Masyarakat Sumbermujur dan Interaksinya dengan Hutan Bambu di Desa Sumbermujur Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang
Tugas Mata Kuliah Strategi Perencanaan Pembangunan Wilayah
Disusun Oleh :
Junaidi 130820201001
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Keragaman bangsa Indonesia dari sisi etnis, suku, budaya dan lainnya
sejatinya juga menunjuk kepada karaktreristik masing-masing. Pada saat yang
sama, kekhasan itu pada umumnya memiliki kearifan yang pada masa-masa lalu
menjadi salah satu sumber nilai dan inspirasi dalam merajut dan menapaki
kehidupan mereka.
Sejarah menunjukkan, masing-masing etnis dan suku memiliki kearifan
lokal sendiri. Misalnya saja (untuk tidak menyebut yang ada pada seluruh suku
dan etnis di Indonesia), suku Batak kental dengan keterbukaan, Jawa nyaris
identik dengan kehalusan, suku Madura memiliki harga diri yang tinggi, dan etnis
Cina terkenal dengan keuletan. Lebih dari itu, masing-masing memiliki keakraban
dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitari mereka.
Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang
sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan mereka.
Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang
mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat.
Lumajang merupakan salah satu kota kecil yang terletak di antara kota-
kota besar seperti Malang, Jember, dan Probolinggo. Sehingga tidak heran jika
banyak masyarakat yang tidak tahu bahkan tidak mendengar kota ini. Kota
Lumajang yang terkenal dengan sebutan “Kota Pisang” ini menyimpan sejuta
keindahan alam dan kebudayaan asli yang unik dan tidak akan pernah ditemukan
di daerah lain bahkan di seluruh dunia. Disebut kota pisang karena di mana-mana
di sudut wilayah kabupaten Lumajang ini kita akan menjumpai beragam jenis
spesias pisang yang langka, unik, dan tentunya enak dimakan. Lumajang juga
terkenal dengan wisata alamnya seperti Wisata Alam Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru, Pantai Bambang yang langsung berbatasan dengan Samudera
Hindia, Pantai Godek, Pantai Watu Pecak, Pemandian Alam Selokambang, Ranu
Pane dan Ranu-ranu yang lain, Hutan Bambu, dan masih banyak lagi yang lain.
Kabupaten Lumajang terdiri atas 21 kecamatan dan salah satunya adalah
kecamatan Candipuro. Kecamatan Candipuro mempunyai ketinggian wilayah 322
m dpl. Dengan curah hujan 2.018 mm/th. Yang terbagi menjadi 10 desa yaitu desa
Jugosari, Jarit, Candipuro, Sumberejo, Sumberwuluh, Sumbermujur, Penanggal,
Tambahrejo. Kloposawit, dan desa Tumpeng. Dan mempunyai kepadatan
penduduk sebanyak 482 km/jiwa. Yang terdiri dari 34.528 orang berjenis kelamin
laki-laki dan 34.999 orang berjenis kelamin perempuan. Sebagian dari penduduk-
penduduk itu tersebar di desa Sumbermujur.
Berdasarkan data di Kantor Kelurahan Desa Sumbermujur, warga Desa
Sumbermujur kurang lebih jumlahnya 2.159 keluarga atau 6.761 jiwa. Desa ini
terletak sekitar 30 km dari kota Lumajang dan termasuk desa yang berada di
wilayah dataran tinggi sehingga suhunya cukup dingin. Letak geografisnya yang
berada di dataran tinggi ini mempengaruhi mata pencaharian warga sekitar yang
sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani utamanya sayuran. Desa ini
memiliki ikon wisata yang bias dibilang satu-satunya di Indonesia, yaitu Hutan
Bambu. Adanya hutan bambu ini juga dibarengi dengan tradisi unik yang
dilakukan oleh warga setiap tahunnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari
dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia
John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat,
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum
maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Ridwan (2007) mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami
sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu.
Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kearifan
dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya
dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau
peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom kemudian diartikan sebagai
kearifan/kebijaksanaan. Sementara Local secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi
yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-
pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan
fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting.
Ahimsa-Putra, menyatakan kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai
perangkat pengetahuan dan praktek-praktek baik yang berasal dari generasi-
generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan
dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat, yang digunakan
untuk menyelesaikan secara baik dan benar berbagai persoalan dan/atau kesulitan
yang dihadapi (2008 : 12).
