Download - Makalah Untuk Pelatihan Jurnal
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Indonesia sebagai negara dengan luas daratan 1.922.570 km2 mempunyai
sumberdaya alam yang besar dan tersebar diseluruh daerah di wilayah indoensia.
Sumberdaya alam ini ada yang telah dimanfaatkan dan ada yang belum
dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut secara maksimal maka
diperlukan pendataan sumberdaya alam yang tersedia. Pendataan tentunya
memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang cukup lama jika dilihat dari
kondisi geografis wilayah Indonesia.
Provinsi Gorontalo mempunyai pulau-pulau yang berpotensi dikembangkan
menjadi asset untuk mendapatkan devisa bagi daerah. Beberapa pulau tersebut
tersebar di sepanjang pantai utara Provinsi Gorontalo. Pulau-pulau ini beberapa
diantaranya sudah berpenghuni dan dikembangkan menjadi obyek wisata seperti
Pulau Dudepo dan Pulau Saronde.
Pulau Mohinggito merupakan salah satu pulau yang belum banyak
diperhatikan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo, padahal pulau ini sangat
berdekatan dengan Pulau Saronde dan bisa dioptimalkan menjadi wilayah yang
mempunyai nilai ekonomis. Cara yang bisa digunakan adalah dengan
memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di pulau tersebut.
Teknologi penginderaan jauh adalah salah satu alternatif yang dapat
digunakan untuk menginfentarisasi sumberdaya alam secara cepat dan akurat.
Dengan teknologi ini maka sumberdaya alam yang terdapat pada suatu wilayah
dapat diketahui dan dijadikan basisdata untuk pengembangan wilayah.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, citra satelit
mulai marak digunakan sebagai komponen data penginderaan jauh. Citra
2
Quickbird merupakan citra beresolusi tinggi yang memiliki resolusi spasial 0,6 m
(pankromatik) dan 2,4 m (multispektral). Hal tersebut dapat dilihat dari resolusi
spasial (RS) yang melekat pada suatu citra satelit. Resolusi spasial adalah ukuran
objek terkecil yang masih dapat disajikan/dibedakan dan dikenali pada citra.
Antariksa secara dimensional belum dapat diukur dengan akurat oleh setiap
manusia di bumi, sekalipun menggunakan peralatan canggih yang dimilikinya.
Hal ini masih membuktikan bahwa semua yang ada di dunia ini masih memiliki
keterbatasan. Citra satelit yang merupakan hasil teknologi masa kini bukan berarti
segala-galanya dalam arti mampu menyelesaikan segala permasalahan yang ada di
dunia, tetapi juga bukan berarti tidak dapat dimanfaatkan.
Citra satelit Quick Bird milik Amerika Serikat dibuat untuk keperluan
penginderaan jauh tentang sumberdaya di permukaan bumi. Citra tersebut berujud
gambaran secara visual mengenai obyek diatas muka bumi, seperti bangunan
gedung, jalan, sungai, saluran, maupun vegetasi berupa hutan, ladang, sawah dan
sebagainya, sehingga secara umum sering disebut foto satelit karena menyerupai
foto.
Dengan kemampuan yang ada pada Citra Satelit Quick Bird dalam merekam
kenampakan permukaan bumi, maka citra ini dapat dimanfaatkan untuk
interpterasi penggunaan lahan yang ada di Pulau Mohinggito Kecamatan Anggrek
Kabupaten Gorontalo Utara. Citra Satelit Quick Bird dalam bentuk dijital, dengan
piksel 0,61 meter, secara hipotetis cukup memadai untuk keperluan interpretasi
penggunaan lahan lebih baik, dibanding citra satelit lain yang resolusinya lebih
rendah.
Berdasarkan fakta-fakta diatas maka dapat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Pemetaan Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit
Quickbird di Pulau Mohinggito Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
1.2 Perumusan Masalah
Seberapa besar kemampuan citra Quickbird untuk Pemetaan Penggunaan
lahan di Pulau Mohinggito Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
3
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketelitian citra Quickbird dalam
mengambil informasi tentang Penggunaan lahan di Pulau Mohinggito Kecamatan
Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
1.4 Manfaat penelitian
1. Meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya penerapan teknologi
penginderaan jauh dalam kaitannya dengan penentuan, perencanaan dan
pengembangan Pulau Mohinggito.
2. Mengaplikasikan ilmu pengetahuan tentang penginderaan jauh yang
diperoleh di bangku perkuliahan
3. Memberikan informasi tentang sumberdaya alam bagi pemerintah di
Provinsi Gorontalo
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Defenisi Penggunaan lahan
Penggunaan lahan yang oleh Sandy (1995) dimaknai sebagai dampak dari
segala kegiatan manusia diatas muka bumi yang dipengaruhi oleh keadaan alam
(fisik lingkungan) serta kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat suatu
wilayah. Sementara itu Barlowe (1978), mengemukakan, bahwa faktor- faktor
yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor fisik-biologis,
faktor pertimbangan ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Penggunaan
lahan juga ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan ketinggian, aksesibilitas,
kemampuan dan kesesuaian lahan serta tekanan penduduk.
Lahan yang subur lebih banyak digunakan untuk pertanian dan biasanya
berpenduduk padat (Sandy, 1995). Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi
arah perkembangan dan laju penggunaan lahan pertanian di perkotaan dan
wilayah sekitarnya antara lain: indeks aksesibilitas, faktor sosial, faktor
lingkungan fisik dan kebijakan infrastruktur (Owen, 1978). Sementara itu Bern
(1977), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan adalah akibat dari
jumlah dan komposisi penduduk secara berkala ataupun permanen. Pengaruh yang
lain ialah terhadap ekonomi lahan, seperti harga, sewa dan pasar lahan.
2.1.2 Pemukiman
Undang-undang RI No. 14 Tahun 1992, tentang Perumahan dan
Permukiman dalam pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan permukiman sebagai berikut:
1) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan sebagai
sarana pembinaan keluarga.
5
2) Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal yang dilengkapi sarana dan prasaran lingkungan.
3) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal dan mendukung perikehidupan dan
penghidupan
Lingkungan permukiman yang mendukung perikehidupan dan penghidupan
menurut Happy RS. (1999), terdiri atas 2 aspek tinjauan yaitu aspek fisik dan
aspek non fisik, yang mana aspek-aspek tersebut terbagi lagi antara lain.
2.1.3 Semak Belukar
Semak belukar adalah tumbuhan kayu-kayuan kecil dan rendah atau tanah
yang ditumbuhi kayu-kayuan kecil dan rendah.
2.1.4 Kebun Campuran
Kebun campuran merupakan salah satu sistem agroforestri yang terdiri dari
beragam jenis pohon dan tanaman semusim yang menciptakan suatu konfigurasi
tajuk yang berlapis-lapis dan membentuk suatu ekosistem yang efisien dalam
pemanfaatan ruang, unsur hara, air, energi dan waktu. Kebun campuran sebagai
sebuah sistem produksi menghasilkan sumber makanan bagi manusia maupun
ternak, sumber bahan bangunan dan sumber energi berupa materi, energi kayu
bakar. Keragaman hasil dari kebun campuran itu menunjukan produksi total
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya tanaman monokultur.
2.1.5 Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu
atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut
tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang
terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut
dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8%
(Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).
6
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Kata mangrove
mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat
tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air
laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono,
2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila
berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan.
Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau
hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai
bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama
kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung aktivitas
kehidupan di wilayah pantai dan memegang peranan penting dalam menjaga
keseimbangan siklus biologis di lingkungannya. Di samping itu, hutan mangrove
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Indonesia memiliki sumberdaya hutan
mangrove yang sangat luas yang tersebar di wilayah pesisir di berbagai provinsi.
Potensi kekayaan alam tersebut perlu dikelola dan dimanfaatkan seoptimal
mungkin untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk memperoleh informasi
keberadaan hutan mangrove yang aktual, faktual serta mudah dan cepat dapat
diperoleh melalui data penginderaan jauh.
