Download - MAKALAH+hukum ISLAM
MAKALAH
PENGANTAR ILMU HUKUM
( Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Nasional )
DISUSUN OLEH :GILANG ADI P
NPM. C1A.10.0016
FAKULTAS ILMU HUKUMUNIVERSITAS SUBANG
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah pencipta alam semesta, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat ilahi
rabbi Allah subhana wataala, karena berkat rahmat dan ridhanya kami dapat menyelesaikan
makalah tepat pada waktunya. Makalah ini digunakan untuk memenuhi salah satu penilaian
mata pelajaran Pengantar Ilmu Hukum.
Kami menyadari pula bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini di karenakan
masih banyak kekurangan serta kemampuan kami terbatas, tetapi berkat allah subhana
wataala dan beberapa pihak serta pengetahuan yang kami miliki dari sekolah, kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari pula bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan kami sangat
berterimakasih apabila ada kritik dan saran untuk kami, supaya kelak kami dapat lebih baik
dalam menyusun makalah selanjutnya.
Karawang, Januari 2013
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................................1
Daftar Isi.......................................................................................................................2
BAB I Pendahuluan....................................................................................................3
A. Latar belakang....................................................................................................3
B. Perumusan masalah............................................................................................4
BAB II Pembahasan...................................................................................................5
A. Penerapan Hukum Islam di Indonesia...................................................................5
B. Tarik Menarik Penerapan Hukum Di Indonesia....................................................7
C. Faktor-Faktor Pendukung Usaha Penerapan Syariat Islam...................................11
D. Kendala-Kendala Dalam Usaha Penerapan Syariat Islam.....................................12
BAB II Penutup...........................................................................................................13
Daftar Fustaka...............................................................................................................14
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk dapat membuat undang-undang yang sesuai benar dengan keindonesiaan, tentunya
sangat memerlukan rentang masa yang panjang, sementara pemerintah Indonesia ketika itu
masih disibukkan dengan berbagai usaha untuk mempertahankan kemerdekaan. Berdasarkan
Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional" (LPHN), yang sejak tahun 1974 kemudian dirubah menjadi "Badan Pembinaan
Hukum Nasional" (BPHN).
Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yang berlaku sampai akhir tahun 1958,
LPHN secara langsung berada di bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali
ke UUD-45 dan kemudian diperkuat oleh Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan
LPHN yang kemudian berubah menjadi BPHN itu menjadi setingkat dengan Direktorat
Jenderal dalam Departemen Kehakiman.
Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN telah
ikut aktif dalam pembuatan peta hukum nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah
berhasil menerbitkan 34 buah UU. Usaha untuk mewujudkan hukum baru nasional itu tetap
berlangsung, walaupun berbagai kendala sejak semula juga terus menghadang, tidak hanya
oleh penganut teori resepsi, yang masih banyak bercokol di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, terutama yang berasal dari kalangan perguruan tinggi hukum positif yang tidak
menginginkan dominasi hukum Islam dalam hukum nasional, tetapi juga oleh kalangan
ulama Islam sendiri yang masih memahami hukum Islam secara sepotong-potong dan
terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sehingga kemudian lebih
3
tersibukkan dengan berbagai pertikaian antara sesamanya dengan melupakan peningkatan
kesadaran untuk melaksanakan hukum Islam itu dalam realitas kehidupan umat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini ada tiga, adapun ketiga rumusan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengapa kita harus menerapkan hukum islam di Indonesia?
2. Mengapa Indonesia ini hanya tarik menarik hukum islam/syariat saja?
3. Mengapa hanya di Aceh saja yang menggunakan hukum Islam?
4
BAB II
PEMBAHASAN
PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A. PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Sebenarnya istilah syari’at Islam dapat mengandung dua makna, yaitu dalam makna luas
dan makna yang sempit. Dalam makna yang luas syari’at Islam mencakup seluruh ajaran
Islam yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah termasuk aspek aqidah, ahlak,
ibadah serta hukum-hukum mua’malah. Sedangkan dalam arti sempit Syari’ah Islam adalah
hukum-hukum ibadah maupun mu’amalah (termasuk hukum pidana) yang biasa disebut fiqh.
