ada hubungan/sedang
6 Status pemilikan 16,223 0,592 Ada hubungan/sedang
7 Pendapatan 1,536 0,221 Tidak ada
8 Nilai aset 9,143 0,483 Tidak ada
9 Lama keterlibatan dalam organisasi 17,400 0,648 Ada hubungan/kuat
10 Hubungan didalam organisasi 13,010 0,593 Ada hubungan/sedang
11 Komunikasi dan Informasi 0 0 Responden menilai baik
12
13
Pemahaman aturan organisasi Pangambilan keputusan
3,152
3,000
0,341
0,333
Tidak ada
Tidak ada
14 Penyelesaian masalah 9,611 0,535 Ada hubungan/sedang
Tabel 19. Hubungan berbagai karakteristik dengan partisipasi, nilai X2, koefisien C dan tingkat keeratan hubungannya untuk Desa Urimesing
No Hubungan partisipasi
dengan karakteristik..........
Nilai X2 Nilai C Hubungan dan tingkat hubungan
1 Umur 5,250 0,386 Tidak ada
2 Pendidikan 8,125 0,462 Tidak ada
3 Jumlah tanggungan keluarga 2,689 0,287 Tidak ada
4 Pengetahuan 15,910 0,589 Ada hubungan/sedang
5 Luas dusun 14,820 0,575 Ada hubungan/sedang
6 Status pemilikan 16,207 0,592 Ada hubungan/sedang
7 Pendapatan 8,693 0,474 Ada hubungan/sedang
8 Nilai aset 22,033 0,651 Ada hubungan/kuat
9 Lama Keterlibatan dalam organisasi 6,562 0,424 Ada hubungan/sedang
10 Hubungan didalam organisasi 19,890 0,631 Ada hubungan/kuat
11 Komunikasi dan Informasi 1,643 0,228 Tidak ada
12 Pemahaman aturan organisasi 7,710 0,452 Tidak ada
13 Pengambilan keputusan 4,038 0,344 Tidak ada
14 Penyelesaian masalah 0,067 0,047 Tidak ada
51
Hubungan Luas Dusun dengan Partisipasi Masyarakat
Khusus untuk data luas dusung ini, memiliki penjelasan tambahan melalui
tabel 20 sebagai berikut :
Tabel 20. Hubungan partisipasi dengan luas dusung pada kedua desa
Partisipasi
Luas dusung
Total 2,5-5 ha 1-2,5 ha < 1 ha
Tinggi 4 2 0 6
Sedang 14 8 10 32
Rendah 0 2 20 22
Total 18 12 30 60
Dari tabel diatas tergambar bahwa pada luas dusung 2,5-5 ha, 14
responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan 20 responden pada luas dusung
< 1 ha memiliki tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa semakin
luas penguasaan lahan maka semakin tinggi tingkat partisipasi. Pada masyarakat,
pemilik dusung dengan luas penguasaan lahan yang besar memiliki pengaruh
kekuasaan yang cukup tinggi di dalam masyarakat dan dihormati serta cenderung
berperan lebih aktif dalam suatu partisipasi. Selain itu tingkat partisipasi sedang
hingga rendah menggambarkan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan
berpartisipasi hanya pada upayanya memelihara dusung yang berada di dalam
kawasan hutan lindung dan belum dapat berpartisipasi lebih tinggi bagi
kelestarian hutan secara menyeluruh.
Hubungan Status Pemilikan dengan Partisipasi Masyarakat
Khusus untuk data status pemilikan dusung ini, memiliki penjelasan
tambahan melalui tabel 21 sebagai berikut :
52
Tabel 21. Hubungan partisipasi dengan status pemilikan dusung pada kedua desa
Partisipasi
Status pemilikan dusung
Total Dusung
adat
Dusung milik
sendiri
Tanpa
status
Tinggi 5 1 0 6
Sedang 15 6 11 32
Rendah 0 0 22 22
Total 20 7 33 60
Dari tabel diatas tergambar bahwa pada status pemilikan dusung adat, 15
responden memiliki tingkat partisipasi sedang dan pada dusung tanpa status 22
responden berada pada tingkat partisipasi rendah. Hal ini mengambarkan bahwa
status pemilikan yang dikelompokkan menjadi dusung adat, dusung milik sendiri
dengan sertifikat, dusung disewakan dan dusung tanpa status, dapat dikatakan
memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
hutan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN dapat dikatakan
ditentukan oleh status pemilikan atas lahan dusung yang diusahakannya.
Masyarakat dengan dusung yang telah disertifikasi lebih aktif dan berwenang
menjalankan peran partisipasi dibandingkan masyarakat yang memiliki dusung
tanpa status. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan dan kewenangan (hak
yang disepakati bersama untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut
keberadaan hutan dan dusungnya) lebih tinggi dimiliki oleh pemilik dusung yang
telah disertifikasi tersebut (Kepala desa Urimesing, 2009).
Hubungan umur dengan partisipasi masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa umur masyarakat pada kedua
desa tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal ini menggambarkan tidak
terdapat hubungan antara umur dan partisipasi dimana aktivitas pengelolaan suatu
kawasan hutan tidak memberikan batasan umur bagi tiap masyarakat. Tiap
masyarakat baik berumur muda dan berumur tua diberikan kesempatan untuk
berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya yang ada.
53
Hubungan Pendidikan dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat pada
desa Amahusu dan desa Urimesing tidak ada hubungan dengan partisipasi. Hal
ini menjelaskan pada kasus penelitian ini bahwa tidak benar apabila pendidikan
yang tinggi akan berimplikasi pada tingginya tingkat partisipasi tersebut. Baik
masyarakat berpendidikan tinggi ataupun rendah dapat ikut serta berpartisipasi
aktif dalam berbagai aktivitas pengelolaan kawasan hutan lindung dan faktor
motivasilah yang berperan utama bagi upaya partisipasi yang dijalankan.
Hubungan Jumlah tanggungan keluarga dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga
responden pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan aktivitas partisipasi
Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya jumlah tanggungan keluarga tidak
berhubungan dengan aktivitas partisipasi yang dilakukan. Masyarakat tanpa
melihat jumlah tanggungan keluarganya dapat selalu berpartisipasi aktif.
