Download - Nurhayati 2011.pdf
i
PENINGKATAN SIFAT PREBIOTIK TEPUNG PISANG DENGAN INDEKS GLIKEMIK RENDAH MELALUI
FERMENTASI DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN
NURHAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
ii
iii
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Peningkatan Sifat
Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui
Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan adalah karya saya
dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2011
Nurhayati
NRP F261070101
iv
v
ABSTRACT
NURHAYATI. Improving prebiotic properties of low glycemic index-banana flour by fermentation and autoclaving-cooling cycle. Under direction of BETTY SRI LAKSMI JENIE, HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM and SRI WIDOWATI.
Banana flour is a potential prebiotic source due to its resistant starch (RS) content. In this study the formation of RS type III (RS3) in banana var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) flour was increased in order to improve the prebiotic properties. RS-rich banana flour can be processed further to produce various kinds of functional foods. The modification process of banana flour production was conducted by a spontaneous submerged fermentation of the banana slices for 24 h at room temperature followed by one or two cycles of autoclaving (121oC, 15 min) and cooling process (4oC, 24 h). The results showed that the modification process influenced the physicochemical characteristics of banana flour. Combination of spontaneous fermentation with two cycles of autoclaving-cooling significantly increased the RS content of the modified flour about four times (28.88%). The spontaneous fermentation produced banana flour with higher amylose content. X-ray diffraction pattern of var agung semeru banana flour could be categorised as C- type granule. The native banana flour showed higher crystalinity (18.74% - 20.08%) than the modified banana flour (6.98% - 9.52%). Phenotypic and genotypic identification showed that Lactobacillus sp associated with the spontaneous fermentation of var agung semeru banana were identified as homofermentative and heterofermentative lactic acid bacteria. They were Lactobacillus salivarius and L. fructivorans. Controlled fermentation using L. salivarius FSnh1 was conducted to produce an equivalent RS content with 24 h spontaneous fermentation. Banana slices were fermented by L. salivarius FSnh1 for 12 and 24 h at room temperature, followed by two cycles of autoclaving-cooling process. The result showed that controlled fermentation using L. salivarius FSnh1 was able to reduce the fermentation time from 24 h by spontaneous fermentation to 12 h and there fore could be recommended to replace the spontaneous fermentation. The modified banana flour showed better prebiotic properties than the native banana flour. The RS3 isolated from modified banana flour was more stable to hydrolysis performed by artificial human gastric juice, able to modulate the growth of lactobacilli and bifidobacteria, produce butyric acid and increase prebiotic index (PI) score (5.14) than RS2 isolated from native banana flour (4.02). The modification process could also produced lower glycemic index (low GI)-banana flour than native banana flour (moderate GI).
Keyword: modified banana flour, fermentation, resistant starch, prebiotic properties, Lactobacillus salivarius, Lactobacillus fructivorans
vi
vii
RINGKASAN
NURHAYATI. Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan. Dibimbing oleh BETTY SRI LAKSMI JENIE, HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan SRI WIDOWATI.
Tepung pisang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional
karena mengandung komponen prebiotik yaitu pati resisten tipe II (RS2). Potensi
RS2 untuk dikembangkan sebagai prebiotik memiliki kelemahan karena sifat
resisten RS akan hilang jika pati mengalami gelatinisasi selama pengolahan. Oleh
karena itu dilakukan modifikasi proses pembuatan tepung pisang kaya pati
resisten tipe III (RS3) yang dapat bersifat lebih stabil selama pengolahan melalui
fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-pendinginan.
Proses modifikasi dilakukan dengan cara fermentasi spontan selama 24 jam
pada suhu ruang yang dikombinasi dengan satu atau dua siklus pemanasan
bertekanan (121 oC, 15 menit) dan pendinginan (4 oC selama 24 jam). Dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan kadar RS lebih banyak
daripada satu siklus retrogradasi. Kadar RS tepung pisang yang tinggi hingga
empat kali (dari 7.24% menjadi 28.88% bk) dihasilkan dari modifikasi fermentasi
spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Granula pati yang
pecah akibat proses gelatinisasi selama pemanasan bertekanan kehilangan sifat
birefringence dan tingkat kristalinitas tepung pisang menurun dari 18.74 - 20.08%
menjadi 6.98 - 9.52%. Hasil difraksi sinar X menunjukkan granula pati pisang var
agung semeru adalah granula tipe C yaitu campuran granula tipe A dan tipe B
yang memiliki puncak difraksi sinar X pada sudut 17o dan 24o.
Fermentasi spontan berperan dalam meningkatkan kandungan amilosa yang
selanjutnya berubah menjadi amilosa teretrogradasi (RS3) akibat proses
retrogradasi. Fermentasi spontan 24 jam didominasi oleh pertumbuhan bakteri
asam laktat (BAL) dengan jumlah populasi sekitar 106 CFU/ml. Hasil identifikasi
fenotip menunjukkan bahwa BAL yang tumbuh memiliki karakteristik sel bentuk
batang yang tumbuh optimal pada suhu 35 oC. BAL yang tumbuh lebih dominan
(isolat BAL FSnh1) memiliki bentuk koloni bulat sedang, berwarna putih susu
dengan elevasi cembung, tidak membentuk gas (homofermentatif) serta dapat
viii
tumbuh pada suhu 45 oC tetapi tidak tumbuh pada suhu 15 oC, sedangkan BAL
yang tumbuh kurang dominan (isolat BAL FSnhA) memiliki bentuk koloni bulat
kecil berwarna putih bening dengan elevasi seperti tetesan, membentuk gas
(heterofermentatif) serta dapat tumbuh pada suhu 15 oC maupun 45 oC.
Identifikasi genotip berdasarkan sekuen gen pengkode 16S rRNA menunjukkan
isolat BAL FSnh1 dan isolat BAL FSnhA termasuk famili Lactobacillaceae
dengan genus Lactobacillus. Isolat BAL FSnh1 memiliki similaritas dengan L.
salivarius dan isolat BAL FSnhA memiliki similaritas dengan L. fructivorans.
L. salivarius digunakan sebagai starter dalam pembuatan tepung pisang
kaya RS. Fermentasi terkendali pisang oleh L. salivarius FSnh1 selama 12 jam
meningkatkan kadar amilosa tepung pisang. Fermentasi 12 jam diikuti dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS tepung pisang lebih
tinggi (28.53% bk) daripada fermentasi 24 jam (25.72% bk). Penggunaan starter
L. salivarius FSnh1 mampu mempersingkat waktu fermentasi menjadi 12 jam
sehingga dapat direkomendasikan sebagai pengganti fermentasi spontan.
RS3 tepung pisang modifikasi terbukti dapat memenuhi beberapa
persyaratan sebagai kandidat prebiotik dengan sifat yang lebih baik di antaranya
meliputi ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung, mampu meningkatkan
pertumbuha laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan bakteri
patogen, menghasilkan asam lemak rantai pendek terutama asam butirat dan
memiliki indeks prebiotik lebih tinggi daripada RS2 tepung pisang kontrol. RS3
bersifat selektif terhadap pertumbuhan Lactobacillus acidophilus, EPEC dan
Salmonella Typhimurium. Persentase pertumbuhan EPEC lebih rendah daripada
L. acidophilus. Persentase pertumbuhan yang negatif untuk S. Typhimurium
menunjukkan bahwa RS3 tidak dapat digunakan oleh bakteri tersebut.
Nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang dipengaruhi oleh jumlah siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses satu siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan tidak menyebabkan perubahan nilai IG tepung pisang yaitu IG
sedang, sedangkan proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan baik
tanpa maupun dengan fermentasi mampu menurunkan nilai IG tepung pisang dari
IG sedang menjadi IG rendah.
ix
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh disertasi ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh disertasi ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
x
xi
PENINGKATAN SIFAT PREBIOTIK TEPUNG PISANG DENGAN INDEKS GLIKEMIK RENDAH MELALUI
FERMENTASI DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN
NURHAYATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
xii
Penguji pada Ujian Tertutup:
• Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc
• Dr. Ir. Utut Widyastuti, MS
Penguji pada Ujian Terbuka:
• Prof. Dr. Ir. Suminar Achmadi
• Dr. Ir. Novik Nurhidayat
xiii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi : Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Nama : Nurhayati
NRP : F261070101
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Ketua
Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Dr. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc Anggota Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah
Tanggal ujian : 13 Desember 2011 Tanggal Lulus : ……………………
xiv
xv
HAL PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan teruntuk orang tuaku, keluargaku,
para guruku, saudaraku dan sahabatku.
xvi
xvii
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya dengan terselesaikannya disertasi yang berjudul ”Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah melalui Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum dan Dr. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang tulus, arif dan bijak membimbing studi penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui penelitian Hibah Kompetitif sesuai Prioritas Nasional tahun 2009/2010 yang diperoleh Prof. Dr. Ir. B. Sri Laksmi Jenie, MS, serta Hibah Penelitian Disertasi Doktor tahun 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz dan Dr. Ir. Jayus selaku penguji luar komisi pada ujian prakualifikasi lisan. Terima kasih kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Dr. Ir. Utut Wydiastuti, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Suminar Setiati Achmadi, M.Sc dan Dr. Ir. Novik Nurhidayat selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Pangan IPB, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dirjen DIKTI dan pengelola beasiswa I-MHERE Universitas Jember yang telah memberikan beasiswa S3 kepada penulis serta kepada civitas akademika Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember atas dukungannya selama studi penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Ilmu Pangan khususnya Angkatan 2006, 2007 dan 2008 atas kebersamaannya serta kepada teknisi yang telah membantu selama di Laboratorium.
Kepada kedua orangtua ibu dan bapak tercinta, penulis sampaikan terima kasih atas iringan doa, restu dan kasih sayang yang meneguhkan ruh pada setiap nafas dan kesuksesan penulis. Terima kasih kepada suami tercinta (Dedy Eko Rahmanto, S.TP, M.Si) dan ananda tersayang (Aisyah Putri Nur Rahmanto) serta adinda terkasih (Nurma Handayani) atas doa dan alunan irama cinta yang menjadikan penulis mampu memelodikan bahtera hidup untuk senantiasa menggapai ridho Allah. Terima kasih kepada keluarga bapak dan ibu mertua atas iringan doa dan restu untuk kesuksesan penulis.
Kesempurnaan merupakan hal yang amat didambakan, meskipun Allah sematalah yang merupakan Dzat Maha Sempurna. Oleh karena itu adanya saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini dengan senang hati akan penulis rekomendasikan pada karya berikutnya. Dengan penuh harapan, semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca serta kemaslahatan umat.
Bogor, Desember 2011 Penulis
xviii
xix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 April 1979 di Desa Krai Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur sebagai putri pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Satiman dan Ibu Sunarmi. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Darma Wanita Desa Krai pada tahun 1983-1985, SD Negeri Krai 02 pada tahun 1985-1991, SMP Negeri I Yosowilangun pada tahun 1991-1994, SMU Negeri I Yosowilangun pada tahun 1994-1997. Penulis menempuh pendidikan sarjana dengan gelar S.TP pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (1997-2001) dan sejak April 2004 menjadi sarana penulis mengabdikan sebagian aktivitas keilmuan sebagai staf pengajar. Sebelumnya penulis pernah bekerja sebagai staf pengajar mental aritmatika Lembaga Pendidikan Kazoeru Surya/Primalpha (2001-2002). Penulis juga pernah menjadi staf laboran (QC dan R&D) Tepung Beras Rose Brand PT. Alu Aksara Pratama Mojokerto CV Sungai Budi-Bumi Waras (2003-2004). Pada bulan April 2005 penulis menikah dengan Dedy Eko Rahmanto, S.TP.
Tahun 2007 penulis memperoleh gelar M.Si dari Program Studi Ilmu Pangan SPs IPB melalui beasiswa BPPS (2005-2007). Bulan Agustus 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 pada program studi yang sama melalui beasiswa I-MHERE Universitas Jember. Selama studi S3 penulis berperan aktif pada pelatihan maupun seminar ilmiah. Penulis telah mempresentasikan sebagian hasil penelitian disertasi di antaranya pada Seminar International Society for Nutraceuticals & Functional Food 11 – 15 Oktober 2010 di Bali dengan judul poster Effect of lactic acid bacteria fermentation on the plantain (var agung semeru) flour. Penulis mendapatkan juara dua pada Graduate Research Paper Competition (GRPC) tahun 2011 dengan judul Improving prebiotic properties of banana flour by modification process serta mempublikasikannya pada Seminar Nasional PATPI 15 – 17 September 2011 di Manado. Penulis juga mempresentasikan makalah dengan judul Low glycemic index modified plantain flour as functional food pada International Food Conference 28 – 29 Oktober di Surabaya. Bagian dari disertasi telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah terakreditasi yaitu Jurnal Ilmu Dasar FMIPA Universitas Jember SK Dikti No. 65a-DIKTI/Kep/2008 Vol. 12 No. 2 Tahun 2011 (210-225) dengan judul Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from spontaneous fermentation of unripe var agung semeru banana (Musa paradisiaca formatypica). Artikel dengan judul Physicochemical characteristic of modified banana flour by fermentation and autoclaving-cooling process sedang diajukan ke jurnal Agritech FTP-UGM dan Artikel dengan judul Prebiotic properties of modified banana flour as functional foods akan diajukan ke jurnal Internasional Food Science and Technology.
xx
xxi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxvii
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar belakang ................................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 5 Lingkup Penelitian ......................................................................................... 5 Daftar Pustaka ................................................................................................ 8
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 9 Tepung Pisang ................................................................................................ 9 Karakteristik dan Modifikasi Pati .................................................................. 12 Indeks Glikemik ............................................................................................. 15 Pati Resisten dan Sifat Prebiotik .................................................................... 16 Fermentasi Bakteri Asam Laktat pada Pangan Berpati .................................. 21 Identifikasi Bakteri Asam Laktat ................................................................... 22 Daftar Pustaka ................................................................................................ 24
3. METODOLOGI PENELITIAN SECARA UMUM .................................. 29 Waktu dan Tempat ......................................................................................... 29 Alat dan Bahan ............................................................................................... 29 Tahap Penelitian ............................................................................................. 30 Daftar Pustaka ................................................................................................ 34
4. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG TERMODI- FIKASI SECARA FERMENTASI SPONTAN DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN ................................... 35 Abstrak ........................................................................................................... 35 Abstract .......................................................................................................... 35 Pendahuluan ................................................................................................... 36 Bahan dan Metode .......................................................................................... 37 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 40 Kesimpulan ..................................................................................................... 48 Daftar Pustaka ................................................................................................ 49
5. IDENTIFIKASI FENOTIP DAN GENOTIP BAKTERI ASAM LAKTAT YANG BERPERAN SELAMA FERMENTASI SPONTAN PISANG VAR AGUNG SEMERU (Musa paradisiaca formatypica) ...... 53 Abstrak ........................................................................................................... 53 Abstract .......................................................................................................... 53 Pendahuluan ................................................................................................... 54
xxii
Bahan dan Metode ......................................................................................... 55 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 58 Kesimpulan .................................................................................................... 65 Daftar Pustaka ................................................................................................ 65
6. PENINGKATAN PATI RESISTEN TEPUNG PISANG MELALUI FERMENTASI Lactobacillus salivarius FSnh1 DAN DUA SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN ................................... 69 Abstrak ........................................................................................................... 69 Abstract .......................................................................................................... 69 Pendahuluan ................................................................................................... 70 Bahan dan Metode ......................................................................................... 71 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 73 Kesimpulan .................................................................................................... 76 Daftar Pustaka ................................................................................................ 77
7. EVALUASI SIFAT PREBIOTIK DAN INDEKS GLIKEMIK TEPUNG PISANG MODIFIKASI .............................................................................. 79 Abstrak ........................................................................................................... 79 Abstract .......................................................................................................... 79 Pendahuluan ................................................................................................... 80 Bahan dan Metode ......................................................................................... 81 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 86 Kesimpulan .................................................................................................... 94 Daftar Pustaka ................................................................................................ 95
8. PEMBAHASAN UMUM ............................................................................. 99
9. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 111
LAMPIRAN ...................................................................................................... 115
xxiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Sifat fisik dan kimia tepung pisang dari beberapa varietas .............. 10
Tabel 2.2 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang ........................................................... 11
Tabel 2.3 Efek fisiologis dan klaim manfaat kesehatan oligosakarida ............. 20
Tabel 4.1 Nilai pH, konsentrasi asam laktat dan tekstur pisang selama fermentasi spontan pisang .................................................................. 41
Tabel 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi proksimat tepung pisang .. ............ 42
Tabel 4.3 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi pati dan daya cerna tepung pisang.. ............................................................................................. 43
Tabel 5.1 Karakteristik bakteri asam laktat yang diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru.. .................................................... 59
Tabel 5.2 Pola fermentasi isolat BAL FSnh1dan isolat BAL FSnhA pada Kit API 50CHL ................................................................................ 60
Tabel 5.3 Hasil analisis sekuen DNA Pengkode 16SrRNA dari isolat BAL FSnh1 dan FSnhA menggunakan program BLAST-N.. .................. 62
Tabel 6.1 Populasi bakteri asam laktat, nilai pH dan konsentrasi asam laktat selama fermentasi pisang.. ................................................................. 73
Tabel 6.2 Pengaruh lama fermentasi pisang oleh L. salivarius FSnh1dan dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap
komposisi pati tepung pisang modifikasi .. ...................................... 75
Tabel 7.1 Populasi beberapa jenis mikroflora dan konsentrasi asam lemak rantai pendek selama fermentasi pati resisten oleh kultur fekal…... 91
Tabel 7.2 Indeks glikemik tepung pisang pada beberapa perlakuan modifikasi .......................................................................................... . 93
xxiv
xxv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Diagram alir penelitian ................................................................... 7
Gambar 2.1 Pisang Agung (Musa paradisiaca formatypica) ............................ 11
Gambar 2.2 Struktur granula pati yang menunjukkan daerah amorf dan semi kristal ............................................................................................. 14
Gambar 2.3 Granula pati (A) sebelum dan (B) sesudah difermentasi oleh bakteri asam laktat amilolitik ......................................................... 22
Gambar 2.4 Granula pati pada media MRS cair (A) sebelum diotoklaf , (B) sesudah diotoklaf, (C) setelah difermentasi oleh L. amylophilus GV6 (C) ......................................................................................... 22
Gambar 4.1 Populasi ( )bakteri pendegradasi pati; ( ) bakteri asam laktat dan ( ) total bakteri selama fermentasi spontan pisang ............. 40
Gambar 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan dua siklus siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap sifat birefringence granula pati pisang. (A) alami (kontrol); (B) fermentasi; (C) dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan; (D) fermentasi spontan dengan dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan pada perbesaran 400× ............................................... 45
Gambar 4.3 Pengaruh fermentasi spontan terhadap intensitas difraksi tepung pisang; ( ) kontrol, ( ) fermentasi ............................................. 47
Gambar 4.4 Pengaruh dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terdapat intensitas difraksi tepung pisang. ( ) tanpa fermentasi spontan, ( ) dengan fermenasi spontan ....................................... 48
Gambar 5.1 Hasil elektroforesis agarosa 1% dan amplifikasi DNA pengkode 16S rRNA dengan PCR M = marka DNA 1kb DNAladder. a = BAL FSnh1; b = BAL FSnhA ................................................. 61
Gambar 5.2 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan
sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu famili Lactobacillacea ................................................. 63
Gambar 5.3 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA dari isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu genus Lactobacillus ...................................... 64
Gambar 6.1 Pengaruh lama fermentasi oleh Lactobacillus salivarius FSnh1 terhadap kadar amilosa tepung pisang modifikasi .................. ...... 74
xxvi
Gambar 7.1 Hidrolisis (37 oC, 6 jam) pati resisten tepung pisang modifikasi: (A) kontrol (tanpa modifikasi), (B) dengan fermentasi spontan, (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan ............... .......... 87
Gambar 7.2 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) EPEC (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) EPEC (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-
pendinginan) .................................................................................. 88
Gambar 7.3 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) S. Typhimurium (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS),
( ) S. Typhimurium (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan) ............................................................... 88
Gambar 7.4 Indeks prebiotik pati resisten tepung pisang; ( ) tanpa modifikasi (kontrol), ( ) modifikasi secara fermentasi yang dikombinasikan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan ( ) kontrol negatif tanpa pati resisten ...................... 92
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Analisis Statistika Tepung Pisang Fermentasi Spontan ................. 115
Lampiran 2. Derajat Kristalinitas ........................................................................ 125
Lampiran 3. Hasil Identifikasi Menggunakan Kit API 50 CHL ......................... 132
Lampiran 4. Sekuensing DNA Pengkode 16S rRNA ......................................... 134
Lampiran 5. Rendemen dan Yield Isolasi Pati .................................................... 157
Lampiran 6. Hidrolisis Pati Resisten oleh Asam Lambung Artifisial................. 158
Lampiran 7. Indeks Prebiotik Pati Resisten Pisang ............................................ 159
Lampiran 8. Profil SCFA Menggunakan Analisis Gas Chromatography (GC) 160
Lampiran 9. Indeks Glikemik Tepung Pisang .................................................... 162
xxviii
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat
memberikan manfaat tambahan bagi kesehatan manusia di samping fungsi gizi
dasar pangan tersebut. Komponen pangan fungsional dapat berupa suatu
komponen gizi makro yang memiliki efek fisiologis spesifik seperti pati resisten
dan asam lemak n-3 atau suatu komponen gizi mikro yang asupannya lebih besar
dari asupan harian atau tidak bernilai gizi seperti mikroorganisme dan komponen
bioaktif tanaman (Roberfroid 2000).
Permintaan konsumen terhadap pangan fungsional semakin meningkat dan
mendapat respon positif dari produsen. Produsen makanan dan minuman
fungsional di Amerika Serikat, Eropa dan Asia Pasifik dapat meraih keuntungan
$72.3 milyar dan diperkirakan akan terus meningkat 5.7% per tahun dalam tahun
2007 sampai 2012. Pangan fungsional tersebut didominasi oleh pangan probiotik
dan prebiotik (Datamonitor Newswire 2008).
Pada tahun 2007 jumlah produk makanan prebiotik yang terlisensi lebih dari
400 macam serta lebih dari 20 perusahaan memproduksi oligosakarida dan serat
sebagai prebiotik. Produsen prebiotik di Eropa telah meraih keuntungan sebesar
€87 juta dan naik menjadi €179.7 juta pada tahun 2010 (FAO 2007). Peningkatan
pertumbuhan pasar prebiotik dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang
membuka kesempatan bagi ahli teknologi pangan untuk senantiasa mengkaji
sumber-sumber prebiotik baru yang dapat bermanfaat bagi status kesehatan
manusia.
Prebiotik adalah suatu unsur makanan yang mempunyai pengaruh
menguntungkan bagi manusia dan secara selektif menstimulasi pertumbuhan dan
atau aktivitas metabolik dari satu atau sejumlah terbatas bakteri probiotik dalam
kolon, sehingga memperbaiki kesehatan. Probiotik adalah bakteri hidup yang
diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh menguntungkan
bagi kesehatan baik pada manusia maupun binatang, dengan memperbaiki
2
keseimbangan mikroflora intestinal (Gibson & Roberfroid 1995; Roberfroid
2007). Mikroflora yang digolongkan sebagai probiotik diantaranya adalah yang
memproduksi asam laktat yaitu laktobasili dan bifidobakteria serta bakteri jenis
lain. Beberapa produk komersial prebiotik adalah FOS (fruktooligo sakarida),
inulin, GOS (galaktooligosakarida), laktulosa dan laktitol. Bahan-bahan lain yang
memenuhi kriteria prebiotik yaitu xilosa, soya (rafinosa dan stakiosa kedelai),
serta manosa (Collin & Gibson 1999; FAO 2007).
Sekelompok bahan yang dalam beberapa tahun terakhir memperoleh
perhatian besar karena berpotensi sebagai kandidat prebiotik adalah pati resisten
(resistant starch/RS). Menurut Sajilata et al. (2006) RS adalah pati yang tidak
dapat dicerna oleh enzim pencernaan pada usus kecil sehingga dapat mencapai
usus besar dan dapat difermentasi oleh mikroflora pada usus besar. Kondisi
demikian akan mampu menstimulasi pertumbuhan mikroflora probiotik seperti
Lactobacillus spp dan Bifidobacteria dan dapat menurunkan pH usus sehingga
mencegah pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella sp,
Staphylococcus aureus, dan Clostridium sp. RS pati jagung yang dimodifikasi
secara kimiawi terbukti dapat menstimulasi pertumbuhan bifidobakteria.
Kadar amilosa yang tinggi berperan dalam meningkatkan kadar RS3 yang
terbentuk akibat proses retrogradasi. Tepung jagung dengan kadar amilosa 25%
memiliki kadar RS sebesar 3g/100g berat kering, sedangkan tepung jagung
dengan kadar amilosa 70% memiliki kadar RS sebesar 20 g /100 g berat kering
(Sajilata et al. 2006).
Pisang merupakan bahan pangan berpati yang mengandung amilosa sekitar 10
- 15%. Pisang menjadi salah satu komoditas pertanian dari 17 komoditas yang
diprioritaskan oleh Departemen Pertanian dalam pembangunan pertanian lima tahun
(2005 – 2010). Selain itu, pisang juga sebagai salah satu komoditas yang menjadi
mandat prioritas Puslitbang/Balai Besar di bawah Badan Litbang Pertanian serta
memiliki prospek untuk pengembangan agroindustri. Salah satu jenis pisang lokal
Indonesia adalah pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) yang
banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur dengan
tingkat produksi dapat mencapai lebih dari 57 ribu ton per tahun (RPJMD
3
Lumajang 2009). Pisang var agung semeru adalah jenis pisang plantain yang
perlu diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi seperti dikukus, digoreng,
dikolak, diolah menjadi keripik dan bentuk olahan lainnya. Pisang plantain
memiliki kandungan pati lebih banyak sehingga baik untuk dikembangkan
menjadi tepung pisang sebagai bentuk produk setengah jadi (intermediet product)
yang dapat diolah lebih lanjut menjadi produk pangan.
Pengembangan tepung pisang menjadi pangan fungsional dapat berdasarkan
pertimbangan kandungan RS yang banyak ditemukan pada buah pisang mentah.
RS tersebut merupakan RS tipe II (RS2) yang bersifat mudah rusak selama proses
pengolahan terutama pemanasan basah yang menyebabkan gelatinisasi pati
sehingga struktur granula pati rusak dan kehilangan sifat resistennya terhadap
enzim pencernaan. Oleh karena itu dilakukan upaya meningkatkan kandungan RS
yang bersifat lebih stabil selama proses pengolahan. Soto et al. (2004) melaporkan
bahwa proses retrogradasi berulang pada pati pisang mampu meningkatkan pati
resisten tipe III (RS3) yang bersifat lebih stabil selama pengolahan.
Kadar RS pada pisang cavendish (Musa cavendishii) yang sudah tua tetapi
belum matang hanya sebesar 1.51 ± 0.1% berat kering. Kadar RS akan meningkat
sebesar dua kali jika pati pisang dihidrolisis dengan asam dan meningkat sebesar 7
– 10 kali jika pati pisang dipanaskan pada suhu 121 oC selama 1 jam (Saguilan et
al. 2005). Soto et al. (2007) juga melaporkan bahwa kadar RS meningkat pada
pati pisang jenis plantain dengan adanya pemanasan yang dikombinasi dengan
pendinginan (retrogradasi). Menurut Sajilata et al. (2006) pati teretrogradasi
(RS3) cenderung sulit dicerna dalam saluran pencernaan, akan tetapi dapat
digunakan oleh mikroflora usus sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya.
Modifikasi proses secara fermentasi terkendali sudah dilakukan dengan
menggunakan kultur bakteri asam laktat (BAL) tunggal yaitu Lactobacillus
fermentum, L. plantarum kik dan kultur campuran kedua BAL tersebut. Kadar RS
tepung pisang lebih tinggi pada fermentasi tunggal selama 48 jam dengan
menggunakan kultur L. plantarum kik. Modifikasi proses pada irisan pisang
mentah juga dilakukan secara fermentasi spontan selama 24 jam yang
dikombinasi dengan satu siklus pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit) yang
4
diikuti pendinginan (4 oC, 24 jam). Modifikasi tersebut mampu meningkatkan
kadar RS3 sekitar 2 kali lipat (Jenie et al. 2009).
Fermentasi secara spontan selama 24 jam berperan dalam meningkatkan
kandungan RS3 tepung pisang, akan tetapi memiliki kelemahan di antaranya ialah
jenis mikroba yang tumbuh dapat bervariasi dan sangat tergantung pada kondisi
dan lingkungan sehingga sulit dikontrol. Populasi awal BAL yang rendah dapat
menyebabkan bakteri pembusuk serta bakteri patogen tumbuh lebih cepat
mendahului pertumbuhan BAL (Antara et al. 2002). Penggunaan kultur starter
indigenus dari bahan aslinya lebih memudahkan dalam mengendalikan proses
fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang lebih baik dan sesuai dengan
karakteristik produk yang diinginkan (Antara 2010). Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menerapkan proses fermentasi terkendali
dengan menggunakan isolat BAL asal fermentasi spontan pisang dengan lama
fermentasi yang optimal. Dalam upaya peningkatan RS tepung pisang, dilakukan
modifikasi proses yang meliputi kombinasi fermentasi pisang dengan siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan (retrogradasi).
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang
dengan indeks glikemik rendah melalui proses fermentasi dan siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan. Secara rinci tujuan dari penelitian adalah:
1. Mengevaluasi karakteristik fisikokimia tepung pisang modifikasi secara
fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dalam upaya
meningkatkan pati resisten (RS) sebagai kandidat prebiotik terhadap.
2. Mengidentifikasi fenotip dan genotip isolat bakteri asam laktat yang berperan
selama fermentasi spontan pisang var agung semeru (Musa paradisiaca
formatypica).
3. Menentukan lama fermentasi pisang oleh isolat BAL indigenus dalam
pembuatan tepung pisang kaya RS.
5
4. Mengevaluasi sifat prebiotik isolat RS dan indeks glikemik tepung pisang
modifikasi.
Manfaat Penelitian
Tepung pisang modifikasi yang dihasilkan dapat dikembangkan sebagai
pangan fungsional yang memiliki sifat prebiotik yang baik dan nilai indeks
glikemik rendah sehingga dapat dimanfaatkan bagi kesehatan pencernaan manusia
dan sebagai pangan diet. Galur bakteri asam laktat yang diperoleh dari fermentasi
spontan pisang var agung semeru dapat digunakan sebagai stater dalam
pembuatan tepung pisang modifikasi kaya RS sehingga proses fermentasi pisang
lebih terkendali.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian adalah:
1. Proses modifikasi secara fermentasi spontan dan siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung
pisang.
2. Bakteri asam laktat yang berperan selama fermentasi spontan memiliki
karakteristik fenotip dan genotip yang spesifik.
3. Fermentasi pisang menggunakan starter isolat BAL indigenus dapat
mempersingkat waktu fermentasi dalam pembuatan tepung pisang modifikasi
kaya RS.
4. Proses modifikasi secara fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan mampu meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang.
5. Proses modifikasi secara fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan mampu menurunkan nilai indeks glikemik tepung pisang.
6
Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan serangkaian penelitian untuk meningkatkan sifat
prebiotik tepung pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica)
melalui proses modifikasi secara fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan (retrogradasi). Penelitian ini meliputi: 1) upaya meningkatkan kadar
pati resisten (RS) tepung pisang melalui modifikasi secara fermentasi spontan
yang dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan bertekanan-
pendinginan, 2) mengidentifikasi fenotip dan genotip BAL asal fermentasi
spontan pisang, 3) meningkatkan kadar RS tepung pisang melalui modifikasi
secara fermentasi oleh isolat BAL indigenus pisang yang dikombinasi dengan
pemanasan bertekanan-pendinginan (retrogradasi) dalam pembuatan tepung
pisang kaya RS, 4) mengisolasi RS tepung pisang yang dihasilkan serta
mengevaluasi sifat prebiotiknya dan nilai indeks glikemik tepung pisang
modifikasi. Diagram alir kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.
7
Gambar 1.1 Diagram alir penelitian
Tahap I
Pengeringan dalam oven (50 oC, 16 jam), penepungan dan pengayakan dengan mesh 80
Analisis komposisi kimia, pati, daya cerna, RDS, SDS, RS, sifat birefringence, kristalinitas
Identifikasi fenotip isolat BAL: morfologi dan biokimia dengan kit API 50CHL
Tahap III
Satu dan dua siklus retrogradasi: pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit), pendinginan (4 oC, 24 jam)
Fermentasi terkendali selama 12 dan 24 jam dengan menggunakan BAL homofermentatif indigenus dan kombinasinya dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
Pisang var agung semeru (umur panen 16 minggu dari masa pembungaan)
Pengupasan dan pemotongan pisang dengan ketebalan 5 mm
Fermentasi spontan (suhu kamar, 24 jam)
Pisang terfermentasi
Tahap IV
Tahap II
Lama fermentasi terkendali terbaik
Identifikasi genotip isolat BAL berdasarkan sekuensing gen 16S rRNA
Isolasi dan evaluasi sifat prebiotik RS (ketahanan terhadap asam lambung, indeks prebiotik, SCFA dan viabilitas probiotik) dan
evaluasi indeks glikemik (IG) tepung pisang
Isolasi BAL Tanpa fermentasi
spontan
Isolat BAL
Genus dan Strain
Tepung pisang kaya RS
RS dengan sifat prebiotik lebih baik dan tepung pisang dengan IG rendah
8
DAFTAR PUSTAKA
Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Antara NS, Sujaya IN, Yokota A, Asano K, Aryanta WR, Tomita F. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol. 18: 255–262, 2002.
[DN] Datamonitor Newswire. 2008. Functional food. http://www.google.com. [13 Nov 2008].
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.
Gibson GR, Roberfroid M. 1995. Dietary modulating of the human colonic microbiota: introducting the concept of prebiotics. J Nutr. 125: 1401-1412. http:/www.ajcn.org/cgi/content/full/69/5/1052S [12 Nov 2008].
Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.
Roberfroid M. 2000. Concepts and strategy of functional food science: the european perspective. Am J Clin Nutr. 71(suppl):1660S–4S.
Roberfroid M. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited. The Journal of Nutrition Effect of Probiotics and Prebiotics.137:830S-837S [01 Juni 2008]
Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57:405-412.
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.
Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Bello-Perez LA. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499.
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Bello-Perez LA. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.
9
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Pisang
Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam
pengembangan sumber pangan lokal. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang
masih mentah yang sudah cukup tua namun belum masak. Manfaat pengolahan
pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam
pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan,
mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi
buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang
usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan.
Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada pembuatan
roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran makanan bayi. Pada
dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna
tepung yang dihasilkan beragam, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah,
jenis buah dan cara pengolahan. Buah pisang kepok mempunyai warna tepung
yang paling baik yaitu putih.
Ada beberapa jenis pisang yang warnanya berbeda-beda, tetapi hampir
semua yang dijual di pasar atau supermarket berwarna kuning ketika sudah
matang dengan bentuk mayoritas melengkung. Deptan (2009) mengklasifikasikan
jenis pisang menjadi empat yaitu:
1. Pisang yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak yaitu
Musa paradisiaca var.sapienium, M. nana L atau M. cavendishii, dan M.
sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, barangan dan mas.
2. Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu M. paradisiaca formatypica atau
M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok.
3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan
daunnya. Misalnya pisang batu dan kluthuk.
4. Pisang yang diambil seratnya, misalnya pisang manila/abaca.
10
Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Pada
umumnya daging buah pisang mengandung energi, protein, lemak, berbagai
vitamin serta mineral seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi zat gizi pisang per 100 g buah segar (Aurore et al. 2009)
Senyawa Komposisi
Energi (Kkal) 91.00 Air (g) 63.00 Karbohidrat (g) 24.30 Protein (g) 0.80 Lemak (g) 0.10 Ca (mg) 7.00 Mg (mg) 33.00 P (mg) 35.00 Fe (mg) 0.50 Cu (mg) 0.16 Β karoten ekuivalen (µg) 0.03 – 1.20 Vitamin B1 (mg) 0.05 Vitamin B2 (mg) 0.05 Vitamin B6 (mg) 0.07 Vitamin C (mg) 20.00 Asam pantotenat (mg) 0.37 Asam folat (mg) 0.16 Serotonin (mg) 45.00
Tingkat kematangan juga mempengaruhi komposisi kimia daging pisang
seperti kadar pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati.
Tingkat kematangan ini ditandai dengan perubahan warna kulit pisang seperti
yang dijelaskan pada Tabel 2.2.
11
Tabel 2.2 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang (Zhang et al. 2005)
Tahap Warna Kulit
Komposisi (100 g berat segar) Suhu Gelatinisasi
(oC) Pati (%) Gula Reduksi (%)
Sukrosa (%)
1 Hijau 61.7 0.2 1.2 74 - 81 2 Hijau 58.6 1.3 6.0 75 - 80 3 Hijau ada kuning 42.4 10.8 18.4 77 - 81 4 Lebih hijau
daripada kuning 39.8 11.5 21.4 75 - 78
5 Lebih kuning daripada hijau
37.6 12.4 27.9 76 - 81
6 Kuning dengan ujung hijau
9.7 15.0 53.1 76 - 80
7 Kuning sempurna
6.3 31.2 51.9 76 - 83
8 Kuning sedikit noda cokelat
3.3 33.8 52.0 79 - 83
9 Kuning banyak noda cokelat
2.6 33.6 53.2 -
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) merupakan jenis
pisang yang biasa dimakan setelah diolah misalnya dikukus, digoreng, direbus,
diolah menjadi kolak, kripik, dan lain sebagainya. Pisang var agung semeru
mempunyai ukuran buah yang besar dan bentuk yang menyerupai tanduk
sehingga di beberapa tempat menyebutnya sebagai pisang tanduk. Pisang ini
mempunyai panjang dapat lebih dari 10 cm. Setiap tandan hanya mempunyai satu
hingga tiga sisir.
Gambar 2.1 Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica)
12
Pisang var agung semeru banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang
Jawa Timur. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
Pertanian Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, populasi pisang var agung
semeru di awal tahun 2004 mencapai 323 hektar dari luas total Kecamatan
Senduro yaitu 52,000 hektar. Produksi pisang var agung semeru di Kecamatan
Senduro mencapai 33 ribu ton per tahun, dan tahun 2004 meningkat menjadi 37
ribu ton. Data UPT Dinas Pertanian Kecamatan Senduro tahun 2009 menunjukkan
produksi pisang var agung semeru masih lebih tinggi yaitu mencapai 4,095,000 kg
dibandingkan produksi pisang jenis lainnya seperti pisang mas (1,123,850 kg),
pisang ambon (1,757,520 kg) dan pisang kepok (526,500 kg). Populasi tanaman
pisang var agung semeru di desa Jambe Arum Kecamatan Pasrujambe mencapai
612.5 hektar atau sekitar 1.53 juta pohon pisang, dengan asumsi rata-rata 2,500
pohon pisang per hektar (RPJMD Kabupaten Lumajang 2009).
Karakteristik dan Modifikasi Pati
Pati merupakan homoglikan yang terdiri atas satu jenis unit D-glukosa yang
dihubungkan oleh ikatan glukosida. Unit glukosa pati membentuk dua jenis
polimer yaitu amilosa dan amilopektin. Pada umumnya pati mengandung 15-30%
amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan lain seperti lipid, protein dan
mineral (Emanual 2005).
Amilosa adalah homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur
cincin piranosa, sedangkan amilopektin adalah homoglikan D-glukosa dengan
ikatan α-(1,4) dan α-(1,6) dari struktur cincin piranosa. Amilosa biasanya
dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis
dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang
sempurna. Enzim β-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu
glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai
amilosa sehingga menghasilkan maltosa. Kemampuan amilosa berinteraksi
dengan yodium membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk
mendeteksi adanya pati (Emanual 2005).
13
Bentuk pati secara alami berupa butiran-butiran kecil yang sering disebut
granula. Bentuk dan ukuran granula setiap jenis pati mempunyai karakteristik
tersendiri sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,
karakteristik lain dari pati adalah bentuk dan keseragaman granula, lokasi hilum
serta permukaan granula pati. Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih,
mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa
granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-lapisan tipis
dan tersusun secara terpusat.
Beberapa pati dapat diidentifikasi penampilan karakteristik morfologisnya
di bawah mikroskop cahaya. Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin
yang terdiri dari daerah/zona amorf dan semi kristal yang masing-masing
mempunyai lebar beberapa ribu nanometer. Pasangan masing-masing zona
tersebut membentuk cincin dan masing-masing granula mempunyai panjang
kurang lebih 50 mm. Daerah amorf mengandung amilopektin dalam jumlah lebih
kecil dibanding amilosa. Masing-masing lamela kristalin terdiri atas kelompok
rantai paralel dengan ikatan -1,4 glukan dan secara bersama-sama membentuk
konformasi heliks. Cabang -1,6 pada heliks membentuk lamela yang amorf dan
membentuk jaringan dengan lamela kristalin. Unit kristal lebih tahan terhadap
perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorf bersifat labil terhadap asam
kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa
merusak struktur pati secara keseluruhan. Semakin banyak unit amorf yang
tersusun maka pati akan lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan. Pati
yang memiliki unit amorf atau amilosa lebih banyak apabila diberi perlakuan
retrogradasi maka jumlah pati resisten yang terbentuk akan meningkat. Skema
struktur pati tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Eliason & Gudmunsson
1996).
14
Gambar 2.2 Struktur granula pati yang menunjukkan daerah amorf dan semi kristal (Eliason & Gudmunsson 1996)
Pati pisang memiliki ukuran diameter rata-rata 24.31 µm untuk pati yang
tidak dimasak dan 59-66 µm untuk pati yang dimasak (Nunez-Santiago et al.
2004). Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging
buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi (Zhang et al.
2005).
Lawal (2004) menjelaskan cara modifikasi pati di antaranya melalui proses
hidrolisis asam, oksidasi, ikat silang (cross-linking atau cross bonding), subtitusi
dan gelatinisasi. Pati termodifikasi asam dibuat dengan menghidrolisis pati
menggunakan asam di bawah suhu gelatinisasi (sekitar 52 oC) sehingga terjadi
pemotongan ikatan α-1,4-glukosidik dari amilosa dan α-1,6-D-glukosidik dari
amilopektin membentuk pati dengan ukuran molekul lebih rendah. Pati teroksidasi
dibuat dengan penambahan natrium hipoklorid dan banyak digunakan pada
pembuatan kertas. Pati pregelatinisasi dibuat dengan cara memanaskan pati
sehingga terjadi gelatinisasi dan banyak digunakan pada pembuatan saus, pasta
dan jelly. Pati yang diperoleh secara kimia dari reaksi ikat silang bahan kimia
seperti boraks, epikloridin, fosfor oksiklorida dan lain sebagainya. Pati jenis ini
banyak digunakan sebagai pie filling (pada pengalengan, gravy dan saus),
Cincin Semikristalin
Cincin Amorf
Bagian Amorf
Lamela Kristalin
Lamela Amorf
Rantai C
Rantai A
Rantai B
Kluster
15
pembuatan makanan bayi dan salad dressing. Pati termodifikasi oleh hidrolisis α–
amilase menyebabkan terjadinya pemotongan ikatan glukosidik yang berlangsung
dalam dua tahap yaitu serangan enzim secara acak akan mendegradasi pati
menjadi maltosa dan maltotriosa dan hidrolisis oligosakarida menjadi glukosa dan
maltosa.
