Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Cilacap Tentang
DESA WISATA
SEKRETARIAT DPRD
KABUPATEN CILACAP
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
(LPPM) IAIN PURWOKERTO
Kerjasama
Dengan
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, mudah-mudahan kita menjadi bagian dari umat yang pandai bersyukur. Amin.
Naskah Akademik Raperda tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap memiliki 3 (tiga) gagasan utama, yaitu pertama memberi ruang inisiatif yang luas kepada desa untuk memformulasikan konsep ―desa membangun‖. Masyarakat desa memiliki hak penuh untuk berpartisipasi membangun desanya. Pemerintah Desa berkewajiban memfasilitasi proses partisipasi tersebut melalui penyediaan ruang dan konsep-konsep alternatif bagi perencanaan percepatan
pembangunan. Selain itu, dokumen perencanaan yang dimiliki desa baik RPJM Desa ataupun RKP Desa harus mencerminkan aspirasi warga yang disusun secara partisipatif.
Kedua, Desa dituntut untuk lebih kreatis pasca diundangkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa beserta aturan-aturan operasionalnya. Desa memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan pembangunannya baik dari sisi kuantitas dan kualitasnya dengan orientasi utama kesejahteraan warga. Akselerasi pembangunan modern tidak lagi mendasarkan pada kegiatan yang dampaknya tunggal atau terbatas. Pembangunan modern berorientasi menciptakan sebanyak mungkin dampak sosio-ekonomisnya sehingga kegiatan pembangunan bernilai efektif dan efisien. Desa wisata merupakan salah satu kegiatan pembangunan yang memberi efek luas bagi masyarakat secara ekonomi dan sosial.
Ketiga, Pemerintah Daerah tidak lepas tangan setelah Desa memiliki otonomi dalam kerangka UU No. 6 Tahun 2014. Pemerintah Daerah justeru menjadi salah satu mitra strategis bagi desa dalam percepatan pembangunan. Namun dengan adanya pembatasan kewenangan, perlu dicari format agar kolaborasi dan sinergi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa tidak melanggar konstitusi.
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap tersusun atas bantuan dan partisipasi banyak pihak, antara lain: 1. DPRD Kabupaten Cilacap yang telah memberikan kepercayaan kepada
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IAIN Purwokerto.
2. Badan Legislasi Daerah (BALEGDA) DPRD Kabupaten Cilacap yang secara inten bermitra dan berdiskusi selama proses penyusunan Naskah Akademik.
3. Para narasumber yang telah bersedia memberikan informasi dan diskusi dengan tim penyusun naskah akademik.
4. Pihak-pihak lain yang tidak disebut satu persatu. Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga
kerjasam yang baik ini dapat berlanjut dalam bidang-bidang lain demi memajukan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
Naskah Akademik ini sangat kami sadari banyak kekurangan baik dari sisi teknis maupun substansi. Untuk itu kami berharap masukan dan kritikan dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan melengkapi informasi atau cakupan yang belum tercover. Atas nama Tim Ahli LPPM IAIN Purwokerto kami mohon maaf dan terima kasih.
Purwokerto, 29 Juli 2016 Koordinator, Dr. Hj. Nita Triana, M.Si
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang desa beserta peraturan-peraturan yang mengoperasionalkan-nya, desa dituntut untuk lebih kreatif mewujudkan kemandirian dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan warganya. Kreatifitas ini penting mengingat UU tersebut memberi ruang dan mandat yang relatif lebih luas
kepada desa untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi yang dimilikinya.
Perubahan mendasar dalam UU No. 6 Tahun 201 adalah
terkait status desa yang bergeser dari sebatas pelaksana tugas-tugas pembantuan sebagai institusi mandiri yang memiliki kewenangan dalam mengelola pemerintahan di level terbawah.
Walaupun demikian, tugas pembantuan oleh desa tidak hilang sebagai konsekuensi dari model pemerintahan yang bersifat
kesatuan. Implikasinya adalah desa memiliki hak atas anggaran negara sebagai instrumen mengelola pemerintahan dan meningkatkan kesejahteraan warga.
Salah satu point penting dalam UU No. 6 Tahun 2014 adalah desa memiliki hak-hak lokal berskala desa. Artinya sumberdaya-sumberdaya yang berada dalam area lokal dan
berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa diserahkan hak pengeloaannya secara mandiri kepada pemerintah desa. Kondisi
ini berbeda dengan sebelumnya di mana institusi pemerintahan yang terendah adalah Kabupaten/Kota. Desa sebagai hal yang defacto eksis dalam kehidupan masyarakat dicovel sebatas
pelaksana tugas pembantuan. Perubahan status yang berimplikasi terhadap bertambahnya kewenangan memberi
peluang besar bagi desa untuk mengembangkan diri. Penerjemahan hak-hak lokal berskala desa yang
didelegasikan kepada desa meliputi pembangunan Desa,
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Terkait dengan hak pembangunan desa, pemerintah desa
memiliki kewenangan untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal desa yang salah satu bentuknya adalah mengelola wisata di desa yang berada di luar arah pengembangan Rencana Induk
Pengembangan pariwisata daerah (Permendesa No. 1 Tahun 2015).
Dalam konteks pengembangan dan pengelolaan potensi
wisata di desa inilah, Pemerintah Desa dapat membangun kerjasama dengan pihak lain di luarnya sebagai inovasi bagi
optimalisasi potensi desa. Salah satu pihak yang bisa diajak
2
kerjasama adalah Pemerintah Daerah yang secara status berada di atas Pemerintah Desa dan berfungsi sebagai pembina. Bentuk
kerjasama yang mungkin di lakukan adalah melalui pembentukan kawasan perdesaan.
Pembentukan kawasan perdesaan merupakan domain Pemerintah Daerah sebagai bentuk strategi ―pembangunan desa‖ yang bersifat top down. Strategi ini dipertemukan dengan strategi
―desa membangun‖ yang bersifat bottom up. Dengan pertemuan 2 (dua) konsep ini, Pemerintah Desa melalui strategi ―desa
membangun‖ berinisiatif membangun kerjasama dengan pengelolaan potensi wisata di desa dan disinergikan dengan strategi ―pembangunan desa‖ Pemerintah Daerah melalui
pembangunan kawasan perdesaan. Kolaborasi 2 (dua) strategi di atas dalam konteks
pengelolaan potensi wisata desa yang menjadi hak-hak lokal berskala desa melahirkan terminologi ―desa wisata‖. Prinsip desa wisata adalah integrasi antara daya tarik wisata (destinasi)
dengan akomodasi, fasilitas, dan tata atau pola kehidupan masyarakat desa. Untuk mewujudkan integrasi beberapa bidang
dalam desa wisata, hal penting yang harus dilakukan adalah membangun komunikasi dan interaksi antarbidang yang menjadi satu kesatuan wisata. oleh karena itu, dalam rangka mewujdukan
integrasi antarbidang dibutuhkan kerjasama dan sharing antarlembaga yang terlibat dalam rangka mewujudkan dan
menyelenggarakan desa wisata, yaitu Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, pihak ketiga, dan masyarakat desa.
Dalam rangka mewujudkan desa wisata, terdapat beberapa
hal yang menjadi persoalan saat ini, yaitu fasilitas dan komodasi yang terbatas, destinasi wisata yang relatif belu terkemas secara baik, kesadaran masyarakat atas nilai strategis wisata,
kelembagaan wisata di desa yang masih konvensional, serta belum adanya keterpaduan antarbidang penyelenggaraan
kehidupan masyarakat desa. Kreatifitas Desa
Terdapat reduksi pemaknaan bahwa desa yang memiliki progres yang bagus adalah yang mampu meningkatkan jumlah
Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tinggi. Reduksi makna ini kemudian dipahami secara sporadis dengan misalnya meningkatakan retribusi desa secara eksesif yang dalam banyak
hal menambah beban warga. Pada titik tertentu apabila hal ini tidak terkendali akan memunculkan sikap-sikap resisten dari warga. Kondisi ini tentu saja tidak strategis bagi desa dalam
rangka melakukan akselerasi pembangunan. Oleh karena itu, desa dituntut untuk lebih kreatif untuk
meningkatkan kemampuan desa baik dalam konteks
3
meningkatkan pendapatan atau memunculkan ruang-ruang baru yang dimanfaatkan sebagai ajang ekonomi masyarakat. Terlebih
saat ini, miniatur desa belum terlalu berubah, yaitu tingkat urbanisasi yang tinggi serta pengelolaan potensi-potensi ekonomi
tradisional desa seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan yang masih konvensional. Artinya ketika potensi-potensi ekonomis tradisional tersebut masih konvensional maka tidak
memberikan dampak sustainabilitas terhadap sektor ekonomi yang lain.
Inisiatif membangun desa wisata sesungguhnya diarahkan untuk meningkatkan nilai ekonomis dari sektor-sektor produktif tradisional di desa. Melalui pendekatan wisata, sektor-sektor
produktif tersebut dikelola menjadi daya tarik yang diintegrasikan dengan destinasi, akomodasi, dan fasilitas lainnya sehingga menimbulkan sensasi wisata bagi pengunjung. Melalui konsep ini
maka desa akan memiliki peningkatan mobilitas manusia yang secara tidak langsung akan menggerakkan ekonomi. Dari sinilah
nilai ekonomi akan bertambah. B. Identifikasi Masalah
Berdasar latar belakang di atas, beberapa hal yang teridentifikasi menjadi masalah pembangunan desa wisata di
Kabupaten Cilacap adalah sebagai berikut: 1. Praktik desa wisata yang telah ditetapkan di kabupaten
Cilacap saat ini belum mengacu pada konsep genuin tentang
desa wisata di mana integrasi menjadi hal yang strategis. Praktik saat ini lebih menekankan pada upaya mengoptimalisasikan potensi atau destinasi wisata yang
berlokasi di beberapa desa. Penyelenggaraan wisata bukan dalam rangka mengintegrasikan destinasi wisata dengan
unsur-unsur lain sebagai sebuah kesatuan kehidupan di desa melainkan meningkatkan kunjungan wisata ke obyek-obyek wisata yang ada di desa. Praktik pengeloaan wisata di desa
―hanya‖ menambah pendapatan desa melalui kegiatan ―tourisme‖. Dalam konteks praktik lokal ini, persoalan yang teridentifikasi menjadi hal yang harus diselesaikan melalui
Peraturan Daerah ini adalah revitalisasi konsep desa wisata pada desa-desa yang telah ditetapkan oleh Bupati.
2. Belum adanya konsep desa wisata yang masuk dalam perencanaan strategis pembangunan desa. Pada prinsipnya, desa wisata merupakan strategi alternatif yang bisa digunakan
oleh desa untuk mengakselerasi pembangunan. Sebagai hal yang strategis, desa wisata secara konsep harus didukung oleh
stakeholders desa yang salah satu bentuknya adalah menjadi perencanaan strategis dalam dokumen-dokumen perencanaan desa. Secara eksplisit, dokumen perencanaan desa terwujud
4
dalam Rencana Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang proses penyusunannya dilakukan secara partisipatif oleh
Pemerintah Desa, BPD, dan unsur-unsur lain dalam masyarakat desa. Dengan masuknya konsep desa wisata
dalam perencanaan desa maka ia diposisikan secara strategis dalam pencapaian dan peningkatan pembangunan desa. Persoalan saat ini di Kabupaten Cilacap secara umum tidak
ada desa yang memasukkan konsep desa wisata dalam perencanaan pembangunannya. Tanpa masuk dalam
perencanaan, maka desa wisata dilaksanakan secara sporadis dan tidak terukur untuk mngurai atau mencapai tujuan yang diharapkan.
3. Insfrastruktur yang menunjang kegiatan kepariwisataan di desa masih sangat minim. Keberadaan destinasi wisata di desa selama ini hanya dimanfaatkan sebagai tujuan wisata yang
konvensional dan belum dikelola secara profesional. Artinya wisata belum menjadi hal yang strategis bagi desa yang bisa
dimanfaatkan untuk mendorong pembangunan secara lebih cepat. Implikasinya adalah potensi wisata tidak memperoleh apresiasi baik dari sisi sosial, keuangan, dan proyeksi
pembangunan. Sementara itu, kegiatan kepariwisataan membutuhkan infrastruktur yang memadai sehingga
pengunjung atau turis dapat melaksanakan kegiatan kepariwisataan secara representatif. Membangun infrastruktur kepariwisataan membutuhkan biaya yang relatif besar. Hal ini
tentu saja memberi beban tambahan kepada desa yang sedang mengusahakan penyelenggaraan kegiatan kepariwisataan dalam kerangka desa wisata. untuk itu dibutuhkan kerjasam
lintas instnasi dan sektor untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dasar kegiatan kepariwisataan.
4. Kesadaran kepariwisataan di tingkat stakeholders desa belum menjadi arus utama (mainstream). Dalam banyak hal, kegiatan
wisata tidak dianggap dapat memberikan keuntungan signifikan secara langsung. Karenanya kepariwisataan diselenggarakan secara ―sambilan‖ dan lebih terfokus pada
produksi yang dianggap memberikan profit langsung. Persoalan kemudian produksi jenis ini mengalami keterbatasan baik dari sisi lahan (basis produksi), sumbedaya
pengelola, teknologi, biaya, dll. Pada saat sumberdaya tersebut dikelola eksesif maka akan mengalami penurunan
produktifitas. Pada kondisi inilah kemampuan menghasilkan profit mengalami penurunan. Kepariwisataan dianggap tidak praktis menghasilkan profit karena melibatkan banyak pihak
serta membutuhkan pengaturan yang relatif ―njlimet‖. Dengan kondisi ini, masyarakat belum menempatkan kepariwisataan
5
dalam kerangka desa wisata sebagai mainstream pembangunan desa.
5. Pengeloaan informasi di desa yang masih sederhana dan terbatas pada layanan-layanan tertentu. Sementara
pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan pengembangan pasar dan jaringan kerja masih relatif terbatas. 2 (dua) hal yang menyebabkan ini terjadi adalah keterbatasan
sumberdaya manusia di desa dan alokasi pembiayaan yang tidak memadai untuk mendukung kerja-kerja penyebaran
informasi. Informasi di desa sangat beragam yang penting untuk didesiminasikan kepada pihak-pihak luar secara luas. Persoalan kemudian bahwa informasi tersebut perlu dikemas
melalui bahasa-bahasa informatif yang representatif. Untuk membangun bahasa informasi yang baik dibutuhkan
kemampuan tertentu yang dimiliki para pelaku di desa. Selain itu juga dibutuhkan perangkat keras (hardware) yang compatible untuk mendukung akses informasi yang cepat. 2
(dua) hal ini seringkali masih dianggap sebagai barang yang mahal sehingga alokasi terhadap keduanya seringkali
dihilangkan.
C. Tujuan dan Manfaat Naskah Akademik
Tujuan penyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah Desa Wisata dan Strategi Pengembangan
Pariwisata di Kabupaten Cilacap adalah: 1. Memberi ruang kepada Pemerintah Desa dan Pemerintah
Daerah membangun kolaborasi dan sinergi untuk
mempercepat pembangunan desa melalui strategis pengembangan desa wisata.
2. Mendorong pemerintah desa berinisiatif membangun strategi
alternatif pembangunan desa melalui integrasi potensi-potensi desa menjadi satu kesatuan daya tarik wisata.
3. Menetapkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis bagi desa untuk mengembangkan pembangunan di desa dengan mendasarkan pada potensi integratif yang berwawasan
lingkungan. 4. Meningkatkan sentra-sentra produksi masyarakat desa melalui
penciptaan ruang-ruang ekonomi lokal baru.
Manfaat penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai
berikut: 1. Memberi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis bagi
pengambil kebijakan tingkap pemerintah daerah dalam
mempercepat pembangunan di desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
6
2. Mengembangkan alternatif percepatan pembangunan desa berbasis teori-teori pemberdayaan dan pembangunan
partisipatif. 3. Menjadi pedoman praktis penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Desa Wisata dan Strategi Pegembangan Pariwisata Kabupaten di Cilacap.
D. Metode 1. Waktu dan Tempat
Kegiatan penyusunan Naskah Akademik Pembangunan Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata Kabupaten Cilacap dilaksanakan selama 1 (satu) bulan dari bulan Juni –
Juli 2016. Tempat dilaksanakan penyusunan naskah dari proses hingga pencetakan di Cilacap dan Purwokerto.
2. Sumber Data a. Sumber Primer
Sumber primer merupakan sumber utama yang digunakan sebagai dasar penyusunan materi-materi naskah akademik. Dalam penyusunan naskah akademik ini, data
primer yang digunakan adalah jumlah desa wisata di Cilacap, peta potensi wisata, jumlah desa, RPJP dan RPJMD
Kab. Cilacap, dan beberapa regulasi yang terkait dengan kepariwisataan.
Selain data tersebut, sumber lain ya ng menjadi
acuan penyusunan naskah adalah pokok-pokok pikiran DPRD Kab. Cilacap serta informasi terkait dari dinas / instansi di wilayah Kabupaten Cilacap yang membidangi
desa dan pariwisata. b. Sumber Skunder
Sumber skunder merupakan data pendukung yang digunakan untuk melengkapi atau memperkaya konsep pembangunan desa wisata. Sumber skunder ini diperoleh
dari informasi dan media-media yang terakses oleh penyusun baik berupa media cetak maupun elektronik.
Sumber skunder umumnya digunakan untuk
mengkonstruksi serta memformulasi konsep-konsep mendasar desa wisata dan kepariwisataan yang bersumber
dari teori atau konsep-konsep standar yang berlaku di Indonesia. Beberapa sumber skunder yang dijadikan referensi adalah konsepsi desa wisata, pola kolaborasi
Pemerintah Desa dengan pihak-pihak lain di luarnya, serta bentuk-bentuk kerjasama antara Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Desa dalam membangun desa wisata. 3. Metode Pengumpulan Data
7
a. Observasi; merupakan metode pengumpulan data yang mengandalkan kemampuan panca indera. Metode ini
digunakan untuk mengambil gambaran umum atas sebuah peristiwa sosial yang menjadi objek kajian. Dalam konteks
desa wisata, observasi dilakukan untuk melakukan pengamatan terhadap praktik pengelolaan desa wisata serta tingkat kunjungan turis dan aktifitasnya dalam desa wisata.
b. Dokumentasi; merupakan metode untuk mengumpulkan data-data yang telah diproduksi oleh lembaga dan institusi
lain yang telah dipublikasikan atau tercetak. Dokumentasi ini digunakan untuk mendasari kajian tanpa mengulang materi sebagaimana telah dilakukan oleh pihak lain.
Dokumentasi digunakan untuk melihat data base terkait desa wisata dan kepariwisataan seperti jumlah desa dan desa wisata, jumlah kunjungan, kontribusi kepariwisataan
bagi pendapatan daerah dan desa, peta keuangan desa, peta wisata kabupaten dan beberapa yang terkait dengan
program-program yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain dalam rangka meningkatkan kapasitas masyarakat atau kelompok sadar wisata (Kopdarwis).
c. Wawancara; merupakan metode untuk mengumpulkan data yang bersifat persepsional. Oleh karena itu, penggalian data
dilakukan secara tatap muka langsung (face to face) antara pewawancara dengan subjek sumber informasi. Namun demikian, proses wawancara tidak harus dilakukan secara
formal, tetapi juga informal dalam suasana yang rileks. Data yang diperoleh wawancara dalam kerangka dewa
wisata antara lain terkait persepsi tentang peningkatan pembangunan desa, arah pembangunan desa, posisi desa dalam pembangunan daerah, dan data terkait upaya-upaya
yang memungkinkan dilakukan dalam rangka membangun desa wisata.
d. Brainstorming; merupakan metode penggalian data yang
diarahkan untuk mempertajam analisis dan mempertimbangkan beberapa alternatif atas konsep-konsep
yang akan dipilih. Braistorming digunakan terutama pada konsep atau formula yang memungkinkan melahirkan penafsiran yang beragam sehingga memunculkan
kontroversi dan silang pendapat. Dalam konteks penyusunan Raperda Desa Wisata, data yang diperoleh melalui brainstorming adalah terkait dengan strategi desa
wisata, strategi pengembangan pariwisata, hubungan antara Pemerintah Desa dengan Pemerintah Daerah,
pendelegasian wewenang serta formula atau desain Desa Wisata di daerah.
8
e. Public Hearing; merupakan metode untuk menggali aspirasi dari stakeholders terkait dengan tema atau pokok
persoalan. Melalui metode ini, stakeholders memiliki ruang yang representatif untuk menyampaikan aspirasi pada
rencana kebijakan yang akan disusun. Dalam kerangka Desa Wisata, stakeholders yang terkait adalah Pemerintah
Desa (termasuk BPD), masyarakat atau kelompok sadar wisata, pengelola wisata di desa, SKPD meliputi Bapermas, Dinas Pariwisata, Kecamatan, dan pelaku-pelaku kegiatan
kepariwisataan daerah.
4. Analisis Data a. Legal formal
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan
hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman pelaku dalam interaksi atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum
merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan masyarakat menjadi
kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang
melibatkan banyak hal. Penegakan hukum adalah kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan
keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di
taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.
Data-data yang diperoleh berdasar metode yang
digunakan kemudian dianalisis melalui gugus tema legal formal yang mengarah pada pembentukan hukum-hukum positif. Dalam konteks Perda, gugus tema terkait dengan
Hak dan Kewajiban, Prosedur, Sanksi, dan Pengawasan. b. Law Enforcement (penegakan hukum)
9
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus
pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu
tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah
sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan
tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melinkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri (den begriff des Rechts).
Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama,
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi. Kepastian hukum
merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat
dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di
situ tidak ada hukum). Kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama,
mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal konkret. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya,
perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan. Kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih
berdimensi yuridis, yaitu (a) tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara; (b)
Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga
tunduk dan taat kepadanya; (c) warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; (d) hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan
tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa
hukum, dan; (e) keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Dalam konteks desa wisata, data yang diperoleh
kemudian diformula menjadi diktum-diktum ketentuan yang dapat ditegakkan secara konsisten. Pilihan kata dan pendelagian terhadap subjek penegakkan menjadi poin
yang mendasar.
10
c. Kepastian Hukum Hukum memberikan kepastian atas beberapa
alternatif yang memungkinkan memunculkan alternatif. Melalui kepastian ini maka kemungkinan tidak adanya
penafsiran atas suatu ketentuan dapat dilakukan. Melalui kepastian ini, pihak-pihak yang terdelegasi atau terikat dalam Peraturan Daerah memperoleh kepastian atas
tindakan hukum yang akan dilakukan. Kepastian hukum ini penting terutama bagi
Pemerintah Desa untuk memperoleh konsekuensi atas Peraturan Daerah yang ditetapkan. Misalnya anggaran atau fasilitas lain yang diperoleh dalam rangka membangun desa
wisata. d. Mudah dioperasionalkan
Sebagai ketentuan yang menjadi panduan dalam
melakukan suatu tindakan, ketentuan-ketentuan hukum harus mudah dioperasionalkan. Salah satu bentuk hukum
mudah dioperasionalkan adalah dengan menggunakan kata yang mudah dipahami, subyek dan obyek yang jelas, serta konsekuensi yang akan diterimanya.
Melalui pendekatan itu, ketentuan hukum dalam satu struktur yang utuh dapat dilaksanakan secara komplit.
Subyek hukum memiliki kemudahan untuk melaksanakan setiap ketentuan dengan tidak ada keraguan melakukan kekeliruan. Ketentuan dalam Raperda diarahkan
menggunakan bahasa sederhana dan pendelegasian yang jelas dan terukur.
11
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoretis
Pembahasan mengenai pengembangan desa wisata akan dikaji menggunakan beberapa kerangka teori mengenai pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pengembangan
pariwisata daerah, pembangunan desa wisata sebagai strategi pengembangan pariwisata daerah berbasis potensi
lokal,pendekatan dan strategi pengembangan desa wisata.
1. Pembangunan Desa
Pembangunan desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan sinergis dalam kerangka pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Rogers menjelaskan
pembangunan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang
dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya kebebasan, keadilan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang
lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. Definisi ini menempatkan partispasi masyarakat sebagai kunci
dalam pembangunan. Sejalan dengan itu Ahmadi (2001:222) menjelaskan
pembangunan merupakan perpaduan yang serasi antara
partisipasi masyarakat dan kegiatan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.Dalam konteks pembangunan desa, masyarakat desa
dengan demikian merupakan mitra pemerintah desa dalam pembangunan, dimana keberhasilannya akan ditentukan dari
keterpaduankeinginan masyarakat, dukungan dan proses yang dijalankannya bersama dengan pemerintah.
Partisipasi demokratis masyarakat dalam proses
pembangunan di desa menjadi hal yang makin krusial di era pembangunan dewasa ini yang paradigmanyatelah berubah arah dengan menjadikan desa sebagai basis pembangunan
nasional. Perubahan paradigma pembangunan ini didasarkan pada dua asas pokok yaitu asas Rekognisi dan Subsidiaritas.
Asas Rekognisi adalah asas yang terkait soal hak asal usul atas kehadiran desa. Asas rekognisi memberikan pengakuan dan penghormatan kepada desa terhadapidentitas
desa, adat istiadat yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa, sistem pranata sosial dan kearifan lokal yang berkembang dan
tumbuh di desa. Asas ini memberikan jaminan atas keragaman desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur jalanya pemerintahan desa.,
12
Asas rekognisi terkait erat dengan keadilan, kewargaan dan kebangsaan, serta selaras dengan isu desentralisasi yang
telah berkembang. Desa kini bukan lagi sekedar kepanjangan tangan negara dalam melaksanakan pembangunan, melainkan
menjadi entitas yang dapat mengatur dirinya sendiri, menjadi pilar bagi bangsa untuk bangkit dan berdaya mandiri. Pengakuan atas desa dan pemberian kewenangan yang
sedemikian luas kepada desa menjadi tonggak penting bagi pembaharuan pembangunan berbasis desa.
Pengakuan atas entitas desa melalui asas Rekognisi juga diikuti dengan asas Subsidiaritas yang memiliki kaitan erat. Asas Subsidiaritas berarti pemberian kewenangan
kepada desa untuk mengatur, mengelola dan menyelesaikan permasalahan desa secara lokal. Dengan asas ini desa bisa tentukan arah dan kebijakan pembangunan dengan
perencanaan sendiri termasuk anggaran pendanaannya. Dengan kewenangan yang luas,desa sebagai suatu
sistem sosial mendapat peluang untuk mengembangkan aspirasi, ide dan cara-cara baru guna mendorong kualitas hidup dan kesejahteraannya. Sebagai entitas sosial budaya
yang telah diakui keberadaannya, desa dapat mengembangkan potensi kehidupan sosial budayanya sebagai atraksi yang
membangkitkan perekonomian desa, mendorong aktivitas produksi dan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat desa.
2. Pembangunan Kawasan Perdesaan Kawasan perdesaan merupakan wilayah yang
mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan
sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan pelayanan jasa,pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi(wikipedia). Dalam undang-undang no 6 tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa pembangunan kawasan perdesaan merupakan
pembangunan antar desadalam satu kabupaten atau kota. Pembangunan kawasan perdesaan bertujuan untuk
mempercepat pembangunan desa dari sisi fisik maupun sosial
melalui meningkatkan kualitas pelayanan dan pemberdayaan masyarakat desa. Jika pembangunan desa menempatkan desa
sebagai subyek pembangunan, maka pembangunan perdesaan menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah (pemda).
Meski merupakan domain pemerintah daerah, peranpemerintah desa dan masyarakat desa menjadi bagian
integral dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perdesaan. Hal ini tidak terlepas dari asas Rekognisi dan Subsidiaritas serta asas Partisipatif yang
13
mendasari paradigma baru pembangunan nasional. Sinergitas ini dimaksudkan untuk menyatukan seluruh program
pembangunan pemerintah dalam kerangka membangun desa. Dengan demikian akan tercipta keselarasan arah dan gerak
pembangunan desa dan pembangunan daerah yang mendorong efektivitas pencapaian tujuan pembangunan.
3. Membangun Desa melalui Desa Wisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat sehingga membawa
berbagai dampak terhadap masyarakat setempat, bahkan pariwisata dikatakan mempunyai efek bangkitan ekonomi yang luar biasa. Hal ini mengingat pariwisata merupakan salah satu
jenis industri padat karya yang mampu menyediakan banyak lapangan kerja, mendorong peningkatan penghasilan, standar hidup dan menstimulasi sektor-sektor produksi lainnya
sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi. Dari sudut ekonomi, sedikitnya terdapat delapan
keuntungan pengembangan pariwisata yaitu peningkatan kesempatan usaha, kesempatan kerja, peningkatan penerimaan pajak, penerimaan pendapatan, percepatan
pemerataan pendapatan, peningkatan nilai tambah produk kebudayaan, memperluas pasar produk, meningkatkan
dampak multiplier effect dalam perekonomian akibat pengeluaran wisatawan, investor maupun perdagangan keluar negeri (Yoeti, 2008).
Salah satu strategi pembangunan ekonomi melalui kepariwisataan adalah melalui pengembangan desa
wisata.Pengembangan desa wisata tersebut adalah pengembangan perekonomian masyarakat yang diangkat melalui kegiatan pariwisata, dimana pariwisata dikembangkan
berdasarkan unsur-unsur kegiatan yang telah ada serta ciri khas budaya setempat.
Menurut Putra dan Pitana (2010) pengembangan desa
wisata bertujuan untukmelibatkan masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan sehinggamasyarakat dengan
kebudayaannya tidak hanya menjadi objek pariwisatanamun masyarakat desalah yang harus sadar dan mau memperbaiki dirinyadengan menggunakan kepariwisataan sebagai alat baik
untuk peningkatankesejahteraan maupun pelestarian nilai-nilai budaya serta adat setempat.
Desa wisatabiasanya berupa kawasan pedesaan yang
memiliki beberapa karakteristik khusus yang layak untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya
masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli.Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai
14
sebuah kawasan desa wisata.Di luar faktor-faktor tersebut, sumberdayaalam dan lingkungan alam yang masih asli dan
terjaga merupakan salah satu faktor penting dari sebuah kawasan desa wisata.