Hubungan Pengetahuan dengan Partisipasi Masyarakat
Pengetahuan masyarakat pengelola dusun merupakan pencerminan
kemampuan kognitif tentang berbagai aspek pengelolaan hutan, khususnya
dusun. Hasil analisis hubungan antara pengetahuan tentang hutan lindung dan
partisipasinya menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat pada kedua desa
memiliki hubungan erat dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya
(Koefisien C) sedang hingga kuat. Desa Amahusu sebesar 0,677 dan untuk desa
Urimesing sebesar 0,589. Hal ini menunjukan bahwa dalam berpartisipasi,
pengetahuan masyarakat menjadi syarat mutlak keberhasilan aktivitasnya dimana
pengetahuan sangat menunjang terhadap kegiatan-kegiatan yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat dalam aktivitasnya sebagai masyarakat di sekitar
kawasan hutan lindung. Perilaku partisipatifnya akan terlihat lebih baik apabila
masyarakat memiliki pemahaman tentang hutan lindung, fungsi dan manfaatnya.
Pengetahuan tentang hutan lindung akan mempengaruhi dan menentukan
perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN artinya apa yang harus
dilakukan oleh pengelola dusung akan sangat ditunjang oleh pengetahuannya
tentang berbagai aspek hutan lindung tersebut dan bentuk peran sertanya dalam
54
suatu partisipasi. Dengan demikian maka terbukti hipotesis ini bahwa semakin
tinggi pengetahuan semakin baik tingkat partisipasi yang dilakukan.
Selain itu, pada suatu masyarakat ketika pengetahuannya dipandang
memberi sumbangan yang bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri
mereka akan semakin kuat, hal ini tentunya akan mendorong partisipasi yang
lebih efektif, khususnya ketika penduduk desa harus berurusan dengan orang-
orang luar (Carol J.P Colfer, 1999).
Hubungan Pendapatan dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat pada
kedua desa memiliki hubungan dengan partisipasi.
Tujuan utama pengelolaan dusung adalah untuk meningkatkan
produktivitas lahan usahanya agar pendapatan meningkat. Keeratan hubungan
yang tergambar menunjukan tidak terdapat suatu kecenderungan bahwa semakin
tinggi pendapatan dusung maka semakin tinggi tingkat partisipasinya dalam
pengelolaan kawasan. Namun demikian hubungan yang tergambar tersebut
mengemukan bahwa semakin besar tingkat pendapatan semakin besar
kesempatan ataupun peluang untuk berpartisipasi. Hal ini sejalan dengan temuan
Agrawal,(2000) bahwa salah satu kriteria penting yang dijadikan patokan
keberhasilan performance institusi masyarakat untuk pengelolaan lingkungan
adalah keadilan pada distribusi biaya dan manfaat yang diperoleh. Masyarakat
mengelola dusung karena meyakini manfaat dan konsekuensi biaya yang ia
peroleh dan hal ini berimplikasi pada bentuk partisipasi yang ia lakukan.
Hubungan Nilai Aset/kekayaan dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa nilai aset masyarakat pada
kedua desa berbeda. Untuk desa Amahusu nilai aset tidak memiliki hubungan
dengan aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah
sebesar 0,483, sedangkan untuk desa Urimesing memiliki hubungan dengan
tingkat hubungan kuat sebesar 0,651. Hal ini menggambarkan bahwa nilai aset
tidak dapat dijadikan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi
masyarakat namun hubungan rendah dan kuat tersebut menjelaskan nilai aset ini
menciptakan gambaran pengaruh individu masyarakat tersebut yang dipandang
lebih berkuasa dan dihormati di masyarakat kedua desa tersebut. Pemilik dusung
55
dengan nilai aset yang besar lebih berpengaruh memainkan perannya pada
partisipasi di dalam masyarakat.
Hubungan Lama Keterlibatan dalam Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa lama keterlibatan
masyarakat dalam berorganisasi pada kedua desa memiliki hubungan dengan
aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang hingga
kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,648 dan desa Urimesing sebesar
0,424. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara
lamanya keterlibatan pemilik dusung dalam berorganisasi dengan partisipasi
yang dijalankannya. Melalui aktivitas berorganisasi masyarakat dapat mengelola
kapasitas peran yang dilakukan dan menunjukan ketertarikannya dalam
partisipasi pada pengelolaan sumberdaya hutan tersebut. Aktivitas
berorganisasipun membantu mereka menemukan dan mengembangkan institusi
yang mereka miliki yaitu rasa saling percaya, jalinan informasi dan komunikasi
serta persahabatan yang terbina. Lama keterlibatan berorganisasi yang dimiliki
menjadi salah satu faktor keberhasilan partisipasi yang mereka lakukan.
Hubungan antara Anggota dan Pengurus Organisasi dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pengurus
dan anggota pada organisasi masyarakat pada kedua desa memiliki hubungan
terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) sedang
hingga kuat dimana untuk desa Amahusu sebesar 0,593 dan desa Urimesing
sebesar 0,631. Hal ini menggambarkan bahwa semakin baik hubungan pengurus
dan anggota maka makin tinggi partisipasinya. Selain itu hubungan ini
menjelaskan kesesuaian hubungan kerja yang dilakukan dimana kedua belah
pihak harus berupaya menempatkan dirinya sesuai peranan yang harus dilakukan.
Keberhasilan kerjasama yang baik antar pengurus dan anggota akan sangat
membantu mengelola partisipasi yang dijalankan.
Hubungan Komunikasi dan Informasi dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dan informasi
masyarakat pada desa Urimesing tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas
partisipasi dengan tingkat hubungannya (Koefisien C) rendah yaitu sebesar 0,228
dan untuk desa Amahusu nilai X2 dan C tidak dapat dianalisis karena 76%
56
mengkatagorikan baik. Hal ini menggambarkan bahwa hipotesis penelitian yang
menyatakan bahwa semakin baik komunikasi dan informasi maka semakin tinggi
tingkat partisipasinya tidak terbukti. Namun tidak demikian pada situasi dan
kondisi masyarakat tertentu sebagai contoh desa Amahusu, masyarakat
memberikan penilaian bahwa aspek komunikasi dan informasi merupakan hal
penting dalam tiap interaksi mereka.
Komunikasi merupakan proses yang merekatkan semua interaksi sosial.
