Download - Obstructive Jaundice Extrahepatic
SARI PUSTAKA
OBSTRUCTIVE JAUNDICE EXTRAHEPATIC
Pembimbing :
Prof.dr. J. Boas Saragih, SpPD KGEH
Disusun oleh:
Virginia Prameswari Kanahau (06-052)
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam Periode 24 Oktober – 17 Desember 2011
FK UKI JAKARTA 2011
1
PENDAHULUAN
Ikterus merupakan perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1. Bilirubin dibentuk sebagai akibat
pemecahan cincin heme, akibat metabolisme sel darah merah. Kata ikterus atau
jaundice sendiri berasal dari bahasa Jaune yang berarti kuning. Ikterus sendiri
sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari dengan melihat sclera mata.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sclera mata. Untuk memahami
tentang ikterus, perlu diketahui lebih dulu tentang tahapan metabolisme bilirubin di
dalam tubuh yang berlangsung dalam tiga fase; prehepatik, intrahepatik, dan
pascahepatik, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam
tahapan metabolisme bilirubin. Terlihat atau tidaknya ikterus sangat tergantung
dari pigmentasi dan warna kulit seseorang karena itu sebaiknya menggunakan
istilah hiperbilirubinemia yang lebih objektif 2. Ikterus harus dibedakan dari
karotenemia yaitu warna kulit kekuningan yang disebabkan asupan berlebihan
buah-buahan berwarna kuning yang mengandung pigmen lipokrom, misalnya
wortel, papaya, dan jeruk. Pada karotenemia warna kuning tampak terutama pada
telapak tangan dan kaki disamping kulit lainnya, dan sclera pada karotenemia tidak
kuning. Ikterus harus dibedakan dengan kolestasis, dimana biasanya kolestasis
disertai dengan ikterus. Kolestasis sendiri adalah hambatan aliran empedu normal
untuk mencapai duodenum atau yang disebut dengan jaundice obstruktif. 2
Fase Prahepatik : pembentukan bilirubin dan transpor plasma, Fase Intrahepatik :
Liver uptake, Konjugasi, Fase Pascahepatik: Eksresi Bilirubin.
Fase Prahepatik:
1. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250-350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per
kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel
darah merah yang matang dan 20-30% datang dari protein heme. Sebagian
2
dari protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan
perantaraan enzim hemooksigenasi. Enzim lain biliverdin reduktasi merubah
biliverdin menjadi bilirubin. 1,2
2. Transport Plasma
Bilirubin tidak larut dalam air, sehingga bilirubin yang tidak terkonjugasi ini
akan larut di transportnya dalam plasma dan terikat dengan albumin dan
tidak dapat melalui membrane glomelurus, sehingga tidak muncul di dalam
air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan
beberapa bahan seperti antibiotika teretntu bisa bersaing untuk berikatan
dengan albumin. 1.2
Fase Intrahepatik
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati dengan
bantuan protein pengikat seperti ligandin atau protein Y. Pengambilan
bilirubin melalui transport aktif dan berjalan cepat. 1
4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik dengan bantuan enzim UDP glukoronil
transferase membentuk mono glukoronida dan kemudian menjadi bilirubin
diglukuronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Konjugasi harus
dilakukan agar bilirubin dapat diekskresi melalui membrane kanalikular ke
dalam empedu dengan perantaraan suatu protein MRP2 (Multi Drug
Resistance Associated Protein2). Sintesa enzim UDP glukoronil transferase
dikode oleh kompleks gen UGP1. Mutasi pada kompleks ini akan
menimbulkan penyakit herediter dengan gangguan konjugasi. 1,2
Fase Pascahepatik
5. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat
mempengaruhi proses ini. Di dalam usus flora bakteri men “dekonjugasi” dan
mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkan sebagian
besar ke dalam tinja yang member warna cokelat. Sebagian diserap dan
3
dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air
seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukoronida tetapi
tidak bilirubin unkonjugasi. 1
Berdasarkan jenis bilirubin yang meningkat dalam darah, hiperbilirubinemia dibagi
menjadi tiga yaitu hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, hiperbilirubinemia
terkonjugasi, dan hiperbilirubinemia campuran.