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang
surut atau tepi laut. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan
gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya
mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas
(pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap
keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini
keberadaan ekosistem mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis.
(Di Ambil Pada Tangga Rabu 30 April 2014 Jam 11.00 Wib)
7
2.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan
Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan
(land cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan
sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan
penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi
yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena
penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya.
Townshend dan Justice (1981) juga memiliki pendapat mengenai
penutupan lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual)
dari vegetasi, benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi
tanpa memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Sedangkan
Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan bahwa permukaan bumi sebagian
terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain
sebagainya. Sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia
(penggunaan lahan).
Suatu unit penggunaan lahan mewakili tidak lebih dari suatu mental
construct yang didesain untuk memudahkan inventarisasi dan aktivitas pemetaan
(Malingreau dan Rosalia, 1981). Interpretasi penggunaan lahan dari foto udara ini
dimaksudkan untuk memudahkan deliniasi. Untuk dapat mempercepat hasil
inventarisasi dengan hasil yang cukup baik, digunakan pemanfaatan data
penginderaan jauh, karena dari data penginderaan jauh memungkinkan diperoleh
informasi tentang penggunaan lahan secara rinci.selain itu, adanya perubahan
pemanfaatan lahan kota yang cepat dapat pula dimonitor dari data penginderaan
jauh.
Identifikasi, pemantauan, dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu
dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk
penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan
lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam
usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan
8
keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap lahan perkotaan bertujuan
untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan pengadaan lahan untuk
menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam hubungannya dengan
optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan sebagai
serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis dan terorganisir dalam penyediaan
lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan pemanfaatan dan tujuan
lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat (Suryantoro, 2002).
Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan
manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan
keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan
wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting
dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan
penggunaan lahan.
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni
keadaan kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu
tertentu. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-
sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang
berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama.
Kecenderungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu.
Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan
penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena
kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap.
Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah,
baik penutup lahan maupun lokasinya (Murcharke, 1990).
Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha atau campur tangan
manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Data
penggunaan/tutupan lahan ini dapat disadap dari foto udara secara relatif mudah,
dan perubahannya dapat diketahui dari foto udara multitemporal. Teknik
9
interpretasi foto udara termasuk di dalam sistem penginderaan jauh. Penginderaan
jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah
atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan
alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau gejala yang dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1997).
Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam
proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra
penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang
sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan
lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun
berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi
kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau,
1978).
Pengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan persamaan
dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi.
Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek
kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem
pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan
kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan
dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan
citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi
yang sederhana dan mudah dipahami
2.2.1 Klasifikasi Penggunaan Lahan menurut Malingreau
Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan adalah sistem
klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu. Dalam suatu kerangka kerja,
menurut Dent (1981) dalam membuat klasifikasi penggunaan lahan dibagi
menjadi tingkatan-tingkatan yang terbagi menjadi kelompok-kelompok sebagai
berikut :
10
� Land cover/land use Order (cover type);
� Land cover/land use Cover Classes;
� Land cover/land use Sub-Classes;
� Land cover/land use Management Units (comparable to land utilization
types).
Dari klasifikasi tersebut oleh Malingreu diubah menjadi 6 kategori sebagai
berikut :
� Land cover/land use Order e.g. vegetated area;
� Land cover/land use Sub-Order e.g. cultivated area;
� Land cover/land use Family e.g. permanently cultivated area;
� Land cover/land use Class e.g. Wetland rice (sawah);
� Land cover/land use Sub-Class e.g. irrigated sawah;
� Land Utilization Type e.g. continous rice.
Klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu yang digunakan
didasarkan pada penutup lahan, klasifikasi tersebut sebagai berikut :
Jenjang I Jenjang II Jenjang III Jenjang IV Simbol
1. Daerah
Bervegetasi
A. Daerah
Pertanian
1. Sawah Irigasi Si
2. Sawah Tadah
Hujan
St
3. Sawah Lebak Sl
4. Sawah pasang surut Sp
5. Ladang/Tegal L
6. Perkebunan Cengkeh C
Coklat Co
Karet K
Kelapa Ke
11
Kelapa Sawit Ks
Kopi Ko
Panili P
Tebu T
Teh Te
Tembakau Tm
7. Perkebunaan
Campuran
Kc
8. Tanaman
Campuran
Te
Bukan
Daerah
Pertanian
Huatan lahan
kering
Hutan bambu Hb
Hutan campuran Hc
Hutan jati Hj
Hutan pinus Hp
Hutan lainnya Hl
Hutan lahan basah Hutan bakau Hm
Hutan campuran Hc
Hutan nipah Hn
Hutan sagu Hs
Belukar B
Semak S
12
Padang Rumput Pr
Savana Sa
Padang alang-alang Pa
Rumput rawa Rr
II. Daerah tak
bervegetasi
C. Bukan
daerah
pertanian
1. Lahan terbuka Lb
2. Lahar dan Lava Ll
3. Beting Pantai Bp
4. Gosong sungai Gs
5. Gumuk pasir Gp
III. Permukiman
dan lahan bukan
pertanian
D. Daerah
tanpa
liputan
vegetasi
1. Permukiman Kp
2. Industri In
3. Jaringan jalan
4. Jaringan jalan KA
5. Jaringan listrik
tegangan tinggi
6. Pelabuhan udara
7. Pelabuhan laut
IV. Perairan E. Tubuh
perairan
1. Danau D
2. Waduk W
3. Tambak ikan Ti
13
4. Tambak garam Tg
5. Rawa R
6. Sungai
7. Anjir pelayaran
8. Saluran irigasi
9. Terumbu karang
10. Gosong pantai
Sumber: Malingreau, dalam Suharyadi (2001)
2.2.2 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi Darmoyuwono (1964)
Darmoyuwono membagi klasfisikasi penggunaan lahan sebagai berikut :
1. Lahan permukiman dijabarkan menjadi permukiman dan lahan non-
pertanian, meliputi permukiman perkotaan, permukiman pedesaan,
permukiman pedesaan bercampur kebun dan tanaman keras, dan lahan
non-pertanian lain.
2. Kebun ditanami sayuran, buah-buahan kecil dan bunga. Kelas ini sangat
umum dan terdapat di beberapa pedesaan wilayah Indonesia, biasanya
sayuran, buah-buahan kecil seperti tomat, mentimun, dan lainnya
merupakan tanaman campuran (tumpang sari) seperti halnya di pertanian
lahan kering.
3. Tanaman keras, antara lain tanaman kelapa, rambutan,tanaman pohon
lainnya.
4. Lahan untuk tanaman semusim, antara lain padi, jagung, ketela pohon,
tanaman perdagangan.
5. Lahan padang rumput yang dikelola, seperti lapangan olah raga.
6. Tanaman padang rumput yang tidak dikelola untuk penggembalaan.
14
7. Lahan hutan, dikelaskan hutan lebat, hutan terbuka, pohon jarang
merupakan sabana tropis, hutan belukar, hutan rawa, hutan sudah dibuka
atau dibakar, hutan industri, hutan ladang.
8. Bentuk-bentuk tubuh perairan, adalah rawa air tawar, rawa pasang surut,
kolam ikan, sungai, danau, laut.
9. Lahan tidak produktif, seperti lahan kosong, lahan berbatu, lahan berpasir,
lahan berbukit (perbukitan), gunung (pegunugan).
2.2.3 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi I Made Sandy (1977)
1. Berdasarkan pemetaan penggunaan lahan skala 1:250.000 dan skala
1:200.000, maka bentuk penggunaan lahan dibedakan menjadi 8 kategori,
yaitu perkampungan, sawah, tegalan dan kebun, ladang berpindah, hutan,
alang-alang dan semak belukar, rawa, lahan lain-lain.