Semua proses sosial, struktur sosial dan jaringan sosial diwujudkan dalam proses
komunikasi. Kekuasaan dijalankan dan diekspresikan melalui proses komunikasi.
Semua komunikasi adalah proses transfer informasi. Pada proses komunikasi,
informasi dipertukarkan dalam bentuk simbol. Pada kedua desa ini, salah satu
simbol yaitu suara tifa masih dipakai sebagai media penyebaran informasi dan
pengumpulan masyarakat yang dilakukan oleh marinyo atas perintah Kepala
Dusun atau Kepala Desa. Masyarakat kedua desa melakukan banyak aktivitas
bersama yang membutuhkan informasi dan komunikasi yang baik misalnya
aktivitas Pameri hutan (kegiatan penjarangan tegakan pada lahan dusun
tertentu), olahraga bersama, serta ibadah bersama. Hal ini secara tidak langsung
mengurangi konflik dibandingkan desa lain yang kurang memiliki wadah
tersebut. Melalui jalinan komunikasi dan informasi yang baik, partisipasi dapat
dikelola dengan lebih baik bagi keberhasilan partisipasi tersebut.
Hubungan Pemahaman Aturan organisasi dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pemahaman aturan
organisasi di masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan dengan
aktivitas partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap pernyataan
hipotesis bahwa semakin paham aturan berorganisasi maka semakin tinggi
partisipasinya. Masyarakat memahami aktivitas berorganisasi adalah sebagai
wujud motivasi pribadi, keterpanggilan bagi kepentingan bersama serta motivasi
altruistik (semangat pengabdian bagi sesama) (Chitambar, 1973). Kurangnya
pemahaman terhadap performance organisasi yang ia jalani masih dapat teratasi
melalui peningkatan jalinan komunikasi dan informasi serta peran aktif melalui
partisipasi yang dikelola oleh organisasi tersebut.
57
Hubungan Pengambilan Keputusan dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di
dalam masyarakat pada kedua desa tidak memiliki hubungan terhadap aktivitas
partisipasi. Hal ini menggambarkan penolakan terhadap hipotesis yang
menyatakan bahwa semakin baik upaya pengambilan keputusan yang dilakukan
maka semakin tinggi tingkat partisipasinya.
Upaya pengambilan keputusan senantiasa membutuhkan kepemimpinan.
Partisipasipun memerlukan kepemimpinan. Kepemimpinan formal selalu
mempunyai peran dalam partisipasi, tetapi pemimpin informal seringkali lebih
penting. Hal ini nampak pada masyarakat dimana peran tokoh masyarakat yang
lebih tua masih mendominasi proses ini.
Pada kedua desa, pertemuan bersama selalu berlangsung seminggu sekali
melalui wadah organisasi keagamaan dan sebulan sekali bagi aktivitas kewang.
Pengambilan keputusan difasilitasi melalui Lembaga Pemerintah Desa yang
dimulai secara bertahap dari tingkatan dusun hingga tingkat desa. Hingga saat
ini, jabatan Kepala Desa untuk desa Amahusu di tetapkan kriteria penduduk asli
yang memiliki marga tertentu (marga Silooy dan da Costa) sedangkan untuk desa
Urimesing lebih fleksibel dimana memberikan kesempatan siapa saja asalkan
memenuhi kriteria yang mendasar sebagai Kepala Desa.
Hingga saat ini tiap kebijakan Pemerintah Kota Ambon yang
berhubungan dengan pengelolaan kawasan HLGN senantiasa membutuhkan
persetujuan bersama dari masyarakat pada kedua desa. Sebagai contoh
penempatan sebagian kawasan untuk areal pemukiman pengungsi membutuhkan
persetujuan bersama dengan pemilik lahan pada kawasan tersebut.
Hubungan Penyelesaian masalah dengan Partisipasi Masyarakat
Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian masalah pada
desa Amahusu memiliki hubungan terhadap aktivitas partisipasi dengan tingkat
hubungannya (Koefisien C) sedang sebesar 0,535 dan tidak memiliki hubungan
untuk desa Urimesing dengan tingkat hubungannya rendah sebesar 0,047. Hal ini
menggambarkan adanya penerimaan dan penolakan terhadap hipotesis tersebut
bahwa semakin baik upaya penyelesaian masalah maka semakin tinggi tingkat
partisipasinya.
58
Namun berdasarkan hubungan keeratannya, faktor ini lebih berpengaruh
pada bentuk partisipasinya, seperti yang diungkapkan oleh Etzioni (1982).
Menurutnya berdasarkan upaya pengendalian organisasi maka ada tiga macam
bentuk partisipasi yaitu (1) partisipasi dengan ciri kepatuhan (keterlibatan
terpaksa), (2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (keterlibatan dengan
pertimbangan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang disediakan oleh
organisasi), (3) Partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan
dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu organisasi). Pada
masyarakat kedua desa, bentuk partisipasi yang nampak adalah pada partisipasi
kalkulatif dan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral. Sebagai contoh : Aktivitas
penghijauan kawasan HLGN masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif
dimana mereka terlibat aktif bila diberikan insentif yang sesuai namun dalam
peran mereka sebagai pengelola dusung dimana kelestarian kawasan hutan
dijunjung tinggi, masyarakat menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan.
Gambaran bentuk partisipasi ini sangat membantu menentukan bagaimana
mengarahkan efektivitas partisipasi yang diterapkan.
Pembahasan Umum
Pada tabel 18 dan 19 terlihat bahwa karakteristik individu dan organisasi
yang mempunyai hubungan erat dan berpengaruh terhadap partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah Pengetahuan tentang
hutan lindung, luas penguasaan lahan dusung, status pemilikan dusung, lama
keterlibatan dalam organisasi serta hubungan pengurus dan anggota masyarakat
dalam organisasi. Seperti halnya institusi lokal, seperti harta karun yang
potensinya belum termanfaatkan, demikian juga pengetahuan masyarakat.
Masyarakat setempat seringkali punya pengetahuan yang luas tentang hutan itu
sendiri (terutama dusung dengan kawasan hutan disekitarnya) karena
pengalaman pribadi dan pengamatan jangka panjang dan juga pelajaran-pelajaran
nyata dari orangtua dan nenek moyang mereka. Pengetahuannya itu tidak selalu
nyata dan merata diantara kelompok masyarakat yang hidup pada hutan lindung
itu. Memahami potensi pengetahuan setempat; pemahaman mereka tentang
hutan; dari siapa diperolehnya dan mengetahui cara untuk mengaksesnya
59
merupakan tugas penting untuk mengkatalisator partisipasi. Penyatuan
pengetahuan setempat dan luar penting dilakukan. Pertukaran berbagai jenis
pengetahuan sangat produktif bagi berbagai pihak yang berkepentingan bagi
kawasan HLGN tersebut.
