ISSN : 2355-9284
i
NEW MEDIA
VOLUME 5 NOMOR 1 APRIL 2018
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Desain Interior “Sekolah Tinggi Desain Bali” Volume 5 Nomor 1 April 2018 merupakan edisi
kelima yang bertemakan “Interior and Spatial Design Process”. Edisi ini diawali dengan artikel yang
berjudul tentang Pemanfaatan Bambu Resin Sebagai Material Dekoratif Pada Furniture Interior oleh
Ni Luh Kadek Resi Kerdiati, S.Sn., M.Sn. Artikel kedua dengan judul Penerapan Warna Pada Desain
Interior Ruang Kelas Taman Kanak-Kanak oleh Ni Made Sri Wahyuni Trisna, S.Sn., M.Sn. Artikel
ketiga dari I Kadek Pranajaya, S.T., M.T. I.A.I. dengan judul Ekonomi Kreatif: Menuai Kembali
Kehidupan Sang Batu Padas Yang Terbuang Dalam Sebuah Ornamen Arsitektur Tradisional Bali.
Artikel keempat yaitu, Studi Aksesoris Interior Berkonsep Etnik Produk Desain Kreatif Yang
Original, Unik, Dan Khas oleh Ni Nyoman Sri Rahayu, S.T., M.T., artikel selanjutnya adalah,
Terbentuknya Kelas Alay Dalam Komunitas Remaja dan Desain yang Mengikutinya oleh Ni Kadek
Yuni Utami, S.T., M.Ds. Relasi Desain dan Tata Letak Furniture terhadap Kenyamanan Pengunjung
Urban Café oleh I Wayan Yogik Adnyana Putra, S.T., M.T.., dan artikel terakhir berjudul
Perkembangan Jaringan Infrastruktur Perkotaan dan Dampaknya terhadap Tata Ruang Kota Denpasar
oleh Ni Luh Gede Niti Swari, S.T., M.T.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada Sekolah Tinggi Desain Bali atas motivasi dan
masukannya untuk kesempurnaan jurnal ini serta seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi Desain
Bali atas kekompakan dan semangatnya. Terakhir, kritik dan saran selanjutnya sangat kami harapkan
dan kepada semua yang telah membantu penerbitan jurnal ini dan para pembaca yang budiman, kami
ucapkan terimakasih.
Redaksi :
Kampus Sekolah Tinggi Desain Bali
Jl. Tukad Batanghari No. 29 Renon – Denpasar
Telp. (0361) 259459, 7448456 Fax: (0361) 701806, 259459
Website: http://www. std-bali.ac.id
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN
BALI
ISSN : 2355-9284
ii
NEW MEDIA VOLUME 5 NOMOR 1 APRIL 2018
Pelindung dan Penanggung Jawab : Nyoman Suteja, Ak.
Kadek Sudrajat, S.Kom
Penasehat :
Dr. Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, S.T., MA, Dipl.LMP
Ketua Dewan Redaksi :
Ardina Susanti, S.T., M.T.
Mitra Bestari :
Martin Morrell (Morrell Architects, Newcastle, NSW, Australia)
I Kadek Pranajaya, S.T., M.T., IAI
Freddy Hendrawan, S.T., M.T.
Dewan Editor :
Ardina Susanti, S.T., M.T.
I Wayan Yogik Adnyana Putra, S.T., M.T.
Kadek Risna Puspita Giri, S.T., M.T.
Redaktur Pelaksana :
A.A. Sg. Intan Pradnyanita, S.Sn., M.Sn.
Desain Cover :
Muhammad Luthfi Ferdian
Alamat Redaksi : Kampus Sekolah Tinggi Desain Bali
Jl. Tukad Batanghari No. 29 Renon – Denpasar
Telp. (0361) 259459, 7448456 Fax: (0361) 701806, 259459
Website: http://www. std-bali.ac.id
Jurnal ini diterbitkan sebagai media publikasi bagi karya-karya tulis dosen-dosen dan civitas akademika pada Program
Studi Desain Interior STD Bali. Selain itu juga sebagai wahana informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam
bidang seni, desain interior dan arsitektur. Karya yang disajikan berupa hasil penelitian, tulisan ilimah populer, studi
kepustakaan, review buku maupun tulisan ilmiah terkait dalam lingkup desain interior. Dewan Redaksi menerima artikel
terpilih untuk dimuat, dengan frekuensi terbit secara berkala 2 (dua) kali setahun yaitu Juni dan Desember. Naskah yang
dimuat merupakan pandangan dari penulis dan Dewan Redaksi hanya menyunting naskah sesuai format dan aturan yang
berlaku tanpa mengubah substansi naskah.
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN
BALI
ISSN : 2355-9284
iii
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI
VOLUME 5 NOMOR 1 TAHUN 2018
PETUNJUK PENGIRIMAN DAN TATA TULIS NASKAH :
1. Kategori naskah ilmiah hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), ilmiah popular
(aplikasi, ulasan, opini) dan diskusi.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris diketik pada kertas ukuran A-4, spasi
Single, dengan batas atas, bawah, kanan dan kiri masing-masing 2,5 cm dari tepi kertas.
3. Batas panjang naskah/artikel maksimum 20 halaman dan untuk naskah diskusi maksimum 5 halaman.
4. Judul harus singkat, jelas tidak lebih dari 10 kata, cetak tebal, huruf kapital, huruf Times New Roman
16 pt, ditengah-tengah kertas. Untuk diskusi, judul mengacu pada naskah yang dibahas (nama penulis
naskah yang dibahas ditulis sebagai catatan kaki). 5. Nama penulis/pembahas ditulis lengkap tanpa gelar, di bawah judul, disertai institusi asal penulis dan
alamat email dibawah nama. 6. Harus ada kata kunci (keyword) dari naskah yang bersangkutan minimal 2 kata kunci. Daftar kata
kunci (keyword) diletakkan setelah abstrak. 7. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata, dicetak miring, 1 spasi.
Abstrak tidak perlu untuk naskah diskusi.
8. Judul bab ditulis di tengah-tengah ketikan, cetak tebal huruf capital, huruf Times New Roman 12 pt 9. Gambar, grafik, tabel dan foto harus disajikan dengan jelas. Tulisan dalam gambar, grafik, dan tabel
tidak boleh lebih kecil dari 6 point (tinggi huruf rata-rata 1,6 mm). 10. Nomor dan judul untuk gambar, grafik, tabel dan foto ditulis di tengah-tengah kertas dengan huruf
kapital di awal kata. Untuk nomor dan judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan untuk nomor dan
judul gambar, grafik dan foto diletakkan di bawah gambar, grafik dan foto yang bersangkutan. 11. Untuk segala bentuk kutipan, pada akhir kutipan diberi nomor kutipan sesuai dengan catatan kaki yang
berisi referensi kutipan (nama, judul, kota, penerbit, tahun dan halaman yang dikutip). Rumus-rumus
hendaknya ditulis sederhana mungkin untuk menghindari kesalahan pengetikan. Ukuran huruf dalam
rumus paling kecil 6 point (tinggi huruf ratarata 1,6 mm). 12. Definisi notasi dan satuan yang dipakai dalam rumus disatukan dalam daftar notasi. Daftar notasi
diletakkan sebelum daftar pustaka. 13. Kepustakaan diketik 1 spasi. Jarak antar judul 1,5 spasi dan diurutkan menurut abjad. Penulisannya
harus jelas dan lengkap dengan susunan : nama pengarang. tahun. judul. kota: penerbit. Judul dicetak
miring.
KETERANGAN UMUM:
1. Naskah yang dikirim sebanyak satu eksemplar dalam program pengolahan kata M.S. Word.dan naskah
bisa dikirimkan via email atau dalam bentuk CD ke alamat redaksi.
2. Naskah belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain. 3. Redaksi berhak menolak atau pengedit naskah yang diterima. Naskah yang tidak memenuhi kriteria
yang ditetapkan akan dikembalikan. Naskah diskusi yang ditolak akan diteruskan kepada penulis
naskah untuk ditanggapi.
ISSN : 2355-9284
iv
JURNAL DESAIN INTERIOR
SEKOLAH TINGGI DESAIN BALI
VOLUME 5 NOMOR 1 TAHUN 2018
DAFTAR ISI
COVER
PENGANTAR REDAKSI i
TIM DEWAN REDAKSI ii
PETUNJUK PENGIRIMAN DAN TATA TULIS NASKAH iii
DAFTAR ISI iv
KUMPULAN JURNAL
PEMANFAATAN BAMBU RESIN SEBAGAI MATERIAL DEKORATIF PADA 1
FURNITURE INTERIOR
Ni Luh Kadek Resi Kerdiati
PENERAPAN WARNA PADA DESAIN INTERIOR RUANG KELAS TAMAN 9
KANAK-KANAK
Ni Made Sri Wahyuni Trisna
EKONOMI KREATIF: MENUAI KEMBALI KEHIDUPAN SANG BATU PADAS 18
YANG TERBUANG DALAM SEBUAH ORNAMEN ARSITEKTUR
TRADISIONAL BALI
I Kadek Pranajaya
STUDI AKSESORIS INTERIOR BERKONSEP ETNIK 26
PRODUK DESAIN KREATIF YANG ORIGINAL, UNIK, DAN KHAS
Ni Nyoman Sri Rahayu
TERBENTUKNYA KELAS ALAY DALAM KOMUNITAS REMAJA 30
DAN DESAIN YANG MENGIKUTINYA
Ni Kadek Yuni Utami
RELASI DESAIN DAN TATA LETAK FURNITURE TERHADAP 39
KENYAMANAN PENGUNJUNG URBAN CAFE
I Wayan Yogik Adnyana Putra
ISSN : 2355-9284
v
PERKEMBANGAN JARINGAN INFRASTRUKTUR PERKOTAAN 47
DAN DAMPAKNYA TERHADAP TATA RUANG
KOTA DENPASAR
Ni Luh Gede Niti Swari
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
1
PEMANFAATAN BAMBU RESIN SEBAGAI MATERIAL DEKORATIF
PADA FURNITURE INTERIOR
Ni Luh Kadek Resi Kerdiati
Dosen Program Studi Desain interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
E-mail : [email protected]
Abstrak
Dewasa ini kreativitas dalam pengolahan bambu sebagai material furniture makin berkembang. Salah
satunya yaitu melalui pengolahan material bambu dengan campuran bahan resin, atau yang sering
disebut dengan istilah bambu resin. Pengaplikasiannya pada produk furniture interior lebih bersifat
sebagai material dekoratif atau hiasan. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana proses
pembuatan material bambu resin, serta apa saja kelebihan dan kekurangan dari material ini. Metode
yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan data-data yang diperoleh melalui observasi,
wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. Seluruh data yang terkumpul selanjutnya dianalisis
menggunakan studi literatur, sehingga nantinya dapat menambah wawasan mengenai aplikasi material
bambu resin ini pada furniture interior.
Kata Kunci : Bambu Resin, Dekoratif, Furniture
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
2
PENDAHULUAN
Bambu merupakan jenis material yang bisa
ditemui hampir diseluruh wilayah Indonesia.
Selain mudah didapat, tanaman bambu dapat
tumbuh dengan baik sekalipun tanpa
pemeliharaan khusus. Bambu mampu tumbuh
dengan cepat, yaitu mencapai lebih dari 60 cm
per hari tergantung kondisi tanah dan iklim
setempat. Ketinggian pohon bambu bervariasi,
dari 100 cm - 300 cm, dengan diameter kayu
antara 7,5 cm -18 cm (Hartanti, 2010: 12).
Mudah didapat dan tersedia dalam jumlah
banyak membuat harga bambu jauh lebih
murah apabila dibandingkan dengan jenis kayu
solid. Dari sisi pengolahan, bambu merupakan
salah satu material yang mudah diolah dengan
menggunakan alat-alat sederhana. Memiliki
begitu banyak keunggulan menjadikan bambu
sebagai material yang cukup digemari dengan
pemanfaatan yang sangat beragam. Salah satu
bentuk pemanfaatannya yaitu sebagai bahan
baku pembuatan furniture, baik yang bersifat
bahan baku utama maupun bahan baku
pelengkap.
Dewasa ini kreativitas dalam pengolahan
bambu sebagai material furniture makin
berkembang. Salah satunya yaitu pengolahan
material bambu dengan campuran bahan resin,
atau yang sering disebut dengan bambu resin.
Bambu resin merupakan material yang terbuat
dari potongan-potongan bambu yang disusun
sedemikin rupa pada sebuah papan, kemudian
bagian atasnya dilapisi dengan cairan resin.
Material bambu resin merupakan jenis
material yang lebih mengandalkan teknik
manual dalam pembuatannya, terutama pada
saat penyusunan potongan-potongan bambu
sebelum dilapisi cairan resin. Untuk
menghasilkan hasil yang maksimal sangat
memerlukan ketelitian dan kesabaran.
Keunggulan utama dari teknik bambu resin ini
adalah bahan pembentuknya dapat
menggunakan sisa-sisa potongan bambu yang
sudah tidak terpakai lagi dari pengolahan
sebelumnya.
Dalam industri furniture, penggunaan material
bambu resin sifatnya lebih sebagai material
dekoratif yang bertujuan untuk meningkatkan
nilai estetika. Sebagai material dekoratif,
bambu resin dapat dipadukan dengan material
utama lain seperti kayu solid maupun papan
laminasi (blockboard, multiplek, MDF, dan
lain-lain). Motif dari material bambu resin
dapat memberikan sentuhan yang unik dan
mewah bagi furniture, serta cocok digunakan
untuk berbagai konsep ruangan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat
bahwa pemanfaatan bambu resin sebagai
material dekoratif pada furniture memiliki
banyak kelebihan dan kekurangan.
Pembahasan mengenai material ini begitu
menarik, karena merupakan suatu hal yang
unik dan dapat dikembangkan lebih jauh
sebagai inspirasi untuk menciptakan material
baru lainnya.
METODE PENELITIAN
Penulisan ini menggunakan metode kualitatif,
yaitu melalui pemaparan hasil analisis secara
deskriptif mengenai topik penelitian bambu
resin yang digunakan sebagai material
dekoratif pada furniture. Data-data yang
dibutuhkan diperoleh melalui observasi
langsung ke lapangan, wawancara,
dokumentasi proses pembuatan bambu resin,
dan melalui teknik kepustakaan. Seluruh data
yang terkumpul selanjutnya dianalisis
menggunakan studi literatur, sehingga
nantinya dapat menambah wawasan mengenai
aplikasi material ini pada furniture.
TINJAUAN TEORI
1. Bambu Resin
Bambu secara botanis dapat digolongkan pada
family Gramineae (rumput), karena berbeda
dengan kayu bambu tidak mengenal
perkembangan pada gemang. Bambu memiliki
berbagai jenis, namun diantara berbagai jenis
bambu tersebut salah satu yang paling sering
digunakan adalah bambu petung. Bambu
petung merupakan jenis bambu yang amat kuat
dan berdinding tebal. Memiliki ruas yang
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
3
pendek, serta tidak begitu liat. Mengenai
ukuran, bambu petung mempunyai garis
tengah 8 – 13cm dengan panjang batang
mencapai 10-18 m (Frick, 1999: 47).
Resin sebenarnya merupakan cairan getah
lengket yang berasal dari tumbuhan pohon.
Namun seiring perkembangan jaman resin
organic semakin sulit ditemukan, sehingga
manusia mulai mengembangkan resin sintetik
yang terbuat dari campuran bahan kimia.
Resin memiliki sifat agak kental, cendrung
transparan, tidak larut dalam air, dan mudah
terbakar. Pengaplikasiannya dengan cara
mencampur resin dengan katalis yang
berfungsi sebagai pengeras. Tanpa
mencampurkannya dengan katalis, cairan resin
ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk
kering dan hasilnya tidak akan maksimal.
Fungsi cairan resin adalah sebagai pelindung
dan mempercantik tampilan permukaan bidang
benda (www.kerajinankreatif.com).
Gambar 1. Material Bambu Resin
Sumber : Dokumen Peneliti 2017
Berdasarkan penjelasan tersebut maka yang
dimaksud dengan bambu resin pada tulisan ini
adalah, sebuah produk olahan bambu petung
yang permukaannya dilapisi dengan cairan
resin yang berfungsi sebagai pelindung dan
untuk mempercantik tampilan permukaannya.
2. Material Dekoratif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
dekoratif berarti berkenaan dengan dekorasi.
Fungsi dekorasi sebagai elemen interior selalu
berkaitan dengan estetika. Estetika berasal dari
bahasa Yunani Kuno aestheton, yang berarti
kemampuan melihat lewat pengindraan.
Secara sempit, estetika diartikan sebagai
filsafat yang memperhatikan atau berhubungan
dengan segala sesuatu hal yang indah pada
alam dan seni (Dharsono, 2007: 6).
Pendapat lainnya mengatakan bahwa unsur
dekoratif merupakan kumpulan dari berbagai
unsur yang tergabung dalam satu unit yang
serasi dengan fungsi sebagai satu kesatuan
yang harmonis. Dalam dunia desain,
keberadaan unsur dekoratif sangatlah penting.
Unsur dekoratif umumnya dibuat lebih
mencolok dibandingkan unsur dasar dalam
desain baik dari segi penggunaan warna, motif,
tekstur, maupun ukuran. Hal tersebut akan
mempengaruhi efek pandang seseorang,
sekaligus digunakan sebagai penanda. Itu
mengapa unsur dekoratif umumnya berfungsi
sebagai vocal point atau daya tarik dalam
sebuh desain. (Suptandar, 1999: 196,215).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengertian dari material
dekoratif pada tulisan ini yaitu material yang
bersifat sebagai elemen estetis untuk
meningkatkan nilai keindahan dari sebuah
produk.
3. Furniture Interior
Furniture dalam interior merupakan salah satu
pemenuh kebutuhan manusia dalam
beraktifitas. Dalam sebuah perancangan harus
dipelajari terlebih dahulu mengenai aktifitas
manusianya, barulah setelah itu bentuk
furniture bisa ditentukan. Penyusunan
furniture akan menimbulkan berbagai aspek
yang berhubungan dengan aktifitas, fungsi,
maupun visual. Seluruh aspek tersebut
nantinya akan saling berkaitan antara satu
dengan yang lain. Hal tersebut menjadi alasan
mengapa sebuah furniture tidak hanya harus
nyaman digunakan, tetapi juga harus
mendukung faktor estetika melalui
tampilannya (Suptandar, 1999: 172-173).
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
4
Berdasarkan lokasi penempatannya, furniture
dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu
furniture indoor dan outdoor. Furniture indoor
adalah jenis furniture yang ditempatkan pada
dalam ruangan, sedangkan untuk furniture
outdoor merupakan jenis furniture khusus
untuk luar ruangan. Jenis furniture outdoor
umumnya memerlukan finishing dan bahan
material yang tahan cuaca seperti kayu solid,
stainless steel atau aluminium. Furniture
outdoor bisa gunakan di dalam ruangan,
namun furniture indoor akan rusak apabila
dipindahkan ke luar ruangan.
Pada penulisan ini jenis furniture yang akan
dibahas adalah jenis furniture indoor, karena
material bambu resin tersebut merupakan jenis
material yang akan rusak bila terlalu sering
terkena paparan cuaca. Sehingga akan lebih
cocok digunakan sebagai unsur dekoratif pada
furniture indoor.
ANALISIS
1. Proses Pembuatan Bambu Resin
Hal pertama yang dilakukan dalam proses
pembuatan bambu resin adalah
mempersiapkan alat dan bahan yang
dibutuhkan.
Bahan-bahan yang digunakan cukup sederhana
yaitu:
- Bambu petung yang sudah cukup tua,
- Papan plywood 10mm atau 15mm,
- Lem G atau lem fox putih,
- Cairan resin dan katalis.
Sedangkan untuk peralatan utama yang di
perlukan yaitu:
- Mesin gerinda untuk memotong,
- Palu,
- Pisau cutter,
- Amplas untuk menghaluskan,
- Gelas plastik untuk mencampur cairan
resin.
- Kuas.
Setelah bahan dan peralatan siap, proses
pembuatan diawali dengan memotong bambu
secara horizontal dengan tebal kurang lebih
5mm dengan menggunakan mesin gerinda.
Bahan bambu yang digunakan adalah jenis
bambu petung, hal tersebut karena bambu
petung memiliki dinding yang tebal. Bambu
yang telah dipotong kecil-kecil kemudian
dijemur hingga benar-benar kering, tujuannya
adalah agar bambu menjadi lebih awet dan
tidak mengeluarkan serbuk atau lapuk.
Gambar 2. Proses Pengeringan Potongan Bambu
Sumber : Dokumen peneliti 2017
Setelah potongan bambu tersebut benar-benar
kering, langkah selanjutnya adalah proses
penempelan atau perakitan. Pada proses ini
diperlukan papan plywood sebagai bidang
kerja, ketebalan papan plywood yang
digunakan berkisar antara 10-15mm. Sebelum
ditempeli dengan potongan bambu, pastikan
ukuran papan plywood sudah benar-benar
disesuaikan dengan kebutuhan, karena apabila
papan bambu resin telah tertempel rata, akan
sangat sulit untuk memotong atau
menyesuaikan ukurannya kembali.
Memaksakan memotong papan kayu resin
yang telah jadi akan merusak komposisi
susunan bambu.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
5
Gambar 3. Proses Penempelan Atau Perakitan
Potongan Bambu Pada Papan Plywood
Sumber : Dokumen peneliti 2017
Potongan-potongan bambu kering tersebut
disusun sedemikian rupa dan ditempel satu
persatu pada papan plywood dengan
menggunakan lem G atau lem fox putih. Untuk
membantu mendapatkan komposisi bentuk
yang diinginkan, pengerajin menggunakan
pisau cutter untuk merapikan bagian pinggiran
bambu. Sedangkan untuk membuat efek
retakan, potongan bambu tersebut dipukul-
pukul terlebih dahulu dengan menggunakan
palu. Namun tekanan pukulan palu tidak boleh
terlalu keras agar bambu tidak hancur.
Pada proses ini sangat diperlukan kesabaran
dan ketelitian tinggi untuk dapat menghasilkan
sebuah papan bambu resin yang berkualitas.
Proses inilah yang memakan waktu lama dan
memiliki tingkat kesulitan paling tinggi,
karena pemasangan potongan bambu
dilakukan satu persatu secara manual.
Gambar 4. Proses Penempelan Atau Perakitan
Potongan Bambu Pada Papan Plywood
Sumber : Dokumen peneliti 2017
Papan plywood yang telah penuh ditempeli
potongan bambu kering permukaannya
cendrung masih bersifat kasar dan kurang rata,
sehingga pada tahap ini permukaan papan
perlu diamplas hingga menjadi lebih halus.