KELAINAN METABOLISME BILIRUBIN YANG MENYEBABKAN
HIPERBILIRUBINEMIA TAK TERKONJUGASI
Peningkatan produksi Bilirubin
Hemolisis. Hiperbilirubinemia karena hemolisis murni biasanya ringan dan kadar
bilirubin totalnya tidak lebih dari 4 mg%. Bila didapatkan kadar bilirubin lebih dari
itu umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi hati dan hemolisis.
Penurunan Klirens Bilirubin
Gangguan uptake bilirubin, adalah salah satu contoh gangguan uptake bilirubin
adalah sindrom Gilbert, dimana pada sindrom ini terjadi gangguan uptake bilirubin
dan juga gangguan konjugasi.
Gangguan Konjugasi Genetik
KELAINAN METABOLISME BILIRUBIN YANG MENYEBABKAN
HIPERBILIRUBINEMIA TERKONJUGASI
Gangguan fungsi klirens bilirubin yang bersifat familial
HIPERBILIRUBINEMIA TERKONJUGASI YANG DIDAPAT
PEMBAGIAN IKTERUS MENURUT LOKASI PENYEBABNYA
Ikterus prahepatik : akibat bahan pembentuk bilirubin yang berlebihan
4
Ikterus hepatic : gangguan uptake bilirubin, sindrom gilbert, obat-
obatan,ganggguan konjugasi, sindrom crigler-najar, gangguan transport (hepatitis,
sirosis, obat-obatan), gangguan ekskresi (sindrom dubin Johnson, sindrom Rotor,
bening Recurrent Intrahepatic Cholestasis, Progressive Familial Intrahepatic
Cholestasis. Ikterus Kolestatik : Hambatan pada kanlikuli biliier; obat-obatan;
hambatan pada duktuli: genetic, sirosis bilier primer; Hambatan pada saluran
empedu: batu empedu, tumor pancreas, dan tumor ampula vateri.
5
OBSTRUCTIVE JAUNDICE EXTRAHEPATIC
Causes 3
1. Batu Empedu
Epidemiologi
Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan makin bertambah dengan
meningkatnya usia prevalensi batu empedu bervariasi secara luas diberbagai
Negara dan diantara kelompok-kelompok etnik yang berbeda pada satu Negara.
Rasio penderita wanita terhadap pria yaitu tiga banding satu pada kelompok usia
dewasa masa reproduktif dan menjadi kurang dari dua banding satu pada usia di
atas 70 tahun, hal ini karena estrogen endogen yang menghambat konversi
enzimatik dari kolesterol menjadi asam empedu sehingga menambah saturasi
kolesterol dari cairan empedu. Progesteron juga menyebabkan gangguan
pengosongan kandung empedu dan bersama estrogen meningkatkan litogenesi
(pembentukan batu di kanalikuli) cairan empedu pada kehamilan
6
Faktor resiko untuk batu empedu adalah
Bahan utama yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu (80%),
fosfolipid dan kolesterol yang tidak teresterifikasi(4%). Fosfolipid akan terhidrolisis
di dalam usus dan tidak ikut serta dalam siklus entero-hepatik. Sebaliknya asam
empedu akan masuk ke dalam siklus enterohepatik kecuali asam litokolat. Beberapa
asam empedu yang utama adalah asam kolat (cholic acid) dan chendodeoxycholic
acid). Asam empedu adalah molekul menyerupai deterjen, yang dapat melarutkan
substansi yang pada dasarnya tidak larut dalam air seperti kolesterol, pada
konsentrasi milimolar, molekul asam empedu akan beragregasi membentuk agregat
yang disebut dengan misel. Kelarutan suatu kolesterol dalam cairan empedu
tergantung pada perbandingan antara asam empedu dan lesitin, dimana apabila
terjadi perbandingan yang tidak normal akan menyebabkan presipitasi Kristal-
kristal kolesterol dalam cairan empedu sehingga menjadi suatu factor awal
terbentuknya batu kolesterol.