Dusung sebagaimana yang didefenisikan oleh Oszaer (2002) adalah areal
kebun tradisional masyarakat Maluku, dimana terdapat berbagai jenis tanaman
berkayu dan didominasi oleh jenis pohon penghasil buah-buahan, sebagian
dikombinasikan dengan tanaman-tanaman bermanfaat lainnya maupun hewan
ternak. Status pemilikannya adalah perorangan dan memiliki fungsi produksi
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Masyarakat telah mempertahankan fungsi
dusung ini dari generasi ke generasi.
Status pemilikannya perorangan dan keluarga, dimana ada yang telah
disertifikasi dan ada yang tanpa status. Tidak mudah mengatasi persoalan ini,
upaya penyelesaian yang diusahakan oleh masyarakat adalah dengan
mengeratkan hubungan kekerabatan (antar marga yang diberi hak penguasaan
dusun) sehingga dengan demikian ada institusi (hubungan kekerabatan itu) yang
mengatur hak-hak individu, hak-hak bersama dan mengatur fungsinya. Sistem
pengelolaan hutan seperti ini bukan hanya mewujudkan orientasi keuntungan
individu pengelola, melainkan juga memperhatikan kepentingan bersama dan
fungsi kawasan hutan itu sendiri. Luas penguasaan dusung dan status
pemilikannya tidak akan menjadi hambatan bagi upaya membangun partisipasi
yang ada, justru, Partisipasi akan membantu mengatur mekanisme institusi lokal
tersebut. Institusi lokal membantu mewujudkan keadilan dimana disamping
memegang hak, individu memegang tanggungjawab. Hak individu diperoleh dan
diakui oleh anggota masyarakat sehingga dipegang secara aman, karena individu
juga diberi tanggung jawab untuk kepentingan bersama (menjaga kondisi hutan
sekitarnya). Mekanisme keadilan mendorong masyarakat membantu
mengamankan dan menuntut keberadaan sumberdaya hutan lindung tersebut
tetap terjaga.
Aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat
munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan (free riding, rent seeking
dan asimetrik informasi) selalu berusaha diatasi antar pemilik dusung. Salah satu
60
cara mengatasinya adalah membangun keterlibatan tiap individu dalam
berorganisasi dan menciptakan hubungan kerja yang sesuai kepentingan bersama
sehingga upaya untuk memaksimumkan kesejahteraan individu lebih dapat
diprediksikan. Melalui berorganisasi, upaya membangun koordinasi termasuk
pertukaran informasi dan berbagai hal serta efisiensi biaya dapat diatasi. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukan oleh Agrawal dan Gibson, 1999 bahwa lebih
seringnya interaksi-interaksi dapat menurunkan biaya-biaya untuk bagaimana
membuat keputusan-keputusan yang kolektif tersebut. Untuk itulah maka
partisipasi memberikan pilihan untuk aspirasi tiap individu dan sangat
mempengaruhi kebijakan yang dibuat.
Analisis Stakeholder
Kemampuan bekerja secara kolektif menjadi aspek yang penting bagi
manusia. Masyarakat sudah melakukan partisipasi untuk mencapai tujuan
bersama. Saat ini, semakin penting artinya masyarakat setempat punya hubungan
dengan dunia luar. Hampir semua masyarakat terkait dengan dunia luar, terlepas
dari mereka menghargai keterkaitan tersebut atau tidak. Adanya sumberdaya
didunia luar yang cukup berguna bagi masyarakat setempat tentunya dapat
diproses untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya tersebut dan dapat
dikelola oleh masyarakat untuk kepentingan bersama. Salah satu proses
mengkatalisasi partisipasi adalah dengan memulai proses pembuatan mata rantai
semua stakeholder yang berkepentingan terhadap kawasan tersebut.
Upaya untuk mengidentifikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai
stakeholder akan membantu masyarakat setempat untuk mengembangkan
kepercayaan diri dan meningkatkan keahliaan bernegosiasi dengan berbagai
pihak.
Untuk itulah penelitian ini mencoba menganalisis sejumlah stakeholder
yang terkait dengan pengelolaan kawasan HLGN seperti yang diuraikan pada
tabel 22. sebagai berikut :
61
Tabel 22. Matriks identifikasi Stakeholder dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Ambon
Daftar Pihak terkait Peran yang diharapkan Dampak Hipotetik
Kekuatan Pengaruh
Prioritas Keterlibatan
Pihak Terkait utama (+) (-) (+/-) 1 sd 5 1 sd 5
1. Dinas Kehutanan dan Pertanian kota Ambon
Mengelola kawasan dgn bijak
+,- 1 1
2. Dinas Kehutanan Provinsi Maluku
Mengelola kawasan dgn bijak
+ 1 3
3. BP DAS Waihapu Batu merah
Perencanaan Kawasan bagi ketersediaan debit air yang terjamin
+,- 2 2
4. BPTH Penyediaan bibit reboisasi
+, - 2 2
5. BAPEDA Kota Ambon Perencanaan Kawasan ini dengan bijak
+ 1 1
6. Masyarakat Desa Urimesing dan Urimesing
Perlindungan kawasan ini
+, - 1 1
7. Petugas Kewang desa/dusun
Perlindungan kawasan ini
+ 2 1
8. Para penambang Batukarang & Pasir
Pemanfaatan SDA dgn lebih bijak
- 1 1
Pihak terkait Pemungkin
1. Kelompok tani binaan Dinas kehutanan
Memelihara tanaman reboisasi dgn baik
+ 3 3
2. Bank mandiri dan Bank BNI, Dinas Beacukai
Sponsor dana reboisasi dan pemberdayaan masyrakat sekitar kawasan
+ 3 3
3. UNDP/PTD (Peace Throug for Development)
Mengaktifkan kewang + 3 3
4. HMI, Universitas Kristen Maluku, Unpatti, Organisasi pemuda gereja, Yayasan Arman
Pelaksana reboisasi + 3 3
Ket : Kekuatan Pengaruh ; 1. Sangat berpengaruh, 2. berpengaruh, 3. cukup berpengaruh, 4. kurang berpengaruh, 5. tidak berpengaruh. Prioritas Keterlibatan : 1. sangat aktif, 2. aktif, 3. cukup aktif, 4. kurang aktif 5. tidak aktif
Dari tabel diatas terurai berbagai pihak dan untuk memudahkan analisis
perannya digunakan metode seperti yang diungkapkan oleh Bramasto, 2000
62
dimana peran stakeholder dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok peran yang
tergambar sebagai berikut :
a. Sponsor : Pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin
jalannya perubahan, menjamin komitmen public dan politik serta memecahkan
masalah dan yang termasuk pada peran ini adalah Dinas kehutanan Provinsi
Maluku, Dinas Kehutanan & Pertanian kota ambon, BAPEDA (Badan
Perencanaan Daerah) Kota Ambon, BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai) Waihapu Batu merah, dan BPTH (Balai Pembibitan Tanaman Hutan).
