Download - Manajemen Alergi Susu Sapi
MANAJEMEN ALERGI SUSU SAPI
Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai
secara imunologis terhadap protein susu sapi. Alergi susu sapi biasanya dikaitkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantai oleh IgE, walaupun demikian ASS dapat
diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan
antara keduanya.1
Angka Kejadian
Insidens alergi susu sapi sekitar 2-7.5% dan reaksi alergi terhadap susu sapi masih
mungkin terjadi pada 0.5% pada bayi yang mendapat ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi
alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan insidens 1.5%, sedangkan sisanya adalah tipe
non IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalag gejala klinis yang ringan sampai sedang,
hanya sedikit (0,1-1%) yang bermanifestasi klinis berat.2
Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi menjadi:
a. IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang diperantarai oleh IgE. Gejala klinis
timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam (sangat jarang > 2 jam) setelah mengonsumsi
protein susu sapi. Manifestasi klinis: urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik,
muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis. Dapat
dibuktikan dengan kadar IgE susu sapi yang positif (uji tusuk kulit atau uji RAST).3
b. Non-IgE mediated, yaitu: Alergi susu sapi yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi
diperantarai oleh IgG dan IgM. Gejala klinis timbul lebih lambat (1-3 jam) setelah
mengkonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis: allergic eosinophilic gastroenteropathy,
kolik, enterokolitis, proktokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.4
Patofisiologi
ALERGI SUSU MEDIASI IgE
Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan daya
tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada anak-anak ialah
panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water soluble dengan ukuran 10-70
kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein), kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan
protein transfer lemak yang tidak spesifik yang ditemukan pada buah apel (Mald 3).5,6
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana terdapat
banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam) dan proteksi
imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH lambung dapat membuat
alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindung-pelindung usus (aktivitas enzim dan
produksi IgA) masih belum matang sehingga meningkatkan prevalensi alergi makanan pada
masa bayi.3
Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel dendritik, dan sel T
memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi IL-10 dan IL-4. Bakteri
komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa. Daya tahan dibentuk dalam 24 jam
pertama setelah lahir dan memproduksi molekul imunomudulator yang memiliki efek
bermanfaat dalam pembentukan imun respon. Studi saat ini telah menunjukan bahwa
ketidakseimbangan komposisi dari bakteri mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi,
asma atau inflammatory bowel disease.5
Alergi yang dimediasi IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna, diinternalisasi
dan diekspresikan pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan limfosit T dan
menghasilkan transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori antibodi. Setelah dibentuk
dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui bagian Fc, ke reseptor sel mast yang
memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan reseptor spesifik alergen mereka yang ada untuk
berinteraksi dengan alergen di masa depan suatu saat nanti.6
ALERGI TANPA MEDIASI IgE
Reaksi yang diperantarai oleh non-IgE dapat disebabkan oleh banyak faktor, yang
melibatkan kompleks imun antibodi IgA atau IgG, atau yang dikenal dengan hipersensitivitas
tipe III, dan stimulasi langsung sel T oleh antigen protein susu, atau yang dikenal dengan
hipersensitivitas tipe IV. Interaksi ini lalu menyebabkan pelepasan sitokin dan produksi
antibodi meningkat, sehingga terjadi rantai reaksi inflamasi.6
Proses alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu dimengerti
namun fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan merangsang reaksi
inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi aktivasi sitokin-sitokin yang
berbeda seperti IL-5.6
Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel mast/antibodi IgE yang berikatan dengan
basophil yang cukup oleh alergen merangsang proses intra-seluler, hal ini menyebabkan
degranulasi sel, dengan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya.5,6
Reaksi hipersensitivitas tipe III
Antibodi (IgG atau IgM) bereaksi dengan antigen yang berlebih, diikuti perlekatan
komplemen, dengan akibat respon keradangan lokal. Reaksi berlangsung dalam beberapa jam
sesudah pemaparan antigen. Dikemukakan reseptor Fc untuk imunoglobulin dan bukannya
komplemen yang penting dalam kerusakan jaringan. Reaksi gastrointestinal dapat terjadi 6
jam setelah pemaparan berupa muntah, diare dan kolik, serta peningkatan lokal dari IgM dan
sel plasma IgA. Dalam jangka 24 jam berikutnya akan terlihat sembab lokal, reaksi endotel,
penebalan membran dasar, penimbunan serat kolagen dan infiltrasi lekosit polimorf. Terjadi
pula peningkatan lokal IgG dan C3 di dalam jaringan ikat subepitelial yang menunjukkan
adanya reaksi kompleks imun. Pada tahap ini mulai terlihat kerusakan enterosit yaitu
mikrovili yang menjadi tidak teratur, peningkatan lisosom dan pembengkakan mitokondrial.
