nurhayati 2011.pdf

190
PENINGKATAN SIFAT PREBIOTIK TEPUNG PISANG DENGAN INDEKS GLIKEMIK RENDAH MELALUI FERMENTASI DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN NURHAYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: seno-suwikatmono

Post on 30-Nov-2015

393 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nurhayati 2011.pdf

i

PENINGKATAN SIFAT PREBIOTIK TEPUNG PISANG DENGAN INDEKS GLIKEMIK RENDAH MELALUI

FERMENTASI DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN

NURHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 2: Nurhayati 2011.pdf

ii

Page 3: Nurhayati 2011.pdf

iii

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Peningkatan Sifat

Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui

Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan adalah karya saya

dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk

apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2011

Nurhayati

NRP F261070101

Page 4: Nurhayati 2011.pdf

iv

Page 5: Nurhayati 2011.pdf

v

ABSTRACT

NURHAYATI. Improving prebiotic properties of low glycemic index-banana flour by fermentation and autoclaving-cooling cycle. Under direction of BETTY SRI LAKSMI JENIE, HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM and SRI WIDOWATI.

Banana flour is a potential prebiotic source due to its resistant starch (RS) content. In this study the formation of RS type III (RS3) in banana var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) flour was increased in order to improve the prebiotic properties. RS-rich banana flour can be processed further to produce various kinds of functional foods. The modification process of banana flour production was conducted by a spontaneous submerged fermentation of the banana slices for 24 h at room temperature followed by one or two cycles of autoclaving (121oC, 15 min) and cooling process (4oC, 24 h). The results showed that the modification process influenced the physicochemical characteristics of banana flour. Combination of spontaneous fermentation with two cycles of autoclaving-cooling significantly increased the RS content of the modified flour about four times (28.88%). The spontaneous fermentation produced banana flour with higher amylose content. X-ray diffraction pattern of var agung semeru banana flour could be categorised as C- type granule. The native banana flour showed higher crystalinity (18.74% - 20.08%) than the modified banana flour (6.98% - 9.52%). Phenotypic and genotypic identification showed that Lactobacillus sp associated with the spontaneous fermentation of var agung semeru banana were identified as homofermentative and heterofermentative lactic acid bacteria. They were Lactobacillus salivarius and L. fructivorans. Controlled fermentation using L. salivarius FSnh1 was conducted to produce an equivalent RS content with 24 h spontaneous fermentation. Banana slices were fermented by L. salivarius FSnh1 for 12 and 24 h at room temperature, followed by two cycles of autoclaving-cooling process. The result showed that controlled fermentation using L. salivarius FSnh1 was able to reduce the fermentation time from 24 h by spontaneous fermentation to 12 h and there fore could be recommended to replace the spontaneous fermentation. The modified banana flour showed better prebiotic properties than the native banana flour. The RS3 isolated from modified banana flour was more stable to hydrolysis performed by artificial human gastric juice, able to modulate the growth of lactobacilli and bifidobacteria, produce butyric acid and increase prebiotic index (PI) score (5.14) than RS2 isolated from native banana flour (4.02). The modification process could also produced lower glycemic index (low GI)-banana flour than native banana flour (moderate GI).

Keyword: modified banana flour, fermentation, resistant starch, prebiotic properties, Lactobacillus salivarius, Lactobacillus fructivorans

Page 6: Nurhayati 2011.pdf

vi

Page 7: Nurhayati 2011.pdf

vii

RINGKASAN

NURHAYATI. Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan. Dibimbing oleh BETTY SRI LAKSMI JENIE, HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan SRI WIDOWATI.

Tepung pisang berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional

karena mengandung komponen prebiotik yaitu pati resisten tipe II (RS2). Potensi

RS2 untuk dikembangkan sebagai prebiotik memiliki kelemahan karena sifat

resisten RS akan hilang jika pati mengalami gelatinisasi selama pengolahan. Oleh

karena itu dilakukan modifikasi proses pembuatan tepung pisang kaya pati

resisten tipe III (RS3) yang dapat bersifat lebih stabil selama pengolahan melalui

fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-pendinginan.

Proses modifikasi dilakukan dengan cara fermentasi spontan selama 24 jam

pada suhu ruang yang dikombinasi dengan satu atau dua siklus pemanasan

bertekanan (121 oC, 15 menit) dan pendinginan (4 oC selama 24 jam). Dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan kadar RS lebih banyak

daripada satu siklus retrogradasi. Kadar RS tepung pisang yang tinggi hingga

empat kali (dari 7.24% menjadi 28.88% bk) dihasilkan dari modifikasi fermentasi

spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Granula pati yang

pecah akibat proses gelatinisasi selama pemanasan bertekanan kehilangan sifat

birefringence dan tingkat kristalinitas tepung pisang menurun dari 18.74 - 20.08%

menjadi 6.98 - 9.52%. Hasil difraksi sinar X menunjukkan granula pati pisang var

agung semeru adalah granula tipe C yaitu campuran granula tipe A dan tipe B

yang memiliki puncak difraksi sinar X pada sudut 17o dan 24o.

Fermentasi spontan berperan dalam meningkatkan kandungan amilosa yang

selanjutnya berubah menjadi amilosa teretrogradasi (RS3) akibat proses

retrogradasi. Fermentasi spontan 24 jam didominasi oleh pertumbuhan bakteri

asam laktat (BAL) dengan jumlah populasi sekitar 106 CFU/ml. Hasil identifikasi

fenotip menunjukkan bahwa BAL yang tumbuh memiliki karakteristik sel bentuk

batang yang tumbuh optimal pada suhu 35 oC. BAL yang tumbuh lebih dominan

(isolat BAL FSnh1) memiliki bentuk koloni bulat sedang, berwarna putih susu

dengan elevasi cembung, tidak membentuk gas (homofermentatif) serta dapat

Page 8: Nurhayati 2011.pdf

viii

tumbuh pada suhu 45 oC tetapi tidak tumbuh pada suhu 15 oC, sedangkan BAL

yang tumbuh kurang dominan (isolat BAL FSnhA) memiliki bentuk koloni bulat

kecil berwarna putih bening dengan elevasi seperti tetesan, membentuk gas

(heterofermentatif) serta dapat tumbuh pada suhu 15 oC maupun 45 oC.

Identifikasi genotip berdasarkan sekuen gen pengkode 16S rRNA menunjukkan

isolat BAL FSnh1 dan isolat BAL FSnhA termasuk famili Lactobacillaceae

dengan genus Lactobacillus. Isolat BAL FSnh1 memiliki similaritas dengan L.

salivarius dan isolat BAL FSnhA memiliki similaritas dengan L. fructivorans.

L. salivarius digunakan sebagai starter dalam pembuatan tepung pisang

kaya RS. Fermentasi terkendali pisang oleh L. salivarius FSnh1 selama 12 jam

meningkatkan kadar amilosa tepung pisang. Fermentasi 12 jam diikuti dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS tepung pisang lebih

tinggi (28.53% bk) daripada fermentasi 24 jam (25.72% bk). Penggunaan starter

L. salivarius FSnh1 mampu mempersingkat waktu fermentasi menjadi 12 jam

sehingga dapat direkomendasikan sebagai pengganti fermentasi spontan.

RS3 tepung pisang modifikasi terbukti dapat memenuhi beberapa

persyaratan sebagai kandidat prebiotik dengan sifat yang lebih baik di antaranya

meliputi ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung, mampu meningkatkan

pertumbuha laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan bakteri

patogen, menghasilkan asam lemak rantai pendek terutama asam butirat dan

memiliki indeks prebiotik lebih tinggi daripada RS2 tepung pisang kontrol. RS3

bersifat selektif terhadap pertumbuhan Lactobacillus acidophilus, EPEC dan

Salmonella Typhimurium. Persentase pertumbuhan EPEC lebih rendah daripada

L. acidophilus. Persentase pertumbuhan yang negatif untuk S. Typhimurium

menunjukkan bahwa RS3 tidak dapat digunakan oleh bakteri tersebut.

Nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang dipengaruhi oleh jumlah siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses satu siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan tidak menyebabkan perubahan nilai IG tepung pisang yaitu IG

sedang, sedangkan proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan baik

tanpa maupun dengan fermentasi mampu menurunkan nilai IG tepung pisang dari

IG sedang menjadi IG rendah.

Page 9: Nurhayati 2011.pdf

ix

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh disertasi ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh disertasi ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

Page 10: Nurhayati 2011.pdf

x

Page 11: Nurhayati 2011.pdf

xi

PENINGKATAN SIFAT PREBIOTIK TEPUNG PISANG DENGAN INDEKS GLIKEMIK RENDAH MELALUI

FERMENTASI DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN

NURHAYATI

Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 12: Nurhayati 2011.pdf

xii

Penguji pada Ujian Tertutup:

• Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc

• Dr. Ir. Utut Widyastuti, MS

Penguji pada Ujian Terbuka:

• Prof. Dr. Ir. Suminar Achmadi

• Dr. Ir. Novik Nurhidayat

Page 13: Nurhayati 2011.pdf

xiii

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah Melalui Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

Nama : Nurhayati

NRP : F261070101

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Ketua

Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Dr. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc Anggota Anggota

Mengetahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah

Tanggal ujian : 13 Desember 2011 Tanggal Lulus : ……………………

Page 14: Nurhayati 2011.pdf

xiv

Page 15: Nurhayati 2011.pdf

xv

HAL PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan teruntuk orang tuaku, keluargaku,

para guruku, saudaraku dan sahabatku.

Page 16: Nurhayati 2011.pdf

xvi

Page 17: Nurhayati 2011.pdf

xvii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya dengan terselesaikannya disertasi yang berjudul ”Peningkatan Sifat Prebiotik Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah melalui Fermentasi dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan”. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Komisi Pembimbing; Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum dan Dr. Ir. Sri Widowati, M.App.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang tulus, arif dan bijak membimbing studi penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada DIKTI yang telah mendanai penelitian ini melalui penelitian Hibah Kompetitif sesuai Prioritas Nasional tahun 2009/2010 yang diperoleh Prof. Dr. Ir. B. Sri Laksmi Jenie, MS, serta Hibah Penelitian Disertasi Doktor tahun 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz dan Dr. Ir. Jayus selaku penguji luar komisi pada ujian prakualifikasi lisan. Terima kasih kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Dr. Ir. Utut Wydiastuti, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Suminar Setiati Achmadi, M.Sc dan Dr. Ir. Novik Nurhidayat selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Pangan IPB, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dirjen DIKTI dan pengelola beasiswa I-MHERE Universitas Jember yang telah memberikan beasiswa S3 kepada penulis serta kepada civitas akademika Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember atas dukungannya selama studi penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa Ilmu Pangan khususnya Angkatan 2006, 2007 dan 2008 atas kebersamaannya serta kepada teknisi yang telah membantu selama di Laboratorium.

Kepada kedua orangtua ibu dan bapak tercinta, penulis sampaikan terima kasih atas iringan doa, restu dan kasih sayang yang meneguhkan ruh pada setiap nafas dan kesuksesan penulis. Terima kasih kepada suami tercinta (Dedy Eko Rahmanto, S.TP, M.Si) dan ananda tersayang (Aisyah Putri Nur Rahmanto) serta adinda terkasih (Nurma Handayani) atas doa dan alunan irama cinta yang menjadikan penulis mampu memelodikan bahtera hidup untuk senantiasa menggapai ridho Allah. Terima kasih kepada keluarga bapak dan ibu mertua atas iringan doa dan restu untuk kesuksesan penulis.

Kesempurnaan merupakan hal yang amat didambakan, meskipun Allah sematalah yang merupakan Dzat Maha Sempurna. Oleh karena itu adanya saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini dengan senang hati akan penulis rekomendasikan pada karya berikutnya. Dengan penuh harapan, semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi pembaca serta kemaslahatan umat.

Bogor, Desember 2011 Penulis

Page 18: Nurhayati 2011.pdf

xviii

Page 19: Nurhayati 2011.pdf

xix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 April 1979 di Desa Krai Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur sebagai putri pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Satiman dan Ibu Sunarmi. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Darma Wanita Desa Krai pada tahun 1983-1985, SD Negeri Krai 02 pada tahun 1985-1991, SMP Negeri I Yosowilangun pada tahun 1991-1994, SMU Negeri I Yosowilangun pada tahun 1994-1997. Penulis menempuh pendidikan sarjana dengan gelar S.TP pada Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (1997-2001) dan sejak April 2004 menjadi sarana penulis mengabdikan sebagian aktivitas keilmuan sebagai staf pengajar. Sebelumnya penulis pernah bekerja sebagai staf pengajar mental aritmatika Lembaga Pendidikan Kazoeru Surya/Primalpha (2001-2002). Penulis juga pernah menjadi staf laboran (QC dan R&D) Tepung Beras Rose Brand PT. Alu Aksara Pratama Mojokerto CV Sungai Budi-Bumi Waras (2003-2004). Pada bulan April 2005 penulis menikah dengan Dedy Eko Rahmanto, S.TP.

Tahun 2007 penulis memperoleh gelar M.Si dari Program Studi Ilmu Pangan SPs IPB melalui beasiswa BPPS (2005-2007). Bulan Agustus 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 pada program studi yang sama melalui beasiswa I-MHERE Universitas Jember. Selama studi S3 penulis berperan aktif pada pelatihan maupun seminar ilmiah. Penulis telah mempresentasikan sebagian hasil penelitian disertasi di antaranya pada Seminar International Society for Nutraceuticals & Functional Food 11 – 15 Oktober 2010 di Bali dengan judul poster Effect of lactic acid bacteria fermentation on the plantain (var agung semeru) flour. Penulis mendapatkan juara dua pada Graduate Research Paper Competition (GRPC) tahun 2011 dengan judul Improving prebiotic properties of banana flour by modification process serta mempublikasikannya pada Seminar Nasional PATPI 15 – 17 September 2011 di Manado. Penulis juga mempresentasikan makalah dengan judul Low glycemic index modified plantain flour as functional food pada International Food Conference 28 – 29 Oktober di Surabaya. Bagian dari disertasi telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah terakreditasi yaitu Jurnal Ilmu Dasar FMIPA Universitas Jember SK Dikti No. 65a-DIKTI/Kep/2008 Vol. 12 No. 2 Tahun 2011 (210-225) dengan judul Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from spontaneous fermentation of unripe var agung semeru banana (Musa paradisiaca formatypica). Artikel dengan judul Physicochemical characteristic of modified banana flour by fermentation and autoclaving-cooling process sedang diajukan ke jurnal Agritech FTP-UGM dan Artikel dengan judul Prebiotic properties of modified banana flour as functional foods akan diajukan ke jurnal Internasional Food Science and Technology.

Page 20: Nurhayati 2011.pdf

xx

Page 21: Nurhayati 2011.pdf

xxi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxvii

1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar belakang ................................................................................................ 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 5 Lingkup Penelitian ......................................................................................... 5 Daftar Pustaka ................................................................................................ 8

2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 9 Tepung Pisang ................................................................................................ 9 Karakteristik dan Modifikasi Pati .................................................................. 12 Indeks Glikemik ............................................................................................. 15 Pati Resisten dan Sifat Prebiotik .................................................................... 16 Fermentasi Bakteri Asam Laktat pada Pangan Berpati .................................. 21 Identifikasi Bakteri Asam Laktat ................................................................... 22 Daftar Pustaka ................................................................................................ 24

3. METODOLOGI PENELITIAN SECARA UMUM .................................. 29 Waktu dan Tempat ......................................................................................... 29 Alat dan Bahan ............................................................................................... 29 Tahap Penelitian ............................................................................................. 30 Daftar Pustaka ................................................................................................ 34

4. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG TERMODI- FIKASI SECARA FERMENTASI SPONTAN DAN SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN ................................... 35 Abstrak ........................................................................................................... 35 Abstract .......................................................................................................... 35 Pendahuluan ................................................................................................... 36 Bahan dan Metode .......................................................................................... 37 Hasil dan Pembahasan .................................................................................... 40 Kesimpulan ..................................................................................................... 48 Daftar Pustaka ................................................................................................ 49

5. IDENTIFIKASI FENOTIP DAN GENOTIP BAKTERI ASAM LAKTAT YANG BERPERAN SELAMA FERMENTASI SPONTAN PISANG VAR AGUNG SEMERU (Musa paradisiaca formatypica) ...... 53 Abstrak ........................................................................................................... 53 Abstract .......................................................................................................... 53 Pendahuluan ................................................................................................... 54

Page 22: Nurhayati 2011.pdf

xxii

Bahan dan Metode ......................................................................................... 55 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 58 Kesimpulan .................................................................................................... 65 Daftar Pustaka ................................................................................................ 65

6. PENINGKATAN PATI RESISTEN TEPUNG PISANG MELALUI FERMENTASI Lactobacillus salivarius FSnh1 DAN DUA SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN ................................... 69 Abstrak ........................................................................................................... 69 Abstract .......................................................................................................... 69 Pendahuluan ................................................................................................... 70 Bahan dan Metode ......................................................................................... 71 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 73 Kesimpulan .................................................................................................... 76 Daftar Pustaka ................................................................................................ 77

7. EVALUASI SIFAT PREBIOTIK DAN INDEKS GLIKEMIK TEPUNG PISANG MODIFIKASI .............................................................................. 79 Abstrak ........................................................................................................... 79 Abstract .......................................................................................................... 79 Pendahuluan ................................................................................................... 80 Bahan dan Metode ......................................................................................... 81 Hasil dan Pembahasan ................................................................................... 86 Kesimpulan .................................................................................................... 94 Daftar Pustaka ................................................................................................ 95

8. PEMBAHASAN UMUM ............................................................................. 99

9. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 109

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 111

LAMPIRAN ...................................................................................................... 115

Page 23: Nurhayati 2011.pdf

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Sifat fisik dan kimia tepung pisang dari beberapa varietas .............. 10

Tabel 2.2 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang ........................................................... 11

Tabel 2.3 Efek fisiologis dan klaim manfaat kesehatan oligosakarida ............. 20

Tabel 4.1 Nilai pH, konsentrasi asam laktat dan tekstur pisang selama fermentasi spontan pisang .................................................................. 41

Tabel 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi proksimat tepung pisang .. ............ 42

Tabel 4.3 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi pati dan daya cerna tepung pisang.. ............................................................................................. 43

Tabel 5.1 Karakteristik bakteri asam laktat yang diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru.. .................................................... 59

Tabel 5.2 Pola fermentasi isolat BAL FSnh1dan isolat BAL FSnhA pada Kit API 50CHL ................................................................................ 60

Tabel 5.3 Hasil analisis sekuen DNA Pengkode 16SrRNA dari isolat BAL FSnh1 dan FSnhA menggunakan program BLAST-N.. .................. 62

Tabel 6.1 Populasi bakteri asam laktat, nilai pH dan konsentrasi asam laktat selama fermentasi pisang.. ................................................................. 73

Tabel 6.2 Pengaruh lama fermentasi pisang oleh L. salivarius FSnh1dan dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap

komposisi pati tepung pisang modifikasi .. ...................................... 75

Tabel 7.1 Populasi beberapa jenis mikroflora dan konsentrasi asam lemak rantai pendek selama fermentasi pati resisten oleh kultur fekal…... 91

Tabel 7.2 Indeks glikemik tepung pisang pada beberapa perlakuan modifikasi .......................................................................................... . 93

Page 24: Nurhayati 2011.pdf

xxiv

Page 25: Nurhayati 2011.pdf

xxv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Diagram alir penelitian ................................................................... 7

Gambar 2.1 Pisang Agung (Musa paradisiaca formatypica) ............................ 11

Gambar 2.2 Struktur granula pati yang menunjukkan daerah amorf dan semi kristal ............................................................................................. 14

Gambar 2.3 Granula pati (A) sebelum dan (B) sesudah difermentasi oleh bakteri asam laktat amilolitik ......................................................... 22

Gambar 2.4 Granula pati pada media MRS cair (A) sebelum diotoklaf , (B) sesudah diotoklaf, (C) setelah difermentasi oleh L. amylophilus GV6 (C) ......................................................................................... 22

Gambar 4.1 Populasi ( )bakteri pendegradasi pati; ( ) bakteri asam laktat dan ( ) total bakteri selama fermentasi spontan pisang ............. 40

Gambar 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan dua siklus siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap sifat birefringence granula pati pisang. (A) alami (kontrol); (B) fermentasi; (C) dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan; (D) fermentasi spontan dengan dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan pada perbesaran 400× ............................................... 45

Gambar 4.3 Pengaruh fermentasi spontan terhadap intensitas difraksi tepung pisang; ( ) kontrol, ( ) fermentasi ............................................. 47

Gambar 4.4 Pengaruh dua siklus siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terdapat intensitas difraksi tepung pisang. ( ) tanpa fermentasi spontan, ( ) dengan fermenasi spontan ....................................... 48

Gambar 5.1 Hasil elektroforesis agarosa 1% dan amplifikasi DNA pengkode 16S rRNA dengan PCR M = marka DNA 1kb DNAladder. a = BAL FSnh1; b = BAL FSnhA ................................................. 61

Gambar 5.2 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan

sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu famili Lactobacillacea ................................................. 63

Gambar 5.3 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA dari isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu genus Lactobacillus ...................................... 64

Gambar 6.1 Pengaruh lama fermentasi oleh Lactobacillus salivarius FSnh1 terhadap kadar amilosa tepung pisang modifikasi .................. ...... 74

Page 26: Nurhayati 2011.pdf

xxvi

Gambar 7.1 Hidrolisis (37 oC, 6 jam) pati resisten tepung pisang modifikasi: (A) kontrol (tanpa modifikasi), (B) dengan fermentasi spontan, (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan ............... .......... 87

Gambar 7.2 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) EPEC (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) EPEC (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-

pendinginan) .................................................................................. 88

Gambar 7.3 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) S. Typhimurium (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS),

( ) S. Typhimurium (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan) ............................................................... 88

Gambar 7.4 Indeks prebiotik pati resisten tepung pisang; ( ) tanpa modifikasi (kontrol), ( ) modifikasi secara fermentasi yang dikombinasikan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan ( ) kontrol negatif tanpa pati resisten ...................... 92

Page 27: Nurhayati 2011.pdf

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Analisis Statistika Tepung Pisang Fermentasi Spontan ................. 115

Lampiran 2. Derajat Kristalinitas ........................................................................ 125

Lampiran 3. Hasil Identifikasi Menggunakan Kit API 50 CHL ......................... 132

Lampiran 4. Sekuensing DNA Pengkode 16S rRNA ......................................... 134

Lampiran 5. Rendemen dan Yield Isolasi Pati .................................................... 157

Lampiran 6. Hidrolisis Pati Resisten oleh Asam Lambung Artifisial................. 158

Lampiran 7. Indeks Prebiotik Pati Resisten Pisang ............................................ 159

Lampiran 8. Profil SCFA Menggunakan Analisis Gas Chromatography (GC) 160

Lampiran 9. Indeks Glikemik Tepung Pisang .................................................... 162

Page 28: Nurhayati 2011.pdf

xxviii

Page 29: Nurhayati 2011.pdf

1

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan fungsional adalah makanan atau bahan pangan yang dapat

memberikan manfaat tambahan bagi kesehatan manusia di samping fungsi gizi

dasar pangan tersebut. Komponen pangan fungsional dapat berupa suatu

komponen gizi makro yang memiliki efek fisiologis spesifik seperti pati resisten

dan asam lemak n-3 atau suatu komponen gizi mikro yang asupannya lebih besar

dari asupan harian atau tidak bernilai gizi seperti mikroorganisme dan komponen

bioaktif tanaman (Roberfroid 2000).

Permintaan konsumen terhadap pangan fungsional semakin meningkat dan

mendapat respon positif dari produsen. Produsen makanan dan minuman

fungsional di Amerika Serikat, Eropa dan Asia Pasifik dapat meraih keuntungan

$72.3 milyar dan diperkirakan akan terus meningkat 5.7% per tahun dalam tahun

2007 sampai 2012. Pangan fungsional tersebut didominasi oleh pangan probiotik

dan prebiotik (Datamonitor Newswire 2008).

Pada tahun 2007 jumlah produk makanan prebiotik yang terlisensi lebih dari

400 macam serta lebih dari 20 perusahaan memproduksi oligosakarida dan serat

sebagai prebiotik. Produsen prebiotik di Eropa telah meraih keuntungan sebesar

€87 juta dan naik menjadi €179.7 juta pada tahun 2010 (FAO 2007). Peningkatan

pertumbuhan pasar prebiotik dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang

membuka kesempatan bagi ahli teknologi pangan untuk senantiasa mengkaji

sumber-sumber prebiotik baru yang dapat bermanfaat bagi status kesehatan

manusia.

Prebiotik adalah suatu unsur makanan yang mempunyai pengaruh

menguntungkan bagi manusia dan secara selektif menstimulasi pertumbuhan dan

atau aktivitas metabolik dari satu atau sejumlah terbatas bakteri probiotik dalam

kolon, sehingga memperbaiki kesehatan. Probiotik adalah bakteri hidup yang

diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh menguntungkan

bagi kesehatan baik pada manusia maupun binatang, dengan memperbaiki

Page 30: Nurhayati 2011.pdf

2

keseimbangan mikroflora intestinal (Gibson & Roberfroid 1995; Roberfroid

2007). Mikroflora yang digolongkan sebagai probiotik diantaranya adalah yang

memproduksi asam laktat yaitu laktobasili dan bifidobakteria serta bakteri jenis

lain. Beberapa produk komersial prebiotik adalah FOS (fruktooligo sakarida),

inulin, GOS (galaktooligosakarida), laktulosa dan laktitol. Bahan-bahan lain yang

memenuhi kriteria prebiotik yaitu xilosa, soya (rafinosa dan stakiosa kedelai),

serta manosa (Collin & Gibson 1999; FAO 2007).

Sekelompok bahan yang dalam beberapa tahun terakhir memperoleh

perhatian besar karena berpotensi sebagai kandidat prebiotik adalah pati resisten

(resistant starch/RS). Menurut Sajilata et al. (2006) RS adalah pati yang tidak

dapat dicerna oleh enzim pencernaan pada usus kecil sehingga dapat mencapai

usus besar dan dapat difermentasi oleh mikroflora pada usus besar. Kondisi

demikian akan mampu menstimulasi pertumbuhan mikroflora probiotik seperti

Lactobacillus spp dan Bifidobacteria dan dapat menurunkan pH usus sehingga

mencegah pertumbuhan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella sp,

Staphylococcus aureus, dan Clostridium sp. RS pati jagung yang dimodifikasi

secara kimiawi terbukti dapat menstimulasi pertumbuhan bifidobakteria.

Kadar amilosa yang tinggi berperan dalam meningkatkan kadar RS3 yang

terbentuk akibat proses retrogradasi. Tepung jagung dengan kadar amilosa 25%

memiliki kadar RS sebesar 3g/100g berat kering, sedangkan tepung jagung

dengan kadar amilosa 70% memiliki kadar RS sebesar 20 g /100 g berat kering

(Sajilata et al. 2006).

Pisang merupakan bahan pangan berpati yang mengandung amilosa sekitar 10

- 15%. Pisang menjadi salah satu komoditas pertanian dari 17 komoditas yang

diprioritaskan oleh Departemen Pertanian dalam pembangunan pertanian lima tahun

(2005 – 2010). Selain itu, pisang juga sebagai salah satu komoditas yang menjadi

mandat prioritas Puslitbang/Balai Besar di bawah Badan Litbang Pertanian serta

memiliki prospek untuk pengembangan agroindustri. Salah satu jenis pisang lokal

Indonesia adalah pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) yang

banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur dengan

tingkat produksi dapat mencapai lebih dari 57 ribu ton per tahun (RPJMD

Page 31: Nurhayati 2011.pdf

3

Lumajang 2009). Pisang var agung semeru adalah jenis pisang plantain yang

perlu diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi seperti dikukus, digoreng,

dikolak, diolah menjadi keripik dan bentuk olahan lainnya. Pisang plantain

memiliki kandungan pati lebih banyak sehingga baik untuk dikembangkan

menjadi tepung pisang sebagai bentuk produk setengah jadi (intermediet product)

yang dapat diolah lebih lanjut menjadi produk pangan.

Pengembangan tepung pisang menjadi pangan fungsional dapat berdasarkan

pertimbangan kandungan RS yang banyak ditemukan pada buah pisang mentah.

RS tersebut merupakan RS tipe II (RS2) yang bersifat mudah rusak selama proses

pengolahan terutama pemanasan basah yang menyebabkan gelatinisasi pati

sehingga struktur granula pati rusak dan kehilangan sifat resistennya terhadap

enzim pencernaan. Oleh karena itu dilakukan upaya meningkatkan kandungan RS

yang bersifat lebih stabil selama proses pengolahan. Soto et al. (2004) melaporkan

bahwa proses retrogradasi berulang pada pati pisang mampu meningkatkan pati

resisten tipe III (RS3) yang bersifat lebih stabil selama pengolahan.

Kadar RS pada pisang cavendish (Musa cavendishii) yang sudah tua tetapi

belum matang hanya sebesar 1.51 ± 0.1% berat kering. Kadar RS akan meningkat

sebesar dua kali jika pati pisang dihidrolisis dengan asam dan meningkat sebesar 7

– 10 kali jika pati pisang dipanaskan pada suhu 121 oC selama 1 jam (Saguilan et

al. 2005). Soto et al. (2007) juga melaporkan bahwa kadar RS meningkat pada

pati pisang jenis plantain dengan adanya pemanasan yang dikombinasi dengan

pendinginan (retrogradasi). Menurut Sajilata et al. (2006) pati teretrogradasi

(RS3) cenderung sulit dicerna dalam saluran pencernaan, akan tetapi dapat

digunakan oleh mikroflora usus sebagai sumber energi bagi pertumbuhannya.

Modifikasi proses secara fermentasi terkendali sudah dilakukan dengan

menggunakan kultur bakteri asam laktat (BAL) tunggal yaitu Lactobacillus

fermentum, L. plantarum kik dan kultur campuran kedua BAL tersebut. Kadar RS

tepung pisang lebih tinggi pada fermentasi tunggal selama 48 jam dengan

menggunakan kultur L. plantarum kik. Modifikasi proses pada irisan pisang

mentah juga dilakukan secara fermentasi spontan selama 24 jam yang

dikombinasi dengan satu siklus pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit) yang

Page 32: Nurhayati 2011.pdf

4

diikuti pendinginan (4 oC, 24 jam). Modifikasi tersebut mampu meningkatkan

kadar RS3 sekitar 2 kali lipat (Jenie et al. 2009).

Fermentasi secara spontan selama 24 jam berperan dalam meningkatkan

kandungan RS3 tepung pisang, akan tetapi memiliki kelemahan di antaranya ialah

jenis mikroba yang tumbuh dapat bervariasi dan sangat tergantung pada kondisi

dan lingkungan sehingga sulit dikontrol. Populasi awal BAL yang rendah dapat

menyebabkan bakteri pembusuk serta bakteri patogen tumbuh lebih cepat

mendahului pertumbuhan BAL (Antara et al. 2002). Penggunaan kultur starter

indigenus dari bahan aslinya lebih memudahkan dalam mengendalikan proses

fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang lebih baik dan sesuai dengan

karakteristik produk yang diinginkan (Antara 2010). Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menerapkan proses fermentasi terkendali

dengan menggunakan isolat BAL asal fermentasi spontan pisang dengan lama

fermentasi yang optimal. Dalam upaya peningkatan RS tepung pisang, dilakukan

modifikasi proses yang meliputi kombinasi fermentasi pisang dengan siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan (retrogradasi).

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang

dengan indeks glikemik rendah melalui proses fermentasi dan siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan. Secara rinci tujuan dari penelitian adalah:

1. Mengevaluasi karakteristik fisikokimia tepung pisang modifikasi secara

fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dalam upaya

meningkatkan pati resisten (RS) sebagai kandidat prebiotik terhadap.

2. Mengidentifikasi fenotip dan genotip isolat bakteri asam laktat yang berperan

selama fermentasi spontan pisang var agung semeru (Musa paradisiaca

formatypica).

3. Menentukan lama fermentasi pisang oleh isolat BAL indigenus dalam

pembuatan tepung pisang kaya RS.

Page 33: Nurhayati 2011.pdf

5

4. Mengevaluasi sifat prebiotik isolat RS dan indeks glikemik tepung pisang

modifikasi.

Manfaat Penelitian

Tepung pisang modifikasi yang dihasilkan dapat dikembangkan sebagai

pangan fungsional yang memiliki sifat prebiotik yang baik dan nilai indeks

glikemik rendah sehingga dapat dimanfaatkan bagi kesehatan pencernaan manusia

dan sebagai pangan diet. Galur bakteri asam laktat yang diperoleh dari fermentasi

spontan pisang var agung semeru dapat digunakan sebagai stater dalam

pembuatan tepung pisang modifikasi kaya RS sehingga proses fermentasi pisang

lebih terkendali.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah:

1. Proses modifikasi secara fermentasi spontan dan siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung

pisang.

2. Bakteri asam laktat yang berperan selama fermentasi spontan memiliki

karakteristik fenotip dan genotip yang spesifik.

3. Fermentasi pisang menggunakan starter isolat BAL indigenus dapat

mempersingkat waktu fermentasi dalam pembuatan tepung pisang modifikasi

kaya RS.

4. Proses modifikasi secara fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan mampu meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang.

5. Proses modifikasi secara fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan mampu menurunkan nilai indeks glikemik tepung pisang.

Page 34: Nurhayati 2011.pdf

6

Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan serangkaian penelitian untuk meningkatkan sifat

prebiotik tepung pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica)

melalui proses modifikasi secara fermentasi dan siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan (retrogradasi). Penelitian ini meliputi: 1) upaya meningkatkan kadar

pati resisten (RS) tepung pisang melalui modifikasi secara fermentasi spontan

yang dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan bertekanan-

pendinginan, 2) mengidentifikasi fenotip dan genotip BAL asal fermentasi

spontan pisang, 3) meningkatkan kadar RS tepung pisang melalui modifikasi

secara fermentasi oleh isolat BAL indigenus pisang yang dikombinasi dengan

pemanasan bertekanan-pendinginan (retrogradasi) dalam pembuatan tepung

pisang kaya RS, 4) mengisolasi RS tepung pisang yang dihasilkan serta

mengevaluasi sifat prebiotiknya dan nilai indeks glikemik tepung pisang

modifikasi. Diagram alir kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Page 35: Nurhayati 2011.pdf

7

Gambar 1.1 Diagram alir penelitian

Tahap I

Pengeringan dalam oven (50 oC, 16 jam), penepungan dan pengayakan dengan mesh 80

Analisis komposisi kimia, pati, daya cerna, RDS, SDS, RS, sifat birefringence, kristalinitas

Identifikasi fenotip isolat BAL: morfologi dan biokimia dengan kit API 50CHL

Tahap III

Satu dan dua siklus retrogradasi: pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit), pendinginan (4 oC, 24 jam)

Fermentasi terkendali selama 12 dan 24 jam dengan menggunakan BAL homofermentatif indigenus dan kombinasinya dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan

Pisang var agung semeru (umur panen 16 minggu dari masa pembungaan)

Pengupasan dan pemotongan pisang dengan ketebalan 5 mm

Fermentasi spontan (suhu kamar, 24 jam)

Pisang terfermentasi

Tahap IV

Tahap II

Lama fermentasi terkendali terbaik

Identifikasi genotip isolat BAL berdasarkan sekuensing gen 16S rRNA

Isolasi dan evaluasi sifat prebiotik RS (ketahanan terhadap asam lambung, indeks prebiotik, SCFA dan viabilitas probiotik) dan

evaluasi indeks glikemik (IG) tepung pisang

Isolasi BAL Tanpa fermentasi

spontan

Isolat BAL

Genus dan Strain

Tepung pisang kaya RS

RS dengan sifat prebiotik lebih baik dan tepung pisang dengan IG rendah

Page 36: Nurhayati 2011.pdf

8

DAFTAR PUSTAKA

Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Antara NS, Sujaya IN, Yokota A, Asano K, Aryanta WR, Tomita F. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol. 18: 255–262, 2002.

[DN] Datamonitor Newswire. 2008. Functional food. http://www.google.com. [13 Nov 2008].

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.

Gibson GR, Roberfroid M. 1995. Dietary modulating of the human colonic microbiota: introducting the concept of prebiotics. J Nutr. 125: 1401-1412. http:/www.ajcn.org/cgi/content/full/69/5/1052S [12 Nov 2008].

Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.

Roberfroid M. 2000. Concepts and strategy of functional food science: the european perspective. Am J Clin Nutr. 71(suppl):1660S–4S.

Roberfroid M. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited. The Journal of Nutrition Effect of Probiotics and Prebiotics.137:830S-837S [01 Juni 2008]

Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57:405-412.

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.

Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Bello-Perez LA. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499.

Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Bello-Perez LA. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.

Page 37: Nurhayati 2011.pdf

9

2. TINJAUAN PUSTAKA

Tepung Pisang

Tepung pisang merupakan produk antara yang cukup prospektif dalam

pengembangan sumber pangan lokal. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang

masih mentah yang sudah cukup tua namun belum masak. Manfaat pengolahan

pisang menjadi tepung antara lain yaitu lebih tahan disimpan, lebih mudah dalam

pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis untuk diversifikasi produk olahan,

mampu memberikan nilai tambah buah pisang, mampu meningkatkan nilai gizi

buah melalui proses fortifikasi selama pengolahan, dan menciptakan peluang

usaha untuk pengembangan agroindustri pedesaan.

Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada pembuatan

roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran makanan bayi. Pada

dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah menjadi tepung, tapi warna

tepung yang dihasilkan beragam, karena dipengaruhi oleh tingkat ketuaan buah,

jenis buah dan cara pengolahan. Buah pisang kepok mempunyai warna tepung

yang paling baik yaitu putih.

Ada beberapa jenis pisang yang warnanya berbeda-beda, tetapi hampir

semua yang dijual di pasar atau supermarket berwarna kuning ketika sudah

matang dengan bentuk mayoritas melengkung. Deptan (2009) mengklasifikasikan

jenis pisang menjadi empat yaitu:

1. Pisang yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak yaitu

Musa paradisiaca var.sapienium, M. nana L atau M. cavendishii, dan M.

sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, barangan dan mas.

2. Pisang yang dimakan setelah diolah yaitu M. paradisiaca formatypica atau

M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok.

3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan

daunnya. Misalnya pisang batu dan kluthuk.

4. Pisang yang diambil seratnya, misalnya pisang manila/abaca.

Page 38: Nurhayati 2011.pdf

10

Komposisi kimia buah pisang bervariasi tergantung pada varietasnya. Pada

umumnya daging buah pisang mengandung energi, protein, lemak, berbagai

vitamin serta mineral seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi zat gizi pisang per 100 g buah segar (Aurore et al. 2009)

Senyawa Komposisi

Energi (Kkal) 91.00 Air (g) 63.00 Karbohidrat (g) 24.30 Protein (g) 0.80 Lemak (g) 0.10 Ca (mg) 7.00 Mg (mg) 33.00 P (mg) 35.00 Fe (mg) 0.50 Cu (mg) 0.16 Β karoten ekuivalen (µg) 0.03 – 1.20 Vitamin B1 (mg) 0.05 Vitamin B2 (mg) 0.05 Vitamin B6 (mg) 0.07 Vitamin C (mg) 20.00 Asam pantotenat (mg) 0.37 Asam folat (mg) 0.16 Serotonin (mg) 45.00

Tingkat kematangan juga mempengaruhi komposisi kimia daging pisang

seperti kadar pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati.

Tingkat kematangan ini ditandai dengan perubahan warna kulit pisang seperti

yang dijelaskan pada Tabel 2.2.

Page 39: Nurhayati 2011.pdf

11

Tabel 2.2 Komposisi pati, gula dan suhu gelatinisasi berdasarkan tingkat kematangan warna kulit pisang (Zhang et al. 2005)

Tahap Warna Kulit

Komposisi (100 g berat segar) Suhu Gelatinisasi

(oC) Pati (%) Gula Reduksi (%)

Sukrosa (%)

1 Hijau 61.7 0.2 1.2 74 - 81 2 Hijau 58.6 1.3 6.0 75 - 80 3 Hijau ada kuning 42.4 10.8 18.4 77 - 81 4 Lebih hijau

daripada kuning 39.8 11.5 21.4 75 - 78

5 Lebih kuning daripada hijau

37.6 12.4 27.9 76 - 81

6 Kuning dengan ujung hijau

9.7 15.0 53.1 76 - 80

7 Kuning sempurna

6.3 31.2 51.9 76 - 83

8 Kuning sedikit noda cokelat

3.3 33.8 52.0 79 - 83

9 Kuning banyak noda cokelat

2.6 33.6 53.2 -

Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) merupakan jenis

pisang yang biasa dimakan setelah diolah misalnya dikukus, digoreng, direbus,

diolah menjadi kolak, kripik, dan lain sebagainya. Pisang var agung semeru

mempunyai ukuran buah yang besar dan bentuk yang menyerupai tanduk

sehingga di beberapa tempat menyebutnya sebagai pisang tanduk. Pisang ini

mempunyai panjang dapat lebih dari 10 cm. Setiap tandan hanya mempunyai satu

hingga tiga sisir.

Gambar 2.1 Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica)

Page 40: Nurhayati 2011.pdf

12

Pisang var agung semeru banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang

Jawa Timur. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)

Pertanian Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang, populasi pisang var agung

semeru di awal tahun 2004 mencapai 323 hektar dari luas total Kecamatan

Senduro yaitu 52,000 hektar. Produksi pisang var agung semeru di Kecamatan

Senduro mencapai 33 ribu ton per tahun, dan tahun 2004 meningkat menjadi 37

ribu ton. Data UPT Dinas Pertanian Kecamatan Senduro tahun 2009 menunjukkan

produksi pisang var agung semeru masih lebih tinggi yaitu mencapai 4,095,000 kg

dibandingkan produksi pisang jenis lainnya seperti pisang mas (1,123,850 kg),

pisang ambon (1,757,520 kg) dan pisang kepok (526,500 kg). Populasi tanaman

pisang var agung semeru di desa Jambe Arum Kecamatan Pasrujambe mencapai

612.5 hektar atau sekitar 1.53 juta pohon pisang, dengan asumsi rata-rata 2,500

pohon pisang per hektar (RPJMD Kabupaten Lumajang 2009).

Karakteristik dan Modifikasi Pati

Pati merupakan homoglikan yang terdiri atas satu jenis unit D-glukosa yang

dihubungkan oleh ikatan glukosida. Unit glukosa pati membentuk dua jenis

polimer yaitu amilosa dan amilopektin. Pada umumnya pati mengandung 15-30%

amilosa, 70-85% amilopektin dan 5-10% bahan lain seperti lipid, protein dan

mineral (Emanual 2005).

Amilosa adalah homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur

cincin piranosa, sedangkan amilopektin adalah homoglikan D-glukosa dengan

ikatan α-(1,4) dan α-(1,6) dari struktur cincin piranosa. Amilosa biasanya

dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis

dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang

sempurna. Enzim β-amilase menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu

glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai

amilosa sehingga menghasilkan maltosa. Kemampuan amilosa berinteraksi

dengan yodium membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk

mendeteksi adanya pati (Emanual 2005).

Page 41: Nurhayati 2011.pdf

13

Bentuk pati secara alami berupa butiran-butiran kecil yang sering disebut

granula. Bentuk dan ukuran granula setiap jenis pati mempunyai karakteristik

tersendiri sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran granula,

karakteristik lain dari pati adalah bentuk dan keseragaman granula, lokasi hilum

serta permukaan granula pati. Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih,

mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat bahwa

granula pati dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan-lapisan tipis

dan tersusun secara terpusat.

Beberapa pati dapat diidentifikasi penampilan karakteristik morfologisnya

di bawah mikroskop cahaya. Bentuk butir pati secara fisik berupa semi kristalin

yang terdiri dari daerah/zona amorf dan semi kristal yang masing-masing

mempunyai lebar beberapa ribu nanometer. Pasangan masing-masing zona

tersebut membentuk cincin dan masing-masing granula mempunyai panjang

kurang lebih 50 mm. Daerah amorf mengandung amilopektin dalam jumlah lebih

kecil dibanding amilosa. Masing-masing lamela kristalin terdiri atas kelompok

rantai paralel dengan ikatan -1,4 glukan dan secara bersama-sama membentuk

konformasi heliks. Cabang -1,6 pada heliks membentuk lamela yang amorf dan

membentuk jaringan dengan lamela kristalin. Unit kristal lebih tahan terhadap

perlakuan asam kuat dan enzim, sedangkan unit amorf bersifat labil terhadap asam

kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa

merusak struktur pati secara keseluruhan. Semakin banyak unit amorf yang

tersusun maka pati akan lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan. Pati

yang memiliki unit amorf atau amilosa lebih banyak apabila diberi perlakuan

retrogradasi maka jumlah pati resisten yang terbentuk akan meningkat. Skema

struktur pati tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Eliason & Gudmunsson

1996).

Page 42: Nurhayati 2011.pdf

14

Gambar 2.2 Struktur granula pati yang menunjukkan daerah amorf dan semi kristal (Eliason & Gudmunsson 1996)

Pati pisang memiliki ukuran diameter rata-rata 24.31 µm untuk pati yang

tidak dimasak dan 59-66 µm untuk pati yang dimasak (Nunez-Santiago et al.

2004). Tingkat kematangan pisang juga mempengaruhi komposisi kimia daging

buah seperti kadar pati, gula reduksi, sukrosa dan suhu gelatinisasi (Zhang et al.

2005).

Lawal (2004) menjelaskan cara modifikasi pati di antaranya melalui proses

hidrolisis asam, oksidasi, ikat silang (cross-linking atau cross bonding), subtitusi

dan gelatinisasi. Pati termodifikasi asam dibuat dengan menghidrolisis pati

menggunakan asam di bawah suhu gelatinisasi (sekitar 52 oC) sehingga terjadi

pemotongan ikatan α-1,4-glukosidik dari amilosa dan α-1,6-D-glukosidik dari

amilopektin membentuk pati dengan ukuran molekul lebih rendah. Pati teroksidasi

dibuat dengan penambahan natrium hipoklorid dan banyak digunakan pada

pembuatan kertas. Pati pregelatinisasi dibuat dengan cara memanaskan pati

sehingga terjadi gelatinisasi dan banyak digunakan pada pembuatan saus, pasta

dan jelly. Pati yang diperoleh secara kimia dari reaksi ikat silang bahan kimia

seperti boraks, epikloridin, fosfor oksiklorida dan lain sebagainya. Pati jenis ini

banyak digunakan sebagai pie filling (pada pengalengan, gravy dan saus),

Cincin Semikristalin

Cincin Amorf

Bagian Amorf

Lamela Kristalin

Lamela Amorf

Rantai C

Rantai A

Rantai B

Kluster

Page 43: Nurhayati 2011.pdf

15

pembuatan makanan bayi dan salad dressing. Pati termodifikasi oleh hidrolisis α–

amilase menyebabkan terjadinya pemotongan ikatan glukosidik yang berlangsung

dalam dua tahap yaitu serangan enzim secara acak akan mendegradasi pati

menjadi maltosa dan maltotriosa dan hidrolisis oligosakarida menjadi glukosa dan

maltosa.