Istilah syari’at Islam dalam makalah ini adalah dalam pengertian yang sempit itu dan lebih
khusus lagi adalah mengenai hukum pidana Islam.
Sebelum kedatangan penjajah Belanda hukum Islam ini sudah berlaku di kerajaan-
kerajaan Islam di Nusantara ini. Akan tetapi setelah kedatangan penjajah Belanda penerapan
syari’at Islam di persempit dalam bidang keperdataan saja khsususnya bidang hukum
keluarga (pernikaran). Adapun bidang hukum pidana dan bidang hukum yang lainnya hanya
dapat diterima apabila telah diresepsi ke dalam hukum adat sehingga menjadi kewenangan
pengadilan Bumi Putera pada saat itu yaitu Landraad. Karena itulah Belanda mendirikan
berbagai peradilan agama di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda di berbagai daerah,
antara lain : Kerapatan Qadi, Mahkamah Syariyah dan lain-lain.
Pemerintah jajahan Belanda pada saat itu menerapkan adatrechtpolitik (Lihat Daniel S.
Lev, 1990) di Hindia Belanda yaitu membiarkan hukum adat tetap berlaku bagi golongan
Indonesia asli sedangkan bagi golongan Eropa berlaku hukum Belanda berdasarkan asas
konkordansi dari hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Demikian juga bagi golongan Cina
5
dan Timur Asing berlaku hukumnya masing-masing kecuali mereka menyatakan tunduk pada
hukum golongan Eropa. Dengan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada saat itu,
pemerintah Belanda menerapakan suatu hukum untuk menjembataninya yaitu apa yang
disebut dengan hukum antar golongan yang diterapkan manakala terjadi sengketa atau
masalah antar orang yang tunduk pada hukum yang berbeda.
Setelah Indonesia merdeka, sumber pembentukan hukum nasional Indonesia adalah
bersumber dari atau memperoleh pengaruh dari hukum Eropa warisan Belanda, hukum Islam
serta hukum Adat ( baca Daniel S.Lev, 1990). Akan tetapi tetap membiarkan dan
meneguhkan berlakunya hukum Islam bagi pemeluk Agama Islam pada bidang-bidang
hukum keluarga (hukum perkawinan, hukum waris, waqaf, hibah dan wasiat) yang menjadi
kewenangan Pengadilan Agama. Usaha-usaha untuk menerapkan syariat Islam baik secara
formal dengan melakukan transplantasi syari’ah ke dalam hukum nasional Indonesia maupun
dengan proses resepsi nilai-nilai syari’ah Islam tetap dilakukan dan diperjuangkan oleh
kalangan Islam.
Terdapat perkembangan yang semakin menarik setelah 50 tahun Indonesia merdeka.
Saling pengaruh ketiga kelompok hukum ini mewarnai perdebatan politik hukum nasional
Indonesia bahkan nampak terjadi gesekan-gesekan sosial dalam pembangunan hukum
Indonesia, seperti dalam pembahasan mengenai undang-undang perkawinan, undang-undang
pengadilan agama dan pada saat ini rancangan undang-undang hukum pidana. Walaupun
harus diakui bahwa hingga saat sekarang ini pengaruh hukum Eropa bahkan hukum Anglo-
Amerika mendapat kedudukan yang semakin kuat terutama dalam bidang hukum bisnis dan
perdagangan, dan disusul oleh syari’at Islam terutama dalam bidang bisnis keuangan dan
perbankan. Sementara hukum Adat jauh tertinggal dan hanya bertahan untuk sebahagiannya
dalam hukum pertanahan.