Stakeholder yang termasuk pada peran sponsor ini, diharapkan
menggunakan peran dan tanggungjawabnya terhadap pengelolaan kawasan
hutan secara bijak. Namun peran tersebut belum dilaksanakan dengan baik
dan memiliki kelemahan. Contohnya Dinas Partanian dan Kehutanan untuk
program Gerhan (Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan) sering melakukan
penetapan areal yang tumpang tindih dan terkesan tanpa perencanaan yang
baik. Pemilihan lahan yang tidak sesuai dengan tujuan reboisasi sebagai tujuan
utama yaitu untuk peresapan sumber air bagi kawasan HLGN tetapi
menggunakan jenis-jenis tanaman yang tidak sesuai dengan criteria tersebut.
Untuk BAPEDA, Perencanaan pemetaan lahan yang tidak parsipatif dan
Button Up tetapi topdown. BPTH dimana institusi ini bertugas untuk
menyediakan bibit tanaman Reboisasi, namun terkadang masih dipengaruhi
oleh kegiatan dunia usaha (pihak ketiga) sehingga bibit yang disediakan
kurang berkualitas dan hanya sekedar label sertifikat bibit unggul.
b. Change participant : setiap orang yang dipengaruhi oleh perubahan dengan
tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi dan yang termasuk dalam peran ini
adalah masyarakat Desa Amahusu dan Urimesing, Petugas Kewang tiap desa
serta Kelompok tani binaan dinas Kehutanan dan Pertanian Kota Ambon.
Perlindungan kawasan ini menjadi tekad utama masyarakat Desa
Urimesing dan Amahusu, namun karena kebutuhan sehari-hari dan lebih
mudah itu diperoleh dari kawasan hutan, maka seringkali fungsi ekologis
kawasan ini diabaikan demi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tersebut.
Upaya memfungsikan kembali salah satu struktur Pemerintahan Desa/Negeri
yaitu kewang/jagawana sangat membantu masyarakat untuk mengatasi
63
kerusakan oleh orang-orang/masyarakat yang hidup di dalam maupun di sekitar
kawasan hutan di kedua desa.
Kewang belum dapat berfungsi dengan baik karena jumlah
Kewang/Jagawana tidak sebanding dengan luas wilayah dan masih ada dusun
yang belum memiliki kewang. Upaya memberikan insentif bulanan oleh
Pemerintah diharapkan meningkatkan fungsi dan peranannya terutama
mengawasi dan mencegah kegiatan-kegiatan yang merusak hutan dengan lebih
baik dan pemberian sanksi bagi pelakunya.
Kelompok Tani Binaan Dinas Kehutanan dan Pertanian dibentuk
dengan fungsi mengelola dan memelihara bibit reboisasi bagi kawasan HLGN.
Kelompok ini sebagian besar adalah masyarakat sekitar kawasan dari kedua
desa. Mereka diberikan insentif bulanan untuk menjalankan perannya namun
belum terpikirkan oleh pemerintah bagaimana kelanjutan peran ini setelah
pembiayaannya proyek ini selesai.
c. Change agent : Individu/kel/organisasi yang mengelola implementasi program-
program perubahan dan yang termasuk dalam peran ini adalah Bank Mandiri,
Bank BNI, Dinas Beacukai, HMI, Unpatti, UKIM, Yayasan Arman,
UNDP/PTD (United Nation Development Program/Peace Thourgh
development).
Peran yang dilakukan oleh kelompok ini adalah bentuk kepeduliaan untuk
menjaga kelestarian kawasan dan pemberdayaan masyarakat setempat, dengan
cara pemberian modal usaha kecil dan penanaman berbagai tanaman reboisasi.
Namun Peran yang dijalankan belum terlaksana dengan baik : lemahnya
koordinasi, belum terjalin kerjasama yang baik dengan stakeholder lain serta
perencanaan, monitoring dan evaluasi yang terabaikan sehingga hasilnya tidak
seperti yang diharapkan dan terkesan program dengan jangka pendek.
d. Oposisi : berperan diantara 3 peran tersebut.(sumber resiko kegagalan proyek
yang harus ditangani) dan yang termasuk dalam peran ini adalah Masyarakat
eks pengungsi dan Para pekerja penambang Pasir dan Batukarang disekitar
kawasan HLGN.
Para penambang batu karang dan pasir, tidak mengetahui dampak yang
ditimbulkan dari aktifitas mereka. Sehingga kurang bijak dalam memanfaatkan
64
sumber daya alam yang tersedia dan terkesan merusak. Pemerintah perlu
menindak tegas dan memberikan pemahaman tentang fungsi dan manfaat hutan
lindung dan bagaimana dampak dari aktivitas mereka itu. Begitupun
masyarakat eks-pengungsi, Mereka ini terkesan sangat eksploitatif terhadap
kondisi sumberdaya hutan yang ada sehingga menyebabkan kerusakan
sumberdaya alam sekitarnya, Namun disisi lain, ini merupakan bentuk upaya
pemenuhan kebutuhan hidup. Pemerintah dan berbagai stakeholder yang ada
diharapkan memberi pemahaman bagi mereka fungsi hutan lindung tersebut
dan menentukan kebijakan yang tepat bagi keberadaan mereka terhadap fungsi
kawasan serta lebih aktif melibatkan mereka dalam pengelolaan kawasan.