Adanya karakter asli kehidupan sosial budaya yang menyehari dan dinikmati wisatawan menjadi pembeda konsep desa wisata dengan konsep wisata desa. Wisata desa pada
dasarnya hanya kunjungan yang dilakukan ke daerahperdesaan, namun wisatawan tidakmenginap di desa
tersebut. Masalah―menginap di desa‖ inilah yang dijadikanadanya perbedaan antara wisata desadengan desa wisata.Menginap di desamenjadi suatu hal yang penting,
karenasampai saat ini lama tinggal (length ofstay) masih menjadi acuan untukmengukur keberhasilan suatu objek
wisata. Pengembangan desa wisata sebagai strategi
pembangunan desa mempunyai manfaat yang sangat luas baik
di bidang ekonomi, sosial, budaya, lingkungan dan lain-lain. Secara ekonomi, pembangunan desa wisata mampu meningkatkan perekonomian nasional, regional, dan
masyarakat lokal, di bidang sosial mampu membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di desa. Selain
itu di bidang pendidikan, keberadaan desa wisata mampu memperluas wawasan dan cara berfikir orang-orang desa, mendidik cara hidup bersih dan sehat serta meningkatkan
ilmu dan teknologi bidang kepariwisataan. Dalam kehidupan sosial budaya, pembangunan desa
wisata merupakan bentuk usaha pelestarian keunikan kehidupan sosial budaya yang telah mengakar di perdesaan.Pembangunan desa wisata juga merupakan bentuk
kesadaran industri yang berorientasi lingkungan karena dianggap mampu menggugah kesadaran masyarakat akan arti pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi
kehidupan manusia kini dan di masa datang.
4. Strategi Pengembangan Desa Wisata Untuk mendorong pembangunan desa melalui desa
wisata, selain menggali potensi lokal desa berupa keunikan
kehidupan sosial budaya yang sudah berjalan alami sebagai suatu atraksi, didalamnya juga harus terpenuhi aspek akomodasi dan fasilitasi yang terintegrasi, disajikan dalam
suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku di desa tersebut.
Adanya akomodasi dan berbagai fasilitas di desa wisata akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Untuk sarana akomodasi, desa
15
wisata dapat menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata (home stay) yang menyatu dengan keseharian
hidup keluarga di desa sehingga para pengunjung dapat merasakan suasana pedesaan yang masih asli. Adapun
fasilitas-fasilitas yang seyogyanya ada di suatu kawasan desa wisata antara lain: sarana transportasi, telekomunikasi, dan kesehatan.
Dalam perencanaan desa wisatahal pertama yang perlu diperhatikan adalah melihat kondisi dan potensi desa, apakah
memiliki kesesuaian dengan karakteristik-karakteristik sebagai desa wisata.Dalam prosesnya, pembangunan desa wisata juga perlu menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbasis
partisipatif, keswadayaan, dan berkelanjutan. Pendekatan partisipatif memungkinkan berbagai elemen
dalam masyarakat terlibat seluas-luasnya untuk turut serta dalam perencanaan kegiatan desa wisata termasuk menggali sumber-sumber dan pembiayaannya. Asas keswadayaan
menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam keberhasilan pembangunan sekaligus penerima manfaat terbesar dari kegiatan desa wisata. Hal ini diwujudkan melalui
keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan kegiatan serta pemanfaatan hasil-hasil desa
wisata. Pembangunan desa wisata merupakan bagian dari
pembangunan pariwisata daerah dan nasional yang menganut
pendekatan berkelanjutan (sustainable). Dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan dijelaskan sebagai pembangunan
yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan
cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan tidak saja terkait
dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lain yang lebih luas.
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutanjuga
memperhatikan aspek kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan
masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan serta promosi.
Berbagai pendekatan dalam pembangunan desa wisata
tersebut dapat diwujudkan melalui adanya tata kelola yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif dan
seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.Sebagai
16
bagian dari pembangunan kawasan perdesaan yang merupakan domain pemerintah, maka tugas pemerintah
daerah adalah memastikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dalam pembangunan desa wisata dapat
diimplementasikan. Untuk mendukung pembangunan desa wisata yang
berkelanjutan dan berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat, aspek sumber daya akan sangat menentukan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu mempersiapkan dan
melakukan penguatan kapasitas kelembagaan dari masyarakat desa. Upaya ini dapat ditempuh melalui meningkatkan kemampuan lembaga keswadayaan masyarakat dan kelompok
masyarakat dalam pengelolaan desa wisata. Selain pembangunan sumber daya manusia, strategi
non-fisik yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendorong
pengembangan desa wisata adalah melalui promosi, mendorong kemitraaan desa dengan pihak ketiga serta
kerjasama dengan universitas dalam hal riset dan pendampingan.
B. Praktik Empiris
1. Kesesuaian Kriteria Desa Wisata
Praktik desa wisata sebenarnya sudah ada cukup lama. Pengembangan desa menjadi desa wisata mulai muncul diinisiasi oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Pariwisata pada kisar tahun 2005. Dengan diundangkannya UU Desa nomor 6 tahun 2014, gaung
pengembangan pariwisata berkonsep desa wisata saat ini semakin banyak dilirik oleh pemerintah daerah, tak terkecuali oleh pemerintah daerah kabupaten Cilacap.
Menurut kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Cilacap bidang promosi, pengembangan desa wisata merupakan salah satu strategi
yang diterapkan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata sekaligus pemberdayaan ekonomi
masyarakat Cilacap. Saat ini di kabupaten Cilacap telah memiliki 4 (empat)
desa wisata yaitu desa Karangbanar kecamatan Jetis, desa
Gentasari kecamatan Kroya, desa Karangbenda kecamatan Adipala dan desa Dayeuhluhur. Dalam beberapa kurun waktu
terakhir ini juga di beberapa desa lainnya tengah dirintis pengembangan menjadi desa wisata seperti beberapa desa kecamatan Adipala, Binangun, Dayeuhluhur dan Cipari.
17
Menilik keberadan desa wisata maupun desa yang tengah dirintis sebagai desa wisata, nampak bahwa penetapan
desa wisata di kabupaten Cilacap belum memenuhi karakteristik sebagaimana konsep desa wisata yang
diteorikan. Hal ini ditandai dengan belum terintegrasinya kehidupan keseharian masyarakat desa yang unik sebagai bagian dari atraksi. Atraksi sosial budaya yang
dipertunjukkan lebih merupakan atraksi yang diada-adakan semata temporer untuk melayani kunjungan atau menarik
wisatawan. Mengacu kepada konsep yang ada, apa yang oleh
pemerintah daerah disebut sebagai desa wisata pada dasarnya
baru sebatas destinasi wisata desa, yang mengeksplorasi keunikan alam ataupun tradisi tertentu yang bersifat insidental dan bukan merupakan cerminan kehidupan sosial
dari seluruh elemen masyarakat di desa tersebut. Situasi ini diakui sendiri oleh camat Nusawungu, yang
menyatakan bahwa di kabupaten Cilacap belum ada desa wisata yang betul-betul memenuhi standar kriteria sebagai desa wisata yang sesungguhnya. Berangkat dari kenyataan
ini, untuk mengembalikan esensi desa wisata dan mengarahkan pembangunan desa wisata secara benar dan
efektif, maka pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi atas penetapan status desa wisata berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan melalui peraturan daerah.
Bagi desa-desa yang mengajukan usul penetapan sebagai desa wisata, pemerintah daerah perlu melakukan verifikasi atas usulan tersebut.
2. Tantangan Internal: Kesiapan Desa dan Masyarakat Era otonomi desa memberikan peluang dan keleluasaan
kepada desa untuk mengajukan rencana pembangunan, termasuk usulan sebagai desa wisata. Namun nampaknya minat desa untuk menjadi desa wisata tidak didasari dengan
pemetaan potensi lokal dan studi kelayakan yang memadai. Hal ini yang membuat banyak desa gagal memahami apakah memang memenuhi karakteristik sebagai desa wisata atau
lebih sebagai wisata desa saja. Pemahaman dan kesadaran masyarakat desa mengenai
desa wisata juga masih harus ditingkatkan. Dukungan aktif masyarakat merupakan kunci keberhasilan desa wisata, karena masyarakatlah yang akan menentukan sebagai tuan
rumah yang baik, menyediakan sesuatu yang terbaik sesuai kemampuan, ikut menjaga keamanan, ketentraman,
keindahan dan kebersihan lingkungan, memberikan kenangan dan kesan yang baik bagi wisatawan.Kurangnya kesadaran
18
masyarakat ini menjadi hal yang juga dikeluhkan pengelola desa wisata Welahan Wetan.
Peran masyarakat dalam melestarikan keunikan kehidupan sosial budaya juga belum optimal. Gaya dan cara
hidup masyarakat desa kini tidak ubahnya dengan masyarakat kota yang cenderung pragmatis dan individualis sehingga tidak lagi menggambarkan kehidupan sosial yang
unik khas desa sebagaimana di masa-masa lampau. Di beberapa desa telah dikembangkan homestay.Namun
demikian konsep homestay yang ada tidak menyatu dengan kehidupan nyata keluarga di desa yang ada. Homestay yang ada lebih merupakan pondok berkonsep cottage yang terpisah
dari aktivitas keseharian anggota keluarga pemiliknya yang seharusnya menjadi bagian dari atraksi dalam konsep desa
wisata itu sendiri. Pembangunan desa wisata menggunakan pendekatan
partisipatif, dimana masyarakat terlibat aktif dari sejak
perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan melalui wadah kelembagaan masyarakat. Hal ini menuntut kesiapan
dan kemampuan masyarakat desa mengorganisir diri untuk mengelolanya melalui kelembagaan masyarakat. Nampaknya kemampuan ini juga masih perlu terus ditingkatkan karena
selama ini pengelolaannya lebih banyak ditangani oleh aparat desa, atau jika tidak justru oleh kelompok masyarakat tertentu yang mendominasi. Bahkan camat Widara Payung
menuturkan bahwa pengelolaan wisata oleh desa dan masyarakat terkendala premanisme oleh sekelompok orang,
sehingga pendapatan dari wisatakurang bisa dikelola secara optimal untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
3. Peran Pemerintah Daerah
Di sisi lain pemerintah daerah juga makin melihat peluang desa wisata sebagai strategi untuk mendorong peningkatan pendapatan daerah. Untuk itu pemerintah
daerah mulai melakukan langkah-langkah untuk pengembangan desa wisata diantaranya dengan memfasilitasi pengembangan sumber daya manusia (SDM) di sekitar lokasi
wisata dan pembentukan kelembagaan yang bebadan hukum.Dinbudpar juga melakukan survei terhadap rumah-
rumah penduduk yang akan dijadikan sebagai penginapan. Melihat kondisi desa wisata yang ada di kabupaten
Cilacap saat ini dan permasalahan yang ada menunjukkan
masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintah daerah jika memang sungguh-sungguh ingin
mendorong pembangunan desa wisata. Upaya yang dilakukan
19
pemerintah daerah dalam pengembangan desa wisata yang telah dilakukan selama ini nampaknya belum tertata rapi dan
terintegrasi. Salah satu aspek yang banyak disorot adalah dukungan
promosi yang masih kurang dari pemerintah daerah. Sebagaimana diungkap oleh pengelola desa wisata Gentasari Kroya, minat wisatawan untuk berkunjung ke desa wisata
masih kurang. Padahal pihak desa sudah berupaya cukup baik dengan mempromosikan melalui internet. Pemerintah
perlu mengevaluasi dan mengembangkan aktivitas promosi dengan pertimbangan yang lebih jeli mengenai berbagai aspek seperti jangkauan, media, konten serta kemasan promosi.
Selain aspek promosi, dukungan fasilitas infrastruktur oleh pemerintah khususnya akses jalan yang nyaman juga perlu ditingkatkan. Umumnya jalan-jalan akses ke desa
wisata masih berupa jalan desa yang kurang memadai. Sementara kebutuhan pendanaan untuk membangun jalan
cukup besar. Para camat dan pengelola desa wisata banyak menyampaikan bahwa jika hal ini harus dipenuhi seluruhnya dengan dana desa maka akan menyita habis dana yang
dimiliki desa. Di lapangan ditemui kendala dalam desa
mengembangkan wisata termasuk desa wisata adalah karena status kepemilikan lahan wisata yang bukan milik desa melainkan instansi lain (TNI) dan individu. Hal ini terkait
dengan legalitas pengelolaan oleh desa. Di sisi lain penguasaan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat desa juga menjadi kendala tersendiri bagi desa.
Benturan kepentingan dan konflik pengelolaan seringkali terjadi, terutama dipicu oleh pembagian hasil pengelolaan
yang dinilai tidak adil. Berbagai kenyataan ini menggambarkan bahwa tata
kelola terkait pariwisata desa belum berjalan dengan baik.
Perlu dukungan pemerintah daerah untuk menfasilitasi adanya MoU antar para stakeholder pembangunan desa
wisata/pariwisata desa. Tata kelola yang baik juga mensyaratkan adanya pengawasan dan pembinaan oleh pemerintah daerah agar proses pembangunan wisata dan desa
wisata itu bisa berkelanjutan, memberikan benefit yang optimal dan dapat dinikmati secara adil.
20
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN TERKAIT
Peraturan Daerah merupakan media bagi Pemerintahan Daerah untuk menuangkan usulan-usulan, kebijakan-kebijakan dan/atau aspirasi-aspirasi masyarakat untuk tujuan pembangunan
daerah. Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu menunjang pembangunan daerah ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Dalam menjalankan kewenangan di daerah, pembentukan perundang-undangan Daerah merupakan instrumen dalam penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Pemerintah Daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Pada tataran implementasinya, sebuah peraturan
daerah harus tepat sasaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat, dan yang lebih penting lagi adalah membawa manfaat
bagi masyarakat. Dalam praktik, sering ditemukan bahwa para perancang peraturan perundang-undangan belum mampu menerjemahkan kebijakan yang telah disusun ke dalam bentuk
peraturan daerah yang dapat diterapkan secara efektif. Karena itulah, dalam membentuk Peraturan Daerah tentang Desa Wisata
perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait.
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengandung norma yang harus diambil untuk memayungi
semua kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang. Tujuan penataan ruang menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah untuk mewujudkan ruang wilayah nasional
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia, dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang adalah
kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang, dan dalam Pasal 1 angka 9 disebutkan bahwa pengaturan penataan ruang adalah upaya
21
pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Dengan
demikian, pengaturan tata ruang adalah bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan dalam mengatur dan mengelola
sebuah kawasan. Sebagai bagian dari penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintahan maka diperlukan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).
Untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) dan merealisasikan ruang wilayah yang aman,
nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Kesatuan Nasional serta sejalan dengan kebijakan
otonomi daerah yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, maka penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga keselarasan, keserasian,
keseimbangan, dan keterpaduan antar daerah, antara pusat dan daerah, antar sektor dan antar pemangku kepentingan.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah dan pemerintah daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan batas wilayah administratif. Sejalan denga kebijakan otonomi daerah, maka
daerah provinsi dan kabupaten/kota berhak melakukan suatu perencanaan tata ruang sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh masing-masing pemerintah daerah. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menentukan
kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh setiap tingkatan
pemerintahan. Dalam Undang-Undang tersebut, kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penataan ruang terdapat dalam Pasal 11, yang terdiri dari enam ayat. Pemerintah daerah
dalam melaksanakan kewenangannya tersebut harus melakukan suatu langkah konkret berupa sikap dan tindak administrasi
negara dalam bentuk kebijakan, salah satunya adalah dalam bentuk peraturan daerah.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat terutama menyangkut kegiatan sosial dan
ekonomi sehingga perlu diatur dalam perundang-undangan. Kebijakan penyelenggaraan kepariwisataan pada prinsipnya diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur melalui peningkatan pendapatan nasional, perluasan dan
pemerataan kesempatan usaha dan lapangan kerja. Huruf c
22
konsideran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 menegaskan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang dilakukkan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan
tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Demikian juga
dengan Pasal 6 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 menjelaskan bahwa pembangunan kepariwisataan diwujudkan
melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk
berwisata. Selain itu, di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2009 dijelaskan bahwa kawasan strategis pariwisata adalah
kawasan yang memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek,
seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Pemerintah mempunyai kewenangan
untuk menetapkan kawasan strategis pariwisata baik yang nasional maupun kabupaten/kota. Setiap kawasan strategis
tersebut ditetapkan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 ini disebutkan
keterlibatan dari pemangku kepentingan seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 menyebutkan
keterlibatan pemangku kepentingan, terutama adalah Pemerintah Daerah, dalam mengimplementasikan sistem perencanaan
pemerintah, baik yang berdimensi jangka panjang, terpadu, dan yang berkelanjutan.
Pasal 29 dan 30 menjelaskan kewenangan–kewenangan
yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengembangan dan pemeliharaan aset–aset pariwisata di masing–masing kawasan strategis pariwisata.
Selain itu, Pasal 33 sampai dengan Pasal 35 juga memberikan kekuatan hukum bagi Pemerintah untuk melakukan koordinasi
strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program maupun kegiatan kepariwisataan.
Ketentuan di atas memberi isyarat bahwa Daerah memiliki
kewenangan menyelenggarakan kepariwisataan yang diatur dengan Peraturan Daerah, termasuk penetapan suatu desa
sebagai kawasan desa wisata.
23
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum
bertalian erat dengan wibawa hukum yang amat diperlukan bagi pembangunan dan pembaharuan masyarakat. Hukum berwibawa
apabila hukum itu merupakan kekuatan sosial yang ditaati. Salah satu dari fondasi kekuatan suatu Negara adalah adanya peraturan yang baik dengan tujuan untuk ketertiban masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini yang terutama adalah letak susunan Peraturan Daerah di antara peraturan perundangan lainnya. Sebagaimana yang dicantumkan
dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang ini, yaitu Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2) dikatakan bahwa
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ―hierarki‖ adalah penjenjangan setiap
jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Undang-Undang Desa) ini menjelaskan bahwa desa memiliki hak tradisional dan memiliki hak untuk mengatur masyarakat dalam
mengembangkan desa agar lebih maju dan mandiri. Undang-Undang ini juga menjelaskan tentang pembentukan Pemerintahan
Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
24
umum dan meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa. Pemerintahan Desa harus dapat memelihara kesatuan
sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional dalam memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan
pembangunan nasional. Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip dasar konstruksi Undang-Undang
Desa adalah menggabungkan fungsi self-governing community dan local self-government. Self-governing community yaitu menjalankan
kewenangan pemerintahan desa berdasar pada asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa. Sementara local self-government yaitu kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dan juga kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka ada empat kewenangan utama yang dimiliki
desa, Kewenangan ini harus dijalankan secara demokratis, berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat
istiadat Desa, yaitu: Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan masyarakat Desa.
Dalam pandangan ketatanegaraan, Indonesia memiliki hierarkhi struktural pemerintahan yang diatur secara tertulis dalam undang-undang, sehingga dalam urutan hierarkhi itu desa
merupakan bagian terendah dari pelaksana pemerintahan. Desa secara status diakui sebagai bagian dari pemerintahan dan
memiliki otoritas kebijakan (hak otonomi baku) dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Karena itulah, Undang-Undang Desa tersebut mengamanahkan pembangunan desa sebagai cara
untuk mengembalikan kedaulatan desa. Undang-Undang Desa mempertegas bahwa desa
sebenarnya membutuhkan kewenangan lebih yang sudah seharusnya didapatkan sesuai dengan hak otonominya, kewenangan yang dibutuhkan oleh desa adalah kewenangan
dalam menyelenggarakan pemerintahannya dan kewenangan dalam mengelola aset desa dalam mewujudkan kemandirian desa, sebagaimana telah tercantum dalam Pasal 18 sampai Pasal 22
Undang-Undang Desa. Kemandirian desa dapat tercapai melalui pembangunan
desa yang optimal dengan mengedepankan potensi yang dimiliki
25
desa tersebut. Pasal 78 Undang-Undang Desa menyatakan bahwa pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Salah satu bentuk pembangunan desa dalam rangka mewujudkan kemandirian desa adalah pengembangan kawasan
desa wisata sesuai dengan potensi alam yang dimiliki desa dimaksud. Pembangunan desa wisata melalui penetapan oleh kepala daerah tingkat kabupaten merupakan salah satu bentuk
upaya pembangunan kawasan pedesaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84 Undang-Undang Desa: ―Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Aset Desa dan tata ruang
Desa wajib melibatkan Pemerintah Desa.‖
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan
PP Nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa
Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan
menuntut di muka pengadilan. Karena itulah desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan
susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki kekayaan dan aset. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan eksistensi desa dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 dikeluarkan
untuk melaksanakan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta untuk mengoptimalkan
penyelenggaraan pemerintahan Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tersebut memuat sejumlah aturan, antara lain mengenai Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa,
Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan
Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan lain.
26
Terkait dengan penetapan desa wisata, maka ketentuan kewenangan desa dalam Peraturan Pemerintah tersebut menjadi
bagian yang penting untuk diperhatikan. Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 menyebutkan bahwa
kewenangan Desa meliputi: 1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul; 2. Kewenangan lokal berskala Desa;
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Poin 3 dan 4 di atas secara tegas menetapkan bahwa Desa
dapat diberi kewenangan melaksanakan tugas dan amanat yang
diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Hal ini penting diperhatikan terkait dengan penetapan desa wisata oleh
pemerintah kabupaten terhadap suatu desa tertentu. Adapun anggaran untuk menyelenggarakan kewenangan Desa yang didapat atau ditugaskan oleh Pemerintah Daerah akan didanai
dengan APBD dari Propinsi, dan Kabupaten atau Kota. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 90 ayat (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2014, yaitu ―Penyelenggaraan kewenangan Desa yang ditugaskan oleh pemerintah daerah didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah.‖
Selain itu, Pasal 122 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 menetapkan bahwa ―Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
menyelenggarakan program sektoral dan program daerah yang masuk ke Desa.‖ Demikian juga Pasal 123 ayat (1) menentukan
bahwa ―Pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-Desa yang dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat Desa melalui pendekatan pembangunan partisipatif.‖ Pasal 124 ayat (1) juga menegaskan bahwa ―Pembangunan kawasan perdesaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 dilaksanakan di lokasi yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota.‖
Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah kabupaten dapat menetapkan suatu peraturan daerah untuk membuat program pembangunan kawasan perdesaan, termasuk desa
wisata sebagai program pemerintah kabupaten, dalam rangka mempercepat dan meningkatkan kualitas pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa.
27
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini mengatur tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah dengan tujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya
sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Selain memperhatikan kepentingan nasional, dalam rangka mengatur dan mengurus kehidupan
warganya, Pemerintah Daerah membentuk kebijakan dengan memperhatikan dan mengutamakan kearifan lokal.
Dalam Pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
Urusan Pemerintahan Wajib berkaitan dengan Pelayanan Dasar yang meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan
penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan masyarakat, serta sertah hal-hal yang terkait dengan kehidupan sosial.
Adapun Urusan Pemerintahan Pilihan meliputi kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi.
Dalam pasal 13 ayat (4) huruf f dijelaskan salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan Daerah
kabupaten/kota adalah (a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota; (b) Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota; (c) Urusan
Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau (d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Daerah kabupaten/kota. Ketentuan tentang urusan wajib dan urusan pilihan di
atas dapat diartikan bahwa pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenangan untuk menentukan sendiri sumber daya alam dan sumberdaya manusia yang potensial untuk dikembangkan di
tempat-tempat yang dianggap sesuai, termasuk juga dengan penetapan desa wisata dan peluang adanya tenaga kerja
kepariwisataan terkait dengan desa wisata tersebut. Begitu pula pada pasal 31 ayat (2) huruf b disebutkan
bahwa penataan daerah ditujukan untuk mempercepat
28
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, urusan pemerintahan daerah yang bersifat nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan dapat dikembangkan oleh Daerah tersebut. Hal ini dapat diartikan bahwa Daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan sendiri untuk mengurus hal-hal yang menyangkut
kesejahteraan masyarakat yang juga mencakup kepariwisataan atau desa wisata.
Terhadap kewenangan-kewenangan di atas pemerintah daerah perlu membentuk peraturan daerah yang melegitimasi kewenangan tersebut, yang salah satunya adalah terkait dengan
desa wisata.
29
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Negara Republik Indonesia adalah suatu wilayah negara kepulauan besar yang terdiri dari ribuan pulau dan diapit oleh dua samudra dan dua benua, serta didiami oleh ratusan juta
penduduk. Disamping itu Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang berlainan satu sama lain, dan
tercemin dalam satu ikatan kesatuan yang terkenal dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika. Mengingat keberadaan tersebut dan demi menjaga penyelenggara tertib pemerintah yang baik dan
efisien, maka kekuasaan negara tentu tidak dapat dipusatkan dalam satu tangan kekuasaan saja. Oleh sebab itu penyebaran kekuasaan haruslah dijalankan secara efektif untuk mencapai
cita-cita dan tujuan akhir negara sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 45. Sebagai konsekuensinya, maka wilayah
negara kesatuan republik Indonesia haruslah dibagi atas beberapa daerah, baik besar maupun kecil.
Amanat konstitusi diatas implementasinya diatur oleh
peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang terakhir diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, sistem pemerintahan di Indonesia memberikan keleluasaan yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah yang demikian itu merupakan kebijakan Negara yang mendasari penyelenggaraan organisasi dan manajemen pemerintahan daerah. Artinya, seluruh kebijakan dan kegiatan
pemerintahan serta kebijakan dan kegiatan pembangunan di daerah dilaksanakan menurut arah kebijakan yang ditetapkan dalam kebijakan Negara tersebut. Dalam menyelenggarakan otonomi
daerah lembaga yang berwenang menjalankan fungsi kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan yang dimaksud yaitu: kekuasaan untuk
membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah , saat ini telah lahir
Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa. Desa memiliki hak otonomi asli berdasarkan hukum adat, dapat menentukan
susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki kekayaan dan aset. oleh karena itu, eksistensi desa perlu ditegaskan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
30
desa. Deregulasi dan penataan desa pasca beberapa kali amandemen terhadap konstitusi negara serta peraturan
perundangannya menimbulkan perspektif baru tentang pengaturan desa di Indonesia. Dengan di undangkannya Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa , sebagai sebuah kawasan yang otonom memang diberikan hak-hak istimewa, diantaranya adalah terkait pengelolaan keuangan dan alokasi
dana desa, pemilihan kepala desa serta proses pembangunan desa .
Otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki
oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun
hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Bagi desa, otonomi
yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota.
Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-
usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari pemerintah. Desa atau nama lainnya, yang
selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak,
kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa
desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan
otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 18 kewenangan desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
31
desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan adat istiadat desa. Dan menurut Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa kewenangan desa
meliputi: 1. kewenangan berdasarkan hak asal usul; 2. kewenangan lokal berskala Desa;
3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
4. Kabupaten/Kota; dan 5. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa desa di kabupaten/kota memiliki kewenangan-kewenangan yang dapat
diatur secara bersama antara pemerintah desa dan BPD yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayananan kepada
masyarakat. Penyelenggaraan desa yang otonom dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut pada dasarnya merupakan proses yang terjadi secara simultan dan
berkesinambungan yang memerlukan pengetahuan aparatur daerah tentang kewenangan mereka, potensi daerah dan
menjaring aspirasi masyarakat di wilayahnya. Kewenangan menurut George R.Terry, menjelaskan bahwa
wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan
orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau
tingkah laku perorangan dan grup. Sedangkan Mac Iver R.M, wewenang merupakan suatu hak yang didasarkan pada suatu pengaturan social, yang berfungsi untuk menetapkan
kebijakan, keputusan, dan permasalahan penting dalam masyarakat. Soerjono Soekanto, bila orang-orang membicarakan
tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Max weber, wewenang adalah
sebagai kekuasaan yang sah. Berdasarkan amanah kewenangan tersebut , maka Pemerintah
Daerah memiliki kewenangan untuk mengelola Pariwisata di
Kabupaten Cilacap, yang sebagian pengelolaannya diserahkan kepada desa-desa yang bersangkutan dengan tetap dalam lingkup
pembinaan pemerintah daerah. Tujuan awal adanya pengaturan tentang Desa Wisata terutama
untuk melakukan peningkatan dalam aspek kepariwisataan yang
dikelola secara integratif oleh Desa. Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas lainnya yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Saat
32
ini, pariwisata menjadi salah satu bidang yang mencerminkan keadaan suatu daerah sebagai suatu kesatuan dengan
masyarakatnya. Dunia pariwisata secara umumnya berperan sebagai agen promosi yang membawa gambaran kepada dunia lainnya tentang
daerahnya. Selain itu juga sebagai sumber pendapatan daerah. Sehingga dalam hal ini pemerintah daerah perlu agar daerah membangun infrastruktur kepariwisataan menjadi lebih baik dan dapat dibanggakan
sebagai basis dari perkenalan wilayah ke ajang yang lebih luas. Situasi inilah yang kemudian membawa peraturan daerah
tentang Desa Wisata. Penyusunan Peraturan Daerah tentang Desa Wisata ini pada prinsipnya didasarkan pada asas-asas yang menjadi landasan filosofis penyusunan peraturan perundang-
undangan pada umumnya yaitu diantaranya : 1. Asas Pengayoman, bahwa materi muatan peraturan daerah berfungsi untuk memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentramanmasyarakat; 2.
Asas kemanusiaan, dimana peraturan daerah ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia serta harkat
dan martabat setiap warga masyarakat secara proporsional; 3. Asas Keadilan, dimana ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini adalah untuk memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga masyarakat tanpa kecuali serta; 4. Asas ketertiban, dan kepastian hukum dimana salah satu tujuan utama
dari peraturan daerah ini adalah untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
B. Landasan Sosiologis Suatu peraturan perundang-undangan dinilai memilki
landasan sosiologis secara benar jika peraturan daerah tersebut
dibentuk berdasarkan pada realitas dan kebutuhan masyarakat. Munculnya penolakan terhadap diberlakukannya suatu peraturan
daerah merupakan indikasi bahwa peraturan daerah yang bersangkutan tidak memilki landasan sosiologis yang baik. Idealnya, suatu peraturan daerah harus sesuai dengan keadaan
masyarakat yang akan dikenai peraturan tersebut agar tidak terjadi keresahan dan ketidakpuasan.