2. Berdasarkan pemetaan penggunaan lahan skala 1:100.000, skala 1:50.000,
dan skala 1:25.000, penggunaan lahan dibedakan dalam 10 kelas, dengan
beberapa sub-kategori :
a. Perkampungan berupa kampung, kuburan, emplesemen.
b. Tanah pertanian berupa sawah ditanami padi dua kali setahun,
sawah padi satu kali setahun, sawah ditanami setiap tahun
bergantian, yaitu padi sekali setahun, sekali setahun bukan padi,
dan ladang berpindah.
c. Lahan perkebunan dengan jenis tanaman karet, kopi, jenis tanaman
perkebunan lainnya.
d. Kebun dapat berupa sawah ditanami sayuran dan tidak pernah
ditanami padi, kebun kering dengan berbagai tanaman, hutan
dibedakan hutan lebat; belukar; satu jenis tanaman.
e. Kolam ikan.
f. Tanah rawa / rawa-rawa.
g. Tanah tandus atau tanah yang tidak bernilai ekonomis.
h. Hutan penggembalaan.
i. Lain-lain (kalau ada sesuai kondisi daerahnya).
15
Secara umum sebagaimana tertuang dalam Peta Rupabumi Indonesia,
penggunaan lahan di Indonesia meliputi permukiman, sawah irigasi, sawah tadah
hujan, kebun/perkebunan, hutan, semak/belukar, tegalan/ladang, rumput/tanah
kosong, dan hutan rawa.
2.2.4 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi V.F.L Polle et al (1977 )
Ada 7 kategori penggunaan lahan yang dikemukakan olehnya, yakni :
1. Lahan kosong/pertanian : tanaman musiman, perkebunan, hutan perikanan,
kulturil (tempat pembangunan dan tempat perombakan).
2. Permukiman : perumahan (modern tersendiri, modern setengah tersendiri,
modern berjajar).
3. Perdagangan dan “Entertainment”. Perdagangan : toko, pusat
perbelanjaan, department store, bank, pasar, jasa professional (dokter,
notaries, arsitek), salon kecantikan, tukang cukur, steambath. Entertaiment
: rumah makan, hotel dan penginapan, klab malam, bioskop dan tempat
hiburan.
4. Industri : gudang, industri kimia dan farmasi, industri tekstil, timbunan air,
pembangkit tenaga listrik.
5. Transportasi : jalan, jembatan, jalan kereta api, stasiun, tempat parkir.
6. Kelembagaan : keagamaan, lembaga edukatif, lembaga social, kesehatan,
administrrasi pemerintah.
7. Rekreasi : lapangan olahraga, geedung olahraga, tempat bermain anak-
anak, tempat berkemah, pusat rekreasi, stadion.
2.2.5 Bentuk Penggunaan Lahan menurut klasifikasi N.C.Gautam (1976 )
Ada 8 kategori penggunaan lahan yang dikemukakan olehnya, yakni :
1. Permukiman : terpisah, setengah terpisah, memanjang, “slum”
2. Perdagangan : pertokoan, jasa, pusat perdagangan, gudang.
3. Industrri : jasa (gilingan, tukang sepatu, pembuatan minyak), industri besar
(pabrik).
16
4. Jasa : pendidikan, administrasi dan jasa (kantor pos, pompa bensin, rumah
sakit).
5. Rekreasi : taman dan kebun umum, stadion dan gedung umum, gedung
bioskop yang merupakan kampus tersendiri, tempat bermain yang
terorganisasi, klab atau gedung pertemuan.
6. Keagamaan ; candi, mesjid, gereja.
7. Transpor dan komunikasi : jalan, jalan kereta api, stasiun.
8. Tubuh air : danau dan tempat penimbunan air, saluran pengering.
2.2.6 Klasifikasi Lahan menurut USGS
Pada level I dan II Tingkat I Tingkat II
1. Perkotaan atau
lahan terbangun
1.1.Permukiman
1.2.Perdagangan dan jasa
1.3.Industry
1.4.Transportasi, komunikasi dan umum
1.5.Kompleks industry dan perdagangan
1.6.Kekotaan campuran atau lahan bangunan
1.7.Kekotaan atau lahan bangunan lainnya
2. Lahan pertanian 2.1.Tanaman semusim dan padang rumput
2.2.Daerah buah-buahan, bibit, dan tanaman hias
2.3.Tempat penggembalaan terkurung
2.4.Lahan pertanian lainnya
3. Lahan
peternakan
3.1.Lahan tanaman/ rumput
3.2.Lahan peternakan semak dan belukar
3.3.Lahan peternakan campuran
4. Lahan hutan 4.1.Lahan hutan gugur dan musiman
4.2.Lahan hutan yang selalu hijau
4.3.Lahan hutan campuran
5. Air 5.1.Sungai dank anal
17
5.2.Danau
5.3.Waduk
5.4.Teluk dan muara
6. Lahan basah 6.1.Lahan hutan basah
6.2.Lahan basah bukan hutan
7. Lahan gundul 7.1.Dataran garam kering
7.2.Gisik
7.3.Daerah berpasir selain gisik
7.4. Batuan singkapan gundul
7.5.Tambang terbuka, pertambangan dan tambang kecil
7.6.Daerah peralihan
7.7.Daerah gundul campuran
8. Padang lumut 8.1.Padang lumut semak dan belukar
8.2.Padang lumut tanah gundul
8.3.Padang lumut basah
8.4.Padang lumut campuran
9. Es atau salju
abadi
9.1.Lapang salju abadi
9.2.Glasier
Pada level I, II, III, IV Tingkat I Tingkat II Tngkat III Tingkat IV Kota dan daerah terbangun
1. Perumahan
2. Perdagangan dan jasa
a. satu keluarga
b. >satu keluarga
c. Penginapan
d. Asrama e. Tempat kost f. Panti
a. Pasar
a.1. Lantai Satu a.2. Lantai > Satu …. c.1. Losmen c.2. Hotel c.3. Motel …. …. f.1. Panti Jompo f.2. Panti asuhan a.1. Pasar hewan
18
b. Pertokoan c. Perkantoran d. Pendidikan
e. Rumah sakit f. Bank
a.2. Pasar umum a.3. Pasar …. …. d.1. SD d.2. SLTP/TA d.3. Kampus d.4. Pesantren …. dst
2.2.7 Klasifikasi menurut Anderson(1970)
1. Ekologis
1.1. Nomaden
1.2. Perladangan Berpindah
2. Subsisten
• Perladangan Menetap belum berkembang
• Perladangan Intensif Subsisten(didominasi padi)
• Perladangan Intensif Subsisten(tidak didominasi padi)
• 2.4.Pertanian Ternak dan Tanaman Subsisten
• 2.5.Pertanian Masyarakat Mediterania(Kuno dan Komersil)
3. Komersil
3.1.Peternakan Sederhana
3.2.Pertanian Biji-bijian Komersil
3.3. Pertanian Ternak dan Tanaman Komersil
3.4. Peternakan Sapi Perah Komersil
3.5.Hortikultur dan Olerikultur terspesialisasi
3.6.Tanaman Industri
4. Kolektif .
4.1.Pertanian Kolektif
5. Sistem ”Cash-Cropping”
5.1. Ladang Perkebunan Komersil di daerah tropis
19
Berdasarkan klasifikasi penggunaan lahan diatas maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa kelas penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah
penggunaan lahan yang telah mendapat perlakuan dari manusia dalam hal ini
pemukiman dan kebun campuran serta kelas penggunaan lahan yang
belum/sedikit mengalami campur tangan manusia yaitu mangrove dan semak
belukar.
2.3 Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknik untuk memperoleh
informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang
diperoleh menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau
gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh adalah akuisisi
data dari obyek yang diindera sebuah sensor dimana sensor tersebut jauh dari
obyek (Cowell, 1983).
Tenaga dalam penginderaan jauh terdiri dari dua macam, yaitu tenaga
alam (misalnya sinar matahari, emisi/pancaran suhu benda di permukaan bumi)
yang digunakan dalam penginderaan jauh sistem pasif, dan tenaga buatan (pulsa
radar, sinar lampu) yang digunakan dalam penginderaan jauh sistem aktif. Tenaga
yang paling banyak digunakan dalam sistem penginderaan jauh ialah tenaga
elektromagnetik, yaitu tenaga yang bergerak dengan kecepatan sinar dengan pola
gelombang sinusoidal yang harmonis
1. Tenaga
Penginderaan jauh sistem fotografik pada umumnya menggunakan tenaga
alamiah. Matahari merupakan sumber tenaga yang utama. Tenaga yang digunakan
yaitu tenaga elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,3 µm – 0,9 µm. Pada
umumnya bagian yang lebih sempit dari julat tersebut. Disamping sinar matahari,
dapat pula digunakan sinar bulan maupun sinar buatan apabila pemotretannya
dilakukan pada malam hari (Estes dan Holz, 1985).
