Download - Nova
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah
yang dihadapi penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah
psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini masyarakat berupaya
menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah tersebut akan mempunyai efek atau
pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada
kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan
masyarakat.
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa india kutha , dikenal
sejak 1400 tahun sebelum masehi . kata lepra ada di sebut-sebut dalam kitab injil,
terjemahan dari bahasa hebraw zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit
kulit lainnya . ternyata bahwa berbagai skripsi mengenai penyakit ini sangat kabur ,
apalagi jika dibandingkan dengan kata kusta yang kita kenal sekarang ini .
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya
penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk
lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah
nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih
tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud
bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahanan sosial.
Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di
bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Di
1
Indonesia pengobatan dari perawatan penderita kusta secara terintegrasi dengan unit
pelayanan kesehatan.
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga
menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri,
tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku
penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih
banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, tidak dapat
diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Akibat
anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa sehingga tidak tekun untuk
berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa penyakit mempunyai
kedudukan yang khusus diantara penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya leprophobia (rasa takut yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul
karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat
menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian
leprophobia yang bermanifestasi sebagai rasa jijik dan takut pada penderita kusta tanpa
alasan yang rasional. Terdapat kecenderungan bahwa masalah kusta telah beralih dari
masalah kesehatan ke masalah sosial.
Leprophobia masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan masalah masyarakat
karena dipengaruhi oleh segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan
takhyul. Fhobia kusta tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit
dokter-dokter yang belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan
masih takut terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita, terlebih lagi para dokter
masih terlalu takut dan menjauhkan penderita kusta, sudah tentu hal ini akan merupakan
hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit kusta. Akibat adanya phobia ini, maka
tidak mengherankan apabila penderita diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan
masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pembahasan mengenai studi kasus penyakit kusta ?
2. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang kusta tersebut?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pembahasan mengenai studi kasus penyakit kusta
2. Masyarakat harus mengetahui tentang kusta
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Penyakit kusta adalah kronik yang disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae
(M.leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata oto,
tulang dan testis. Disebabkan oleh kuman tahan asam yang bentuknya sangat menyerupai
tuberkulosis. Kuman ini belum berhasil dibiarkan. Infeksi memerlukan kontak erat dan
lama. Dokter dan perawat jarang sekali terkena infeksi.
Kusta dibagi menjadi 2:
Kusta saraf: secara klinis terjadi bercak bercak anestetik di kulit, bercak –bercak ini
sering berwarna agak putih sebagai panu. saraf menebal dan keras, terutama yang terletak
di bawah kulit dapat diraba menebal. Pada penampang serabut saraf, tampak jaringan
granulasi lepra. Pada lepra saraf, kuman lepra jarang ditemukan. Serabut saraf akan
menjadi rusak hingga terjadi bercak – bercak anestetik. Karena kehilangan rangsang saraf,
maka banyak oto menjadi atrofik dan mudah luka.
Kusta kulit: terjadi penebalan – peneblan atau tonjolan – tonjolan di kulit, terutama kulit
muka dan kuping. Mokroskping dalam dermis tampak jaringan granulasi seperti
tuberkulosis, tetapi tanpa perkijauan. Sel – sel epitelioid lebih merata kulit ini sering penuh
kuman. Kusta kulkit dan kusta saraf sering bercampur.
B. Etiologi
Kuman mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf
tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata oto, tulang dan testis.M.leprae merupakan basil tahan
asam (BTA), bersifat obligat intaseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain
seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat. Masa membelah diri M. Leprae 12-21 hari dan massa tunasnya antara 40 hari – 40
tahun.