Sebagai penyelenggara pemerintahan maka pemerintah
daerah dituntut unutk memahami dan mengerti tentang keadaan masyarakat yang diperintahnya. Pemerintah daerah sebagai
pemegang kekuasaan tidak hanya harus memahami dan mengerti tentang keadaan masyarakat tetapi lebih jauh dari itu adalah mempertimbangkan dukungan (support) dan tuntutan (demand)
yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu sebelum pemerintah daerah mengajukan prakarsa pembuatan perda,
pemerintah daerah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk bisa mempelajari situasi dan kondisi secara tepat.
33
Bagi masyarakat yang akan mendukung dan menjalankan kebijakan publik tersebut memperoleh informasi tentang
perkiraan resiko dan dampak yang dipersepsikan, baik luas maupun bentuknya, serta konsep sementara yang ditawarkan
berkenaan dengan langkah-langkah yang dinilai perlu diambil untuk mengatasinya. Keterbukaan pada tahapan ini memungkinkan masyrakat mempersiapkan diri untuk
menghadapinya, membantu merumuskan usulan alternatif lain, atau menolaknya. Penolakan terhadap kebijakan pemerintah
secara terbuka atau terselubung pada umumnya disebabkan oleh minimnya komunikasi oleh birokrasi atau ketidaksiapan, atau ketidaksiapan masyarakat memikul resiko dan dampak yang
dipersepsikan. Sikap budaya lama dari ―pamong‖ (birokrasi) yang merasa
memonopoli informasi acapkali muncul kepermukaan dalam
bentuk yang dituduhkan sebagai ―kecongkaan kekuasaan‖. Hampir semua masalah yang kita hadapi dewasa ini dapat
ditelusuri kembali kepada akar masalahnya, yaitu karena tiadanya komunikasi yang sehat, atau bahkan karena ―salah komunikasi‖. Semuanya berlatar belakang karena ketidaksediaan
berbagi privilese, berbagi informasi dengan pihak lain. Berkaitan komunikasi dan suara masyarakat tersebut,
masyarakat kabupaten Cilacap memerlukan pengaturan terhadap pariwisata , khususnya tentang Desa Wisata. beberapa alasan mengapa peraturan daerah Cilacap ini penting untuk
diterbitkan, beberapa alasan sosilogis empiris dapat dikemukakan disini, diantaranya adalah sebagai berikut: Beberapa Desa di Kabupaten Cilacap memiliki beragam lansekap yang muncul
karena keragaman dan karakter masyarakatnya. Ada lansekap budaya (cultural lanscape). suatu kawasan geografis yang
menampilkan ekspresi lansekap sebagai akibat suatu pola budaya tertentu seperti yang terdapat di kawasan kampung laut kabupaten Cilacap.
Lansekap sejarah (historical lanscape)—-suatu kawasan geografis yang merupakan setting suatu peristiwa (tata
perkebunan, lubang buaya, candi borobudur, dan lain sebagainya). Di kabupaten Cilacap ada Goa Pendem, Sejarah tentang penjajahan Belanda, Selain itu juga ada Lansekap alam
(natural lanscape)—suatu kawasan geomorfologis dari berbagai rupa bumi (lembah, sungai, danau, gunung, dan lain sebagainya)
di kabupaten Cilacap ada pantai yang sangat indah alami seperti Teluk Penyu.
Lansekap-lansekap tersebut banyak yang belum di
optimalkan sehingga belum begitu berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Problematika belum
optimalnya masalah Desa wisata harus segera diperbaiki, seperti
34
kondisi prasarana di sekitar kawasan wisata perlu di perhatikan agar wisatawan dapat mengetahui dengan benar,karena
berkembang tidaknya suatu obyek wisata tergantung pada produk industri dari pariwisata tersebut, yang meliputi daya tarik,
prasarana serta kemudahan dalam menuju obyek wisata yang ada. Daya tarik wisata merupakan segala sesuatu yang mendorong wisatawan untuk berkunjung dan singgah di daerah
tujuan wisata yang bersangkutan. Misalnya jenis obyek wisata, seni dan budaya, keramahan penduduk, keamanan, kebersihan
dan kenyamanan. Daya tarik ini dapat timbul dari keadaan alam maupun obyek buatan manusia.
Selain hal tersebut perlu juga diperhatikan tentang
prasarana wisata yang merupakan semua konstruksi di atas dan di bawah yang ada pada suatu wilayah yang meliputi sistem pengairan, jaringan telekomunikasi, fasilitas kesehatan, terminal,
sumber listrik, jalan raya dan pembuangan limbah ( Spiliane, 1994). Unsur pengadaan dalam pengembangan prasarana obyek
wisata dapat berupa akomodasi, transportasi, dan fasilitas pelayanan.
Sampai saat ini regulasi tentang wisata yang berada di
Desa-Desa di kabupaten Cilacap sebagai payung hukum tentang pembentukan Desa Wisata tersebut belum ada. Sehingga
dianggap sangat penting untuk segera menyusun raperda tentang Desa Wisata di kabupaten Cilacap.
C. Landasan Yuridis
Kajian yuridis mengenai Desa Wisata tidak dapat lepas dari aspek yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundangan
sebagai landasan yuridis yang mengikat dan menjadi dasar pengaturan. Penyelenggaraan asas desentralisasi oleh pemerintah adalah otonomi daerah yang berlangsung dan diselenggarakan
oleh daerah otonom baik dalam konsep yang mengandung wewenang (fungsi), mengatur (regelend), ataupun mengatur
(bestuur). Berdasarkan analisa mengenai peraturan perundang-undangan yang relevan, maka pembentukan peraturan daerah Cilacap tentang Desa Wisata mempunyai landasan yuridis sebagaimana berikut:
1. Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945- Pasal 18 ayat (6) Berdasarkan pasal 18 UUD 1945 dibentuknya daerah
otonom tujuannya adalah untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dalam pelaksanaan
pembangunan, yang berbunyi sebagai berikut: (1). Negara
35
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap- tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang- undang.
(2). Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (3).
Pemerintahan daerah provinsi,daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat daerah yang anggotanya
dipilih melalui pemilihan umum. (4). Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. (5).
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. (6). Pemerintah
Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan – peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. (7). Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang- undang.
Agar dapat berfungsi dan dicapai tujuan
pembentukannya sesuai dengan pasal 18 UUD 1945 maka kepada daerah diberikan wewenang- wewenang untuk
melaksanakan berbagai urusan rumah tangganya. Oleh karena itu, setiap pembentukan Daerah Otonom Tingkat I ataupun II harus selalu memperhatikan syarat- syarat kemampuan
ekonomi, jumlah penduduk,luas daerah pertahanan dan keamanan yang memungkinkan daerah otonom melaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
2. Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang Tujuan penataan ruang menurut Undang-undang Nomor
26 Tahun 2007 adalah: Penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: a.
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; b. terwujudnya keterpaduan dalam
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3). Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa
rumusan tujuan (pengaturan penataan ruang) merupakan penerapan bagaimana konsep asas-asas penyelenggaran
36
penataan ruang mengendalikan arah dan sasaran yang hendak dituju oleh suatu pengaturan UU Penataan Ruang ini.
Selanjutnya pasal yang berkaitan dengan Desa Wisata dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang adalah klasifikasi penataan ruang sebagai berikut, Pasal 4: Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan. Pasal 5 (1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan
sistem internal perkotaan. (2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. (3) Penataan ruang berdasarkan wilayah
administratif terdiri atas penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota. (4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. (5) Penataan ruang
berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota. Pasal 6 (1) Penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan: a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya
buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan c.
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. (2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. (3) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. (4) Penataan ruang wilayah provinsi dan
kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan. (5) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Dari pasal-pasal tersebut telah jelas klasifikasi
penataan ruang baik berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan-kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan,
dan nilai strategi kawasan. Makin tinggi taraf hidup manusia, makin bertambah
pula macam dan ragam kebutuhannya. Hal ini ditambah pula
37
dengan tersedianya ilmu dan teknologi yang memungkinkan ragam dan macam kebutuhan itu dipenuhi. Upaya untuk
memenuhi kebutuhan di atas dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber daya alam yang tersedia di
sekitarnya dengan melakukan berbagai macam kegiatan, baik langsung maupun tidak. Kegiatan tersebut memerlukan ruang atau tempat. Pada umumnya, suatu ruang tertentu dapat
digunakan untuk berbagai alternatif kegiatan, seperti pemukiman, industri, pertanian dan sebagainya. Apabila suatu
kegiatan tertentu telah dilakukan di suatu ruang tertentu, pada waktu yang sama tidak dapat dilakukan suatu kegiatan lain. Karena itu, dapat terjadi persaingan. Bahkan, terjadi
konflik dalam pemanfaatan ruang antara berbagai macam kegiatan, yang dapat menghambat kelancaran kegiatan itu. Hak guna usaha, misalnya kegiatan pertanian, yang terdapat
dalam suatu ruang dapat terjadi tumpang tindih dengan kegiatan pertambangan berdasarkan hak kuasa
pertambangan. Di samping itu, suatu kegiatan dapat mengganggu atau merugikan kegiatan lain yang berada di dekatnya, seperti pengaruh kebisingan, asap tebal dan debu
pada tempat kediaman/pemukiman. Bahkan, suatu kegiatan wilayah meskipun jaraknya cukup jauh, misalnya pengaruh
industri di hulu sungai terhadap pemukiman atau penggundulan hutan terhadap pemukiman di bawahnya karena erosi dan menurunnya air bawah tanah. Perubahan
terhadap peruntukan lahan yang tidak disertai dengan perencanaan yang matang dapat menimbulkan dampak yang merugikan dan konflik-konflik yang mengganggu lancarnya
kegiatan pembangunan. Sebagai contoh konkret mengena hal ini timbulnya masalah tata ruang di kawasan Puncak. Sebagai
objek wisata yang banyak dikunjungi orang, di daerah ini banyak pembangunan fasilitas seperti bungalau, restoran yang tidak cocok untuk itu. Hal ini tidak saja menimbulkan konflik-
konflik dalam berbagai pemanfaatan yang berbeda, tetapi juga dapat mengancam rusaknya keindahan alam yang menjadi objek utama dari para wisatawan.
3. Undang-Undang No.10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan Dalam undang-undang yang menjadi payung utama dalam
menyelenggarakan kepariwisataan ini telah dijelaskan dalam
pasal 14 Undang-undang ini bahwa terdapat beberapa usaha pariwisata yang dapat diselenggarakan yaitu:
a. daya tarik wisata; b. kawasan pariwisata; c. jasa transportasi wisata;
38
d. jasa perjalanan wisata; e. jasa makanan dan minuman;
f. penyediaan akomodasi; g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i. jasa informasi pariwisata;
j. jasa konsultan pariwisata; k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta; dan m. Spa.
Kemudian dalam pasal selanjutnya pasal 15 ayat (1)
disebutkan bahwa untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih
dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang kemudian dilanjutkan oleh pasal 16. Pasal ini menyatakan bahwa
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menunda atau meninjau kembali pendaftaran usaha pariwisata apabila tidak sesuai dengan ketentuan. Dari sini dapat diperhatikan bahwa pemerintah
daerah memiliki kewenangan untuk ikut intervensi dalam suatu perizinan usaha pariwisata yang selanjutnya dapat dituangkan
dalam suatu peraturan daerah tersendiri yang mencakup terutama pengaturan, standar, pembinaan, dan pengawasan pariwisata tersebut.
4. Undang-Undang No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut: (1). Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah
dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat; (2).
Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah; (3). Memberikan kepastian bagi
dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan
retribusi daerah yang dipergunakan dalam Undang-Undang
ini, yaitu: (1). Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat
dan relatif netral terhadap fiskal nasional. (2). Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List). (3). Pemberian
39
kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang
ditetapkan dalam Undang-undang. (4). Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang
tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. (5). Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan
korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan
retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU PDRD adalah sebagai berikut: Penambahan jenis pajak daerah: Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak
provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah,
yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru
adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota
ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi.
Perluasan Basis Pajak Daerah dengan Desa Wisata ,
antara lain adalah: 1. PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah,2. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel, dan 3. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.4.
Perluasan Basis Retribusi Daerah Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan
Retribusi Izin Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah
Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5. Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan
Dalam undang-undang ini yang terutama adalah letak susunan Peraturan Daerah diantara peraturan perundangan lainnya. Sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 7 undang-
undang ini, yaitu Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
40
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian pada pasal (2) dikatakan bahwa Kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kaitannya dengan pembentukan perda Desa
Wisata , maka perda ini tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan diatasnya, lex superior derogat lex inferior (Jika ada Undang-Undang secara substansial bertentangan, maka peraturan yang lebih
tinggi dapat mengabaikan peraturan yang ada di bawahnya). Untuk itu pembentukan perda Desa Wisata ini selalu mengacu kepada Undang-
Undang yang berkaitan yang telah ada sebelumnya, baik yang lebih tinggi tingkatannya maupun yang sejajar.
6. Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa Desa mempunyai sumber pendapatan Desa yang terdiri
atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabupaten/Kota, alokasi anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga.
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada Desa diberikan sesuai
dengan kemampuan keuangan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan Pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat
diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala
Desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan. Bagian dari dana
perimbangan yang diterima Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya
disebut Alokasi Dana Desa. Alokasi anggaran untuk Desa yang bersumber dari Belanja Pusat dilakukan dengan
mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan.
41
Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan
kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Untuk itu, Undang-Undang ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu ‗Desa membangun‘ dan ‗membangun Desa‘
yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa. Sebagai konsekuensinya, Desa menyusun perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangannya dengan
mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Dokumen rencana Pembangunan Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa dan sebagai dasar
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan
mengikutsertakan masyarakat Desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan,
dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat
Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan penilaian terhadap kebutuhan masyarakat Desa.
Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dengan semangat gotong royong serta memanfaatkan kearifan lokal dan sumber daya alam Desa.
Pelaksanaan program sektor yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa dan diintegrasikan
dengan rencana Pembangunan Desa. Masyarakat Desa berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa.
Selanjutnya Pemerintah Daerah dapat ikut serta dalam pengelolaan Desa-Desa yang ada dalam wilayahnya, salah satunya dengan mengoptimalkan potensi Desa untuk sama
sama dikelola sebagai Desa Wisata, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 , Sebagai berikut:
Pasal 7 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa.
(2) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
42
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa;
dan
e. meningkatkan daya saing Desa.
7. Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah Dalam pasal 12 ayat (2) telah dijelaskan salah satu
urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
menjadi kewenangan pemerintahan daerah merupakan urusan dalam skala daerah kabupaten yang meliputi penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial, termasuk juga budaya
dan penanaman modal yang bisa diartikan sebagai pemerintah daerah berwenangan untuk menentukan sendiri sumber daya
manusia yang potensial ditempat-tempat yang dianggap sesuai, menentukan budaya dari desa mana yang dapat dijadikan unggulan daerah sehingga salah satunya dapat dijadikan Desa Wisata .
Begitu pula pada pasal yang sama ayat (2) yaitu Urusan pemerintahan pemerintah daerah yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Hal ini bisa diartikan bahwa daerah memiliki kewenangan sendiri untuk mengurus hal-hal yang menyangkut kesejahteraan masyarakat yang dimana juga mencakup
kepariwisataan. Selanjutnya juga disebutkan, bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak yang mana mencakup fasilitas dan sarana hiburan dalam kepariwisataan.