6
Pada bidang ibadah pemberlakuan syariat Islam tidak mendapat halangan sedikitpun. Hal
ini disebabkan oleh faham sekularisme yang memandang bahwa hal-hal yang terkait dengan
ibadah adalah urusan prinadi setiap orang dan urusan internal agama masing-masing yang
tidak bisa dicampuri oleh negara. Pada sisi lain, pemberlakuan hukum pidana atau hukum
perdata Islam dalam negara mendapatkan tantangan perdebatan yang luas dari masyarakat
karena akibat pandangan sekularisme juga, yang memandang bahwa hukum agama tidak bisa
masuk dalam ranah negara atau publik.
B. TARIK MENARIK PENERAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam adalah sebuah komunitas
Muslim terbesar di dunia. Ironisnya, dengan jumlah yang besar tersebut tidaklah cukup
menggambarkan bagaimana umat Islam di Indonesia menjadi umat yang terhormat di bawah
naungan syariat Islam yang mulia tersebut. Singkatnya, kalau kita ingin melhat kemiskinan,
kebodohan, korupsi, kriminalitas tengoklah masyarakat Indonesia. Contoh di atas adalah
sebuah kondisi yang amat kontradiktif dengan apa ajaran yang dianut oleh Muslim, idealnya,
Indonesia sebagai negeri Muslim adalah negeri yang dalam al-Qur’an dinyatakan sebagai
baldatun warobbun ghofur karena islam sebagai agama yang syumul wa mutakamil adalah
seperangkat ajaran yang jika diamalkan dengan baik-baik oleh umatnya maka akan
menghantarkan manusia kea rah kejayaan di dunia dan juga diakhirat.
Hal ini bukanlah isapan jempol, sejarah telah mencatatnya dengan tinta emas, hal ini juga
telah diakui ilmuan barat bahwa umat islam di bawah naungan syariat pernah memimpin
paradaban baik peradaban ilmu, ekonomi, budaya, social, dan pertahanan keamanan. Kenapa
hal ini bisa terjadi? Karena syariat islam diturunkan Allah SWT sebagai pembawa misi
rahmatan lil ‘alamin. Secara umum, memiliki maksud dan tujuan untuk mendatangkan
kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia.
7
Selanjutnya, konsep ini dikenal dengan maqashid syariahh. Ada lima kebutuhan kehidupan
primer manusia yang mesti ada, yang dilindungi oleh syariat yaitu:
1. Agama
2. Jiwa
3. Akal
4. Nasab
5. Harta
Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu criminal (jarimah).
Apabila diterapkan dan ditegaskan secara benar, maka akan berdampak positif terhadap
kualitas kehidupan manusia.
Dalam system hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal
dari hukum adat, hukum islam dan hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu
berlomba untuk menjadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum.
Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga Negara dalam
menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi Negara adalah
melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui peran menjamin pelaksanaan ibadah,
memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Secara
normative, menjalankan syariat islam secara kaffah merupakan perintah Allah swt dan
mengabaikannya adalah sebagai manusia kafir, zalim atau fasik.
Dalam beberapa kelompok islamis, hukum islam memiliki kesakralan yang tidak bisa
diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qath’i.
Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai
kekufuran. Meski demikian, masyarakat islam secara luas nampaknya kurang begitu
bersemangat dengan isu penerapan hukum islam ini.
8
Perubahan setting politik pasca orde baru tanpa diduga memberikan ruang bagi
berkembangnya wacana penegakan syariat islam di Indonesia. Pro dan kontra tentu saja
bermunculan. Tiap-tiap kelompok mengajukan argumentasinya untuk meneguhkan pendirian
mereka. Sayangnya, argumentasi yang dibangun tidak lagi ditunjukan untuk berusaha
meyakinkan pihak lain, tetapi malah melakukan stigmatisasi satu sama lain. Dimata
kelompok pro pelaksanaan syariat, mereka yang menolak syariat dianggap islamophobia.