Kelemahan utama dalam pengelolaan kawasan HLGN adalah
ketidaksempurnaan dalam penguasaan informasi dan belum terbangun
kerjasama yang baik dari tiap stakeholder yang berkepentingan terhadap
kawasan ini. Kelemahan informasi tentang kepastiaan hak dan batas-batas
hutan lindung serta isi yang terkandung didalamnya. Tanpa adanya
kesempurnaan dalam penguasaan informasi tersebut, kewenangan dapat
berjalan namun tanpa objek yang jelas sehingga penyelenggaraan kewenangan
dari tiap stakeholder tidak efektif (Kartodihardjo,1998).
Stakeholder secara keseluruhan telah kehilangan respect satu terhadap
yang lain, tidak terjadi dialog meskipun ada pertemuan. Peran sebagai sponsor
ataupun change participant tidak optimal sebagaimana yang diharapkan.
Pemerintah dan masyarakat dalam arti luas, seperti kehilangan common
interest untuk mempertahankan fungsi HLGN ini, meski semua tahu dan mulai
timbul kesadaran akan kepentingannya.
Melalui partisipasi upaya untuk mengenali kebutuhan koordinasi
diantara stakeholder dan pengaturan perilaku tiap individunya yaitu
menghindari terjadinya free riders (penunggang gratis) dapat dilakukan dan ada
upaya untuk menyepakati aturan main serta monitoring terhadap perilaku
menyimpang serta pengenaan sangsi yang telah ditetapkan dalam aturan main.
Untuk itulah maka perlu diciptakan mata rantai partisipasi berbagai stakeholder
dimana kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap stakeholder dapat
65
saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan kesejahteraan
bersama.
Untuk mendukung tujuan jangka panjang dari sistem sumberdaya
terbaharui seperti hutan, partisipasi diperlukan untuk membatasi penggunaan
sumber daya itu dan untuk melakukan berbagai wujud dari aktivitas manajemen.
Aktivitas partisipasi memerlukan visi yang jelas karena aksi ini memiliki
konsekuensi terhadap berbagai pihak yang terlibat dan dapat berubah karena
pengaruh kepemimpinan yang mengelola aksi tersebut. Partisipasi tidak selalu
mengharuskan adanya partisipasi namun akan lebih efektif bila ditunjang oleh
partisipasi tersebut karena dengan adanya partisipasi, partisipasi akan lebih terarah
dengan baik karena tersedianya koordinasi, pengaturan perilaku berbagai pihak
yang terkait serta adanya kesepakatan aturan main yang di tetapkan secara
bersama sehingga masalah distribusi biayapun dapat dibagikan dengan adil
diantara berbagai pihak. Hal ini tergambar pada pengelolaan kawasan HLGN.
Arnstein (1995) menyatakan bahwa tingkat partisipasi sangat bervariasi
mulai tahap manipulasi, terapi, menginformasikan, konsultasi, menentramkan
(placation), kemitraan, delegasi kekuasaan hingga control masyarakat. Tingkatan
tersebut dikenal dengan istilah tangga partisipasi. Tangga partisipasi ini akan
sangat membantu mempelajari sejauhmana tingkat peran partisipasi yang
dimainkan oleh masyarakat dan bagaimana membuatnya lebih baik. Untuk
tangga partisipasi yang terlihat pada bentuk peran serta masyarakat dalam
pengelolaan kawasan HLGN telah berada pada tangga menginformasikan dan
tangga kemitraan dimana masyarakat disosialisasikan dan diinformasikan tentang
fungsi dan manfaat kawasan HLGN dengan harapan mereka memahami dan
berpartisipasi menjaga kelestarian kawasan dan sebagai mitra kerja dalam
pengelolaan kawasan ini. Tingkatan Partisipasi ini belumlah optimal seperti yang
diharapkan karena upaya menginformasikan lebih dikhususkan pada pemimpin
mereka begitupun keikutsertaan sebagai mitra kerja relative hanya pada proyek
penanaman dan pemeliharaan tanaman reboisasi.
66
Kinerja pengelolaan kawasan masih terlihat beberapa kelemahan sehingga
performancenyapun terganggu dan saat ini beberapa bagian hutan telah
mengalami kerusakan. Adapun beberapa kelemahan kinerja antaralain :
1. Kelemahan aspek koordinasi, dimana belum terjalin kerjasama yang baik antar
pengelola dengan berbagai pihak lain terutama pada aspek perencanaan,
monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan.
2. Masyarakat memiliki kemudahan akses pemanfaatan kawasan (karena hak
kepemilikan dusung) sehingga penambangan batu karang dan pasir semakin
meningkat dan mengakibatkan terjadinya degradasi tanah.
3. Terjadinya degradasi karena seringnya terjadi kebakaran hutan (baik sengaja
maupun tidak sengaja) dan penebangan liar yang mengakibatkan berkurangnya
debit mata air hingga hilangnya beberapa sumber mata air.
4. Tidak termanfaatkan modal social dengan baik (kewang dan marinyo).
5. Belum terwujudnya partisipasi sebagai modal utama masyarakat membangun
tujuan bersama bagi pengelolaan kawasan.
Kawasan HLGN yang sangat dekat dengan kota Ambon secara tidak
langsung mengakibatkan kawasan ini mengalami tekanan sebagai implikasi dari
tergangunya performance tersebut. Gambaran terjadinya degradasi terhadap
sumberdaya yang ada tentunya mengakibatkan fungsi hidrologi HLGN tergangu.
Upaya mengatasinya dilakukan oleh pemerintah kota Ambon khususnya dinas
kehutanan dengan memfungsikan kembali kewang pada masing-masing dusung.
Masyarakat kedua desa memiliki homogenitas pada aspek budaya (adat
Maluku) dan minat ekonomi (system pengelolaan dusungnya), hal ini
memudahkan menjalankan partisipasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan kawasan HLGN.
Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan HLGN
maka ada beberapa variabel yang mempengaruhi aktivitas pengelolaan kawasan
HLGN dan juga mengambarkan institusi dari kedua masyarakat ini antaralain :
1. Pengaturan kebijakan formal : Pentingnya interpendensi antara berbagai
peraturan yang mengatur pengelolaan hutan lindung dan pengelolaan
lahan dusung oleh masyarakat. Pada HLGN kedua peraturan ini tidak
dapat dilepas pisahkan dan sangat dibutuhkan untuk manajemen kawasan.
