Download - Obstructive Jaundice Extrahepatic Ricky
REFERAT
OBSTRUCTIVE JAUNDICE EXTRAHEPATIC
Disusun oleh:
Ricky Marasi Tambunan
0761050161
Pembimbing :
Prof. Dr. J. Boas Saragih, DTM & H SpPD KGEH
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Periode 20 Februari 2012 – 14 April 2012
JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih
setia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “Obstructive jaundice
Ekstrahepatic”. Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam RS PGI Cikini.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. J. Boas Saragih, DTM & H SpPD KGEH,
yang telah membimbing dan mengajarkan saya dalam mengetahui penyakit-penyakit yang
terdapat dalam Ilmu penyakit dalam khususnya dalam bidang Gastro-Hepatologi sehingga dapat
membantu saya menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh
karena itu, saya menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka dan memohon
maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dalam tugas referat yang telah saya buat ini.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak
yang ingin mengetahui tentang “Obstructive Jaundice Extrahepatic”.
Jakarta, Maret 2012
Penyusun
PENDAHULUAN
Ikterus merupakan perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya (membrane
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah 1. Bilirubin dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin
heme, akibat metabolisme sel darah merah. Kata ikterus atau jaundice sendiri berasal
dari bahasa Jaune yang berarti kuning. Ikterus sendiri sebaiknya diperiksa di bawah
cahaya terang siang hari dengan melihat sclera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat
paling awal pada sclera mata. Untuk memahami tentang ikterus, perlu diketahui lebih
dulu tentang tahapan metabolisme bilirubin di dalam tubuh yang berlangsung dalam
tiga fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik, walaupun diperlukan penjelasan
akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Terlihat atau
tidaknya ikterus sangat tergantung dari pigmentasi dan warna kulit seseorang karena itu
sebaiknya menggunakan istilah hiperbilirubinemia yang lebih objektif 2. Ikterus harus
dibedakan dari karotenemia yaitu warna kulit kekuningan yang disebabkan asupan
berlebihan buah-buahan berwarna kuning yang mengandung pigmen lipokrom,
misalnya wortel, papaya, dan jeruk. Pada karotenemia warna kuning tampak terutama
pada telapak tangan dan kaki disamping kulit lainnya, dan sclera pada karotenemia tidak
kuning. Ikterus harus dibedakan dengan kolestasis, dimana biasanya kolestasis disertai
dengan ikterus. Kolestasis sendiri adalah hambatan aliran empedu normal untuk
mencapai duodenum atau yang disebut dengan jaundice obstruktif. 2
Fase Prahepatik : pembentukan bilirubin dan transpor plasma, Fase Intrahepatik : Liver
uptake, Konjugasi, Fase Pascahepatik: Eksresi Bilirubin.
Fase Prahepatik:
1. Pembentukan bilirubin. Sekitar 250-350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg
berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah
merah yang matang dan 20-30% datang dari protein heme. Sebagian dari protein
heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan
enzim hemooksigenasi. Enzim lain biliverdin reduktasi merubah biliverdin
menjadi bilirubin. 1,2
2. Transport Plasma
Bilirubin tidak larut dalam air, sehingga bilirubin yang tidak terkonjugasi ini akan
larut di transportnya dalam plasma dan terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membrane glomelurus, sehingga tidak muncul di dalam air seni. Ikatan
melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti
antibiotika teretntu bisa bersaing untuk berikatan dengan albumin. 1.2
Fase Intrahepatik
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati dengan
bantuan protein pengikat seperti ligandin atau protein Y. Pengambilan bilirubin
melalui transport aktif dan berjalan cepat. 1
4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam hati mengalami konjugasi
dengan asam glukoronik dengan bantuan enzim UDP glukoronil transferase
membentuk mono glukoronida dan kemudian menjadi bilirubin diglukuronida
atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Konjugasi harus dilakukan agar
bilirubin dapat diekskresi melalui membrane kanalikular ke dalam empedu
dengan perantaraan suatu protein MRP2 (Multi Drug Resistance Associated
Protein2). Sintesa enzim UDP glukoronil transferase dikode oleh kompleks gen
UGP1. Mutasi pada kompleks ini akan menimbulkan penyakit herediter dengan
gangguan konjugasi. 1,2
Fase Pascahepatik
5. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama
bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses ini.
