Download - Makalah SSP
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia,
namun produksi daging sapi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
karena populasi dan tingkat produktivitas ternak rendah. Laju peningkatan
populasi sapi potong relatif lamban, sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk
dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama
dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk
mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional.
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan
pola kemitraan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keuntungan
peternak. Kemitraan adalah jalinan kerjasama yang saling menguntungkan antara
pengusaha kecil dengan pengusaha menengah/besar (Perusahaan Mitra) disertai
dengan pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha besar, sehingga saling
memerlukan, menguntungkan dan memperkuat. Pemeliharaan sapi potong dengan
pola seperti ini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi
nasional yang hingga kini belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang
terus meningkat.
Di sisi lain, kebutuhan akan daging semakin meningkat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan
pentingnya protein hewani bagi manusia, hal ini merupakan peluang bagi usaha
pengembangan sapi potong, sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya
1
perlu terus dilakukan. Makalah ini bertujuan untuk mengulas usaha ternak sapi
potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan. Untuk mencapai efisiensi
usaha yang tinggi, diperlukan pengelolaan usaha secara terintegrasi dari hulu
hingga hilir serta berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan, sehingga dapat
memberikan keuntungan yang layak secara berkelanjutan.
Permasalahan
Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan dalam makalah ini adalah
bagaimana pengembangan usaha ternak sapi potong dengan pola kemitraan.
2
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Perkembangan Sapi Potong
Kebutuhan akan daging semakin meningkat seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya
protein hewani bagi manusia, Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami
peningkatan, namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan
produksi yang memadai.
Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,23% pada
tahun 2007, kondisi tersebut menyebabkan sumbangan sapi potong terhadap
produksi daging nasional rendah, sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar
antara permintaan dan penawaran (Suryana, 2009).
Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 399.660 ton,
atau setara dengan 1,70−2 juta ekor sapi potong, sementara produksi hanya
288.430 ton. Pemerintah memproyeksikan tingkat konsumsi daging pada tahun
2010 sebesar 2,72 kg/kapita/tahun sehingga kebutuhan daging dalam negeri
mencapai 654.400 ton dan rata-rata tingkat pertumbuhan konsumsi 1,49%/tahun,
Populasi sapi potong pada tahun 2007 tercatat 11,366 juta ekor (Suryana, 2009).
Populasi tersebut belum mampu mengimbangi laju permintaan daging sapi
yang terus meningkat. Untuk mengantisipasinya, pemerintah melakukan impor
daging sapi dan sapi bakalan untuk digemukkan. Kebijakan impor tersebut harus
dilakukan walaupun akan menguras devisa negara, karena produksi daging sapi
3
lokal belum mampu mengejar laju peningkatan permintaan di dalam negeri, baik
kuantitas maupun kualitasnya.
Faktor pendorong pengembangan sapi potong adalah permintaan pasar
terhadap daging sapi yang makin meningkat, ketersediaan tenaga kerja besar,
adanya kebijakan pemerintah yang mendukung upaya pengembangan sapi potong,
hijauan pakan dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun, dan usaha
peternakan sapi lokal tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global (Kariyasa,
2005).
Rendahnya populasi sapi potong antara lain disebabkan sebagian besar
ternak dipelihara oleh peternak berskala kecil dengan lahan dan modal terbatas
(Kariyasa, 2005).
Pola usaha sebagian besar adalah perbibitan atau pembesaran anak, dan
hanya sebagian kecil peternak yang mengkhususkan usahanya pada penggemukan
ternak, pola usaha perbibitan secara ekonomis kurang menguntungkan, namun
usaha tersebut masih tetap berkembang (Suryana, 2009).
Alasan pentingnya peningkatan populasi sapi potong dalam upaya
mencapai swasembada daging antara lain adalah:
1. subsektor peternakan berpotensi sebagai sumber pertumbuhan baru pada
sektor pertanian,
2. rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan terus
bertambah,
4
3. tersebarnya sentra produksi sapi potong di berbagai daerah, sedangkan
sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan
perekonomian regional, dan
4. mendukung upaya ketahanan pangan, baik sebagai penyedia bahan pangan
maupun sebagai sumber pendapatan yang keduanya berperan
meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan (Kariyasa 2005).