Indeks Glikemik

Pati dalam pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai glikemik dan

ketahanannya terhadap enzim pencernaan. Pati glikemik didegradasi dalam

saluran pencernaan oleh enzim amilase. Pati glikemik dapat dikategorikan sebagai

pati yang dicerna secara cepat (rapidly digestible starch/RDS) dan pati yang

dicerna secara lambat (slowly digestible starch/SDS). RDS dicerna secara cepat

dalam usus halus, sedangkan SDS dicerna lebih lambat daripada RDS. Kedua

jenis pati ini dapat dicerna secara sempurna. Contoh pati yang dicerna secara

cepat adalah pati yang mengalami gelatinisasi seperti kentang rebus. Pati yang

dicerna secara lambat banyak terdapat pada bahan pangan seperti pasta (Croghan

2002).

Indeks glikemik (IG) adalah petunjuk tentang faali makanan terhadap kadar

glukosa darah dan respon insulin. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah

dengan cepat memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar

glukosa darah dengan lambat memiliki IG rendah. Glukosa murni digunakan

sebagai pembanding IG yang memiliki nilai IG 100. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi IG suatu pangan di antaranya adalah proses pengolahan,

perbandingan kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik,

kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat antigizi

(Foster-Powell & Miller 1995).

Proses pengolahan seperti pengecilan ukuran dapat mempengaruhi IG

pangan. Ukuran partikel dapat mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Ukuran

butiran pati yang semakin kecil memudahkan penyerapan air pada granula pati

dan semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga lebih mudah dicerna dan

Page 44: Nurhayati 2011.pdf

16

diserap. Oleh karena itu semakin kecil ukuran partikel akan meningkatkan IG

pangan. Pangan yang lebih banyak mengandung amilopektin akan lebih lama

dicerna menjadi glukosa karena membutuhkan dua macam enzim untuk

mendegradasinya yaitu α-amilase dan α, 1-6 glukosidase sehingga lebih lambat

dalam meningkatkan kadar IG (Astawan & Widowati 2011)

Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG

mendekati 60. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim

sukrase atau invertase. Fruktosa diserap dan diambil langsung, selanjutnya diubah

menjadi glukosa dalam hati. Oleh sebab itu respon gula darah terhadap fruktosa

murni sangat kecil yaitu 23. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi

cenderung memperlambat laju pengosongan lambung sehingga pencernaan

makanan dalam usus halus lebih lambat. Hal ini akan mempengaruhi peningkatan

kadar glukosa darah sehingga IG pangan rendah. Kandungan zat antigizi dalam

pangan seperti antitripsin dan fitat dalam kedelai dapat mempengaruhi pelepasan

glukosa. Zat antigizi dapat membentuk kompleks dengan zat gizi seperti protein

sehingga menurunkan daya cerna protein. Zat antigizi lain seperti senyawa

polifenol dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga menurunkan

daya cerna pati (Fostel-Powell & Miller 1995; Astawan et al. 2006).

Pati Resisten dan Sifat Prebiotik

Pati ada yang dapat dicerna dan ada yang tidak dapat dicerna. Sejumlah

besar pati yang tidak dapat dicerna masuk ke dalam usus besar dan merupakan

substrat yang penting bagi mikroflora kolon. Pati tersebut bersifat resisten

terhadap enzim pencernaan sehingga disebut pati resisten (resistant starch/RS).

RS tidak dapat didegradasi oleh enzim pencernaan dalam sistem pencernaan

manusia. RS dapat terukur bersama-sama dengan serat dalam bahan pangan

sebagai komponen serat pangan. Adanya serat dalam bahan pangan dapat

mempengaruhi asupan nutrisi dan energi serta meningkatkan distensi (pelebaran)

lambung yang berkaitan dengan penahanan rasa kenyang. Serat yang larut air

dapat menurunkan penyerapan lemak dan protein. Pati resisten maupun serat

Page 45: Nurhayati 2011.pdf

17

tertentu dapat difermentasi oleh mikroflora usus besar yang akan menghasilkan

asam lemak rantai pendek yaitu asam propionat, asam asetat dan asam butirat.

Komponen tersebut dapat memberikan aspek fungsional bagi kesehatan tubuh. RS

juga bisa memodifikasi lingkungan intrakolonik dan secara tepat mengubah fungsi

toksikologi serta melindungi terhadap kanker colorectal dengan memperpendek

waktu transit dan meningkatkan densitas kamba feses (Kumari & Thayumanavan

1997).

Ada empat macam pati resisten (RS) yang dikelompokkan berdasarkan asal

terbentuknya. RS tipe I (RS1) adalah jenis pati yang terperangkap di dalam

matriks sel, seperti pati pada polong-polongan. RS tipe II (RS2) adalah pati alami

yang berupa granula pati, contohnya pati jagung yang kaya amilosa, pati kentang

mentah dan pati pisang mentah. RS tipe III (RS3) adalah pati yang sudah

mengalami retrogradasi karena pemanasan dan pendinginan berulang-ulang. RS

tipe IV (RS4) adalah pati yang telah dimodifikasi secara kimia (Sajilata et al.

2006).

RS3 merupakan pati resisten yang paling sering digunakan sebagai bahan

baku pangan fungsional. Pembentukan RS3 terjadi karena granula pati mengalami

gelatinisasi. Granula rusak akibat proses pemanasan basah dan terjadi pelepasan

amilosa dari granula ke dalam larutan. Pada saat pendinginan, rantai polimer

terpisah sebagai ikatan ganda membelit (double helix) dan mengalami

pembentukan kembali ke struktur awalnya secara perlahan membentuk struktur

kompak yang distabilkan oleh ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Peristiwa ini

dikenal dengan istilah retrogradasi (Lawal 2004). Amilosa teretrogradasi (RS3)

bersifat lebih stabil terhadap panas, sangat kompleks dan tahan terhadap enzim

amilase.

Sebagian pendapat menyebutkan bahwa RS tidak memenuhi kriteria sebagai

prebiotik karena efeknya tidak spesifik. Namun berdasarkan hasil metabolitnya

terlihat bahwa penggunaan RS pada makanan dapat didegradasi oleh bakteri-

bakteri kolon dan bersifat promotif bagi kesehatan. RS pati jagung yang

dihasilkan dari proses modifikasi secara kimia dapat menstimulasi pertumbuhan

Page 46: Nurhayati 2011.pdf

18

Bifidobacteria sehingga merupakan bahan bifidogenik yang sangat potensial

(Hegar 2007).

Jumlah pati resisten pada pisang mentah lebih tinggi yaitu 4.7 gram

dibandingkan kentang (3.2 gram) pada takaran penyajian yang sama (Mendosa

2008). Saguilan et al. (2005) menjelaskan bahwa pati pisang cavendish (Musa

cavendishii) yang sudah tua tapi belum matang mengandung RS sebesar 1.51 ±

0.1 % berat kering. Kadar RS pada pisang ini akan meningkat sebesar dua kali

jika dihidrolisis dengan HCl (litnerized starch), dan meningkat sebesar 7 – 10 kali

jika dipanaskan pada suhu 121 oC selama 1 jam (autoclaved starch).

Beberapa riset telah melakukan modifikasi proses untuk meningkatkan

kandungan RS tepung pisang. Kecepatan aliran udara selama proses pengeringan

chips (irisan) pisang mentah dapat mempengaruhi kandungan RS pada tepung

pisang yang dihasilkan. Pengeringan pada suhu 55 oC dengan kecepatan udara 1.0

m/detik mampu meningkatkan kadar RS sekitar 40% (Tribess et al. 2009). Jenie et

al. (2009) melaporkan bahwa modifikasi proses di tingkat pisang secara

fermentasi spontan dan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu

meningkatkan RS tepung pisang hingga dua kali lipat. Jenie et al. (2010)

mengaplikasikan tepung pisang yang dihasilkan pada pembuatan produk pangan

yaitu roti, cookies dan brownies.

Konsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi

mikrobiota kolon yang menyebabkan bifidobakteria lebih dominan dalam kolon

dan banyak ditemukan dalam tinja (Gibson & Roberfroid 1995). RS3 dari

gandum, kentang dan kacang polong dapat menstimulasi pertumbuhan

bifidobakteria yaitu Bifidobacteria pseudolongum KSI9, B. breve KN14 dan B.

animalis KS20a1 (Wronkowska et al. 2006). RS4 dari jagung juga mampu

menstimulasi pertumbuhan Bifidobacteria sp (Hegar 2007). Pati resisten termasuk

molekul yang mempunyai panjang rantai (derajat polimerisasi) lebih pendek.

Panjang rantai ini sangat berhubungan dengan kecepatan fermentasi. Roberfroid et

al. (1997) menjelaskan bahwa derajat polimerisasi suatu oligosakarida dari bahan

bifidogenik seperti kelompok β-fruktan memberikan pengaruh yang nyata

terhadap kecepatan fermentasi secara in vitro. Molekul dengan derajat

Page 47: Nurhayati 2011.pdf

19

polimerisasi (DP) kurang dari 10 seperti inulin akan difermentasi dua kali lebih

cepat daripada molekul yang mempunyai DP lebih dari 10.

Pengaruh prebiotik terhadap pertumbuhan probiotik dinyatakan sebagai

indeks prebiotik (IP) yang dihitung berdasarkan jumlah logaritmik pertumbuhan

probiotik, dan mikroflora usus lainnya seperti klostridia dan bakteroides terhadap

jumlah mikroba total. Analisis tersebut dilakukan dengan menumbuhkan mikroba

dari feses manusia pada medium yang mengandung prebiotik uji (Manderson et

al. 2005; Roberfroid 2007).

Prebiotik didefinisikan sebagai suatu karbohidrat yang tidak dapat dicerna

dan tidak dapat diserap tetapi dapat difermentasi secara selektif dan mempunyai

fungsi regulasi terhadap probiotik dalam usus sehingga dapat memberikan efek

kesehatan bagi manusia maupun hewan (Salminen & Wright 2004). Beberapa

prasyarat yang dijabarkan FAO (2007) yaitu meliputi karakteristik prebiotik yang

mendeskripsikan sumber asal prebiotik, tingkat kemurniannya, komposisi kimia

dan strukturnya. Karakteristik lainnya adalah jumlah asupan yang dikonsumsi,

sifat fungsional yang dapat menunjukkan bukti ilmiah antara efek fisiologis

senyawa prebiotik dalam memodulasi mikrobiota pada daerah/organ spesifik.

Kualifikasi prebiotik didasarkan pada penelitian dan metode ilmiah yang

representatif dan akurat, serta keamanannya jika prebiotik tersebut dikonsumsi.

Prebiotik juga tidak mengandung kontaminan dan impuritis, tidak mengubah

mikrobiota yang menyebabkan dampak negatif bagi inang (manusia). Oleh karena

itu senyawa prebiotik perlu mendapatkan status GRAS (Generally Recognized As

Safe) atau setaranya. Beberapa klaim kesehatan dalam hubungannya dengan efek

fisiologis dari senyawa prebiotik golongan oligosakarida dipaparkan pada Tabel

2.3.

Beberapa jenis prebiotik antara lain FOS (fruktooligosakarida), inulin, GOS

(galaktooligosakarida), laktulosa, laktitol (Collin & Gibson 1999; Macfarlane &

Cummings 1999). Bahan-bahan tersebut paling sering dipakai sebagai prebiotik.

Di samping itu terdapat pula bahan lain yang memenuhi kriteria prebiotik

misalnya xilosa, soya dari kedelai, dan manosa (Gibson et al. 2000). Menurut

FAO (2007) terdapat sekelompok golongan senyawa prebiotik baru yang masih

Page 48: Nurhayati 2011.pdf

20

dalam tahap pengembangan yaitu pektioligosakarida, laktosukrosa, gula alkohol,

gluko-oligosakarida, levan, pati resisten, xilosakarida dan soy-oligosakarida.

Tabel 2.3 Efek fisiologis dan klaim manfaat kesehatan oligosakarida (Macfarlane & Cummings 1999)

Efek Fisiologis Faktor Kesehatan

- Menstimulasi metabolisme karbohidrat; meningkatkan massa sel bakteri, asam lemak rantai pendek

- Selektif terhadap bifidobakteria dan bakteri asam laktat dalam usus besar

- Tidak terhidrolisis oleh mikroorganisme mulut

- Tidak bersifat glikemik - Menstimulasi dan bersifat tidak spesifik

terhadap fungsi imun - Memodulasi metabolisme karsinogen - Mengurangi sintesis LDL dan trigliserida

serum - Meningkatkan penyerapan Mg dan Ca

Melalui asam lemak rantai pendek, menyediakan sumber energi untuk epitel kolon dan mengontrol diferensiasi serta menghindari sembelit

Meningkatkan retensi terhadap invasi patogen

Melindungi terhadap karies gigi

Bermanfaat bagi penderita diabetes

Mencegah infeksi

Bersifat antikarsinogen atau antikanker Mencegah penyakit jantung koroner

Mencegah osteoporosis

Prebiotik dapat memodulasi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan

(probiotik). Peningkatan populasi probiotik memiliki manfaat diantaranya yaitu

mencegah kanker karena dapat menghilangkan bahan prokarsinogen dari tubuh

dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Probiotik tertentu seperti

Bifidobacterium infantis mengandung bahan aktif anti tumor pada dinding sel.

Selain itu probiotik juga memproduksi berbagai enzim pencernaan (fosfatase,

lisozim) dan vitamin (B1, B2, B6, asam folat, dan biotin) yang akan diserap di

dalam usus halus dan dimanfaatkan oleh tubuh serta memproduksi asam laktat dan

asam asetat sehingga menyebabkan usus menjadi asam dan akhirnya menekan

pertumbuhan bakteri patogen penyebab radang usus seperti Escherichia coli dan

Clostridium perfringens. Senyawa asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat

(probiotik) mampu menurunkan pH usus, meningkatkan absorpsi kalsium dan

mengurangi penyerapan amonia dan amina sehingga dapat mencegah tekanan

darah tinggi, kolesterol dan kanker yang disebabkan oleh nitrosamin.

Streptococcus thermophilus mampu menunjukkan aktivitas anti tumor dan

Page 49: Nurhayati 2011.pdf

21

menghasilkan antioksidan indigenus yaitu superoksid dismutase (Salminen &

Wright 2004).

Fermentasi Bakteri Asam Laktat pada Pangan Berpati

Bakteri asam laktat (BAL) dapat ditemukan pada produk fermentasi spontan

seperti ogi dari singkong (Reddy et al. 2008), asinan buah dan sayur

(Kusumawaty et al. 2003), urutan yang merupakan sosis khas Bali dari daging

babi (Antara et al. 2002). Selain itu BAL juga dapat diisolasi dari daging (Arief et

al. 2011), susu (Sujaya et al. 2008), limbah kedelai (Malik et al. 2008), minuman

serta buah yang busuk (Plessis et al. 2004). BAL tertentu seperti Lactobacillus

plantarum, L. fermentum, L. manihotivorans, L. amylophillus, L. amylovorus, L.

amilolyticus, Leuconostoc cellobiosus, L. acidophillus, Leuconostoc sp,

Streptococcus bovis dan S. macedonicus telah dilaporkan memiliki sifat amilolitik

yaitu mampu menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati (Reddy et al.

2008).

BAL dapat memfermentasi pangan berkarbohidrat seperti jagung, kentang,

ubi kayu, serealia dan lain sebagainya. Bakteri ini mampu menghasilkan enzim

amilase dan asam yang dapat menghidrolisis sebagian pati seperti pati jagung,

kentang, atau singkong dan beberapa substrat berpati lainnya (Reddy et al. 2008).

Spesies terbaru BAL amilolitik adalah Lactobacillus manihotivorans yang

diisolasi dari pati asam ubi kayu (Reddy et al. 2008). Olympia et al. (1995)

mengkarakteristik strain L. plantarum dari makanan khas Filipina yaitu burong

isda yang terbuat dari ikan dan nasi. Strain amilolitik L. fermentum pertama kali

diisolasi dari adonan pati jagung Benin (ogi dan mawe) (Agati et al. 1998). Sanni

et al. (2002) menemukan strain BAL amilolitik dan L. fermentum dari pangan

terfermentasi khas Nigeria. BAL amilolitik menghasilkan enzim ekstraseluler

yaitu amilase dan pululanase yang dapat menghidrolisis sebagian pati alami

menjadi gula sederhana dan oligosakarida lain atau dekstrin (Sikorsi 2002).

Vishnu et al (2006) mengidentifikasi enzim amilase dan pululanase dari

Lactobacillus amylophilus GV6 sebagai protein dengan berat molekul 90 KDa.

Kedua enzim ini mempunyai aktivitas sebesar 0.439 U/g/min untuk amilase dan

Page 50: Nurhayati 2011.pdf

22

0.18 U/g/min untuk pululanase yang difermentasi pada media dedak gandum

(wheat bran). Aktivitas α-amilase dalam fermentasi pati oleh Streptococcus bovis

sebesar 1.41 U/ml lebih besar daripada fermentasi glukosa (0.06 U/ml) (Narita et

al. 2004). Enzim α-amilase akan memotong karbohidrat pada ikatan endo-α 1,4

menghasilkan maltosa dan dekstrin. Pululanase akan memotong karbohidrat pada

ikatan endo-α 1,6 menghasilkan dekstrin linier (Sikorsi et al. 2002).

Wronkowska et al. (2006) menjelaskan bahwa fermentasi pati gandum,

pati kentang dan pati kacang polong oleh BAL selama 24 jam menunjukkan

perubahan mikrostruktur yaitu pembentukan struktur globular dan lamelar.

Sajilata et al. (2006) menjelaskan perubahan struktur pati dari kristalin menjadi

lebih porus (amorf), meningkatkan kemampuan pelepasan amilosa serta

menurunkan suhu gelatinisasi pati. Semakin banyak amilosa yang terlarut selama

proses gelatinisasi maka akan semakin tinggi terjadinya retrogradasi pati selama

proses pendinginan. Pati yang mengalami retrogradasi akan memiliki sifat lebih

resisten terhadap enzim pencernaan. Pati ini sering disebut sebagai pati resisten

tipe III (RS3). Perubahan yang terjadi pada granula pati akibat fermentasi BAL

dapat diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Gambar 2.3 dan Gambar

2.4).

Gambar 2.3 Perubahan granula pati (A) sebelum dan (B) sesudah difermentasi

oleh bakteri asam laktat amilolitik. Sumber: Wijbenga (2000)

Gambar 2.4 Granula pati pada media MRS cair (A) sebelum diotoklaf,

(B) sesudah diotoklaf, (C) setelah difermentasi oleh

B

A

A

C B

Page 51: Nurhayati 2011.pdf

23

L. amylophilus GV6. Sumber: Vishnu et al. (2006)

Identifikasi Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) merupakan kelompok bakteri yang dapat

memproduksi asam laktat dengan cara memfermentasi karbohidrat. BAL yang

menghasilkan dua molekul asam laktat dari fermentasi glukosa disebut bakteri

asam laktat homofermentatif, sedangkan BAL yang menghasilkan satu molekul

asam laktat dan satu molekul etanol serta satu molekul karbon dioksida disebut

bakteri asam laktat heterofermentatif (Reddy et al. 2008).

Identifikasi BAL dapat dilakukan berdasarkan sifat fenotip dan genotip.

Identifikasi fenotip hanya terbatas sampai tingkat spesies yang didasarkan pada

hasil pengamatan morfologi seperti bentuk sel, tipe koloni dan pewarnaan Gram,

uji fisiologis, metabolik (biokimia) atau kemotaksonomi. BAL merupakan bakteri

dengan sifat katalase negatif sehingga pada uji katalase dengan hidrogen

peroksida 30% tidak menghasilkan gelembung udara/gas. Identifikasi fenotip

dengan pengujian fisiologis berdasarkan pola fermentasi BAL pada beberapa gula

terkadang bias untuk beberapa spesies tertentu. Oleh karena itu identifikasi

genotip perlu dilakukan untuk uji konfirmasi spesies BAL (Plessis et al. 2004).

Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan metode molekuler di

antaranya yaitu melalui penentuan urutan basa DNA pengkode 16S rRNA pada

bakteri dengan metode Polymerase Chain Reactions (PCR)-sekuensing (Ammor

et al. 2005). Aplikasi molekuler DNA pengkode 16S rRNA untuk menganalisis

keragaman molekuler suatu bakteri sangat sesuai karena gen ini terdapat pada

semua mikroorganisme prokariot. Gen pengkode 16S rRNA bersifat stabil dalam

sel bakteri daripada rRNA yang biasanya dapat terdegradasi dan hanya terdapat

pada fase-fase tertentu saja (Guttel et al. 1994).

DAFTAR PUSTAKA

Page 52: Nurhayati 2011.pdf

24

Ammor S, C Rachman, S Chaillou, H Prevost, X Dousset, M Zagorec, E Dufour, I Chevallier. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382

Antara NS, IN Sujaya, A Yokota, K Asano, WR Aryanta, F Tomita. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol 18: 255–262, 2002.

Arief II, Jenie BSL, Asyawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. J Media Peternakan. 33 (3): 137-143.

Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. Vol 12 (1)

Aurore G, Parfait B, Fahrasmane L. 2009. Bananas, raw materials for making processed food products. J Trends in Food Science & Technology. 20: 78 - 91

Collin MD, Gibson GR. 1999. Probiotics, prebiotics and synbiotics: approaches for modulating the microbial ecology of the gut. American J Clin Nutr. Vol. 69, No. 5. http://www.ajcn.org/cgi/ content/full/69/5/1052S [12 Okt 2008].

Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J Business Briefing: FoodTech. (Referece Section).

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2008.

Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohydrates in Food (Edited by Eliasson A.C.), Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504.

Emanuel C. 2005. Pengaruh Fosforilasi dan Penambahan Asam Stearat Terhadap Karakteristik Film Edible Pati Sagu. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.

Foster-Powell K, Miller JB. 1995. International tables of glycemic index. Am J Clin Nutr. 62(suppl 2):S871–S890

Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited, Oxford, United Kingdom.

Page 53: Nurhayati 2011.pdf

25

Gibson GR, Roberfroid M. 1995. Dietary modulating of the human colonic microbiota: introducting the concept of prebiotics. J Nutr. 125: 1401-1412. http:/www.ajcn.org/cgi/content/full/69/5/1052S [12 Nov 2008].

Guttel RR, Larsen N, Woese CR. 1994. Lesson from evoluation rRNA, 16S rRNA and 23S rRNA strutsfores from a comparative perspective microbes. J Kes. 58: 10-26

Hegar B. 2007. Mikroflora saluran cerna pada kesehatan anak. J Dexa Media. 20 (1). Januari -Maret.

Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Kumari SK, Thayumanavan B. 1997. Comparative study of resistant starch from minor millets on intestinal responese, blood glucose, serum cholesterol and triglycerides in rats. J Sci Food Agric. 75:296-302.

Kusumawati N, Jenie BSL, Siswasetyahadi, Hariyadi RD. 2003. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J Mikrobiologi Indonesia. 8 (2): 39-43

Lawal OS. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidised, acetylated and acid-thinned new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. J Food Chem. 87: 205–218

Macfarlane GT, Cummings JH. 1999. Probiotics and Prebiotics: can regulating the activities of intestinal bacteria benefit health? J Brit Med. April. 10.318(17189):999-1003.http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender. fcgi?artid=1115424 [21 Agust 2008].

Malik A, Donna M. Ariestanti, Nurfachtiyani A, Yanuar A. 2008. Skrining gen glukosiltransferase (gtf) dari bakteri asam laktat penghasil eksopolisakarida. J Makara Sains. 12 (1): 1-6

Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389,

Mendosa. 2008. Revised international table of glycemic index (GI) and glycemic load (GL) values. www.mendosa.com [11Jan 2009].

Nunez-Santiago MC, Bello-Perez LA, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. Carb Polym. 56: 65-75.

Page 54: Nurhayati 2011.pdf

26

Olympia M, Fukuda H, Ono H, Kaneko Y, Takano M. 1995. Characterization of starch-hydrolyzing lactic acid bacteria isolated from a fermented fish and rice food, “Burong Isda,” and its amylolytic enzyme. J Ferment Bioeng. 80:124–30.

Plessis HW, Dicks LMT, Pretorius IS, Lambrechts MG, Toit MD. 2004. Identification of lactic acid bacteria isolated from South African brandy base wines. Intern J Food Microbiol. 91: 19– 29

Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.

[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.

Roberfroid M. 2007. Prebiotics: The Concept Revisited. The Journal of Nutrition Effect of Probiotics and Prebiotics.137:830S-837S [01 Juni 2008]

Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57:405-412.

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.

Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional aspect. 2nd Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc.

Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62.

Sikorsi ZE. 2002. Chemical and functional properties of food components. Ed ke-2. CRC Press

Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Dwipayanti NMU, Nociaanitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari susu kuda sumbawa. J Veteriner. 9 (2): 52-59

Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Bello-Perez LA, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.

Vishnu C, Naveena BJ, Altas Md, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. Enzyme Microb Technol. 38:545-50

Page 55: Nurhayati 2011.pdf

27

Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].

Wronkowska M, Smietana MS, Krupa U, Biedrzycka E. 2006. In vitro fermentation of new modified starch preparations—changes of microstructure and bacterial end-products. J Enzyme Microbial Technol. 40: 93–99

Zhang P, Whistler RL, BeMiller JN, Hamake BR. 2005. Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility—a review. J Carbohy Polymers. 59: 443–458

Page 56: Nurhayati 2011.pdf

28

Page 57: Nurhayati 2011.pdf

29

3. METODOLOGI PENELITIAN SECARA UMUM

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dimulai bulan Maret 2009 sampai dengan bulan April 2011.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Laboratorium South East Asian Food &

Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Centre IPB serta Laboratorium

pendukung seperti Labotarorium Balitnak Kementerian Pertanian dan

Laboratorium Biorin-Bioteknologi IPB.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan meliputi: otoklaf, mikroskop polarisasi (Olympus

C-35AD-4 Japan), spektrofotometer, difraksi sinar X (Shimadzu XRD-7000

Maxima), gas kromatografi (Chrompack CP 9002 seri 946253), anoxomat,

anaerobic jar, sentrifuse, elektroforesis, UV transilluminator, alat PCR PTC 100

(MJ Research, Inc), inkubator, otoklaf, oven dan lain sebagainya.

Bahan baku yang digunakan adalah pisang var agung semeru (Musa

paradisiaca formatypica) yang diperoleh dari Kecamatan Senduro Kabupaten

Lumajang Propinsi Jawa Timur. Buah pisang tua mentah dipanen pada minggu ke

16 dari awal pembungaan.

Media dan bahan kimia yang digunakan antara lain: de Mann Rogosa Sharp

Agar (MRSA) dan de Mann Rogosa Sharp Broth (MRSB), Brain Heart Infusion

(BHI) agar, Thioglycollate agar, kristal violet, lugol, safranin, alkohol, NaCl, asam

tartarat 10%, gliserol, NaOH, buffer fosfat, buffer TAE, Na2HPO4.2H2O,

NaHPO4, CaCl2.2H2O, MgCl2.6H2O, DNS, HCl, K2HPO4, MgSO4.7H2O,

CaCl2.2H2O, NaHCO3, bacto agar, L-cysteine HCl, garam bile, resazurin, vitamin

K1, Tween 80, hemin, Kit API 50CH, CTAB, PCI, primer universal 63F dan

1387R KI2, enzim pankreatin, pepsin dan amiloglukosidase.

Page 58: Nurhayati 2011.pdf

30

Tahap Penelitian

Penelitian meliputi empat tahap yaitu: 1) proses modifikasi secara

fermentasi spontan serta kombinasinya dengan satu dan dua siklus pemanasan

bertekanan yang dilanjutkan dengan pendinginan, 2) identifikasi fenotip dan

genotip bakteri asam laktat (BAL) asal fermentasi spontan pisang var agung

semeru, 3) proses modifikasi secara fermentasi oleh isolat BAL indigenus dan

kombinasinya dengan siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dalam

pembuatan tepung pisang kaya RS, 4) isolasi pati resisten (RS) serta evaluasi sifat

prebiotik dan nilai indeks glikemik tepung pisang.

Modifikasi Pembuatan Tepung Pisang secara Fermentasi Spontan dan

Kombinasinya dengan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

Proses modifikasi dilakukan pada irisan pisang yaitu pisang diiris dengan

ketebalan ± 5mm. Irisan pisang diberi perlakuan fermentasi spontan yang

dilanjutkan dengan satu atau dua siklus retrogradasi yaitu pemanasan bertekanan

yang diikuti pendinginan. Proses pemanasan bertekanan dilakukan dengan

menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit yang kemudian

didinginkan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Tepung pisang kontrol disiapkan

tanpa modifikasi yaitu pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm dan dikeringkan

pada suhu 50 oC selama 16 jam selanjutnya dihaluskan serta diayak dengan

ayakan 80 mesh.

Tepung pisang modifikasi secara fermentasi spontan yang dikombinasi

dengan retrogradasi disiapkan dengan merendam irisan pisang dalam akuades

steril (3:4) dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar. Selama fermentasi

dilakukan pengukuran total bakteri asam laktat, pH dan total asam laktat tertitrasi

pada jam ke-0, 12 dan 24 jam. Pada jam ke-24 pisang ditiriskan. Untuk

modifikasi fermentasi spontan maka irisan pisang terfermentasi dapat langsung

dikeringkan pada suhu 50 oC selama 16 jam serta dihaluskan dan diayak dengan

ayakan 80 mesh. Untuk modifikasi fermentasi spontan yang dikombinasi dengan

Page 59: Nurhayati 2011.pdf

31

siklus pemanasan bertekanan-pendinginan maka irisan pisang terfermentasi diberi

perlakuan satu dan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Perlakuan

diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik sampling bahan baku di

lahan budidaya pisang var agung semeru.

Keenam jenis tepung pisang yang dihasilkan selanjutnya dianalisis

komposisi kimia yang meliputi proksimat (air, protein, lemak, mineral dan

karbohidrat) dengan menggunakan metode AOAC (1999), kadar pati dan kadar

amilosa (AACC 2000), pati cepat tercerna (rapidly digestible starch/RDS), pati

lambat tercerna (slowly digestible starch/SDS), pati resisten (resistant starch/RS)

(Englyst et al. 1992), serta daya cerna (AACC 2000). Karakterisasi fisik seperti

bentuk granula pati dan tingkat kristalinitas tepung pisang juga dievaluasi pada

tepung pisang kontrol dan tepung pisang modifikasi yang banyak mengandung

pati resisten.

Identifikasi Fenotip dan Genotip Bakteri Asam Laktat Asal Fermentasi

Spontan Pisang var Agung Semeru

Selama fermentasi spontan 24 jam diketahui populasi bakteri asam laktat

(BAL) tumbuh dominan. Oleh karena itu dilakukan identifikasi BAL yang

berperan selama fermentasi. Identifikasi fenotip berdasarkan sifat Gram positif,

katalase negatif, bentuk sel kokus atau batang dengan bentuk/tipe koloni tertentu

(Ammor et al. 2005). Selanjutnya isolat diinokulasikan dalam media MRS cair

dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam untuk diidentifikasi lanjut atau

disimpan dalam larutan gliserol (30% v/v) pada suhu -20 oC. Sifat fermentatif

isolat BAL dianalisis dengan menggunakan kit API 50CHL.

Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan metode PCR dan

sekuensing DNA pengkode 16S rRNA. DNA isolat BAL diekstraksi dengan

menggunakan metode Thompson et al. (1995).

Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan alat PCR PTC 100 (MJ

Research, Inc) pada suhu 95 oC selama 5 menit, dilanjutkan dengan denaturasi

pada suhu 94 oC selama 30 detik kemudian 30 siklus penempelan primer pada

suhu 50 oC selama 1 menit, 72 oC selama 2 menit, dan tahap akhir pasca sintesis

Page 60: Nurhayati 2011.pdf

32

pada suhu 72 oC selama 5 menit dan 15 oC selama 10 menit. Produk PCR diambil

dan disimpan pada suhu 4 oC untuk selanjutnya diperiksa dengan menggunakan

elektroforesis agarosa 1% b/v dalam TAE 1x, 100 V selama 30 menit (Sambrook

dan Russel 2008; Suharsono dan Widyastuti 2008). Pensejajaran ganda (multiple

alignment) dilakukan dengan menggunakan Program Clustal W yang selanjutnya

divisualisasikan kekerabatannya menggunakan pohon filogenetik Program

TREEVIEW X yang dikombinasikan dengan Program NJ-Plot (Thompson et al.

1995).

Modifikasi Secara Fermentasi Terkendali oleh Isolat BAL Indigenus dalam

Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi Kaya RS

Irisan pisang dan akuades steril dalam perbandingan 3:4 diinokulasi dengan

isolat BAL homofermentatif indigenus sehingga populasi kultur mencapai jumlah

106 CFU/ml. Selanjutnya pisang diinkubasi selama 12 dan 24 jam pada suhu

kamar. Pisang ditiriskan dan diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan yaitu pemanasan bertekanan dengan menggunakan otoklaf pada suhu

121 oC selama 15 menit kemudian dilanjutkan dengan pendinginan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 50 oC selama 16 jam,

selanjutnya chip dihaluskan serta diayak dengan menggunakan ayakan 80 mesh.

Evaluasi Sifat Prebiotik dan Indeks Glikemik (IG) Tepung Pisang

Evaluasi sifat prebiotik dilakukan pada RS2 dari tepung pisang yang tidak

mengalami retrogradasi dan RS3 dari tepung pisang yang mengalami retrogradasi.

RS diisolasi dengan menggunakan metode Englyst et al. (1992) yang dimodifikasi

dengan metode gravimetri (AOAC 1999). Sifat prebiotik dianalisis berdasarkan

ketahanan RS terhadap cairan lambung artifisial pada pH 1 sampai 5

(Wicheinchot et al. 2010), persentase pertumbuhan probiotik (Lactobacillus

acidophilus) dan bakteri patogen, yaitu enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)

dan Salmonella Typhimurium (Buriti et al. 2010) serta fermentasi RS oleh kultur

Page 61: Nurhayati 2011.pdf

33

feses untuk mengetahui kemampuan memodulasi mikroflora dan menstimulasi

produksi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) serta nilai

indeks prebiotik (Manderson et al. 2005).

Evaluasi IG dilakukan pada keenam jenis tepung pisang yang dihasilkan.

Uji IG tepung pisang dilakukan dengan menggunakan sepuluh relawan manusia

(Astawan & Widowati 2011). Tepung pisang disajikan kepada relawan dalam

bentuk nasi yang diolah seperti menanak tiwul. Pengujian ini sudah mendapat

persetujuan etis (ethical approval) dari Kementerian Kesehatan dengan No.

LB.03.04/KE/8320/ 2010.

Page 62: Nurhayati 2011.pdf

34

DAFTAR PUSTAKA

[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved Methods of the AACC. The Association, St. Paul, MN. 10th ed.

Ammor S, Rachman C, Chaillou S, Prevost H, Dousset X, Zagorec M, Dufour E, Chevalliera I. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382

[AOAC] Association of analytical communities. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.

Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. 12 (1)

Buriti FCA, Castro IA, Saad SMI. 2010. Viability of Lactobacillus acidophilus in synbiotic guava mousses and its survival under in vitro simulated gastrointestinal conditions. Int J Food Microbiology. 137: 121–129.

Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. European J Clinical Nutr. 46(Suppl.2): 533-550.

Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389,

Suharsono, Widyastuti U. 2008. Penuntun Praktikum; Pengantar Genetika Molekuler. Departemen Biologi-FMIPA. Institut Pertanian Bogor

Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1995. CLUSTAL W: Improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, Position specific gap penalties and weight matrix choice. Nucleic Acid Res. 22: 4673-4680.

Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. Food Chem. 120: 850–857.

Page 63: Nurhayati 2011.pdf

35

4. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI SECARA FERMENTASI SPONTAN DAN

SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN [Physicochemical characteristics of modified banana flour by fermentation and

autoclaving-cooling cycles]

ABSTRAK Kajian tentang karakteristik fisikokimia antara tepung pisang alami dan

tepung pisang modifikasi dilakukan pada pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica). Tepung pisang alami (kontrol) dihasilkan dengan mengeringkan irisan pisang, menghancurkan dan mengayak tepung dengan ayakan 80 mesh. Tepung pisang modifikasi dihasilkan dengan cara irisan pisang diberi perlakuan fermentasi spontan (suhu kamar, 24 jam) dilanjutkan dengan satu atau dua siklus pemanasan bertekanan (121 oC, 15 menit) yang diikuti dengan pendinginan (4 oC, 24 jam) sebelum dilakukan proses pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri asam laktat tumbuh mendominasi hingga mencapai 106 CFU/ml selama fermentasi spontan pisang. Modifikasi proses mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung pisang. Fermentasi meningkatkan kadar amilosa. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan pati resisten (RS) tepung pisang dengan nyata (28.88% bk) dibandingkan dengan yang satu siklus (24.72 bk). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan merusak granula pati dan menurunkan kristalinitas tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X menunjukkan granula pati pisang adalah granula tipe C yang merupakan campuran dari granula tipe A dan tipe B.

ABSTRACT Studies on the physicochemical characteristics on the native banana flour

and modified banana flour were carried out on “agung var semeru” banana (Musa paradisiaca formatypica). Native banana flour was produced by drying the banana slice, ground and passed through a 80 mesh screen. Modified banana flour were produced by spontaneous fermentation (room temperature, 24 h) and one or two cycles of autoclaving (121 oC, 15 min) followed by cooling (4 oC, 24 h)of the slices before drying process. The results showed that lactic acid bacteria were the dominating bacteria up to 106 CFU/ml during spontaneous fermentation of banana slices. The modification processes influenced physicochemical characteristics of banana flour. Spontaneous fermentation increased amylose content. Two cycles of autoclaving-cooling significantly increased resistant starch content of banana flour (28.88 db) than the one cycle (24.72 db). Retrogradation process destroyed the granules and decreased the crystalinity from 18.74% - 20.08% to 6.98% - 9.52%. X-ray diffraction showed that the starch granule was type C granule as a mixture of A and B polymorphs.

Page 64: Nurhayati 2011.pdf

36

Keywords: Musa paradisiaca formatypica, spontaneous fermentation, autoclaving-cooling process.

PENDAHULUAN

Pisang merupakan salah satu bahan pangan yang sebagian besar terdiri atas

karbohidrat terutama pati. Pisang dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: pisang

jenis banana yang dimakan dalam keadaan segar setelah buahnya masak, pisang

jenis plantain yang dimakan setelah diolah, pisang berbiji yang dimanfaatkan

daunnya dan pisang yang diambil seratnya. Salah satu jenis plantain yaitu pisang

var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) yang banyak dibudidayakan di

Kabupaten Lumajang Jawa Timur dengan produktivitas mencapai lebih dari 57

ribu ton per tahun (RPJM Deptan Lumajang 2009).

Tepung pisang cukup prospektif untuk dikembangkan sebagai pangan

fungsional. Manfaat pengolahan pisang menjadi tepung di antaranya yaitu lebih

tahan disimpan, lebih mudah dalam pengemasan dan pengangkutan, lebih praktis

untuk diversifikasi produk olahan, mampu memberikan nilai tambah buah pisang,

mampu meningkatkan nilai gizi buah melalui proses fortifikasi selama

pengolahan, dan menciptakan peluang usaha untuk pengembangan agroindustri

pedesaan. Teknologi pengolahan tepung pisang secara konvensional dilakukan

dengan mengeringkan buah pisang mentah yang selanjutnya dihancurkan dan

diayak dengan ukuran mesh 60-100 (Deptan 2009).

Modifikasi proses pada pati pisang telah banyak dilakukan untuk

meningkatkan kadar pati resisten (resistant starch/RS). Pati yang diotoklaf pada

suhu 121 oC selama 1 jam diikuti dengan pendinginan 4 oC selama 24 jam dan

diulang sebanyak tiga siklus mampu meningkatkan kadar RS dari 1.51% menjadi

16.02% (Saguilan et al. 2005). Soto et al. (2004) juga melakukan modifikasi pati

pisang untuk meningkatkan kadar RS dengan menggunakan metode debranching

oleh enzim pululanase yang dikombinasi dengan pemanasan otoklaf dan

pendinginan.

Page 65: Nurhayati 2011.pdf

37

Modifikasi proses pada tepung pisang telah dilakukan oleh Tribess et al.

(2009) untuk meningkatkan kadar RS selama proses pengeringan chip pisang

dengan mengatur kecepatan udara (0.6 - 1.4 m/detik pada suhu 55 oC). Jenie et al.

(2009) melaporkan bahwa fermentasi spontan irisan pisang yang dikombinasi

dengan satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan

kandungan RS tepung pisang lebih dari 17% berat kering (hampir dua kali).

Pengaruh dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan setelah proses fermentasi

belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

karakteristik fisikokimia tepung pisang yang dihasilkan melalui proses modifikasi

secara fermentasi spontan yang dikombinasi dengan satu atau dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan dalam upaya meningkatkan kadar RS.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari

Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang

Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan

dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.

Metode

Pembuatan Tepung Pisang Modifikasi melalui Fermentasi Spontan dan Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya direndam dalam akuades

steril (3:4) dan difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Pisang yang sudah

difermentasi selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diberi pemanasan bertekanan

dengan menggunakan otoklaf (121 oC, 15 menit) yang dilanjutkan dengan

pendinginan (4 oC, 24 jam). Proses pemanasan bertekanan-pendinginan dilakukan

sebanyak satu dan dua siklus. Selanjutnya pisang dikeringkan (50 oC, 16 jam) dan

dihaluskan serta diayak dengan ayakan mesh 80. Tepung pisang kontrol dibuat

Page 66: Nurhayati 2011.pdf

38

dari irisan pisang yang langsung dikeringkan dan dihaluskan serta diayak tanpa

proses modifikasi. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan

teknik sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.

Pengamatan Populasi Mikroba Selama Fermentasi Spontan

Selama fermentasi spontan irisan pisang dilakukan pengamatan jumlah

mikroba untuk mengetahui populasi kapang, khamir, bakteri pendegradasi pati,

bakteri asam laktat, total bakteri, pH dan jumlah asam laktat tertitrasi. Sebanyak

10 mL cairan fermentasi pisang diambil secara periodik pada jam pada jam ke-0,

12 dan 24, selanjutnya ditambah dengan 90 ml akuades steril dan dilakukan

pengenceran berseri. Tiga seri hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 mL dan

dilakukan pemupukan metode tuang pada media Potato Dextrose Agar (PDA)

yang mengandung 10% asam tartarat dengan inkubasi suhu kamar untuk kapang,

pada media PDA dengan inkubasi suhu 40 oC untuk khamir, pada media de Mann

Rogosa Sharp Agar (MRSA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk bakteri asam

laktat, pada media Starch Agar (SA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk bakteri

pendegradasi pati, dan pada media Nutrient Agar (NA) dengan inkubasi suhu 37 oC untuk total bakteri yang masing-masing diinkubasi selama 48-72 jam. Nilai pH

diukur dengan menggunakan pHmeter, sedangkan total asam laktat ditentukan

dengan menggunakan metode titrimetri.

Analisis Komposisi Kimia

Tepung pisang dianalisis kadar air, abu, protein, lemak dan kadar

karbohidrat (AOAC 1999). Selain itu juga dilakukan analisis kadar pati, amilosa

dan daya cerna pati (AACC 2000).

Analisis Komposisi Pati (RDS, SDS dan RS)

Komposisi pati yang meliputi kadar pati tercerna cepat (rapid digestable

starch/RDS), pati tercerna lambat (slowly digestable starch/SDS) dan pati resisten

Page 67: Nurhayati 2011.pdf

39

(resistant starch/RS) ditentukan dengan menggunakan metode Englyst et al.

(1992). Tepung pisang sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung sentrifus. Sampel

dicuci menggunakan 8 ml etanol 80% selanjutnya disentrifus pada kecepatan 554

× g selama 10 menit dan diulang dua kali. Residu yang merupakan pati ditambah

20 mL buffer sodium asetat (0.1M pH 5.2), selanjutnya dididihkan dalam

penangas air selama 30 menit. Sampel didinginkan dan ditambah 5 mL larutan

enzim yang mengandung ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase. Larutan enzim

disiapkan dengan cara mensuspensikan 3.0 g pankreatin (Sigma, Cat. No. P7545)

ke dalam 20 mL air deionisasi, selanjutnya distirer selama10 menit pada suhu

ruang dan disentrifus pada 1500 g selama 10 menit. Sebanyak 13.5 mL supernatan

pankreatin ditambah amiloglukosidase 210 U (Sigma Cat. No. A7095) dan 1.25

mL air deionisasi. Selanjutnya sampel diinkubasi dalam inkubator bergoyang pada

suhu 37 oC selama 30 menit untuk menentukan kadar pati cepat tercerna (RDS)

dan 120 menit untuk pati lambat tercerna (SDS). Jumlah gula hasil hidrolisis pati

diukur dengan menggunakan metode DNS. Kadar pati resisten dihitung sebagai

jumlah pati dikurangi jumlah pati yang terhidrolisis dengan penjabaran rumus

sebagai berikut:

Kadar pati resisten = [(pati-RDS-SDS)/pati] x 100%

Pengamatan Granula Pati

Pati pisang (0.1 g) disuspensikan dalam 1 mL akuades kemudian

diambil dua tetes dan ditempatkan pada kaca preparat. Struktur granula

diamati dengan menggunakan mikroskop polarisasi (Olympus C-35AD-4

Japan) pada perbesaran 400 kali (Santiago et al. 2004).

Analisis Kristalinitas

Tepung pisang disetimbangkan dalam wadah RH 100% pada suhu ruang

selama 24 jam. Difraktogram sinar X tepung pisang ditentukan dengan

difraktometer sinar X Shimadzu XRD-7000 Maxima. Daerah scanning dimulai

Page 68: Nurhayati 2011.pdf

40

dari sudut difraksi 5o sampai 40o dengan ukuran 0.02o, 0.6 detik pada radiasi Cu,

40 kV, 30 mA (Waliszewski et al. 2003; Soto et al. 2007). Tingkat kristalinitas

tepung pisang ditentukan dengan menghitung luas area grafik landai (smooth)

dibagi dengan luas area utuh.

Analisis Statistik

Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).

Untuk mengetahui adanya perbedaan dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil pada

taraf uji 5% (p ≤ 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Mikroba, pH dan Total Asam Laktat selama Fermentasi Spontan

Populasi mikroba yang tumbuh selama fermentasi spontan pisang var

agung semeru disajikan pada Gambar 4.1. Mikroba yang tumbuh selama 24 jam

fermentasi spontan pisang mentah adalah bakteri yang lebih didominasi oleh

bakteri asam laktat (BAL), sedangkan khamir dan kapang tidak tumbuh hingga

fermentasi 24 jam.

Gambar 4.1 Populasi ( ) bakteri pendegradasi pati; ( ) bakteri asam laktat dan

( ) total bakteri selama fermentasi spontan pisang

0123456789

0 12 24

Log

Bak

teri

(CFU

/ml)

Lama Fermentasi (Jam)

Page 69: Nurhayati 2011.pdf

41

Populasi bakteri meningkat selama fermentasi hingga jam ke-24. Populasi

BAL hingga jam ke-24 sekitar 6 log CFU/mL. Abdillah (2010) melaporkan bahwa

fermentasi spontan pisang hingga jam ke-100 juga didominasi oleh BAL. Reddy

et al. (2008) menjelaskan BAL mampu tumbuh pada bahan pangan berpati karena

dapat menghasilkan enzim amilase untuk mendegradasi pati menjadi glukosa

sebagai sumber karbon selama pertumbuhannya. BAL tersebut dikenal sebagai

bakteri asam laktat amilolitik. Pada penelitian ini diduga BAL yang berperan

dalam fermentasi pisang adalah BAL amilolitik karena jumlah bakteri

pendegradasi pati mengalami peningkatan hingga pengamatan jam ke-24.