Sebelum melakukan proses pengamplasan,
pastikan lem telah benar-benar kering agar
tidak ada potongan bambu yang lepas. Setelah
permukaan papan menjadi lebih halus melalui
proses pengamplasan, selanjutnya adalah
proses coating atau pelapisan menggunakan
cairan resin.
Gambar 5 : Tampilan Papan Bambu Yang Telah
Dilapisi Resin Permukaannya
Sumber : Dokumen peneliti 2017
Sebelum proses coating, pastikan permukaan
papan telah rata, bersih, dan tidak
basah/berminyak, karena hal tersebut akan
menyebabkan hasil akhir yang kurang baik.
Cairan resin dan katalis merupakan cairan
kimia yang cukup beresiko dengan kesehatan,
sehingga pastikan menggunakan alat
pelindung seperti sarung tangan dan masker
saat melakukan proses ini. Setelah semua
peralatan siap, tuangkan sedikit demi sedikit
campuran cairan resin dan katalis keatas
permukaan papan bambu. Pergunakan kuas
untuk memastikan seluruh lubang dan celah
tertutup cairan coating, setelah itu diamkan
hingga lapisan resin benar-benar kering.
Gambar 6. Penerapan Bambu Resin Pada Meja Tulis
Sumber : Dokumen peneliti 2017
Setelah lapisan resin mengering, papan bambu
resin dapat dikatakan telah selesai. Tahap
selanjutnya adalah menempelkan papan bambu
resin tersebut pada bidang furniture. Jenis
furniture yang cocok menggunakan papan
bambu resin ini adalah jenis furniture indoor
dan bukan outdoor, karena papan bambu resin
akan rusak apabila terpapar cuaca secara
langsung terus-menerus. Seperti yang telah di
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
6
jelaskan sebelumnya, penerapan material
bambu resin ini pada furniture sifatnya adalah
dekoratif atau hiasan. Pada furniture meja tulis
di atas contohnya, papan bambu resin
digunakan sebagai penutup laci agar
tampilannya lebih menarik.
2. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan
Bambu Resin Sebagai Material Dekoratif
Furniture
a. Kelebihan
- Meningkatkan nilai keindahan/ estetika
Salah satu fungsi furniture dalam ruangan
selain harus mampu mendukung aktifitas
manusia adalah harus mampu mendukung
faktor estetika atau keindahan. Itu mengapa
sebuah furniture yang baik harus bisa nyaman
digunakan, sekaligus juga harus mampu
membuat tampilan ruang menjadi lebih indah.
Fungsi estetika inilah yang sebenarnya
mendasari mengapa papan bambu resin
digunakan sebagai sebuah material dekoratif
pada furniture.
Bambu resin merupakan jenis material yang
menonjolkan motif dan warna alami bambu
sebagai daya tarik, seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Susunan dan efek
retakan membuat tampilan furniture menjadi
lebih unik dan memiliki daya tarik.
Gambar 7 : Bambu resin sebagai vocal point
Sumber : Dokumen peneliti 2017
Dalam teori estetika dikenal adanya istilah
aksentuasi atau vocal point. Aksentuasi adalah
sentuhan pada suatu komposisi yang
kehadirannya seolah dominan, proporsional,
dan terukur dalam komposisi tersebut (Irawan,
2013: 42). Menciptakan sebuah aksentuasi
dapat dicapai melalui penerapan bentuk,
warna, motif, maupun ukuran yang dibuat
lebih menonjol. Pemakaian motif atau pola,
warna, atau garis yang berirama dengan gaya
yang diulang-ulang dapat menjaga kesatuan
bentuk dan proporsi secara keseluruhan
(Suptandar, 1999: 196).
Gambar 6 : Varian motif bambu resin
Sumber : www.archiwallpanels.com, 2018
Berbeda dengan kayu solid yang dapat diolah
menjadi material dengan ukuran seragam,
bambu memiliki bentuk bulat dan berongga
dengan dimensi yang sangat bervariasi.
Sehingga akan sedikit sulit apabila mencari
bambu dengan ukuran yang benar-benar sama
presisi. Tetapi kekurangan tersebut justru
memberikan keuntungan lain. Dengan ukuran
yang bervariasi, material bambu resin dapat
diolah menjadi berbagai bentuk motif yang
unik dan dapat diaplikasikan ke dalam
berbagai elemen ruang untuk menambah nilai
estetis. Gambar di atas merupakan beberapa
contoh kreasi motif bambu resin.
- Pelestarian lingkungan melalui
pemanfaatan limbah bambu
Sejak dulu permasalahan lingkungan memang
selalu menjadi topik yang disoroti, hingga
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
7
muncul sebuah konsep go green yang berfokus
pada bagaimana menciptakan sebuah produk
yang berfokus pada aspek ramah lingkungan
dan tidak merusak alam. Salah satunya
langkah nyata dalam penerapan konsep go
green adalah dengan pemanfaatan limbah
menjadi sesuatu yang bisa digunakan kembali.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
pembahasan sebelumnya telah dijelaskan pula
bahwa bahan pembentuk bambu resin tidak
hanya bersumber dari material baru, namun
dapat juga memanfaatkan material sisa atau
limbah bambu yang sudah tidak terpakai lagi
dari proses sebelumnya. Walaupun sebenarnya
limbah bambu adalah jenis limbah organic
yang dapat diuraikan kembali secara alami,
namun pengolahannya menjadi sebuah produk
baru akan lebih bermanfaat.
Selain dapat memanfaatkan limbah bambu,
penerapan bambu resin ke dalam furniture
juga dapat menjadi sebuah alternatif
pengembangan jenis material baru. Sehingga
produksi furniture tidak hanya terpaku pada
material kayu, yang kini persediaannya sudah
mulai menipis.
b. Kekurangan
- Menggunakan material resin yang
beresiko bagi kesehatan
Salah satu bahan pembentuk bambu resin
adalah cairan resin yang dicampurkan dengan
katalis. Kedua cairan tersebut merupakan
bahan kimia yang dapat menimbulkan bau
sangat menyengat apabila dicampurkan.
Efeknya adalah dapat menimbukan gangguan
pernafasan atau sesak nafas, selain itu bila
campuran cairan resin ini terkena kulit akan
menimbulkan efek panas dan gatal. Cara
penanggulangannya apabila terkena kulit
adalah segera membasuhnya dengan sabun dan
pada air mengalir. Maka dari itu hendaknya
gunakanlah pelindung seperti kaca mata kerja,
sarung tangan dan masker pelindung saat
mengerjakan proses coating dengan cairan
resin untuk mengurangi resiko.
- Memerlukan waktu produksi yang cukup
lama dan harga relatif mahal
Bambu resin merupakan material yang
umumnya dapat diproduksi oleh industri kecil
dan menengah. Dalam pembuatannya lebih
banyak menggunakan teknik dan alat yang
sederhana, bahkan sebagian prosesnya
dikerjakan secara manual. Itu mengapa
material bambu resin ini memerlukan waktu
yang cukup lama untuk proses produksinya,
terlebih jika papan yang harus dibuat
ukurannya cukup besar. Selain itu harganya
pun cukup mahal, yaitu berkisar diharga
Proses pengerjaan yang cukup lama ini dapat
menjadi penghambat apabila diperlukan untuk
produksi dalam skala besar dan memiliki
waktu terbatas, serta harganya yang cukup
tinggi membuat material ini hanya dapat
digunakan oleh kalangan tertentu.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
- Bambu resin merupakan jenis material
yang dapat dikembangkan pada industri
kecil dan menengah, karena bahan-bahan
yang diperlukan mudah didapat dan proses
pembuatannya lebih banyak menggunakan
teknik manual serta alat sederhana.
- Penerapan bambu resin sebagi material
dekoratif dapat memberikan manfaat tidak
hanya untuk menambah keindahan bagi
furniture interior, tetapi juga dapat
menjadi salah satu alternatif material baru
dan ikut melestarikan lingkungan melalui
pemanfaatan limbah bambu.
- Namun pemanfaatan bambu resin juga
masih memiliki kekurangan yaitu dapat
beresiko pada kesehatan dan proses
pembuatannya yang manual cendrung
membutuhkan waktu lama sehingga
harganya pun menjadi mahal.
DAFTAR PUSTAKA
Dharsono, Sony Kartika. 2007. Estetika.
Bandung: Rekayasa Sains.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
8
Frick, Heinz & Ch. Koesmartadi. 1999. Ilmu
Bahan Bangunan. Yogyakarta: Kanisius
Hartanti, Grace. 2010. Keberadaan Material
Bambu Sebagai Subtitusi Material Kayu Pada
Penerapan Desain Interior Dan Arsitektur.
Jurnal Humaniora Vol.1 No.1 April 2010: 11-
19. Jurusan Desain Interior, Fakultas
Komunikasi Multimedia, Universitas Bina
Nusantara
Irawan, Bambang & Priscilla Tamara. 2013.
Dasar-Dasar Desain. Jakarta: Griya Kreasi.
Suptandar, J. Pamudji. 1999. Desain Interior:
Pengantar Merencana Interior Untuk
Mahasiswa Desain dan Arsitektur. Jakarta:
Djambatan
Sumber Website:
Tolu, Admin. 2017, Cara Melapisi Kayu
Dengan Resin, (online),
(http://www.kerajinankreatif.com/2017/04/mel
apisi-kayu-dengan-resin.html, diakses tanggal
28 Januari 2018)
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
9
PENERAPAN WARNA PADA DESAIN INTERIOR RUANG KELAS TAMAN
KANAK-KANAK
Ni Made Sri Wahyuni Trisna, S.Sn, M.Sn
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: [email protected]
Abstrak
Ruang kelas merupakan tempat yang dipergunakan untuk kegiatan belajar anak di Taman Kanak-
kanak. Kegiatan belajar di ruang kelas dapat berjalan dengan baik apabila suasana interior kelas sudah
sesuai dengan kebutuhan pendidikan anak, karena penataan dan suasana ruang kelas secara psikologis
dapat memotivasi anak untuk lebih semangat mengukuti kegiatan belajar dan bermain. Menciptakan
kondisi dan suasana kelas yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan anak, dapat dilakukan dengan
memanfaatkan unsur-unsur desain yang terdapat pada elemen ruang seperti elemen pembentuk ruang
(lantai, dinding, dan plafon), furniture, utilitas, dan aksesoris. Salah satu unsur desain yang dapat
menstimulus panca indera anak-anak adalah warna. Penerapan warna pada interior kelas dapat
berfungsi lebih dari sekedar dekorasi, tetapi juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap jiwa
anak-anak seperti membangkitkan semangat, menambah respon kreativitas dan imajinasi sehingga
dapat memberikan motivasi belajar dan meningkatkan kualitas belajar anak maupun guru.
Kata Kunci: Warna, Interior, Taman Kanak-Kanak
Abstract
Classroom is a place used for children's learning activities in Kindergarten. Learning activities in the
classroom can run well if the interior atmosphere of the classroom is in accordance with the needs of
children's education, because the arrangement and atmosphere of the classroom can psychologically
motivate a child to learn and follow class activities. Creating a classroom conditions according to the
needs of child education can be done by utilizing the elements of design such as the elements of space
(floors, walls, and ceiling), furniture, utilities, and accessories. One of the design elements that can
stimulate the senses of children is color. Application of color in the interior of the class can function
more than decoration, but also has a very strong influence on the souls of children such as arousing,
increasing the response of creativity and imagination so as to provide motivation to learn and
improve the quality of learning of children and teachers.
Key word: Colour, Inteior, Kindergarten
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
10
PENDAHULUAN
Masa usia prasekolah (4-6 tahun) merupakan
masa untuk meletakkan dasar pertama dalam
pengembangan kemampuan fisik, emosi,
kognitif, moral, nilai agama, konsep diri, seni
dan kemandirian. Perkembangan anak akan
sangat terbantu apabila dimasukkan ke Taman
Kanak-kanak (TK), Taman Kanak-kanak
merupakan lembaga pendidikan formal
pertama bagi anak yang dapat membantu
perkembangan anak, prilaku, pengetahuan,
keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan
oleh anak dalam beradaptasi dengan
lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta
perkembangan anak selanjutnya.
Salah satu tugas utama Taman Kanak-kanak
adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran
sesuai dengan kurikulum yang berlaku, dan
pelaksanaanya tercermin dalam kegiatan
belajar mengajar. Untuk melakukan aktivitas
dan kegiatan tersebut diperlukan sarana dan
prasarana. Sarana dan prasaranan merupakan
salah satu faktor yang sangat berperan dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran di taman
Kanak-kanak. Fasilitas sarana dan prasarana
yang utama di lingkungan sekolah adalah
ruang kelas.
Ruang kelas merupakan tempat yang
dipergunakan untuk kegiatan belajar anak di
Taman Kanak-kanak. Kegiatan belajar di
ruang kelas dapat berjalan dengan baik apabila
suasana interior kelas sudah sesuai dengan
kebutuhan pendidikan anak, karena penataan
dan suasana ruang kelas secara psikologis
dapat memotivasi anak untuk lebih semangat
mengukuti kegiatan belajar dan bermain.
Fungsi utama ruang kelas bagi perkembangan
anak adalah menciptakan situasi belajar sambil
bermain yang dapat memberikan rasa aman,
nyaman, menarik dan menyenangkan bagi
anak dalam melakukan berbagai kegiatan
sehingga anak selalu betah berada di
lingkungan sekolah.
Dalam upaya menciptakan kondisi dan
suasana kelas yang sesuai dengan kebutuhan
pendidikan anak, dapat dilakukan dengan
memanfaatkan unsur-unsur desain yang
terdapat pada elemen ruang seperti elemen
pembentuk ruang (lantai, dinding, dan plafon),
furniture, utilitas, dan aksesoris. Unsur desain
yang diterapkan pada elemen interior kelas
mempunyai dampak yang dapat
mempengaruhi dan merangsang panca indera
manusia, terutama indera pengelihatan. Unsur-
unsur desain tersebut meliputi garis, bidang,
bentuk, ruang, warna, tekstur dan cahaya.
Unsur desain yang paling berperan dalam
menstimulus indera pengelihatan anak adalah
warna.
Warna sangat akrab dengan kehidupan anak.
Bagi anak, warna memiliki pengaruh yang
sangat kuat terhadap jiwa mereka seperti
membangkitkan semangat, menambah respon
kreativitas dan imajinasi, serta melalui warna
anak dapat mempelajari lingkungan sekitar.
Berdasarkan hal tersebut, penerapan warna
pada interior kelas dapat berfungsi lebih dari
sekedar dekorasi, tetapi juga berperan dalam
menunjang pendidikan anak. Penerapan warna
yang dapat menciptakan suasana sesuai
dengan fungsi ruang kelas dapat memberikan
motivasi belajar dan meningkatkan kualitas
belajar anak maupun guru, sehingga dalam
penerapan warna perlu memperhatikan fungsi
ruang kelas sebagi bagian dari fasilitas sarana
dan prasarana.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu melalui proses analisa yang
diuraikan secara deskriptif berdasarkan metode
observasi, kepustakaan, kajian internet
terhadap penerapan warna pada desain interior
Taman Kanak-Kanak.
TINJAUAN TEORI
1. Definisi Warna
Menurut Ching (1996 : 106), warna adalah
salah satu unsur dasar dalam persepsi visual
yang dimiliki oleh semua bentuk. Neufert (
1993 : 33) mendefinisikan bahwa warna
adalah kekuatan yang berpengaruh terhadap
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
11
kekeuatan manusia dan menyebabkan rasa
sehat atau rasa lesu, sikap aktif atau sikap
pasif. Berdasarkan kedua pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa warna merupakan
sifat manusia yang dimiliki oleh semua bentuk
yang secara psikologis berpengaruh kuat
terhadap suasana hati dan emosi manusia.
Dalam interior, warna dijadikan bahan
pertimbangan yang penting, seperti dalam
menata interior ruangan. Warna merupakan
media yang paling mudah diterapkan jika ingin
mengubah atau menciptakan suasana baru
sekaligus memperindah interior.
2. Sumber Warna
Sejak ditemukannya warna pelangi oleh Sir
Issac Newton, terungkap bahwa penyebab
terjadinya warna adalah cahaya. Sumber
cahaya dapat berupa matahari, lampu atau
sumber lainnya yang dapat mengeluarkan
cahaya. Warna dapat dihasilkan oleh cahaya
maupun pantulan cahaya, untuk benda-benda
yang tidak dapat mengeluarkann cahaya
sendiri. Hampir semua warna di alam ini
berasal dari obyek yang tidak mengeluarkan
cahaya sendiri, melainkan pantulan dari
cahaya matahari maupun sumber cahaya
lainnya.
3. Pengorganisasian Warna dalam Desain
Interior
Dewasa ini muncul berbagai sistem
pengorganisasian warna diantaranya sistem
Albert Munsell ( Munsell Albert System ).
Sistem ini lebih mudah dimengerti dan lebih
sederhana sehingga mudah dipergunakan.
Teori lingkaran warna Mussel dikenal dengan
tiga penggolongan warna yaitu:
Gambar 1. Lingkaran warna
Sumber : Dok. Penulis, 2017
a. Warna Primer
Warna primer merupakan warna utama dalam
pembentukan warna. Warna primer terdiri dari
tiga warna yaitu merah, kuning dan biru.
Ketiga warna ini disebut warna primer karena
warna-warna ini merupakan warna dasar yang
tidak dapat dihasilkan dari kombinasi warna
lainnya. Warna primer merupakan warna yang
paling mudah dikenali. Warna primer biasanya
digunakan untuk interior kamar anak, karena
warna primer sangat efektif dalam menstimulsi
indera pengelihatan serta proses belajar anak
dalam mengenal warna (Akmal, 2006:52).
b. Warna Sekunder
Warna sekunder adalah warna yang dihasilkan
oleh campuran dua warna sekunder dengan
perbandingan warna yang sama. Pada lingkar
warna. Warna sekunder terletak tepat ditengah
antara warna primer. Tiga warna sekunder
tersebut meliputi :
Tabel 1. Warna Sekunder
Warna
Primer I
Campuran Warna
Primer II
Hasil
Warna
Merah + Kuning Jingga
Kuning + Biru Hijau
Biru + Merah Ungu
Sumber : Dok.Penulis, 2017
c. Warna Tersier
Warna tersier adalah warna-warna yang
dihasilkan dari percampuran antara warna
primer dengan warna sekunder dengan
perbandingan warna yang sama. Warna tersier
terdiri dari enam warna yaitu:
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
12
Tabel 2 Warna Tersier
Warna
Primer
Campuran Warna
Sekunder
Hasil Warna
Kuning + Hijau Kuning hijau 9
Hijau limau)
Kuning + Jingga Kuning jingga
Merah + Jingga Meerah jingga
Merah + Ungu Merah ungu
Biru + Ungu Biru Ungu
biru + Hijau Biru hijau
(hijau toska)
Sumber : Dok.Penulis, 2017
4. Karakteristik Warna
Karakteristik warna adalah ciri-ciri atau sifat-
sifat khas yang dimiliki oleh suatu warna.
Setiap warna memiliki karakteristik tertentu.
Secara garis besar sifat khas yang dimiliki oleh
warna ada dua golongan (Prasojo,2003:20)
yaitu:
a. Warna Panas/Hangat (warna api dan
matahari)
Warna yang termasuk golongan panas dimulai
dari warna merah, merah jingga, jingga, jingga
kuning, kuning. Warna hangat memiliki sifat
positif, agresif, aktif dan merangsang. Bila
diaplikasikan pada interior, warna hangat
memiliki kesan jarak yang lebih pendek.
b. Warna Dingin/Sejuk (warna langit, air dan
rumput yang menghijau sejuk)
Warna yang termasuk golongan dingin dimulai
dari warna hijau kuning, hijau, hijau biru, biru,
biru ungu dan ungu. Warna sejuk memiliki
sifat negatif, mundur, tenang dan aman. Bila
diaplikasikan pada interior , warna hangat
member kesan jarak yang lebih jauh.
Gambar 2. Lingkar Warna Panas dan Dingin
Sumber : Dok. Penulis, 2017
Selain sifat-sifat warna diatas, warna juga
memiliki karakteristik lain seperti:
- Warna gelap : merah jingga, merah, merah
ungu, ungu, ungu biru, biru.
- Warna terang : jingga, jingga kuning,
kuning, kuning hijau.
Berdasarkan keterangan diatas terdapat enam
sifat warna yaitu:
- Warna hangat dan terang: kuning, kuning
jingga, jingga
- Warna hangat dan gelap: jingga merah,
merah, merah ungu
- Warna sejuk dan terang: kuning hijau,
hijau, hijau biru
- Warna sejuk dan gelap: biru, biru ungu,
ungu
5. Asosiasi dan Psikologi Warna
Secara umum diketahui bahwa warna dapat
mempengaruhi psikologi manusia. Warna
memiliki kemampuan untuk menimbulkan
suatu kesan atau perasaan bagi yang melihat
atau yang menggunakan. Kesan yang tercipta
dari warna tergantung pada intensitas dan nilai
warna tersebut. Berikut ini adalah asosiasi
yang ditimbulkan oleh beberapa warna yang
sering digunakan dalam desain interior
menurut Akmal (2006:8) yaitu sebagai berikut:
a. Warna merah (warna primer)
Dalam lingkar warna, merah adalah warna
yang paling panas. Warna merah memiliki
asosiasi pada sesuatu yang membangkitkan
selera, gairah, dan semangat yang membara,
semarak namun juga bisa marah, emosi dan
agresif. Penerapan warna merah pada interior
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
13
ruang menimbulkan suasana hangat. Sedikit
warna merah pada interior sudah cukup untuk
menarik perhatian dan member pengaruh
untuk mengubah suasana ruang.
b. Warna jingga
Warna jingga adalah warna yang paling hangat
karena memiliki dua energi yaitu warna merah
yang panas dan warna kuning yang hangat
lembut. Secara psikologis, jingga
melambangkan persahabatan, dan menciptakan
suasana akrab serta mampu merangsang
kreativitas dan daya cipta. Warna jingga
cocok diterapkan pada interior rumah dan
ruang belajar anak karena menjadikan ruang
lebih inspiratif untuk berkreasi dan membuat
hati gembira.
c. Warna kuning (warna primer)
Warna kuning sangat popular untuk
membangkitkan suasana gembira dan
menyenangkan. Secara psikologis warna
kuning dikaitkan dengan kecerdasan,
kejujuran, ide baru, kepercayaan diri, memberi
semangat dan optimisme. Warna kuning juga
membantu menghadapi rasa takut,
menghilangkan keragu-raguan dan depresi.
Penerapan warna kuning dalam interior ruang
dapat menceriakan suasana ruang.
d. Warna hijau
Warna hijau identik dengan pemandangan
alam sehingga sangat cocok untuk
merefleksikan kesegaran dan relaksasi. Dalam
lingkaran warna, warna hijau terletak diantara
warna hangat dan warna dingin, sehingga
warna hijau mencerminkan keharmonisan dan
mampu mencitakan karakter yang berbeda.