3
Dalam suatu penelitan, didapatkan dinding membren ini tetap simetrik walaupun
dilakukan suatu fiksasi dengan pewarnaan. Keadaaan ini merupakan salah satu sifat khas
dari M. Laprea yang tidak didapatakan pada mikobakterium lainnya, seperti
mikobakterium tuberkulosis atau mikobakterium aurum. Beberapa tahun terakhir ini
terlihat perkembangan dalam bidang penelitian penyakit kusta. Telah ditemukan struktur
kimia suatu antigen, terutama phenolic glycolipid (PGL), sehingga menghasilkan revolusi
dalam serodiagnosa penyakit kusta. Antigen ini ternyata dapat ditemukan pada jaringan
Armadillo yang terinfeksi dengan M.leprae. PGL terdiri dari 3 macam yakni PGL-I, PGL-
II dan PGL-III. M. Laprae adalah basil obligat intraseluler yang terutama dapat
berkembangbiak di dalam sel Schwann saraf dan makrofag kulit. Basil ini dapat
ditemukandi mana – mana , misalnya di dalamtanah, air, udara dan dan pada manusia
terdapat dipermukaaan kulit, rongga hidung, dan tenggorokan.
M. leprae ini merupakan basil Gram positif karena sitoplasma basil ini mempunyai
struktur yang sama dengan ini mempunyai struktur yang sama dengan basil Gram positif
yang lian, yaitu mengandung DNA dan RNA dan berkembangbiak secara perlahan dengan
cara binary fision yang membutuhkan waktu 11- 13 hari. Sifat multifikasi ini lebih lambat
dari pada Mycobacterium tuberculosis yang hanya membutuhkan waktu 20 jam.
Pertumbuhan yang sangat lambat ini tidak diragukan sebagai faktor utama yang
menyebabkan inkubasi kusta sangat lama (5-7 tahun) dan menyebabkan semua manifestasi
kliniknya menjadi kronik. Basil ini belum dapat dibiak invitro walaupun telah dapat
diinokulasi
Untuk kriteria identifikasi M.laprae ada lima sifat khas yakni:
1. M. Leprae merupakan parasit intaseluler obligat yang tidak dapat dibiarkan pada
media buatan.
2. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3. M. Leprae merupakan satu – satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenlalanin).
4. M. Leprae adalah satu – satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
4
5. Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengndung komponen anti genik yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita
tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.
C. Patofisiologi
Cara penularan yang pasti belum di ketahui, tatapi menurut sebagian besar ahli
melalui saluran pernafasan ( inhalasi ) dan kulit ( kontak langsung yang lama dan erat).
kuman mencapai permukaan kulit melalui volikel rambut, kelenjar keringat, dan di duga
melalui air susu ibu.beberapa hipotesis telah di kemukakan seperti adanya kontak dekat
dan penularan dari udara.
Penyakit ini sering di percaya bahwa penularanya di sebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dan orang yang sehat.Melalaui kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang ber suhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh mycobacterium leprae ke kulit
tergantung factor imunitas seseorang ke mamapuan hidup mycobacterium leprae pada
suhu yang rendah, waktu regenerasi lama serta sifat kuman yang aviluren dan non toksis.
Mycobacterium leprae terurama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh bereaksi
mengeluarkan makrofag ( berasal dari monosit darah, histiosit )untuk memfagosit.
Setelah M. Lepae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung
pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampai tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler ( celuler mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas
seluler tinggi, penyakit berkembangan ke arah tuberkuloid di daerah – daerah yang relatif
lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari
pada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologi.
5
WOC KUSTA
6
Microbacterium leprae (BTA)
obligat intraseluler
Menyerang saraf perifer, kulit, dan mukosa saluran pernafasan atas
Derajat imunitas tinggi Derajat imunitas rendah
Tuber kuloid
Gangguan saraf perifer dan saraf tepi
Terjadi kelemahan
Mk : indolonsansi aktivitas
Kelainan kulit berupa bercak putih
Mk: Gangguan rasa nyaman nyeri
Terjadi infalamasi lebtosa
hidung
Kelainan kulit kemerahan
telinga
Mata
Mk: gangguan intekritas kulit
Mk: Gangguan citra tubuh
Kecacatan akibat kerusakan jaringan tubuh
Kulit kering
Terjadi kerusakan jaringan
D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pad
stadium yang lanjut dan diagnosa cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja.
Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukan gejala klinis kusta dengan atau tanpa
pemeriksaan, bakteriologik,dan memerlukan pengobatan. Gejala dan keluhan penyakit
bergantung pada:
Multiplikasi dan diseminasi kuman M.leprae.
Respon imun penderita terhadap kuman M. Leprae.
Komplikasi yang di akibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Ada 3 tanda kardinal. Kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk
menetapkan diagnosais penyakit kusra yakni:
a. Lesi kulit yang anestesi
b. Penebalan saraf perifer
c. Ditemukan M. Leprae (bakteriologia positif).