Sementara kelompok anti pelaksanaan syariat memandang sebagian kelompok pro
pelaksanaan syariat sebagai orang-orang yang hendak melakukan politisasi agama. Tulisan
ini mencoba mengamati wacana pro dan kontra penerapan syariat dari sudut pandang proses
demokratisasi.
Dua model demokrasi. Penjelasan yang diberikan oleh Robert Pinkney (1994) tentang
model demokrasi barangkali berguna untuk mengamati pro dan kontra penerapan syariat di
Indonesia. Setidaknya ada dua model demokrasi yang relevan untuk dikemukakan di sini,
yaitu demokrasi berwawasan radikal (radical democracy) dan demokrasi berwawasan liberal
(liberal democracy).
Menurut Pinkney, demokrasi radikal ditandai dengan kuatnya pandangan bahwa hak-hak
setiap warga Negara dilindungi dengan prinsip persamaan di depan hukum, tetapi perhatian
yang diberikan tidaklah sama besar dengan perlindungan hak individu di bawah demokrasi
liberal berhadapan dengan Negara. Hal itu karena kehendak mayoritas dalam demokrasi
radikal adalah yang terpenting, sedangkan Negara tidak lebih dalam posisi melaksanakan
kehendak mayoritas itu. Wawasan demokrasi semacam ini, bagi Douglas M. Brown (11988),
terlihat cenderung lebih menekankan makna formal demokrasi (The Radicalization of Formal
Democracy).
Adapun demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak
warganegara, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dan karenanya lebih
9
bertujuan menjaga tingkat representasi warganegara dan melindunginya dari tindakan
kelompok lain ataupun dari Negara. Negara dalam hal ini tidak berposisi sebagai operator
kehendak mayoritas, karena mungkin saja akan bertabrakan dengan kepentingan minoritas.
Negara lebih berfungsi sebagai wasit untuk menjamin terpeliharanya tingkat representasi dan
perlindungan bagi segenap warga negaranya.
Kelompok yang berwawasan demokrasi radikal adalah mereka yang pro syariat. Dengan
argument utama bahwa karena mayoritas warga Negara beragama islam maka sudah
sewajarnya pula jika hukum yang diimplementasikan bersumber dari syariat. Namun karena
menyadari bahwa implementasi syariat hanya bisa dilakukan melalui mekanisme
konstitusional, maka mereka percaya bahwa usaha tersebut baru dapat tercapai jika mereka
mampu mendominasi panggung politik. Titik tolak upaya kelompok ini adalah Negara.
Karena Negara dengan otoritas yang dimilikinya dipercayai akan mampu
mengimplementasikan syariat secara efektif di kalangan umat Islam. kata kunci demokrasi
bagi kelompok ini jelas sekali, yaitu kehendak mayoritas yang diimplementasikan oleh
Negara. Demokrasi semacam ini, dimata Judith Miller (1993), tampaknya merupakan tren
umum di hampir semua kalangan islam politik di dunia muslim.
Sedangkan kelompok demokrasi liberal kurang berminat mendukung perjuangan
penerapan hukum islam. hal itu karena mereka melihat perjuangan semacam itu akan
melanggar prinsip kesetaraan semua warganegara di depan hukum sebagai slaah satu pilar
demokratisasi. Karena itu, Negara tidak boleh mengabulkan tuntutan penegakan syariat
dalam sebuah Negara yang multi varian seperti Indonesia ini. Sebab jika tidak,
pemberlakukan syariat akan berakibat uniformasi dan hal itu akan melanggar kebebasan
beragama sebagai bagian dari hak-hak harus didistribusikan secara setara dan universal atas
basis keanggotaan territorial politik dan bukan atas dasar keanggotaan dalam suatu komunitas
keagamaan.
