GAMBARAN DISTRIBUSI VAKSIN TINJAUAN DARI ASPEK INPUT DI WILAYAH
PUSKESMAS KOTAMADYA BANJARBARU DAN KABUPATEN BANJAR
1Dr. dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd1Nita Pujianti, S.Farm.,MPH.,Apt
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
1 [email protected] [email protected]
Abstrak
Program Imunisasi secara global sudah terbukti efektif dalam mencegah berbagai penyakit
yang dapat dicegah dengan vaksin. Pendistribusian vaksin harus dilakukan sesuai cara
distribusi yang baik untuk menjamin kualitas vaksin serta terjaminnya ketersediaan vaksin di
unit pelayanan kesehatan, kesesuaian pada aspek input (SDM, sarana-prasarana, kelengkapan
administrasi) diperlukan guna kelancaran pelaksanaan kegiatan. Tujuan penelitian ini ialah
untuk melihat gambaran distribusi vaksin yang ada di Kota Banjarbaru dan Kabupaten
Banjar. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data
penelitian diperoleh dari 5 puskesmas di Kota Banjarbaru (Gt.payung,Cempaka,Sungai
Besar,Banjarbaru utara,Sungai Ulin), 5 puskesmas di Kabupaten Banjar (Martapura,Dalam
Pagar,Kertak hanyar,gambut,Bawahan Selan). Hasil penelitian menunjukkan Semua
puskesmas sudah memiliki tenaga pelaksana teknis sebagai penanggung jawab/pengelola
program imunisasi (vaksin). Ada 6 puskesmas yang hanya memilki 1 (satu) orang tenaga
pelaksana teknis sehingga tugas menjadi rangkap, kualifikasi pendidikan SDM sudah sesuai
peraturan, hampir semua SDM sudah mengikuti pelatihan pengelolaan imunisasi (vaksin).
Masih ada puskesmas yang belum memiliki kartu stok, hampir semua puskesmas memiliki
SBBK dan VAR, serta belum adanya keseragaman kegiatan evaluasi dalam distribusi .
Belum semua puskesmas memiliki Coldroom, Lemari Es dan Freezer,sebagian besar
puskesmas menggunakan kendaraan pribadi (roda 2) untuk kegiatan distribusi vaksin dari
kotamadya/kabupaten ke puskesmas dan dari puskesmas ke posyandu/pustu.
Kata kunci : distribusi, vaksin, puskesmas
PENDAHULUAN
Program Imunisasi secara global sudah terbukti efektif dalam mencegah berbagai
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Kondisi tersebut terbukti dengan keberhasilan
program ini dalam membasmi beberapa penyakit menular seperti cacar dan penyakit polio.
Cakupan imunisasi yang tinggi telah mengakibatkan penurunan drastis pada penyakit yang dapat
dicegah dengan vaksin, terutama di banyak negara-negara berpenghasilan menengah. Penurunan
kejadian penyakit dapat dicegah dengan vaksin sering menyebabkan persepsi publik bahwa
keparahan penyakit dan kerentanan itu telah menurun. Pada saat yang sama, kekhawatiran
masyarakat tentang efek samping yang nyata atau dirasakan terkait dengan vaksin telah
meningkat (Omer SB et al,2009).
Semua vaksin merupakan produk biologis yang rentan, memiliki karakteristik tertentu
sehingga memerlukan penanganan khusus. Penyimpangan ketentuan yang ada dapat
mengakibatkan kerusakan vaksin sehingga potensi vaksin akan berkurang atau bahkan hilang.
Sekali potensi vaksin berkurang atau hilang tidak dapat diperbaiki. Kualitas vaksin tidak hanya
ditentukan dengan test laboratorium (uji potensi vaksin), namun juga sangat tergantung pada
kualitas pengelolaannya (permenkes,2013).
Pendistribusian obat merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka melakukan
pengiriman obat yang bermutu dan terjamin keabsahannya serta tepat jenis dan jumlahnya dari
gudang obat ke unit pelayanan kesehatan termasuk penyerahan obat ke pasien. Mekanisme
pendistribusian obat merupakan cara atau langkah dalam menyalurkan obat ke unit-unit bawah
Puskesmas dengan tujuan yang sama yaitu memerikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
puskesmas nantinya akan didistribusikan ke dua bagian besar yaitu yang pertama ke unit-unit
dan pustu kemudian yang kedua disalurkan ke pasien dalam pelayanan setiap harinya
(Hartini,2012).
Pendistribusian vaksin harus dilakukan sesuai cara distribusi yang baik untuk menjamin
kualitas vaksin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta bertujuan agar
terlaksananya distribusi obat publik dan perbekalan kesehatan secara merata dan teratur sehingga
dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dan terjaminnya ketersediaan obat publik dan perbekalan
kesehatan di unit pelayanan kesehatan. Khusus untuk vaksin diperlukan juga monitoring kualitas,
sehingga vaksin harus disimpan pada waktu dan tempat dengan kendali suhu tertentu
(permenkes,2005). Penyimpanan dan distribusi vaksin harus dikelola secara baik oleh SDM yang
sesuai kuantitas dan kualitasnya, dilengkapi dengan sarana-prasarana yang memadai sehingga
disamping dapat memantau kualitas vaksin juga dapat memperkecil risiko kerusakan vaksin.
Banjarbaru merupakan kotamadya dengan jumlah puskesmas tersebar masing-masing di
8 (delapan) kecamatan serta kabupaten Banjar sebanyak 23 puskesmas di masing-masing
wilayah kerja kecamatannya, tentunya menjadi keharusan bagi kotamadya Banjarbaru dan
kabupaten Banjar untuk menjamin mutu vaksin yang digunakan dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan. Sehingga penelitian ini penting dilakukan agar mendapatkan gambaran apakah
penerapan distribusi vaksin pada kedua kabupaten sudah memenuhi kriteria pendistribusian
vaksin yang baik. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat gambaran pelaksanaan distribusi
vaksin tinjauan dari aspek input yang ada di kotamadya Banjarbaru dan kabupaten Banjar, dilihat
dari sumber daya yaitu SDM, kelengkapan administrasi serta sarana-prasarana untuk kegiatan
distribusi dan penyimpanan vaksin yang dimiliki oleh tiap-tiap puskesmas.
TINJAUAN PUSTAKAA. Vaksin
Imunisasi ialah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Vaksin adalah antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati, masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya
yang telah diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid, protein,
rekombinan yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik
secara aktif terhadap penyakit infeksi tertentu (Permenkes,2013).