Indeks Glikemik
Pati dalam pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai glikemik dan
ketahanannya terhadap enzim pencernaan. Pati glikemik didegradasi dalam
saluran pencernaan oleh enzim amilase. Pati glikemik dapat dikategorikan sebagai
pati yang dicerna secara cepat (rapidly digestible starch/RDS) dan pati yang
dicerna secara lambat (slowly digestible starch/SDS). RDS dicerna secara cepat
dalam usus halus, sedangkan SDS dicerna lebih lambat daripada RDS. Kedua
jenis pati ini dapat dicerna secara sempurna. Contoh pati yang dicerna secara
cepat adalah pati yang mengalami gelatinisasi seperti kentang rebus. Pati yang
dicerna secara lambat banyak terdapat pada bahan pangan seperti pasta (Croghan
2002).
Indeks glikemik (IG) adalah petunjuk tentang faali makanan terhadap kadar
glukosa darah dan respon insulin. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah
dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar
glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah. Glukosa murni digunakan
sebagai pembanding IG yang memiliki nilai IG 100. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi IG suatu pangan di antaranya adalah proses pengolahan,
perbandingan kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik,
kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat antigizi
(Foster-Powell & Miller 1995).
Proses pengolahan seperti pengecilan ukuran dapat mempengaruhi IG
pangan. Ukuran partikel dapat mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Ukuran
butiran pati yang semakin kecil memudahkan penyerapan air pada granula pati
dan semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga lebih mudah dicerna dan
16
diserap. Oleh karena itu semakin kecil ukuran partikel akan meningkatkan IG
pangan. Pangan yang lebih banyak mengandung amilopektin akan lebih lama
dicerna menjadi glukosa karena membutuhkan dua macam enzim untuk
mendegradasinya yaitu α-amilase dan α, 1-6 glukosidase sehingga lebih lambat
dalam meningkatkan kadar IG (Astawan & Widowati 2011)
Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG
mendekati 60. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim
sukrase atau invertase. Fruktosa diserap dan diambil langsung, selanjutnya diubah
menjadi glukosa dalam hati. Oleh sebab itu respon gula darah terhadap fruktosa
murni sangat kecil yaitu 23. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi
cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga pencernaan
makanan dalam usus halus lebih lambat. Hal ini akan mempengaruhi peningkatan
kadar glukosa darah sehingga IG pangan rendah. Kandungan zat antigizi dalam
pangan seperti antitripsin dan fitat dalam kedelai dapat mempengaruhi pelepasan
glukosa. Zat antigizi dapat membentuk kompleks dengan zat gizi seperti protein
sehingga menurunkan daya cerna protein. Zat antigizi lain seperti senyawa
polifenol dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga menurunkan
daya cerna pati (Fostel-Powell & Miller 1995; Astawan et al. 2006).
Pati Resisten dan Sifat Prebiotik
Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna. Sejumlah
besar pati yang tidak dapat dicerna masuk ke dalam usus besar dan merupakan
substrat yang penting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut bersifat resisten
terhadap enzim pencernaan sehingga disebut pati resisten (resistant starch/RS).
RS tidak dapat didegradasi oleh enzim pencernaan dalam sistem pencernaan
manusia. RS dapat terukur bersama-sama dengan serat dalam bahan pangan
sebagai komponen serat pangan. Adanya serat dalam bahan pangan dapat
mempengaruhi asupan nutrisi dan energi serta meningkatkan distensi (pelebaran)
lambung yang berkaitan dengan penahanan rasa kenyang. Serat yang larut air
dapat menurunkan penyerapan lemak dan protein. Pati resisten maupun serat
17
tertentu dapat difermentasi oleh mikroflora usus besar yang akan menghasilkan
asam lemak rantai pendek yaitu asam propionat, asam asetat dan asam butirat.
Komponen tersebut dapat memberikan aspek fungsional bagi kesehatan tubuh. RS
juga bisa memodifikasi lingkungan intrakolonik dan secara tepat mengubah fungsi
toksikologi serta melindungi terhadap kanker colorectal dengan memperpendek
waktu transit dan meningkatkan densitas kamba feses (Kumari & Thayumanavan
1997).
Ada empat macam pati resisten (RS) yang dikelompokkan berdasarkan asal
terbentuknya. RS tipe I (RS1) adalah jenis pati yang terperangkap di dalam
matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II (RS2) adalah pati alami
yang berupa granula pati, contohnya pati jagung yang kaya amilosa, pati kentang
mentah dan pati pisang mentah. RS tipe III (RS3) adalah pati yang sudah
mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang. RS
tipe IV (RS4) adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia (Sajilata et al.
2006).
RS3 merupakan pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan
baku pangan fungsional. Pembentukan RS3 terjadi karena granula pati mengalami
gelatinisasi. Granula rusak akibat proses pemanasan basah dan terjadi pelepasan
amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer
terpisah sebagai ikatan ganda membelit (double helix) dan mengalami
pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur
kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Peristiwa ini
dikenal dengan istilah retrogradasi (Lawal 2004). Amilosa teretrogradasi (RS3)
bersifat lebih stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim
amilase.
Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai
prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya
terlihat bahwa penggunaan RS pada makanan dapat didegradasi oleh bakteri-
bakteri kolon dan bersifat promotif bagi kesehatan. RS pati jagung yang
dihasilkan dari proses modifikasi secara kimia dapat menstimulasi pertumbuhan
18
Bifidobacteria sehingga merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial
(Hegar 2007).
Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram
dibandingkan kentang (3.2 gram) pada takaran penyajian yang sama (Mendosa
2008). Saguilan et al. (2005) menjelaskan bahwa pati pisang cavendish (Musa
cavendishii) yang sudah tua tapi belum matang mengandung RS sebesar 1.51 ±
0.1 % berat kering. Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebesar dua kali
jika dihidrolisis dengan HCl (litnerized starch), dan meningkat sebesar 7 – 10 kali
jika dipanaskan pada suhu 121 oC selama 1 jam (autoclaved starch).
Beberapa riset telah melakukan modifikasi proses untuk meningkatkan
kandungan RS tepung pisang. Kecepatan aliran udara selama proses pengeringan
chips (irisan) pisang mentah dapat mempengaruhi kandungan RS pada tepung
pisang yang dihasilkan. Pengeringan pada suhu 55 oC dengan kecepatan udara 1.0
m/detik mampu meningkatkan kadar RS sekitar 40% (Tribess et al. 2009). Jenie et
al. (2009) melaporkan bahwa modifikasi proses di tingkat pisang secara
fermentasi spontan dan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu
meningkatkan RS tepung pisang hingga dua kali lipat. Jenie et al. (2010)
mengaplikasikan tepung pisang yang dihasilkan pada pembuatan produk pangan
yaitu roti, cookies dan brownies.
Konsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi
mikrobiota kolon yang menyebabkan bifidobakteria lebih dominan dalam kolon
dan banyak ditemukan dalam tinja (Gibson & Roberfroid 1995). RS3 dari
gandum, kentang dan kacang polong dapat menstimulasi pertumbuhan
bifidobakteria yaitu Bifidobacteria pseudolongum KSI9, B. breve KN14 dan B.
animalis KS20a1 (Wronkowska et al. 2006). RS4 dari jagung juga mampu
menstimulasi pertumbuhan Bifidobacteria sp (Hegar 2007). Pati resisten termasuk
molekul yang mempunyai panjang rantai (derajat polimerisasi) lebih pendek.
Panjang rantai ini sangat berhubungan dengan kecepatan fermentasi. Roberfroid et
al. (1997) menjelaskan bahwa derajat polimerisasi suatu oligosakarida dari bahan
bifidogenik seperti kelompok β-fruktan memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kecepatan fermentasi secara in vitro. Molekul dengan derajat
19
polimerisasi (DP) kurang dari 10 seperti inulin akan difermentasi dua kali lebih
cepat daripada molekul yang mempunyai DP lebih dari 10.
Pengaruh prebiotik terhadap pertumbuhan probiotik dinyatakan sebagai
indeks prebiotik (IP) yang dihitung berdasarkan jumlah logaritmik pertumbuhan
probiotik, dan mikroflora usus lainnya seperti klostridia dan bakteroides terhadap
jumlah mikroba total. Analisis tersebut dilakukan dengan menumbuhkan mikroba
dari feses manusia pada medium yang mengandung prebiotik uji (Manderson et
al. 2005; Roberfroid 2007).
Prebiotik didefinisikan sebagai suatu karbohidrat yang tidak dapat dicerna
dan tidak dapat diserap tetapi dapat difermentasi secara selektif dan mempunyai
fungsi regulasi terhadap probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek
kesehatan bagi manusia maupun hewan (Salminen & Wright 2004). Beberapa
prasyarat yang dijabarkan FAO (2007) yaitu meliputi karakteristik prebiotik yang
mendeskripsikan sumber asal prebiotik, tingkat kemurniannya, komposisi kimia
dan strukturnya. Karakteristik lainnya adalah jumlah asupan yang dikonsumsi,
sifat fungsional yang dapat menunjukkan bukti ilmiah antara efek fisiologis
senyawa prebiotik dalam memodulasi mikrobiota pada daerah/organ spesifik.
Kualifikasi prebiotik didasarkan pada penelitian dan metode ilmiah yang
representatif dan akurat, serta keamanannya jika prebiotik tersebut dikonsumsi.
Prebiotik juga tidak mengandung kontaminan dan impuritis, tidak mengubah
mikrobiota yang menyebabkan dampak negatif bagi inang (manusia). Oleh karena
itu senyawa prebiotik perlu mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As
Safe) atau setaranya. Beberapa klaim kesehatan dalam hubungannya dengan efek
fisiologis dari senyawa prebiotik golongan oligosakarida dipaparkan pada Tabel
2.3.
Beberapa jenis prebiotik antara lain FOS (fruktooligosakarida), inulin, GOS
(galaktooligosakarida), laktulosa, laktitol (Collin & Gibson 1999; Macfarlane &
Cummings 1999). Bahan-bahan tersebut paling sering dipakai sebagai prebiotik.
Di samping itu terdapat pula bahan lain yang memenuhi kriteria prebiotik
misalnya xilosa, soya dari kedelai, dan manosa (Gibson et al. 2000). Menurut
FAO (2007) terdapat sekelompok golongan senyawa prebiotik baru yang masih
20
dalam tahap pengembangan yaitu pektioligosakarida, laktosukrosa, gula alkohol,
gluko-oligosakarida, levan, pati resisten, xilosakarida dan soy-oligosakarida.
Tabel 2.3 Efek fisiologis dan klaim manfaat kesehatan oligosakarida (Macfarlane & Cummings 1999)
Efek Fisiologis Faktor Kesehatan
- Menstimulasi metabolisme karbohidrat; meningkatkan massa sel bakteri, asam lemak rantai pendek
- Selektif terhadap bifidobakteria dan bakteri asam laktat dalam usus besar
- Tidak terhidrolisis oleh mikroorganisme mulut
- Tidak bersifat glikemik - Menstimulasi dan bersifat tidak spesifik
terhadap fungsi imun - Memodulasi metabolisme karsinogen - Mengurangi sintesis LDL dan trigliserida
serum - Meningkatkan penyerapan Mg dan Ca
Melalui asam lemak rantai pendek, menyediakan sumber energi untuk epitel kolon dan mengontrol diferensiasi serta menghindari sembelit
Meningkatkan retensi terhadap invasi patogen
Melindungi terhadap karies gigi
Bermanfaat bagi penderita diabetes
Mencegah infeksi
Bersifat antikarsinogen atau antikanker Mencegah penyakit jantung koroner
Mencegah osteoporosis
Prebiotik dapat memodulasi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan
(probiotik). Peningkatan populasi probiotik memiliki manfaat diantaranya yaitu
mencegah kanker karena dapat menghilangkan bahan prokarsinogen dari tubuh
dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Probiotik tertentu seperti
Bifidobacterium infantis mengandung bahan aktif anti tumor pada dinding sel.
Selain itu probiotik juga memproduksi berbagai enzim pencernaan (fosfatase,
lisozim) dan vitamin (B1, B2, B6, asam folat, dan biotin) yang akan diserap di
dalam usus halus dan dimanfaatkan oleh tubuh serta memproduksi asam laktat dan
asam asetat sehingga menyebabkan usus menjadi asam dan akhirnya menekan
pertumbuhan bakteri patogen penyebab radang usus seperti Escherichia coli dan
Clostridium perfringens. Senyawa asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat
(probiotik) mampu menurunkan pH usus, meningkatkan absorpsi kalsium dan
mengurangi penyerapan amonia dan amina sehingga dapat mencegah tekanan
darah tinggi, kolesterol dan kanker yang disebabkan oleh nitrosamin.
Streptococcus thermophilus mampu menunjukkan aktivitas anti tumor dan
21
menghasilkan antioksidan indigenus yaitu superoksid dismutase (Salminen &
Wright 2004).
Fermentasi Bakteri Asam Laktat pada Pangan Berpati
Bakteri asam laktat (BAL) dapat ditemukan pada produk fermentasi spontan
seperti ogi dari singkong (Reddy et al. 2008), asinan buah dan sayur
(Kusumawaty et al. 2003), urutan yang merupakan sosis khas Bali dari daging
babi (Antara et al. 2002). Selain itu BAL juga dapat diisolasi dari daging (Arief et
al. 2011), susu (Sujaya et al. 2008), limbah kedelai (Malik et al. 2008), minuman
serta buah yang busuk (Plessis et al. 2004). BAL tertentu seperti Lactobacillus
plantarum, L. fermentum, L. manihotivorans, L. amylophillus, L. amylovorus, L.
amilolyticus, Leuconostoc cellobiosus, L. acidophillus, Leuconostoc sp,
Streptococcus bovis dan S. macedonicus telah dilaporkan memiliki sifat amilolitik
yaitu mampu menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati (Reddy et al.
2008).
BAL dapat memfermentasi pangan berkarbohidrat seperti jagung, kentang,
ubi kayu, serealia dan lain sebagainya. Bakteri ini mampu menghasilkan enzim
amilase dan asam yang dapat menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung,
kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya (Reddy et al. 2008).
Spesies terbaru BAL amilolitik adalah Lactobacillus manihotivorans yang
diisolasi dari pati asam ubi kayu (Reddy et al. 2008). Olympia et al. (1995)
mengkarakteristik strain L. plantarum dari makanan khas Filipina yaitu burong
isda yang terbuat dari ikan dan nasi. Strain amilolitik L. fermentum pertama kali
diisolasi dari adonan pati jagung Benin (ogi dan mawe) (Agati et al. 1998). Sanni
et al. (2002) menemukan strain BAL amilolitik dan L. fermentum dari pangan
terfermentasi khas Nigeria. BAL amilolitik menghasilkan enzim ekstraseluler
yaitu amilase dan pululanase yang dapat menghidrolisis sebagian pati alami
menjadi gula sederhana dan oligosakarida lain atau dekstrin (Sikorsi 2002).
Vishnu et al (2006) mengidentifikasi enzim amilase dan pululanase dari
Lactobacillus amylophilus GV6 sebagai protein dengan berat molekul 90 KDa.
Kedua enzim ini mempunyai aktivitas sebesar 0.439 U/g/min untuk amilase dan
22
0.18 U/g/min untuk pululanase yang difermentasi pada media dedak gandum
(wheat bran). Aktivitas α-amilase dalam fermentasi pati oleh Streptococcus bovis
sebesar 1.41 U/ml lebih besar daripada fermentasi glukosa (0.06 U/ml) (Narita et
al. 2004). Enzim α-amilase akan memotong karbohidrat pada ikatan endo-α 1,4
menghasilkan maltosa dan dekstrin. Pululanase akan memotong karbohidrat pada
ikatan endo-α 1,6 menghasilkan dekstrin linier (Sikorsi et al. 2002).
Wronkowska et al. (2006) menjelaskan bahwa fermentasi pati gandum,
pati kentang dan pati kacang polong oleh BAL selama 24 jam menunjukkan
perubahan mikrostruktur yaitu pembentukan struktur globular dan lamelar.
Sajilata et al. (2006) menjelaskan perubahan struktur pati dari kristalin menjadi
lebih porus (amorf), meningkatkan kemampuan pelepasan amilosa serta
menurunkan suhu gelatinisasi pati. Semakin banyak amilosa yang terlarut selama
proses gelatinisasi maka akan semakin tinggi terjadinya retrogradasi pati selama
proses pendinginan. Pati yang mengalami retrogradasi akan memiliki sifat lebih
resisten terhadap enzim pencernaan. Pati ini sering disebut sebagai pati resisten
tipe III (RS3). Perubahan yang terjadi pada granula pati akibat fermentasi BAL
dapat diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Gambar 2.3 dan Gambar
2.4).
Gambar 2.3 Perubahan granula pati (A) sebelum dan (B) sesudah difermentasi
oleh bakteri asam laktat amilolitik. Sumber: Wijbenga (2000)
Gambar 2.4 Granula pati pada media MRS cair (A) sebelum diotoklaf,
(B) sesudah diotoklaf, (C) setelah difermentasi oleh
B
A
A
C B
23
L. amylophilus GV6. Sumber: Vishnu et al. (2006)
Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri yang dapat
memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi karbohidrat. BAL yang
menghasilkan dua molekul asam laktat dari fermentasi glukosa disebut bakteri
asam laktat homofermentatif, sedangkan BAL yang menghasilkan satu molekul
asam laktat dan satu molekul etanol serta satu molekul karbon dioksida disebut
bakteri asam laktat heterofermentatif (Reddy et al. 2008).
Identifikasi BAL dapat dilakukan berdasarkan sifat fenotip dan genotip.
Identifikasi fenotip hanya terbatas sampai tingkat spesies yang didasarkan pada
hasil pengamatan morfologi seperti bentuk sel, tipe koloni dan pewarnaan Gram,
uji fisiologis, metabolik (biokimia) atau kemotaksonomi. BAL merupakan bakteri
dengan sifat katalase negatif sehingga pada uji katalase dengan hidrogen
peroksida 30% tidak menghasilkan gelembung udara/gas. Identifikasi fenotip
dengan pengujian fisiologis berdasarkan pola fermentasi BAL pada beberapa gula
terkadang bias untuk beberapa spesies tertentu. Oleh karena itu identifikasi
genotip perlu dilakukan untuk uji konfirmasi spesies BAL (Plessis et al. 2004).
Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan metode molekuler di
antaranya yaitu melalui penentuan urutan basa DNA pengkode 16S rRNA pada
bakteri dengan metode Polymerase Chain Reactions (PCR)-sekuensing (Ammor
et al. 2005). Aplikasi molekuler DNA pengkode 16S rRNA untuk menganalisis
keragaman molekuler suatu bakteri sangat sesuai karena gen ini terdapat pada
semua mikroorganisme prokariot. Gen pengkode 16S rRNA bersifat stabil dalam
sel bakteri daripada rRNA yang biasanya dapat terdegradasi dan hanya terdapat
pada fase-fase tertentu saja (Guttel et al. 1994).
DAFTAR PUSTAKA
24
Ammor S, C Rachman, S Chaillou, H Prevost, X Dousset, M Zagorec, E Dufour, I Chevallier. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382
Antara NS, IN Sujaya, A Yokota, K Asano, WR Aryanta, F Tomita. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol 18: 255–262, 2002.
Arief II, Jenie BSL, Asyawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. J Media Peternakan. 33 (3): 137-143.
Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. Vol 12 (1)
Aurore G, Parfait B, Fahrasmane L. 2009. Bananas, raw materials for making processed food products. J Trends in Food Science & Technology. 20: 78 - 91
Collin MD, Gibson GR. 1999. Probiotics, prebiotics and synbiotics: approaches for modulating the microbial ecology of the gut. American J Clin Nutr. Vol. 69, No. 5. http://www.ajcn.org/cgi/ content/full/69/5/1052S [12 Okt 2008].
Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J Business Briefing: FoodTech. (Referece Section).
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2008.
Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohydrates in Food (Edited by Eliasson A.C.), Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504.
Emanuel C. 2005. Pengaruh Fosforilasi dan Penambahan Asam Stearat Terhadap Karakteristik Film Edible Pati Sagu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.
Foster-Powell K, Miller JB. 1995. International tables of glycemic index. Am J Clin Nutr. 62(suppl 2):S871–S890
Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited, Oxford, United Kingdom.
25
Gibson GR, Roberfroid M. 1995. Dietary modulating of the human colonic microbiota: introducting the concept of prebiotics. J Nutr. 125: 1401-1412. http:/www.ajcn.org/cgi/content/full/69/5/1052S [12 Nov 2008].
Guttel RR, Larsen N, Woese CR. 1994. Lesson from evoluation rRNA, 16S rRNA and 23S rRNA strutsfores from a comparative perspective microbes. J Kes. 58: 10-26
Hegar B. 2007. Mikroflora saluran cerna pada kesehatan anak. J Dexa Media. 20 (1). Januari -Maret.
Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Kumari SK, Thayumanavan B. 1997. Comparative study of resistant starch from minor millets on intestinal responese, blood glucose, serum cholesterol and triglycerides in rats. J Sci Food Agric. 75:296-302.
Kusumawati N, Jenie BSL, Siswasetyahadi, Hariyadi RD. 2003. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J Mikrobiologi Indonesia. 8 (2): 39-43
Lawal OS. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidised, acetylated and acid-thinned new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. J Food Chem. 87: 205–218
Macfarlane GT, Cummings JH. 1999. Probiotics and Prebiotics: can regulating the activities of intestinal bacteria benefit health? J Brit Med. April. 10.318(17189):999-1003.http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender. fcgi?artid=1115424 [21 Agust 2008].
Malik A, Donna M. Ariestanti, Nurfachtiyani A, Yanuar A. 2008. Skrining gen glukosiltransferase (gtf) dari bakteri asam laktat penghasil eksopolisakarida. J Makara Sains. 12 (1): 1-6
Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389,
Mendosa. 2008. Revised international table of glycemic index (GI) and glycemic load (GL) values. www.mendosa.com [11Jan 2009].
Nunez-Santiago MC, Bello-Perez LA, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. Carb Polym. 56: 65-75.
26
Olympia M, Fukuda H, Ono H, Kaneko Y, Takano M. 1995. Characterization of starch-hydrolyzing lactic acid bacteria isolated from a fermented fish and rice food, “Burong Isda,” and its amylolytic enzyme. J Ferment Bioeng. 80:124–30.
Plessis HW, Dicks LMT, Pretorius IS, Lambrechts MG, Toit MD. 2004. Identification of lactic acid bacteria isolated from South African brandy base wines. Intern J Food Microbiol. 91: 19– 29
Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.
[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.
Roberfroid M. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited. The Journal of Nutrition Effect of Probiotics and Prebiotics.137:830S-837S [01 Juni 2008]
Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57:405-412.
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.
Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional aspect. 2nd Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc.
Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62.
Sikorsi ZE. 2002. Chemical and functional properties of food components. Ed ke-2. CRC Press
Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Dwipayanti NMU, Nociaanitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari susu kuda sumbawa. J Veteriner. 9 (2): 52-59
Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Bello-Perez LA, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.
Vishnu C, Naveena BJ, Altas Md, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. Enzyme Microb Technol. 38:545-50
27
Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].
Wronkowska M, Smietana MS, Krupa U, Biedrzycka E. 2006. In vitro fermentation of new modified starch preparations—changes of microstructure and bacterial end-products. J Enzyme Microbial Technol. 40: 93–99
Zhang P, Whistler RL, BeMiller JN, Hamake BR. 2005. Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility—a review. J Carbohy Polymers. 59: 443–458
28
29
3. METODOLOGI PENELITIAN SECARA UMUM
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dimulai bulan Maret 2009 sampai dengan bulan April 2011.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Laboratorium South East Asian Food &
Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Centre IPB serta Laboratorium
pendukung seperti Labotarorium Balitnak Kementerian Pertanian dan
Laboratorium Biorin-Bioteknologi IPB.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan meliputi: otoklaf, mikroskop polarisasi (Olympus
C-35AD-4 Japan), spektrofotometer, difraksi sinar X (Shimadzu XRD-7000
Maxima), gas kromatografi (Chrompack CP 9002 seri 946253), anoxomat,
anaerobic jar, sentrifuse, elektroforesis, UV transilluminator, alat PCR PTC 100
(MJ Research, Inc), inkubator, otoklaf, oven dan lain sebagainya.
Bahan baku yang digunakan adalah pisang var agung semeru (Musa
paradisiaca formatypica) yang diperoleh dari Kecamatan Senduro Kabupaten
Lumajang Propinsi Jawa Timur. Buah pisang tua mentah dipanen pada minggu ke
16 dari awal pembungaan.
Media dan bahan kimia yang digunakan antara lain: de Mann Rogosa Sharp
Agar (MRSA) dan de Mann Rogosa Sharp Broth (MRSB), Brain Heart Infusion
(BHI) agar, Thioglycollate agar, kristal violet, lugol, safranin, alkohol, NaCl, asam
tartarat 10%, gliserol, NaOH, buffer fosfat, buffer TAE, Na2HPO4.2H2O,
NaHPO4, CaCl2.2H2O, MgCl2.6H2O, DNS, HCl, K2HPO4, MgSO4.7H2O,
CaCl2.2H2O, NaHCO3, bacto agar, L-cysteine HCl, garam bile, resazurin, vitamin
K1, Tween 80, hemin, Kit API 50CH, CTAB, PCI, primer universal 63F dan
1387R KI2, enzim pankreatin, pepsin dan amiloglukosidase.
30
Tahap Penelitian
Penelitian meliputi empat tahap yaitu: 1) proses modifikasi secara
fermentasi spontan serta kombinasinya dengan satu dan dua siklus pemanasan
bertekanan yang dilanjutkan dengan pendinginan, 2) identifikasi fenotip dan
genotip bakteri asam laktat (BAL) asal fermentasi spontan pisang var agung
semeru, 3) proses modifikasi secara fermentasi oleh isolat BAL indigenus dan
kombinasinya dengan siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dalam
pembuatan tepung pisang kaya RS, 4) isolasi pati resisten (RS) serta evaluasi sifat
prebiotik dan nilai indeks glikemik tepung pisang.
Modifikasi Pembuatan Tepung Pisang secara Fermentasi Spontan dan
Kombinasinya dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Proses modifikasi dilakukan pada irisan pisang yaitu pisang diiris dengan
ketebalan ± 5mm. Irisan pisang diberi perlakuan fermentasi spontan yang
dilanjutkan dengan satu atau dua siklus retrogradasi yaitu pemanasan bertekanan
yang diikuti pendinginan. Proses pemanasan bertekanan dilakukan dengan
menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit yang kemudian
didinginkan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Tepung pisang kontrol disiapkan
tanpa modifikasi yaitu pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm dan dikeringkan
pada suhu 50 oC selama 16 jam selanjutnya dihaluskan serta diayak dengan
ayakan 80 mesh.
Tepung pisang modifikasi secara fermentasi spontan yang dikombinasi
dengan retrogradasi disiapkan dengan merendam irisan pisang dalam akuades
steril (3:4) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar. Selama fermentasi
dilakukan pengukuran total bakteri asam laktat, pH dan total asam laktat tertitrasi
pada jam ke-0, 12 dan 24 jam. Pada jam ke-24 pisang ditiriskan. Untuk
modifikasi fermentasi spontan maka irisan pisang terfermentasi dapat langsung
dikeringkan pada suhu 50 oC selama 16 jam serta dihaluskan dan diayak dengan
ayakan 80 mesh. Untuk modifikasi fermentasi spontan yang dikombinasi dengan
31
siklus pemanasan bertekanan-pendinginan maka irisan pisang terfermentasi diberi
perlakuan satu dan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Perlakuan
diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik sampling bahan baku di
lahan budidaya pisang var agung semeru.
Keenam jenis tepung pisang yang dihasilkan selanjutnya dianalisis
komposisi kimia yang meliputi proksimat (air, protein, lemak, mineral dan
karbohidrat) dengan menggunakan metode AOAC (1999), kadar pati dan kadar
amilosa (AACC 2000), pati cepat tercerna (rapidly digestible starch/RDS), pati
lambat tercerna (slowly digestible starch/SDS), pati resisten (resistant starch/RS)
(Englyst et al. 1992), serta daya cerna (AACC 2000). Karakterisasi fisik seperti
bentuk granula pati dan tingkat kristalinitas tepung pisang juga dievaluasi pada
tepung pisang kontrol dan tepung pisang modifikasi yang banyak mengandung
pati resisten.
Identifikasi Fenotip dan Genotip Bakteri Asam Laktat Asal Fermentasi
Spontan Pisang var Agung Semeru
Selama fermentasi spontan 24 jam diketahui populasi bakteri asam laktat
(BAL) tumbuh dominan. Oleh karena itu dilakukan identifikasi BAL yang
berperan selama fermentasi. Identifikasi fenotip berdasarkan sifat Gram positif,
katalase negatif, bentuk sel kokus atau batang dengan bentuk/tipe koloni tertentu
(Ammor et al. 2005). Selanjutnya isolat diinokulasikan dalam media MRS cair
dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam untuk diidentifikasi lanjut atau
disimpan dalam larutan gliserol (30% v/v) pada suhu -20 oC. Sifat fermentatif
isolat BAL dianalisis dengan menggunakan kit API 50CHL.
Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan metode PCR dan
sekuensing DNA pengkode 16S rRNA. DNA isolat BAL diekstraksi dengan
menggunakan metode Thompson et al. (1995).
Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan alat PCR PTC 100 (MJ
Research, Inc) pada suhu 95 oC selama 5 menit, dilanjutkan dengan denaturasi
pada suhu 94 oC selama 30 detik kemudian 30 siklus penempelan primer pada
suhu 50 oC selama 1 menit, 72 oC selama 2 menit, dan tahap akhir pasca sintesis
32
pada suhu 72 oC selama 5 menit dan 15 oC selama 10 menit. Produk PCR diambil
dan disimpan pada suhu 4 oC untuk selanjutnya diperiksa dengan menggunakan
elektroforesis agarosa 1% b/v dalam TAE 1x, 100 V selama 30 menit (Sambrook
dan Russel 2008; Suharsono dan Widyastuti 2008). Pensejajaran ganda (multiple
alignment) dilakukan dengan menggunakan Program Clustal W yang selanjutnya
divisualisasikan kekerabatannya menggunakan pohon filogenetik Program
TREEVIEW X yang dikombinasikan dengan Program NJ-Plot (Thompson et al.
1995).
Modifikasi Secara Fermentasi Terkendali oleh Isolat BAL Indigenus dalam
Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi Kaya RS
Irisan pisang dan akuades steril dalam perbandingan 3:4 diinokulasi dengan
isolat BAL homofermentatif indigenus sehingga populasi kultur mencapai jumlah
106 CFU/ml. Selanjutnya pisang diinkubasi selama 12 dan 24 jam pada suhu
kamar. Pisang ditiriskan dan diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan yaitu pemanasan bertekanan dengan menggunakan otoklaf pada suhu
121 oC selama 15 menit kemudian dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 50 oC selama 16 jam,
selanjutnya chip dihaluskan serta diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh.
Evaluasi Sifat Prebiotik dan Indeks Glikemik (IG) Tepung Pisang
Evaluasi sifat prebiotik dilakukan pada RS2 dari tepung pisang yang tidak
mengalami retrogradasi dan RS3 dari tepung pisang yang mengalami retrogradasi.
RS diisolasi dengan menggunakan metode Englyst et al. (1992) yang dimodifikasi
dengan metode gravimetri (AOAC 1999). Sifat prebiotik dianalisis berdasarkan
ketahanan RS terhadap cairan lambung artifisial pada pH 1 sampai 5
(Wicheinchot et al. 2010), persentase pertumbuhan probiotik (Lactobacillus
acidophilus) dan bakteri patogen, yaitu enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)
dan Salmonella Typhimurium (Buriti et al. 2010) serta fermentasi RS oleh kultur
33
feses untuk mengetahui kemampuan memodulasi mikroflora dan menstimulasi
produksi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) serta nilai
indeks prebiotik (Manderson et al. 2005).
Evaluasi IG dilakukan pada keenam jenis tepung pisang yang dihasilkan.
Uji IG tepung pisang dilakukan dengan menggunakan sepuluh relawan manusia
(Astawan & Widowati 2011). Tepung pisang disajikan kepada relawan dalam
bentuk nasi yang diolah seperti menanak tiwul. Pengujian ini sudah mendapat
persetujuan etis (ethical approval) dari Kementerian Kesehatan dengan No.
LB.03.04/KE/8320/ 2010.
34
DAFTAR PUSTAKA
[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved Methods of the AACC. The Association, St. Paul, MN. 10th ed.
Ammor S, Rachman C, Chaillou S, Prevost H, Dousset X, Zagorec M, Dufour E, Chevalliera I. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382
[AOAC] Association of analytical communities. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.
Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. 12 (1)
Buriti FCA, Castro IA, Saad SMI. 2010. Viability of Lactobacillus acidophilus in synbiotic guava mousses and its survival under in vitro simulated gastrointestinal conditions. Int J Food Microbiology. 137: 121–129.
Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. European J Clinical Nutr. 46(Suppl.2): 533-550.
Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389,
Suharsono, Widyastuti U. 2008. Penuntun Praktikum; Pengantar Genetika Molekuler. Departemen Biologi-FMIPA. Institut Pertanian Bogor
Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1995. CLUSTAL W: Improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, Position specific gap penalties and weight matrix choice. Nucleic Acid Res. 22: 4673-4680.
Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. Food Chem. 120: 850–857.
35
4. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI SECARA FERMENTASI SPONTAN DAN
SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN [Physicochemical characteristics of modified banana flour by fermentation and
autoclaving-cooling cycles]
ABSTRAK Kajian tentang karakteristik fisikokimia antara tepung pisang alami dan
tepung pisang modifikasi dilakukan pada pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica). Tepung pisang alami (kontrol) dihasilkan dengan mengeringkan irisan pisang, menghancurkan dan mengayak tepung dengan ayakan 80 mesh. Tepung pisang modifikasi dihasilkan dengan cara irisan pisang diberi perlakuan fermentasi spontan (suhu kamar, 24 jam) dilanjutkan dengan satu atau dua siklus pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit) yang diikuti dengan pendinginan (4 oC, 24 jam) sebelum dilakukan proses pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri asam laktat tumbuh mendominasi hingga mencapai 106 CFU/ml selama fermentasi spontan pisang. Modifikasi proses mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung pisang. Fermentasi meningkatkan kadar amilosa. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan pati resisten (RS) tepung pisang dengan nyata (28.88% bk) dibandingkan dengan yang satu siklus (24.72 bk). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan merusak granula pati dan menurunkan kristalinitas tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X menunjukkan granula pati pisang adalah granula tipe C yang merupakan campuran dari granula tipe A dan tipe B.
ABSTRACT Studies on the physicochemical characteristics on the native banana flour
and modified banana flour were carried out on “agung var semeru” banana (Musa paradisiaca formatypica). Native banana flour was produced by drying the banana slice, ground and passed through a 80 mesh screen. Modified banana flour were produced by spontaneous fermentation (room temperature, 24 h) and one or two cycles of autoclaving (121 oC, 15 min) followed by cooling (4 oC, 24 h)of the slices before drying process. The results showed that lactic acid bacteria were the dominating bacteria up to 106 CFU/ml during spontaneous fermentation of banana slices. The modification processes influenced physicochemical characteristics of banana flour. Spontaneous fermentation increased amylose content. Two cycles of autoclaving-cooling significantly increased resistant starch content of banana flour (28.88 db) than the one cycle (24.72 db). Retrogradation process destroyed the granules and decreased the crystalinity from 18.74% - 20.08% to 6.98% - 9.52%. X-ray diffraction showed that the starch granule was type C granule as a mixture of A and B polymorphs.
36
Keywords: Musa paradisiaca formatypica, spontaneous fermentation, autoclaving-cooling process.
PENDAHULUAN
Pisang merupakan salah satu bahan pangan yang sebagian besar terdiri atas
karbohidrat terutama pati. Pisang dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: pisang
jenis banana yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak, pisang
jenis plantain yang dimakan setelah diolah, pisang berbiji yang dimanfaatkan
daunnya dan pisang yang diambil seratnya. Salah satu jenis plantain yaitu pisang
var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) yang banyak dibudidayakan di
Kabupaten Lumajang Jawa Timur dengan produktivitas mencapai lebih dari 57
ribu ton per tahun (RPJM Deptan Lumajang 2009).
Tepung pisang cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai pangan
fungsional. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung di antaranya yaitu lebih
tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis
untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang,
mampu meningkatkan nilai gizi buah melalui proses fortifikasi selama
pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri
pedesaan. Teknologi pengolahan tepung pisang secara konvensional dilakukan
dengan mengeringkan buah pisang mentah yang selanjutnya dihancurkan dan
diayak dengan ukuran mesh 60-100 (Deptan 2009).
Modifikasi proses pada pati pisang telah banyak dilakukan untuk
meningkatkan kadar pati resisten (resistant starch/RS). Pati yang diotoklaf pada
suhu 121 oC selama 1 jam diikuti dengan pendinginan 4 oC selama 24 jam dan
diulang sebanyak tiga siklus mampu meningkatkan kadar RS dari 1.51% menjadi
16.02% (Saguilan et al. 2005). Soto et al. (2004) juga melakukan modifikasi pati
pisang untuk meningkatkan kadar RS dengan menggunakan metode debranching
oleh enzim pululanase yang dikombinasi dengan pemanasan otoklaf dan
pendinginan.
37
Modifikasi proses pada tepung pisang telah dilakukan oleh Tribess et al.
(2009) untuk meningkatkan kadar RS selama proses pengeringan chip pisang
dengan mengatur kecepatan udara (0.6 - 1.4 m/detik pada suhu 55 oC). Jenie et al.
(2009) melaporkan bahwa fermentasi spontan irisan pisang yang dikombinasi
dengan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan
kandungan RS tepung pisang lebih dari 17% berat kering (hampir dua kali).
Pengaruh dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan setelah proses fermentasi
belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik fisikokimia tepung pisang yang dihasilkan melalui proses modifikasi
secara fermentasi spontan yang dikombinasi dengan satu atau dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan dalam upaya meningkatkan kadar RS.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari
Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang
Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan
dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.
Metode
Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi melalui Fermentasi Spontan dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya direndam dalam akuades
steril (3:4) dan difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Pisang yang sudah
difermentasi selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diberi pemanasan bertekanan
dengan menggunakan otoklaf (121 oC, 15 menit) yang dilanjutkan dengan
pendinginan (4 oC, 24 jam). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan dilakukan
sebanyak satu dan dua siklus. Selanjutnya pisang dikeringkan (50 oC, 16 jam) dan
dihaluskan serta diayak dengan ayakan mesh 80. Tepung pisang kontrol dibuat
38
dari irisan pisang yang langsung dikeringkan dan dihaluskan serta diayak tanpa
proses modifikasi. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan
teknik sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.
Pengamatan Populasi Mikroba Selama Fermentasi Spontan
Selama fermentasi spontan irisan pisang dilakukan pengamatan jumlah
mikroba untuk mengetahui populasi kapang, khamir, bakteri pendegradasi pati,
bakteri asam laktat, total bakteri, pH dan jumlah asam laktat tertitrasi. Sebanyak
10 mL cairan fermentasi pisang diambil secara periodik pada jam pada jam ke-0,
12 dan 24, selanjutnya ditambah dengan 90 ml akuades steril dan dilakukan
pengenceran berseri. Tiga seri hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL dan
dilakukan pemupukan metode tuang pada media Potato Dextrose Agar (PDA)
yang mengandung 10% asam tartarat dengan inkubasi suhu kamar untuk kapang,
pada media PDA dengan inkubasi suhu 40 oC untuk khamir, pada media de Mann
Rogosa Sharp Agar (MRSA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk bakteri asam
laktat, pada media Starch Agar (SA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk bakteri
pendegradasi pati, dan pada media Nutrient Agar (NA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk total bakteri yang masing-masing diinkubasi selama 48-72 jam. Nilai pH
diukur dengan menggunakan pHmeter, sedangkan total asam laktat ditentukan
dengan menggunakan metode titrimetri.
Analisis Komposisi Kimia
Tepung pisang dianalisis kadar air, abu, protein, lemak dan kadar
karbohidrat (AOAC 1999). Selain itu juga dilakukan analisis kadar pati, amilosa
dan daya cerna pati (AACC 2000).
Analisis Komposisi Pati (RDS, SDS dan RS)
Komposisi pati yang meliputi kadar pati tercerna cepat (rapid digestable
starch/RDS), pati tercerna lambat (slowly digestable starch/SDS) dan pati resisten
39
(resistant starch/RS) ditentukan dengan menggunakan metode Englyst et al.
(1992). Tepung pisang sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung sentrifus. Sampel
dicuci menggunakan 8 ml etanol 80% selanjutnya disentrifus pada kecepatan 554
× g selama 10 menit dan diulang dua kali. Residu yang merupakan pati ditambah
20 mL buffer sodium asetat (0.1M pH 5.2), selanjutnya dididihkan dalam
penangas air selama 30 menit. Sampel didinginkan dan ditambah 5 mL larutan
enzim yang mengandung ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase. Larutan enzim
disiapkan dengan cara mensuspensikan 3.0 g pankreatin (Sigma, Cat. No. P7545)
ke dalam 20 mL air deionisasi, selanjutnya distirer selama10 menit pada suhu
ruang dan disentrifus pada 1500 g selama 10 menit. Sebanyak 13.5 mL supernatan
pankreatin ditambah amiloglukosidase 210 U (Sigma Cat. No. A7095) dan 1.25
mL air deionisasi. Selanjutnya sampel diinkubasi dalam inkubator bergoyang pada
suhu 37 oC selama 30 menit untuk menentukan kadar pati cepat tercerna (RDS)
dan 120 menit untuk pati lambat tercerna (SDS). Jumlah gula hasil hidrolisis pati
diukur dengan menggunakan metode DNS. Kadar pati resisten dihitung sebagai
jumlah pati dikurangi jumlah pati yang terhidrolisis dengan penjabaran rumus
sebagai berikut:
Kadar pati resisten = [(pati-RDS-SDS)/pati] x 100%
Pengamatan Granula Pati
Pati pisang (0.1 g) disuspensikan dalam 1 mL akuades kemudian
diambil dua tetes dan ditempatkan pada kaca preparat. Struktur granula
diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi (Olympus C-35AD-4
Japan) pada perbesaran 400 kali (Santiago et al. 2004).
Analisis Kristalinitas
Tepung pisang disetimbangkan dalam wadah RH 100% pada suhu ruang
selama 24 jam. Difraktogram sinar X tepung pisang ditentukan dengan
difraktometer sinar X Shimadzu XRD-7000 Maxima. Daerah scanning dimulai
40
dari sudut difraksi 5o sampai 40o dengan ukuran 0.02o, 0.6 detik pada radiasi Cu,
40 kV, 30 mA (Waliszewski et al. 2003; Soto et al. 2007). Tingkat kristalinitas
tepung pisang ditentukan dengan menghitung luas area grafik landai (smooth)
dibagi dengan luas area utuh.
Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).
Untuk mengetahui adanya perbedaan dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil pada
taraf uji 5% (p ≤ 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Mikroba, pH dan Total Asam Laktat selama Fermentasi Spontan
Populasi mikroba yang tumbuh selama fermentasi spontan pisang var
agung semeru disajikan pada Gambar 4.1. Mikroba yang tumbuh selama 24 jam
fermentasi spontan pisang mentah adalah bakteri yang lebih didominasi oleh
bakteri asam laktat (BAL), sedangkan khamir dan kapang tidak tumbuh hingga
fermentasi 24 jam.
Gambar 4.1 Populasi ( ) bakteri pendegradasi pati; ( ) bakteri asam laktat dan
( ) total bakteri selama fermentasi spontan pisang
0123456789
0 12 24
Log
Bak
teri
(CFU
/ml)
Lama Fermentasi (Jam)
41
Populasi bakteri meningkat selama fermentasi hingga jam ke-24. Populasi
BAL hingga jam ke-24 sekitar 6 log CFU/mL. Abdillah (2010) melaporkan bahwa
fermentasi spontan pisang hingga jam ke-100 juga didominasi oleh BAL. Reddy
et al. (2008) menjelaskan BAL mampu tumbuh pada bahan pangan berpati karena
dapat menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati menjadi glukosa
sebagai sumber karbon selama pertumbuhannya. BAL tersebut dikenal sebagai
bakteri asam laktat amilolitik. Pada penelitian ini diduga BAL yang berperan
dalam fermentasi pisang adalah BAL amilolitik karena jumlah bakteri
pendegradasi pati mengalami peningkatan hingga pengamatan jam ke-24.