Ada klasifikasi yang banyak dipakai pada bidang penelitian adalah kiasi fikasi
menurut ridley dan jobling yang mengelompokkan penyakit kista menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis , bakteriologi dan imunologik . sekarang klasifikasi ini juga
secara luas di pakai d klinik dan untuk pemberantasan
1. Tipe tuberkoloid-tuberkuloid(TT)
Lesi ini mengenlai kulit maupun saraf , lesi kulit bisa satu atau beberapa . dapat berupa
maukula atau pelakat , batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
mengalami rekresi atau penyembuhan di tengah .
2. Tipe borderline tuberkuloid(BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT , yakni berupa makula anestesi atau plak yang
sering disertai lesi satelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberpa , tetapi gambaran
hipobigmentasi , kekeringan kulit atau suakma tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid
7
3. Tipe boderline-boderline(BB)
Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spektrum penyakit kusta .
tipe ini disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang dijumpai .
4. Tipe boderline repromatos (BL)
Secara klasifikasi lesi dimulai dengan makula . awalnya hanya dalam jumlah sedikt,
kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan . makula disini lebih jelas dan
berfariasi bentuknya .
5. Tipe lopromatous-replomatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik , permukaan halus , lebih ritem, mengkilap,berbatas
tidk tegas dan tidak di temukan gangguan anastesi dan anhidrosis pada stadium dini .
Diagnosa didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis dan histopalogis. Menurut
WHO (1995), diagnosa lusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang –
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi
umumnya berupa makula, papul atau nodul.
Kehilangansensitif pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi saja tanpa disrtai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan
otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan atau
kelemahan oto juga merupakan tand akusta.
2. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemui basil tahan asam dari kerokan jarungan kulit. Bila
ragu – ragu maka di anggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3
bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
8
E. Farmakologi
Tujuan utama program pemberatasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai
penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita
serta mencegah timbulnya cacat.
1. Obat – obat antikusta
1. Sulfon
a. Dapson (4,4- diamino difenil sulfon, DDS),
Hal – hal yang penting mengenai dapson adalah berikut:
Merupakan dsar terapi untuyk kusta
Bersifat bakteriostatik, tetapi cara kerjanya tidak diketahui. Dosis 100mg
bersifat bakterisidal lemah. Merupakan suatu inhibitor kompetitif PABA
dan berhubungan dengan metabolisme asam folat tetapi sensitivitas
M.leprae yang unik terhadap dapson menimbulkan perkiraan adanya
mekanisme lain yang terlibat.
Aman, mudah didapat dan harganya murah
Efek samping dapson sebagai berikut
Pada penderita defenisi G6PD menimbulkan anemia hemolitik.
Dapat timbul anemia normositik hipokromik dan lekopenia.
Dapat terjadi sianosis (methemoglobinemia)
Gangguan gastrointestinal yang rendah dan hepatitis yang ditandai oelh
anoreksia dan vomitus.
Ketertiban ginjal ditandai dengan albuminuria.
Erupsi kulit bervariasi dari rash morbiliformis sampai pemfigoid berat,
fixed drug, eritemaa multiforme, toksik epidermal nekrolisis (TEN).
b. DADDS(diasetil diamino difenil sulfon)
9
Merupakan depot sulfon, penggunaan intramuskular 225 mg dapat aktif
sampai lebih dari 2 bulan, dapat digunakan dilapangan. Sebagai tambahan untuk
terapi oral, diberikan satu injeksi tiap 8_10 minggu.
2. Rifampisin
Beberapa yang penting mengenai rifamisin:
Suatu derivat semisintetik produk fermentasi Streptomyces mediterranei.
Kerjanya melalui inhibisi sintesis RNA bakteri.
Merupakan antikusta yang paling paten.
Dosis tunggal rifampisin 600mg akan membunuh 99,9% M. Leprae dalam
beberapa hari sehingga penderita menjaditidak infeksius lagi.