BATU KOLESTEROL
1. Supersaturasi kolesterol terjadi karena sekresi kolesterol bilier yang
berlebihan, atau karena hiposekresi asam empedu. Faktor resiko
7
hipersekresi kolesterol bilier antara lain obesitas, kadar estrogen yang
meningkatkan lipoprotein B dan E sehingga uptake kolesterol hepar
meningkat. Progesteron yang tinggi juga akan menghambat konversi
kolesterol menjadi kolesterol ester, kehilangan berat badan dalam waktu
cepat (sehingga terjadi mobilisasi kolesterol jaringan) dan genetic.
2. Nukleasi Kolesterol. Terbentuknya Kristal kolesterol monohidrat penting
dalam terbentuknya batu kolesterol. Beberapa protein yang berperan dalam
nukleasi kolesterol antara lain musin, Alpha 1-acid glycoprotein, Alpha 1
antichymotrypsin, dan fosfolipasi C. Protein-protein ini diduga mempercepat
kristalisasi kolesterol dengan membentuk vesikel kolesterol multilamelar
yang mempunyai kecenderungan lebih besar untuk mengkristal.
3. Disfungsi Kandung Empedu
Disfungsi yang dimaksud disini antara lain perubahan epitel mukosa
kandung empedu dan dismotilitas kandung empedu sehingga menyebabkan
kontraksi kandung empedu yang tidak baik dan menyebabkan stasis
empedu. Beberapa hal lain yang berhubungan dengan hipomotilitas kandung
empedu juga antara lain adalah nutrisi parenteral total yang berkepanjangan,
cedera medulla spinalis, kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, dan DM.
Selain itu dapat juga terbentuk lumpur bilier, yaitu suatu suspense yang
terbentuk dari presipitat kalsium bilirubinat, Kristal-kristal kolesterol dan
mucus, adanya lumpur bilier ini sendiri menandakan adanya dua
abnormalitas yaitu keseimbangan sekresi dan eliminasi musin yang
terganggu.
BATU PIGMEN
Batu pigmen adalah batu saluran empedu dengan kadar kalsium bilirubinat yang
bermakna dan <50% kolesterol. Ada dua jenis batu pigmen yaitu batu pigmen hitam
dan batu pigmen cokelat. Batu pigmen hitam tersusun oleh kalsium bilirubinat,
kalsium karbonnat, kalsium fosfat, glikoprotein musin dan sedikit kolesterol, batu
ini terbentuk berdasarkan konsep pengendapan bilirubin. Faktor resiko yang
menyebabkan terbentuknya batu pigmen hitam antara lain hemolisis, sirosis
8
hepatis, dan usia tua. Batu pigmen cokelat berbeda dengan batu pigmen hitam,
dimana batu ini terbentuk di saluran empedu, bahkan setelah kolesistektomi.
Berbeda dengan batu pigmen hitam, batu pigmen cokelat memiliki lebih banyak
komposisi asam lemak bebas, dan diduga pembentukan batu pigmen cokelat ini
terutama akibat infeksi dan stasis.
Hanya sekitar 20-25 % orang dengan batu empedu memiliki gejala yang bisa
menandakan bahwa terdapat batu empedu di dalam tubuhnya. Batu empedu
biasanya ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan USG abdomen dan tetap
asimptomatik pada hampir 80% dari kasus. Gejala pasien dengan batu empedu
adalah hampir selalu terdapatnya kolik bilier. Sekitar 10% pasien dengan batu
empedu bermanifestasi dengan gejala kolesistitis, terdapatnya jaundice obstruktif,
dan pancreatitis. Kolik bilier berasal dari obstruksi dari duktus sistikus ataupun
duktus koledokus (CBD). Akibat adanya sumbatan oleh batu terjadilah distensi dari
viscus sehingga menyebabkan nyeri visceral yang sangat sakit, atau perut yang
terasa penuh pada bagian epigastrium atau pada bagian kuadran kanan atas
abdomen, yang dapat menjalar sampai ke daerah scapula atau bahu sebelah kanan.