Sementara Jim Ife (2002), menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan
nilai-nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dalam masyarakat
lokal dan karena kemampuannya untuk bertahan dan menjadi pedoman hidup
masyarakatnya. Di dalam kearifan lokal tercakup berbagai mekanisme dan cara
untuk bersikap, berprilaku dan bertindak yang dituangkan dalam tatananan sosial.
Kearifan lokal merupakan semua kecerdasan–kecerdasan lokal yang
ditranformasikan ke dalam cipta, karya dan karsa sehingga masyarakat dapat
mandiri dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah. Cipta, karya dan
karsa itu disebut juga budaya. Kebudayaan bukan merupakan istilah baru, namun
yang dimaksudkan dengan kebudayaan adalah semua pikiran, perilaku, tindakan,
dan sikap hidup yang selalu dilakukan orang setiap harinya. Menurut
Koentjaraningrat (dalam Rustanto,2005) pembudayaan atau dalam istilah Inggris
dikenal dengan istilah ”Institusionalization” yaitu proses belajar yang dilalui
setiap orang selama hidupnya untuk menyesuaikan diri di alam pikirannya serta
sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam
kebudayaan dan masyarakatnnya.
Secara umum, kearifan lokal dianggap pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut, kearifan
lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi
yang mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai
kemapanan yang juga secara universal yang didamba-damba oleh manusia.
(dalam situs Departemen Sosial RI)
Dalam teori determinasi budaya (cultural determinism) Melville J.
Herkovits dan Bronislow Malinowski mengatakan bahwa “segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki
masyarakat tersebut” (Selo Soemardjan,1964 : 115). Pernyataan ini kemudian
dipertegas kembali oleh Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masyarakat
adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan
demikian tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai bingkai dari potret budaya
tersebut (Soekanto, 1987:154).
menurut Koentjaraningrat isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini adalah:
1. sistem religi dan upacara keagamaan
2. sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. sistem pengetahuan
4. bahasa
5. kesenian
6. sistem mata pencaharian hidup
7. sistem teknologi dan peralatan
Naritoom mengatakan bahwa kearifan lokal sebagai pengetahuan yang
terakumulasi karena pengalama-pengalaman hidup, dipelajari dari berbagai situasi
di sekeliling kehidupan manusia dalam suatu wilayah. Secara filosofis, kearifan
lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi yang
bersifat empirik dan pragnatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat
secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan
mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun dari hasil
olah pikir pengetahuan tersebut bertujuan untuk memecahkan kehidupan sehari-
hari.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kearifan lokal nantinya
akan mengendap dan berwujud tradisi atau agama. Kearifan lokal biasanya
tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung
lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang
berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan
kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak
terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat
tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman
mengelola lingkungan. Pemahaman mereka terhadap lingkungan sekitar sangat
kuat dan menjadi pedoman bagi mereka untuk mengembangkan kearifan lokal di
lingkungan mereka yang dikaitkan dengan kebudayaan, terutama kepercayaan dan
hukum adat. Kearifan tersebut kemudian digunakan oleh masyarakat dalam
bertindak terhadap lingkungan dan mengelolanya dengan baik sehingga tidak
terjadi masalah di lingkungan mereka.
Menurut UU Nomor 4 Tahun 1982, lingkungan adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Hubungan
yang seimbang antara manusia dengan lingkungan akan mampu menyajikan
kehidupan yang harmonis dan tidak saling merusak satu sama lain. Agar
harmonisasi kehidupan tercipta, manusia harus bersikap arif terhadap lingkungan
yang meliputi benda, tumbuhan, dan hewan yang ada di sekitar kita. Masalah
lingkungan merupakan aspek negatif dari aktivitas manusia terhadap lingkungan
biofisik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal merupakan
seperangkat pengetahuan, nilai-nilai, perilaku, serta cara bersikap terhadap
objek dan peristiwa tertentu di lingkunganya yang diakui kebaikan
dan kebenarannya oleh komunitas tersebut.