Peningkatan jumlah BAL selama fermentasi seiring dengan terjadinya

penurunan pH dari pH awal 6.36 menjadi pH 5.36 pada jam ke-24. Penurunan pH

tersebut disebabkan oleh metabolit yang dihasilkan BAL yaitu asam laktat atau

asam organik lainnya. Selama fermentasi pisang, produksi asam laktat meningkat

hingga mencapai 0.11% (Tabel 4.1). Vishnu et al. (2006) melaporkan bahwa

beberapa strain Lactobacillus spp mampu secara langsung memfermentasi

karbohidrat menjadi asam laktat.

Tabel 4.1 Nilai pH, konsentrasi asam laktat selama fermentasi spontan pisang

Lama Fermentasi (Jam) pH Asam Laktat Tertitrasi (% mL/mL)

0 6.36 ± 0.08 0.02 ± 0.00

12 6.12 ± 0.10 0.04 ± 0.00

24 5.36 ± 0.24 0.11 ± 0.01

Asam laktat merupakan asam organik yang tidak menguap pada suhu kamar

dan dapat berperan sebagai antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan

bakteri lain. FDA USA juga telah mengklasifikasikan asam laktat ke dalam GRAS

(Generally Recognized As Safe) untuk digunakan sebagai bahan tambahan pangan

dan kepentingan lain seperti sebagai pengawet produk pangan (Datta & Henry

2006).

Asam laktat yang dihasilkan oleh BAL diduga dapat bereaksi dengan pati

pisang sehingga membentuk kopolimer pati-asam laktat. Gong et al. (2006)

Page 70: Nurhayati 2011.pdf

42

menjelaskan bahwa kopolimer pati-asam laktat dapat menurunkan reaktivitas

gugus hidroksil pada unit glukopiranosa pati yaitu pada C6, C3 dan C2 sehingga

pati menjadi lebih resisten terhadap enzim pencernaan.

Fermentasi selama 24 jam tidak menyebabkan perubahan pada tekstur irisan

pisang. Abdillah (2010) melaporkan fermentasi pisang lebih dari 24 jam

menghasilkan tektur yang lebih lunak akibat degradasi oleh mikroba dan terjadi

kehilangan rendemen hingga mencapai lebih dari 30%.

Komposisi Kimia Tepung Pisang

Pengaruh fermentasi dan retrogradasi terhadap komposisi kimia tepung

pisang disajikan pada Tabel 4.2. Tepung pisang hasil fermentasi memiliki kadar

abu, dan karbohidrat lebih rendah daripada tepung pisang tanpa modifikasi

(kontrol), sedangkan kadar lemak dan protein tepung pisang modifikasi tidak

berbeda nyata dengan tepung pisang kontrol.

Tabel 4.2 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi kimia tepung pisang

Komposisi (% bb)

Tanpa Fermentasi Spontan Fermentasi Spontan

Tanpa PBP Satu Siklus PBP

Dua Siklus PBP Tanpa PBP Satu Siklus

PBP Dua Siklus

PBP

Kadar Air 5.07 ± 0.05f 7.18 ± 0.06d 6.71 ± 0.02e 7.77 ± 0.03c 8.05 ± 0.07b 9.72 ± 0.03a

Abu 2.18 ± 0.05a 1.99 ± 0.04b 1.84 ± 0.04c 1.77 ± 0.01d 1.60 ± 0.02f 1.68 ± 0.01e

Lemak 1.02 ± 0.03a 1.05 ± 0.01a 1.07 ± 0.06a 1.09 ± 0.06a 1.01 ± 0.01a 1.07 ± 0.04a

Protein 1.99 ± 0.03a 2.08 ± 0.06a 2.04 ± 0.06a 1.89 ± 0.04a 1.93 ± 0.03a 1.86 ± 0.04a

Karbohidrat 88.76± 0.06a 87.64 ±0.02c 88.32 ± 0.05b 87.47 ± .003d 87.46 ± 0.08d 85.66 ± 0.03e

PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji ≤ 0.05

Modifikasi proses fermentasi pisang dan pemanasan bertekanan-

pendinginan menyebabkan penurunan kadar karbohidrat. Hal ini diduga karena

mikroba yang tumbuh sudah memanfaatkan komponen karbohidrat sebagai

sumber karbon bagi pertumbuhannya. Selama proses pemanasan bertekanan pati

pecah dan tergelatinisasi, selanjutnya amilosa akan teretrogradasi pada saat

Page 71: Nurhayati 2011.pdf

43

pendinginan. Proses pengeringan juga menyebabkan pati mengalami reaksi

pencoklatan sehingga dapat mengurangi kandungan karbohidrat tepung pisang.

Pemanasan suhu tinggi dan pengeringan dalam oven dapat menyebabkan

terbentuknya komponen pirodekstrin dari karbohidrat (Carrera et al. 2007).

Tabel 4.3 Pengaruh fermentasi spontan dan siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap komposisi pati dan daya cerna tepung pisang

Komposisi (% bk)

Tanpa Fermentasi Spontan Fermentasi Spontan

Tanpa PBP Satu Siklus PBP

Dua Siklus PBP Tanpa PBP Satu Siklus

PBP Dua Siklus

PBP

Pati1 70.16±0.12a 69.86±0.03a 67.12±0.86d 69.79±0.14a 68.80±0.40b 67.67± 0.52c

Amilosa2 13.56±0.05f 14.10±0.06e 14.52± 0.01d 15.44±0.01c 15.66±0.04b 16.54± 0.03a

RDS2 38.15±0.05a 23.84±0.34c 21.53±0.07d 32.64±0.16b 23.99± 0.11c 18.26± 0.33e

SDS2 24.66±0.01c 26.03±0.28b 19.42±0.14d 32.80±0.35a 17.51± 0.11f 18.39± 0.12e

RS2 10.32±0.30f 29.34±0.06d 39.13±0.03b 6.78± 0.02e 35.93±0.10c 42.68± 0.33a

RS1 7.24±0.30f 20.50±0.06d 26.26±0.03b 4.73± 0.02e 24.72±0.10c 28.88± 0.33a Daya Cerna2 69.67±0.25b 55.88±0.05c 47.59±0.01e 72.01±0.01a 49.22±0.07d 43.21± 0.06f

PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan RDS = rapid digestable starch SDS = slowly digestable starch RS = resistant starch 1 = berat kering tepung 2 = berat kering pati Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji < 0.05

Tabel 4.3 menunjukkan kadar pati resisten menurun dari 7.24% (tepung

pisang kontrol) menjadi 4.73% setelah fermentasi selama 24 jam. Hal ini

disebabkan karena granula pati mengalami pengembangan (swelling) selama

perendaman dan menjadi lebih mudah terhidrolisis oleh enzim mikroorganisme

sehingga sifat resisten dan kristalinitas pati menjadi berkurang (Zang et al. 2005).

Pati resisten yang terkandung dalam tepung pisang kontrol merupakan RS2 yaitu

pati resisten yang terbentuk karena struktur granula pati sedemikian rupa sehingga

sulit didegradasi oleh enzim alfa amilase pencernaan (Tribess et al. 2009).

Ambriz et al. (2008) melaporkan bahwa kadar pati resisten tepung pisang

menurun dengan adanya proses likuifikasi menggunakan enzim amilase Bacillus

subtilis. Hal ini terjadi akibat hidrolisis pati oleh enzim tersebut menghasilkan

gula sederhana.

Kadar amilosa tepung pisang meningkat oleh fermentasi selama 24 jam.

Peningkatkan ini diduga karena disebabkan oleh terjadinya pemotongan struktur

cabang dari amilopektin (debranching) menghasilkan oligomer dengan derajat

Page 72: Nurhayati 2011.pdf

44

polimer lebih pendek seperti amilosa. Selanjutnya amilosa akan mengalami

retrogradasi setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan. Amilosa

yang teretrogradasi berperan dalam meningkatkan kadar RS (Soto et al. 2007).

Niba & Hoffman (2003) melaporkan bahwa kadar RS biji sorgum juga meningkat

hingga 60% dengan fermentasi spontan biji sorgum pada suhu 37 oC selama 10

hari. Fermentasi sangat lama karena biji sorgum memiliki lapisan aleuron yang

tebal sehingga diperlukan waktu lebih lama untuk absorbsi air dan

berlangsungnya fermentasi spontan.

Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS

tepung pisang lebih tinggi daripada yang satu siklus baik pada pisang yang tanpa

difermentasi (dari 20.50% menjadi 26.26%) maupun pisang yang difermentasi

(dari 24.72% menjadi 28.88%), sedangkan kadar RS tepung pisang kontrol adalah

7.24%. Kombinasi proses fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan (retrogradasi) mampu meningkatkan kadar RS tepung

pisang dari 7.24% menjadi 28.88%. Pati resisten yang dihasilkan dari proses

retrogradasi merupakan pati resisten tipe III (RS3) yang merupakan amilosa

teretrogradasi (Soto et al. 2004). Saguilan et al. (2005) melakukan modifikasi di

tingkat pati pisang plantain dengan menggunakan tiga siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan sehingga kadar RS meningkat hingga 10 kali lipat.

Kadar RS yang dihasilkan dari modifikasi di tingkat pati lebih tinggi, akan

tetapi aplikasinya memiliki tahapan yang lebih banyak terutama tahap isolasi pati.

Proses modifikasi pada tepung pisang seperti yang dilakukan pada penelitian ini

lebih mudah dan lebih efisien yaitu fermentasi dan retrogradasi dilakukan pada

pisang tanpa perlu mengisolasi patinya terlebih dahulu. Tepung yang dihasilkan

dapat diaplikasikan langsung sebagai tepung pensubstitusi pada pembuatan

produk pangan seperti roti, cookies dan brownies (Jenie et al. 2010).

Daya cerna pati meningkat dengan adanya proses fermentasi dari 69.67%

(tepung pisang kontrol) menjadi 72.01% (tepung pisang fermentasi), sedangkan

proses pemanasan bertekanan-pendinginan menurunkan daya cerna pati.

Komposisi pati yang dapat dicerna menurun dengan semakin meningkatnya kadar

RS. Hasil analisis daya cerna secara in vitro juga menurun hampir 50% pada

Page 73: Nurhayati 2011.pdf

45

tepung yang dihasilkan dari perlakuan fermentasi dengan retrogradasi. Farhat et

al. (2001) melaporkan bahwa daya cerna pati kentang meningkat dengan adanya

gelatinisasi akan tetapi menurun jika pati mengalami retrogradasi.

Sifat Birefringence Pati Pisang

Modifikasi proses secara dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan

mampu meningkatkan kadar RS dengan nyata. Oleh karena itu dalam pembahasan

selanjutnya mengamati karakteristik fisik yaitu sifat birefringence granula pada

tepung tanpa perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan untuk mewakili

tepung pisang yang mengandung RS2 dan tepung dengan kandungan RS tinggi

(tepung dari proses fermentasi maupun tanpa fermentasi yang dikombinasi dengan

dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk mewakili tepung pisang

yang mengandung RS3. Gambar 4.2 menunjukkan granula pati tepung pisang

kontrol dan fermentasi menghasilkan efek birefringence pada pengamatan dengan

mikroskop polarisasi.

A B

C D

Gambar 4.2 Pengaruh proses fermentasi dan dua siklus pemanasan bertekanan- pendinginan terhadap sifat birefringence granula pati pisang.

(A).kontrol; (B) fermentasi; (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan; (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan pada perbesaran 400x

Page 74: Nurhayati 2011.pdf

46

Efek birefringence terbentuk dari struktur ganula pati utuh yang tersusun

atas daerah amorf dan daerah kristalin. Bagian amorf dari granula pati dapat

menyerap air dingin hingga 30 % tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan,

sedangkan bagian kristalin dari granula pati lebih sulit menyerap air (Eliason &

Gudmunsson 1996). Granula pati pisang var agung semeru memiliki ukuran

panjang sekitar 50 – 80 µm dengan diameter 20 – 40 µm. Eggleston et al. (1992)

melaporkan bahwa ukuran granula pati pisang plantain beragam mulai dari 7.8 –

61.3 µm dengan diameter rata-rata adalah 26 µm. Proses mekanik dan pengolahan

panas basah (hidrotermal) dapat merusak granula pati. Pati pisang plantain tidak

membentuk granula lagi setelah menjadi pasta (Santiago et al. 2004). Aktivitas

enzim seperti amilase dan pululanase akan menghidrolisis amilosa dan

amilopektin sehingga merusak struktur granula pati. Hasil hidrolisis ini

menyebabkan granula nampak memiliki lubang (porous) dengan pengamatan

mikroskop elektron (Wijbenga 2000; Zang et al. 2005).

Reddy et al. (2008) menjelaskan bahwa bakteri asam laktat dapat

menghasilkan amilase dan pululanase sehingga mampu menghidrolisis pati

menjadi gula sederhana. Pelepasan cabang (debranching) amilopektin oleh

pululanase menghasilkan polimer glukosa rantai lurus yang merupakan amilosa

dengan derajat polimerisasi (DP) lebih kecil. Semakin banyak kadar amilosa maka

akan meningkatkan jumlah pati teretrogradasi akibat pemanasan basah dan

pendinginan sehingga akan meningkatkan kadar RS3 (Soto et al. 2004; Soto et al.

2007). Gambar 4.2 C dan D memperlihatkan struktur granula pati yang rusak

akibat pemanasan basah bertekanan sebagai bentuk kristal yang tidak beraturan

dan tidak menghasilkan sifat birefringence yang berarti tidak ada lagi bentuk

granula. (Saguilan et al. 2005) menjelaskan bahwa pemanasan basah

menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sehingga struktur granula menjadi rusak

sedangkan pendinginan menyebabkan sineresis dan adanya proses yang diulang

meningkatkan retrogradasi pada gel pati.

Kristalinitas Tepung Pisang

Page 75: Nurhayati 2011.pdf

47

Granula pati tepung pisang kontrol dan tepung pisang modifikasi fermentasi

menunjukkan adanya puncak (peak) difraksi yang kuat pada sudut 17-18o dan

sudut 23-24o (Gambar 4.3). Puncak difraksi pada sudut 17o merupakan puncak

difraksi untuk granula pati tipe A dan puncak pada sudut 24o merupakan puncak

difraksi untuk granula pati tipe B sehingga tepung pisang baik yang alami maupun

yang fermentasi dapat digolongkan sebagai granula pati tipe C yaitu granula pati

campuran dari tipe A dan tipe B. Beberapa pisang plantain dilaporkan memiliki

granula pati tipe C. Granula tipe A memiliki amilosa dengan berat molekul lebih

kecil, cabang amilopektin lebih pendek dan tingkat kristalinitas lebih tinggi,

sedangkan granula tipe B memiliki amilosa dengan berat molekul lebih besar,

cabang amilopektin lebih panjang dan tingkat kristalinitas lebih rendah (Hizukuri,

1961; Waliszewski et al. 2003; Soto et al. 2007).

Gambar 4.3 Pengaruh fermentasi spontan terhadap intensitas difraksi tepung

pisang. ( ) kontrol, ( ) fermentasi

Tepung pisang alami memiliki tingkat kristalinitas lebih tinggi (20.08% ±

0.09a) dibandingkan tepung pisang fermentasi (18.74% ± 0.11b) (Lampiran 2b).

Penurunan tingkat kristalinitas pada tepung pisang fermentasi mengindikasikan

terjadi perubahan bagian kristalin menjadi lebih amorf selama fermentasi.

Perubahan ini disebabkan oleh degradasi amilopektin sebagai komponen pati yang

berperan dalam pembentukan bagian kristalin pada granula pati. Bagian amorf

lebih mudah terdegradasi oleh enzim pencernaan dan mengurangi sifat resistensi

0

50

100

150

200

250

300

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42

Inte

nsita

s

Sudut Difraksi (2δo)

Page 76: Nurhayati 2011.pdf

48

pati (Eliason & Gudmunsson 1996). Hal ini juga memperkuat dugaan sebelumnya

bahwa hidrolisis parsial pati terjadi selama fermentasi spontan yang menyebabkan

perubahan struktur granula pati menjadi lebih mudah didegradasi oleh amilase dan

menurunkan kadar RS2.

Tepung pisang hasil dari proses modifikasi dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan baik tanpa fermentasi maupun dengan fermentasi

memiliki puncak (peak) difraksi sinar X yang kuat pada sudut difraksi 17o dan 24o

(Gambar 4.4). Puncak difraksi sinar X pada tepung pisang modifikasi pemanasan

bertekanan-pendinginan masih berasosiasi dengan puncak difraksi sinar X tepung

pisang alami, akan tetapi tingkat kristalilitas yang dihasilkan lebih rendah pada

tepung pisang modifikasi dua siklus retrogradasi. Hal ini disebabkan karena

struktur granula pati rusak sehingga menurunkan tingkat kristalinitas tepung.

Kristalinitas pada tepung pisang modifikasi masih terdeteksi akibat terbentuknya

amilosa teretrogradasi (Soto et al. 2007).

Gambar 4.4 Pengaruh dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap

intensitas difraksi tepung pisang. ( ) tanpa fermentasi spontan, ( ) dengan fermentasi spontan

Proses retrogradasi dengan cara pemanasan bertekanan-pendinginan pada

irisan pisang menghasilkan tingkat kristalinitas sangat rendah yaitu 9.52% ± 0.18c

untuk tepung pisang dari proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan

dan 6.98% ± 0.07d untuk tepung pisang dari proses fermentasi dengan dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan (Lampiran 2b). Tingkat kristalinitas tepung

0

50

100

150

200

250

300

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42

Inte

nsita

s

Sudut Difraksi (2δo)

Page 77: Nurhayati 2011.pdf

49

pisang yang rendah berkorelasi positif dengan terjadinya kerusakan granula pati

akibat retrogradasi yaitu gelatinisasi pati oleh suhu tinggi pada kondisi basah (uap

air) dan restrukturisasi serta sineresis pati oleh suhu rendah.

Gelatinisasi menyebabkan granula pati rusak dan pada saat pendinginan

terjadi restrukturisasi pati menjadi pati resisten. Akan tetapi struktur yang

terbentuk bukan merupakan struktur granula pati melainkan struktur amilosa

teretrogradasi. Amilosa merupakan komponen pati yang berperan dalam

pembentukan pati teretrogradasi. Pati tersebut memiliki sifat resisten terhadap

enzim pencernaan yang disebut sebagai pati resisten tipe III (Tovar et al. 2002;

Saguilan et al. 2005; Sajilata et al. 2006).

KESIMPULAN

Fermentasi spontan pisang didominasi pertumbuhan bakteri asam laktat

hingga 106 CFU/mL. Modifikasi proses melalui fermentasi spontan dan siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi karakteristik fisikokimia

tepung pisang. Modifikasi secara fermentasi spontan selama 24 jam yang

dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu

meningkatkan kadar RS tepung pisang hingga empat kali (28.88%).

Fermentasi spontan dapat meningkatkan kadar amilosa yang selanjutnya

akibat proses pemanasan bertekanan-pendinginan akan membentuk amilosa

teretrogradasi sebagai RS3. Proses retrogradasi mampu menurunkan kristalinitas

tepung pisang dari 18.74-20.08% menjadi 6.98-9.52%. Difraksi sinar X

menunjukkan granula pati pisang var agung semeru adalah granula tipe C yaitu

campuran granula tipe A dengan tipe B.

DAFTAR PUSTAKA

[AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved Methods of the AACC.The Association, St. Paul, MN. 10th ed.

Abdillah F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiaca formatypica) melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf

Page 78: Nurhayati 2011.pdf

50

untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Ambriz SLR, Hernandez JJI, Acevedo EA, Tovar J, Perez LAB. 2008. Characterization of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. J Food Chem. 107: 1515–1521.

AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA

Carrera EC, Cruz AC, Guerrero LC, Ancona DB. 2007. Effect of pyrodextrinization on available starch content of Lima bean (Phaseolus lunatus) and Cowpea (Vigna unguiculata) starches. J Food Hydrocolloids. 21: 472–479

Datta R, Henry M. 2006. Lactic acid: recent advances in products, processes and technologies—a review. J Chem Technol Biotechnol. 81:1119–29

[Deptan] Departemen Pertanian. 2009. Produktivitas Pisang di Kabupaten Lumajang dalam Laporan Departemen Pertanian Kabupaten Lumajang Tahun 2009.

Eggleston G, Swennen R, Akoni S. 1992. Physicochemical studies on starches isolated from plantain cultivarm plantain hybrids and cooking bananas. J Starch. 44: 121-128

Eliasson AC, Gudmunsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional properties aspects. In: Carbohy in Food (Edited by Eliasson A.C.), Marcel Dekker, Inc. New York. p 431-504.

Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr. 46(Suppl.2):533-550.

Farhat IA, Protzmann J, Becker A, Valles-Pamies B, Neale R, Hill SE. 2001. Effect of the extent of conversion and retrogradation on the digestibility of potato starch. J Starch. 53: 431–436.

Gong Q, Wang LQ, Tu K. 2006. In situ polymerization of starch with lactic acid in aqueous solution and the microstructure characterization. J Carbohy Polymers. 64: 501–509

Hizukuri S. 1961. X-ray diffractometric studies on starches. Part VI. Crystalline types of amylodextrin and effect of temperature and concentration of mother liquor on crystalline type. J Agric and Biological Chem. 25: 45–49.

Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan

Page 79: Nurhayati 2011.pdf

51

Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Niba LL, Hoffman J. 2003. Resistant starch and β-glucan levels in grain sorghum (Sorghum bicolor M.) are influenced by soaking and autoclaving. J Food Chem. 81: 113–118

Saguilan AA, Huicochea EF, Tovar JT, Meraza FG, Pérez LAB. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch. 57: 405-412.

Santiago MCN, Perez LAB, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and rheological behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. J Carbohy Polymers. 56: 65–75

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.

Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Perez LAB. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499.

Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.

Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.

[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.

Tovar J, Melito C, Herrera E, Rascon A, Perez E. 2002. Resistant starch formation does not parallel syneresis tendency in different starch gels. J Food Chem 76: 455–459.

Tribess TB, Hernandez-Uribe JP, Mendez-Montealvo MGC, Menezes EW, Perez LAB, Tadini CC. 2009. Thermal properties and resistant starch content of green banana flour (Musa cavendishii) produced at different drying conditions. J Food Sci and Technol. 42:1022-1025.

Vishnu C, Naveena BJ, Altaf MD, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. J Enzyme Microb Technol. 38:545–50.

Waliszewski KN, Aparicio MA, Perez LAB, Monroy JA. 2002. Changes of banana starch by chemical and physical modification. J Carbohy Polimer. 52: 237-242. Elsevier Science Ltd.

Page 80: Nurhayati 2011.pdf

52

Wijbenga DJ. 2000. Enzymatic modification of starch granules: peeling off versus porosity. TNO Nutr and Food Research. www.voeding.tno.nl [12 Febr 2009].

Zang P, Whistler RL, Bemiller JN, Hamaker BR. 2005. Banana starch: production, physicochemical properties, and digestibility - a review. J Carbohy Polymers. 59: 443–458.

Page 81: Nurhayati 2011.pdf

53

5. IDENTIFIKASI FENOTIP DAN GENOTIP BAKTERI ASAM LAKTAT YANG BERPERAN SELAMA FERMENTASI

SPONTAN PISANG VAR AGUNG SEMERU (Musa paradisiaca formatypica)

[Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria during spontaneous fermentation of unripe var agung semeru banana (Musa

paradisiaca formatypica)]

ABSTRAK Fermentasi spontan pada suhu kamar selama 24 jam dilakukan dalam

pembuatan tepung pisang kaya pati resisten. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang mendominasi selama fermentasi spontan pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenotip dan genotip BAL indigenus pisang. Identifikasi fenotip dilakukan berdasarkan morfologi umum, uji fisiologi dan biokimiawi menggunakan kit API (analytical profile index). Identifikasi genotip dilakukan dengan menggunakan PCR dan analisis sekuen DNA pengkode 16S rRNA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAL yang tumbuh memiliki karakteristik sel bentuk batang yang tumbuh optimal pada suhu 35 oC dan memiliki kemampuan memfermentasi D-ribosa, D-xilosa, D-glukosa, D-fruktosa, D-manosa, N-asetil glukosamin, arbutin, eskulin feri sitrat, salisin, D-seliobiosa, D-maltosa, D-sukrosa dan gentiobiosa. Isolat BAL FSnh1 juga mampu menggunakan D-galaktosa, L-sorbosa, L-rhamnosa, amigdalin dan kalium glukonat, sedangkan isolat FSnhA juga mampu menggunakan gliserol, metil αD-glukopiranosa, D-laktosa, D-meliobiosa, D-trehalosa dan D-turanosa sebagai sumber karbon. Identifikasi genotip menunjukkan bakteri asam laktat FSnh1 dan FSnhA termasuk famili Lactobacillaceae dengan genus Lactobacillus. Hasil analisis pohon filogenetik menunjukkan isolat BAL FSnh 1 memiliki similaritas dengan L. salivarius dan isolat BAL FSnh A memiliki similaritas dengan L. fructivorans.

ABSTRACT Spontaneous fermentation at room temperature for 24 h was conducted in

the resistant starch-rich banana flour production. The investigation showed that lactic acid bacteria (LAB) were the dominating bacteria during spontaneous fermentation of unripe var agung semeru banana (Musa paradisiaca formatypica). The objectives of the research were to identify the LAB phenotypic and genotypic. Phenotypic identification was based on general morphology, physiological test, and biolochemical test using API (Analytical Profile Index) kit. Genotypic identification was conducted by using polymerase chain reaction (PCR) and analyses of 16S rRNA sequence. The result showed that LAB are the predominant species as Gram-positive rod and have ability to ferment D-ribose,

Page 82: Nurhayati 2011.pdf

54

D-xilose, D-glucose, D-fructose, D-mannosa, N-acetyl glucosamin, arbutin, esculin fericitrat, salicin, D-celiobiose, D-maltose, D-saccarose and gentiobiose as carbon source. Beside that FSnh1 isolate able to ferment D-galactose, L-sorbose, L-rhamnose, amygdalin and kalium gluconat, while FSnhA isolate used glycerol, metil αD-glucopyranosid, D-lactose, D-meliobiose, D-trehalose and D-turanose as carbon source. The genotypic identification showed that Lactobacillus sp associated with the spontaneous fermentation of var agung semeru banana were identified as L. salivarius and L. fructivorans.

Keywords: Musa paradisiaca formatypica, phenotypic-genotypic identification, Lactobacillus salivarus, Lactobacillus fructivorans

PENDAHULUAN

Salah satu proses modifikasi tepung pisang adalah fermentasi spontan yang

dikombinasi dengan pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses ini mampu

meningkatkan kandungan RS3 pada tepung pisang. Selama fermentasi spontan

dilaporkan bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh dominan hingga jam ke-100

(Jenie et al. 2009; Abdillah 2010). Akan tetapi BAL yang tumbuh belum

diidentifikasi fenotip dan genotipnya.

Fermentasi yang terjadi secara spontan tidak dapat digunakan untuk

menjaga mutu produk yang dihasilkan. Penggunaan kultur starter indigenus dari

bahan aslinya akan memudahkan dalam mengendalikan proses fermentasi serta

memberikan hasil fermentasi yang lebih baik dan sesuai dengan karakteristik

produk yang diinginkan. Fermentasi urutan (sosis daging babi sebagai makanan

khas Bali) menggunakan starter L. plantarum dan Pediococcus acidilactici yang

diisolasi dari urutan tradisional (fermentasi spontan) serta mampu menghasilkan

karakteristik sosis yang lebih baik daripada urutan hasil fermentasi spontan

(Antara et al. 2002; Antara 2010). Oleh karena itu isolasi dan identifikasi BAL

dari strain indigenus sangat penting dilakukan untuk mengembangkan produk

pangan lokal.

Identifikasi BAL dapat dilakukan berdasarkan fenotip dan genotip.

Identifikasi fenotip didasarkan pada hasil pengamatan morfologi seperti bentuk sel

dan pewarnaan Gram, uji fisiologis, metabolik (biokimia) atau kemotaksonomi.

Identifikasi genotip dapat dilakukan dengan menggunakan metode molekuler

Page 83: Nurhayati 2011.pdf

55

yaitu sekuensing gen pengkode 16S rRNA bakteri dengan metode Polymerase

Chain Reactions (PCR)-sekuensing (Ammor et al. 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi fenotip dan genotip BAL

yang diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru (Musa

paradisiaca formatypica). Pisang tersebut merupakan jenis pisang plantain yang

banyak dibudidayakan di Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur dengan

tingkat produksi dapat mencapai lebih dari 57 ribu ton per tahun (RPJMD

Lumajang 2009).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari

Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang

Propinsi Jawa Timur. Pisang yang digunakan berumur 16 minggu dari awal

pembungaan yang memiliki tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan

kulit hijau merata. Primer universal 16S rRNA adalah 63F dan 1387R yang

diperoleh dari PT. Genetika Science of Indonesia (order ID: 82804-2028)

Metode

Isolasi Bakteri Asam Laktat

Pisang dikupas dan diiris melintang membentuk lembaran dengan ketebalan

sekitar 5 mm. Sebanyak 750 g irisan pisang dimasukkan ke dalam erlenmeyer

berisi 1000 mL akuades steril dan diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam.

Selanjutnya 10 mL air rendaman diambil dan dilakukan pengenceran hingga 10-3

kemudian dilakukan pemupukan pada media de Mann Rogosa Sharp (MRS) agar

dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama dua hari. Koloni tunggal dimurnikan

dengan goresan kuadran selanjutnya dikelompokkan berdasarkan bentuk koloni,

sifat Gram positif, katalase negatif, dan bentuk morfologi (kokus atau batang).

Page 84: Nurhayati 2011.pdf

56

Isolat diinokulasikan dalam media MRS cair dan diinkubasi pada suhu 37 oC

selama 24 jam. Isolat sebelum digunakan dapat disimpan dalam sediaan gliserol

(30% v/v) pada suhu -20 oC.

Identifikasi Fenotip Menggunakan API 50CHL (API-Biomerieux)

Isolat BAL diinokulasikan pada media MRS agar dengan metode gores dan

diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kultur dipersiapkan dengan

mengambil isolat dan dimasukkan ke dalam 10 mL medium suspensi API

(Analytical Profile Index). Lubang pada tatakan plastik diberi akuades steril (± 1

ml), selanjutnya 1 mL kultur diteteskan pada 50 microtube API 50CHL yang

berisi 49 jenis gula, dan pada bagian atas ditutup dengan 1ml parafin cair steril.

Kit API 50CHL diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Terjadinya perubahan

warna dari biru menjadi hijau hingga kuning atau hitam dinyatakan sebagai uji

positif. Selanjutnya profil isolat dianalisis dengan menggunakan Program

APIWEBTM untuk mengetahui identitas kedekatannya (genus dan spesies).

Identifikasi Genotip Menggunakan PCR dan Analisis Urutan DNA Pengkode

16S rRNA

Identifikasi genotip dilakukan dengan mengekstrak DNA pengkode 16S

rRNA yang selanjutnya diamplifikasi dan dilakukan sekuensing. Ekstraksi DNA

genomik menggunakan Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB). Sebanyak

1.5 mL kultur dalam tabung eppendorf disentrifus (5000 rpm, 7 menit) dan

supernatan dibuang sedangkan pelet ditambah 1 mL akuabides steril yang

selanjutnya disentrifus lagi. Pelet ditambah 600 µL buffer CTAB (1.5% CTAB,

75 mM Tris HCL, pH 8.0, 15 mM EDTA, 1.05 M NaCl) yang mengandung

polivinilpirolidon 2% dan dicampur hingga merata kemudian diinkubasi pada

suhu 65 oC selama 30 menit. Inkubasi dilanjutkan dalam balok es selama 5 menit

yang kemudian ditambah 600 µL PCI (fenol-klorofom-isoamil) dan dibolak balik

serta disentrifus (10.000 rpm, suhu ruang, 10 menit). Supernatan ditambah 600 µL

Page 85: Nurhayati 2011.pdf

57

PCI (fenol-klorofom-isoamil) dan dibolak balik, selanjutnya disentrifus lagi

(10.000 rpm, suhu ruang, 10 menit). Supernatan diambil dan ditambah 2M Na-

asetat pH 5.2 (0.1 x volume) dan etanol murni (2 x volume) kemudian disimpan

dalam freezer selama 2 jam. Selanjutnya larutan tersebut disentrifus (10.000 rpm,

4 oC, 20 menit). Pelet dibilas dengan etanol 70% (500 µL) dan disentrifus (10.000

rpm, 4 oC, 5 menit). Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan dengan pengering

vakum 37 - 40 oC selama 15 menit. Ekstrak DNA ditambah 15 µL akuabides dan

6 µL RNAase (100 µg/mL) serta dipanaskan pada suhu 70 oC selama 10 menit.

Visualisasi DNA dilakukan pada gel agarosa (1.5%) dalam larutan 1mM TAE

(Tris Asetat EDTA) 1 X. Pita-pita DNA diamati di bawah UV transilluminator

GelDoc (Labquip) dan difoto dengan kamera UV Canon 1200 (Thompson et al.

1995; Suharsono dan Widyastuti, 2008).

Amplifikasi DNA Pengkode 16S rRNA dengan PCR (Polymerase Chain

Reaction)

Reaksi amplifikasi sampel DNA dilakukan dalam 0.2 mL tabung PCR. Pada

setiap tabung reaksi PCR ditambahkan RBC Taq (5 unit/mL) sebanyak 0.25 μL,

10 x buffer Taq (mengandung Mg2+) sebanyak 5 μL, dNTP 2.5mM sebanyak 4

μL, primer universal 63F (5’-CAGGCCTAACACATGCAAGTC-3’) dan primer

universal 1387R (5’-GGGCGGWGTGTACAAGGC-3’) sebanyak masing-masing

1.25 μL (20 pmol) dan 1.25 μL (20 pmol), ekstrak genom sebanyak 2.5 μL (100

ng) dan ditambah ddH2O sampai volume menjadi 50 μL.

Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan alat PCR PTC 100 (MJ

Research, Inc) pada suhu 95 oC selama 5 menit, dilanjutkan dengan denaturasi

pada suhu 94 oC selama 30 detik kemudian 30 siklus penempelan primer pada

suhu 50 oC selama 1 menit, 72 oC selama 2 menit, dan tahap akhir pasca sintesis

pada suhu 72 oC selama 5 menit dan 15 oC selama 10 menit. Produk PCR diambil

dan disimpan pada suhu 4 oC untuk selanjutnya diperiksa dengan menggunakan

elektroforesis agarosa 1% b/v dalam TAE 1x, 100 V selama 30 menit (Sambrook

dan Russel 2008; Suharsono dan Widyastuti 2008).

Page 86: Nurhayati 2011.pdf

58

Analisis Urutan DNA Pengkode 16S rRNA

Sekuensing DNA pengkode 16S rRNA dilakukan oleh 1st Base Singapura

melalui PT. Genetika Science of Indonesia. Analisis hasil sekuensing dilakukan

dengan memBLAST urutan nukleotida dari hasil sekuensing DNA pengkode 16S

rRNA dengan data base yang tersedia pada situs www.ncbi.nlm.hts.nih. Pensejajaran

ganda (multiple alignment) dilakukan dengan menggunakan Program Clustal W.

Selanjutnya visualisasi kekerabatan menggunakan pohon filogenetik Program

TREEVIEW X dengan Neighbor-Joining plot (Thompson et al. 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fenotip Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi memiliki karakteristik morfologi

yaitu bentuk selnya batang dan tumbuh optimal pada suhu 35 oC. Karakteristik

BAL yang tumbuh dapat dilihat pada Tabel 5.1. Dua belas isolat dikelompokkan

menjadi dua kelompok berdasarkan kesamaan morfologi, sifat homofermentatif

atau heterofermentatif dan suhu pertumbuhannya. BAL yang tumbuh lebih

dominan (FSnh1-10) memiliki ciri yaitu koloni bulat sedang, berwarna putih susu

dengan elevasi cembung, tidak membentuk gas dan dapat tumbuh pada suhu 45 oC tetapi tidak tumbuh pada suhu 15 oC. BAL yang tumbuh kurang dominan

(FSnhA-B) memiliki ciri yaitu koloni bulat kecil berwarna putih bening dengan

elevasi seperti tetesan, membentuk gas dan dapat tumbuh pada suhu 15 oC dan 45 oC. Identifikasi lanjut seperti uji fermentatif menggunakan kit API 50 CHL dan

identifikasi genotip berdasarkan gen pengkode 16S rRNA dilakukan pada dua

kelompok yang diwakili oleh isolat BAL FSnh1 untuk BAL homofermentatif

yang tumbuh dominan dan isolat BAL FSnhA untuk BAL heterofermentatif yang

tumbuh kurang dominan.

Page 87: Nurhayati 2011.pdf

59

Tabel 5.1 Karakteristik bakteri asam laktat yang diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung semeru

No Isolat BAL

Karakteristik

Gram Gas Katalase Bentuk Sel Tipikal koloni Suhu Pertumbuhan

15oC 35oC 45oC

1 FSnh1 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

2 FSnhA + + - Batang Bulat kecil berwarna putih bening dengan elevasi seperti tetesan

+ +++ ++

3 FSnh2 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

4 FSnh3 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

5 FSnh4 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

6 FSnh5 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

7 FSnh6 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

8 FSnh7 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

9 FSnh8 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung

- +++ ++

10 FSnhB + + - Batang Bulat kecil berwarna putih bening dengan elevasi seperti tetesan

+ +++ ++

11 FSnh9 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung.

- +++ ++

12 FSnh10 + - - Batang Bulat sedang berwarna putih susu dengan elevasi cembung.

- +++ ++

Kedua isolat BAL tersebut (isolat BAL FSnh1 dan isolat BAL FSnhA) pada

substrat gula kit API 50CHL menunjukkan pola fermentasi yang berbeda dan

mampu memfermentasi gula tertentu sebagai sumber karbon. Pola fermentasi

yang dihasilkan oleh isolat FSnh1 dan isolat FSnhA dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Page 88: Nurhayati 2011.pdf

60

Tabel 5.2 Pola fermentasi isolat BAL FSnh 1 dan isolat BAL FSnh A pada Kit API 50CHL

Sumber Karbon Kemampuan Memfermentasi Isolat BAL FSnh1 Isolat BAL FSnhA

Gliserol - + D-ribosa + + D-xilosa + + D-galaktosa + - D-glukosa + + D-fruktosa + + D-manosa + + L-sorbosa + - L-rhamnosa + - Metil αD-glukopiranosida - + N-asetil glukosamin + + Amigdalin + - Arbutin + + Eskulin feri sitrat + + Salisin + + D-seliobiosa + + D-maltosa + + D-laktosa - + D-meliobiosa - + D-sukrosa + + D-trehalosa - + Gentiobiosa + + D-turanosa - + Kalium glukonat + -

Uji fermentasi pada kit API 50CHL menunjukkan bahwa kedua isolat

mampu memfermentasi D-ribosa, D-xilosa, D-glukosa, D-fruktosa, D-manosa, N-

asetil glukosamin, arbutin, eskulin feri sitrat, salisin, D-seliobiosa, D-maltosa, D-

sukrosa dan gentiobiosa. Selain itu isolat BAL FSnh1 juga mampu

memfermentasi D-galaktosa, L-sorbosa, L-rhamnosa, amigdalin dan kalium

glukonat, sedangkan isolat BAL FSnhA juga mampu memfermentasi gliserol,

metil αD-glukopiranosa, D-laktosa, D-meliobiosa, D-trehalosa dan D-turanosa

sebagai sumber karbon. Adanya perbedaan kemampuan memfermentasi sumber

karbon tertentu pada kedua isolat BAL yaitu D-galaktosa, L-sorbosa, L-rhamnosa,

gliserol, metil αD-glukopiranosa, amigdalin, D-laktosa, D-meliobiosa, D-

trehalosa, D-turanosa, dan kalium glukonat menunjukkan fenotip biokimiawi

Page 89: Nurhayati 2011.pdf

61

kedua isolat tersebut berbeda. Tamang et al. (2008) melaporkan bahwa

identifikasi dengan menggunakan API 50CHL dan karakteristik biologi perlu

dilanjutkan dengan identifikasi genotip untuk memperjelas di tingkat strain

berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA.

Karakteristik Genotip Bakteri Asam Laktat

Karakterisasi genotip isolat BAL dilakukan berdasarkan DNA pengkode

16S rRNA untuk menentukan genus dan strainnya. DNA pengkode 16S rRNA

dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk definisi spesies karena molekul

ini ada pada setiap bakteri dengan fungsi yang identik pada seluruh bakteri. Oleh

karena itu dapat dirancang suatu primer yang universal untuk seluruh kelompok

bakteri. Data urutan basa gen penyandi 16S rRNA dapat digunakan untuk

mengkonstruksi pohon filogenetik yang menunjukkan nenek moyang dan

hubungan kekerabatan suatu organisme (Ward 1998; Pangastuti 2006).

DNA dari isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA diamplifikasi dengan

menggunakan primer 63F dan 1387R, sedangkan marker pita DNA yang

digunakan mendekati 1500 pasang basa. Hal ini relevan dengan produk PCR yang

dihasilkan yaitu sekitar 1400 pasang basa (Gambar 5.1).

Gambar 5.1 Hasil elektroforesis agarosa 1% dan amplifikasi DNA pengkode gen 16S rRNA dengan PCR. M = marka DNA 1kb DNAladder. a = BAL FSnh1; b = BAL FSnhA

~ 1400 pb

12000 pb

1650 1000

b M a

Page 90: Nurhayati 2011.pdf

62

Hasil pensejajaran sekuen DNA pengkode 16S rRNA menunjukkan isolat

BAL FSnh1 dan BAL FSnhA merupakan famili Lactobacillaceae. Hasil Program

Clustal W menunjukkan skor kedekatan tertinggi dari kedua isolat tersebut adalah

84 terhadap genus Lactobacillus. Komposisi nukleotida penyusun DNA pengkode

16S rRNA setiap isolat BAL berbeda sehingga dilakukan analisis kekerabatan

menggunakan program BLAST-N (Basic Local Alignment Search Tool-

Nucleotide) yang dapat diakses secara online dari website NCBI. Berdasarkan

analisis program BLAST-N maka diketahui homologi spesies dari isolat BAL

FSnh1 dan isolat BAL FSnhA seperti yang disajikan pada Tabel 5.3. Isolat BAL

FSnh1 memiliki kemiripan/similaritas dengan Lactobacillus delbruekci subsp.

bulgaricus NDO2 (81%), L. amylovorus GRL 1112 (80%) dan L. iners (80%)

yang masing-masing memiliki query coverage di atas 80%. Isolat BAL FSnhA

memiliki kemiripan 81% dengan Lactobacillus iners dan L. delbruekci subsp.

bulgaricus, serta 80% dengan Leuconostoc mesenteroides subsp cremoris ATCC

19254.

Tabel 5.3 Hasil analisis sekuen DNA pengkode gen 16SrRNA dari isolat BAL FSnh1 dan FSnhA menggunakan program BLAST-N

Isolat Spesies Bakteri Asam Laktat Homolog

Query Coverage

(%)

Identitas Maksimal

(%)

Kode Akses

FSnh1 Lactobacillus delbruekci subsp. bulgaricus NDO2

Lactobacillus amylovorus GRL 1112

Lactobacillus iners LEAF

86

86

85

81

80

80

NC 008054.1

ACKV01000113.1

AEKH01000023.1

FSnhA Lactobacillus iners LEAF

Lactobacillus delbruekci subsp. bulgaricus NDO2

Leuconostoc mesenteroides subsp cremoris ATCC 19254

84

85

85

81

81

80

AEKH01000023.1

NC 008054.1

ACKV01000113.1

Hasil analisis kekerabatan dengan program BLAST-N kemudian dilanjutkan

dengan analisis pohon filogenetik secara dua tahap menggunakan program

TREEVIEW X yang dikombinasikan dengan program NJplot. Tahap pertama

Page 91: Nurhayati 2011.pdf

63

mensejajarkan sekuen kedua isolat BAL dengan isolat internasional dari genus

yang berbeda dalam satu famili yaitu Lactobacillaceae (Gambar 5.2).

Gambar 5.2 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA

isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu famili Lactobacillaceae

Hasil analisis pohon filogenetik tahap pertama menunjukkan bahwa kedua

isolat BAL memiliki skor kesejajaran tertinggi dengan Lactobacillus sebesar 84

dan skor kesejajaran terendah dengan Weisella sebesar 39. Skor kesejajaran antara

isolat BAL FSnh1 dan isolat BAL FSnhA sebesar 92 yang menunjukkan bahwa

kedua isolat tersebut berada dalam genus yang sama yaitu Lactobacillus.

Tahap kedua adalah mensejajarkan kedua isolat BAL dengan isolat

internasional dari spesies yang berbeda dalam genus Lactobacillus dari hasil tahap

pertama. Hasil analisis pohon filogenetik tahap kedua menggunakan program

NJplot menunjukkan bahwa isolat FSnh1 memiliki skor tertinggi sebesar 87

dengan Lactobacillus salivarius ATCC 11741, sedangkan isolat FSnhA memiliki

skor tertinggi sebesar 86 dengan Lactobacillus fructivorans (Gambar 5.3). L.

salivarius dan L. fructivorans memiliki skor kesejajaran sebesar 98 yang

menunjukkan kekerabatan yang dekat antara kedua isolat yaitu memiliki genus

yang sama (Lactobacillus).

LeuconostocFructobacillus

0.0230.055

Oenococcus

0.028

0.112Abiotrophia

AerococcusEremococcus

0.0620.050

0.060

0.016

StreptococcusLactococcus

0.0500.061

0.030

EnterococcusGranulicatellaCarnobacterium

0.0380.037

0.048

Pediococcus0.080

0.010

Lactobacillus0.077

0.009

0.016

FSnh1FSnhA

0.1450.032

0.068

0.087

Weissella

0.192

0.3550.05

Page 92: Nurhayati 2011.pdf

64

Gambar 5.3 Pohon filogenetik berdasarkan sekuen DNA pengkode 16S rRNA

dari isolat BAL FSnh1 dan BAL FSnhA yang dibandingkan dengan sekuen DNA pengkode 16S rRNA bakteri asam laktat genbank dalam satu genus Lactobacillus

Berdasarkan hasil identifikasi genotip, fermentasi spontan pisang var agung

semeru didominasi oleh BAL genus Lactobacillus sp. Pisang var agung semeru

merupakan salah satu jenis pisang olahan (plantain) yang memiliki kadar pati

lebih dari 70 g /100 g tepung yang dihasilkan. Reddy et al. (2008) menjelaskan

bahwa Lactobacillus sp juga dapat ditemukan pada produk pangan berpati seperti

pada fermentasi singkong, beras, dan gandum.

Fermentasi spontan pisang var agung semeru dilakukan secara terendam

dalam akuades steril dengan menggunakan erlenmeyer dan ditutup secara aseptis.

Kondisi demikian memungkinkan bakteri anaerob fakultatif atau mikroaerofilik

seperti L. salivarius dan L. fructivorans yang tumbuh dalam kondisi oksigen

terbatas. L. salivarius adalah bakteri gram positif dengan G + C 32.9%, batang

pleomorfik, anaerob fakultatif, katalase negatif, nonmotil, homofermentatif

obligat, tumbuh baik pada suhu 37 oC (Stern et al. 2006). Bakteri tersebut hidup di

inang seperti pada mulut dan saluran pencernaan mamalia termasuk manusia

(Mozzi et al. 2010).

