Download - Makalah Rme
TUGAS LANDASAN KEPENDIDIKAN
REALISTIC MATHEMATIC EDUCATION
Kelompok 5
Kelas 2012-C
1. Ditya Rifky Rahmawati 1231740412. Lila Ambarwati 1231740453. Afridah Nurrohmanawati 1231740584. Nurfi Rif’atul Himmah H. A. 1231742425. Meilinda Trifatmasari 123174247
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
DAFTAR PUSTAKA
A. Sejarah RME............................................................................................................................1
B. Karakteristik RME...................................................................................................................2
C. Langkah-Langkah Pembelajaran..............................................................................................8
D. Teori Belajar Yang Relevan Dengan RME............................................................................10
E. Konsepsi Siswa Dalam RME.................................................................................................13
F. Kelebihan Dan Kekurangan Realistic Mathematic Education...............................................14
G. Pengembangan RME di Indonesia.........................................................................................16
H. Perbedaan dan Persamaan RME dan CTL.............................................................................18
ii
A. Sejarah RME
RME awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada konsep
Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas manusia. Matematika
sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa.
Dengan ide utamanya adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan
kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Usaha untuk
membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi
dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam pengertian bahwa tidak hanya situasi yang ada
di dunia nyata, tetapi juga dengan masalah yang dapat mereka bayangkan. Matematika realistik
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan
menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Esensi dari Realistic Mathematic Education (RME), dapat ditemukan pada pandangan
Freudenthal yang sangat penting yang berkaitan dengan RME yaitu: “mathematics must be
connected to reality” dan “ mathematics as human activity”. (Waraskamdi.2008) Dan saat ini
pembelajaran masih didominasi oleh guru, siswa kurang dilibatkan sehingga terkesan monoton
dan timbul kejenuhan pada siswa.
1
B. Karakteristik RME
Untuk memahami PMR kita harus mengetahui karakteristik PMR sebagai berikut :
1. Karakteristik PMR secara umum
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ”dunia nyata”, model-model,
produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers, 1991;
Van den Heuvel-Panhuizen, 1998).
Menggunakan konteks “dunia nyata” artinya dalam pembelajaran metematika realistic
lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai
bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa (De Lange : 1987). Dalam PMR,
pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan
mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung dan siswa akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan
konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
a. Menggunakan model-model (matematisasi)
Menggunakan model artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat
dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang
mengarah ketingkat abstrak ( De Lange : 1987). Istilah model berkaitan dengan model
situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed
models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi
abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
b. Menggunakan produksi dan konstruksi (kontribusi siswa )
Menggunakan konstribusi siwa artinya pemecahkan masalah atau penemuan
konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa. (Streffland : 1991). Dalam hal ini,
menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar.
Strategi–strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan pembelajaran lebih lanjut yaitu
untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
c. Menggunakan interaktif
Menggunakan Interaktif artinya aktifitas proses pembelajaran dibangun oleh
interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan
2
sebagainya (Waraskamdi : 2007). Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang
mendasar dalam Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi yang berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak
setuju, pernyataan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-
bentuk informal siswa.
d. Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Menggunakan Intertwin artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan
sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak
(Waraskamdi : 2007). Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah
esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain,
maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan
matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks tidak hanya
aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
2. Karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) adalah
sebagai berikut:
a. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk
memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
b. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui
pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.
3. Karakteristik Pembelajaran Realistik Menurut Marpaung (2003) adalah sebagai
berikut:
a. Siswa aktif dalam proses pembelajaran.
b. Pembelajaran dimulai dengan menyajikan kepada siswa masalah kontekstual atau
masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah itu dapat berupa masalah yang
menyajikan real world yang dijumpai dalam kehidupan nyata atau dunia nyata yang
dapat dibayangkan siswa.
c. Siswa diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah itu berdasarkan pengetahuan
yang dimilikinya.