Di dalam usus flora bakteri men “dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkan sebagian besar ke dalam tinja yang member
warna cokelat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan
dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan diglukoronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. 1
Berdasarkan jenis bilirubin yang meningkat dalam darah, hiperbilirubinemia dibagi
menjadi tiga yaitu hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, hiperbilirubinemia terkonjugasi,
dan hiperbilirubinemia campuran.
KELAINAN METABOLISME BILIRUBIN YANG MENYEBABKAN HIPERBILIRUBINEMIA TAK
TERKONJUGASI
Peningkatan produksi Bilirubin
Hemolisis. Hiperbilirubinemia karena hemolisis murni biasanya ringan dan kadar
bilirubin totalnya tidak lebih dari 4 mg%. Bila didapatkan kadar bilirubin lebih dari itu
umumnya disebabkan oleh gangguan fungsi hati dan hemolisis.
Penurunan Klirens Bilirubin
Gangguan uptake bilirubin, adalah salah satu contoh gangguan uptake bilirubin adalah
sindrom Gilbert, dimana pada sindrom ini terjadi gangguan uptake bilirubin dan juga
gangguan konjugasi.
Gangguan Konjugasi Genetik
KELAINAN METABOLISME BILIRUBIN YANG MENYEBABKAN HIPERBILIRUBINEMIA
TERKONJUGASI
Gangguan fungsi klirens bilirubin yang bersifat familial
HIPERBILIRUBINEMIA TERKONJUGASI YANG DIDAPAT
PEMBAGIAN IKTERUS MENURUT LOKASI PENYEBABNYA
Ikterus prahepatik : akibat bahan pembentuk bilirubin yang berlebihan
Ikterus hepatic : gangguan uptake bilirubin, sindrom gilbert, obat-obatan,ganggguan
konjugasi, sindrom crigler-najar, gangguan transport (hepatitis, sirosis, obat-obatan),
gangguan ekskresi (sindrom dubin Johnson, sindrom Rotor, bening Recurrent
Intrahepatic Cholestasis, Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis. Ikterus Kolestatik
: Hambatan pada kanlikuli biliier; obat-obatan; hambatan pada duktuli: genetic, sirosis
bilier primer; Hambatan pada saluran empedu: batu empedu, tumor pancreas, dan
tumor ampula vateri.
OBSTRUCTIVE JAUNDICE EXTRAHEPATIC
Causes 3
1. Batu Empedu
Epidemiologi
Batu empedu lebih banyak ditemukan pada wanita dan makin bertambah dengan
meningkatnya usia prevalensi batu empedu bervariasi secara luas diberbagai Negara
dan diantara kelompok-kelompok etnik yang berbeda pada satu Negara. Rasio
penderita wanita terhadap pria yaitu tiga banding satu pada kelompok usia dewasa
masa reproduktif dan menjadi kurang dari dua banding satu pada usia di atas 70 tahun,
hal ini karena estrogen endogen yang menghambat konversi enzimatik dari kolesterol
menjadi asam empedu sehingga menambah saturasi kolesterol dari cairan empedu.
Progesteron juga menyebabkan gangguan pengosongan kandung empedu dan bersama
estrogen meningkatkan litogenesi (pembentukan batu di kanalikuli) cairan empedu pada
kehamilan
Faktor resiko untuk batu empedu adalah
Bahan utama yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu (80%),
fosfolipid dan kolesterol yang tidak teresterifikasi(4%). Fosfolipid akan terhidrolisis di
dalam usus dan tidak ikut serta dalam siklus entero-hepatik. Sebaliknya asam empedu
akan masuk ke dalam siklus enterohepatik kecuali asam litokolat. Beberapa asam
empedu yang utama adalah asam kolat (cholic acid) dan chendodeoxycholic acid). Asam
empedu adalah molekul menyerupai deterjen, yang dapat melarutkan substansi yang
pada dasarnya tidak larut dalam air seperti kolesterol, pada konsentrasi milimolar,
molekul asam empedu akan beragregasi membentuk agregat yang disebut dengan
misel. Kelarutan suatu kolesterol dalam cairan empedu tergantung pada perbandingan
antara asam empedu dan lesitin, dimana apabila terjadi perbandingan yang tidak
normal akan menyebabkan presipitasi Kristal-kristal kolesterol dalam cairan empedu
sehingga menjadi suatu factor awal terbentuknya batu kolesterol.