L.sobriusL.amylovorusL.helveticus

0.008

0.012L.salivarius

L.paracaseiL.fermentumL.vaginalis

0.0540.060

L.collinoides0.011

0.050L.lindneri

L.fructivorans0.0290.019

0.027

0.0760.053

0.061

0.008

FSnh1FSnhA

0.1420.036

0.094

0.087L.casei

L.rhamnosus0.1140.140

L.curvatus0.177

0.278

0.169

0.044

0.05

Page 93: Nurhayati 2011.pdf

65

L. fructivorans merupakan bakteri asam laktat berbentuk batang, dapat

tumbuh pada suhu 45 oC, heterofermentatif obligat, dapat membentuk gas dari

glukosa dan glukonat (Dicks & Endo 2009). Hasil BLAST-N isolat FSnhA

memiliki kemiripan dengan isolat Leuconostoc mesenteroides hal ini diduga

karena L. fructivorans dan L. mesenteroides memiliki sifat yang sama yaitu

bersifat heterofermentatif obligat.

KESIMPULAN

Karakteristik bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh pada fermentasi

spontan pisang 24 jam adalah BAL dengan sel berbentuk batang yang tumbuh

optimal pada suhu 35 oC, dapat tumbuh pada suhu 45 dan atau 15 oC dengan tipe

koloni bulat kecil – sedang, berwarna putih bening – susu dengan elevasi

cembung atau seperti tetesan, homofermentatif atau heterofermentatif.

Pola fermentasi kedua isolat adalah berbeda sehingga dilakukan konfirmasi

genotip dengan menggunakan PCR dan sekuen DNA pengkode 16S rRNA untuk

mengidentifikasi di tingkat strain. Visualisasi genotip pada pohon filogenetik

menunjukkan bahwa kedua isolat BAL indigenus pisang adalah Lactobacillus

salivarius untuk isolat BAL FSnh1 dan L. fructivorans untuk isolat BAL FSnhA.

DAFTAR PUSTAKA

Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Antara NS, Sujaya IN, Yokota A, Asano K, Aryanta WR, Tomita F. 2002. Identification and succession of lactic acid bacteria during fermentation of ‘urutan’, a Balinese indigenous fermented sausage. World J Microbiol & Biotechnol. 18: 255–262, 2002.

Ammor S, Rachman C, Chaillou S, Prevost H, Dousset X, Zagorec M, Dufour E, Chevallier I. 2005. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from a small-scale facility producing traditional dry sausages. J Food Microbiol. 22: 373–382

Page 94: Nurhayati 2011.pdf

66

Arief II, Jenie BSL, Asyawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. J Media Peternakan. 33 (3): 137-143.

Bjorkroth KJ, Schillinger U, Geisen R, Weiss N, Hoste B, Holzapfel WH, Korkeala HJ, Vandamme P. 2002. Taxonomic study of Weissella confusa and description of Weissella cibaria sp. nov., detected in food and clinical samples. Int J Systematic and Evolutionary Microbiol. 52; 141–148

Dicks LMT, Endo A. 2009. Taxonomic Status of Lactic Acid Bacteria in Wine and Key Characteristics to Differentiate Species. S. Afr. J Enol. Vitic. 30 (1): 72-90

Katina K, Maina NH, Juvonen R, Flander L, Johansson L, Virkki L, Tenkanen M, Laitila A. 2009. In situ production and analysis of Weissella confusa dextran in wheat sourdough. J Food Microbiol. 26: 734–743

Kusumawati N, Jenie BSL, Siswasetyahadi, Hariyadi RD. 2003. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J Mikrobiologi Indonesia. 8 (2): 39-43

Malik A, Ariestanti DM, Nurfachtiyani A, Yanuar A. 2008. Skrining gen glukosiltransferase (gtf) dari bakteri asam laktat penghasil eksopolisakarida. J Makara Sains. 12 (1): 1-6

Mozzi F, Raya RR, Fignolo GM. 2010. Biotecnology of Lactic Acid Bacteria: novel application. Wiley Blackwell Publishing. State Avenue-Ames-Iowa USA.

Pangastuti A. 2006. Definisi spesies prokaryota berdasarkan urutan basa gen penyandi 16s rRNA dan gen penyandi protein. J Biodiversitas. 7(3) : 292-296.

Plessis HW, Dicks LMT, Pretorius IS, Lambrechts MG, Toit MD. 2004. Identification of lactic acid bacteria isolated from South African brandy base wines. Intern J Food Microbiol. 91: 19– 29

Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Elsevier- Biotechnol Adv. 26: 22–34.

[RPJMD] Kabupaten Lumajang. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Kabupaten Menengah Daerah Kabupaten Lumajang 2010 - 2014.

Sambrook J, Russel DW. 2008. Molecular Cloning a Laboratory Manual, Third Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York, p.999

Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50 (9) :3111–3116

Page 95: Nurhayati 2011.pdf

67

Suharsono, Widyastuti U. 2008. Penuntun Praktikum; Pengantar Genetika Molekuler. Departemen Biologi-FMIPA. Institut Pertanian Bogor

Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Dwipayanti NMU, Nociaanitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari susu kuda sumbawa. J Veteriner. 9 (2): 52-59

Tamang B, Tamang JP, Schillinger U, Franz CMAP, Gores M, Holzapfel WH. 2008. Phenotypic and genotypic identification of lactic acid bacteria isolated from ethnic fermented bamboo tender shoots of North East India. Int J Food Microbiol. 121: 35–40

Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1995. CLUSTAL W: Improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, Position specific gap penalties and weight matrix choice. Nucleic Acid Res. 22: 4673-4680

Vela AI, Porrero C, Goyache J, Nieto A, Sánchez B, Briones V, Moreno MA, Domínguez L, Garayzábal JFF. 2003. Weissella confuse Infection in Primate (Cercopithecus mona). J Emerging Infectious Diseases. 9 (10)

Ward DM. 1998. A natural species concepts for procaryotes. Current Opinion in Microbiol. 1: 271-277

Page 96: Nurhayati 2011.pdf

68

Page 97: Nurhayati 2011.pdf

69

6. PENINGKATAN PATI RESISTEN TEPUNG PISANG MELALUI FERMENTASI OLEH Lactobacillus salivarius FSnh1

DENGAN DUA SIKLUS PEMANASAN BERTEKANAN-PENDINGINAN

[Improving of banana flour resistant starch by using fermentation of

Lactobacillus salivarius FSnh1 with two cycles of autoclaving-cooling]

ABSTRAK Pati resisten (RS) tepung pisang dapat ditingkatkan melalui fermentasi

spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, akan tetapi fermentasi spontan kurang dapat mengendalikan proses fermentasi dan mutu produk. Penelitian ini bertujuan meningkatkan RS tepung pisang melalui fermentasi terkendali menggunakan starter indigenus pisang (Lactobacillus salivarius FSnh1) yang dilanjutkan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Fermentasi dilakukan pada irisan pisang pada suhu ruang selama 12 jam dan 24 jam yang dilanjutkan dengan pemanasan bertekanan (suhu 121 oC, 15 menit) dan pendinginan (suhu 4 oC, 24 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 (106 CFU/mL) selama 12 jam dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan meningkatkan kadar RS lebih tinggi daripada fermentasi 24 jam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 dapat mempersingkat waktu fermentasi pisang sekitar 12 jam dalam pembuatan tepung pisang kaya pati resisten.

ABSTRACT Resistant starch (RS) could be increase by combination of spontaneous

fermentation with two cycles of autoclaving-cooling process, but the spontaneous fermentation could not controll the fermentation process and quality of product. The research improved banana flour resistant starch by controlled fermentation using indegenous banana starter (Lactobacillus salivarius FSnh1) followed by two cycles of autoclaving-cooling process. Fermentation was conducted on the banana slices at room temperature for 12 and 24 h, then followed by two cycles of autoclaving (121 oC, 15 min) and cooling (4oC, 24 h). The result showed that 12 h fermentation by L. salivarius FSnh1 (106 CFU/mL) increased RS content more higher than 24 h fermentation . It can be concluded that utilization of L. salivarius FSnh1 can reduce the time of banana fermentation up to 12 h on the production of RS-rich banana flour.

Keywords: Lctobacillus salivarius FSnh1, controlled fermentation, autoclaving-cooling process, resistant starch.

Page 98: Nurhayati 2011.pdf

70

PENDAHULUAN

Tepung pisang sebagai ingredien pangan fungsional khususnya kaya pati

resisten (resistant starch/RS) sedang menarik perhatian untuk diteliti. Hal ini

berhubungan dengan potensi RS sebagai kandidat prebiotik yang bersifat selektif

bagi pertumbuhan bakteri yang menguntungkan (probiotik) sehingga akan

memberikan efek menyehatkan bagi manusia. Salah satu modifikasi proses untuk

pembuatan tepung pisang modifikasi kaya RS telah dirintis oleh Jenie et al.

(2009). Fermentasi spontan yang dikombinasi dengan proses otoklaf-pendinginan

mampu meningkatkan kandungan pati resisten tipe III (RS3) tepung pisang lebih

dari 17% per berat kering tepung.

Penelitian sebelumnya menunjukkan fermentasi spontan selama 24 jam

pada pisang var agung semeru didominasi oleh bakteri asam laktat (BAL) dari

genus Lactobacillus yaitu strain L. salivarus FSnh1. Fermentasi secara spontan

memiliki kelemahan diantaranya yaitu jenis mikroba yang tumbuh dapat

bervariasi dan sangat tergantung pada kondisi dan lingkungan sehingga sulit

dikendalikan. Populasi awal BAL yang rendah dapat menyebabkan bakteri

pembusuk serta bakteri patogen tumbuh cepat mendahului pertumbuhan BAL

(Antara 2010).

L. salivarius adalah bakteri gram positif dengan G+C antara 33 sampai 36%,

batang pleomorfik dengan ukuran 0.6 × 1.5-5 µm, anaerob fakultatif, katalase

negatif, nonmotil, homofermentatif obligat, tidak membentuk spora, membentuk

koloni putih susu, tumbuh optimal pada suhu 37 oC dan dapat tumbuh pada suhu

45 oC tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu 15 oC (Rogosa et al. 1953; Stern et al.

2006). Pertama kali ditemukan, L. salivarius dikenal sebagai L. cellobiosus karena

kemampuannya untuk memfermentasi selobiosa dan sumber karbon lainnya

seperti fruktosa, manosa, N-asetilglukosamin dan sukrosa. Beberapa strain mampu

memfermentasi galaktosa, maltosa dan rhamnosa (Rogosa et al. 1953). Bakteri

tersebut umumnya hidup di inang seperti pada mulut dan saluran pencernaan

mamalia termasuk manusia (Mozzi et al. 2010).

Page 99: Nurhayati 2011.pdf

71

Jenie et al. (2009) melaporkan bahwa fermentasi pisang menggunakan

starter L. fermentum maupun L. plantarum kik dapat meningkatkan kadar RS

hampir dua kali pada fermentasi 24 jam. Kadar RS tepung pisang menurun jika

fermentasi diperpanjang hingga 72 jam dan rendemen tepung yang dihasilkan

rendah.

Penggunaan kultur starter indigenus dari bahan aslinya akan memudahkan

dalam mengendalikan proses fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang

lebih baik dan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan (Antara 2010).

Penelitian ini akan menggunakan starter BAL indigenus yaitu L. salivarius FSnh1

dalam upaya meningkatkan RS tepung pisang modifikasi. Irisan pisang

difermentasi dengan menggunakan starter selama 12 dan 24 jam yang selanjutnya

diberi proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan

tepung pisang modifikasi yang kaya pati resisten.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari

Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang

Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan

dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.

Isolat L. salivarius FSnh1 diisolasi dari fermentasi spontan pisang var agung

semeru pada fermentasi jam ke-24. Starter disiapkan dengan menumbuhkan L.

salivarius FSnh 1 pada media MRSB yang diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24

jam.

Metode

Pembuatan Tepung Pisang

Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya dimasukkan ke dalam

wadah erlenmeyer tertutup yang berisi akuades steril (3:4). Kultur L. salivarius

FSnh1 diinokulasikan pada pisang sehingga populasi kultur mencapai jumlah 106

Page 100: Nurhayati 2011.pdf

72

CFU/ml. Selanjutnya pisang diinkubasi selama 12 dan 24 jam pada suhu kamar

dalam kondisi tertutup. Pisang ditiriskan selanjutnya diberi proses dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan. Proses pemanasan bertekanan dilakukan

dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit yang dilanjutkan

dengan pendinginan pada suhu 4 oC selama 24 jam. Pisang yang sudah

diretrogradasi dikeringkan (50 oC, 16 jam) dan dihaluskan serta diayak dengan

menggunakan ayakan 80 mesh. Tepung pisang kontrol disiapkan tanpa modifikasi

yaitu pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm dan dikeringkan pada suhu 50 oC

selama 16 jam selanjutnya dihaluskan serta diayak dengan ayakan 80 mesh.

Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik sampling

bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.

Pengamatan Populasi Bakteri Asam Laktat

Cairan fermentasi pisang diambil sebanyak 10 mL dari pisang yang

difermentasi selama 12 jam dan 48 jam untuk menghitung populasi L. salivarius

FSnh1. Selanjutnya ditambah dengan 90 ml akuades steril dan dilakukan

pengenceran berseri. Tiga seri hasil pengenceran dipipet sebanyak 1 ml dan

dilakukan pemupukan metode tuang pada media de Mann Rogosa Sharp Agar

(MRSA), kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 hari. Nilai pH diukur

dengan menggunakan pHmeter, sedangkan total asam laktat ditentukan dengan

menggunakan metode titrimetri.

Analisis Komposisi Pati (Amilosa, RDS, SDS dan RS)

Analisis komposisi kimia pati meliputi kadar pati, amilosa dan kadar pati

dicerna cepat (RDS), pati dicerna lambat (SDS) dan pati resisten (RS). Analisis

kadar pati menggunakan metode hidrolisis langsung oleh asam, sedangkan

analisis kadar amilosa menggunakan metode kompleks iodin (AOAC 1999). Total

glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis dianalisis dengan menggunakan

metode DNS (Dubois et al. 1956). Kadar pati dihitung dari total glukosa dikali

Page 101: Nurhayati 2011.pdf

73

faktor koreksi 0.9. Kadar RDS, SDS dan RS dianalisis menggunakan metode

Englyst et al. (1992).

Analisis Statistik

Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).

Untuk mengetahui adanya perbedaan dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil pada

taraf uji 5% (p ≤ 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Bakteri Asam Laktat, pH dan Total Asam Laktat

Populasi BAL meningkat selama 24 jam fermentasi terkendali irisan pisang

oleh L. salivarius FSnh1 (Tabel 6.1). Populasi BAL yang ditumbuhkan adalah

sebesar 6 log CFU/ml, selanjutnya pada jam ke-12 mencapai hampir 7 log

CFU/ml dan populasi pada jam ke-24 mencapai hampir 8 log CFU/ml. Derajat

keasaman (pH) menurun dari pH awal 6.16 menjadi 5.40 pada jam ke-12 dan 5.02

pada jam ke-24, sedangkan produksi asam laktat meningkat hingga mencapai

0.24% pada jam ke-24.

Tabel 6.1 Populasi bakteri asam laktat, nilai pH dan konsentrasi asam laktat selama fermentasi pisang

Lama Fermentasi (Jam)

Populasi Bakteri Asam Laktat

(Log CFU/ml) pH Asam Laktat (% ml/ml)

0 6.2 ± 0.12 6.16 ± 0.08 0.08 ± 0.02

12 6.9 ± 0.10 5.40 ± 0.09 0.12 ± 0.02

24 7.9 ± 0.07 5.02 ± 0.05 0.24 ± 0.01

Fermentasi pisang secara terkendali oleh L. salivarius FSnh1 menghasilkan

derajat keasaman yang lebih rendah yaitu pH 5.40 pada jam ke-12 dan pH 5.02

pada jam ke-24 dibandingkan fermentasi spontan (Tabel 4.1) pH 6.12 pada jam

ke-12 dan pH 5.36 pada jam ke-24. Derajat keasaman yang semakin rendah juga

Page 102: Nurhayati 2011.pdf

74

meningkatkan konsentrasi asam laktat pada cairan fermentasi. Hal ini disebabkan

oleh starter yang digunakan merupakan bakteri asam laktat yang menghasilkan

asam organik diantaranya asam laktat. Beberapa strain Lactobacillus spp mampu

secara langsung memfermentasi karbohidrat menjadi asam laktat seperti L.

amylophilus GV6 (Vishnu et al. 2006), L. amilovorus (Zhang & Cheryan 1991),

L. fermentum K9 (Sanni et al. 2002), L. manihotivorans OND32T (Guyot &

Morlon-Guyot, 2001) dan L. plantarum A6 (Sanni et al. 2002; Thomsen et al.

2007). Kemampuan BAL tumbuh pada pangan berpati dikarenakan BAL tersebut

mampu menghasilkan enzim tertentu seperti amilase dan amiloglukosidase yang

mendegradasi pati menjadi glukosa sebagai sumber energi utamanya.

L. salivarius merupakan BAL homofermentatif sehingga mampu

menghasilkan lebih dari 85% asam laktat dari jumlah glukosa yang

dikonsumsinya. BAL homofermentatif memfermentasi 1 mol glukosa menjadi 2

mol asam laktat. Setiap molekul glukosa yang dimetabolisme membutuhkan 2

mol ATP dan menghasilkan 4 mol ATP sehingga total ATP yang dihasilkan

adalah 2 mol ATP (Rogosa et al. 1953; Reddy et al. 2008).

Kadar Pati, Amilosa, RDS, SDS, RS Tepung Pisang

Gambar 6.1 dan hasil ANOVA (Lampiran 1.l) memperlihatkan kadar

amilosa tepung pisang meningkat pada fermentasi 12 jam akan tetapi menurun

pada fermentasi 24 jam. Terjadinya peningkatan kadar amilosa pada jam ke 12

diduga karena telah terjadi degradasi amilopektin menjadi amilosa. Selanjutnya

amilosa akan didegradasi menjadi glukosa jika substrat sudah tidak mengandung

gula sederhana. Hal ini menyebabkan kadar amilosa pada fermentasi 24 jam lebih

rendah (13.78) daripada fermentasi 12 jam (15.65). Peningkatan jumlah amilosa

sangat berperan dalam pembentukan pati teretrogradasi yang terhitung sebagai

pati resisten (RS).

Page 103: Nurhayati 2011.pdf

75

Gambar 6.1 Pengaruh lama fermentasi oleh Lactobacillus salivarius FSnh1

terhadap kadar amilosa tepung pisang (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)

Leeman et al. (2006) melaporkan kadar amilosa yang tinggi pada pati

kentang dapat meningkatkan kadar pati teretrogradasi (RS3) hampir dua kalinya.

Pati kentang yang memiliki kadar amilosa 64% dapat menghasilkan RS sekitar

26% dibandingkan dengan kadar amilosa 23% yang hanya menghasilkan RS

5.3%.

Kadar amilosa pada tepung pisang dari proses fermentasi selama 24 jam

tidak berbeda nyata dengan kadar amilosa tepung pisang kontrol. Hal ini diduga

karena fermentasi yang terjadi lebih dari 12 jam menyebabkan amilosa

terdegradasi menjadi glukosa yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber

karbon bagi pertumbuhan BAL. Hasil metabolisme BAL tersebut selain energi

juga asam laktat. Oleh karena itu fermentasi 24 jam lebih banyak menghasilkan

asam laktat, sedangkan amilosa sangat diharapkan peningkatannya karena

berperan dalam pembentukan pati resisten selama proses retrogradasi (pemanasan

bertekanan-pendinginan).

Degradasi pati dapat terjadi pada komponen amilopektin membentuk

struktur oligomer dengan rantai karbon yang lebih pendek atau rantai tidak

bercabang seperti amilosa. Vishnu et al. (2006) melaporkan bahwa L. amylophilus

GV6 yang ditumbuhkan pada media berpati mampu terinduksi untuk

menghasilkan enzim pululanase. Hal ini bisa memungkinkan jika L. salivarius

FSnh1 mampu menghasilkan enzim tertentu yang dapat memotong rantai cabang

14.06c 15.65a

13.78c 14.67b 15.62a 14.69b

02468

101214161820

Kontrol Fermentasi12 jam

Fermentasi24 jam

Dua siklusPBP

Fermentasi12 jam - duasiklus PBP

Fermentasi24 jam - duasiklus PBP

Kad

ar A

milo

sa (%

)

Page 104: Nurhayati 2011.pdf

76

amilopektin pada sisi endo α-1,6 seperti isoamilase, amiloglukosidase atau

pululanase. Menurut Rogosa et al. (1953), L. salivarius memiliki kemampuan

memotong ikatan glukosidik dari polisakarida.

Tabel 6.2 Pengaruh lama fermentasi pisang oleh L. salivarius FSnh1dan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan terhadap komposisi pati tepung pisang modifikasi

Komposisi (% bk)

Kontrol Fermentasi 12 jam

Fermentasi 24 jam

Dua siklus PBP

Fermentasi 12 jam

dengan dua siklus PBP

Fermentasi 24 jam

dengan dua siklus PBP

Pati1 70.93 ± 0.23a 70.45 ± 0.03b 67.12 ± 0.86d 68.25± 0.06c 68.02 ± 0.25c 66.62 ± 0.21e

RDS2 38.56 ± 0.23a 37.46 ± 0.06b 33.49 ± 0.35c 22.10 ± 0.06e 22.59 ± 0.25f 23.13 ± 0.21d

SDS2 25.87 ± 0.05c 26.96 ± 0.01b 29.14 ± 0.23a 20.1 ± 0.04d 16.90 ± 0.09f 17.76 ± 0.17e

RS2 9.17 ± 0.08c 8.52 ± 0.13d 7.74 ± 0.24e 38.16 ± 0.05b 41.95 ± 0.50a 38.62 ± 0.12b

RS1 6.50 ± 0.08c 6.00 ± 0.13d 5.20 ± 0.24e 26.04 ± 0.05b 28.53 ± 0.50a 25.72 ± 0.12b

PBP = Pemanasan Bertekanan-Pendinginan RDS = rapid digestable starch SDS = slowly digestable starch RS = resistant starch 1 = berat kering tepung 2 = berat kering pati Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai tidak berbeda nyata pada taraf uji ≤ 0.05

Tabel 6.2 menunjukkan kadar pati mengalami penurunan selama fermentasi

baik 12 jam maupun 24 jam. Hal ini disebabkan oleh kemampuan BAL

mendegradasi pati menjadi komponen yang lebih kecil seperti oligomer amilosa

yang selanjutnya akan dikonversi menjadi gula sederhana (glukosa).

Fermentasi 12 jam yang dikombinasi dengan dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan mampu meningkatkan RS tepung pisang hampir 5 kali

lipat dibandingkan tepung pisang kontrol. Fermentasi tersebut mampu

meningkatkan kadar amilosa sehingga meningkatkan amilosa yang teretrogradasi

akibat pemanasan bertekanan-pendinginan. Oligomer amilosa membentuk ikatan

double helix pada saat restrukturisasi pati selama proses pendinginan (suhu 4 oC,

24 jam) sehingga menghasilkan pati yang bersifat resisten terhadap hidrolisis

enzim pencernaan (Sajilata et al. 2006; Soto et al. 2007).

Fermentasi oleh L. salivarius FSnh1 menurunkan kadar pati cepat tercerna

(RDS) dan pati resisten (RS), akan tetapi kadar pati lambat tercerna (SDS)

meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena RDS dimetabolisme terlebih dahulu

Page 105: Nurhayati 2011.pdf

77

oleh BAL daripada SDS, sedangkan kadar RS menurun diduga karena terjadi

hidrolisis parsial pada granula pati oleh enzim yang dihasilkan BAL tersebut

sehingga sifat resisten granula menurun dan granula menjadi lebih mudah

dihidrolisis oleh enzim α amilase. Ambriz et al. (2008) menjelaskan bahwa proses

likuifikasi dengan menggunakan amilase dari Bacillus subtilis mampu

menurunkan kadar pati resisten tepung pisang. Penelitian sebelumnya juga

menghasilkan kadar RDS dan RS yang lebih rendah dengan adanya fermentasi

spontan tanpa dikombinasi dengan proses pemanasan bertekanan-pendinginan.

KESIMPULAN

Penggunaan starter L. salivarus FSnh1 mampu meningkatkan kadar amilosa

dan mempersingkat waktu fermentasi sekitar 12 jam dalam pembuatan tepung

pisang kaya RS dibandingkan fermentasi selama 24 jam. Kadar RS tepung pisang

yang tinggi (28.53%) dihasilkan dari proses fermentasi selama 12 jam yang

dikombinasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Penelitian

lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui retensi RS dalam aplikasinya pada

pengolahan produk pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ambriz SLR, Hernandez JJI, Acevedo EA, Tovar J, Perez LAB. 2008. Characterization of a fibre-rich powder prepared by liquefaction of unripe banana flour. J Food Chem. 107: 1515–1521

Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.

Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chem. 28: 350–356.

Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr.46(Suppl.2):533-50

Guyot JP, Morlon-Guyot J. 2001. Effect of different cultivation conditions on Lactobacillus manihotivorans OND32T, an amylolytic Lactobacillus isolated from sour starch cassava fermentation. Int J Food Microbiol. 67:217–25.

Page 106: Nurhayati 2011.pdf

78

Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Leeman MA, Malin E, Karlsson, Eliasson AC, Bjorck IME. 2006. Resistant starch formation in temperature treated potato starches varying in amylose/amylopectin ratio. J Carbohy Polymers. 65: 306–313

Mozzi F, Raya RR. Fignolo GM. 2010. Biotecnology of Lactic Acid Bacteria: novel application. Wiley Blackwell Publishing. State Avenue- Iowa USA.

Reddy G, Altaf M, Naveena BJ, Venkateshwar M, Kumar EV. 2008. Amylolytic bacterial lactic acid fermentation — A review. J Biotechnol Adv. 26: 22–34.

Rogosa M, Wiseman RF, Mitchell JA, Disraely MN, Beaman. 1953. Species differentiation of oral lactobacilli from man including description of Lactobacillus salivarius nov. spec. and Lactobacillus cellobiosus nov. spec. J Bacteriol. 65, 681–699

Saguilan AA, Huicochea EF, Tovar JT, Meraza FG, Perez LAB. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch. 57: 405-412.

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17.

Sanni A, Morlon-Guyot J, Guyot JP. 2002. New efficient amylase-producing strains of Lactobacillus plantarum and L. fermentum isolated from different Nigerian traditional fermented foods. Int J Food Microbiol. 72:53–62.

Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310.

Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50 (9) :3111–3116

Thomsen MH, Guyot JP, Kiel P. 2007. Batch fermentations on synthetic mixed sugar and starch medium with amylolytic lactic acid bacteria. Appl Microbiol biotechnol. 74:540–6.

Vishnu C, Naveena BJ, Altaf MD, Venkateshwar M, Reddy G. 2006. Amylopullulanase: a novel enzyme of L. amylophilus GV6 in direct fermentation of starch to L(+) lactic acid. J Enzyme Microb Technol. 38: 545–50.

Zhang DX, Cheryan M. 1991. Direct fermentation of starch to lactic acid by Lactobacillus amylovorus. Biotechnol Lett. 10:733–8.

Page 107: Nurhayati 2011.pdf

79

7. EVALUASI SIFAT PREBIOTIK DAN INDEKS GLIKEMIK TEPUNG PISANG TERMODIFIKASI

[Evaluation of prebiotic properties and glycemix index of modified banana flour]

ABSTRAK Tepung pisang memiliki potensi sebagai prebiotik karena secara alami

banyak mengandung pati resisten tipe II (RS2). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat prebiotik RS2 tepung pisang tanpa modifikasi dan RS3 tepung pisang modifikasi. Sifat prebiotik yang dievaluasi meliputi ketahanan RS terhadap hidrolisis asam lambung artifisial, kemampuannya untuk meningkatkan pertumbuhan laktobasili dan bifidobakteria kultur fekal, menurunkan persentase pertumbuhan enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) dan Salmonella Typhimurium, produksi asam lemak rantai pendek, dan nilai indeks prebiotik (IP). Tepung pisang yang dihasilkan juga dievaluasi nilai indeks glikemik (IG) dengan menggunakan relawan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RS2 dan RS3 bersifat stabil terhadap hidrolisis asam lambung artifisial pH 1-5 dan mampu meningkatkan populasi laktobasili dan bifidobakteria serta menurunkan pertumbuhan EPEC dan S. Typhimurium. RS3 mampu menghasilkan produksi asam butirat. Nilai IP RS3 juga lebih tinggi (5.14) daripada nilai IP RS2 (4.02). Tepung pisang modifikasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan memiliki IG rendah (46 - 52), sedangkan tepung pisang alami dan tepung pisang modifikasi dengan satu siklus retrogradasi memiliki IG sedang (61 - 66).

ABSTRACT Banana flour was a potential prebiotic source due to its resistant starch

type II (RS2) content. The aim of this study was to evaluate prebiotic properties of RS2 isolated from native banana flour and RS3 isolated from modified banana flour. The prebiotic properties were evaluated based on the stability to artificial human gastric juice, the capability to stimulate the growth of lactobacilli and bifidobacteria in the fecal batch culture fermentation, short chain fatty acid production and score of prebiotic index (PI). The glycemic index value of native and modified banana flour were evaluated by volunteers. The results showed that both RS2 and RS3 of banana flour were stable to artificial human gastric juice at pH 1 – 5 and able to increase the lactobacilli and bifidobacterial population and decreased survival of enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) and Salmonella Typhimurium. RS3 of the modified banana flour could produce butyric acid. The PI score of RS3 was also higher (5.14) than RS2 (4.02). The modified banana flour produced by two cycles autoclaving-cooling (either with or without spontaneous fermentation) had low GI (46 – 52) while native and fermented banana flour had moderate GI (61 – 66).

Page 108: Nurhayati 2011.pdf

80

Keywords: modified banana flour, glycemic index, resistant starch, prebiotic properties

PENDAHULUAN

Tepung pisang mentah merupakan salah satu pangan berkarbohidrat yang

mengandung pati resisten tipe II (RS2) sehingga memiliki potensi untuk

dikembangkan sebagai pangan fungsional. RS2 adalah pati alami yang berupa

granula pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Akan tetapi sifat

resisten granula akan hilang jika pati mengalami gelatinisasi (Sajilata et al. 2006).

Oleh karena itu Jenie et al. (2009) mengembangkan teknologi modifikasi

fermentasi spontan dan retrogradasi untuk menghasilkan pati resisten tipe III

(RS3) yang bersifat lebih stabil selama proses pengolahan terutama pengolahan

hidrotermal. RS3 adalah pati yang sudah mengalami retrogradasi karena

pemanasan dan pendinginan berulang-ulang (Croghan 2002; Sajilata et al. 2006).

Pati resisten merupakan salah satu komponen prebiotik yang banyak

dikembangkan (FAO 2007). Salminen & Wright (2004) mendefinisikan ingredien

pangan sebagai prebiotik jika dapat memenuhi kriteria yang di antaranya tidak

dihidrolisis maupun diserap (non-digestible) di saluran cerna bagian atas traktus

gastrointestinal sehingga dapat mencapai usus besar secara utuh. Selain itu

prebiotik juga menjadi substrat selektif bagi satu atau sejumlah terbatas bakteri

dalam kolon yang distimulasi untuk tumbuh dan menjadi aktif secara metabolik.

Prebiotik dapat mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang

menguntungkan kesehatan serta merangsang timbulnya efek-efek luminal dan

sistemik yang menguntungkan inang.

Penelitian ini mengevaluasi sifat prebiotik pati resisten tepung pisang

modifikasi (RS3) yang dibandingkan terhadap pati resisten tepung pisang kontrol

(RS2). Sifat prebiotik dapat dievaluasi berdasarkan ketahanannya terhadap

hidrolisis asam lambung artifisial, kemampuannya meningkatkan populasi

laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan bakteri patogen, serta

meningkatkan produksi SCFA dan indeks prebiotik.

Page 109: Nurhayati 2011.pdf

81

Tepung pisang modifikasi juga dievaluasi nilai indeks glikemiknya karena

produk yang dihasilkan merupakan bahan pangan berkarbohidrat sehingga erat

kaitannya dengan bioavibilitas pati yaitu parameter daya cerna pati untuk diubah

menjadi glukosa oleh enzim amilase pencernaan dan selanjutnya diserap oleh

tubuh. Pangan yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat

memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang tinggi. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi IG suatu pangan diantaranya adalah struktur matriks pangan,

dinding sel dan struktur pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar gula, daya

osmotik, kandungan serat pangan, lemak, protein dan zat antigizi (Patterson 2006)

serta proses pengolahan (Widowati 2007; Astawan & Widowati 2011).

Pangan IG rendah akan dicerna dan diubah menjadi glukosa secara bertahap

dan perlahan-lahan, sehingga puncak kadar gula darah juga akan rendah. Hal ini

menyebabkan peningkatan kadar gula relatif lebih pendek sehingga sangat penting

bagi penderita diabetes/diet gula dalam mengendalikan kadar gula darah.

Sebaliknya, olahragawan yang hendak bertanding memerlukan pangan IG tinggi

agar pangan yang dikonsumsi segera dikonversi menjadi energi. Individu normal

yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak) sebaiknya harus

mengkonsumsi pangan IG sedang atau tinggi (Widowati 2007).

BAHAN DAN METODE

Bahan

Pisang var agung semeru (Musa paradisiaca formatypica) diperoleh dari

Desa Burno dan Desa Kandang Tepus Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang

Propinsi Jawa Timur. Pisang dipanen pada minggu ke 16 dari awal pembungaan

dengan tingkat kematangan tahap 1 yaitu pisang tua dengan kulit hijau merata.

Kultur Lactobacillus acidophilus diperoleh dari PSPG-UGM, sedangkan kultur

enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) diperoleh dari FKH-IPB dan kultur

Salmonella Typhimurium diperoleh dari Departemen ITP-IPB.

Metode

Page 110: Nurhayati 2011.pdf

82

Modifikasi Proses Pembuatan Tepung Pisang dengan Fermentasi dan Dua Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

Pisang diiris dengan ketebalan ± 5mm, selanjutnya direndam dalam akuades

steril (3:4) dan difermentasi selama 24 jam pada suhu kamar. Pisang yang sudah

difermentasi kemudian ditiriskan dan diberi pemanasan bertekanan dengan

menggunakan otoklaf (121 oC, 15 menit) yang selanjutnya didinginkan (4 oC, 24

jam). Perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan dilakukan sebanyak dua

siklus. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan (50 oC, 16 jam) dan dihaluskan

serta diayak dengan ayakan ukuran 80 mesh. Tepung pisang kontrol dibuat dari

irisan pisang yang langsung dikeringkan dan dihaluskan serta diayak tanpa proses

modifikasi. Perlakuan diulang sebanyak dua kali dengan dua kali ulangan teknik

sampling bahan baku di lahan budidaya pisang var agung semeru.

Isolasi Pati Resisten

Isolasi pati resisten dilakukan dengan menggunakan metode Englyst et al.

(1992) yang dikombinasi dengan metode gravimetri (AOAC 1999). Tepung

pisang sebanyak 1 g ditempatkan dalam tabung sentrifus. Sampel dicuci dengan

menggunakan 8 ml etanol 80% selanjutnya disentrifus pada 554 × g selama 10

menit dan diulang dua kali. Endapan yang merupakan pati ditambah 20 ml buffer

sodium asetat (0.1M pH 5.2) selanjutnya ditambah 5 ml larutan enzim yang

mengandung ekstrak pankreatin dan amiloglukosidase. Sampel diinkubasi dalam

inkubator bergoyang pada suhu 37 oC selama 120 menit, selanjutnya disentrifus

untuk mendapatkan endapan yang merupakan pati resisten. Larutan enzim

disiapkan dengan cara mensuspensikan 3.0 g pankreatin (Sigma, Cat. No. P7545)

ke dalam 20 ml air deionisasi, selanjutnya distirer selama 10 menit pada suhu

ruang dan disentrifus pada 1500 × g selama 10 menit. Sebanyak 13.5 ml

supernatan pankreatin ditambah amiloglukosidase 210U (Sigma Cat. No. A7095)

dan 1.25 ml air deionisasi.

Evaluasi Sifat Prebiotik

Page 111: Nurhayati 2011.pdf

83

Ketahanan Pati Resisten terhadap Cairan Lambung

Pati resisten diuji ketahanannya terhadap cairan lambung manusia dengan

menggunakan metode Wicheinchot et al. (2010). Sampel dipersiapkan dengan

melarutkan pati resisten ke dalam akuades streil (1% b/v). Cairan asam lambung

merupakan buffer asam hidroklorida yang tiap g/l mengandung: NaCl, 8; KCl,

0.2; Na2HPO4.2H2O, 8.25; NaHPO4, 14.35; CaCl2.2H2O, 0.1; MgCl2.6H2O,

0.18. Buffer asam klorida ditera pada pH 1, 2, 3, 4 dan 5 dengan menggunakan 5

M HCl. Sebanyak 5ml buffer HCl pada tiap perlakuan pH ditambahkan ke dalam

5 ml larutan sampel, selanjutnya diinkubasi dalam water bath pada suhu 37 ± 1 oC

selama 6 jam. Sebanyak 1 ml sampel diambil secara periodik pada jam ke- 0, 0.5,

1, 2, 4 dan 6. Total gula reduksi diukur dengan menggunakan metode DNS

(Robertson et al. 2001) dan total gula ditentukan dengan metode asam sulfat-fenol

(Dubois et al. 1956). Persentase hidrolisis sampel dihitung dengan menggunakan

rumus Korakli et al. (2002) yaitu jumlah gula reduksi dibagi dengan total gula

dikali 100%.

Persentase Pertumbuhan Probiotik dan Bakteri Patogen pada Pati Resisten

Persentase pertumbuhan probiotik dan bakteri patogen ditentukan dari

viabilitas bakteri pada media agar yang mengandung isolat pati resisten (Huebner

et al. 2007; Buriti et al. 2010). Probiotik yang digunakan adalah Lactobacillus

acidophilus, sedangkan bakteri patogen yang digunakan adalah EPEC dan S.

Typhimurium. Bakteri uji dipersiapkan pada umur inkubasi 24 jam. Bakteri

ditumbuhkan pada media MRSB basis (tanpa glukosa) yang mengandung RS

2.5% (berat/vol) dan media MRSB sebagai kontrol negatif. Selanjutnya diinkubasi

pada suhu 37 oC selama 24 jam dan dilakukan perhitungan jumlah bakteri pada

jam ke-0 dan 24 dengan menggunakan metode tuang pada media MRSA untuk L.

acidophilus, media EMBA untuk EPEC dan media XLDA untuk S. Typhimurium.

Persentase pertumbuhan bakteri probiotik dan patogen ditentukan dengan

menggunakan rumus jumlah peningkatan pertumbuhan bakteri akhir (log

CFU/ml) pada jam ke-24 dibagi jumlah bakteri awal (log CFU/ml) pada jam ke-0

dikali 100%.

Page 112: Nurhayati 2011.pdf

84

Analisis Indeks Prebiotik

Sebanyak 10% (berat/vol) cairan feses manusia sehat ditera dengan buffer

garam fosfat 0.1 M (pH 7) dan divortex selama 120 detik. Empat buah jar yang

berisi 180 ml medium steril (pH 7) diinokulasi dengan 20 ml feses dan 2 g RS

pisang. Selanjutnya jar dikondisikan anaerob fakultatif dengan menggunakan

anoxomat. Jar diinkubasi pada suhu 37 °C dan dilakukan penghitungan jumlah

bifidobakteria, laktobasili, bakteroides dan klostridia serta konsentrasi asam lemak

rantai pendek pada jam ke 0, 4, 10, dan 24. Media yang digunakan antara lain

Brain Heart Infusion Agar yang disuplementasi dengan 75 mg/l Chloramphenicol,

75 mg/l kalnisitin untuk Clostridium spp pada kondisi anaerob, Thioglycollate

Agar yang disuplementasi 8mg/l linkomisin dan 8 mg/l kolistin untuk Bacteroides

spp pada kondisi aerob, de Mann Rogosa Sharp Agar (MRSA) untuk

Lactobacillus spp pada kondisi aerob dan MRSA yang disuplementasi 0.5 g/l

sistein-HCl untuk Bifidobacteria spp pada kondisi anaerob (Manderson et al.

2005; Vardakou et al. 2008). Indeks prebiotik setiap peningkatan waktu dihitung

dengan menggunakan persamaan Palframan et al. (2003).

Keterangan: tx = waktu ke-x ; t0 = waktu ke-0

Analisis Asam Lemak Rantai Pendek (Short Chain Fatty Acid/SCFA)

Analisis SCFA dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Ternak Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Sebanyak 1 ml

cairan sampel dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dan ditambahkan 0.003 g

asam sulfo 5-salisilat dihidrat. Selanjutnya campuran disentrifus selama 10 menit

pada 12000 rpm suhu 7 oC. Supernatan diinjeksikan ke dalam kromatografi gas

Chrompack CP 9002 seri 946253. Konsentrasi asam lemak rantai pendek dihitung

berdasarkan luas peak sampel terhadap luas peak standar.

Page 113: Nurhayati 2011.pdf

85

Evaluasi Indeks Glikemik

Evaluasi indeks glikemik dilakukan pada tepung pisang alami dan tepung

pisang modifikasi dengan menggunakan relawan manusia (Omoregie & Osagie

2008; Astawan & Widowati 2011). Pengujian ini sudah mendapat persetujuan etis

(ethical approval) dari Kementerian Kesehatan dengan No. LB.03.04/KE/8320/

2010. Relawan yang digunakan memiliki kriteria inklusi yaitu: wanita dan laki-

laki sehat berumur 20-35 tahun; tidak menderita penyakit penyerta yaitu penyakit

metabolisme yang berkaitan dengan kelainan kadar glukosa darah, seperti diabetes

mellitus, hipoglikemi dan hiperglikemi; memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18-

25 kg/m2; memiliki kadar glukosa darah normal (kadar glukosa darah puasa < 110

mg/dL dan glukosa darah 2 jam post prandial < 140 mg/dL); memiliki pola

respon kadar glukosa darah selama 2 jam pengujian yang normal dan bersedia

menjadi subjek. Kriteria eksklusi untuk relawan adalah subjek hamil, menyusui

dan merokok. Instrumen uji IG menggunakan alat pengukur kadar gula

(glukometer) dengan sistem reaksi glukooksidase yang dilengkapi dengan alat

penusuk jari untuk mengambil darah (lancet).

Sepuluh relawan (5 laki-laki dan 5 perempuan) dipilih yang berbadan sehat

dengan usia 20-30 tahun dan tanpa gangguan pencernaan serta tidak

hamil/menyusui. Pada proses pengujian, relawan harus berpuasa karbohidrat dan

gula selama 12 jam (misalnya mulai pukul 9 malam sampai pukul 9 pagi) dan

diukur kadar glukosa darah pada kondisi lapar menggunakan glukometer.

Selanjutnya relawan mengkonsumsi produk tepung pisang uji dengan takaran

konsumsi 50 g karbohidrat dan dilakukan pengukuran kadar glukosa darah pada

tiap interval waktu 30 menit hingga menit ke-120. Tepung pisang disajikan berupa

nasi yang ditanak seperti menanak tiwul.

Selama dua jam pasca pemberian (konsumsi) dilakukan pengambilan

sampel darah sebanyak 20 µL (finger-prick cappillary blood samples method)

untuk diukur kadar glukosa darah (menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120).

Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa

murni (sebagai pangan acuan) kepada relawan. Kadar gula darah pada setiap

Page 114: Nurhayati 2011.pdf

86

waktu pengambilan sampel darah dibuat grafik dengan dua sumbu yaitu sumbu X

(waktu) dan sumbu Y (kadar gula darah). Indeks glikemik ditentukan dengan

membandingkan luas daerah di bawah kurva untuk pangan yang diukur nilai IG-

nya dengan pangan acuan (glukosa murni). Perhitungan indeks glikemik

dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Analisis Statistik

Data dianalisis menggunakan prosedur Analysis of Variance (ANOVA).

Untuk mengetahui adanya perbedaan di antara perlakuan maka dilakukan uji

lanjut beda nyata terkecil pada taraf uji 5% (p ≤ 0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang

Ketahanan Pati Resisten terhadap Hidrolisis Cairan Asam Lambung

Analisis ketahanan pati resisten terhadap cairan asam lambung tiruan

dilakukan pada isolat RS. Pati resisten tipe II (RS2) diisolasi dari tepung pisang

yang tidak mengalami perlakuan pemanasan bertekanan-pendinginan yaitu tepung

pisang tanpa modifikasi (kontrol) dan tepung pisang modifikasi dengan fermentasi

spontan. Pati resisten tipe III (RS3) diisolasi dari tepung pisang yang mengalami

perlakuan retrogradasi yaitu tepung pisang modifikasi dengan dua silkus

pemanasan bertekanan-pendinginan dan tepung pisang modifikasi fermentasi

spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Isolasi RS secara

enzimatis yang dikombinasi dengan metode gravimetri menghasilkan rendemen

sekitar 40 – 45% dengan nilai yield antara 95 – 99% (Lampiran 5).

Page 115: Nurhayati 2011.pdf

87

Hasil analisis menunjukkan RS2 tepung pisang kontrol dan tepung pisang

fermentasi spontan lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung artifisial jika

dibandingkan dengan RS3 baik dari tepung pisang modifikasi hasil dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan maupun tepung pisang modifikasi hasil

fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. RS2

dapat terhidrolisis sekitar 2% sedangkan RS3 dapat terhidrolisis hingga 4%.

Persentase hidrolisis RS yang menunjukkan ketahanannya pada pH 1, 2, 3, 4, dan

5 dapat dilihat pada Gambar 7.1.

Proses modifikasi dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan

tanpa fermentasi spontan menghasilkan tingkat hidrolisis hingga 6% pada pH 5

sedangkan adanya fermentasi spontan menghasilkan tingkat hidrolisis kurang dari

4% pada semua perlakuan pH 1-5. Menurut Cummings & Macfarlane (2002)

definisi pangan yang tidak dapat dicerna adalah jika 96% lolos tidak terhidrolisis

oleh cairan asam lambung hingga sampai ke usus. Hal ini berarti bahwa RS3

tepung pisang modifikasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung dan dapat

dikategorikan sebagai kandidat prebiotik berdasarkan ketahanannya terhadap

asam lambung.

0

1

2

3

4

5

6

7

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5

% H

idro

lisis

Lama Hidrolisis (Jam)

A

0

1

2

3

4

5

6

7

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5

% H

idro

lisis

Lama Hidrolisis (Jam)

B

Page 116: Nurhayati 2011.pdf

88

Gambar 7.1 Hidrolisis (37 oC, 6 jam) pati resisten tepung pisang modifikasi: (A) kontrol (tanpa modifikasi), (B) dengan fermentasi spontan, (C) dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, (D) fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan

Pangan di dalam lambung biasanya berada dalam kondisi asam (pH 2-4) dan

dilepaskan mencapai usus setelah 2 jam. Dengan demikian dapat diperkirakan

lebih dari 98% RS2 tepung pisang dan lebih dari 96% RS3 tepung pisang dapat

mencapai usus besar. Wichienchot et al. (2010) melaporkan bahwa ketahanan

kandidat prebiotik oligosakarida pitaya (buah naga) dapat tahan 96% terhadap

hidrolisis asam lambung artifisial. Glukooligosakarida yang dihasilkan oleh

Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 juga menunjukkan ketahanan 98.4%

terhadap hidrolisis asam lambung artifisial (Wichienchot et al. 2006).