Warna hijau terkesan segar, ringan,
menyenangkan, sejuk dan cenderung dingin.
Penerapan warna hijau pada interior ruang
meninmbulkan suasana yang menyenangkan
dan alami.
e. Warna biru (warna primer)
Warna biru diasosiasikan dengan warna air
dan langit sehingga member kesan dingin,
diam dan tenang. Warna biru dalam lingkaran
warna merupakan warna yang paling dingin.
Biru melambangkan ketegasan, kepercayaan,
kewibawaan, kebijaksanaan, dn kematangan
berpikir dalam mengambil keputusan.
Penerapan warna biru pada interior ruang
menimbulkan suasana ruang yang
menyenangkan dan menyegarkan.
f. Warna ungu
Ungu merupakan warna yang unik karena
karakternya berubah-ubah begitu drastis
tergantung intensitasnya. Pada lingkaran
warna, ungu merupakan kombinasi antara dua
warna dengan karakter yang berseberangan
yaitu merah dan biru. Warna ungu dengan
dominasi merah adalah warna yang kuat dan
mencerminkan kemuliaan, kagungan, dan
kemewahan, sedangkan warna ungu yang
dominasi biru memiliki karakter khidmat,
spiritual dan mistis. Penerapan warna ungu
dalam interior ruang menimbulkan suasana
ruang yang anggun.
PEMBAHASAN
1. Penerapan Warna pada Interior Ruang
Taman Kanak-Kanak
Penerapan warna yang tepat untuk interior
sekolah dapat meningkatkan proses belajar
mengajar untuk para siswa dan guru.
Berdasarkan hal tersebut, maka warna yang
diterapkan pada interior kelas adalah warna-
warna yang dapat menciptakan kondisi dan
suasana ruang kelas yang sesuai dengan
kebutuhan anak dalam kegiatan belajar
mengajar.
Dalam upaya menciptakan suasana ruang kelas
sesuai dengan kebutuhan anak prasekolah
dapat melalui penerapan warna pada elemen-
elemen desain interior seperti:
a. Elemen Pembentuk ruang
Elemen pembentuk ruang meliputi lantai,
dinding dan plafon. Lantai merupakan alas
dari kegiatan anak di dalam ruang kelas.
Menurut Suptandar (1999:132), lantai untuk
ruang yang memerlukan konsentrasi,
memerlukan corak dan warna lantai yang tidak
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
14
terlalu banyak agar tidak mengganggu dan
menekan. Berdasarkan pendapat tersebut,
maka warna-warna muda yang mendekati
warna putih sesuai untuk diterapkan pada
lantai ruang kelas. Dinding merupakan bagian
dari interior kelas yang sering digunakan untuk
membentuk suasana. Ada dua cara yang dapat
dilakukan agar dinding tampil lebih menarik,
yaitu dengan menerapkan dua warna cat dan
melapisi dengan pelapis dinding seperti
wallpaper karena memiliki nilai artistik yang
tinggi. Warna yang sesuai dengan plafon kelas
adalah warna putih atau mendekati putih
karena baik untuk memantulkan cahaya dan
membuat mata menjadi tidak penat.
Penampilan plafon dapat diolah lebih menarik
dengan cara memainkan aksen warna atau
dengan melukis plafon yang dapat
memberikan efek melegakan dan membuat
anak seolah tidak berada di ruangan. Warna
plafon yang sebaiknya dihindari adalah merah,
coklat tua, biru tua, dan hitam karena
menimbulkan kesan ruang yang kurang
menyenangkan (Tabloid Rumah, edisi
134.IV).
Gambar 3. Contoh Elemen Pembentuk Ruang pada
Interior Ruang Taman Kanak-Kanak
Sumber: Dok. Penulis, 2017
b. Mebel/Furniture
Perabot merupakan kebutuhan paling penting
bagi penyelenggara TK. Mebel utama yang
ada di ruang kelas TK adalah meja, kursi dan
rak simpan. Mebel untuk anak harus memiliki
desain yang dapat memenuhi fungsi utama dan
fungsi tambahan serta dicat dengan warna-
warna yang bervariasi sehingga dapat
membantu anak dalam berkreativitas dan
berimajinasi (Wulansari: 2007:44).
Gambar 4. Contoh Furniture pada Interior Ruang
Taman Kanak-Kanak
Sumber: Dok. Penulis, 2017
c. Aksesoris
Aksesoris yang bermanfaat dalam ruang kelas
adalah hasil karya anak dan alat peraga atau
sumber balajar yang dapat mendukung
penerapan tema dalam ruang kelas. Prinsip alat
dan sumber belajar dalam ruang kelas adalah
tidak membahayakan, sesuai dengan fungsi,
memenuhi unsure keindahan, dapat digunakan
secara individual atau kelompok serta
memiliki warna yang dapat menstimulus
imajinasi dan kreativitas anak (Pedoman
Pengelolaan Taman Kanak-kanak, 2007:43).
Aksesoris dalam kelas juga dapat berupa
aksesoris incidental, seperti corak wallpaper
atau lukisan tokoh yang menempel pada
diding, serta aksesoris dekoratif seperti
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
15
tanaman atau hiasan yang menempel atau
menggantung pada dinding, jendela atau
plafon.
Gambar 5. Contoh Aksesoris pada Interior Ruang
Taman Kanak-Kanak
Sumber: Dok. Penulis, 2017
d. Utilitas
Utilitas yang paling berperan dalam mengenali
warna adalah cahaya, sehingga hanya
pencahayaan yang akan dibahas pada elemen
utilitas.Berdasarkan sumber cahaya,
pencahayaan yang diterapkan pada ruang kelas
ada dua, yaitu pencahayaan alami dan
pencahayaan buatan. Cahaya alami adalah
cahaya yang bersumber dari alam, seperti
matahari. Cahaya putih dari sinar matahari
dianggap paling tepat untuk
mengidentifikasikan warna (Akmal,2006:18).
Cahaya buatan adalah cahaya yang dibuat oleh
manusia seperti cahaya lampu pijar dan lampu
berpedar (Neon, TL, Fluorescent).
Gambar 6. Contoh Penerapan Lampu TL pada
Interior Ruang Taman Kanak-Kanak
Sumber: Dok. Penulis, 2017
2. Peran Warna pada Interior Taman Kanak-
Kanak
Secara umum, peran warna dalam mendukung
program belajar mengajar di Taman Kanak-
kanak diantaranya:
a. Stimulus (menambah respon kreativitas
dan memperkuat imajinasi)
Warna digunakan sebagai stimulus yang dapat
mempengaruhi perkembangan jiwa dan otak
anak, warna-warna cerah seperti warna merah,
jingga dan kuning mampu menggali kreativitas
dan respon visual khususnya di usia
prasekolah. Menurut Akmal (2006), warna
merah cocok diterapkan pada ruang anak
untuk menggairahkan rasa ingin tahu dan
merangsang daya piker mereka. Warna jingga
mampu merangsang kreativitas dan daya cipta
sedangkan warna kuning secara psikologis
dikaitkan dengan kecerdasan, ide baru serta
kepercayaan potensi diri.
b. Sarana Pendidikan
Penerapan warna-warna primer pada elemen
interior dapat digunakan sebagai sarana untuk
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
16
mengajarkan warna-warna pada anak
prasekolah dan untuk melatih daya ingat anak
serta mampu merangsang gerak motorik pada
anak, seperti penerapan warna yang berbeda
pada rak atau lemari penyimpanan dapat
berfungsi sebagai kode yang membantu anak
untuk mengembalikan benda-benda
ditempatnya (Akmal, 2006:25).
c. Memfokuskan Perhatian Anak
Bila ingin memfokuskan anak pada hal
tertentu dalam ruang kelas, dapat
menggunakan warna agar mata anak terfokus
pada hal tersebut.Warna yang paling cepat
menarik perhatian anak dapat diambil dari
kelompok-kelompok warna yang cerah dan
kuat, seperti merah orange, dan kuning.
d. Mengatur Proporsi Ruang
Penerapan warna yang tepat dapat digunakan
untuk memperbaiki dimensi ruang yang
kurang proporsional. Pada prinsipnya,
penerapan warna dingin pada ruangan akan
memberikan ilusi jarak dan akan terasa
mundur. Sebaliknya warna hangat terutama
warna merah memberikan kesan jarak yang
lebih pendek. Warna cerah atau warna muda
menambah luas ukuran ruang dan ringan,
sebaliknya warna gelap akan terasa
mempersempit ukuran ruang dan berat.
e. Menciptakan suasana aktif, dinamis dan
keceriaan
Warna pada interior ruang kelas digunakan
untuk menciptakan suasana yang penuh
dengan keceriaan. Hal itu dikarenakan dunia
anak adalah dunia permainan yang penuh
dengan kegembiraan dan keceriaan. Warna-
warna yang dapat menghidupkan suasana
tersebut adalah warna-warna cerah atau muda.
Warna cerah terkesan aktif, menggairahkan
dan menyenangkan, sedangkan warna sejuk
yang cerah terkesan menenangkan, segar dan
menentramkan.
Gambar 7. Contoh Penerapan Warna Cerah pada
Interior Ruang Taman Kanak-Kanak
Sumber: Dok. Penulis, 2017
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
- Penerapan warna yang baik pada elemen
interior ruang kelas taman kanak-kanak
sebagai berikut:
Elemen pembentuk ruang
Pada lantai paling cocok diterapkan
warna-warna muda mendekati warna
putih. Untuk warna dinding dapat
menggunakan dua warna cat dan dengan
pelapis dinding seperti wallpaper agar
terlihat lebih menarik. Dan warna yang
sesuai dengan plafon kelas adalah warna
putih karena baik untuk memantulkan
cahaya.
Mebel
Mebel utama yang ada diruang kelas TK
adalah meja, kursi rak simpan yang dicat
dengan warna muda dan cerah yang dapat
menstimulus anak untuk berimajinasi dan
berkreativitas.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
17
Aksesoris
Aksesoris yang bermanfaat dalam ruang
kelas adalah hasil karya anak dan alat
peraga atau sumber balajar yang dapat
mendukung penerapan tema dalam ruang
kelas dengan menggunakan warna cerah
yang dapat menstimulus imajinasi dan
kreativitas anak.
Utilitas
Pencahayaan yang baik diterapkan pada
interior ruang kelas ada dua yaitu
pencahayaan alami bersumber dari
matahari dan pencahayaan buatan yang
meliputi penggunaan lampu TL, neon dan
fluorescant.
- Warna-warna yang diterapkan pada
interior ruang kelas taman kanak-kanak
adalah warna-warna yang dapat
menstimulus anak untuk berkreativitas dan
berimajinasi, warna yang dapat
memfokuskan perhatian anak dan warna
yang dapat menciptakan suasana aktif,
dinamis dan penuh keceriaan.
SARAN
Warna yang diterapkan pada ruang kelas
hendaknya dapat mendukung fungsi ruang
kelas agar penerapan warna dapat berperan
secara maksimal dalam mendukung proses
kegiatan belajar mengajar. Penerapan warna
bisa ditujukan pada segala elemen interior
kelas seperti elemen pembentuk ruang,
furniture, utilitas, dan aksesoris.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, Imelda. 2006. Menata Rumah dengan
Warna. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama
Ching, Francis D.K.1996. Ilustrasi Desain
Interior. Jakarta : Erlangga
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka
Neufert, Ernst. 1996. Data Arsitek Jilid I Edisi
33. Jakarta : Erlangga
Majalah Rumah Edisi 138.VI/10 Juni-23 Juni
2008
Suptandar, Pamudji. 1999. Desain Interior.
Jakarta : Djambatan.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
18
EKONOMI KREATIF: MENUAI KEMBALI KEHIDUPAN SANG BATU
PADAS YANG TERBUANG DALAM SEBUAH ORNAMEN ARSITEKTUR
TRADISIONAL BALI
I Kadek Pranajaya
Staf Pengajar Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: [email protected]
Abstrak
Ekonomi kreatif adalah penciptaan nilai tambah yang berbasis ide yang lahir dari kreativitas sumber
daya manusia (orang kreatif) dan berbasis ilmu pengetahuan, termasuk warisan budaya dan teknologi.
Kreativitas merupakan faktor pendorong munculnya inovasi atau penciptaan karya kreatif dengan
memanfaatkan penemuan yang sudah ada. Batu padas cetak ini merupakan salah satu kegiatan
ekonomi kreatif yang dilakukan kelompok industri di Bali. Batu alam padas merupakan salah satu
bahan bangunan yang digunakan sebagian masyarakat di Bali untuk memperindah bangunan
Arsitektur Bali. Pembuatan batu padas cetak ini salah satu alternatif rekayasa bahan bangunan untuk
dapat melestarikan arsitektur tradisional Bali di era saat ini yang mengalami banyak sekali tantangan.
Pembuatan padas cetak juga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan usaha bagi
pengerajin seni ukir padas di Bali. Peran pemerintah, perguruan tinggi juga sangat membantu untuk
menciptakan sebuah rekayasa material dan bahan bangunan alternatif untuk kelangsungan arsitektur
tradisional Bali sehingga tetap lestari. Penelitian ini mencoba untuk mengungkap proses kreatif
pengerajin batu padas dalam membuat rekayasa alternatif bahan bangunan yang digunakan dalam
ornamen Arsitektur Tradisional Bali
Kata Kunci: Batu Padas dan Ornamen Arsitektur Bali
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
19
LATAR BELAKANG
Konsep Ekonomi Kreatif berasal dari konsep
Industri Kreatif yang secara formal digunakan
oleh pemerintahan Perdana Menteri Inggris
Tony Blair di tahun 1997. Tony Blair
membentuk suatu badan yang dinamakan
Creative Industries Task Force (CITF) yang
berada di bawah Department of Culture,
Media and Sports (DCMS). Salah satu tugas
CITF adalah melakukan pemetaan kegiatan-
kegiatan, serta mengidentifikasi kebijakan
yang dapat mempromosikan
perkembangannya.
Bidang kreatif menjadi harapan baru bagi
Indonesia untuk dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sejalan
dengan prestasi ekonomi kreatif yang
berkontribusi dalam Pendapatan Domestik
Kotor (PDB) Indonesia. Pada tahun 2014,
kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap
PDB Indonesia mencapai 7,02% (tujuh koma
nol dua persen), dan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) pada periode 2015-2019, Ekonomi
Kreatif diharapkan dapat memberikan
kontribusi lebih dari 12% (dua belas persen).
Di bidang ekspor, Ekonomi Kreatif diharapkan
dapat menembus angka 12% dan telah
menggunakan tenaga kerja hingga 11% di
tahun 2015-2025 1. Kegiatan ekonomi
berdasarkan pada kreativitas, ketrampilan, dan
bakat individu untuk menciptakan daya kreasi,
dan daya cipta individu yang bernilai
ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan
masyarakat Indonesia 2. Arsitektur merupakan
salah satu dari enam belas (16) subsektor
ekonomi kreatif di Indonesia.
Tujuh isu strategis yang menjadi potensi
maupun tantangan yang perlu mendapatkan
perhatian para pemangku kepentingan dalam
1 Kerangka Kerja Teknis Pemetaan Regulasi Ekonomi Kreatif,
Kerjasama Antara Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi Badan
Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (BEKRAF) dengan
Direktorat Penelitian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2016 2 Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan
Ekonomi Kreatif.
pengembangan ekonomi kreatif mendatang.
“Tujuh isu strategis dalam pengembangan
ekonomi kreatif,meliputi: (1) Ketersediaan
sumber daya kreatif yang profesional dan
kompetitif; (2) Ketersediaan sumber daya alam
yang berkualitas, beragam, dan kompetitif; dan
sumber daya budaya yang dapat diakses secara
mudah; (3) Industri kreatif yang berdaya saing,
tumbuh, dan beragam; (4) Ketersediaan
pembiayaan yang sesuai, mudah diakses dan
kompetitif; (5) Perluasan pasar bagi karya
kreatif; (6) Ketersediaan infrastruktur dan
teknologi yang sesuai dan kompetitif; dan (7)
Kelembagaan yang mendukung
pengembangan ekonomi kreatif 3.
Masa kini, ekonomi kreatif telah menjadi
penting, sebab bersumber pada kreativitas
yang merupakan sumber daya terbarukan.
Peran ekonomi kreatif ini akan menjadi
semakin penting di masa mendatang, terutama
saat sumber daya yang tidak terbarukan
semakin terbatas atau langka4. Kemampuan
untuk mewujudkan kreativitas yang diramu
dengan sense atau nilai seni, teknologi,
pengetahuan dan budaya menjadi modal dasar
untuk menghadapi persaingan ekonomi,
sehingga munculah ekonomi kreatif sebagai
alternatif pembangunan ekonomi guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain 16 sektor ekonomi kreatif ada 5 aktor
yang berperan sehingga ekonomi kreatif
berhasil yaitu pemerintah, komunitas,
akademisi, dan pelaku bisnis. 5 tahapan proses
yang harus dilalui kreasi, produksi, distribusi,
konsumsi dan konservasi serta memiliki 2
kapasitas daya ungkit yaitu keterkaitan
kedepan (forward linkage) dan keterkaitan
kebelakang (backward linkage).
Kreativitas merupakan faktor pendorong
munculnya inovasi atau penciptaan karya
kreatif dengan memanfaatkan penemuan yang
sudah ada. Hal ini akan mendorong
peningkatan produktivitas dan sekaligus nilai
3 http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=16&id=2617 4Bekraf: Sistem Ekonomi Kreatif Nasional, Panduan
Pemeringkatan Kabupaten/Kota Kreatif 2016
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
20
tambah. Ekonomi kreatif tidak hanya
berkontribusi terhadap perekonomian
Indonesia, tetapi juga berdampak positif
terhadap aspek sosial, budaya, dan lingkungan.
Indonesia dengan potensi kekayaan yang
sangat besar baik potensi sumberdaya alam,
keragaman budaya, maupun sumberdaya
manusia, perlu mengedepankan kreativitas dan
inovasi dalam pembangunan nasional untuk
mengoptimalkan berbagai potensi kekayaan
yang dimilikinya.
Batu padas cetak ini merupakan salah satu
kegiatan ekonomi kreatif yang dilakukan
kelompok industri di Bali. Pembuatan batu
padas cetak ini salah satu alternatif rekayasa
bahan bangunan untuk dapat melestarikan
arsitektur Tradisional Bali di era saat ini yang
mengalami banyak sekali tantangan..
Penelitian ini mencoba untuk mengungkap
proses kreatif pengerajin batu padas dalam
membuat rekayasa alternatif bahan bangunan
yang digunakan dalam ornamen Arsitektur
Tradisional Bali
BATU PADAS BUATAN DALAM
ORNAMEN ARSITEKTUR
TRADISIONAL BALI
Dalam usaha untuk mewujudkan rancangan
sebuah karya arsitektur dan interior yang baik
dibutuhkan banyak sekali pertimbangan salah
satunya adalah bahan bangunan yang akan
digunakan. Bahan bangunan berasal dari alam
sekitar seperti kayu, bambu, batu alam. Bahan
bangunan selalu mengalami perkembangan
karena adanya penemuan bahan bangunan
baru sesuai dengan kondisi dan situasi
lingkungan setempat.
Gambar 1. Batu Padas salah satu bahan bangunan
Arsitektur Tradisional Bali
Batu alam padas merupakan salah satu bahan
bangunan yang digunakan sebagian
masyarakat di Bali untuk memperindah
bangunan arsitektur Bali. Beberapa wilayah
pulau di Bali memiliki lapisan batu padas
seperti wilayah Gianyar, Tabanan dan Badung.
Batu padas digunakan untuk ragam hias dan
tempelan bahan bangunan arsitektur
tradisional Bali dan juga untuk bahan
kerajinan ukir. Kerajinan ukir dari batu padas
berkembang di Bali sudah sejak lama tepatnya
di daerah Gianyar, Tabanan dan Badung.
Permintaan akan hasil kerajinan ukir batu
padas juga mengalami peningkatan. Namun
semakin lama ketersediaan batu padas semakin
berkurang, akibat harga batu padas semakin
lama semakin mahal. Mahalnya harga batu
padas juga disebabkan oleh dilarangnya usaha
tambang batu padas saat ini oleh pemerintah,
selain memang ketersediaanya pun semakin
berkurang. Oleh karena itu, beberapa perajin
ukiran batu padas berusaha mencari alternatif
bahan batu padas alam dengan membuat hasil
sisa batu padas yang terbuat dengan membuat
padas cetak yang masih sesuai dengan tekstur
sesuai dengan batu padas asli.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
21
Batu padas cetak ini merupakan salah satu
kegiatan kreatif yang dilakukan kelompok
industri di Bali. Perajin ukiran batu padas saat
ini menggunakan teknik cetak yang dibuat
sendiri dengan mencampur antara serbuk batu
padas + semen dan air. Semen berfungsi
sebagai zat pengikat serbuk batu padas
sehingga menjadi komposit. Batu padas cetak
memiliki tekstur yang tidak jauh berbeda
dengan karakter batu padas alam, bahkan lebih
kuat dan biayanya relatif lebih murah. Batu
padas cetak dihasilkan dari pencampuran
serbuk batu padas dan semen dengan
perbandingan 1 semen : 4 serbuk batu padas +
air secukupnya. Beberapa bentuk ukiran batu
padas cetak yang dihasilkan, antara lain berupa
ragam hias ukiran bangunan tradisional Bali,
patung dan beberapa hiasan interior lainnya.
Proses pembuatan batu padas cetak terdiri dari
beberapa tahap antara lain proses
pengambilan/pengangkutan sisa batu padas
yang terbuang, pengayakan, pencampuran,
pencetakan, pembentukan, pengukiran dan
finishing. Tahap awal adalah hasil campuran
dituangkan ke dalam cetakan (papan bekesting
dari kayu) sesuai dengan bentuk yang
diinginkan apakah bulat atau kotak. Setelah
dicetak, keesokan harinya hasil cetakan padas
tersebut dapat dibuka dan siap untuk dibentuk
dasar sebelum diukir secara mendetail. Setelah
cetakan terbentuk sesuai dengan yang
diinginkan dilanjutkan dengan proses
pengukiran. jenis pahat yang digunakan dari
ukuran besar sampai kecil. Untuk sebuah
ukiran karang boma diperlukan waktu sekitar
4-5 hari sampai menghasilkan bentuk dan
ukiran yang diinginkan.