C. Ciri-ciri Kearifan Lokal
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini
merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Haryati
Soebadio mengatakan bahwa localgenius adalah juga cultural identity,
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri
(Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi,
1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local
genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-
cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
D. Fungsi Kearifan LokalSirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai,
norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam
ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi
tersebut antara lain adalah:
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg
Bali” menyatakan bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa:
nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan
khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka
budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Dari penjelasan
fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang
sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis.
E. Bentuk Kearifan Lokal
Jim Ife (2002) menyatakan bahwa kearifan lokal terdiri dari enam dimensi yaitu :
1. Pengetahuan Lokal.
Setiap masyarakat dimanapun berada baik di pedesaan maupun pedalaman
selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya.
Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan
penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, dan kondisi geografi, demografi, dan
sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup
lama dan telah mengalami perubahan sosial yang bervariasi menyebabkan mereka
mampu beradaptasi dengan lingkungannnya. Kemampuan adaptasi ini menjadi
bagian dari pengetahuan lokal mereka dalam menaklukkan alam.
2. Nilai Lokal.
Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, maka setiap
masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati
bersama oleh seluruh anggotannya. Nilai-nilai ini biasanya mengatur hubungan
antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan
Tuhannnya. Nilai-nilai ini memiliki dimensi waktu, nilai masa lalu, masa kini dan
masa datang, dan nilai ini akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan
masyarakatnya.
3. Keterampilan Lokal.
Kemampuan bertahan hidup (survival) dari setiap masyarakat dapat
dipenuhi apabila masyarakat itu memiliki keterampilan lokal. Keterampilan lokal
dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai
membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan
mampu memenuhi kebutuhan keluargannya masing-masing atau disebut dengan
ekonomi subsisten. Keterampilan lokal ini juga bersifat keterampilan hidup (life
skill), sehingga keterampilan ini sangat tergantung kepada kondisi geografi tempat
dimana masyarakat itu bertempat tinggal.
4. Sumber daya Lokal.
Sumber daya lokal ini pada umumnya adalah sumber daya alam yaitu
sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat akan
menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan
mengekpoitasi secara besar-besar atau dikomersilkan. Sumber daya lokal ini
sudah dibagi peruntukannnya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian,
dan permukiman, Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif
atau communitarian.
5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal.
Menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat itu memiliki
pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan
kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga
masyarakat. Masing masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan
keputusan yang berbeda –beda. Ada masyarakat yang melakukan secara
demokratis atau “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Ada juga masyarakat
yang melakukan secara bertingkat atau berjenjang naik dan bertangga turun.
Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan
ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang
tidak berwujud (intangible).
a. Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut:
1. Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang
dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab
tradisional primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun
lontar). Sebagai contoh, prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah
cerita) dan gambar (gambar ilustrasi).
2. Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari bentuk
kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah
rakyat ini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh
sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan
vernakular ini mempunyai keunikan karena proses pembangunan yang mengikuti
para leluhur, baik dari segi pengetahuan maupun metodenya (Triyadi dkk., 2010).
Bangunan vernacular ini terlihat tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip dan teori
bangunan yang memadai, namun secara teori terbukti mempunyai potensi-potensi
lokal karena dibangun melalui proses trial & error, termasuk dalam menyikapi
kondisi lingkungannya.
3. Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)
Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal, contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan
budaya yang sangat penting. Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi
berbagai dilemma dalam pengembangan serta dalam menyumbangkan kebaikan-
kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai kemanusiaan di muka
Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO Badan
Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung
warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9,
sebagai sebuah dimensi budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri,
namun sering kali merupakan media ekspresi berkesenian dalam hal konsep,
bentuk, dekorasi hingga makna yang terkandung dalam aspek seni dan tradisi
teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki fungsi sebagai seni simbol jika dilihat
dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki
nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa)
sejak lama. Terdapat berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut
mempunyai makna tersendiri. Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik
tersebut bukan hanya lukisan gambar semata, namun memiliki makna dari leluhur
terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu atau Budha), nilai-nilai sosial dan
budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
b. Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal
yang tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun
temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai
ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud
lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
Sehingga kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup
dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan.