Adapun jenis-jenis vaksin yang dipakai dalam program imunisasi di Indonesia adalah :
BCG, Polio, campak, Hepatitis B, DPT-HB, DT dan TT.
Pada dasarnya vaksin dibuat dari (Probandari AN, 2013) :
1. Kuman yang telah dilemahkan/ dimatikan
Contoh yang dimatikan : Vaksin polio salk, vaksin batuk rejan
Contoh yang dilemahkan : vaksin BCG, vaksin polio sabin, vaksin
Campak
2. Zat racun (toksin) yang telah dilemahkan (toksoid)
Contoh : toksoid tetanus, toksoid diphteri
3. Bagian kuman tertentu/ komponen kuman yang biasanya berupa
protein khusus Contoh : vaksin hepatitis B
Penggolongan Vaksin (Radji M,2009) :a. Penggolongan berdasarkan asal antigen (Immunization Essential)
1) Vaksin hidup attenuated (bakteri atau virus hidup yang dilemahkan)
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar penyebab penyakit. Virus atau
bakteri liar ini dilemahkan di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-
ulang. Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan mudah mengalami kerusakan bila kena
panas dan sinar, oleh karenanya vaksin golongan ini harus dilakukan pengelolaan dan
penyimpanan dengan baik dan hati-hati (10,12,14).
Vaksin hidup attenuated yang tersedia :
a) Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan, rubella, polio, rotavirus,
demam kuning.
b) Berasal dari bakteri : vaksin BCG dan demam tifoid oral.
2) Vaksin Inactivated (bakteri, virus atau komponennya, dibuat tidak aktif)
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam
media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan bahan kimia
(biasanya formalin).
Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari:
a) Seluruh sel virus yang inactivated: influenza, polio, rabies, hepatitis A.
b) Seluruh bakteri yang inactivated: pertusis, tifoid, kolera.
c) Toksoid, contoh difteria, tetanus.
d) Polisakarida murni, contoh pneomukokus, meningokokus.
e) Gabungan polisakarida.
3) Rekombinan (rekayasa genetika)
Vaksin generasi yang ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan
vaksin sub unit yang mengandung fragmen antigenik dari suatu mikroorganisme yang
dapat merangsang respon imun, dalam penggunaannya masih memiliki beberapa
kelemahan. Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik.
Contoh vaksin dari rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia: vaksin Hepatitis B dan
vaksin tifoid.
b. Penggolongan berdasarkan sensitivitas terhadap suhu
1) Vaksin yang peka terhadap suhu dingin dibawah 0 C yaitu vaksin FS (Freeze
Sensitive = Sensitif Beku). Vaksin yang tergolong FS adalah: Hepatitis B (dalam
kemasan vial atau kemasan PID = Prefill Injection Device), DPT,DPT-HB,DT,TT.
2) Vaksin yang peka terhadap suhu panas berlebih (> 34 C), yaitu vaksin HS (Heat
Sensitive = Sensitif Panas), seperti: BCG, Polio, Campak.
B. Pengelolaan Vaksin
Pengelolaan vaksin meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan
evaluasi.Vaksin hendaknya dikelola secara optimal untuk menjamin tercapainya tepat
jumlah dan jenis obat, penyimpanan, waktu pendistribusian dan penggunaan obat serta
terjamin mutunya di unit pelayanan kesehatan. Dalam pelaksanaan program imunisasi,
pengadaan vaksin yang dikelola ditingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota perlu
dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran pelaksanaan program
imunisasi. Pengelolaan vaksin sama halnya dengan pengelolaan rantai vaksin yaitu suatu
prosedur yang digunakan untuk menjaga vaksin pada suhu tertentuyang telah ditetapkan
agar vaksin memiliki potensi yang baik mulai dari pembuatan sampai pada saat
pemberiannya kepada sasaran (Kristini,2008).
Pengelolaan rantai vaksin sebagai suatu sistem pengawasan, mempunyai komponen
yang terdiri dari input, proses, output, efek, out come dan mekanisme umpan baliknya
(Kristini,2008), penjabarannya dapat dilihat dibawah ini :
a) Input
Input dalam pengelolaan vaksin terdiri dari man, money, material, method, disingkat
dengan 4 M. Man atau sumber daya manusia di tingkat puskesmas minimal mempunyai
tenaga yang bertugas sebagai petugas imunisasi dan pengelola cold chain dengan standar
kualifikasi tenaga minimal SMA atau SMK yang telah mengikuti pelatihan cold chain.
Rumah Sakit dan Rumah Bersalin serta pelayanan imunisasipada praktek swasta
lainnya,pada prinsipnya hampir sama dengan di Puskesmas. Pelayanan imunisasi
dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih. Oleh karena itu, untuk meningkatkan
pengetahuan dan atau ketrampilan petugas pengelola vaksin perlu dilakukan pelatihan.
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu.
Money dalam pengelolaan vaksin adalah tersedianya dana operasional untuk
pemeliharaan peralatan rantai vaksin secara rutin serta kondisi darurat bila terjadi
kerusakan peralatan. Material adalah dalam pengelolaan vaksin adalah peralatan rantai
vaksin yang meliputi lemari es, vaccine carrier, termometer, kartu suhu, form laporan dan
sebagainya. Method antara lain prosedur penerimaan dan penyimpanan vaksin.
b) Proses
Proses dalam pengelolaan vaksin adalah semua kegiatan pengelolaan vaksin mulai dari
permintaan vaksin, penerimaan/.pengambilan penyimpanan sampai dengan pemakaian
vaksin.
1) Permintaan vaksin
Permintaan kebutuhan vaksin didasarkan pada jumlah sasaran yang akan diimunisasi
dengan mempertimbangkan kapasitas tempat penyimpanan vaksin. Permintaan vaksin
di semua tingkatan dilakukan pada saat stock vaksin telah mencapai stock minimum
oleh karena itu setiap permintaan vaksin harus mencantumkan sisa stock yang ada (14).
2) Penerimaan/pengambilan Vaksin
Pengambilan vaksin harus menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah
ditentukan, Misalnya cold box atau vaccine carrier atau termos. Sebelum memasukan
vaksin ke dalam alat pembawa, petugas harus memeriksa indikator vaksin (VVM)
kecuali vaksin BCG. Vaksin yang boleh digunakan hanya hanya bila indikator VVM A
atau B, sedangkan bila VVM pada tingkat C atau D, vaksin tidak diterima karena tidak
dapat digunakan lagi. Selanjutnya ke dalam vaccine carrier dimasukan kotak cair dingin
(cool pack) dan di bagian tengah diletakan termometer. Vaccine carrier yang telah
berisi vaksin, selama perjalanan tidak boleh terkena matahari langsung (14).