Gambar 2. Sisa Batu Padas Yang Menumpuk
Diambil Untuk Di Olah Kembali
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 3. Setelah Di Ayak, Dimasukkan Kedalam
Karung Kemudian Diangkut Menuju
Workshop/Rumah
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 4. Proses pembuatan bekisting sampai
proses pencetakan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
22
Gambar 5. Proses pembuatan bentuk dan ukiran
sampai proses pencetakan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tukang ukir: Wayan Kartika (Desa Sibang Kaja) dan I
Made latra ( Desa Blayu)
Gambar 6. Proses Finishing
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tukang ukir: Wayan Kartika (Desa Sibang Kaja) dan I
Made latra ( Desa Blayu)
Gambar 7. Hasil Akhir Ukiran Ragam Hias
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tukang ukir: Wayan Kartika (Desa Sibang Kaja) dan I
Made latra ( Desa Blayu)
Hasil batu padas cetak lebih kuat dan lebih
murah dibandingkan dengan menggunakan
batu padas utuh dengan tidak menghilangkan
karakter batu padas utuh tersebut. Pembuatan
batu padas cetak ini salah satu alternatif
rekayasa bahan bangunan untuk dapat
melestarikan arsitektur Tradisional Bali di era
saat ini yang mengalami banyak sekali
tantangan. Pembuatan padas cetak juga dapat
memberikan dampak positif bagi
perkembangan usaha bagi pengerajin seni ukir
padas di Bali. Peran pemerintah, perguruan
tinggi juga sangat membantu untuk
menciptakan sebuah rekayasa material dan
bahan bangunan alternatif untuk kelangsungan
arsitektur Tradisional Bali sehinga tetap
lestari. Ide kreatif, dukungan sarana dan
prasarana oleh pemerintah serta penerapan
teknologi baru dapat diberikan pagi pengerajin
ukiran padas untuk dapat diteruskan kepada
anak cucunya sehingga dapat tetap bertahan
hidup.
Ekonomi kreatif membutuhkan sumberdaya
manusia yang kreatif tentunya, mampu
melahirkan berbagai ide dan
menterjemahkannya ke dalam bentuk barang
dan jasa yang bernilai ekonomi. Proses
produksinya bisa saja mengikuti kaidah
ekonomi industri, tetapi proses ide awalnya
adalah kreativitas.
Selain itu regulasi terkait pembiayaan bagi
pelaku-pelaku kreatif perlu dicarikan solusinya
terutama bagi wirausaha muda yang tidak
memiliki modal. Skema pembiayaan yang
tepat diperlukan guna menghindari
tersingkirnya insan kreatif dari dunia industri
dikarenakan minimnya permodalan.
Mendorong pemerintah daerah untuk
menyiapkan insentif untuk memacu
petumbuhan industri kreatif berbasis, budaya,
kerajinan, seni dan teknologi. Insentif itu
mencakup perlindungan produk budaya,
kerajinan, seni dan teknologi. Kemudahan
memperolah dana pengembangan, fasilitas
pemasaran dan promosi sampai
kemancanegara, hingga pertumbuhan pasar
domestik dan Internasional. Pemerintah daerah
juga perlu kreatif dalam upaya
mengembangkan industri-industri berbasis
kreativitas. Hal ini karena industri tersebut
perlu pendampingan dan fasilitas agar dapat
diakses pasar.
PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN EKONOMI KREATIF
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang
terlihat semakin membaik, hal ini ditandai
dengan semakin menjamur dan
berkembangnya para pelaku ekonomi kreatif
melelui Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM). Sektor UMKM ternyata telah
mampu menyerap tenaga kerja yang
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
23
berdampak pada berkurangnya angka
pengangguran di Tanah Air. Ini tentunya suatu
kemajuan yang cukup positif bagi ekonomi
Indonesia kedepan, oleh karenanya pemerintah
harus terus pro aktif membina dan
mengeluarkan kebijakan guna terus
mendukung pengembangan UMKM ini. Saat
ini para pelaku industri kreatif masih kesulitan
mengakses permodalan dari perbankan
dikarenakan tidak terpenuhinya syarat jaminan
kebendaan5. Arah kebijakan dan strategi
peningkatan ekonomi kreatif untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJMN
2015-2019 :6
- Arah kebijakan pembangunan ekonomi
kreatif adalah memfasilitasi Orang Kreatif
(OK) di sepanjang rantai nilai yang
dimulai dari tahap kreasi, produksi,
distribusi, konsumsi, hingga konservasi.
- Strategi pengembangan subsektor ekonomi
kreatif dilaksanakan sesuai kebutuhan
yaitu dengan:
Memperluas pasar produk kreatif
Indonesia pasar baik di pasar ekspor
maupun pasar domestik;
Memfasilitasi proses kreasi seperti
pembangunan ruang kreasi, jaringan
orang kreatif;
Memfasilitasi usaha kreatif sepanjang
rantai produksi denganmenyediakan
akses ke sumber permodalan atau
pasokan SDM produksi,dan akses ke
pasar; dan
Memfasilitasi penumbuhan usaha
kreatif terutama bagi usaha pemula
Beberapa fasilitasi dan pendampingan kepada
pelaku, proses, sub sektor ekonomi kreatif
yang dapat diusulkan untuk tingkat
Kabupaten/kota maupun Nasional untuk
meningkatkan pertumbuhan pelaku ekonomi
kreatif di Indonesia adalah:
- Pelatihan Informasi dan Teknologi bagi
pelaku usaha
5http://www.kemenperin.go.id/artikel/6144/Wapres-Akui-
Industri-Kerajinan-Terhambat 6 Buku I RPJMN 2015-2019
- Pendampingan pemasaran dan marketing
produk seperti:
Membuat media pemasaran elektronik
dan cetak
Mempromosikan potensi dan produk
usaha dengan menggunakan berbagai
media elektronik maupun media cetak
Memasarkan produk usaha
Melakukan kemitraan usaha
- Pendampingan dalam pembuatan produk
dan kemasan yang memiliki standar
nasional dan internasional seperti: jenis
dan bentuk kemasan, teknologi
pengemasan, menciptakan kemasan yang
menarik dan terjangkau dari sisi harga
- Melakukan kegiatan sharing informasi
melalui pelatihan, talkshow dan bimbingan
teknis dengan mendatangkan narasumber
dari dalam maupun luar negeri sesuai
dengan bidang nya masing-masing
sehingga pelaku kreatif dapat terinspirasi
lebih baik lagi
- Melakukan pameran-pameran produk
kreatif didalam dan luar negeri dengan
sistem kerjasama
- Pendampingan dalam pengurusan Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI)
- Menggali potensi-potensi yang dimiliki
masing-masing daerah diseluruh Indonesia
untuk dikembangkan kedalam
produk/desain ekonomi kreatif
- Mengoptimalkan peran serta masyarakat
dalam pengembangan ekonomi kreatif
- Meningkatkan brand image kepada
masyarakat terhadap penggunaaan produk
dalam negeri yang tidak kalah dengan
produk luar negeri
- Mencari dan menambah jaringan bisnis ke
tingkat nasional maupun internasional
- Menumbuhkan jiwa kewirausahaan
generasi muda untuk melakukan usaha
kreatif
- Mendorong pemerintah daerah untuk
menyiapkan insentif untuk memacu
petumbuhan industri kreatif berbasis,
budaya, kerajinan, seni dan teknologi.
Insentif itu mencakup perlindungan
produk budaya, kerajinan, seni dan
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
24
teknologi. Kemudahan memperolah dana
pengembangan, fasilitas pemasaran dan
promosi sampai kemancanegara, hingga
pertumbuhan pasar domestik dan
Internasional
- Mengupayakan kepada pemerintah dalam
hal keringan dan keadilan pajak
- Mendorong pemerintah pemerintah untuk
membuat roadmap industri kreatif yang
melibatkan berbagai departemen dan
kalangan. Sehingga dengan kondisi
industri-industri kreatif yang telah tertata
rapi dalam roadmap pemerintah dapat
leblih intensif dan komprehensif untuk
menggerakan industri kreatif melalui
pendidikan, pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM), desain, mutu dan
pengembangan pasar.
- Mendorong pemerintah untuk memberi
jaminan dan perlindungan hukum bagi
karya industri kreatif.
- Mendorong pelaku kreatif untuk membuat
wadah atau lembaga perkumpulan Industri
kreatif Indonesia sehingga pelaku industri
kreatif Indonesia dapat salilng bertemu
dan bertukar pikiran dalam
mengembangkan industri kreatifnya
masing-masing. Selalin itu juga lembaga
ini dapat memantau apa yang diperlukan
dan dibutuhkan para pelaku industri kreatif
dalam mengembangkan industrinya,
terutama UMKM yang bergerak di sektor
ekonomi kreatif.
- Mendorong pemerintah menciptakan
regulasi agar pelaku ekonomi kreatif dapat
terlibat dan ikut bersaing di daerah
masing-masing melalui regulasi Peraturan
Daerah maupun Perwali/Perbup
- Regulasi yang mendukung penciptaan
iklim usaha yang kondusif juga merupakan
isu yang saat ini perlu di pikirkan bersama
antara pemerintah, stakeholder dan
masyarakat. Regulasi- regulasi terkait
perlindungan Hak kekayaan Intelektual
(HAKI) bagi desainer dan pembuat karya
kreatif sehingga mereka akan menciptakan
hasil karya yang lebih banyak lagi. Selain
itu regulasi terkait pembiayaan bagi
pelaku-pelaku kreatif perlu dicarikan
solusinya terutama bagi wirausaha muda
yang tidak memiliki modal. Skema
pembiayaan yang tepat diperlukan guna
menghindari tersingkirnya insan kreatif
dari dunia industri dikarenakan minimnya
permodalan 7.
SIMPULAN
1. Ekonomi kreatif adalah penciptaan nilai
tambah yang berbasis ide yang lahir dari
kreativitas sumber daya manusia (orang
kreatif) dan berbasis ilmu pengetahuan,
termasuk warisan budaya dan teknologi.
2. Ekonomi kreatif membutuhkan
sumberdaya manusia yang kreatif
tentunya, mampu melahirkan berbagai ide
dan menterjemahkannya ke dalam bentuk
barang dan jasa yang bernilai ekonomi.
3. Batu padas cetak ini merupakan salah satu
kegiatan ekonomi kreatif yang dilakukan
kelompok industri di Bali. Batu alam
padas merupakan salah satu bahan
bangunan yang digunakan sebagian
masyarakat di Bali untuk memperindah
bangunan Arsitektur Bali.
4. Pembuatan batu padas cetak ini salah satu
alternatif rekayasa bahan bangunan untuk
dapat melestarikan arsitektur tradisional
Bali di era saat ini
5. Industri kreatif di Indonesia harus
dikembangkan karena industri kreatif
dapat memberikan kontribusi ekonomi
yang signifikan dan menciptakan iklim
bisnis yang positif serta membangun citra
serta identitas bangsa.
6. Pemerintah harus serius dan membuat
beberapa langkah trobosan dalam
pengembangan ekonomi kreatif melaui
pendampingan dan fasilitas agar dapat
diakses pasar.
7
http://surabayanews.co.id/2016/01/19/42578/indus
tri-kreatif-terbentur-kendala-modal-ojk-keluarkan-
alternatif-pendanaan-untuk-pendanaan-
umk%E2%80%A8.html
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
25
DAFTAR PUSTAKA
Bekraf: Sistem Ekonomi Kreatif Nasional,
Panduan Pemeringkatan Kabupaten/Kota
Kreatif 2016
Buku I RPJMN 2015-2019
http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp?c=16
&id=2617
Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang
Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Sumber Website:
http://www.kemenperin.go.id/artikel/6144/Wa
pres-Akui-Industri-Kerajinan-Terhambat
http://surabayanews.co.id/2016/01/19/42578/in
dustri-kreatif-terbentur-kendala-modal-ojk-
keluarkan-alternatif-pendanaan-untuk-
pendanaan-umk%E2%80%A8.html
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
26
STUDI AKSESORIS INTERIOR BERKONSEP ETNIK
PRODUK DESAIN KREATIF YANG ORIGINAL, UNIK, DAN KHAS
Ni Nyoman Sri Rahayu
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perkembangan aksesoris dalam desain interior terus mengalami kemajuan dan peningkatan. Pangsa
pasar tidak hanya dalam negeri namun juga luar negeri. Desain-desain yang sama seringkali membuat
kejenuhan dan menjadi sesuatu yang biasa. Dalam industri properti di Bali khususnya, banyak vila,
hotel, café dan restoran yang mengusung sebuah konsep tertentu, konsep etnik salah satunya. Konsep
etnik dipilih karena karakter yang kuat dan menjadi identitas dari interior itu sendiri sehingga berbeda
dengan interior bangunan lainnya. Industri kreatif & kewirausahaan saat ini digalakkan bagi generasi
muda. Ide dan kreativitas dalam berkarya terus berkembang dan berinovasi sehingga menampilkan
karya dan produk yang berkualitas. Desain yang kreatif tentu akan meningkatkan nilai jual. Trend
aksesoris yang berkonsep etnik sebagai salah satu desain kreatif memiliki keunikan, nilai originalitas,
karakter, citra, jatidiri dan identitas etnik tertentu. Selanjutnya upaya ini akan berdampak pada
pembangunan budaya, penguatan warisan budaya dan nilai kearifan lokal.
Kata Kunci: aksesoris, etnik, desain kreatif, original
Abstract
The growth and trend of accessories in interior design continues to improvement and increase. The
market share is not only domestic but also abroad. The same designs often make saturated and
become ordinary. In the property industri in Bali, many villas, hotels, cafes and restaurants use
concept in interior design, ethnic concept one of them. The ethnic concept was chosen because of its
strong character and became the identity of the interior itself so as to be different from other designs.
The creative and entrepreneurship industri is currently being promoted for the young generation.
Ideas and creativity continues to grow and innovate so that create the good and quality products.
Creative design will certainly increase the sale value. Trend accessories with ethnic concept as one of
creative design have unique, originality, character, and ethnic identity. Furthermore, this effort will
have an impact on cultural development, strengthening of cultural heritage and local genius.
Keyword: accessories, ethnic, creative design, original
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
27
PENDAHULUAN
Munculnya berbagai art festival dan art
market di berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan bahwa Indonesia sedang
merayakan semangat kreatifitas. Tidak
terkecuali Bali, sebagai pusat seni dan budaya
adiluhung yang tercipta sebagai warisan
leluhur dan diwariskan kepada generasi saat
ini. Semangat kreatifitas terus dikembangkan
dalam karya-karya desain, salah satunya
aksesoris.
Perkembangan aksesoris dalam desain interior
terus mengalami kemajuan dan peningkatan.
Pangsa pasar tidak hanya dalam negeri namun
juga luar negeri. Desain-desain yang sama
seringkali membuat kejenuhan dan menjadi
sesuatu yang biasa. Dalam industri property di
Bali khususnya, banyak vila, hotel, café dan
restoran yang mengusung sebuah konsep
tertentu, konsep etnik salah satunya. Konsep
etnik dipilih karena karakter yang kuat dan
menjadi identitas dari interior itu sendiri
sehingga berbeda dengan interior bangunan
lainnya. Fenomena desain interior yang
bergaya etnik di Bali diantaranya interior vila,
hotel, café dan restoran dengan konsep etnik
Bali, Jepang, Korea, India, Eropa, Amerika,
maupun etnik nusantara. Etnik nusantara
menjadi ketertarikan penulis untuk membahas
dalam tulisan ini. Menarik, original, dan
berkarakter menjadi alasan utama pemilihan
konsep etnik nusantara dalam aksesoris pada
interior.
Dengan tulisan ini semoga dapat membuka
wawasan dan peluang bagi generasi
selanjutnya untuk lebih mencintai kekayaan
budaya nusantara, dan dapat menerapkannya
ke dalam desain kreatif. Tentunya desain yang
inovatif dan berkarakter. Desain kreatif ini
membuka peluang usaha industri kreatif &
kewirausahaan yang saat ini digalakkan bagi
generasi muda. Ide dan kreativitas dalam
berkarya terus berkembang dan berinovasi
sehingga menampilkan karya dan produk yang
berkualitas.
TEORI
1. Konsep Etnik
Style etnik pada arsitektur dan interior
menampilkan ciri dan identitas suatu daerah
yang diwujudkan pada elemen ruang, ornamen
dan aksesoris ruang. Style etnik memiliki
kekhasan tersendiri sehingga memberi nilai
yang unik dan berbeda dengan yang lainnya.
2. Teori Aksesoris
Merupakan pelengkap dalam sebuah interior
sehingga menambah nilai estetika pada
ruangan. Aksesoris sangat bervariasi jenisnya
dan berbeda-beda dari masing-masing jenis
furniture dan nuansa ruangan. Dengan
aksesoris, sebuah ruangan akan terlihat
semakin indah dan cantik. Aksesoris dapat
dibedakan menjadi beberapa bagian,
diantaranya: (1) Melekat pada furniture,
misalnya handle pintu, engsel, kunci, lampu;
(2) Menambah nilai estetika, misalnya hiasan
ornamen, lampu, wallpaper; (3) Aksesoris yg
melengkapi fungsi furniture, kitchen set,
gantungan, sink, kran. Pemilihan aksesoris
interior yang tepat, akan memberi nuansa
interior yang sesuai dengan selera dan
keinginan.
3. Industri kreatif & kewirausahaan
Industri kreatif adalah industri yang mampu
memberi nilai ekonomi sekaligus memberi
makna pada sebuah kebudayaan (Paul du Gay
dan Michael Pryke dalam Biarezky, dkk:
2016).Industri kreatif adalah industri yang
berasal dari pemanfaatan kreatifitas,
ketrampilan serta bakat individu untuk
menciptakan kesejahteraan serta lapangan
pekerjaan dengan menghasilkan dan
mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta
individu tersebut.
Industri kreatif ini berpeluang membuka usaha
kreatif dan kewirausahaan. Kewirausahaan
merupakan salah satu bentuk ekonomi kreatif
yang memegang peranan penting dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
28
PEMBAHASAN
Beberapa aksesoris berkonsep etnik, penulis
gunakan hasil karya mahasiswa interior.
Aksesoris ini mengambil tema etnik suku-suku
di nusantara. Ini dikerjakan dengan mengambil
filosofi dan menampilkan kekhasan yang ada
pada arsitektur dan interior rumah adat di
nusantara. Beberapa diantaranya dijabarkan
pada tabel berikut:
Tabel 1. Contoh aksesoris berkonsep etnik No Foto Jenis
aksesoris
Keterangan
1
Hiasan
Meja
berbentuk
bulat
berdimensi
30 x 30,
hasil karya
Dea.
Hiasan Meja mengambil
bentuk ornamen Gorga
pada rumah adat Batak
Toba, hasil karya Dea.
Gorga merupakan
kesenian ukir atau pahat
yang digunakan pada
eksterior Rumah Batak
Toba.
2
Lighting
mengambil
bentuk
rumah suku
Toraja,
hasil karya
Ratna dkk.
Permainan warna merah,
kuning dan hitam
diterapkan pada rumbai-
rumbai di sekeliling
penutup/kap lampu. Corak
ornamen khas Toraja
diterapkan pada kaki
lampu, yang juga
menggunakan warna
merah, kuning dan hitam.
3
Lighting
mengambil
bentuk
rumah
Joglo, hasil
karya Clara
dkk.
Kap lampu ini
menggunakan material
transparan, sehingga
terlihat penerapan soko
guru dan tumpang sari
pada bagian atas lampu.
Soko guru adalah empat
pilar utama bangunan.
Tumpang sari merupakan
susunan kayu yang
bertingkat-tingkat sebagai
konstruksi utama
penopang struktur atap
rumah Joglo. Soko guru
dan tumpang sari ini
merupakan kekhasan dari
rumah Joglo.
4
Table
lamp, hasil
karya Adi
Putra, dkk.
Lampu meja ini
mengambil konsep
ornamen Batak Toba
diaplikasikan pada bidang
alas. Digunakan bentuk
dasar pada rumah adat
Batak Toba, seperti atap
melengkung serta dinding
bangunan yang miring.
5
Hanging
Lamp, hasil
karya
Angga.
Lampu gantung bergaya
rustic dengan konsep
ornamen dua cecak yang
saling membelakangi.
Meniru ornamen pada
rumah adat Batak Karo.
Dikerjakan dengan teknik
laser.
Sumber : Dokumentasi Penulis, 2017
Karya Desain : Mahasiswa
Trend aksesoris berkonsep etnik sebagai
perwujudan desain kreatif saat ini cukup
digemari di masyarakat. Setiap desain kreatif
berkonsep etnik ini memiliki keunikan, nilai
originalitas dan berkarakter. Hal ini menambah
nilai jual pada aksesoris. Metode pengerjaan
yang dilakukan, sama halnya dengan proses
pengerjaan aksesoris lainnya. Namun ada
tahapan riset dan studi literature tentang
konsep etnik terkait, meliputi bentuk arsitektur
dan interior, ornamen, warna, filosofi yang
terkandung didalamnya, serta hal unik dari
arsitektur dan interior etnik tersebut yang
membedakannya dengan arsitektur dan interior
etnik lainnya.
Industri kreatif & kewirausahaan saat ini
menjadi salah satu fenomena yang digalakkan
bagi generasi muda. Nilai Originalitas,
keunikan, dan kreativitas dan pada desain
menjadi tuntunan dan motivasi pelaku dalam
berkarya. Ide yang kreatif, memerluk\an style
dan konsep yang kuat. Inspirasi tentang style
dan konsep tertentu didapat dari kegiatan brain
storming dari pengetahuan dan pengalaman
yang didapat dalam melihat, mengamati, dan
menginterpretasi sebuah bentuk. Sehingga
tercipta sebuah karya desain yang kreatif,
berkarakter dan indah. Selain kreatifitas, hal
lain yang berperan penting dalam industri
kreatif adalah inovasi. Inovasi memberi nilai
kebaharuan sehingga membuat industri kreatif
ini terus berkesinambungan, tidak
membosankan dan terus diproduksi.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
29
Mengapa industri kreatif penting untuk
digunakan? Beberapa alasannya diantaranya:
(1) Dengan kreatifitas, produk biasa dapat
menjadi lebih bernilai ekonomis; (2)
Meningkatkan ide dan gagasan dalam
berinovasi dan berkreatifitas; (3) Upaya
inovasi dan penerapan teknologi terbaru dalam
desain produk. Sehingga industri kreatif
memberi banyak keuntungan dan berdampak
positif dari segi ekonomis, kreatifitas, serta
inovasi dan teknologi. Terlebih lagi ditunjang
dengan pemasaran yang dipermudah dengan e
commerce, melalui webseite dan media social,
akan mempermudah pelaku dalam menjual
dan memasarkan produk.
Aksesoris berkonsep natural dan tradisional
Bali sudah sangat banyak ragam dan coraknya.