2.1. Kondisi Umum Daerah Kabupaten Lumajang.
A. Gambaran Umum Geografis
a. Letak Wilayah
Kabupaten Lumajang secara geografis terletak diantara 7°52’ s/d 23’
Lintang Selatan dan 112°50’ s/d 113°22’ Bujur Timur. Secara administratif
wilayah Kabupaten Lumajang sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten
Probolinggo, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jember, sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Malang, dan sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Indonesia.
b. Luas Wilayah
Kabupaten Lumajang memiliki wilayah seluas 179.090,00 Ha (1.790,90
Km2) atau sekitar 3,73 persen dari luas Provinsi Jawa Timur. Secara administratif
terdiri dari 21 wilayah kecamatan, 205 desa/kelurahan, 1.794 RW dan 6.991 RT.
c. Topografi
Ketinggian tempat di Kebupaten Lumajang bervariasi pada umumnya
ketinggian tempat di Kabupaten Lumajang adalah antara 100 - 500 m dari
permukaan laut sekitar 63.109,15 Ha (35,24% dari luas wilayah) yang tersebar di
bagian Tengah-Barat dan Utara wilayah Kabupaten. Ketinggian 0-25 m dpl ada di
9 daerah kecamatan yang luasnya sekitar 4.664,31 Ha (2,60%), ketinggian antara
25-100 tercatat 38.600,86 Ha atau 21,55%, ketinggian 500-1000 meter dpl ada di
9 daerah kecamatan yang luasnya sekitar 30.561,60 Ha (17,06%), sedangkan
ketinggian > 2000 meter dpl ada di 3 daerah kecamatan yang luasnya sekitar
6.889,40 ha yang terletak di Kecamatan Pronojiwo, Senduro dan Gucialit.
d. Iklim dan Hidrologi
Lokasi Kabupaten Lumajang yang berada di sekitar garis katulistiwa
menyebabkan Kabupaten Lumajang mempunyai perubahan iklim dua jenis setiap
tahun, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Untuk musim kemarau
berkisar pada bulan April hingga Oktober, sedangkan musim penghujan dari
bulan Oktober hingga April.
B. Gambaran Umum Demografis
Penduduk Kabupaten Lumajang umumnya adalah Suku Jawa dan Suku
Madura, dan agama mayoritas adalah Islam. Jumlah penduduk Lumajang pada
tahun 2012 sebesar 1.180.351 jiwa terdiri dari 584.011 laki–laki (49,5%) dan
596.340 perempuan (50,5%), dengan rata-rata kepadatan penduduk 660 jiwa/km2.
Berdasar data BPS Kabupaten Lumajang, struktur mata pencaharian pada
tahun 2011 tidak banyak mengalami perubahan dibanding pada tahun 2010. Pada
tahun 2010 sumber mata pencaharian penduduk Kabupaten Lumajang sebagian
besar masih bergerak di sektor pertanian sebanyak 48,97 %, perdagangan
sebanyak 19,44 %, jasa-jasa 13,37 % dan industri 8,15 %. Sedangkan pada tahun
2011 sektor penyerap tenaga kerja terbanyak adalah sektor pertanian yang
mencapai 51,20 %, perdagangan 18,00 %, jasa–jasa 9,40 % dan industri 9,59 %.
Perpaduan masyarakat etnis Jawa, Madura dan Tengger menjadikan
Kabupaten Lumajang kaya akan budaya serta kesenian daerah. Salah satu dari
keragaman tradisi tersebut adalah upacara tradisi “Petik Laut” di Kecamatan
Yosowilangun. Tradisi ini digelar setiap tahun sekali pada bulan Suro
penanggalan Jawa. Upacara diawali dengan Selamatan (kenduri). Setelah selesai
selamatan dilanjutkan dengan melarung sesajen ke tengah laut.
Selain upacara tradisi Petik Laut, di lumajang juga terdapat Paguyuban
Kuda Kencak yang merupakan kesenian tradisional. Acara kesenian tersebut
digelar dengan proses kirab dan atraksi jaran (kuda) kencak di sekitar Ranu
Lamongan, Desa Tegalrandu, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. Dan
tidak kalah pentingnya yaitu Seni Tari Topeng Kaliwungu, satu dianatra kesenian
tradisional Kabupaten Lumajang yang mulai Go Internasional.