Persentase Pertumbuhan Lactobacillus acidophilus, EPEC dan Salmonella

Typhimurium pada Media yang Mengandung RS Tepung Pisang

Pati resisten digunakan sebagai media pertumbuhan bagi bakteri uji

probiotik (L. acidophilus) dan bakteri patogen (EPEC dan S. Typhimurium). Hal

ini dilakukan untuk mengetahui potensi pati resisten dalam memodulasi

pertumbuhan probiotik dan patogen yang dinyatakan sebagai persentase

pertumbuhan bakteri tersebut. Gambar 7.2 memperlihatkan persentase

pertumbuhan L. acidophilus yang dikompetisikan dengan EPEC dan Gambar 7.3

0

1

2

3

4

5

6

7

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5

% H

idro

lisis

Lama Hidrolisis (Jam)

C

0

1

2

3

4

5

6

7

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5

% H

idro

lisis

Lama Hidrolisis (Jam)

D

Page 117: Nurhayati 2011.pdf

89

memperlihatkan persentase pertumbuhan L. acidophilus yang dikompetisikan

dengan S. Typhimurium dalam media MRSB basis yang mengandung RS.

Gambar 7.2 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) EPEC (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) EPEC (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)

Media yang mengandung RS3 menghasilkan pertumbuhan L.

acidophilus relatif lebih tinggi daripada media yang mengandung RS2.

Pertumbuhan EPEC relatif lebih rendah pada media yang mengandung RS3. Hal

ini menunjukkan bahwa RS3 tepung pisang modifikasi bersifat selektif terhadap

pertumbuhan EPEC. Akan tetapi nilai pertumbuhan masih menunjukkan nilai

positif. Meskipun EPEC berada pada lingkungan yang minim sumber karbon,

akan tetapi EPEC memiliki kemampuan dapat bertahan hidup pada kondisi minim

nutrisi seperti perairan. Salminen et al. (2004) menjelaskan bahwa EPEC

merupakan strain dari bakteri Escherichia coli yaitu salah satu jenis bakteri

indikator sanitasi yang dapat tumbuh baik dalam air seperti air sungai maupun air

sumur. Bakteri ini memiliki ketahanan terhadap kondisi minim nutrisi tidak

seperti halnya dengan L. acidophilus yang membutuhkan media kaya nutrisi

(fastidious).

RS tepung pisang modifikasi (RS3) lebih meningkatkan pertumbuhan L.

acidophilus daripada pertumbuhan EPEC. Hal ini berarti tepung pisang modifikasi

bersifat selektif menstimulasi pertumbuhan probiotik. Moons et al. (2004)

menjelaskan EPEC dapat menyebabkan diare jika terpapar dosis lebih dari 105

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

Kontrol Fermentasi spontan Dua siklus PBP Fermentasi spontandan dua siklus PBP

Kontrol negatif

Pert

umbu

han

(%)

Page 118: Nurhayati 2011.pdf

90

CFU/ml dan umumnya menyerang balita. Infeksi yang diakibatkannya mampu

menyebabkan perubahan histopatologi spesifik pada enterosit usus, menempel

pada mikrofili sehingga melekat pada membran sel inang dan menyebabkan aksi

filamentous dan protein sitoskeletal lainnya yang mengganggu penyerapan nutrisi.

Oleh karena itu tepung pisang modifikasi sangat baik karena memiliki keunggulan

yaitu tidak meningkatkan pertumbuhan EPEC dari dosis awal 106 CFU/ml .

Gambar 7.3 Persentase Pertumbuhan ( ) L. acidophilus (MRSB), ( ) S.

Typhimurium (MRSB), ( ) L. acidophilus (MRSB basis + RS), ( ) S. Typhimurium (MRSB basis + RS), (PBP = pemanasan bertekanan-pendinginan)

Gambar 7.3 menunjukan bahwa pertumbuhan L. acidophilus tertinggi pada

media RS3 yaitu tepung pisang modifikasi dari fermentasi spontan dengan dua

siklus retrogradasi, sedangkan pertumbuhan S. Typhimurium lebih tinggi pada

media RS2 yang tidak mengalami proses modifikasi fermentasi. Selama

fermentasi memungkinkan terjadinya degradasi komponen karbohidrat terutama

amilopektin menjadi fraksi yang lebih pendek. Fraksi tersebut lebih mudah

dimanfaatkan oleh L. acidophilus sehingga menstimulasi pertumbuhannya dan

menekan pertumbuhan S. Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa RS dari

tepung pisang modifikasi secara fermentasi bersifat selektif tidak dapat digunakan

untuk pertumbuhan bakteri patogen terutama oleh S. Typhimurium akan tetapi

selektif mampu meningkatkan pertumbuhan L. acidophilus.

-20

-10

0

10

20

30

40

Kontrol Fermentasispontan

Dua siklus PBP Fermentasispontan dan dua

siklus PBP

Kontrol negatifPert

umbu

han

(%)

Page 119: Nurhayati 2011.pdf

91

Selektivitas RS3 terhadap pertumbuhan bakteri diduga karena selama

fermentasi terjadi hidrolisis komponen pati menjadi polimer yang memiliki derajat

polimerisasi (DP) lebih rendah sehingga lebih mudah digunakan oleh bakteri

terutama L. acidophilus sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan selnya. Moura

et al. (2007) melaporkan bahwa xilooligosakarida (XOS) dengan DP 2 (BM

rendah) memiliki sifat prebiotik lebih baik daripada XOS dengan DP 5 – 6 (BM

lebih tinggi). Faridah et al (2010) juga melaporkan bahwa RS3 pati garut yang

tinggi memiliki DP 6-8 yang dihasilkan dari proses debranching pululanase dan

tiga siklus pemanasan-pendinginan

Modulasi Mikroflora Feses dan Produksi SCFA

Pengaruh RS2 dan RS3 terhadap populasi mikroflora feses dipaparkan pada

Tabel 7.1. Fermentasi oleh mikroflora feses pada media RS2 dan RS3 dapat

meningkatkan populasi baik bifidobakteria maupun laktobasili. Peningkatan

bifidobakteria dan laktobasili yang signifikan sebesar 2 log siklus terjadi setelah

fermentasi selama 24 jam. Kedua kelompok bakteri tersebut diketahui mampu

memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan manusia.

Bakteroides tumbuh meningkat hingga 2 log siklus pada media RS2, akan

tetapi populasi klostridia relatif stabil hingga inkubasi jam ke 24. Populasi

bakteroides maupun klostridia relatif stabil pada media RS3. Hal ini menunjukkan

bahwa RS3 bersifat lebih selektif terhadap pertumbuhan mikroflora terutama

bakteroides dan klostridia dibandingkan RS2. Sharp & Macfarlane (2000)

melaporkan bahwa bakteri dapat tumbuh pada media RS2 dengan menyerang

bagian sisi apikal dari granula dan membentuk struktur menyerupai kelopak

bunga dengan formasi glikokaliks selanjutnya berkelompok membentuk jaringan

biofilm.

Tabel 7.1 Populasi beberapa jenis mikroflora dan konsentrasi asam lemak rantai pendek selama fermentasi pati resisten oleh kultur fekal

Media Waktu (Jam) Jumlah Bakteri (Log CFU/mL) Asam Lemak Rantai Pendek

(mM/mL) Bifidobakteria Laktobasili Bakteroides Klostridia Asam Asam Asam

Page 120: Nurhayati 2011.pdf

92

Asetat Propionat Butirat RS2* 0 7.1 ± 0.03 6.2 ± 0.01 7.8 ± 0.04 7.5 ± 0.07 - - -

4 8.5 ± 0.06 8.1 ± 0.02 8.2 ± 0.03 6.3 ± 0.01 - - - 10 8.3 ± 0.05 8.8 ± 0.04 8.5 ± 0.05 6.5 ± 0.10 - - - 24 9.2 ± 0.07 8.6 ± 0.03 9.3 ± 0.03 7.6 ± 0.04 9.65 ± 0.06 5.76 ± 0.26 0.00 ± 0.00

RS3** 0 7.1 ± 0.02 6.2 ± 0.07 7.7 ± 0.02 6.8 ± 0.02 - - - 4 8.6 ± 0.02 8.3 ± 0.04 7.7 ± 0.03 7.1 ± 0.03 - - -

10 9.3 ± 0.05 9.1 ± 0.03 7.1 ± 0.06 7.3 ± 0.06 - - - 24 9.2 ± 0.06 8.9 ± 0.05 7.8 ± 0.05 7.5 ± 0.01 12.79 ± 0.15 2.13 ± 0.09 0.23 ± 0.04

* Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol) ** Tepung pisang modifikasi melalui fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-perndinginan

Asam lemak rantai pendek (SCFA) yaitu asam asetat, asam propionat dan

asam butirat dihitung konsentrasinya setelah 24 jam fermentasi spontan.

Konsentrasi asam asetat lebih tinggi dihasilkan dari fermentasi RS3, sedangkan

asam propionat lebih tinggi dihasilkan dari fermentasi RS2. Asam butirat hanya

dihasilkan dari fermentasi RS3 yang diisolasi dari tepung pisang hasil modifikasi

fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan.

Manfaat SCFA bagi tubuh manusia di antaranya asam asetat untuk

metabolisme jaringan otot, ginjal, hati dan otak manusia, sedangkan asam

propionat merupakan prekursor glukoneogenik yang mampu menekan

pembentukan kolesterol dalam tubuh (Gibson et al. 2000). Asam butirat

menyediakan sekitar 50% energi yang rutin diperlukan oleh mukosa

gastrointestinal (Gibson et al. 2000; Tuohy et al. 2005). Dalam perkembangan

riset terakhir diketahui bahwa asam butirat tidak hanya sebagai sumber energi

bagi sel-sel mukosa, akan tetapi juga diperlukan untuk pro-diferensiasi, anti-

proliferasi dan anti-angiogenik yang berperan dalam mencegah kanker kolon.

Pada konsentrasi 2 - 4 mM, asam butirat mampu mereduksi mikronuklei sehingga

dapat melindungi sel dari kanker kolon akibat terpapar senyawa genotoksik

seperti H2O2 dan Fe-NTA (Hovhannisyan et al. 2009).

Indeks Prebiotik Tepung Pisang

Gambar 7.4 menunjukkan bahwa indeks prebiotik RS3 lebih tinggi (5.14)

daripada indeks prebiotik RS2 (4.02) setelah fermentasi 10 jam. Peningkatan nilai

Page 121: Nurhayati 2011.pdf

93

IP setelah fermentasi 10 jam juga terjadi pada penelitian sifat prebiotik pektik

oligosakarida dari kulit jeruk (Manderson et al. 2005). Hal ini mengindikasikan

bahwa fungsionalitas prebiotik tepung pisang modifikasi lebih baik daripada

tepung pisang tanpa modifikasi. Nilai IP yang positif pada masing-masing

substrat mengindikasikan terjadinya peningkatkan populasi laktobasili dan

bifidobakteria dibandingkan populasi bakteroides dan klostridia.

Gambar 7.4 Indeks prebiotik pati resisten tepung pisang; ( ) tanpa modifikasi (kontrol), ( ) modifikasi secara fermentasi yang dikombinasikan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan, ( ) kontrol negatif tanpa pati resisten

Proses retrogradasi pada pangan berpati dapat meningkatkan ketahanan pati

terhadap hidrolisis amilase selama proses pencernaan dengan terbentuknya RS3.

Pati resisten tidak dapat dihidrolisis oleh alfa amilase manusia tetapi dapat

didegradasi oleh beta amilase dari mikroflora sehingga dapat sebagai sumber

karbohidrat yang penting bagi pertumbuhannya (Gibson et al. 2000). RS3

merupakan fragmen oligomer yang kecil dengan derajat polimerisasi (DP) antara

30 – 100 yang secara cepat akan dimetabolisme oleh bakteri, sedangkan RS2 lebih

lambat dimetabolisme oleh bakteri karena RS2 merupakan granula pati secara

utuh (Schmiedl et al. 2000).

Indeks Glikemik Tepung Pisang

3.36

4.03 4.51

3.69

5.14 5.00

1.17

2.13 1.81

0

1

2

3

4

5

6

4 10 24

Inde

ks P

rebi

otik

Waktu Inkubasi (Jam)

Page 122: Nurhayati 2011.pdf

94

Hasil evaluasi indeks glikemik (IG) tepung pisang secara in vivo dengan

menggunakan relawan manusia menunjukkan nilai IG tepung pisang adalah

sedang (kurang dari 70) hingga rendah (kurang dari 55). Nilai IG disajikan pada

Tabel 7.2.

Tabel 7.2 Indeks glikemik tepung pisang pada beberapa perlakuan modifikasi

Perlakuan Modifikasi Nilai Indeks Glikemik

Tanpa modifikasi (kontrol) 66 ± 3.16 (Sedang) Fermentasi spontan 66 ± 4.47 (Sedang) Satu siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (PBP) 62 ± 3.47 (Sedang) Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan (PBP) 52 ± 4.36 (Rendah) Fermentasi spontan dengan satu siklus PBP 61 ± 8.87 (Sedang) Fermentasi spontan dengan dua siklus PBP 46 ± 2.92 (Rendah)

Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi nilai IG tepung

pisang. Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol), tepung pisang modifikasi

secara fermentasi spontan baik tanpa maupun dengan satu siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan memiliki nilai IG sedang. Proses dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan dapat menurunkan nilai IG dari IG sedang menjadi

rendah baik tanpa fermentasi spontan maupun dengan fermentasi spontan. Proses

dua silkus pemanasan bertekanan-pendinginan dapat menurunkan nilai IG tepung

pisang karena selama proses tersebut terjadi retrogradasi berulang sehingga

meningkatkan komponen yang tidak dapat dicerna terutama RS3. Hasil analisis

daya cerna secara in vitro juga menunjukkan penurunan daya cerna oleh proses

retrogradasi terutama dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan. Selama

proses pemanasan bertekanan terjadi kerusakan granula pati dan gelatinisasi pati

sedangkan pada saat pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda amilosa serta

sineresis pati yang menyebabkan rekristalisasi komponen pati membentuk struktur

pati yang lebih kristalin (Saguilan et al. 2005; Soto et al. 2007).

Selain pemanasan bertekanan, proses pendinginan pada suhu 4 oC selama 24

jam juga berperan dalam menurunkan IG karena proses tersebut dapat

meningkatkan jumlah amilosa teretrogradasi sehingga meningkatkan terbentuknya

Page 123: Nurhayati 2011.pdf

95

pati resisten. Hasil ini juga didukung data Frie et al. (2003) yang melaporkan

terjadinya penurunan IG nasi dari beras Bagoean dari 93.2 menjadi 65.7 akibat

penyimpanan pada suhu rendah 4 oC selama 24 jam.

Proses fermentasi spontan selama 24 jam yang dikombinasi dengan dua

siklus pemanasan bertekanan-pendinginan menyebabkan IG tepung menjadi lebih

rendah. Hal ini disebabkan karena selama fermentasi terjadi peningkatan kadar

amilosa sehingga meningkatkan jumlah amilosa yang teretrogradasi pada proses

pemanasan bertekanan-pendinginan. Amilosa teretrogradasi tidak dapat

dihidrolisis oleh enzim pencernaan sehingga tidak meningkatkan kadar glukosa

darah. Soto et al. (2004) melaporkan bahwa pati resisten yang dihasilkan dari

proses retrogradasi (RS3) akan meningkat dengan semakin meningkatnya kadar

amilosa suatu bahan pangan.

Tepung pisang jenis plantain seperti Musa paradisiaca memiliki nilai IG

sebesar 65 dan mengalami penurunan dengan adanya perlakuan pengolahan

seperti penyangraian nilai IG menjadi 57 (Ayodele & Erema 2010). Widowati

(2007) menjelaskan bahwa pengolahan dapat mengubah struktur dan komposisi

kimia pangan, yang selanjutnya dapat mengubah daya serap zat gizi. Semakin

cepat karbohidrat didegradasi dan diserap tubuh maka nilai IG cenderung tinggi.

Astawan & Widowati (2011) melaporkan salah satu klon ubi jalar yang direbus

memiliki nilai IG 62, apabila digoreng nilai IG-nya menjadi 47 dan jika

dipanggang nilai IG meningkat menjadi 80.

KESIMPULAN

RS2 maupun RS3 dari tepung pisang bersifat stabil terhadap hidrolisis asam

lambung artifisial pH 1-5 serta mampu meningkatkan populasi laktobasili maupun

bifidobakteria dan menurunkan pertumbuhan EPEC dan Salmonella

Typhimurium. RS3 memiliki sifat prebiotik lebih baik daripada RS2 berdasarkan

kemampuannya memproduksi asam butirat dan nilai indeks prebiotik (IP) yang

lebih tinggi (5.14) daripada nilai IP RS2 (4.02). Tepung pisang modifikasi dua

siklus retrogradasi baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan memiliki IG

Page 124: Nurhayati 2011.pdf

96

rendah (46 - 52), sedangkan tepung pisang kontrol, tepung pisang modifikasi

secara fermentasi spontan dan kombinasinya dengan satu siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan memiliki IG sedang (61 - 66).

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1999. Official Methods of Analysis of AOAC International16th. USA.

Astawan, M. dan S Widowati. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agric Sci. 12 (1)

Ayodele OH, Erema VG. 2010. Glycemic indices of processed unripe plantain (Musa paradisiaca) meals. Afr J Food Sci. 4 (8): 514 – 521

Buriti FCA, Castro IA, Saad SMI. 2010. Viability of Lactobacillus acidophilus in synbiotic guava mousses and its survival under in vitro simulated gastrointestinal conditions. Int J Food Microbiology. 137: 121–129

Cummings JH, Macfarlane GT. 2002. Gastrointestinal effects of prebiotics. British J Nutr. 87(Suppl. 2): S145–S1151

Croghan M. 2002. Resistant starch as a functional ingredient in food systems. J Business Briefing: Food Tech.

Dubois M, Gilles KA, Hamilton JK, Rebers PA, Smith F. 1956. Calorimetric method for determination of sugars and related substances. J Analytical Chem. 28: 350–356

Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH. 1992 Classification and measurement of nutritionally important starch fraction. Eu J Clin Nutr. 46:533-550

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical Meeting On Preobitics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008.

Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik percabangan dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol dan Industri Pangan. 21 (2): 135-142

Frei M, Siddhuraju P, Becker K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the Philippines. J Food Chem. 83: 395–402

Gibson GR, Berry-Ottaway J, Rastall RA. 2000. Prebiotics: new developments in functional foods. Chandos Publishing Limited. Oxford. United Kingdom

Page 125: Nurhayati 2011.pdf

97

Hovhannisyan G, Aroutiounian R, Glei M. 2009. Butyrate reduces the frequency of micronuclei in human colon carcinoma cells in vitro. J Toxicology in Vitro. 23, 1028–1033

Huebner J, Wehling RL, Hutkins RW. 2007. Functional activity of commercial prebiotics. J Int Dairy. 17: 770-775

Korakli M, Ganzle MG, Vogel RF. 2002. Metabolism by bifidobacteria and lactic acid bacteria of polysaccharides from wheat and rye, and exopolysaccharides produced by Lactobacillus sanfranciscensis. J App Microbiol. 92: 958–965

Omoregie ES, Osagie A. 2008. Glycemic indices and glycemic load of some Nigerian foods. Pak. J Nutr. 7: 710-716

Palframan R, Gibson GR, Rastall RA. 2003. Development of a quantitative tool for the comparison of the prebiotic effect of dietary oligosaccharides. Lett App Microbiol. 37: 281–284

Patterson CA. 2006. Glycemic Index (GI). Technology Watch. Wellness West.

Manderson K, Pinar M, Tuhoy KM, Race WE, Otckiss AT, Widmer W, Yadhav MP, Gibson R, Rastall RS. 2005. In vitro determination of prebiotic properties of oligosaccharides derived from an orange juice manufacturing by-product stream. App and Env Microbiol. 71 (12): 8383-8389

Moons MMM, Schneeberger EE, Hecht GA. 2004. Enteropathogenic E. coli infection leads to appearance of aberrant tight junction strands in the lateral membrane of intestinal epithelial cells. Cell Microbiol. 6: 783–793

Moura P, Barata R, Carvalheiro F, Girio F, Loureiro-Dias MC, Esteves MP. 2007. In vitro fermentation of xylo-oligosaccharides from corn cobs autohydrolysis by Bifidobacterium and Lactobacillus strains. Swiss Society of Food Sci and Technol. 40: 963–972

Robertson JA, Ryden P, Botham RL, Reading L, Gibson GR, Ring SG. 2001. Structural properties of diet-derived polysaccharides and their influence on butyrate production during fermentation. British J Nutr. 81: S219–S223

Saguilan AA, Flores-Huicochea E, Tovar J, Garcia-Suarez F, Guiterrez-Meraz F, Bello-Perez LA. 2005. Resistant starch rich-powders prepared by autoclaving of native and lintnerized banana starch: partial characterization. J Starch/Starke. 57: 405-412

Salminen S, Wright AV. 2004. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and functional aspect. 2nd Edition. Revised and Expanded. New York: Marcell Dekker, Inc.

Schmiedl D, Ba-Euerlein M, Bengs H, Jacobasch G. 2000. Production of heat-stable, butyrogenic resistant starch. J Carbohy Polymers. 43: 183-193

Sharp R, Macfarlane GT. 2000. Chemostat enrichments of human feces with resistant starch are selective for adherent butyrate-producing clostridia at high dilution rates. App and Env Microbiol. 66 (10): 4212–4221

Page 126: Nurhayati 2011.pdf

98

Soto RAG, Acevedo EA, Feria JS, Villalobos RR, Bello-Perez LA. 2004. Resistant starch made from banana starch by autoclaving and debranching. J Starch/Stärke. 56: 495–499

Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Bello-Perez LA. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310

Tuohy KM, Rouzaud GCM, Bruck WM, Gibson GR. 2005. Modulation of the human gut microflora towards improved health using prebiotics – assessment of efficacy. Current Pharmaceutical Design. (1): 75-90

Vardakou M, Palop CN, Christakopoulos P, Faulds CB, Gasson MA, Narbad A. 2008. Evaluation of the prebiotic properties of wheat arabinoxylan fractions and induction of hydrolase activity in gut microflora. Int J Food Microbiol. 123:166-170

Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. J Food Chem. 120: 850–857

Wichienchot S, Prasertsan P, Hongpattarakere T, Gibson GR, Rastall RA. 2006. In vitro fermentation of mixed linkage gluco-oligosaccharides produced by Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 by the human colonic microflora. Current Issues in Intestinal Microbiol. 7:7–12

Widowati S. 2007. Sehat dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 (3)

Page 127: Nurhayati 2011.pdf

99

8. PEMBAHASAN UMUM

Telah dilakukan upaya untuk meningkatkan sifat prebiotik tepung pisang

yaitu dengan meningkatkan kandungan pati resisten (RS) tepung pisang melalui

kombinasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan (retrogradasi). Selama fermentasi spontan pisang, BAL tumbuh

mendominasi hingga jam ke-24. Dalam rangka optimasi proses modifikasi yang

berkaitan dengan jenis starter BAL yang spesifik dan lama fermentasi maka

dilakukan isolasi dan identifikasi BAL yang berperan selama fermentasi spontan.

Setelah mendapatkan isolat BAL, selanjutnya diaplikasikan sebagai starter dalam

proses fermentasi secara terkendali dan ditetapkan lama fermentasi optimal untuk

pembuatan tepung pisang kaya RS. Sifat prebiotik RS tepung pisang dievaluasi,

begitu juga dengan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang yang dievaluasi

secara in vivo menggunakan relawan.

Peningkatan RS melalui Modifikasi Proses Fermentasi Spontan dengan

Siklus Pemanasan Bertekanan-Pendinginan

Modifikasi proses pembuatan tepung kaya RS yang telah dikembangkan

oleh Jenie et al. (2009) ditingkatkan dengan menerapkan dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan pada irisan pisang baik tanpa maupun dengan fermentasi

spontan. Proses dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan mampu

meningkatkan kandungan RS tepung pisang hingga empat kali lipat (26.26 –

28.88%) dari tepung pisang kontrol (7.24%). Satu siklus pemanasan bertekanan-

pendinginan hanya dapat meningkatkan kandungan RS tepung pisang sekitar dua

sampai tiga kali lipat (20.50-24.72%).

Pemanasan bertekanan dengan menggunakan otoklaf merupakan sistem

pemanasan basah (hidrotermal) sehingga mampu menyebabkan terjadinya

gelatinisasi pati akibat pemanasan suhu tinggi oleh uap air. Gelatinisasi pati

menyebabkan struktur granula pati menjadi rusak sehingga tidak terlihat adanya

granula pati pada pengamatan dengan menggunakan mikroskop serta tidak

Page 128: Nurhayati 2011.pdf

100

memiliki sifat birefringence atau tidak mampu memendarkan cahaya pada saat

pengamatan dengan menggunakan mikroskop polarisasi (Zang et al. 2002;

Santiago et al. 2004).

Kerusakan granula pati ditandai dengan hilangnya sifat birefringence dan

menurunnya tingkat kristalinitas tepung pisang akibat proses pemanasan

bertekanan-pendinginan baik tanpa maupun dengan fermentasi spontan. Hizukuri

(1961) menjelaskan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kristalinitas

adalah struktur kristalin granula pati. Tepung pisang yang dihasilkan dari

modifikasi fermentasi spontan memiliki tingkat kristalinitas yang lebih rendah

daripada tepung pisang kontrol. Hal ini menunjukkan telah terjadi degradasi pada

granula pati selama fermentasi spontan 24 jam yang di antaranya diindikasikan

dengan meningkatnya kandungan amilosa pada tepung yang dihasilkan.

Proses pemanasan pada suhu 121 oC selama 15 menit mendestruksi mikroba

yang ada sehingga mencegah degradasi lebih lanjut oleh mikroba. Setelah

pemanasan bertekanan, dilanjutkan dengan proses pendinginan (suhu 4 oC, 24

jam) dengan tujuan agar terjadi restrukturisasi pati yang optimal terutama

komponen amilosa untuk membentuk ikatan ganda yang distabilkan oleh ikatan

hidrogen. Penyimpanan suhu rendah dapat membantu dalam menghambat

pertumbuhan mikroba terutama bakteri meskipun penyimpanan dilakukan selama

24 jam. Proses penyimpanan pada suhu 4 oC sebelumnya telah diaplikasikan oleh

Frie et al (2003) dalam memproduksi nasi teretrogradasi yang memiliki daya

cerna dan nilai indeks glikemik rendah.

Proses pemanasan bertekanan-pendinginan juga telah digunakan untuk

melakukan modifikasi pati pisang sehingga kandungan RS meningkat. Siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan dapat mempengaruhi kadar RS yang

dihasilkan. Beberapa penelitian seperti Soto et al. (2004), Saguilan et al. (2005)

dan Soto et al. (2007) mengaplikasikan proses pemanasan bertekanan-

pendinginan pada pati pisang sebanyak tiga siklus. Selain pada pati pisang, tiga

siklus pemanasan bertekanan-pendinginan juga telah diaplikasikan untuk

memodifikasi pati lain seperti pati jagung (Shamai et al. 2003; Zang & Jin 2011),

pati kentang (Leeman et al. 2006), pati singkong (Mutungi et al. 2009), dan pati

Page 129: Nurhayati 2011.pdf

101

garut (Faridah et al. 2010) dengan lama proses pemanasan bertekanan (otoklaf)

yang lebih lama yaitu 30 hingga 60 menit per siklusnya. Proses pemanasanan

bertekanan-pendinginan pada pembuatan tepung pisang kaya RS hanya

memerlukan dua siklus dengan lama proses yang lebih pendek yaitu 15 menit.

Aplikasi tiga siklus pemanasanan bertekanan menghasilkan keragaan produk

tepung pisang yang kurang baik dari mutu sensori terutama warna dan rasa (Jenie

et al. 2009). Oleh karena itu tiga siklus pemanasanan bertekanan tidak

direkomendasikan dalam proses modifikasi pembuatan tepung pisang.

Proses modifikasi yang dilakukan pada irisan pisang memerlukan dua siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan untuk menghasilkan kadar RS lebih tinggi

daripada satu siklus. Modifikasi pada pati pisang memerlukan tiga siklus

pemanasan bertekanan-pendinginan dengan proses pemanasan bertekanan yang

lebih lama (30 menit) untuk dapat meningkatkan kadar RS hingga mencapai

sepuluh kali (Saguilan et al. 2005). Akan tetapi modifikasi di tingkat pati tentu

lebih sulit aplikasinya karena harus mengisolasi pati pisang terlebih dahulu,

sedangkan tiga siklus proses pemanasan bertekanan-pendinginan membutuhkan

waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak seperti energi listrik serta

membutuhkan alat pengering yang lebih mahal untuk mengeringkan bubur

(slurry) pati seperti drum drying atau freeze drying. Penelitian ini

mengaplikasikan proses otoklaf selama 15 menit yang berarti proses modifikasi

lebih efesien yaitu dapat mereduksi waktu, energi dan biaya jika dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya yang mengaplikasikan proses otoklaf selama 30

menit hingga 1 jam (Saguilan et al. 2005; Soto et al. 2006).

Setelah dilakukan pemanasan bertekanan, proses dilanjutkan dengan

pendinginan. Suhu pendinginan juga mempengaruhi kadar RS yang dihasilkan.

Semakin rendah suhu pendinginan maka dapat mempercepat dan meningkatkan

pembentukan RS3. Seperti yang dilaporkan Soto et al. (2007) bahwa untuk

meningkatkan kadar RS pati pisang hingga empat kali melalui tiga siklus

retrogradasi membutuhkan waktu 24 jam pada 4 oC atau 36 jam pada 32 oC,

sedangkan pendinginan pada suhu lebih tinggi (60 oC) selama 48 jam hanya

mampu meningkatkan kadar RS pati kurang dari tiga kali.

Page 130: Nurhayati 2011.pdf

102

Selama proses pendinginan terjadi pembentukan ikatan ganda (double helix)

rantai polimer yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Semakin banyak kandungan

amilosa pada pati maka jumlah polimer berikatan ganda juga semakin banyak

sehingga jumlah amilosa teretrogradasi juga meningkat yang berarti

meningkatkan pula kandungan pati resisten tipe III (RS). Pati resisten tersebut

merupakan pati resisten yang terbentuk akibat amilosa yang mengalami

retrogradasi berulang sehingga bersifat resisten terhadap enzim pencernaan

(Sajilata et al. 2006).

Optimasi Proses Fermentasi

Identifikasi BAL Indigenus dalam Fermentasi Pisang

Fermentasi spontan memberikan peran penting dalam meningkatkan kadar

RS tepung pisang. Fermentasi spontan pisang selama 24 jam didominasi oleh

BAL hingga mencapai 6 log CFU/ml. Abdillah (2010) melaporkan bahwa

fermentasi spontan pisang tanduk didominasi oleh BAL hingga mencapai 8 log

CFU/ml pada jam ke-100. Fermentasi spontan umumnya kurang dapat terkendali

dan sulit mendapatkan kualitas produk yang konsisten sehingga perlu dilakukan

isolasi dan identifikasi BAL indigenus yang berperan dalam fermentasi spontan

pisang selama 24 jam untuk selanjutnya digunakan sebagai starter. Hasil

identifikasi fenotip menunjukkan isolat BAL yang tumbuh dominan (BAL FSnh1)

merupakan BAL homofermentatif, sedangkan isolat BAL yang tumbuh kurang

dominan (BAL FSnhA) merupakan BAL heterofermentatif yang semuanya

memiliki suhu pertumbuhan optimal pada suhu 35 oC. Uji biokimiawi

menunjukkan kedua isolat memiliki kemampuan yang berbeda dalam

memfermentasi sumber karbon. Identifikasi lebih lanjut di tingkat molekuler juga

dilakukan karena identifikasi dengan menggunakan API 50CHL dan karakteristik

biologi belum cukup untuk mengidentifikasi di tingkat strain (Tamang et al.

2008).

Hasil identifikasi genotip menunjukkan bahwa isolat BAL FSnh1 dan

FSnhA merupakan famili Lactobacillaceae dengan genus Lactobacillus. Beberapa

Page 131: Nurhayati 2011.pdf

103

hasil penelitian melaporkan bahwa strain Lactobacillus banyak ditemukan pada

fermentasi bahan berpati seperti singkong (Sanni et al. 2002; Lacerda et al. 2005;

Huch et al. 2008), dan gandum (Robert et al. 2009). BAL tersebut merupakan

BAL amilolitik yang mampu menghasilkan enzim amilase. Pisang mentah

merupakan bahan pangan berpati dengan kandungan pati lebih dari 60% (Tribess

et al. 2009) sehingga strain Lactobacillus bisa tumbuh. Hasil visualisasi pada

pohon filogenetik NJplot menunjukkan isolat BAL FSnh1 memiliki homologi

dengan L. salivarius sedangkan isolat BAL FSnhA memiliki homologi dengan L.

fructivorans.

L. salivarius merupakan BAL homofermentatif yang dilaporkan mampu

menghasilkan senyawa antimikroba seperti bakteriosin yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri patogen pada karkas ayam seperti Campylobacter jejuni

(Stern et al. 2006). Strain tertentu dari L. salivarius juga merupakan probiotik

yang sudah dikomersialkan seperti L. salivarius ATCC SD5208 dengan merk

dagang Lactobacillus salivarius Ls-33TM (Danisco 2011). L. fructivorans banyak

ditemukan pada buah dan sayur serta produk olahan, beberapa produk salad dan

saus tomat (Bjorkroth & Korkeala 1997). L. fructivorans dapat tumbuh dengan

baik pada suhu 45 oC (Dicks & Endo, 2009). Selama 24 jam fermentasi spontan

pisang diketahui pertumbuhan L. fructivorans lebih sedikit daripada L. salivarius.

Tersedianya pati dan fruktosa pada pisang memungkinkan kedua spesies BAL

tersebut mampu tumbuh secara sinergis. L. salivarius memiliki kemampuan

menghidrolisis ikatan glikosida seperti manosa, rhamnosa dan seliobiosa sebagai

sumber energi bagi pertumbuhannya (Rogosa et al. 1955), sedangkan L.

fructivorans dapat menggunakan fruktosa buah sebagai sumber energi (Bjorkroth

& Korkeala 1997).

Isolat BAL indigenus L. salivarius FSnh1 yang diisolasi juga dapat dikaji

lebih lanjut potensi BAL tersebut sebagai kandidat probiotik. Beberapa hasil

penelitian melaporkan strain lain dari L. salivarius merupakan probiotik yang

diisolasi dari feses bayi yang mendapat ASI ekslusif dari ibunya (Martin et al.

2006). Jika telah diketahui potensi probiotik dari isolat L. salivarius FSnh1 maka

Page 132: Nurhayati 2011.pdf

104

dapat dikembangkan lebih lanjut untuk diformulasikan sebagai produk sinbiotik

bersama dengan tepung pisang modifikasi kaya RS.

Optimasi Lama Fermentasi Terkendali pada Pembuatan Tepung Pisang

Kaya RS

Fermentasi terkendali irisan pisang dengan menggunakan L. salivarius

FSnh1 sebagai starter dilakukan selama 12 dan 24 jam. Fermentasi pisang selama

12 jam mampu meningkatkan kadar amilosa, sedangkan hasil penelitian Abdillah

(2010) menunjukkan bahwa fermentasi spontan pada pisang hingga jam ke-12

tidak meningkatkan kadar amilosa tepung pisang. Kadar amilosa baru mengalami

peningkatan setelah fermentasi selama 24 jam. Kandungan amilosa yang tinggi

berperan dalam pembentukan RS3 selama proses retrogradasi.

Fermentasi terkendali selama 24 menurunkan kadar amilosa tepung pisang.

Hal ini diduga karena terjadi degradasi amilopektin menjadi amilosa hingga

fermentasi jam ke-12, selanjutnya amilosa didegradasi lebih lanjut menjadi

glukosa sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan BAL tersebut sehingga kadar

amilosa menurun pada fermentasi lebih dari 12 jam (analisis jam ke-24).

Selain mempersingkat waktu fermentasi pisang menjadi 12 jam,

penggunaan starter L. salivarius FSnh1 juga mampu meningkatkan produksi asam

laktat sehingga memberikan manfaat lebih, tidak hanya bersifat antimikroba akan

tetapi juga diduga berperan dalam meningkatkan kadar pati resisten. Gong et al.

(2006) menjelaskan bahwa asam laktat dapat membentuk kopolimer pati-asam

laktat yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan. Proses fermentasi 12 jam

yang dikombinasi dengan dua siklus retrogradasi menghasilkan kadar RS tepung

pisang yang tinggi sekitar empat hingga lima kali lipat dibandingkan tepung

pisang tanpa modifikasi (kontrol).

Page 133: Nurhayati 2011.pdf

105

Penggunaan kultur starter indigenus dari bahan asalnya memudahkan dalam

mengendalikan proses fermentasi serta memberikan hasil fermentasi yang lebih

baik dan sesuai dengan karakteristik produk yang diinginkan seperti yang

dijelaskan sebelumnya oleh Antara (2010). Konsentrasi L. salivarius FSnh1 yang

digunakan mencapai106 CFU/ml dan berhasil mencapai target kadar RS tepung

pisang yang hampir setara dengan fermentasi spontan 24 jam, bahkan waktu

fermentasi dapat dipersingkat menjadi 12 jam.

Isolat BAL L. salivarius FSnh1 memiliki sifat homofermentatif.

Penggunaan BAL homofermentatif sebagai starter lebih menguntungkan dalam

prosesnya karena tidak menghasilkan gas berlebih sehingga tidak mengganggu

proses fermentasi akibat meluapnya (wash out) starter. Selain itu BAL

homofermentatif menghasilkan asam laktat lebih banyak daripada BAL

heterofermentasif. Reddy et al. (2008) menjelaskan bahwa BAL homofermentatif

mampu menghasilkan sekitar 80% asam laktat dari jumlah glukosa yang

dikonsumsinya. Asam laktat berperan dalam meningkatkan kadar RS dari hasil

kopolimer pati-asam laktat sehingga pati menjadi lebih resisten terhadap enzim

pencernaan karena mengurangi reaktivitas grup hidroksil pada unit glukopiranosa

pati yaitu pada C6, C3 dan C2 (Gong et al. 2006). Sajilata et al. (2006)

menjelaskan bahwa pati resisten yang terbentuk akibat interaksi pati dengan

komponen kimia dikenal sebagai pati resisten tipe IV (RS4). Jenie et al. (2009)

melaporkan bahwa modifikasi tepung pisang dengan fermentasi terkendali oleh

BAL homofermentatif L. plantarum kik selama 48 jam dan kombinasinya dengan

pemanasan bertekanan-pendinginan menghasilkan kadar RS yang lebih tinggi

daripada modifikasi dengan fermentasi terkendali oleh BAL heterofermentatif L.

fermentum 2B4. Kombinasi kedua BAL tersebut sebagai starter juga

menghasilkan RS lebih tinggi pada perbandingan jumlah BAL homofermentatif

lebih banyak yaitu rasio 2:1 (2 bagian L. plantarum kik dengan 1 bagian L.

fermentum 2B4) dengan waktu yang lama (72 jam) dibandingkan fermentasi

spontan 24 jam. Oleh karena itu penambahan strain kultur starter BAL yang

berperan selama fermentasi spontan pisang (BAL indigenus) adalah penting untuk

memperoleh kondisi fermentasi yang optimum dengan hasil yang konsisten.

Page 134: Nurhayati 2011.pdf

106

Evaluasi Sifat Prebiotik dan Indeks Glikemik Tepung Pisang Modifikasi

Penelitian ini mengevaluasi sifat fungsional tepung pisang berdasarkan

sifat-sifat prebiotik RS yang dihasilkan dan nilai indeks glikemik (IG) tepung

pisang modifikasi. Tepung pisang tanpa modifikasi (kontrol) mengandung pati

resisten tipe II (RS2), sedangkan tepung pisang hasil modifikasi dengan

retrogradasi mengandung pati resisten tipe III (RS3) yang bersifat lebih stabil

selama pengolahan daripada RS2 sehingga memiliki retensi yang lebih baik jika

digunakan sebagai tepung substitusi pada produk pangan.

Jenie et al. (2010) melaporkan retensi RS tepung pisang modifikasi lebih

tinggi jika digunakan pada produk pangan yang diolah tanpa penambahan air serta

dilakukan pemanggangan seperti pengolahan menjadi cookies. Pengolahan tepung

pisang modifikasi menjadi brownies kukus dan roti menghasilkan retensi RS yang

lebih rendah karena selama pembuatan brownies, adonan dikukus dan terjadi

proses hidrotermal yang memungkinkan uap air ditransfer ke dalam produk,

sedangkan adanya proses fermentasi pada adonan roti juga menghasilkan air

sebagai hasil metabolisme khamir/yeast sehingga dapat meningkatkan kadar air

bahan dan menurunkan retensi RS.

RS yang dihasilkan oleh proses retrogradasi merupakan RS tipe III (RS3)

yang terbukti dapat memenuhi beberapa persyaratan sebagai kandidat prebiotik

yaitu di antaranya meliputi ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung,

mampu menstimulasi pertumbuhan laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan

pertumbuhan bakteri patogen seperti EPEC dan Salmonella Typhimurium,

menghasilkan asam lemak rantai pendek terutama asam butirat dan memiliki

indeks prebiotik lebih tinggi daripada RS2 tepung pisang kontrol.

Kestabilan RS terhadap hidrolisis asam lambung artifisial dimaksudkan agar

RS tidak terhidrolisis selama berinteraksi dengan asam lambung dan dapat

mencapai kolon sehingga menjadi satu-satunya sumber nutrisi bagi pertumbuhan

mikroflora terutama probiotik seperti yang disyaratkan FAO (2007). RS3 tepung

pisang modifikasi secara fermentasi spontan yang dikombinasikan dengan dua

siklus retrogradasi relatif lebih stabil terhadap hidrolisis asam lambung (sekitar

Page 135: Nurhayati 2011.pdf

107

96%) sehingga dapat dikategorikan sebagai kandidat prebiotik berdasarkan

ketahanannya terhadap hidrolisis asam lambung. Beberapa polisakarida lain yang

dilaporkan sebagai kandidat prebiotik juga memiliki ketahanan yang tinggi

terhadap hidrolisis asam lambung artifisial seperti glukooligosakarida yang

dihasilkan oleh Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 sebesar 98.4%

(Wichienchot et al. 2006) dan oligosakarida pitaya (buah naga) sebesar 96%

(Wichienchot et al. 2010).

RS3 tepung pisang modifikasi melalui fermentasi spontan dengan dua siklus

retrogradasi juga bersifat selektif bagi pertumbuhan Lactobacillus acidophilus.

Hal ini dibuktikan dengan persentase pertumbuhan L. acidophilus yang lebih

tinggi dibandingkan persentase pertumbuhan EPEC dan S. Typhimurium.

Persentase pertumbuhan yang tinggi dalam waktu inkubasi yang sama

menunjukkan pertumbuhan bakteri tersebut lebih cepat yang berarti memiliki

waktu generasi lebih singkat. Salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan

mikroba lebih cepat di antaranya adalah ketersediaan nutrisi yang cocok bagi

pertumbuhan sel. Hal ini menunjukkan RS3 lebih selektif hanya dapat digunakan

oleh L. acidophilus daripada EPEC dan S. Typhimurium. Sifat selektif terhadap

pertumbuhan mikroba juga menjadi salah satu kriteria dari suatu kandidat

prebiotik (Salminen et al. 2004; Roberfroid 2007; FAO 2007).

Kemampuan RS3 dalam memodulasi mikroflora yang menguntungkan

ditunjukkan dengan nilai IP yang positif yang berarti RS pisang mampu

menstimulasi pertumbuhan probiotik (bifidobakteria dan laktobasili) daripada

pertumbuhan bakteri klostridia maupun bakteroides. Hal ini juga dapat

mempengaruhi produksi asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA)

yang dihasilkan selama fermentasi kultur fekal pada media yang mengandung

RS3. Bullock dan Norton (1999) melaporkan bahwa feses tikus percobaan

mengandung asam lemak rantai pendek dua kali lebih banyak pada tikus yang

diberi konsumsi 20% RS3 daripada tikus yang diberi konsumsi glukosa 20% pada

pakannya.

RS3 tepung pisang modifikasi mampu menghasilkan asam butirat,

sedangkan RS2 tepung pisang kontrol tidak mampu menghasilkan asam tersebut.

Page 136: Nurhayati 2011.pdf

108

Asam butirat merupakan salah satu senyawa aktif yang diperlukan tidak hanya

sebagai sumber energi bagi sel-sel mukosa gastrointestinal, akan tetapi juga

diperlukan untuk meningkatkan fungsi sel (pro-diferensiasi), mencegah

pertumbuhan sel abnormal (anti-proliferasi) dan menghambat pertumbuhan

pembuluh darah baru (anti-angiogenik) (Hovhannisyan et al. 2009). Oleh karena

itu dengan mengkonsumsi RS3 diharapkan dapat meningkatkan produksi asam

butirat dalam usus besar sehingga dapat mencegah kanker terutama kanker kolon.

Selain kandungan RS lebih tinggi dan sifat prebiotik lebih baik, modifikasi

proses dengan dua siklus retrogradasi mampu menurunkan daya cerna tepung

pisang. Daya cerna lebih rendah dihasilkan oleh dua siklus retrogradasi (Tabel

4.3). Evaluasi indeks glikemik secara in vivo dengan menggunakan relawan

menunjukkan nilai indeks glikemik (IG) tepung pisang menurun akibat dua siklus

retrogradasi dari IG sedang (61 – 66) menjadi IG rendah (52) dan kombinasinya

dengan fermentasi spontan mampu menurunkan nilai IG yaitu menjadi 46

meskipun masih masuk kategori IG rendah. Nilai IG yang rendah disebabkan oleh

meningkatnya kandungan RS sehingga lebih banyak pati yang tidak dapat dicerna

dan tidak terjadi peningkatan glukosa darah secara drastis setelah 2 jam

mengonsumsi tepung pisang tersebut. Proses dua siklus retrogradasi berperan

dalam meningkatkan RS. Di samping itu proses pendinginan yang dilakukan pada

suhu rendah 4 oC juga mempercepat pembentukan RS. Frie et al. (2003)

melaporkan penyimpanan suhu rendah 4 oC selama 24 jam dapat menurunkan IG

nasi Bagoean dari IG tinggi (93.2) menjadi IG sedang (65.7).

Ayodele & Erema (2010) melaporkan tepung pisang jenis plantain memiliki

IG sedang (65) dan menurun menjadi 57 akibat penyangraian. Nilai IG yang

rendah pada suatu bahan pangan dapat direkomendasikan sebagai asupan

karbohidrat bagi penderita diabetes atau diet gula. Pangan yang memiliki nilai IG

sedang maupun tinggi dapat direkomendasikan untuk dikonsumsi oleh individu

normal yang masih memerlukan tumbuh-kembang (misalnya anak-anak),

sedangkan olahragawan yang akan bertanding memerlukan konsumsi pangan

yang memiliki IG tinggi (Widowati 2007; Astawan & Widowati 2011). Hal ini

menunjukkan proses pengolahan dapat mempengaruhi ketersediaan pati yang

Page 137: Nurhayati 2011.pdf

109

dapat dicerna serta IG suatu bahan pangan sehingga pemilihan proses pengolahan

menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam konstribusinya sebagai

penyedia energi atau sifat fungsional tertentu bagi tubuh.

Tepung modifikasi yang dihasilkan memiliki kandungan RS yang cukup

tinggi dan memiliki IG rendah. Oleh karena itu tepung pisang tersebut dapat

dikembangkan menjadi pangan fungsional. Hasil penelitian Jenie et al. (2010)

menunjukkan bahwa tepung pisang modifikasi yang dihasilkan dari fermentasi

spontan 24 jam dengan satu siklus retrogradasi dapat diaplikasikan sebagai tepung

komposit pada pembuatan produk pangan seperti roti, brownies dan cookies.

Aplikasi tepung tersebut dapat mencapai 20 % pada roti, 40% pada brownies dan

60% pada cookies dengan tingkat kesukaan panelis yang cukup tinggi.

9. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Modifikasi proses pembuatan tepung pisang melalui fermentasi spontan 24

jam dan pemanasan bertekanan-pendinginan mempengaruhi komposisi kimia

tepung pisang dan sifat birefringence granula pati. Fermentasi mampu

meningkatkan kadar amilosa yang selanjutnya melalui proses pemanasan

bertekanan-pendinginan menjadi amilosa teretrogradasi membentuk pati resisten

tipe III (RS3). Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan berperan dalam

meningkatkan kadar RS. Dua siklus pemanasan bertekanan-pendinginan dapat

meningkatkan kadar RS lebih tinggi daripada yang satu siklus.

Fermentasi spontan 24 jam didominasi oleh pertumbuhan bakteri asam

laktat (BAL). Hasil identifikasi menunjukkan BAL yang tumbuh dominan (isolat

BAL FSnh1) dan BAL yang tumbuh kurang dominan (isolat BAL FSnhA)

merupakan famili Lactobacillaceae genus Lactobacillus. Visualisasi kedua isolat

pada pohon filogenetik menunjukkan isolat BAL FSnh1 memiliki similaritas

dengan L. salivarius sedangkan isolat BAL FSnhA memiliki similaritas dengan

L. fructivorans. Proses fermentasi pisang secara terkendali menggunakan BAL

Page 138: Nurhayati 2011.pdf

110

indigenus pisang (L. salivarius FSnh1) sebagai starter menghasilkan tepung

pisang kaya RS dengan lama fermentasi yang lebih singkat yaitu 12 jam.

Proses modifikasi fermentasi spontan dengan dua siklus pemanasan

bertekanan-pendinginan menghasilkan pati resisten (RS3) yang memiliki sifat

prebiotik lebih baik daripada pati resisten tepung pisang tanpa modifikasi (RS2).

RS3 tepung pisang modifikasi bersifat relatif stabil terhadap hidrolisis asam

lambung artifisial pada pengujian pH 1-5, dapat meningkatkan populasi

laktobasili dan bifidobakteria, menurunkan pertumbuhan EPEC dan Salmonella

Typhimurium, menghasilkan asam butirat serta memiliki indeks prebiotik (IP)

lebih tinggi. Proses modifikasi juga mampu menurunkan indeks glikemik (IG)

tepung pisang dari nilai IG sedang menjadi rendah.

Saran

Evaluasi sifat prebiotik tepung pisang modifikasi secara in vivo baik pada

hewan percobaan maupun manusia perlu dilakukan untuk meningkatkan status

kandidat prebiotik menjadi prebiotik tepung pisang modifikasi kaya RS. Selain itu

perlu dilakukan evaluasi sifat probiotik dari isolat BAL indigenus yang sudah

diperoleh sehingga tepung pisang yang dihasilkan dapat dikembangkan lebih

lanjut menjadi produk sinbiotik. Perlu dianalisis komponen-komponen prebiotik

lain yang terkandung dalam tepung pisang modifikasi seperti inulin, FOS dan

GOS.

Page 139: Nurhayati 2011.pdf

111

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah F. 2010. Modifikasi Tepung Pisang Tanduk (Musa paradisiacal Formatypica) Melalui Proses Fermentasi Spontan dan Pemanasan Otoklaf Untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten. [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Antara NS. 2010. Peran bakteri asam laktat strain lokal untuk memperbaiki mutu dan keamanan produk pangan lokal. [Orasi Ilmiah]. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Astawan M, Widowati S. 2011. Evaluation of nutrition and glycemic index of sweet potatoes and its appropriate processing to hypoglycemic foods. Indonesian J Agricultural Science. 12 (1)

Ayodele OH, Erema VG. 2010. Glycemic indices of processed unripe plantain (Musa paradisiaca) meals. Afr J Food Sci. 4(8): 514 – 521

Bjorkroth KJ, Korkeala HJ. Lactobacillus fructivorans. 1997. Spoilage of Tomato Ketchup. J Food Protection. 60 (5): 505 - 509

Bullock NR, G Norton. 1999. Biotechniques to assess the fermentation of resistant starch in the mammalian gastrointestinal tract. J Carbohydrate Polymers. 38: 225 - 230

Carrera EC, Cruz AC, Guerrero LC, Ancona DB. 2007. Effect of pyrodextrinization on available starch content of Lima bean (Phaseolus lunatus) and Cowpea (Vigna unguiculata) starches. J Food Hydrocolloids. 21: 472 - 479

Danisco. 2011. Lactobacillus salivarius Ls-33TM. Flora-Fit. www.danisco supplement.com. Diakses dari www.google.com [10 April 2011].

Dicks LMT, Endo A. 2009. Taxonomic Status of Lactic Acid Bacteria in Wine and Key Characteristics to Differentiate Species. S. Afr. J Enol. Vitic. 30 (1): 72-90

Faridah DN, Fardiaz D, Andarwulan N, Sunarti TC. 2010. Perubahan struktur pati garut (Maranta arundinaceae) sebagai akibat modifikasi hidrolisis asam, pemotongan titik percabangan dan siklus pemanasan-pendinginan. J Teknol dan Industri Pangan. 21 (2): 135-142

[FAO] Food and Agricultural Organization. 2007. Technical meeting on prebiotics. http://www.fao.org/ag/agn/agns/files/Prebiotics_Tech_Meeting_ Report.pdf. Accessed on 22 November 2008

Frei M, Siddhuraju P, Becker K. 2003. Studies on the in vitro starch digestibility and the glycemic index of six different indigenous rice cultivars from the Philippines. J Food Chem. 83: 395–402

Page 140: Nurhayati 2011.pdf

112

Gong Q, Wang L, Tu K. 2006. In situ polymerization of starch with lactic acid in aqueous solution and the microstructure characterization. J Carbohy Polymers. 64: 501–509

Hizukuri S. 1961. X-ray diffractometric studies on starches. Part VI. Crystalline types of amylodextrin and effect of temperature and concentration of mother liquor on crystalline type. J Agric and Biological Chem. 25: 45–49

Hovhannisyan G, Aroutiounian R, Glei M. 2009. Butyrate reduces the frequency of micronuclei in human colon carcinoma cells in vitro. J Toxicology in Vitro. 23: 1028–1033

Huch M, Hanak A, Specht I, Dortu CM, Thonart P, Mbugua S, Holzapfel WH, Hertel C, Franz CMAP. 2008. Use of Lactobacillus strains to start cassava fermentations for Gari production. Int J Food Microbiol. 128: 258–267

Jenie BSL, Widowati S, Nurjannah S. 2009. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Jenie BSL, Widowati S, Kusumaningrum HD. 2010. Pengembangan Produk Tepung Pisang Dengan IG Rendah dan Sifat Prebiotik Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Laporan Akhir Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Batch II. LPPM, IPB

Lacerda ICA, Miranda RL, Borelli BM, Nunes AC, Nardia RMD, Lachance MA, Rosa CA. 2005. Lactic acid bacteria and yeasts associated with spontaneous fermentation during the production of sour cassava starch in Brazil. Int J Food Microbiol. 105: 213–219

Leeman AM, Karlsson ME, Eliasson AC, Bjorck IME. 2006. Resistant starch formation in temperature treated potato starches varying in amylose/amylopectin ratio. J Carbohy Polymers. 65: 306–313

Martín R, Jiménez E, Olivares M, Marín ML, Fernández L, Xaus J, Rodríguez JM. 2006. Lactobacillus salivarius CECT 5713, a potential probiotic strain isolated from infant feces and breast milk of a mother–child pair. Int J Food Microbiol. 112: 35–43

Mutungi C, Rost F, Onyango C, Jaros D, Rohm H. 2009. Crystallinity, Thermal and morphological characteristics of resistant starch type III produced by hydrothermal treatment of debranched cassava starch. J Starch/Stärke. 61: 634–645

Robert H, Gabriel V, Faucher CF. 2009. Biodiversity of lactic acid bacteria in French wheat sourdough as determined by molecular characterization using species-specific PCR. Int J Food Microbiol. 135: 53–59

Rogosa M, Wiseman RF, Mitchell JA, Disraely MN, Beaman AJ. 1953. Species differentiation of oral lactobacilli from man including description of

Page 141: Nurhayati 2011.pdf

113

Lactobacillus salivarius nov. spec. and Lactobacillus cellobiosus. J Bacteriol. 65: 681–699

Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch a review. J Comprehensive Rev in Food Sci and Food Safety. 5: 1-17

Santiago MCN, Perez LAB, Tecante A. 2004. Swelling-solubility characteristics, granule size distribution and rheological behavior of banana (Musa paradisiaca) starch. J Carbohy Polymers. 56: 65–75

Shamai K, Havazelet BP, Eyal S. 2003. Polymorphism of resistant starch type III. J Carbohy Polymers. 54: 363–369

Soto RAG, Escobedo RM, Sanchez HH, Rivera MS, Perez LAB. 2007. The influence of time and storage temperature on resistant starch formation from autoclaved debranched banana starch. J Food Research Int. 40: 304–310

Stern NJ, Svetoch EA, Eruslanov BV, Perelygin VV, Mitsevich EV, Mitsevich IP, Pokhilenko VD, Levchuk VP, Svetoch OE, Seal BS. 2006. Isolation of a Lactobacillus salivarius strain and purification of its bacteriocin, which is inhibitory to Campylobacter jejuni in the chicken gastrointestinal system. J Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 50 (9) : 3111–3116

Wichienchot S, Jatupornpipat M, Rastall RA. 2010. Oligosaccharides of pitaya (dragon fruit) flesh and their prebiotic properties. J Food Chem. 120: 850–857

Wichienchot S, Prasertsan P, Hongpattarakere T, Gibson GR, Rastall RA. 2006. In vitro fermentation of mixed linkage gluco-oligosaccharides produced by Gluconobacter oxydans NCIMB 4943 by the human colonic microflora. Current Issues in Intestinal Microbiology. 7: 7–12

Widowati S. 2007. Sehat dengan Pangan Indeks Glikemik Rendah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 (3)

Zhang H, Jin Z. 2011. Preparation of resistant starch by hydrolysis of maize starch with pullulanase. J Carbohy Polymers. 83: 865–867

Page 142: Nurhayati 2011.pdf

114

Page 143: Nurhayati 2011.pdf

115

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisis Statistik Tepung Pisang Fermentasi Spontan

a. Kadar air Treatment (t) = 6

Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 5.03 5.10 10.13 5.07 0.05

Fermentasi spontan 7.79 7.75 15.54 7.77 0.03

Satu siklus retrogradasi 7.13 7.22 14.35 7.18 0.06

Dua siklus retrogradasi 6.72 6.69 13.41 6.71 0.02

Ferm spon-satu siklus R 8.10 8.00 16.10 8.05 0.07

Ferm spon-dua siklus R 9.74 9.70 19.44 9.72 0.03

Total 44.51 44.46 88.97

Faktor Koreksi = 659.6384

JK Total = 23.8665 JK Perlakuan = 23.8529 JK Galat = 0.0136 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 23.853 7.951 2347.153 4.950 Error = t(r-1) 6 0.014 0.003

Total = tr-1 11 23.866 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11

dan db galat=6 F hitung = 2347.153 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950

BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.08 Perlakuan Rerata Selisih Sandi

FR2x 9.72

a FR1x 8.05 1.67 b F 7.77 0.28 c R 1x 7.175 0.59 d R2x 6.705 0.47 e K 5.065 1.64 f b. Kadar abu

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 2.21 2.14 4.35 2.18 0.05 Fermentasi spontan 1.76 1.78 3.54 1.77 0.01 Satu siklus retrogradasi 2.02 1.96 3.98 1.99 0.04 Dua siklus retrogradasi 1.86 1.81 3.67 1.84 0.04 Ferm spon-satu siklus R 1.58 1.61 3.19 1.60 0.02 Ferm spon-dua siklus R 1.67 1.69 3.36 1.68 0.01

Total 11.1 10.99 22.09

Page 144: Nurhayati 2011.pdf

116

Faktor Koreksi = 40.6640 JK Total = 0.4569 JK Perlakuan = 0.4505 JK Galat = 0.0064 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 0.4505 0.1502 94.602 4.950 Error = t(r-1) 6 0.00635 0.0016

Total = tr-1 11 0.4569 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db

galat=6 F hitung = 94.602 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.06

Perlakuan Rerata Selisih Sandi K 2.18

a

R 1x 1.99 0.185 b R2x 1.84 0.155 c F 1.77 0.065 d FR2x 1.68 0.090 e FR1x 1.59 0.085 f c. Kadar lemak

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 1.04 1.00 2.04 1.02 0.03 Fermentasi spontan 1.05 1.13 2.18 1.09 0.06 Satu siklus retrogradasi 1.04 1.06 2.10 1.05 0.01 Dua siklus retrogradasi 1.03 1.11 2.14 1.07 0.06 Ferm spon-satu siklus R 1.00 1.02 2.02 1.01 0.01 Ferm spon-dua siklus R 1.10 1.04 2.14 1.07 0.04

Total 6.26 6.36 12.62

Faktor Koreksi = 13.2720

JK Total = 0.0192 JK Perlakuan = 0.0098 JK Galat = 0.0094 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 0.0098 0.0032 1.385 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0094 0.0024

Total = tr-1 11 0.0192 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db

galat=6 F hitung = 1.385 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950

F hitung < T tabel sehingga tidak diuji lanjut

Page 145: Nurhayati 2011.pdf

117

d. Kadar Protein

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 1.97 2.01 3.98 1.99 0.03 Fermentasi spontan 1.86 1.91 3.77 1.89 0.04 Satu siklus retrogradasi 2.12 2.04 4.16 2.08 0.06 Dua siklus retrogradasi 1.99 2.08 4.07 2.04 0.06 Ferm spon-satu siklus R 1.91 1.95 3.86 1.93 0.03 Ferm spon-dua siklus R 1.89 1.84 3.73 1.86 0.04

Total 11.74 11.83 23.57 Faktor Koreksi = 46.2954

JK Total = 0.0841 JK Perlakuan = 0.0727 JK Galat = 0.0114 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 0.0727 0.0242 8.545 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0114 0.0028

Total = tr-1 11 0.0841 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db

galat=6 F hitung = 8.545 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950

BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.08 Perlakuan Rerata Selisih Sandi

R2x 2.08

a R 1x 2.04 0.04 a A 1.99 0.04 a FR2x 1.93 0.06 a F 1.88 0.04 a FR2x 1.86 0.02 a e. Karbohidrat

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 88.80 88.71 177.51 88.76 0.06 Fermentasi spontan 87.45 87.49 174.94 87.47 0.03 Satu siklus retrogradasi 87.65 87.62 175.27 87.64 0.02 Dua siklus retrogradasi 88.35 88.28 176.63 88.32 0.05 Ferm spon-satu siklus R 87.41 87.52 174.93 87.46 0.08 Ferm spon-dua siklus R 85.68 85.64 171.32 85.66 0.03

Total 525.34 525.26 1050.6 Faktor Koreksi = 91980.0300

JK Total = 11.2750 JK Perlakuan = 11.2604

Page 146: Nurhayati 2011.pdf

118

JK Galat = 0.0146 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 11.2604 3.7535 1028.347 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0146 0.0036

Total = tr-1 11 11.2750 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11

dan db galat=6 F hitung = 1028.347 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950

BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0,09 Perlakuan Rerata Selisih Sandi

A 88.76

a R2x 88.32 0.44 b R1x 87.64 0.68 c F 87.47 0.16 d FR1x 87.46 0.01 d FR2x 85.66 1.80 e f. Kadar pati

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 70.08 70.25 140.33 70.16 0.12 Fermentasi spontan 69.89 69.69 139.58 69.79 0.14 Satu siklus retrogradasi 69.88 69.84 139.72 69.86 0.03 Dua siklus retrogradasi 66.51 67.72 134.23 67.12 0.86 Ferm spon-satu siklus R 69.08 68.51 137.59 68.80 0.40 Ferm spon-dua siklus R 67.30 68.04 135.34 67.67 0.52

Total 412.74 414.05 826.79 Faktor Koreksi = 56965.14

JK Total = 17.2517 JK Perlakuan = 16.0481 JK Galat = 1.2036 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 16.0481 5.3494 17.779 4.950 Error = t(r-1) 6 1.2036 0.3009

Total = tr-1 11 17.2517 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat=6

F hitung = 17.779 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.78

Perlakuan Rerata Selisih Sandi A 70.16

a

R 69.86 0.30 a F 69.79 0.07 a FR1x 68.79 1.00 b FR2x 67.67 1.12 c

Page 147: Nurhayati 2011.pdf

119

R2x 67.12 0.55 d g. Kadar pati resisten

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 10.53 10.11 34.64 10.32 0.30 Fermentasi spontan 6.79 6.76 25.55 6.78 0.02 Satu siklus retrogradasi 29.38 29.29 58.67 29.34 0.06 Dua siklus retrogradasi 39.15 39.11 78.26 39.13 0.03 Ferm spon-satu siklus R 36.00 35.86 71.86 35.93 0.10 Ferm spon-dua siklus R 42.91 42.44 85.35 42.68 0.30

Total 177.76 176.57 354.33 Faktor Koreksi = 10462.48

JK Total = 1471.74 JK Perlakuan = 1471.53 JK Galat = 0.2138 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 1471.5263 490.5088 9179.111 4.950 Error = t(r-1) 6 0.2138 0.0534

Total = tr-1 11 1471.7400 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat=6

F hitung = 9179.111 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.33

Perlakuan Rerata Selisih Sandi FR2x 42.68

a

R2x 39.13 3.54 b FR1x 35.93 3.20 c R 1x 29.34 6.60 d A 17.32 12.02 e F 12.78 4.54 f h. Kadar RDS

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 38.18 38.11 76.29 38.15 0.05 Fermentasi spontan 32.52 32.75 65.27 32.64 0.16 Satu siklus retrogradasi 23.60 24.08 47.68 23.84 0.34 Dua siklus retrogradasi 21.48 21.58 43.06 21.53 0.07 Ferm spon-satu siklus R 23.89 24.08 47.97 23.99 0.13 Ferm spon-dua siklus R 18.02 18.49 36.51 18.26 0.33

Total 178.18 179.22 316.78 158.39 Faktor Koreksi = 8362.46

JK Total = 558.80 JK Perlakuan = 558.53

Page 148: Nurhayati 2011.pdf

120

JK Galat = 0.2776 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 558.5280 111.7056 2414.386 4.950 Error = t(r-1) 6 0.2776 0.0463

Total = tr-1 11 558.8056 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db

galat=6 F hitung = 2414.386 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950

BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.37 Perlakuan Rerata Selisih Sandi

A 38.15

a F 32.64 5.51 b FR1x 23.99 8.65 c R 1x 23.84 0.15 c R2x 21.53 2.31 d FR2x 18.26 3.27 e i. Kadar SDS

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 24.66 24.67 49.33 24.67 0.01 Fermentasi spontan 32.53 32.75 65.28 32.64 0.16 Satu siklus retrogradasi 25.83 26.23 52.06 26.03 0.28 Dua siklus retrogradasi 19.52 19.32 38.84 19.42 0.14 Ferm spon-satu siklus R 17.43 17.58 35.01 17.51 0.11 Ferm spon-dua siklus R 18.47 18.30 36.77 18.39 0.12

Total 138.44 138.85 277.29 138.65 Faktor Koreksi = 6407.479

JK Total = 338,396 JK Perlakuan = 338.246 JK Galat = 0.146 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 338.2461 67.6492 2706.871 4.950 Error = t(r-1) 6 0.1460 0.0250

Total = tr-1 11 338.3960 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6

F hitung = 2706.871 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.27

Perlakuan Rerata Selisih Sandi F 32.64

a

R 1x 26.03 6.61 b A 24.66 1.36 c R2x 19.42 5.24 d FR2x 18.38 1.04 e

Page 149: Nurhayati 2011.pdf

121

FR1x 17.50 0.88 f j. Daya cerna

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 69.49 69.85 139.34 69.67 0.25 Fermentasi spontan 72.00 72.02 144.02 72.01 0.01 Satu siklus retrogradasi 55.85 55.92 111.77 55.88 0.05 Dua siklus retrogradasi 47.58 47.60 95.18 47.59 0.01 Ferm spon-satu siklus R 49.17 49.27 98.44 49.22 0.07 Ferm spon-dua siklus R 43.25 43.17 86.42 43.21 0.06

Total 337.34 337.83 675.17

Faktor Koreksi = 37987.88

JK Total = 1446.20 JK Perlakuan = 1446.13 JK Galat = 0.0758 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 1446.1282 482.0427 25420.844 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0758 0.0190

Total = tr-1 11 1446.2041 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db

galat= 6 F hitung = 25420.844 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950

BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0,19 Perlakuan Rerata Selisih Sandi

F 72.01

a A 69.67 2.34 b R 1x 55.88 13.78 c FR1x 49.22 6.66 d R2x 47.59 1.63 e FR2x 43.21 4.38 f k. Kadar amilosa

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 13.53 13.60 27.13 13.56 0.05 Fermentasi spontan 15.44 15.45 30.89 15.44 0.01 Satu siklus retrogradasi 14.06 14.15 28.21 14.10 0.06 Dua siklus retrogradasi 14.51 14.52 29.03 14.52 0.01 Ferm spon-satu siklus R 15.64 15.69 31.33 15.66 0.04 Ferm spon-dua siklus R 16.52 16.56 33.08 16.54 0.03

Total 89.70 89.97 179.67

Faktor Koreksi = 2690.1090

JK Total = 12.2142

Page 150: Nurhayati 2011.pdf

122

JK Perlakuan = 12.2056 JK Galat =

0.0086

Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 12.2056 4.0685 1881.399 4.950 Error = t(r-1) 6 0.0086 0.0022

Total = tr-1 11 12.2142 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6

F hitung = 1881.399 F tabel= F0,05: 5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0,07

Perlakuan Rerata Selisih Sandi FR 2x 16.54

a

FR 1x 15.67 0.87 b F 15.45 0.22 c R2x 14.52 0.93 d R1x 14.11 0.41 e A 13.56 0.54 f l. Kadar amilosa fermentasi terkendali

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 14.13 13.98 28.11 14.06 0.11 Fermentasi 12 jam 15.42 15.87 31.29 15.65 0.32 Fermentasi 24 jam 13.58 13.97 27.55 13.78 0.28 Dua siklus retrogradasi 14.45 14.89 29.34 14.67 0.31 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 15.48 15.75 31.23 15.62 0.19 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 14.53 14.85 29.38 14.69 0.23

Total 87.59 89.31 176.90

Faktor Koreksi = 2607.8010

JK Total = 6.3580 JK Perlakuan = 5.9850 JK Galat = 0.3730 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 5.9850 1.9950 21.394 4.950 Error = t(r-1) 6 0.3730 0.0932

Total = tr-1 11 6.3580 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat=6

F hitung = 21.394 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.53

Perlakuan Rerata Selisih Sandi F12 15.64

a

F12-R 2x 15.62 0.03 a F24-R 2x 14.69 0.93 b R 2x 14.67 0.02 b

Page 151: Nurhayati 2011.pdf

123

A 14.06 0.61 c F24 13.78 0.28 c m. Kadar pati resisten fermentasi terkendali

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 9.58 8.76 18.34 9.17 0.08 Fermentasi 12 jam 8.84 8.20 17.04 8.52 0.13 Fermentasi 24 jam 7.90 7.57 15.47 7.74 0.23 Dua siklus retrogradasi 38.13 38.20 76.33 38.16 0.05 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 42.30 41.59 83.89 41.95 0.06 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 38.58 38.66 77.24 38.62 0.12

Total 145.33 142.98 288.31

Faktor Koreksi = 6926.888

JK Total = 2921.893 JK Perlakuan = 2921.040 JK Galat = 0.8532 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 2921.0400 973.6801 4565.106 4.950 Error = t(r-1) 6 0.8532 0.2133

Total = tr-1 11 2921.8930 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6

F hitung = 1510.488 F tabel= F0,05:2,5 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.72

Perlakuan Rerata Selisih Sandi F12-O 41.95

a

F24-O 38.62 3.32 b O 38.16 0.46 b A 9.17 28.99 c F12 8.52 0.65 c F24 7.74 0.78 d n. Kadar RDS fermentasi terkendali

Treatment (t) = 6; Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 38.40 38.72 77.12 38.56 0.23 Fermentasi 12 jam 37.42 37.51 74.93 37.46 0.06 Fermentasi 24 jam 33.74 33.24 66.98 33.49 0.35 Dua siklus retrogradasi 22.14 22.06 44.20 22.10 0.06 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 22.77 22.41 45.18 22.59 0.25 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 23.28 22.99 46.27 23.14 0.21

Total 177.75 176.93 354.68 Faktor Koreksi = 10483.1600

JK Total = 609.1843

Page 152: Nurhayati 2011.pdf

124

JK Perlakuan = 608.8940 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan 3 608.8940 202.9647 2796.619 4.950 Error 4 0.2903 0.0726

Total 7 609.1843 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6

F hitung = 2796.619 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.42

Perlakuan Rerata Selisih Sandi A 38.56

a

F12 37.46 1.10 b F24 33.49 3.98 c F24-O 23.14 10.35 d F12-O 22.59 0.55 e O 22.10 0.49 f o. Kadar SDS fermentasi terkendali

Treatment (t) = 6 Replikasi (r) = 2 Perlakuan 1 2 Jumlah Rata-rata Stdev

Kontrol 25.74 26.00 51.74 25.87 0.18 Fermentasi 12 jam 26.76 27.16 53.92 26.96 0.28 Fermentasi 24 jam 28.77 29.50 58.27 29.14 0.23 Dua siklus retrogradasi 20.09 20.12 40.21 20.10 0.04 Ferm 12 jam- dua siklus retrogradasi 16.48 17.32 33.8 16.90 0.09 Ferm 24 jam - dua siklus retrogradasi 17.64 17.88 35.52 17.76 0.17

Total 135.48 137.98 273.46 Faktor Koreksi = 6231.6980

JK Total = 269.4354 JK Perlakuan = 268.6731 JK Galat = 0.7623 Uraian db JK KT F hitung F tabel

Perlakuan =t-1 5 268.6731 89.5577 469.934 4.950 Error = t(r-1) 6 0.7623 0.1906

Total = tr-1 11 269.4354 Karena ada 6 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 12 dengan db total 11 dan db galat= 6

F hitung = 1577.885 F tabel= F0,05:5,6 = 4.950 BNT/LSD = t0,05(6) x (KTG/U)^1/2 = 0.56

Perlakuan Rerata Selisih Sandi F24 29.14

a

F12 26.96 2.18 b A 25.87 1.09 c O 20.11 5.76 d F24-O 17.76 2.35 e F12-O 16.90 0.86 f

Page 153: Nurhayati 2011.pdf

125

Lampiran 2. Hasil Analisis Difraksi Sinar X

a. Difraktogram Tepung Pisang

Alami Fermentasi Retrogradasi 2x Fer-Retro 2x 5 12 5 14 5 12 5 10

5,2 10 5,2 14 5,2 12 5,2 10 5,4 20 5,4 14 5,4 14 5,4 14 5,6 14 5,6 20 5,6 14 5,6 14 5,8 12 5,8 14 5,8 14 5,8 12 6 18 6 20 6 10 6 10 6,2 20 6,2 14 6,2 6 6,2 10 6,4 18 6,4 16 6,4 12 6,4 12 6,6 14 6,6 16 6,6 10 6,6 12 6,8 16 6,8 20 6,8 12 6,8 12 7 16 7 20 7 16 7 22 7,2 26 7,2 20 7,2 12 7,2 14 7,4 16 7,4 18 7,4 10 7,4 20 7,6 26 7,6 20 7,6 16 7,6 16 7,8 28 7,8 20 7,8 16 7,8 14 8 20 8 24 8 20 8 24 8,2 28 8,2 14 8,2 20 8,2 18 8,4 26 8,4 26 8,4 16 8,4 24 8,6 30 8,6 28 8,6 20 8,6 18 8,8 26 8,8 14 8,8 28 8,8 16 9 30 9 42 9 16 9 26 9,2 24 9,2 32 9,2 22 9,2 20 9,4 30 9,4 36 9,4 24 9,4 22 9,6 46 9,6 54 9,6 26 9,6 28 9,8 36 9,8 30 9,8 26 9,8 28 10 42 10 32 10 42 10 36 10,2 42 10,2 36 10,2 48 10,2 40 10,4 54 10,4 46 10,4 36 10,4 36 10,6 54 10,6 44 10,6 42 10,6 42 10,8 50 10,8 42 10,8 40 10,8 34 11 50 11 48 11 42 11 48 11,2 48 11,2 52 11,2 48 11,2 64 11,4 76 11,4 58 11,4 64 11,4 62 11,6 46 11,6 64 11,6 58 11,6 52 11,8 68 11,8 70 11,8 60 11,8 50 12 46 12 50 12 56 12 76 12,2 58 12,2 44 12,2 60 12,2 54 12,4 64 12,4 56 12,4 60 12,4 80 12,6 60 12,6 52 12,6 68 12,6 76 12,8 64 12,8 68 12,8 78 12,8 76 13 66 13 64 13 72 13 56 13,2 72 13,2 76 13,2 82 13,2 66 13,4 68 13,4 76 13,4 90 13,4 78 13,6 74 13,6 84 13,6 90 13,6 86 13,8 98 13,8 88 13,8 102 13,8 82

Page 154: Nurhayati 2011.pdf

126

14 98 14 118 14 106 14 108 14,2 116 14,2 106 14,2 118 14,2 92 14,4 110 14,4 112 14,4 88 14,4 116 14,6 116 14,6 124 14,6 116 14,6 110 14,8 126 14,8 114 14,8 134 14,8 136 15 132 15 160 15 126 15 118 15,2 144 15,2 166 15,2 124 15,2 114 15,4 110 15,4 146 15,4 156 15,4 146 15,6 115 15,6 130 15,6 120 15,6 138 15,8 106 15,8 126 15,8 140 15,8 108 16 128 16 124 16 144 16 136 16,2 114 16,2 112 16,2 152 16,2 136 16,4 136 16,4 146 16,4 154 16,4 166 16,6 154 16,6 178 16,6 156 16,6 154 16,8 204 16,8 178 16,8 174 16,8 166 17 218 17 240 17 166 17 202 17,2 228 17,2 242 17,2 198 17,2 176 17,4 204 17,4 224 17,4 184 17,4 178 17,6 166 17,6 196 17,6 162 17,6 170 17,8 208 17,8 184 17,8 160 17,8 172 18 178 18 182 18 152 18 152 18,2 202 18,2 168 18,2 148 18,2 164 18,4 162 18,4 164 18,4 172 18,4 160 18,6 162 18,6 162 18,6 168 18,6 170 18,8 134 18,8 124 18,8 164 18,8 164 19 114 19 142 19 184 19 170 19,2 126 19,2 146 19,2 170 19,2 144 19,4 134 19,4 134 19,4 148 19,4 158 19,6 146 19,6 152 19,6 160 19,6 192 19,8 146 19,8 146 19,8 184 19,8 178 20 148 20 142 20 166 20 150 20,2 130 20,2 150 20,2 150 20,2 144 20,4 130 20,4 134 20,4 178 20,4 158 20,6 120 20,6 140 20,6 152 20,6 144 20,8 132 20,8 138 20,8 162 20,8 144 21 146 21 112 21 154 21 160 21,2 130 21,2 122 21,2 158 21,2 148 21,4 144 21,4 138 21,4 134 21,4 176 21,6 134 21,6 120 21,6 174 21,6 160 21,8 158 21,8 156 21,8 178 21,8 164 22 148 22 180 22 168 22 166 22,2 170 22,2 164 22,2 198 22,2 188 22,4 184 22,4 148 22,4 160 22,4 150 22,6 170 22,6 150 22,6 166 22,6 168 22,8 158 22,8 166 22,8 158 22,8 152 23 170 23 194 23 146 23 180 23,2 174 23,2 184 23,2 166 23,2 166 23,4 184 23,4 186 23,4 144 23,4 154 23,6 174 23,6 156 23,6 150 23,6 138 23,8 174 23,8 180 23,8 170 23,8 158 24 158 24 178 24 182 24 154

Page 155: Nurhayati 2011.pdf

127

24,2 148 24,2 154 24,2 154 24,2 146 24,4 148 24,4 162 24,4 152 24,4 134 24,6 142 24,6 146 24,6 152 24,6 134 24,8 126 24,8 142 24,8 128 24,8 134 25 124 25 118 25 116 25 132 25,2 120 25,2 122 25,2 104 25,2 122 25,4 108 25,4 112 25,4 128 25,4 152 25,6 88 25,6 114 25,6 120 25,6 112 25,8 106 25,8 88 25,8 130 25,8 126 26 104 26 96 26 96 26 112 26,2 118 26,2 130 26,2 92 26,2 126 26,4 110 26,4 100 26,4 112 26,4 116 26,6 112 26,6 106 26,6 96 26,6 92 26,8 110 26,8 120 26,8 98 26,8 92 27 112 27 106 27 104 27 96 27,2 88 27,2 90 27,2 118 27,2 94 27,4 106 27,4 82 27,4 108 27,4 114 27,6 108 27,6 94 27,6 124 27,6 118 27,8 92 27,8 90 27,8 110 27,8 110 28 92 28 92 28 100 28 108 28,2 92 28,2 90 28,2 94 28,2 98 28,4 100 28,4 100 28,4 92 28,4 86 28,6 106 28,6 114 28,6 120 28,6 106 28,8 98 28,8 82 28,8 98 28,8 86 29 100 29 108 29 106 29 86 29,2 106 29,2 102 29,2 94 29,2 104 29,4 108 29,4 108 29,4 122 29,4 102 29,6 104 29,6 102 29,6 118 29,6 94 29,8 108 29,8 98 29,8 116 29,8 114 30 94 30 124 30 92 30 114 30,2 90 30,2 90 30,2 102 30,2 108 30,4 122 30,4 116 30,4 112 30,4 88 30,6 104 30,6 106 30,6 106 30,6 74 30,8 94 30,8 138 30,8 90 30,8 90 31 106 31 116 31 108 31 118 31,2 88 31,2 122 31,2 114 31,2 100 31,4 114 31,4 102 31,4 94 31,4 104 31,6 104 31,6 98 31,6 112 31,6 88 31,8 108 31,8 116 31,8 102 31,8 90 32 110 32 102 32 92 32 96 32,2 102 32,2 116 32,2 80 32,2 92 32,4 108 32,4 110 32,4 94 32,4 98 32,6 96 32,6 112 32,6 100 32,6 96 32,8 96 32,8 110 32,8 102 32,8 86 33 100 33 92 33 102 33 98 33,2 102 33,2 102 33,2 102 33,2 112 33,4 90 33,4 100 33,4 98 33,4 104 33,6 102 33,6 92 33,6 100 33,6 82 33,8 104 33,8 116 33,8 92 33,8 110 34 96 34 118 34 100 34 120 34,2 100 34,2 106 34,2 94 34,2 84 34,4 98 34,4 136 34,4 120 34,4 106

Page 156: Nurhayati 2011.pdf

128

34,6 124 34,6 100 34,6 110 34,6 106 34,8 94 34,8 92 34,8 100 34,8 98 35 92 35 98 35 114 35 76 35,2 106 35,2 98 35,2 84 35,2 98 35,4 84 35,4 98 35,4 102 35,4 100 35,6 76 35,6 116 35,6 92 35,6 104 35,8 82 35,8 72 35,8 84 35,8 104 36 92 36 100 36 92 36 102 36,2 74 36,2 98 36,2 84 36,2 72 36,4 84 36,4 110 36,4 102 36,4 104 36,6 98 36,6 104 36,6 102 36,6 68 36,8 88 36,8 96 36,8 84 36,8 104 37 86 37 94 37 82 37 90 37,2 76 37,2 84 37,2 92 37,2 88 37,4 88 37,4 88 37,4 98 37,4 100 37,6 76 37,6 100 37,6 94 37,6 84 37,8 78 37,8 80 37,8 92 37,8 90 38 106 38 90 38 90 38 88 38,2 100 38,2 88 38,2 78 38,2 82 38,4 88 38,4 114 38,4 96 38,4 82 38,6 78 38,6 92 38,6 82 38,6 92 38,8 90 38,8 108 38,8 86 38,8 90 39 82 39 96 39 76 39 74 39,2 70 39,2 92 39,2 78 39,2 106 39,4 76 39,4 86 39,4 80 39,4 76 39,6 84 39,6 82 39,6 78 39,6 92 39,8 72 39,8 74 39,8 76 39,8 76 40 80 40 62 40 80 40 90

Page 157: Nurhayati 2011.pdf

129

b. Tingkat kristalinitas tepung pisang

Page 158: Nurhayati 2011.pdf

130

Page 159: Nurhayati 2011.pdf

131

c. Statistik tingkat kristalinitas tepung pisang

Treatment (t) = 4 Replikasi (r) = 2

Perlakuan Ulangan Total Rerata stdev

1 2 Alami 20.01 20.14 40.15 20.08 0.09

Fermentasi 18.81 18.66 37.47 18.74 0.11 Alami Retrogradasi 2x 9.39 9.65 19.04 9.52 0.18 Fermentasi Retrogradasi 2x 6.93 7.03 13.96 6.98 0.07 Total 55.14 55.48 110.62 55.31

Faktor Koreksi = 1529.598

JK Total = 257.174 JK Perlakuan = 257.115 JK Galat = 0.058

Uraian db JK KT Fhitung Ftabel Ket Perlakuan 3 257.1153 85.70508 5860.177 5.786 terima H1

Error 4 0.0585 0.014625 Total 7 257.1738

Karena ada 4 perlakuan dengan 2 ulangan sehingga total ada 8 dengan db total 7 dan db galat=7-2=5 Fhitung =5.68 Ftabel= F0,05:2,5 = 5.79

BNT/LSD = t0,05(7) x (KTG/U)^1/2 = 0.202239

Perlakuan Rerata Sandi A 20.075

a

F 18.735 1.34 b R 9.52 9.215 c FR 6.98 2.54 d

Page 160: Nurhayati 2011.pdf

132

Lampiran 3. Hasil Identifikasi Menggunakan Kit API 50 CHL

Page 161: Nurhayati 2011.pdf

133

Page 162: Nurhayati 2011.pdf

134

Lampiran 4. Sekuensing DNA Pengkode 16S rRNA a. Elektroferogram Isolat FSnh 1 dan FSnh A

Page 163: Nurhayati 2011.pdf

135

b. Raw Text Alignment: D:\HASIL PCR ku\PCR baru\FSnh1 rawtext

....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55 sekuen F k CTGGCTCTCG GTAGAAGCTT GCTTCTTTTG CTGACGAGTG GCGGACGGGT GAGTAATGTC sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115 sekuen F k TGGGAAACTG CCTGATGGAG GGGGATAACT ACTGGAAACG GTAGCTAATA CCGCATAACG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175 sekuen F k TCGCAAGACC AAAGAGGGGG ACCTTCGGGC CTCTTGCCAT CGGATGTGCC CAGATGGGAT sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 225 235 sekuen F k TAGCTAGTAG GTGGGGTAAC GGCTCACCTA GGCGACGATC CCTAGCTGGT CTGAGAGGAT sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 285 295 sekuen F k GACCAGCCAC ACTGGAACTG AGACACGGTC CAGACTCCTA CGGGAGGCAG CAGTGGGGAA sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 345 355 sekuen F k TATTGCACAA TGGGCGCAAG CCTGATGCAG CCATGCCGCG TGTATGAAGA AGGCCTTCGG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 405 415 sekuen F k GTTGTAAAGT ACTTTCAGCG GGGAGGAAGG GAGTAAAGTT AATACCTTTG CTCATTGACG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 425 435 445 455 465 475 sekuen F k TTACCCGCAG AAGAAGCACC GGCTAACTCC GTGCCAGCAG CCGCGGTAAT ACGGAGGGTG sekuen R k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 485 495 505 515 525 535 sekuen F k CAAGCGTTAA TCGGAATTAC TGGGCGTAAA GCGCACGCAG GCGGTTTGTT AAGTCAGATG sekuen R k ------TGAA --GGA-TTAT TGG---TAAA G-GAAGGGGG GGGGGGGGTT AAGGAAAAAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 545 555 565 575 585 595 sekuen F k TGAAATCCCC ----GGGCTC ----AACCTG GGAACTGCAT CTGATACTGG CAAGCTTGAG sekuen R k TT---TCCCC AAAGGGGTTG GTTAAAGCGG GG---TGAAA AA-ATGC-GT TAAGGAAGA- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 605 615 625 635 645 655 sekuen F k TCTCGTAGAG GGGGGTAGAA TT-CCAGGTG TAGCGGTGAA ATGCGTAGAG ATCTGGAGGA sekuen R k TCTGGG-GAG GGG---AAAA TTACCCGG-G TGG-GGCGAA A-G-G--G-G --CCGG--GC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 665 675 685 695 705 715 sekuen F k ATACCGGTGG CGAAGGCGGC CCCCTGGACG AA--GACTGA CGCTCAGG-- TGC-GAAA-G sekuen R k CCCCCCCTAG GGAA------ --CC-GAAAG AACTGACCGC CTC-CAGGGT TGCCGAAAAG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 725 735 745 755 765 775 sekuen F k CGTGGGGGA- GCAAA-CAGG GATTAG-ATA CCCCTGGGTA GTCCCACGCC CGTAAAACGA sekuen R k CGTGGGGGAA GCAAAACAGG ATTTAGGATA CCCCTGG-TA GTTCCACGCC CGTAAA-CGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 785 795 805 815 825 835 sekuen F k TGTCCGACTT GGGAGGGTTG TGCCCCTTGA AGGCGTGGCC TTCCCGGAAG CTAAACGCGT

Page 164: Nurhayati 2011.pdf

136

sekuen R k TGTC-GACTT GG-AGG-TTG TGCCC-TTGA -GGCGTGGC- TTCC-GGA-G CTAA-CGCGT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 845 855 865 875 885 895 sekuen F k TAAAGTCCGA CCCCCCCTGG GGGAGTACGG CCCGCCAAGG GTTAAAAACT CAAATGAAAT sekuen R k TAA-GTC-GA CCGCC--TGG GG-AGTACGG CC-GC-AAGG -TTAAAA-CT CAAATGAA-- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 905 915 925 935 945 955 sekuen F k TTGAACGGGG GGGCCCGCCA CAAAGCGGGG GGGAGCATGG GGGGGTAAAT ---------- sekuen R k TTGA-CGGGG G--CCCGC-A CAA-GCGGTG G--AGCATGT GGTT-TAATT CGATGCAACG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 965 975 985 995 1005 1015 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k CGAAGAACCT TACCTGGTCT TGACATCCAC GGAAGTTTTC AGAGATGAGA ATGTGCCTTC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1025 1035 1045 1055 1065 1075 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k GGGAACCGTG AGACAGGTGC TGCATGGCTG TCGTCAGCTC GTGTTGTGAA ATGTTGGGTT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1085 1095 1105 1115 1125 1135 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k AAGTCCCGCA ACGAGCGCAA CCCTTATCCT TTGTTGCCAG CGGTCCGGCC GGGAACTCAA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1145 1155 1165 1175 1185 1195 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k AGGAGACTGC CAGTGATAAA CTGGAGGAAG GTGGGGATGA CGTCAAGTCA TCATGGCCCT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1205 1215 1225 1235 1245 1255 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k TACGACCAGG GCTACACACG TGCTACAATG GCGCATACAA AGAGAAGCGA CCTCGCGAGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1265 1275 1285 1295 1305 1315 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- sekuen R k GCAAGCGGAC CTCATAAAGT GCGTCGTAGT CCGGATTGGA GTCTGCAACT CGACTCCATG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| .. 1325 1335 1345 1355 1365 sekuen F k ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- -- sekuen R k AAGTCGGAAT CGCTAGTAAT CGTGGATCAG AATGCCACCC TACTATAGTG CG

Page 165: Nurhayati 2011.pdf

137

Alignment: D:\HASIL PCR ku\FSnhA nov 2011 ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 5 15 25 35 45 55 F FSnhA GGGGGGCCGG GAAAGAGCTT GCTTCTCCCT GACGAGTGGC GGACGGGTGA GTAATGTCTG R FSnhA ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 65 75 85 95 105 115 F FSnhA GGAAACTGCC TGATGGAGGG GGATAACTAC TGGAAACGGT AGCT-AATAC CGCATAACGT R FSnhA ----ACTTCC TAATGGAGGG GGATAATTCC TGGAACCGGT AGCTTAATCC CGCTTAA-GT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 125 135 145 155 165 175 F FSnhA CGC-AAGACC AAAGAGGGGG ACCTTCGGGC CTCTTGCCAT -CGGATGTGC CCAGATGGGA R FSnhA TGCCAAGACC AAAGAGGGG- ACCTTCGGGC CTCTTTCCCT TCGGATTGGC CCAGATGGGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 185 195 205 215 225 235 F FSnhA TTAGCTAGTA GGTGGGGTAA CGGCTCACCT AGGCGACGAT CCCTAGCTGG TCTGAGAGGA R FSnhA TTAGCTTGTA GGTGGGGTAA CGGCTCACCT AGGGGACGAT CCCTAGCTGG TCTGAGAGGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 245 255 265 275 285 295 F FSnhA TGACCAGCCA CACTGGAACT GAGACACGGT CCAGACTCCT ACGGGAGGCA GCAGTGGGGA R FSnhA TGACCAGCCA CACTGGAACT GAGACACGGT CCAGATTCCT ACGGGAGGCA GCAGTGGGGA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 305 315 325 335 345 355 F FSnhA ATATTGCACA ATGGGCGCAA GCCTGATGCA GCCATGCCGC GTGTATGAAG AAGGCCTTCG R FSnhA ATATTGCACA ATGGGCGCAA GCCTGATGCA GCCATGCCGC GTGTATGAAG AAGGCCTTCG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 365 375 385 395 405 415 F FSnhA GGTTGTAAAG TACTTTCAGC GGGGAGGAAG GGAGTAAAGT TAATACCTTT GCTCATTGAC R FSnhA GGTTGTAAAG TACTTTCAGC GGGGAGGAAG GGAGTAAAGT TAATACCTTT GCTCATTGAC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 425 435 445 455 465 475 F FSnhA GTTACCCGCA GAAGAAGCAC CGGCTAACTC CGTGCCAGCA GCCGCGGTAA TACGGAGGGT R FSnhA GTTACCCGCA GAAGAAGCAC CGGCTAACTC CGTGCCAGCA GCCGCGGTAA TACGGAGGGT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 485 495 505 515 525 535 F FSnhA GCAAGCGTTA ATCGGAATTA CTGGGCGTAA AGCGCACGCA GGCGGTTTGT TAAGTCAGAT R FSnhA GCAAGCGTTA ATCGGAATTA CTGGGCGTAA AGCGCACGCA GGCGGTTTGT TAAGTCAGAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 545 555 565 575 585 595 F FSnhA GTGAAATCCC CGGGCTCAAC CTGGGAACTG CATCTGATAC TGGCAAGCTT GAGTCTCGTA R FSnhA GTGAAATCCC CGGGCTCAAC CTGGGAACTG CATCTGATAC TGGCAAGCTT GAGTCTCGTA ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 605 615 625 635 645 655 F FSnhA GAGGGGGGTA GAATTCCAGG TGTAGCGGTG AAATGCGTAG AGATCTGGAG GAATACCGGT R FSnhA GAGGGGGGTA GAATTCCAGG TGTAGCGGTG AAATGCGTAG AGATCTGGAG GAATACCGGT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 665 675 685 695 705 715 F FSnhA GGCGAAGGCG GCCCCCTGGA CGAAGACTGA CGCTCAGGTG CGAAAGCGTG GGGAGCAAAC R FSnhA GGCGAAGGCG GCCCCCTGGA CGAAGACTGA CGCTCAGGTG CGAAAGCGTG GGGAGCAAAC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 725 735 745 755 765 775 F FSnhA AGGATTAGAT ACCCTGGTAG TCCACGCCGT AAACGATGTC GACTTGGAGG TTGTGCCCTT R FSnhA AGGATTAGAT ACCCTGGTAG TCCACGCCGT AAACGATGTC GACTTGGAGG TTGTGCCCTT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 785 795 805 815 825 835 F FSnhA GAGGCGTGGC TTCCGGAGCT AACGCGTTAA GTCGACCGCC TGGGGAGTAC GGCCGCAAGG R FSnhA GAGGCGTGGC TTCCGGAGCT AACGCGTTAA GTCGACCGCC TGGGGAGTAC GGCCGCAAGG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|