Aksesoris berkonsep etnik lainnya seperti
etnik nusantara maupun etnik asing juga tentu
akan memperkaya desain aksesoris dalam
industri kreatif. Aksesoris ini dapat
melengkapi ruangan dan agar ruang terlihat
semakin estetis, menarik dan indah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa trend
aksesoris yang berkonsep etnik sebagai salah
satu desain kreatif ini akan memberi karakter,
citra dan identitas etnik tertentu. Selanjutnya
upaya ini akan berdampak pada pembangunan
budaya, penguatan warisan budaya dan nilai
lokal.
KESIMPULAN
Aksesoris berkonsep etnik seperti etnik Bali,
etnik nusantara maupun etnik asing akan
memperkaya desain aksesoris dalam industri
kreatif. Aksesoris ini dapat melengkapi
ruangan dan agar ruang terlihat semakin
estetis, menarik dan indah. Setiap desain
kreatif berkonsep etnik memiliki keunikan,
nilai originalitas dan berkarakter. Hal ini
menambah nilai jual pada aksesoris.
Trend aksesoris yang berkonsep etnik sebagai
salah satu desain kreatif akan memberi
karakter, citra dan identitas etnik tertentu.
Selanjutnya upaya ini akan berdampak pada
pembangunan budaya, penguatan warisan
budaya dan nilai lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Biarezky Belle, dkk. 2016. 100+ Gerai
Interior Pilihan *Jakarta. Jakarta: PT
Gramedia.
Hisrich, Robert, dkk. 2002. Entrepreneurship
Kewirausahaan. Salemba Empat
Tjahyono, Gunawan Ed. 1998. Indonesia
Heritage Architecture. Archipelago Press.
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
30
TERBENTUKNYA KELAS ALAY DALAM KOMUNITAS REMAJA
DAN DESAIN YANG MENGIKUTINYA
Ni Kadek Yuni Utami
Dosen Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain Bali
Email : [email protected]
Abstrak
Kehidupan remaja tidak lepas dari pengaruh budaya populer yang selama ini berkembang. Budaya
populer yang disampaikan melalui media berupa simbol dan penanda identitas remaja keren seperti
desain dan aktivitas tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis terbentuknya kelas alay
dalam komunitas remaja sebagai bentuk adopsi simbol dan penanda identitas remaja keren dalam
budaya populer serta ragam desain yang muncul akibat adanya kelas alay tersebut. Dalam penelitian
ini menggunakan metode kualitatif fenomenologi, yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap
pembentuk fenomena alay di kalangan remaja dan desain yang mengikutinya, dianalisis dengan teori
gaya hidup Bourdieu.
Kata Kunci: gaya hidup, remaja, alay , desain
Abstract
Teen life can not be separated from the influence of popular culture. Popular culture that is conveyed
through the media with the symbols and identity markers of cool teenagers such as design and certain
activities. This study aims to analyze the formation of alay lifestyle, as adoption of symbols and
identity markers of cool teenagers in popular culture and the variety of designs that may arise. This
study using qualitative fenomenology, by making observations of alay phenomena among teenagers
and the design that may arise and analyzed with Bourdie’s theory.
Keywords: lifestyle, teenagers, alay, design
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
31
PENDAHULUAN
1. Krisis Identitas Remaja
Masa remaja adalah masa terjadinya krisis
identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan
ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa ada
empat status identitas diri pada remaja yaitu
identity diffusion/ confussion, moratorium,
foreclosure, dan identity achieved.
Karakteristik remaja yang sedang berproses
untuk mencari identitas diri ini juga sering
menimbulkan masalah pada diri remaja, (Adib,
2009). Remaja terbentuk dalam suatu
artikulasi ganda, yaitu dalam perlawanannya
dengan kebudayaan orang tua dan sekaligus
dalam perlawanannya dengan kebudayaan
dominan. Ritual-ritual seperti fashion, musik,
atau bahasa, dilihat sebagai usaha untuk
memenangkan ruang kultural dalam melawan
kebudayaan dominan dan kebudayaan orang
tua. Ini termasuk suatu upaya untuk
mengkomunikasikan dirinya berdasarkan
kedudukan, kelas dan komunitasnya.
Kebudayaan populer menampilkan citra diri
sebagai bagian dari kehidupan remaja yang
umumnya dimiliki remaja konsumtif dan
glamour. Kebudayaan populer sebagai
tampakan citra, dikonstruksi oleh media
dengan menggunakan aspek komunikasi
massa. Setiap remaja dalam menentukan
aktivitas kehidupannya, memiliki banyak
pilihan, yang dapat dipengaruhi oleh berbagai
media yang selama ini melakukan gebrakan
dalam remaja sebagai pendamping hidup.
Dalam memahami hidupnya media
memberikan alternatif kepada remaja sebagai
bentuk identitas remaja. Media memberikan
gaya hidup yang ingin dirasakan remaja
sebagai aktivitas yang diinginkan bagi mereka
dan sering disebut sebagai budaya populer
bagi remaja, bahkan sebagai ‘ideologi’ bagi
remaja saat ini.
2. Habitus Alay di kalangan Remaja
Alay, merupakan fenomena jamak yang
ditemui di belahan masyarakat Indonesia.
Secara etimologi, alay sendiri berasal dari
bahasa Indonesia, Anak dan Layangan, yang
pada awalnya merupakan sebutan bagi anak-
anak berwajah lusuh akibat gemar bermain
layangan di siang hari. Kemudian alay
mengalami pergeseran makna menjadi suatu
bagian kelompok yang berlaku seperti layang-
layang, yakni mengikuti angin perubahan
mode dan gaya hidup. Istilah alay berkonotasi
dengan kampungan, udik, “ndeso”, norak,
berselera rendah dan murah. Istilah alay inilah
yang kemudian dipakai untuk menyebut anak-
anak remaja yang dinilai atau dianggap tidak
trendi/ gaul, bergaya kampungan dengan
fashion murahan, mendengarkan musik-musik
berselera rendah, beredar di mall-mall
pinggiran kota, saling berkirim SMS dengan
bahasa-bahasa yang “aneh” yang ditulis
dengan karakter-karakter “aneh” (campur aduk
huruf besar-kecil dan angka). (Rumputteki,
2009).
Istilah alay merupakan sebuah stempel,
predikat, yang bersifat stigmatik, cenderung
menghakimi, yang diberikan oleh satu
golongan kepada golongan lainnya dalam
masyarakat, khususnya remaja. Dalam hal ini,
golongan yang memberikan cap alay itu
adalah mereka yang merasa dirinya lebih keren
atau gaul. Penyebab terbentuknya gaya hidup
alay ini dikaji sehingga dapat dijadikan bahan
dasar pertimbangan desain untuk komunitas
tertentu.
TUJUAN & METODE PENGUMPULAN
DATA
1. Tujuan
Remaja tidak ingin terevolusi dalam ranah
modern, sehingga mereka berlomba-lomba
mengikuti segala penanda dan simbol dari
remaja yang terlihat keren di media. Penanda
dan simbol ini dapat berupa desain dan
aktivitas tertentu yang dipopulerkan di media
sebagai simbol atau identitas remaja keren.
Namun, apa yang terjadi pada remaja yang
tidak memiliki modal dan pemilihan selera
yang baik? dan bagaimana identitas mereka
diakui dalam budaya populer dan bagaimana
desain-desain akhirnya muncul untuk
komunitas tersebut?
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
32
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk
menganalisis munculnya istilah alay dalam
pencarian identitas remaja serta desain yang
mengikutinya.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif fenomenologi , yaitu dengan
melakukan pengamatan terhadap pembentuk
fenomena alay di kalangan remaja dan desain
yang mengikutinya yang dianalisis dengan
teori gaya hidup Bourdieu.
TINJAUAN TEORI
1. Teori Gaya Hidup
Gaya hidup adalah adaptasi aktif individu
terhadap kondisi sosial dalam rangka
memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan
bersosialisasi dengan orang lain. Gaya hidup
mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan
dan pola-pola respons terhadap hidup, serta
terutama perlengkapan untuk hidup. Cara
berpakaian, cara kerja, pola konsumsi,
bagaimana individu mengisi kesehariannya
merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya
hidup. Gaya hidup dipengaruhi oleh
keterlibatan seseorang dalam kelompok sosial,
dari seringnya berinteraksi dan menanggapi
berbagai stimulus di sana. Gaya hidup secara
luas adalah sebagai cara hidup yang
diidentifikasi oleh bagaimana orang
menghabiskan waktu mereka (aktivitas) apa
yang mereka pikirkan tentang diri mereka
sendiri dan juga dunia sekitar, (Sutisna, 2001).
Sedangkan menurut Weber, gaya hidup
merupakan selera pengikat kelompok dalam
(in group) aktor-aktor kolektif atau kelompok
status, berkompetisi ditandai dengan
kemampuan untuk memonopoli sumber-
sumber budaya,. Gaya hidup dibentuk, diubah,
dikembangkan sebagai hasil dari interaksi
antara disposisi habitus dengan batas serta
berbagai kemungkinan realitas. Dengan gaya
hidup individu menjaga tindakan-tindakannya
dalam batas dan kemungkinan tertentu.
Berdasarkan pengalaman sendiri yang
diperbandingkan dengan realitas sosial,
individu memilih rangkaian tindakan dan
penampilan mana yang menurutnya sesuai dan
mana yang tidak sesuai untuk ditampilkan
dengan ruang sosial.
2. Habitus dan Ranah sebagai awal Gaya
Hidup
Cara pandang alternatif pilihan mengenai
gaya dan fashion juga datang dari
sosiolog/antropolog Perancis Pierre Bourdieu.
Dalam Outline of a Theory of Practice (1977)
Bourdieu memperkenalkan istilah habitus
untuk mendefinisikan sebuah sistem disposisi,
yang mengatur kapasitas individu untuk
bertindak. Habitus tampak jelas dalam pilihan
individu tentang kepantasan dan keabsahan
seleranya dalam berdandan, berpakaian, seni,
makanan, hiburan, hobi dll. Menurut Bourdieu
ini semua dibentuk melalui lingkungan sosial,
dengan internalisasi seperangkat kondisi
material tertentu. Habitus beroperasi
berdasarkan sebuah logika praktek ( logic of
practice ) yang diatur berdasar sistem
klasifikasi bawah sadar maskulin/feminin, baik
atau buruk trendi atau kuno dll). Penerapan
prinsip-prinsip ini dalam bentuk konsumsi
budaya dikenal sebagai selera.
Dengan cara pandang Bourdieu, habitus
individu dibentuk oleh/dikaitkan pada
keluarga, kelompok, dan yang paling penting
posisi kelas individu dalam masyarakat.
Sedangkan habitus eksternal, dibentuk dari
cara pandang lingkungan sosial mengenai
selera orang lain, sehingga muncul sebuah
posisi atau kelas yang terbentuk pada diri
orang tersebut.
FAKTOR MUNCULNYA ISTILAH ALAY
DI KALANGAN REMAJA
Gaya hidup alay dipahami sebagai
keseluruhan selera, kepercayaan dan praktik
sistematis yang menjadi ciri suatu kelas. Kelas
sosial alay sebagai bentuk yang turut
membentuk gaya hidup mereka, tidak terlepas
dari konsep Bourdieu tentang habitus.
Bourdieu menjelaskan bahwa konsep habitus
terdiri dari tiga konsep yaitu, habitus, modal,
dan ranah. Atau ditulis dengan rumus
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
33
(habitus)(capital/modal) + ranah = gaya
hidup.
1. Alay adalah komunitas yang tidak keren
Ketika band-band luar dan dan munculnya
situs jejaring sosial pertama yang terkenal di
Indonesia yaitu Friendster pada tahun 2006,
remaja yang dianggap keren adalah remaja
yang mengikuti gaya pakaian ala band
tersebut, seperti penggunaan celana di bawah
pinggang, boxer warna-warni, potongan
rambut emo, dll. Begitu pula dengan situs
jejaring sosial, remaja keren adalah remaja
yang mengikuti situs tersebut, kemudian
mencoba mengeksiskan diri melalui identitas
nama yang diimbuhi akhiran marga kebarat-
baratan yang menunjukkan kelas sosial
mereka. Diiringi tren gaya tulisan sms para
remaja wanita dengan karakter huruf besar
kecil, angka sebagai peningkatan status sosial
mereka. Namun seiring dengan waktu,
angkatan pembawa gaya hidup ini mulai hidup
dalam kapitalisme dan kemapanan berpikir.
Mereka sudah meninggalkan jauh tulisan-
tulisan atau gaya pakaian seperti itu.
Permasalahannya adalah keterlambatan
beberapa pengagum mereka terdahulu untuk
menyerap gaya hidup itu.
Si penyerap berusaha mengkopi semua
kebiasaan orang yang dulu dianggap populer
di lingkungannya dengan harapan memperoleh
status yang sama. Pemilihan selera si penyerap
dianggap ketinggalan jaman, mereka yang
seperti ini dianggap tidak keren, sehingga
dinilai sebagai kaum alay. Istilah keren atau
tidak keren seakan menjadi inti dari
permasalahan pro-kontra alay, keren dapat
dikatakan sebagai sinonim dari kata bagus atau
hebat, namun keren dapat berarti sifat fasis,
suatu pengelabuan akan industri kapitalisme,
keren dapat diartikan sebagai mimpi yang
disebarkan oleh media, sebagai candu
masyarakat modern akan merk. Keren bersifat
labil, apa yang dianggap keren tahun ini, bisa
dianggap ketinggalan jaman tahun depan.
Tidak semua bisa berada dalam kelas atas,
tidak semua bisa menjadi keren, dan tidak
semua mempunyai selera bagus. Inilah yang
dikatakan dengan habitus yaitu ideologi akan
selera alami. Habitus merupakan pemilihan
perlengkapan yang dikenakan oleh individu.
Perlengkapan yang dikenakan oleh individu ini
dapat membentuk ciri tertentu bagi individu
yang konsisten dengan habitusnya itu. Dalam
hal ini, alay dengan gampang dikenali oleh
orang-orang anti alay karena selera pemilihan
akan perlengkapan mereka. Baik dari selera
berpakaian, pemilihan tempat untuk
berkumpul, gaya berfoto yang mereka
lakukan, hingga pemilihan penulisan nama
atau status yang berlebihan.
Gambar 1. Karikatur Gerombolan Alay
Sumber : Mice Cartoon, Kompas Minggu, 12 Februari
2012
Gambar 2. Karikatur Anak Gaul
Sumber : Mice Cartoon, 100 Tokoh yang mewarnai
Jakarta (2008 : 66)
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
34
Gambar 3. Bahasa Alay
Sumber : http://e-
basindo.blogspot.co.id/2013/04/makalah-fenomena-
bahasa-alay-di.html
Gambar 4. Salah satu foto profil anak alay
Sumber :
https://updateviralnews.blogspot.com/2017/05/8-ciri-ciri-
cowok-alay-no-2-paling-alay.html
2. Alay cenderung memiliki selera yang
rendah
Umumnya penilaian akan selera yang buruk
atau baik dimiliki oleh kelas tertentu, kapasitas
ini hampir sepenuhnya terkonsentrasi di
kalangan anggota masyarakat kelas atas.
Kelas-kelas bawah secara seragam menyukai
selera yang buruk, dan kelas menengah
menyukai selera yang sedang. Yang
membedakan kelas-kelas ini terletak pada
besarnya keseluruhan sumber daya dan
kekuasaan yang secara efektif dapat
digunakan, yaitu modal ekonomi, modal
budaya dan modal sosial. Pembedaan itu
dibuat dari yang mempunyai modal ekonomi
dan budaya yang besar, hingga sampai pada
mereka yang sangat miskin. Yang dimaksud
dengan modal budaya dalam hal ini adalah
cara berbicara, kemampuan menulis,
penampilan, pendidikan serta bentuk-bentuk
kedudukan sosial. Modal ekonomi dan modal
budaya adalah yang menentukan di dalam
memberi kriteria diferensiasi yang paling
relevan bagi lingkup masyarakat yang sudah
maju.
Dalam pengaktualisasi diri, komunitas alay
dianggap tidak didukung oleh modal ekonomi
dan sosial, ini dilihat kembali dari selera
pemilihan perlengkapan yang digunakan, baik
baju yang digunakan maupun pemilihan
tempat untuk berkumpul, contohnya, ketika
alay melihat si A keren dengan celana jeans
Zara seharga lebih dari Rp.500.000,00, maka
alay akan memilih untuk membeli celana
jeans di pasar dengan model dan merk palsu
yang sama seharga kurang dari Rp.50.000,00.
Ini adalah bentuk ketidakmapanan alay dalam
modal ekonomi. Pemilihan tempat untuk
berkumpul (nongkrong) di emperan circle K
pun dianggap alay, karena dinilai tidak
memiliki modal ekonomi untuk memilih
tempat berkumpul yang layak. Pemilihan
status situs jejaring atau komentar-komentar
dengan berlebihan dan dianggap norak karena
menunjukkan bahwa alay tidak mempunyai
kemapanan budaya yaitu pendidikan. Misalnya
kata lucu diganti dengan UcHuL, atau kata
kamu diganti dengan q-Muwh.
Selera bukan hanya sebuah penghargaan atas
apa yang dianggap keren, namun juga
perendahan atas apa yang dianggap
kampungan atau rendah. Selera tinggi
mengandung perasaan superioritas yang tak
terbantahkan dalam diri pemiliknya dan orang-
orang yang lebih atas dalam hirarki sosial
sangat merendahkan apa saja yang dinikmati
oleh orang-orang di bawahnya (gaya pakaian,
film, acara televisi, olahraga, musik, dll ).
Perendahan ini berujung pada istilah alay bagi
remaja yang dianggap memiliki pemilihan
selera rendah dan tidak memiliki modal yang
baik.
3. Alay sebagai Kelas Baru dalam Ranah
Modern
Ada sesuatu yang bergeser, ketika konsumsi
dikaitkan dengan gaya hidup, yakni hasrat
mengkonsumsi suatu barang/jasa dianggap
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
35
bukan sebagai pelengkap, namun sudah masuk
sebagai “penanda” kehadiran seseorang.
Misalnya, model telepon genggam yang selalu
saja berubah, meskipun fungsinya tetap sama,
akan terus mendapatkan konsumen, karena
dengan begitu telepon genggam ini dianggap
mewakili sebuah identitas. Begitupun yang
mewakili proses pencitraan seorang alay,
ketika proses konsumsi menjadi sesuatu yang
tidak berguna, dan hanya dianggap sebagai
media untuk memunculkan eksisitensinya.
Alay, secara sadar atau tidak sadar, berusaha
menciptakan identitas baru supaya mereka bisa
diakui sebagai bagian dari sebuah komunitas
remaja keren. Ada sebuah konsekuensi yang
mau tidak mau harus diterima, yakni ketika
mereka (alay) tengah mengaktualisasikan diri
mereka, mereka malah menciptakan sebuah
kelas baru dalam masyarakat.
Terbentuknya sebuah kelas baru didasarkan
pada sebuah kemunculan suatu struktur sosial
yang menghubungkan antara individu yang
saling terpisah, dengan adanya komunikasi dan
interaksi serta kesamaan-kesamaan yang
dimiliki oleh anggotanya. Kesamaan tersebut
bisa berupa status ekonomi, pekerjaan, dan
kepemilikan. Alay sendiri merupakan
penggolongan berdasarkan persamaan tingkah,
reaksi, pola dan perilaku yang melekat pada
dirinya. Posisi alay yang berada ditengah-
tengah orang kota dan orang desa, didasarkan
pada penggolongan tersebut. Secara umum
yang mendasari perbedaan orang kota dan
orang desa terletak pada pola berpikir dan
gaya hidup. Alay sendiri sudah mendekati gaya
hidup orang kota, namun masih belum maju
pada pola pikirnya. Pola pikir sangat
menyangkut dan berkaitan pada tingkah laku
atau perilaku seseorang. Sehingga alay gagal
mengidentifikasikan sesuatu yang dianggap
keren di masyarakat. Alay dapat dikatakan
sebagai identitas baru yang terbentuk sebuah
penilaian atau judge akan gagalnya pencapaian
identitas remaja keren, namun alay kini sangat
dikenal oleh masyarakat terutama remaja.
Identitas alay akhirnya menjadi sebuah kelas
baru, seiring banyaknya pro-kontra akan alay,
maka semakin besar perhatian akan kelompok
ini. Orang-orang alay tidak pernah merasa
bahwa diri mereka adalah bagian dari remaja
alay, bisa juga orang-orang yang dengan keras
menyuarakan anti alay adalah alay juga.
Berdasarkan analisis diatas, sebuah capital
atau modal (tingkat ekonomi, pendidikan,
budaya dan sosial) yang rendah melahirkan
habitus atau selera yang rendah pada ranah
modern mendukung munculnya kelas atau
gaya hidup alay dalam pencarian identitas
remaja.
RAGAM DESAIN AKIBAT
MUNCULNYA KELAS ALAY DALAM
KOMUNITAS REMAJA
Gaya hidup merupakan sebuah pola hidup
seseorang di dunia yang diekspresikan dalam
aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup
menggambarkan keseluruhan diri seseorang
dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
(Kotler, 2009).
Munculnya kelas alay turut mempengaruhi
pertimbangan produsen untuk mengeluarkan
desain yang memenuhi kebutuhan komunitas
tersebut. Adapun pertimbangan tersebut
adalah:
- Remaja kelas alay berusaha mengikuti
simbol dan penanda budaya populer dan
remaja keren. Mereka cenderung ingin
meningkatkan status sosial dan identitas
mereka dan meniru apa yang
direpresentasikan media akan remaja
keren.
- Lemahnya capital atau modal kelas alay
seperti tingkat pendidikan dan rendahnya
selera membuat kelas alay tidak
mengutamakan kualitas, namun mengejar
tampilan sebagai petanda yang dapat
diperlihatkan pada media sosial. Begitu
pula dengan kurangnya daya beli akan
simbol budaya populer membuat kelas
alay lebih mengutamakan harga yang
terjangkau.
- Alay muncul pada ranah modern sebagai
bentuk gagalnya pencapaian identitas
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
36
remaja keren, namun komunitas ini secara
tidak langsung membentuk sebuah tren
dan kelas dan bahkan komunitas baru
dalam remaja.
Dari faktor pertimbangan diatas maka desainer
akan merancang desain yang mirip atau
hampir sama secara tampilan dengan simbol
budaya populer, namun tidak menekankan
pada kualitas isi desain dengan harga yang
dapat dijangkau oleh kelas alay tersebut.
Ragam desain yang muncul berupa desain
yang hampir menyerupai penanda budaya
populer, desain ini diistilahkan dengan desain
KW yang disingkat dari kata kualitas
(kwalitas), adapula yang hanya menyamai dari
segi fitur dan fasilitas namun tampilan pada
desain dibuat berbeda.