2. Obyek
20
Obyek dapat digambarkan pada foto udara terbatas pada obyek yang
tampak, yaitu obyek di permukaan bumi yang tidak terlindung oleh obyek
lainnya. Obyek di bawah permukaan tanah dan obyek di permukaan tanah yang
tertutup vegetasi tidak dapat tergambar pada foto udara. Meskipun demikian, ada
obyek tak tampak tetapi dapat ditafsirkan berdasarkan obyek yang tampak.
Sebagai contoh, jenis batuan dapat ditafsirkan berdasarkan topografi, pola aliran,
dan vegetasi penutupnya.
3. Sensor
Sensor yang digunakan penginderaan jauh fotografi adalah kamera dan
sensor. Ada lima jenis kamera yang digunakan di dalam penginderaan jauh
fotografik hingga saat ini, yaitu kamera kamera kerangka untuk pemetaan, kamera
kerangka untuk keperluan tinjau, kamera panoramik, kamera strip, dan kamera
multispektral (Estess, 1985).
Kamera pada dasarnya terdiri dari tiga bagian yaitu kelompok kerucut
lensa, tubuh kamera, dan magasaen. Di dalam kelompok kerucut lensa terdapat
lensa, filter, diafragma, dan penutup lensa (shutter). Lensa berfungsi untuk
memasukkan sinar dan memfokuskannya. Filter digunakan untuk mengatur berkas
sinar yang masuk ke kamera, yaitu sinar dengan panjang gelombang tertentu yang
dikehendaki untuk membentuk gambar pada film. Penutup lensa digunakan untuk
membuka dan menutup lensa, sedangkan diafragma digunakan untuk mengatur
besarnya diameter bukaan lensa pada saat pemotretan. Diafragma dan penutup
lensa mengatur banyaknya sinar yang masuk ke kamera.
4. Keluaran
Keluaran sistem penginderaan jauh fotografik berupa foto udara dan foto
satelit. Foto udara pada umumnya dibuat dengan menggunakan pesawat terbang
sebagai wahananya. Meskipun demikian kadang-kadang digunakan juga balon
udara dengan ketinggian mencapai 35 km, lebih tinggi dari ketinggian pesawat
terbang pada umumnya. Foto satelit dibuat dengan menggunakan satelit sebagai
21
wahananya. Salah satu contoh foto satelit yaitu foto satelit seperti dibuat oleh
satelit Landsat, SPOT dan satelit lain yang sejenis.
Menurut Butler et al. (1988), terdapat empat komponen fisik yang terlibat
dalam sistem penginderaan jauh. Keempat komponen fisik tersebut, yaitu :
a) Matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik.
b) Atmosfer sebagai media perantara dari energi elektromagnetik.
c) Objek yang akan diteliti.
d) Sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu objek dan
merubahnya menjadi bentuk signal yang selanjutnya dapat diproses dan
direkam.
Sebelum radiasi elektromagnetik dari objek terdeteksi oleh sensor, terlebih
dahulu radiasi elektromagnetik berinteraksi dengan atmosfer. Bentuk interaksi
yang terjadi biasanya berupa pantulan, hamburan dan penyerapan. Hamburan
adalah pantulan ke arah serba beda yang disebabkan oleh benda yang memiliki
permukaan kasar dan bentuk tak menentu (Sutanto, 1986). Penyerapan merupakan
fenomena berkurangnya radiasi elektromagnetik karena diserap oleh partikel-
partikel yang terdapat dalam atmosfer seperti uap air, CO2 dan O
3.
Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah
adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya.
Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh
seperti : radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near
sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang
dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap
material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda
terhadap cahaya matahari. Sehingga material-material tersebut akan mempunyai
resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang. Piksel adalah sebuah
titik yang merupakan elemen palong kecil pada citra satelit. Angka numerik (1
byte) dari piksel disebut Digital Number (DN). Digital Number bisa ditampilkan
dalam warna kelabu, berkisar antara putih dan hitam (greyscale), tergantung level
22
energi yang terdeteksi. Piksel yang disusun dalam order yang benar akan
membentuk sebuah citra.
Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh
bisa dibedakan atas (Jaya, 2002):
� Resolusi spasial
Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi
yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan disekitarnya, atau sesuatu
yang ukurannya bisa ditentukan. Kemampuan ini memungkinkan kita
untuk mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu objek di bumi
selain mendeteksi (detectable) keberadaannya.
� Resolusi spektral
Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif
terhadap sensor
� Resolusi radiometrik
Merupakan ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi
(radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu objek oleh
permukaan bumi.
� Resolusi Temporal
Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama
(revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari,
SPOT 26 hari dan lain sebagainya.
Berdasarkan teori tentang pengindraan jauh di atas peneliti dapat
mendefiniskan penginderaan jauh adalah alat yang digunakan untuk memperoleh
informasi berupa analisis data tanpa kontak langsung dengan objek yang di
lapangan , obyek kajian dalam penelitian ini adalah penggunaan lahan berupa
pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove yang ada di Pulau
Mohinggito Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.
2.4 ENVI
ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu image
processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System, Inc
23
(RSI). Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan
spesifik untuk mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh
dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang
menyuluruh dan analisis untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya
dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan.
2.5 ArcGis
ArcGIS merupakan produk software GIS paling mutakhir saat ini dari
ESRI (Environment Science & research Institute) dengan segala
"kecanggihannya". Bagi sebagian praktisi GIS yang sudah lama berkecimpung
dalam "kubangan" pemetaan dan juga mencoba software ArcGIS tersebut,
sebagian beranggapan lebih ribet dan susah dibandingkan dengan pendahulunya
ArcView 3.x, dan sebagian lagi menganggap lebih baik, bagus, dan lengkap untuk
semua jenis kebutuhan pekerjaan GIS, bahkan jika dibandingkan dengan software
GIS dari vendor lain.
Software ArcGIS pertama kali diperkenalkan kepada publik oleh ESRI
pada tahun 1999, yaitu dengan kode versi 8.0 (ArcGIS 8.0). ArcGIS merupakan
penggabungan, modifikasi dan peningkatan dari 2 software ESRI yang sudah
terkenal sebelumnya yaitu ArcView GIS 3.3 (ArcView 3.3) dan Arc/INFO
Workstation 7.2 (terutama untuk tampilannya). Bagi yang sudah terbiasa dengan
kedua software tersebut, maka sedikit lebih mudah untuk bermigrasi ke ArcGIS.
Setelah itu berkembang dan ditingkatkan terus kemampuan si ArcGIS ini oleh
ESRI yaitu berturut turut ArcGIS 8.1, 8.2, 9.0, 9.1, 9.2, dan terakhir saat ini
ArcGIS 9.3 (9.3.1) dan sekarang sudah ada ArcGIS 10 dan versi updatenya.
Dalam kaitannya dengan ArcGIS ini, secara umum ada dua versi yaitu
ArcGIS Desktop (untuk komputer biasa/PC/Laptop based) dan ArcGIS Server
yaitu untuk GIS berbasis web dan "ditanamkan" pada komputer/software Server.
Dalam keseharian yang disebut ArcGIS sebetulnya adalah ArcGIS Desktop,
berhubung mungkin ArcGIS Server belum banyak yang memakainya.
2.6 Karakteristik Satelit QuickBird
24
Perusahaan swasta AS lainnya Digital Globe, tahun 2002 meluncurkan
satelit komersial dengan kemampuan mengungguli Ikonos. Quickbird, nama
satelit ini, beresolusi spasial hingga 60 sentimeter dan 2,4 meter untuk moda
pankromatik dan multispektral.