Peningkatan jumlah BAL selama fermentasi seiring dengan terjadinya
penurunan pH dari pH awal 6.36 menjadi pH 5.36 pada jam ke-24. Penurunan pH
tersebut disebabkan oleh metabolit yang dihasilkan BAL yaitu asam laktat atau
asam organik lainnya. Selama fermentasi pisang, produksi asam laktat meningkat
hingga mencapai 0.11% (Tabel 4.1). Vishnu et al. (2006) melaporkan bahwa
beberapa strain Lactobacillus spp mampu secara langsung memfermentasi
karbohidrat menjadi asam laktat.
Tabel 4.1 Nilai pH, konsentrasi asam laktat selama fermentasi spontan pisang
Lama Fermentasi (Jam) pH Asam Laktat Tertitrasi (% mL/mL)
0 6.36 ± 0.08 0.02 ± 0.00
12 6.12 ± 0.10 0.04 ± 0.00
24 5.36 ± 0.24 0.11 ± 0.01
Asam laktat merupakan asam organik yang tidak menguap pada suhu kamar
dan dapat berperan sebagai antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri lain. FDA USA juga telah mengklasifikasikan asam laktat ke dalam GRAS
(Generally Recognized As Safe) untuk digunakan sebagai bahan tambahan pangan
dan kepentingan lain seperti sebagai pengawet produk pangan (Datta & Henry
2006).
Asam laktat yang dihasilkan oleh BAL diduga dapat bereaksi dengan pati
pisang sehingga membentuk kopolimer pati-asam laktat. Gong et al. (2006)
42
menjelaskan bahwa kopolimer pati-asam laktat dapat menurunkan reaktivitas
gugus hidroksil pada unit glukopiranosa pati yaitu pada C6, C3 dan C2 sehingga
pati menjadi lebih resisten terhadap enzim pencernaan.
Fermentasi selama 24 jam tidak menyebabkan perubahan pada tekstur irisan
pisang. Abdillah (2010) melaporkan fermentasi pisang lebih dari 24 jam
menghasilkan tektur yang lebih lunak akibat degradasi oleh mikroba dan terjadi
kehilangan rendemen hingga mencapai lebih dari 30%.
Komposisi Kimia Tepung Pisang
Pengaruh fermentasi dan retrogradasi terhadap komposisi kimia tepung
pisang disajikan pada Tabel 4.2. Tepung pisang hasil fermentasi memiliki kadar
abu, dan karbohidrat lebih rendah daripada tepung pisang tanpa modifikasi
(kontrol), sedangkan kadar lemak dan protein tepung pisang modifikasi tidak
berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol.
Tabel 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi kimia tepung pisang
Komposisi (% bb)
Tanpa Fermentasi Spontan Fermentasi Spontan
Tanpa PBP Satu Siklus PBP
Dua Siklus PBP Tanpa PBP Satu Siklus
PBP Dua Siklus
PBP
Kadar Air 5.07 ± 0.05f 7.18 ± 0.06d 6.71 ± 0.02e 7.77 ± 0.03c 8.05 ± 0.07b 9.72 ± 0.03a
Abu 2.18 ± 0.05a 1.99 ± 0.04b 1.84 ± 0.04c 1.77 ± 0.01d 1.60 ± 0.02f 1.68 ± 0.01e
Lemak 1.02 ± 0.03a 1.05 ± 0.01a 1.07 ± 0.06a 1.09 ± 0.06a 1.01 ± 0.01a 1.07 ± 0.04a
Protein 1.99 ± 0.03a 2.08 ± 0.06a 2.04 ± 0.06a 1.89 ± 0.04a 1.93 ± 0.03a 1.86 ± 0.04a
Karbohidrat 88.76± 0.06a 87.64 ±0.02c 88.32 ± 0.05b 87.47 ± .003d 87.46 ± 0.08d 85.66 ± 0.03e
PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji ≤ 0.05
Modifikasi proses fermentasi pisang dan pemanasan bertekanan-
pendinginan menyebabkan penurunan kadar karbohidrat. Hal ini diduga karena
mikroba yang tumbuh sudah memanfaatkan komponen karbohidrat sebagai
sumber karbon bagi pertumbuhannya. Selama proses pemanasan bertekanan pati
pecah dan tergelatinisasi, selanjutnya amilosa akan teretrogradasi pada saat
43
pendinginan. Proses pengeringan juga menyebabkan pati mengalami reaksi
pencoklatan sehingga dapat mengurangi kandungan karbohidrat tepung pisang.
Pemanasan suhu tinggi dan pengeringan dalam oven dapat menyebabkan
terbentuknya komponen pirodekstrin dari karbohidrat (Carrera et al. 2007).
Tabel 4.3 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi pati dan daya cerna tepung pisang
Komposisi (% bk)
Tanpa Fermentasi Spontan Fermentasi Spontan
Tanpa PBP Satu Siklus PBP
Dua Siklus PBP Tanpa PBP Satu Siklus
PBP Dua Siklus
PBP
Pati1 70.16±0.12a 69.86±0.03a 67.12±0.86d 69.79±0.14a 68.80±0.40b 67.67± 0.52c
Amilosa2 13.56±0.05f 14.10±0.06e 14.52± 0.01d 15.44±0.01c 15.66±0.04b 16.54± 0.03a
RDS2 38.15±0.05a 23.84±0.34c 21.53±0.07d 32.64±0.16b 23.99± 0.11c 18.26± 0.33e
SDS2 24.66±0.01c 26.03±0.28b 19.42±0.14d 32.80±0.35a 17.51± 0.11f 18.39± 0.12e
RS2 10.32±0.30f 29.34±0.06d 39.13±0.03b 6.78± 0.02e 35.93±0.10c 42.68± 0.33a
RS1 7.24±0.30f 20.50±0.06d 26.26±0.03b 4.73± 0.02e 24.72±0.10c 28.88± 0.33a Daya Cerna2 69.67±0.25b 55.88±0.05c 47.59±0.01e 72.01±0.01a 49.22±0.07d 43.21± 0.06f
PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan RDS = rapid digestable starch SDS = slowly digestable starch RS = resistant starch 1 = berat kering tepung 2 = berat kering pati Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji < 0.05
Tabel 4.3 menunjukkan kadar pati resisten menurun dari 7.24% (tepung
pisang kontrol) menjadi 4.73% setelah fermentasi selama 24 jam. Hal ini
disebabkan karena granula pati mengalami pengembangan (swelling) selama
perendaman dan menjadi lebih mudah terhidrolisis oleh enzim mikroorganisme
sehingga sifat resisten dan kristalinitas pati menjadi berkurang (Zang et al. 2005).
Pati resisten yang terkandung dalam tepung pisang kontrol merupakan RS2 yaitu
pati resisten yang terbentuk karena struktur granula pati sedemikian rupa sehingga
sulit didegradasi oleh enzim alfa amilase pencernaan (Tribess et al. 2009).
Ambriz et al. (2008) melaporkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang
menurun dengan adanya proses likuifikasi menggunakan enzim amilase Bacillus
subtilis. Hal ini terjadi akibat hidrolisis pati oleh enzim tersebut menghasilkan
gula sederhana.
Kadar amilosa tepung pisang meningkat oleh fermentasi selama 24 jam.
Peningkatkan ini diduga karena disebabkan oleh terjadinya pemotongan struktur
cabang dari amilopektin (debranching) menghasilkan oligomer dengan derajat
44
polimer lebih pendek seperti amilosa. Selanjutnya amilosa akan mengalami
retrogradasi setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan. Amilosa
yang teretrogradasi berperan dalam meningkatkan kadar RS (Soto et al. 2007).
Niba & Hoffman (2003) melaporkan bahwa kadar RS biji sorgum juga meningkat
hingga 60% dengan fermentasi spontan biji sorgum pada suhu 37 oC selama 10
hari. Fermentasi sangat lama karena biji sorgum memiliki lapisan aleuron yang
tebal sehingga diperlukan waktu lebih lama untuk absorbsi air dan
berlangsungnya fermentasi spontan.
Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS
tepung pisang lebih tinggi daripada yang satu siklus baik pada pisang yang tanpa
difermentasi (dari 20.50% menjadi 26.26%) maupun pisang yang difermentasi
(dari 24.72% menjadi 28.88%), sedangkan kadar RS tepung pisang kontrol adalah
7.24%. Kombinasi proses fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan (retrogradasi) mampu meningkatkan kadar RS tepung
pisang dari 7.24% menjadi 28.88%. Pati resisten yang dihasilkan dari proses
retrogradasi merupakan pati resisten tipe III (RS3) yang merupakan amilosa
teretrogradasi (Soto et al. 2004). Saguilan et al. (2005) melakukan modifikasi di
tingkat pati pisang plantain dengan menggunakan tiga siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan sehingga kadar RS meningkat hingga 10 kali lipat.
Kadar RS yang dihasilkan dari modifikasi di tingkat pati lebih tinggi, akan
tetapi aplikasinya memiliki tahapan yang lebih banyak terutama tahap isolasi pati.
Proses modifikasi pada tepung pisang seperti yang dilakukan pada penelitian ini
lebih mudah dan lebih efisien yaitu fermentasi dan retrogradasi dilakukan pada
pisang tanpa perlu mengisolasi patinya terlebih dahulu. Tepung yang dihasilkan
dapat diaplikasikan langsung sebagai tepung pensubstitusi pada pembuatan
produk pangan seperti roti, cookies dan brownies (Jenie et al. 2010).
Daya cerna pati meningkat dengan adanya proses fermentasi dari 69.67%
(tepung pisang kontrol) menjadi 72.01% (tepung pisang fermentasi), sedangkan
proses pemanasan bertekanan-pendinginan menurunkan daya cerna pati.
Komposisi pati yang dapat dicerna menurun dengan semakin meningkatnya kadar
RS. Hasil analisis daya cerna secara in vitro juga menurun hampir 50% pada
45
tepung yang dihasilkan dari perlakuan fermentasi dengan retrogradasi. Farhat et
al. (2001) melaporkan bahwa daya cerna pati kentang meningkat dengan adanya
gelatinisasi akan tetapi menurun jika pati mengalami retrogradasi.
Sifat Birefringence Pati Pisang
Modifikasi proses secara dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
mampu meningkatkan kadar RS dengan nyata. Oleh karena itu dalam pembahasan
selanjutnya mengamati karakteristik fisik yaitu sifat birefringence granula pada
tepung tanpa perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan untuk mewakili
tepung pisang yang mengandung RS2 dan tepung dengan kandungan RS tinggi
(tepung dari proses fermentasi maupun tanpa fermentasi yang dikombinasi dengan
dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk mewakili tepung pisang
yang mengandung RS3. Gambar 4.2 menunjukkan granula pati tepung pisang
kontrol dan fermentasi menghasilkan efek birefringence pada pengamatan dengan
mikroskop polarisasi.
A B
C D
Gambar 4.2 Pengaruh proses fermentasi dan dua siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap sifat birefringence granula pati pisang.
(A).kontrol; (B) fermentasi; (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan; (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan pada perbesaran 400x
46
Efek birefringence terbentuk dari struktur ganula pati utuh yang tersusun
atas daerah amorf dan daerah kristalin. Bagian amorf dari granula pati dapat
menyerap air dingin hingga 30 % tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan,
sedangkan bagian kristalin dari granula pati lebih sulit menyerap air (Eliason &
Gudmunsson 1996). Granula pati pisang var agung semeru memiliki ukuran
panjang sekitar 50 – 80 µm dengan diameter 20 – 40 µm. Eggleston et al. (1992)
melaporkan bahwa ukuran granula pati pisang plantain beragam mulai dari 7.8 –
61.3 µm dengan diameter rata-rata adalah 26 µm. Proses mekanik dan pengolahan
panas basah (hidrotermal) dapat merusak granula pati. Pati pisang plantain tidak
membentuk granula lagi setelah menjadi pasta (Santiago et al. 2004). Aktivitas
enzim seperti amilase dan pululanase akan menghidrolisis amilosa dan
amilopektin sehingga merusak struktur granula pati. Hasil hidrolisis ini
menyebabkan granula nampak memiliki lubang (porous) dengan pengamatan
mikroskop elektron (Wijbenga 2000; Zang et al. 2005).
Reddy et al. (2008) menjelaskan bahwa bakteri asam laktat dapat
menghasilkan amilase dan pululanase sehingga mampu menghidrolisis pati
menjadi gula sederhana. Pelepasan cabang (debranching) amilopektin oleh
pululanase menghasilkan polimer glukosa rantai lurus yang merupakan amilosa
dengan derajat polimerisasi (DP) lebih kecil. Semakin banyak kadar amilosa maka
akan meningkatkan jumlah pati teretrogradasi akibat pemanasan basah dan
pendinginan sehingga akan meningkatkan kadar RS3 (Soto et al. 2004; Soto et al.
2007). Gambar 4.2 C dan D memperlihatkan struktur granula pati yang rusak
akibat pemanasan basah bertekanan sebagai bentuk kristal yang tidak beraturan
dan tidak menghasilkan sifat birefringence yang berarti tidak ada lagi bentuk
granula. (Saguilan et al. 2005) menjelaskan bahwa pemanasan basah
menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sehingga struktur granula menjadi rusak
sedangkan pendinginan menyebabkan sineresis dan adanya proses yang diulang
meningkatkan retrogradasi pada gel pati.
Kristalinitas Tepung Pisang
47
Granula pati tepung pisang kontrol dan tepung pisang modifikasi fermentasi
menunjukkan adanya puncak (peak) difraksi yang kuat pada sudut 17-18o dan
sudut 23-24o (Gambar 4.3). Puncak difraksi pada sudut 17o merupakan puncak
difraksi untuk granula pati tipe A dan puncak pada sudut 24o merupakan puncak
difraksi untuk granula pati tipe B sehingga tepung pisang baik yang alami maupun
yang fermentasi dapat digolongkan sebagai granula pati tipe C yaitu granula pati
campuran dari tipe A dan tipe B. Beberapa pisang plantain dilaporkan memiliki
granula pati tipe C. Granula tipe A memiliki amilosa dengan berat molekul lebih
kecil, cabang amilopektin lebih pendek dan tingkat kristalinitas lebih tinggi,
sedangkan granula tipe B memiliki amilosa dengan berat molekul lebih besar,
cabang amilopektin lebih panjang dan tingkat kristalinitas lebih rendah (Hizukuri,
1961; Waliszewski et al. 2003; Soto et al. 2007).
Gambar 4.3 Pengaruh fermentasi spontan terhadap intensitas difraksi tepung
pisang. ( ) kontrol, ( ) fermentasi
Tepung pisang alami memiliki tingkat kristalinitas lebih tinggi (20.08% ±
0.09a) dibandingkan tepung pisang fermentasi (18.74% ± 0.11b) (Lampiran 2b).
Penurunan tingkat kristalinitas pada tepung pisang fermentasi mengindikasikan
terjadi perubahan bagian kristalin menjadi lebih amorf selama fermentasi.
Perubahan ini disebabkan oleh degradasi amilopektin sebagai komponen pati yang
berperan dalam pembentukan bagian kristalin pada granula pati. Bagian amorf
lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan dan mengurangi sifat resistensi
0
50
100
150
200
250
300
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42
Inte
nsita
s
Sudut Difraksi (2δo)
48
pati (Eliason & Gudmunsson 1996). Hal ini juga memperkuat dugaan sebelumnya
bahwa hidrolisis parsial pati terjadi selama fermentasi spontan yang menyebabkan
perubahan struktur granula pati menjadi lebih mudah didegradasi oleh amilase dan
menurunkan kadar RS2.
Tepung pisang hasil dari proses modifikasi dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan baik tanpa fermentasi maupun dengan fermentasi
memiliki puncak (peak) difraksi sinar X yang kuat pada sudut difraksi 17o dan 24o
(Gambar 4.4). Puncak difraksi sinar X pada tepung pisang modifikasi pemanasan
bertekanan-pendinginan masih berasosiasi dengan puncak difraksi sinar X tepung
pisang alami, akan tetapi tingkat kristalilitas yang dihasilkan lebih rendah pada
tepung pisang modifikasi dua siklus retrogradasi. Hal ini disebabkan karena
struktur granula pati rusak sehingga menurunkan tingkat kristalinitas tepung.
Kristalinitas pada tepung pisang modifikasi masih terdeteksi akibat terbentuknya
amilosa teretrogradasi (Soto et al. 2007).
Gambar 4.4 Pengaruh dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap
intensitas difraksi tepung pisang. ( ) tanpa fermentasi spontan, ( ) dengan fermentasi spontan
Proses retrogradasi dengan cara pemanasan bertekanan-pendinginan pada
irisan pisang menghasilkan tingkat kristalinitas sangat rendah yaitu 9.52% ± 0.18c
untuk tepung pisang dari proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
dan 6.98% ± 0.07d untuk tepung pisang dari proses fermentasi dengan dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan (Lampiran 2b). Tingkat kristalinitas tepung
0
50
100
150
200
250
300
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42
Inte
nsita
s
Sudut Difraksi (2δo)
49
pisang yang rendah berkorelasi positif dengan terjadinya kerusakan granula pati
akibat retrogradasi yaitu gelatinisasi pati oleh suhu tinggi pada kondisi basah (uap
air) dan restrukturisasi serta sineresis pati oleh suhu rendah.
Gelatinisasi menyebabkan granula pati rusak dan pada saat pendinginan
terjadi restrukturisasi pati menjadi pati resisten. Akan tetapi struktur yang
terbentuk bukan merupakan struktur granula pati melainkan struktur amilosa
teretrogradasi. Amilosa merupakan komponen pati yang berperan dalam
pembentukan pati teretrogradasi. Pati tersebut memiliki sifat resisten terhadap
enzim pencernaan yang disebut sebagai pati resisten tipe III (Tovar et al. 2002;
Saguilan et al. 2005; Sajilata et al. 2006).
KESIMPULAN
Fermentasi spontan pisang didominasi pertumbuhan bakteri asam laktat
hingga 106 CFU/mL. Modifikasi proses melalui fermentasi spontan dan siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi karakteristik fisikokimia
tepung pisang. Modifikasi secara fermentasi spontan selama 24 jam yang
dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu
meningkatkan kadar RS tepung pisang hingga empat kali (28.88%).
Fermentasi spontan dapat meningkatkan kadar amilosa yang selanjutnya
akibat proses pemanasan bertekanan-pendinginan akan membentuk amilosa
teretrogradasi sebagai RS3. Proses retrogradasi mampu menurunkan kristalinitas
tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X
menunjukkan granula pati pisang var agung semeru adalah granula tipe C yaitu
campuran granula tipe A dengan tipe B.
DAFTAR PUSTAKA
[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved Methods of the AACC.The Association, St. Paul, MN. 10th ed.
Abdillah F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiaca formatypica) melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf
50
untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Ambriz SLR, Hernandez JJI, Acevedo EA, Tovar J, Perez LAB. 2008. Characterization of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. J Food Chem. 107: 1515–1521.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA
Carrera EC, Cruz AC, Guerrero LC, Ancona DB. 2007. Effect of pyrodextrinization on available starch content of Lima bean (Phaseolus lunatus) and Cowpea (Vigna unguiculata) starches. J Food Hydrocolloids. 21: 472–479
Datta R, Henry M. 2006. Lactic acid: recent advances in products, processes and technologies—a review. J Chem Technol Biotechnol. 81:1119–29
[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2009.
Eggleston G, Swennen R, Akoni S. 1992. Physicochemical studies on starches isolated from plantain cultivarm plantain hybrids and cooking bananas. J Starch. 44: 121-128
Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohy in Food (Edited by Eliasson A.C.), Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504.
Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr. 46(Suppl.2):533-550.
Farhat IA, Protzmann J, Becker A, Valles-Pamies B, Neale R, Hill SE. 2001. Effect of the extent of conversion and retrogradation on the digestibility of potato starch. J Starch. 53: 431–436.
Gong Q, Wang LQ, Tu K. 2006. In situ polymerization of starch with lactic acid in aqueous solution and the microstructure characterization. J Carbohy Polymers. 64: 501–509
Hizukuri S. 1961. X-ray diffractometric studies on starches. Part VI. Crystalline types of amylodextrin and effect of temperature and concentration of mother liquor on crystalline type. J Agric and Biological Chem. 25: 45–49.
Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan
51
Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Niba LL, Hoffman J. 2003. Resistant starch and β-glucan levels in grain sorghum (Sorghum bicolor M.) are influenced by soaking and autoclaving. J Food Chem. 81: 113–118
Saguilan AA, Huicochea EF, Tovar JT, Meraza FG, Pérez LAB. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch. 57: 405-412.
Santiago MCN, Perez LAB, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and rheological behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. J Carbohy Polymers. 56: 65–75
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.
Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Perez LAB. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499.
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.
Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.
[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.
Tovar J, Melito C, Herrera E, Rascon A, Perez E. 2002. Resistant starch formation does not parallel syneresis tendency in different starch gels. J Food Chem 76: 455–459.
Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Perez LAB, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.
Vishnu C, Naveena BJ, Altaf MD, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. J Enzyme Microb Technol. 38:545–50.
Waliszewski KN, Aparicio MA, Perez LAB, Monroy JA. 2002. Changes of banana starch by chemical and physical modification. J Carbohy Polimer. 52: 237-242. Elsevier Science Ltd.
52
Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].
Zang P, Whistler RL, Bemiller JN, Hamaker BR. 2005. Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility - a review. J Carbohy Polymers. 59: 443–458.
53
5. IDENTIFIKASI FENOTIP DAN GENOTIP BAKTERI ASAM LAKTAT YANG BERPERAN SELAMA FERMENTASI
SPONTAN PISANG VAR AGUNG SEMERU (Musa paradisiaca formatypica)
[Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria during spontaneous fermentation of unripe var agung semeru banana (Musa
paradisiaca formatypica)]
ABSTRAK Fermentasi spontan pada suhu kamar selama 24 jam dilakukan dalam
pembuatan tepung pisang kaya pati resisten. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang mendominasi selama fermentasi spontan pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenotip dan genotip BAL indigenus pisang. Identifikasi fenotip dilakukan berdasarkan morfologi umum, uji fisiologi dan biokimiawi menggunakan kit API (analytical profile index). Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan PCR dan analisis sekuen DNA pengkode 16S rRNA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAL yang tumbuh memiliki karakteristik sel bentuk batang yang tumbuh optimal pada suhu 35 oC dan memiliki kemampuan memfermentasi D-ribosa, D-xilosa, D-glukosa, D-fruktosa, D-manosa, N-asetil glukosamin, arbutin, eskulin feri sitrat, salisin, D-seliobiosa, D-maltosa, D-sukrosa dan gentiobiosa. Isolat BAL FSnh1 juga mampu menggunakan D-galaktosa, L-sorbosa, L-rhamnosa, amigdalin dan kalium glukonat, sedangkan isolat FSnhA juga mampu menggunakan gliserol, metil αD-glukopiranosa, D-laktosa, D-meliobiosa, D-trehalosa dan D-turanosa sebagai sumber karbon. Identifikasi genotip menunjukkan bakteri asam laktat FSnh1 dan FSnhA termasuk famili Lactobacillaceae dengan genus Lactobacillus. Hasil analisis pohon filogenetik menunjukkan isolat BAL FSnh 1 memiliki similaritas dengan L. salivarius dan isolat BAL FSnh A memiliki similaritas dengan L. fructivorans.
ABSTRACT Spontaneous fermentation at room temperature for 24 h was conducted in
the resistant starch-rich banana flour production. The investigation showed that lactic acid bacteria (LAB) were the dominating bacteria during spontaneous fermentation of unripe var agung semeru banana (Musa paradisiaca formatypica). The objectives of the research were to identify the LAB phenotypic and genotypic. Phenotypic identification was based on general morphology, physiological test, and biolochemical test using API (Analytical Profile Index) kit. Genotypic identification was conducted by using polymerase chain reaction (PCR) and analyses of 16S rRNA sequence. The result showed that LAB are the predominant species as Gram-positive rod and have ability to ferment D-ribose,
54
D-xilose, D-glucose, D-fructose, D-mannosa, N-acetyl glucosamin, arbutin, esculin fericitrat, salicin, D-celiobiose, D-maltose, D-saccarose and gentiobiose as carbon source. Beside that FSnh1 isolate able to ferment D-galactose, L-sorbose, L-rhamnose, amygdalin and kalium gluconat, while FSnhA isolate used glycerol, metil αD-glucopyranosid, D-lactose, D-meliobiose, D-trehalose and D-turanose as carbon source. The genotypic identification showed that Lactobacillus sp associated with the spontaneous fermentation of var agung semeru banana were identified as L. salivarius and L. fructivorans.
Keywords: Musa paradisiaca formatypica, phenotypic-genotypic identification, Lactobacillus salivarus, Lactobacillus fructivorans
PENDAHULUAN
Salah satu proses modifikasi tepung pisang adalah fermentasi spontan yang
dikombinasi dengan pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses ini mampu
meningkatkan kandungan RS3 pada tepung pisang. Selama fermentasi spontan
dilaporkan bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh dominan hingga jam ke-100
(Jenie et al. 2009; Abdillah 2010). Akan tetapi BAL yang tumbuh belum
diidentifikasi fenotip dan genotipnya.
Fermentasi yang terjadi secara spontan tidak dapat digunakan untuk
menjaga mutu produk yang dihasilkan. Penggunaan kultur starter indigenus dari
bahan aslinya akan memudahkan dalam mengendalikan proses fermentasi serta
memberikan hasil fermentasi yang lebih baik dan sesuai dengan karakteristik
produk yang diinginkan. Fermentasi urutan (sosis daging babi sebagai makanan
khas Bali) menggunakan starter L. plantarum dan Pediococcus acidilactici yang
diisolasi dari urutan tradisional (fermentasi spontan) serta mampu menghasilkan
karakteristik sosis yang lebih baik daripada urutan hasil fermentasi spontan
(Antara et al. 2002; Antara 2010). Oleh karena itu isolasi dan identifikasi BAL
dari strain indigenus sangat penting dilakukan untuk mengembangkan produk
pangan lokal.
Identifikasi BAL dapat dilakukan berdasarkan fenotip dan genotip.
Identifikasi fenotip didasarkan pada hasil pengamatan morfologi seperti bentuk sel
dan pewarnaan Gram, uji fisiologis, metabolik (biokimia) atau kemotaksonomi.
Identifikasi genotip dapat dilakukan dengan menggunakan metode molekuler
55
yaitu sekuensing gen pengkode 16S rRNA bakteri dengan metode Polymerase
Chain Reactions (PCR)-sekuensing (Ammor et al. 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenotip dan genotip BAL
yang diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru (Musa
paradisiaca formatypica). Pisang tersebut merupakan jenis pisang plantain yang
banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur dengan
tingkat produksi dapat mencapai lebih dari 57 ribu ton per tahun (RPJMD
Lumajang 2009).
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari
Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang
Propinsi Jawa Timur. Pisang yang digunakan berumur 16 minggu dari awal
pembungaan yang memiliki tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan
kulit hijau merata. Primer universal 16S rRNA adalah 63F dan 1387R yang
diperoleh dari PT. Genetika Science of Indonesia (order ID: 82804-2028)
Metode
Isolasi Bakteri Asam Laktat
Pisang dikupas dan diiris melintang membentuk lembaran dengan ketebalan
sekitar 5 mm. Sebanyak 750 g irisan pisang dimasukkan ke dalam erlenmeyer
berisi 1000 mL akuades steril dan diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam.
Selanjutnya 10 mL air rendaman diambil dan dilakukan pengenceran hingga 10-3
kemudian dilakukan pemupukan pada media de Mann Rogosa Sharp (MRS) agar
dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama dua hari. Koloni tunggal dimurnikan
dengan goresan kuadran selanjutnya dikelompokkan berdasarkan bentuk koloni,
sifat Gram positif, katalase negatif, dan bentuk morfologi (kokus atau batang).
56
Isolat diinokulasikan dalam media MRS cair dan diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 24 jam. Isolat sebelum digunakan dapat disimpan dalam sediaan gliserol
(30% v/v) pada suhu -20 oC.
Identifikasi Fenotip Menggunakan API 50CHL (API-Biomerieux)
Isolat BAL diinokulasikan pada media MRS agar dengan metode gores dan
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur dipersiapkan dengan
mengambil isolat dan dimasukkan ke dalam 10 mL medium suspensi API
(Analytical Profile Index). Lubang pada tatakan plastik diberi akuades steril (± 1
ml), selanjutnya 1 mL kultur diteteskan pada 50 microtube API 50CHL yang
berisi 49 jenis gula, dan pada bagian atas ditutup dengan 1ml parafin cair steril.
Kit API 50CHL diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Terjadinya perubahan
warna dari biru menjadi hijau hingga kuning atau hitam dinyatakan sebagai uji
positif. Selanjutnya profil isolat dianalisis dengan menggunakan Program
APIWEBTM untuk mengetahui identitas kedekatannya (genus dan spesies).
Identifikasi Genotip Menggunakan PCR dan Analisis Urutan DNA Pengkode
16S rRNA
Identifikasi genotip dilakukan dengan mengekstrak DNA pengkode 16S
rRNA yang selanjutnya diamplifikasi dan dilakukan sekuensing. Ekstraksi DNA
genomik menggunakan Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB). Sebanyak
1.5 mL kultur dalam tabung eppendorf disentrifus (5000 rpm, 7 menit) dan
supernatan dibuang sedangkan pelet ditambah 1 mL akuabides steril yang
selanjutnya disentrifus lagi. Pelet ditambah 600 µL buffer CTAB (1.5% CTAB,
75 mM Tris HCL, pH 8.0, 15 mM EDTA, 1.05 M NaCl) yang mengandung
polivinilpirolidon 2% dan dicampur hingga merata kemudian diinkubasi pada
suhu 65 oC selama 30 menit. Inkubasi dilanjutkan dalam balok es selama 5 menit
yang kemudian ditambah 600 µL PCI (fenol-klorofom-isoamil) dan dibolak balik
serta disentrifus (10.000 rpm, suhu ruang, 10 menit). Supernatan ditambah 600 µL
57
PCI (fenol-klorofom-isoamil) dan dibolak balik, selanjutnya disentrifus lagi
(10.000 rpm, suhu ruang, 10 menit). Supernatan diambil dan ditambah 2M Na-
asetat pH 5.2 (0.1 x volume) dan etanol murni (2 x volume) kemudian disimpan
dalam freezer selama 2 jam. Selanjutnya larutan tersebut disentrifus (10.000 rpm,
4 oC, 20 menit). Pelet dibilas dengan etanol 70% (500 µL) dan disentrifus (10.000
rpm, 4 oC, 5 menit). Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan dengan pengering
vakum 37 - 40 oC selama 15 menit. Ekstrak DNA ditambah 15 µL akuabides dan
6 µL RNAase (100 µg/mL) serta dipanaskan pada suhu 70 oC selama 10 menit.
Visualisasi DNA dilakukan pada gel agarosa (1.5%) dalam larutan 1mM TAE
(Tris Asetat EDTA) 1 X. Pita-pita DNA diamati di bawah UV transilluminator
GelDoc (Labquip) dan difoto dengan kamera UV Canon 1200 (Thompson et al.
1995; Suharsono dan Widyastuti, 2008).
Amplifikasi DNA Pengkode 16S rRNA dengan PCR (Polymerase Chain
Reaction)
Reaksi amplifikasi sampel DNA dilakukan dalam 0.2 mL tabung PCR. Pada
setiap tabung reaksi PCR ditambahkan RBC Taq (5 unit/mL) sebanyak 0.25 μL,
10 x buffer Taq (mengandung Mg2+) sebanyak 5 μL, dNTP 2.5mM sebanyak 4
μL, primer universal 63F (5’-CAGGCCTAACACATGCAAGTC-3’) dan primer
universal 1387R (5’-GGGCGGWGTGTACAAGGC-3’) sebanyak masing-masing
1.25 μL (20 pmol) dan 1.25 μL (20 pmol), ekstrak genom sebanyak 2.5 μL (100
ng) dan ditambah ddH2O sampai volume menjadi 50 μL.
Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan alat PCR PTC 100 (MJ
Research, Inc) pada suhu 95 oC selama 5 menit, dilanjutkan dengan denaturasi
pada suhu 94 oC selama 30 detik kemudian 30 siklus penempelan primer pada
suhu 50 oC selama 1 menit, 72 oC selama 2 menit, dan tahap akhir pasca sintesis
pada suhu 72 oC selama 5 menit dan 15 oC selama 10 menit. Produk PCR diambil
dan disimpan pada suhu 4 oC untuk selanjutnya diperiksa dengan menggunakan
elektroforesis agarosa 1% b/v dalam TAE 1x, 100 V selama 30 menit (Sambrook
dan Russel 2008; Suharsono dan Widyastuti 2008).
58
Analisis Urutan DNA Pengkode 16S rRNA
Sekuensing DNA pengkode 16S rRNA dilakukan oleh 1st Base Singapura
melalui PT. Genetika Science of Indonesia. Analisis hasil sekuensing dilakukan
dengan memBLAST urutan nukleotida dari hasil sekuensing DNA pengkode 16S
rRNA dengan data base yang tersedia pada situs www.ncbi.nlm.hts.nih. Pensejajaran
ganda (multiple alignment) dilakukan dengan menggunakan Program Clustal W.
Selanjutnya visualisasi kekerabatan menggunakan pohon filogenetik Program
TREEVIEW X dengan Neighbor-Joining plot (Thompson et al. 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fenotip Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi memiliki karakteristik morfologi
yaitu bentuk selnya batang dan tumbuh optimal pada suhu 35 oC. Karakteristik
BAL yang tumbuh dapat dilihat pada Tabel 5.1. Dua belas isolat dikelompokkan
menjadi dua kelompok berdasarkan kesamaan morfologi, sifat homofermentatif
atau heterofermentatif dan suhu pertumbuhannya. BAL yang tumbuh lebih
dominan (FSnh1-10) memiliki ciri yaitu koloni bulat sedang, berwarna putih susu
dengan elevasi cembung, tidak membentuk gas dan dapat tumbuh pada suhu 45 oC tetapi tidak tumbuh pada suhu 15 oC. BAL yang tumbuh kurang dominan
(FSnhA-B) memiliki ciri yaitu koloni bulat kecil berwarna putih bening dengan
elevasi seperti tetesan, membentuk gas dan dapat tumbuh pada suhu 15 oC dan 45 oC. Identifikasi lanjut seperti uji fermentatif menggunakan kit API 50 CHL dan
identifikasi genotip berdasarkan gen pengkode 16S rRNA dilakukan pada dua
kelompok yang diwakili oleh isolat BAL FSnh1 untuk BAL homofermentatif
yang tumbuh dominan dan isolat BAL FSnhA untuk BAL heterofermentatif yang
tumbuh kurang dominan.
59
Tabel 5.1 Karakteristik bakteri asam laktat yang diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru
No Isolat BAL
Karakteristik
Gram Gas Katalase Bentuk Sel Tipikal koloni Suhu Pertumbuhan
15oC 35oC 45oC
1 FSnh1 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
2 FSnhA + + - Batang Bulat kecil berwarna putih bening dengan elevasi seperti tetesan
+ +++ ++
3 FSnh2 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
4 FSnh3 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
5 FSnh4 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
6 FSnh5 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
7 FSnh6 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
8 FSnh7 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
9 FSnh8 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung
- +++ ++
10 FSnhB + + - Batang Bulat kecil berwarna putih bening dengan elevasi seperti tetesan
+ +++ ++
11 FSnh9 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung.
- +++ ++
12 FSnh10 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung.
- +++ ++
Kedua isolat BAL tersebut (isolat BAL FSnh1 dan isolat BAL FSnhA) pada
substrat gula kit API 50CHL menunjukkan pola fermentasi yang berbeda dan
mampu memfermentasi gula tertentu sebagai sumber karbon. Pola fermentasi
yang dihasilkan oleh isolat FSnh1 dan isolat FSnhA dapat dilihat pada Tabel 5.2.
60
Tabel 5.2 Pola fermentasi isolat BAL FSnh 1 dan isolat BAL FSnh A pada Kit API 50CHL
Sumber Karbon Kemampuan Memfermentasi Isolat BAL FSnh1 Isolat BAL FSnhA
Gliserol - + D-ribosa + + D-xilosa + + D-galaktosa + - D-glukosa + + D-fruktosa + + D-manosa + + L-sorbosa + - L-rhamnosa + - Metil αD-glukopiranosida - + N-asetil glukosamin + + Amigdalin + - Arbutin + + Eskulin feri sitrat + + Salisin + + D-seliobiosa + + D-maltosa + + D-laktosa - + D-meliobiosa - + D-sukrosa + + D-trehalosa - + Gentiobiosa + + D-turanosa - + Kalium glukonat + -
Uji fermentasi pada kit API 50CHL menunjukkan bahwa kedua isolat
mampu memfermentasi D-ribosa, D-xilosa, D-glukosa, D-fruktosa, D-manosa, N-
asetil glukosamin, arbutin, eskulin feri sitrat, salisin, D-seliobiosa, D-maltosa, D-
sukrosa dan gentiobiosa. Selain itu isolat BAL FSnh1 juga mampu
memfermentasi D-galaktosa, L-sorbosa, L-rhamnosa, amigdalin dan kalium
glukonat, sedangkan isolat BAL FSnhA juga mampu memfermentasi gliserol,
metil αD-glukopiranosa, D-laktosa, D-meliobiosa, D-trehalosa dan D-turanosa
sebagai sumber karbon. Adanya perbedaan kemampuan memfermentasi sumber
karbon tertentu pada kedua isolat BAL yaitu D-galaktosa, L-sorbosa, L-rhamnosa,
gliserol, metil αD-glukopiranosa, amigdalin, D-laktosa, D-meliobiosa, D-
trehalosa, D-turanosa, dan kalium glukonat menunjukkan fenotip biokimiawi
61
kedua isolat tersebut berbeda. Tamang et al. (2008) melaporkan bahwa
identifikasi dengan menggunakan API 50CHL dan karakteristik biologi perlu
dilanjutkan dengan identifikasi genotip untuk memperjelas di tingkat strain
berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA.
Karakteristik Genotip Bakteri Asam Laktat
Karakterisasi genotip isolat BAL dilakukan berdasarkan DNA pengkode
16S rRNA untuk menentukan genus dan strainnya. DNA pengkode 16S rRNA
dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk definisi spesies karena molekul
ini ada pada setiap bakteri dengan fungsi yang identik pada seluruh bakteri. Oleh
karena itu dapat dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh kelompok
bakteri. Data urutan basa gen penyandi 16S rRNA dapat digunakan untuk
mengkonstruksi pohon filogenetik yang menunjukkan nenek moyang dan
hubungan kekerabatan suatu organisme (Ward 1998; Pangastuti 2006).
DNA dari isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA diamplifikasi dengan
menggunakan primer 63F dan 1387R, sedangkan marker pita DNA yang
digunakan mendekati 1500 pasang basa. Hal ini relevan dengan produk PCR yang
dihasilkan yaitu sekitar 1400 pasang basa (Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Hasil elektroforesis agarosa 1% dan amplifikasi DNA pengkode gen 16S rRNA dengan PCR. M = marka DNA 1kb DNAladder. a = BAL FSnh1; b = BAL FSnhA
~ 1400 pb
12000 pb
1650 1000
b M a
62
Hasil pensejajaran sekuen DNA pengkode 16S rRNA menunjukkan isolat
BAL FSnh1 dan BAL FSnhA merupakan famili Lactobacillaceae. Hasil Program
Clustal W menunjukkan skor kedekatan tertinggi dari kedua isolat tersebut adalah
84 terhadap genus Lactobacillus. Komposisi nukleotida penyusun DNA pengkode
16S rRNA setiap isolat BAL berbeda sehingga dilakukan analisis kekerabatan
menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool-
Nucleotide) yang dapat diakses secara online dari website NCBI. Berdasarkan
analisis program BLAST-N maka diketahui homologi spesies dari isolat BAL
FSnh1 dan isolat BAL FSnhA seperti yang disajikan pada Tabel 5.3. Isolat BAL
FSnh1 memiliki kemiripan/similaritas dengan Lactobacillus delbruekci subsp.
bulgaricus NDO2 (81%), L. amylovorus GRL 1112 (80%) dan L. iners (80%)
yang masing-masing memiliki query coverage di atas 80%. Isolat BAL FSnhA
memiliki kemiripan 81% dengan Lactobacillus iners dan L. delbruekci subsp.
bulgaricus, serta 80% dengan Leuconostoc mesenteroides subsp cremoris ATCC
19254.
Tabel 5.3 Hasil analisis sekuen DNA pengkode gen 16SrRNA dari isolat BAL FSnh1 dan FSnhA menggunakan program BLAST-N
Isolat Spesies Bakteri Asam Laktat Homolog
Query Coverage
(%)
Identitas Maksimal
(%)
Kode Akses
FSnh1 Lactobacillus delbruekci subsp. bulgaricus NDO2
Lactobacillus amylovorus GRL 1112
Lactobacillus iners LEAF
86
86
85
81
80
80
NC 008054.1
ACKV01000113.1
AEKH01000023.1
FSnhA Lactobacillus iners LEAF
Lactobacillus delbruekci subsp. bulgaricus NDO2
Leuconostoc mesenteroides subsp cremoris ATCC 19254
84
85
85
81
81
80
AEKH01000023.1
NC 008054.1
ACKV01000113.1
Hasil analisis kekerabatan dengan program BLAST-N kemudian dilanjutkan
dengan analisis pohon filogenetik secara dua tahap menggunakan program
TREEVIEW X yang dikombinasikan dengan program NJplot. Tahap pertama
63
mensejajarkan sekuen kedua isolat BAL dengan isolat internasional dari genus
yang berbeda dalam satu famili yaitu Lactobacillaceae (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA
isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu famili Lactobacillaceae
Hasil analisis pohon filogenetik tahap pertama menunjukkan bahwa kedua
isolat BAL memiliki skor kesejajaran tertinggi dengan Lactobacillus sebesar 84
dan skor kesejajaran terendah dengan Weisella sebesar 39. Skor kesejajaran antara
isolat BAL FSnh1 dan isolat BAL FSnhA sebesar 92 yang menunjukkan bahwa
kedua isolat tersebut berada dalam genus yang sama yaitu Lactobacillus.
Tahap kedua adalah mensejajarkan kedua isolat BAL dengan isolat
internasional dari spesies yang berbeda dalam genus Lactobacillus dari hasil tahap
pertama. Hasil analisis pohon filogenetik tahap kedua menggunakan program
NJplot menunjukkan bahwa isolat FSnh1 memiliki skor tertinggi sebesar 87
dengan Lactobacillus salivarius ATCC 11741, sedangkan isolat FSnhA memiliki
skor tertinggi sebesar 86 dengan Lactobacillus fructivorans (Gambar 5.3). L.
salivarius dan L. fructivorans memiliki skor kesejajaran sebesar 98 yang
menunjukkan kekerabatan yang dekat antara kedua isolat yaitu memiliki genus
yang sama (Lactobacillus).
LeuconostocFructobacillus
0.0230.055
Oenococcus
0.028
0.112Abiotrophia
AerococcusEremococcus
0.0620.050
0.060
0.016
StreptococcusLactococcus
0.0500.061
0.030
EnterococcusGranulicatellaCarnobacterium
0.0380.037
0.048
Pediococcus0.080
0.010
Lactobacillus0.077
0.009
0.016
FSnh1FSnhA
0.1450.032
0.068
0.087
Weissella
0.192
0.3550.05
64
Gambar 5.3 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA
dari isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu genus Lactobacillus
Berdasarkan hasil identifikasi genotip, fermentasi spontan pisang var agung
semeru didominasi oleh BAL genus Lactobacillus sp. Pisang var agung semeru
merupakan salah satu jenis pisang olahan (plantain) yang memiliki kadar pati
lebih dari 70 g /100 g tepung yang dihasilkan. Reddy et al. (2008) menjelaskan
bahwa Lactobacillus sp juga dapat ditemukan pada produk pangan berpati seperti
pada fermentasi singkong, beras, dan gandum.