Nyeri kolik bilier tersebut biasanya timbul mendadak dan bisa terus bertahan
sampai 15 menit sampai 5 jam. Beberapa pasien mengalami nyeri setelah makan
makanan berlemak dan beberapa pasien lain mengatakn bahwa nyeri tersebut tidak
berhubungan dengan apa yang dia makan sebelumnya. Apabila gejala pasien
dengan batu empedu simptomatik ini ditandai dengan episode nyeri bilier kurang
dari lima jam disebut uncomplicated. Sedangkan jika nyeri bilier ini tetap
berlangsung sampai lima jam dengan penemuan klinis atau laboratories yang
menunjukan gejala kolesistitis, ataupun gejala komplikasi lain disebut dengan
complicated gallstone disease.
9
Laboratory and Imaging Studies 3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjang diagnosis batu empedu :
1. Ultrasonography—
USG merupakan pemeriksaan method of choice untuk mendiagnosis batu empedu.
USG dilakukan di kuadran kanan atas dan memiliki sensitivitas 95% untuk
mendeteksi batu empedu dengan diameter 1,5 mm atau lebih. Karakteristik dari
batu empedu adalah didapatkanya suatu gambaran ekogenik dengan akustik
shadow di dalam lumen kantung empedu yang bergerak sesuai dengan gravitasi
sesuai dengan posisi pasien.
10
Adanya mobilitas –focus echogenic yang sesuai dengan gravitasi ini memudahkan
untuk membedakan batu empedu dengan polip di kantung empedu ataupun
keganasan. USG juga dapat memberitahukan informasi tentang ukuran dari kantung
empedu, ada atau tidaknya penebalan dinding kantung empedu, cairan
pericholecystic (tanda kolesistitis). Apabila terdapat dilatasi dari saluran empedu
hal tersebut akan mengarahkan ke obstruksi pada saluran empedu, dimana jika batu
tersebut terdapat di duktus koledokus, USG hanya memiliki sensitivitas yang rendah
sampai sedang.
2. Computed tomography (CT)
Penggunaan CT scan biasnaya berguna untuk mendeteksi batu empedu, terutama
yang telah mengalami kalsifikasi, namun pemeriksaan ini lebih mahal dan memiliki
paparan yang tinggi terhadap radiasi. Pemeriksaan ini lebih tepat digunakan untuk
mendapatkan visualisasi dari sistem biliaris jika kita mencurigai terdapatnya
obstruksi di saluran bilier.CT is occasionally useful
3. Magnetic resonance imaging (MRI) and cholangiopancreatography
(MRCP)—
11
Penggunaan MRI tidak direkomendasikan untuk screening pada batu empedu,
namun pemeriksaan ini berguna untuk mendapatkan visualisasi pada duktus
pankreatikus dan dukutus biliaris. Sensitivitasnya dalam pedekteksian batu saluran
empedu mencapai 85% dan bisa digunakan sebagai alternative dari ERCP sebagai
screening praoperatif untuk menyingkirkan batu saluran empedu pada pasien yang
akan menjalani prosedur cholecystectomy laparoscopic.
4. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP)—
ERCP kurang berguna untuk mendeteksi batu di kantung empedu, namun
merupakan suatu method of choice untuk mendeteksi batu di saluran empedu. Tidak
seperti MRI, ERCP memiliki nilai diagnostic dan terapeutik untuk mendapatkan
visualisasi dan ekstraksi dari batu saluran empedu. Diagnosis dengan menilai
papilla vateri, membuat kolangiografi dan biopsi. Tindakan terapi dapat dilakukan
dengan sphinkterektomi, pemasangan endprotehese/stent atau nasobilier drainage.
Dengan ERCP keperluan untuk melakukan eksplorasi koledokus menurun.