3) Penyimpanan Vaksin
Agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran
maka vaksin harus disimpan pada suhu tertentu dengan lama penyimpanan yang telah
ditentukan di masing-masing tingkatan administrasi. Cara penyimpanan untuk vaksin
sangat penting karena menyangkut potensi dan daya antigennya. Dibawah ini
merupakan gambaran tentang lama penyimpanan vaksin disetiap tingkatan (15):
Tabel 1. Lama penyimpanan vaksin di setiap tingkatan
Susunan vaksin dalam lemari es harus diperhatikan karena suhu dingin dari lemari
es/freezer diterima vaksin secara konduksi
Vaksin yang berasal dari virus hidup (polio, campak) pada pedoman sebelumnya
harus disimpan pada suhu di bawah 0 C. Dalam perkembangan selanjutnya, hanya
vaksin polio yang masih memerlukan suhu di bawah 0 C di provinsi dan
kabupaten/kota, sedangkan vaksin campak dapat disimpan di refrigerator pada suhu 2-8
C. Adapun vaksin lainnya harus disimpan pada suhu 2-8 C
4) Pemakaian
Prinsip yang dipakai dalam mengambil vaksin untuk pelayanan imunisasi, adalah,
"Earliest Expired First Out/EEFO" (dikeluarkan berdasarkan tanggal kadaluarsa yang
lebih dulu). Namun dengan adanya VVM (Vaccine Vial Monitor) ketentuan EEFO
tersebut menjadi pertimbangan kedua. VVM sangat membantu petugas dalam
manajemen vaksin secara cepat dengan melihat perubahan warna pada indikator yang
ada. Kebijaksanaan program imunisasi adalah tetap membuka vial/ampul baru meskipun
sasaran sedikit untuk tidak mengecewakan masyarakat. Kalau pada awalnya indeks
pemakaian vaksin menjadi sangat kecil dibandingkan dengan jumlah dosis per
vial/ampul, dengan semakin mantapnya manajemen program di unit pelayanan, tingkat
efisiensi dari pemakaian vaksin ini harus semakin tinggi (kepmenkes,2004).
5) Pencatatan dan Pelaporan
Stock vaksin harus dilaporkan setiap bulan, hal ini untuk menjamin tersedianya
vaksin yang cukup dan memadai. Keluar masuknya vaksin terperinci menurut jumlah,
nomor batch, kondisi VVM, dan tanggal kedaluwarsa harus dicatat dalam kartu stok.
Sisa atau stok vaksin harus selalu dihitung pada setiap kali penerimaan dan pengeluaran
vaksin. Masing-masing jenis vaksin mempunyai kartu stok tersendiri, Selain itu kondisi
VVM sewaktu menerima vaksin juga perlu dicatat di Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) (kepmenkes,2005).
c) Output
Yang menjadi output dalam sistem pengelolaan rantai vaksin adalah kualitas vaksin.
Kualitas vaksin hanya dapat dipertahankan jika vaksin disimpan dan ditangani dengan
tepat mulai dari pembuatan hingga penggunaan.Monitoring kualitas vaksin dapat dilakukan
secara cepat dengan melihat indikator VVM dan freeze tag atau freeze watch. VVM adalah
indikator paparan panas yang melekat pada setiap vial vaksin yang digunakan untuk
memantau vaksin selamaperjalanan maupun dalam penyimpanan. Semua vaksin program
imunisasi kecuali BCG telah dilengkapi dengan VVM. VVM tidak mengukur potensi
vaksin secara langsung, tetapi memberikan informasi tentang layak tidaknya pemakaian
vaksin yang telah terkena paparan panas. VVM mempunyai karakteristik yang berbeda,
spesifik untuk tiap jenis vaksin. VVM untuk vaksin polio tidak dapat digunakan untuk
vaksin Hb, begitu juga sebaliknya (permenkes,2013).
Gambar 1. Cara membaca VVM (Vaccine Vial Monitor)
Freeze tag dan freeze watch adalah alat pemantau paparan suhu dingin dibawah 0 C.
Freeze tag dan freeze watch digunakan untuk memantau kinerja leamari es terhadap
penyimpanan vaksin yang sensitif beku. Bila menemukan vaksin yang dicurigai beku maka
perlu dilakukan uji kocok (shake test) dengan prosedur yang baru. Perbedaan uji kocok
pada prosedur yang lama adalah adanya vaksin pembanding yang berupa vaksin yang
sengaja dirusak atau dibekukan. Prosedur uji kocok vaksin adalah sebagai berikut:
1) Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku, utamakan
yang dekat dengan evaporator dan bagian lemaries yang paling dingin. Beri label
“Tersangka Beku”. Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan batchyang sama yang
sengaja dibekukan hingga beku padat seluruhnya dan beri label “Dibekukan”.
2) Biarkan contoh “Dibekukan” dan vaksin “Tersangka Beku” sampai mencair
seluruhnya
3) Kocok contoh “Dibekukan” dan vaksin “Tersangka beku” secara bersamaan.
4) Amati contoh “Dibekukan” dan vaksin “Tersangka beku” bersebelahan untuk
membandingkan Waktu Pengendapan (umumnya 5 – 30 menit). uji kocok dilakukan
untuk tiap vaksin yang berbeda batch dan jenis vaksinnya dengan kontrol “Dibekukan”
yang sesuai.
Gambar 2. Cara uji kocok vaksin
Komponen input, proses dan output dalam pengelolaan vaksin di unit pelayanan
kesehatan berhubungan dengan faktor lingkungan antara lain supervisi, komitmen
pimpinan dan komitmen petugas.
C. Distribusi Vaksin
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat
yang Baik, menyebutkan bahwa Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) adalah cara
distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang
jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya. Pendistribusian
obat dan/atau bahan obat harus ditujukan kepada pelanggan yang mempunyai izin. Obat
berasal dari Pedagang Besar Farmasi yang memiliki izin atau berasal dari Instalasi Sediaan
Farmasi yang selanjutnya di distribusikan ke pusat pelayanan kesehatan. Cara Distribusi
Obat yang Baik merupakan pedoman bagi semua pihak yang terlibat dalam distribusi obat
tentang cara distribusi obat yang meliputi aspek personalia, bangunan, penyimpanan obat,
pengadaan dan penyaluran obat, dokumentasi, penarikan kembali dan penerimaan
(BPOM,2012).