Fermentasi spontan pisang var agung semeru dilakukan secara terendam
dalam akuades steril dengan menggunakan erlenmeyer dan ditutup secara aseptis.
Kondisi demikian memungkinkan bakteri anaerob fakultatif atau mikroaerofilik
seperti L. salivarius dan L. fructivorans yang tumbuh dalam kondisi oksigen
terbatas. L. salivarius adalah bakteri gram positif dengan G + C 32.9%, batang
pleomorfik, anaerob fakultatif, katalase negatif, nonmotil, homofermentatif
obligat, tumbuh baik pada suhu 37 oC (Stern et al. 2006). Bakteri tersebut hidup di
inang seperti pada mulut dan saluran pencernaan mamalia termasuk manusia
(Mozzi et al. 2010).
L.sobriusL.amylovorusL.helveticus
0.008
0.012L.salivarius
L.paracaseiL.fermentumL.vaginalis
0.0540.060
L.collinoides0.011
0.050L.lindneri
L.fructivorans0.0290.019
0.027
0.0760.053
0.061
0.008
FSnh1FSnhA
0.1420.036
0.094
0.087L.casei
L.rhamnosus0.1140.140
L.curvatus0.177
0.278
0.169
0.044
0.05
65
L. fructivorans merupakan bakteri asam laktat berbentuk batang, dapat
tumbuh pada suhu 45 oC, heterofermentatif obligat, dapat membentuk gas dari
glukosa dan glukonat (Dicks & Endo 2009). Hasil BLAST-N isolat FSnhA
memiliki kemiripan dengan isolat Leuconostoc mesenteroides hal ini diduga
karena L. fructivorans dan L. mesenteroides memiliki sifat yang sama yaitu
bersifat heterofermentatif obligat.
KESIMPULAN
Karakteristik bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh pada fermentasi
spontan pisang 24 jam adalah BAL dengan sel berbentuk batang yang tumbuh
optimal pada suhu 35 oC, dapat tumbuh pada suhu 45 dan atau 15 oC dengan tipe
koloni bulat kecil – sedang, berwarna putih bening – susu dengan elevasi
cembung atau seperti tetesan, homofermentatif atau heterofermentatif.
Pola fermentasi kedua isolat adalah berbeda sehingga dilakukan konfirmasi
genotip dengan menggunakan PCR dan sekuen DNA pengkode 16S rRNA untuk
mengidentifikasi di tingkat strain. Visualisasi genotip pada pohon filogenetik
menunjukkan bahwa kedua isolat BAL indigenus pisang adalah Lactobacillus
salivarius untuk isolat BAL FSnh1 dan L. fructivorans untuk isolat BAL FSnhA.
DAFTAR PUSTAKA
Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Antara NS, Sujaya IN, Yokota A, Asano K, Aryanta WR, Tomita F. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol. 18: 255–262, 2002.
Ammor S, Rachman C, Chaillou S, Prevost H, Dousset X, Zagorec M, Dufour E, Chevallier I. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382
66
Arief II, Jenie BSL, Asyawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. J Media Peternakan. 33 (3): 137-143.
Bjorkroth KJ, Schillinger U, Geisen R, Weiss N, Hoste B, Holzapfel WH, Korkeala HJ, Vandamme P. 2002. Taxonomic study of Weissella confusa and description of Weissella cibaria sp. nov., detected in food and clinical samples. Int J Systematic and Evolutionary Microbiol. 52; 141–148
Dicks LMT, Endo A. 2009. Taxonomic Status of Lactic Acid Bacteria in Wine and Key Characteristics to Differentiate Species. S. Afr. J Enol. Vitic. 30 (1): 72-90
Katina K, Maina NH, Juvonen R, Flander L, Johansson L, Virkki L, Tenkanen M, Laitila A. 2009. In situ production and analysis of Weissella confusa dextran in wheat sourdough. J Food Microbiol. 26: 734–743
Kusumawati N, Jenie BSL, Siswasetyahadi, Hariyadi RD. 2003. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J Mikrobiologi Indonesia. 8 (2): 39-43
Malik A, Ariestanti DM, Nurfachtiyani A, Yanuar A. 2008. Skrining gen glukosiltransferase (gtf) dari bakteri asam laktat penghasil eksopolisakarida. J Makara Sains. 12 (1): 1-6
Mozzi F, Raya RR, Fignolo GM. 2010. Biotecnology of Lactic Acid Bacteria: novel application. Wiley Blackwell Publishing. State Avenue-Ames-Iowa USA.
Pangastuti A. 2006. Definisi spesies prokaryota berdasarkan urutan basa gen penyandi 16s rRNA dan gen penyandi protein. J Biodiversitas. 7(3) : 292-296.
Plessis HW, Dicks LMT, Pretorius IS, Lambrechts MG, Toit MD. 2004. Identification of lactic acid bacteria isolated from South African brandy base wines. Intern J Food Microbiol. 91: 19– 29
Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.
[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.
Sambrook J, Russel DW. 2008. Molecular Cloning a Laboratory Manual, Third Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York, p.999
Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50 (9) :3111–3116
67
Suharsono, Widyastuti U. 2008. Penuntun Praktikum; Pengantar Genetika Molekuler. Departemen Biologi-FMIPA. Institut Pertanian Bogor
Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Dwipayanti NMU, Nociaanitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari susu kuda sumbawa. J Veteriner. 9 (2): 52-59
Tamang B, Tamang JP, Schillinger U, Franz CMAP, Gores M, Holzapfel WH. 2008. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from ethnic fermented bamboo tender shoots of North East India. Int J Food Microbiol. 121: 35–40
Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1995. CLUSTAL W: Improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, Position specific gap penalties and weight matrix choice. Nucleic Acid Res. 22: 4673-4680
Vela AI, Porrero C, Goyache J, Nieto A, Sánchez B, Briones V, Moreno MA, Domínguez L, Garayzábal JFF. 2003. Weissella confuse Infection in Primate (Cercopithecus mona). J Emerging Infectious Diseases. 9 (10)
Ward DM. 1998. A natural species concepts for procaryotes. Current Opinion in Microbiol. 1: 271-277
68
69
6. PENINGKATAN PATI RESISTEN TEPUNG PISANG MELALUI FERMENTASI OLEH Lactobacillus salivarius FSnh1
DENGAN DUA SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN
[Improving of banana flour resistant starch by using fermentation of
Lactobacillus salivarius FSnh1 with two cycles of autoclaving-cooling]
ABSTRAK Pati resisten (RS) tepung pisang dapat ditingkatkan melalui fermentasi
spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, akan tetapi fermentasi spontan kurang dapat mengendalikan proses fermentasi dan mutu produk. Penelitian ini bertujuan meningkatkan RS tepung pisang melalui fermentasi terkendali menggunakan starter indigenus pisang (Lactobacillus salivarius FSnh1) yang dilanjutkan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Fermentasi dilakukan pada irisan pisang pada suhu ruang selama 12 jam dan 24 jam yang dilanjutkan dengan pemanasan bertekanan (suhu 121 oC, 15 menit) dan pendinginan (suhu 4 oC, 24 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 (106 CFU/mL) selama 12 jam dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan kadar RS lebih tinggi daripada fermentasi 24 jam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 dapat mempersingkat waktu fermentasi pisang sekitar 12 jam dalam pembuatan tepung pisang kaya pati resisten.
ABSTRACT Resistant starch (RS) could be increase by combination of spontaneous
fermentation with two cycles of autoclaving-cooling process, but the spontaneous fermentation could not controll the fermentation process and quality of product. The research improved banana flour resistant starch by controlled fermentation using indegenous banana starter (Lactobacillus salivarius FSnh1) followed by two cycles of autoclaving-cooling process. Fermentation was conducted on the banana slices at room temperature for 12 and 24 h, then followed by two cycles of autoclaving (121 oC, 15 min) and cooling (4oC, 24 h). The result showed that 12 h fermentation by L. salivarius FSnh1 (106 CFU/mL) increased RS content more higher than 24 h fermentation . It can be concluded that utilization of L. salivarius FSnh1 can reduce the time of banana fermentation up to 12 h on the production of RS-rich banana flour.
Keywords: Lctobacillus salivarius FSnh1, controlled fermentation, autoclaving-cooling process, resistant starch.
70
PENDAHULUAN
Tepung pisang sebagai ingredien pangan fungsional khususnya kaya pati
resisten (resistant starch/RS) sedang menarik perhatian untuk diteliti. Hal ini
berhubungan dengan potensi RS sebagai kandidat prebiotik yang bersifat selektif
bagi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan (probiotik) sehingga akan
memberikan efek menyehatkan bagi manusia. Salah satu modifikasi proses untuk
pembuatan tepung pisang modifikasi kaya RS telah dirintis oleh Jenie et al.
(2009). Fermentasi spontan yang dikombinasi dengan proses otoklaf-pendinginan
mampu meningkatkan kandungan pati resisten tipe III (RS3) tepung pisang lebih
dari 17% per berat kering tepung.
Penelitian sebelumnya menunjukkan fermentasi spontan selama 24 jam
pada pisang var agung semeru didominasi oleh bakteri asam laktat (BAL) dari
genus Lactobacillus yaitu strain L. salivarus FSnh1. Fermentasi secara spontan
memiliki kelemahan diantaranya yaitu jenis mikroba yang tumbuh dapat
bervariasi dan sangat tergantung pada kondisi dan lingkungan sehingga sulit
dikendalikan. Populasi awal BAL yang rendah dapat menyebabkan bakteri
pembusuk serta bakteri patogen tumbuh cepat mendahului pertumbuhan BAL
(Antara 2010).
L. salivarius adalah bakteri gram positif dengan G+C antara 33 sampai 36%,
batang pleomorfik dengan ukuran 0.6 × 1.5-5 µm, anaerob fakultatif, katalase
negatif, nonmotil, homofermentatif obligat, tidak membentuk spora, membentuk
koloni putih susu, tumbuh optimal pada suhu 37 oC dan dapat tumbuh pada suhu
45 oC tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 15 oC (Rogosa et al. 1953; Stern et al.
2006). Pertama kali ditemukan, L. salivarius dikenal sebagai L. cellobiosus karena
kemampuannya untuk memfermentasi selobiosa dan sumber karbon lainnya
seperti fruktosa, manosa, N-asetilglukosamin dan sukrosa. Beberapa strain mampu
memfermentasi galaktosa, maltosa dan rhamnosa (Rogosa et al. 1953). Bakteri
tersebut umumnya hidup di inang seperti pada mulut dan saluran pencernaan
mamalia termasuk manusia (Mozzi et al. 2010).
71
Jenie et al. (2009) melaporkan bahwa fermentasi pisang menggunakan
starter L. fermentum maupun L. plantarum kik dapat meningkatkan kadar RS
hampir dua kali pada fermentasi 24 jam. Kadar RS tepung pisang menurun jika
fermentasi diperpanjang hingga 72 jam dan rendemen tepung yang dihasilkan
rendah.
Penggunaan kultur starter indigenus dari bahan aslinya akan memudahkan
dalam mengendalikan proses fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang
lebih baik dan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan (Antara 2010).
Penelitian ini akan menggunakan starter BAL indigenus yaitu L. salivarius FSnh1
dalam upaya meningkatkan RS tepung pisang modifikasi. Irisan pisang
difermentasi dengan menggunakan starter selama 12 dan 24 jam yang selanjutnya
diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan
tepung pisang modifikasi yang kaya pati resisten.
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari
Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang
Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan
dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.
Isolat L. salivarius FSnh1 diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung
semeru pada fermentasi jam ke-24. Starter disiapkan dengan menumbuhkan L.
salivarius FSnh 1 pada media MRSB yang diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24
jam.
Metode
Pembuatan Tepung Pisang
Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya dimasukkan ke dalam
wadah erlenmeyer tertutup yang berisi akuades steril (3:4). Kultur L. salivarius
FSnh1 diinokulasikan pada pisang sehingga populasi kultur mencapai jumlah 106
72
CFU/ml. Selanjutnya pisang diinkubasi selama 12 dan 24 jam pada suhu kamar
dalam kondisi tertutup. Pisang ditiriskan selanjutnya diberi proses dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses pemanasan bertekanan dilakukan
dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit yang dilanjutkan
dengan pendinginan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Pisang yang sudah
diretrogradasi dikeringkan (50 oC, 16 jam) dan dihaluskan serta diayak dengan
menggunakan ayakan 80 mesh. Tepung pisang kontrol disiapkan tanpa modifikasi
yaitu pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm dan dikeringkan pada suhu 50 oC
selama 16 jam selanjutnya dihaluskan serta diayak dengan ayakan 80 mesh.
Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik sampling
bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.
Pengamatan Populasi Bakteri Asam Laktat
Cairan fermentasi pisang diambil sebanyak 10 mL dari pisang yang
difermentasi selama 12 jam dan 48 jam untuk menghitung populasi L. salivarius
FSnh1. Selanjutnya ditambah dengan 90 ml akuades steril dan dilakukan
pengenceran berseri. Tiga seri hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan
dilakukan pemupukan metode tuang pada media de Mann Rogosa Sharp Agar
(MRSA), kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 hari. Nilai pH diukur
dengan menggunakan pHmeter, sedangkan total asam laktat ditentukan dengan
menggunakan metode titrimetri.
Analisis Komposisi Pati (Amilosa, RDS, SDS dan RS)
Analisis komposisi kimia pati meliputi kadar pati, amilosa dan kadar pati
dicerna cepat (RDS), pati dicerna lambat (SDS) dan pati resisten (RS). Analisis
kadar pati menggunakan metode hidrolisis langsung oleh asam, sedangkan
analisis kadar amilosa menggunakan metode kompleks iodin (AOAC 1999). Total
glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis dianalisis dengan menggunakan
metode DNS (Dubois et al. 1956). Kadar pati dihitung dari total glukosa dikali
73
faktor koreksi 0.9. Kadar RDS, SDS dan RS dianalisis menggunakan metode
Englyst et al. (1992).
Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).
Untuk mengetahui adanya perbedaan dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil pada
taraf uji 5% (p ≤ 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Bakteri Asam Laktat, pH dan Total Asam Laktat
Populasi BAL meningkat selama 24 jam fermentasi terkendali irisan pisang
oleh L. salivarius FSnh1 (Tabel 6.1). Populasi BAL yang ditumbuhkan adalah
sebesar 6 log CFU/ml, selanjutnya pada jam ke-12 mencapai hampir 7 log
CFU/ml dan populasi pada jam ke-24 mencapai hampir 8 log CFU/ml. Derajat
keasaman (pH) menurun dari pH awal 6.16 menjadi 5.40 pada jam ke-12 dan 5.02
pada jam ke-24, sedangkan produksi asam laktat meningkat hingga mencapai
0.24% pada jam ke-24.
Tabel 6.1 Populasi bakteri asam laktat, nilai pH dan konsentrasi asam laktat selama fermentasi pisang
Lama Fermentasi (Jam)
Populasi Bakteri Asam Laktat
(Log CFU/ml) pH Asam Laktat (% ml/ml)
0 6.2 ± 0.12 6.16 ± 0.08 0.08 ± 0.02
12 6.9 ± 0.10 5.40 ± 0.09 0.12 ± 0.02
24 7.9 ± 0.07 5.02 ± 0.05 0.24 ± 0.01
Fermentasi pisang secara terkendali oleh L. salivarius FSnh1 menghasilkan
derajat keasaman yang lebih rendah yaitu pH 5.40 pada jam ke-12 dan pH 5.02
pada jam ke-24 dibandingkan fermentasi spontan (Tabel 4.1) pH 6.12 pada jam
ke-12 dan pH 5.36 pada jam ke-24. Derajat keasaman yang semakin rendah juga
74
meningkatkan konsentrasi asam laktat pada cairan fermentasi. Hal ini disebabkan
oleh starter yang digunakan merupakan bakteri asam laktat yang menghasilkan
asam organik diantaranya asam laktat. Beberapa strain Lactobacillus spp mampu
secara langsung memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat seperti L.
amylophilus GV6 (Vishnu et al. 2006), L. amilovorus (Zhang & Cheryan 1991),
L. fermentum K9 (Sanni et al. 2002), L. manihotivorans OND32T (Guyot &
Morlon-Guyot, 2001) dan L. plantarum A6 (Sanni et al. 2002; Thomsen et al.
2007). Kemampuan BAL tumbuh pada pangan berpati dikarenakan BAL tersebut
mampu menghasilkan enzim tertentu seperti amilase dan amiloglukosidase yang
mendegradasi pati menjadi glukosa sebagai sumber energi utamanya.
L. salivarius merupakan BAL homofermentatif sehingga mampu
menghasilkan lebih dari 85% asam laktat dari jumlah glukosa yang
dikonsumsinya. BAL homofermentatif memfermentasi 1 mol glukosa menjadi 2
mol asam laktat. Setiap molekul glukosa yang dimetabolisme membutuhkan 2
mol ATP dan menghasilkan 4 mol ATP sehingga total ATP yang dihasilkan
adalah 2 mol ATP (Rogosa et al. 1953; Reddy et al. 2008).
Kadar Pati, Amilosa, RDS, SDS, RS Tepung Pisang
Gambar 6.1 dan hasil ANOVA (Lampiran 1.l) memperlihatkan kadar
amilosa tepung pisang meningkat pada fermentasi 12 jam akan tetapi menurun
pada fermentasi 24 jam. Terjadinya peningkatan kadar amilosa pada jam ke 12
diduga karena telah terjadi degradasi amilopektin menjadi amilosa. Selanjutnya
amilosa akan didegradasi menjadi glukosa jika substrat sudah tidak mengandung
gula sederhana. Hal ini menyebabkan kadar amilosa pada fermentasi 24 jam lebih
rendah (13.78) daripada fermentasi 12 jam (15.65). Peningkatan jumlah amilosa
sangat berperan dalam pembentukan pati teretrogradasi yang terhitung sebagai
pati resisten (RS).
75
Gambar 6.1 Pengaruh lama fermentasi oleh Lactobacillus salivarius FSnh1
terhadap kadar amilosa tepung pisang (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)
Leeman et al. (2006) melaporkan kadar amilosa yang tinggi pada pati
kentang dapat meningkatkan kadar pati teretrogradasi (RS3) hampir dua kalinya.
Pati kentang yang memiliki kadar amilosa 64% dapat menghasilkan RS sekitar
26% dibandingkan dengan kadar amilosa 23% yang hanya menghasilkan RS
5.3%.
Kadar amilosa pada tepung pisang dari proses fermentasi selama 24 jam
tidak berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol. Hal ini diduga
karena fermentasi yang terjadi lebih dari 12 jam menyebabkan amilosa
terdegradasi menjadi glukosa yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber
karbon bagi pertumbuhan BAL. Hasil metabolisme BAL tersebut selain energi
juga asam laktat. Oleh karena itu fermentasi 24 jam lebih banyak menghasilkan
asam laktat, sedangkan amilosa sangat diharapkan peningkatannya karena
berperan dalam pembentukan pati resisten selama proses retrogradasi (pemanasan
bertekanan-pendinginan).
Degradasi pati dapat terjadi pada komponen amilopektin membentuk
struktur oligomer dengan rantai karbon yang lebih pendek atau rantai tidak
bercabang seperti amilosa. Vishnu et al. (2006) melaporkan bahwa L. amylophilus
GV6 yang ditumbuhkan pada media berpati mampu terinduksi untuk
menghasilkan enzim pululanase. Hal ini bisa memungkinkan jika L. salivarius
FSnh1 mampu menghasilkan enzim tertentu yang dapat memotong rantai cabang
14.06c 15.65a
13.78c 14.67b 15.62a 14.69b
02468
101214161820
Kontrol Fermentasi12 jam
Fermentasi24 jam
Dua siklusPBP
Fermentasi12 jam - duasiklus PBP
Fermentasi24 jam - duasiklus PBP
Kad
ar A
milo
sa (%
)
76
amilopektin pada sisi endo α-1,6 seperti isoamilase, amiloglukosidase atau
pululanase. Menurut Rogosa et al. (1953), L. salivarius memiliki kemampuan
memotong ikatan glukosidik dari polisakarida.
Tabel 6.2 Pengaruh lama fermentasi pisang oleh L. salivarius FSnh1dan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap komposisi pati tepung pisang modifikasi
Komposisi (% bk)
Kontrol Fermentasi 12 jam
Fermentasi 24 jam
Dua siklus PBP
Fermentasi 12 jam
dengan dua siklus PBP
Fermentasi 24 jam
dengan dua siklus PBP
Pati1 70.93 ± 0.23a 70.45 ± 0.03b 67.12 ± 0.86d 68.25± 0.06c 68.02 ± 0.25c 66.62 ± 0.21e
RDS2 38.56 ± 0.23a 37.46 ± 0.06b 33.49 ± 0.35c 22.10 ± 0.06e 22.59 ± 0.25f 23.13 ± 0.21d
SDS2 25.87 ± 0.05c 26.96 ± 0.01b 29.14 ± 0.23a 20.1 ± 0.04d 16.90 ± 0.09f 17.76 ± 0.17e
RS2 9.17 ± 0.08c 8.52 ± 0.13d 7.74 ± 0.24e 38.16 ± 0.05b 41.95 ± 0.50a 38.62 ± 0.12b
RS1 6.50 ± 0.08c 6.00 ± 0.13d 5.20 ± 0.24e 26.04 ± 0.05b 28.53 ± 0.50a 25.72 ± 0.12b
PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan RDS = rapid digestable starch SDS = slowly digestable starch RS = resistant starch 1 = berat kering tepung 2 = berat kering pati Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji ≤ 0.05
Tabel 6.2 menunjukkan kadar pati mengalami penurunan selama fermentasi
baik 12 jam maupun 24 jam. Hal ini disebabkan oleh kemampuan BAL
mendegradasi pati menjadi komponen yang lebih kecil seperti oligomer amilosa
yang selanjutnya akan dikonversi menjadi gula sederhana (glukosa).
Fermentasi 12 jam yang dikombinasi dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan RS tepung pisang hampir 5 kali
lipat dibandingkan tepung pisang kontrol. Fermentasi tersebut mampu
meningkatkan kadar amilosa sehingga meningkatkan amilosa yang teretrogradasi
akibat pemanasan bertekanan-pendinginan. Oligomer amilosa membentuk ikatan
double helix pada saat restrukturisasi pati selama proses pendinginan (suhu 4 oC,
24 jam) sehingga menghasilkan pati yang bersifat resisten terhadap hidrolisis
enzim pencernaan (Sajilata et al. 2006; Soto et al. 2007).
Fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 menurunkan kadar pati cepat tercerna
(RDS) dan pati resisten (RS), akan tetapi kadar pati lambat tercerna (SDS)
meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena RDS dimetabolisme terlebih dahulu
77
oleh BAL daripada SDS, sedangkan kadar RS menurun diduga karena terjadi
hidrolisis parsial pada granula pati oleh enzim yang dihasilkan BAL tersebut
sehingga sifat resisten granula menurun dan granula menjadi lebih mudah
dihidrolisis oleh enzim α amilase. Ambriz et al. (2008) menjelaskan bahwa proses
likuifikasi dengan menggunakan amilase dari Bacillus subtilis mampu
menurunkan kadar pati resisten tepung pisang. Penelitian sebelumnya juga
menghasilkan kadar RDS dan RS yang lebih rendah dengan adanya fermentasi
spontan tanpa dikombinasi dengan proses pemanasan bertekanan-pendinginan.
KESIMPULAN
Penggunaan starter L. salivarus FSnh1 mampu meningkatkan kadar amilosa
dan mempersingkat waktu fermentasi sekitar 12 jam dalam pembuatan tepung
pisang kaya RS dibandingkan fermentasi selama 24 jam. Kadar RS tepung pisang
yang tinggi (28.53%) dihasilkan dari proses fermentasi selama 12 jam yang
dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Penelitian
lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui retensi RS dalam aplikasinya pada
pengolahan produk pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambriz SLR, Hernandez JJI, Acevedo EA, Tovar J, Perez LAB. 2008. Characterization of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. J Food Chem. 107: 1515–1521
Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chem. 28: 350–356.
Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr.46(Suppl.2):533-50
Guyot JP, Morlon-Guyot J. 2001. Effect of different cultivation conditions on Lactobacillus manihotivorans OND32T, an amylolytic Lactobacillus isolated from sour starch cassava fermentation. Int J Food Microbiol. 67:217–25.
78
Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Leeman MA, Malin E, Karlsson, Eliasson AC, Bjorck IME. 2006. Resistant starch formation in temperature treated potato starches varying in amylose/amylopectin ratio. J Carbohy Polymers. 65: 306–313
Mozzi F, Raya RR. Fignolo GM. 2010. Biotecnology of Lactic Acid Bacteria: novel application. Wiley Blackwell Publishing. State Avenue- Iowa USA.
Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Biotechnol Adv. 26: 22–34.
Rogosa M, Wiseman RF, Mitchell JA, Disraely MN, Beaman. 1953. Species differentiation of oral lactobacilli from man including description of Lactobacillus salivarius nov. spec. and Lactobacillus cellobiosus nov. spec. J Bacteriol. 65, 681–699
Saguilan AA, Huicochea EF, Tovar JT, Meraza FG, Perez LAB. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch. 57: 405-412.
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.
Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62.
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.
Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50 (9) :3111–3116
Thomsen MH, Guyot JP, Kiel P. 2007. Batch fermentations on synthetic mixed sugar and starch medium with amylolytic lactic acid bacteria. Appl Microbiol biotechnol. 74:540–6.
Vishnu C, Naveena BJ, Altaf MD, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. J Enzyme Microb Technol. 38: 545–50.
Zhang DX, Cheryan M. 1991. Direct fermentation of starch to lactic acid by Lactobacillus amylovorus. Biotechnol Lett. 10:733–8.
79
7. EVALUASI SIFAT PREBIOTIK DAN INDEKS GLIKEMIK TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI
[Evaluation of prebiotic properties and glycemix index of modified banana flour]
ABSTRAK Tepung pisang memiliki potensi sebagai prebiotik karena secara alami
banyak mengandung pati resisten tipe II (RS2). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat prebiotik RS2 tepung pisang tanpa modifikasi dan RS3 tepung pisang modifikasi. Sifat prebiotik yang dievaluasi meliputi ketahanan RS terhadap hidrolisis asam lambung artifisial, kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan laktobasili dan bifidobakteria kultur fekal, menurunkan persentase pertumbuhan enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) dan Salmonella Typhimurium, produksi asam lemak rantai pendek, dan nilai indeks prebiotik (IP). Tepung pisang yang dihasilkan juga dievaluasi nilai indeks glikemik (IG) dengan menggunakan relawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS2 dan RS3 bersifat stabil terhadap hidrolisis asam lambung artifisial pH 1-5 dan mampu meningkatkan populasi laktobasili dan bifidobakteria serta menurunkan pertumbuhan EPEC dan S. Typhimurium. RS3 mampu menghasilkan produksi asam butirat. Nilai IP RS3 juga lebih tinggi (5.14) daripada nilai IP RS2 (4.02). Tepung pisang modifikasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan memiliki IG rendah (46 - 52), sedangkan tepung pisang alami dan tepung pisang modifikasi dengan satu siklus retrogradasi memiliki IG sedang (61 - 66).
ABSTRACT Banana flour was a potential prebiotic source due to its resistant starch
type II (RS2) content. The aim of this study was to evaluate prebiotic properties of RS2 isolated from native banana flour and RS3 isolated from modified banana flour. The prebiotic properties were evaluated based on the stability to artificial human gastric juice, the capability to stimulate the growth of lactobacilli and bifidobacteria in the fecal batch culture fermentation, short chain fatty acid production and score of prebiotic index (PI). The glycemic index value of native and modified banana flour were evaluated by volunteers. The results showed that both RS2 and RS3 of banana flour were stable to artificial human gastric juice at pH 1 – 5 and able to increase the lactobacilli and bifidobacterial population and decreased survival of enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) and Salmonella Typhimurium. RS3 of the modified banana flour could produce butyric acid. The PI score of RS3 was also higher (5.14) than RS2 (4.02). The modified banana flour produced by two cycles autoclaving-cooling (either with or without spontaneous fermentation) had low GI (46 – 52) while native and fermented banana flour had moderate GI (61 – 66).
80
Keywords: modified banana flour, glycemic index, resistant starch, prebiotic properties
PENDAHULUAN
Tepung pisang mentah merupakan salah satu pangan berkarbohidrat yang
mengandung pati resisten tipe II (RS2) sehingga memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai pangan fungsional. RS2 adalah pati alami yang berupa
granula pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Akan tetapi sifat
resisten granula akan hilang jika pati mengalami gelatinisasi (Sajilata et al. 2006).
Oleh karena itu Jenie et al. (2009) mengembangkan teknologi modifikasi
fermentasi spontan dan retrogradasi untuk menghasilkan pati resisten tipe III
(RS3) yang bersifat lebih stabil selama proses pengolahan terutama pengolahan
hidrotermal. RS3 adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena
pemanasan dan pendinginan berulang-ulang (Croghan 2002; Sajilata et al. 2006).
Pati resisten merupakan salah satu komponen prebiotik yang banyak
dikembangkan (FAO 2007). Salminen & Wright (2004) mendefinisikan ingredien
pangan sebagai prebiotik jika dapat memenuhi kriteria yang di antaranya tidak
dihidrolisis maupun diserap (non-digestible) di saluran cerna bagian atas traktus
gastrointestinal sehingga dapat mencapai usus besar secara utuh. Selain itu
prebiotik juga menjadi substrat selektif bagi satu atau sejumlah terbatas bakteri
dalam kolon yang distimulasi untuk tumbuh dan menjadi aktif secara metabolik.
Prebiotik dapat mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang
menguntungkan kesehatan serta merangsang timbulnya efek-efek luminal dan
sistemik yang menguntungkan inang.
Penelitian ini mengevaluasi sifat prebiotik pati resisten tepung pisang
modifikasi (RS3) yang dibandingkan terhadap pati resisten tepung pisang kontrol
(RS2). Sifat prebiotik dapat dievaluasi berdasarkan ketahanannya terhadap
hidrolisis asam lambung artifisial, kemampuannya meningkatkan populasi
laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan bakteri patogen, serta
meningkatkan produksi SCFA dan indeks prebiotik.
81
Tepung pisang modifikasi juga dievaluasi nilai indeks glikemiknya karena
produk yang dihasilkan merupakan bahan pangan berkarbohidrat sehingga erat
kaitannya dengan bioavibilitas pati yaitu parameter daya cerna pati untuk diubah
menjadi glukosa oleh enzim amilase pencernaan dan selanjutnya diserap oleh
tubuh. Pangan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat
memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang tinggi. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi IG suatu pangan diantaranya adalah struktur matriks pangan,
dinding sel dan struktur pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula, daya
osmotik, kandungan serat pangan, lemak, protein dan zat antigizi (Patterson 2006)
serta proses pengolahan (Widowati 2007; Astawan & Widowati 2011).
Pangan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap
dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah. Hal ini
menyebabkan peningkatan kadar gula relatif lebih pendek sehingga sangat penting
bagi penderita diabetes/diet gula dalam mengendalikan kadar gula darah.
Sebaliknya, olahragawan yang hendak bertanding memerlukan pangan IG tinggi
agar pangan yang dikonsumsi segera dikonversi menjadi energi. Individu normal
yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak) sebaiknya harus
mengkonsumsi pangan IG sedang atau tinggi (Widowati 2007).
BAHAN DAN METODE
Bahan
Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari
Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang
Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan
dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.
Kultur Lactobacillus acidophilus diperoleh dari PSPG-UGM, sedangkan kultur
enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) diperoleh dari FKH-IPB dan kultur
Salmonella Typhimurium diperoleh dari Departemen ITP-IPB.
Metode
82
Modifikasi Proses Pembuatan Tepung Pisang dengan Fermentasi dan Dua Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya direndam dalam akuades
steril (3:4) dan difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Pisang yang sudah
difermentasi kemudian ditiriskan dan diberi pemanasan bertekanan dengan
menggunakan otoklaf (121 oC, 15 menit) yang selanjutnya didinginkan (4 oC, 24
jam). Perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan dilakukan sebanyak dua
siklus. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan (50 oC, 16 jam) dan dihaluskan
serta diayak dengan ayakan ukuran 80 mesh. Tepung pisang kontrol dibuat dari
irisan pisang yang langsung dikeringkan dan dihaluskan serta diayak tanpa proses
modifikasi. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik
sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.
Isolasi Pati Resisten
Isolasi pati resisten dilakukan dengan menggunakan metode Englyst et al.
(1992) yang dikombinasi dengan metode gravimetri (AOAC 1999). Tepung
pisang sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung sentrifus. Sampel dicuci dengan
menggunakan 8 ml etanol 80% selanjutnya disentrifus pada 554 × g selama 10
menit dan diulang dua kali. Endapan yang merupakan pati ditambah 20 ml buffer
sodium asetat (0.1M pH 5.2) selanjutnya ditambah 5 ml larutan enzim yang
mengandung ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase. Sampel diinkubasi dalam
inkubator bergoyang pada suhu 37 oC selama 120 menit, selanjutnya disentrifus
untuk mendapatkan endapan yang merupakan pati resisten. Larutan enzim
disiapkan dengan cara mensuspensikan 3.0 g pankreatin (Sigma, Cat. No. P7545)
ke dalam 20 ml air deionisasi, selanjutnya distirer selama 10 menit pada suhu
ruang dan disentrifus pada 1500 × g selama 10 menit. Sebanyak 13.5 ml
supernatan pankreatin ditambah amiloglukosidase 210U (Sigma Cat. No. A7095)
dan 1.25 ml air deionisasi.
Evaluasi Sifat Prebiotik
83
Ketahanan Pati Resisten terhadap Cairan Lambung
Pati resisten diuji ketahanannya terhadap cairan lambung manusia dengan
menggunakan metode Wicheinchot et al. (2010). Sampel dipersiapkan dengan
melarutkan pati resisten ke dalam akuades streil (1% b/v). Cairan asam lambung
merupakan buffer asam hidroklorida yang tiap g/l mengandung: NaCl, 8; KCl,
0.2; Na2HPO4.2H2O, 8.25; NaHPO4, 14.35; CaCl2.2H2O, 0.1; MgCl2.6H2O,
0.18. Buffer asam klorida ditera pada pH 1, 2, 3, 4 dan 5 dengan menggunakan 5
M HCl. Sebanyak 5ml buffer HCl pada tiap perlakuan pH ditambahkan ke dalam
5 ml larutan sampel, selanjutnya diinkubasi dalam water bath pada suhu 37 ± 1 oC
selama 6 jam. Sebanyak 1 ml sampel diambil secara periodik pada jam ke- 0, 0.5,
1, 2, 4 dan 6. Total gula reduksi diukur dengan menggunakan metode DNS
(Robertson et al. 2001) dan total gula ditentukan dengan metode asam sulfat-fenol
(Dubois et al. 1956). Persentase hidrolisis sampel dihitung dengan menggunakan
rumus Korakli et al. (2002) yaitu jumlah gula reduksi dibagi dengan total gula
dikali 100%.
Persentase Pertumbuhan Probiotik dan Bakteri Patogen pada Pati Resisten
Persentase pertumbuhan probiotik dan bakteri patogen ditentukan dari
viabilitas bakteri pada media agar yang mengandung isolat pati resisten (Huebner
et al. 2007; Buriti et al. 2010). Probiotik yang digunakan adalah Lactobacillus
acidophilus, sedangkan bakteri patogen yang digunakan adalah EPEC dan S.
Typhimurium. Bakteri uji dipersiapkan pada umur inkubasi 24 jam. Bakteri
ditumbuhkan pada media MRSB basis (tanpa glukosa) yang mengandung RS
2.5% (berat/vol) dan media MRSB sebagai kontrol negatif. Selanjutnya diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 24 jam dan dilakukan perhitungan jumlah bakteri pada
jam ke-0 dan 24 dengan menggunakan metode tuang pada media MRSA untuk L.
acidophilus, media EMBA untuk EPEC dan media XLDA untuk S. Typhimurium.
Persentase pertumbuhan bakteri probiotik dan patogen ditentukan dengan
menggunakan rumus jumlah peningkatan pertumbuhan bakteri akhir (log
CFU/ml) pada jam ke-24 dibagi jumlah bakteri awal (log CFU/ml) pada jam ke-0
dikali 100%.
84
Analisis Indeks Prebiotik
Sebanyak 10% (berat/vol) cairan feses manusia sehat ditera dengan buffer
garam fosfat 0.1 M (pH 7) dan divortex selama 120 detik. Empat buah jar yang
berisi 180 ml medium steril (pH 7) diinokulasi dengan 20 ml feses dan 2 g RS
pisang. Selanjutnya jar dikondisikan anaerob fakultatif dengan menggunakan
anoxomat. Jar diinkubasi pada suhu 37 °C dan dilakukan penghitungan jumlah
bifidobakteria, laktobasili, bakteroides dan klostridia serta konsentrasi asam lemak
rantai pendek pada jam ke 0, 4, 10, dan 24. Media yang digunakan antara lain
Brain Heart Infusion Agar yang disuplementasi dengan 75 mg/l Chloramphenicol,
75 mg/l kalnisitin untuk Clostridium spp pada kondisi anaerob, Thioglycollate
Agar yang disuplementasi 8mg/l linkomisin dan 8 mg/l kolistin untuk Bacteroides
spp pada kondisi aerob, de Mann Rogosa Sharp Agar (MRSA) untuk
Lactobacillus spp pada kondisi aerob dan MRSA yang disuplementasi 0.5 g/l
sistein-HCl untuk Bifidobacteria spp pada kondisi anaerob (Manderson et al.
2005; Vardakou et al. 2008). Indeks prebiotik setiap peningkatan waktu dihitung
dengan menggunakan persamaan Palframan et al. (2003).
Keterangan: tx = waktu ke-x ; t0 = waktu ke-0
Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA)
Analisis SCFA dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Sebanyak 1 ml
cairan sampel dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan ditambahkan 0.003 g
asam sulfo 5-salisilat dihidrat. Selanjutnya campuran disentrifus selama 10 menit
pada 12000 rpm suhu 7 oC. Supernatan diinjeksikan ke dalam kromatografi gas
Chrompack CP 9002 seri 946253. Konsentrasi asam lemak rantai pendek dihitung
berdasarkan luas peak sampel terhadap luas peak standar.
85
Evaluasi Indeks Glikemik
Evaluasi indeks glikemik dilakukan pada tepung pisang alami dan tepung
pisang modifikasi dengan menggunakan relawan manusia (Omoregie & Osagie
2008; Astawan & Widowati 2011). Pengujian ini sudah mendapat persetujuan etis
(ethical approval) dari Kementerian Kesehatan dengan No. LB.03.04/KE/8320/
2010. Relawan yang digunakan memiliki kriteria inklusi yaitu: wanita dan laki-
laki sehat berumur 20-35 tahun; tidak menderita penyakit penyerta yaitu penyakit
metabolisme yang berkaitan dengan kelainan kadar glukosa darah, seperti diabetes
mellitus, hipoglikemi dan hiperglikemi; memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18-
25 kg/m2; memiliki kadar glukosa darah normal (kadar glukosa darah puasa < 110
mg/dL dan glukosa darah 2 jam post prandial < 140 mg/dL); memiliki pola
respon kadar glukosa darah selama 2 jam pengujian yang normal dan bersedia
menjadi subjek. Kriteria eksklusi untuk relawan adalah subjek hamil, menyusui
dan merokok. Instrumen uji IG menggunakan alat pengukur kadar gula
(glukometer) dengan sistem reaksi glukooksidase yang dilengkapi dengan alat
penusuk jari untuk mengambil darah (lancet).
Sepuluh relawan (5 laki-laki dan 5 perempuan) dipilih yang berbadan sehat
dengan usia 20-30 tahun dan tanpa gangguan pencernaan serta tidak
hamil/menyusui. Pada proses pengujian, relawan harus berpuasa karbohidrat dan
gula selama 12 jam (misalnya mulai pukul 9 malam sampai pukul 9 pagi) dan
diukur kadar glukosa darah pada kondisi lapar menggunakan glukometer.
Selanjutnya relawan mengkonsumsi produk tepung pisang uji dengan takaran
konsumsi 50 g karbohidrat dan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pada
tiap interval waktu 30 menit hingga menit ke-120. Tepung pisang disajikan berupa
nasi yang ditanak seperti menanak tiwul.
Selama dua jam pasca pemberian (konsumsi) dilakukan pengambilan
sampel darah sebanyak 20 µL (finger-prick cappillary blood samples method)
untuk diukur kadar glukosa darah (menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120).
Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa
murni (sebagai pangan acuan) kepada relawan. Kadar gula darah pada setiap
86
waktu pengambilan sampel darah dibuat grafik dengan dua sumbu yaitu sumbu X
(waktu) dan sumbu Y (kadar gula darah). Indeks glikemik ditentukan dengan
membandingkan luas daerah di bawah kurva untuk pangan yang diukur nilai IG-
nya dengan pangan acuan (glukosa murni). Perhitungan indeks glikemik
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Analisis Statistik
Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).
Untuk mengetahui adanya perbedaan di antara perlakuan maka dilakukan uji
lanjut beda nyata terkecil pada taraf uji 5% (p ≤ 0.05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang
Ketahanan Pati Resisten terhadap Hidrolisis Cairan Asam Lambung
Analisis ketahanan pati resisten terhadap cairan asam lambung tiruan
dilakukan pada isolat RS. Pati resisten tipe II (RS2) diisolasi dari tepung pisang
yang tidak mengalami perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan yaitu tepung
pisang tanpa modifikasi (kontrol) dan tepung pisang modifikasi dengan fermentasi
spontan. Pati resisten tipe III (RS3) diisolasi dari tepung pisang yang mengalami
perlakuan retrogradasi yaitu tepung pisang modifikasi dengan dua silkus
pemanasan bertekanan-pendinginan dan tepung pisang modifikasi fermentasi
spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Isolasi RS secara
enzimatis yang dikombinasi dengan metode gravimetri menghasilkan rendemen
sekitar 40 – 45% dengan nilai yield antara 95 – 99% (Lampiran 5).
87
Hasil analisis menunjukkan RS2 tepung pisang kontrol dan tepung pisang
fermentasi spontan lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung artifisial jika
dibandingkan dengan RS3 baik dari tepung pisang modifikasi hasil dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan maupun tepung pisang modifikasi hasil
fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. RS2
dapat terhidrolisis sekitar 2% sedangkan RS3 dapat terhidrolisis hingga 4%.
Persentase hidrolisis RS yang menunjukkan ketahanannya pada pH 1, 2, 3, 4, dan
5 dapat dilihat pada Gambar 7.1.
Proses modifikasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
tanpa fermentasi spontan menghasilkan tingkat hidrolisis hingga 6% pada pH 5
sedangkan adanya fermentasi spontan menghasilkan tingkat hidrolisis kurang dari
4% pada semua perlakuan pH 1-5. Menurut Cummings & Macfarlane (2002)
definisi pangan yang tidak dapat dicerna adalah jika 96% lolos tidak terhidrolisis
oleh cairan asam lambung hingga sampai ke usus. Hal ini berarti bahwa RS3
tepung pisang modifikasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung dan dapat
dikategorikan sebagai kandidat prebiotik berdasarkan ketahanannya terhadap
asam lambung.