BATU KOLESTEROL
1. Supersaturasi kolesterol terjadi karena sekresi kolesterol bilier yang berlebihan,
atau karena hiposekresi asam empedu. Faktor resiko hipersekresi kolesterol
bilier antara lain obesitas, kadar estrogen yang meningkatkan lipoprotein B dan E
sehingga uptake kolesterol hepar meningkat. Progesteron yang tinggi juga akan
menghambat konversi kolesterol menjadi kolesterol ester, kehilangan berat
badan dalam waktu cepat (sehingga terjadi mobilisasi kolesterol jaringan) dan
genetic.
2. Nukleasi Kolesterol. Terbentuknya Kristal kolesterol monohidrat penting dalam
terbentuknya batu kolesterol. Beberapa protein yang berperan dalam nukleasi
kolesterol antara lain musin, Alpha 1-acid glycoprotein, Alpha 1
antichymotrypsin, dan fosfolipasi C. Protein-protein ini diduga mempercepat
kristalisasi kolesterol dengan membentuk vesikel kolesterol multilamelar yang
mempunyai kecenderungan lebih besar untuk mengkristal.
3. Disfungsi Kandung Empedu
Disfungsi yang dimaksud disini antara lain perubahan epitel mukosa kandung
empedu dan dismotilitas kandung empedu sehingga menyebabkan kontraksi
kandung empedu yang tidak baik dan menyebabkan stasis empedu. Beberapa
hal lain yang berhubungan dengan hipomotilitas kandung empedu juga antara
lain adalah nutrisi parenteral total yang berkepanjangan, cedera medulla
spinalis, kehamilan, penggunaan kontrasepsi oral, dan DM. Selain itu dapat juga
terbentuk lumpur bilier, yaitu suatu suspense yang terbentuk dari presipitat
kalsium bilirubinat, Kristal-kristal kolesterol dan mucus, adanya lumpur bilier ini
sendiri menandakan adanya dua abnormalitas yaitu keseimbangan sekresi dan
eliminasi musin yang terganggu.
BATU PIGMEN
Batu pigmen adalah batu saluran empedu dengan kadar kalsium bilirubinat yang
bermakna dan <50% kolesterol. Ada dua jenis batu pigmen yaitu batu pigmen hitam dan
batu pigmen cokelat. Batu pigmen hitam tersusun oleh kalsium bilirubinat, kalsium
karbonnat, kalsium fosfat, glikoprotein musin dan sedikit kolesterol, batu ini terbentuk
berdasarkan konsep pengendapan bilirubin. Faktor resiko yang menyebabkan
terbentuknya batu pigmen hitam antara lain hemolisis, sirosis hepatis, dan usia tua.
Batu pigmen cokelat berbeda dengan batu pigmen hitam, dimana batu ini terbentuk di
saluran empedu, bahkan setelah kolesistektomi. Berbeda dengan batu pigmen hitam,
batu pigmen cokelat memiliki lebih banyak komposisi asam lemak bebas, dan diduga
pembentukan batu pigmen cokelat ini terutama akibat infeksi dan stasis.
Hanya sekitar 20-25 % orang dengan batu empedu memiliki gejala yang bisa
menandakan bahwa terdapat batu empedu di dalam tubuhnya. Batu empedu biasanya
ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan USG abdomen dan tetap asimptomatik
pada hampir 80% dari kasus. Gejala pasien dengan batu empedu adalah hampir selalu
terdapatnya kolik bilier. Sekitar 10% pasien dengan batu empedu bermanifestasi dengan
gejala kolesistitis, terdapatnya jaundice obstruktif, dan pancreatitis. Kolik bilier berasal
dari obstruksi dari duktus sistikus ataupun duktus koledokus (CBD). Akibat adanya
sumbatan oleh batu terjadilah distensi dari viscus sehingga menyebabkan nyeri visceral
yang sangat sakit, atau perut yang terasa penuh pada bagian epigastrium atau pada
bagian kuadran kanan atas abdomen, yang dapat menjalar sampai ke daerah scapula
atau bahu sebelah kanan. Nyeri kolik bilier tersebut biasanya timbul mendadak dan bisa
terus bertahan sampai 15 menit sampai 5 jam. Beberapa pasien mengalami nyeri
setelah makan makanan berlemak dan beberapa pasien lain mengatakn bahwa nyeri
tersebut tidak berhubungan dengan apa yang dia makan sebelumnya. Apabila gejala
pasien dengan batu empedu simptomatik ini ditandai dengan episode nyeri bilier kurang
dari lima jam disebut uncomplicated. Sedangkan jika nyeri bilier ini tetap berlangsung
sampai lima jam dengan penemuan klinis atau laboratories yang menunjukan gejala
kolesistitis, ataupun gejala komplikasi lain disebut dengan complicated gallstone
disease.