Distribusi dari Kabupaten /Kota ke Puskesmas dilakukan atas dasar permintaan resmi
dari puskesmas. Setiap distribusi vaksin harus mempertimbangkan stok maksimum
kebutuhan dan daya tampung penyimpanan vaksin. Distribusi bisa dilakukan dengan cara
dikirmkan oleh Kabupaten / Kota atau diambil oleh Puskesmas (permenkes,2005).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian vaksin :
1. Pendistribusian vaksin harus memperhatikan kondisi VVM, tanggal kadaluarsa (FEFO)
dan urutan masuk vaksin (FIFO).
2. Setiap distribusi vaksin menggunakan cold box yang berisi kotak dingin cair (cool pack)
untuk vaksin TT, DT, Hepatitis B PID dan DTP/HB, serta kotak beku (cold pack) untuk
vaksin BCG, Campak dan Polio.
3. Apabila pendistribusian vaksin dalam jumlah kecil, dimana vaksin sensitif beku
dicampur dengan sensitif panas maka digunakan cold box yang berisi kotak dingin cair
(cool pack).
4. Pengepakan vaksin sensitive beku harus dilengkapi dengan indikator pembekuan.
Gambar dibawah ini merupakan alur distribusi vaksin dari tempat produksi sampai
tingkat puskesmas (permenkes,2013).
Gambar 3. Distribusi vaksin
Istilah cold chain (rantai dingin) sering ditemui dalam kegiatan distribusi vaksin.
Sebelum dikirim melalui transportasi darat atau udara, vaksin disimpan ke dalam cold box.
Proses itu melalui jalan yang panjang sebab kualitas vaksin harus tetap terjaga mulai dari
tempat produksi sampai ke unit kesehatan terkecil (Puskesmas) di pelosok tanah air. Di
tingkat provinsi dan kabupaten, cold box itu berupa freezer atau lemari es. Sedangkan pada
tingkat Puskesmas atau unit kesehatan di pelosok sudah menggunakan termos antipanas.
Penerapan prosedur tersebut untuk memperkecil risiko kerusakan pada vaksin.
Permasalahan yang kerap dihadapi petugas kesehatan adalah ketika distribusi vaksin sampai
ke posyandu di daerah terpencil. Kondisi yang tidak kondusif sering merusak kualitas
vaksin. Pemantauan suhu vaksin sangat penting dalan menetapkan secara cepat apakah
vaksin masih layak digunakan atau tidak. Untuk membatu proses dalam memantau suhu
penyimpanan dan Monitor (VVM), Freeze watch atau Freeze tag serta Time Temperatur
Monitor (TTM) (Maksuk,2011).
D. Penerimaan Vaksin
Penerimaan vaksin di Kabupaten / Kota dan Puskesmas, harus memperhatikan hal-hal
berikut ini (permenkes, 2005) :
1. Jumlah dan jenis yang diterima harus sesuai dengan yang tercantum dalam SBBK dan
dinyatakan dalam satuan ampul, vial atau dosis.
2. VVM saat diterima pada kondisi A atau B.
3. Apabila menggunakan indikator pembekuan, kondisinya masih menunjukkan tanda
rumpit (√).
4. Khusus vaksin BCG, indikator paparan panas menunjukkan jendela C dan D masih
putih.
5. Penerimaan vaksin di kabupaten/kota dilakukan oleh pengelola obat dan pengelola
program imunisasi, diketahui kepala dinas kesehatan kabupaten / kota atau pejabat yang
ditunjuk.
6. Penerimaan vaksin di Puskesmas dilakukan oleh pengelola obat dan Korim (Koordinator
Imunisasi), diketahui Kepala Puskesmas.
METODOLOGI
Rancangan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah proses yang bergantung pada pengamatan langsung oleh peneliti.
Pendekatan kualitatif ini berbentuk sudi kasus, yaitu studi yang mengeksplorasi masalah dengan
batasan terperinci melalui pengambilan data mendalam yang menyertakan berbagai sumber
informasi. Dalam penelitian ini dipilih 10 (sepuluh) orang sumber informasi, yaitu 5 (lima) orang
petugas penanggung jawab/pengelola imunisasi (vaskin) dari puskesmas yang berada di wilayah
kerja kotamadya Banjarbaru dan 5 (lima) orang petugas pengelola vaksin dari puskesmas yang
berada di wilayah kerja kabupaten Banjar. Pemilihan informan berdasarkan pertimbangan bahwa
jumlah tersebut dianggap telah memadai dan mewakili keseluruhan subjek penelitian. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi dokumen dan pedoman
wawancara mendalam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di 10 (sepuluh) puskesmas yang ada
dalam wilayah kerja kota banjarbaru dan kabupaten banjar. Masing-masing kabupaten diwakili
oleh 5 puskesmas (PKM) yaitu di PKM.Gt.Payung, PKM.Cempaka, PKM.Sungai Besar,
PKM.Banjarbaru Utara, PKM.Sungai ulin yang mewakili Kotamadya Banjarbaru dan
PKM.Martapura, PKM.Dalam Pagar, PKM.Kertak Hanyar, PKM.Gambut, PKM.Bawahan Selan
yang mewakili Kabupaten Banjar. Pihak informan dalam penelitian ini diwakili oleh 1 (satu)
orang di tiap puskesmas. Semua informan merupakan penanggung jawab/pengelola imunisasi
(vaksin), beberapa diantaranya informan juga didampingi oleh kepala puskesmas.
Kegiatan distribusi vaksin merupakan bagian rangkaian proses yang ada didalam sistem
pengelolaan obat, pada tahap distribusi kelengkapan sarana-prasarana untuk penyimpanan serta
pendistribusian vaksin merupakan faktor penting yang wajib diperhatikan. Selain itu adanya
pengelola yang bertanggung jawab terhadap kegiatan distribusi vaksin juga sangat diperlukan,
karena dalam distribusi vaksin juga memerlukan pengelolaan administrasi dengan baik dan
benar. Distribusi vaksin dilihat dari tinjauan aspek Input terdiri dari man, money, material,
method, disingkat dengan 4 M. Man atau sumber daya manusia di tingkat puskesmas minimal
mempunyai tenaga yang bertugas sebagai petugas imunisasi dan pengelola cold chain dengan
standar kualifikasi tenaga minimal SMA atau SMK yang telah mengikuti pelatihan cold chain.
Money dalam pengelolaan vaksin adalah tersedianya dana operasional untuk pemeliharaan
peralatan rantai vaksin secara rutin serta kondisi darurat bila terjadi kerusakan peralatan.
Material adalah dalam pengelolaan vaksin adalah peralatan rantai vaksin yang meliputi lemari es,
vaccine carrier, termometer, kartu suhu, form laporan dan sebagainya. Method antara lain
prosedur penerimaan dan penyimpanan vaksin.