Efek samping:
a. Diskoloritasasi urin, urin menjadi nierah.
b. Erupsi kulit umumnya berupa papula - papula eritematosa,
eritemamultiforme dan kadang – kadang sinroma steven – johnson.
c. Pusing, lemah, gangguan gastrointestinal.
d. Flusing dan pruritus.
e. Flu- like syndrome.
f. Gagal ginjal, nafas pendek, syok, purpura.
3. Klofazimin (B663, Lampren)
a. Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazim.
b. Kerjanya melalui interaksi degn DNA mikobaktera.
c. Bersifat bakteriostatik dan bakterisidal leah.
d. Harus diminum pada waktu makan atau degan segelas susu.
e. Efek samping:
10
Terjadi dikolorisasi yang refersibel dari ungu samapai coklat kehitaman pada
kulit
Nyeri abdominal, mual, diare, dapat dikurangi dengan minum obat saat
makan .
Kematian pernah di laporkan karena deposit kristal pada limfatik dengan
submukosa gastrointestinal dimana dosis total klofazimin tinggi
Iktiosis, kekeringan kulit, fisura utama pada tulang kering, dapat dikontrol
dengan minyak.
Lamprenmelewati plasenta sehingga pada bayi yang lahir dari ibu yang
mendapatkan lampren, kulitnya lebih berpikmentasi .
Sedapat mungkin lampren tidak diberikan pada :
Trisemester I kehamilan
Penderita dengan nyeri abdomen berulang dan diare
Penderita dengan kerusakan hati dan ginjal
4. Protionamide dan etionamide
a. Keduanya mempunyai efek bakterisida dan efek keduanya hampir sama
b. Digunakan bila klofazimin tidak dapat diberikan
c. Dosisnya :
Etionamide : 250-500 mg/hari
Protionamide :250-375 mg/hari
d. Efek samping :
Hepatitis 40% pada penderita,tetapi protionamid lebih kurang toksin diantara
kedua obat tersebut .
2. Obat alternatif
11
a. Ofloksasin
b. Minosiklin
c. Klaritromisin
d. Pengobatan E.N.L
e. Pengobatan reaksi reversal
f. Pencegahan cacat
g. Rehabilitas
3. Obat kombinasi kemoterapi dan imunoterapi
Pada pengobatan MDT (WHO) selama 2 tahun untuk penderita kusta tipe
multibasiler (terutama BL/LL), telah dilaporkan beberapa masalah sehubungan degan
adanya persistensi, angka relaps yang agak tinggi, dan sisa-sisa basil lepra yang mati.
Ketidakmampuan untuk mangatasi masalah tersebut mungkin disebabkan oleh tidak
adanya atau kurangnya sistem imunitas seluler yang efektif. Oleh karena itu telah
dicoba untuk mengembangkan imunoterapi bersama MDT. Dalam salah satu hasil
penelitian tersebut, dilaporkan oleh Katoch et al bahwa jika dibandingkan degan
pengobatanMD dan BCG intradermal atau MDT dan suntikan mikobakterium yang
cepat tumbuh, yaitu mycobacterium intradermal menunjukan bahwa pengobatan
tersebut dapat ditoleransi degan baik oleh penderita, yidak meningkatkan terjadinya
reaksi serta membantu mempercepat terbunuhnya basil yang hidup dan membersihkan
basil yang mati dari penderita kusta tipe BL/LL yang sebelumnya tidak pernah diobati.
F. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Pada pengkajian klien penderita kusta dapat ditemukan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Aktivitas/ istirahat.
Tanda : penurunan kekuatan otot, gangguan massa otot dan perubahan tonus otot.
12
2. Sirkulasi.
Tanda : Penurunan nadi perifer
3. Vasokontriksi perifer.
4. Integritas ego.
Gejala : Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan,
Tanda : Ansietas, menyangkal, menarik diri.
5. Makanan/cairan.
6. Anoreksia.
7. Neurosensori.
Gejala : kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi.
Tanda : peruubahan perilaku, penurunan refleks tendon.
8. Nyeri kenyamanan.
Gejala : Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri.
9. Pernapasan.
Gejala : Pentilasi tidak adekuat, takipnea.
10. Keamanan.
Tanda : lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya
berupa macula, papula dan nodul.
Pemeriksaan klinis
a. Inspeksi, pasien diminta memejamakan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah semua kelainan kulit diseluruh tubuh
diperhatikan, seperti adanya macula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput,
penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
b. Pemeriksaan sensibilitas. Pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba),
Jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri, serta air panas dan dingin dalam
tabung reaksi (rasa suhu).