Oleh karena itu, potensi sapi potong perlu dikembangkan, terutama untuk
meningkatkan kontribusinya dalam penyediaan daging untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang terus meningkat.
B. Pemeliharaan dan Usaha Ternak Sapi Potong
Potensi sapi potong lokal sebagai penghasil daging belum dimanfaatkan
secara optimal melalui perbaikan manajemen sapi potong memiliki beberapa
kelebihan, yaitu daya adaptasinya tinggi terhadap lingkungan setempat, mampu
memanfaatkan pakan berkualitas rendah, dan mempunyai daya reproduksi yang
baik (Santosa, 2007)
Sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi tiga,
yaitu: intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed farming). Pada pemeliharaan
secara intensif, sapi dikandangkan secara terus-menerus atau hanya dikandangkan
pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Pada pemeliharaan
ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian
menetap atau di hutan (Sugeng 2006).
Dari kedua cara pemeliharaan tersebut, merupakan usaha rakyat dengan
ciri skala usaha rumah tangga dan kepemilikan ternak sedikit, menggunakan
5
teknologi sederhana, bersifat padat karya, dan berbasis azas organisasi
kekeluargaan (Suryana, 2009).
Berdasarkan skala usaha dan tingkat pendapatan peternak, Anggraini
(2003) mengklasifikasikan usaha peternakan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. peternakan sebagai usaha sambilan, yaitu petani mengusahakan komoditas
pertanian terutama tanaman pangan, sedangkan ternak hanya sebagai
usaha sambilan untuk mencukupi kebutuhan keluarga (subsisten) dengan
tingkat pendapatan usaha dari peternakan < 30%,
2. peternakan sebagai cabang usaha, yaitu peternak mengusahakan pertanian
campuran dengan ternak dan tingkat pendapatan dari usaha ternak
mencapai 30−70%,
3. peternakan sebagai usaha pokok, yaitu peternak mengusahakan ternak
sebagai usaha pokok dengan tingkat pendapatan berkisar antara 70−100%,
dan
4. peternakan sebagai industri dengan mengusahakan ternak secara khusus
(specialized farming) dan tingkat pendapatan dari usaha peternakan
mencapai 100%.
Usaha peternakan komersial umumnya dilakukan oleh peternak yang
memiliki modal besar serta menerapkan teknologi modern, usaha peternakan
memerlukan modal yang besar terutama untuk pengadaan pakan dan bibit.
Biaya yang besar ini sulit dipenuhi oleh peternak pada umumnya yang
memiliki keterbatasan modal, untuk mengantisipasi permasalahan tersebut salah
6
satu upaya dalam rangka pengembangan sapi potong dapat ditempuh melalui
penguatan kelembagaan peternak melalui kemitraan usaha sapi potong.
C. Kemitraan Usaha Ternak Sapi Potong
Salah satu usaha mengembangkan usaha ternak sapi potong di Indonesia
adalah melalui sistem kemitraan, kemitraan dimaksudkan sebagai upaya
pengembangan usaha yang dilandasi kerja sama antara perusahaan dan peternakan
rakyat, dan pada dasarnya merupakan kerja sama vertikal, kerja sama tersebut
mengandung pengertian bahwa kedua belah pihak harus memperoleh keuntungan
dan manfaat.
Garis besar alasan peternak bermitraan, yaitu (a) kekurangan modal usaha;
(b) mengurangi risiko kegagalan/kerugian; (c) untuk memperoleh jaminan
kepastian penghasilan; (d) untuk memperoleh jaminan kepastian dalam
pemasaran; (e) untuk mendapatkan jaminan kepastian supply sapronak; dan (f)
untuk memanfaatkan kandang yang sedang kosong (Supriyatna, 2006).
Menurut Saptana (2006), kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama
berbagai pelaku agribisnis, mulai dari kegiatan praproduksi, produksi hingga
pemasaran. Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan kedudukan, saling
membutuhkan, dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara
pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya, risiko, dan manfaat.
Sistem kemitraan usaha ternak sapi potong masih kurang, karena ternak
sapi potong belum banyak melakukan kemitraan, bentuk kerjasama yang ada saat
ini baru sebatas dalam bentuk kelompok, masih terpisah antara unit usaha yang
satu dengan yang lain, hanya unit pakan dan bibit yang dikelola bersama,
7
Sementara itu peluang bisnis sapi potong sangat besar, karena ketersediaan sapi
potong di dalam negeri masih jauh dari kebutuhan.
Dengan kondisi seperti di atas, sistem kemitraan layak mendapatkan peran
yang signifikan, dengan sistem kemitraan, maka kekurangan-kekurangan tersebut
akan mampu diatasi sehingga bisnis sapi potong benar-benar bisnis yang
menggairahkan.
Sugeng (2002) mengemukakan salah satu model kemitraan ternak sapi
potong yaitu model kemitraan ternak sapi potong berbasis kelompok tani atau
koperasi melalui pola pendampingan usaha, dalam model ini, pihak pemerintah,
eskportir, dan perbankan atau investor atau BUMN ikut berperan aktif dalam
melalukan fungsinya masing-masing guna memprakarsai terbentuknya perusahaan
inti.
Perusahaan inti disini meliputi pengadaan pakan dan bibit sendiri serta
pasar bagi hasil-hasil produk peternakan dari kelompok atau koperasi selaku
plasma. Pola pendampingan yang dilakukan oleh suatu lembaga adalah dengan
cara pembinaan teknis dan manajemen. Lembaga pendamping tersebut ditunjuk
oleh bank atau investor atau BUMN (Sugeng, 2002).
Menurut Anonim (2010), pola kemitraan antara petani/kelompok
tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu :
1. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan
perjanjian kerjasama langsung kepada perusahaan.
8
Gambar 1. Pola Kemitraan dengan Kerjasama Langsung
Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit kepada petani
plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Channeling Agent, dan
pengelolaannya langsung ditangani oleh kelompok tani, sedangkan masalah
pembinaan harus bisa diberikan oleh perusahaan mitra.
2. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui
koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara koperasi (mewakili
anggotanya) dengan perusahaan mitra.
Gambar 2. Pola Kemitraan dengan Perantara Koperasi
Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian kredit kepada petani
plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah
pembinaan teknis pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak
perusahaan mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi.
9
PERUSAHAAN INTI
Kemitraan usaha agribisnis ini merupakan hubungan bisnis antara inti dan
plasma dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis
yang saling terkait dengan tujuan untuk mencapai keuntungan bersama dengan
dilandasi rasa saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Penerapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak
perusahaan perlu dilakukan sebagai upaya agar usaha ternak sapi potong, baik
sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya tersebut
meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen. Oleh
karena itu, melalui kemitraan, baik yang dilakukan secara pasif maupun aktif akan
menumbuhkan jalinan kerja sama dan membentuk hubungan bisnis yang sehat
(Hermawan, 1998).
Persepsi peternak terhadap sistem usaha agribisnis sapi potong dengan
pola kemitraan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan makin berkembangnya
usaha ternak sapi potong melalui pola kemitraan yang dilakukan oleh beberapa
peternak atau pengusaha peternakan berskala besar karena pola tersebut secara
ekonomis memberikan keuntungan yang layak kepada pihak yang bermitra.
Hal ini sesuai dengan pendapat Roessali (2005), bahwa usaha tani atau
usaha ternak sapi potong rakyat umumnya berskala kecil bahkan subsistem. Bila
beberapa usaha kecil ini berhimpun menjadi satu usaha berskala yang lebih besar
dan dikelola secara komersial dalam suatu sistem agribisnis maka usaha tersebut
secara ekonomi akan lebih layak dan menguntungkan.
10
Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan
pola kemitraan diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi
kesejahteraan masyarakat peternak khususnya, dan perekonomian nasional
umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh manfaat ekonomi yang dihasilkan dari
kegiatan ini yang bernilai positif, yang berarti bahwa pengembangan peternakan
sapi potong dalam negeri mampu menghasilkan surplus ekonomi.
Contoh analisa Pendapatan
Usaha dirancang untuk menghasilkan 20 ekor sapi PO ( peranakan ongole) setiap periode penggemukan.
Satu ekor sapi membutuhkan luas kandang individual 4 m2, sehingga luas kandang yang dibutuhkan 80 m2 (biaya 1 m2 = Rp 250.000,00),
Total biaya pembuatan kandang Rp 20.000.000,00.
Dengan masa pakai 10 tahun maka biaya penyusutan per tahun = Rp 2.000.000,00 atau per 90 hari masa penggemukan = Rp. 500.000,00
Sapi digemukan selama 90 hari. Berat awal sapi bakalan rata-rata 300 kg dengan harga per kg Rp. 17.000,00.
Pertambahan berat badan harian yang diinginkan adalah 0.5 kg per hari, sehingga berat akhir sapi setelah masa penggemukan 90 hari adalah 345 kg.
Maka total pendapatan adalah 20 ekor x 345 x Rp. 17.000,00 = Rp.117.300.000,00
Setiap sapi menghasilkan 10 kg kotoran, sehingga selama periode penggemukan 90 hari seekor sapi menghasilkan 900 kg kotoran dengan harga per kg Rp. 200.
Total pendapatan dari hasil penjualan kotoran sapi 20 ekor x 900 kg x Rp 200,00 = 3.600.000,00
ekonomis memberikan keuntungan yang layak kepada pihak yang
bermitra.
11
Hal ini sesuai dengan pendapat Rencana Investasi
Hasil analisis asumsi keuangan usaha ternak sapi potong volume 20 ekor periode produksi 90 hari dapat dilihat dalam tabel di bawah ini
NO URAIAN SATUAN UNIT
VOLUME HARGA / UNIT (Rp)
NILAI (Rp)
1. Pembuatan Kandang
Meter 80 250.000 20.000.000
2. Pembelian Sapi Bakalan
Ekor 20 5.100.000 102.000.000
3. Pakan Konsentrat Kg 1800 1.000 1.800.000
4. Pakan Hijauan Kg 54.000 100 5.400.000
5. Obat-Obatan botol 20 50.000 1.000.000
Total 130.200.000
Proyeksi Laba Rugi / 90 hari masa penggemukan
No. INVESTASI JUMLAH (Rp)
Biaya Tetap
1. Penyusutan Kandang 500.000,00
2. Penyusutan Peralatan 200.000,00
Biaya Variabel /Produksi
1. Pembelian sapi bakalan 102.000.000,00
2. Pakan konsentrat 1.800.000,00
3. Pakan hijauan 5.400.000,00
Biaya lain-lain
1. Biaya listrik & Telpon 300.000,00
2. Transportasi 500.000,00
Total biaya produksi 110.700.000,00
Pendapatan
1. Penjualan sapi hasil penggemukan 117.300.000,00
2. Penjualan kotoran sapi 3.600.000,00
Total Pendapatan 120.900.000,00
12
Proyeksi laba / rugi (keuntungan) 10.200.000,00
Sistem bagi hasil sebesar 70 : 30 dengan perbandingan 70 % untuk peternak (plasma) dan 30% untuk pemerintah daerah (inti). Maka keuntungan yang diperoleh yaitu :
Pemda sebesar 30% x Rp 10.200.000,00 = Rp 3.060.000,00 Peternak sebesar 70% x Rp 10.200.000,00 = Rp 7.140.000,00
13
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, salah satu
bentuk usaha pengembangan ternak sapi potong adalah kemitraan, model
kemitraan ternak sapi potong yaitu model kemitraan ternak sapi potong berbasis
kelompok tani/koperasi melalui pola pendampingan usaha, dimana Pemerintah
berperan memprakarsai berdirinya perusahaan inti, Perusahaan inti disini meliputi
pengadaan pakan dan bibit sendiri serta pasar bagi hasil-hasil produk peternakan
dari kelompok atau koperasi selaku plasma. Pola pendampingan yang dilakukan
oleh suatu lembaga adalah dengan cara pembinaan teknis dan manajemen.
Pola kemitraan yang digunakan yaitu pertama, petani yang tergabung
dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung
kepada Perusahaan, Kedua, petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok
tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara koperasi
(mewakili anggotanya) dengan perusahaan mitra.
Saran
Adapun saran, sebaiknya kedepannya model kemitraan usaha ternak sapi
potong lebih di kembangkan seperti usaha mitra ternak lainnya .
14