Letak Geografis Hutan Bambu
Semua orang tentu sudah mengetahui bahwa Gunung Semeru memiliki
keindahan memukau, gunung tersebut merupakan salah satu gunung aktif yang
terletak pada ketinggian 3.676 meter dari permukaan laut dan merupakan gunung
api tertinggi di Pulau Jawa. Namun, tidak banyak orang yang tahu kalau di lereng
Gunung Semeru terdapat salah satu obyek wisata yang asri dan alami dengan
rerimbunan ribuan batang bambu berbagai jenis, yakni obyek wisata Hutan
Bambu yang terletak di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten
Lumajang. Lokasi Hutan Bambu sekitar 30 kilometer dari kota Lumajang dan
perjalanan sekitar 1 jam ke arah selatan melewati Kecamatan Tempeh, kemudian
Kecamatan Pasirian dan masuk ke Kecamatan Candipuro.
Hutan yang berada di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro,
Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur ini, memang memiliki pesona yang
mengagumkan. Hutan seluas sembilan hektar ini berada di tengah-tengah di antara
desa-desa yang mengitarinya. Hutan ini berlokasi di 35 kilometer arah barat dari
Kabupaten Lumajang, atau delapan kilometer dari Kecamatan Candipuro dengan
ketinggian di atas 700 meter dari permukaan laut ini, juga dihuni banyak satwa.
Selain itu, sekitar 250 rumpun bambu, yang terdiri dari 10 jenis bambu
membentuk lorong-lorong yang menaungi jalan-jalan ke desa sekitar. Ke arah
utara dibatasi aliran sungai Besuktunggeng masuk Desa Pasrujambe Kecamatan
Pasrujambe; ke selatan masuk Desa Sumberwuluh Kecamatan Sumberwuluh; ke
timur masuk Desa Penanggal Kecamatan Candipuro; sedangkan ke arah barat
berbatasan dengan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru (TNBTS).
Kondisi Fisik Hutan Bambu
Ketika udara terasa sesak dan panas. Ketika matahari terasa begitu
menyengat, menimbulkan sebuah kerinduan untuk merasakan segarnya udara, dan
sejuknya angin berembus. Di kawasan wisata alam Hutan Bambu, Sumbermujur,
Candipuro, Lumajang, semua itu tersedia. Bahkan, serasa berada di dalam lemari
es karena suhu udara yang begitu dingin. Padahal, tidak ada pendingin udara di
tempat ini. Hanya ada 250-350 rumpun bambu yang memenuhi seluruh areal
wisata. Selain itu, ada beberapa pohon yang menjulang tinggi ke langit biru.
Seolah membuktikan kebenaran bahwa pepohonan dan hutan adalah paru-paru
dunia, begitu juga dengan keberadaan hutan bambu ini begitu berarti bagi warga
Sumbermujur di sekitar hutan bambu.
Sayang, saat ini hutan bambu Sumbermujur yang memiliki begitu banyak
kekayaan plasma nutfah tidak tersisa cukup banyak. Tidak mengherankan jika
tempat wisata ini menjadi jujugan banyak orang, yang sudah bosan berada di
tengah keramaian kota. Segarnya udara yang kaya oksigen ini, mampu menjadi
pelepas kejenuhan. Menjauhkan rasa suntuk dari tekanan rutinitas kerja dan
aktivitas sehari-hari. Bagi keluarga, hutan bambu ini bisa menjadi tempat rekreasi
yang nyaman. Utamanya untuk warga Surabaya yang terkenal akan kepadatan
aktivitasnya.
Akar-akar tanaman bambu yang serabut, sangat memungkinkan untuk
menahan butir-butir air hujan, hingga akhirnya membentuk sebuah sumber air.
Dan seperti air sumber lainnya, air sumber hutan bambu ini juga jernih, dan
dingin. Bahkan, air ini bisa langsung diminum.
“Untuk melihat keamanan air, kami menggunakan indikator berupa ikan
koi,” jelas Bapak Heri Gunawan yang notabene adalah salah seorang Penyelamat
Hutan Bambu ini. Setidaknya ada empat ekor ikan yang dipelihara di area sumber.
Ikan-ikan ini digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keamanan air.
Karena ada kemungkinan tercemar oleh gas beracun Gunung Semeru. Mengingat,
sumber air tersebut berada di kaki Gunung Semeru, yang sangat mungkin
terkontaminasi oleh gas beracun atau bahan vulkanik lainnya.