Adapun data hasil penelitiannya ialah sebagai berikut :
A. Data mengenai pengelola program imunisasi (vaksin) di tiap puskesmas
Tabel 2. Jumlah SDM pengelola imunisasi (vaksin)
SDM Jumlah
SDM
Pendidikan SDM Kegiatan Pelatihan
Pengelolaan Vaksin
PKM Gt. Payung 3 org SKM : D3 Perawat Ada (tidak semua ikut)
PKM Cempaka 2 org D3 Kebidanan Ada (tidak semua ikut)
PKM Sungai
Besar
1 org D3 Kebidanan Ada
PKM
Banjarbaru
Utara
2 org D4 Kebidanan ; D3
Kebidanan
Ada (tidak semua ikut)
PKM Sungai
Ulin
1 org D3 Kebidanan Ada
SDM Jumlah
SDM
Pendidikan SDM Kegiatan Pelatihan
Pengelolaan Vaksin
PKM Martapura 1 org D3 Perawat Ada
PKM Dalam
Pagar
1 org D3 Perawat Ada
PKM Kertak
Hanyar
3 org D3 Kebidanan ;
Asisten Apoteker
Ada (tidak semua ikut)
PKM Gambut 1 org D3 Kebidanan Ada
PKM Bawahan
Selan
1 org D3 Perawat Ada
Tabel 5 menunjukkan bahwa disetiap puskesmas sudah memiliki SDM yang ditunjuk
langsung sebagai tenaga pelaksana teknis dengan jabatan penanggung jawab/pengelola program
imunisasi (vaksin). Menurut permenkes no.1611/2005 tentang pedoman penyelenggaraan
imunisasi, tenaga pelaksana program imunisasi (vaksin) ialah petugas imunisasi, pelaksana cold
chain dan pengelola program imunisasi. Pengelola program imunisasi (vaksin) ialah petugas
imunisasi, pelaksana cold chain atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan untuk pengelola
program imunisasi (permenkes,2005). Dalam hal ini sebaiknya petugas imunisasi, pelaksana cold
chain bukan orang yang sama karena memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, sehingga
hasil penelitian mendapatkan data masih ada 6 (enam) puskesmas yang hanya memiliki 1 (satu)
petugas pelaksana teknis untuk program imunisasi, yang tentu saja dalam melaksanakan
pekerjaannya memilki tanggung jawab yang besar dan beban kerja yang lebih banyak
dibandingkan puskesmas yang sudah memiliki tenaga teknis lebih dari 1 (satu) orang. Kualifikasi
pendidikan petugas pelaksana teknis program imunisasi sudah sesuai, yaitu harus berpendidikan
bidan, perawat atau telah mengikuti pelatihan tentang pengelolaan imunisasi (vaksin). Untuk
kegiatan pelatihan hampir semua petugas pelaksana telah mengikuti, hanya saja kegiatan
pelatihan ini tidak rutin diadakan, padahal bisa saja setiap waktu ada pergantian SDM di bidang
tersebut yang memerlukan kegiatan pelatihan serta perlu adanya refreshing untuk kegiatan ini
untuk menambah pengetahuan, wawasan serta mendapatkan informasi kesehatan yang baru,
karena ilmu di dunia kesehatan sangat cepat berkembang. Selain itu kegiatan refreshing juga
dapat menambah produktivitas seseorang dalam bekerja, karena Produktivitas adalah
kemampuan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia
dengan menghasilkan output yang optimal serta pelayanan imunisasi wajib dilaksanakan oleh
tenaga profesional/terlatih. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan dan atau
ketrampilan petugas pengelola vaksin perlu dilakukan pelatihan. Karena pengetahuan merupakan
hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu
(Kemala,2008).
Dilihat dari masing-masing wilayah kabupaten, di kotamadya banjarbaru ada beberapa
puskesmas yang memiliki tenaga pelaksana teknis lebih dari 1 (satu) orang untuk program
imunisasi (vaksin), sedangkan di kabupaten banjar hanya ada 1 (satu) puskesmas yang memiliki
lebih dari 1 (satu) tenaga pelaksana teknis. Kedepannya tentu diharapkan didalam tenaga
pelaksana teknis ada yang bertanggung jawab sebagai petugas imunisasi, petugas cold chain
serta pengelola program imunisasi yang bisa merangkap sebagai petugas imunisasi ataupun
petugas cold chain. Sehingga pelaksanaan kegiatan program imunisasi dapat berjalan dengan
lebih baik.
B. Data mengenai administrasi distribusi vaksin
Tabel 3. Administrasi dalam Distribusi Vaksin
Kelengkapan Administrasi
Kartu stok Surat Bukti Barang Keluar
(SBBK) dan Vaccine Arrival Report (VAR)
Kegiatan evaluasi (system informasi
manual)
PKM Gt. Payung Ada Ada Administrasi dan monitoring fisik vaksin
PKM Cempaka - Ada Administrasi pengeluaran dan penerimaan barang
PKM Sungai Besar
Ada Ada Evaluasi data primer (survey cakupan) dan data sekunder (administrasi)
PKM Banjarbaru Utara
- Ada Monitoring suhu
PKM Sungai Ulin - Ada Administrasi pengeluaran dan penerimaan barang
PKM Martapura - Ada Administrasi pengeluaran dan penerimaan barang
PKM Dalam Pagar
Ada Ada Monitoring suhu
PKM Kertak Hanyar
Ada - Administrasi dan monitoring fisik vaksin
PKM Gambut Ada Ada Administrasi dan monitoring fisik vaksin
PKM Bawahan Selan
Ada Ada Administrasi pengeluaran dan penerimaan barang
Kegiatan administrasi tentu saja tidak lepas dalam proses distribusi vaksin. Karena
kegiatan administrasi secara teknis didefinisikan sebagai kegiatan pencatatan dan pelaporan
dalam manajemen program imunisasi memegang peranan penting. Selain menunjang
pelayanan imunisasi juga menjadi dasar untuk membuat perencanaan maupun evaluasi. Di
tingkat puskesmas kegiatan pencatatan dan pelaporan ini meliputi : hasil cakupan imunisasi,
pencatatan vaksin, pencatatan suhu lemari es dan pencatatan logistik imunisasi. Kegiatan
administrasi ini memerlukan perangkat seperti kartu stok, Surat Bukti Barang Keluar (SBBK)
dan Vaccine Arrival Report (VAR).
Pada hasil penelitian ini, masih ada beberapa puskesmas yang tidak memilki kartu stok,
terutama pada puskesmas-puskesmas yang ada di kotamadya banjarbaru (3 puskesmas).