Kendalanya adalah membutuhkan keterampilan khusus dan memerlukan fasilitas
radiologi. Alat ini bersifat invasive. 1,2,3
5. PTC
12
Percutaneous Transhepatic Cholangiography biasanya dilakukan jika ERCP dan
MRCP tidak dapat dilakukan atau gagal. Selain untuk diagnosis dapat dilanjutkan
sebagai drainase eksterna yaitu PTBD (Percutaneous Transhepatic Biliary Drainage)
6. Endoscopic ultrasound—
Merupakan metode yang paling sensitive dalam mendeteksi batu di daerah ampula.
7. Hepatobiliary scintigraphy—
Merupakan suatu metode imaging diagnostic radionuclide untuk mengevaluasi
fungsi hepatoselular dan keadaan sistem biliaris dengan menilai produksi dan aliran
cairan empedu dari hepar menuju sistem biliaris sampai ke usus kecil. Pemeriksaan
ini tidak terlalu berperan dalam mendeteksi batu empedu ataupun colesistitis,
tetapi lebih berguna untuk mendeteksi obstruksi di duktus sistikus .
2. Koledokolitiasis
Berjalannya batu empedu dari ke dalam CBD terjadi pada 10-15% pasien dengan
batu empedu. Kebanyakan dari batu tersebut adalah batu kolesterol yang berasal
dari kantung empedu. Batu yang berasal dari duktus biliaris biasanya adalah batu
pigmen, kecuali pada pasien dengan defect pada gen ABCB4 dimana menyebabkan
terbentuknya batu kolesterol di duktus biliaris akibat adanya sekresi fosfolipi’d.
Pasien dengan obstruksi CBD oleh batu biasanya mengeluhkan nyeri bilier, seperti
pada obstruksi duktus sistikus, dan terkadang diikuti dengan jaundice. Pasien
dengan obstruksi memiliki peningkatan kadar liver enzyme ALT dan AST pada fase
akut, dan akhirnya menurun meskipun obstruksi tetap berlangsung, selain itu juga
akan terjadi peningkatan enjim Alkaline phospatase, peningkatan bilirubin dan
akhirnya terjadilah jaundice. Pada kasus ini penggunaan transcutaneous abdominal
ultrasonography kurang bermanfaat, pemeriksaan laboratorium sakngat penting
untuk mendapatkan diagnosis diferensial dalam situasi ini. Pemeriksaan yang
bermanfaat pada kasus ini adalah ERC (Endoscopic Retrograde Cholangiography),
selain itu juga dapat digunakan Endosonography atau MRC terutama pada batu yang
kecil (<5mm) dan batu di ampula.
13
3. Kolesistitis Akut
Kolestistitis akut merupakan inflamasi dari dinding kantung empedu yang biasanya
didahului oleh adanya batu yang menyebabkan obstruksi dari duktus sistikus.
Respons inflamasi ini dapat berupa : (1) inflamasi mekanik yand disebabkan oleh
peningkatan tekanan intraluminal dan distensi sehingga terjadi iskemia dari
mukosa dan dindind kantung empedu (2) Inflamasi kemis yang disebabkan oleh
pelepasan lysolecithin (akibat aktivase phospolipase pada lecithin di cairan
empedu) dan factor local lainnya (3) inflamasi bacterial, dimana berperan pada 50-
80% pasien dengan kolesistitis akut. Organisme yang paling sering menyebabkan
hal tersebut yang berhasil diisolasi pada kultur cairan empedu antara lain
Eschericia coli, Klebsiella spp, Streptococcus spp, dan Clostridium spp. 4
Gejala dari Kolesistitis akut adalah adanya nyeri bilier yang semakin parah, pada
60-70% pasien mengalami nyeri sebelumnya dan menghilang secara spontan.
Namun pada serangan selanjutnya, nyeri semakin hebat di perut kanan atas.
Biasanya pada. Selain itu juga dapat timbul demam low-grade, pada pemeriksaan
perut kanan atas akan teraba lunak, dan pada 20-50% pasien kantung empedu yang
keras dan membesar dapat teraba. Pada beberapa pasien saat menarik napas atau
batuk juga dapat menyebabkan sakit (Murphy sign). Mirizzi’s syndrome yaitu
suatu komplikasi yang jarang terjadi dimana suatu batu empedu yang impacted
(tersumbat) di duktus sistikus atau di leher kandung empedu sehingga
menyebabkan kompresi dari CBD (Common Bile Duct) dan menyebabkan obstruksi
dari CBD dan jaundice.