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
% H
idro
lisis
Lama Hidrolisis (Jam)
A
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
% H
idro
lisis
Lama Hidrolisis (Jam)
B
88
Gambar 7.1 Hidrolisis (37 oC, 6 jam) pati resisten tepung pisang modifikasi: (A) kontrol (tanpa modifikasi), (B) dengan fermentasi spontan, (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan
Pangan di dalam lambung biasanya berada dalam kondisi asam (pH 2-4) dan
dilepaskan mencapai usus setelah 2 jam. Dengan demikian dapat diperkirakan
lebih dari 98% RS2 tepung pisang dan lebih dari 96% RS3 tepung pisang dapat
mencapai usus besar. Wichienchot et al. (2010) melaporkan bahwa ketahanan
kandidat prebiotik oligosakarida pitaya (buah naga) dapat tahan 96% terhadap
hidrolisis asam lambung artifisial. Glukooligosakarida yang dihasilkan oleh
Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 juga menunjukkan ketahanan 98.4%
terhadap hidrolisis asam lambung artifisial (Wichienchot et al. 2006).
Persentase Pertumbuhan Lactobacillus acidophilus, EPEC dan Salmonella
Typhimurium pada Media yang Mengandung RS Tepung Pisang
Pati resisten digunakan sebagai media pertumbuhan bagi bakteri uji
probiotik (L. acidophilus) dan bakteri patogen (EPEC dan S. Typhimurium). Hal
ini dilakukan untuk mengetahui potensi pati resisten dalam memodulasi
pertumbuhan probiotik dan patogen yang dinyatakan sebagai persentase
pertumbuhan bakteri tersebut. Gambar 7.2 memperlihatkan persentase
pertumbuhan L. acidophilus yang dikompetisikan dengan EPEC dan Gambar 7.3
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
% H
idro
lisis
Lama Hidrolisis (Jam)
C
0
1
2
3
4
5
6
7
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5
% H
idro
lisis
Lama Hidrolisis (Jam)
D
89
memperlihatkan persentase pertumbuhan L. acidophilus yang dikompetisikan
dengan S. Typhimurium dalam media MRSB basis yang mengandung RS.
Gambar 7.2 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) EPEC (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) EPEC (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)
Media yang mengandung RS3 menghasilkan pertumbuhan L.
acidophilus relatif lebih tinggi daripada media yang mengandung RS2.
Pertumbuhan EPEC relatif lebih rendah pada media yang mengandung RS3. Hal
ini menunjukkan bahwa RS3 tepung pisang modifikasi bersifat selektif terhadap
pertumbuhan EPEC. Akan tetapi nilai pertumbuhan masih menunjukkan nilai
positif. Meskipun EPEC berada pada lingkungan yang minim sumber karbon,
akan tetapi EPEC memiliki kemampuan dapat bertahan hidup pada kondisi minim
nutrisi seperti perairan. Salminen et al. (2004) menjelaskan bahwa EPEC
merupakan strain dari bakteri Escherichia coli yaitu salah satu jenis bakteri
indikator sanitasi yang dapat tumbuh baik dalam air seperti air sungai maupun air
sumur. Bakteri ini memiliki ketahanan terhadap kondisi minim nutrisi tidak
seperti halnya dengan L. acidophilus yang membutuhkan media kaya nutrisi
(fastidious).
RS tepung pisang modifikasi (RS3) lebih meningkatkan pertumbuhan L.
acidophilus daripada pertumbuhan EPEC. Hal ini berarti tepung pisang modifikasi
bersifat selektif menstimulasi pertumbuhan probiotik. Moons et al. (2004)
menjelaskan EPEC dapat menyebabkan diare jika terpapar dosis lebih dari 105
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
Kontrol Fermentasi spontan Dua siklus PBP Fermentasi spontandan dua siklus PBP
Kontrol negatif
Pert
umbu
han
(%)
90
CFU/ml dan umumnya menyerang balita. Infeksi yang diakibatkannya mampu
menyebabkan perubahan histopatologi spesifik pada enterosit usus, menempel
pada mikrofili sehingga melekat pada membran sel inang dan menyebabkan aksi
filamentous dan protein sitoskeletal lainnya yang mengganggu penyerapan nutrisi.
Oleh karena itu tepung pisang modifikasi sangat baik karena memiliki keunggulan
yaitu tidak meningkatkan pertumbuhan EPEC dari dosis awal 106 CFU/ml .
Gambar 7.3 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) S.
Typhimurium (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) S. Typhimurium (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)
Gambar 7.3 menunjukan bahwa pertumbuhan L. acidophilus tertinggi pada
media RS3 yaitu tepung pisang modifikasi dari fermentasi spontan dengan dua
siklus retrogradasi, sedangkan pertumbuhan S. Typhimurium lebih tinggi pada
media RS2 yang tidak mengalami proses modifikasi fermentasi. Selama
fermentasi memungkinkan terjadinya degradasi komponen karbohidrat terutama
amilopektin menjadi fraksi yang lebih pendek. Fraksi tersebut lebih mudah
dimanfaatkan oleh L. acidophilus sehingga menstimulasi pertumbuhannya dan
menekan pertumbuhan S. Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa RS dari
tepung pisang modifikasi secara fermentasi bersifat selektif tidak dapat digunakan
untuk pertumbuhan bakteri patogen terutama oleh S. Typhimurium akan tetapi
selektif mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus.
-20
-10
0
10
20
30
40
Kontrol Fermentasispontan
Dua siklus PBP Fermentasispontan dan dua
siklus PBP
Kontrol negatifPert
umbu
han
(%)
91
Selektivitas RS3 terhadap pertumbuhan bakteri diduga karena selama
fermentasi terjadi hidrolisis komponen pati menjadi polimer yang memiliki derajat
polimerisasi (DP) lebih rendah sehingga lebih mudah digunakan oleh bakteri
terutama L. acidophilus sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan selnya. Moura
et al. (2007) melaporkan bahwa xilooligosakarida (XOS) dengan DP 2 (BM
rendah) memiliki sifat prebiotik lebih baik daripada XOS dengan DP 5 – 6 (BM
lebih tinggi). Faridah et al (2010) juga melaporkan bahwa RS3 pati garut yang
tinggi memiliki DP 6-8 yang dihasilkan dari proses debranching pululanase dan
tiga siklus pemanasan-pendinginan
Modulasi Mikroflora Feses dan Produksi SCFA
Pengaruh RS2 dan RS3 terhadap populasi mikroflora feses dipaparkan pada
Tabel 7.1. Fermentasi oleh mikroflora feses pada media RS2 dan RS3 dapat
meningkatkan populasi baik bifidobakteria maupun laktobasili. Peningkatan
bifidobakteria dan laktobasili yang signifikan sebesar 2 log siklus terjadi setelah
fermentasi selama 24 jam. Kedua kelompok bakteri tersebut diketahui mampu
memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan manusia.
Bakteroides tumbuh meningkat hingga 2 log siklus pada media RS2, akan
tetapi populasi klostridia relatif stabil hingga inkubasi jam ke 24. Populasi
bakteroides maupun klostridia relatif stabil pada media RS3. Hal ini menunjukkan
bahwa RS3 bersifat lebih selektif terhadap pertumbuhan mikroflora terutama
bakteroides dan klostridia dibandingkan RS2. Sharp & Macfarlane (2000)
melaporkan bahwa bakteri dapat tumbuh pada media RS2 dengan menyerang
bagian sisi apikal dari granula dan membentuk struktur menyerupai kelopak
bunga dengan formasi glikokaliks selanjutnya berkelompok membentuk jaringan
biofilm.
Tabel 7.1 Populasi beberapa jenis mikroflora dan konsentrasi asam lemak rantai pendek selama fermentasi pati resisten oleh kultur fekal
Media Waktu (Jam) Jumlah Bakteri (Log CFU/mL) Asam Lemak Rantai Pendek
(mM/mL) Bifidobakteria Laktobasili Bakteroides Klostridia Asam Asam Asam
92
Asetat Propionat Butirat RS2* 0 7.1 ± 0.03 6.2 ± 0.01 7.8 ± 0.04 7.5 ± 0.07 - - -
4 8.5 ± 0.06 8.1 ± 0.02 8.2 ± 0.03 6.3 ± 0.01 - - - 10 8.3 ± 0.05 8.8 ± 0.04 8.5 ± 0.05 6.5 ± 0.10 - - - 24 9.2 ± 0.07 8.6 ± 0.03 9.3 ± 0.03 7.6 ± 0.04 9.65 ± 0.06 5.76 ± 0.26 0.00 ± 0.00
RS3** 0 7.1 ± 0.02 6.2 ± 0.07 7.7 ± 0.02 6.8 ± 0.02 - - - 4 8.6 ± 0.02 8.3 ± 0.04 7.7 ± 0.03 7.1 ± 0.03 - - -
10 9.3 ± 0.05 9.1 ± 0.03 7.1 ± 0.06 7.3 ± 0.06 - - - 24 9.2 ± 0.06 8.9 ± 0.05 7.8 ± 0.05 7.5 ± 0.01 12.79 ± 0.15 2.13 ± 0.09 0.23 ± 0.04
* Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol) ** Tepung pisang modifikasi melalui fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-perndinginan
Asam lemak rantai pendek (SCFA) yaitu asam asetat, asam propionat dan
asam butirat dihitung konsentrasinya setelah 24 jam fermentasi spontan.
Konsentrasi asam asetat lebih tinggi dihasilkan dari fermentasi RS3, sedangkan
asam propionat lebih tinggi dihasilkan dari fermentasi RS2. Asam butirat hanya
dihasilkan dari fermentasi RS3 yang diisolasi dari tepung pisang hasil modifikasi
fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan.
Manfaat SCFA bagi tubuh manusia di antaranya asam asetat untuk
metabolisme jaringan otot, ginjal, hati dan otak manusia, sedangkan asam
propionat merupakan prekursor glukoneogenik yang mampu menekan
pembentukan kolesterol dalam tubuh (Gibson et al. 2000). Asam butirat
menyediakan sekitar 50% energi yang rutin diperlukan oleh mukosa
gastrointestinal (Gibson et al. 2000; Tuohy et al. 2005). Dalam perkembangan
riset terakhir diketahui bahwa asam butirat tidak hanya sebagai sumber energi
bagi sel-sel mukosa, akan tetapi juga diperlukan untuk pro-diferensiasi, anti-
proliferasi dan anti-angiogenik yang berperan dalam mencegah kanker kolon.
Pada konsentrasi 2 - 4 mM, asam butirat mampu mereduksi mikronuklei sehingga
dapat melindungi sel dari kanker kolon akibat terpapar senyawa genotoksik
seperti H2O2 dan Fe-NTA (Hovhannisyan et al. 2009).
Indeks Prebiotik Tepung Pisang
Gambar 7.4 menunjukkan bahwa indeks prebiotik RS3 lebih tinggi (5.14)
daripada indeks prebiotik RS2 (4.02) setelah fermentasi 10 jam. Peningkatan nilai
93
IP setelah fermentasi 10 jam juga terjadi pada penelitian sifat prebiotik pektik
oligosakarida dari kulit jeruk (Manderson et al. 2005). Hal ini mengindikasikan
bahwa fungsionalitas prebiotik tepung pisang modifikasi lebih baik daripada
tepung pisang tanpa modifikasi. Nilai IP yang positif pada masing-masing
substrat mengindikasikan terjadinya peningkatkan populasi laktobasili dan
bifidobakteria dibandingkan populasi bakteroides dan klostridia.
Gambar 7.4 Indeks prebiotik pati resisten tepung pisang; ( ) tanpa modifikasi (kontrol), ( ) modifikasi secara fermentasi yang dikombinasikan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, ( ) kontrol negatif tanpa pati resisten
Proses retrogradasi pada pangan berpati dapat meningkatkan ketahanan pati
terhadap hidrolisis amilase selama proses pencernaan dengan terbentuknya RS3.
Pati resisten tidak dapat dihidrolisis oleh alfa amilase manusia tetapi dapat
didegradasi oleh beta amilase dari mikroflora sehingga dapat sebagai sumber
karbohidrat yang penting bagi pertumbuhannya (Gibson et al. 2000). RS3
merupakan fragmen oligomer yang kecil dengan derajat polimerisasi (DP) antara
30 – 100 yang secara cepat akan dimetabolisme oleh bakteri, sedangkan RS2 lebih
lambat dimetabolisme oleh bakteri karena RS2 merupakan granula pati secara
utuh (Schmiedl et al. 2000).
Indeks Glikemik Tepung Pisang
3.36
4.03 4.51
3.69
5.14 5.00
1.17
2.13 1.81
0
1
2
3
4
5
6
4 10 24
Inde
ks P
rebi
otik
Waktu Inkubasi (Jam)
94
Hasil evaluasi indeks glikemik (IG) tepung pisang secara in vivo dengan
menggunakan relawan manusia menunjukkan nilai IG tepung pisang adalah
sedang (kurang dari 70) hingga rendah (kurang dari 55). Nilai IG disajikan pada
Tabel 7.2.
Tabel 7.2 Indeks glikemik tepung pisang pada beberapa perlakuan modifikasi
Perlakuan Modifikasi Nilai Indeks Glikemik
Tanpa modifikasi (kontrol) 66 ± 3.16 (Sedang) Fermentasi spontan 66 ± 4.47 (Sedang) Satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (PBP) 62 ± 3.47 (Sedang) Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (PBP) 52 ± 4.36 (Rendah) Fermentasi spontan dengan satu siklus PBP 61 ± 8.87 (Sedang) Fermentasi spontan dengan dua siklus PBP 46 ± 2.92 (Rendah)
Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi nilai IG tepung
pisang. Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol), tepung pisang modifikasi
secara fermentasi spontan baik tanpa maupun dengan satu siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan memiliki nilai IG sedang. Proses dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan dapat menurunkan nilai IG dari IG sedang menjadi
rendah baik tanpa fermentasi spontan maupun dengan fermentasi spontan. Proses
dua silkus pemanasan bertekanan-pendinginan dapat menurunkan nilai IG tepung
pisang karena selama proses tersebut terjadi retrogradasi berulang sehingga
meningkatkan komponen yang tidak dapat dicerna terutama RS3. Hasil analisis
daya cerna secara in vitro juga menunjukkan penurunan daya cerna oleh proses
retrogradasi terutama dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Selama
proses pemanasan bertekanan terjadi kerusakan granula pati dan gelatinisasi pati
sedangkan pada saat pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda amilosa serta
sineresis pati yang menyebabkan rekristalisasi komponen pati membentuk struktur
pati yang lebih kristalin (Saguilan et al. 2005; Soto et al. 2007).
Selain pemanasan bertekanan, proses pendinginan pada suhu 4 oC selama 24
jam juga berperan dalam menurunkan IG karena proses tersebut dapat
meningkatkan jumlah amilosa teretrogradasi sehingga meningkatkan terbentuknya
95
pati resisten. Hasil ini juga didukung data Frie et al. (2003) yang melaporkan
terjadinya penurunan IG nasi dari beras Bagoean dari 93.2 menjadi 65.7 akibat
penyimpanan pada suhu rendah 4 oC selama 24 jam.
Proses fermentasi spontan selama 24 jam yang dikombinasi dengan dua
siklus pemanasan bertekanan-pendinginan menyebabkan IG tepung menjadi lebih
rendah. Hal ini disebabkan karena selama fermentasi terjadi peningkatan kadar
amilosa sehingga meningkatkan jumlah amilosa yang teretrogradasi pada proses
pemanasan bertekanan-pendinginan. Amilosa teretrogradasi tidak dapat
dihidrolisis oleh enzim pencernaan sehingga tidak meningkatkan kadar glukosa
darah. Soto et al. (2004) melaporkan bahwa pati resisten yang dihasilkan dari
proses retrogradasi (RS3) akan meningkat dengan semakin meningkatnya kadar
amilosa suatu bahan pangan.
Tepung pisang jenis plantain seperti Musa paradisiaca memiliki nilai IG
sebesar 65 dan mengalami penurunan dengan adanya perlakuan pengolahan
seperti penyangraian nilai IG menjadi 57 (Ayodele & Erema 2010). Widowati
(2007) menjelaskan bahwa pengolahan dapat mengubah struktur dan komposisi
kimia pangan, yang selanjutnya dapat mengubah daya serap zat gizi. Semakin
cepat karbohidrat didegradasi dan diserap tubuh maka nilai IG cenderung tinggi.
Astawan & Widowati (2011) melaporkan salah satu klon ubi jalar yang direbus
memiliki nilai IG 62, apabila digoreng nilai IG-nya menjadi 47 dan jika
dipanggang nilai IG meningkat menjadi 80.
KESIMPULAN
RS2 maupun RS3 dari tepung pisang bersifat stabil terhadap hidrolisis asam
lambung artifisial pH 1-5 serta mampu meningkatkan populasi laktobasili maupun
bifidobakteria dan menurunkan pertumbuhan EPEC dan Salmonella
Typhimurium. RS3 memiliki sifat prebiotik lebih baik daripada RS2 berdasarkan
kemampuannya memproduksi asam butirat dan nilai indeks prebiotik (IP) yang
lebih tinggi (5.14) daripada nilai IP RS2 (4.02). Tepung pisang modifikasi dua
siklus retrogradasi baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan memiliki IG
96
rendah (46 - 52), sedangkan tepung pisang kontrol, tepung pisang modifikasi
secara fermentasi spontan dan kombinasinya dengan satu siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan memiliki IG sedang (61 - 66).
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.
Astawan, M. dan S Widowati. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agric Sci. 12 (1)
Ayodele OH, Erema VG. 2010. Glycemic indices of processed unripe plantain (Musa paradisiaca) meals. Afr J Food Sci. 4 (8): 514 – 521
Buriti FCA, Castro IA, Saad SMI. 2010. Viability of Lactobacillus acidophilus in synbiotic guava mousses and its survival under in vitro simulated gastrointestinal conditions. Int J Food Microbiology. 137: 121–129
Cummings JH, Macfarlane GT. 2002. Gastrointestinal effects of prebiotics. British J Nutr. 87(Suppl. 2): S145–S1151
Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J Business Briefing: Food Tech.
Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chem. 28: 350–356
Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr. 46:533-550
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical Meeting On Preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.
Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik percabangan dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol dan Industri Pangan. 21 (2): 135-142
Frei M, Siddhuraju P, Becker K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the Philippines. J Food Chem. 83: 395–402
Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited. Oxford. United Kingdom
97
Hovhannisyan G, Aroutiounian R, Glei M. 2009. Butyrate reduces the frequency of micronuclei in human colon carcinoma cells in vitro. J Toxicology in Vitro. 23, 1028–1033
Huebner J, Wehling RL, Hutkins RW. 2007. Functional activity of commercial prebiotics. J Int Dairy. 17: 770-775
Korakli M, Ganzle MG, Vogel RF. 2002. Metabolism by bifidobacteria and lactic acid bacteria of polysaccharides from wheat and rye, and exopolysaccharides produced by Lactobacillus sanfranciscensis. J App Microbiol. 92: 958–965
Omoregie ES, Osagie A. 2008. Glycemic indices and glycemic load of some Nigerian foods. Pak. J Nutr. 7: 710-716
Palframan R, Gibson GR, Rastall RA. 2003. Development of a quantitative tool for the comparison of the prebiotic effect of dietary oligosaccharides. Lett App Microbiol. 37: 281–284
Patterson CA. 2006. Glycemic Index (GI). Technology Watch. Wellness West.
Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389
Moons MMM, Schneeberger EE, Hecht GA. 2004. Enteropathogenic E. coli infection leads to appearance of aberrant tight junction strands in the lateral membrane of intestinal epithelial cells. Cell Microbiol. 6: 783–793
Moura P, Barata R, Carvalheiro F, Girio F, Loureiro-Dias MC, Esteves MP. 2007. In vitro fermentation of xylo-oligosaccharides from corn cobs autohydrolysis by Bifidobacterium and Lactobacillus strains. Swiss Society of Food Sci and Technol. 40: 963–972
Robertson JA, Ryden P, Botham RL, Reading L, Gibson GR, Ring SG. 2001. Structural properties of diet-derived polysaccharides and their influence on butyrate production during fermentation. British J Nutr. 81: S219–S223
Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57: 405-412
Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional aspect. 2nd Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc.
Schmiedl D, Ba-Euerlein M, Bengs H, Jacobasch G. 2000. Production of heat-stable, butyrogenic resistant starch. J Carbohy Polymers. 43: 183-193
Sharp R, Macfarlane GT. 2000. Chemostat enrichments of human feces with resistant starch are selective for adherent butyrate-producing clostridia at high dilution rates. App and Env Microbiol. 66 (10): 4212–4221
98
Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Bello-Perez LA. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Bello-Perez LA. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310
Tuohy KM, Rouzaud GCM, Bruck WM, Gibson GR. 2005. Modulation of the human gut microflora towards improved health using prebiotics – assessment of efficacy. Current Pharmaceutical Design. (1): 75-90
Vardakou M, Palop CN, Christakopoulos P, Faulds CB, Gasson MA, Narbad A. 2008. Evaluation of the prebiotic properties of wheat arabinoxylan fractions and induction of hydrolase activity in gut microflora. Int J Food Microbiol. 123:166-170
Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. J Food Chem. 120: 850–857
Wichienchot S, Prasertsan P, Hongpattarakere T, Gibson GR, Rastall RA. 2006. In vitro fermentation of mixed linkage gluco-oligosaccharides produced by Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 by the human colonic microflora. Current Issues in Intestinal Microbiol. 7:7–12
Widowati S. 2007. Sehat dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 (3)
99
8. PEMBAHASAN UMUM
Telah dilakukan upaya untuk meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang
yaitu dengan meningkatkan kandungan pati resisten (RS) tepung pisang melalui
kombinasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan (retrogradasi). Selama fermentasi spontan pisang, BAL tumbuh
mendominasi hingga jam ke-24. Dalam rangka optimasi proses modifikasi yang
berkaitan dengan jenis starter BAL yang spesifik dan lama fermentasi maka
dilakukan isolasi dan identifikasi BAL yang berperan selama fermentasi spontan.
Setelah mendapatkan isolat BAL, selanjutnya diaplikasikan sebagai starter dalam
proses fermentasi secara terkendali dan ditetapkan lama fermentasi optimal untuk
pembuatan tepung pisang kaya RS. Sifat prebiotik RS tepung pisang dievaluasi,
begitu juga dengan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang yang dievaluasi
secara in vivo menggunakan relawan.
Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan
Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan
Modifikasi proses pembuatan tepung kaya RS yang telah dikembangkan
oleh Jenie et al. (2009) ditingkatkan dengan menerapkan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan pada irisan pisang baik tanpa maupun dengan fermentasi
spontan. Proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu
meningkatkan kandungan RS tepung pisang hingga empat kali lipat (26.26 –
28.88%) dari tepung pisang kontrol (7.24%). Satu siklus pemanasan bertekanan-
pendinginan hanya dapat meningkatkan kandungan RS tepung pisang sekitar dua
sampai tiga kali lipat (20.50-24.72%).
Pemanasan bertekanan dengan menggunakan otoklaf merupakan sistem
pemanasan basah (hidrotermal) sehingga mampu menyebabkan terjadinya
gelatinisasi pati akibat pemanasan suhu tinggi oleh uap air. Gelatinisasi pati
menyebabkan struktur granula pati menjadi rusak sehingga tidak terlihat adanya
granula pati pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop serta tidak
100
memiliki sifat birefringence atau tidak mampu memendarkan cahaya pada saat
pengamatan dengan menggunakan mikroskop polarisasi (Zang et al. 2002;
Santiago et al. 2004).
Kerusakan granula pati ditandai dengan hilangnya sifat birefringence dan
menurunnya tingkat kristalinitas tepung pisang akibat proses pemanasan
bertekanan-pendinginan baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan. Hizukuri
(1961) menjelaskan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kristalinitas
adalah struktur kristalin granula pati. Tepung pisang yang dihasilkan dari
modifikasi fermentasi spontan memiliki tingkat kristalinitas yang lebih rendah
daripada tepung pisang kontrol. Hal ini menunjukkan telah terjadi degradasi pada
granula pati selama fermentasi spontan 24 jam yang di antaranya diindikasikan
dengan meningkatnya kandungan amilosa pada tepung yang dihasilkan.
Proses pemanasan pada suhu 121 oC selama 15 menit mendestruksi mikroba
yang ada sehingga mencegah degradasi lebih lanjut oleh mikroba. Setelah
pemanasan bertekanan, dilanjutkan dengan proses pendinginan (suhu 4 oC, 24
jam) dengan tujuan agar terjadi restrukturisasi pati yang optimal terutama
komponen amilosa untuk membentuk ikatan ganda yang distabilkan oleh ikatan
hidrogen. Penyimpanan suhu rendah dapat membantu dalam menghambat
pertumbuhan mikroba terutama bakteri meskipun penyimpanan dilakukan selama
24 jam. Proses penyimpanan pada suhu 4 oC sebelumnya telah diaplikasikan oleh
Frie et al (2003) dalam memproduksi nasi teretrogradasi yang memiliki daya
cerna dan nilai indeks glikemik rendah.
Proses pemanasan bertekanan-pendinginan juga telah digunakan untuk
melakukan modifikasi pati pisang sehingga kandungan RS meningkat. Siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan dapat mempengaruhi kadar RS yang
dihasilkan. Beberapa penelitian seperti Soto et al. (2004), Saguilan et al. (2005)
dan Soto et al. (2007) mengaplikasikan proses pemanasan bertekanan-
pendinginan pada pati pisang sebanyak tiga siklus. Selain pada pati pisang, tiga
siklus pemanasan bertekanan-pendinginan juga telah diaplikasikan untuk
memodifikasi pati lain seperti pati jagung (Shamai et al. 2003; Zang & Jin 2011),
pati kentang (Leeman et al. 2006), pati singkong (Mutungi et al. 2009), dan pati
101
garut (Faridah et al. 2010) dengan lama proses pemanasan bertekanan (otoklaf)
yang lebih lama yaitu 30 hingga 60 menit per siklusnya. Proses pemanasanan
bertekanan-pendinginan pada pembuatan tepung pisang kaya RS hanya
memerlukan dua siklus dengan lama proses yang lebih pendek yaitu 15 menit.
Aplikasi tiga siklus pemanasanan bertekanan menghasilkan keragaan produk
tepung pisang yang kurang baik dari mutu sensori terutama warna dan rasa (Jenie
et al. 2009). Oleh karena itu tiga siklus pemanasanan bertekanan tidak
direkomendasikan dalam proses modifikasi pembuatan tepung pisang.
Proses modifikasi yang dilakukan pada irisan pisang memerlukan dua siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan kadar RS lebih tinggi
daripada satu siklus. Modifikasi pada pati pisang memerlukan tiga siklus
pemanasan bertekanan-pendinginan dengan proses pemanasan bertekanan yang
lebih lama (30 menit) untuk dapat meningkatkan kadar RS hingga mencapai
sepuluh kali (Saguilan et al. 2005). Akan tetapi modifikasi di tingkat pati tentu
lebih sulit aplikasinya karena harus mengisolasi pati pisang terlebih dahulu,
sedangkan tiga siklus proses pemanasan bertekanan-pendinginan membutuhkan
waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak seperti energi listrik serta
membutuhkan alat pengering yang lebih mahal untuk mengeringkan bubur
(slurry) pati seperti drum drying atau freeze drying. Penelitian ini
mengaplikasikan proses otoklaf selama 15 menit yang berarti proses modifikasi
lebih efesien yaitu dapat mereduksi waktu, energi dan biaya jika dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yang mengaplikasikan proses otoklaf selama 30
menit hingga 1 jam (Saguilan et al. 2005; Soto et al. 2006).
Setelah dilakukan pemanasan bertekanan, proses dilanjutkan dengan
pendinginan. Suhu pendinginan juga mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan.
Semakin rendah suhu pendinginan maka dapat mempercepat dan meningkatkan
pembentukan RS3. Seperti yang dilaporkan Soto et al. (2007) bahwa untuk
meningkatkan kadar RS pati pisang hingga empat kali melalui tiga siklus
retrogradasi membutuhkan waktu 24 jam pada 4 oC atau 36 jam pada 32 oC,
sedangkan pendinginan pada suhu lebih tinggi (60 oC) selama 48 jam hanya
mampu meningkatkan kadar RS pati kurang dari tiga kali.
102
Selama proses pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda (double helix)
rantai polimer yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Semakin banyak kandungan
amilosa pada pati maka jumlah polimer berikatan ganda juga semakin banyak
sehingga jumlah amilosa teretrogradasi juga meningkat yang berarti
meningkatkan pula kandungan pati resisten tipe III (RS). Pati resisten tersebut
merupakan pati resisten yang terbentuk akibat amilosa yang mengalami
retrogradasi berulang sehingga bersifat resisten terhadap enzim pencernaan
(Sajilata et al. 2006).
Optimasi Proses Fermentasi
Identifikasi BAL Indigenus dalam Fermentasi Pisang
Fermentasi spontan memberikan peran penting dalam meningkatkan kadar
RS tepung pisang. Fermentasi spontan pisang selama 24 jam didominasi oleh
BAL hingga mencapai 6 log CFU/ml. Abdillah (2010) melaporkan bahwa
fermentasi spontan pisang tanduk didominasi oleh BAL hingga mencapai 8 log
CFU/ml pada jam ke-100. Fermentasi spontan umumnya kurang dapat terkendali
dan sulit mendapatkan kualitas produk yang konsisten sehingga perlu dilakukan
isolasi dan identifikasi BAL indigenus yang berperan dalam fermentasi spontan
pisang selama 24 jam untuk selanjutnya digunakan sebagai starter. Hasil
identifikasi fenotip menunjukkan isolat BAL yang tumbuh dominan (BAL FSnh1)
merupakan BAL homofermentatif, sedangkan isolat BAL yang tumbuh kurang
dominan (BAL FSnhA) merupakan BAL heterofermentatif yang semuanya
memiliki suhu pertumbuhan optimal pada suhu 35 oC. Uji biokimiawi
menunjukkan kedua isolat memiliki kemampuan yang berbeda dalam
memfermentasi sumber karbon. Identifikasi lebih lanjut di tingkat molekuler juga
dilakukan karena identifikasi dengan menggunakan API 50CHL dan karakteristik
biologi belum cukup untuk mengidentifikasi di tingkat strain (Tamang et al.
2008).
Hasil identifikasi genotip menunjukkan bahwa isolat BAL FSnh1 dan
FSnhA merupakan famili Lactobacillaceae dengan genus Lactobacillus. Beberapa
103
hasil penelitian melaporkan bahwa strain Lactobacillus banyak ditemukan pada
fermentasi bahan berpati seperti singkong (Sanni et al. 2002; Lacerda et al. 2005;
Huch et al. 2008), dan gandum (Robert et al. 2009). BAL tersebut merupakan
BAL amilolitik yang mampu menghasilkan enzim amilase. Pisang mentah
merupakan bahan pangan berpati dengan kandungan pati lebih dari 60% (Tribess
et al. 2009) sehingga strain Lactobacillus bisa tumbuh. Hasil visualisasi pada
pohon filogenetik NJplot menunjukkan isolat BAL FSnh1 memiliki homologi
dengan L. salivarius sedangkan isolat BAL FSnhA memiliki homologi dengan L.
fructivorans.
L. salivarius merupakan BAL homofermentatif yang dilaporkan mampu
menghasilkan senyawa antimikroba seperti bakteriosin yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen pada karkas ayam seperti Campylobacter jejuni
(Stern et al. 2006). Strain tertentu dari L. salivarius juga merupakan probiotik
yang sudah dikomersialkan seperti L. salivarius ATCC SD5208 dengan merk
dagang Lactobacillus salivarius Ls-33TM (Danisco 2011). L. fructivorans banyak
ditemukan pada buah dan sayur serta produk olahan, beberapa produk salad dan
saus tomat (Bjorkroth & Korkeala 1997). L. fructivorans dapat tumbuh dengan
baik pada suhu 45 oC (Dicks & Endo, 2009). Selama 24 jam fermentasi spontan
pisang diketahui pertumbuhan L. fructivorans lebih sedikit daripada L. salivarius.
Tersedianya pati dan fruktosa pada pisang memungkinkan kedua spesies BAL
tersebut mampu tumbuh secara sinergis. L. salivarius memiliki kemampuan
menghidrolisis ikatan glikosida seperti manosa, rhamnosa dan seliobiosa sebagai
sumber energi bagi pertumbuhannya (Rogosa et al. 1955), sedangkan L.
fructivorans dapat menggunakan fruktosa buah sebagai sumber energi (Bjorkroth
& Korkeala 1997).
Isolat BAL indigenus L. salivarius FSnh1 yang diisolasi juga dapat dikaji
lebih lanjut potensi BAL tersebut sebagai kandidat probiotik. Beberapa hasil
penelitian melaporkan strain lain dari L. salivarius merupakan probiotik yang
diisolasi dari feses bayi yang mendapat ASI ekslusif dari ibunya (Martin et al.
2006). Jika telah diketahui potensi probiotik dari isolat L. salivarius FSnh1 maka
104
dapat dikembangkan lebih lanjut untuk diformulasikan sebagai produk sinbiotik
bersama dengan tepung pisang modifikasi kaya RS.
Optimasi Lama Fermentasi Terkendali pada Pembuatan Tepung Pisang
Kaya RS
Fermentasi terkendali irisan pisang dengan menggunakan L. salivarius
FSnh1 sebagai starter dilakukan selama 12 dan 24 jam. Fermentasi pisang selama
12 jam mampu meningkatkan kadar amilosa, sedangkan hasil penelitian Abdillah
(2010) menunjukkan bahwa fermentasi spontan pada pisang hingga jam ke-12
tidak meningkatkan kadar amilosa tepung pisang. Kadar amilosa baru mengalami
peningkatan setelah fermentasi selama 24 jam. Kandungan amilosa yang tinggi
berperan dalam pembentukan RS3 selama proses retrogradasi.
Fermentasi terkendali selama 24 menurunkan kadar amilosa tepung pisang.
Hal ini diduga karena terjadi degradasi amilopektin menjadi amilosa hingga
fermentasi jam ke-12, selanjutnya amilosa didegradasi lebih lanjut menjadi
glukosa sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan BAL tersebut sehingga kadar
amilosa menurun pada fermentasi lebih dari 12 jam (analisis jam ke-24).
Selain mempersingkat waktu fermentasi pisang menjadi 12 jam,
penggunaan starter L. salivarius FSnh1 juga mampu meningkatkan produksi asam
laktat sehingga memberikan manfaat lebih, tidak hanya bersifat antimikroba akan
tetapi juga diduga berperan dalam meningkatkan kadar pati resisten. Gong et al.
(2006) menjelaskan bahwa asam laktat dapat membentuk kopolimer pati-asam
laktat yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Proses fermentasi 12 jam
yang dikombinasi dengan dua siklus retrogradasi menghasilkan kadar RS tepung
pisang yang tinggi sekitar empat hingga lima kali lipat dibandingkan tepung
pisang tanpa modifikasi (kontrol).
105
Penggunaan kultur starter indigenus dari bahan asalnya memudahkan dalam
mengendalikan proses fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang lebih
baik dan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan seperti yang
dijelaskan sebelumnya oleh Antara (2010). Konsentrasi L. salivarius FSnh1 yang
digunakan mencapai106 CFU/ml dan berhasil mencapai target kadar RS tepung
pisang yang hampir setara dengan fermentasi spontan 24 jam, bahkan waktu
fermentasi dapat dipersingkat menjadi 12 jam.
Isolat BAL L. salivarius FSnh1 memiliki sifat homofermentatif.
Penggunaan BAL homofermentatif sebagai starter lebih menguntungkan dalam
prosesnya karena tidak menghasilkan gas berlebih sehingga tidak mengganggu
proses fermentasi akibat meluapnya (wash out) starter. Selain itu BAL
homofermentatif menghasilkan asam laktat lebih banyak daripada BAL
heterofermentasif. Reddy et al. (2008) menjelaskan bahwa BAL homofermentatif
mampu menghasilkan sekitar 80% asam laktat dari jumlah glukosa yang
dikonsumsinya. Asam laktat berperan dalam meningkatkan kadar RS dari hasil
kopolimer pati-asam laktat sehingga pati menjadi lebih resisten terhadap enzim
pencernaan karena mengurangi reaktivitas grup hidroksil pada unit glukopiranosa
pati yaitu pada C6, C3 dan C2 (Gong et al. 2006). Sajilata et al. (2006)
menjelaskan bahwa pati resisten yang terbentuk akibat interaksi pati dengan
komponen kimia dikenal sebagai pati resisten tipe IV (RS4). Jenie et al. (2009)
melaporkan bahwa modifikasi tepung pisang dengan fermentasi terkendali oleh
BAL homofermentatif L. plantarum kik selama 48 jam dan kombinasinya dengan
pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS yang lebih tinggi
daripada modifikasi dengan fermentasi terkendali oleh BAL heterofermentatif L.
fermentum 2B4. Kombinasi kedua BAL tersebut sebagai starter juga
menghasilkan RS lebih tinggi pada perbandingan jumlah BAL homofermentatif
lebih banyak yaitu rasio 2:1 (2 bagian L. plantarum kik dengan 1 bagian L.
fermentum 2B4) dengan waktu yang lama (72 jam) dibandingkan fermentasi
spontan 24 jam. Oleh karena itu penambahan strain kultur starter BAL yang
berperan selama fermentasi spontan pisang (BAL indigenus) adalah penting untuk
memperoleh kondisi fermentasi yang optimum dengan hasil yang konsisten.
106
Evaluasi Sifat Prebiotik dan Indeks Glikemik Tepung Pisang Modifikasi
Penelitian ini mengevaluasi sifat fungsional tepung pisang berdasarkan
sifat-sifat prebiotik RS yang dihasilkan dan nilai indeks glikemik (IG) tepung
pisang modifikasi. Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol) mengandung pati
resisten tipe II (RS2), sedangkan tepung pisang hasil modifikasi dengan
retrogradasi mengandung pati resisten tipe III (RS3) yang bersifat lebih stabil
selama pengolahan daripada RS2 sehingga memiliki retensi yang lebih baik jika
digunakan sebagai tepung substitusi pada produk pangan.
Jenie et al. (2010) melaporkan retensi RS tepung pisang modifikasi lebih
tinggi jika digunakan pada produk pangan yang diolah tanpa penambahan air serta
dilakukan pemanggangan seperti pengolahan menjadi cookies. Pengolahan tepung
pisang modifikasi menjadi brownies kukus dan roti menghasilkan retensi RS yang
lebih rendah karena selama pembuatan brownies, adonan dikukus dan terjadi
proses hidrotermal yang memungkinkan uap air ditransfer ke dalam produk,
sedangkan adanya proses fermentasi pada adonan roti juga menghasilkan air
sebagai hasil metabolisme khamir/yeast sehingga dapat meningkatkan kadar air
bahan dan menurunkan retensi RS.
RS yang dihasilkan oleh proses retrogradasi merupakan RS tipe III (RS3)
yang terbukti dapat memenuhi beberapa persyaratan sebagai kandidat prebiotik
yaitu di antaranya meliputi ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung,
mampu menstimulasi pertumbuhan laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan
pertumbuhan bakteri patogen seperti EPEC dan Salmonella Typhimurium,
menghasilkan asam lemak rantai pendek terutama asam butirat dan memiliki
indeks prebiotik lebih tinggi daripada RS2 tepung pisang kontrol.
Kestabilan RS terhadap hidrolisis asam lambung artifisial dimaksudkan agar
RS tidak terhidrolisis selama berinteraksi dengan asam lambung dan dapat
mencapai kolon sehingga menjadi satu-satunya sumber nutrisi bagi pertumbuhan
mikroflora terutama probiotik seperti yang disyaratkan FAO (2007). RS3 tepung
pisang modifikasi secara fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan dua
siklus retrogradasi relatif lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung (sekitar
107
96%) sehingga dapat dikategorikan sebagai kandidat prebiotik berdasarkan
ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung. Beberapa polisakarida lain yang
dilaporkan sebagai kandidat prebiotik juga memiliki ketahanan yang tinggi
terhadap hidrolisis asam lambung artifisial seperti glukooligosakarida yang
dihasilkan oleh Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 sebesar 98.4%
(Wichienchot et al. 2006) dan oligosakarida pitaya (buah naga) sebesar 96%
(Wichienchot et al. 2010).
RS3 tepung pisang modifikasi melalui fermentasi spontan dengan dua siklus
retrogradasi juga bersifat selektif bagi pertumbuhan Lactobacillus acidophilus.
Hal ini dibuktikan dengan persentase pertumbuhan L. acidophilus yang lebih
tinggi dibandingkan persentase pertumbuhan EPEC dan S. Typhimurium.
Persentase pertumbuhan yang tinggi dalam waktu inkubasi yang sama
menunjukkan pertumbuhan bakteri tersebut lebih cepat yang berarti memiliki
waktu generasi lebih singkat. Salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan
mikroba lebih cepat di antaranya adalah ketersediaan nutrisi yang cocok bagi
pertumbuhan sel. Hal ini menunjukkan RS3 lebih selektif hanya dapat digunakan
oleh L. acidophilus daripada EPEC dan S. Typhimurium. Sifat selektif terhadap
pertumbuhan mikroba juga menjadi salah satu kriteria dari suatu kandidat
prebiotik (Salminen et al. 2004; Roberfroid 2007; FAO 2007).
Kemampuan RS3 dalam memodulasi mikroflora yang menguntungkan
ditunjukkan dengan nilai IP yang positif yang berarti RS pisang mampu
menstimulasi pertumbuhan probiotik (bifidobakteria dan laktobasili) daripada
pertumbuhan bakteri klostridia maupun bakteroides. Hal ini juga dapat
mempengaruhi produksi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA)
yang dihasilkan selama fermentasi kultur fekal pada media yang mengandung
RS3. Bullock dan Norton (1999) melaporkan bahwa feses tikus percobaan
mengandung asam lemak rantai pendek dua kali lebih banyak pada tikus yang
diberi konsumsi 20% RS3 daripada tikus yang diberi konsumsi glukosa 20% pada
pakannya.
RS3 tepung pisang modifikasi mampu menghasilkan asam butirat,
sedangkan RS2 tepung pisang kontrol tidak mampu menghasilkan asam tersebut.
108
Asam butirat merupakan salah satu senyawa aktif yang diperlukan tidak hanya
sebagai sumber energi bagi sel-sel mukosa gastrointestinal, akan tetapi juga
diperlukan untuk meningkatkan fungsi sel (pro-diferensiasi), mencegah
pertumbuhan sel abnormal (anti-proliferasi) dan menghambat pertumbuhan
pembuluh darah baru (anti-angiogenik) (Hovhannisyan et al. 2009). Oleh karena
itu dengan mengkonsumsi RS3 diharapkan dapat meningkatkan produksi asam
butirat dalam usus besar sehingga dapat mencegah kanker terutama kanker kolon.
Selain kandungan RS lebih tinggi dan sifat prebiotik lebih baik, modifikasi
proses dengan dua siklus retrogradasi mampu menurunkan daya cerna tepung
pisang. Daya cerna lebih rendah dihasilkan oleh dua siklus retrogradasi (Tabel
4.3). Evaluasi indeks glikemik secara in vivo dengan menggunakan relawan
menunjukkan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang menurun akibat dua siklus
retrogradasi dari IG sedang (61 – 66) menjadi IG rendah (52) dan kombinasinya
dengan fermentasi spontan mampu menurunkan nilai IG yaitu menjadi 46
meskipun masih masuk kategori IG rendah. Nilai IG yang rendah disebabkan oleh
meningkatnya kandungan RS sehingga lebih banyak pati yang tidak dapat dicerna
dan tidak terjadi peningkatan glukosa darah secara drastis setelah 2 jam
mengonsumsi tepung pisang tersebut. Proses dua siklus retrogradasi berperan
dalam meningkatkan RS. Di samping itu proses pendinginan yang dilakukan pada
suhu rendah 4 oC juga mempercepat pembentukan RS. Frie et al. (2003)
melaporkan penyimpanan suhu rendah 4 oC selama 24 jam dapat menurunkan IG
nasi Bagoean dari IG tinggi (93.2) menjadi IG sedang (65.7).