Flora dan Fauna Hutan Bambu
Satwa yang menghuni Hutan Bambu ini diantaranya kera yang jumlahnya
diperkirakan lebih dari 50 ekor, ribuan kalong, tupai dan macan. Selain itu, sekitar
250-350 rumpun bambu, yang terdiri dari 10 jenis bambu (apus, petung ungu,
petung hijau, ori, ampel hijau, ampel kuning, cina, rampai, putih dan jajag),
membentuk lorong-lorong yang menaungi jalan-jalan ke desa sekitar. Selain itu,
puluhan jenis tanaman keras yang berumur ratusan tahun tumbuh di sana. Hutan
Bambu Sumber Mujur ini dihuni oleh ribuan kalong atau sejenis kelelawar ukuran
raksasa dan kera. Puluhan kera juga hidup di hutan bambu ini. Hewan primata ini
terlihat jinak dan menjadi hiburan bagi wisatawan. Diantaranya menyapa dengan
memberikan makanan. Para pengunjung juga bisa melihat ribuan ekor kalong atau
kelelawar yang bergelantungan di pohon bambu. Hewan herbivora pemakan buah
dan menghisap nektar bunga ini sejatinya hidup di hutan. Penebangan kayu hutan
secara liar diduga menjadi penyebabnya. Mereka pindah mencari tempat yang
lebih aman.
Hutan Bambu merupakan kawasan yang dikenal sebagai tempat
konservasi berbagai jenis tanaman bambu dan juga beberapa satwa seperti kera
dan kalong yang ada di Desa Sumber Mujur Kecamatan Candipuro Kabupaten
Lumajang. Selain itu di Hutan Bambu terdapat mata air Sumber Deling yang
merupakan salah satu penyuplai air bagi kehidupan masyarakat di Sumbermujur
dan sekitarnya. Pada musim kemarau debit mata air ini antara 600-800 liter per
detik sedangkan pada musim hujan mencapai 1.000 liter per detik.
Sumber Deling yang ada di kawasan Hutan Bambu mengaliri 426 hektar
sawah di Desa Sumbermujur dan 561 hektar sawah di Desa Pandanwangi
Kecamatan Tempeh. Selain itu mata air ini juga mengaliri sawah di tiga desa lain
seperti Desa Penganggal, Desa Tambakrejo, dan Desa Kloposawit yang totalnya
kurang lebih 891 hektar. Untuk kebutuhan air minum, ribuan warga yang ada di
desa-desa yang ada di lereng Semeru menggantungkan hidupnya pada mata air
Sumber Deling ini. Melihat pentingnya keberadaan Hutan Bambu dan mata air
Sumber Deling, warga Desa Sumbermujur membuat Peraturan Desa Nomor 6
Tahun 2007 yang menyatakan bahwa kawasan Sumbermujur tidak boleh
“disentuh” baik flora maupun faunanya. Jika ada yang melanggar, maka pelaku
akan dikenai sanksi sesuai hukum lingkungan, yaitu hukuman badan atau denda
Rp. 500.000.000,00.
Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro, warga Desa Sumbermujur
mengadakan ritual larung pendam sesaji atau Maheso Suroan di kawasan Hutan
Bambu. Kegiatan Maheso Suroan ini dilakukan oleh warga secara turun temurun
untuk melestarikan tradisi yang dari nenek moyang mereka. Selain itu tradisi ini
dilakukan oleh warga sebagai rasa syukur terhadap hasil pertanian yang melimpah
dan agar warga terhindar dari bencana. Biasanya dalam acara ini, warga
mendatangkan kesenian kuda lumping atau reog ponorogo untuk menyemarakkan
acara.
Dalam melaksanakan tradisi ini, warga mengumpulkan berbagai macam
sesaji yang berisi tumpeng nasi kuning, hasil perkebunan atau pertanian warga
desa, serta satu kepala sapi atau kerbau dan dikumpulkan di Balai Desa
Sumbermujur. Kemudian sesaji tersebut diarak beramai-ramai oleh warga dari
balai desa ke mata air Sumber Deling di kawasan Hutan Bambu. Setelah sampai
di sana, sesepuh desa membacakan doa untuk keselamatan warga lereng semeru,
setelah sesepuh desa selesai membaca doa warga boleh mengambil sesaji yang
tadi diarak dengan berebut beramai-ramai.