67
Adapun peraturan yang mengatur tentang pengelolaan hutan
lindung tercantum jelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007
jo Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 dimana pada peraturan ini
bahwa pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk a. Meningkatkan
fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai
sejarah dan budaya bangsa; b. Mempertahankan keanekaragaman
tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keunikan alam, sehingga upaya
pengelolaan perlu diatur oleh pengelola (Dinas kehutanan Provinsi dan
kota setempat) dengan baik dan perlu bertindak tegas terhadap pihak-pihak
yang menyalahgunakan pemanfaatan kawasan ini. Melalui keputusan
Menteri Kehutanan nomor 430/KPTS-II/1996, tercantum secara jelas
pengaturan kawasan ini sebagai kawasan lindung sedangkan peraturan
tentang lahan dusung masyarakat diatur melalui register 26 Mei 1814
warisan pemerintah Belanda dan dilakukan registrasi kembali di Pulau-
pulau Lease dan pulau Ambon pada tahun 1883. Penetapan lahan dusung
ini telah berlaku secara turun temurun dan dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai sumber ekonomi keluarga. Keberadaan dusung ini sangat
menunjang keberadaan fungsi kawasan lindung karena lahan hutannya
tetap terjaga dengan baik oleh pemiliknya, hal ini terlihat pada banyaknya
tegakan yang besar. Kedua peraturan ini saling menunjang dalam
pengelolaan kawasan HLGN. Hal ini menggambarkan bahwa secara de
facto masyarakat memiliki hak dan secara de jure adalah kewenangan
pemerintah, untuk itulah maka sangat dibutuhkan partisipasi dan
kerjasama antar masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan kawasan
ini.
2. Pemahaman karakteristik sumberdaya ; pengenalan akan ciri khusus dari
sumberdaya hutan itu dan system pengelolaannya penting dipahami oleh
pengelolaan kawasan.
Kawasan HLGN ini memiliki ciri khusus sebagai kawasan dengan
tingkat kelerengan yang tinggi 50-80% dengan didominasi tegakan pinus,
pala dan cengkih serta merupakan daerah tangkapan air yang sangat
berguna untuk masyarakat kota Ambon dan tepat berada diantara kedua
68
desa yaitu desa Urimesing dan desa Amahusu dimana masyarakat
memiliki sejumlah dusung yang berada pada kawasan HLGN tersebut.
Pengelolaan kawasan ini diatur secara khusus oleh Dinas Pertanian dan
Kehutanan kota Ambon dengan berkoordinasi dengan instansi terkait.
Sedangkan pengelolaan dusung, penguasaan lahan dan hasil dusung
dikuasaai secara individu (keluarga) dengan oreintasi subsisten dimana
50% hasilnya untuk konsumsi langsung kelaurga pengelola dan
beroreintasi komersial dimana sebagian besar tegakan buahnya hasil
produknya dipasarkan. Sedangkan struktur hutan dusungnya agroforest
kompleks. Dusung telah diusahakan bertahun-tahun, melampaui beberapa
generasi. Pada tingkat produktivitas yang ada, ia menjadi penopang utama
pendapatan rumahtangga pemiliknya. Keberlanjutannya mengalami
tantangan sehubungan dengan peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan
kebutuhan hidup.
Pemahaman akan karakteristik kawasan HLGN dengan dusung-dusung
yang ada mengharuskan pengelolaan kawasan ini memiliki kerjasama dan
partisipasi aktif dari masyarakat setempat agar pengelolaannya dapat
berjalan dengan baik dan berkesinambungan.
3. Pengaturan efektivitas kelembagaan : kejelasan property rights atas lahan,
pengetahuan tentang lahan hutan, pelaksanaan (control dan persetujuan) yang
terbangun serta mekanisme penyelesaian konflik.
Untuk variabel ini mencoba menjelaskan efisiensi dilakukan dengan
pendekatan kelembagaan. Untuk hak-hak yang berkaitan dengan kepemilikan,
penguasaan, pengelolaannya terdefenisi secara baik pada komponen property
right ini. Pemerintah memiliki hak penuh terhadap pengelolaan kawasan
HLGN dimana tujuan pengelolaan dan pemanfaatannya merupakan hak dari
pemerintah namun yang menarik pada disisi lain masyarakat memiliki hak
atas kepemilikan lahan dusung yang telah ada sebelum kawasan ini ditetapkan
sebagai kawasan lindung. Kepemilikan pemerintah atas kawasan HLGN dan
kepemilikan masyarakat atas lahan dusung tidak akan menjadi masalah
apabila masing-masing pihak memahami dengan baik haknya tersebut dan
mengatur mekanisme penggunaannya. Property right ini merupakan institusi
69
karena didalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatan
atas lahan hutan ini dan merupakan alat yang mengatur hubungan antar
individu (North, 1990).
Adanya pengetahuan yang tepat tentang fungsi dan manfaat kawasan
HLGN oleh berbagai pihak yang berkepentingan atas kawasan ini haruslah
menjadi pemahaman bersama dan penentuan aturan main yang disepakati
bersama; terlebih khusus aturan main tentang interdependencies antar berbagai
pihak tersebut dengan sumberdaya hutan itu.
Pelaksanaan (control dan persetujuan) yang terbangun antar berbagai
pihak serta mekanisme penyelesaian konflik yang ada, akan membantu
menentukan kesempatan-kesempatan ekonomi individu dan hasil akhir
interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan
sumberdaya HLGN tersebut agar tidak saling merugikan melalui partisipasi.
Pentingnya penegakan sanksi-sanksi (formal-informal) yang telah disepakati.
4. Pemahaman karakteristik kelompok actor : heterogenitas, tingkat kepercayaan,
hubungan social serta partisipasi dan partisipasi yang terbangun.
Pentingnya pemahaman karakteristik berbagai kelompok/individu
yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya akan membantu mengidentifikasi
peran yang tepat bagi individu/organisasi tersebut. Pada masyarakat jelas
memiliki heterogenitas (individu dan organisasi sebagaimana diuraikan pada
riset ini) yang sangat berpengaruh terhadap bentuk partisipasinya dalam
pengelolaan kawasan HLGN.