13
c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: nervus Auricularis
magnus,Nervus ulnaris,Nervus radialis, Nervus medianus, nervus peroneus dan
nervus tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran,
konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia
kesakitan atau tidaksaraf-saraf diraba.
d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu: memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi
akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji
gunawan).
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
Tujuan : Untuk memelihara integritas kulit/ mencapai penyembuhan tepat waktu.
No. Intervensi Rasional
1 Kaji kulit setiap hari. Catat warna,
turgor, sirkulasi dan sensasi.
Gambarkan lesi dan amati perubahan.
Menentukan garis dasar dimana
perubahan pada status dapat dibandikan
dan lakukan intervensi yang tepat.
2 Pertahankan/intruksikan dalam hygiene
kulit, misalnya membasuh kemudian
mengerinkannya dengan berhati-hati
dan melakukan masase dengan
menggunakan losion atau krim.
Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan
meningkatkan kenyamanan.
3 Gunting kuku secara teratur Kuku yang panjang/kasar, meningkatkan
resiko kerusakan dermal.
4 Dapatkan kultur dari lesi kulit terbuka. Dapat mengidentifikasi bakteri patogen
dan pilihan perawatan yang sesuai.
5 Gunakan/berikan obat topical atau
sistemik sesuai indikasi.
Digunakan pada perawatan lesi kulit.
6 Lindungi lesi dengan salep antibiotic Melindungi area lesi dari kontaminasi
14
sesuai petunjuk. bakteri dan meningkatkan penyembuhan.
b. Gangguan rasa nyaman gatal berhubungan dengan lesi kulit.
Tujuan : Untuk mengurangi rasa gatal sehingga tercapai kenyamanan pasien.
No. Intervensi Rasional
1 Upayakan untuk menemukan penyebab
gangguan rasa nyaman.
Membantu mengidentifikasi tindakan
yang tepat untuk memberikan
kenyamanan
2 Mencapai hasil-hasil observasi secara
rinci dengan memakai terminology
deskriftif.
Deskrifsi yang akurat tentang erupsi kulit
diperlukan diagnosis dan pengobatan.
Banyak kondisi tampak serupa tapi
mempunyai etiologi yang berbeda.
3 Mengantisipasi reaksi alergi yang
mungkin terjadi.
Lesi yang menyeluru terutama dengan
awitan yang mendadak dapat
menunjukkan reaksi alergi terhadap obat.
4 Pertahankan kelembaban kira-kira
60%. Gunakanlah alat pelembab.
Dengan kelembaban yang rendah kulit
akan kehilangan air.
5 Pertahankan lingkungan dingin.Kesejukan mengurangi gatal.
(Neutrogena, aveno ).
6 Gunakan sabun ringan (dove) atau
sabun yang dibuat untuk kulit
sensitive
Upaya ini mencakup tidak adanya larutan
detergen, zat pewarna atau bahan
pengeras.
7 Lepaskan kelebihan pakaianatau
peralatan ditemp[at tidur.
Meningkatkan lingkungan yang sejuk.
8 Cuci linen tempat tidur dan pakaian
dengan sabun ringan
Sabun yang keras dapat menimbulkan
iritasi kulit.
9 Hentikan pemajanan berulang terhadap Setiap substansi yang menghilangkan air,
15
detergen ,pembersih dan pelarut. lipid atau protein dari epidermis akan
mengubah fungsi barier kulit.
penyembuhan.
10 Membantu pasien menerima terapi
yang lama yang diperlukan pada tahap
Tindakan koping biasanya akan
meningkatkan kenyamanan. tampa resep
dokter.
11 Menasehati pasien untuk menghindari
pemakaian salep atau lotion yang diberi
Masalah pasien dapat disebabkan oleh
iritasi atau sensitisasi karena pengobatan
sendiri.
d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan priritus.
Tujuan : Untuk mencapai istirahat tidur yang cukup.
No. Intervensi Rasional
1 Menasehati pasien utk menjaga kamar
tidur agar tetap memiliki ventilasi dan
kelembaban yg baik.
Udara yang kering menimbulkan rasa
gatal. Lingkungan yang nyaman
meningkatkan relaksasi.