Ayodele & Erema (2010) melaporkan tepung pisang jenis plantain memiliki
IG sedang (65) dan menurun menjadi 57 akibat penyangraian. Nilai IG yang
rendah pada suatu bahan pangan dapat direkomendasikan sebagai asupan
karbohidrat bagi penderita diabetes atau diet gula. Pangan yang memiliki nilai IG
sedang maupun tinggi dapat direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh individu
normal yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak),
sedangkan olahragawan yang akan bertanding memerlukan konsumsi pangan
yang memiliki IG tinggi (Widowati 2007; Astawan & Widowati 2011). Hal ini
menunjukkan proses pengolahan dapat mempengaruhi ketersediaan pati yang
109
dapat dicerna serta IG suatu bahan pangan sehingga pemilihan proses pengolahan
menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam konstribusinya sebagai
penyedia energi atau sifat fungsional tertentu bagi tubuh.
Tepung modifikasi yang dihasilkan memiliki kandungan RS yang cukup
tinggi dan memiliki IG rendah. Oleh karena itu tepung pisang tersebut dapat
dikembangkan menjadi pangan fungsional. Hasil penelitian Jenie et al. (2010)
menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi yang dihasilkan dari fermentasi
spontan 24 jam dengan satu siklus retrogradasi dapat diaplikasikan sebagai tepung
komposit pada pembuatan produk pangan seperti roti, brownies dan cookies.
Aplikasi tepung tersebut dapat mencapai 20 % pada roti, 40% pada brownies dan
60% pada cookies dengan tingkat kesukaan panelis yang cukup tinggi.
9. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Modifikasi proses pembuatan tepung pisang melalui fermentasi spontan 24
jam dan pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi komposisi kimia
tepung pisang dan sifat birefringence granula pati. Fermentasi mampu
meningkatkan kadar amilosa yang selanjutnya melalui proses pemanasan
bertekanan-pendinginan menjadi amilosa teretrogradasi membentuk pati resisten
tipe III (RS3). Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan berperan dalam
meningkatkan kadar RS. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dapat
meningkatkan kadar RS lebih tinggi daripada yang satu siklus.
Fermentasi spontan 24 jam didominasi oleh pertumbuhan bakteri asam
laktat (BAL). Hasil identifikasi menunjukkan BAL yang tumbuh dominan (isolat
BAL FSnh1) dan BAL yang tumbuh kurang dominan (isolat BAL FSnhA)
merupakan famili Lactobacillaceae genus Lactobacillus. Visualisasi kedua isolat
pada pohon filogenetik menunjukkan isolat BAL FSnh1 memiliki similaritas
dengan L. salivarius sedangkan isolat BAL FSnhA memiliki similaritas dengan
L. fructivorans. Proses fermentasi pisang secara terkendali menggunakan BAL
110
indigenus pisang (L. salivarius FSnh1) sebagai starter menghasilkan tepung
pisang kaya RS dengan lama fermentasi yang lebih singkat yaitu 12 jam.
Proses modifikasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan
bertekanan-pendinginan menghasilkan pati resisten (RS3) yang memiliki sifat
prebiotik lebih baik daripada pati resisten tepung pisang tanpa modifikasi (RS2).
RS3 tepung pisang modifikasi bersifat relatif stabil terhadap hidrolisis asam
lambung artifisial pada pengujian pH 1-5, dapat meningkatkan populasi
laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan EPEC dan Salmonella
Typhimurium, menghasilkan asam butirat serta memiliki indeks prebiotik (IP)
lebih tinggi. Proses modifikasi juga mampu menurunkan indeks glikemik (IG)
tepung pisang dari nilai IG sedang menjadi rendah.
Saran
Evaluasi sifat prebiotik tepung pisang modifikasi secara in vivo baik pada
hewan percobaan maupun manusia perlu dilakukan untuk meningkatkan status
kandidat prebiotik menjadi prebiotik tepung pisang modifikasi kaya RS. Selain itu
perlu dilakukan evaluasi sifat probiotik dari isolat BAL indigenus yang sudah
diperoleh sehingga tepung pisang yang dihasilkan dapat dikembangkan lebih
lanjut menjadi produk sinbiotik. Perlu dianalisis komponen-komponen prebiotik
lain yang terkandung dalam tepung pisang modifikasi seperti inulin, FOS dan
GOS.
111
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiacal Formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. 12 (1)
Ayodele OH, Erema VG. 2010. Glycemic indices of processed unripe plantain (Musa paradisiaca) meals. Afr J Food Sci. 4(8): 514 – 521
Bjorkroth KJ, Korkeala HJ. Lactobacillus fructivorans. 1997. Spoilage of Tomato Ketchup. J Food Protection. 60 (5): 505 - 509
Bullock NR, G Norton. 1999. Biotechniques to assess the fermentation of resistant starch in the mammalian gastrointestinal tract. J Carbohydrate Polymers. 38: 225 - 230
Carrera EC, Cruz AC, Guerrero LC, Ancona DB. 2007. Effect of pyrodextrinization on available starch content of Lima bean (Phaseolus lunatus) and Cowpea (Vigna unguiculata) starches. J Food Hydrocolloids. 21: 472 - 479
Danisco. 2011. Lactobacillus salivarius Ls-33TM. Flora-Fit. www.danisco supplement.com. Diakses dari www.google.com [10 April 2011].
Dicks LMT, Endo A. 2009. Taxonomic Status of Lactic Acid Bacteria in Wine and Key Characteristics to Differentiate Species. S. Afr. J Enol. Vitic. 30 (1): 72-90
Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik percabangan dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol dan Industri Pangan. 21 (2): 135-142
[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on prebiotics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008
Frei M, Siddhuraju P, Becker K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the Philippines. J Food Chem. 83: 395–402
112
Gong Q, Wang L, Tu K. 2006. In situ polymerization of starch with lactic acid in aqueous solution and the microstructure characterization. J Carbohy Polymers. 64: 501–509
Hizukuri S. 1961. X-ray diffractometric studies on starches. Part VI. Crystalline types of amylodextrin and effect of temperature and concentration of mother liquor on crystalline type. J Agric and Biological Chem. 25: 45–49
Hovhannisyan G, Aroutiounian R, Glei M. 2009. Butyrate reduces the frequency of micronuclei in human colon carcinoma cells in vitro. J Toxicology in Vitro. 23: 1028–1033
Huch M, Hanak A, Specht I, Dortu CM, Thonart P, Mbugua S, Holzapfel WH, Hertel C, Franz CMAP. 2008. Use of Lactobacillus strains to start cassava fermentations for Gari production. Int J Food Microbiol. 128: 258–267
Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB
Lacerda ICA, Miranda RL, Borelli BM, Nunes AC, Nardia RMD, Lachance MA, Rosa CA. 2005. Lactic acid bacteria and yeasts associated with spontaneous fermentation during the production of sour cassava starch in Brazil. Int J Food Microbiol. 105: 213–219
Leeman AM, Karlsson ME, Eliasson AC, Bjorck IME. 2006. Resistant starch formation in temperature treated potato starches varying in amylose/amylopectin ratio. J Carbohy Polymers. 65: 306–313
Martín R, Jiménez E, Olivares M, Marín ML, Fernández L, Xaus J, Rodríguez JM. 2006. Lactobacillus salivarius CECT 5713, a potential probiotic strain isolated from infant feces and breast milk of a mother–child pair. Int J Food Microbiol. 112: 35–43
Mutungi C, Rost F, Onyango C, Jaros D, Rohm H. 2009. Crystallinity, Thermal and morphological characteristics of resistant starch type III produced by hydrothermal treatment of debranched cassava starch. J Starch/Stärke. 61: 634–645
Robert H, Gabriel V, Faucher CF. 2009. Biodiversity of lactic acid bacteria in French wheat sourdough as determined by molecular characterization using species-specific PCR. Int J Food Microbiol. 135: 53–59
Rogosa M, Wiseman RF, Mitchell JA, Disraely MN, Beaman AJ. 1953. Species differentiation of oral lactobacilli from man including description of
113
Lactobacillus salivarius nov. spec. and Lactobacillus cellobiosus. J Bacteriol. 65: 681–699
Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17
Santiago MCN, Perez LAB, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and rheological behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. J Carbohy Polymers. 56: 65–75
Shamai K, Havazelet BP, Eyal S. 2003. Polymorphism of resistant starch type III. J Carbohy Polymers. 54: 363–369
Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310
Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50 (9) : 3111–3116
Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. J Food Chem. 120: 850–857
Wichienchot S, Prasertsan P, Hongpattarakere T, Gibson GR, Rastall RA. 2006. In vitro fermentation of mixed linkage gluco-oligosaccharides produced by Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 by the human colonic microflora. Current Issues in Intestinal Microbiology. 7: 7–12
Widowati S. 2007. Sehat dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 (3)
Zhang H, Jin Z. 2011. Preparation of resistant starch by hydrolysis of maize starch with pullulanase. J Carbohy Polymers. 83: 865–867
114
115
LAMPIRAN
Lampiran 1. Analisis Statistik Tepung Pisang Fermentasi Spontan
a. Kadar air Treatment (t) = 6
Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 5.03 5.10 10.13 5.07 0.05
Fermentasi spontan 7.79 7.75 15.54 7.77 0.03
Satu siklus retrogradasi 7.13 7.22 14.35 7.18 0.06
Dua siklus retrogradasi 6.72 6.69 13.41 6.71 0.02
Ferm spon-satu siklus R 8.10 8.00 16.10 8.05 0.07
Ferm spon-dua siklus R 9.74 9.70 19.44 9.72 0.03
Total 44.51 44.46 88.97
Faktor Koreksi = 659.6384
JK Total = 23.8665 JK Perlakuan = 23.8529 JK Galat = 0.0136 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 23.853 7.951 2347.153 4.950 Error = t(r-1) 6 0.014 0.003
Total = tr-1 11 23.866 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11
dan db galat=6 F hitung = 2347.153 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950
BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.08 Perlakuan Rerata Selisih Sandi
FR2x 9.72
a FR1x 8.05 1.67 b F 7.77 0.28 c R 1x 7.175 0.59 d R2x 6.705 0.47 e K 5.065 1.64 f b. Kadar abu
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 2.21 2.14 4.35 2.18 0.05 Fermentasi spontan 1.76 1.78 3.54 1.77 0.01 Satu siklus retrogradasi 2.02 1.96 3.98 1.99 0.04 Dua siklus retrogradasi 1.86 1.81 3.67 1.84 0.04 Ferm spon-satu siklus R 1.58 1.61 3.19 1.60 0.02 Ferm spon-dua siklus R 1.67 1.69 3.36 1.68 0.01
Total 11.1 10.99 22.09
116
Faktor Koreksi = 40.6640 JK Total = 0.4569 JK Perlakuan = 0.4505 JK Galat = 0.0064 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 0.4505 0.1502 94.602 4.950 Error = t(r-1) 6 0.00635 0.0016
Total = tr-1 11 0.4569 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db
galat=6 F hitung = 94.602 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.06
Perlakuan Rerata Selisih Sandi K 2.18
a
R 1x 1.99 0.185 b R2x 1.84 0.155 c F 1.77 0.065 d FR2x 1.68 0.090 e FR1x 1.59 0.085 f c. Kadar lemak
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 1.04 1.00 2.04 1.02 0.03 Fermentasi spontan 1.05 1.13 2.18 1.09 0.06 Satu siklus retrogradasi 1.04 1.06 2.10 1.05 0.01 Dua siklus retrogradasi 1.03 1.11 2.14 1.07 0.06 Ferm spon-satu siklus R 1.00 1.02 2.02 1.01 0.01 Ferm spon-dua siklus R 1.10 1.04 2.14 1.07 0.04
Total 6.26 6.36 12.62
Faktor Koreksi = 13.2720
JK Total = 0.0192 JK Perlakuan = 0.0098 JK Galat = 0.0094 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 0.0098 0.0032 1.385 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0094 0.0024
Total = tr-1 11 0.0192 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db
galat=6 F hitung = 1.385 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950
F hitung < T tabel sehingga tidak diuji lanjut
117
d. Kadar Protein
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 1.97 2.01 3.98 1.99 0.03 Fermentasi spontan 1.86 1.91 3.77 1.89 0.04 Satu siklus retrogradasi 2.12 2.04 4.16 2.08 0.06 Dua siklus retrogradasi 1.99 2.08 4.07 2.04 0.06 Ferm spon-satu siklus R 1.91 1.95 3.86 1.93 0.03 Ferm spon-dua siklus R 1.89 1.84 3.73 1.86 0.04
Total 11.74 11.83 23.57 Faktor Koreksi = 46.2954
JK Total = 0.0841 JK Perlakuan = 0.0727 JK Galat = 0.0114 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 0.0727 0.0242 8.545 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0114 0.0028
Total = tr-1 11 0.0841 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db
galat=6 F hitung = 8.545 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950
BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.08 Perlakuan Rerata Selisih Sandi
R2x 2.08
a R 1x 2.04 0.04 a A 1.99 0.04 a FR2x 1.93 0.06 a F 1.88 0.04 a FR2x 1.86 0.02 a e. Karbohidrat
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 88.80 88.71 177.51 88.76 0.06 Fermentasi spontan 87.45 87.49 174.94 87.47 0.03 Satu siklus retrogradasi 87.65 87.62 175.27 87.64 0.02 Dua siklus retrogradasi 88.35 88.28 176.63 88.32 0.05 Ferm spon-satu siklus R 87.41 87.52 174.93 87.46 0.08 Ferm spon-dua siklus R 85.68 85.64 171.32 85.66 0.03
Total 525.34 525.26 1050.6 Faktor Koreksi = 91980.0300
JK Total = 11.2750 JK Perlakuan = 11.2604
118
JK Galat = 0.0146 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 11.2604 3.7535 1028.347 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0146 0.0036
Total = tr-1 11 11.2750 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11
dan db galat=6 F hitung = 1028.347 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950
BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0,09 Perlakuan Rerata Selisih Sandi
A 88.76
a R2x 88.32 0.44 b R1x 87.64 0.68 c F 87.47 0.16 d FR1x 87.46 0.01 d FR2x 85.66 1.80 e f. Kadar pati
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 70.08 70.25 140.33 70.16 0.12 Fermentasi spontan 69.89 69.69 139.58 69.79 0.14 Satu siklus retrogradasi 69.88 69.84 139.72 69.86 0.03 Dua siklus retrogradasi 66.51 67.72 134.23 67.12 0.86 Ferm spon-satu siklus R 69.08 68.51 137.59 68.80 0.40 Ferm spon-dua siklus R 67.30 68.04 135.34 67.67 0.52
Total 412.74 414.05 826.79 Faktor Koreksi = 56965.14
JK Total = 17.2517 JK Perlakuan = 16.0481 JK Galat = 1.2036 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 16.0481 5.3494 17.779 4.950 Error = t(r-1) 6 1.2036 0.3009
Total = tr-1 11 17.2517 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat=6
F hitung = 17.779 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.78
Perlakuan Rerata Selisih Sandi A 70.16
a
R 69.86 0.30 a F 69.79 0.07 a FR1x 68.79 1.00 b FR2x 67.67 1.12 c
119
R2x 67.12 0.55 d g. Kadar pati resisten
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 10.53 10.11 34.64 10.32 0.30 Fermentasi spontan 6.79 6.76 25.55 6.78 0.02 Satu siklus retrogradasi 29.38 29.29 58.67 29.34 0.06 Dua siklus retrogradasi 39.15 39.11 78.26 39.13 0.03 Ferm spon-satu siklus R 36.00 35.86 71.86 35.93 0.10 Ferm spon-dua siklus R 42.91 42.44 85.35 42.68 0.30
Total 177.76 176.57 354.33 Faktor Koreksi = 10462.48
JK Total = 1471.74 JK Perlakuan = 1471.53 JK Galat = 0.2138 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 1471.5263 490.5088 9179.111 4.950 Error = t(r-1) 6 0.2138 0.0534
Total = tr-1 11 1471.7400 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat=6
F hitung = 9179.111 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.33
Perlakuan Rerata Selisih Sandi FR2x 42.68
a
R2x 39.13 3.54 b FR1x 35.93 3.20 c R 1x 29.34 6.60 d A 17.32 12.02 e F 12.78 4.54 f h. Kadar RDS
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 38.18 38.11 76.29 38.15 0.05 Fermentasi spontan 32.52 32.75 65.27 32.64 0.16 Satu siklus retrogradasi 23.60 24.08 47.68 23.84 0.34 Dua siklus retrogradasi 21.48 21.58 43.06 21.53 0.07 Ferm spon-satu siklus R 23.89 24.08 47.97 23.99 0.13 Ferm spon-dua siklus R 18.02 18.49 36.51 18.26 0.33
Total 178.18 179.22 316.78 158.39 Faktor Koreksi = 8362.46
JK Total = 558.80 JK Perlakuan = 558.53
120
JK Galat = 0.2776 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 558.5280 111.7056 2414.386 4.950 Error = t(r-1) 6 0.2776 0.0463
Total = tr-1 11 558.8056 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db
galat=6 F hitung = 2414.386 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950
BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.37 Perlakuan Rerata Selisih Sandi
A 38.15
a F 32.64 5.51 b FR1x 23.99 8.65 c R 1x 23.84 0.15 c R2x 21.53 2.31 d FR2x 18.26 3.27 e i. Kadar SDS
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 24.66 24.67 49.33 24.67 0.01 Fermentasi spontan 32.53 32.75 65.28 32.64 0.16 Satu siklus retrogradasi 25.83 26.23 52.06 26.03 0.28 Dua siklus retrogradasi 19.52 19.32 38.84 19.42 0.14 Ferm spon-satu siklus R 17.43 17.58 35.01 17.51 0.11 Ferm spon-dua siklus R 18.47 18.30 36.77 18.39 0.12
Total 138.44 138.85 277.29 138.65 Faktor Koreksi = 6407.479
JK Total = 338,396 JK Perlakuan = 338.246 JK Galat = 0.146 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 338.2461 67.6492 2706.871 4.950 Error = t(r-1) 6 0.1460 0.0250
Total = tr-1 11 338.3960 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6
F hitung = 2706.871 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.27
Perlakuan Rerata Selisih Sandi F 32.64
a
R 1x 26.03 6.61 b A 24.66 1.36 c R2x 19.42 5.24 d FR2x 18.38 1.04 e
121
FR1x 17.50 0.88 f j. Daya cerna
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 69.49 69.85 139.34 69.67 0.25 Fermentasi spontan 72.00 72.02 144.02 72.01 0.01 Satu siklus retrogradasi 55.85 55.92 111.77 55.88 0.05 Dua siklus retrogradasi 47.58 47.60 95.18 47.59 0.01 Ferm spon-satu siklus R 49.17 49.27 98.44 49.22 0.07 Ferm spon-dua siklus R 43.25 43.17 86.42 43.21 0.06
Total 337.34 337.83 675.17
Faktor Koreksi = 37987.88
JK Total = 1446.20 JK Perlakuan = 1446.13 JK Galat = 0.0758 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 1446.1282 482.0427 25420.844 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0758 0.0190
Total = tr-1 11 1446.2041 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db
galat= 6 F hitung = 25420.844 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950
BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0,19 Perlakuan Rerata Selisih Sandi
F 72.01
a A 69.67 2.34 b R 1x 55.88 13.78 c FR1x 49.22 6.66 d R2x 47.59 1.63 e FR2x 43.21 4.38 f k. Kadar amilosa
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 13.53 13.60 27.13 13.56 0.05 Fermentasi spontan 15.44 15.45 30.89 15.44 0.01 Satu siklus retrogradasi 14.06 14.15 28.21 14.10 0.06 Dua siklus retrogradasi 14.51 14.52 29.03 14.52 0.01 Ferm spon-satu siklus R 15.64 15.69 31.33 15.66 0.04 Ferm spon-dua siklus R 16.52 16.56 33.08 16.54 0.03
Total 89.70 89.97 179.67
Faktor Koreksi = 2690.1090
JK Total = 12.2142
122
JK Perlakuan = 12.2056 JK Galat =
0.0086
Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 12.2056 4.0685 1881.399 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0086 0.0022
Total = tr-1 11 12.2142 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6
F hitung = 1881.399 F tabel= F0,05: 5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0,07
Perlakuan Rerata Selisih Sandi FR 2x 16.54
a
FR 1x 15.67 0.87 b F 15.45 0.22 c R2x 14.52 0.93 d R1x 14.11 0.41 e A 13.56 0.54 f l. Kadar amilosa fermentasi terkendali
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 14.13 13.98 28.11 14.06 0.11 Fermentasi 12 jam 15.42 15.87 31.29 15.65 0.32 Fermentasi 24 jam 13.58 13.97 27.55 13.78 0.28 Dua siklus retrogradasi 14.45 14.89 29.34 14.67 0.31 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 15.48 15.75 31.23 15.62 0.19 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 14.53 14.85 29.38 14.69 0.23
Total 87.59 89.31 176.90
Faktor Koreksi = 2607.8010
JK Total = 6.3580 JK Perlakuan = 5.9850 JK Galat = 0.3730 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 5.9850 1.9950 21.394 4.950 Error = t(r-1) 6 0.3730 0.0932
Total = tr-1 11 6.3580 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat=6
F hitung = 21.394 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.53
Perlakuan Rerata Selisih Sandi F12 15.64
a
F12-R 2x 15.62 0.03 a F24-R 2x 14.69 0.93 b R 2x 14.67 0.02 b
123
A 14.06 0.61 c F24 13.78 0.28 c m. Kadar pati resisten fermentasi terkendali
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 9.58 8.76 18.34 9.17 0.08 Fermentasi 12 jam 8.84 8.20 17.04 8.52 0.13 Fermentasi 24 jam 7.90 7.57 15.47 7.74 0.23 Dua siklus retrogradasi 38.13 38.20 76.33 38.16 0.05 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 42.30 41.59 83.89 41.95 0.06 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 38.58 38.66 77.24 38.62 0.12
Total 145.33 142.98 288.31
Faktor Koreksi = 6926.888
JK Total = 2921.893 JK Perlakuan = 2921.040 JK Galat = 0.8532 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 2921.0400 973.6801 4565.106 4.950 Error = t(r-1) 6 0.8532 0.2133
Total = tr-1 11 2921.8930 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6
F hitung = 1510.488 F tabel= F0,05:2,5 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.72
Perlakuan Rerata Selisih Sandi F12-O 41.95
a
F24-O 38.62 3.32 b O 38.16 0.46 b A 9.17 28.99 c F12 8.52 0.65 c F24 7.74 0.78 d n. Kadar RDS fermentasi terkendali
Treatment (t) = 6; Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 38.40 38.72 77.12 38.56 0.23 Fermentasi 12 jam 37.42 37.51 74.93 37.46 0.06 Fermentasi 24 jam 33.74 33.24 66.98 33.49 0.35 Dua siklus retrogradasi 22.14 22.06 44.20 22.10 0.06 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 22.77 22.41 45.18 22.59 0.25 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 23.28 22.99 46.27 23.14 0.21
Total 177.75 176.93 354.68 Faktor Koreksi = 10483.1600
JK Total = 609.1843
124
JK Perlakuan = 608.8940 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan 3 608.8940 202.9647 2796.619 4.950 Error 4 0.2903 0.0726
Total 7 609.1843 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6
F hitung = 2796.619 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.42
Perlakuan Rerata Selisih Sandi A 38.56
a
F12 37.46 1.10 b F24 33.49 3.98 c F24-O 23.14 10.35 d F12-O 22.59 0.55 e O 22.10 0.49 f o. Kadar SDS fermentasi terkendali
Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev
Kontrol 25.74 26.00 51.74 25.87 0.18 Fermentasi 12 jam 26.76 27.16 53.92 26.96 0.28 Fermentasi 24 jam 28.77 29.50 58.27 29.14 0.23 Dua siklus retrogradasi 20.09 20.12 40.21 20.10 0.04 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 16.48 17.32 33.8 16.90 0.09 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 17.64 17.88 35.52 17.76 0.17
Total 135.48 137.98 273.46 Faktor Koreksi = 6231.6980
JK Total = 269.4354 JK Perlakuan = 268.6731 JK Galat = 0.7623 Uraian db JK KT F hitung F tabel
Perlakuan =t-1 5 268.6731 89.5577 469.934 4.950 Error = t(r-1) 6 0.7623 0.1906
Total = tr-1 11 269.4354 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6
F hitung = 1577.885 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.56
Perlakuan Rerata Selisih Sandi F24 29.14
a
F12 26.96 2.18 b A 25.87 1.09 c O 20.11 5.76 d F24-O 17.76 2.35 e F12-O 16.90 0.86 f
125
Lampiran 2. Hasil Analisis Difraksi Sinar X
a. Difraktogram Tepung Pisang
Alami Fermentasi Retrogradasi 2x Fer-Retro 2x 5 12 5 14 5 12 5 10
5,2 10 5,2 14 5,2 12 5,2 10 5,4 20 5,4 14 5,4 14 5,4 14 5,6 14 5,6 20 5,6 14 5,6 14 5,8 12 5,8 14 5,8 14 5,8 12 6 18 6 20 6 10 6 10 6,2 20 6,2 14 6,2 6 6,2 10 6,4 18 6,4 16 6,4 12 6,4 12 6,6 14 6,6 16 6,6 10 6,6 12 6,8 16 6,8 20 6,8 12 6,8 12 7 16 7 20 7 16 7 22 7,2 26 7,2 20 7,2 12 7,2 14 7,4 16 7,4 18 7,4 10 7,4 20 7,6 26 7,6 20 7,6 16 7,6 16 7,8 28 7,8 20 7,8 16 7,8 14 8 20 8 24 8 20 8 24 8,2 28 8,2 14 8,2 20 8,2 18 8,4 26 8,4 26 8,4 16 8,4 24 8,6 30 8,6 28 8,6 20 8,6 18 8,8 26 8,8 14 8,8 28 8,8 16 9 30 9 42 9 16 9 26 9,2 24 9,2 32 9,2 22 9,2 20 9,4 30 9,4 36 9,4 24 9,4 22 9,6 46 9,6 54 9,6 26 9,6 28 9,8 36 9,8 30 9,8 26 9,8 28 10 42 10 32 10 42 10 36 10,2 42 10,2 36 10,2 48 10,2 40 10,4 54 10,4 46 10,4 36 10,4 36 10,6 54 10,6 44 10,6 42 10,6 42 10,8 50 10,8 42 10,8 40 10,8 34 11 50 11 48 11 42 11 48 11,2 48 11,2 52 11,2 48 11,2 64 11,4 76 11,4 58 11,4 64 11,4 62 11,6 46 11,6 64 11,6 58 11,6 52 11,8 68 11,8 70 11,8 60 11,8 50 12 46 12 50 12 56 12 76 12,2 58 12,2 44 12,2 60 12,2 54 12,4 64 12,4 56 12,4 60 12,4 80 12,6 60 12,6 52 12,6 68 12,6 76 12,8 64 12,8 68 12,8 78 12,8 76 13 66 13 64 13 72 13 56 13,2 72 13,2 76 13,2 82 13,2 66 13,4 68 13,4 76 13,4 90 13,4 78 13,6 74 13,6 84 13,6 90 13,6 86 13,8 98 13,8 88 13,8 102 13,8 82
126
14 98 14 118 14 106 14 108 14,2 116 14,2 106 14,2 118 14,2 92 14,4 110 14,4 112 14,4 88 14,4 116 14,6 116 14,6 124 14,6 116 14,6 110 14,8 126 14,8 114 14,8 134 14,8 136 15 132 15 160 15 126 15 118 15,2 144 15,2 166 15,2 124 15,2 114 15,4 110 15,4 146 15,4 156 15,4 146 15,6 115 15,6 130 15,6 120 15,6 138 15,8 106 15,8 126 15,8 140 15,8 108 16 128 16 124 16 144 16 136 16,2 114 16,2 112 16,2 152 16,2 136 16,4 136 16,4 146 16,4 154 16,4 166 16,6 154 16,6 178 16,6 156 16,6 154 16,8 204 16,8 178 16,8 174 16,8 166 17 218 17 240 17 166 17 202 17,2 228 17,2 242 17,2 198 17,2 176 17,4 204 17,4 224 17,4 184 17,4 178 17,6 166 17,6 196 17,6 162 17,6 170 17,8 208 17,8 184 17,8 160 17,8 172 18 178 18 182 18 152 18 152 18,2 202 18,2 168 18,2 148 18,2 164 18,4 162 18,4 164 18,4 172 18,4 160 18,6 162 18,6 162 18,6 168 18,6 170 18,8 134 18,8 124 18,8 164 18,8 164 19 114 19 142 19 184 19 170 19,2 126 19,2 146 19,2 170 19,2 144 19,4 134 19,4 134 19,4 148 19,4 158 19,6 146 19,6 152 19,6 160 19,6 192 19,8 146 19,8 146 19,8 184 19,8 178 20 148 20 142 20 166 20 150 20,2 130 20,2 150 20,2 150 20,2 144 20,4 130 20,4 134 20,4 178 20,4 158 20,6 120 20,6 140 20,6 152 20,6 144 20,8 132 20,8 138 20,8 162 20,8 144 21 146 21 112 21 154 21 160 21,2 130 21,2 122 21,2 158 21,2 148 21,4 144 21,4 138 21,4 134 21,4 176 21,6 134 21,6 120 21,6 174 21,6 160 21,8 158 21,8 156 21,8 178 21,8 164 22 148 22 180 22 168 22 166 22,2 170 22,2 164 22,2 198 22,2 188 22,4 184 22,4 148 22,4 160 22,4 150 22,6 170 22,6 150 22,6 166 22,6 168 22,8 158 22,8 166 22,8 158 22,8 152 23 170 23 194 23 146 23 180 23,2 174 23,2 184 23,2 166 23,2 166 23,4 184 23,4 186 23,4 144 23,4 154 23,6 174 23,6 156 23,6 150 23,6 138 23,8 174 23,8 180 23,8 170 23,8 158 24 158 24 178 24 182 24 154
127
24,2 148 24,2 154 24,2 154 24,2 146 24,4 148 24,4 162 24,4 152 24,4 134 24,6 142 24,6 146 24,6 152 24,6 134 24,8 126 24,8 142 24,8 128 24,8 134 25 124 25 118 25 116 25 132 25,2 120 25,2 122 25,2 104 25,2 122 25,4 108 25,4 112 25,4 128 25,4 152 25,6 88 25,6 114 25,6 120 25,6 112 25,8 106 25,8 88 25,8 130 25,8 126 26 104 26 96 26 96 26 112 26,2 118 26,2 130 26,2 92 26,2 126 26,4 110 26,4 100 26,4 112 26,4 116 26,6 112 26,6 106 26,6 96 26,6 92 26,8 110 26,8 120 26,8 98 26,8 92 27 112 27 106 27 104 27 96 27,2 88 27,2 90 27,2 118 27,2 94 27,4 106 27,4 82 27,4 108 27,4 114 27,6 108 27,6 94 27,6 124 27,6 118 27,8 92 27,8 90 27,8 110 27,8 110 28 92 28 92 28 100 28 108 28,2 92 28,2 90 28,2 94 28,2 98 28,4 100 28,4 100 28,4 92 28,4 86 28,6 106 28,6 114 28,6 120 28,6 106 28,8 98 28,8 82 28,8 98 28,8 86 29 100 29 108 29 106 29 86 29,2 106 29,2 102 29,2 94 29,2 104 29,4 108 29,4 108 29,4 122 29,4 102 29,6 104 29,6 102 29,6 118 29,6 94 29,8 108 29,8 98 29,8 116 29,8 114 30 94 30 124 30 92 30 114 30,2 90 30,2 90 30,2 102 30,2 108 30,4 122 30,4 116 30,4 112 30,4 88 30,6 104 30,6 106 30,6 106 30,6 74 30,8 94 30,8 138 30,8 90 30,8 90 31 106 31 116 31 108 31 118 31,2 88 31,2 122 31,2 114 31,2 100 31,4 114 31,4 102 31,4 94 31,4 104 31,6 104 31,6 98 31,6 112 31,6 88 31,8 108 31,8 116 31,8 102 31,8 90 32 110 32 102 32 92 32 96 32,2 102 32,2 116 32,2 80 32,2 92 32,4 108 32,4 110 32,4 94 32,4 98 32,6 96 32,6 112 32,6 100 32,6 96 32,8 96 32,8 110 32,8 102 32,8 86 33 100 33 92 33 102 33 98 33,2 102 33,2 102 33,2 102 33,2 112 33,4 90 33,4 100 33,4 98 33,4 104 33,6 102 33,6 92 33,6 100 33,6 82 33,8 104 33,8 116 33,8 92 33,8 110 34 96 34 118 34 100 34 120 34,2 100 34,2 106 34,2 94 34,2 84 34,4 98 34,4 136 34,4 120 34,4 106
128
34,6 124 34,6 100 34,6 110 34,6 106 34,8 94 34,8 92 34,8 100 34,8 98 35 92 35 98 35 114 35 76 35,2 106 35,2 98 35,2 84 35,2 98 35,4 84 35,4 98 35,4 102 35,4 100 35,6 76 35,6 116 35,6 92 35,6 104 35,8 82 35,8 72 35,8 84 35,8 104 36 92 36 100 36 92 36 102 36,2 74 36,2 98 36,2 84 36,2 72 36,4 84 36,4 110 36,4 102 36,4 104 36,6 98 36,6 104 36,6 102 36,6 68 36,8 88 36,8 96 36,8 84 36,8 104 37 86 37 94 37 82 37 90 37,2 76 37,2 84 37,2 92 37,2 88 37,4 88 37,4 88 37,4 98 37,4 100 37,6 76 37,6 100 37,6 94 37,6 84 37,8 78 37,8 80 37,8 92 37,8 90 38 106 38 90 38 90 38 88 38,2 100 38,2 88 38,2 78 38,2 82 38,4 88 38,4 114 38,4 96 38,4 82 38,6 78 38,6 92 38,6 82 38,6 92 38,8 90 38,8 108 38,8 86 38,8 90 39 82 39 96 39 76 39 74 39,2 70 39,2 92 39,2 78 39,2 106 39,4 76 39,4 86 39,4 80 39,4 76 39,6 84 39,6 82 39,6 78 39,6 92 39,8 72 39,8 74 39,8 76 39,8 76 40 80 40 62 40 80 40 90
129
b. Tingkat kristalinitas tepung pisang
130
131
c. Statistik tingkat kristalinitas tepung pisang
Treatment (t) = 4 Replikasi (r) = 2
Perlakuan Ulangan Total Rerata stdev
1 2 Alami 20.01 20.14 40.15 20.08 0.09
Fermentasi 18.81 18.66 37.47 18.74 0.11 Alami Retrogradasi 2x 9.39 9.65 19.04 9.52 0.18 Fermentasi Retrogradasi 2x 6.93 7.03 13.96 6.98 0.07 Total 55.14 55.48 110.62 55.31
Faktor Koreksi = 1529.598
JK Total = 257.174 JK Perlakuan = 257.115 JK Galat = 0.058
Uraian db JK KT Fhitung Ftabel Ket Perlakuan 3 257.1153 85.70508 5860.177 5.786 terima H1
Error 4 0.0585 0.014625 Total 7 257.1738
Karena ada 4 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 8 dengan db total 7 dan db galat=7-2=5 Fhitung =5.68 Ftabel= F0,05:2,5 = 5.79
BNT/LSD = t0,05(7) x (KTG/U)^1/2 = 0.202239
Perlakuan Rerata Sandi A 20.075
a
F 18.735 1.34 b R 9.52 9.215 c FR 6.98 2.54 d
132
Lampiran 3. Hasil Identifikasi Menggunakan Kit API 50 CHL
133
134
Lampiran 4. Sekuensing DNA Pengkode 16S rRNA a. Elektroferogram Isolat FSnh 1 dan FSnh A
135
b. Raw Text Alignment: D:\HASIL PCR ku\PCR baru\FSnh1 rawtext
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55 sekuen F k CTGGCTCTCG GTAGAAGCTT GCTTCTTTTG CTGACGAGTG GCGGACGGGT GAGTAATGTC sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115 sekuen F k TGGGAAACTG CCTGATGGAG GGGGATAACT ACTGGAAACG GTAGCTAATA CCGCATAACG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175 sekuen F k TCGCAAGACC AAAGAGGGGG ACCTTCGGGC CTCTTGCCAT CGGATGTGCC CAGATGGGAT sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 225 235 sekuen F k TAGCTAGTAG GTGGGGTAAC GGCTCACCTA GGCGACGATC CCTAGCTGGT CTGAGAGGAT sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 285 295 sekuen F k GACCAGCCAC ACTGGAACTG AGACACGGTC CAGACTCCTA CGGGAGGCAG CAGTGGGGAA sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 345 355 sekuen F k TATTGCACAA TGGGCGCAAG CCTGATGCAG CCATGCCGCG TGTATGAAGA AGGCCTTCGG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 405 415 sekuen F k GTTGTAAAGT ACTTTCAGCG GGGAGGAAGG GAGTAAAGTT AATACCTTTG CTCATTGACG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 425 435 445 455 465 475 sekuen F k TTACCCGCAG AAGAAGCACC GGCTAACTCC GTGCCAGCAG CCGCGGTAAT ACGGAGGGTG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 485 495 505 515 525 535 sekuen F k CAAGCGTTAA TCGGAATTAC TGGGCGTAAA GCGCACGCAG GCGGTTTGTT AAGTCAGATG sekuen R k ------TGAA --GGA-TTAT TGG---TAAA G-GAAGGGGG GGGGGGGGTT AAGGAAAAAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 545 555 565 575 585 595 sekuen F k TGAAATCCCC ----GGGCTC ----AACCTG GGAACTGCAT CTGATACTGG CAAGCTTGAG sekuen R k TT---TCCCC AAAGGGGTTG GTTAAAGCGG GG---TGAAA AA-ATGC-GT TAAGGAAGA- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 605 615 625 635 645 655 sekuen F k TCTCGTAGAG GGGGGTAGAA TT-CCAGGTG TAGCGGTGAA ATGCGTAGAG ATCTGGAGGA sekuen R k TCTGGG-GAG GGG---AAAA TTACCCGG-G TGG-GGCGAA A-G-G--G-G --CCGG--GC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 665 675 685 695 705 715 sekuen F k ATACCGGTGG CGAAGGCGGC CCCCTGGACG AA--GACTGA CGCTCAGG-- TGC-GAAA-G sekuen R k CCCCCCCTAG GGAA------ --CC-GAAAG AACTGACCGC CTC-CAGGGT TGCCGAAAAG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 725 735 745 755 765 775 sekuen F k CGTGGGGGA- GCAAA-CAGG GATTAG-ATA CCCCTGGGTA GTCCCACGCC CGTAAAACGA sekuen R k CGTGGGGGAA GCAAAACAGG ATTTAGGATA CCCCTGG-TA GTTCCACGCC CGTAAA-CGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 785 795 805 815 825 835 sekuen F k TGTCCGACTT GGGAGGGTTG TGCCCCTTGA AGGCGTGGCC TTCCCGGAAG CTAAACGCGT
136
sekuen R k TGTC-GACTT GG-AGG-TTG TGCCC-TTGA -GGCGTGGC- TTCC-GGA-G CTAA-CGCGT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 845 855 865 875 885 895 sekuen F k TAAAGTCCGA CCCCCCCTGG GGGAGTACGG CCCGCCAAGG GTTAAAAACT CAAATGAAAT sekuen R k TAA-GTC-GA CCGCC--TGG GG-AGTACGG CC-GC-AAGG -TTAAAA-CT CAAATGAA-- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 905 915 925 935 945 955 sekuen F k TTGAACGGGG GGGCCCGCCA CAAAGCGGGG GGGAGCATGG GGGGGTAAAT ---------- sekuen R k TTGA-CGGGG G--CCCGC-A CAA-GCGGTG G--AGCATGT GGTT-TAATT CGATGCAACG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 965 975 985 995 1005 1015 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k CGAAGAACCT TACCTGGTCT TGACATCCAC GGAAGTTTTC AGAGATGAGA ATGTGCCTTC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1025 1035 1045 1055 1065 1075 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k GGGAACCGTG AGACAGGTGC TGCATGGCTG TCGTCAGCTC GTGTTGTGAA ATGTTGGGTT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1085 1095 1105 1115 1125 1135 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k AAGTCCCGCA ACGAGCGCAA CCCTTATCCT TTGTTGCCAG CGGTCCGGCC GGGAACTCAA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1145 1155 1165 1175 1185 1195 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k AGGAGACTGC CAGTGATAAA CTGGAGGAAG GTGGGGATGA CGTCAAGTCA TCATGGCCCT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1205 1215 1225 1235 1245 1255 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k TACGACCAGG GCTACACACG TGCTACAATG GCGCATACAA AGAGAAGCGA CCTCGCGAGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1265 1275 1285 1295 1305 1315 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k GCAAGCGGAC CTCATAAAGT GCGTCGTAGT CCGGATTGGA GTCTGCAACT CGACTCCATG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| .. 1325 1335 1345 1355 1365 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- -- sekuen R k AAGTCGGAAT CGCTAGTAAT CGTGGATCAG AATGCCACCC TACTATAGTG CG
137
Alignment: D:\HASIL PCR ku\FSnhA nov 2011 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55 F FSnhA GGGGGGCCGG GAAAGAGCTT GCTTCTCCCT GACGAGTGGC GGACGGGTGA GTAATGTCTG R FSnhA ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115 F FSnhA GGAAACTGCC TGATGGAGGG GGATAACTAC TGGAAACGGT AGCT-AATAC CGCATAACGT R FSnhA ----ACTTCC TAATGGAGGG GGATAATTCC TGGAACCGGT AGCTTAATCC CGCTTAA-GT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175 F FSnhA CGC-AAGACC AAAGAGGGGG ACCTTCGGGC CTCTTGCCAT -CGGATGTGC CCAGATGGGA R FSnhA TGCCAAGACC AAAGAGGGG- ACCTTCGGGC CTCTTTCCCT TCGGATTGGC CCAGATGGGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 225 235 F FSnhA TTAGCTAGTA GGTGGGGTAA CGGCTCACCT AGGCGACGAT CCCTAGCTGG TCTGAGAGGA R FSnhA TTAGCTTGTA GGTGGGGTAA CGGCTCACCT AGGGGACGAT CCCTAGCTGG TCTGAGAGGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 285 295 F FSnhA TGACCAGCCA CACTGGAACT GAGACACGGT CCAGACTCCT ACGGGAGGCA GCAGTGGGGA R FSnhA TGACCAGCCA CACTGGAACT GAGACACGGT CCAGATTCCT ACGGGAGGCA GCAGTGGGGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 345 355 F FSnhA ATATTGCACA ATGGGCGCAA GCCTGATGCA GCCATGCCGC GTGTATGAAG AAGGCCTTCG R FSnhA ATATTGCACA ATGGGCGCAA GCCTGATGCA GCCATGCCGC GTGTATGAAG AAGGCCTTCG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 405 415 F FSnhA GGTTGTAAAG TACTTTCAGC GGGGAGGAAG GGAGTAAAGT TAATACCTTT GCTCATTGAC R FSnhA GGTTGTAAAG TACTTTCAGC GGGGAGGAAG GGAGTAAAGT TAATACCTTT GCTCATTGAC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 425 435 445 455 465 475 F FSnhA GTTACCCGCA GAAGAAGCAC CGGCTAACTC CGTGCCAGCA GCCGCGGTAA TACGGAGGGT R FSnhA GTTACCCGCA GAAGAAGCAC CGGCTAACTC CGTGCCAGCA GCCGCGGTAA TACGGAGGGT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 485 495 505 515 525 535 F FSnhA GCAAGCGTTA ATCGGAATTA CTGGGCGTAA AGCGCACGCA GGCGGTTTGT TAAGTCAGAT R FSnhA GCAAGCGTTA ATCGGAATTA CTGGGCGTAA AGCGCACGCA GGCGGTTTGT TAAGTCAGAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 545 555 565 575 585 595 F FSnhA GTGAAATCCC CGGGCTCAAC CTGGGAACTG CATCTGATAC TGGCAAGCTT GAGTCTCGTA R FSnhA GTGAAATCCC CGGGCTCAAC CTGGGAACTG CATCTGATAC TGGCAAGCTT GAGTCTCGTA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 605 615 625 635 645 655 F FSnhA GAGGGGGGTA GAATTCCAGG TGTAGCGGTG AAATGCGTAG AGATCTGGAG GAATACCGGT R FSnhA GAGGGGGGTA GAATTCCAGG TGTAGCGGTG AAATGCGTAG AGATCTGGAG GAATACCGGT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 665 675 685 695 705 715 F FSnhA GGCGAAGGCG GCCCCCTGGA CGAAGACTGA CGCTCAGGTG CGAAAGCGTG GGGAGCAAAC R FSnhA GGCGAAGGCG GCCCCCTGGA CGAAGACTGA CGCTCAGGTG CGAAAGCGTG GGGAGCAAAC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 725 735 745 755 765 775 F FSnhA AGGATTAGAT ACCCTGGTAG TCCACGCCGT AAACGATGTC GACTTGGAGG TTGTGCCCTT R FSnhA AGGATTAGAT ACCCTGGTAG TCCACGCCGT AAACGATGTC GACTTGGAGG TTGTGCCCTT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 785 795 805 815 825 835 F FSnhA GAGGCGTGGC TTCCGGAGCT AACGCGTTAA GTCGACCGCC TGGGGAGTAC GGCCGCAAGG R FSnhA GAGGCGTGGC TTCCGGAGCT AACGCGTTAA GTCGACCGCC TGGGGAGTAC GGCCGCAAGG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
138
845 855 865 875 885 895 F FSnhA TTAAAACTCA AATGAATTGA CGGGGGCCCG CACAAGCGGT GGAGCATGTG GTTTAATTCG R FSnhA TTAAAACTCA AATGAATTGA CGGGGGCCCG CACAAGCGGT GGAGCATGTG GTTTAATTCG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 905 915 925 935 945 955 F FSnhA ATGCAACGCG AAGAACCTTA CCTGGTCTTG ACATCCACGG AAGTTTTCAG AGATGAGAAT R FSnhA ATGCAACGCG AAGAACCTTA CCTGGTCTTG ACATCCACGG AAGTTTTCAG AGATGAGAAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 965 975 985 995 1005 1015 F FSnhA GTGCCTTCGG GAACCGTGAG ACAGGTGCTG CATGGCTGTC GTCAGCTCGT GTTGTGAAAT R FSnhA GTGCCTTCGG GAACCGTGAG ACAGGTGCTG CATGGCTGTC GTCAGCTCGT GTTGTGAAAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1025 1035 1045 1055 1065 1075 F FSnhA GTTGGGTTAA GTCCCGCAAC GAGCGCAACC CTTATCCTTT GTTGCCAGCG GTCCGGCCGG R FSnhA GTTGGGTTAA GTCCCGCAAC GAGCGCAACC CTTATCCTTT GTTGCCAGCG GTCCGGCCGG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1085 1095 1105 1115 1125 1135 F FSnhA GAACTCAAAG GAGACTGCCA GTGATAAACT GGAGGAAGGT GGGGATGACG TCAAGTCATC R FSnhA GAACTCAAAG GAGACTGCCA GTGATAAACT GGAGGAAGGT GGGGATGACG TCAAGTCATC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1145 1155 1165 1175 1185 1195 F FSnhA ATGGCCCTTA CGACCAGGGC TACACACGTG CTACAATGGC CCATACAAAG AGAAACGACC R FSnhA ATGGCCCTTA CGACCAGGGC TACACACGTG CTACAATGGC GCATACAAAG AGAAGCGACC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1205 1215 1225 1235 1245 1255 F FSnhA TCCCGAGAAC AAGCGGACCT CATAAA-TGC GTCGTA-TCC CGATTGGATT CG-------- R FSnhA TCGCGAGAGC AAGCGGACCT CATAAAGTGC GTCGTAGTCC GGATTGGAGT CTGCAACTCG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1265 1275 1285 1295 1305 1315 F FSnhA ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- R FSnhA ACTCCATGAA GTCGGAATCG CTAGTAATCG TGGATCAGCA TGCCCCGTAC CGCCCCCGGA
139
c. BLAST-N
140
141
142
d. Alignment urutan basa DNA pengkode 16S rRNA isolat BAL FSnh 1 dan FSnh A dengan BAL dari genus yang berbeda dalam famili Lactobacillacae Genbank