Desain yang dirancang turut serta mengikuti
perkembangan akan ranah modern dan
pengklasifikasian alay sebagai peralihan antara
remaja desa dan kota telah mendapat perhatian
sehingga dapat menjadi sebuah sasaran pasar
yang jelas. Berbagai simbol dari identitas
remaja keren seperti penggunaan handphone
Blackberry dengan harga 3-8 juta rupiah yang
muncul pada awal tahun 2008 diadopsi
produsen desain dengan meluncurkan
handphone dengan tampilan yang dibuat mirip
dengan fitur seadanya dan harga yang yang
terjangkau seperti Nexianberry dengan harga 1
juta rupiah.
Gambar 5. Nexianberry vs Blackberry
Sumber:
https://jharismoyo.wordpress.com/tag/smartphone-keren/
Memiliki beragam situs jejaring sosial seperti
facebook, twitter, path dan instagram sebagai
pengakuan eksistensi remaja keren, sehingga
semua remaja harus memiliki situs-situs
tersebut. Tentu saja untuk memiliki situs
tersebut dan selalu update akan aktivitas yang
dilakukan diwajibkan menggunakan
handphone dengan fasilitas tertentu. Pada
desain barang yang dipakai, seperti pakaian
dan tas yang dianggap sebagai ikon dari
fashion remaja yang fasih dengan tren, remaja
dengan modal yang rendah akan berusaha
mendapatkan baju yang tampilannya mirip
dengan merk-merk tersebut.
Gambar 6. Desain KW di sebuah pasar di Indonesia
Sumber : http://money.cnn.com/2016/
Gambar 7. Perbedaan tas KW dan asli
Sumber :
http://modeltaswanitabranded.blogspot.co.id/2014/09/car
a-membedakan-tas-asli-dengan-tas.html
Tidak hanya pada desain produk, kelas alay
turut serta mempengaruhi desain interior.
Munculnya gerai-gerai makanan dan kafe
sebagai tempat berkumpul atau (nongkrong)
dengan sudut instagramable (layak untuk
diabadikan dalam foto dan diunggah ke
instagram), dianggap sebagai simbol atau
penanda remaja keren yang dipersentasikan di
media membuat para pemilik warung harus
mempertimbangkan spot-spot foto
instagramable walaupun budget desain kecil
dan harga makanan yang dijual murah. Namun
tidak sedikit pemilik warung yang berkreasi
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
37
tanpa menggunakan jasa desainer interior
untuk mendesain spot instagramable sehingga
hasilnya pun tidak maksimal.
Gambar 8. Desain kafé instagramable untuk kelas
alay
Sumber : http://helloacehku.com/5-cafe-paling-menarik-
dan-instagramable-di-aceh-pidie/
Gambar 9. Harga makanan yang terjangkau dan
biaya desain yang kecil
Sumber : https://food.idntimes.com/dining-guide/indrati-
novi-p/warung-mie-instant-kekinian-yang-instagramable-
di-sekitaran-jakarta-c1c2/full
Gambar 10. Mural instagramable
Sumber : https://food.idntimes.com/dining-guide/indrati-
novi-p/warung-mie-instant-kekinian-yang-instagramable-
di-sekitaran-jakarta-c1c2/full
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang didapat dari analisis
diatas adalah:
1. Analisis terbentuknya kelas alay
melalui teori Bourdieu yang menjelaskan
bahwa konsep habitus terdiri dari tiga konsep
yaitu, habitus, modal, dan ranah. Atau ditulis
dengan rumus (habitus)(capital/modal)+ ranah
= gaya hidup ditemukan bahwa sebuah capital
atau modal (tingkat ekonomi, pendidikan,
budaya dan sosial) yang rendah melahirkan
habitus atau selera yang rendah pada ranah
modern mendukung munculnya kelas atau
gaya hidup alay dalam pencarian identitas
remaja.
2. Ditemukan konsep yang sejalan
dengan konsep habitus dalam pertimbangan
ragam desain akibat munculnya sebuah kelas
atau gaya hidup, seperti pertimbangan akan
habitus, capital atau modal serta ranah yang
dimiliki oleh pasar. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya ragam desain yang bervariasi
seperti:
- Desain yang sama dari segi tampilan
namun memiliki kualitas dibawah desain
yang ditiru. Dalam masyarakat, desain ini
dikenal dengan istilah desain KW dan ini
umumnya merupakan benda pakai.
- Desain yang meniru fitur dan fungsi
namun berbeda dari segi tampilan, dan
menurunkan kualitas untuk membuat
harga menjadi lebih terjangkau.
- Desain yang hanya mengikuti fungsi tanpa
mementingkan kualitas dan harga yang
dibawah harga pasar untuk meraih
konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Kotler, Philip. 2009. Manajemen Pemasaran.
Jakarta: Erlangga
Sutisna. 2001. Perilaku Konsumen dan
Komunikasi Pemasaran. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung
Jurnal Desain Interior Vol.V/ No. 1/ Tahun 2018 ISSN : 2355-9284
38
Sumber Website:
Asrori, Adib. 2009. Psikologi Remaja,
Karakterisitik, dan Permasalahnnya. [online].
(http://adib-
asrori.blogspot.co.id/p/remaja.html, diakses 21
January 2018)
Bourdieu, Pierre. 1995. Physical Space, Social
Space and Habitus [pdf].
(https://archives.library.illinois.edu/, diakses
21 January 2018)
Bourdieu, Pierre. 1997. Outline of Theory of
Practice [pdf].
(https://monoskop.org/images/7/71/Pierre_Bou
rdieu_Outline_of_a_Theory_of_Practice_Cam
bridge_Studies_in_Social_and_Cultural_Anthr
opology_1977.pdf , diakses 21 January 2018)
Mulawarman, Aji Dedi. 2007 Perubahan
dengan Ekstensi Habitus,
(https://ajidedim.wordpress.com/2007/12/26/p
erubahan-dengan-ekstensi-habitus/, diakses 21
January 2018)
Pertiwi, IN. 2007. Warung Mi Instan Kekinian
yang Instagramable di Sekitaran Jakarta.
[online] (https://food.idntimes.com/dining-
guide/indrati-novi-p/warung-mie-instant-
kekinian-yang-instagramable-di-sekitaran-
jakarta-c1c2/full, diakses 20 january 2018)
Rumputteki. 2009. Selera, Gaya, Kelas vs Alay
. [online]
(http://rumputeki.multiply.com/journal/item/21
4/Selera_Gaya_Kelas_Keren_vs_Alay, diakses
20 January 2018)
Mina, Myoui. ___.8 Ciri-Ciri Anak Alay, No 2
Paling Alay, Apakah Kamu Termasuk ?
[online].
(https://updateviralnews.blogspot.com/2017/05
/8-ciri-ciri-cowok-alay-no-2-paling-alay.html,
diakses 15 January 2018)
Saputro, Seno.___. Cara Membedakan Tas
Asli dengan Tas Palsu. [online]
(http://modeltaswanitabranded.blogspot.co.id/
2014/09/cara-membedakan-tas-asli-dengan-
tas.html, diakses 15 January 2018)
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
39
RELASI DESAIN DAN TATA LETAK FURNITURE TERHADAP
KENYAMANAN PENGUNJUNG URBAN CAFE
I Wayan Yogik Adnyana Putra, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email: [email protected]
Abstrak
Dewasa ini semakin beragamnya aktivitas yang dapat dilakukan pengunjung saat berada di cafe.
Keberagaman aktivitas inilah yang kemudian menimbulkan kecendrungan pengunjung dalam memilih
desain dan tata letak dari furniture yang nyaman guna memenuhi kebutuhan akan bersosialisasi,
tempat yang nyaman untuk menikmati sajian makanan dan minuman serta menunjang aktivitas yang
berlangsung selama berada dicalam cafe. Penelitian ini bertujuan untuk memenuhi faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kenyamanan pengunjung khususnya cafe yang berada di wilayah urban. Metode
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu dengan melakukan observasi dan
pengamatan secara langsung secara mendalam terhadap cafe yang dijadikan studi kasus pada
penelitian ini. Data yang didapatkan kemudian diolah dan dianalisis. Hasil analisis kemudian
dilakukan uji validasi akhir pada penelitian untuk memastikan kecocokan hasil observasi dna
pengamatan dengan uji validasi yang telah dilakukan. Hasil temuan penelitian berupa rekomendasi
desain dan tata letak furniture yang baik bagi pengunjung cafe di wilayah urban.
Kata Kunci: desain, tata letak, kenyamanan
Abstract
Today the more diverse activities that visitors can do while in the cafe. The diversity of activities is
what then causes visitors tendency in choosing the design and layout of the comfortable furniture in
order to meet the need for socializing, a comfortable place to enjoy food and beverage serving as well
as support the activities that lasted during the cafe. This study aims to meet the factors that can affect
the comfort of visitors, especially cafes that are in urban areas. The research method used is
descriptive qualitative, that is by doing observation and direct observation in depth to cafe which
become the case study in this research. The data obtained is then processed and analyzed. The results
of the analysis then performed the final validation test on the research to ensure the matching of
observations and observations with the validation test that has been done. The findings of research in
the form of design recommendations and layout of furniture is good for cafe visitors in urban areas.
Keywords: design, layout, comfort
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
40
PENDAHULUAN
Badung merupakan salah satu kota yang
memiliki peranan penting dalam pariwisata
yang ada di Indonesia, khususnya Provinsi
Bali. Kota Badung menyimpan keindahan
alam yang indah dan memiliki beraneka ragam
tempat wisata. Sebagian besar penduduknya
bekerja dibidang Pariwisata. Keadaan wilayah
yang telah berkembang secara signifikan
dengan jarak antar bangunan sangat kecil
menjadikan Kota Badung menjadi salah satu
Urban area di Bali. Perkotaan atau Urban area
dapat didefinisikan sebagai daerah dengan
masyarakat berjumlah besar yang berada di
dalamnya. Urban area dapat dilihat melalui
kehidupan masyarakatnya yang berbeda
dengan masyarakat pedesaan. Salah satu ciri-
ciri masyarakat urban adalah perubahan-
perubahan sosial tampak nyata di kota, karena
kota pada dasarnya selalu terbuka dalam
menerima pengaruh dari luar.
Perubahan sosial yang berkembang secara
signifikan di Bali khususnya Kota Badung
sebagai lokasi kegiatan bisnis, membentuk
konstruksi gaya hidup urban dan
memunculkan konsumerisme. Masyarakat
tidak lagi menghabiskan banyak waktunya
dirumah untuk memasak makanan, melainkan
cenderung memilih pergi bersama keluarga
mengunjungi rumah makan seperti cafe yang
sudah banyak dibangun di Ibu Kota. Istilah
cafe berasal dari bahasa Perancis yang secara
harfiah artinya (minuman) kopi, namun
digunakan sebagai nama tempat dimana orang-
orang berkumpul atau sekedar bersantai untuk
melepas lelah sehabis beraktivitas sambil
minum kopi. Seiring berjalannya waktu, cafe
bukan hanya menyediakan kopi, tetapi juga
minuman lain serta makanan ringan. Salah
satu yang menjadi daya tarik cafe untuk
dikunjungi adalah suasana dan desain
bangunan dari cafe.
Desain cafe yang unik memiliki nilai lebih dari
para pengunjung, karena selain dapat
menikmati makanan, minuman, bersantai dan
berkumpul, masyarakat juga dapat
menyalurkan gaya hidup sosialnya, salah
satunya yaitu pengunjung memiliki banyak
spot foto di dalam café yang nantinya bisa
dibagikan kepada orang lain melalui media
sosial. Namun café yang banyak dibangun di
Ibu Kota atau yang biasa disebut dengan urban
café, cenderung memiliki desain dan tampilan
fasad maupun interior yang sama, sehingga
membuat cafe tampak monoton dan mulai
membosankan.
Cafe zaman sekarang tidak hanya berfungsi
sebagai tempat bersantap tetapi juga dapat
dimanfaatkan sebagai tempat rapat, tempat
reuni, bahkan juga bias dijadikan lokasi
alternative untuk menyelesaikan pekerjaan
bagi mereka yang ingin bekerja dalam
suasana berbeda. Banyaknya masyarakat yang
memilih untuk bersantai di cafe membuat
bisnis cafe di kota menjamur. Persaingan pun
semakin ketat. Demi menarik perhatian lebih
banyak pembeli, masing-masing pebisnis cafe
berusaha memberikan hal yang berbeda pada
cafenya. Dimulai dari jenis makanannya, cara
penyajiannya, system pelayanannya, fitur-fitur
hiburannya, hingga sengaja membuat suasana
maupun interior cafe menjadi seunik dan
semenarik mungkin. Biasanya semakin unik
cafe tersebut akan semakin diburu pula oleh
masyarakat.
Tema yang di usung oleh cafe dapat dibentuk
melalui elemen-elemen ruang didalamnya
seperti layout furniture, pencahayaan,
penghawaan, kebersihan dan kerapian ruang.
Elemen-elemen ruang ini saling berkaitan satu
dengan yang lain sehingga dapat dirancang
secara harmonis, proposional, seimbang, dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Furnitur
merupakan salah satu elemen ruang yang
berhubungan langsung dengan fisik
pengunjung cafe dalam melakukan aktivitas
dan mempresentasikan identitas serta fungsi
ruang yang dibentuk maupun melingkupinya.
Cafe merupakan salah satu ruang publik
dengan beragam aktivitas didalamnya. Maka
dari itu para pemilik cafe berusaha untuk dapat
menghadirkan suasana ruang yang nyaman
bagi pengunjung, salah satunya adalah desain
dan tata letak sarana duduk didalamnya.
Furniture yang terdapat didalam cafe
dikonfigurasikan atau di tata dalam beberapa
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
41
jenis pola hingga membentuk sebuah tata letak
furnitur sesuai dengan tema cafe. Beragam
jenis tata letakyang ditampilkan dapat
mempengaruhi preferensi pengunjung dalam
memilih sarana duduk yang diinginkan untuk
memperoleh kenyamanan. Kenyamanan yang
dimaksud dapat berupa kenyamanan fisik jika
dilihat dari jenis atau desain, dimensi,
material, dan warna yang digunakan sesuai
dengan kebutuhan pengunjung. Sementara
untuk kenyamanan psikologis dapat berupa
tata letak atau posisi duduk pengunjung yang
dapat mendukung aktivitas pengunjung,
seperti letak sarana duduk yang dekat area
service memiliki preferensi lebih rendah
daripada letak sarana duduk yang berada di
tengah ruang dengan kemudahan akses dan
pelayanan service dari cafe.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif, yaitu dengan melakukan observasi
langsung dan pengamatan secara mendalam
mengenai cafe di daerah urban yang dijadikan
studi kasus pada penelitian ini. Menurut Nazir
(1988), metode penelitian kualitatif merupakan
suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu
peristiwa pada masa sekarang. Penelitian ini
menafsirkan serta menguraikan data yang
bersangkutan dengan situasi yang sedang
terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi
dalam sebuah lingkungan masyarakat. Analisa
akan dilakukan secara deskriptif dengan
didasarkan pada tinjauan teori yang relevan.
TINJAUAN TEORI
1. Definisi Furniture
Furniture merupakan perlengkapan ruangan
yang mencangkup semua barang yang ada
didalamnya. Mebel berasal dari kata movable,
yang artinya bisa bergerak. Pada zaman dahulu
meja, kursi dan lemari relatif mudah
digerakkan dari batu besar, tembok, dan atap.
Berdasarkan pengertian tersebut furniture
merupakan semua benda yang ada di ruangan
dan digunakan oleh penghuninya dengan
elemen-elemen dasar yang mencangkup
furniture dalam mengisi ruangan seperti, meja,
kursi, sofa, lemari, rak buku dan lain-lain.
2. Definisi Urban Cafe
- Urban
Definisi dari area urban adalah berkaitan
dengan kota besar yang berada dalam
suatu wilayah. Daerah perkotaan dapat
didefinisikan sebagai daerah yang
mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian, wilayah yang telah
berkembang secara signifikan. Perkotaan
dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
- Café
Menurut Soenarno dalam Kamus Istilah
Pariwisata dan Perhotelan (2003:66) cafe
adalah Restoran dengan menu terbatas.
Café adalah istilah lain dari Coffee yang
biasa dipakai untuk menyebut istilah
Coffee Shop. Artinya tempat makan dan
minum yang menyediakan menu cepat
dan sederhana serta menyediakan
minuman ringan untuk orang yang santai
atau menunggu sesuatu. Menurut
Budiningsih (2009:51) cafe atau cape
adalah suatu restoran kecil yang berada di
luar hotel. cafe memiliki pilhan makanan
yang sangat terbatas dan tidak menjual
minuman yang beralkohol tinggi, tetapi
tersedia minuman sejenis bir, soft drink,
teh, kopi, rokok, cake, cemilan, dan lain-
lain.
Berdasarkan pemaparan dari definisi urban
dan café, dapat disimpulkan bahwa urban café
merupakan tempat yang mengutamakan
hiburan dan kenyamanan pengunjung yang
menyediakan menu makanan ringan, kopi, dan
minuman dengan kadar alcohol rendah,
dimana lokasinya berada di pusat perkotaan
dengan dominasi masyarakatnya sebagai
pekerja kantoran, mahasiswa, dan pelaku
ekonomi lainnya. Terdapat berbagai tipologi
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
42
Café untuk menunjang keberadaan dari cafe
itu sendiri, diantaranya;
- Tipologi café berdasarkan cara menyajian
makanan ada 4 jenis yaitu Self Service
System, Waiter of Waitress Service to
Table System, Counter Service System,
dan Automatic Vending System.
- Tipologi café berdasarkan jenis menu
yang dihidangkan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis yaitu Table d’hote Menu,
Ala Certe, dan Special Today Menu.
- Tipologi café berdasarkan lokasi dapat
dibedakan menjadi dua yaitu urban café
dan café yang berada di pedesaan/daerah
pelosok.
- Tipologi berdasarkan target
pemasaran terhadap produk yang
ditawarkan dapat dibedakan menjadi 3
kelompok yaitu lokal, turis asing, dan
domestik (JURNAL INTRA VOL.2,
NO.2, (2014).
PEMBAHASAN
1. Desain Furniture
Keberadaan furniture dalam kehidupan sehari-
hari memiliki peranan penting untuk
mendukung aktivitas penggunanya. Model dan
bentuk pada umumnya berkaitan erat dengan
fungsinya. Selain model dan bentuk yang
beragam, furniture digunakan oleh
penggunanya untuk duduk, berbaring, ataupun
menyimpan benda kecil (Haryanto, 2004).
Hasil observasi memperlihatkan bahwa
terdapat beberapa jenis furniture yang
digunakan pada ketiga studi kasus antara lain
pada 9/11 Café & Concept Store, Revolver
Bali dan Creamy Comfort Café. Jenis furniture
yang digunakan pada ketiga studi kasus bisa
dipastikan dapat mendukung aktivitas yang
dilakukan oleh pengunjung dan membuat
penggunanya merasa nyaman sehingga
meningkatkan produktifitas dalam hal ini
adalah jumlah pengunjung. Banyak faktor
yang mempengaruhi kenyamanan pengunjung
saat berada di café, salah satunya bisa
diciptakan melalui perencanaan lingkungan
fisik café yang baik (Maryati, 2008).
Menurut Pile (1988) furniture merupakan
sebuah bentuk perencanaan detail tentang
penempatan benda didalam ruang dan harus
mengikuti pola perencanaan ruang tersebut.
Penyusunan furniture yang tidak beraturan dan
tidak sesuai dengan pola perencanaan ruang
dapat menyebabkan kemacetan sirkulasi dan
mengganggu kenyamanan pengunjung cafe
(Lawson, 1973). Penataan pola tata letak
furniture di cafe sama halnya seperti penataan
tata letak ruang-ruang seperti yang diuraikan
oleh D.K. Ching, sehingga terdapat beberapa
pola tata letak sarana duduk cafe sebagai
berikut:
- Pola terpusat. Merupakan suatu ruang
sentral dan dominan yang dikelilingi oleh
ruang sekunder yang dikelompokkan.
- Pola Linier. Merupakan sebuah sekuen
linier ruang-ruang yang berulang.
- Pola Cluster. Merupakan ruang-ruang
yang dikelompokkan melalui pendekatan
atau pembagian suatu benda atau
hubungan visual bersama.
- Pola Grid. Merupakan ruang-ruang yang
diorganisir didalam area sebuah grid
struktur atau rangka kerja tiga dimensi
lainnya.
- Pola Radial. Merupakan suatu ruang yang
menjadi sentral organisasi-organisasi
linier ruang yang memanjang dengan cara
radial.
Berdasarkan penjelasan mengenai pola tata
letak furniture diatas, maka pada penelitian ini
hasil observasi dan pengamatan menunjukkan
bahwa terdapat tiga kelompok pola tata letak
furniture yang diterapkan pada ketiga studi
kasus cafe, yaitu pola terpusat, pula linier, dan
pola cluster.
2. Jarak Interaksi Manusia
Edward Hall (1963), menyatakan bahwa ruang
personal merupakan suatu jarak untuk
berkomunikasi, dimana jarak antar individu
juga merupakan jarak berkomunikasi. Setiap
individu memiliki cara untuk mengatur jarak
personalnya dengan orang lain. Hal ini juga
ang dapat terjadi antar pengunjung cafe.
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
43
Adapun jenis-jenis jarak dibagi menjadi
empat, yaitu:
1. Jarak intim: fase dekat (0-0,15m) dan fase
jauh (0,15-0,45m). Jarak untuk merangkul
kekasih, sahabat, atau anggota keluarga
untuk melakukan kontak fisik secara
langsung.
2. Jarak personal: fase dekat (0,45-0,75m)
dan fase jauh (0,75-1,2m). Jarak untuk
percakapan antara dua sahabat atau orang
yang sudah saling akrab.
3. Jarak sosial: fase dekat (1,2-2,1m) dan
fase jauh (2,1-3,6m). Batas normal bagi
individu dengan kegiatan bersamaan atau
kelompok sosial yang sama. Pada jarak
sosial ini cara berkomunikasi dapat
dilakukan dengan suara agak keras dan
juga menggunakan bantuan anggota
tubuh.
4. Jarak publik: fase dekat (3,6-7,6m) dan
fase jauh (lebih dari 7,6m). Suatu jarak
yang dilakukan pada pembicaraan antara
satu orang dan tiga puluh orang lebih
seperti pembicara dalam suatu forum atau
depan kelas.
3. 9/11 Café & Concept Store
Café ini berada di jalan Teuku Umar barat
337, Denpasar, Bali. 9/11 Café memiliki 2
lantai yang terbagi menjadi 5 ruang utama
yaitu outdoor area, indoor area, kirtchen,
toilet pengunjung dan store. Outdoor area
berada mengelilingi indoor area dan terdapat
12 meja disekitarnya dengan masing-masing
meja untuk 4 orang. Nuansa alam ditengah
perkotaan dihadirkan untuk memperkuat
konsep cafe ini. Hal ini dapat di lihat ketika
awal memasuki cafe, dari segi arsitektur
bangunan di rancang seperti sebuah rumah
dengan pepohonan dan halaman yang luas
pada bagian depan dan belakang cafe.