Selain penimbunan lokal, kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan
imunoglobulin (IgG dan IgE) terlihat pula dalam serum penderita alergi makanan (Mac
Donald dalam Pitono, 2003)3
Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Delayed type hypersensitivity reaction=DTH)
DTH mencerminkan fenomena imunitas dengan perantaraan sel CMI (cell-mediated
immunity). DTH merupakan mekanisme imunologik yang paling jelas perannya terhadap
kerusakan mukosa usus yang berat. DTH adalah reaksi yang ditimbulkan oleh antigen dengan
limfosit T spesifik terhadap antigen tersebut dikenal sebagai sel DTH (Pitono S dkk, 2003,
Siti Boedina Kresna, 1996) Antigen menembus mukosa usus melalui Plaques Peyeri,
ditangkap sel APC, sel dendritik atau makrofag. Selanjutnya disajikan pada sel T yang
mengikat MHC II, akan memacu Th1 menghasilkan IFN-γ. Sel akan bermigrasi pada lamina
propria yang juga memacu Th1 lebih banyak dan menghasilkan IFN-γ. IFN-γ ini
menyebabkan keradangan dan kerusakan mukosa usus. Sitokin lainnya adalah TNF-α dan IL-
1β yang akan menghasilkan berbagai metaloproteinase yang merusak mukosa (Mowatt, 1994
dalam Pitono, 2003)4
MANIFESTASI KLINIS
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang terjadi setelah
meminum susu. (11) Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi IgE akibat alergi susu
ialah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi mempengaruhi
berbagai sistem organ. (5) Gejala yang dapat timbul ialah pruritus, urtikaria, angio-edema,
muntah, diare, nyeri perut, sulit bernapas, sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. (11),(5) Gejala
pada kulit merupakan gejala paling sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat
muncul tanpa adanya manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset munculnya
gejala dari reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun mayoritas reaksi
muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah terpapar.
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis atopi.
Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis atopi yang sedang
sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang memperparah eksema.
Makanan yang berpengaruh ialah susu sapi, dengan ditemukannya IgE spesifik pada
kebanyakan pasien.3
Tidak ada gejala CMPA yang patognomonik (kondisi patologis ; menunjukkan gejala
atau keluhan) untuk diagnosis CMPA. Variasi gejala klinis meliputi; pada gastrointestinal
mencapai 50-60%, kulit 50-60%, saluran nafas 20-30%. Gejala dapat ringan, sedang sampai
berat yang dapat mengancam jiwa seperti anafilaksis, udem laring, asma berat. Diagnosis
banding CMPA antara lain kelainan metabolisme, kelainan anatomis, penyakit celiac,
enteropati, insufisiensi pankreatik (cystic fibrosis), reaksi non-imunologi terhadap makanan
seperti malabsorpsi fruktose, intoleransi laktosa.2
Perlu mendapat perhatian adanya gejala klinik yang mirip, misalnya refluks
gastroesofagus (GER) pada CMPA yang dapat terjadi pada 15-21%. CMPA juga dapat terjadi
kolik infantil. Demikian juga hubungan antara CMPA dengan gejala dermatitis atopi.
Semakin berat dermatitis, semakin muda anak maka sangat mungkin ada kaitan antara CMPA
dengan dermatitis atopi.5
CMPA dapat bersamaan dengan alergi makanan lain seperti telur, ikan, kacang,
sehingga pada saat diagnosis, perlu dipertimbangkan untuk melakukan eliminasi bahan-bahan
makanan tersebut (Vandenplas, 1997).
Organ target CMPA meliputi: kulit, saluran cerna, saluran nafas, sistim kardio
vaskuler, mata. Gejala klinik pada kulit berupa eczema, rash, urticaria, swelling, dryness.
Gejala pada saluran cerna dimulai dari mulut; gatal atau udema pada bibir, mulut,
lidah, faring. Gejala klinik lainnya berupa mual, muntah. Sakit perut di daerah ulu hati selama
dan setelah minum CM, kembung, konstipasi, nyeri perut, diare, rectal bleeding, anemia
defisiensi besi, berak berdarah dan berlendir, diare kronik, gangguan pertumbuhan. Muntah
maupun diare kronik dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang, maupun diare akut
berat.4
Gejala di saluran nafas berupa batuk, rhinitis, wheezing, reaksi alergi yang berat dapat
menyebabkan; asma berat, edema laring akut, dermatitis atopi disertai eksudasi, anafilaksis.
Tabel 1 Onset reaksi cepat dan lambat alergi susu sapi pada anak-anak.