Dalam pasal yang sama untuk mengembangkan sumber
daya produktif di daerah juga dapat mencakup sumber daya kepariwisataan untuk dikembangkan dan diatur sendiri oleh pemerintah daerah. Kemudian juga disebutkan untuk
melestarikan nilai sosial budaya yang harus direfleksikan dalam tindakan para pramuwisata terutama dalam melayani para wisatawan
baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar. Terhadap kewenangan-kewenangan diatas tersebut pemerintah daerah perlu membentuk peraturan daerah yang melegitimasi kewengan
tersebut.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
43
Dalam PP ini terutama mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam salah satu pasalnya yaitu
pasal 7 disebutkan bahwa kepariwisataan termasuk salah satu urusan pemerintahan yang dapat diatur oleh pemerintah
daerah. Pariwisata menjadi salah satu urusan pilihan yaitu urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan (pasal 7 ayat (3)) yang kemudian pada ayat berikutnya dijabarkan
bahwa urusan pilihan itu meliputi: a. kelautan dan perikanan; b. pertanian;
c. kehutanan; d. energi dan sumber daya mineral; dan e. pariwisata .
9. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Peraturan Pemerintah ini dibentuk dengan dimaksudkan
adanya suatu rencana induk yang berlaku secara umum tentang
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dan berkualitas baik. Salah satu bagian dari PP ini mengatur
tentang peningkatan daya saing produk pariwisata yang diatur dengan tujuan untuk meningkatkan etik kerja masing-masing daerah pariwisata dalam memperbaiki kualitasnya. Daya saing
ini kemudian meliputi hal-hal yang diatur dalam pasal 44 yaitu: daya saing Daya Tarik Wisata; daya saing Fasilitas Pariwisata, dan daya saing Aksesibilitas. Daya Tarik Wisata
kemudian dijelaskan pada pasal 46 meliputi memperbaiki kualitas interpretasi (pasal 46 huruf b).
Berdasarkan Penjelasan PP ini, yang dimaksud dengan ―kualitas interpretasi‖ adalah kualitas kemampuan manusia, segala bentuk media dan/atau alat yang berfungsi mentransformasikan
nilai kemenarikan Daya Tarik Wisata kepada wisatawan. Sebagai contoh, kemampuan mengkomunikasikan nilai kemenarikan suatu daya tarik oleh masyarakat desa setempat atau
pramuwisata, audio visual, termasuk deskripsi/penjelas dan penanda dari benda-benda koleksi dalam museum.
Dalam rangka melakukan peningkatan Daya Tarik Wisata inilah produk hukum berupa perda yang mengatur lebih lanjut tentang Desa Wisata dapat dijustifikasi. Pemberlakuan standar
minimal, pembinaa, dan pengawasan dapat memberikan akses lebih baik bagi pemerintah untuk melakukan pengembangan
tentang kualitas Desa termasuk keadaan fasilitas dan masyarakatnya yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pariwisata.
44
10. Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pemerintah menerbitkan PP Nomor 27 Tahun 2014 untuk menggantikan PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PP Nomor
38 Tahun 2008. Pada PP Nomor 27 Tahun 2014, pemerintah melakukan beberapa penyempurnaan atas peraturan sebelumnya. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah:
(1). Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D. (2). Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain (3).
Penguatan dasar hukum pengaturan (4). Penyederhanaan birokrasi. (5). Pengembangan manajemen aset negara. (6). Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi Dengan
perubahan tersebut, diharapkan PP Nomor 27 Tahun 2014 mampu mengakomodir dinamika pengelolaan BMN/D; meminimalisir multitafsir atas pengelolaan BMN/D;
mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, & kewenangan Pengguna dan Pengelola; harmonisasi dengan peraturan
terkait. Hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan atas
pengelolaan barang dalam Peraturan Pemerintah ini
terdapat dalam Pasal 5 (1) Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah. (2).
Pemegang kekuasaan pengelolaan Barang Milik Daerah berwenang dan bertanggung jawab: a. menetapkan kebijakan pengelolaan Barang Milik Daerah; b.menetapkan Penggunaan,
Pemanfaatan, atau Pemindahtanganan Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan; c. menetapkan kebijakan pengamanan dan pemeliharaan Barang Milik Daerah; d.
menetapkan pejabat yang mengurus dan menyimpan Barang Milik Daerah; e. mengajukan usul Pemindahtanganan Barang
Milik Daerah yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; f. menyetujui usul Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan Penghapusan Barang
Milik Daerah sesuai batas kewenangannya; g. menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan;
dan h. menyetujui usul Pemanfaatan Barang Milik Daerah dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. (3)
Sekretaris Daerah adalah Pengelola Barang Milik Daerah. Dst. Berkaitan dengan pengelolaan Desa Wisata yang
berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa, maka
pelaksanaannya mengacu pada peraturan pemerintah ini. Masalah-masalah teknis selanjutnya diatur dalam Peraturan
Bupati mengingat bahwa penguasaan pengelolaan barang milik daerah adalah kepala daerah dalam hal ini di kabupaten Cilacap adalah Bupati.
45
11. Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2014 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan.
Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini didalamnya mengatur tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa,
Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama
Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan yang lainnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa kewenangan Desa meliputi: (1). Kewenangan berdasarkan hak asal usul; (2). Kewenangan lokal berskala Desa; (3). Kewenangan yang
ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota; dan; (4). Kewenangan lain
yang ditugaskan oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Desa tersebut dalam PP Desa sedikitnya terdiri atas: (1). Sistem organisasi masyarakat adat; (2). Pembinaan kelembagaan masyarakat; (3). Pembinaan lembaga
hukum adat; (4). Pengelolaan tanah kas desa; dan Pengembangan peran masyarakat desa.
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit di antaranya meliputi: (1). Pengelolaan tambatan perahu; (2). Pengelolaan Pasar Desa; (3). Pengelolaan tempat pemandian
umum; (4). Pengelolaan jaringan irigrasi; (5). Pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat desa; (6). Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan
terpadu; (7). Pengelolaan Embung Desa; (8). Pengelolaan air minum berskala desa; dan Pembuatan jalan desa
antarpermukiman ke wilayah pertanian. Selain kewenangan sebagaimana hal diatas. Menteri dapat menetapkan jenis kewenangan Desa sesuai dengan situasi, kondisi dan
kebutuhan lokal. (menurut Pasal 34 ayat 3 PP Desa). Berkaitan dengan kewenangan pengelolaan Desa Wisata,
mengingat Desa wisata tersebut merupakan integrasi dari berbagai pengelolaan sumber daya yang ada di desa, maka desa dapat mengelola desa wisata secara swakelola dengan
46
tujuan untuk memanfaatkan potensi desa secara optimal sehingga tercapai peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.6 Tahun 2010
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029
Bab II Ruang Lingkup: Pasal 2 Ruang lingkup RTRW
Provinsi Jawa Tengah mencakup: a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Provinsi; b. rencana struktur
ruang wilayah Provinsi; c. rencana pola ruang wilayah Provinsi; d. penetapankawasan strategis Provinsi; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah Provinsi; f. arahanpengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Pasal 3 RTRW Provinsi Jawa Tengah menjadi pedoman
untuk : a. pembangunan dan rujukan bagi penyusunan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah; b. perumusan
kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Provinsi ; c. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan wilayah Provinsi serta keserasian antar sektor;
d. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat ; e. pengawasan terhadap
perizinan lokasi pembangunan; f. penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; g. rujukan bagi penyusunan rencana penanggulangan bencana;dan h.penyusunan
rencanaperlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berlandaskan kepada Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah ini, maka pengelolaan Desa Wisata di kabupaten
Cilacap, harus berpedoman kepada Peraturan ini baik dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaannya. Sehingga
Desa Wisata yang ada di kabupaten Cilacap terintegrasi dengan desa-desa lainnya yang ada di Jawa tengah baik dalam segi tata ruang maupun peruntukannya sebagai wilayah
/ruang pariwisata untuk tercapainya Tata ruang yang nyaman dan lestari.
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.10 Tahun 2012 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2027 Pasal 2 (1) Pembangunan kepariwisataan Provinsi
meliputi: a. Destinasi pariwisata; b. pemasaran pariwisata; c.
industri pariwisata; dan d. kelembagaan kepariwisataan. (2) Pembangunan kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan RIPPARPROV. (3) RIPPARPROV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat: a. visi; b. misi; c. tujuan; d. sasaran; dan e. arah pembangunan
47
kepariwisataan Provinsi dalam kurun waktu Tahun 2012 sampai dengan Tahun 2027.
(4) Visi pembangunan kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah
Terwujudnya Jawa Tengah Sebagai Destinasi Pariwisata Utama.
(5) Dalam mewujudkan visi pembangunan
kepariwisataan Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditempuh melalui 4 (empat) misi pembangunan kepariwisataan
Provinsi dengan mengembangkan: a. destinasi pariwisata yang mempunyai keunikan lokal, aman, nyaman, menarik, mudah dicapai, berwawasan lingkungan, meningkatkan pendapatan
masyarakat dan daerah; b. pemasaran pariwisata yang efektif, sinergis, dan bertanggungjawab untuk meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara; c. industri
pariwisata yang berdaya saing, menggerakkan kemitraan usaha, bertanggungjawab terhadap pelestarian lingkungan
alam dan sosial budaya;d.organisasi Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi, optimalisasi pelayanan dan mekanisme operasional yang
efektif dan efisien dalam rangka mendorong terwujudnya pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.
(6) Tujuan pembangunan kepariwisataan Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c adalah: a.meningkatkan kualitas dan kuantitas destinasi pariwisata;
b.mengkomunikasikan DPP dengan menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan bertanggungjawab; c.mewujudkanindustri pariwisata yang mampu menggerakkan
perekonomian nasional; dan d.mengembangkan lembaga kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu
mensinergikan pembangunan destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, dan industri pariwisata secara profesional.
(7) Sasaran pembangunan kepariwisataan
Provinsisebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d adalah peningkatan: a.kunjungan wisatawan nusantara; b.kunjungan wisatawan mancanegara; c.pengeluaran wisatawan nusantara;
d.penerimaan devisa dari wisatawan mancanegara; dan e. produk domestik regional bruto di bidang kepariwisataan.
(8) Arah pembangunan kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi pembangunan kepariwisataan Provinsi dilaksanakandengan:
a. berdasarkan prinsip pembangunan kepariwisataan yang ber-kelanjutan; b. berorientasi pada upayapeningkatan
kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan serta pelestarian lingkungan; c. tata kelola yang
48
baik; d. Cara terpadu, lintas sektor, lintas daerah, dan lintas pelaku; dan e. mendorong kemitraan sektor publik dan privat.
Berkaitan dengan Desa Wisata, maka pengelolaan pariwisata Desa Wisata kabupaten Cilacap tetap berpedoman
kepada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah , sehingga visi dan misi dari Desa Wisata di Kabupaten Cilacap sesuai dan mendukung visi misi Pariwisata di Provinsi Jawa Tengah.
Pengelolaan Desa Wisata ini juga harus terintegrasi dengan pengelolaan pariwisata provinsi Jawa Tengah sesuai dengan
arah pembangunan pariwisata Jawa Tengah yang terpadu, lintas sektor dan lintas daerah.
14. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap No.9 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap Tahun 2011-2031
Strategi Penataan Ruang Wilayah Pasal 4 (1) Pengembangan dan pemantapan pusat pelayanan secara
merata dan seimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a. Terdiri atas: a. memperkuat fungsi dan peran PKN; b. meningkatkan peran PKL; c. meningkatkan PPK menjadi PKLp;
d. memperkuat fungsi dan peran PPK; e. memperkuat fungsi dan peran PPL; dan f. menguatkan kegiatan ekonomi di
wilayah perkotaan dengan perdesaan secara sinergis. (2). Pengembangan fungsi kawasan agropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas: a.
Mengembangkan lumbung desa modern; b. mengembangkan prasarana dan sarana agropolitan; dan c. Mempertahankan luasan lahan pertanian...dst...
(7) Pengembangan kawasan pariwisata berwawasan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g
terdiri atas: a. mengembangkan kawasan wisata; dan b. mengembangkan pusat promosi dan pemasaran wisata.
Peraturan Tentang RT/RW Daerah Kabupaten ini,
menjadi pedoman pelaksanaa Desa Wisata yang terintegrasi dengan tata ruang di kabupaten Cilacap.
49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Wisata dan Pengembangan Strategi Pariwisata di Kabupaten Cilacap didesain menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Tata kelola desa pasca UU No. 6 tahun 2014 memberi peluang sekaligus tantangan yang relatif besar. Peluang mengingat
dana yang masuk dan dikelola desa relatif besar. Selain itu, desa bertransformasi dari pelaksana tugas-tugas pembantuan menjadi pengelola kegiatan melalui ketentuan hak-hak lokal
berskala desa. Namun demikian, dana yang relatif besar serta wewenang yang bertambah tidak lantas memberberi jaminan penyelenggaraan kehidupan masyarakat desa sejahtera. Hal ini
karena kebutuhan pembiayaan kehidupan ―berdesa‖ cukup besar. Untuk itu, berbekal dana yang bertambah dan
wewenang yang ada, desa dituntuk memiliki kreatifitas tinggi memperoleh pendapatan melalui pengelolaan potensi-potensinya secara berkelanjutan, ramah lingkungan, dan
berorientasi kepada kesejahteraan ekonomi dan sosial warganya. Konsep desa wisata menjadi inovasi secara
produktif memanfaatkan dana desa yang bertambah dan kewenangan mengelola potensi loka berskala desa secara produktif.
2. Praktik ekonomi di desa pada umumnya bersifat parsial atau tidak saling berinteraksi satu sama lainnya. Akibatnya implikasi ekonomis yang muncul terbatas pada bidang garap
yang dilakukan. Model ekonomi seperti ini saat ini tidak efisien mengingat biaya produksi semakin tinggi. Oleh karena itu,
model produksi (mode of production) eonomi modern yang dikembangkan adalah yang mampu menciptakan peningkatan penerimaan manfaat yang tinggi (multyplayer effects). Model
produksi ini tidak ada pilihan lain kecuali masing-masing pengelola bidang garap ekonomi saling berinteraksi dan
bersinergi. Desa wisata dengan konsep integrasi bidang-bidang garap ekonomi di desa menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan dan bergatung satu sama lainnya. Melalui
integrasi ini, produksi ekonomi di desa meningkat baik dari sisi volume maupun nilai ekonomisnya.
3. Tuntutan untuk berintegrasi antarpelaku ekonomi di desa secara tidak langsung memaksa pelaku-pelaku tersebut memiliki kohesifitas sosial yang tinggi. Kerjasama menjadi titik
penting dalam proses membangun kohesifitas sosial. Desa wisata menjadi strategi menciptakan solidaritas, kesatuan, dan
produktifitas secara kolektif. Dengan desa wisata, konflik-
50
konflik sosial yang timbul akibat kompetisi yang tidak sehat atau ketimpangan dapat diminimalisasi. Kondisi ini terjadi
karena desa wisata hanya akan bisa terwujud apabila masing-masing pemangku kepentingan di desa terhubung dalam
ikatan-ikatan kerjasama dan berbagi peran serta tanggungjawab.