4. Kolesistitis Kronik
Inflamasi kronik dari dinding kandung empedu biasanya selalu berhubungan
dengan terdapatnya batu empedu akibat dari kolesistitis akut atau subakut atau dari
iritasi mekanik akibat batu empedu.
5. Kolangitis
14
Infeksi dari traktus biliaris yang dapat bersifat akut ataupun kronik dan gejala yang
timbul akibat inflamasi yang terjadi, dimana penyebab utamanya antara lain adanya
obstruksi dari aliran cairan empedu. 75% pasien dengan kolangitis akut memiliki
bakteri pada kultur cairan empedunya. Karakteristik dari kolangitis akut adalah
adanya nyeri bilier, jaundice, dan demam spiking (tinggi ) disertai dengan menggigil
(Charcot’s triad). Pada kultur darah biasanya didapatkan hasil positif dan disertai
dengan leukositosis.
6. Kelainan Kongenital
- Atresia Bilier dan Hypoplasia. Gambaran klinis dari atresia bilier dan hypoplasia
ini adalah timbulnya jaundice obstruktif pada awal bulan kehidupan seseorang,
dengan faeces yang pucat. Ketika atresia bilier dicurigai berdasarkan gejala klinis,
laboratorium, dan gambaran radiologi, diagnosis dipastikan dengan dilakukannya
eksplorasi bedah dan cholangiography operatif. Sekitar 10% kasus atresia bilier
dapat diobati dengan roux en Y choledochojejunostomy, dengan prosedur Kasai
(Hepatic protoensterotomy) dengan harapan agar dapat mengembalikan aliran
cairan empedu.
- Choledocal Cyst. Dilatasi duktus sistikus kongenital
- Congenital Biliary Ectasia. Dilatasi dari duktus intrahepatic disertai radikula mayor
intrahepatic (Caroli’s disease), inter dan intralobular duktus (Congenital Hepatic
Fibrosis) atau keduanya.
7. Carcinoma Ampula Vater6
Carcinoma dari ampula Vater , merupakan tumor malignant yang jarang, berasal
dari 2 cm bagian distal akhir dari CBD, dimana ia akan melewati dinding duodenum
dan ampula papil.
15
CBD akan bersatu dengan duktus pankreatikus Wirsung yang membentuk suatu
channel yang keluar melalui ampula ke duodenum. Bagian distal dari CBD melebar
(membentuk ampula Vater) dan dikelilingi spinchter Oddi. Carcinoma ampulla Vater
ini timbul biasanya diawali oleh obstruksi traktus bilier. Carcinoma ini lebih banyak
pada laki-laki. Carcinoma pada ampula vater biasanya berupa adenocarcinoma.
Pada separuh kasus tumor ampula vater juga disertai dengan metastasis ke lymph
node. Pada review 118 adenocarcinoma di daerah biliopancreatic, tipe
adenocarcinoma ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada carcinoma
duodenum.
8. Tumor Kantung Empedu (Carcinoma of the Gallblader)
Carcinoma kantung empedu merupakan neoplasma yang jarang, muncul pada
pasien tua. Pada 70% kasus berhubungan dengan batu empedu, dan resiko tersebut
berhubungan dengan lamanya batu empedu tersebut berada. Angka kejadian tumor
ini dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Kebanyakan tumor
primer ini merupakan adenokarsinoma.
9. Tumor Saluran Empedu (Tumor of the Bile Duct)
Pada tumor duktus bilier primer tidak berhubungan dengan riwayat kolelitiasis dan
angka kejadian pada wanita disbanding laki-laki sama. Kebanyakan tumor ini
berupa adenokarsinoma yang terletak di dalam hepar atau di CBD.