2 Menjaga agar kulit agar selalu lembab . Tindakan ini mencegah kehilangan air.
Kulit yang kering dan gatal biasanya tidak
dapat dikendalikan tetapi dapat
disaembuhkan.
3 Menjaga jadwal tidur yang
teratur.Pergi tidur pada saat yang sama
dan bangun pada saat yang sama.
Dengan jadwal tidur yang teratur akan
terpenuhi kebutuhan tidur klien.
4 Menghindari minuman yang
mengandung kafein menjelang tidur
malam hari.
Kafein memiliki efek puncak 2-4 jam
sesudah dikomsumsi.
16
5 Melaksanakan gerak badan secara
teratur
Gerak badan memberikan efek yang
menguntungkan untuk tidur jika
dilaksanakan pada malam hari.
6 Mengerjakan hal-hal yang ritual dan
rutin menjelang tidur.
Tindakan ini memudahkan peralihan dari
keadaan terjaga menjadi keadaan tertidur.
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kuilit yang tidak baik.
Tujuan : Klien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri
No. Intervensi Rasional
1 Kaji adanya gangguan pada citra diri
pasien (menghindari kontak mata,
ucapan yang merendahkan diri sendiri,
ekspresi perasaan muak terhadap
kondisi kulitnya.
Gangguan citra diri akan menyertai setiap
penyakit atau keadaan yang tampak nyata
bagi pasien. Kesan seseorang terhadap
dirinya sendiri akan berpengaruh pada
konsep diri.
2 Identifikasi stadium psikososial tahap
perkembangan.
Terdapat hubungan antara stadium
perkenmbangan, citra diri dan reaksi serta
pemahaman pasioen terhadap kondisi
kulitnya.
3 Berikan kesempatan untuk
pengungkapan. Dengarkan (dengan
cara yang terbuka, tidak menghakimi)
untuk mengespresikan berduka atau
anseitas tentang perubahan citra tubuh.
Pasien membutuhkan pengalaman
didengarkan dan dipahami. Mendukung
upaya pasien untuk memperbaiki citra
diri.
4 Bersikap realistic selama pengobatan,
pada penyuluhan kesehatan.
Meningkatkan kepercayaan dan
mengadakan hubungan antara pasien dan
perawat.
5 Berikan harapan dalam parameter
situasi individu: jangan memberikan
keyakinan yang salah.
Meningkatkan perilaku positif dan
memberikan kesempatan untuk menyusun
tujuan dan rencana untuk masa depan
17
berdasarkan realita.
6 Dorong interaksi keluarga dan dengan
tim rehabilitasi.
Mempertahankan pola komunikasi dan
memberikan dukungan terus menerus
pada pasien dan keluarga.
f. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh
menurunun.
Tujuan : Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi
No. Intervensi Rasional
1 Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu Memberikan imformasi data dasar,
peningkatan suhu secara berulang-ulang
dari demam yang terjadi untuk
menujukkan bahwa tubuh bereaksi pada
proses infeksi yang baru, dimana obat
tidak lagi secara efektive mengontrol
infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
2 Tekankan pentingnya tekhnik cuci
tanganyang baik untuk semua individu
yang dating kontak dengan pasien
Mengcegah kontaminasi silang;
menurungkan resiko infeksi.
3 Gunakan saputangan , masker dan
tekniik aseptik selama perawatan dan
berikan pakaian yang steril atau baru
Mengcegah terpajan pada organisme
infeksius
4 Observasi lesi secara periodic Untuk mengetahui perubahan respon
terhadap terapi.
5 Berikan lingkungan yang bersih dan
berventilasi yang baik. Periksa
pengunjung atau staf terhadap tanda
infeksi dan pertahankan kewaspadaan
Mengurangi patogen pada system
integument dan mengrangi kemungkinan
pasien mengalami infeksi nosokomial.
18
sesuai indikasi.
6 Berikan preparat antibiotic yang
diresepkan dokter.
Membunuh atau mencegah pertumbuhan
mikroorganisme penyebab infeksi.
g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya imformasi terhadap perawatan
kulit.
Tujuan : Klien mendapatkan imformasih yang adekuat tentang
No. Intervensi Rasional
1 Tentukan apakah pasien mengetahui
(memahami dan salah mengerti) tentang
kindisi dirinya.