Puncak dari ritual Maheso Suroan tersebut ditandai dengan menanam
kepala sapi atau kerbau di atas mata air Sumber Deling. Alasan mereka
memendam kepala sapi atau kerbau karena kerbau atau sapi adalah hewan yang
memiliki air kencing banyak. Dengan mengubur kepala sapi atau kerbau di sekitar
mata air, warga berharap Sumber Deling selalu mengalirkan air bening yang
melimpah seperti kencing sapi atau kerbau.
Dari sudut pandang geografi, dengan adanya kearifan lokal tersebut secara
tidak langsung warga akan menjaga kawasan Hutan Bambu dan tidak menebangi
pohon bambu yang ada di sana. Mereka akan menganggap bahwa daerah tersebut
mempunyai nilai sakral sehingga mereka tidak berani untuk menebangi bambu
secara sembarangan. Keberadaan bambu sangat erat kaitannya dengan mata air
Sumber Deling yang ada di kawasan tersebut dan jika bambu di hutan itu
ditebangi maka debit air di mata air akan mengecil. Hal ini akan berdampak buruk
terhadap ribuan warga dan sawah yang menggantungkan hidupnya pada mata air
tersebut.
Pada tahun 1970-an, keadaan ekonomi Indonesia masih belum begitu
bagus. Masyarakat Desa Sumbermujur pada umumnya bekerja sebagai
pembuat gedek atau dinding dari anyaman bambu. Mereka mengambil bambu dari
kawasan Hutan Bambu dan karena Hutan Bambu terletak di sekitar empat dusun,
maka pembabatan bambu di daerah tersebut sangat cepat dan hanya tersisa satu
rumpun bambu yang berisi 20 batang. Hal tersebut mengakibatkan debit air di
mata air Sumber Deling menurun sampai 300 liter per detik.
Menurunnya debit air di mata air Sumber Deling menyebabkan dampak
yang begitu besar bagi masyarakat sekitar. Setiap malam warga harus mengantri
untuk mendapatkan air bersih karena air yang mereka tamping pada siang hari
tidak mencukupi kebutuhan mereka. Pada saat itu dilakukan penyaluran air secara
bergilir ke setiap dusun dan dalam seminggu hanya tiga kali air mengalir ke satu
dusun sehingga berakibat pada lahan pertanian warga. Minimnya air yang didapat
oleh warga juga berdampak pada masalah sosial karena tidak jarang mereka
bentrok dengan anggota warga lain untuk mendapatkan air bersih.
Masyarakat akhirnya menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari
pembabatan hutan bambu sangat besar sehingga pada tahun 1975-1976 warga
bekerja sama dengan Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) mulai
menanami kembali hutan tersebut dengan bambu. Sejak itu warga sangat
mendukung sekali pelestarian hutan bambu, bahkan mereka bekerja sama
membangun plengsengan pelindung mata air dan menata hutan bambu agar
nyaman dikunjungi.
Penggunaan bambu untuk menjaga sumber mata air memang sangat tepat
karena bambu mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis
tanaman lain. Pohon bambu merupakan sumber tangkapan air yang sangat baik
sehingga mampu meningkatkan aliran air bawah tanah. Selain itu pohon bambu
mudah ditanam, tidak membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh di semua
jenis tanah (basah maupun kering), tidak membutuhkan investasi besar,
pertumbuhannya cepat, dan memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan
kebakaran. Bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan
menghasilkan banyak oksigen sehingga pengelolaan hutan bambu cocok untuk
digunakan sebagai pembatas jalan.
Ritual Maeso Syuoran atau Ruat Semeru
Hutan Bambu di kaki Gunung Semeru itu layaknya rahim kehidupan bagi
warga Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa
Timur. Di tengah areal pohon bambu seluas 13 hektar tersebut, sebuah mata air
tak henti-hentinya ”melahirkan” sumber kehidupan bagi warga, air yang
mahabening. Setiap 1 Suro (1 Muharam) warga Desa Sumbermujur menggelar
Maheso Suroan, sebuah ruwatan mata air dengan simbol mengubur kepala kerbau
di tanah sekitar mata air sumber Deling. Ini merupakan tradisi turun-temurun
warga desa.