Setelah kegagalan EarlyBird, satelit Quickbird diluncurkan tahun 2000
oleh DigitalGlobe. Namun, kembali gagal. Akhirnya Quickbird-2 berhasil
diluncurkan 2002 dan dengan resolusi spasial lebih tinggi, yaitu 2,4 meter
(multispektral) dan 60 sentimeter (pankromatik). Citra Quickbird beresolusi
spasial paling tinggi dibanding citra satelit komersial lain.
Selain resolusi spasial sangat tinggi, keempat sistem pencitraan satelit
memiliki kemiripan cara merekam, ukuran luas liputan, wilayah saluran spektral
yang digunakan, serta lisensi pemanfaatan yang ketat. Keempat sistem
menggunakan linear array CCD-biasa disebut pushbroom scanner. Scanner ini
berupa CCD yang disusun linier dan bergerak maju seiring gerakan orbit satelit.
Jangkauan liputan satelit resolusi tinggi seperti Quickbird sempit (kurang
dari 20 km) karena beresolusi tinggi dan posisi orbitnya rendah, 400-600 km di
atas Bumi. Berdasarkan pengalaman penulis, dengan luas liputan 16,5 x 16,5
km², data Quickbird untuk 4 saluran ditambah 1 saluran pankromatik telah
menghabiskan tempat 1,8 gigabyte. Data sebesar ini disimpan dalam 1 file tanpa
kompresi pada resolusi radiometrik 16 bit per pixel.
Semua sistem menghasilkan dua macam data: multispektral pada empat
saluran spektral (biru, hijau, merah, dan inframerah dekat atau B, H, M, dan
IMD), serta pankromatik (PAN) yang beroperasi di wilayah gelombang tampak
mata dan perluasannya. Semua saluran pankromatik, karena lebar spektrumnya
mampu menghasilkan resolusi spasial jauh lebih tinggi daripada saluran-saluran
multispektral.
Unsur penting lain adalah ketatnya pemberian lisensi pemanfaatan.
DigitalGlobe misalnya, hanya memberikan satu jenis lisensi pemanfaatan
Quickbird pada pembeli. Jadi, bila pemerintah kota di Indonesia membeli data ini
untuk keperluan perbaikan lingkungan permukiman urban misalnya, data yang
25
sama tidak boleh digunakan untuk keperluan lain seperti pajak bumi dan
bangunan (PBB).
Resolusi spasial tinggi ditujukan untuk mendukung aplikasi kekotaan,
seperti pengenalan pola permukiman, perkembangan dan perluasan daerah
terbangun. Saluran-saluran spektral B, H, M, IMD, dan PAN cenderung dipilih,
karena telah terbukti efektif dalam menyajikan variasi fenomena yang terkait
dengan kota.
Kondisi vegetasi tampak jelas pada komposisi warna semu (false color),
yang tersusun atas saluran-saluran B, H, IMD ataupun H, M, IMD yang masing-
masing ditandai dengan urutan warna biru, hijau, dan merah. Pada citra komposit
warna ini, vegetasi dengan berbagai tingkat kerapatan tampak bergradasi
kemerahan.
Teknik pengolahan citra digital dengan indeks vegetasi seringkali
memilih formula NDVI (normalised diference vegetation index= IMD-
M/IMD+M). Indeks atau nilai piksel yang dihasilkan kemudian sering dijadikan
ukuran kuantitatif tingkat kehijauan vegetasi. Apabila diterapkan di wilayah kota,
maka tingkat kehijauan lingkungan urban dapat digunakan sebagai salah satu
parameter kualitas lingkungan.
Untuk lahan pertanian, NDVI terkait dengan umur, kesehatan, dan
kerapatan tanaman semusim, sehingga seringkali dipakai untuk menaksir tingkat
produksi secara regional.
Kehadiran Quickbird dan Ikonos telah melahirkan eforia baru pada
praktisi inderaja yang jenuh dengan penggunaan metode baku analisis citra
berbasis Landsat dan SPOT. Klasifikasi multispektral standar berdasarkan
resolusi spasial sekitar 20-30 meter seringkali dianggap kurang halus untuk
kajian wilayah pertanian dan urban di Jawa. Model-model dengan knowledge-
based techniques (KBT) yang berbasis Landsat dan SPOT umumnya tidak
tersedia dalam menu baku di perangkat lunak komersial, dan lebih sulit
dioperasikan.
26
Quickbird menjawab kebutuhan itu. Resolusi 60 cm bila dipadukan
dengan saluran multispektralnya akan menghasilkan pan-sharped image, yang
mampu menonjolkan variasi obyek hingga marka jalan dan tembok penjara.
Citra ini mudah sekali diinterpretasi secara visual. Meski demikian, para
pakar inderaja saat ini masih bergulat dengan pengembangan metode ekstraksi
informasi otomatis berbasis citra resolusi tinggi seperti Quickbird. Resolusi
spasial yang sangat tinggi pada Quickbird telah melahirkan masalah baru dalam
inderaja digital, di mana respons spektral obyek tidak berhubungan langsung
dengan karakter obyek secara utuh, melainkan bagian-bagiannya.
Bayangkan citra multispektral SPOT-5 beresolusi 10 meter, maka dengan
relatif mudah jaringan jalan dapat kita klasifikasi secara otomatis ke dalam
kategori-kategori íjalan aspalí, íjalan betoní, dan íjalan tanahí, karena jalan-jalan
selebar sekitar 5 hingga 12 meter akan dikenali sebagai piksel-piksel dengan nilai
tertentu. Namun, pada resolusi 60 cm, jalan selebar 15 meter akan terisi dengan
pedagang kakilima, marka jalan, pengendara motor, dan bahkan koran yang
tergeletak di tengah jalan. (Danoedoro, 2004)
Tabel 2.1 Karakteristik Citra Quickbird
Sistem Quickbird
Orbit 600 km2 Sunsynchronous 10.00 am
Sensor Liner array CCD
Swath Width 20 km (CCD-array)
Ukuran Piksel Lapangan 60 cm (PAN) 2.4 (MUL)
Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), karakteristik tiap kanal (spektrum
energi) adalah sebagai berikut :
a. Kanal 1, spektrum biru
Baik untuk pemetaan perairan pantai karena penetrasinya dalam kolom air
cukup tinggi. Sangat kuat diabsorpsi oleh klorofil sehingga berguna untuk
membedakan tanah dan vegetasi.
b. Kanal 2, spektrum hijau
Digunakan untuk mengukur pantulan warna hijau dari puncuk vegetasi untuk
27
mengetahui seberapa sehat vegetasi tersebut dan menguji daya tegak vegetasi.
Juga untuk identifikasi kenampakan kultur.
c. Kanal 3, spektrum merah
Energi pada spektrum ini sangat kuat diserap oleh klorofil sehingga
membantu perbedaan spesies tanaman. Diserap oleh banyak vegetasi.
d. Kanal 4, spektrum inframerah dekat
Energi pada saluran ini diserap seluruhnya oleh air, sehingga berguna untuk
mengidentifikasi badan atau kolom air. Dipantulkan seluruhnya oleh vegetasi,
sehingga berguna untuk menentukan tipe vegetasi, daya tegak, dan
kandungan biomassanya. Menghasilkan kontras yang nyata antara darat dan
air.
Berdasarkan kemampuan band pada citra quickbird maka peneliti
menggunakan band 3 dan komposit band 321 untuk memperoleh data tentang
penggunaan lahan yang ada di Pulau Mohinggito.
2.7 Uji ketelitian interpretasi citra Quickbird
Uji ketelitian dilakukan dengan membandingkan antara hasil interpretasi
citra Quickbird dengan kenyataan yang diperoleh dari pengamatan dan
pengukuran lapangan, ketelitian yang dihasilkan ada dua jenis, yaitu ketelitian
hasil kesesuaian interpretasi dan ketelitian pemetaan. Dalam penelitian ini
menggunakan ketelitian hasil kesesuaian interpretasi. Dalam hal ini yang diuji
Adalah hasil kesesuaian interpretasi citra Quickbird yang didapat dari survey
lapangan dengan alat berupa tabel kesesuaian hasil interpretasi.