Memberikan data dasar untuk
mengembangkan rencana penyuluhan.
2 Jaga agar pasien mendapatkan informasi
yang benar, memperbaiki kesalahan
persepsi /imformasi.
Pasien harus memiliki perasaan bahwa
ada sesuatu yang dapat mereka perbuat.
Kebanyakan pasien merasakan mamfaat
dan merasa lebih.
3 Berikan imformasi yang spesifik dalam
bentuk tulisan misalnya jadwal dalam
minum obat.
Imformasi tertulis dapat membantu
mengingatkan pasien.
4 Jelaskan penatalaksanaan minum obat:
dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya
terapi dalam jangka waktu lama.
Meningkatkan partisipasi klien, mematuhi
aturan terapi dan mencegah putus obat.
5 Berikan nasehat pada pasien untuk
menjaga agar kulit tetap lembab dan
fleksibel dengan tindakan hidrasi serta
lotion kulit.
Stratum korneum memerlukan air agar
fleksibilitas kulit btetap terjaga..
pemberian lotion untuk melembabkan
kulit akan mencegah agar kulit tidak
menjadi kering, kasar, retak dan bersisik.
6 Dorong pasien agar mendapat status
nutrisi yang sehat.
Penampakan kulit mencerminkan
kesehatan umum seseorang.perubahan
19
pada kulit dapat mendakan status nutrisi
yang abnormal. Nutrisi yang optimal
meningkatkan regenerasi jaringan dan
penyembuhan umum kesehatan.
7 Tekankan perlunya atau pentingnya
mengevaluasi perawatan atau
rehabilitasi.
Dukungan jangka panjang dengan
evaluasi ulang kontinu dan perubahan
terapi dibutuhkan untuk penyembuhan
optimal.
h. Ansietas berhubungan dengan poerubahan status kesehatan.
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat menerimah
perubahan status kesehatannya dengan cara sehat. Berikan penjelasan yang sering dan
imformasi tentang prosedur
No. Intervensi Rasional
1 Berikan penjelasan yang sering dan
imformasi tentang prosedur perawatan.
Pengetahuan diharapkan menurunkan
ketakutan dan ancietas, memperjelas
kesalahan konsep dan meningkatkan
kerjasama.
2 Libatkan pasien atau orang terdekat
dalam proses pengambilan keputusan.
Meningkatkan rasa control dan kerjasama,
menurunkan perasaan tak berdaya atau
putuis asa.
3 Kaji status mental terhadap penyakit Pada awalnya pasien dapat men ggunakan
penyangkalan untuk menurungkan dan
menyaring imformasi secara keseluruhan.
4 Berikan orientasi konstan dan
konsisten.
Membantu pasien tetap berhubungan
dengan lingkungan dan realitas.
5 Dorong pasien untuk bicara tentang
penyakitnya.
Pasien perlu membicarakan apa yang
terjadi terus menerus untuk membuat
beberapa rasa terhadap situasi apa yang
20
menakutkan.
6 Jelaskan pada pasien apa yanga terjadi.
Berikan kesempatan untuk bertanya
dan berikan jawaban terbuka atau jujur.
Pernyataan kompensasi menunjukkan
realitas situasi yang dapat membantu
pasien atau orang terdekat menerima
realitas dan mulai menerima apa yang
terjadi.
7 Identifikasi metode koping atau
penanganan stuasi stress sebelumnya.
Perilaku masalalu yang berhasil dapat
digunakan untuk membantu situasi saat
ini.
8 Dorong keluarga atau orang terdekat
mengunjungi dan mendiskusikan yang
terjadi pada keluarga. Mengingatkan
pasien kejadian masa lalu dan akan
datang.
Mempertahankan kontak dengan realitas
keluarga, membuat rasa kedekatan dan
kesinambungan hidup.
9 Berikan sedative ringan sesuai indikasi.Obat ansietas diperlukan untuk periode
singkat sampai pasien lebih stabil secara
psikis.
3. Implementasi Keperawatan
Melakukan apa yang harus dilakukan pada saat itu sesuai dengan apa yang telah
direncanakan. Dan mencatat setiap tidakan yang dilakukan pada pasien.