Sementara dari segi desain interior terlihat dari
pemilihan warna ruang yang diterapkan, yaitu
menggunakan warna-warna lembut seperti
coklat, biru, orange, dan warna-warna lain
yang dapat meningkatkan kenyamanan
psikologis pengunjung. Berikut suasana
kondisi eksisting dari 9/11 Cafe & Concept
Store.
Gambar 1. Suasana Outdoor Cafe
Sumber: Observasi Peneliti, 2017
Elemen pembentuk ruang yang terdapat pada
9/11 Café & Concept Store diantaranya:
- Lantai, menggunakan lantai kayu solid.
- Dinding, menggunakan dinding terbuka
hanya terdapat dinding yg membatsi
ruang outdoor dan indoor.
- Plafon, sebagian terbuka dan sebagian
menggunakan kayu solid.
-
Gambar 2. Suasana Indoor dan Outdoor Cafe
Sumber: Observasi Peneliti, 2017
Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan
yang telah dilakukan, terdapat beberapa
kecenderungan pengunjung dalam memilih
kenyamanan duduk, visual, dan interaksi yaitu
pada aktivitas formal yang dilakukan oleh
kelompok keluarga seperti rapat keluarga dan
perayaan ulang tahun cenderung memilih
sarana duduk yang jauh dari keramaian,
sementara untuk aktivitas informal seperti
makan dan bersantai kelompok keluarga
cenderung memilih sarana duduk yang berada
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
44
ditengah keramaian dan dekat dengan area
pintu masuk. Hal yang sama juga diperlihatkan
kelompok teman dengan aktivitas informal
seperti makan, mengobrol, dan bersantai.
Kelompok pengunjung ini cenderung memilih
sarana duduk yang diantara pengunjung
lainnya dengan pencahayaan dan penghawaan
yang cukup. Kemudian untuk kelompok
pasangan menunjukkan bahwa kelompok
pengunjung ini hanya melakukan aktivitas
informal yaitu makan dan bersantai. Pada
aktivitas ini kelompok pasangan cenderung
memilih sarana duduk yang berada sedikit jauh
dari keramaian dengan penghawaan dan
pencahayaan yang cukup terang. Hasil
observasi dan pengamatan menunjukkan
bahwa pada kedua aktivitas yang dilakukan,
pengunjung cenderung dapat memilih
furniture yang berada jauh dari keramaian dan
terletak di area ruang terbuka sehingga
pengunjung ini dapat dengan fokus dan tenang
dalam melakukan aktivitas.
4. Revolver Bali
Berlokasi di Jl. Kayu Aya No.51, Seminyak,
Kuta, Kabupaten Badung, Revolver bali
menawarkan menu utama beruba kopi
ekspresso, selain itu yang patut diperhatikan
adalah semua bahan makanan yang mereka
gunakan adalah organik. Beberapa diantaranya
bahkan vegan friendly. Tempatnya sendiri
bernuansa vintage rustic dan terdiri dari
indoor-outdoor area. Ciri khas pada cafe ini
adalah logo mereka yang merupakan 2 buah
pistol bersilangan dan juga pintu kayu mereka.
Sementara itu di bagian pojok dekat pintu
masuk ada merchandise area yang menjual
kaos, tumbler, topi dengan logo khas Revolver
Espresso.
Gambar 3. Suasana Bar Cafe
Sumber: Observasi Peneliti, 2017
Area bar didesain menyatu dengan area indoor
lainnya untuk lantai, dinding, dan plafon
menggunakan material yang sama. Didesain
melengkung dengan material kayu bermotif
floral sebagai mejanya, dipadukan dengan
kursi bar berbentuk persegi dengan bantalan
kain berwarna merah yang bermotif floral.
Orientasi bentuk meja bar yang melengkung
memberi kesan yang tidak membuang- buang
tempat yang ada.
Gambar 4. Suasana Area Kasir
Sumber: Observasi Peneliti, 2017
Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
terdapat beberapa kecenderungan pengunjung
terhadap kenyamanan duduk, visual dan
kenyamanan interaksi. Hal ini dikarenakan
dari jenis aktivitas yang dilakukan
membutuhkan privasi dari pengunjung
lainnya. Sementara untuk aktivitas informal
seperti makan dan bersantai kelompok ini
cenderung memilih sarana duduk yang berada
ditengah keramaian dan diantara pengunjung
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
45
lainnya. Hal ini memudahkan pengunjung
untuk memperoleh pelayanan dari cafe. Untuk
aktivitas informal yang dilakukan oleh
kelompok teman seperti makan, mengobrol,
dan bersantai kelompok ini cenderung memilih
sarana duduk yang berada diarea ruang semi
terbuka. Hal ini memudahkan juga bagi
pengunjung yang ingin merokok. Kemudian
untuk kelompok pasangan, hasil observasi
menunjukkan bahwa kelompok pasangan
cenderung memilih sarana duduk yang jauh
dari kelompok pengunjung lainnya dengan
pencahayaan yang cukup redup. Sementara
pengunjung perorangan, hasil observasi
menunjukkan bahwa pengunjung ini
cenderung memilih sarana duduk yang yang
berada ditengah keramaian untuk melakukan
aktivitas informal seperti makan dan
menyelesaikan pekerjaan atau tugas kuliah.
5. Creamy Comfort Cafe
Merupakan sebuah cafe yang beralamat di
Jalan Raya Kerobokan No. 118, Seminyak,
Badung-Bali dengan memiliki konsep unik
dan manis. Creamy Comfort menjual aneka
ragam dessert dan minuman manis baik yang
mengandung kafein maupun yang tidak.
Gambar 5. Suasana Area Indoor
Sumber: Observasi Peneliti, 2017
Pada ruang makan indoor, terdapat dua jenis
interior yang berbeda pada sisi yang berbeda.
Interior dining area yang berada tepat di
sebelah pintu masuk memiliki konsep dreamy
bak negeri dongeng. Hal ini ditampilkan dalam
penggunaan cat all white, selain itu bentuk
furniturnya yang unik seperti kepala kelinci
ditambah dengan dipajangnya aksesoris berupa
teacup set yang lucu semakin menambah kesan
seolah pengunjung sedang pesta minum teh
seperti yang ada di dalam cerita Alice in
Wonderland. Sedangkan sisi lain dari dining
indoor ini mengusung konsep grandma’s
house dengan nuansa vintage yang kental.
Gambar 6. Penataan Furniture Dining Area
Sumber: Observasi Peneliti, 2017
Selain itu penggunaan hasil sulaman sebagai
pajangan dinding juga semakin memperkuat
kesan vintage. Untuk pencahayaan, kedua sisi
lebih banyak menggunakan pencahayaan alami
di siang hari. Penghawaan menggunakan
penghawaan buatan berupa AC.
Hasil observasi dan pengamatan yang telah
dilakukan pada studi kasus ini, terdapat
kecenderungan pengunjung terhadap
kenyamanan duduk, visual, dan interaksi.
Kecenderungan tersebut terlihat dari berbagai
aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing
kelompok pengunjung. Furniture jenis sofa
dipilih karena dinilai nyaman khususnya bagi
pengunjung yang membawa anak kecil.
Sementara untuk kelompok teman dengan
aktivitas makan, mengobrol, dan bersantai
cenderung memilih sarana duduk yang berada
di area ruang semi terbuka dengan jenis sarana
duduk sofa. Pemilihan sarana duduk ini dinilai
cukup nyaman bagi pengunjung untuk
melakukan aktivitas. Penghawaan dan
pencahayaan yang terang menjadikan
pengunjung dapat dengan nyaman melakukan
aktivitas. Sementara untuk pengunjung
perorangan dengan aktivitas makan dan
menyelesaikan pekerjaan cenderung memilh
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
46
sarana duduk yang berbeda ruang dengan
pengunjung lainnya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis
yang dilakukan, maka dapat disimpulkan dari
hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Setiap cafe memiliki tema dan furniture
yang berbeda-beda. Suasana ruang serta
komponen didalamnya didesain senyaman
mungkin karena dapat mempengaruhi
seseorang dalam melakukan aktivitas. Hal ini
memperlihatkan bahwa kebutuhan akan desain
letak furniture yang nyaman di cafe cukup
tinggi.
2. Setiap kelompok pengunjung memiliki
kecenderungan tersendiri dalam memilih
sarana duduk di cafe disesuaikan dengan
aktivitas yang dilakukan.
3. Berdasarkan hasil observasi dan
pengamatan yang dilakukan, terdapat beberapa
faktor kenyamanan yang menjadi alasan
pengunjung memilih furniture dalam hal ini
sarana duduk yang digunakan.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
- Lokasi atau letak sarana duduk
Lokasi atau letak sarana duduk yang baik
adalah yang memiliki penghawaan dan
sirkulasi yang baik. Selain itu perlu juga
diperhatikan jarak antar meja pengunjung.
- View atau pemandangan
Letak sarana duduk yang yang dekat
dengan jendela atau akses langsung
melihat pemandangan ke luar menjadi
salah satu preferensi pengunjung dalam
memilih sarana duduk.
- Privasi
Setiap pengunjung yang datang ke cafe
memiliki tujuan dan privasi masing-
masing sesuai dengan aktivitas yang
dilakukan. Seperti aktivitas formal diskusi
atau suatu perayaan, pengunjung
cenderung memilih sarana duduk yang
memiliki ruang khusus atau terpisah
dengan pengunjung lainnya. Hal ini
bertujuan agar pengunjung dapat dengan
fokus melakukan aktivitas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Adriyanti, Nike, Mariana. 2014. Perancangan
Interior Pusat Pendidikan Anak Jalanan di
Surabaya. Jurnal Intra, Vol. 2, No. 2.
Budiningsih, Asri. 2009. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Darmaprawira. W.A, Sulasmi. 2002. Warna
Teori dan kreativitas Penggunanya. Bandung:
Penerbit ITB
Hall, Edward T. 1963. Proxemics: The Study
of Man’s Spatial Relations and Boundaries.
New York: International University Press
Haryanto, Eko. 2004. Ragam Hias Kursi Kayu
Tunggal Jawa Tengah Abad ke 17-20. Tesis
Program Studi Desain, Institut Teknologi
Bandung. Bandung: ITB
Jamaludin. 2007. Pengantar Desain Mebel.
Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.
Lawson, Fred. 1973. Restaurant Planning &
Design. Great Britain: Architectural Press Ltd.
Maryati. 2008. Manajemen Perkantoran
Efektif. Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen
YKPN.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Pile, John. F. 1988. Interior Design. New
York: Harry N. Adam Inc.
Soenarno, Adi, Drs., MBA. 2003. Kamus
Istilah Pariwisata dan Perhotelan. Bandung:
Angkasa
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
47
PERKEMBANGAN JARINGAN INFRASTRUKTUR PERKOTAAN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP TATA RUANG KOTA DENPASAR
Ni Luh Gede Niti Swari, S.T., M.T.
Dosen Program Studi Desain Interior, Sekolah Tinggi Desain Bali
Email : [email protected]
Abstrak
Kota Denpasar adalah salah satu kota yang merupakan pusat perkembangan dan pertumbuhan
perekonomian masyarakat di Bali, dengan tingkat perkembangan sarana transportasi yang sangat
tinggi. Prosentase jumlah penambahan kendaraan bermotor tiap tahunnya (29,2%) tidak sebanding
dengan daya dukung jaringan infrastruktur terutama jaringan jalan (4,68%), sehingga hal ini
menimbulkan kemacetan lalu lintas pada ruas-ruas jalan utama kota Denpasar. Pemerintah kota
mengupayakan solusi untuk mengatasi masalah ini antara lain dengan mengadakan pelebaran badan
jalan, namun tidak semua jalan yang ada dapat dilebarkan, mengingat sebagian besar ruas jalan sudah
dipadati dengan perumahan penduduk ataupun pertokoan. Oleh karena itu pemerintah mengambil
alternatif lain, yaitu dengan membangun jalan lingkar baru di luar pusat kota Denpasar. Upaya ini
belum dapat memecahkan permasalahan transportasi dalam kota secara optimal, bahkan menambah
permasalahan lain yang bagi tata ruang fisik kota, terutama pada penggunaan lahan (land use) dan
morfologi kota. Berdasarkan atas fenomena tersebut, maka penelitian ini diadakan dan bertujuan
untuk menganalisis hubungan antara sistem jaringan infrastruktur transportasi di kota Denpasar
dengan tata ruang kota Denpasar, dengan teknik analisis super impose. Hasil yang diperoleh adalah
berupa suatu pengujian terhadap kebenaran teori hubungan antara sistem transportasi dan penggunaan
lahan (land use), serta pola morfologi lahan terbangun yang terbentuk di Kawasan Jalan Teuku Umar
Barat dan Jalan Mahendradata.
Kata Kunci : Sistem Transportasi, Penggunaan Lahan (land use), Morfologi
Abstract
Denpasar City is one of the town which is playing role as the central of economic development and
economic growth of the community in Bali, with a rapid development of transportation facilities. The
percentage of the additional vehicles each year (29.2%) does not comparable with the carrying
capacity of the network infrastructure especially the roads (4.68%), therefore this creates traffic jams
on many of the main street in Denpasar City. The government seeking some solutions to overcome
this problem, among others, by making the road widening, but not all of the existing road can be
widened, because most of the roads in Denpasar City are crowded with the housing residents or
shops. Therefore, the government took another alternative, it is to build a new ring road outside of the
center of Denpasar City. Efforts to increase length of road in Denpasar City, is not able to solve the
problem of city’s transportation optimaly, even adding another issues which provide the effects for
the physical layout of the city, especially on land use and the morphology of the city. Based on these
phenomena, this research is conducted and aimed to analyze the relationship between transportation
infrastructure network system and the spatial system of Denpasar City. The analysis process will be
done with super impose technical analysis.The results obtained is a test to the validity of the
relationship theory between the transport system and land use which are supported by the other
factors, as well as obtained some result of morphology pattern that had been formed on The Area of
Teuku Umar Barat Street and Mahendradata Street.
Keywords: Transportation Systems, Land Use, Morphology.
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
48
I. PENDAHULUAN
Kota merupakan pusat pemerintahan, pusat
kegiatan pengembangan sektor ekonomi,
pendidikan, kesehatan, pusat sarana hiburan,
pusat pelayanan barang dan jasa, menjadi
faktor penarik utama para penduduk di luar
kota untuk berurbanisasi ke kota. Demikian
pula halnya dengan kota Denpasar, yang telah
tumbuh menjadi kota besar dengan
pertambahan jumlah penduduk yang pesat.
Pada akhir tahun 2008 jumlah penduduk telah
berkembang menjadi 628.909 jiwa dengan
pertumbuhan penduduk 3,2 % tiap tahunnya
(Bali Dalam Angka,2009;63). Pesatnya
pertumbuhan penduduk kota Denpasar
memberikan dampak pada pertumbuhan
perekonomian yang semakin maju.
Perkembangan ekonomi suatu kota tidak dapat
dipisahkan hubungannnya dengan transportasi
(Catanese & Snyder,1996;387), dimana
transportasi khususnya jaringan jalan
merupakan salah satu sektor yang sangat
berperan dalam pembangunan ekonomi kota
Denpasar secara menyeluruh.
Saat ini panjang jalan di Kota Denpasar
diperkirakan mencapai 651,84 km (Denpasar
Dalam Angka,2009;329) dengan jumlah
kendaraan 505.626 buah (Denpasar Dalam
Angka,2009;371). Berdasarkan atas data
tersebut, dari segi kuantitas jelas terlihat
bahwa prosentase jumlah penambahan
kendaraan bermotor tiap tahunnya (29,2%)
tidak sebanding dengan daya dukung jaringan
infrastruktur terutama jaringan jalan (4,68%),
sehingga hal ini menimbulkan kemacetan lalu
lintas pada ruas-ruas jalan utama.
Bercampurnya moda lalu lintas regional dan
lalu lintas lokal pada kawasan kota Denpasar
dan sekitarnya juga merupakan salah satu
faktor penyebab ketidak mampuan jalan-jalan
di dalam kota untuk melayani fungsinya
dengan baik.
Pemerintah kota mengupayakan solusi untuk
mengatasi masalah ini antara lain dengan
mengadakan pelebaran badan jalan, namun
tidak semua jalan yang ada dapat dilebarkan,
mengingat sebagian besar ruas jalan sudah
dipadati dengan perumahan penduduk ataupun
pertokoan. Oleh karena itu pemerintah
mengambil alternatif lain, yaitu dengan
membangun jalan lingkar baru di luar pusat
kota Denpasar . Upaya penambahan panjang
jalan di Kota Denpasar belum dapat
memecahkan permasalahan transportasi dalam
kota secara optimal, bahkan menambah
permasalahan lain yang memberikan pengaruh
bagi tata ruang fisik kota.
Pembangunan jaringan jalan baru dalam suatu
kawasan memberikan dampak positif bagi
lingkungan sekitarnya terutama dalam
perkembangan perekonomian kawasan
tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
perkembangan pembangunan jalan baru juga
dapat memberikan berbagai dampak negatif,
khususnya terhadap lingkungan fisik dan tata
ruang kota. Untuk merealisasikan
pembangunan jaringan jalan baru , pemerintah
melakukan pelepasan lahan yang mayoritas
adalah lahan pertanian. Hal ini memicu
terjadinya konversi lahan secara besar-besaran,
karena keberadaan jalan lingkar ini secara
otomatis meningkatkan nilai lahan di kawasan
sekitarnya.
Keberadaan jalan-jalan baru secara pasti akan
diikuti dengan perkembangan dan perubahan
penggunaan lahan (land use), salah satunya
adalah perubahan lahan tak terbangun menjadi
lahan terbangun. Hal ini juga terjadi pada Jalan
Teuku Umar Barat (lebih dikenal sebagai Jalan
Marlboro) dan Western Ring Road atau lebih
dikenal sebagai Jalan Mahendradata. Saat ini
pemanfaatan ruang di sepanjang koridor Jalan
Teuku Umar Barat dan Jalan Mahendradata
yang pada awalnya adalah daerah permukiman
campuran dan lahan pertanian, kini telah
berubah menjadi kawasan perdagangan, jasa,
dan industri (Zona Pusat Ruang Kota, 2008) .
Suatu saat tentunya membawa banyak dampak
positif terutama di bidang ekonomi, namun di
sisi lain juga memberikan dampak-dampak
negatif terutama bagi tata ruang fisik di
koridor Jalan Teuku Umar Barat dan Jalan
Mahendradata.
Menurut Marler (1985), hubungan antara
Transportasi dengan Penggunaan Lahan (land
use) adalah berhubungan sebagai suatu sistem.
Perubahan atau pembangunan sarana
transportasi di suatu wilayah akan
mempengaruhi pola penggunaan lahan (land
use), demikian pula sebaliknya, perubahan
pola penggunaan lahan (land use) akan
mempengaruhi sarana transportasi. Oleh
karena itu, penelitian ini sangat penting
dilakukan salah satunya untuk menguji
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
49
kebenaran dari teori tersebut . Penelitian ini
juga dilakukan untuk menganalisis fenomena-
fenomena yang terjadi pada lokasi penelitian
untuk dapat mengidentifikasi dan menganalisis
bagaimana pengaruh dari perkembangan
infrastruktur transportasi terhadap fisik tata
ruang kota Denpasar, khususnya yang terjadi
di kawasan Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I, dan Jalan Mahendradata II.
II. TINJAUAN LITERATUR
2.1.Hubungan antara Sistem Transportasi
dengan Penggunaan Lahan (Land Use)
Sistem perkotaan terdiri dari berbagai
macam dan jenis aktivitas yang berlangsung di
atas berbagai macam dan jenis peruntukan
lahan yang disebut dengan pengunaan lahan
(land use). Untuk melakukan kegiatan tersebut
manusia melakukan perjalanan diantara land
use tersebut dengan menggunakan jaringan
transportasi seperti jalan, kendaraan umum dan
kendaraan pribadi. Pergerakan manusia,
kendaraan, barang dan jasa membentuk suatu
interaksi dengan melibatkan perjalanan yang
mengakibatkan terjadinya arus lalu lintas.
Tujuan umum dari perencanaan
transportasi adalah untuk membuat interaksi
tersebut menjadi lebih mudah dan efisien.
Menurut N.W. Marler (1985;96), terdapat 3
komponen utama dalam hubungan antara land
use dan sistem transportasi perkotaan yaitu :
1. Penggunaan Lahan (Land Use)
Penggunaan Lahan (Land Use) merupakan
pemanfaatan atau penggunaan suatu lahan dan
intensitas dari kegiatan yang berlangsung
diatas lahan tersebut. Kota terbagi menjadi
beberapa daerah/zona dan intesitas land use
diukur dari hubungan antara zona yang dapat
menimbulkan traffic sebagai akibat dari
perjalanan manusia diantara zona tersebut.
2. Transport Supply
Transport Supply merupakan bagian dari
jaringan transportasi dalam sebuah kota.seperti
jalan, parkir, pedestrian, fasilitas transportasi
umum, dan rute perjalanannya. Transport
supply juga mencakup karakteristik
operasional dari sebuat jaringan transportasi
seperti kapasitas dan route jalan, serta biaya,
kapasitas, dan frekuensi servis dari transportasi
umum. Semua karakteristik dari transport
supply ini dapat diukur.
3. Traffic
Traffic merupakan hasil/akibat dari interaksi
antara land use dan transport supply. Traffic
dapat berupa arus manusia, kendaraan ataupun
barang diatas jaringan transportasi yang dapat
diukur dengan jumlah kendaraan, ataupun
manusia dalam tiap jamnya.
Ketiga komponen ini merupakan
suatu sistem yang terintegrasi dan saling
mempengaruhi antara satu sama lainnya
(membentuk hubungan yang saling
mempengaruhi/resiprocal antara satu dengan
yang lainnya). Perubahan yang terjadi pada
suatu komponen secara otomatis akan
menimbulkan perubahan pada komponen
yang lainnya (lihat Gambar 2.1).
Interaksi antara 2 komponen juga
dapat memberikan pengaruh pada komponen
yang lainnya seperti :
1. Interaksi antara land use dan transport
supply berpengaruh pada besarnya traffic.
2. Interaksi antara transport supply dan
traffic berpengaruh pada land use
3. Interaksi antara traffic dan land use
berpengaruh terhadap transport supply
2.2.Sistem Infrastruktur Transportasi
Sistem jaringan transportasi terdiri dari 2
bagian (Marler, 1985; Lecturer 11- page 2),
yaitu :
1.The Fixed Elements
The Fixed Elements merupakan
elemen tetap dari sistem infrastruktur
transportasi .Yang dimaksudkan sebagai
elemen tetap adalah jaringan trasportasi/
transportation networks yaitu “jalan/roads”,
railways, footpaths, dan yang lainnya.