Page 166: Nurhayati 2011.pdf

138

845 855 865 875 885 895 F FSnhA TTAAAACTCA AATGAATTGA CGGGGGCCCG CACAAGCGGT GGAGCATGTG GTTTAATTCG R FSnhA TTAAAACTCA AATGAATTGA CGGGGGCCCG CACAAGCGGT GGAGCATGTG GTTTAATTCG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 905 915 925 935 945 955 F FSnhA ATGCAACGCG AAGAACCTTA CCTGGTCTTG ACATCCACGG AAGTTTTCAG AGATGAGAAT R FSnhA ATGCAACGCG AAGAACCTTA CCTGGTCTTG ACATCCACGG AAGTTTTCAG AGATGAGAAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 965 975 985 995 1005 1015 F FSnhA GTGCCTTCGG GAACCGTGAG ACAGGTGCTG CATGGCTGTC GTCAGCTCGT GTTGTGAAAT R FSnhA GTGCCTTCGG GAACCGTGAG ACAGGTGCTG CATGGCTGTC GTCAGCTCGT GTTGTGAAAT ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1025 1035 1045 1055 1065 1075 F FSnhA GTTGGGTTAA GTCCCGCAAC GAGCGCAACC CTTATCCTTT GTTGCCAGCG GTCCGGCCGG R FSnhA GTTGGGTTAA GTCCCGCAAC GAGCGCAACC CTTATCCTTT GTTGCCAGCG GTCCGGCCGG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1085 1095 1105 1115 1125 1135 F FSnhA GAACTCAAAG GAGACTGCCA GTGATAAACT GGAGGAAGGT GGGGATGACG TCAAGTCATC R FSnhA GAACTCAAAG GAGACTGCCA GTGATAAACT GGAGGAAGGT GGGGATGACG TCAAGTCATC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1145 1155 1165 1175 1185 1195 F FSnhA ATGGCCCTTA CGACCAGGGC TACACACGTG CTACAATGGC CCATACAAAG AGAAACGACC R FSnhA ATGGCCCTTA CGACCAGGGC TACACACGTG CTACAATGGC GCATACAAAG AGAAGCGACC ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1205 1215 1225 1235 1245 1255 F FSnhA TCCCGAGAAC AAGCGGACCT CATAAA-TGC GTCGTA-TCC CGATTGGATT CG-------- R FSnhA TCGCGAGAGC AAGCGGACCT CATAAAGTGC GTCGTAGTCC GGATTGGAGT CTGCAACTCG ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| 1265 1275 1285 1295 1305 1315 F FSnhA ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- ---------- R FSnhA ACTCCATGAA GTCGGAATCG CTAGTAATCG TGGATCAGCA TGCCCCGTAC CGCCCCCGGA

Page 167: Nurhayati 2011.pdf

139

c. BLAST-N

Page 168: Nurhayati 2011.pdf

140

Page 169: Nurhayati 2011.pdf

141

Page 170: Nurhayati 2011.pdf

142

d. Alignment urutan basa DNA pengkode 16S rRNA isolat BAL FSnh 1 dan FSnh A dengan BAL dari genus yang berbeda dalam famili Lactobacillacae Genbank

CLUSTAL 2.1 multiple sequence alignment Aerococcus ----------------TTTCATGAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACNAACGCTGGCGGCA 44 Eremococcus ----------------------------------------------------TGGCGGCG 8 Abiotrophia -----------------------AGAGTTTGATCATGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 37 Streptococcus --------------------TTTTTGATTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 40 Lactococcus ----------------------TAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 38 Granulicatella -------------------------------------------GACGAACGCTGGCGGCG 17 Carnobacterium ------------------------GAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCA 36 Enterococcus ------------------------------------GGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 24 Pediococcus TTATAGAAGTTTGGATCCCTTGCTCAGGATGAACGCTGGCGGCGTGCTAATACATGCAAG 60 Lactobacillus ----------------AAAAACGAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCG 44 Leuconostoc ------------------------------------------------------------ Fructobacillus ------------------------------------------------------------ Oenococcus ------------------------------------------------------------ FSnh1 ------------------------------------------------------------ FSnhA ------------------------------------------------------------ Weissella ------------------------------------------------------------ Aerococcus TGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAACAGATGAAGTGCTTGCACTTCTGACGTTAGCGG- 103 Eremococcus TGCNTAATACATGCAAGTCGAACGCACTGACGGAGAACTTGTTCTCTTAACGTGAGTGG- 67 Abiotrophia TGCCTAATACATGCAAGTCGAACGAACCGCGACTAGGTGCTTGCACTTGGTCAAGGTGAG 97 Streptococcus TGCCTAATACATGCAAGTAGAACGCTGAAGCTTGGTGCTTGCACCGAGCGGATGAGTTG- 99 Lactococcus TGCCTAATACATGCAAGTTGAGCGCTGAAGGTTGGTACTTGTACCAACTGGATGAGCAG- 97 Granulicatella TGCCTAATACATGCAAGTCGAACGAGAGCGACCGGTGCTTG----------CACTGGTCA 67 Carnobacterium TGCCTAATACATGCAAGTCGAACGCTTTGACTTCACCGGGTGCTTGCACCCACCGAAGTC 96 Enterococcus TGCCTAATACATGCAAGTCGTACGCTTCTTTTTCCACCGGAGCTTGCTCCACCGGAAAAA 84 Pediococcus TCGAACGAACTTCCGTTAATTGATTATGACGTGCTTGCACTGAATGAGATTTTAACACGA 120 Lactobacillus TGCCTAATACATGCAAGTCGAGCGAGCTGAACCAACAGATTCACTTCGGTGATGACGTTG 104 Leuconostoc ------------------------------------------------------------ Fructobacillus ------GGCGGCGTGCCTAATACATGCAAGTCGTACGAACAGCGGAAAGTGCTTGCACTT 54 Oenococcus ------TACATGCAAGTCGTACGCTAGCCGCTGAATTGATCCTTCGGGTGAAGTGAGGCA 54 FSnh1 ---------------------------------CTGGCTCTCGGTAGAAGCTTGCTTCTT 27 FSnhA -----------------------------------------GGGGGGCCGGGAAAGAGCT 19 Weissella ------------------------------------------------------------ Aerococcus -------------CGAACGGGTGAGTAACACGTAAGGAATCTACCTATAAGCGGGGGATA 150 Eremococcus -------------CGGACGGGTGAGTAACACGTGGGAAACCTACCCTTGAGCGGGGGATA 114 Abiotrophia TGG----------CGAACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTACCTCATAGTGGGGGATA 147 Streptococcus -------------CGAACGGGTGAGTAACGCGTAGGTAACCTGCCTGGTAGCGGGGGATA 146 Lactococcus -------------CGAACGGGTGAGTAACGCGTGGGGAATCTGCCTTTGAGCGGGGGACA 144 Granulicatella ATCTAGT----GGCGAACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATCAGAGGGGGATA 123 Carnobacterium AAGGAGT----GGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATAAGAGGGGGATA 152 Enterococcus GAAGAGT----GGCGAACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCATCAGAAGGGGATA 140 Pediococcus AGTGAGT----GGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCAGAAGCAGGGGATA 176 Lactobacillus GGAACGCGAGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGATA 164 Leuconostoc -----------------------AGTAACACGTGGATAACCTGCCTCAAGGCTGGGGATA 37 Fructobacillus TCCAAGTAAGTGGCGAACGGGTGAGTAACACGTGAATAACCTACCGCAAAGTCTGGGATA 114 Oenococcus ATGACTAGAGTGGCGAACTGGTGAGTAACACGTAAGAAACCTGCCCTTTAGTGGGGGATA 114 FSnh1 TTGCTGACGAGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGGAAACTGCCTGATGGAGGGGGATA 87 FSnhA TGCTTCTCCCTGACGAGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGGAAACTGCCTGATGGAGG 79 Weissella ------------------------------------------------------------ Aerococcus ACATTCGGAAACGGGTGCTAATACCGCATAATATCTTCTTCCGCATGGAAGAAGATTGAA 210 Eremococcus ACGGTCGGAAACGATCGCTAATACCGCATAACAGCAATCATCGCCTGATGGTTGATTGAA 174 Abiotrophia ACAGTCGGAAACGACTGCTAATACCGCATAGGACATGGNATCACATGATTCAGTGAGGAA 207 Streptococcus ACTATTGGAAACGATAGCTAATACCGCATAAGAGTAGATGTTGCATGACATTTACTTAAA 206 Lactococcus ACATTTGGAAACGAATGCTAATACCGCATAAAAACTTTAAACACAAGTTTTAAGTTTGAA 204 Granulicatella ACATTCGGAAACGGATGCTAAAACCGCATAGGTCTTCGAACCGCATGGTTTGAAGAGGAA 183 Carnobacterium ACATCCGGAAACGGATGCTAATACCGCATATTTCCAATTGTCTCCTGACAGATGGAAAAA 212 Enterococcus ACACTTGGAAACAGGTGCTAATACCGTATAACAATCGAAACCGCATGGTTTTGATTTGAA 200 Pediococcus ACACCTGGAAACAGATGCTAATACCGTATAACAGAGAAAACCGCCTGGTTTTCTTTTAAA 236 Lactobacillus CCACTTGGAAACAGGTGCTAATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTATAAA 224 Leuconostoc ACATTTGGAAACAGATGCTAATACCGAATAAAACTTAGTATCGCATGATATCAAGTTAAA 97 Fructobacillus ACCATTGGAAACAGTGACTAATACCGGATAAAACCCAAGTGCACATGCACTAAGGTTAAA 174 Oenococcus ACATTTGGAAACAGATGCTAATACCGCGTAACAACAAATCACACATGTGATCTGTTTGAA 174 FSnh1 ACTACTGGAAACGGTAGCTAATACCGCATAACGTCGCAAGACCAAAGAGGGGGACCTTCG 147 FSnhA GGGATAACTACTGGAAACGGTAGCTTAATACCGCATAACGTCGCCAAGACCAAAGAGGGG 139 Weissella ------------------------------------------------------------

Page 171: Nurhayati 2011.pdf

143

Aerococcus AGACGGCTCTG-CTGTCACTTATAGATGACCTTGCGGTGCATTAGTTAGTTGGTGGGGTA 269 Eremococcus AGATGGCTCTG-CTATCACTCAAGGATGGGCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTAAGGTA 233 Abiotrophia AGGTGGCGCAAGCTATCGCTAAGAGATGGACCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTAGGGTA 267 Streptococcus AGGTGCAATTG--CATCACTACCAGATGGACCTGCGTTGTATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 264 Lactococcus AGATGCAATTG--CATCACTCAAAGATGATCCCGCGTTGTATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 262 Granulicatella AAGAGGCGCAAGCTTCTGCTGATGGATGGACCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 243 Carnobacterium AGGTGGCTTCGGCTACCGCTTATGGATGGACCCGCGGCGTATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 272 Enterococcus AGGCGCTTTCGGGTGTCGCTGATGGATGGACCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 260 Pediococcus AGATGGCTCTG-CTATCACTTCTGGATGGACCCGCGGCGCATTAGCTAGTTGGTGAGGTA 295 Lactobacillus AGGCGGCGTAAGCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTGCATTAGCTAGTTGGTAGGGTA 284 Leuconostoc AGGCGCTACGG--CGTCACCTAGAGATGGATCCGCGGTGCATTAGTTAGTTGGTGGGGTA 155 Fructobacillus AGCTGCGTTTG--CAGCGCTTTAAGATGGATTCGCGGTGCATTAGTTAGTTGGTGAGGTA 232 Oenococcus AGGTCCTTTTG--GATCGCTAGAGGATGGTCTTGCGGCGTATTAGCTTGTTGGTAGGGTA 232 FSnh1 G---------GCCTCTTGCCATCGGATGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTGGGGTA 198 FSnhA GACCTTCGGGCCTCTTGCCATTCGGATGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTGGGGTA 199 Weissella ------------------------------------------------TTGTACACACCG 12 * . . . . Aerococcus ATGGCCTACCAAGACGATGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 329 Eremococcus ACGGCTTACCAAGGCCATGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTAATCGGCCACATTGGGAC 293 Abiotrophia AGGNCCTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 327 Streptococcus ACGGCTCACCAAGGCAACGATACATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGAC 324 Lactococcus AAGGCTCACCAAGGCGATGATACATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 322 Granulicatella ACGGCTCACCAAGGCCGTGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 303 Carnobacterium ATGGCTCACCAAGGCGATGATACGTAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACACTGGGAC 332 Enterococcus ACGGCTCACCAAGGCCACGATGCATAGCCGACCTGAGAGGGTGATCGGCCACATTGGGAC 320 Pediococcus ACGGCTCACCAAGGCGATGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTAATCGGCCACATTGGGAC 355 Lactobacillus ACGGCCTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATTGGGAC 344 Leuconostoc AAGGCTTACCAAGACGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATTGGGAC 215 Fructobacillus AAGGCTCACCAAGACGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGACCGGCCACATTGGGAC 292 Oenococcus GAAGCCTACCAAGGCAATGATGCGTAGCCGAGTTGAGAGACTGGCCGGCCACATTGGGAC 292 FSnh1 ACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACTGGAAC 258 FSnhA ACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACTGGAAC 259 Weissella CCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGCCGGTGGGGTAACCTTTTAGGAGCCA 72 . ..* * .. . :* :..* . .*. . . . : * .* .. Aerococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGGCGAA 389 Eremococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGCA 353 Abiotrophia TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGCA 387 Streptococcus TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCGGCAATGGACGGA 384 Lactococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCGGCAATGGACGAA 382 Granulicatella TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGCA 363 Carnobacterium TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCGCAATGGACGAA 392 Enterococcus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCGGCAATGGACGAA 380 Pediococcus TGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGACGCA 415 Lactobacillus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGACGAA 404 Leuconostoc TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGGCGCA 275 Fructobacillus TGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGGGCGCA 352 Oenococcus TGAGACACTGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATTTTCCGCAATGCACGAA 352 FSnh1 TGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCA 318 FSnhA TGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGGGCGCA 319 Weissella GCCGTCTAAGGTGGGACAGATGATTAGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCGTAGGAGAAC 132 .*:*:. * ..**: .*.. ..** ... . ...*: * *.::* . . . Aerococcus AGCCTGACGGAGCAATGCCGCGTGAGTGAAGAAGGCCTTCGGGTCGTAAAACTCTGTTAT 449 Eremococcus AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGTGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCACTGTTAT 413 Abiotrophia AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTCTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGT 447 Streptococcus AGTCTGACCGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGT 444 Lactococcus AGTCTGACCGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGG 442 Granulicatella AGTCTGACGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 423 Carnobacterium AGTCTGACGGAGCAATGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 452 Enterococcus AGTCTGACCGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAACTCTGTTGT 440 Pediococcus AGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGCTCGTAAAGCTCTGTTGT 475 Lactobacillus AGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCTGTTGT 464 Leuconostoc AGCCTGATGGAGCAACGCCGCGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACTGTTGT 335 Fructobacillus AGCCTGATGGAGCAACGCCGTGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACTGTTG- 411 Oenococcus AGTGTGACGGAGCGACGCCGCGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACTTGTTG 412 FSnh1 AGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACTTTCAG 378 FSnhA AGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACTTTCAG 379 Weissella CTGCGGCTGGATCACCTCCTTTCTAAGGAAAATCGGAAACCTACACATTCAACGAAACGA 192 . *. * * . ** :. **:.*: * ::* :::.. : Aerococcus AAGAGAAGAACAAATTGTAGAGTAACTG--CTACAGTCTTGACGGTATCTTATCAGAAAG 507 Eremococcus TAGCCAAGAACACCCCTAGTAGTAACTG--GCTAGGGATTGACGGTAACTAATCAGAAAG 471 Abiotrophia TAGAGAAGAACAGCGCATAGAGTAACTG--CTATGCGTGTGACGGTATCTAACCAGAAAG 505 Streptococcus AAGAGAAGAACGAGTGTGAGAGTGGAAAG-TTCACACTGTGACGGTATCTTACCAGAAAG 503

Page 172: Nurhayati 2011.pdf

144

Lactococcus TAGAGAAGAACGTTGGTGAGAGTGGAAAG-CTCATCAAGTGACGGTAACTACCCAGAAAG 501 Granulicatella TAGAGAAGAACAAGTGCTAGAGTAACTG--TTAGCGCCTTGACGGTATCTAACCAGAAAG 481 Carnobacterium TAGAGAAGAACAAGGATGAGAGTAACTG--CTCATCCCCTGACGGTATCTAACCAGAAAG 510 Enterococcus TAGAGAAGAACAAGGATGAGAGTAACTG--TTCATCCCTTGACGGTATCTAACCAGAAAG 498 Pediococcus TAAAGAAGAACGTGGGTGAGAGTAACTG--TTCACCCAGTGACGGTATTTAACCAGAAAG 533 Lactobacillus TGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTG--GCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGAAAG 522 Leuconostoc ATGGGAAGAAATGCTAAAATAGGGAATG--ATTTTAGTTTGACGGTACCATACCAGAAAG 393 Fructobacillus -TATGGGAAGAACGGGTTTAAGAGGAAATGCTTAAACAGTGACGGTACCATACCAGAAAG 470 Oenococcus TAAGGGAAGAATAACTGAATTCAGAGAAAGTTTTCAGCTTGACGGTACCTTACCAGAAAG 472 FSnh1 CGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCT--TTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAGAAG 436 FSnhA CGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCT--TTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAGAAG 437 Weissella TATTTAGTTTTGAGTGATTTACACTCAATGAAGACAGAGAGTCGAATCTCTGGGACTGTA 252 .. : :*:** :: * .:. Aerococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCNAGCGTTGTCCGGAT 567 Eremococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 531 Abiotrophia CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCGAGCGTTGTCCGGAT 565 Streptococcus GGACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTCCCGAGCGTTGTCCGGAT 563 Lactococcus GGACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTCCCGAGCGTTGTCCGGAT 561 Granulicatella CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 541 Carnobacterium CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 570 Enterococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 558 Pediococcus CCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTATCCGGAT 593 Lactobacillus TCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCGGAT 582 Leuconostoc GGACGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCGGAT 453 Fructobacillus GGACGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCGGAT 530 Oenococcus GGATGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCGGAT 532 FSnh1 CACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCGGAA 496 FSnhA CACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCGGAA 497 Weissella GCTCAGCTGGTTAGAGCGCACCCCTGATAAGGGTGAGGTCGGAGGTTCGAGTCCTCTCAG 312 .***.. *. . ** *. . .. ..*..* : * : . * * * Aerococcus TTATTGGGCGTAAAGGGAGCGCAGGTGGTTTCTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG--- 624 Eremococcus TTATTGGGCGTAAAGGGAGCGCAGGCGGTGACTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG--- 588 Abiotrophia TTATTGGGCGTAAAGGGAGTGTAGGCGGTCTTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG--- 622 Streptococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTAGATAAGTCTGAAGTTAAAGGCTGTGG--- 620 Lactococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGTGGTTTATTAAGTCTGGTGTAAAAGGCAGTGG--- 618 Granulicatella TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTCCTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCCCGG--- 598 Carnobacterium TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTCTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCCCGG--- 627 Enterococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTTCTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCCCGG--- 615 Pediococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTCTTTTAAGTCTAATGTGAAAGCCTTCGG--- 650 Lactobacillus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG--- 639 Leuconostoc TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTGATTAAGTCTGATGTGAAAGCCCGGAG--- 510 Fructobacillus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTGCTTAAGTCTGAAGTGAAAGCCCACAG--- 587 Oenococcus TTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTTATTAAGTCTGATGTGAAATCCCGAGG--- 589 FSnh1 TTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCAAAGGG 556 FSnhA TTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCGGG--- 554 Weissella TCCCATGATATGGGGAATTAGCTCAGCTGGGAGAGCACCTGCTTTGCAAGCAGGGGGTCA 372 * . : *. .*...* . * : . :... *:. : * .** . .. Aerococcus -----CTTAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAAACTTGAGTACAGAAGAGGAATGT 679 Eremococcus -----CTTAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGTCACTTGAGTACAGAAGAGGAAAGC 643 Abiotrophia -----CTCAACCGTGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAGACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGC 677 Streptococcus -----CTTAACCATAGTACGCTTTGG-AAACTGTTTAACTTGAGTGCAAGAGGGGAGAGT 674 Lactococcus -----CTCAACCATT-GTATGCATTGGAAACTGGTAGACTTGAGTGCAGGAGAGGAGAGT 672 Granulicatella -----CTCAACCGGGGAGGGTCATTGGAAACTGGGGAACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 653 Carnobacterium -----CTCAACCGGGGAGGGTCATTGGAAACTGGAGAACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 682 Enterococcus -----CTCAACCGGGGAGGGTCATTGGAAACTGGGAGACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 670 Pediococcus -----CTCAACCGAAGAAGTGCATTGGAAACTGGGAGACTTGAGTGCAGAAGAGGACAGT 705 Lactobacillus -----CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGT 694 Leuconostoc -----CTCAACTCCGGAATGGCATTGGAAACTGGTTAACTTGAGTGTTGTAGAGGTAAGT 565 Fructobacillus -----CTCAACTGTGGAATGGCTTTGGAAACTGGGCAACTTGAGTGCAGTAGAGGTAAGT 642 Oenococcus -----CCCAACCTCGGAACTGCATTGGAAACTGATTTACTTGAGTGCGATAGAGGCAAGT 644 FSnh1 GTTGGTTAAAGCGGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGT 616 FSnhA -----CTCAACCTGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGT 609 Weissella TCGGTTCGAACCCGATATTCTCCATAACAACCATCTGGTTGTTAATTAGTTCTTTGAAAA 432 ** : .:** . * :.: . : . Aerococcus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 738 Eremococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 702 Abiotrophia GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 736 Streptococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCGGTGGCGAAAG 733 Lactococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTATATATATGGAGGAACACCGGTGGCGAAAG 731 Granulicatella GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 712 Carnobacterium GGAATTCCACG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATGTGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 741 Enterococcus GGAATTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGG 729 Pediococcus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 764 Lactobacillus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 753

Page 173: Nurhayati 2011.pdf

145

Leuconostoc GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 624 Fructobacillus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGG 701 Oenococcus GGAACTCCATG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATGTGGAAGAACACCAGTGGCGAAAG 703 FSnh1 AGAATTACCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGG 676 FSnhA AGAATTCCAGG-TGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGG 668 Weissella CTGAATCATAATTGTAAATTTTTAAATTCATTATAATTGATCATATCAATTAAATTGAGC 492 .* *.. . ****.. * **: :: * *: **.: .:* ... :.. .*. Aerococcus CGACATTCTG-------------------------------------------GTCTGTT 755 Eremococcus CGGCTTTCTG-------------------------------------------GTCTGAT 719 Abiotrophia CGGCTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 753 Streptococcus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GCTTGTA 750 Lactococcus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GCCTGTA 748 Granulicatella CGACTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 729 Carnobacterium CGACTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 758 Enterococcus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 746 Pediococcus CGGCTGTCTG-------------------------------------------GTCTGTA 781 Lactobacillus CGGCTCTCTG-------------------------------------------GTCTGCA 770 Leuconostoc CGGCTTACTG-------------------------------------------GACAACA 641 Fructobacillus CGGCTTACTG-------------------------------------------GACTGCA 718 Oenococcus CGGCTTGCTA-------------------------------------------GATCGTA 720 FSnh1 CGGCCCCCTGGACGAACTGACCGCCTCTCAGGGTTGCCGAAAAGCGTGGGGGAAGCAAAA 736 FSnhA CGGCCCCCTG-------------------------------------------GACGAAG 685 Weissella CGAAAAAATACACCGCG------------------------------------TAATTTT 516 **.. .*. Aerococcus ACTGACACTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 815 Eremococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 779 Abiotrophia ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 813 Streptococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 810 Lactococcus ACTGACACTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 808 Granulicatella ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 789 Carnobacterium ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 818 Enterococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 806 Pediococcus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAT 841 Lactobacillus ACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAT 830 Leuconostoc ACTGACGTTGAGGCTCGAAAGTGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 701 Fructobacillus ACTGACGTTGAGGCTCGAAAGTGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCCTGGTAGTCCAC 778 Oenococcus ACTGACGTTGAGGCTCGAAAGTATGGGTAGCAAACGGGATTAGATACCCCGGTAGTCCAT 780 FSnh1 CAGGATTTAGGATACCCCTGGGTAGTTCCACGCCCGTAAAACGATGTCCGACTTGGGAGG 796 FSnhA ACTGACGCTCAGGTGCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCCTGG-TAGTCCA 744 Weissella TTGAGTTTTTTAAATAAGTTTAAAATCGCTTGTGACCATTGAGTCACAATACTCAAACGA 576 .. : . . : :. . . . .:: .*: . .. . . . Aerococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCCGCAGTTAACG 875 Eremococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCACCCTTCAGTGCTGGCGTTAACG 839 Abiotrophia GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGGTTCCACCCTTCAGTGCTGGAGTTAANG 873 Streptococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTAGACCCTTTCCGGGGTTTAGTGCCGCAGCTAACG 870 Lactococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAGATGTAAGGGAGCTATAAGTTCTCTGTATG-CAGCTAACG 867 Granulicatella GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCAGTTAACG 849 Carnobacterium GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCACGTAACG 878 Enterococcus GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCAGCTAACG 866 Pediococcus GCCGTAAACGATGATTACTAAGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTGCTGCAGCTAACG 901 Lactobacillus GCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTGCTGCAGCTAACG 890 Leuconostoc ACCGTAAACGATGAATACTAGGTGTTAGGAGGTTTCCGCCTCTTAGTGCCGAAGCTAACG 761 Fructobacillus ACCGTAAACGATGGATACTAGTTGTTAGAGGGTTTCCGCCCTTTAGTGACGAAGCAAACG 838 Oenococcus ACCGTAAACGATGGGTGCTAGTTGTTAAGAGGTTTCCGCCTCCTAGTGACGTAGCAAACG 840 FSnh1 GTTGTGCCCCTTGAAGGCGTGGCCTTCCCGGAAGCTAAACGCGTTAAAGTCCGACCCCCC 856 FSnhA CGCCGTAAACGATGTCGACTTGGAGGTTGTGCCCTTGAGGCGTGGCTTCCGGAGCTAACG 804 Weissella AATCATCAACGAAAGTTGATCGGGTAAGTTATTAAGGGCGCATGGTGAATGCCTTGGCAC 636 ... : . : . . Aerococcus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 935 Eremococcus CAATAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGGTCGCAAGACTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 899 Abiotrophia CAATAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGNTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 933 Streptococcus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 930 Lactococcus CAATAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 927 Granulicatella CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 909 Carnobacterium CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 938 Enterococcus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 926 Pediococcus CATTAAGTAATCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAAGAATTGACGGG 961 Lactobacillus CATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 950 Leuconostoc CATTAAGTATTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 821 Fructobacillus CATTAAGTATCCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAAGGAATTGACGGG 898 Oenococcus CATTAAGCACCCCGCCTGAGGAGTACGGCCGCAAGGCTAAAACTTAAAGGAATTGACGGG 900 FSnh1 CTGGGGGAGTACGGCCCGCCAAGGGTTAAAAACTCAAATGAAATTTGAACGGGGGGGCCC 916 FSnhA CGTTAAGTCGACCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGTTAAAACTCAAATGAATTGACGGG 864 Weissella TAGGAGCCGATGAAGGACGGGACTAACACCGATATGCCTCGGGGAGCTGTAAGTAAGCTG 696

Page 174: Nurhayati 2011.pdf

146

.. . .* . . ... : . .. : .. .. Aerococcus GACCNGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAANNAACGCGAAGAACCTTACCAA 995 Eremococcus GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 959 Abiotrophia GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 993 Streptococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 990 Lactococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 987 Granulicatella GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAA 969 Carnobacterium GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 998 Enterococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 986 Pediococcus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTG-GTTTATTCGAAGCTACGCGAAGAACCTTACCAG 1020 Lactobacillus GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 1010 Leuconostoc GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 881 Fructobacillus GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAAGAACCTTACCAG 958 Oenococcus GACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGATACGCGAAAAACCTTACCAG 960 FSnh1 GCCACAAAGCGGGGGGGAGCATGGGGGGGTAAATCGATGCAACGCGAAGAACCTTACCTG 976 FSnhA GGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCAACGCGAAGAACCTTACCTG 924 Weissella TGATCCCGGGATTTCCGAATGGGGGAACCCAACTTGTCATGCAAGTTATCGTTTAATGAA 756 . .. . *.. * . :* * *: ... :* .. *:* :. Aerococcus GTCTTGACATCCTTTGACCACCCTAGAGATAGGGN-TTTCCCTTCGGGGACAAAGTGACA 1054 Eremococcus GTCTTGACATCCTATGACCACTCTAGAGATAGAGT-TTCTCTTCGGAG--CATAGAGACA 1016 Abiotrophia GTCTTGACATCCCGACGACCGCTCTAGAGATAGAG-TTTTTTTTCGGAACGTCGGTGACA 1052 Streptococcus GTCTTGACATCCCTCTGACCGCTCTAGAGATAGAG-TTTTCCTTCGGGACAGAGGTGACA 1049 Lactococcus GTCTTGACATACTCGTGCTATTCCTAGAGATAGGA-AGTTCCTTCGGGACACGGGATACA 1046 Granulicatella GTCTTGACATCCTTTGACCACTCTAGAGATAGAGC-TTTCCCTTCGGGGACAAAGTGACA 1028 Carnobacterium GTCTTGACATCCTTTGACCACTCTAGAGATAGGGC-TTTCCCTTCGGGGACAAAGTGACA 1057 Enterococcus GTCTTGACATCCTTTGACCACTCTAGAGATAGAGC-TTCCCCTTCGGGGGCAAAGTGACA 1045 Pediococcus GTCTTGACATCTTCTGCCAACCTAAGAGATTAGGC-GTTCCCTTCGGGGACAGAATGACA 1079 Lactobacillus GTCTTGACATCTAGTGCAATCCGTAGAGATACGGA-GTTCCCTTCGGGGACACTAAGACA 1069 Leuconostoc GTCTTGACATCCTTTGAAGCTTTTAGAGATAGAAGTGTTCTCTTCGGAGACAAAGTGACA 941 Fructobacillus GTCTTGACATCCTTTGAAGGTACTAGAGATAGTGCTGTCTTCTTCGGAAGCAAAGTGACA 1018 Oenococcus GTCTTGACATACCAATGATCGCTTTTGTAATGAAAGCTTTTCTTCGGAACATTGGATACA 1020 FSnh1 GTCTTGACATCCACGGAAGTTTTCAGAGATGAGAA-TGTGCCTTCGGGAACCGTGAGACA 1035 FSnhA GTCTTGACATCCACG-GAAGTTTTCAGAGATGAGAATGTGCCTTCGGGAACCGTGAGACA 983 Weissella TACATAGTTAAACGAAGGTAGACGTTGTGAACTGAAACATCTCATTAGCAACAGGAGAAG 816 :*:*.. ::. . .: . .. .: *.. Aerococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCNNCAACGAG 1114 Eremococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1076 Abiotrophia GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1112 Streptococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1109 Lactococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1106 Granulicatella GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1088 Carnobacterium GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1117 Enterococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1105 Pediococcus GGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1139 Lactobacillus GGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1129 Leuconostoc GGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1001 Fructobacillus GGTGGTGCATGGCCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1078 Oenococcus GGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1080 FSnh1 GGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1095 FSnhA GGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAGTCCCGCAACGAG 1043 Weissella AAAGAAAAATCGATTCCGTCAGTAGCGGCGAGCGAACGCGGAGGAGCCCAAACCAGAGTG 876 ..:* :..** * ****** : * . ..* * *.* :.. .. **..*:* Aerococcus CGCAACCCCTATTATTAGTTGCCAGCATTTAG-TTGGGCACTCTAATGAGACTGCCGGTG 1173 Eremococcus CGCAACCCTTATAACTAGTTGCCAGCATTCAG-ATGGGGACTCTAGTTAGACTGCCGGTG 1135 Abiotrophia CGCAACCCCTATAACTAGTTGCCAGCATTNAG-ATGGGGACTCTAGTTAGACTGCCGGTG 1171 Streptococcus CGCAACCCCTATTGTTAGTTGCCATCATTCAG-TTGGGCACTCTAGCGAGACTGCCGGTA 1168 Lactococcus CGCAACCCCTATTGTTAGTTGCCATCATTAAG-TTGGGCACTCTAACGAGACTGCCGGTG 1165 Granulicatella CGCAACCCTTATTACTAGTTGCCAGCATTGAG-TTGGGCACTCTAGTGAGACTGCCGGTG 1147 Carnobacterium CGCAACCCCTATTATTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGTGAGACTGCCGGTG 1176 Enterococcus CGCAACCCTTATTGTTAGTTGCCATCATTCAG-TTGGGCACTCTAGCAAGACTGCCGGTG 1164 Pediococcus CGCAACCCTTATTACTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGTGAGACTGCCGGTG 1198 Lactobacillus CGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATGAGACTGCCGGTG 1188 Leuconostoc CGCAACCCTTATTGTTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGCGAGACTGCCGGTG 1060 Fructobacillus CGCAACCCTTATGTTTAGTTGCCAGCATTCAG-TTGGGCACTCTAGACAGACTGCCGGTG 1137 Oenococcus CGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTTAG-TTGGGCACTCTAATGAGACTGCCGGTG 1139 FSnh1 CGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGGAGACTGCCAGTG 1155 FSnhA CGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGGAGACTGCCAGTG 1103 Weissella CTTGCACTCTGGGGTTGTAGGACTACCGTTGTGGAGTTACAAATTTGTTTATTAGCAGAA 936 * ...* *. * : *.*: * * * ..:.:: : * *. *.*:. Aerococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCAGCATGCCCCTTATGACTTGGGCTAC 1233 Eremococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1195 Abiotrophia ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1231 Streptococcus ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1228 Lactococcus ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1225

Page 175: Nurhayati 2011.pdf

147

Granulicatella ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACTTGGGCTAC 1207 Carnobacterium ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1236 Enterococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1224 Pediococcus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAAATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1258 Lactobacillus ACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1248 Leuconostoc ACAAACCGGAGGAAGGCGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1120 Fructobacillus ACAAACCGGAGGAAGGCGGGGACGACGTCAGGTCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCTAC 1197 Oenococcus ATAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTATGACCTGGGCAAC 1199 FSnh1 ATAAACTGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTACGACCAGGGCTAC 1215 FSnhA ATAAACTGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTACGACCAGGGCTAC 1163 Weissella TCAGCTGGGAAGCTGAGCGAAACAGGGTGATAGCCCCGTATGCGAAAGTAAGCAAACTCC 996 : *.. ***.*.:*. *..* .. ** * . *. *.*. * ::* *. ...*:.* Aerococcus ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTCGCAAACCCGCGAGGGCAAGCAAATCTCTT 1293 Eremococcus ACACGTGCTACAATGGACGATACAACGAGCAGCAAACTCGCGAGGGTAAGCGAATCTCTT 1255 Abiotrophia ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGCAGCGAACTNGCGAGGGTAAGCGAATCTCTA 1291 Streptococcus ACACGTGCTACAATGGCTGGTACAACGAGTCGCAAGCCGGTGACGGCAAGCTAATCTCTT 1288 Lactococcus ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTCGCGAGACAGTGATGTTTAGCTAATCTCTT 1285 Granulicatella ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGCAGCGAACTCGCGAGGGTAAGCGAATCTCTT 1267 Carnobacterium ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTCGCAAGGTCGCGAGGCCAAGCTAATCTCTT 1296 Enterococcus ACACGTGCTACAATGGGAAGTACAACGAGTTGCGAAGTCGCGAGGCTAAGCTAATCTCTT 1284 Pediococcus ACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTTGCGAAACCGCGAGGTTTAGCTAATCTCTT 1318 Lactobacillus ACACGTGCTACAATGGACAGTACAACGAGGAGCAAGCCTGCGAAGGCAAGCGAATCTCTT 1308 Leuconostoc ACACGTGCTACAATGGCGTATACAACGAGTTGCCAACCTGCGAAGGTGAGCTAATCTCTT 1180 Fructobacillus ACACGTGCTACAATGGCGTATACAACGAGCAGCAAACCTGTGAAGGTAAGCGAATCTCTT 1257 Oenococcus ACACGTGCTACAATGGGAAGTACAACGAGTCGCAAACCGGCGACGGTAAGCTAATCTCTT 1259 FSnh1 ACACGTGCTACAATGGCGCATACAAAGAGAAGCGACCTCGCGAGAGCAAGCGGACCTCAT 1275 FSnhA ACACGTGCTACAATGGCCCATACAAAGAGAAACGACCTCGCGAGAGCAAGCGGACCTCAT 1223 Weissella CGTGTAGGATCCTGAGTACGGCCGGACACGTGAAATCCGGTCGGAAACTGCGAGGACCAT 1056 . : :* ::*.: .* . .*... * .. * * . . :** .. . *:: Aerococcus AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1352 Eremococcus AAAGTCGTTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1314 Abiotrophia AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGTAGTCTGCAACTCG-ACTACATGAAGCCGGAATCGCT 1350 Streptococcus AAAGCCAGTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCG-CCTACATGAAGTCGGAATCGCT 1347 Lactococcus AAAACCATTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCTAACTCGCCTACATGAAGTCGGAATCGCT 1345 Granulicatella AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCG-CCTACATGAAGCCGGAATCGCT 1326 Carnobacterium AAAGCCATTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1355 Enterococcus AAAGCTTCTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCG-CCTGCATGAAGCCGGAATCGCT 1343 Pediococcus AAAACCATTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCG-CCTACACGAAGTCGGAATCGCT 1377 Lactobacillus AAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCG-ACTGCACGAAGCTGGAATCGCT 1367 Leuconostoc AAAGTACGTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCG-ACTGCACGAAGTCGGAATCGCT 1239 Fructobacillus AAAGTACGTCTCAGTTCGGATTGTAGTCTGCAACTCG-ACTACATGAAGTCGGAATCGCT 1316 Oenococcus AAAACTTCTCTCAGTTCGGACTGGAGTCTGCAACTCG-ACTCCACGAAGGCGGAATCGCT 1318 FSnh1 AAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTCG-ACTCCATGAAGTCGGAATCGCT 1334 FSnhA AAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTCG-ACTCCATGAAGTCGGAATCGCT 1282 Weissella CTCGTAAGGCTAAATACTCCCTAGTGACCGATAGTGAACCAGTACCGTGAGGGAAAGG-- 1114 .:.. * *.* * . *. :* * *.:* .*: * .:* ****: * Aerococcus AGTAATCGTGGATCAGCACGCCACGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGNNCG 1412 Eremococcus AGTAATCGTGGATCAGCACGCCACGGTGAATCCGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1374 Abiotrophia AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1410 Streptococcus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1407 Lactococcus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1405 Granulicatella AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1386 Carnobacterium AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1415 Enterococcus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1403 Pediococcus AGTAATCGCGGATCAGCATGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1437 Lactobacillus AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTACACACCGCCCG 1427 Leuconostoc AGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1299 Fructobacillus AGTAATCGCGGATCAGCATGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1376 Oenococcus AGTAATCGCGAATCAGCATGTCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTACACACCGCCCG 1378 FSnh1 AGTAATCGTGGATCAGAATGCCACCCTACTATAGTGCG---------------------- 1372 FSnhA AGTAATCGTGGATCAGCATGCCCCGTACCGCCCCCGGA---------------------- 1320 Weissella ------------------------------------------------------------

Page 176: Nurhayati 2011.pdf

148

TOOL OUTPUT

CLUSTAL 2.1 Multiple Sequence Alignments Sequence type explicitly set to Protein Sequence format is Pearson Sequence 1: FSnhA 1321 aa Sequence 2: Abiotrophia 1411 aa Sequence 3: Aerococcus 1552 aa Sequence 4: Enterococcus 1485 aa Sequence 5: Lactobacillus 1666 aa Sequence 6: Streptococcus 1460 aa Sequence 7: Pediococcus 1577 aa Sequence 8: Weissella 1114 aa Sequence 9: Lactococcus 1511 aa Sequence 10: FSnh1 1372 aa Sequence 11: Leuconostoc 1338 aa Sequence 12: Granulicatella 1495 aa Sequence 13: Fructobacillus 1475 aa Sequence 14: Carnobacterium 1524 aa Sequence 15: Eremococcus 1385 aa Sequence 16: Oenococcus 1450 aa Start of Pairwise alignments Aligning... Sequences (1:2) Aligned. Score: 74 Sequences (1:3) Aligned. Score: 74 Sequences (1:4) Aligned. Score: 75 Sequences (1:5) Aligned. Score: 84 Sequences (1:6) Aligned. Score: 74 Sequences (1:7) Aligned. Score: 74 Sequences (1:8) Aligned. Score: 39 Sequences (1:9) Aligned. Score: 74 Sequences (1:10) Aligned. Score: 92 Sequences (1:11) Aligned. Score: 73 Sequences (1:12) Aligned. Score: 74 Sequences (1:13) Aligned. Score: 74 Sequences (1:14) Aligned. Score: 74 Sequences (1:15) Aligned. Score: 74 Sequences (1:16) Aligned. Score: 73 Sequences (2:10) Aligned. Score: 68 Sequences (3:10) Aligned. Score: 68 Sequences (4:10) Aligned. Score: 69 Sequences (5:10) Aligned. Score: 84 Sequences (6:10) Aligned. Score: 69 Sequences (7:10) Aligned. Score: 68 Sequences (8:10) Aligned. Score: 39 Sequences (9:10) Aligned. Score: 68 Sequences (10:11) Aligned.Score: 68 Sequences (10:12) Aligned.Score: 69 Sequences (10:13) Aligned.Score: 69 Sequences (10:14) Aligned.Score: 70 Sequences (10:15) Aligned.Score: 68 Sequences (10:16) Aligned.Score: 66

Page 177: Nurhayati 2011.pdf

149

e. Alignment urutan basa DNA pengkode 16S rRNA isolat BAL FSnh 1 dan FSnh A dengan BAL dari genus yang berbeda dalam genus Lactobacillus Genbank

CLUSTAL 2.1 multiple sequence alignment FSnh1. ------------------------------------------------------CCGGGG 6 FSnhA. --------------------------------------------------------GGGG 4 Lb.acidophilus ---------------------------------ACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 27 L.helveticus ----------------------------------------CGGCGTGCCTAATACATGCA 20 Lb.crispatus --------------------------------------GCCGGCGTGCCTAATACATGCA 22 Lb.ultunensis ----------------------------------------------------TACATGCA 8 L.amylovorus.DSM ------------------------------------CTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 24 Lb.amylolyticus ------------------------------------------------------------ Lb.jensenii ---------------------------------------------------------GCA 3 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii -------------------------------CGACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 29 L.salivarius.ATCC --------AGAGTTTGATCCTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 52 L.paracasei.10C ---------GCGTGCTATACATG--CAAGTCGAACGAG------------------TTCT 31 L.fructivorans --------AGAGTTTGATNNTGGCTCAGGACGAACGCTGGCGGCATGCCTAATACATGCA 52 L.fermentum -------TAGAGTTTGATCNTGGCTCAGGATGAACGCCGGCGGTGTGCCTAATACATGCA 53 Lb.cremoris TCAAATTGAGAGTTTGATCCTGGCTCAGGATGAACGCTGGCGGCGTGCCTAATACATGCA 60 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. GGTAAGGAAAGAG--------------------CTTGCTTCTTTG--------------- 31 FSnhA. GGCCGGGAAAGAG--------------------CTTGCTTCTCC---------------- 28 Lb.acidophilus AGTCGAGCGAGCTGAACCAACAGATT-----CACTTCGGTGATGA-------CGTTGG-G 74 L.helveticus AGTCGAGCGAGCAGAACCAGCAGATT-----TACTTCGGTAATGA-------CGCTGG-G 67 Lb.crispatus AGTCGAGCGAGCGGAACTAACAGATT-----TACTTCGGTAATGA-------CGTTAG-G 69 Lb.ultunensis AGTCGAGCGAGCGGAACCAGCAGATC-----TGCTTCGGCAGTGA-------CGCTGG-G 55 L.amylovorus.DSM AGTCGAGCGAGCGGAACCAACAGATT-----TACTTCGGTAATGA-------CGTTGG-G 71 Lb.amylolyticus ------------------------------------------------------------ Lb.jensenii AGTCGAGCGAGCT-TGCCTATAGAAG-----TTCTTCGGAATGGA-------AATAGATA 50 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii AGTCGAGCGAGCTGAATTCAAAGAT------TCCTTCGGGATG---------ATTTGTTG 74 L.salivarius.ATCC AGTCGAACGAAAC-----------------TTTCTTACACCGAATGCTTGCRTTCATCGT 95 L.paracasei.10C CGTTG-ATGATTG-----------------GTGCTTGCACCGAG-------ATTCAACAT 66 L.fructivorans AGTCGAACGAGCTGCGCCTAATGATAGTTGATGCTTGCATTAGCT---TGACTTAAGTTA 109 L.fermentum AGTCGAACGCGTTGGCCCAATTGATTGATGGTGCTTGCACCTGAT---TGATTTTGGTCG 110 Lb.cremoris AGTCGAAGCCACAGCGAAAGG----------TGCTTGCACCTT----------------T 94 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. CTGACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGG-AAACTGCCTGATGGAGGGGGAT 87 FSnhA. CTGACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAATGTCTGGG-AAACTGCCTAATGGAGGGGGAT 84 Lb.acidophilus AACGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGAT 131 L.helveticus GACGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGAT 124 Lb.crispatus AAAGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCATAGTCTGGGAT 126 Lb.ultunensis AAAGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCAAAGTCTGGGAT 112 L.amylovorus.DSM AAAGCG---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGGAACCTGCCCCTAAGTCTGGGAT 128 Lb.amylolyticus ----------GCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCTTAAGTCTGGGAT 50 Lb.jensenii CAAGCT---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACGCGTGGGTAACCTGCCCTTAAGTCTGGGAT 107 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii GACGCT---AGCGGCGGATGGGTGAGTAACACGTGGGCAATCTGCCCTAAAGACTGGGAT 131 L.salivarius.ATCC AAGAAGTTGAGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCTAAAAGAAGGGGAT 155 L.paracasei.10C GGAACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTGGGTAACCTGCCCTTAAGTGGGGGAT 123 L.fructivorans GCAGCG---AGTGGCGAACTGGTGAGTAACACGTGGATAACCTGCCCAGAAGAAGGGGAT 166 L.fermentum CCAACG---AGTGGCGGACGGGTGAGTAACACGTAGGTAACCTGCCCAGAAGCGGGGGAC 167 Lb.cremoris CAAGTG---AGTGGCGAACGGGTGAGTAACACGTGGACAACCTGCCTCAAGGCTGGGGAT 151 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. AACTACTGGAAACGGTAGCT-AATACCGCATAACGTCG-CAAGACCAAAGAGGGGGACCT 145 FSnhA. AACTACTGGAAACGGTAGCTTAATACCGCATAACGTCGCCAAGACCAAAGAGGGGGACCT 144 Lb.acidophilus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTATA 190 L.helveticus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTATA 183 Lb.crispatus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTTTA 185 Lb.ultunensis ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAAGAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTTTA 171 L.amylovorus.DSM ACCATTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAATAAAGCAGATCGCATGATCAGCTTTTG 187 Lb.amylolyticus ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAACAACAAGTGCTGCATGGCACTTGCTTG 109 Lb.jensenii ACCATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGGATAAAAGCTACTTTCGCATGAAAGAAGTTTA 166 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii ACCACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGGATAACAACATGAATCGCATGATTCAAGTTTG 190 L.salivarius.ATCC AACACTTGGAAACAGGTGCT-AATACCGTATATCTCTAAGGATCGCATGATCCTTAGATG 214