10
Lahirnya beberapa undang-undang yang bernuansa Islam, atau mengakomodasi
kepentingan umat Islam seperti undang-undang zakat, haji, perbankan syariah, anti
pornografi, dan lain-lain. Juga perda-perda di banyak daerah yang bernuansa syariah adalah
seperti perda miras dan larangan prostitusi. Lebih hebatnya pemberian hak-hak khusus
kepada provinsi aceh untuk menerapkan syariat Islam disana melalui undang-undang qonun,
sesungguhnya memberikan angin sejuk untuk umat islam memperjuangkan penerapan syariat
islam di negeri ini. Upaya positifisasi syariat islam (penerapan syariat menjadi hukum public)
yang berhubungan dengan pidana islam (jinayah/uqubat) sampai saat ini masih dalam bentuk
wacana atau masih menjadi hukum yang dicita-citakan. Pemikiran kearah itu banyak
disampaikan oleh berbagai kalangan, seperti para ulama’, praktisi dan ahli hukum,
cendekiawan muslim dan masyarakat lain yang concern terhadap hukum pidana islam.
Syariat islam selama ini masih dipahami oleh sebagian orang sebagai hukum normative
yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang
bersifat normative hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi
moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat islam sebagai hukum islam
diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontra produktif ketika bangsa
ini hendak memberikan syariat islam secara kaffah. Kesalah pahaman tersebut membuat
syariat islam hanya menjadi kekuatan moral ketimbang daya ikat hukum yang harus
ditegakan atau diberlakukan sebagai tuntutan akidah.
C. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG USAHA PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju
penerapan syariat islam, yaitu:
1. Jumlah umat islam cukup signifikan
2. Maraknya gerakan-gerakan islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat islam
11
3. Gagalnya beberapa system hukum dan bernegara yang bukan islam telah memunculkan rasa
frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternative-alternatif yang lain,
diantara alternative tersebut adalah agama islam
4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan islam dan partai-partai politik islam di
beberapa negeri Muslim
5. Sejarah umat islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat islam.
sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak
umat islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
D. KENDALA-KENDALA DALAM USAHA PENERAPAN SYARIAT ISLAM
Secara umum, hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang ada dalam penerapan
syariat islam adalah sebagai berikut:
1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal memiliki antisipasi
terhadap islam dan syariat islam. mereka adalah para pengusung agama dawn ideology
tertentu diluar islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. mereka
senantiasa menyebar luaskan imej yang negative tentang Islam dan syariat islam, misalnya
dengan menjelek-jelekan islam dengan slogan “Harem dan Pedang” (sebagai symbol bagi
pengungkapan kaum wanita dan kekerasan”.
2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka
menolak penerapan syariat islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah
yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa islam disebut sebagai ahlul
ma’ashiy.
3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak islam karena belum memahami syariat islam, atau
memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa islam
disebut sebagai ahlul jahl.
12
4. Disamping itu, usaha-usaha untuk menuju penerapan syariat islam juga berkaitan dengan
masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat
dengan syariat islam dan penerapanya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-beda.
13
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, maka kami dapat mengatakan bahwa syariat
islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja. Tetapi
merupakan pragmatism ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia sehari-
hari. Oleh karena itu, bila syariat islam tidak dapats dilaksanakan secara kolektif melalui
formalisasi atau otoritas Negara, maka ia harus dilaksanakan secara individual sebagai
tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat islam secara individual memang hanya bisa pada tataran
normative yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum
islam yang berhubungan dengan hukum public, memang tetap mesti ada campur tangan
Negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat
mendukung proses implementasinya.
Perjuangan penerapan syariat islam adalah sebuah jalan yang panjang yang harus
dilakukan oleh seluruh elemen umat. Edukasi dan dakwah, tekanan politik, penyebarlausan
wacana dan juga perumusan lebih jauh hukum islam dalam bentuk hukum positif haruslah
terus dilaksanakan. Insya Allah penerapan syariat islam adalah sebuah keniscayaan yang
tinggal menunggu waktu saja hal itu akan diterapkan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (1947-1957), Yayasan Lengge, Mataram, 2004.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990.
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999.
15