Uji ketelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah uji Short.
Uji ini dilakukan karena luas wilayah penelitian yang bisa dijangkau sehingga
setiap kelas penggunaan lahan akan diambil beberapa sampel sesuai dengan luas
wilayah yang ada. Setelah itu hasil cek lapangan akan dibandingkan dengan hasil
peta tentatif yang ada.
Menurut campbell (1983) dalam Danoedoro (2005) nilai ambang akurasi
keseluruhan adalah sebesar 85%. Nilai tersebut digunakan sebagai nilai minimum
28
untuk diterimanya suatu pemetaan penutup/penggunaan lahan berbasis citra
penginderaan jauh. Sedangkan ketelitian interpretasi atau klasifikasi menurut
jensen (sutanto 1999) merupakan fungsi dari tema studi, kesesuaian lokasi studi,
karakteristik objek (jenis, ukuran, bentuk, distribusi), kemampuan sensor dan
resolusi metode klasifikasi.
2.8 Kajian yang relevan
Gutama dkk dalam penelitian yang berjudul “ Analisis Perbandingan
Ketelitian Pengukuran Luasan Bidang Tanah Antara Citra Satelit Alos
Prism dan Formosat-2 “ Sebagai citra beresolusi tinggi, ALOS PRISM dan
FORMOSAT-2 dapat digunakan untuk memperbaharui peta yang sudah ada
selama ketelitian dan hasil yang diperoleh memenuhi ketentuan yang disyaratkan.
Penelitian mengenai kemampuan keduanya dalam mengukur luasan bidang tanah
memungkinkan pembuatan peta-peta skala besar dari citra satelit ini.
Dalam penelitian ini, citra ALOS PRISM dan FORMOSAT-2 dipotong, lalu
dikoreksi geometrik menggunakan metode polinomial orde kedua dengan 7 GCP.
Sampel bidang tanah pada citra diukur untuk mendapatkan data panjang dan luas.
Uji t dilakukan pada hasil pengukuran menggunakan derajat kepercayaan 5%.
Kemudian hasilnya dibandingkan dengan data bidang tanah BPN untuk
mendapatkan nilai ketelitian dan akurasinya.
Berdasarkan hasil koreksi geometrik, diperoleh RMSE sebesar 0,619 untuk
ALOS PRISM dan 0,354 untuk FORMOSAT-2. Selain itu, diperoleh standar
deviasi 0,590 untuk ALOS PRISM dan 0,522 untuk FORMOSAT-2. Persentase
perbedaan luas antara pengukuran pada data acuan dengan hasil dijitasi sampel
pada citra adalah sebesar 1,83% untuk FORMOSAT-2 dan 4,01% untuk ALOS
PRISM. Dari penelitian ini, disimpulkan bahwa citra FORMOSAT-2 mempunyai
ketelitian dan akurasi posisi yang lebih baik daripada citra ALOS PRISM. Untuk
cakupan wilayah yang sempit FORMOSAT-2 lebih efektif digunakan karena
ketelitian dan akurasinya lebih baik daripada ALOS PRISM. Untuk cakupan
wilayah yang luas, citra ALOS PRISM lebih efisien digunakan karena lebih murah
dengan ketelitian dan akurasi yang relatif sama
29
Cevalda dkk dalam penelitian yang berjudul “ Pemetaan Mangrove
Dengan Teknik Image Fusion Citra Spot Dan Quickbird Di Pulau Los Kota
Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau” Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui kemampuan dari citra hasil fusi dalam mendeteksi mangrove,
menghitung luasan mangrove, dan memetakan vegetasi mangrove yang ada di
pulau Los. Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2012 hingga April 2013
dengan menggunakan metode Principal Component Analysis.
Objek yang dikaji adalah mangrove di pulau Los. Hasil dari penelitian ini
adalah nilai korelasi koefisien sebesar 0,854600386-0,966323207, Root Mean
Square Error sebesar 1,449990716-2,854063346, ketepatan klasifikasi mangrove
sebesar 86,67% dengan ketepatan total sebesar 88%, koefisien kappa sebesar 0,79
dan hasil interprestasi citra fusi di pulau Los dengan luasan mangrove sebesar
10,6140293 hektar.
2.9 Kerangka Berfikir
Pemetaan ini pada umumnya di arahkan kepada pemerintah untuk dapat
mengetahui keadaan pengunaan lahan seperti pulau mohinggito yang kurang di
perhatikan oleh pemerintah setempat. Kawasan pulau mohinggito ini tidak
terlepas dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Potensi yang dimiiki kawasan
Pulau mohinggito cukup baik, dapat dilhat baik dari potensi alam berupa pantai,
hewan endemic dan potensi perikanan. Dengan melihat kurangnya perhatian dari
pemerintah dalam pembuatan tentang kondisi pulau-pulau kecil yang berada di
Kecamatan Anggrek serta kondisi sumber daya yang ada di pulau tersebut.
Penelitian ini berfokus pada uji ketelitian citra Quickbird untuk interpretasi
penggunaan lahan ( pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kerangka berpikir penelitian berikut.
Citra Quickbird
Pengolahan Citra
Koreksi INPUT
30
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Interpretasi
Kerja Lapangan
Analisis
Peta Hasil Penelitian
Uji Ketelitian
PROSES
OUTPUT
31
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau mohinggito, Kecamatan Anggrek,
Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Penelitian dilaksanakan pada
Bulan April 2014 sampai Bulan Juni 2014
Gambar 3.1 Citra lokasi penelitian
3.2 Alat Penelitian
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel
berikut ini :
Tabel 3.1 Jenis alat dan kegunaanya
No Jenis Alat Kegunaan Alat
1 Kompas Penunjuk Arah
2 Kamera Pengambilan gambar di lapangan
3 GPS Penentuan titik koordinat
4 Kertas/Plastik Transparan Kelengkapan peta
5 Alat tulis menulis dan buku Pencatatan data lapangan
6 Aplikasi Envi 4.2 Pengolahan citra
7 Aplikasi Arc GIS 9.3 Pembuatan Peta
8 Laptop Pembuatan Peta dan pengolahan citra
LOKASI PENELITIAN
32
3.3 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Peta RBI skala 1: 50.000 Kabupaten Gorontalo Utara
2. Citra Satelit Quickbird Pulau Mohinggito rekaman bulan juni tahun 2012
3.4 Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah interpretasi penggunaan lahan Pulau
Mohinggito menggunakan citra satelit quickbird.
3.5 Jenis dan Sumber Data
3.5.1 Data Primer
Adapun data primer yang didapat dari penelitian ini adalah data
penggunaan lahan yang diperoleh melalui interpretasi citra quickbird yang uji
keabsahannya melalui cek lapangan di lokasi penelitian dengan mengambil
sampel sesuai kelas penggunaan lahan.
3.5.2 Data sekunder
Adapun data sekunder yang mendukung penelitian ini adalah peta rupa
bumi dan beberapa jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
3.6 Pelaksanaan Penelitian
Tahap-tahap penelitian
Agar lebih jelas dan terinci, maka berikut ini disajikan tahapan-tahapan
yang ditempuh dalam melakukan penelitian.
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan sebagai berikut.
a. Studi pustaka; sebagai acuan perumusan masalah, menjelaskan satelit
quickbird, penggunaan lahan, kelas penggunaan lahan.
b. Pengumpulan data yang berkaitan dengan penelitian seperti citra quickbird
dan peta RBI
c. Survai awal untuk mengetahui gambaran umum wilayah penelitian
2. Tahap Pekerjaan Laboratorium I
Tahap ini meliputi kegiatan sebagai berikut.
33
a. Koreksi geometrik untuk memperbaiki posisi citra satelit quickbird agar
mendekati posisi sebenarnya di permukaan bumi. Koreksi dilakukan
menggunakan aplikasi ENVI 4.2
b. Melakukan interpretasi citra untuk pemetaan penggunaan lahan. Pemetaan
penggunaan lahan dilakukan secara visual ( digitizer on screen) dengan
memperhatikan unsur-unsur interpretasi citra sateliti. Ada 3 unsur yang
dipakai dalam melakukan interpretasi ini yaitu Rona, Warna dan tekstur
c. Membuat peta tentatif penggunaan lahan Pulau Mohinggito. Peta tentative
adalah peta yang dihasilkan sebelum dilakukan cek lapangan.
3. Tahap Pekerjaan Lapangan
Pekerjaan lapangan yang akan dilakukan sebagai berikut.
a. Melakukan cek atas hasil interpretasi penggunaan lahan yang meliputi
pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove.
b. Pengambilan gambar lokasi yang dijadikan sampel penelitian
c. Wawancara dengan penjaga Pulau Mohinggito
4. Tahap Pekerjaan Laboratorium II
a. Interpretasi ulang dan perbaikan hasil interpretasi setelah dilakukan kerja
lapangan. Tujuan interpretasi ulang adalah untuk memperbaiki kesalahan
interpretasi, baik kesalahan dari interpreter atau kesalahan produksi.
b. Membuat peta penggunaan lahan hasil cek lapangan
c. Melakukan uji ketelitian hasil interpretasi untuk mengetahui ketelitian
pembuatan dan uji ketelitian pengguna. Uji ketelitian menggunakan metode
Short Formula I yaitu dengan melakukan pengeekan setiap obyek yang
dijadikan sampel untuk setiap kelas penggunaan lahan.
5. Tahap Penyelesaian
a. Pembuatan peta titik sampel penelitian lokasi penelitian.
b. Keluaran dilakukan dengan mencetak peta penggunaan lahan Pulau
Mohinggito sesuai hasil cek lapangan dan reinterpretasi.
34
3.7 Analisis Data
Uji hasil ketelitian citra dalam penelitian ini menggunakan metode short
(susanto, 1999) yang dapat dilihat pada tabel.
Tabel 3.2 Uji ketelitian interpretasi
Kategori
lapangan
Kategori hasil interpretasi
Jumlah Omisi Komisi Ketelitian
pemetaan A B C D
A
B
C
D
Jumlah
Keterangan
A,B,C,D = Jenis Objek
Omisi = Jumlah semua obyek bukan X pada garis X
Komisi = Jumlah semua obyek bukan X pada jalur X
Rumus ketelitian interpretasi (Kp) Sutanto, 1999)
Kp
=�����ℎ �� �� � ��� �����
Jumlah obyek X yang betul + Jumlah omisi obyek X + Jumlah komisi obyek X
35
Citra Quickbird
Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik
Peta RBI
Interpretasi
Kelas Penggunaan Lahan
Peta Tentatif Penggunaan Lahan
Cek Lapangan
Reinterpretasi
Peta Titik Sampel
Uji Ketelitian Interpretasi
Peta Penggunaan Lahan
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian
36
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas hasil penelitian dan analisis data baik data hasil cek
lapangan maupun hasil analisis laboratorium sampai diperoleh hasil akhir berupa
peta penggunaan lahan Pulau Mohinggito. Hal-hal yang dibahas pada bab ini
mencakup pembahasan tentang data yang diperoleh, tinjauan atas aplikasi
penginderaan jauh, hasil yang diperoleh dan pemetaan penggunaan lahan di Pulau
Mohinggito.
4.1. Hasil Penelitian
Pada sub bab ini akan diuraikan tentang semua hasil yang diperoleh
selama penelitian, yaitu pemetaan penggunaan lahan berupa pemukiman, kebun
campuran, semak belukar dan mangrove menggunakan citra quickbird tahun 2012
yang dipadukan dengan data hasil cek lapangan tahun 2014.
4.1.1. Pemukiman
Hasil interpretasi citra quickbird pada daerah penelitian menunjukkan tiga
titik sampel lokasi pemukiman penduduk yang ada di Pulau Mohinggito tersebar
di tiga titik terpisah dengan luas dengan luas 359 m2. Dari ketiga pemukiman ini
hanya di bagian selatan Pulau Mohinggito yang dijadikan pemukiman tetap,
sedangkan 2 titik lainnya hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu misalnya
pada saat panen kelapa dan mengolah lahan pertanian . Luas pemukiman
penduduk di pulau ini hanya 0,12 % dari luas Pulau Mohinggito.
4.1.2. Semak Belukar
Hasil interpretasi citra quickbird daeran penelitian menunjukkan semak
belukar merupakan area yang menjadi bagian terluas dari Pulau Mohinggito. Luas
semak belukar pada daeran ini adalah 237. 421 m2 yang berada di bagian tengah
dari pulau ini.
37
Semak belukar di pulau ini merupakan habitat tempat hidup dari burung
endemik pulau Sulawesi yaitu burung maleo. Hal ini berdasarkan hasil cek
lapangan peneliti yang menemukan kawanan burung maleo serta hasil wawancara
dengan penduduk setempat.
Dari total luas semak belukar ini didapatkan persentase 81, 94 % dari
seluruh luas Pulau Mohinggito.
4.1.3. Kebun Campuran
Hasil interpretasi citra quickbird di Pulau Mohinggito diketahui luas
daerah yang dimanfaatkan oleh penduduk di pulau ini untuk menjadi kebun
campuran ( kelapa, mangga, cabe) adalah 17.008 m2.
Kebun campuran terdapat di dua wilayah yaitu bagian timur Pulau
Mohinggito dengan luas 6.415 m2 yang baru dibuka oleh penduduk pada tahun
2013 dan di bagian barat selatan Pulau Mohinggito dengan luas 10.593 m2. Luas
kebun campuran di pulau ini adalah 5, 87 % dari luas keseluruahn Pulau
Mohinggito.
4.1.4. Mangrove
Hasil interpretasi citra untuk mangrove menunjukkan luas daerahnya
diperoleh 34.950 m2 yang berada di bagian barat pulau mohinggito dan berbatasan
dengan Pulau Saronde. Kondisi mangrove dipulau ini berdasarkan hasil cek
lapangan masih baik dan terjaga kelestariannya sehingga belum ada kerusakan
akibat ulah perbuatan manusia.
Dari luas mangrove di pulau ini maka diperoleh persentase luas 12,06 %
dari luas keseluruahn dari Pulau Mohinggito.
38
4.2. Pembahasan
4.2.1 Interpretasi Citra Quickbird
Faktor fisik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam pemetaan
penggunaan lahan pada penelitian ini diperoleh dari hasil interpretasi citra satelit
quickbird tahun 2012. Untuk mengetahui tingkat ketelitian ketelitian interpretasi
perlu dilakukan uji ketelitian agar dapat diketahui seberapa besar tingkat ketelitian
hasil interpretasi dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. Adapun tingkat
ketelitian dari interpretasi sangat tergantung pada resolusi citra dan kualitas dari
citra yang dipakai. Ketelitian interpretasi citra ini akan sangat mempengaruhi
keakuratan data di lapangan
4.2.2. Interpretasi Pemukiman
Hasil interpretasi pemukiman yang dilakukan cek lapangan pada tiga titik
yaitu titik 1 (486 402 BT dan 101 750 LU ), titik 2 ( 486 219 BT dan 102 135 LU)
dan titik 3 ( 486 102 BT dan 101802 LU) menunjukkan pemukiman setelah di
cek lapangan.
Dari hasil ini maka diperoleh uji ketelitian interpretasi pemukiman
menggunakan citra quickbird di Pulau Mohinggito adalah 100 %.
Tabel 4.1 Data lapangan uji ketelitian pemukiman
No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan
1 486 402/101 750
39
2 486 219/102 135
3 486 080/102 208
4.2.3. Interpretasi Semak Belukar
Hasil uji ketelitian interpretasi citra quickbird untuk semak belukar
dilaukan pengecekan pada 5 titik yang berbeda pada Pulau Mohinggito. Dari lima
titik tersebut ada satu titik yang telah beralih fungsi menjadi kebun campuran
yaitu pada titik koordinat 486 219 BT dan 102 133 LU.