B. Kata Penutup Kami dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto menyadari banyak kekurangan bahkan kesalahan dalam Naskah Akademik Raperda tentang Desa Wisata dan Pengembangan
Strategi Pariwisata di Kabupaten Cilacap. Untuk itu kami berharap masukan, saran, dan kritik dari pihak-pihak terkait agar naskah akademik ini mampu merepresentasikan keinginan
dan aspirasi masyarakat terutama desa untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Naskah akademik ini tersusun atas bantuan dan kontribusi banyak pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan harapan semoga kerjasama yang baik
ini dapat dilanjutkan dalam kegiatan lain. Kemudian atas kekurangan naskah akademik ini, kami mohon maaf dan
beberapa hal yang belum memberikan kejelasan akan kami klarifikasi secukupnya.
Purwokerto, 29 Juli 2016 Koordinator,
Dr. Hj. Nita Triana, M.Si
51
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : .......... TAHUN 2016
TENTANG
DESA WISATA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA
DI KABUPATEN CILACAP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI CILACAP,
Menimbang : a. Bahwa keanekaragaman, kekhasan dan keunikan tradisi budaya beserta cagar alam dan cagar budaya merupakan bagian dari kekayaan, potensi dan sumber
daya yang perlu dilestarikan dan dikelola demi meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan
masyarakat; b. bahwa bentuk peningkatan kemandirian dan
kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
meliputi pengembangan desa wisata dan strategi pengembangannya demi mendukung pemberdayaan
ekonomi kreatif dan produktif masyarakat; c. bahwa desa membutuhkan regulasi yang mengatur
secara jelas upaya pemanfaatan potensi sumberdaya
yang dimiliki berbasis kepariwisataan untuk mewujudkan kemandirian masyarakat;
d. bahwa berdasar pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, b, dan c, perlu dibuat Peraturan Daerah tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan
Pariwisata Di Kabupaten Cilacap;
Mengingat :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam
Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Berita Negara tanggal 8 Agustus 1950);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
52
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495); 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5587) sebagaimana telah di ubah dua kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5679);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4562); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5533);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539)
sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
53
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Lembaran Ne-gara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5717); 13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6
Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6);
14. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-
2027 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 Nomor 10);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 9 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah
Kabupaten Cilacap Nomor 9 Tahun 2011, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 63 Tahun 2011);
16. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perijinan Usaha Kepariwisataan Dan
Perijinan Pengusahaan Objek Dan Daya Tarik Wisata Di Kabupaten Cilacap (Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 24 Tahun 2012, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 91 Tahun 2012); 17. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 5 Tahun
2013 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kabupaten Cilacap 2012-2017 (Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 13
Tahun 2013, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 96);
18. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 2 Tahun 2014, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 105 Tahun 2014);
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PEWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG DESA WISATA DAN
STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA DI
54
KABUPATEN CILACAP
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Cilacap. 3. Bupati adalah Bupati Cilacap. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap.
5. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari
keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
6. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
7. Desa Wisata adalah adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas lainnya yang disajikan dalam suatu
struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
8. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
9. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta
interaksi antara wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.
10. Strategi pengembangan pariwisata adalah pendekatan
menyeluruh yang berfungsi sebagai dasar dalam perumusan rencana dan program pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Cilacap.
11. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
12. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut destinasi
pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya
tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
55
13. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata. 14. Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang
melakukan kegiatan usaha pariwisata. 15. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang
saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
16. Kawasan strategis pariwisata daerah adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting
dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
17. Kawasan pariwisata daerah adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan
pariwisata. 18. Infrastruktur Pariwisata adalah semua fasilitas yang
memungkinkan semua proses dan kegiatan kepariwisataan dapat
berjalan dengan lancar sedemikian rupa, sehingga dapat memudahkan wisatawan memenuhi kebutuhannya.
19. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran, kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memajukan kualitas hidup,
kemandirian, dan kesejahteraan melalui kegiatan kepariwisataan. 20. Pemasaran pariwisata adalah serangkaian proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan Daya Tarik
Wisata dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan kepariwisataan dan seluruh pemangku
kepentingannya. 21. Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha dan masyarakat, sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke
arah pencapaian tujuan di bidang kepariwisataan. 22. Desa Budaya adalah wahana sekelompok manusia yang
melakukan aktivitas budaya yang mengekspresikan sistem kepercayaan, religi, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, sistem komunikasi, sistem sosial, dan sistem
lingkungan, tata ruang, dan arsitektur dengan mengaktualisasikan kekayaan potensinya dan
mengkonservasinya dengan seksama atas kekayaan budaya yang dimilikinya, terutama yang tampak pada adat dan tradisi, seni pertunjukan, kerajinan, dan tata ruang dan arsitektural.
56
23. Prasarana Umum, Fasilitas Umum, dan Fasilitas Pariwisata yang selanjutnya disebut Fasilitas Kepariwisataan adalah kelengkapan
dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana
semestinya, sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktivitas kehidupan keseharian dan semua jenis sarana yang
secara khusus ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam
melakukan kunjungan ke destinasi pariwisata. 24. Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana
informasi dan transportasi yang mendukung pergerakan
wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke destinasi pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah destinasi pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Tujuan Peraturan Daerah Desa Wisata dan Strategi Pengembangan
Pariswisata di Kabupaten Cilacap adalah: a. memberi kepastian hukum bagi pengembangan desa wisata di
kabupaten Cilacap;
b. mempertegas peran dan tanggungjawab para pihak yang terkait dalam pengembangan desa wisata di kabupaten Cilacap;
c. mengoptimalkan pengelolaan potensi dan sumberdaya desa
melalui pendekatan kepariwisataan; dan d. pemberdayaan masyarakat desa melalui pengembangan ekonomi
lokal dan penetapan desa wisata.
Pasal 3
Ruang lingkup Peraturan Daerah Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap adalah:
a. pembangunan Desa Wisata; dan b. strategi pengembangan Desa Wisata.
BAB III
PEMBANGUNAN DESA WISATA
Bagian Satu
Penetapan Desa Wisata
Pasal 4
57
(1) Desa wisata merupakan bagian dari pembangunan kawasan
perdesaan. (2) Pembangunan kawasan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan di lokasi yang telah ditetapkan oleh bupati. (3) Desa wisata ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 5
(1) Desa wisata merupakan keterpaduan dalam 1 (satu) kawasan dari komponen-komponen sebagai berikut: a. atraksi wisata;
b. akomodasi wisata; dan c. fasilitas wisata.
(2) Komponen desa wisata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diorganisasikan oleh sebuah lembaga yang ditunjuk oleh desa dan atau beberapa desa yang ditetapkan sebagai desa wisata.
(3) Penetapan desa wisata mempertimbangkan aspek geografis, daya tarik wisata, sosial-budaya, dan ekonomi.
Pasal 6
(1) Aspek geografis sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (3) adalah: a. berada dalam satu atau beberapa desa dalam satu atau lebih
kecamatan di wilayah Kabupaten Cilacap;
b. keadaan lahan stabil dan bukan lokasi rawan bencana; dan c. memiliki jalur dan/atau infrastruktur transportasi yang
terjangkau.
(2) Aspek daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) adalah sebagai berikut:
a. memiliki potensi wisata alam, budaya, dan/atau buatan; b. memiliki suasana khas pedesaan yang spesifik; c. memiliki akomodasi penyelenggaraan wisata;
d. menyediakan ruang partisipasi bagi wisatawan dalam keseharian penduduk; dan
e. memiliki organisasi yang melembagakan kegiatan wisata.
(3) Aspek sosial-budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) adalah sebagai berikut:
a. tingginya angka partisipasi masyarakat setempat dalam penyelenggaraan dan pelembagaan wisata;
b. memiliki kebudayaan yang terintegrasi dan saling mendukung
dengan potensi wisata; dan c. tidak terdapat konflik sosial.
(4) Aspek ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) adalah sebagai berikut: a. menambah pelaku ekonomi baru di desa;
58
b. menumbuhkan ekonomi di desa: c. meningkatkan skala produksi ekonomi desa;
d. menambah nilai ekonomi desa; dan e. meningkatkan investasi.
Pasal 7
Desa wisata ditetapkan berdasar kriteria sebagai berikut: a. memiliki sumber daya pariwisata potensial untuk menjadi daya
tarik wisata dan memiliki citra yang sudah dikenal; b. memiliki potensi pasar dalam skala lokal, nasional, dan
internasional;
c. memiliki fungsi dan peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
d. memiliki fungsi dan peran strategis dalam usaha pelestarian dan
pemanfaatan aset budaya; e. memiliki kesiapan dan dukungan masyarakat;
f. memiliki kekhususan dari wilayah; g. memiliki potensi trend daya tarik wisata masa depan; dan h. telah memiliki RPJM Desa.
Bagian Kedua
Tahap dan Mekanisme Penetapan Desa Wisata
Pasal 8
(1) Tahapan penetapan desa wisata sebagai berikut:
a. pengajuan dan kajian usulan penetapan desa wisata;
b. verifikasi usulan desa wisata; c. penilaian usulan desa wisata; dan
d. penetapan desa wisata. (2) Penetapan desa wisata dilaksanakan dengan mekanisme:
a. Pemerintah Desa melakukan inventarisasi dan identifikasi
mengenai wilayah, potensi wisata, mobilitas penduduk, serta sarana dan prasarana Desa sebagai usulan penetapan Desa sebagai lokasi pembangunan desa wisata;
b. usulan penetapan Desa sebagai lokasi pembangunan desa wisata disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati;
c. Bupati melakukan kajian dan verifikasi atas usulan untuk disesuaikan dengan rencana dan program pembangunan kabupaten;
d. berdasarkan hasil kajian dan verifikasi, Bupati menetapkan usulan desa wisata; dan
(3) Dalam melaksanakan kajian dan verifikasi usulan desa wisata, Bupati menunjuk tim koordinasi yang terdiri dari SKPD terkait.
59
(4) Tata cara pengusulan desa wisata diatur lebih lanjut melalui Peraturan Bupati.
Pasal 9
(1) Usulan desa wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a disertai dokumen sebagai berikut:
a. proposal penetapan desa wisata; b. hasil kajian potensi daya tarik wisata; dan
c. perencanaan pengembangan dan pengelolaan desa wisata; (2) Kajian usulan penetapan desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) huruf c, Bupati membentuk tim yang terdiri dari
beberapa SKPD yang terkait. (3) Tugas tim sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 10
(1) Status desa wisata dievaluasi paling lama 5 (lima) tahun sejak penetapan.
(2) Status desa wisata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dicabut dan/atau diperpanjang. (3) Dalam hal kondisi mendesak, evaluasi status desa wisata dapat
dilakukan segera tanpa menunggu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Tata cara evaluasi desa wisata diatur lebih lanjut oleh Peraturan
Bupati.
Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban
Pasal 11
(1) Pemerintah Daerah berhak: a. memperoleh bagi hasil retribusi kegiatan kepariwisataan desa
wisata;
b. berpartisipasi mengembangkan desa wisata; c. mengevaluasi status desa wisata; dan
d. menetapkan dan/atau mencabut status desa wisata. (2) Pemerintah Desa berhak:
a. mengelola kegiatan kepariwisataan desa wisata;
b. membentuk lembaga pengelola desa wisata; c. memungut retribusi kegiatan kepariwisataan di desa wisata;
(3) Masyarakat berhak: a. memperoleh manfaat ekonomi dan sosial desa wisata; b. berpartisipasi dalam perencanaan pengembangan desa wisata;
60
c. berinvestasi dalam pengembangan desa wisata; dan d. menyelenggarakan kegiatan dalam rangka atraksi desa wisata.
(4) Ketentuan bagi hasil atas retribusi kegiatan kepariwisataan desa wisata diatur lebih lanjut melaui Peraturan Bupati.
Pasal 12
(1) Dalam penyelenggaraan desa wisata, Pemerintah Daerah wajib: a. mengembangkan pasar desa wisata;
b. mengembangkan fisik desa wisata; dan c. melakukan pemberdayaan masyarakat.
(2) Mengembangkan pasar desa wisata sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf a adalah memperluas informasi dan promosi yang bertujuan menarik wisatawan domestik dan mancanegara.
(3) Mengembangkan fisik desa wisata sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b adalah melengkapi dan merehabilitasi infrastruktur dasar wisata.
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan desa wisata, Pemerintah Desa wajib: a. melindungi dan melestarikan lingkungan serta habitatnya;
b. menyebarluaskan informasi dan promosi desa wisata untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan;
c. mengelola desa wisata secara partisipatif, transparan, profesional,
dan akuntabel; d. mengembangkan fisik desa wisata dengan melengkapi fasilitas
dasar wisata; dan
e. mengelola partisipasi dan membina masyarakat desa dengan membentuk kelompok sadar wisata.
Pasal 14
Dalam penyelenggaraan desa wisata, masyarakat wajib: a. melindungi dan melestarikan lingkungan serta habitatnya ; dan b. berpartisipasi meningkatkan daya tarik wisata;
c. menjaga infrastruktur dan fasilitas wisata; d. mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi desa wisata; dan
e. melindungi dan melestarikan peninggalan sejarah kebudayaan masyarakat desa.
BAB IV PENDEKATAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DESA WISATA
Pasal 15
61
Pembangunan desa wisata diselenggarakan dengan pendekatan: a. pemberdayaan masyarakat;
b. desentralisasi; c. partisipatif;
d. keadilan dan kesetaraan gender; e. keswadayaan; f. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
g. pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Pasal 16
Desa wisata dikembangkan dengan strategi sebagai berikut:
a. pembangunan fisik; dan b. pembangunan non fisik
Pasal 17
(1) Strategi pembangunan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a meliputi: a. mengembangkan sarana dan prasarana pendukung untuk
meningkatkan akses dan jaringan keterkaitan antara desa penyangga dengan desa wisata;
b. mengonservasi sejumlah bangunan yang memiliki nilai seni, budaya, sejarah dan arsitektur lokal yang tinggi dengan tetap mempertahankan nilai keasliannya;
c. mengubah fungsi bangunan untuk meningkatkan kontribusi bagi pengembangan kegiatan desa wisata;
d. mengembangkan bentuk-bentuk penginapan di dalam wilayah
desa wisata yang dioperasikan oleh penduduk desa; e. mengembangkan usaha-usaha terkait dengan jasa
kepariwisataan; dan f. pembagian zona.
(2) Strategi pembangunan non fisik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 huru b meliputi: a. pengemasan desa wisata; b. promosi; c. peningkatan kapasitas sumberdaya manusia; d. pelestarian kearifan lokal, budaya, dan karakteristik desa
wisata; dan e. mengembangkan sistem keamanan berbasis masyarakat lokal.
BAB V PEMBIAYAAN
Pasal 18
62
(1) Pembiayaan pengembangan desa wisata bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;
d. swadaya masyarakat; dan e. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
(2) Pendanaan pengembangan desa wisata yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa merupakan penyertaan modal dari Pemerintah Desa yang dapat berupa pembiayaan dan
atau kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha Badan Usaha Milik Desa.