CLUSTAL 2.1 multiple sequence alignment Aerococcus ----------------TTTCATGAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACNAACGCTGGCGGCA 44 Eremococcus ----------------------------------------------------TGGCGGCG 8 Abiotrophia -----------------------AGAGTTTGATCATGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 37 Streptococcus --------------------TTTTTGATTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 40 Lactococcus ----------------------TAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 38 Granulicatella -------------------------------------------GACGAACGCTGGCGGCG 17 Carnobacterium ------------------------GAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCA 36 Enterococcus ------------------------------------GGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 24 Pediococcus TTATAGAAGTTTGGATCCCTTGCTCAGGATGAACGCTGGCGGCGTGCTAATACATGCAAG 60 Lactobacillus ----------------AAAAACGAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 44 Leuconostoc ------------------------------------------------------------ Fructobacillus ------------------------------------------------------------ Oenococcus ------------------------------------------------------------ FSnh1 ------------------------------------------------------------ FSnhA ------------------------------------------------------------ Weissella ------------------------------------------------------------ Aerococcus TGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAACAGATGAAGTGCTTGCACTTCTGACGTTAGCGG- 103 Eremococcus TGCNTAATACATGCAAGTCGAACGCACTGACGGAGAACTTGTTCTCTTAACGTGAGTGG- 67 Abiotrophia TGCCTAATACATGCAAGTCGAACGAACCGCGACTAGGTGCTTGCACTTGGTCAAGGTGAG 97 Streptococcus TGCCTAATACATGCAAGTAGAACGCTGAAGCTTGGTGCTTGCACCGAGCGGATGAGTTG- 99 Lactococcus TGCCTAATACATGCAAGTTGAGCGCTGAAGGTTGGTACTTGTACCAACTGGATGAGCAG- 97 Granulicatella TGCCTAATACATGCAAGTCGAACGAGAGCGACCGGTGCTTG----------CACTGGTCA 67 Carnobacterium TGCCTAATACATGCAAGTCGAACGCTTTGACTTCACCGGGTGCTTGCACCCACCGAAGTC 96 Enterococcus TGCCTAATACATGCAAGTCGTACGCTTCTTTTTCCACCGGAGCTTGCTCCACCGGAAAAA 84 Pediococcus TCGAACGAACTTCCGTTAATTGATTATGACGTGCTTGCACTGAATGAGATTTTAACACGA 120 Lactobacillus TGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAGCTGAACCAACAGATTCACTTCGGTGATGACGTTG 104 Leuconostoc ------------------------------------------------------------ Fructobacillus ------GGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGTACGAACAGCGGAAAGTGCTTGCACTT 54 Oenococcus ------TACATGCAAGTCGTACGCTAGCCGCTGAATTGATCCTTCGGGTGAAGTGAGGCA 54 FSnh1 ---------------------------------CTGGCTCTCGGTAGAAGCTTGCTTCTT 27 FSnhA -----------------------------------------GGGGGGCCGGGAAAGAGCT 19 Weissella ------------------------------------------------------------ Aerococcus -------------CGAACGGGTGAGTAACACGTAAGGAATCTACCTATAAGCGGGGGATA 150 Eremococcus -------------CGGACGGGTGAGTAACACGTGGGAAACCTACCCTTGAGCGGGGGATA 114 Abiotrophia TGG----------CGAACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTACCTCATAGTGGGGGATA 147 Streptococcus -------------CGAACGGGTGAGTAACGCGTAGGTAACCTGCCTGGTAGCGGGGGATA 146 Lactococcus -------------CGAACGGGTGAGTAACGCGTGGGGAATCTGCCTTTGAGCGGGGGACA 144 Granulicatella ATCTAGT----GGCGAACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATCAGAGGGGGATA 123 Carnobacterium AAGGAGT----GGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGAGGGGGATA 152 Enterococcus GAAGAGT----GGCGAACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATCAGAAGGGGATA 140 Pediococcus AGTGAGT----GGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCAGAAGCAGGGGATA 176 Lactobacillus GGAACGCGAGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGATA 164 Leuconostoc -----------------------AGTAACACGTGGATAACCTGCCTCAAGGCTGGGGATA 37 Fructobacillus TCCAAGTAAGTGGCGAACGGGTGAGTAACACGTGAATAACCTACCGCAAAGTCTGGGATA 114 Oenococcus ATGACTAGAGTGGCGAACTGGTGAGTAACACGTAAGAAACCTGCCCTTTAGTGGGGGATA 114 FSnh1 TTGCTGACGAGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGGAAACTGCCTGATGGAGGGGGATA 87 FSnhA TGCTTCTCCCTGACGAGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGGAAACTGCCTGATGGAGG 79 Weissella ------------------------------------------------------------ Aerococcus ACATTCGGAAACGGGTGCTAATACCGCATAATATCTTCTTCCGCATGGAAGAAGATTGAA 210 Eremococcus ACGGTCGGAAACGATCGCTAATACCGCATAACAGCAATCATCGCCTGATGGTTGATTGAA 174 Abiotrophia ACAGTCGGAAACGACTGCTAATACCGCATAGGACATGGNATCACATGATTCAGTGAGGAA 207 Streptococcus ACTATTGGAAACGATAGCTAATACCGCATAAGAGTAGATGTTGCATGACATTTACTTAAA 206 Lactococcus ACATTTGGAAACGAATGCTAATACCGCATAAAAACTTTAAACACAAGTTTTAAGTTTGAA 204 Granulicatella ACATTCGGAAACGGATGCTAAAACCGCATAGGTCTTCGAACCGCATGGTTTGAAGAGGAA 183 Carnobacterium ACATCCGGAAACGGATGCTAATACCGCATATTTCCAATTGTCTCCTGACAGATGGAAAAA 212 Enterococcus ACACTTGGAAACAGGTGCTAATACCGTATAACAATCGAAACCGCATGGTTTTGATTTGAA 200 Pediococcus ACACCTGGAAACAGATGCTAATACCGTATAACAGAGAAAACCGCCTGGTTTTCTTTTAAA 236 Lactobacillus CCACTTGGAAACAGGTGCTAATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTATAAA 224 Leuconostoc ACATTTGGAAACAGATGCTAATACCGAATAAAACTTAGTATCGCATGATATCAAGTTAAA 97 Fructobacillus ACCATTGGAAACAGTGACTAATACCGGATAAAACCCAAGTGCACATGCACTAAGGTTAAA 174 Oenococcus ACATTTGGAAACAGATGCTAATACCGCGTAACAACAAATCACACATGTGATCTGTTTGAA 174 FSnh1 ACTACTGGAAACGGTAGCTAATACCGCATAACGTCGCAAGACCAAAGAGGGGGACCTTCG 147 FSnhA GGGATAACTACTGGAAACGGTAGCTTAATACCGCATAACGTCGCCAAGACCAAAGAGGGG 139 Weissella ------------------------------------------------------------
143
Aerococcus AGACGGCTCTG-CTGTCACTTATAGATGACCTTGCGGTGCATTAGTTAGTTGGTGGGGTA 269 Eremococcus AGATGGCTCTG-CTATCACTCAAGGATGGGCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTAAGGTA 233 Abiotrophia AGGTGGCGCAAGCTATCGCTAAGAGATGGACCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTAGGGTA 267 Streptococcus AGGTGCAATTG--CATCACTACCAGATGGACCTGCGTTGTATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 264 Lactococcus AGATGCAATTG--CATCACTCAAAGATGATCCCGCGTTGTATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 262 Granulicatella AAGAGGCGCAAGCTTCTGCTGATGGATGGACCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 243 Carnobacterium AGGTGGCTTCGGCTACCGCTTATGGATGGACCCGCGGCGTATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 272 Enterococcus AGGCGCTTTCGGGTGTCGCTGATGGATGGACCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 260 Pediococcus AGATGGCTCTG-CTATCACTTCTGGATGGACCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 295 Lactobacillus AGGCGGCGTAAGCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTAGGGTA 284 Leuconostoc AGGCGCTACGG--CGTCACCTAGAGATGGATCCGCGGTGCATTAGTTAGTTGGTGGGGTA 155 Fructobacillus AGCTGCGTTTG--CAGCGCTTTAAGATGGATTCGCGGTGCATTAGTTAGTTGGTGAGGTA 232 Oenococcus AGGTCCTTTTG--GATCGCTAGAGGATGGTCTTGCGGCGTATTAGCTTGTTGGTAGGGTA 232 FSnh1 G---------GCCTCTTGCCATCGGATGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTGGGGTA 198 FSnhA GACCTTCGGGCCTCTTGCCATTCGGATGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTGGGGTA 199 Weissella ------------------------------------------------TTGTACACACCG 12 * . . . . Aerococcus ATGGCCTACCAAGACGATGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 329 Eremococcus ACGGCTTACCAAGGCCATGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTAATCGGCCACATTGGGAC 293 Abiotrophia AGGNCCTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 327 Streptococcus ACGGCTCACCAAGGCAACGATACATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGAC 324 Lactococcus AAGGCTCACCAAGGCGATGATACATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 322 Granulicatella ACGGCTCACCAAGGCCGTGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 303 Carnobacterium ATGGCTCACCAAGGCGATGATACGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGAC 332 Enterococcus ACGGCTCACCAAGGCCACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 320 Pediococcus ACGGCTCACCAAGGCGATGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTAATCGGCCACATTGGGAC 355 Lactobacillus ACGGCCTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATTGGGAC 344 Leuconostoc AAGGCTTACCAAGACGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATTGGGAC 215 Fructobacillus AAGGCTCACCAAGACGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGACCGGCCACATTGGGAC 292 Oenococcus GAAGCCTACCAAGGCAATGATGCGTAGCCGAGTTGAGAGACTGGCCGGCCACATTGGGAC 292 FSnh1 ACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACTGGAAC 258 FSnhA ACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACTGGAAC 259 Weissella CCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGCCGGTGGGGTAACCTTTTAGGAGCCA 72 . ..* * .. . :* :..* . .*. . . . : * .* .. Aerococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGGCGAA 389 Eremococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGCA 353 Abiotrophia TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGCA 387 Streptococcus TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCGGCAATGGACGGA 384 Lactococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCGGCAATGGACGAA 382 Granulicatella TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGCA 363 Carnobacterium TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAA 392 Enterococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCGGCAATGGACGAA 380 Pediococcus TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGACGCA 415 Lactobacillus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGACGAA 404 Leuconostoc TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGGCGCA 275 Fructobacillus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGGCGCA 352 Oenococcus TGAGACACTGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATTTTCCGCAATGCACGAA 352 FSnh1 TGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCA 318 FSnhA TGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCA 319 Weissella GCCGTCTAAGGTGGGACAGATGATTAGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCGTAGGAGAAC 132 .*:*:. * ..**: .*.. ..** ... . ...*: * *.::* . . . Aerococcus AGCCTGACGGAGCAATGCCGCGTGAGTGAAGAAGGCCTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTAT 449 Eremococcus AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGTGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCACTGTTAT 413 Abiotrophia AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTCTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGT 447 Streptococcus AGTCTGACCGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGT 444 Lactococcus AGTCTGACCGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGG 442 Granulicatella AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 423 Carnobacterium AGTCTGACGGAGCAATGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 452 Enterococcus AGTCTGACCGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 440 Pediococcus AGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGCTCGTAAAGCTCTGTTGT 475 Lactobacillus AGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGT 464 Leuconostoc AGCCTGATGGAGCAACGCCGCGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACTGTTGT 335 Fructobacillus AGCCTGATGGAGCAACGCCGTGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACTGTTG- 411 Oenococcus AGTGTGACGGAGCGACGCCGCGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACTTGTTG 412 FSnh1 AGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACTTTCAG 378 FSnhA AGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACTTTCAG 379 Weissella CTGCGGCTGGATCACCTCCTTTCTAAGGAAAATCGGAAACCTACACATTCAACGAAACGA 192 . *. * * . ** :. **:.*: * ::* :::.. : Aerococcus AAGAGAAGAACAAATTGTAGAGTAACTG--CTACAGTCTTGACGGTATCTTATCAGAAAG 507 Eremococcus TAGCCAAGAACACCCCTAGTAGTAACTG--GCTAGGGATTGACGGTAACTAATCAGAAAG 471 Abiotrophia TAGAGAAGAACAGCGCATAGAGTAACTG--CTATGCGTGTGACGGTATCTAACCAGAAAG 505 Streptococcus AAGAGAAGAACGAGTGTGAGAGTGGAAAG-TTCACACTGTGACGGTATCTTACCAGAAAG 503
144
Lactococcus TAGAGAAGAACGTTGGTGAGAGTGGAAAG-CTCATCAAGTGACGGTAACTACCCAGAAAG 501 Granulicatella TAGAGAAGAACAAGTGCTAGAGTAACTG--TTAGCGCCTTGACGGTATCTAACCAGAAAG 481 Carnobacterium TAGAGAAGAACAAGGATGAGAGTAACTG--CTCATCCCCTGACGGTATCTAACCAGAAAG 510 Enterococcus TAGAGAAGAACAAGGATGAGAGTAACTG--TTCATCCCTTGACGGTATCTAACCAGAAAG 498 Pediococcus TAAAGAAGAACGTGGGTGAGAGTAACTG--TTCACCCAGTGACGGTATTTAACCAGAAAG 533 Lactobacillus TGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTG--GCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGAAAG 522 Leuconostoc ATGGGAAGAAATGCTAAAATAGGGAATG--ATTTTAGTTTGACGGTACCATACCAGAAAG 393 Fructobacillus -TATGGGAAGAACGGGTTTAAGAGGAAATGCTTAAACAGTGACGGTACCATACCAGAAAG 470 Oenococcus TAAGGGAAGAATAACTGAATTCAGAGAAAGTTTTCAGCTTGACGGTACCTTACCAGAAAG 472 FSnh1 CGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCT--TTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAGAAG 436 FSnhA CGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCT--TTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAGAAG 437 Weissella TATTTAGTTTTGAGTGATTTACACTCAATGAAGACAGAGAGTCGAATCTCTGGGACTGTA 252 .. : :*:** :: * .:. Aerococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCNAGCGTTGTCCGGAT 567 Eremococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 531 Abiotrophia CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCGAGCGTTGTCCGGAT 565 Streptococcus GGACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTCCCGAGCGTTGTCCGGAT 563 Lactococcus GGACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTCCCGAGCGTTGTCCGGAT 561 Granulicatella CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 541 Carnobacterium CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 570 Enterococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 558 Pediococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTATCCGGAT 593 Lactobacillus TCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 582 Leuconostoc GGACGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCGGAT 453 Fructobacillus GGACGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCGGAT 530 Oenococcus GGATGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCGGAT 532 FSnh1 CACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCGGAA 496 FSnhA CACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCGGAA 497 Weissella GCTCAGCTGGTTAGAGCGCACCCCTGATAAGGGTGAGGTCGGAGGTTCGAGTCCTCTCAG 312 .***.. *. . ** *. . .. ..*..* : * : . * * * Aerococcus TTATTGGGCGTAAAGGGAGCGCAGGTGGTTTCTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG--- 624 Eremococcus TTATTGGGCGTAAAGGGAGCGCAGGCGGTGACTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG--- 588 Abiotrophia TTATTGGGCGTAAAGGGAGTGTAGGCGGTCTTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG--- 622 Streptococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTAGATAAGTCTGAAGTTAAAGGCTGTGG--- 620 Lactococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGTGGTTTATTAAGTCTGGTGTAAAAGGCAGTGG--- 618 Granulicatella TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTCCTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCCCGG--- 598 Carnobacterium TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTCTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCCCGG--- 627 Enterococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTTCTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCCCGG--- 615 Pediococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTCTTTTAAGTCTAATGTGAAAGCCTTCGG--- 650 Lactobacillus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG--- 639 Leuconostoc TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTGATTAAGTCTGATGTGAAAGCCCGGAG--- 510 Fructobacillus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTGCTTAAGTCTGAAGTGAAAGCCCACAG--- 587 Oenococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTTATTAAGTCTGATGTGAAATCCCGAGG--- 589 FSnh1 TTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCAAAGGG 556 FSnhA TTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCGGG--- 554 Weissella TCCCATGATATGGGGAATTAGCTCAGCTGGGAGAGCACCTGCTTTGCAAGCAGGGGGTCA 372 * . : *. .*...* . * : . :... *:. : * .** . .. Aerococcus -----CTTAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAAACTTGAGTACAGAAGAGGAATGT 679 Eremococcus -----CTTAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGTCACTTGAGTACAGAAGAGGAAAGC 643 Abiotrophia -----CTCAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAGACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGC 677 Streptococcus -----CTTAACCATAGTACGCTTTGG-AAACTGTTTAACTTGAGTGCAAGAGGGGAGAGT 674 Lactococcus -----CTCAACCATT-GTATGCATTGGAAACTGGTAGACTTGAGTGCAGGAGAGGAGAGT 672 Granulicatella -----CTCAACCGGGGAGGGTCATTGGAAACTGGGGAACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 653 Carnobacterium -----CTCAACCGGGGAGGGTCATTGGAAACTGGAGAACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 682 Enterococcus -----CTCAACCGGGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAGACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 670 Pediococcus -----CTCAACCGAAGAAGTGCATTGGAAACTGGGAGACTTGAGTGCAGAAGAGGACAGT 705 Lactobacillus -----CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 694 Leuconostoc -----CTCAACTCCGGAATGGCATTGGAAACTGGTTAACTTGAGTGTTGTAGAGGTAAGT 565 Fructobacillus -----CTCAACTGTGGAATGGCTTTGGAAACTGGGCAACTTGAGTGCAGTAGAGGTAAGT 642 Oenococcus -----CCCAACCTCGGAACTGCATTGGAAACTGATTTACTTGAGTGCGATAGAGGCAAGT 644 FSnh1 GTTGGTTAAAGCGGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGT 616 FSnhA -----CTCAACCTGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGT 609 Weissella TCGGTTCGAACCCGATATTCTCCATAACAACCATCTGGTTGTTAATTAGTTCTTTGAAAA 432 ** : .:** . * :.: . : . Aerococcus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 738 Eremococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 702 Abiotrophia GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 736 Streptococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCGGTGGCGAAAG 733 Lactococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTATATATATGGAGGAACACCGGTGGCGAAAG 731 Granulicatella GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 712 Carnobacterium GGAATTCCACG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATGTGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 741 Enterococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 729 Pediococcus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 764 Lactobacillus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 753
145
Leuconostoc GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 624 Fructobacillus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 701 Oenococcus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATGTGGAAGAACACCAGTGGCGAAAG 703 FSnh1 AGAATTACCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGG 676 FSnhA AGAATTCCAGG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGG 668 Weissella CTGAATCATAATTGTAAATTTTTAAATTCATTATAATTGATCATATCAATTAAATTGAGC 492 .* *.. . ****.. * **: :: * *: **.: .:* ... :.. .*. Aerococcus CGACATTCTG-------------------------------------------GTCTGTT 755 Eremococcus CGGCTTTCTG-------------------------------------------GTCTGAT 719 Abiotrophia CGGCTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 753 Streptococcus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GCTTGTA 750 Lactococcus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GCCTGTA 748 Granulicatella CGACTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 729 Carnobacterium CGACTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 758 Enterococcus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 746 Pediococcus CGGCTGTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 781 Lactobacillus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GTCTGCA 770 Leuconostoc CGGCTTACTG-------------------------------------------GACAACA 641 Fructobacillus CGGCTTACTG-------------------------------------------GACTGCA 718 Oenococcus CGGCTTGCTA-------------------------------------------GATCGTA 720 FSnh1 CGGCCCCCTGGACGAACTGACCGCCTCTCAGGGTTGCCGAAAAGCGTGGGGGAAGCAAAA 736 FSnhA CGGCCCCCTG-------------------------------------------GACGAAG 685 Weissella CGAAAAAATACACCGCG------------------------------------TAATTTT 516 **.. .*. Aerococcus ACTGACACTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 815 Eremococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 779 Abiotrophia ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 813 Streptococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 810 Lactococcus ACTGACACTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 808 Granulicatella ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 789 Carnobacterium ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 818 Enterococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 806 Pediococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAT 841 Lactobacillus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAT 830 Leuconostoc ACTGACGTTGAGGCTCGAAAGTGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 701 Fructobacillus ACTGACGTTGAGGCTCGAAAGTGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 778 Oenococcus ACTGACGTTGAGGCTCGAAAGTATGGGTAGCAAACGGGATTAGATACCCCGGTAGTCCAT 780 FSnh1 CAGGATTTAGGATACCCCTGGGTAGTTCCACGCCCGTAAAACGATGTCCGACTTGGGAGG 796 FSnhA ACTGACGCTCAGGTGCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGG-TAGTCCA 744 Weissella TTGAGTTTTTTAAATAAGTTTAAAATCGCTTGTGACCATTGAGTCACAATACTCAAACGA 576 .. : . . : :. . . . .:: .*: . .. . . . Aerococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCCGCAGTTAACG 875 Eremococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCACCCTTCAGTGCTGGCGTTAACG 839 Abiotrophia GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGGTTCCACCCTTCAGTGCTGGAGTTAANG 873 Streptococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTAGACCCTTTCCGGGGTTTAGTGCCGCAGCTAACG 870 Lactococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAGATGTAAGGGAGCTATAAGTTCTCTGTATG-CAGCTAACG 867 Granulicatella GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCAGTTAACG 849 Carnobacterium GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCACGTAACG 878 Enterococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCAGCTAACG 866 Pediococcus GCCGTAAACGATGATTACTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCAGCTAACG 901 Lactobacillus GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTGCTGCAGCTAACG 890 Leuconostoc ACCGTAAACGATGAATACTAGGTGTTAGGAGGTTTCCGCCTCTTAGTGCCGAAGCTAACG 761 Fructobacillus ACCGTAAACGATGGATACTAGTTGTTAGAGGGTTTCCGCCCTTTAGTGACGAAGCAAACG 838 Oenococcus ACCGTAAACGATGGGTGCTAGTTGTTAAGAGGTTTCCGCCTCCTAGTGACGTAGCAAACG 840 FSnh1 GTTGTGCCCCTTGAAGGCGTGGCCTTCCCGGAAGCTAAACGCGTTAAAGTCCGACCCCCC 856 FSnhA CGCCGTAAACGATGTCGACTTGGAGGTTGTGCCCTTGAGGCGTGGCTTCCGGAGCTAACG 804 Weissella AATCATCAACGAAAGTTGATCGGGTAAGTTATTAAGGGCGCATGGTGAATGCCTTGGCAC 636 ... : . : . . Aerococcus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 935 Eremococcus CAATAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGGTCGCAAGACTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 899 Abiotrophia CAATAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGNTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 933 Streptococcus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 930 Lactococcus CAATAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 927 Granulicatella CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 909 Carnobacterium CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 938 Enterococcus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 926 Pediococcus CATTAAGTAATCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAAGAATTGACGGG 961 Lactobacillus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 950 Leuconostoc CATTAAGTATTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 821 Fructobacillus CATTAAGTATCCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 898 Oenococcus CATTAAGCACCCCGCCTGAGGAGTACGGCCGCAAGGCTAAAACTTAAAGGAATTGACGGG 900 FSnh1 CTGGGGGAGTACGGCCCGCCAAGGGTTAAAAACTCAAATGAAATTTGAACGGGGGGGCCC 916 FSnhA CGTTAAGTCGACCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGTTAAAACTCAAATGAATTGACGGG 864 Weissella TAGGAGCCGATGAAGGACGGGACTAACACCGATATGCCTCGGGGAGCTGTAAGTAAGCTG 696
146
.. . .* . . ... : . .. : .. .. Aerococcus GACCNGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAANNAACGCGAAGAACCTTACCAA 995 Eremococcus GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 959 Abiotrophia GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 993 Streptococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 990 Lactococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 987 Granulicatella GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAA 969 Carnobacterium GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 998 Enterococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 986 Pediococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTG-GTTTATTCGAAGCTACGCGAAGAACCTTACCAG 1020 Lactobacillus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 1010 Leuconostoc GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 881 Fructobacillus GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 958 Oenococcus GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGATACGCGAAAAACCTTACCAG 960 FSnh1 GCCACAAAGCGGGGGGGAGCATGGGGGGGTAAATCGATGCAACGCGAAGAACCTTACCTG 976 FSnhA GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCAACGCGAAGAACCTTACCTG 924 Weissella TGATCCCGGGATTTCCGAATGGGGGAACCCAACTTGTCATGCAAGTTATCGTTTAATGAA 756 . .. . *.. * . :* * *: ... :* .. *:* :. Aerococcus GTCTTGACATCCTTTGACCACCCTAGAGATAGGGN-TTTCCCTTCGGGGACAAAGTGACA 1054 Eremococcus GTCTTGACATCCTATGACCACTCTAGAGATAGAGT-TTCTCTTCGGAG--CATAGAGACA 1016 Abiotrophia GTCTTGACATCCCGACGACCGCTCTAGAGATAGAG-TTTTTTTTCGGAACGTCGGTGACA 1052 Streptococcus GTCTTGACATCCCTCTGACCGCTCTAGAGATAGAG-TTTTCCTTCGGGACAGAGGTGACA 1049 Lactococcus GTCTTGACATACTCGTGCTATTCCTAGAGATAGGA-AGTTCCTTCGGGACACGGGATACA 1046 Granulicatella GTCTTGACATCCTTTGACCACTCTAGAGATAGAGC-TTTCCCTTCGGGGACAAAGTGACA 1028 Carnobacterium GTCTTGACATCCTTTGACCACTCTAGAGATAGGGC-TTTCCCTTCGGGGACAAAGTGACA 1057 Enterococcus GTCTTGACATCCTTTGACCACTCTAGAGATAGAGC-TTCCCCTTCGGGGGCAAAGTGACA 1045 Pediococcus GTCTTGACATCTTCTGCCAACCTAAGAGATTAGGC-GTTCCCTTCGGGGACAGAATGACA 1079 Lactobacillus GTCTTGACATCTAGTGCAATCCGTAGAGATACGGA-GTTCCCTTCGGGGACACTAAGACA 1069 Leuconostoc GTCTTGACATCCTTTGAAGCTTTTAGAGATAGAAGTGTTCTCTTCGGAGACAAAGTGACA 941 Fructobacillus GTCTTGACATCCTTTGAAGGTACTAGAGATAGTGCTGTCTTCTTCGGAAGCAAAGTGACA 1018 Oenococcus GTCTTGACATACCAATGATCGCTTTTGTAATGAAAGCTTTTCTTCGGAACATTGGATACA 1020 FSnh1 GTCTTGACATCCACGGAAGTTTTCAGAGATGAGAA-TGTGCCTTCGGGAACCGTGAGACA 1035 FSnhA GTCTTGACATCCACG-GAAGTTTTCAGAGATGAGAATGTGCCTTCGGGAACCGTGAGACA 983 Weissella TACATAGTTAAACGAAGGTAGACGTTGTGAACTGAAACATCTCATTAGCAACAGGAGAAG 816 :*:*.. ::. . .: . .. .: *.. Aerococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCNNCAACGAG 1114 Eremococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1076 Abiotrophia GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1112 Streptococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1109 Lactococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1106 Granulicatella GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1088 Carnobacterium GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1117 Enterococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1105 Pediococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1139 Lactobacillus GGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1129 Leuconostoc GGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1001 Fructobacillus GGTGGTGCATGGCCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1078 Oenococcus GGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1080 FSnh1 GGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1095 FSnhA GGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1043 Weissella AAAGAAAAATCGATTCCGTCAGTAGCGGCGAGCGAACGCGGAGGAGCCCAAACCAGAGTG 876 ..:* :..** * ****** : * . ..* * *.* :.. .. **..*:* Aerococcus CGCAACCCCTATTATTAGTTGCCAGCATTTAG-TTGGGCACTCTAATGAGACTGCCGGTG 1173 Eremococcus CGCAACCCTTATAACTAGTTGCCAGCATTCAG-ATGGGGACTCTAGTTAGACTGCCGGTG 1135 Abiotrophia CGCAACCCCTATAACTAGTTGCCAGCATTNAG-ATGGGGACTCTAGTTAGACTGCCGGTG 1171 Streptococcus CGCAACCCCTATTGTTAGTTGCCATCATTCAG-TTGGGCACTCTAGCGAGACTGCCGGTA 1168 Lactococcus CGCAACCCCTATTGTTAGTTGCCATCATTAAG-TTGGGCACTCTAACGAGACTGCCGGTG 1165 Granulicatella CGCAACCCTTATTACTAGTTGCCAGCATTGAG-TTGGGCACTCTAGTGAGACTGCCGGTG 1147 Carnobacterium CGCAACCCCTATTATTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGTGAGACTGCCGGTG 1176 Enterococcus CGCAACCCTTATTGTTAGTTGCCATCATTCAG-TTGGGCACTCTAGCAAGACTGCCGGTG 1164 Pediococcus CGCAACCCTTATTACTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGTGAGACTGCCGGTG 1198 Lactobacillus CGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATGAGACTGCCGGTG 1188 Leuconostoc CGCAACCCTTATTGTTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGCGAGACTGCCGGTG 1060 Fructobacillus CGCAACCCTTATGTTTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGACAGACTGCCGGTG 1137 Oenococcus CGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTTAG-TTGGGCACTCTAATGAGACTGCCGGTG 1139 FSnh1 CGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGGAGACTGCCAGTG 1155 FSnhA CGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGGAGACTGCCAGTG 1103 Weissella CTTGCACTCTGGGGTTGTAGGACTACCGTTGTGGAGTTACAAATTTGTTTATTAGCAGAA 936 * ...* *. * : *.*: * * * ..:.:: : * *. *.*:. Aerococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCAGCATGCCCCTTATGACTTGGGCTAC 1233 Eremococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1195 Abiotrophia ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1231 Streptococcus ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1228 Lactococcus ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1225
147
Granulicatella ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACTTGGGCTAC 1207 Carnobacterium ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1236 Enterococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1224 Pediococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1258 Lactobacillus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1248 Leuconostoc ACAAACCGGAGGAAGGCGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1120 Fructobacillus ACAAACCGGAGGAAGGCGGGGACGACGTCAGGTCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1197 Oenococcus ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCAAC 1199 FSnh1 ATAAACTGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTACGACCAGGGCTAC 1215 FSnhA ATAAACTGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTACGACCAGGGCTAC 1163 Weissella TCAGCTGGGAAGCTGAGCGAAACAGGGTGATAGCCCCGTATGCGAAAGTAAGCAAACTCC 996 : *.. ***.*.:*. *..* .. ** * . *. *.*. * ::* *. ...*:.* Aerococcus ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTCGCAAACCCGCGAGGGCAAGCAAATCTCTT 1293 Eremococcus ACACGTGCTACAATGGACGATACAACGAGCAGCAAACTCGCGAGGGTAAGCGAATCTCTT 1255 Abiotrophia ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGCAGCGAACTNGCGAGGGTAAGCGAATCTCTA 1291 Streptococcus ACACGTGCTACAATGGCTGGTACAACGAGTCGCAAGCCGGTGACGGCAAGCTAATCTCTT 1288 Lactococcus ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTCGCGAGACAGTGATGTTTAGCTAATCTCTT 1285 Granulicatella ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGCAGCGAACTCGCGAGGGTAAGCGAATCTCTT 1267 Carnobacterium ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTCGCAAGGTCGCGAGGCCAAGCTAATCTCTT 1296 Enterococcus ACACGTGCTACAATGGGAAGTACAACGAGTTGCGAAGTCGCGAGGCTAAGCTAATCTCTT 1284 Pediococcus ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTTGCGAAACCGCGAGGTTTAGCTAATCTCTT 1318 Lactobacillus ACACGTGCTACAATGGACAGTACAACGAGGAGCAAGCCTGCGAAGGCAAGCGAATCTCTT 1308 Leuconostoc ACACGTGCTACAATGGCGTATACAACGAGTTGCCAACCTGCGAAGGTGAGCTAATCTCTT 1180 Fructobacillus ACACGTGCTACAATGGCGTATACAACGAGCAGCAAACCTGTGAAGGTAAGCGAATCTCTT 1257 Oenococcus ACACGTGCTACAATGGGAAGTACAACGAGTCGCAAACCGGCGACGGTAAGCTAATCTCTT 1259 FSnh1 ACACGTGCTACAATGGCGCATACAAAGAGAAGCGACCTCGCGAGAGCAAGCGGACCTCAT 1275 FSnhA ACACGTGCTACAATGGCCCATACAAAGAGAAACGACCTCGCGAGAGCAAGCGGACCTCAT 1223 Weissella CGTGTAGGATCCTGAGTACGGCCGGACACGTGAAATCCGGTCGGAAACTGCGAGGACCAT 1056 . : :* ::*.: .* . .*... * .. * * . . :** .. . *:: Aerococcus AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1352 Eremococcus AAAGTCGTTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1314 Abiotrophia AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGTAGTCTGCAACTCG-ACTACATGAAGCCGGAATCGCT 1350 Streptococcus AAAGCCAGTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCG-CCTACATGAAGTCGGAATCGCT 1347 Lactococcus AAAACCATTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCTAACTCGCCTACATGAAGTCGGAATCGCT 1345 Granulicatella AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCG-CCTACATGAAGCCGGAATCGCT 1326 Carnobacterium AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1355 Enterococcus AAAGCTTCTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1343 Pediococcus AAAACCATTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCG-CCTACACGAAGTCGGAATCGCT 1377 Lactobacillus AAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCG-ACTGCACGAAGCTGGAATCGCT 1367 Leuconostoc AAAGTACGTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCG-ACTGCACGAAGTCGGAATCGCT 1239 Fructobacillus AAAGTACGTCTCAGTTCGGATTGTAGTCTGCAACTCG-ACTACATGAAGTCGGAATCGCT 1316 Oenococcus AAAACTTCTCTCAGTTCGGACTGGAGTCTGCAACTCG-ACTCCACGAAGGCGGAATCGCT 1318 FSnh1 AAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTCG-ACTCCATGAAGTCGGAATCGCT 1334 FSnhA AAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTCG-ACTCCATGAAGTCGGAATCGCT 1282 Weissella CTCGTAAGGCTAAATACTCCCTAGTGACCGATAGTGAACCAGTACCGTGAGGGAAAGG-- 1114 .:.. * *.* * . *. :* * *.:* .*: * .:* ****: * Aerococcus AGTAATCGTGGATCAGCACGCCACGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGNNCG 1412 Eremococcus AGTAATCGTGGATCAGCACGCCACGGTGAATCCGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1374 Abiotrophia AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1410 Streptococcus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1407 Lactococcus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1405 Granulicatella AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1386 Carnobacterium AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1415 Enterococcus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1403 Pediococcus AGTAATCGCGGATCAGCATGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1437 Lactobacillus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1427 Leuconostoc AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1299 Fructobacillus AGTAATCGCGGATCAGCATGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1376 Oenococcus AGTAATCGCGAATCAGCATGTCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1378 FSnh1 AGTAATCGTGGATCAGAATGCCACCCTACTATAGTGCG---------------------- 1372 FSnhA AGTAATCGTGGATCAGCATGCCCCGTACCGCCCCCGGA---------------------- 1320 Weissella ------------------------------------------------------------
148
TOOL OUTPUT
CLUSTAL 2.1 Multiple Sequence Alignments Sequence type explicitly set to Protein Sequence format is Pearson Sequence 1: FSnhA 1321 aa Sequence 2: Abiotrophia 1411 aa Sequence 3: Aerococcus 1552 aa Sequence 4: Enterococcus 1485 aa Sequence 5: Lactobacillus 1666 aa Sequence 6: Streptococcus 1460 aa Sequence 7: Pediococcus 1577 aa Sequence 8: Weissella 1114 aa Sequence 9: Lactococcus 1511 aa Sequence 10: FSnh1 1372 aa Sequence 11: Leuconostoc 1338 aa Sequence 12: Granulicatella 1495 aa Sequence 13: Fructobacillus 1475 aa Sequence 14: Carnobacterium 1524 aa Sequence 15: Eremococcus 1385 aa Sequence 16: Oenococcus 1450 aa Start of Pairwise alignments Aligning... Sequences (1:2) Aligned. Score: 74 Sequences (1:3) Aligned. Score: 74 Sequences (1:4) Aligned. Score: 75 Sequences (1:5) Aligned. Score: 84 Sequences (1:6) Aligned. Score: 74 Sequences (1:7) Aligned. Score: 74 Sequences (1:8) Aligned. Score: 39 Sequences (1:9) Aligned. Score: 74 Sequences (1:10) Aligned. Score: 92 Sequences (1:11) Aligned. Score: 73 Sequences (1:12) Aligned. Score: 74 Sequences (1:13) Aligned. Score: 74 Sequences (1:14) Aligned. Score: 74 Sequences (1:15) Aligned. Score: 74 Sequences (1:16) Aligned. Score: 73 Sequences (2:10) Aligned. Score: 68 Sequences (3:10) Aligned. Score: 68 Sequences (4:10) Aligned. Score: 69 Sequences (5:10) Aligned. Score: 84 Sequences (6:10) Aligned. Score: 69 Sequences (7:10) Aligned. Score: 68 Sequences (8:10) Aligned. Score: 39 Sequences (9:10) Aligned. Score: 68 Sequences (10:11) Aligned.Score: 68 Sequences (10:12) Aligned.Score: 69 Sequences (10:13) Aligned.Score: 69 Sequences (10:14) Aligned.Score: 70 Sequences (10:15) Aligned.Score: 68 Sequences (10:16) Aligned.Score: 66
149
e. Alignment urutan basa DNA pengkode 16S rRNA isolat BAL FSnh 1 dan FSnh A dengan BAL dari genus yang berbeda dalam genus Lactobacillus Genbank
CLUSTAL 2.1 multiple sequence alignment FSnh1. ------------------------------------------------------CCGGGG 6 FSnhA. --------------------------------------------------------GGGG 4 Lb.acidophilus ---------------------------------ACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 27 L.helveticus ----------------------------------------CGGCGTGCCTAATACATGCA 20 Lb.crispatus --------------------------------------GCCGGCGTGCCTAATACATGCA 22 Lb.ultunensis ----------------------------------------------------TACATGCA 8 L.amylovorus.DSM ------------------------------------CTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 24 Lb.amylolyticus ------------------------------------------------------------ Lb.jensenii ---------------------------------------------------------GCA 3 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii -------------------------------CGACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 29 L.salivarius.ATCC --------AGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 52 L.paracasei.10C ---------GCGTGCTATACATG--CAAGTCGAACGAG------------------TTCT 31 L.fructivorans --------AGAGTTTGATNNTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCATGCCTAATACATGCA 52 L.fermentum -------TAGAGTTTGATCNTGGCTCAGGATGAACGCCGGCGGTGTGCCTAATACATGCA 53 Lb.cremoris TCAAATTGAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGATGAACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 60 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. GGTAAGGAAAGAG--------------------CTTGCTTCTTTG--------------- 31 FSnhA. GGCCGGGAAAGAG--------------------CTTGCTTCTCC---------------- 28 Lb.acidophilus AGTCGAGCGAGCTGAACCAACAGATT-----CACTTCGGTGATGA-------CGTTGG-G 74 L.helveticus AGTCGAGCGAGCAGAACCAGCAGATT-----TACTTCGGTAATGA-------CGCTGG-G 67 Lb.crispatus AGTCGAGCGAGCGGAACTAACAGATT-----TACTTCGGTAATGA-------CGTTAG-G 69 Lb.ultunensis AGTCGAGCGAGCGGAACCAGCAGATC-----TGCTTCGGCAGTGA-------CGCTGG-G 55 L.amylovorus.DSM AGTCGAGCGAGCGGAACCAACAGATT-----TACTTCGGTAATGA-------CGTTGG-G 71 Lb.amylolyticus ------------------------------------------------------------ Lb.jensenii AGTCGAGCGAGCT-TGCCTATAGAAG-----TTCTTCGGAATGGA-------AATAGATA 50 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii AGTCGAGCGAGCTGAATTCAAAGAT------TCCTTCGGGATG---------ATTTGTTG 74 L.salivarius.ATCC AGTCGAACGAAAC-----------------TTTCTTACACCGAATGCTTGCRTTCATCGT 95 L.paracasei.10C CGTTG-ATGATTG-----------------GTGCTTGCACCGAG-------ATTCAACAT 66 L.fructivorans AGTCGAACGAGCTGCGCCTAATGATAGTTGATGCTTGCATTAGCT---TGACTTAAGTTA 109 L.fermentum AGTCGAACGCGTTGGCCCAATTGATTGATGGTGCTTGCACCTGAT---TGATTTTGGTCG 110 Lb.cremoris AGTCGAAGCCACAGCGAAAGG----------TGCTTGCACCTT----------------T 94 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. CTGACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGG-AAACTGCCTGATGGAGGGGGAT 87 FSnhA. CTGACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGG-AAACTGCCTAATGGAGGGGGAT 84 Lb.acidophilus AACGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGAT 131 L.helveticus GACGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGAT 124 Lb.crispatus AAAGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGAT 126 Lb.ultunensis AAAGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCAAAGTCTGGGAT 112 L.amylovorus.DSM AAAGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCTAAGTCTGGGAT 128 Lb.amylolyticus ----------GCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCTTAAGTCTGGGAT 50 Lb.jensenii CAAGCT---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACGCGTGGGTAACCTGCCCTTAAGTCTGGGAT 107 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii GACGCT---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGCAATCTGCCCTAAAGACTGGGAT 131 L.salivarius.ATCC AAGAAGTTGAGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCTAAAAGAAGGGGAT 155 L.paracasei.10C GGAACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCTTAAGTGGGGGAT 123 L.fructivorans GCAGCG---AGTGGCGAACTGGTGAGTAACACGTGGATAACCTGCCCAGAAGAAGGGGAT 166 L.fermentum CCAACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTAGGTAACCTGCCCAGAAGCGGGGGAC 167 Lb.cremoris CAAGTG---AGTGGCGAACGGGTGAGTAACACGTGGACAACCTGCCTCAAGGCTGGGGAT 151 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. AACTACTGGAAACGGTAGCT-AATACCGCATAACGTCG-CAAGACCAAAGAGGGGGACCT 145 FSnhA. AACTACTGGAAACGGTAGCTTAATACCGCATAACGTCGCCAAGACCAAAGAGGGGGACCT 144 Lb.acidophilus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTATA 190 L.helveticus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTATA 183 Lb.crispatus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTTTA 185 Lb.ultunensis ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTTTA 171 L.amylovorus.DSM ACCATTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAATAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTTTG 187 Lb.amylolyticus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAACAACAAGTGCTGCATGGCACTTGCTTG 109 Lb.jensenii ACCATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGGATAAAAGCTACTTTCGCATGAAAGAAGTTTA 166 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAACAACATGAATCGCATGATTCAAGTTTG 190 L.salivarius.ATCC AACACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGTATATCTCTAAGGATCGCATGATCCTTAGATG 214
150