Padahal kartu stok wajib dimiliki oleh setiap jenis vaksin, karena didalam kartu stok memuat
banyak informasi tentang vaksin tersebut diantaranya : nama vaksin, no.batch, no.lot,
kadaluarsa, kemasan, distribusi jumlah keluar masuk vaksin disertai tanggal serta sarana cold
chain yang diperlukan untuk vaksin tersebut pada proses penyimpanan dan distribusinya.
Arsip kartu stok manual berfungsi untuk mempermudah ditemukan dan dapat ditelusuri pada
saat diperlukan (BPOM, 2012). Karena kepemilikan kartu stok ini ada untuk tiap jenis
vaksin, tidak digabungkan. Tidak adanya kartu stok ini diminimalisir pihak petugas
pengelola imunisasi (vaksin) dengan melakukan pencatatan pada sebuah buku sebagai
pengganti kartu stok.
Sedangkan didalam SBBK memuat rangkuman semua vaksin yang ada di puskesmas
tersebut terkait dengan jenis vaksin serta jumlah keluar-masuknya vaksin di dalam suatu
periode waktu tertentu. VAR juga penting untuk diperhatikan karena ini merupakan
dokumentasi yang berisi tentang pencatatan suhu selama proses penyimpanan vaksin.
Kesesuaian suhu penyimpanan vaksin tentu saja sangat mempengaruhi dari kualitas vaksin.
Beberapa dokumentasi diatas sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan vaksin sampai
penerimaan vaksin kepada pasien terjamin mutu nya.
Secara umum kegiatan pendistribusian vaksin dari kabupaten/kota ke puskesmas ini
sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi yaitu (permenkes,2013):
1) Dilakukan dengan cara diantar oleh kabupaten/kota atau diambil oleh puskesmas.
2) Dilakukan atas dasar permintaan resmi dari puskesmas dengan mempertimbangkan stok
maksimum dan daya tampung penyimpanan vaksin.
3) Menggunakan cold box atau vaksin carrier yang disertai dengan cool pack.
4) Disertai dengan dokumen pengiriman berupa Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan
Vaccine Arrival Report (VAR)
5) Pada setiap cold box atau vaksin carrier disertai dengan indikator pembekuan.
Distribusi vaksin pada semua puskesmas yang menjadi tempat penelitian dilakukan
dengan sistem jemput bola, artinya petugas puskesmas datang ke dinas kesehatan
kabupaten. Hal ini, untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam mengambil vaksin.
Sehingga, sampai saat ini tidak pernah terjadi penerimaan vaksin yang rusak, karena
sebelum vaksin tersebut diambil pihak puskesmas sudah melakukan pengecekkan
(permenkes, 2005). Jika menemukan vaksin dalam kondisi kadaluarsa, maka dilaporkan
ke petugas imunisasi di dinas kesehatan dan segera digantikan dengan vaksin yang baru
dan tidak rusak atau kadaluarsa.
Pada umumnya sistem pengambilan vaksin dilakukan oleh petugas puskesmas yang
mengambil vaksin ke Kab/Kota. Ada beberapa keuntungan dan kelemahan untuk cara
seperti ini yaitu (Susyanty,2014) :
a. Vaksin diambil sendiri
1) Keuntungan sistem vaksin diambil sendiri:
a) Petugas dapat memanfaatkan kesempatan untuk keperluan lainnya.
b) Petugas yang mengambil vaksin adalah petugas yang bertanggungjawab langsung
terhadap vaksin.
c) Jumlah permintaan sesuai dengan kebutuhan.
d) Dapat menggunakan kendaraan yang tepat.
e) Memungkinkan petugas dapat langsung berkonsultasi tentang masalah Program
Imunisasi yang dihadapi di daerahnya.
f) Petugas dapat menentukan waktu yang tepat untuk pengambilan vaksin.
2) Kelemahan
a) Ongkos biayanya menjadi mahal.
b) Apabila tidak ada jadwal kemungkinan petugas gudang vaksin tidak ada di
tempat.
c) Stok salah vaksin kemungkinan tidak dapat terpenuhi.
d) Apabila pengambilan vaksin dilakukan bersamaan dengan daerah lain maka
kebutuhan akan Cool pack/cold pack/kotak vaksin akan menjadi banyak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, kegiatan evaluasi dalam
program imunisasi pada kegiatan distribusi vaksin yang dilakukan di puskesmas-
puskesmas yang menjadi tempat dilakukannya penelitian ini belum seragam. Secara
persentase didapatkan, ada 4 puskesmas (40%) yang melakukan evaluasi berupa kegiatan
administrasi pengeluaran dan penerimaan barang, 3 puskesmas (30%) kegiatan evaluasi
berupa proses administrasi dan monitoring fisik vaksin, 2 puskesmas (20%) melakukan
kegiatan evaluasi berupa monitoring suhu cold chain, dan 1 puskesmas (10%) yang
melakukan kegiatan evaluasi berupa evaluasi data primer (survey cakupan) dan data
sekunder (administrasi). Adanya ketidak seragaman dalam bentuk evaluasi yang
dilakukan di puskesmas, dapat berpengaruh terhadap proses evaluasi yang dilakukan di
tingkat kabupaten. Karena untuk program imunisasi sistem pencatatan dan pelaporan
dilakukan berjenjang dan berkala. Dalam pedoman penyelenggaran imunisasi, kegiatan
pencatatan dan pelaporan terutama yang termasuk didalam proses distribusi vaksin yaitu :
pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk meningkatkan cakupan dengan
menggunakan alat, data stok vaksin, indeks pemakaian vaksin, suhu lemari es, survey
cakupan (coverage survey). Evaluasi bertujuan untuk mengetahui hasil ataupun proses
kegiatan bila dibanding dengan target atau yang diharapkan. Beberapa macam kegiatan
evaluasi dilakukan secara berkala dalam program imunisasi meliputi (Permenkes,2005):
a. Evaluasi dengan data sekunder seperti stok vaksin, indeks pemakaian vaksin, suhu
lemari es, dan cakupan pertahun.
b. Evaluasi dengan data primer:
1). Survei cakupan (Coverage Survey) dengan tujuan untuk mengetahui tingkat
cakupan imunisasi.
2). Suvei dampak untuk menilai keberhasilan program imunisasi terhadap penurunan
mordibitas penyakit tertentu.