2.The Flow Elements
Land Use
Transport
Supply
Traffic
Gambar 2.1 Gambar Hubungan antara land
use, transport supply dan traffic
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
50
The Flow Elements merupakan elemen
yang bergerak dari sistem infrastruktur
transportasi. Yang dimaksudkan sebagai
elemen bergerak adalah kendaraan, serta
manusia dan barang yang melakukan
perpindahan di atas sistem jaringan
infrastruktur transportasi.
2.3 Penggunaan Lahan (Land Use)
Menurut N.W. Marler (1985;97), land
use merupakan pemanfaatan atau kegunaan
dari suatu lahan. Sistem perkotaan terdiri dari
berbagai macam dan jenis aktivitas yang
berlangsung di atas berbagai macam dan jenis
peruntukan lahan yang disebut dengan land
use. . Land use merupakan bagian dari tata
ruang kota dan terdiri dari beberapa jenis,
dimana semua itu dapat dijadikan sebagai
variabel-variabel penelitian. Dalam tata ruang
perkotaan terdapat berbagai macam land use,
diantaranya adalah permukiman, komersial,
lahan pertanian, lahan terbuka hijau, industri,
dan yang lainnya.
Dalam bukunya “The Urban Pattern”,
Gallion menyatakan bahwa land use terdiri
dari beberapa aspek penting yaitu :
1. Aspek fisik
Aspek fisik meliputi:
a) Kawasan lahan terbangun yang berupa pemanfaatan lahan
untuk permukiman, kesehatan,
pendidikan, peribadatan,
perkantoran, industry dan jasa,
serta perdaganagn.
b) Kawasan lahan tak terbangun yang berupa lahan pertanian,
perkebunan campuran, dan lahan
kosong lainnya yang tidak
terbangun.
2. Aspek Ekonomi
Aspek Ekonomi meliputi aksesibilitas
dan trend. Semakin tinggi aksesibilitas
dari suatu land use, maka akan semakin
besar kecenderungan lahan pada suatu
trend yang berhubungan dengan kegiatan
ekonomi seperti bisnis, industri, dan jasa.
3. Aspek Sosial
Salah satu dari aspek sosial meliputi
popularitas. Popularitas merupakan suatu
fenomena dari kegiatan social, dimana
suatu popularitas berkembang melalui
interaksi social.
4. Aspek Politik
Aspek Politik meliputi isu-isu pemerintah
dan peraturan perundang-undangan.
Salah satunya adalah RTRW, RDTR, dan
rencana penggunaan lahan dari suatu
kawasan.
Aspek-aspek tersebut sangat berperan
dan berpengaruh dalam perkembangan
karakter, kualitas, kecepatan pertumbuhan dan
pola morfologi land use yang secara langsung
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan
pola morfologi suatu kawasan atau perkotaan
(Gallion,1980;219) .
2.4 Proses Pemekaran dan Pertumbuhan
Kota
Menurut Herbert (Herbert dalam
Yunus, 2000:197) Matra morfologi
pemukiman menyoroti eksistensi keruangan
kekotaan dan hal ini dapat diamati dar
kenampakan kota secara fisik antara lain
tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada,
blok-blok bangunan baik dari daerah hunian
maupun bukan hunian dan juga bangunan
individual. Proses perembetan kenampakan
fisik kota ke arah luar disebut”urban sprawl”.
Adapun macam “urban sprawl” sebagai
berikut: (Yunus, 2000:124)
Tipe 1: Perembetan konsentris
(concentric development/ low density
continous development)
Gambar 2.2 Proses penjaringan Teori Transportasi yang akan
digunakan dalam Penelitian
Gambarl 2.3 Perembetan Konsentris
Sumber : Yunus, 2000;126)
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
51
Dikemukakan pertama kali oleh Harvey Clark
(1971) menyebut tipe ini sebagai “low density,
continous development” dan Wallace (1980)
menyebut “concentric dvelopment”. Tipe
perembetan paling lambat, berjalan perlahan-
lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar
kenampakan fisik kota yang sudah ada
sehingga akan membentuk suatu kenampakan
morfologi kota yang kompak. Peran
transportasi terhadap perembetannya tidak
begitu besar.
Tipe 2: Perembetan memanjang (ribbon
development/ linear development/ axial
development)
Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan
perembetan areal perkotaan di semua bagian
sisi luar daripada daerah kota utama.
Perembetan paling cepat terlihat di koridor
jalan yang ada, khususnya yang bersifat
menjari (radial) dari pusat kota. Kawasan
disepanjang koridor merupakan tekanan paling
berat dari perkembangan (Yunus, 2000:127).
Tipe ini perembetannya tidak merata pada
semua bagian sisi-luar dari pada daerah kota
utama. Perembetan bersifat menjari dari pusat
kota disepanjang koridor jalan.
Tipe 3: Perembetan yang meloncat (leap
frog development/checkkerboard
development)
Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap
paling merugikan oleh kebanyakan pakar
lingkungan, tidak efisien dan tidak menarik.
Perkembangan lahannya berpencar secara
sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan
kosong, sehingga cepat menimbulkan dampak
negatif terhadap kegiatan pertanian pada
wilayah yang luas sehingga alih fungsi lahan
pertanian akan lebih cepat terjadi.
I. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan sebuah studi
tentang pengaruh perkembangan sistem
jaringan infrastruktur transportasi terhadap
perubahan fisik tata ruang kota Denpasar.
Dilihat dari judul penelitian tersebut,
penelitian ini termasuk ke dalam kategori
penelitian asosiatif/relational yang bersifat
resiprocal. Pada umumnya penelitian tipe ini
dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif
(tepatnya adalah Correlational Research).
Correlational Research menurut Groat&Wang
(2001) adalah merupakan suatu penelitian
yang bertujuan untuk memperjelas pola dari
hubungan antara dua atau lebih variabel ,
dimana variabel-variabel ini merupakan bagian
dari fenomena-fenomena yang ditemukan
dalam lingkup penelitian (Groat & Wang
2001; 206).Penelitian ini mengambil rentang
waktu dari tahun 1994 sampai dengan tahun
2010. Penelitian ini lebih banyak
menggunakan jenis data berupa Gambar/Peta,
yang nantinya akan dianalisa dengan teknik
pemetaan (mapping). Peta-peta tersebut berupa
peta digital dan peta nondigital yang diperoleh
Gambar 2.6 Proses penjaringan Teori Tata Ruang Kota
yang akan digunakan dalam Penelitian
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
52
dari beberapa sumber seperti Google Earth
dan instansi pemerintah antara lain
Departemen PU Bina Marga dan BAPPEDA.
Peta-peta ini berupa peta-peta satelit seperti
Landsat ETM, Iconos, Quick Bird, dan Geo
Eye dengan skala yang beragam. Oleh karena
itu diperlukan proses normalisasi peta yang
bertujuan untuk menyamakan skala, dan garis
lintang untuk mempermudah pada proses
analisis selanjutnya. Dengan bantuan software
Arcview GIS peta-peta ini diterjemahkan
kedalam nilai-nilai kuantitatif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi penelitian adalah di kota Denpasar
dengan mengambil areal penelitian di
kawasan Jalan Teuku Umar Barat dan
Jalan Mahendradata dalam radius 250
meter dari koridor jalan, yang merupakan
jaringan-jaringan jalan yang memiliki
peranan yang sangat vital bagi sarana
transportasi di kota Denpasar.
4.1 Kondisi Awal Lokasi Penelitian
Pada tahun 1994, sebelum Jalan
Mahendradata dan Teuku Umar Barat
dibangun, luas lahan tak terbangun
(persawahan dan tegalan kering) dalam radius
250 meter dari koridor Jalan Mahendradata
dan Teuku Umar Barat adalah sekitar 324,81
hektar dan jumlah ini merupakan 13,5 % dari
jumlah keseluruhan lahan di Kecamatan
Denpasar Barat. Sedangkan luas lahan
terbangun ) dalam radius 250 meter dari
koridor Jalan Mahendradata dan Teuku Umar
Barat adalah sekitar 163,54 hektar dan jumlah
ini merupakan 5,9 % dari jumlah keseluruhan
lahan di Kecamatan Denpasar Barat (lihat
Gambar 4.3 )
Gambar 4.1
Peta Kecamatan Denpasar Barat
Sumber: Kantor Kecamatan
Denpasar Barat
Gambar 4.2
Peta Pemanfaatan Lahan
Kota Denpasar tahun 1999
Sumber :Situs Resmi
Kota Denpasar
Keterangan
= Lahan Terbangun
= Lahan Tak Terbangun (persawahan)
= Lahan Tak Terbangun (ladang
kering dan tegalan)
Gambar 4.3
Peta Penggunaan Lahan Jalan
Mahendradata dan Jalan Teuku Umar
Barat Tahun 1994 (atas) dan Peta Lahan
Terbangun Jalan Mahendradata dan
Jalan Teuku Umar Barat Tahun 1994
(bawah)
Sumber: Digitasi Peta Landsat
ETM 7 + 1994
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
53
Pada foto dalam gambar 4.4 dan 4.5,
pada saat sebelum Jalan Mahendradata I dan II
dibangun, kondisi lahan di daerah ini
merupakan lahan kosong berupa tegalan dan
persawahan, dan hanya terlihat beberapa
bangunan saja dengan fungsi perumahan. Pada
saat itu Jalan Mahendradata I dan II hanya
berupa jalan kapur putih yang kecil yang
kondisi lingkungan sekitarnya tidak terawat.
Dalam gambar dapat kita lihat bahwa pada
saat foto ini diambil terlihat bahwa jaringan
listrik telah tersedia di kawasan ini
4.2 Kondisi Lokasi Penelitian Tahun 2010
Pada tahun 2010 lahan tak terbangun
(persawahan dan tegalan kering) dalam radius
250 meter dari koridor Jalan Mahendradata
dan Teuku Umar Barat adalah sekitar 167,83
hektar dan jumlah ini merupakan 6,97% dari
jumlah keseluruhan lahan di Kecamatan
Denpasar Barat. Sedangkan luas lahan
terbangun dalam radius 250 meter dari koridor
Jalan Mahendradata dan Teuku Umar Barat
adalah sekitar 299,27 hektar dan jumlah ini
merupakan 12,43% dari jumlah keseluruhan
lahan di Kecamatan Denpasar Barat (lihat
Gambar 4.6).
Gambar 4.4
Foto kondisi awal Jalan Mahendradata I Tahun
1994
Sumber: Foto Nol Dinas Bina Marga Kota
Denpasar
Gambar 4.5
Foto kondisi awal Jalan Mahendradata II Tahun
1994
Sumber: Foto Nol Dinas Bina Marga Kota
Denpasar
Keterangan
= Lahan Terbangun
= Lahan Tak Terbangun (persawahan)
= Lahan Tak Terbangun (ladang
kering dan tegalan)
Gambar 4.6
Peta Penggunaan Lahan Jalan
Mahendradata dan Jalan Teuku Umar
Barat Tahun 2010 (atas) dan Peta Lahan
Terbangun Jalan Mahendradata dan
Jalan Teuku Umar Barat Tahun 2010
(bawah)
Sumber: Digitasi Peta Landsat
ETM 7 + 2010
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
54
Dari tahun 1994 sampai dengan tahun
2010 telah terjadi konversi lahan dalam jumlah
yang besar di kawasan ini yaitu dari 324,81
hektar menjadi 167,82 hektar. Selama 16 tahun
terakhir sebanyak 48,33 % lahan tak terbangun
(persawahan dan ladang kering) berubah
menjadi lahan terbangun. Pembangunan Jalan
Teuku Umar Barat dan Jalan Mahendradata ini
merupakan salah satu faktor utama penyebab
terjadinya konversi lahan di daerah ini.
Perubahan dari lahan persawahan menjadi
ladang kering yang tidak aktif berlangsung
secara bertahap, harga lahan di sekitar Jalan
Teuku Umar Barat dan Jalan Mahendradata
menjadi sangat tinggi dan menyebabkan
pemilik lahan cenderung untuk menjual lahan
mereka.
Sebelum jalan Mahendradata I
dibangun, kawasan tersebut mayoritas berupa
persawahan dan ladang kering, serta daerah
permukiman dengan kepadatan yang rendah.
Namun saat ini (Tahun 2018) setelah kurang
lebih 15 tahun pasca pembangunan Jalan
Mahendradata I, kawasan sekitar jalan ini
menjadi sangat berkembang terutama pada
koridor jalan). Karena letaknya yang strategis,
kawasan di sekitar Jalan Mahendradata ini
memiliki nilai lahan yang sangat tinggi,
sehingga dalam waktu yang singkat kawasan
yang pada awalnya berupa permukiman
campuran ini berkembang menjadi kawasan
perdagangan dan industri, sehingga semakin
lama lahan tak terbangun yang berupa sawah
dan ladang kering di kawasan ini semakin
berkurang.
Demikian juga halnya dengan Jalan
Mahendradata II, sebelum dibangun kawasan
tersebut adalah daerah yang mayoritas berupa
persawahan dan ladang kering, serta daerah
permukiman dengan kepadatan yang rendah.
Pada saat ini (Tahun 2018) , kurang lebih 10
tahun setelah pasca pembangunan Jalan
Mahendradata II, kawasan sekitar jalan ini
juga menjadi sangat berkembang terutama
pada koridor jalan, terutama pembangunan
ruko dan bangunan retail, sehingga semakin
lama lahan tak terbangun yang berupa sawah
dan ladang kering di daerah ini juga semakin
berkurang.
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
55
Kondisi yang sama terjadi pada Jalan
Teuku Umar Barat sebelum dibangun,
penggunaan lahan utama berupa persawahan
dan ladang kering, serta daerah permukiman
dengan kepadatan yang rendah. Namun
sekarang (Tahun 2018), setelah Jalan Teuku
Umar Barat ini dibangun, kawasan sekitar
jalan ini menjadi sangat berkembang terutama
pada koridor jalan. Karena letaknya yang
strategis, sama halnya dengan kawasan di
sekitar Jalan Mahendradata , kawasan ini
memiliki nilai yang sangat tinggi, sehingga
sangat berpotensi untuk berkembang menjadi
kawasan pelayanan perdagangan dan industri.
Setelah kurang lebih 23 tahun pada
saat Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I dan II telah rampung
terbangun dan berfungsi dengan sangat
optimal, terjadi perubahan-perubahan yang
sangat pesat, terutama dalam hal
perkembangan lahan terbangun serta
timbulnya fenomena peralihan fungsi lahan
dari lahan tak terbangun menjadi kawasan
lahan terbangun yang padat. Bahkan saat ini
fungsi lahan di kawasan sekitar JalanTeuku
Umar Barat, JalanMahendradata I dan II telah
berubah menjadi daerah pengembangan
industri, perdagangan, barang dan jasa.
Perkembangan kawasan tersebut pada
saat sebelum dan setelah Jalan Teuku Umar
Barat, Jalan Mahendradata I dan Jalan
Mahendradata II dibangun, dapat dilihat
melalui metoda super impose dari peta
morfologi lahan terbangun pada tahun 1994
dan peta morfologi lahan terbangun pada tahun
2010. Dari peta-peta tersebut terlihat proses
perembetan morfologi perkotaan/ urban
sprawl yang telah terjadi di Jalan Teuku Umar
Barat, Jalan Mahendradata I dan Jalan
Mahendradata II. Berikut ini merupakan hasil
analisis Peta Morfologi Lahan Terbangun pada
tahun 1994 dan tahun 2010 di kawasan Jalan
Teuku Umar Barat, Jalan Mahendradata I ,
Gambar 4.15
Peta satelit Jalan Teuku
Umar Barat
Sumber : Peta Geo Eye
2017
Gambar 4.16
Foto Lingkungan Jalan
Teuku Umar Barat
Sumber :
dokumentasi
pribadi
Gambar 4.17
Peta satelit Jalan
Teuku Umar Barat
Sumber : Peta
Geo Eye 2017
Gambar 4.18
Foto Lingkungan Jalan Teuku
Umar Barat
Sumber : dokumentasi
pribadi
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
56
Jalan Mahendradata II, dan kawasan
sekitarnya :
1) Pada saat awal tahun 1994 sebelum
Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I dan Jalan Mahendradata II
dibangun, kawasan ini merupakan
kawasan pengembangan dari Jalan Imam
Bonjol, Jalan Gunung Agung, dan
beberapa Jalan Kolektor Sekunder yang
terdapat dalam wilayah penelitian yaitu
Jalan Merpati, Jalan Gunung Rinjani, Jalan
Gunung Soputan, Jalan Gunung Lumut,
dan Jalan Gunung Tangkuban Perahu.
Pola perembetan lahan terbangun di
kawasan ini dapat dikategorikan kedalam
tipe linear dimana massa bangunan yang
ada di koridor jalan–jalan tersebut berjejer
mengikuti garis jalan. Sedangkan di
kawasan pengembangan jalan-jalan
kolektor ini terdapat jalan-jalan kecil
lingkungan sebagai akses ke dalam
perumahan-perumahan yang ada di
dalamnya mengingat bahwa fungsi lahan
di kawasan ini adalah permukiman
campuran. Tipe pola lahan terbangun di
kawasan pengembangan ini mayoritas
adalah bertipe linear dan mengikuti jalan-
jalan lingkungan kecil yang ada. Namun
pesatnya perkembangan jumlah lahan
terbangun dalam kurun waktu 16 tahun,
menyebabkan semakin banyak
ditemukannya pola persebaran dengan tipe
leap frog.
2) Setelah Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I dan Jalan Mahendradata II
dibangun, kawasan sepanjang koridor
jalan-jalan ini kini mulai dipenuhi dengan
lahan-lahan terbangun. Pola morfologi
yang terbentuk adalah pola linear, atau
juga sering disebut degan pola perembetan
memanjang (Ribbon Development/ Linear
Development/ Axial Development). Tipe
ini menunjukkan bahwa kawasan
disepanjang koridor JalanTeuku Umar
Barat, Jalan Mahendradata I dan Jalan
Mahendradata II mengalami tekanan yang
paling berat dari perkembangan
pembangunan yang terjadi di kawasan
penelitian. Pembangunan JalanTeuku
Umar Barat, Jalan Mahendradata I dan
Jalan Mahendradata II yang merupakan
jalan provinsi dan jalan kolektor primer
menyebabkan tingginya nilai aksesibilitas
pada daerah sepanjang koridor dan dalam
radius 250 meter dari koridor jalan,
sehingga nilai lahan pada kawasan ini
menjadi sangat tinggi karena letaknya
yang strategis. Oleh karena itu lahan di
kawasan ini mengalami perubahan fungsi
dari lahan pertanian dan permukiman
campuran menjadi kawasan
pengembangan industri, perdagangan,
barang, dan jasa, terutama di kawasan
koridor Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I dan Jalan Mahendradata
II.
3) Karena letaknya yang strategis nilai
lahan yang berada di kawasan koridor
JalanTeuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I dan Jalan Mahendradata II
menjadi sangat tinggi, sehingga kawasan
pengembangan pada radius 250 meter dari
koridor jalan menjadi alternatif
perkembangan pembangunan. Hal ini
menyebabkan terjadinya fenomena
perembetan lahan terbangun dengan pola
perembetan yang meloncat (leap frog
development/ checkerboard development) .
Hal ini dapat dilihat dari masih adanya
kelompok-kelompok area lahan terbangun
yang dibatasi oleh adanya lahan-lahan tak
terbangun. Sehingga dalam peta terlihat
bahwa perkembangan lahan terbangun di
daerah ini membentuk suatu pusat-pusat
dan melompat-lompat (tidak merata)
karena terpisahkan oleh areal tak
terbangun.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan atas hasil identifikasi dan
analisis dari permasalahan-permasalahan
penelitian, dapat disimpulkan bahwa :
1) Teori N.W Marler yang mengulas
tentang hubungan antara jaringan
infratruktur transportasi yaitu jalan
raya dengan land use, berlaku pada
kawasan penelitian yaitu kawasan
koridor Jalan Teuku Umar Barat, Jalan
Mahendradata I, Jalan Mahendradata
II, dan kawasan sekitarnya.
2) Berdasarkan atas hasil analisis Peta
Morfologi Lahan Terbangun pada
tahun 1994 sampai dengan tahun 2010
di kawasan Jalan Teuku Umar Barat,
Jalan Mahendradata I , Jalan
Mahendradata II, dan kawasan
sekitarnya, dapat disimpulkan bahwa:
Pola perembetan memanjang (Ribbon
Development/ Linear Development/
Jurnal Desain Interior Vol. ISSN : 2355-9284
57
Axial Development) pada umumnya
ditemukan pada koridor Jalan Teuku
Umar Barat, Jalan Mahendradata I &
II, jalan-jalan kolektor sekunder dan
koridor jalan-jalan lingkungan yang
terdapat di dalam wilayah penelitian.
Pola perembetan yang meloncat (leap
frog development/ checkerboard
development) ditemukan pada
kawasan pengembangan jalan-jalan
kolektor primer dan jalan kolektor
sekunder dalam radius 250 meter dari
koridor jalan Jalan Teuku Umar Barat,
Jalan Mahendradata I, dan Jalan
Mahendradata II.
V. DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II.
Rencana Detail Tata Ruang Pusat Kota
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar,
Tahun 1996/1997-2006/2007. Denpasar
BAPPEDA, 2009 . Profil Kota Denpasar
Tahun 2009, Denpasar: BPS
Catanese, Anthony J & James C. Snyder.1996.
Perencanaan Kota, Jakarta : Erlangga
Dinas PU Provinsi Bali Bidang Bina
Marga.2009. Penataan Infrastruktur Jalan.
Naskah Seminar HMS Non Reguler. Fakultas
Teknik Universitas Udayana. Denpasar
Eisner, Gallion. 1980. The Urban Pattern;
City Planning and Design. 4th Ed, New York :
Lition Educational Publishing, Inc.
Groat, Linda dan David Wang. 2001.
Architectural Research Methods. Canada: Jhon
Wiley & Sons. Inc.
Marler, N.W. 1985. Transport Planning,
Bandung: ITB.
Pemkot Denpasar (BAPPEDA), 2008. RTRW
Kota Denpasar Tahun 2007-2016, Denpasar
Pemkot Denpasar (Dinas Tata Kota dan Tata
Bangunan). 2008. DED Rencana Teknis Pusat
Kota (Peraturan Zonasi Kawasan Pusat Kota),
Denpasar.
DAFTAR WEBSITE
http://www.karbonjournal.org/id/archives/ ,
Sistem Transportasi di Indonesia
http://www.denpasarkota.go.id/, Rencana
Tata Ruang Wilayah Kotamadya Denpasar