”Kerbau adalah hewan yang kencingnya banyak. Dengan mengubur kepala
kerbau di sekitar mata air, kami berharap mata air ini selalu mengalirkan air
bening yang melimpah ruah seperti kencing kerbau,” kata Herry Gunawan, Ketua
Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) Kalijambe. Ritual ini juga
bertujuan agar terhindar dari segala musibah, terutama dari bencana Gunung
Semeru.
Prosesi Ritual Maeso Syuoran atau Larung Pendem Sesaji
Acara didahului dengan prosesi di Balai Desa Sumbermujur. Lima
gunungan dan lima pikulan berisi hasil bumi, dihimpun di halaman balai desa.
Kesenian kuda lumping dan reog ponorogo didatangkan untuk menyemarakkan
acara. Sebuah kepala sapi diletakkan di atas pikulan bambu menjadi sarana utama
upacara. Kepala sapi menjadi alternatif saat ini karena kepala kerbau sulit
didapatkan. Setelah reog ponorogo menuntaskan tugasnya, warga desa beriringan
mengusung pikulan-pikulan tersebut. Dari balai desa mereka berjalan menuju
hutan bambu yang jaraknya sekitar dua kilometer.
Di lokasi sekitar mata air, sebagian warga desa lainnya telah berkumpul.
Mereka membawa barikan yang diletakkan rapi di sekitar mata air. Barikan adalah
makanan; biasanya berupa nasi dan telur ayam goreng yang akan dijadikan
santapan makanan bersama setelah upacara selesai. Setiba di hutan bambu,
pikulan hasil bumi dan kepala sapi langsung diletakkan di dekat mata air.
Sementara itu, Sesepuh desa, Mbah Tirto, membakar seikat sabut kelapa dan
merapalkan mantra.
Ratusan warga, mulai dari anak-anak sekolah dasar, remaja, hingga orang
tua, antusias mengikuti upacara tersebut. Begitu Mbah Tirto selesai memanjatkan
doa dan dengan mantranya, warga langsung berebut mengambil hasil bumi dari
pikulan. Sementara itu, kepala sapi dikubur ke dalam tanah setelah dibalut kain
mori. Menurut Mbah Tirto, hal ini juga dimaksudkan sebagai persembahan bagi
penunggu Semeru yang berada di sumber mata air yang berwujud Uling Putih
seperti Ular. Sebab sumber mata air itu sebagai pertanda meletus atau tidaknya
Gunung Semeru.
Beberapa aturan adat warisan ajaran leluhur yang masih dipatuhi
masyarakat. kepatuhan menjaga hutan lindung sebagai sumber air dan benteng
alam; melaksanakan upacara adat (nyuguh, hajat bumi, dan babarit) yang
berkaitan untuk kepentingan seluruh warga sebagai ungkapan syukur; dan
beberapa warga ada yang memasak menggunakan tungku berbahan bakar kayu
dan aturan adat lainnya. Tradisi leluhur yang masih dijalankan tersebut diyakini
oleh mereka apabila tidak dilaksanakan atau jika melanggar tabu atau larangan
tersebut, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa malapetaka
musibah atau marabahaya yang akan melanda kampung mereka.
Nilai luhur dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang dapat
dijadikan kajian dari masyarakat adat adalah nilai-nilai Local genius/Kearifan
local. Salah satu wujud Local genius/Kearifan lokal masyarakat adat adalah
menjadikan hutan sebagai tempat yang disakralkan (dikeramatkan). Kelestarian
alam tersebut bukan merupakan gejala alam yang alami tetapi merupakan wujud
dari kesadaran akan pelestarian alam dan lingkungan yang dihasilkan dari budaya
lokal atau Local genius/yang sampai saat ini masih dipertahankan. Konsepsi-
konsepsi Local genius/Kearifan lokal ini diwariskan secara turun temurun .
LAMPIRAN FOTO-FOTO
Gambar 1. Gapura masuk kawasan wisata alam Hutan Bambu “Sumber
Dhelling”
Gambar 2. Bagian dalam Hutan Bambu
Gambar 9. Keadaan dalam Hutan Bambu Gambar 10. Wisatawan
Gambar 13-15. Aktivitas warga dan hasil panen