Laboratory and Imaging Studies 7
Hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjang diagnosis batu empedu :
1. Ultrasonography—
USG merupakan pemeriksaan method of choice untuk mendiagnosis batu empedu. USG
dilakukan di kuadran kanan atas dan memiliki sensitivitas 95% untuk mendeteksi batu
empedu dengan diameter 1,5 mm atau lebih. Karakteristik dari batu empedu adalah
didapatkanya suatu gambaran ekogenik dengan akustik shadow di dalam lumen kantung
empedu yang bergerak sesuai dengan gravitasi sesuai dengan posisi pasien.
Adanya mobilitas –focus echogenic yang sesuai dengan gravitasi ini memudahkan untuk
membedakan batu empedu dengan polip di kantung empedu ataupun keganasan. USG
juga dapat memberitahukan informasi tentang ukuran dari kantung empedu, ada atau
tidaknya penebalan dinding kantung empedu, cairan pericholecystic (tanda kolesistitis).
Apabila terdapat dilatasi dari saluran empedu hal tersebut akan mengarahkan ke
obstruksi pada saluran empedu, dimana jika batu tersebut terdapat di duktus
koledokus, USG hanya memiliki sensitivitas yang rendah sampai sedang.
2. Computed tomography (CT)
Penggunaan CT scan biasnaya berguna untuk mendeteksi batu empedu, terutama yang
telah mengalami kalsifikasi, namun pemeriksaan ini lebih mahal dan memiliki paparan
yang tinggi terhadap radiasi. Pemeriksaan ini lebih tepat digunakan untuk mendapatkan
visualisasi dari sistem biliaris jika kita mencurigai terdapatnya obstruksi di saluran
bilier.CT is occasionally useful
3. Magnetic resonance imaging (MRI) and cholangiopancreatography
(MRCP)—
Penggunaan MRI tidak direkomendasikan untuk screening pada batu empedu, namun
pemeriksaan ini berguna untuk mendapatkan visualisasi pada duktus pankreatikus dan
dukutus biliaris. Sensitivitasnya dalam pedekteksian batu saluran empedu mencapai
85% dan bisa digunakan sebagai alternative dari ERCP sebagai screening praoperatif
untuk menyingkirkan batu saluran empedu pada pasien yang akan menjalani prosedur
cholecystectomy laparoscopic.
4. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP)—
ERCP kurang berguna untuk mendeteksi batu di kantung empedu, namun merupakan
suatu method of choice untuk mendeteksi batu di saluran empedu. Tidak seperti MRI,
ERCP memiliki nilai diagnostic dan terapeutik untuk mendapatkan visualisasi dan
ekstraksi dari batu saluran empedu. Diagnosis dengan menilai papilla vateri, membuat
kolangiografi dan biopsi. Tindakan terapi dapat dilakukan dengan sphinkterektomi,
pemasangan endprotehese/stent atau nasobilier drainage. Dengan ERCP keperluan
untuk melakukan eksplorasi koledokus menurun. Kendalanya adalah membutuhkan
keterampilan khusus dan memerlukan fasilitas radiologi. Alat ini bersifat invasive. 1,2,3
5. PTC
Percutaneous Transhepatic Cholangiography biasanya dilakukan jika ERCP dan MRCP
tidak dapat dilakukan atau gagal. Selain untuk diagnosis dapat dilanjutkan sebagai
drainase eksterna yaitu PTBD (Percutaneous Transhepatic Biliary Drainage)
6. Endoscopic ultrasound—
Merupakan metode yang paling sensitive dalam mendeteksi batu di daerah ampula.
7. Hepatobiliary scintigraphy—
Merupakan suatu metode imaging diagnostic radionuclide untuk mengevaluasi fungsi
hepatoselular dan keadaan sistem biliaris dengan menilai produksi dan aliran cairan
empedu dari hepar menuju sistem biliaris sampai ke usus kecil. Pemeriksaan ini tidak
terlalu berperan dalam mendeteksi batu empedu ataupun colesistitis, tetapi lebih
berguna untuk mendeteksi obstruksi di duktus sistikus .
2. Koledokolitiasis
Berjalannya batu empedu dari ke dalam CBD terjadi pada 10-15% pasien dengan batu
empedu. Kebanyakan dari batu tersebut adalah batu kolesterol yang berasal dari
kantung empedu. Batu yang berasal dari duktus biliaris biasanya adalah batu pigmen,
kecuali pada pasien dengan defect pada gen ABCB4 dimana menyebabkan terbentuknya
batu kolesterol di duktus biliaris akibat adanya sekresi fosfolipi’d. Pasien dengan
obstruksi CBD oleh batu biasanya mengeluhkan nyeri bilier, seperti pada obstruksi
duktus sistikus, dan terkadang diikuti dengan jaundice. Pasien dengan obstruksi memiliki
peningkatan kadar liver enzyme ALT dan AST pada fase akut, dan akhirnya menurun
meskipun obstruksi tetap berlangsung, selain itu juga akan terjadi peningkatan enjim
Alkaline phospatase, peningkatan bilirubin dan akhirnya terjadilah jaundice. Pada kasus
ini penggunaan transcutaneous abdominal ultrasonography kurang bermanfaat,
pemeriksaan laboratorium sakngat penting untuk mendapatkan diagnosis diferensial
dalam situasi ini. Pemeriksaan yang bermanfaat pada kasus ini adalah ERC (Endoscopic
Retrograde Cholangiography), selain itu juga dapat digunakan Endosonography atau
MRC terutama pada batu yang kecil (<5mm) dan batu di ampula.
3. Kolesistitis Akut
Kolestistitis akut merupakan inflamasi dari dinding kantung empedu yang biasanya
didahului oleh adanya batu yang menyebabkan obstruksi dari duktus sistikus. Respons
inflamasi ini dapat berupa : (1) inflamasi mekanik yand disebabkan oleh peningkatan
tekanan intraluminal dan distensi sehingga terjadi iskemia dari mukosa dan dindind
kantung empedu (2) Inflamasi kemis yang disebabkan oleh pelepasan lysolecithin
(akibat aktivase phospolipase pada lecithin di cairan empedu) dan factor local lainnya (3)
inflamasi bacterial, dimana berperan pada 50-80% pasien dengan kolesistitis akut.
Organisme yang paling sering menyebabkan hal tersebut yang berhasil diisolasi pada
kultur cairan empedu antara lain Eschericia coli, Klebsiella spp, Streptococcus spp, dan
Clostridium spp. 4
Gejala dari Kolesistitis akut adalah adanya nyeri bilier yang semakin parah, pada 60-70%
pasien mengalami nyeri sebelumnya dan menghilang secara spontan. Namun pada
serangan selanjutnya, nyeri semakin hebat di perut kanan atas. Biasanya pada. Selain itu
juga dapat timbul demam low-grade, pada pemeriksaan perut kanan atas akan teraba
lunak, dan pada 20-50% pasien kantung empedu yang keras dan membesar dapat
teraba. Pada beberapa pasien saat menarik napas atau batuk juga dapat menyebabkan
sakit (Murphy sign). Mirizzi’s syndrome yaitu suatu komplikasi yang jarang terjadi
dimana suatu batu empedu yang impacted (tersumbat) di duktus sistikus atau di leher
kandung empedu sehingga menyebabkan kompresi dari CBD (Common Bile Duct) dan
menyebabkan obstruksi dari CBD dan jaundice.
4 Kolesistitis Kronik.
Inflamasi kronik dari dinding kandung empedu biasanya selalu berhubungan dengan
terdapatnya batu empedu akibat dari kolesistitis akut atau subakut atau dari iritasi
mekanik akibat batu empedu.