L.paracasei.10C AACATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGCATAGATCCAAGAACCGCATGGTTCTTGGCTG 182 L.fructivorans AACACCTGGAAACAGATGCT-AATACCGTATAACAACGAAAACCACATGGTTTTCGTTTG 225 L.fermentum AACATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGCATAACANCGTTGTTCGCATGAACAACGCTTA 226 Lb.cremoris AACATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGAATAAAACTTAGTGTCGCATGACACAAAGTTA 210 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. TCG---GGCCTCT------TGCCAT-CGGAT-GTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTG 194 FSnhA. TCG---GGCCTCT------TGCCATTCGGATTGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTG 195 Lb.acidophilus AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 247 L.helveticus AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 240 Lb.crispatus AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 242 Lb.ultunensis AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 228 L.amylovorus.DSM AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTAAGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 244 Lb.amylolyticus AAAGGCGGCGCAA--GCTGTCGCTAAAGGATGGACCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 166 Lb.jensenii AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTAAAGGATGGACCTGCGATG-CATTAGCTAGTTGGTA 223 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCACTTTAGGATGAGCCCGCGGCG-CATTAGCTAGTTGGTG 247 L.salivarius.ATCC AAAGATGGT-TCT--GCTATCGCTTTTAGATGGACCCGCGGCG-TATTAACTAGTTGGTG 270 L.paracasei.10C AAAGATGGCGTAA--GCTATCGCTTTTGGATGGACCCGCGGCG-TATTAGCTAGTTGGTG 239 L.fructivorans AAAGATGGCCTTTGTGCTATCGCTTTTGGATGGATCCGCGGCG-CATTAGCTAGTTGGTG 284 L.fermentum AAAGATGGCTTCT-CGCTATCACTTCTGGATGGACCTGCGGTG-CATTAGCTTGTTGGTG 284 Lb.cremoris AAAGGCGCTTCGG----CGTCACCTAGAGATGGATCCGCGGTG-CATTAGTTAGTTGGTG 265 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ---------------------------------------GTCG-GAATCGCTAGTAATCG 20 FSnh1. GGGTAACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACT 254 FSnhA. GGGTAACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACT 255 Lb.acidophilus GGGTAACGGCCTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 307 L.helveticus AGGTAACGGCTTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 300 Lb.crispatus AGGTAAAGGCTTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 302 Lb.ultunensis GAGTAACGGCCTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 288 L.amylovorus.DSM AGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 304 Lb.amylolyticus AGGTAACGGCTTACCAAGGCAACGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 226 Lb.jensenii AGGTAACGGCTTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 283 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii GGGTAAAGGCCTACCAAGGCAATGATGCGTAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 307 L.salivarius.ATCC GGGTAACGGCCTACCAAGGTGATGATACGTAGCCGAACTGAGAGGTTGATCGGCCACATT 330 L.paracasei.10C AGGTAACGGCTCACCAAGGCGATGATACGTAGCCGAACTGAGAGGTTGATCGGCCACATT 299 L.fructivorans AGATAAAGGCTCACCAAGGCAATGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTAATCGGCCACATT 344 L.fermentum GGGTAANGGCCTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACAAT 344 Lb.cremoris GGGTAAAGGCCTACCAAGACAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 325 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 CGG-ATCAGCACGCCGCGGTGAA--TACGTTCCCGGGCCTTGT----------------- 60 FSnh1. GGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGG 314 FSnhA. GGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGG 315 Lb.acidophilus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 367 L.helveticus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 360 Lb.crispatus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 362 Lb.ultunensis GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 348 L.amylovorus.DSM GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 364 Lb.amylolyticus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 286 Lb.jensenii GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 343 Lb.gasseri ------------------------------------------------------CAATGG 6 Lb.delbrueckii GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 367 L.salivarius.ATCC GGGACTGAGACACGGTCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 390 L.paracasei.10C GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 359 L.fructivorans GGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 404 L.fermentum GGGACTGAGACACGGCCCATACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 404 Lb.cremoris GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 385 L.rhamnosus.ATCC -----------------------------------------AGAGTTTGTAACACCCG-- 17 L.casei.XF5-2 -------ACACACCGCCCGTCACACCATG------------AGAGTTTGTAACACCCG-- 99 *.. FSnh1. GCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACT 374 FSnhA. GCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACT 375 Lb.acidophilus ACGAAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 427 L.helveticus ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 420 Lb.crispatus ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 422 Lb.ultunensis ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 408 L.amylovorus.DSM ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 424 Lb.amylolyticus GCGAAAGCCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 346 Lb.jensenii ACGAAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 403 Lb.gasseri ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGACTCGTAAAGCTCT 66
151
Lb.delbrueckii ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 427 L.salivarius.ATCC ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTCTTCGGATCGTAAAACTCT 450 L.paracasei.10C ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCT 419 L.fructivorans ACGAAAGTCTGATGGAGCAATGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGCTCGTAAAACTCT 464 L.fermentum GCGCAAGCCTGATGGAGCAACACCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGCTCGTAAAGCTCT 464 Lb.cremoris GCGAAAGCCTGATGGAGCAACGCCGCGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACT 445 L.rhamnosus.ATCC ----AAGCCGG------------------------------------------------- 24 L.casei.XF5-2 ----AAGCCGG------------------------------------------------- 106 *** * * FSnh1. TTCAGCGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCTTTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAG 434 FSnhA. TTCAGCGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCTTTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAG 435 Lb.acidophilus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 487 L.helveticus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 480 Lb.crispatus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 482 Lb.ultunensis GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 468 L.amylovorus.DSM GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 484 Lb.amylolyticus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 406 Lb.jensenii GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 463 Lb.gasseri GTTGGTAGTGAAGAAAGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATTACTTAGA 126 Lb.delbrueckii GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGCAGTAACTGGTCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 487 L.salivarius.ATCC GTTGTTAGAGAAGAACACGAGTGAGAGTAACTGTTCATTCGATGACGGTATCTAACCAGC 510 L.paracasei.10C GTTGTTGGAGAAGAATGGTCGGCAGAGTAACTGTTGCCGGCGTGACGGTATCCAACCAGA 479 L.fructivorans GTTGTTAGAGAAGAACGGGCGTGAGAGTAACTGCTCACGTCGCGACGGTATCTAACCAGA 524 L.fermentum GTTGTTAAAGAAGAACACGTATGAGAGTAACTGTTCATACGTTGACGGTATTTAACCAGA 524 Lb.cremoris GTTGTATGGGAAGAACAGCTAGAATAGGAAATGATTTTAGTTTGACGGTACCATACCAGA 505 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------TGGCGTAACC--TTTAGG 40 L.casei.XF5-2 ------------------------------------------TGGCGTAACCCTTTTAGG 124 *.** :* *. FSnh1. AAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCG 494 FSnhA. AAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCG 495 Lb.acidophilus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 547 L.helveticus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 540 Lb.crispatus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 542 Lb.ultunensis AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 528 L.amylovorus.DSM AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 544 Lb.amylolyticus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 466 Lb.jensenii AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 523 Lb.gasseri AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 186 Lb.delbrueckii AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 547 L.salivarius.ATCC AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 570 L.paracasei.10C AAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTATCCG 539 L.fructivorans AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 584 L.fermentum AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTATCCG 584 Lb.cremoris AAGGGACGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCG 565 L.rhamnosus.ATCC GAG-------------CGAGCCG--------------TCTAAGGTGGGACAAATGATTAG 73 L.casei.XF5-2 GAG-------------CGAGCCG--------------TCTAAGGTGGGACAAATGATTAG 157 .** **:***. :* * * .....* .: .* FSnh1. GAATTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCGGG 554 FSnhA. GAATTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCGGG 555 Lb.acidophilus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 607 L.helveticus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 600 Lb.crispatus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 602 Lb.ultunensis GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAAAATAAGTCTAATGTGAAAGCCCTCGG 588 L.amylovorus.DSM GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAAAATAAGTCTAATGTGAAAGCCCTCGG 604 Lb.amylolyticus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAGAAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 526 Lb.jensenii GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGATTGATAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 583 Lb.gasseri GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGTGCAGGCGGTTCAATAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 246 Lb.delbrueckii GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAATGATAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG 607 L.salivarius.ATCC GATTTATTGGGCGTAAAGGGAACGCAGGCGGTCTTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 630 L.paracasei.10C GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTTTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 599 L.fructivorans GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTCTTCTAAGTCTGATGTGAAACGCTTCGG 644 L.fermentum GATTTATTGGGCGTAAAGAGAGTGCAGGCGGTTTTCTAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 644 Lb.cremoris GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTTATTAAGTCTGATGTGAAAGCCCGGAG 625 L.rhamnosus.ATCC GGTGAAGT---CGTAACAAGTTAGCCGTAG------------------GAGAACCTGCGG 112 L.casei.XF5-2 GGTGAAGT---CGTAACAAGGTAGCCGTAG------------------GAGAACCTGCGG 196 *.: :* * *****.. * **.* .* **.* * .* FSnh1. CTCAACCTGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGTAGAAT 614 FSnhA. CTCAACCTGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGTAGAAT 615 Lb.acidophilus CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 667 L.helveticus CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAT 660 Lb.crispatus CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 662 Lb.ultunensis CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 648 L.amylovorus.DSM CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 664 Lb.amylolyticus CTTAACCGGGGAATTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 586
152
Lb.jensenii CTCAACCGAAGAACTGCATCAGAAACTGTCAATCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 643 Lb.gasseri CTCAACCGGAGAATTGCATCAGAAACTGTTGAACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 306 Lb.delbrueckii CTCAACCGTGGAACTGCATCGGAAACTGTCATTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAT 667 L.salivarius.ATCC CTTAACCGGAGTAGTGCATTGGAAACTGGAAGACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 690 L.paracasei.10C CTTAACCGAGGAAGCGCATCGGAAACTGGGAAACTTGAGTGCAGAAGAGGACAGTGGAAC 659 L.fructivorans CTTAACCGGAGAAGTGCATCGGAAACTGGGAAACTTGAGTGCAGAAGAGGACAGTGGAAC 704 L.fermentum CTTAACCGGAGAAGTGCATCGGAAACTGGATAACTTGAGTGCAGAAGAGGGTAGTGGAAC 704 Lb.cremoris CTCAACTCCGGNATGGCATTGGAAACTGGTTAACTTGAGTGCAGTAGAGGTAAGTGGAAC 685 L.rhamnosus.ATCC CT-----------------------------------------------------GGATC 119 L.casei.XF5-2 CT-----------------------------------------------------GGATC 203 ** .**: FSnh1. TCCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGGCGGCCC 674 FSnhA. TCCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGGCGGCCC 675 Lb.acidophilus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 727 L.helveticus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGACTC 720 Lb.crispatus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 722 Lb.ultunensis TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 708 L.amylovorus.DSM TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 724 Lb.amylolyticus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 646 Lb.jensenii TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 703 Lb.gasseri TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 366 Lb.delbrueckii TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 727 L.salivarius.ATCC TCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAAGCGGCTC 750 L.paracasei.10C TCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTG 719 L.fructivorans TCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTG 764 L.fermentum TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTA 764 Lb.cremoris TCCATGTGTNGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTT 745 L.rhamnosus.ATCC ACCT-------------------------------------CCTTT--CTAAGGAAACAG 140 L.casei.XF5-2 ACCT-------------------------------------CCTTT--CTAAGGAAACAG 224 :**: ** * * **.*...* FSnh1. CCTGGACGAAGACTGACGCTCAGGTGCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCC 734 FSnhA. CCTGGACGAAGACTGACGCTCAGGTGCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCC 735 Lb.acidophilus TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 787 L.helveticus TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 780 Lb.crispatus TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 782 Lb.ultunensis TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 768 L.amylovorus.DSM TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 784 Lb.amylolyticus TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 706 Lb.jensenii TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 763 Lb.gasseri TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 426 Lb.delbrueckii TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 787 L.salivarius.ATCC TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGTTCGAAAGCGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCC 810 L.paracasei.10C TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 779 L.fructivorans TCTAGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCC 824 L.fermentum CCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGACTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 824 Lb.cremoris ACTGGACTGCAACTGACGTTGAGGCTCGNAAGTGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCC 805 L.rhamnosus.ATCC ACTG---AAAGTCTGACG-----------------------------------GAAACCT 162 L.casei.XF5-2 ACTG---AAAGTCTGACG-----------------------------------GAAACCT 246 **. . .:****** **:*** FSnh1. -TGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGTCGACTTGGAGGTTGTGCCCTTGAGGCG-TGGCTT 792 FSnhA. -TGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGTCGACTTGGAGGTTGTGCCCTTGAGGCG-TGGCTT 793 Lb.acidophilus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 846 L.helveticus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 839 Lb.crispatus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 841 Lb.ultunensis -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 827 L.amylovorus.DSM -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 843 Lb.amylolyticus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGCTTCCGCCTCTCAGTG 765 Lb.jensenii -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 822 Lb.gasseri -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 485 Lb.delbrueckii -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGCGCTAGGTGTTGGGGACTTTCCGGTTCTCAGTG 846 L.salivarius.ATCC -TGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGAATGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 869 L.paracasei.10C CTGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAATGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 839 L.fructivorans -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 883 L.fermentum -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 883 Lb.cremoris -TGGTAGTCCACACCGTAAACGATGAACACTAGGTGTTAGGAGGTTTCCGCCTCTTAGTG 864 L.rhamnosus.ATCC ------GCACACACG--AAACTTTGT----TTAGTTTTGAGGGG--ACGACCCTCAAGCA 208 L.casei.XF5-2 ------GCACACACG--AAACTTTGT----TTAGTTTTGAGGGG--ATCACCCTCAAGCA 292 * .** .* **** :**: *:.*: * . . : . . FSnh1. CCGGAGCTAACGCGTTAAGTCGACCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGTTAAAACTCAAA 852 FSnhA. CCGGAGCTAACGCGTTAAGTCGACCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGTTAAAACTCAAA 853 Lb.acidophilus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 906 L.helveticus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 899 Lb.crispatus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 901
153
Lb.ultunensis CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 887 L.amylovorus.DSM CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 903 Lb.amylolyticus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 825 Lb.jensenii CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 882 Lb.gasseri CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 545 Lb.delbrueckii CCGCAGCAAACGCATTAAGCGCTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 906 L.salivarius.ATCC CCGCAGCTAACGCAATAAGCATTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 929 L.paracasei.10C CCGCAGCTAACGCATTAAGCATTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 899 L.fructivorans CCGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 943 L.fermentum CCGGAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 943 Lb.cremoris CCNAAGCTAACGCATTAAGTGTTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 924 L.rhamnosus.ATCC CC----CTAGCGGGTGCGACTTTGTTCTTTGAAAACTGGATATCATTGTATTAATTGTTT 264 L.casei.XF5-2 CC----CTAGCGGGTGCGACTTTGTTCTTTGAAAACTGGATATCATTGTATTAATTGTTT 348 * *:*.** .: ... : * * *..*. : *. . **: **: :** * ::: FSnh1. TGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCAACGCGAA 912 FSnhA. TGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCAACGCGAA 913 Lb.acidophilus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 966 L.helveticus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 959 Lb.crispatus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 961 Lb.ultunensis GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 947 L.amylovorus.DSM GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 963 Lb.amylolyticus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 885 Lb.jensenii GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 942 Lb.gasseri GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 605 Lb.delbrueckii GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 966 L.salivarius.ATCC GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 989 L.paracasei.10C GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 959 L.fructivorans GGAATTGACGGGGACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCTACGCGAA 1003 L.fermentum GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCTACGCGAA 1003 Lb.cremoris GGAATTGACGGGGACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 984 L.rhamnosus.ATCC TAAATTGCCGAGAACAC-----AGCGTATTTGTATGAG-TTTCTAAAAAAGAAATTCGCA 318 L.casei.XF5-2 TAAATTGCCGAGAACAC-----AGCGTATTTGTATGAG-TTTCTGAAAAAGAAATTCGCA 402 .*****.**.*..*.* **** : :* ***:* ***.: :..*:*.:* **.* FSnh1. GAACCTTACCTGGTCTTGACATCCACGGAAGTTTTCAGAGATG-AGAATGTGCCTTCGGG 971 FSnhA. GAACCTTACCTGGTCTTGACATCCACGGAAGTTTTCAGAGATG-AGAATGTGCCTTCGGG 972 Lb.acidophilus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCAATCCGTAGAGATA-CGGAGTTCCCTTCGGG 1025 L.helveticus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCCATCCTAAGAGATT-AGGAGTTCCCTTCGGG 1018 Lb.crispatus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCCATTTGTAGAGATA-CAAAGTTCCCTTCGGG 1020 Lb.ultunensis GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCCATCTTCAGAGATG-AAGAGTTCCCTTCGGG 1006 L.amylovorus.DSM GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCAATCTGTAGAGATA-TGGAGTTCCCTTCGGG 1022 Lb.amylolyticus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGCGCAATCCGTAGAGATA-CGGAGTTCCCTTCGGG 944 Lb.jensenii GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTTTGACCACCTAAGAGATT-AGGTTTTCCCTTCGGG 1001 Lb.gasseri GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCAGTGCAAGCCTAAGAGATT-AGGAGTTCCCTTCGGG 664 Lb.delbrueckii GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTGTGCTACACCTAGAGATA-GGTGGTTCCCTTCGGG 1025 L.salivarius.ATCC GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTTTGACCACCTAAGAGATT-AGGCTTTCCCTTCGGG 1048 L.paracasei.10C GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTTTTGATCACCTGAGAGATC-AGGTTTCCCCTTCGGG 1018 L.fructivorans GAACCTTACCAGGACTTGACATCTTCTGCCAATCTAAGAGATT-AGACG-TTCCTTCGGG 1061 L.fermentum GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTTGCGCCAACCCTAGAGATA-GGGCGTTTCCTTCGGG 1062 Lb.cremoris GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTTTGAAGCTTTTAGAGATAGAAGTGTTCTCTTCGGA 1044 L.rhamnosus.ATCC TCGCATAACCG------------------------------------------------- 329 L.casei.XF5-2 TCGCATAACCG------------------------------------------------- 413 ..*.*:*** FSnh1. AACCGTGAGACAGGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAG 1031 FSnhA. AACCGTGAGACAGGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAG 1032 Lb.acidophilus GACACTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1085 L.helveticus GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1078 Lb.crispatus GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1080 Lb.ultunensis GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1066 L.amylovorus.DSM GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1082 Lb.amylolyticus GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1004 Lb.jensenii GACAAAGAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1061 Lb.gasseri GACGCTGAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 724 Lb.delbrueckii GACGCAGAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1085 L.salivarius.ATCC GACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1108 L.paracasei.10C GGCAAAATGACAGGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1078 L.fructivorans GACAGAATGACAGGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1121 L.fermentum AACGCAATGACAGGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1122 Lb.cremoris GACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1104 L.rhamnosus.ATCC -------------CTGACGCAAG-------TCAGTAC---------------AGGTTAAG 354 L.casei.XF5-2 -------------CTGACGCAAG-------TCAGTAC---------------AGGTTAAG 438 ** ***:* **** :* .******* FSnh1. TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGG 1091 FSnhA. TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGG 1092 Lb.acidophilus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1144
154
L.helveticus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1137 Lb.crispatus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1139 Lb.ultunensis TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1125 L.amylovorus.DSM TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1141 Lb.amylolyticus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1063 Lb.jensenii TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTAATAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTATTG 1120 Lb.gasseri TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCATCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 783 Lb.delbrueckii TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCTTTAGTTGCCATCATTAAG-TTGGGCACTCTAAAG 1144 L.salivarius.ATCC TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTGTCAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTGGCG 1167 L.paracasei.10C TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATGACTAGTTGCCAGCATTTAG-TTGGGCACTCTAGTA 1137 L.fructivorans TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1180 L.fermentum TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTACTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAGTG 1181 Lb.cremoris TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATTGTTAGTTGCCAGCATTCAG-ATGGGCACTCTAGCG 1163 L.rhamnosus.ATCC TTACAAAGGGCGCACGG----------TGGATGCCT----------TGG---CACTAGG- 390 L.casei.XF5-2 TTACAAAGGGCGCACGG----------TGGATGCCT----------TGG---CACTAGG- 474 * .*..*. *.**.*.. *:****: ** *:*:. FSnh1. AAACTGCCAGTGATAAACTGGAAGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTAC 1151 FSnhA. AGACTGCCAGTGATAAACTGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTAC 1152 Lb.acidophilus AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1204 L.helveticus AGACTGCCGGTGATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1197 Lb.crispatus AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1199 Lb.ultunensis AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1185 L.amylovorus.DSM AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1201 Lb.amylolyticus AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1123 Lb.jensenii AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1180 Lb.gasseri AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 843 Lb.delbrueckii AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1204 L.salivarius.ATCC AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1227 L.paracasei.10C AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTAT 1197 L.fructivorans AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTAT 1240 L.fermentum AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTAT 1241 Lb.cremoris AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGCGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTAT 1223 L.rhamnosus.ATCC ----AGCCG------------ATGAAG--------GACG--------------------- 405 L.casei.XF5-2 ----AGCCG------------ATGAAG--------GACG--------------------- 489 :***. * **** **** FSnh1. GACCAGGGCTACACACGTGCTACAATGGCGCATACAAAGAGAAGCGACCTCGCGAGAGCA 1211 FSnhA. GACCAGGGCTACACACGTGCTACAATGGCCCATACAAAGAGAAACGACCTCCCGAGAACA 1212 Lb.acidophilus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACAGTACAACGAGGAGCAAGCCTGCGAAGGCA 1264 L.helveticus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACAGTACAACGAGAAGCGAGCCTGCGAAGGCA 1257 Lb.crispatus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAGCCTGCGAAGGCA 1259 Lb.ultunensis GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAGCCTGCGAAGGCA 1245 L.amylovorus.DSM GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCAAGCCTGCGAAGGCA 1261 Lb.amylolyticus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCAAGCCTGCGAAGGCA 1183 Lb.jensenii GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAACCTGTGAAGGCA 1240 Lb.gasseri GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGAAGCGAACCTTCGAAGGCA 903 Lb.delbrueckii GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAACCCGCGAGGGTA 1264 L.salivarius.ATCC GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGTCGCAAGACCGCGAGGTTT 1287 L.paracasei.10C GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTTGCGAGACCGCGAGGTCA 1257 L.fructivorans GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGTTGCGAAACCGCGAGGTCA 1300 L.fermentum GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGTCGCGAACTCGCGAGGGCA 1301 Lb.cremoris GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGCGTATACAACGAGTTGCCAACCCGCGAGGGTG 1283 L.rhamnosus.ATCC GAACT--AATACCGATATGCTTCGGGG--------AGCTATAAGTAAGCTT---TGATCC 452 L.casei.XF5-2 GAACT--AATACCGATATGCTTCGGGG--------AGCTATAAGTAAGCTT---TGATCC 536 **.*: ..***. * .****:*.. * *.. * . * . :.. FSnh1. AGCGGACCTCATAAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTCGACTCCATGAAG 1271 FSnhA. AGCGGACCTCATAAAGTGCGTCGTAGTCCCGATTGGAGTCTGCAACTCGACTCCATGAAG 1272 Lb.acidophilus AGCGAATCTCTTAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1324 L.helveticus AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1317 Lb.crispatus AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1319 Lb.ultunensis AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1305 L.amylovorus.DSM AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1321 Lb.amylolyticus AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1243 Lb.jensenii AGCGGATCTCTTAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCGCCTACACGAAG 1300 Lb.gasseri AGCGGATCTCTGAAAGCCGTTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCGCCTACACGAAG 963 Lb.delbrueckii AGCGGATCTCTTAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGGCTGCAACTCGCCTGCACGAAG 1324 L.salivarius.ATCC AGCTAATCTCTTAAAGCCGTTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCGCCTACATGAAG 1347 L.paracasei.10C AGCTAATCTCTTAAAGCCATTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCGCCTACACGAAG 1317 L.fructivorans AGCTAATCTCTTAAAGCCGTTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCGCCTGCATGAAG 1360 L.fermentum AGCAAATCTCTTAAAACCGTTCTCAGTTCGGACTGCAGGCTGCAACTCGCCTGCACGAAG 1361 Lb.cremoris AGCTAATCTCTTAAAGTACGTCTCAGTTCGGATTGTAGTCTGCAACTCGACTACATGAAG 1343 L.rhamnosus.ATCC GGAGATTTCCGAATGGGGGAACCCAGTACA------CATCAGTGTATTGCCTGCAAGTG- 505 L.casei.XF5-2 GGAGATTTCCGAATGGGGGAACCC------------------------------------ 560 .*. .: * *:.. :*
155
FSnh1. TCGGAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGCACGCCCGG----TTGGG--------------- 1312 FSnhA. TCGGAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGCATGCCCCG----TACCGCCCCCGGA------- 1321 Lb.acidophilus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGC------------------------- 1359 L.helveticus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGAACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1377 Lb.crispatus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1379 Lb.ultunensis CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1365 L.amylovorus.DSM CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1381 Lb.amylolyticus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTA 1303 Lb.jensenii CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1360 Lb.gasseri CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGG------- 1016 Lb.delbrueckii CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCG------------------------ 1360 L.salivarius.ATCC TCGGAATCGCTAGTAATCGCGAATCAGCATGTCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1407 L.paracasei.10C TCGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1377 L.fructivorans TTGGAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGCATGCCACGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTA 1420 L.fermentum TCGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCATGC---------------------------- 1393 Lb.cremoris TCGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTA 1403 L.rhamnosus.ATCC AATACATAGCTTGTTGGCGGCAGACGCGGGGA---------------------------- 537 L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. ------------------------------------------------------------ FSnhA. ------------------------------------------------------------ Lb.acidophilus ------------------------------------------------------------ L.helveticus CACACCGCCCGTCACACCATGGAAGTCTGCAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1434 Lb.crispatus CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1436 Lb.ultunensis CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAACGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCG---A 1422 L.amylovorus.DSM CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1438 Lb.amylolyticus CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAATGCCCGAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1360 Lb.jensenii CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGTCGGTGAGGTAACCT---T 1417 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii ------------------------------------------------------------ L.salivarius.ATCC CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGCCGGTGGGGTAACCG---C 1464 L.paracasei.10C CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCGAAGCCGGTGGCGTAACCCTTTT 1437 L.fructivorans CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGTCGGTTAGGTAACCT---T 1477 L.fermentum ------------------------------------------------------------ Lb.cremoris CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTTTGTAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT--TT 1461 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. ------------------------------------------------------------ FSnhA. ------------------------------------------------------------ Lb.acidophilus ------------------------------------------------------------ L.helveticus CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1494 Lb.crispatus CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1496 Lb.ultunensis AAGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1482 L.amylovorus.DSM CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1498 Lb.amylolyticus CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1420 Lb.jensenii TGG-AGCCAGCCGCCTAAGGTGGGACAGATGATTAGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1476 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii ------------------------------------------------------------ L.salivarius.ATCC AAGGAGCCAGCCGTCTAAGGTGGGACAGATGATTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1524 L.paracasei.10C AGGGAGCGAGCCGTCTAAGGTGGGACAAATGATTAGGG-GAAGTCG-AACAAG------- 1488 L.fructivorans TTGGAGCCTGCCGCCTAAGGTGGGACAGATGATTAGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1537 L.fermentum ------------------------------------------------------------ Lb.cremoris NAGGAAGGAGCNGTCTAAGGNAGGANAGANGA---------------------------- 1493 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. --------------------------------------------------- FSnhA. --------------------------------------------------- Lb.acidophilus --------------------------------------------------- L.helveticus TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGATC---------- 1516 Lb.crispatus TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGA------------ 1516 Lb.ultunensis TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGA------------ 1502 L.amylovorus.DSM TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTG-------------- 1516 Lb.amylolyticus TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGATCA--------- 1443 Lb.jensenii TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGATCAC-------- 1500 Lb.gasseri --------------------------------------------------- Lb.delbrueckii --------------------------------------------------- L.salivarius.ATCC TAGGAGAACCTGCGGCTGGATCACCTCCTTAAGCTTGGATCCCGGG----- 1570 L.paracasei.10C -------------------------------AGCGAG----CCG------- 1497 L.fructivorans TAGGAGAACCTG------------------CGGCTGGATCACCTCCTTTNT 1570 L.fermentum --------------------------------------------------- Lb.cremoris --------------------------------------------------- L.rhamnosus.ATCC ---------------------------------------------------
156
L.casei.XF5-2 --------------------------------------------------- CLUSTAL 2.1 Multiple Sequence Alignments Sequence type explicitly set to Protein Sequence format is Pearson Sequence 1: FSnh1. 1312 aa Sequence 2: FSnhA. 1321 aa Sequence 3: L.salivarius.ATCC 1570 aa Sequence 4: L.fructivorans 1570 aa Sequence 5: Lb.delbrueckii 1360 aa Sequence 6: Lb.jensenii 1500 aa Sequence 7: Lb.crispatus 1516 aa Sequence 8: Lb.amylolyticus 1443 aa Sequence 9: Lb.cremoris 1493 aa Sequence 10: Lb.ultunensis 1502 aa Sequence 11: Lb.acidophilus 1359 aa Sequence 12: Lb.gasseri 1016 aa Sequence 13: L.amylovorus.DSM 1516 aa Sequence 14: L.rhamnosus.ATCC 537 aa Sequence 15: L.casei.XF5-2 560 aa Sequence 16: L.fermentum 1393 aa Sequence 17: L.helveticus 1516 aa Sequence 18: L.paracasei.10C 1497 aa Start of Pairwise alignments Aligning Sequences (1:2) Aligned. Score: 98 Sequences (1:3) Aligned. Score: 87 Sequences (1:4) Aligned. Score: 74 Sequences (1:5) Aligned. Score: 74 Sequences (1:6) Aligned. Score: 74 Sequences (1:7) Aligned. Score: 74 Sequences (1:8) Aligned. Score: 74 Sequences (1:9) Aligned. Score: 74 Sequences (1:10)Aligned. Score: 74 Sequences (1:11)Aligned. Score: 74 Sequences (1:12)Aligned. Score: 74 Sequences (1:13)Aligned. Score: 74 Sequences (1:14)Aligned. Score: 48 Sequences (1:15)Aligned. Score: 46 Sequences (1:16)Aligned. Score: 74 Sequences (1:17)Aligned. Score: 74 Sequences (1:18)Aligned. Score: 74 Sequences (2:3) Aligned. Score: 74 Sequences (2:4) Aligned. Score: 86 Sequences (2:5) Aligned. Score: 74 Sequences (2:6) Aligned. Score: 75 Sequences (2:7) Aligned. Score: 75 Sequences (2:8) Aligned. Score: 73 Sequences (2:9) Aligned. Score: 75 Sequences (2:10)Aligned. Score: 74 Sequences (2:11)Aligned. Score: 74 Sequences (2:12)Aligned. Score: 75 Sequences (2:13)Aligned. Score: 74 Sequences (2:14)Aligned. Score: 48 Sequences (2:15)Aligned. Score: 47 Sequences (2:16)Aligned. Score: 74 Sequences (2:17)Aligned. Score: 75 Sequences (2:18)Aligned. Score: 75
157
Lampiran 5. Rendemen dan Yield Isolasi Pati Resisten
Sampel Ulangan RS Analisis
RS solasi Yield Rata-rata
Rendemen Stdev Rata-rata
Yield Stdev
RS2 (tepung pisang kontrol)
1 40.21 40.19 99.96 40.33 0.17 40.27 0.16 2 40.45 40.34 99.74
RS2 (tepung pisang fermentasi spontan)
1 39.01 39.71 101.79 38.70 0.45 37.78 5.94 2 38.38 35.84 93.39
RS3 (tepung pisang dua siklus retrogradasi)
1 39.27 38.65 98.42 39.13 0.20 38.05 1.69 2 38.99 37.44 96.03
RS3 (tepung pisang fermentasi spontan - dua siklus retrogradasi)
1 42.47 42.09 99.09 42.67 0.28 42.17 0.36
2 42.86 42,25 98.58
158
Lampiran 6. Hidrolisis Pati Resisten oleh Asam Lambung Artifisial
Blanko glukosa ABS kadar glukosa ABS
0.05 0.196 0.5 0.196 0.1 0.416 1.0 0.416 0.15 0.643 1.5 0.643 0.2 0.841 2.0 0.841 0.25 1.063 2.5 1.063
0,1 g/10ml = 100mg/10ml = 10mg/ml
Sampel % RS Terhidrolisis pada Jam Ke-
pH 0.5 1 2 4 6 RS Tepung Pisang Kontrol
1 3,07 3,07 3,63 3,07 4,93 2 1,12 1,3 13,77 5,4 7,81 2 1,12 1,3 13,77 5,4 7,81 3 1,49 14,33 14,33 0,56 0,84 4 1,4 2,05 3,16 3,72 5,4 5 1,3 2,05 3,16 8 15,81
RS Tepung Pisang Fermentasi
1 6,18 0,96 21,04 0,37 11,39 2 2,32 2,51 10,81 0,93 2,12 3 1,35 0,19 4,05 2,6 13,7 4 3,47 1,16 5,98 1,12 12,35 5 4,82 1,35 24,12 3,16 21,04
RS Tepung Pisang 2x Retrogradasi
1 2,65 16,26 11,72 12,93 28,74 2 6,81 18,91 13,99 16,37 36,68 3 7,56 29,12 18,15 15,63 55,59 4 7,94 32,14 20,04 23,26 65,42 5 44,24 27,23 13,61 18,14 55,97
RS Tepung Pisang Fermentasi Spontan dan 2x Retrogradasi
1 26,83 15,21 13,19 15,26 26,16 2 3,35 14,31 11,85 17,21 37,12 3 2,68 20,57 10,29 15,44 31,98 4 5,59 23,48 19,01 24,84 41,59 5 6,71 18,11 18,78 24,56 39,58
y = 0,4318x - 0,0159 R² = 0,9996
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3
AB
S
KOnsentrasi gula (mg)
159
Lampiran 7. Indeks Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang
Sampel Ulangan Jam Ke
Logaritmik Bakteri
Lactobacillus Bifidobacteria Clostridia Bacteroides Aerob
Mesofilik RS native 1 0 6,11 7,02 7,76 7,62 8,05
2
6,26 7,12 7,74 7,71 8,08
6,19 7,07 7,75 7,67 8,07
1 4 8,05 8,49 6,35 8,08 8,73
2
8,12 8,51 6,32 8,05 8,76
8,08 8,50 6,33 8,06 8,74
1 10 8,76 8,51 6,70 8,49 9,08
2
8,78 8,49 6,08 8,51 9,09
8,77 8,50 6,49 8,50 9,09
1 24 8,53 9,23 7,40 9,34 9,63
2
8,63 9,23 7,78 9,12 9,55
8,58 9,23 7,63 9,25 9,59
RS FSO2x 1 0 6,26 7,12 6,90 7,62 7,81
2
6,03 7,08 6,74 7,71 7,84
6,16 7,10 6,83 7,67 7,83
1 4 8,33 8,61 7,04 7,74 8,84
2
8,35 8,63 7,08 7,73 8,86
8,34 8,62 7,06 7,73 8,85
1 10 9,15 9,38 7,53 7,15 9,59
2
9,08 9,15 7,00 7,08 9,42
9,12 9,28 7,34 7,12 9,51
1 24 8,91 9,15 7,46 7,76 9,36
2
8,96 9,30 7,49 7,85 9,48
8,94 9,23 7,48 7,81 9,43
Kontrol 1 0 6,21 7,00 6,89 7,64 7,80
2
6,20 7,09 6,93 7,71 7,87
6,21 7,05 6,91 7,68 7,84
1 4 7,40 7,08 7,59 8,45 8,55
2
7,36 7,11 7,48 8,44 8,54
7,38 7,10 7,54 8,45 8,54
1 10 7,60 7,85 7,74 9,05 9,11
2
7,52 7,94 7,71 9,07 9,13
7,56 7,90 7,73 9,06 9,12
1 24 7,34 7,76 7,40 9,34 9,36
2
7,36 7,76 7,41 9,12 9,16
7,35 7,76 7,41 9,25 9,27
160
Lampiran 8. Profil SCFA Menggunakan Analisis Gas Chromatography (GC)
Sampel Area Sampel Area Standar mM VFA
1A (Cairan RS2) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid
998
1197 0
3184 6468 9533
5.2240 2.5009 0.0000
2A (Padatan RS2) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid
846
1080 0
3184 6468 9533
4.4284 2.5564 0.0000
1B (Cairan RS3) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid
1394 1020
0
3184 6468 9533
7.2969 2.1311 0.0000
2B (Padatan RS3) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid
1049
0 109
3184 6468 9533
5.4910 0.0000 0.2299
161
Lampiran 9. Indeks Glikemik Tepung Pisang IG TEPUNG PISANG ALAMI
Nama Luas Kurva Sampel
Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG
Dedy 3405,0 5370,0 63,41 76,65 39,37 Tinggi Yati 5550,0 6180,00 89,81 65,84 3,16 Napsiah 13230,0 7200,00 183,75 Zahroni 3360,0 4890,00 68,71 Yuningsih 3675,0 5385,00 68,25 Nurlela 2940,0 6420,00 45,79 Minna 2175,0 4170,00 52,16 Hermawati 2280,0 3300,00 69,09 Novianti 1575,0 2535,00 62,13 Ana Amelia 2655,0 4185,00 63,44
IG TEPUNG PISANG FERMENTASI
Nama Luas Kurva Sampel
Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG
Dedy 3615,0 5820,0 62,11 66,25 13,37 Sedang Yati 3300,0 4650,0 70,97 66,03 4,47
Napsiah 3555,0 6450,0 55,12 Zahroni 2835,0 4305,0 65,85
Yuningsih 2835,0 4350,0 65,17 Nurlela 3600,0 5940,0 60,61 Minna 3465,0 3660,0 94,67 Hermawati 2745,0 3750,0 73,20 Novianti 1830,0 4230,0 43,26 Ana Amelia 2445,0 3420,0 71,49
IG TEPUNG PISANG RETROGRADASI 1X
Nama Luas Kurva Sampel
Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG
Dedy 4350,0 5370,0 81,01 66,53 20,65 Sedang Yati 3915,0 6180,0 63,35 61,98 3,47 Napsiah 4725,0 7200,0 65,63 Zahroni 3195,0 4890,0 65,34 Yuningsih 3300,0 5385,0 61,28 Nurlela 2970,0 6420,0 46,26 Minna 1994,0 4170,0 47,82 Hermawati 1874,0 3300,0 56,79 Novianti 3000,0 2535,0 118,34 Ana Amelia 2490,0 4185,0 59,50
162
IG TEPUNG PISANG RETROGRADASI 2X
Nama Luas Kurva Sampel
Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG
Dedy 2640,0 5820,0 45,36 53,63 15,30 Rendah Yati 3135,0 4650,0 67,42 51,96 8,87 Napsiah 5175,0 6450,0 80,23 Zahroni 2430,0 4305,0 56,45 Yuningsih 3105,0 4350,0 71,38 Nurlela 2640,0 5940,0 44,44 Minna 1095,0 3660,0 29,92 Hermawati 1950,0 3750,0 52,00 Novianti 1950,0 4230,0 46,10 Ana Amelia 1471,0 3420,0 43,01
IG TEPUNG PISANG FERMENTASI- RETROGRADASI 2X
Nama Luas Kurva Sampel
Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG
Dedy 3195,0 4890,0 65,34 61,63 11,98 Sedang Yati 2400,0 3975,0 60,38 60,76 4,36 Napsiah 2745,0 5550,0 49,46
Zahroni 3900,0 6675,0 58,43
Yuningsih 3840,0 4500,0 85,33
Nurlela 3240,0 6060,0 53,47
Minna 2310,0 5340,0 43,26
Hermawati 3825,0 5190,0 73,70 Novianti 3015,0 4785,0 63,01 Ana Amelia 3540,0 5535,0 63,96
IG TEPUNG PISANG FERMENTASI- RETROGRADASI 2X
Nama Luas Kurva Sampel
Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG
Dedy 2130,0 4890,0 43,56 46,69 10,03 Rendah Yati 1830,0 3975,0 46,04 45,72 2,92
Napsiah 3120,0 5550,0 56,22 Zahroni 3405,0 6675,0 51,01 Yuningsih 3060,0 4500,0 68,00 Nurlela 2820,0 6060,0 46,53 Minna 1800,0 5340,0 33,71 Hermawati 1800,0 5190,0 34,68 Novianti 2070,0 4785,0 43,26
Ana Amelia 2430,0 5535,0 43,90