3
d. Guru membimbing siswa dalam menemukan atau mengkontruksikan pengetahuan itu
menuju pengetahuan formal.
e. Guru berperan sebagai fasilitator.
f. Dalam rangka menemukan itu proses matematisasi adalah penting, level masalah perlu
diperhatikan.
g. Belajar tidak hanya dari guru, tapi juga dari kawan atau orang lain
maka interaksi dan negosiasi adalah penting.
h. Siswa perlu melakukan refleksi, interpolasi, dan internalisasi.
i. Yang diutamakan adalah Pemahaman relasional.
j. Pemahaman matematika tidak dapat di transfer dari yang mengetahui ke yang belajar.
4. PMR menurut pandangan kontruktivis
Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivis adalah memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip
matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika
berorientasi pada :
a. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
b. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
c. Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan
pengalamannya.
d. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan
atau tulis.
Ada tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran matematika realistik menurut
Gravemeijer (1994: 90), yaitu sebagai berikut :
1. Guided reinvention and progressive mathematizing (Menemukan kembali dan
matematesasi progresif)
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematis
secara progresif. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa
pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat
dikonstruksi oleh siswa itu sendiri. Yakni peserta didik diberikan kesempatan untuk
4
mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan.
Pembelajaran dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya
melalui aktifitas siswa dikharapkan menemukan “kembali” sifat, defenisi, teorema atau
prosedur-prosedur. (I Gusti Putu Suharta.2009)
2. Didactical phenomenology (fenomena didaktif)
Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika atas dua pertimbangan,
yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam
proses matematika. (I Gusti Putu Suharta.2009)
Gravemeijer (1994:90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik
matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua
pertimbangan yaitu:
a) Memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran
b) Kesesuaian sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam fenomena
pembelajaran ini menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-
topik matematika pada siswa.
Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu :
a) aspek kecocokan dalam pembelajaran
b) kecocokan dampak dalam proses re-invention
c) Self developed models
Gravemeinjer menjelaskan berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah
kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangankan model mereka sendiri
yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika
formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya
melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang
sungguh-sungguh ada yang dimiliki siswa (Gravemeinjer : 1994).
3. Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Siswa mengembangkan
model sendiri sewaktu memecahkan masalah-masalah kontekstual.
5
Self-developed Models (pengembangan model sendiri); kegiatan ini berperan
sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat
siswa sendiri dalam memecahkan masalah. Model pada awalnya adalah suatu model dari
situasi yang dikenal (akrab) dengan siswa. Dengan suatu proses generalisasi dan
formalisasi, model tersebut akhinrya menjadi suatu model sesuai penalaran matematika
(Anonim, tt)
5. PMR menurut pandangan kontekstual
Pendekatan kontekstual didasarkan pada keyakinan bahwa seseorang akan tertarik
untuk mempelajari sesuatu apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya itu.
Makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Di sini konteks diartikan
sebagai situasi atau keadaan yang memberi makna kepada suatu objek. Tugas utama guru
menurut pendekatan kontekstual adalah menyediakan konteks yang memberi makna pada
isi sehingga melalui makna tersebut siswa dapat menghubungkan isi pelajaran dengan
pengetahuan dan pengalamannya.
Pendekatan kontekstual memiliki delapan prinsip (Hadi, 2005), yaitu:
a. hubungan yang bermakna,
b. pekerjaan yang berarti,
c. pengaturan belajar sendiri,
d. kolaborasi,
e. berpikir kritis dan kreatif
f. pendewasaan individu,
g. pencapaian standar yang tinggi, dan
h. penilaian autentik.
Peran guru menurut pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut :
a. Mengkaji konsep yang harus dipelajari siswa
b. Memahami pengalaman hidup siswa
c. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa
d. Merancang pembelajaran yang mengaitkan konsep dengan pengalaman siswa,
membantu siswa mengaitkan konsep dengan pengalaman mereka, mendorong siswa
6
membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman mereka tentang konsep yang
sedang dipelajari. (Nurhadi et al., 2005)
7
C. Langkah-Langkah Pembelajaran
1. Memahami masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa. Selanjutnya guru
memintasiswa untukmemahami masalah itu terlebih dahulu. Karakteristik pembelajaran
matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan konteks.
Penggunaan konteks terlihat pada penyajian masalah kontekstual sebagai titik tolak aktivitas
pembelajaran siswa.