5. Kolangitis
Infeksi dari traktus biliaris yang dapat bersifat akut ataupun kronik dan gejala yang
timbul akibat inflamasi yang terjadi, dimana penyebab utamanya antara lain adanya
obstruksi dari aliran cairan empedu. 75% pasien dengan kolangitis akut memiliki bakteri
pada kultur cairan empedunya. Karakteristik dari kolangitis akut adalah adanya nyeri
bilier, jaundice, dan demam spiking (tinggi ) disertai dengan menggigil (Charcot’s triad).
Pada kultur darah biasanya didapatkan hasil positif dan disertai dengan leukositosis.
6. Kelainan Kongenital
- Atresia Bilier dan Hypoplasia. Gambaran klinis dari atresia bilier dan hypoplasia ini
adalah timbulnya jaundice obstruktif pada awal bulan kehidupan seseorang, dengan
faeces yang pucat. Ketika atresia bilier dicurigai berdasarkan gejala klinis, laboratorium,
dan gambaran radiologi, diagnosis dipastikan dengan dilakukannya eksplorasi bedah dan
cholangiography operatif. Sekitar 10% kasus atresia bilier dapat diobati dengan roux en
Y choledochojejunostomy, dengan prosedur Kasai (Hepatic protoensterotomy) dengan
harapan agar dapat mengembalikan aliran cairan empedu.
- Choledocal Cyst. Dilatasi duktus sistikus kongenital
- Congenital Biliary Ectasia. Dilatasi dari duktus intrahepatic disertai radikula mayor
intrahepatic (Caroli’s disease), inter dan intralobular duktus (Congenital Hepatic Fibrosis)
atau keduanya.
7. Carcinoma Ampula Vater
Carcinoma dari ampula Vater , merupakan tumor malignant yang jarang, berasal dari 2
cm bagian distal akhir dari CBD, dimana ia akan melewati dinding duodenum dan
ampula papil.
CBD akan bersatu dengan duktus pankreatikus Wirsung yang membentuk suatu channel
yang keluar melalui ampula ke duodenum. Bagian distal dari CBD melebar (membentuk
ampula Vater) dan dikelilingi spinchter Oddi. Carcinoma ampulla Vater ini timbul
biasanya diawali oleh obstruksi traktus bilier. Carcinoma ini lebih banyak pada laki-laki.
Carcinoma pada ampula vater biasanya berupa adenocarcinoma. Pada separuh kasus
tumor ampula vater juga disertai dengan metastasis ke lymph node. Pada review 118
adenocarcinoma di daerah biliopancreatic, tipe adenocarcinoma ini memiliki prognosis
yang lebih buruk daripada carcinoma duodenum.
8. Tumor Kantung Empedu (Carcinoma of the Gallblader)
Carcinoma kantung empedu merupakan neoplasma yang jarang, muncul pada pasien
tua. Pada 70% kasus berhubungan dengan batu empedu, dan resiko tersebut
berhubungan dengan lamanya batu empedu tersebut berada. Angka kejadian tumor ini
dua kali lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki. Kebanyakan tumor primer ini
merupakan adenokarsinoma.
9. Tumor Saluran Empedu (Tumor of the Bile Duct)
Pada tumor duktus bilier primer tidak berhubungan dengan riwayat kolelitiasis dan
angka kejadian pada wanita disbanding laki-laki sama. Kebanyakan tumor ini berupa
adenokarsinoma yang terletak di dalam hepar atau di CBD.
10. Tumor Usus Halus
Benign : polip adematosa ataupun villous. Selain itu juga terdapat Polypoid hamartoma
yang bersifat soliter. Pada polip jenis ini jarang menimbulkan keganasan. Selain itu juga
terdapat Familial adenomatous polyposis yang ditandai dengan polip intestinal dan
colon yang multiple. Polip jenis ini memiliki kecenderungan untuk menjadi ganas.
Malignant :
- Adenocarcinoma
- Gastrointestinal Stromal Tumor. Tumor yang berasal dari jaringan mesenkim,
15% penyebab keganasan di usus halus.