10. Tumor Usus Halus
16
Benign : polip adematosa ataupun villous. Selain itu juga terdapat Polypoid
hamartoma yang bersifat soliter. Pada polip jenis ini jarang menimbulkan
keganasan. Selain itu juga terdapat Familial adenomatous polyposis yang ditandai
dengan polip intestinal dan colon yang multiple. Polip jenis ini memiliki
kecenderungan untuk menjadi ganas.
Malignant :
- Adenocarcinoma
- Gastrointestinal Stromal Tumor. Tumor yang berasal dari jaringan
mesenkim, 15% penyebab keganasan di usus halus.
11. Tumor Pankreas
Tumor pancreas merupakan kanker yang paling sering nomer dua dalam keganasan
gastrointestinal dan penyebab keempat dalam kematian yang terkait kanker. Rate 5
– years survival nya kurang dari 4%. Penyakit ini lebih sering muncul pada laki-laki
dibanding wanita. Tumor ini jarang timbul sebelum usia 45 tahun, namun
insidennya meningkat setelah usia 70 tahun. Tumor pancreas berasal dari tiga tipe
sel epitel yang ditemukan di pancreas, yaitu sel acinar, sel ductal, dan sel endokrin.
Kebanyakan tumor (90%) berasal dari sel ductal. Sekitar 70% tumor duktal terletak
di caput pancreas.
Manifestasi klinis yang paling sering pada pasien dengan tumor pancreas :
12. Trauma dan Striktur
17
Timbulnya strikutr pada duktus biiliaris ekstrahepatik disebabkan oleh trauma
bedah yang terjadi pada 1 dari 500 cholecystotomies. Striktur dapat muncul dengan
kebocoran bilirubin atau pembentukan abses setelah operasi atau dengan obstruksi
bilier atau kolangitis sampai dua tahun sejak trauma. Diagnosis dapat ditegakan
dengan PCT (Percutaneous Cholangiography ataupun dengan Endoscopic
Cholangiography).
13. Kolangitis Sklerosing Primer (Primary Sclerosing Cholangitis)
Suatu peradangan kronik saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik yang
ditandai dengan fibrosis, striktur, dan obliterasi saluran empedu. Prevalensi
penyakit ini adalah 6-8 kasus/100.000 penduduk dan 70% dari penderitanya
adalah laki-laki dengan usia antara 24-45 tahun. Pada penderita penyakit ini
ditemukan factor imunologis yaitu dijumpai beberapa antibody pada penderita
yaitu ANCA (Antineutrophil Cytoplasmic Antibodies) sebanyak 65-84%,
Anticardiolipin antibodies 66%, Antinuclear antibodies (ANA) 53%, dan
Antiendothelial cell antibody (AECA) >35%. Selain itu juga ditemukan
Antimitochondrial autoantibodies (AMA) dan antismoothmuscle antibodies (ASMA)
dengan frekuensi yang rendah pada penderita penyakit ini. PSC diduga
berhubungan dengan factor genetic Human Leucocyte Antigen (HLA)
Pada penyakit ini pemeriksaan yang merupakan goal standard adalah dengan
ERCP/PTC dimana dapat dilihat kelainan khas pada saluran empedu intrahepatik
dan ekstrahepatik yaitu iregularitas yang difus, striktur multiple dan stenosis
berbagai ukuran. Apabila pasien tidak dapat diperiksa dengan ERCP atau PTC maka
dapat digunakan MRC, hanya saja apabila menggunakan MRC tidak dapat
menggambarkan saluran-saluran empedu segmental intrahepatik jika tidak
melebar.
18
Tabel Evaluasi Diagnostik Duktus Biliaris 5
PENATALAKSANAAN
Tindakan Umum
Tirah baring, pemberian cairan intravena, diet ringan tanpa lemak dan
menghilangkan nyeri dengan obat analgetik.
Antibiotika
19
Diberikan antibiotic untuk mengobati septicemia dan mencegah peritonitis dan
empiema.