(3) Pendanaan Pengembangan Desa Wisata yang berasal dari
pinjaman merupakan pinjaman lembaga keuangan atau pemerintah daerah;
(4) Pendanaan Pengembangan Desa Wisata yang berasal dari
kerjasama usaha dapat diperoleh dari pihak swasta dan/atau masyarakat.
Pasal 19
(1) Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kegiatan pengembangan fisik dan non
fisik desa wisata yang telah ditetapkan. (2) Pengembangan fisik desa wisata sebagaimana dimaksud ayat (1)
diprioritaskan untuk peningkatan infrastruktur dasar
kepariwisataan di desa wisata. (3) Infrastruktur dasar pariwisata sebagaimana dimaksud ayat (2)
meliputi jalan dan/atau jembatan akses menuju desa wisata dan
bangunan fasilitas pendukung desa wisata. (4) Pengembangan non fisik desa wisata sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah promosi desa wisata dan pemberdayaan masyarakat desa wisata.
(5) Pemberdayaan masyarakat desa wisata sebagaimana dimaksud
ayat (4) meliputi pendidikan dan pelatihan kelompok sadar wisata, pelatihan manajemen desa wisata, asistensi pembuatan profil dan promosi desa wisata.
Pasal 20
(1) Pemerintah Desa (desa yang ditetapkan) wajib mengalokasikan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk kegiatan desa
wisata. (2) Kegiatan desa wisata sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
a. peningkatan daya tarik wisata; b. melengkapi akomodasi desa wisata; c. promosi;
63
d. pemberdayaan kelompok sadar wisata; dan e. melengkapi fasilitas kepariwisataan.
(3) Pemerintah Desa dapat bermitra dengan pihak ketiga untuk pembiayaan dalam rangka mengembangkan desa wisata.
(4) Pembiayaan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, dan APB Desa diarahkan pada kegiatan yang menghasilkan aset tetap.
(5) Pembiayaan yang bersumber dari pihak ketiga sebagai bagian dari kerjasama diarahkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan
peningkatan daya tarik wisata, peningkatan kapasitas masyarakat, promosi, dan pengelolaan kegiatan kepariwisataan desa wisata.
(6) Ketentuan lebih lanjut kemitraan usaha Pemerintah Desa dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 21
(1) Pembinaan dan pengawasan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui SKPD terkait dan Camat.
(2) Pembinaan dan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Pemerintah Daerah meliputi: a. perencanaan desa wisata;
b. pengelolaan kegiatan dan keuangan desa wisata; c. pengembangan partisipasi masyarakat dan pembinaan
kelompok sadar wisata; dan
d. kerjasama dengan pihak ke tiga oleh desa wisata. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana pada ayat (1) dilakukan
melalui: a. fasilitasi penyusunan Peraturan Desa tentang Pengelolaan
desa wisata;
b. fasilitasi administrasi tata pemerintahan, pengelolaan keuangan dan pendayagunaan asset desa wisata;
c. fasilitasi peningkatan kapasitas kelompok sadar wisata;
d. fasilitasi program peningkatan daya tarik wisata; e. fasilitasi program promosi dan pemasaran desa wisata; dan
f. monitoring dan evaluasi kegiatan-kegiatan pengembangan desa wisata.
BAB VII SANKSI
Pasal 22
64
(1) Pemerintah Desa yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 20 ayat (1) dikenakan sanksi administrasi.
(2) Pemerintah Desa yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 13 huruf a dan c dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
(3) Masyarakat yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 14 huruf a, c, dan e dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1) Semua kebijakan daerah yang terkait dengan desa wisata menyesuaiakn dengan ketentuan-ketentan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, status desa wisata yang telah ditetapkan ditinjau ulang dan dievaluasi oleh tim koordinasi.
(3) Desa wisata yang telah ditinjau ulang dan dievaluasi selanjutnya mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 24
Pemerintah Daerah wajib menerbitkan Peraturan Bupati paling lama ...... (contoh 1 tahun) sejak Peraturan Daerah ini ditetapkan.
BAB X KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap.
Ditetapkan di Cilacap pada tanggal 2016
BUPATI CILACAP, Ttd
TATTO SUWARTO PAMUJI
65
Diundangkan di ......................... pada tanggal .....
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN CILACAP
ttd
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TAHUN 2016 NOMOR ....
66
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP
NOMOR ……. TAHUN 2016
TENTANG
DESA WISATA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA
DI KABUPATEN CILACAP
UMUM Rancangan Peraturan Daeran tentang desa Wisata dan Strategi
Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Cilacap merupakan
kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan beberapa aturan operasionalnya. Point penting dari amanat undang-undang dan peraturan tersebut adalah bahwa Desa memiliki
hak-hak lokal berskala desa. Hak-hak ini didelegasikan secara langsung kepada Pemerintah Desa untuk dikelola dan sebesar-
besarnya untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan warga.
Satu hal penting dalam hak-hak lokal berskala desa adalah
bahwa Desa berhak mengelola potensi ekonomi berskala desa di mana potensi wisata menjadi subnya. Artinya desa yang memiliki
potensi wisata bisa dikembangkan secara otonom untuk meningkatkan pendapatan desa. Persoalan kemudian adalah terkait dengan definisi potensi wisata yang selama ini dipahami secara
mainstream sebagai obyek wisata. Dengan pengertian ini maka tidak semua desa memilikinya dan dalam konteks Cilacap jumlahnya terbatas. Namun apabila potensi wisata dipahami sebagai sebuah
kerangka berpikir kepariwisataan, maka segala sesuatu bisa dijadikan sebagai destinasi wisata tergantung dengan manajemen
dan pengemasan sebagai daya tark wisata. dalam pengertian kedua, semua desa relatif bisa memanfaatkan potensi desanya menjadi daya tarik wisata.
Wisata menjadi pendekatan pembangunan desa. Pendekatan ini menjadi alternatif mengingat praktik produksi yang mendasarkan pada lahan memiliki keterbatasan baik dari sisi volume maupun
daya dukung fisiknya. Melalui pendekatan kepariwisataan, proses produksi ekonomi di desa berlangsung sustainable dan ramah
lingkungan mengingat hal yang dimanfaatkan adalah dampak sosial dan ekonomi dari mobilitas manusia, produksi pengetahuan, dan unsur-unsur kehidupan lain yang bersifat relaksatif.
Desa wisata dengan prinsip utama integrasi destinasi wisata dengan akomodasi, fasilitas, dan tata pola kehidupan masyarakat
desa memberi alternatif produksi ekonoi baru di desa. Untuk mewujudkan integrasi tersebut dibutuhkan beberapa hal penting, yaitu; (1) tata kelola ruang wilayah desa yang melingkupi pengaturan
67
akomodasi, fasilitas, dan penyelenggaraan tata kehidupan sosial yang terintegrasi dengan destinasi wisata. (2) kesadaran sosial dan
kognitif masyarakat terkait dengan penyelenggaraan kepariwisataan. Perubahan mental dan sikap terhadap pengunjung menjadi kunci
eberhasilan desa wisata. (3) kolaborasi antar-stakeholders desa meliputi Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten, masyarakat, dan pihak ketiga dalam rangka membangun desa wisata.
Atas dasar beberapa hal di atas, Peraturan Daerah ini mengatur tentang bagaimana prosedur desa wisata ditetapkan, hak
dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat, pembiayaan desa wisata, dan pengawasan. Selain hal tersebut, Peraturan Daerah ii juga dimaksudkan untuk merevitalisasi beberapa desa di Kabupaten
Cilacap yang telah ditetapkan statusnya sebagai desa wisata. Upaya revitalisasi ini dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dan
efisiensi desa wisata sehingga selain meningkatkan pendapatan desa, integrasi berbagai unsur kehidupan desa sebagai gagasan utama desa wisata bisa dijadikan sebagai intrumen membangun kohesifitas
masyarakat desa. Dengan pola ini, desa wisata menjadi salah satu strategi pembangunan pariwisata sekaligus pembangunan ekonomi dan sosial.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas Pasal 3
Cukup jelas Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5 Ayat (1)
Huruf a
Atraksi wisata atau juga dikenal dengan daya tarik wisata, yaitu seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta kondisi fisik lokasi
desa yang memungkinkan wisatawan berpartisipasi aktif seperti: kursus tari, bahasa
dan lain-lain yang spesifik. Huruf b
68
Akomodasi wisata adalah fasilitas yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal wisatawan.
Akomodasi ini dapat memanfaatkan sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau
unit-unit yang dibangun sesuai konsep tempat tinggal penduduk.
Huruf c Fasilitas wisata adalah fasilitas yang dimanfaatkan
untuk tempat tinggal wisatawan. Akomodasi ini dapat memanfaatkan sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-unit yang
dibangun sesuai konsep tempat tinggal penduduk). Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7 Huruf a
Daya tarik wisata terdiri dari:
1. Daya tarik alam, adalah bentukan-bentukan alam seperti bukit-bukit, hutan, sungai, dan sebagainya
yang memungkinkan untuk dijadikan tempat untuk melakukan berbagai aktivitas wisata.
2. Daya tarik budaya, adalah hasil-hasil kehidupan
manusia, berupa adat istiadat, norma-norma, kepercayaan masyarakat, kebiasaan sehari-hari yang dapat dikemas menjadi daya tarik budaya tanpa
menghilangkan. nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Kegiatan bercocok tanam, kesenian
daerah, upacara adat, dan sebagainya merupakan contoh-contoh hasil kebudayaan manusia yang dapat dijadikan daya tarik budaya dimana wisatawan dapat
berpartisipasi aktif dalam aktivitas-aktivitas tersebut. 3. Daya tarik buatan, merupakan sesuatu yang sengaja
dibuat untuk menarik kunjungan wisatawan.
Bentuknya seperti kuliner.
Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
69
Huruf e
Masyarakat desa sekurang-kurangnya memiliki salah satu aktivitas pendukung seperti kegiatan kesenian,
kuliner dan bahan baku untuk kuliner, produksi kerajinan, pemandu wisata, dan transportasi lokal)
Huruf f Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Desa wisata telah ditetapkan menjadi perencanaan desa
yang dituangkan dalam dokumen RPJM Desa.
Pasal 8 Cukup jelas
Pasal 9 Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) dapat
berbentuk koperasi desa, CV, PT, dan lain-lain.
Huruf c Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
70
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13 Cukup jelas
Pasal 14 Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Partisipasi masyarakat meningkatkan daya tarik wisata dapat dilakukan dengan menyelenggaraakan kursus bahasa lokal, demo atau menampilkan secara natural
praktik ekonomi matapencaharian lokal, produksi ekonomi lokal, ritual adat dan keagamaan, dan
sejenisnya yang berkembang dan menjadi identitas masyarakat desa setempat.
Huruf c Cukup jelas
Huruf d
Bentuk akomodasi desa wisata yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat misalnya warung makanan/kuliner khas, membangun tempat tinggal khas pedesaan, menyediakan alat transportasi lokal, dan
sejenisnya.
Huruf e Cukup jelas
Pasal 15 Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan desentralisasi adalah memberikan ruang yang luas kepada masyarakat untuk mengelola dan mengembangkan kegiatan pembangunan
kepariwisataan di desanya dengan menggunakan dana dari berbagai sumber.
Huruf c
71
Yang dimaksud partisipatif adalah masyarakat terlibat secara aktif dalam kegiatan mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemeliharaan dan pemanfaatan, dengan memberikan kesempatan
secara luas dari kelompok perempuan.
Huruf d
Yang dimaksud keadilan dan kesetaraan gender adalah masyarakat baik laki-laki dan perempuan mempunyai
peran dan hak yang sama dalam pelaksanaan pembangunan desa wisata. Desa wisata menjadi pendorong peningkatan peran dan partisipasi
perempuan serta menumbuhkembangkan ekonomi kreatif pendukung bidang kepariwisataan di desa wisata.
Huruf e Yang dimaksud keswadayaan adalah masyarakat
menjadi aktor utama dalam keberhasilan pembangunan, melalui keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan kegiatan.
Huruf f Penguatan kapasitas kelembagaan adalah meningkatkan
kemampuan lembaga keswadayaan masyarakat dan kelompok masyarakat dalam pengelolaan kelembagaan untuk mewujudkan pembangunan desa wisata
berkelanjutan dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Huruf g Berkelanjutan adalah praktik dalam setiap pengambilan
keputusan harus mempertimbangkan kelestarian dan pengembangan program pada waktu-waktu yang akan datang. Dengan demikian pasca pelaksanaan program,
masyarakat dan instansi terkait masih dapat memanfaatkan, mengembangkan dan mendayagunakannya untuk kesejahteraan.
Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17
Ayat (1) Huruf a
Mengembangkan sarana yang mendukung pariwisata misalnya membangun daya tarik wisata, tempat tinggal, sanggar seni, praktik mata
72
pencahariaan lokal, dan jenis kegiatan unik lain yang menjadi ciri khas desa wisata.
Huruf b
Cukup jelas Huruf c
Cukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Huruf e Cukup jelas
Huruf f Pembagian zona adalah pengelompokan area
dalam beberapa zona yang sesuai dengan tata guna lahan. Pembagian zona memiliki fungsi untuk memudahkan pembangunan dan
mendukung kerapihan pengelolaan Desa Wisata. Pembagian zona dapat dilakukan dengan membagi
zona berdasarkan fungsinya, misalnya zona atraksi, zona fasilitas, zona akomodasi, dan zona asli, yaitu zona yang tidak dibangun untuk
kepentingan pariwisata. Ayat (2)
Huruf a Pengemasan desa wisata adalah sebuah metode yang
dilakukan untuk menarik minat wisatawan untuk menikmati produk wisata yang ditawarkan secara lebih beragam, sehingga wisatawan akan merasa untung
dengan paket yang ditawarkan dan akan merasa puas dengan pilihan yang diberikan. Pengemasan bisa dilakukan dengan membuat paket wisata.
Huruf b
Bentuk promosi berbentuk bekerjasama dengan: 1. industri pariwisata dengan meningkatkan kualitas
materi promosi dalam bentuk leflet, brosur, booklet,
CD dan website. 2. Bekerjasama dengan Agen perjalanan
Huruf c
73
Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dilakukan dengan cara:
1. melakukan penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat tentang pariwisata dan manfaatnya serta
pengembangan potensi wisata. 2. melakukan pembinaan sadar wisata kepada
masyarakat dengan membentuk kelompok sadar
wisata untuk selanjutnya dibina agar dapat mendukung program pengembangan pariwisata.
3. mengembangkan jaringan pendidikan, baik formal maupun informal yang menekankan pada profesionalisme sehingga dapat menghasilkan tenaga
kerja yang berkualitas, cakap dan memliki skill serta profesional yang nantinya mampu bersaing dalam mengembangkan dan membangun desa wisata.
Huruf d
Cukup jelas Huruf e
Cukup jelas
Pasal 18 Cukup jelas
Pasal 19 Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk
tujuan administratif; dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode atau berjangka
panjang. Jenis aset tetap digunakan untuk operasi dan tidak dimaksudkan untuk dijual kembali. Contoh aset tetap antara lain adalah properti, bangunan, pabrik,
74
alat-alat produksi, mesin, kendaraan bermotor, furnitur, perlengkapan kantor, komputer, dan lain-lain.
Ayat (5)
Cukup jelas Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21 Cukup jelas
Pasal 22 Cukup jelas
Pasal 23 Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas Pasal 26
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR …......