BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum diambil alih oleh Prancis, wilayah Indocina terbagi menjadi tiga
wilayah kesatuan merdeka, yang terpisah secara politik dan budaya. Vietnam yang
terbentang disepanjang daerah pantai timur semenanjung Indocina merupakan sebuah
kerajaan yang beribukota di Hue, dan terdiri atas Anam, Cochincina, dan Tongking,
kaisar-kaisar dari dinasti Nguyen sekali-sekali membayar upeti dan penghormatan ke
Cina, tetapi Cina jarang mencampuri urusan dalam negeri Vietnam. Kampuchea
(Kamboja) di Selatan, juga merupakan kerajaan yang merdeka dan penguasanya
mengakui kekuasaan Vietnam dan Siam (sekarang Thailand). 1887 Prancis
menyatukan semua unit itu dalam satu kekuasaan kolonial. Siam sendiri bertahan
terutama sebagai nagara penyangga antara kekuasaan kolonial Inggris dan Prancis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana awal kedatangan bangsa Perancis di Vietnam.
2. Bagaimana keadaan bangsa Vietnam setelah masuknya Prancis.
1
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Asia Tenggara.
2. Menjelaskan dan memahami awal kedatangan bangsa Perancis di Vietnam.
3. Menjelaskan dan memahami tentang keadaan bangsa Vietnam pasca
kedatangan Prancis.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Penulis maupun pembaca dapat menambah wawasan tentang sejarah Vietnam,
khususnya saat kedatangan Prancis ke Vietnam.
2. Penulis maupun pembaca dapat mengambil pelajaran dari sejarah Vietnam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Invasi Prancis Di Vietnam
Pengaruh Prancis di Vietnam pada akhir abad XVIII melalui Pigneau de
Behaine. Uskup Pigneau memberi bantuan militer kepada Pengeran Nguyen Anh dan
membantunya meraih takhta Vietnam pada 1802. Sebagai ucapan terima kasih
Nguyen memberi perlindungan kepada misi-misi Prancis di Vietnam dan memberi
hak-hak istimewa kepada para pedagang Prancis. Selama masa pemerintahannya
sebagai Gia Long (1802-1820) “bintang” Prancis cerah di Vietnam meskipun
pemerintah Prancis di Eropa tidak berada dalam posisi untuk mengambil keuntungan
dari situasi itu kerena adanya revolusi dan perang-perang Napoleon serta perubahan-
perubahan yang mengikutinya. Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan pada
masa-masa selanjutnya ialah kekecewaan dan frustasi Prancis ketika kebijaksanaan
politik Gia Long yang bersifat toleran tidak diteruskan oleh para penggantinya.
Putra Gia Long keempat sekaligus penggantinya, Kaisar Minh Mang,
membenci orang-orang Prancis dan berupaya untuk mengurangi pengaruh mereka.
Selama masa pemerintahannya (1820-1841) hubungan antara Prancis dan Vietnam
terputus, konsul Prancis dikeluarkan dari Hue, dan pengejaran terhadap kaum
misionaris Katolik dimulai, Minh Mang adalah seorang Konfusius yang mengagumi
kebudayaan Cina dan berusaha mengurangi pengaruh Barat di negerinya.
3
Meskipun ada larangan dari pihak istana terhadap pengikut baru dan
pelaksanaan eksekusi terhadap para misionaris, namun agama Katolik tetap
berkembang. Melajunya inflasi (bach lang=”uang kosong”, seperti petani Vietnam
menyebutnya), bencana alam, garis pantai yang panjang yang tidak dapat diawasi
oleh pihak istana secara efesien, menurunnya tingkat konflik dengan penganut
Buddhisme Vietnam untuk sementara waktu, dan tidak adanya perlawanan dari
golongan bangsawan di provinsi-provinsi baik dalam jumlah maupun secara kualitatif
seperti yang terdapat di Cina. Dinasti Nguyen dan para intelektual membangun
birokrasi konfusius yang berjalan jauh dari kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan
masyarakat dan jauh dari keinginan para petani yang mendukungnya. Dinasti nguyen
tidak pernah benar-benar dapat menegakkan pemerintahan yang sah di tingkat desa,
karena banyak pemberontakan-pemberontakan local yang serius baik di wilayah utara
maupun selatan serta kekacauan berkembang lebih buruk dalam kurun waktu 1840-an
dan 1850-an.
Menjelang akhir masa pemerintahannya Minh-Mang ingin mengubah
kebijaksanaannya menghadapi kaum misionaris Katolik. Kemudian ia mengirim
utusan ke Prancis untuk membicarakan tentang cara-cara pengawasan terhadap kaum
misionaris Katolik, tetapi utusannya tersebut tidak diterima oleh pemerintah Prancis.
Minh-Mang meninggal sebelum ia sempat mengubah kebijakan politiknya. Minh-
Mang kemudian digantikan oleh Thieu-Tri (1841-1847) yang memberlakukan
kebijakan lebih ketat lagi terhadap kaum misionaris Katolik.
4
Pada tahun 1843 dan tahun-tahun selanjutnya Prancis mengirim kapal-kapal
perangnya ke Teluk Tourane untuk menuntut pembebasan para kaum misionaris,
tetapi Thieu-Tri tidak menghiraukannya. Kemudian 1847 terjadilah insiden, yaitu
Prancis berhasil menenggelamkan beberapa kapal Vietnam di pelabuhan. Kejadian itu
merupakan awal kekerasan yang lebih sistematis dari kedua belah pihak.
Kemudian Thieu-Tri digantikan oleh Tu-Duc (1848-1883), melakukan
kebijakan yang lebih keras lagi, bahkan ia membubarkan komunitas Katolik pribumi
dan menghancurkan desa-desa mereka. Antara 1848-1860 diperkirakan 25 pendeta
Eropa, 3000 orang pendeta pribumi, dan 30.000 penganut Katolik dibantai di
Vietnam. Inilah yang menyebabkan Prancis bersikap lebih keras di Vietnam sampai
pada tahun 1858 intervensi Prancis pun mulai permanen.
Ketika Tu-Duc mengizinkan dilaksanakannya eksekusi terhadap uskup
Spanyol dari Tongking, Mgr. Diaz, maka Prancis segera memberikan reaksinya
dengan menuntut kebebasan beragama bagi orang Katolik Vietnam, kemudian
mendirikan perwakilan dagang di Hue, dan mengangkat seorang konsul Prancis.
Ketika tuntutan tersebut ditolak, sebuah tentara gabungan Prancis-Spanyol bergerak
menuju Tourane yang dipimpin oleh Laksamana Genoully. Walaupun mereka
berhasil menduduki benteng Da Nang, tetapi banyak tentara yang tekena wabah
penyakit.
Setelah meninggalkan kekuatan kecil di benteng Da Nang, pada Januari 1859
Laksamana Geneoully bergerak ke hilir delta Sungai Mekong dan menduduki
kompleks pertahanan di Gia Dinh (sekarang: Saigon) pada 17 Februari 1859. Bulan
5
April laksamana Genoully kembali ke Da Nang walaupun sedang terjadi wabah
penyakit seperti kolera, tipus, dan kelesuan karena hawa panas.
Pihak Vietnam juga tetap melakukan perlawanan, akhirnya pada 1862 tercapai
sebuah perjanjian Saigon. Perjanjian ini mensahkan penakhlukan Saigon oleh Prancis,
hal ini membuahkan koloni Prancis yang dikenal sebagai “Cochincina”. Adapun isi
perjanjian tersebut antara lain; umat katolik diizinkan beribadah secara bebas di
seluruh wilayah Vietnam, dibukanya tiga buah pelabuhan untuk perdagangan Prancis
dan untuk tempat tinggal, dan suatu jumlah kerugian perang yang dijanjikan oleh
Kaisar. Pada waktu yang bersamaan ketiga provinsi bagiat timur Cochincina yaitu
Bien Hoa, Gia Dinh, dan My Tho diserahkan kapada Prancis. Kemudian pada 1867
Prancis berhasil menduduki wilayah Cochincina bagian Barat. Hal tersebut
menyempurnakan kekuasaan Prancis di Cochincina.
B. Motivasi Prancis dalam Menguasai Vietnam
Sebanarnya ada fakta menarik dari motivasi Prancis dalam menguasai
Vietnam. Tujuan Prancis saat itu membuat koloni Cochincina bukan ingin
melindungi kaum misionaris mereka, tetapi tujuan yang lebih besar adalah menyaingi
wilayah dari kekuasaan Inggris, karena Prancis sangat terbebani oleh tindakan Inggris
yang terus memperluas daerah jajahan di Asia. Fakta tersebut didapat dari pengakuan
seorang kapten tentara Prancis saat berlangsungnya aneksasi provinsi-provinsi bagian
timur.
6
Intervensi Prancis di Vietnam awalnya sama saja dengan eksploitasi militer
yang bersifat oportunistis dari perlawanan Vietnam terhadap penyebaran agama
Katolik, karena pranata-pranata Vietnam bukanlah dari konsep Barat modern
mengenai pemisahan Negara sebagai pernyataan politik dari ideologi Konfusianisme
yang elite. Apabila agama Katolik mau menerobos di antara kaum elite, maka jelas ia
akan mengubah sifat ideologi kaum elite.
Sistem politik Vietnam tradisional tidaklah terorganisasi dengan baik untuk
mengizinkan persaingan dan pernyataan damai yang tidak menentu dari sudut
pandang yang berbeda dan berlawanan, terutama apabila sudut pandang yang
demikian itu dinyatakan.
Ketika keluarga kekaisaran Vietnam tumbuh lebih besar dalam abad XIX,
maka keluarga itu mulai kehilangan kohesinya dan menimbulkan golongan-golongan.
Proses itu dipercepat dibawah Tu-Duc. Kalau pendahulu-pendahulunya harus
menghadapi pemberontakan-pemberontakan hanya di provinsi-provinsi, maka Tu-
Duc juga senantiasa berjaga-jaga terhadap kudeta dikalangan istana dan rumah
tetangganya sendiri, suatu ciri baru di dalam sejarah dinasti Nguyen. Usaha pertama
untuk menggulingkannya terjadi dalam 1851-1853 oleh saudara tirinya, Pangeran
Hong Bao, yang berharap mengantikan Tieu-Tri pada 1847. Merencanakan untuk
merebut takhta dari jalan kekerasan, Hong Bao membentuk sebuah kelompok yang
terdiri atas pendukung-pendukungnya di Hue, yang bersatu dengan sumpah darah
yang menarik kesetiaan dan bantuan setiap orang katolik pribumi di daerah itu.
Rupanya Hong Bao menjanjikan kebebasan dan bahkan hak-hak istimewa bagi
7
orang-orang katolik pribumi apabila ia berhasil menggusur Tu-Duc. Akan tetapi,
akhirnya, ia ditawan dan dipenjarakan seumur hidup pada 1853.
Dalam 1864-1865 takhta Tu-Duc digoncankan oleh usaha kudeta yang lain,
kali ini lebih bernadakan anti-Katolik. Setelah penandatanganan perjanjian 1862,
yang melepaskan ketiga provinsi di selatan kepada pihak Prancis, kaum elite
Konfusianisme membalikkan kemarahan mereka kepada semua penganut Katolik
pribumi dan Tu-Duc pribadi. Para ilmuan di tempat-tempat berlangsungnya ujian
daerah di Thua Thien, Nghe An, Hanoi, dan Dam Dinh berdemonstrasi menentang
perjanjian yang harus tentara. Kaum elite Vietnam takut terhadap “penghianat” dalam
golongannya sendiri; sebuah pengumuman dari awal 1850 an memberi waktu sebulan
bagi pegawai-pegawai istana yang beragama Katolik secara rahasia untuk menahan
diri; bagi para pegawai provinsi diberi waktu enam bulan. Oleh karena perjanjian
1862 memberi hak kepada orang-orang Prancis untuk menyebarkan agama Katolik di
Vietnam, maka perjanjian itu menimbulkan perang agama antar orang-orang Vietnam
yang Katolik dan mereka yang non-Katolik.
C. Keberadaan Agama Kristen di Vietnam
Pada 1864 seorang pangeran bernama Hong Tap membentuk sebuah
kelompok yang bertujuan untuk merekrut sebuah pasukan liar untuk membunuh
orang Katolik dan orang birokrat tertentu. Dalam keanggotaan kelompok itu
termasuk seorang suami ratu, cucu Minh-Mang, hakim distrik, dan sekitar 25 orang
8
lainnya, yang beberapa diantaranya adalah para putra pejabat tinggi provinsi. Akan
tetapi, komplotan kelompok untuk merebut benteng Hue menemui kegagalan.
Ada segi yang lebih positif dari persebaran agama Katolik diantara misionaris
pegawai Tu-Duc yang keras kepala. Sementara beberapa orang pegawai yang
beragama Katolik yang secara tidak terang-terangan di Hue, yang dijauhkan dari
kaisar dan tidak berdaya untuk menyatakan ketidaksepakatannya acara resmi dalam
budaya politik tradisional yang monistis, bersedia untuk berpartisipasi dalam
persekongkolan seperti konspirasi Hong Bao, maka beberapa ilmuan pribumi Katolik
memadukan agama Katolik mereka dengan loyalitas terhadap Tu-Duc. Dimulai
dengan berfungsi sebagai penengah yang konstuktif antara peradaban Barat dan
istana Vietnam, loyalis Katolik yang demikian itu memperoleh jauh lebih banyak
perubahan dan status quo dari pada kaum birokrat pada umumnya. Hal itu disebabkan
karena satu hal, yaitu mereka tahu lebih banyak mengenai dunia Barat. Lagi pula,
karena menjadi Katolik mereka tidak dapat meningggalkan kekuasaan mereka sendiri
didalam birokrasi dengan mengorbankan kaum konservatif yang menganut
Konfusianisme tanpa ada perubahan didalam sitem itu. Akan tetapi, mereka itu
bukanlah pro Prancis, dan mereka berusaha untuk mempertahankan monarki.
Kelompok kecil menengah Katolik yang loyal dikalangan kaum elite tidak mungkin
keberadaannya dibawah Minh-Mang. Kekacauan dari 1860-an memberi kesempatan
kepada mereka.
Anggota mereka yang terkenal adalah Nguyen Troung To (1827-1871), To
memperoleh pendidikan tradisional dan dapat menulis huruf Cina klasik dengan
9
bagus. Pada usia mudanya ia berkenalan dengan seorang pendeta misi Prancis,
Gauthier, yang mengajarinya bahasa Prancis dan membawanya kembali ke Italia dan
Prancis pada 1850-an. Di Eropa To mengunjungi pabrik-pabrik dan diterima dalam
audiensi dengan Paus Pius IX, yang menghadiahinya 100 buah buku Barat. Setibanya
kembali di Vietnam, sebagai seorang pegawai provinsi Antara 1863 dan 1871, To
mengirim sederetan memorandum kepada Tu-Duc yang didalamnya diusulkan, yang
memang berpengaruh, supaya kaisar memimpin suatu revolusi yang institusional di
Vietnam. Revolusi yang diusulkan To akan memperkuat monarki, tetapi akan
mengubah birokrasi.
Diantara hal-hal yang lain To menganjurkan supaya istana mengurangi jumlah
provinsi, prefektur, dan distrik di Vietnam untuk mengurangi jumlah pegawai yang
tinggal kemudian dapat dinaikkan sebagai alat penangkal terhadap suap dan korupsi.
Selanjutnya To percaya bahwa kekuasaan administrasi dan hukum didalam birokrasi
harus dipisahkan secara eksplisit sesuai dengan “pemisahan kekuasaan” dari doktrin
teori demokrasi barat. To ingin menciptakan sekolah-sekolah militer yang dipimpin
oleh spesialis asing, yang akan menghasilkan sebuah angkatan perang Vietnam
modern sebagai alat pendukung program reorganisasi internnya To meminta suatu
sistem perpajakan yang lebih adil berdasarkan sensus penduduk yang baru dan survei
tanah, meningkatkan pajak dan dia juga mengharapkan supaya koperasi rapat
diorganisasi untuk memperluas perdagangan Vietnam.
Sebagai tambahan harapan untuk membongkar birokrasi konfusianisme yang
tidak mempunyai spesialisasi, To berusaha mengubah stratifikasi sosial yang
10
menghasilkannya, mengakhiri dikotomi tradisional antara penguasa yang melek huruf
dan rakyat yang buta huruf. Dia menghendaki penggunaan huruf Cina dihapuskan
dan diganti dengan huruf latin, sehingga para petani dapat diajarkan membaca dengan
cepat. Jika tujuan jabatan bagi pegawai sipil masih hidup, To akan menekankan
bahwa kelangsungan hidup sistem itu harus memenuhi persyaratan pengetahuan yang
diujikan.
Ide revolusi institusional yang diciptakan oleh orang Katolik yang percaya
akan kelangsungan hidup masyarakatnya, melampaui kapasitas istana Tu-Duc untuk
mewujudkannya. Serangannya terhadap orang yang mempunyai kepentingan tetap
(vested interest) adalah total, para ilmuan konfusianisme, para birokrat, tuan tanah,
dan pedagang asing yang menjadi korban dan dipungut pajak yang lebih berat. Ketika
To meninggal pada 1871 Vietnam mengarah kapada kehancuran yang tidak dapat
dicegah. Akan tetapi, yang terpenting ialah bahwa sejak awal 1860-an sisis luar kaum
elite Vietnam telah banyak dari rekomendasinya yang lebih ambisius daripada
kebijakan modern yang akan dihasilkan oleh para kolonialis Prancis Antara 1880-an
dan 1954. Rezim kolonial Prancis sudah kadaluarsa sebelum diciptakan.
Sejumlah perubahan kecil telah dilakukan di istana Tu-Duc dalam 1860-an.
Misalnya pada 1864, istana melancarkan sebuah program pelajaran bahasa Prancis
dengan mengundang seorang Katolik pribumi, Nguyen Hoang, supaya datang ke Hue
untuk mengajar dan menerjemahkan buku-buku Barat. Akan tetapi, tekanan Prancis
sangat bertubi pada satu sisi yang tidak memungkinkan birokrasi Vietnam menyerah
tanpa menyetujui akan kepunahannya sendiri. hak Prancis untuk mengubah Vietnam
11
kedalam masyarakat yang dibeda-bedakan secara ideologis, sehingga agama Katolik
dapat bersaing dengan birokrasinya secara ideologis dan institusional. Karena tradisi
Vietnam tidak menghasilkan kerangka politik yang dapat menerima dan
mendamaikan konflik yang akan terjadi sinkritisme dari tiga agama tradisional yaitu
Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme, telah memperkecil kebutuhan untuk
memikirkan cara gaya Eropa dalam mengatur koeksistensi agama yang berbeda.
Banyak orang Vietnam menafsirkan apa yang oleh orang Prancis sebagai “kebebasan
beragama” sebagai awal kelumpuhan politik, etika dan social.
Kejadian penting pada 1859 mengakibatkan kekacauan total istana Nguyen.
Sebagian hal itu disebabkan karena masalah kepribadian raja. Raja Tu-duc tidak
memiliki penasehat tingkat tinggi yang berani menghadapi partai ortodoks di istana;
dia didukung ibunya yang ultrakonservatif yang menguasainya. Ditambah lagi Tu-
duc ditimpa penyakit fisik, dan ini sering menyebabkan ia beranggapan bahwa ada
hubungan antara kekurangan perorangan dan kemalangan warisan leluhurnya.
Dari jauh Tu-duc berupaya untuk memerintah unit-unit dan para komandan
secara terus-menerus, bukan karena ia membanggakan dirinya sebagai seorang ahli
strategiamatir melainkan karena menurut teori dan adat itulah cara sebuah dinasti
dapat mempertahankan takhtanya. Sebagai kemungkinan lain, jika perintah militer
didesentralisasikan dan senjata dibagi-bagikan kepada rakyat pedesaan, mungkin
mereka lambat laun dapat mengusik kesatuan tentara Prancis untuk menarik diri.
Akan tetapi, apabila monarki meninggalkan Hue yang sangat mudah untuk diserang
dari laut, dan memindahkan ibukota ketempat lain yang lebih aman, dia akan
12
mengikuti prosedur historis yang sah dan akan dapat memformulasikan suatu
peperangan lama. Akan tetapi dia juga akan menghadapi pokok persoalan yang jauh
lebih banyak terhadap kebutuhan dan permintaan dari pihak rakyat dalam jumlah
yang besar. Akhirnya jika para peninjau dan para utusan dikirim keluar negeri untuk
memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai ancaman dari pihak asing,
memungkinkan mereka akan memberi pengetahuan yang kritis terhadap kepekaan
politik Prancis dan menasihati istana untuk mengadakan perubahan yang perlu. Akan
tetapi ada kemungkinan juga bahwa mereka akan membawa kembali doktrin yang
menafik yang dapat merusak dasar sistem politik Vietnam. Apabila orang terpelajar
melawat keluar negeri atas kehendaknya sendiri dan kembali dengan membawa
saran-saran yang luas, maka mereka itu diperlakukan dengan kecurigaan dan
permusuhan.
Dinasti Nguyen cukup kuat untuk mengendalikan perpecahan didalam negeri
dan memelihara kekuasaannya sendiri-sendiri, tetapi cukup tatapi cukup gelisah
terhadap pendukung-pendukungnya yang tidak bersedia mengambil langkah
pertahanan yang sesuai. Dalam keadaan kritis itu para Mandarin yang selalu dibina
dan diistimewakan oleh raja-raja Nguyen, mungkin diharapkan untuk memberikan
inisiatif. Akan tetapi merekapun bimbang.
Dengan berakhirnya permusuhan-permusuhan di Cina pada 1860, Prancis
dapat menggerakkan tambahan kekuatan angkatan laut dan darat secara besar-besaran
ke Gia Dinh. Kunci peperangan terjadi pada akhir Februari 1861 di Ky-Hoa
(sekarang Chi-Hoa), sebuah kompleks pertahanan yang dibangun dengan sangat
13
seksama oleh jendral Nguyen Tri Phuong tepat diluar kota. Angkatan perang Vietnam
yang agak besar (22.000) tampaknya mempertahankan posisi mereka dengan bandel;
akan tetapi pasukan meriamnya jauh lebih lemah dibandingkan dengan Prancis, dan
akhirnya tentara Vietnam mundur kearah utara ke Bien-Hoa.
Sesudah perang Ky-Hoa ada kemungkinan untuk degenerasi petahanan
Vietnam yang bersifat progresif, terorganisasi secara resmi dan timbulnya perlawanan
regional secara umum didaerah delta sungai Mekong, kebanyakan dipimpin oleh
golongan intelektual lokal yang menolak mengikuti usaha Hue yang menempuh jalan
hati-hati dalam mencari perdamaian yang bersifat kompromis dengan orang barbar.
Laksamana Charner dan Bonard, komandan ekspedisi Prancis yang kemudian
mengikuti strategi yang sama dengan yang diterapkan terhadap Peking, yaitu mereka
memaksakan konsesi-konsesi dari pihak istana, mengikatnya dengan perjanjian dan
kemudian melanjutkannya dengan melindungi dinasti Nguyen dari kemurkaan umum,
mendukungnya sebagai penguasa lokal untuk memelihara status quo yang baru. Ini
merupakan yang pertama dalam rentetan usaha Prancis yang panjang, baik untuk
menakut-nakuti maupun untuk menopang dinasti Nguyen yang berakhir sesudah
1885 dengan sikap tunduk terhadap semua masalah esensial dari pihak orang Vietnam
yang memilih tetap tinggal di Hue. Ini merupakan persekutuan yang keterlaluan yang
akan memelihara banyak aspek kekolotan istana Vietnam pada abad XX.
Sementara itu, sebagian besar penduduk delta sungai Mekong menangani
sendiri masalah yang timbul terjadilah penyerangan terhadap kapal-kapal sungai
milik Prancis, peniadaan bahan pangan ke basis-basis Prancis, pembunuhan terhadap
14
para kolaborator dan pengiriman pesan yang bersifat terus terang kepada wakil istana
untuk mengadakan perlawanan terhadap musuh. Merupakan suatu kader dilema
istana kaitan antara kekuatan militer Prancis yang superior dan meningkatnya para
patriot yang berani dan tegas, antara usaha menciptakan perdamaian dan mendorong
perlawanan yang pada akhirnya tidak ada yang dilakukan secara efektif. Perlawanan
yang tidak teratur cukup mantap pada akhir 1862 dan awal 1863 untuk memeksa unit-
unit prancis untuk mengundurkan diri dari tempat-tempat yang terpencil dan
memusatkan diri secara defensif sementara menunggu bala bantuan.
Pada waktu itu Napoleon III tampaknya mempertimbangkan untuk membuat
beberapa konsesi kepada Hue, tetapi partai kolonial yang sedang tumbuh di Paris dan
khususnya tokoh-tokoh angkatan laut dan para pendeta di Vietnam dapat
membuktikan dengan berdasarkan beberapa kenyataan bahwa Hue telah kehilangan
kekuasaannya di daerah selatan. Para mandarin telah “lenyap”; para “bandit”
berkeliaran semuanya. Oleh karena itu, “kebutuhan” akan pemerintahan langsung
Prancis di daerah delta Sungai Mekong berkembang sebagai akibat perlawanan lokal
yang mengabaikan keinginan-keinginan diplomatis pemerintah Napoleon III di Paris.
Salah seorang pemimpin perlawanan di daerah selatan yang merupakan tokoh yang
paling penting dari tipenya sebelum 1920-an dan 1930-an ialah Truong Dinh (juga
dikenal Troung Cong Din) yang dlahirkan di Vietnam Tengah pada 1820, anak
seorang mandarin militer.
15
D. Dampak Serangan Prancis
Dampak serangan Prancis pada 1867 terhadap istana, golongan intelektual,
dan rakyat biasa sangatlah penting. Dalam arti sempit, politik perdamaian Tu-Duc
menjadi berantakan. Adapun apa yang paling penting dari 1867 adalah bersifat
psikologis. Di antara para Partisan di daerah selatan, peristiwa itu mula-mula berarti
musnahnya tonggak-tonggak utama kebebasn bergerak di sungai-sungai. Hal itu juga
berarti musnahnya harapan, patahnya semangat juang yang mengakibatkan timbulnya
disintegrasi dalam gerakan dan kambuhnya kembali sebagian besar rakyat daerah
delta ke dalam sikap pasrah tanpa kekerasan.
Sebagian besar golongan intelektual yang tidak ikut terbunuh kini memilih
untuk meninggalkan daerah delta untuk selama-lamanya. Bagi tokoh-tokoh
terkemuka desa dan kepala daerah hal itu adalah saatnya untuk mulai, di bawah
dominasi kolonial Prancis, berpikir tentang penyelamatan sesuatu bagi mereka sendiri
dan keluarga mereka. Sampai 1867 hanya sedikit rakyat terpelajar yang bekerja sama
dengan pihak Perancis. Sesudah 1867 alasan-alasan yang lebih positif dan logis untuk
bekerja sama dengan pihak Perancis dikemukakan, misalnya, bersedia untuk
menerima peran bawahan di bawah pemimpin-pemimpin asing demi “keuntungan
yang lebih tinggi” dari perkembangan ekonomi dan teknik.
Disamping para kolaborator terdapat tokoh-tokoh Vietnam yang
mencemoohkan kolaborasi dan yang berusaha meneruskan cita-cita Troung Dinh dan
tokoh-tokoh yang hidup sezaman dengannya. Media mereka biasanya berbentuk puisi
yang merupakan suatu refleksi dari keinginan mereka untuk menyebarluaskan ide-ide
16
mereka di kalangan rakyat. Keadaan jiwa mereka bergerak dari sifat pembunuhan
yang samar-samar tetapi mencekam kepada tulisan-tulisan tentang orang-orang suci,
yaitu mereka yang baru saja kehilangan nyawa dalam penyerangannya terhadap
Prancis. Seorang tokoh penulis yang paling terkenal yang menentang kolaborasi di
daerah selatan ialah Nguyen Dinh Chieu yang dilahirkan di Provinsi Gia Dinh pada
1882 dari keluarga baik-baik, yang kemudian mengalami kebutaan.
Salah satu alasan yang mengilhami Prancis untuk menduduki Cochincina
ialah kekuasaan yang diberikan kepada Perancis atas daerah delta Sungai Mekong.
Mereka melihat kemungkinan, seperti halnya bangsa Inggris di Myanmar, untuk
membuka perdagangan yang menguntungkan dengan Cina dengan melalui Sungai
Mekong masuk ke Yunan. Sebuah ekspedisi dibawah pimpinan Doudrat de Lagree
dan Francis Gamier dikirim untuk mengeksplorasi rute itu, sementara administrasi
Prancis tetap memperkokoh dirinya di Cochincina dalam 1867-1868. Lagree
meninggal di dalam perjalanan, dan meskipun Gamier berhasil maju sampai di
Yunan-fu, dia berpendapat bahwa sungai Mekong kenyataannya tidak dapat
menyediakan rute perdagangan yang mudah ke Cina. Dengan demikian, maka
perhatian Prancis kemudian diarahkan ke Tongking, di mana Sungai Merah agaknya
menawarkan sebuah rute alternative, dan kita akan memasuki fase ekspansi Prancis
berikutnya Vietnam.
Pukulan Prancis berikutnya terjadi antara 1872 dan 1874 di ujung Vietnam
yang berlawanan dengan petualangan yang berani dari agen-agen sukarelawan Jean
17
Dupuis dan Prancis Gamier yang dibantu oleh Laksamana Jules-Marie Durpredi
Saigon.
Pada waktu itu keadaan Tongking serba kacau. Para pelarian dari
pemberontakan Taiping di Cina memasuki Tongking dan membentuk kelompok-
kelompok bersenjata menteror negeri itu. Dengan adanya situasi yang demikian itu
Perancis melihat adanya kesempatan untuk mengadakan intervensi, sedang alasan
mereka ialah adanya perselisihan yang timbul antara Jean Dupuis dan para mandarin
dari Hanoi. Dupuis ingin mengangkut muatan garam ke Yunan, dan ketika para
mandarin bentrokan bersenjata antara para mandarin dan suatu kelompok kecil
tentara bayaran di bawah Dupuis. Pada 1873 Francis Gamier (1839-1873) dikirim ke
sana oleh para penguasa Prancis untuk membicarakan sebuah pemukiman. Ketika
para mandarin memanggil sekelompok pemberontak Tongking untuk membantu
mereka dan Garnier mati terbunuh dalam suatu penyergapan. Peristiwa itu seluruhnya
menimbulkan percekcokan-percekcokan yang serius di Perancis menyangkut politik
kolonial. Laksamana Durpe, yang merasa malu secara politis, memerintahkan seorang
diplomat Prancis untuk berkunjung ke utara bersama seorang pejabat Hue untuk
memulihkan rencana-rencana administrasi sebelumnya. Akan tetapi situasinya tidak
mungkin sama lagi: dinasti Nguyen kini tidak mendapat kepercayaan lagi di utara
maupun di selatan, dan gerombolan-gerombolan lokal diorganisasi untuk membalas
dendam terhadap mereka yang bersedia bekerja sama secara terbuka dengan orang-
orang asing, terutama orang-orang Katolik pribumi. Akhirnya, pada 1874 sebuah
perjanjian baru antara Tu-Duc mengakui kedaulatan Prancis atas Cochincina; seorang
18
residen Prancis diizinkan bermukim di Hue dan konsul-konsul Prancis di pelabuhan-
pelabuhan bebas; orang-orang Prancis diizinkan berlayar secara bebas di Sungai
Merah; dan kebebasan beribadah sekali lagi kepada semua orang Katolik yang hidup
di Vietnam. Adapun dipihaknya, Prancis setuju memasok senjata untuk membantu
Tu-Duc melawan kaum pemberontak dari Tongking.
Setelah 1874 konglomerasi kekuatan-kekuatan bersenjata di Vietnam utara
menjadi sangat kompleks, yang mencerminkan keruntuhan umum dan tatanan yang
telah ada serta perasaan anti-Dinasti yang meningkat. Kecuali kaum partisan yang
kebanyakan dipimpin oleh golongan intelektual, di Tongking terdapat banyak sekali
sisa-sisa kaum pemberontak Taiping dari Cina yang sebagian dibayar secara teratur
oleh Hue dan sebagian lagi disubsidi oleh Prancis. Juga kita jumpai kesatuan tentara
perbatasan Chi’ing, tentara konsulat Prancis, unit-unit Katolik pribumi bersenjata,
para keturunan dinasti Le, suku-suku pegunungan yang suka memberontak, dan
terakhir beberapa unit istana di sekeliling posisi Son Tay yang strategis, yang masih
menerima perintah-perintah dari istana.
Raja Tu-Duc yang menyadari bahwa Cina sedang berusaha memperkuat diri,
dank arena ia tak sanggup lagi berhadapan secara militer dengan Perancis, kini
perhatiannya semakin diarahkan untuk memperoleh bantuan dari Peking. Akan tetapi,
pihak Prancis tidak berpaku tangan sementara Hue dan Peking bekerja sama untuk
mengeluarkan mereka dari Vietnam Utara. Pada April 1882 Kapten Henri Riviere
(1827-1883) bergerak maju ke benteng Hanoi, benteng yang delapan tahun
sebelumnya diduduki Garnier. Hoang Dieu, Jenderal yang membawahi Hanoi,
19
sebelumnya telah mendesak Tu-Duc untuk menyetujui suatu strategi mengulur-ulur
peperangan di daerah-daerah pegunungan daripada mengurung diri lagi dalam
benteng. Hoang Dieu dan beberapa orang pemimpin lain menyadari akan kapasitas
angkatan laut Prancis untuk menguasai pantai Vietnam dan sistem sungainya.
Bersama-sama, tokoh-tokoh itu merupakan pelopor reorientasi psikologis Vietnam
terhadap daerah-daerah pegunungan yang akan memberi ciri sebagian besar usaha-
usaha perlawanan yang jelas untuk delapan tahun berikutnya. Akan tetapi, Hoang
Dieu tahu bahwa permintaannya ditolak dan setelah tujuh jam bombardemen yang
dilakukan oleh angkatan laut Prancis, akhirnya suatu tembakan tepat meengenai
gudang mesiu di benteng. Segera tentara Prancis memanjati dinding-dinding sewaktu
kekacauan berlangsung. Adapun Hoang Dieu bukannya meloloskan diri bersama
sebagian besar tentaranya, melainkan ia menulis pesan selamat tinggal kepada rajanya
dan menggantung diri pada pohon yang dekat.
Merupakan salah satu langkah peningkatan provinsialisme dari istana ialah
tindakannya yang paling tegas setelah Hanoi jatuh dengan menguat pertahanannya di
Thuan An, tidak jauh dari ibu kota Hue. Jendral yang ditugaskan mempertahankan
daerah utara, Hoang Ta Viem, diperintahkan menggerakkan unit-unit yag tersisa di
luar penglihatan pihak Prancis. Akan tetapi, Hoang tidak menurut perintah raja; dia
beserta anggota-anggota lain dari “partai perang” sebagian besar di Hue, pada
dasarnya menggantungkan harapan pada pembebasan mereka pada orang-orang Cina
yang akan memasuki Vietnam Utara, dan bukannya pada perlawanan rakyat mereka
20
sendiri. Jika harapan-harapan itu tidak terpenuhi, maka sebagian pejabat tinggi akan
menghentikan perlawanan mereka.
Dalam hal itu, satu-satunya unit yang terorganisasi dengan baik di utara dalam
menghadapi pihak Prancis dipimpin oleh mantan pimpinan Cina, Liu Yung-fu (dalam
bahasa Vietnam, Luu Vinh Phuc), orang yang bertanggung jawab atas kematian
Garnier. Dia mencari tempat pengungsian di seberang perbatasan Vietnam pada 1865
beberapa ratus pengiikutnya setelah dipadamkannya pemberontakan Taiping.
Gerombolannya menjadi bertambah besar setelah beberapa tahun kemudian sampai
akhirnya ia benar-benar menguasai administrasi atas daerah-daerah dihulu sungai
Merah. Unit-unitnya, yang sering disebut Co Den (Bendahara Hitam) terdiri atas
campuran bangsa Vietnam, Cina, dan kesatuan-kesatuan suku bangsa yang sebagian
besar berperang untuk merampok dan dan kelangsungan hidup mereka, tetapi juga
karena perasaan benci terhadap orang-orang Barat dan perasaan kesadaran kelas.
Mereka memperlihatkan kekerasan Khusus antara 1882 dan 1884, sebagian karena
Liu menyadari bahwa dominasi Prancis akan mengakhiri eksistensi mereka yang
bersifat semi otonom itu.
Pada Agustus 1881 tentara regular Ch’ing menyebrang ke Vietnam dari
Kwangsi dan dari Yunan pada Juli 1882. Setelah negosiasi-negosiasi yang
berlangsung berlarut-larut, Prancis menjawab pada Maret 1883 Kapten Riviere
merasa cukup yakin untuk mencoba serangan mendadak di Barat Hanoi dalam
perjalanan ke Son Tay. Akan tetapi, unit-unit Co Den, yang bertindak berdasarkan
informasi dari seorang juru bahasa Vietnam yang sedang dalam perjalanan bersama
21
orang-orang Prancis, menangkap Riviere di Cau Giay. Riviere bersama tiga puluh dua
orang Prancis lainnya dibunuh.
Kekalahan Cau Giay dan di atas semuanya, parade kemenangan Riviere yang
keras kepala dari desa ke desa mungkin merupakan kehilangan muka yang paling
serius di Indocina sebelum peperangan Prancis dengan Jepang pada 1940. Sebenarnya
Majelis Umum Nasional Perancis telah memutuskan pengiriman uang untuk bala
bantuan sebelum mendengar kematian Riviere. Bagaimanapun juga, insiden itu
menambah unsur kebiadaban umum yang akan memberi kelompok penindas
minoritas, yaitu militer, komersial, birokrasi, dan religious semua pengaruh yang
telah mereka cari bertahun-tahun. Strategi menyerang Istana Vietnam secara langsung
hidup kembali; pada Agustus 1883 unit-unit Prancis mendarat di Thuan An dan
menyerbu benteng-benteng di sana tanpa menemui kesulitan. Kemudian mereka
menemukan beberapa orang Mandarin yang bersedia menandatangani persetujuan
bagi sebuah protektorat baru, sementara sepanjang waktu pihak militer bersiap-siap di
sekitar Hue.
Sementara itu, Raja Tu-Duc meninggal dalam Juli. Istana kemudian menjadi
arena perjuangan antar kekuatan, lengkap dengan kudeta-kudeta kecil istana, raja-raja
diracun, dan manipulasi-manipulasi yang canggung dilakukan oleh para diplomat
yang tinggal di Vietnam. Pada awal 1884 Ton That Thuyet, seorang mandarin militer
yang keras dan merupakan musuh bebuyutan dari bangsa Prancis muncul di
permukaan dan intruksi-intruksi rahasia sampai ke tangan pejabat-pejabat lokal untuk
memulai dengan pembuatan senjata dan merencanakan pengambil alihan kapal-kapal
22
dan pasukan-pasukan lokal. Akan tetapi, Ton That Thuyet menunda satu setengah
tahun sebelum mengerjakan apa yang mungkin merupakan kenyataan puluhan
sebelumnya, yaitu penarikan mundur raja dari Hue ke daerah-daerah pegunungan dan
proklamasi gerakan perlawanan yang luas. Akan tetapi, hal itu telah terlambat. Pada
waktu itu Prancis telah menemukan kelompok kolaborator yang terdiri atas para
mandarin yang penting di istana, telah menghancurkan sisa-sisa tentara istana di Son
Tay, dan telah memaksa orang-orang Cina menghentikan peperangan dan melepaskan
tuntutan kekuasaan mereka di Vietnam.
Jadi, selama 4 tahun Tongking diperebutkan antara kaum pemberontak dan
Prancis. Oleh karena persenjataan Prancis lebih unggul, maka akhirnya kekaisaran
Vietnam yang baru, Hiep-Hoa, dipaksa untuk mengakui sukses-sukses yang dicapai
Prancis dalam perjanjian Hue ditandatanganinya pada 1883. Sekarang Anam dan
Tongking di bawah proteksi Prancis dan kaisar menyerahkan kekuasaannya yang
meliputi masalah-masalah luar negeri kepada pihak Prancis. Residen-residen Prancis
di tempatkan di kota-kota penting dan Prancis diizinkan mempertahankan kekuatan
mereka di Tongking. Ketika perjanjian Hue diratifikasi pada 1884, maka kaisar
Vietnam menyerahkan sisa-sisa kemerdekaannya yang terakhir.
Yang penting di dalam peperangan antara tentara Cina dan unit-unit Prancis
ialah bahwa gerombolan-gerombolan liar lokal telah membantu orang-orang Cina,
atau kadang-kadang bangkit secara bebas untuk mengusir bangsa Prancis meskipun
beberapa unit Cina telah memperlihatkan suatu kecenderungan untuk tidak mengakui
kekuasaan Vietnam dan kepekaan etnis. Akan tetapi, pihak Prancis juga telah mulai
23
mengorganisasi unit-unit kolonial pribumi untuk dimanfaatkan di daerah utara, yang
diambil dari orang-orang Katolik dan para petani Cochincina. Pada akhirnya, bagi
banyak orang Vietnam penceritaan psikologis yang paling dalam akan berasal dari
suatu realisasi bahwa orang-orang Prancis sejak itu dan seterusnya telah berhasil
dalam mengkonsolidasikan kekuatan mereka sebagian besar dengan menggunakan
beberapa orang Vietnam untuk menghancurkan orang-orang Vietnam lainnya.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebelum terbentuk menjadi sebuah negara dan dijajah oleh Prancis, Vietnam
awalnya memang sudah terlebih dahulu dijajah oleh Cina. Pengaruh Cina cukup kuat
di Vietnam, baik dari aspek ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Pada awal abad 19
Prancis mulai memberi pengaruh terhadap kerajaan Vietnam dengan cara mengirim
para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Indocina, khususnya Vietnam
serta banyak warga Prancis datang untuk berdagang.
Pada tahun 1820an Kaisar Minh-Mang menerapkan kembali budaya Cina dan
mengurangi pengaruh barat di negerinya. Akibat kebijakan itu hubungan dagang
Vietnam dengan Prancis terputus, para misionaris diusir dari Vietnam dan Prancis
mulai menyerang Vietnam dengan serius. Tahun 1883 akhirnya Prancis berhasil
menguasai Vietnam wilayah Utara, Tengah, dan Selatan.
Ketika Vietnam telah dikuasai Prancis, Pemerintahan Perancis menanamkan
perubahan signifikan dalam bidang politik, ekonomi, sosial kebudayaan pada
masyarakat Vietnam. Mereka menerapkan kebijakan politik asimilasi. Sistem
pemerintahan dari kerajaan tradisional ditransformasikan ke negara Vietnam Modern.
Sistem pendidikan modern gaya Barat dikembangkan dan agama Kristen diperkuat
penyebarannya di Vietnam. Pengembangan ekonomi perkebunan untuk
mempromosikan ekspor tembakau, nila (indigo), teh dan kopi. Tahun 1887 Wilayah
25
Tonkin, Annam, Cochincina, Laos dan Kamboja dikategorikan sebagai daerah
bawahan Prancis dan termasuk dalam kesatuan yang disebut Indocina.
Kesatuan bangsa Vietnam sudah terbentuk pada masa pendudukan Cina,
Semangat kebangsaan itu tetap membara sampai pada pendudukan Prancis. Politik
asimilasi yang diterapkan Prancis berakibat buruk bagi Prancis sendiri. Kebijakan
Prancis yang memperhatikan pendidikan telah menghasilkan orang-orang terpelajar
di Vietnam. Mereka inilah yang nanti akan melakukan perlawanan dalam bentuk
organisasi-organisasi politik. Berbagai gerakan revolusioner terus bermunculan untuk
melawan Prancis mulai dari tahun 1900an, pasca perang dunia I, dan terus berlanjut
sampai perang dunia II.
B. Saran
Mempertahankan budaya asli negeri kita sendiri memang penting, tetapi kita
juga tidak bisa menghindari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Tidak salah
memang kalau kita harus menerima hal-hal baru dari budaya luar, karena itu suatu
langkah untuk menuju kemajuan, apalagi untuk wilayah Asia Tenggara yang masih
berkembang, tetapi jangan sampai menghilangkan keaslian budaya sendiri.
Dari peristiwa invasi Prancis di Vietnam kita dapat mengambil hal positif,
yaitu tentang semangat nasionalisme. Semangat nasionalisme untuk mempertahankan
harga diri bangsa mereka dari injakan kaum kolonial.
26
DAFTAR PUSTAKA
Hall, D.G.E., 1988. Sejarah asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional.
Sudharmono. 2012. Sejarah Asia Tenggara Modern Dari Penjajahan ke
Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak.
Darmawan, Wawan. Masuknya Imperialisme Barat di Asia Tenggara. [online].
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/1971010119990
31-WAWAN_DARMAWAN/Imperilisme_di_Asteng.pdf , diakses 26
Oktober 2013.
27