Reaksi cepat Reaksi Lambat
· Anafilaksis
· Urtikaria akut
· Akut angioedema
· Sesak
· Rhinitis
· Batuk kering
· Muntah
· Edema laryngeal
· Asma akut dengan stres pernapasan
· Dermatitis atopi
· Diare kronis, diare berdarah, anemia
defisiensi besi, konstipasi, muntah
kronis, kolik
· Terganggunya pertumbuhan
· Enteropati dengan kehilangan protein
dengan hipoalbuminemia
· sindrom enterokolitis
· Esofagogastroenteropati eosinofilik yang
diketahui dari biopsi
Sumber :. Guideline for the diagnosis and the management cow’s milk protein allergy in infants.
Alergi Susu Sapi Gastrointestinal
Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan baik. Berbagai
faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus) dan yang tidak
berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen) yang saling berinteraksi
dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal, kebanyakan pasien mengalami reaksi
hipersensitivitas tipe IV dengan respon yang abnormal dari limfosit TH2. Produk ini
meningkatkan jumlah mediator inflamasi, seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang
menyebabkan aktivasi eosinofil. Pada beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan
non IgE dapat terjadi dan tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi tersebut.
Pasien dengan alergi susu gastrointestinal dapat muncul dengan berbagai macam
gejala, berdasarkan lokalisasi dari inflamasi (Tabel 2)
Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada dinding usus.
Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang diinduksi susu,
oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi protein makanan. Prevalensi
kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat. Diagnosis banding dari eosinofilia usus
sangat luas dan meliputi inflamatory bowel disease, infeksi parasit, sindrom hipereosinofilia
dan hipersensitivitas obat. Tidak ada tes diagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi
eosinofilia gastroenterologi harus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau oral
food challenges. (5)
Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cow’s milk colitis)
Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari terjadinya
kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah samar atau
perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare berdarah yang masif jarang
terjadi. (8) Pendarahan rektal merupakan gejala yang mengkhawatirkan tetapi pada umumnya
jinak dan self limiting tetapi dapat dikaitkan dengan alergi susu pada sekitar 20% kasus. Bayi
yang terkena dapat timbul dengan pendarahan anus yang terisolasi dengan mengeluarkan
lendir pada jam pertama kehidupan, dapat melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6
bulan pertama kehidupan tetapi biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat baik. Biopsi
rektal menunjukkan peradangan eosinofilik yang khas dengan erosi epitel, microabscess atau
fibrosis. Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yang terkandung dalam susu formula atau
ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosis ketika menggunakan ASI eksklusif. (5)
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga dapat bereaksi
terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan klinis biasanya sangat
baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima hari setelah diet bebas susu sapi bagi
ibu. Bila diet pada ibu mengalami kegagalan, diet bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini
biasanya sembuh dalam beberapa bulan, sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukan
antara 6 dan 12 bulan. (5)
Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)
Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi menunjukkan
prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama mempengaruhi orang-orang
berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin banyak pula dilaporkan dalam literatur-
literatur pediatrik. Penyakit ini didefinisikan dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada
esofagus, dan terkait dengan gejala refluks yang resisten terhadap terapi proton pump
inhibitor (PPI). (5)
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidaknyamanan, disfagia dan
cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering. Gejala pada anak-anak
biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau regurgitasi dan anoreksia, atau
kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat menampilkan berbagai gambaran dari area normal
sampai putih atau merah merata dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek
tracheiformis yang khas. (5)
Biopsi menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/ Lapang
pandang). Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan impaksi makanan.
Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan dengan campuran mediasi
IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan remaja. (5)
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat melibatkan
berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semi-unsurnya dapat
menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini. Namun demikian,
penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan, terutama jika makanan penyebab
tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika peradangan sudah berlangsung lama. (5)
Enterokolitis yang Diinduksi Protein Makanan (Food protein-induced enterocolitis)
Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus menerus
dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok hipovolemik. Gejala
dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau minum. Anak-anak dengan gejala-
gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut
adalah leukositosis yang dipenuhi oleh sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya
belum jelas namun diketahui dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon
memperlihatkan abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini dapat juga
disebabkan oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya reaksi terhadap kedelai,
ikan, nasi, kentang dan ayam. (5)
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah usia 2-3
tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien dengan enterokolitis
yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi klinis yang tidak jelas harus
dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan biopsi yang bertujuan untuk
menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik. (5)
Tabel 2 Alergi makanan mediasi non IgE
Alergi Pada
Usus
Mediasi
Non IgE
atau
Campuran
Gejala-
Gejala
Komplikasi Tes
Diagnostik
Evolusi Penatalaksanaan
Kolitis
Makanan Dan
Susu
Perdarahan
rectum dengan
pengeluaran
lendir pada bayi
Anemia Eliminasi diet
untuk ibu atau
hydrolyzed milk
(bayi yang tidak
diberi ASI),
biopsy kolon jika
resisten terhadap
kultur feses
Resolusi
dalam 6-12
bulan
Diet eliminasi diikuti
tes pemberian ulang
setelah 6 bulan
Esofagus
Eosinofilik
Regurgitasi,
refluks,
anoreksia, disfagi
atau menolak
makanan,
muntah, nyeri
lambung
Kegagalan
pertumbuhan,
kehilangan berat
badan, striktur
esofagus
Endoskopi,
biopsy, tes
kutaneus dan
epikutaneus, diet
asam amino dan
tes provokasi oral
Terus
menerus
ada
Diet eliminasi,
steroid sistemik atau
topical (ditelan)
Food Protein-
Induced
Enterocolitis
Syndrome
(FPIES)
Muntah terus-
menerus dan/atau
diare 2-4 jam
setelah
makan/minum
Leukositosis, syok
hipovolemik,
asidosis metabolic,
hipotensi
Riwayat sugestif,
tes epikutaneus
dan/atau tes
provokasi oral
Resolusi
dalam 2-5
tahun
Diet eliminasi diikuti
tes pemberian ulang
Food Protein
Induced
Enteropathy
Gejala insidious,
abdominal
discomfort,
disfagia,
kehilangan berat
badan, muntah,
diare
Hipereosinofilia,
hematemesis/rectal
bleeding, anemia
defisiensi besi,
hipoalbuminemia,
kegagalan
pertumbuhan
Endoskopi,
biopsy, tes skin
prick’s dan
epikutaneus, tes
provokasi oral
Resolusi
dalam 1-2
tahun
Diet eliminasi
Sumber : Food allergy review. J Pediatr Gastroenterol Nutr
DIAGNOSIS
Diagnosis ASS ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
· Jangka waktu timbulnya gejala setelah minum sususapi/ makanan yang mengandung susu
sapi.
· Jumlah susu yang diminum/makanan mengandung susu sapi.
· Penyakit atopi seperti asma, rinitis alergi, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan, dan
alergi obat pada keluarga (orang tua, saudara, kakek, nenek dari orang tua), dan pasien
sendiri.
· Gejala klinis pada kulit seperti urtikaria, dermatitis atopik, ras.
· Saluran napas: batuk berulang terutama pada malam hari, setelah latihan asma, rinitis alergi
· Saluran cerna, muntah, diare, kolik dan obstipasi.3
Pemeriksaan fisis
Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria,
dermatitis atopik
allergic shiner’s, Siemen grease, geographic tongue, mukosa hidung pucat, dan
mengi.3
Pemeriksaan Penunjang
I. IgE spesifik
a. Uji tusuk kulit (Skin prick test )
Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 1 minggu sebelum --
pemeriksaan
Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian punggung (jika --
didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau lengan terlalu kecil).
Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit adalah 4 bulan.
Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50% (nilai duga --
positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti alergi susu sapi yang
diperantarai IgE dapat disingkirkan karena nilai duga negatif sebesar > 95%.6
b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji kulit, tidak
didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan spesifitas antara uji tusuk kulit
dengan uji IgE RAST
Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan karena adanya lesi
kulit yang luas di daerah pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum
obat antihistamin.5
Kadar serum IgE spesifik antibodi untuk susu sapi dinyatakan positif jika > 5
kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun dan >15 kIU/L pada anak usia > 2 tahun. Hasil uji
ini mempunyai nilai duga positif <53% dan nilai duga negatif 95%, sensitivitas
57% dan spesifitas 94%.3,4
c. Uji eliminasi dan provokasi
Double Blind Placcebo Contolled Food Chalange (DBPFC’s) merupakan uji baku
emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat
alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji RAST. Uji ini memerlukan waktu dan
biaya. Jika gejala alergi menghilang setelah dilakukan eliminasi diet selama 2-4 minggu,
maka sebaiknya dilanjutkan dengan memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi (uji
provokasi). Uji provokasi dilakukan dibawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah
sakit dengan fasilitas resusitasi yang lengkap. Pada uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan
mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi.4
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul kembali, maka
diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi dinyatakan negatif bila tidak timbul
gejala alergi susu sapi pada saat uji provokasi dan setelah satu minggu kemudian, maka bayi
tersebut diperbolehkan minum formula susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan
untuk tetap mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa
hari setelah uji provokasi.3
d. Pemeriksaan darah pada tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit untuk
dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan seperti chromiun-
51 labelled erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang lebih baik dibanding uji guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh
berbagai substrat non-hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%),
spesivitas (88-98%) dengan nilai duga positif palsu yang tinggi.