Tingkat kepercayaan dan hubungan sosial merupakan modal sosial
dimana untuk membangun modal sosial secara efektif, pemerintah harus
berbagi peran dengan masyarakat dalam arti harus bergeser dari yang semula
sebagai pengontrol, regulator dan penyedia menjadi lebih sebagai katalisator,
penyelenggara dan fasilitator (Rustiadi, 2007). Inilah bentuk peran yang
diharapkan dalam pengelolaan kawasan HLGN.
69
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi hasil analisis data
penelitian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan HLGN, Kota
Ambon, dapat dikemukan beberapa kesimpulan penelitian sekaligus sebagai
jawaban terhadap hipotesis penelitian yang telah dirumuskan, yaitu :
(1) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
penerimaan manfaat serta evaluasi dan monitoring terhadap kawasan
HLGN masih tergolong rendah.
(2) Faktor karakteristik individu dan organisasi yang mempunyai hubungan erat
dan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan
HLGN adalah pengetahuan tentang hutan lindung, luas penguasaan lahan
dusung, status pemilikan dusung, lama keterlibatan dalam organisasi serta
hubungan pengurus dan anggota masyarakat dalam organisasi.
(3) Masyarakat menampakkan partisipasi kalkulatif dalam peran mereka sebagai
pengelola HLGN dan menampakkan partisipasi dengan ciri kepatuhan moral
dalam peran mereka sebagai penggelola dusung.
(4) Pentingnya diciptakan partisipasi dan mata rantai aksi bersama berbagai
stakeholder sehingga kelemahan dari tiap peran yang dimainkan oleh tiap
stakeholder dapat saling melengkapi dan teratasi demi kelestarian HLGN dan
kesejahteraan bersama.
(5) Untuk mencapai performance yang baik bagi pengelolaan kawasan hutan
lindung maka pentingnya mengidentifikasi beberapa variabel yang
mempengaruhi dan sekaligus merupakan institusi yang ada pada kedua
masyarakat tersebut antaralain : Pengaturan kebijakan formal, pemahaman
karakteristik sumberdaya, pengaturan efektivitas kelembagaan, pemahaman
karakteristik actor.
70
Saran
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian :
(1) Tingkatkan pengetahuan masyarakat dan stakeholder lainnya tentang hutan
lindung karena dengan pengetahuan yang baik akan memberi pengaruh dan
menentukan perilaku individu dalam pengelolaan kawasan HLGN.
(2) Pentingnya upaya meningkatkan partisipasi masyarakat yang dilakukan
melalui indentifikasi dan pengembangan berbagai insitusi lokal yang ada
dimasyarakat.
(3) Mata rantai stakeholder perlu dibangun dan ditingkatkan peranannya.
71
DAFTAR PUSTAKA
Ambika P Gautama and Ganesh P Shivakoti. 2005. Condition for Successful
Local Collective Action in Forestry : Some Evidence From the Hills of Nepal. Society and Natural Resource, Vol.18, pp 153-171
Budi Rahardjo., 2003. Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat. Makalah yang disampaikan pada PIKNAS di IPB. Bogor.
Bramasto Nugroho. 2000. Lesson Learnt study for WWF Indonesia Freshwater
Projects. Work Plan, Schedule dan Report Outline Bungin B. 2006. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Bina Agrawal. 2000. Conceptualising Environment Collective Action : Why
Gender matters. Cambridge Journal of Economics Vol.24, pp 283-310. Carol J Pierce Colfer. Aturan-aturan sederhana Katalisasi Aksi Kolektif dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam C. Yudilastiantoro. 2005. Partisipasi Masyarakat terhadap Pengelolaan Hutan
Lindung Di Das Palu (Hulu), Sulawesi Tengah. Info sosial Ekonomi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi dan Kebijakan Kehutanan.Bogor
Didik Suharjito et all. Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat. Pustaka
Kehutanan Masyarakat,2000 Departemen Kehutanan Republik Indonesia,. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
Evans Kristen, et All. 2006. Guide to Participatory Tools for Forest Communities.
CIFOR. Bogor Finlay. Agresi A dan B. Statistical Methods for the Social Science. Prentice
Hal,Inc.
Goerge Varughese and Elinor Ostrom. 2001. The Contested Role of
Heterogeneity in Collective Action: Some Evidence from Community Forestry in Nepal. World Development Vol.29, No. 5,pp 747-765.
72
Godlief A.A. 2009. Mengenal Urimessing Sebuah Negeri Adat Di Jazirah Leitimor. Assau Majalah PIKOM GPM. Ambon
Gland.Y.N. 2004. Ketimpangan Pelaksanaan Kebijakan Hutan Lindung Gunung
Nona di kota Ambon Pasca Konflik Sosial (tesis). Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
Jane Ritchie and Jane Lewis. 2002. Qualitative Research Practice, A Guide for
Social Science Student and Researchers. SAGE Publications. Kartodihardjo, H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan. Telaah lanjut
analisis kebijakan usaha kehutanan. IDEALS. Gedung Alumni IPB Lantai 2. Bogor
Kartodihardjo, H. 2006. Bahan Kuliah Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
MacKinnon, J. K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1990. Pengelolaan Kawasan
yang dilindungi di daerah tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Manulang, S., 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan
Kawasan Konservasi. Environmental Policy and Institutional Stregthening IQC.
Purnomo, H. 2005. Teori Sistem Komplek, Permodelan dan Simulasi untuk
Pengelolaan sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Poteete Amy R dan Ostrom Elinor, 2004. Heterogeneity, Group Size dan
Colective Action : The Role of Institutions in Forest Management, Ford Foundation and National Science.
Springate-Baginski, O.et al, 2003. Institutional Development of Forest User
Group in Nepal : Processes and Indicators. Jurnal of Forest and Livelihood Sugiono. 2007. Statistika untuk penelitian. Penerbit Alfabeta Bandung.
Silooy. A, 2002, Problematika Pembangunan Desa (Studi kasus : Desa Amahusu – Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon) (Paper)
Soetrisno. L., 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius. Yokyakarta
Selener. D, 1997. Participatory action Research and Social Change. Cornel University, Ithaca, New York, USA
Tenang. 1993.Partisipasi Petani dalam Kegiatan Koperasi Unit Desa (KUD) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Tesis) Institut Pertanian Bogor.