Page 178: Nurhayati 2011.pdf

150

L.paracasei.10C AACATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGCATAGATCCAAGAACCGCATGGTTCTTGGCTG 182 L.fructivorans AACACCTGGAAACAGATGCT-AATACCGTATAACAACGAAAACCACATGGTTTTCGTTTG 225 L.fermentum AACATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGCATAACANCGTTGTTCGCATGAACAACGCTTA 226 Lb.cremoris AACATTTGGAAACAGATGCT-AATACCGAATAAAACTTAGTGTCGCATGACACAAAGTTA 210 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. TCG---GGCCTCT------TGCCAT-CGGAT-GTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTG 194 FSnhA. TCG---GGCCTCT------TGCCATTCGGATTGTGCCCAGATGGGATTAGCTAGTAGGTG 195 Lb.acidophilus AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 247 L.helveticus AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 240 Lb.crispatus AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 242 Lb.ultunensis AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTATGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 228 L.amylovorus.DSM AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTAAGGGATGGCCCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 244 Lb.amylolyticus AAAGGCGGCGCAA--GCTGTCGCTAAAGGATGGACCCGCGGTG-CATTAGCTAGTTGGTA 166 Lb.jensenii AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCGCTAAAGGATGGACCTGCGATG-CATTAGCTAGTTGGTA 223 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii AAAGGCGGCGTAA--GCTGTCACTTTAGGATGAGCCCGCGGCG-CATTAGCTAGTTGGTG 247 L.salivarius.ATCC AAAGATGGT-TCT--GCTATCGCTTTTAGATGGACCCGCGGCG-TATTAACTAGTTGGTG 270 L.paracasei.10C AAAGATGGCGTAA--GCTATCGCTTTTGGATGGACCCGCGGCG-TATTAGCTAGTTGGTG 239 L.fructivorans AAAGATGGCCTTTGTGCTATCGCTTTTGGATGGATCCGCGGCG-CATTAGCTAGTTGGTG 284 L.fermentum AAAGATGGCTTCT-CGCTATCACTTCTGGATGGACCTGCGGTG-CATTAGCTTGTTGGTG 284 Lb.cremoris AAAGGCGCTTCGG----CGTCACCTAGAGATGGATCCGCGGTG-CATTAGTTAGTTGGTG 265 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ---------------------------------------GTCG-GAATCGCTAGTAATCG 20 FSnh1. GGGTAACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACT 254 FSnhA. GGGTAACGGCTCACCTAGGCGACGATCCCTAGCTGGTCTGAGAGGATGACCAGCCACACT 255 Lb.acidophilus GGGTAACGGCCTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 307 L.helveticus AGGTAACGGCTTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 300 Lb.crispatus AGGTAAAGGCTTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 302 Lb.ultunensis GAGTAACGGCCTACCAAGGCAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 288 L.amylovorus.DSM AGGTAACGGCTTACCAAGGCGACGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 304 Lb.amylolyticus AGGTAACGGCTTACCAAGGCAACGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 226 Lb.jensenii AGGTAACGGCTTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 283 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii GGGTAAAGGCCTACCAAGGCAATGATGCGTAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 307 L.salivarius.ATCC GGGTAACGGCCTACCAAGGTGATGATACGTAGCCGAACTGAGAGGTTGATCGGCCACATT 330 L.paracasei.10C AGGTAACGGCTCACCAAGGCGATGATACGTAGCCGAACTGAGAGGTTGATCGGCCACATT 299 L.fructivorans AGATAAAGGCTCACCAAGGCAATGATGCGTAGCCGACCTGAGAGGGTAATCGGCCACATT 344 L.fermentum GGGTAANGGCCTACCAAGGCGATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACAAT 344 Lb.cremoris GGGTAAAGGCCTACCAAGACAATGATGCATAGCCGAGTTGAGAGACTGATCGGCCACATT 325 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 CGG-ATCAGCACGCCGCGGTGAA--TACGTTCCCGGGCCTTGT----------------- 60 FSnh1. GGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGG 314 FSnhA. GGAACTGAGACACGGTCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATATTGCACAATGG 315 Lb.acidophilus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 367 L.helveticus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 360 Lb.crispatus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 362 Lb.ultunensis GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 348 L.amylovorus.DSM GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 364 Lb.amylolyticus GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 286 Lb.jensenii GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 343 Lb.gasseri ------------------------------------------------------CAATGG 6 Lb.delbrueckii GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 367 L.salivarius.ATCC GGGACTGAGACACGGTCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 390 L.paracasei.10C GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 359 L.fructivorans GGGACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 404 L.fermentum GGGACTGAGACACGGCCCATACTCCTACGGGAGGCAGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 404 Lb.cremoris GGGACTGAGACACGGCCCAAACTCCTACGGGAGGCTGCAGTAGGGAATCTTCCACAATGG 385 L.rhamnosus.ATCC -----------------------------------------AGAGTTTGTAACACCCG-- 17 L.casei.XF5-2 -------ACACACCGCCCGTCACACCATG------------AGAGTTTGTAACACCCG-- 99 *.. FSnh1. GCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACT 374 FSnhA. GCGCAAGCCTGATGCAGCCATGCCGCGTGTATGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGTACT 375 Lb.acidophilus ACGAAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 427 L.helveticus ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 420 Lb.crispatus ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 422 Lb.ultunensis ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 408 L.amylovorus.DSM ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 424 Lb.amylolyticus GCGAAAGCCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 346 Lb.jensenii ACGAAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 403 Lb.gasseri ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGACTCGTAAAGCTCT 66

Page 179: Nurhayati 2011.pdf

151

Lb.delbrueckii ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTTTTCGGATCGTAAAGCTCT 427 L.salivarius.ATCC ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGTCTTCGGATCGTAAAACTCT 450 L.paracasei.10C ACGCAAGTCTGATGGAGCAACGCCGCGTGAGTGAAGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAACTCT 419 L.fructivorans ACGAAAGTCTGATGGAGCAATGCCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGCTCGTAAAACTCT 464 L.fermentum GCGCAAGCCTGATGGAGCAACACCGCGTGAGTGAAGAAGGGTTTCGGCTCGTAAAGCTCT 464 Lb.cremoris GCGAAAGCCTGATGGAGCAACGCCGCGTGTGTGATGAAGGCTTTCGGGTCGTAAAGCACT 445 L.rhamnosus.ATCC ----AAGCCGG------------------------------------------------- 24 L.casei.XF5-2 ----AAGCCGG------------------------------------------------- 106 *** * * FSnh1. TTCAGCGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCTTTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAG 434 FSnhA. TTCAGCGGGGAGGAAGGGAGTAAAGTTAATACCTTTGCTCATTGACGTTACCCGCAGAAG 435 Lb.acidophilus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 487 L.helveticus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 480 Lb.crispatus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 482 Lb.ultunensis GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 468 L.amylovorus.DSM GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 484 Lb.amylolyticus GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 406 Lb.jensenii GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 463 Lb.gasseri GTTGGTAGTGAAGAAAGATAGAGGTAGTAACTGGCCTTTATTTGACGGTAATTACTTAGA 126 Lb.delbrueckii GTTGTTGGTGAAGAAGGATAGAGGCAGTAACTGGTCTTTATTTGACGGTAATCAACCAGA 487 L.salivarius.ATCC GTTGTTAGAGAAGAACACGAGTGAGAGTAACTGTTCATTCGATGACGGTATCTAACCAGC 510 L.paracasei.10C GTTGTTGGAGAAGAATGGTCGGCAGAGTAACTGTTGCCGGCGTGACGGTATCCAACCAGA 479 L.fructivorans GTTGTTAGAGAAGAACGGGCGTGAGAGTAACTGCTCACGTCGCGACGGTATCTAACCAGA 524 L.fermentum GTTGTTAAAGAAGAACACGTATGAGAGTAACTGTTCATACGTTGACGGTATTTAACCAGA 524 Lb.cremoris GTTGTATGGGAAGAACAGCTAGAATAGGAAATGATTTTAGTTTGACGGTACCATACCAGA 505 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------TGGCGTAACC--TTTAGG 40 L.casei.XF5-2 ------------------------------------------TGGCGTAACCCTTTTAGG 124 *.** :* *. FSnh1. AAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCG 494 FSnhA. AAGCACCGGCTAACTCCGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGGAGGGTGCAAGCGTTAATCG 495 Lb.acidophilus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 547 L.helveticus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 540 Lb.crispatus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 542 Lb.ultunensis AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 528 L.amylovorus.DSM AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 544 Lb.amylolyticus AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 466 Lb.jensenii AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 523 Lb.gasseri AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 186 Lb.delbrueckii AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 547 L.salivarius.ATCC AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 570 L.paracasei.10C AAGCCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTATCCG 539 L.fructivorans AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTGTCCG 584 L.fermentum AAGTCACGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGTGGCAAGCGTTATCCG 584 Lb.cremoris AAGGGACGGCTAAATACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTATGTCCCGAGCGTTATCCG 565 L.rhamnosus.ATCC GAG-------------CGAGCCG--------------TCTAAGGTGGGACAAATGATTAG 73 L.casei.XF5-2 GAG-------------CGAGCCG--------------TCTAAGGTGGGACAAATGATTAG 157 .** **:***. :* * * .....* .: .* FSnh1. GAATTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCGGG 554 FSnhA. GAATTACTGGGCGTAAAGCGCACGCAGGCGGTTTGTTAAGTCAGATGTGAAATCCCCGGG 555 Lb.acidophilus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 607 L.helveticus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 600 Lb.crispatus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAGAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 602 Lb.ultunensis GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAAAATAAGTCTAATGTGAAAGCCCTCGG 588 L.amylovorus.DSM GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAAAAATAAGTCTAATGTGAAAGCCCTCGG 604 Lb.amylolyticus GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAGAAATAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 526 Lb.jensenii GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGATTGATAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 583 Lb.gasseri GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGTGCAGGCGGTTCAATAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 246 Lb.delbrueckii GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGAATGATAAGTCTGATGTGAAAGCCCACGG 607 L.salivarius.ATCC GATTTATTGGGCGTAAAGGGAACGCAGGCGGTCTTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 630 L.paracasei.10C GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTTTTTTAAGTCTGATGTGAAAGCCCTCGG 599 L.fructivorans GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGGCGGTCTTCTAAGTCTGATGTGAAACGCTTCGG 644 L.fermentum GATTTATTGGGCGTAAAGAGAGTGCAGGCGGTTTTCTAAGTCTGATGTGAAAGCCTTCGG 644 Lb.cremoris GATTTATTGGGCGTAAAGCGAGCGCAGACGGTTTATTAAGTCTGATGTGAAAGCCCGGAG 625 L.rhamnosus.ATCC GGTGAAGT---CGTAACAAGTTAGCCGTAG------------------GAGAACCTGCGG 112 L.casei.XF5-2 GGTGAAGT---CGTAACAAGGTAGCCGTAG------------------GAGAACCTGCGG 196 *.: :* * *****.. * **.* .* **.* * .* FSnh1. CTCAACCTGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGTAGAAT 614 FSnhA. CTCAACCTGGGAACTGCATCTGATACTGGCAAGCTTGAGTCTCGTAGAGGGGGGTAGAAT 615 Lb.acidophilus CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 667 L.helveticus CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAT 660 Lb.crispatus CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 662 Lb.ultunensis CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 648 L.amylovorus.DSM CTTAACCGAGGAACTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 664 Lb.amylolyticus CTTAACCGGGGAATTGCATCGGAAACTGTTTTTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 586

Page 180: Nurhayati 2011.pdf

152

Lb.jensenii CTCAACCGAAGAACTGCATCAGAAACTGTCAATCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 643 Lb.gasseri CTCAACCGGAGAATTGCATCAGAAACTGTTGAACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 306 Lb.delbrueckii CTCAACCGTGGAACTGCATCGGAAACTGTCATTCTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAT 667 L.salivarius.ATCC CTTAACCGGAGTAGTGCATTGGAAACTGGAAGACTTGAGTGCAGAAGAGGAGAGTGGAAC 690 L.paracasei.10C CTTAACCGAGGAAGCGCATCGGAAACTGGGAAACTTGAGTGCAGAAGAGGACAGTGGAAC 659 L.fructivorans CTTAACCGGAGAAGTGCATCGGAAACTGGGAAACTTGAGTGCAGAAGAGGACAGTGGAAC 704 L.fermentum CTTAACCGGAGAAGTGCATCGGAAACTGGATAACTTGAGTGCAGAAGAGGGTAGTGGAAC 704 Lb.cremoris CTCAACTCCGGNATGGCATTGGAAACTGGTTAACTTGAGTGCAGTAGAGGTAAGTGGAAC 685 L.rhamnosus.ATCC CT-----------------------------------------------------GGATC 119 L.casei.XF5-2 CT-----------------------------------------------------GGATC 203 ** .**: FSnh1. TCCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGGCGGCCC 674 FSnhA. TCCAGGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGAGATCTGGAGGAATACCGGTGGCGAAGGCGGCCC 675 Lb.acidophilus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 727 L.helveticus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGACTC 720 Lb.crispatus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 722 Lb.ultunensis TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 708 L.amylovorus.DSM TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 724 Lb.amylolyticus TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 646 Lb.jensenii TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 703 Lb.gasseri TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 366 Lb.delbrueckii TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTC 727 L.salivarius.ATCC TCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAAGCGGCTC 750 L.paracasei.10C TCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTG 719 L.fructivorans TCCATGTGTAGCGGTGAAATGCGTAGATATATGGAGGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTG 764 L.fermentum TCCATGTGTAGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTA 764 Lb.cremoris TCCATGTGTNGCGGTGGAATGCGTAGATATATGGAAGAACACCAGTGGCGAAGGCGGCTT 745 L.rhamnosus.ATCC ACCT-------------------------------------CCTTT--CTAAGGAAACAG 140 L.casei.XF5-2 ACCT-------------------------------------CCTTT--CTAAGGAAACAG 224 :**: ** * * **.*...* FSnh1. CCTGGACGAAGACTGACGCTCAGGTGCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCC 734 FSnhA. CCTGGACGAAGACTGACGCTCAGGTGCGAAAGCGTGGGGAGCAAACAGGATTAGATACCC 735 Lb.acidophilus TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 787 L.helveticus TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 780 Lb.crispatus TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 782 Lb.ultunensis TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 768 L.amylovorus.DSM TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 784 Lb.amylolyticus TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 706 Lb.jensenii TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 763 Lb.gasseri TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 426 Lb.delbrueckii TCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 787 L.salivarius.ATCC TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGTTCGAAAGCGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCC 810 L.paracasei.10C TCTGGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 779 L.fructivorans TCTAGTCTGTAACTGACGCTGAGGCTCGAAAGCATGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCC 824 L.fermentum CCTGGTCTGCAACTGACGCTGAGACTCGAAAGCATGGGTAGCGAACAGGATTAGATACCC 824 Lb.cremoris ACTGGACTGCAACTGACGTTGAGGCTCGNAAGTGTGGGTAGCAAACAGGATTAGATACCC 805 L.rhamnosus.ATCC ACTG---AAAGTCTGACG-----------------------------------GAAACCT 162 L.casei.XF5-2 ACTG---AAAGTCTGACG-----------------------------------GAAACCT 246 **. . .:****** **:*** FSnh1. -TGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGTCGACTTGGAGGTTGTGCCCTTGAGGCG-TGGCTT 792 FSnhA. -TGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGTCGACTTGGAGGTTGTGCCCTTGAGGCG-TGGCTT 793 Lb.acidophilus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 846 L.helveticus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 839 Lb.crispatus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 841 Lb.ultunensis -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 827 L.amylovorus.DSM -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 843 Lb.amylolyticus -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGCTTCCGCCTCTCAGTG 765 Lb.jensenii -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 822 Lb.gasseri -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAAGTGTTGGGAGGTTTCCGCCTCTCAGTG 485 Lb.delbrueckii -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGCGCTAGGTGTTGGGGACTTTCCGGTTCTCAGTG 846 L.salivarius.ATCC -TGGTAGTCCACGCCGTAAACGATGAATGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 869 L.paracasei.10C CTGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAATGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 839 L.fructivorans -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 883 L.fermentum -TGGTAGTCCATGCCGTAAACGATGAGTGCTAGGTGTTGGAGGGTTTCCGCCCTTCAGTG 883 Lb.cremoris -TGGTAGTCCACACCGTAAACGATGAACACTAGGTGTTAGGAGGTTTCCGCCTCTTAGTG 864 L.rhamnosus.ATCC ------GCACACACG--AAACTTTGT----TTAGTTTTGAGGGG--ACGACCCTCAAGCA 208 L.casei.XF5-2 ------GCACACACG--AAACTTTGT----TTAGTTTTGAGGGG--ATCACCCTCAAGCA 292 * .** .* **** :**: *:.*: * . . : . . FSnh1. CCGGAGCTAACGCGTTAAGTCGACCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGTTAAAACTCAAA 852 FSnhA. CCGGAGCTAACGCGTTAAGTCGACCGCCTGGGGAGTACGGCCGCAAGGTTAAAACTCAAA 853 Lb.acidophilus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 906 L.helveticus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 899 Lb.crispatus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 901

Page 181: Nurhayati 2011.pdf

153

Lb.ultunensis CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 887 L.amylovorus.DSM CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 903 Lb.amylolyticus CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 825 Lb.jensenii CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 882 Lb.gasseri CTGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 545 Lb.delbrueckii CCGCAGCAAACGCATTAAGCGCTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 906 L.salivarius.ATCC CCGCAGCTAACGCAATAAGCATTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 929 L.paracasei.10C CCGCAGCTAACGCATTAAGCATTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 899 L.fructivorans CCGCAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 943 L.fermentum CCGGAGCTAACGCATTAAGCACTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 943 Lb.cremoris CCNAAGCTAACGCATTAAGTGTTCCGCCTGGGGAGTACGACCGCAAGGTTGAAACTCAAA 924 L.rhamnosus.ATCC CC----CTAGCGGGTGCGACTTTGTTCTTTGAAAACTGGATATCATTGTATTAATTGTTT 264 L.casei.XF5-2 CC----CTAGCGGGTGCGACTTTGTTCTTTGAAAACTGGATATCATTGTATTAATTGTTT 348 * *:*.** .: ... : * * *..*. : *. . **: **: :** * ::: FSnh1. TGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCAACGCGAA 912 FSnhA. TGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCAACGCGAA 913 Lb.acidophilus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 966 L.helveticus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 959 Lb.crispatus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 961 Lb.ultunensis GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 947 L.amylovorus.DSM GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 963 Lb.amylolyticus GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 885 Lb.jensenii GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 942 Lb.gasseri GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 605 Lb.delbrueckii GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 966 L.salivarius.ATCC GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 989 L.paracasei.10C GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 959 L.fructivorans GGAATTGACGGGGACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGATGCTACGCGAA 1003 L.fermentum GGAATTGACGGGGGCCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCTACGCGAA 1003 Lb.cremoris GGAATTGACGGGGACCCGCACAAGCGGTGGAGCATGTGGTTTAATTCGAAGCAACGCGAA 984 L.rhamnosus.ATCC TAAATTGCCGAGAACAC-----AGCGTATTTGTATGAG-TTTCTAAAAAAGAAATTCGCA 318 L.casei.XF5-2 TAAATTGCCGAGAACAC-----AGCGTATTTGTATGAG-TTTCTGAAAAAGAAATTCGCA 402 .*****.**.*..*.* **** : :* ***:* ***.: :..*:*.:* **.* FSnh1. GAACCTTACCTGGTCTTGACATCCACGGAAGTTTTCAGAGATG-AGAATGTGCCTTCGGG 971 FSnhA. GAACCTTACCTGGTCTTGACATCCACGGAAGTTTTCAGAGATG-AGAATGTGCCTTCGGG 972 Lb.acidophilus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCAATCCGTAGAGATA-CGGAGTTCCCTTCGGG 1025 L.helveticus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCCATCCTAAGAGATT-AGGAGTTCCCTTCGGG 1018 Lb.crispatus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCCATTTGTAGAGATA-CAAAGTTCCCTTCGGG 1020 Lb.ultunensis GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCCATCTTCAGAGATG-AAGAGTTCCCTTCGGG 1006 L.amylovorus.DSM GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGTGCAATCTGTAGAGATA-TGGAGTTCCCTTCGGG 1022 Lb.amylolyticus GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTAGCGCAATCCGTAGAGATA-CGGAGTTCCCTTCGGG 944 Lb.jensenii GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTTTGACCACCTAAGAGATT-AGGTTTTCCCTTCGGG 1001 Lb.gasseri GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCAGTGCAAGCCTAAGAGATT-AGGAGTTCCCTTCGGG 664 Lb.delbrueckii GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTGTGCTACACCTAGAGATA-GGTGGTTCCCTTCGGG 1025 L.salivarius.ATCC GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTTTGACCACCTAAGAGATT-AGGCTTTCCCTTCGGG 1048 L.paracasei.10C GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTTTTGATCACCTGAGAGATC-AGGTTTCCCCTTCGGG 1018 L.fructivorans GAACCTTACCAGGACTTGACATCTTCTGCCAATCTAAGAGATT-AGACG-TTCCTTCGGG 1061 L.fermentum GAACCTTACCAGGTCTTGACATCTTGCGCCAACCCTAGAGATA-GGGCGTTTCCTTCGGG 1062 Lb.cremoris GAACCTTACCAGGTCTTGACATCCTTTGAAGCTTTTAGAGATAGAAGTGTTCTCTTCGGA 1044 L.rhamnosus.ATCC TCGCATAACCG------------------------------------------------- 329 L.casei.XF5-2 TCGCATAACCG------------------------------------------------- 413 ..*.*:*** FSnh1. AACCGTGAGACAGGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAG 1031 FSnhA. AACCGTGAGACAGGTGCTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTTGTGAAATGTTGGGTTAAG 1032 Lb.acidophilus GACACTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1085 L.helveticus GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1078 Lb.crispatus GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1080 Lb.ultunensis GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1066 L.amylovorus.DSM GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1082 Lb.amylolyticus GACGCTAAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1004 Lb.jensenii GACAAAGAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1061 Lb.gasseri GACGCTGAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 724 Lb.delbrueckii GACGCAGAGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1085 L.salivarius.ATCC GACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGCTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1108 L.paracasei.10C GGCAAAATGACAGGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1078 L.fructivorans GACAGAATGACAGGTGGTGCATGGTTGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1121 L.fermentum AACGCAATGACAGGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1122 Lb.cremoris GACAAAGTGACAGGTGGTGCATGGTCGTCGTCAGCTCGTGTCGTGAGATGTTGGGTTAAG 1104 L.rhamnosus.ATCC -------------CTGACGCAAG-------TCAGTAC---------------AGGTTAAG 354 L.casei.XF5-2 -------------CTGACGCAAG-------TCAGTAC---------------AGGTTAAG 438 ** ***:* **** :* .******* FSnh1. TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGG 1091 FSnhA. TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATCCTTTGTTGCCAGCGGTCCGGCCGGGAACTCAAAGG 1092 Lb.acidophilus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1144

Page 182: Nurhayati 2011.pdf

154

L.helveticus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1137 Lb.crispatus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1139 Lb.ultunensis TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1125 L.amylovorus.DSM TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1141 Lb.amylolyticus TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1063 Lb.jensenii TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTAATAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTATTG 1120 Lb.gasseri TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCATCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 783 Lb.delbrueckii TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCTTTAGTTGCCATCATTAAG-TTGGGCACTCTAAAG 1144 L.salivarius.ATCC TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTGTCAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTGGCG 1167 L.paracasei.10C TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATGACTAGTTGCCAGCATTTAG-TTGGGCACTCTAGTA 1137 L.fructivorans TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTCATTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAATG 1180 L.fermentum TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTGTTACTAGTTGCCAGCATTAAG-TTGGGCACTCTAGTG 1181 Lb.cremoris TCCCGCAACGAGCGCAACCCTTATTGTTAGTTGCCAGCATTCAG-ATGGGCACTCTAGCG 1163 L.rhamnosus.ATCC TTACAAAGGGCGCACGG----------TGGATGCCT----------TGG---CACTAGG- 390 L.casei.XF5-2 TTACAAAGGGCGCACGG----------TGGATGCCT----------TGG---CACTAGG- 474 * .*..*. *.**.*.. *:****: ** *:*:. FSnh1. AAACTGCCAGTGATAAACTGGAAGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTAC 1151 FSnhA. AGACTGCCAGTGATAAACTGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGGCCCTTAC 1152 Lb.acidophilus AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1204 L.helveticus AGACTGCCGGTGATAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1197 Lb.crispatus AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1199 Lb.ultunensis AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1185 L.amylovorus.DSM AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1201 Lb.amylolyticus AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1123 Lb.jensenii AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1180 Lb.gasseri AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 843 Lb.delbrueckii AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1204 L.salivarius.ATCC AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAAGTCATCATGCCCCTTAT 1227 L.paracasei.10C AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTAT 1197 L.fructivorans AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGATGACGTCAAATCATCATGCCCCTTAT 1240 L.fermentum AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGTGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTAT 1241 Lb.cremoris AGACTGCCGGTGACAAACCGGAGGAAGGCGGGGACGACGTCAGATCATCATGCCCCTTAT 1223 L.rhamnosus.ATCC ----AGCCG------------ATGAAG--------GACG--------------------- 405 L.casei.XF5-2 ----AGCCG------------ATGAAG--------GACG--------------------- 489 :***. * **** **** FSnh1. GACCAGGGCTACACACGTGCTACAATGGCGCATACAAAGAGAAGCGACCTCGCGAGAGCA 1211 FSnhA. GACCAGGGCTACACACGTGCTACAATGGCCCATACAAAGAGAAACGACCTCCCGAGAACA 1212 Lb.acidophilus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACAGTACAACGAGGAGCAAGCCTGCGAAGGCA 1264 L.helveticus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACAGTACAACGAGAAGCGAGCCTGCGAAGGCA 1257 Lb.crispatus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAGCCTGCGAAGGCA 1259 Lb.ultunensis GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAGCCTGCGAAGGCA 1245 L.amylovorus.DSM GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCAAGCCTGCGAAGGCA 1261 Lb.amylolyticus GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCAAGCCTGCGAAGGCA 1183 Lb.jensenii GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAACCTGTGAAGGCA 1240 Lb.gasseri GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGAAGCGAACCTTCGAAGGCA 903 Lb.delbrueckii GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGGCAGTACAACGAGAAGCGAACCCGCGAGGGTA 1264 L.salivarius.ATCC GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGTCGCAAGACCGCGAGGTTT 1287 L.paracasei.10C GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGATGGTACAACGAGTTGCGAGACCGCGAGGTCA 1257 L.fructivorans GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGTTGCGAAACCGCGAGGTCA 1300 L.fermentum GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGACGGTACAACGAGTCGCGAACTCGCGAGGGCA 1301 Lb.cremoris GACCTGGGCTACACACGTGCTACAATGGCGTATACAACGAGTTGCCAACCCGCGAGGGTG 1283 L.rhamnosus.ATCC GAACT--AATACCGATATGCTTCGGGG--------AGCTATAAGTAAGCTT---TGATCC 452 L.casei.XF5-2 GAACT--AATACCGATATGCTTCGGGG--------AGCTATAAGTAAGCTT---TGATCC 536 **.*: ..***. * .****:*.. * *.. * . * . :.. FSnh1. AGCGGACCTCATAAAGTGCGTCGTAGTCCGGATTGGAGTCTGCAACTCGACTCCATGAAG 1271 FSnhA. AGCGGACCTCATAAAGTGCGTCGTAGTCCCGATTGGAGTCTGCAACTCGACTCCATGAAG 1272 Lb.acidophilus AGCGAATCTCTTAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1324 L.helveticus AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1317 Lb.crispatus AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1319 Lb.ultunensis AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1305 L.amylovorus.DSM AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1321 Lb.amylolyticus AGCGAATCTCTGAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGTCTGCAACTCGACTGCACGAAG 1243 Lb.jensenii AGCGGATCTCTTAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCGCCTACACGAAG 1300 Lb.gasseri AGCGGATCTCTGAAAGCCGTTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCGCCTACACGAAG 963 Lb.delbrueckii AGCGGATCTCTTAAAGCTGTTCTCAGTTCGGACTGCAGGCTGCAACTCGCCTGCACGAAG 1324 L.salivarius.ATCC AGCTAATCTCTTAAAGCCGTTCTCAGTTCGGATTGTAGGCTGCAACTCGCCTACATGAAG 1347 L.paracasei.10C AGCTAATCTCTTAAAGCCATTCTCAGTTCGGACTGTAGGCTGCAACTCGCCTACACGAAG 1317 L.fructivorans AGCTAATCTCTTAAAGCCGTTCTCAGTTCGGATTGCAGGCTGCAACTCGCCTGCATGAAG 1360 L.fermentum AGCAAATCTCTTAAAACCGTTCTCAGTTCGGACTGCAGGCTGCAACTCGCCTGCACGAAG 1361 Lb.cremoris AGCTAATCTCTTAAAGTACGTCTCAGTTCGGATTGTAGTCTGCAACTCGACTACATGAAG 1343 L.rhamnosus.ATCC GGAGATTTCCGAATGGGGGAACCCAGTACA------CATCAGTGTATTGCCTGCAAGTG- 505 L.casei.XF5-2 GGAGATTTCCGAATGGGGGAACCC------------------------------------ 560 .*. .: * *:.. :*

Page 183: Nurhayati 2011.pdf

155

FSnh1. TCGGAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGCACGCCCGG----TTGGG--------------- 1312 FSnhA. TCGGAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGCATGCCCCG----TACCGCCCCCGGA------- 1321 Lb.acidophilus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGC------------------------- 1359 L.helveticus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGAACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1377 Lb.crispatus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1379 Lb.ultunensis CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1365 L.amylovorus.DSM CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1381 Lb.amylolyticus CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTA 1303 Lb.jensenii CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1360 Lb.gasseri CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGG------- 1016 Lb.delbrueckii CTGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCG------------------------ 1360 L.salivarius.ATCC TCGGAATCGCTAGTAATCGCGAATCAGCATGTCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1407 L.paracasei.10C TCGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGCCTTGTA 1377 L.fructivorans TTGGAATCGCTAGTAATCGTGGATCAGCATGCCACGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTA 1420 L.fermentum TCGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCATGC---------------------------- 1393 Lb.cremoris TCGGAATCGCTAGTAATCGCGGATCAGCACGCCGCGGTGAATACGTTCCCGGGTCTTGTA 1403 L.rhamnosus.ATCC AATACATAGCTTGTTGGCGGCAGACGCGGGGA---------------------------- 537 L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. ------------------------------------------------------------ FSnhA. ------------------------------------------------------------ Lb.acidophilus ------------------------------------------------------------ L.helveticus CACACCGCCCGTCACACCATGGAAGTCTGCAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1434 Lb.crispatus CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1436 Lb.ultunensis CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAACGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCG---A 1422 L.amylovorus.DSM CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1438 Lb.amylolyticus CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTCTGCAATGCCCGAAGCCGGTGGCCTAACCT---T 1360 Lb.jensenii CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGTCGGTGAGGTAACCT---T 1417 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii ------------------------------------------------------------ L.salivarius.ATCC CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGCCGGTGGGGTAACCG---C 1464 L.paracasei.10C CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCGAAGCCGGTGGCGTAACCCTTTT 1437 L.fructivorans CACACCGCCCGTCACACCATGAGAGTTTGTAACACCCAAAGTCGGTTAGGTAACCT---T 1477 L.fermentum ------------------------------------------------------------ Lb.cremoris CACACCGCCCGTCACACCATGGGAGTTTGTAATGCCCAAAGCCGGTGGCCTAACCT--TT 1461 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. ------------------------------------------------------------ FSnhA. ------------------------------------------------------------ Lb.acidophilus ------------------------------------------------------------ L.helveticus CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1494 Lb.crispatus CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1496 Lb.ultunensis AAGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1482 L.amylovorus.DSM CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1498 Lb.amylolyticus CGGGAAGGAGCCGTCTAAGGCAGGGCAGATGACTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1420 Lb.jensenii TGG-AGCCAGCCGCCTAAGGTGGGACAGATGATTAGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1476 Lb.gasseri ------------------------------------------------------------ Lb.delbrueckii ------------------------------------------------------------ L.salivarius.ATCC AAGGAGCCAGCCGTCTAAGGTGGGACAGATGATTGGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1524 L.paracasei.10C AGGGAGCGAGCCGTCTAAGGTGGGACAAATGATTAGGG-GAAGTCG-AACAAG------- 1488 L.fructivorans TTGGAGCCTGCCGCCTAAGGTGGGACAGATGATTAGGGTGAAGTCGTAACAAGGTAGCCG 1537 L.fermentum ------------------------------------------------------------ Lb.cremoris NAGGAAGGAGCNGTCTAAGGNAGGANAGANGA---------------------------- 1493 L.rhamnosus.ATCC ------------------------------------------------------------ L.casei.XF5-2 ------------------------------------------------------------ FSnh1. --------------------------------------------------- FSnhA. --------------------------------------------------- Lb.acidophilus --------------------------------------------------- L.helveticus TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGATC---------- 1516 Lb.crispatus TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGA------------ 1516 Lb.ultunensis TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGA------------ 1502 L.amylovorus.DSM TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTG-------------- 1516 Lb.amylolyticus TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGATCA--------- 1443 Lb.jensenii TAGGAGAACCTG-------------------CGGTTGGATCAC-------- 1500 Lb.gasseri --------------------------------------------------- Lb.delbrueckii --------------------------------------------------- L.salivarius.ATCC TAGGAGAACCTGCGGCTGGATCACCTCCTTAAGCTTGGATCCCGGG----- 1570 L.paracasei.10C -------------------------------AGCGAG----CCG------- 1497 L.fructivorans TAGGAGAACCTG------------------CGGCTGGATCACCTCCTTTNT 1570 L.fermentum --------------------------------------------------- Lb.cremoris --------------------------------------------------- L.rhamnosus.ATCC ---------------------------------------------------

Page 184: Nurhayati 2011.pdf

156

L.casei.XF5-2 --------------------------------------------------- CLUSTAL 2.1 Multiple Sequence Alignments Sequence type explicitly set to Protein Sequence format is Pearson Sequence 1: FSnh1. 1312 aa Sequence 2: FSnhA. 1321 aa Sequence 3: L.salivarius.ATCC 1570 aa Sequence 4: L.fructivorans 1570 aa Sequence 5: Lb.delbrueckii 1360 aa Sequence 6: Lb.jensenii 1500 aa Sequence 7: Lb.crispatus 1516 aa Sequence 8: Lb.amylolyticus 1443 aa Sequence 9: Lb.cremoris 1493 aa Sequence 10: Lb.ultunensis 1502 aa Sequence 11: Lb.acidophilus 1359 aa Sequence 12: Lb.gasseri 1016 aa Sequence 13: L.amylovorus.DSM 1516 aa Sequence 14: L.rhamnosus.ATCC 537 aa Sequence 15: L.casei.XF5-2 560 aa Sequence 16: L.fermentum 1393 aa Sequence 17: L.helveticus 1516 aa Sequence 18: L.paracasei.10C 1497 aa Start of Pairwise alignments Aligning Sequences (1:2) Aligned. Score: 98 Sequences (1:3) Aligned. Score: 87 Sequences (1:4) Aligned. Score: 74 Sequences (1:5) Aligned. Score: 74 Sequences (1:6) Aligned. Score: 74 Sequences (1:7) Aligned. Score: 74 Sequences (1:8) Aligned. Score: 74 Sequences (1:9) Aligned. Score: 74 Sequences (1:10)Aligned. Score: 74 Sequences (1:11)Aligned. Score: 74 Sequences (1:12)Aligned. Score: 74 Sequences (1:13)Aligned. Score: 74 Sequences (1:14)Aligned. Score: 48 Sequences (1:15)Aligned. Score: 46 Sequences (1:16)Aligned. Score: 74 Sequences (1:17)Aligned. Score: 74 Sequences (1:18)Aligned. Score: 74 Sequences (2:3) Aligned. Score: 74 Sequences (2:4) Aligned. Score: 86 Sequences (2:5) Aligned. Score: 74 Sequences (2:6) Aligned. Score: 75 Sequences (2:7) Aligned. Score: 75 Sequences (2:8) Aligned. Score: 73 Sequences (2:9) Aligned. Score: 75 Sequences (2:10)Aligned. Score: 74 Sequences (2:11)Aligned. Score: 74 Sequences (2:12)Aligned. Score: 75 Sequences (2:13)Aligned. Score: 74 Sequences (2:14)Aligned. Score: 48 Sequences (2:15)Aligned. Score: 47 Sequences (2:16)Aligned. Score: 74 Sequences (2:17)Aligned. Score: 75 Sequences (2:18)Aligned. Score: 75

Page 185: Nurhayati 2011.pdf

157

Lampiran 5. Rendemen dan Yield Isolasi Pati Resisten

Sampel Ulangan RS Analisis

RS solasi Yield Rata-rata

Rendemen Stdev Rata-rata

Yield Stdev

RS2 (tepung pisang kontrol)

1 40.21 40.19 99.96 40.33 0.17 40.27 0.16 2 40.45 40.34 99.74

RS2 (tepung pisang fermentasi spontan)

1 39.01 39.71 101.79 38.70 0.45 37.78 5.94 2 38.38 35.84 93.39

RS3 (tepung pisang dua siklus retrogradasi)

1 39.27 38.65 98.42 39.13 0.20 38.05 1.69 2 38.99 37.44 96.03

RS3 (tepung pisang fermentasi spontan - dua siklus retrogradasi)

1 42.47 42.09 99.09 42.67 0.28 42.17 0.36

2 42.86 42,25 98.58

Page 186: Nurhayati 2011.pdf

158

Lampiran 6. Hidrolisis Pati Resisten oleh Asam Lambung Artifisial

Blanko glukosa ABS kadar glukosa ABS

0.05 0.196 0.5 0.196 0.1 0.416 1.0 0.416 0.15 0.643 1.5 0.643 0.2 0.841 2.0 0.841 0.25 1.063 2.5 1.063

0,1 g/10ml = 100mg/10ml = 10mg/ml

Sampel % RS Terhidrolisis pada Jam Ke-

pH 0.5 1 2 4 6 RS Tepung Pisang Kontrol

1 3,07 3,07 3,63 3,07 4,93 2 1,12 1,3 13,77 5,4 7,81 2 1,12 1,3 13,77 5,4 7,81 3 1,49 14,33 14,33 0,56 0,84 4 1,4 2,05 3,16 3,72 5,4 5 1,3 2,05 3,16 8 15,81

RS Tepung Pisang Fermentasi

1 6,18 0,96 21,04 0,37 11,39 2 2,32 2,51 10,81 0,93 2,12 3 1,35 0,19 4,05 2,6 13,7 4 3,47 1,16 5,98 1,12 12,35 5 4,82 1,35 24,12 3,16 21,04

RS Tepung Pisang 2x Retrogradasi

1 2,65 16,26 11,72 12,93 28,74 2 6,81 18,91 13,99 16,37 36,68 3 7,56 29,12 18,15 15,63 55,59 4 7,94 32,14 20,04 23,26 65,42 5 44,24 27,23 13,61 18,14 55,97

RS Tepung Pisang Fermentasi Spontan dan 2x Retrogradasi

1 26,83 15,21 13,19 15,26 26,16 2 3,35 14,31 11,85 17,21 37,12 3 2,68 20,57 10,29 15,44 31,98 4 5,59 23,48 19,01 24,84 41,59 5 6,71 18,11 18,78 24,56 39,58

y = 0,4318x - 0,0159 R² = 0,9996

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

AB

S

KOnsentrasi gula (mg)

Page 187: Nurhayati 2011.pdf

159

Lampiran 7. Indeks Prebiotik Pati Resisten Tepung Pisang

Sampel Ulangan Jam Ke

Logaritmik Bakteri

Lactobacillus Bifidobacteria Clostridia Bacteroides Aerob

Mesofilik RS native 1 0 6,11 7,02 7,76 7,62 8,05

2

6,26 7,12 7,74 7,71 8,08

6,19 7,07 7,75 7,67 8,07

1 4 8,05 8,49 6,35 8,08 8,73

2

8,12 8,51 6,32 8,05 8,76

8,08 8,50 6,33 8,06 8,74

1 10 8,76 8,51 6,70 8,49 9,08

2

8,78 8,49 6,08 8,51 9,09

8,77 8,50 6,49 8,50 9,09

1 24 8,53 9,23 7,40 9,34 9,63

2

8,63 9,23 7,78 9,12 9,55

8,58 9,23 7,63 9,25 9,59

RS FSO2x 1 0 6,26 7,12 6,90 7,62 7,81

2

6,03 7,08 6,74 7,71 7,84

6,16 7,10 6,83 7,67 7,83

1 4 8,33 8,61 7,04 7,74 8,84

2

8,35 8,63 7,08 7,73 8,86

8,34 8,62 7,06 7,73 8,85

1 10 9,15 9,38 7,53 7,15 9,59

2

9,08 9,15 7,00 7,08 9,42

9,12 9,28 7,34 7,12 9,51

1 24 8,91 9,15 7,46 7,76 9,36

2

8,96 9,30 7,49 7,85 9,48

8,94 9,23 7,48 7,81 9,43

Kontrol 1 0 6,21 7,00 6,89 7,64 7,80

2

6,20 7,09 6,93 7,71 7,87

6,21 7,05 6,91 7,68 7,84

1 4 7,40 7,08 7,59 8,45 8,55

2

7,36 7,11 7,48 8,44 8,54

7,38 7,10 7,54 8,45 8,54

1 10 7,60 7,85 7,74 9,05 9,11

2

7,52 7,94 7,71 9,07 9,13

7,56 7,90 7,73 9,06 9,12

1 24 7,34 7,76 7,40 9,34 9,36

2

7,36 7,76 7,41 9,12 9,16

7,35 7,76 7,41 9,25 9,27

Page 188: Nurhayati 2011.pdf

160

Lampiran 8. Profil SCFA Menggunakan Analisis Gas Chromatography (GC)

Sampel Area Sampel Area Standar mM VFA

1A (Cairan RS2) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid

998

1197 0

3184 6468 9533

5.2240 2.5009 0.0000

2A (Padatan RS2) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid

846

1080 0

3184 6468 9533

4.4284 2.5564 0.0000

1B (Cairan RS3) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid

1394 1020

0

3184 6468 9533

7.2969 2.1311 0.0000

2B (Padatan RS3) Acetic acid Propionic acid n-Butiric acid

1049

0 109

3184 6468 9533

5.4910 0.0000 0.2299

Page 189: Nurhayati 2011.pdf

161

Lampiran 9. Indeks Glikemik Tepung Pisang IG TEPUNG PISANG ALAMI

Nama Luas Kurva Sampel

Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG

Dedy 3405,0 5370,0 63,41 76,65 39,37 Tinggi Yati 5550,0 6180,00 89,81 65,84 3,16 Napsiah 13230,0 7200,00 183,75 Zahroni 3360,0 4890,00 68,71 Yuningsih 3675,0 5385,00 68,25 Nurlela 2940,0 6420,00 45,79 Minna 2175,0 4170,00 52,16 Hermawati 2280,0 3300,00 69,09 Novianti 1575,0 2535,00 62,13 Ana Amelia 2655,0 4185,00 63,44

IG TEPUNG PISANG FERMENTASI

Nama Luas Kurva Sampel

Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG

Dedy 3615,0 5820,0 62,11 66,25 13,37 Sedang Yati 3300,0 4650,0 70,97 66,03 4,47

Napsiah 3555,0 6450,0 55,12 Zahroni 2835,0 4305,0 65,85

Yuningsih 2835,0 4350,0 65,17 Nurlela 3600,0 5940,0 60,61 Minna 3465,0 3660,0 94,67 Hermawati 2745,0 3750,0 73,20 Novianti 1830,0 4230,0 43,26 Ana Amelia 2445,0 3420,0 71,49

IG TEPUNG PISANG RETROGRADASI 1X

Nama Luas Kurva Sampel

Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG

Dedy 4350,0 5370,0 81,01 66,53 20,65 Sedang Yati 3915,0 6180,0 63,35 61,98 3,47 Napsiah 4725,0 7200,0 65,63 Zahroni 3195,0 4890,0 65,34 Yuningsih 3300,0 5385,0 61,28 Nurlela 2970,0 6420,0 46,26 Minna 1994,0 4170,0 47,82 Hermawati 1874,0 3300,0 56,79 Novianti 3000,0 2535,0 118,34 Ana Amelia 2490,0 4185,0 59,50

Page 190: Nurhayati 2011.pdf

162

IG TEPUNG PISANG RETROGRADASI 2X

Nama Luas Kurva Sampel

Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG

Dedy 2640,0 5820,0 45,36 53,63 15,30 Rendah Yati 3135,0 4650,0 67,42 51,96 8,87 Napsiah 5175,0 6450,0 80,23 Zahroni 2430,0 4305,0 56,45 Yuningsih 3105,0 4350,0 71,38 Nurlela 2640,0 5940,0 44,44 Minna 1095,0 3660,0 29,92 Hermawati 1950,0 3750,0 52,00 Novianti 1950,0 4230,0 46,10 Ana Amelia 1471,0 3420,0 43,01

IG TEPUNG PISANG FERMENTASI- RETROGRADASI 2X

Nama Luas Kurva Sampel

Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG

Dedy 3195,0 4890,0 65,34 61,63 11,98 Sedang Yati 2400,0 3975,0 60,38 60,76 4,36 Napsiah 2745,0 5550,0 49,46

Zahroni 3900,0 6675,0 58,43

Yuningsih 3840,0 4500,0 85,33

Nurlela 3240,0 6060,0 53,47

Minna 2310,0 5340,0 43,26

Hermawati 3825,0 5190,0 73,70 Novianti 3015,0 4785,0 63,01 Ana Amelia 3540,0 5535,0 63,96

IG TEPUNG PISANG FERMENTASI- RETROGRADASI 2X

Nama Luas Kurva Sampel

Luas Kurva Glukosa IG/orang Rata2 IG SD IG

Dedy 2130,0 4890,0 43,56 46,69 10,03 Rendah Yati 1830,0 3975,0 46,04 45,72 2,92

Napsiah 3120,0 5550,0 56,22 Zahroni 3405,0 6675,0 51,01 Yuningsih 3060,0 4500,0 68,00 Nurlela 2820,0 6060,0 46,53 Minna 1800,0 5340,0 33,71 Hermawati 1800,0 5190,0 34,68 Novianti 2070,0 4785,0 43,26

Ana Amelia 2430,0 5535,0 43,90