11. Tumor Pankreas
Tumor pancreas merupakan kanker yang paling sering nomer dua dalam keganasan
gastrointestinal dan penyebab keempat dalam kematian yang terkait kanker. Rate 5 –
years survival nya kurang dari 4%. Penyakit ini lebih sering muncul pada laki-laki
dibanding wanita. Tumor ini jarang timbul sebelum usia 45 tahun, namun insidennya
meningkat setelah usia 70 tahun. Tumor pancreas berasal dari tiga tipe sel epitel yang
ditemukan di pancreas, yaitu sel acinar, sel ductal, dan sel endokrin. Kebanyakan tumor
(90%) berasal dari sel ductal. Sekitar 70% tumor duktal terletak di caput pancreas.
Manifestasi klinis yang paling sering pada pasien dengan tumor pancreas :
12. Trauma dan Striktur
Timbulnya strikutr pada duktus biiliaris ekstrahepatik disebabkan oleh trauma bedah
yang terjadi pada 1 dari 500 cholecystotomies. Striktur dapat muncul dengan kebocoran
bilirubin atau pembentukan abses setelah operasi atau dengan obstruksi bilier atau
kolangitis sampai dua tahun sejak trauma. Diagnosis dapat ditegakan dengan PCT
(Percutaneous Cholangiography ataupun dengan Endoscopic Cholangiography).
13. Kolangitis Sklerosing Primer (Primary Sclerosing Cholangitis)
Suatu peradangan kronik saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik yang ditandai
dengan fibrosis, striktur, dan obliterasi saluran empedu. Prevalensi penyakit ini adalah
6-8 kasus/100.000 penduduk dan 70% dari penderitanya adalah laki-laki dengan usia
antara 24-45 tahun. Pada penderita penyakit ini ditemukan factor imunologis yaitu
dijumpai beberapa antibody pada penderita yaitu ANCA (Antineutrophil Cytoplasmic
Antibodies) sebanyak 65-84%, Anticardiolipin antibodies 66%, Antinuclear antibodies
(ANA) 53%, dan Antiendothelial cell antibody (AECA) >35%. Selain itu juga ditemukan
Antimitochondrial autoantibodies (AMA) dan antismoothmuscle antibodies (ASMA)
dengan frekuensi yang rendah pada penderita penyakit ini. PSC diduga berhubungan
dengan factor genetic Human Leucocyte Antigen (HLA)
Pada penyakit ini pemeriksaan yang merupakan goal standard adalah dengan ERCP/PTC
dimana dapat dilihat kelainan khas pada saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik
yaitu iregularitas yang difus, striktur multiple dan stenosis berbagai ukuran. Apabila
pasien tidak dapat diperiksa dengan ERCP atau PTC maka dapat digunakan MRC, hanya
saja apabila menggunakan MRC tidak dapat menggambarkan saluran-saluran empedu
segmental intrahepatik jika tidak melebar.
Tabel Evaluasi Diagnostik Duktus Biliaris 5
PENATALAKSANAAN
Tindakan Umum
Tirah baring, pemberian cairan intravena, diet ringan tanpa lemak dan menghilangkan
nyeri dengan obat analgetik9.
Antibiotika
Diberikan antibiotic untuk mengobati septicemia dan mencegah peritonitis dan
empiema9.
TERAPI NON BEDAH
Litolisis dengan asam empedu peroral
Dapat digunakan dua asam empedu yaitu AKDK (Asam Kenodeoksikolat) dan AUDK
(asam ursodeoksikolat) untuk pelarutan batu empedu. Kedua asam empedu ini akan
menkan sintesis kolesterol di hati dengan menghambat hidroksi metal glutaril CoA
(HMG-CoA) reduktase dan meningkatkan aktivitas dari 7a-Hidroksilase untuk
meningkatkan sintesis asam empedu. Dosis yang digunakan adalah 8-12 mg/kgBB/hari.
Batu yang dapat diterapi adalah batu kolesterol non kalsifikasi di dalam kandung
empedu dengan diameter <5mm.