Setelah dilakukan wawancara dengan penduduk setempat maka menurut
penuturan meraka, lahan ini diolah pada tahun 2013 menjadi kebun campuran.
Tabel 4.2 Data lapangan uji ketelitian semak belukar
No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan
1 486 049/101 808
40
2 485 956/101 858
3 485 352/101 979
4 486 219/102 133
5 486 221/102 138
4.2.4. Interpretasi Kebun Campuran
Berdasarkan hasil cek lapangan untuk kebun campuran yang dilakukan
pada tiga titik lokasi sampel, maka semua sampel menunjukan kondisi yang sama
seperti pada citra yaitu kebun campuran .
41
Tabel 4.3 Data lapangan uji ketelitian kebun campuran
No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan
1 486 402/101 751
2 486 172/102 060
3 486 217/102 131
4.2.5. Interpretasi Mangrove
Hasil cek lapangan untuk penggunaan lahan berupa mangrove dilakukan
pada tiga titik sampel penelitian. Pada titik 1 dengan koordinat 486 923 BT dan
101 935 LU setelah dicek di lapangan menunjukkan mangrove dengan kondisi
yang jarang. Pada titik 2 dengan koordinat 485 922 BT dan 101 989 LU
menunjukkan obyek mangrove dengan kondisi rapat.
Begitu pula pada titik 3 ( 486 011 dan 102 223 LU menunjukkan obyek di
lapangan berupa mangrove dengan kondisi yang masih rapat.
42
Tabel 4.4 Data lapangan uji ketelitian mangrove
No Titik Koordinat ( BT /LU) Foto Lapangan
1 485 923/101 935
2 485 922/101 989
3 486 011/102 223
4.3. Uji Ketelitian Interpretasi Citra Quickbird
Uji hasil ketelitian citra dalam penelitian ini menggunakan metode short
(susanto, 1999) yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.5 Uji ketelitian interpretasi penggunaan lahan citra satelit quickbird
tahun 2012
43
Kategori
lapangan
Kategori hasil interpretasi
Jumlah Omisi Komisi Ketelitian pemetaan
Pmk Smb Kc Mv
Pmk 3 0 0 0 3 0
0 3
3 + 0 + 0× 100% = 100%
Smb 0 4 1 0 4 1
0 4
4 + 1 + 0× 100% = 80%
Kc 0 0 3 0 3 0
0 3
3 + 0 + 0× 100% = 100%
Mv 0 0 0 3 3 0
0 3
3 + 0 + 0× 100% = 100%
Jumlah 3 4 4 3 14 1 0 100% + 80% + 100% + 100%
4= 95 %
Keterangan :
Pmk : Pemukiman
Smb : Semak Belukar
Kc : Kebun Campuran
Mv : Mangrove
44
Peta Penggunaan Lahan Pulau Mohinggito
45
4.3.1. Pemukiman
Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 3 sampel yang dijadikan lokasi cek
lapangan. Dari tiga lokasi tersebut semuanya menunjukkan obyek pemukiman di
lapangan sehingga nilai omisi adalah 3 karena semua nilai x benar. Nilai komisi
adalah 0 karena tidak ada obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari nilai tersebut
maka hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 100 % setelah dihitung melalui
nilai obyek yang sesuai dibagi dengan nilai obyek yang sesuai dan penjumlahan
nilai omisi dan nilai komisi.
4.3.2. Semak Belukar
Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 5 sampel yang dijadikan lokasi cek
lapangan. Dari lima lokasi tersebut 4 menunjukkan obyek semak belukar di
lapangan sehingga nilai omisi adalah 4 karena hanya 4 nilai x benar. Nilai komisi
adalah 1 karena 1 obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari nilai tersebut maka
hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 80 % setelah dihitung melalui nilai
obyek yang sesuai dibagi dengan nilai obyek yang sesuia dan penjumlahan nilai
omisi dan nilai komisi.
4.3.3. Kebun Campuran
Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 3 sampel yang dijadikan lokasi cek
lapangan. Dari tiga lokasi tersebut semuanya menunjukkan obyek kebun
campuran di lapangan sehingga nilai omisi adalah 3 karena semua nilai x benar.
Nilai komisi adalah 0 karena tidak ada obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari
nilai tersebut maka hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 100 % setelah
dihitung melalui jumlah obyek yang sesuai dibagi dengan jumlah obyek yang
sesuai dan penjumlahan nilai omisi dan nilai komisi.
4.3.4. Mangrove
Dari tabel uji interpretasi menunjukkan 3 sampel yang dijadikan lokasi cek
lapangan. Dari tiga lokasi tersebut semuanya menunjukkan obyek mangrove di
lapangan sehingga nilai omisi adalah 3 karena semua nilai x benar. Nilai komisi
46
adalah 0 karena tidak ada obyek lain yang berbeda di lapangan. Dari nilai tersebut
maka hasil uji interpretasi citra memperoleh hasil 100 % setelah dihitung melalui
nilai obyek yang sesuai dibagi dengan nilai obyek yang sesuai dan penjumlahan
nilai omisi dan nilai komisi.
Dari semua hasil interpretasi penggunaan lahan di Pulau Mohinggito maka
diperoleh ketelitian interpretasi citra quickbird untuk Pemetaan penggunaan laha
di Pulau Mohinggito adalah 95 % yang didapat dari rata-rata nilai ketelitian
pemukiman, semak belukar, kebun campuran dan mangrove.
47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Hasil uji ketelitian interpretasi citra quickbird Pulau Mohinggito untuk
semua obyek kelas penggunaan lahan yang dapat disadap dikategorikan
sangat baik karena mencapai 95 %. Untuk pemukiman ketelitian citra
mencapai 100 %, begitu pula untuk kebun campuran dan mangrove
mencapai 100 %, sedangkan tingkat ketelitian citra untuk interpretasi
semak belukar mencapai 80 %.
2. Penggunaan citra quickbird untuk pemetaan penggunaan lahan di Pulau
Mohinggito sangat baik karena citra mempunyai resolusi yang tinggi dan
memberikan infomasi yang jelas dan detail untuk semua karakteritik
fisik lahan.
5.2. Saran
1. Sebaiknya dilakukan pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra
satelit quickbird dengan metode yang berbeda dan uji ketelitian citra
yang berbeda
2. Pemerintah daerah perlu membuat pemetaan seluruh sumberdaya alam
yang terdapat di pulau-pulau terluar agar bisa dimanfaatkan secara
optimal sesuai peruntukannya.
48
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed A. Land use/land cover change dynamics of a district with one of the
highest population growth rate in India: A geo-spatial approach. 2012
Journal
Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics . Michigan State University,
Printice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey
Dahuri, R., J. Rais, S. P Ginting, dan M.J Sitepui., 2001. Pengelolaan Sunber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita.
Jakarta
Jr, Gibson W. L, R. H Hild reth, dan Gene Wunderlich. 1966. Methods for Land
Economics Research . University of Nebraska Press. Lincoln
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.
Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
Lillesand T. M. and R.W. Keifer. 1994. Remote Sensing and Image
Interpretation. John Willey and Sons, New York.
Malingreau. Remote Sensing for Natural Resources Surveys New Approaches in
Quantitative Analysis. Seminar Soils Department Faculty of Agriculture
UGM February l9, 1983 Jean-Paul Malingreau
Malingreau J.P., 1978. Penggunaan Lahan Pedesaan Penafsiran Citra untuk
Inventarisassi dan Analisanya. Pusat Pendidikan Interpretasi Citra
Penginderaan Jauh dan Survei Terpadu UGM- BAKOSURTANAL,
Yogyakarta
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta
Supriharyono., 2000. Pelestarian dan pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
49
Sandy, I Made.Geografi regional: buku teks/I Made Sandy. UI Press
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Sitorus, Santun R.P. Evaluasi Sumberdaya Lahan . Tarsito. Bandung 2000
Sepriyanto B. P evaluasi perubahan penggunaan lahan dengan interpretasi citra
quickbird terhadap peta hasil RDTRK Surabaya (studi kasus kecamatan
sukolilo) 2009