TATA LAKSANA
1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif :
• Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu
selama 2-4 minggu.
• Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein
susu sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi.
Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan
diagnosis lain.
• Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat
diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada
makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan.
Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala
tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba
diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali
selama 6 bulan dan seterusnya.
• Bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat melanjutkan
pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan produk turunannya
pada makanan sehari-hari. ASI tetap merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan
alergi susu sapi. Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui
yang membatasi protein susu sapi dan produk turunannya.3,4
2. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula :
Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi yaitu dengan mengganti
susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat ekstensif
(untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam
amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2-4
minggu.
Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu
sapi. Bila gejala muncul kembali, maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila
gejala tidak menghilang setelah eliminasi, maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula
berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk kelompok
dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino (untuk
kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan
sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji
provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah
toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka
eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi adalah susu
hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu yang tidak menimbulkan reaksi alergi
pada 90% bayi/anak dengan diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis
tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%. Susu tersebut mempunyai peptida
dengan berat molekul < 1500 kDa. Susu yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu
terhidrolisat ekstensif dan susu formula asam amino. Sedangkan susu terhidrolisat
parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan bukan merupakan pilihan untuk terapi
alergi susu sapi.
Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang dianjurkan pada --alergi
susu sapi dengan gejala klinis ringan atau sedang. Pada alergi susu sapi berat yang
tidak membaik dengan susu formula terhidrolisat ekstensif maka perlu diberikan susu
formula asam amino.
Eliminasi diet menggunakan formula susu-- terhidrolisat ekstensif atau formula asam
amino diberikan sampai usia bayi 9 atau 12 bulan, atau paling tidak selama 6 bulan.
Setelah itu uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti
anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul
kembali maka eliminasi diet dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.4
Medikamentosa
Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.6
Antagonis reseptor H1 (antihistamin) generasi satu dan generasi kedua dapat
digunakan dalam penanganan alergi. Antihistamin H1 generasi 2 bisa digunakan pada
anak mulai umur 6 bulan.
Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan alergi
makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat, epinefrin harus
dipersiapkan.4
PENCEGAHAN
Seperti juga tindakan pencegahan alergi secara umum, maka tindakan pencegahn ASS ini
dilakukan dalam 3 tahap yaitu.
1. Pencegahan primer
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak pranatal
pada janin dari keluarga yang mempunyai bakat atopik. Penghindaran susu sapi berupa
pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis secara parsial, supaya
dapat merangsang timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari karena masih mengandung
sedikit partikel susu sapi, misalnya dengan merangsang timbulnya IgG blocking agent.
Tindakan pencegahan ini juga dilakukan terhadap makanan hiperalergenik lain serta
penghindaran asap rokok.
2. Pencegahan sekunder
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi penyakit alergi.
Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik dalam serum atau darah
talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun.
Penghindaran susu sapi dengan cara pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu sapi yang
dihidrolisis sempurna, atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi
sensitisasi lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi. Selain itu juga disertai
tindakan lain misalnya imunomodulator, Th1- immunoajuvants, probiotik serta penghindaran
asap rokok. Tindakan ini bertujuan mengurangi dominasi sel limfosit Th2, diharapkan dapat
terjadi dalam waktu 6 bulan.5
3.Pencegahan tertier
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi
penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis tetapi belum
menunjukkan gejala alergi yang lebih berat misalnya asma. Saat tindakan yang optimal
adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran juga dengan pemberian susu sapi
yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi, serta tindakan lain pemberian obat
pencegahan misalnya setirizin, imunoterapi, imunomodulator serta penghindaran asap rokok.3
PROGNOSIS
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-55%
pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga. Namun,
terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50% terutama pada jenis:
telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal dan alergi inhalan meningkat 50-80% sebelum
pubertas.
PENUTUP
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan keterlibatan mekanisme
sistem imun, yang disebabkan oleh kandungan protein di dalam susu sapi. Alergi susu sapi
seringkali diduga terjadi pada pasien, disertai banyak gejala klnis. Sindrom klinis yang terjadi
sebagai akibat alergi pada susu dapat bermacam-macam, meskipun demikian dapat diketahui
dengan baik. Penatalaksanaan alergi dapat dilakukan kepada bayi maupun juga kepada ibu
yang memberikan ASI-nya. Dan pencegahan saat ini sudah dapat dilakukan semenjak masih
dalam kandungan.