TERAPI NON BEDAH
Litolisis dengan asam empedu peroral
Dapat digunakan dua asam empedu yaitu AKDK (Asam Kenodeoksikolat) dan AUDK
(asam ursodeoksikolat) untuk pelarutan batu empedu. Kedua asam empedu ini akan
menkan sintesis kolesterol di hati dengan menghambat hidroksi metal glutaril CoA
(HMG-CoA) reduktase dan meningkatkan aktivitas dari 7a-Hidroksilase untuk
meningkatkan sintesis asam empedu. Dosis yang digunakan adalah 8-12
mg/kgBB/hari. Batu yang dapat diterapi adalah batu kolesterol non kalsifikasi di
dalam kandung empedu dengan diameter <5mm.
Terapi pelarutan secara kontak
Solven (Bahan pelarut) yang dapat melarutkan kolesterol dimasukan langsung ke
dalam kandung empedu secara perkutan dengan dituntun oleh USG. Solven yang
digunakan adalah MTBE (Metil Terbutil Etan) dan melarutkan kolesterol dalam satu
sampai tiga hari. Bisa digunakan pada batu kolesterol kecil tanpa kalsifikasi. Namun
saat ini terapi ini sudah ditinggalkan
ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotrypsi)
Metode ini mengkombinasikan dua cara yakni terapi oral asam empedu dan
fragmentasi batu empedu. Dengan ESWL akan menghasilkan gelombang dengan
amplitude tinggi dan menghasilkan fragmen-fragmen batu kecil <3 mm sehingga
dapat melalui duktus sistikus dan suktus koledokus dan dibuang ke duodenum.
TERAPI BEDAH
Penyakit sistem bilier yang sering membutuhkan intervensi bedah adalah hambatan
saluran ekstrahepatik, misalnya berupa batu atau tumor yang menekan saluran.
Prabedah
20
Dilakukan drainage pra bedah untuk menurunkan tekanan intrabilier. Cairan
empedu dapat dikeluarkan dengan drainase eksterna (T-Tube, PTBD,
kolesistotomi).
Saat Bedah
Dilakukan drainase dengan meletakan T-Tube di duktus koledokus atau
kolesistostomi. Dilakukan bila keadaaan umum buruk, ada gangguan fungsi
hemostasis, infeksi berat, ataupun tumor yang tidak dapat direseksi atau di bypass.
Percutaneous Therapy
Percutaneous Therapy ini dapat dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi, dimana
apabila dilakukan intervensi bedah berhubungan erat dengan peningkatan angka
morbiditas maupun mortalitas. Pendekatan dengan Percutaneous Therapy menjadi
pilihan yang lebih aman daripada pembedahan yang bersifat invasive. Percutaneous
ini dapat mencapai kantung empedu melalui dua rute : transperitoneal dan
transhepatic. Namun yang lebih mudah adalah melalui rute transhepatic. Ada dua
jenis tindakan yang dapat dilakukan dengan metode ini yaitu Percutaneous
cholecystolithotomy yang membuat suatu puncturing di dalam kantung empedu,
kemudian mengangkat semua batu empedu dengan chole cystoscope. Prosedur ini
lebih menguntungkan karena semua batu empedu dapat diangkat dengan cepat.
Cara kedua adalah Percutaneous cholelithotripsy jika batu empedu terlalu besar
21
untuk diangkat dapat dilakukan disintegrasi dengan : ultrasonic lithotripter,
electrohydraulic lithotripter dan YAG laser. 7
Bypass Biliodigestive yaitu bila tumor tidak dapat direseksi atau pada batu
dengan duktus koledokus yang fibrotic, pasase ke distal tidak lancer, batu
intrahepatik, batu berupa lumpur. Yang sering dilakukan adalah Roux-en-Y
koledoko jejunostomi. 7
Whipple Procedure Pancreaticoduodenoctomy.
Dimana kantung empedu, CBD, sebagian duodenum dan kepala pancreas diangkat.
Ada beberapa variasi Whipple procedure:
Standard Whipple with lymph node dissection:
22
23
Radical Whipple with lymph node dissection
Pylorus Preserving – preservasi dari pylorus
Klasik – 40% bagian dari gaster diangkat
24