Terapi pelarutan secara kontak
Solven (Bahan pelarut) yang dapat melarutkan kolesterol dimasukan langsung ke dalam
kandung empedu secara perkutan dengan dituntun oleh USG. Solven yang digunakan
adalah MTBE (Metil Terbutil Etan) dan melarutkan kolesterol dalam satu sampai tiga
hari. Bisa digunakan pada batu kolesterol kecil tanpa kalsifikasi. Namun saat ini terapi ini
sudah ditinggalkan
ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotrypsi)
Metode ini mengkombinasikan dua cara yakni terapi oral asam empedu dan fragmentasi
batu empedu. Dengan ESWL akan menghasilkan gelombang dengan amplitude tinggi
dan menghasilkan fragmen-fragmen batu kecil <3 mm sehingga dapat melalui duktus
sistikus dan suktus koledokus dan dibuang ke duodenum.
TERAPI BEDAH
Penyakit sistem bilier yang sering membutuhkan intervensi bedah adalah hambatan
saluran ekstrahepatik, misalnya berupa batu atau tumor yang menekan saluran.
Prabedah
Dilakukan drainage pra bedah untuk menurunkan tekanan intrabilier. Cairan empedu
dapat dikeluarkan dengan drainase eksterna (T-Tube, PTBD, kolesistotomi).
Saat Bedah
Dilakukan drainase dengan meletakan T-Tube di duktus koledokus atau kolesistostomi.
Dilakukan bila keadaaan umum buruk, ada gangguan fungsi hemostasis, infeksi berat,
ataupun tumor yang tidak dapat direseksi atau di bypass.
Percutaneous Therapy
Percutaneous Therapy ini dapat dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi, dimana
apabila dilakukan intervensi bedah berhubungan erat dengan peningkatan angka
morbiditas maupun mortalitas. Pendekatan dengan Percutaneous Therapy menjadi
pilihan yang lebih aman daripada pembedahan yang bersifat invasive. Percutaneous ini
dapat mencapai kantung empedu melalui dua rute : transperitoneal dan transhepatic.
Namun yang lebih mudah adalah melalui rute transhepatic. Ada dua jenis tindakan yang
dapat dilakukan dengan metode ini yaitu Percutaneous cholecystolithotomy yang
membuat suatu puncturing di dalam kantung empedu, kemudian mengangkat semua
batu empedu dengan chole cystoscope. Prosedur ini lebih menguntungkan karena
semua batu empedu dapat diangkat dengan cepat. Cara kedua adalah Percutaneous
cholelithotripsy jika batu empedu terlalu besar untuk diangkat dapat dilakukan
disintegrasi dengan : ultrasonic lithotripter, electrohydraulic lithotripter dan YAG laser. 7,8
Bypass Biliodigestive yaitu bila tumor tidak dapat direseksi atau pada batu dengan
duktus koledokus yang fibrotic, pasase ke distal tidak lancer, batu intrahepatik, batu
berupa lumpur. Yang sering dilakukan adalah Roux-en-Y koledoko jejunostomi. 7,8
Whipple Procedure Pancreaticoduodenoctomy.
Dimana kantung empedu, CBD, sebagian duodenum dan kepala pancreas diangkat.
Ada beberapa variasi Whipple procedure:
Standard Whipple with lymph node dissection:
Radical Whipple with lymph node dissection
Pylorus Preserving – preservasi dari pylorus
Klasik – 40% bagian dari gaster diangkat
DAFTAR PUSTAKA
1. McPhee, Steven, et al. 2009. Current Medical Diagnosis and
Treatment. 48th Edition. United States of America : The McGraw Hill
Companies.
2. Sujona, Hadi, et al. 1983. Gastroenterologi. Edisi 3. Bandung : Alumni
3. Sulaiman ,Ali, et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jilid
I. Editor : Aru W Sudoyo,Jakarta : Interna Publishing.
4. Price, Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2002. Patofisiologi - Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Buku I. Edisi 4. Jakarta : EGC.
5. Fauci, Anthony S, et al. 2008. Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 17th Edition. New York : The McGraw Hill Companies.
6. Sibuea, Herdin W, Marulam M Panggabean, S.P. Gultom. 2005. Ilmu
Penyakit Dalam. Cetakan ke II. Jakarta : Rineka Cipta.
7. Nurman,Achmad, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi 1.
Editor: Sulaiman Ali,Jakarta : Jayabadi.
8. http://content.nejm.org/cgi/content/full/345/5
9. http://emedicine.medscape.com/article/185463-overview