3). Uji potensi vaksin. Tujuan diketahuinya potensi dan keamanan dari vaksin dan
kualitas cold chain atau pengolahan vaksin diketahui
Untuk proses penerimaan vaksin sudah dilakukan seragam yaitu sebanyak 1 (satu)
kali di tiap bulannya, hal ini untuk memudahkan pendistribusian serta mencegah
penumpukan vaksin maupun kekosongan vaksin di tiap puskesmas. Kegiatan adminstrasi
yang baik tentu bisa dilaksanakan salah satunya dengan adanya standar operational
prosedur (SOP) terutama didalam kegiatan distribusi. Didalamnya bisa berisi tentang
tahapan pelaksanaan distribusi serta berbagai proses administrasi yang harus dilengkapi
dalam setiap proses kegiatan.
C. Data mengenai sarana dan prasarana distribusi vaksin
Tabel 4a. Kelengkapan sarana prasarana di PKM wil Kota Banjarbaru
No. Observasi Dokumen PKM. Gt.Payung
PKM. Cempaka
PKM. Sungai Besar
PKM. Banjarbaru
Utara
PKM. Sungai
Ulin1 Ruang Penyimpanan Vaksin √ √ √ √ √
2 Alat Transportasi vaksin
Roda 4/roda 2
(dinas/pribadi)
Roda 2 (pribadi)
Roda 4/roda 2 (dinas/pr
ibadi)
Roda 4/roda 2
(dinas/pribadi)
Roda 2 (pribadi)
3 Alat monitoring suhu ruangan dan wadah penyimpanan serta VVM √ √ √ √ √
4
Sarana Penyimpanan Vaksin
a. Cold Box disertai Cool Pack
untuk TT, Td, DT, Hepatitis B
dan DPT-HB
√ √ √ √ √
b. Cold Box disertai Cold Pack
untuk BCG; Campak √ √ √ √ √
c. Cold Box disertai Dry Ice dan
atau Cold Pack untuk Polio √ √ √ √ √
d. Cold Box disertai Cool Pack
untuk TT, Td, DT, Hepatitis B
dan DPT-HB√ √ √ √ √
e. Cold Box disertai Cold Pack
untuk BCG; Campak √ √ √ √ √
f. Cold Box disertai Dry Ice dan
atau Cold Pack untuk Polio √ √ √ √ √
g. Lemari Pendingin √ √ √ √ √h. Safety Box √ √ √ √ √i. Coldroom, Lemari Es dan
Freezer √ √ √
-√
Tabel 4b. Kelengkapan sarana prasarana di PKM wil Kab. Banjar
No. Observasi Dokumen PKM. Martapura
PKM. Dalam Pagar
PKM. Kertak Hanyar
PKM. Gambut
PKM. Bawahan
Selan1 Ruang Penyimpanan Vaksin √ √ √ √ √
2 Alat Transportasi vaksin Roda 2 (pribadi)
Roda 2 (pribadi) Roda 2
(pribadi)
Roda 4/roda 2 (dinas/pr
ibadi)
Roda 4 (dinas)
3 Alat monitoring suhu ruangan dan wadah penyimpanan serta VVM √ √ √ √ √
4
Sarana Penyimpanan Vaksin
a. Cold Box disertai Cool Pack
untuk TT, Td, DT, Hepatitis B
dan DPT-HB
√ √ √ √ √
b. Cold Box disertai Cold Pack
untuk BCG; Campak √ √ √ √ √
c. Cold Box disertai Dry Ice dan
atau Cold Pack untuk Polio √ √ √ √ √
d. Cold Box disertai Cool Pack
untuk TT, Td, DT, Hepatitis B
dan DPT-HB√ √ √ √ √
e. Cold Box disertai Cold Pack
untuk BCG; Campak √ √ √ √ √
f. Cold Box disertai Dry Ice dan
atau Cold Pack untuk Polio √ √ √ √ √
g. Lemari Pendingin √ √ √ √ √h. Safety Box √ √ √ √ √i. Coldroom, Lemari Es dan
Freezer √ √ √ √ -
Sarana-prasarana merupakan sumber daya yang penting untuk diperhatikan didalam kegiatan
distribusi vaksin. Karena ketersediaan sarana-prasarana yang memadai dapat menjadi suatu
jaminan bagi vaksin yang diberikan sampai ke pasien dalam kondisi baik, bermutu dan aman
digunakan.
Ruangan tempat penyimpanan vaksin juga harus memenuhi standar tempat penyimpanan
vaksin yang layak. Cahaya, kelembaban, ventilasi, suhu dan keamanan harus diperhatikan dalam
menentukan tempat penyimpanan vaksin. Kegagalan untuk menyimpan dan menangani vaksin
dengan benar dapat mengurangi potensi vaksin (Shafaat,2013). Sehingga diperlukan tempat yang
benar-benar aman untuk menyimpan berbagai jenis vaksin.
Cara membawa vaksin atau transportasi vaksin merupakan bagian yang paling kritis dalam
pengelolaan vaksin. Transportasi vaksin yang tepat sesuai dengan tingkat wilayah distribusi
dimaksudkan untuk mempertahankan suhu vaksin sesuai sifat vaksin dengan mempertimbangkan
jarak dan lama tranportasi. Bila cara membawa vaksin salah maka vaksin menjadi rusak.
Kerusakan vaksin antara lain ditunjukkan dengan perubahan indikator VVM dari kondisi A atau
B menjadi C atau D atau sebaliknya vaksin menjadi beku. Transportasi vaksin di unit pelayanan
yang benar adalah menggunakan vaccine carrier yang berisi cool pack untuk mencegah paparan
suhu beku pada vaksin-vaksin golongan freeze sensitif (Kristini, 2008).
Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan dengan
perubahan kondisi VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu meskipun masa
kadaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C dan D tidak boleh
digunakan (permenkes, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan dari 9 (sembilan) item sarana penyimpanan vaksin, hanya 1
(satu) sarana penyimpanan vaksin yaitu Coldroom, Lemari Es dan Freezer yang tidak dimiliki
oleh 2 (dua) puskesmas, tetapi kekurangan sarana ini masih bisa diatasi dengan adanya item lain
yaitu lemari pendingin, yang dengan pengaturan suhu dapat digunakan sebagai tempat
penyimpanan vaksin polio yang memerlukan suhu dibawah 0°c.
Pemantauan suhu penyimpanan vaksin sangat penting dalam menetapkan secara cepat
apakah vaksin masih layak digunakan atau tidak, atau rentan dan mudah rusak. Berbagai alat
seperti thermometer, VVM, Freeze-tag sangat membantu petugas dalam memantau suhu
penyimpanan dan pengiriman vaksin (permenkes,2005).