4. Evaluasi
Mengevaluasi semua tindakan yang telah diberikan pada pasien. Jika dengan
tindakan yang diberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih baik. Maka tindakan
dapat dihentikan. Jika sebaliknya keadaan pasien menjadi lebih buruk, kemungkinan
besar tindakan harus mengalami perubahan atau perbaikan.
G. Fungsi advokad pada pasien kusta
21
Penyebab penyakit kusta ini adalah kuman M. ycobakterium leprae, cara pencegahan
penyakit kusta yaitu dengan melaksanakan diagnosis dini kusta degan pengobatan MDT
yang cepat dan tepat. Mengenali tanda dan gejala reaksi kusta dan gangguan saraf, agar
tidak terkena penyakit kusta.
Peran Perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan kepada pasien, memberikan
pendidikan kesehatan kepada pasien,jika pasien sudah sudah menderita penyakit kusta
pelayanan yang sebaiknya di berikan oleh seorang perawat adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tentang penyakit kusta
2. Perawat harus bisa menjaga privasi penyakit klien
3. Perawat harus dapat melindungi dan memfasilitas keluarga dan pasien dalam pelayanan
kesehatan tentang penyakit kusta
4. Memberikan asuhan keperawatan penyakit kusta yang melibatkan pasien dan keluarga
22
H. Leaflet penyakit kusta
WASPADAI PENYAKIT KUSTA
A. Pengertian kusta
Penyakit menular menahun, kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang semua saraf tepi.
A. Tanda dan gejala
1. Bercak kulit yang mati rasa
2. Penebalan saraf tepi
3. Gangguan fungsi coconum
4. Ditemukannya kuman tahan asam
B. Penularan penyakit kusta
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah
a. sekred hidung
b. kontak kulit degan kulit
c. kontak dekat dan penularan dari udara
d. faktor tidak cukup gizi
e. Kontak antara orang yang terinfesi degan orang sehat dalam jangka panjang
f. Lewat luka
g. Saluran pernafasan atau inhalasi
h. Air susu ibu
C. Jenis – jenis pada penyakit kusta
1. Penyakit kusta Pause Basiler (PB)
2. Penyakit kusta Multi basiler (MB)
3. Tuber kuloid (TT)
23
4. Mid borderline (MB)
5. Borderline lepromatous (BL)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah kronik yang disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae
yang menyerang saraf tepi. Penyakit kusta dapat menyerang semua orang tidak
memandang umur dan jenis kelamin,ras cina, eropa dan myanmar lebih rentang terhadap
bentuk lepromatous dibandingkan degan ras afrika, india dan melanesia.
B. SARAN
Adapun saran dan kritik membangun dari para pembimbing tetap kami harapkan,
sebagai sarana motivasi yang dapat membuat kami lebih baik dari pada sebelumnya.
Dengan harapan makalah ini dapat memberi manfaat yang lebih bagi pembaca maupun
penulis.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih A. Kusta. Dalam:Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, Aisah S, ed. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1987:61-74.
2. Djuanda A, Menaldi SL, Wisesa TW, Ashadi LN. Kusta Diagnosa dan penatalaksanaan,
Jakarta: Balai Penerbit Fakulktas Kedokteran Universitas indonesia, 1997
3. Jopling WH. Handbook of Leprosy. Redwood Press-Trowbridge, London.1985.
4. World Health Organization. Progress Towards Leprosy Elemination.Reprinted from
World. Health Organization Wkly Epidem Rec. 1997;72: 165-172
5. Browne SG:Leprosy, Acta Clinica, Ciba-Geigy, Balse, 1970
6. Leiker DL, Nunzi E and Rebore A: A Symposium on leprosy in light skinned people.
European leprosy symposium, Quaderni di Cooperazlone Sanitaria 1, (Organizzation
perla Cooperazion Sanitaria Internationale (O.C.S.I.) Bologna 1982)
7. Thangaraf RH: A manual of Leprosy; #rd ed. New Delhi;1993, The Leprosy mission
8. WHO Expert Committee on Leprosy Seventh report. Geneva, World Health
organization, 1998 (WHO Technical Report series, No.874)
25
9. World Health Organization. WHO model prescribing information. Drug used in leprosy.
Geneva January 1998; 3-30.
26