Prinsip FEFO dan FIFO dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih
awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang
datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih tua dan masa
kadaluwarsanya mungkin lebih awal (Arifin,2007). Puskesmas-puskesmas di Kotamadya
Banjarbaru dan Kabupaten Banjar sudah menerapkan dengan benar tentang pemantauan suhu
menggunakan VVM serta pendistribusian vaksin menggunakan prinsip FEFO maupun FIFO.
Pendistribusian vaksin dari industri farmasi sampai ke lapangan merupakan suatu skema
rantai dingin yang tidak boleh terputus. Detail skema rantai dingin vaksin menurut Pedoman
Teknis Vaksin dan Cold Chain, (Depkes RI. 2002). Terlihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 4. Pedoman Teknis Vaksin dan Cold Chain
Sarana-prasarana pendukung yang wajib mendapat perhatian dalam kegiatan
penyimpanan serta distribusi vaksin ialah adanya ruang penyimpanan, alat transportasi dan
alat monitoring suhu. Semua jenis sarana-prasarana tersebut telah dimiliki oleh masing-
masing puskesmas, hanya saja untuk alat transportasi sebagian besar masih menggunakan
kendaraan pribadi (roda 2) untuk kegiatan distribusi.
Meskipun keamanan dan kualitas vaksin dapat terjamin dengan berbagai macam
sarana penyimpanan vaksin yang tersedia, akan lebih baik jika selanjutnya pihak puskesmas
memiliki alat transportasi khusus yang dapat digunakan untuk kegiatan distribusi vaksin.
Dengan memiliki kendaraan khusus ini maka diharapkan distribusi vaksin menjadi lebih
baik dan kualitas vaksin juga dapat terpelihara (Susyanty AL,dkk.,2014). Selama proses
distribusi, harus diterapkan metode transportasi yang memadai. Obat dan/atau bahan obat
harus diangkut dengan kondisi penyimpanan sesuai dengan informasi pada kemasan.
Metode transportasi yang tepat harus digunakan mencakup transportasi melalui darat, laut,
udara, atau kombinasi di atas. Apapun transportasi yang dipilih, harus dapat menjamin
bahwa obat dan/atau bahan obat tidak mengalami perubahan kondisi selama transportasi
yang dapat mengurangi mutu. Pendekatan berbasis risiko harus digunakan ketika
merencanakan rute transportasi (Yuniar.dkk, 2013).
SIMPULAN DAN SARANA. Simpulan
1. Semua puskesmas sudah memiliki tenaga pelaksana teknis sebagai penanggung
jawab/pengelola program imunisasi (vaksin). Masih ada beberapa puskesmas (6 puskesmas)
yang hanya memilki 1 (satu) orang tenaga pelaksana teknis sehingga tugas sebagai pengelola
program imunisasi (vaksin) juga merangkap sebagai petugas imunisasi dan pelaksana cold
chain, kualifikasi pendidikan SDM sudah sesuai peraturan, hampir semua SDM sudah
mengikuti pelatihan pengelolaan imunisasi (vaksin).
2. Masih ada puskesmas yang belum memiliki kartu stok untuk distribusi vaksin, hampir semua
puskesmas memiliki SBBK dan VAR, serta belum adanya keseragaman kegiatan evaluasi
dalam distribusi vaksin.
3. Belum semua puskesmas memiliki sarana : Coldroom, Lemari Es dan Freezer, untuk alat
transportasi sebagian besar puskesmas menggunakan kendaraan pribadi (roda 2) untuk kegiatan
distribusi vaksin dari kotamadya/kabupaten ke puskesmas dan dari puskesmas ke posyandu/pustu.
B. Saran
1. Perlu adanya evaluasi terhadap jumlah SDM didalam program imunisasi (vaksin) yang ada
terutama di kabupaten banjar, serta diharapkan adanya kegiatan refreshing berupa
seminar/pelatihan untuk peningkatan pengetahuan dan skill bagi petugas pelaksana teknis
program imunisasi (vaksin) yang rutin diadakan.
2. Diharapkan adanya prosedur administrasi yang baik dan seragam di setiap puskesmas dalam
kegiatan pendistribusian vaksin, sehingga memudahkan proses monitoring dan evaluasi
3. Perlu adanya pemantauan terhadap ketersediaan dan kondisi sarana-prasarana yang harus
dimiliki oleh tiap puskesmas seperti : Coldroom, Lemari Es dan Freezer, serta kendaraan khusus
untuk kegiatan distribusi vaksin.
DAFTAR PUSTAKAOmer SB, et al. Vaccine refusal, mandatory immunization, and the risks of vaccine-preventable diseases. The New England Journal of Medicine 2009; 360 (19): 1981- 1988.
Permenkes, 2013. Permenkes RI no.42/2013 tentang penyelenggaraan imunisasi
Hartini YS, Putra AAP. Implementasi cara distribusi obat yang baik pada pedagang besar farmasi di Yogyakarta. Jurnal Farmasi Indonesia 2012; 6(1): 48-54.
Kepmenkes, 2005, kepmenkes RI no.1611/menkes/SK/XI/2005 tentang pedoman penyelenggaraan imunisasi
Probandari AN, Handayani S, Laksono NJDN. Ketrampilan Imunisasi. Modul Field Lab Edisi Revisi II. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013.
Radji M. Vaksin DNA: Vaksin Generasi Keempat. Majalah Ilmu Kefarmasian 2009; VI(1): 28-37.
Kristini TD. Faktor-faktor risiko kualitas pengelolaan vaksin program imunisasi yang buruk di unit pelayanan swasta. Tesis. Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik.
Maksuk. Pengelolaan rantai dingin vaksin tingkat puskesmas di kota Palembang tahun 2011.
Somantri GR. Memahami metode kualitatif. Makara, Sosial Humaniora 2005; 2 (9): 57-65.
Kemala IS. Pengaruh Penilaian Prestasi Kerja Dan Pelatihan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Pada PT. Bank Bukopin Cabang Medan. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2008.
Susyanty AL, dkk., 2014, Sistem manajemen dan persediaan vaksin di dua provinsi Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan; 42(2): 108-121.
Shafaat K, et al. An overview: Storage of pharmaceutical products. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2013; 2(5): 2499-2515.
Arifin B. Pedoman pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di daerah kepulauan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2007.
Depkes RI, 2002, Pedoman Teknis Vaksin dan Cold Chain., Ditjen PP dan PL,
Yuniar Y, Supardi S, Herman MJ. Hubungan ketersediaan tenaga kefarmasian dengan karakteristik Puskesmas dan praktik kefarmasian di Puskesmas. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 2013; 16(1): 88-98.