2. Menjelaskan masalah kontekstual
Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual.
Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan
seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah. Karakteristik
pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini adalah interaktif, yaitu
terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Sedangkan
prinsip guided reinvention setidaknya telah muncul ketika guru mencoba memberi arah
kepada siswa dalam memahami masalah.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara individual
berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan.
Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya sendiri. Dalam proses memecahkan
masalah, sesungguhnya siswa dipancing atau diarahkan untuk berfikir menemukan atau
mengkonstruksi pengetahuan untuk dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk
memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan
bantuan. Pada tahap ini , dua prinsip pembelajaran matematika realistik yang dapat
dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-developed
models. Sedangkan karakteristik yang dapat dimunculkan adalah penggunaan model. Dalam
menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan membangun model atas masalah
tersebut.
8
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi sepasang siswa mendiskusikan
jawaban masing-masing. Dari diskusi ini diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati
oleh kedua siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban yang dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk
atau memberikan kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang
dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan
menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas. Karakteristik pembelajaran matematika
realistik yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa.
Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam
diskusi ini kontribusi siswa berguna dalam pemecahan masalah.
5. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan mengenai
pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang telah dibangun bersama.
Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul adalah interaktif
serta menggunakan kontribusi siswa.
9
D. Teori Belajar Yang Relevan Dengan RME
Berikut ini teori-teori belajar kognitif yang relevan dengan pembelajaran matematika realistik:
1. Teori Bruner
Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur
matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara
konsep-konsep dan struktur matematika. Bruner, (dalam Hudojo, 1990: 48) menyatakan
bahwa dalam mengajar suatu bahan kajian lebih ditunjukkan untuk membuat siswa
berpikir untuk diri mereka sendiri. Lebih lanjut Bruner, (dalam Hudojo, 1990: 48)
menyatakan bahwa anak-anak berkembang dalam tiga tahap perkembangan, yaitu sebagai
berikut:
1) Enaktif, pada tahap ini anak belajar memanipulasi objek-objek secara langsung.
2) Ikonik, pada tahap ini kegiatan anak mulai menyangkut mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek.
3) Simbolik, pada tahap memanipulasi simbol dan tidak ada kaitannya dengan objek-
objek secara langsung.
Urutan tahapan belajar oleh Bruner, tidak dikaitkan dengan usia peserta didik.
Berdasarkan teori Bruner, pembelajaran matematika realistik cocok diterapkan dalam
pembelajaran, karena diawal pembelajaran sangat dimungkinkan siswa memanipulasi
objek-objek yang ada kaitannya dengan masalah-masalah kontekstual yang diberikan
oleh guru secara langsung. Kemudian pada proses matematisasi vertikal siswa
memanipulasi simbol.
2. Teori Piaget
Menurut Piaget pengetahuan datang dari tindakan, dan sebagian besar perkembangan
kognitif bergantung pada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidakseimbangan.
Teori belajar kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. “manusia tumbuh beradaptasi dan
berubah melalui perkembangan fisik, keribasian, sosioemosional, kognitif (berpikir) dan
bahasa. Menurut Piaget, (dalam Hudojo, 1990: 37) perkembangan intelektual didasarkan
pada dua fungsi, yaitu organisasi dan adaptasi.
10
Organisasi memberikan organisme kemampuan matematisasi atau mengorganisasikan
proses-proses fisik atau proses psikologis menjadi sistem yang teratur dan berhubungan
atau struktur. Adaptasi adalah semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk
menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungannya.
Implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran Trianto, (2007:16) adalah sebagai berikut:
1. Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan pada sekedar hasilnya.
2. Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan
keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran di kelas, anak didorong menemukan
sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
3. Memaklumi adanya individual dalam hal kemajuan perkembangan.
3. Teori Vygotsky
Menurut Newman, (dalam Tanjung, 1998) inti teori kontruktivisme Vygotsky
adalah integrasi antara aspek internal dan aspek eksternal yang penekanannya pada
lingkungan sosial belajar. Vygotsky lebih menekankan pada sosiokultural dalam
pembelajaran, yakni interaksi sosial khususnya melalui dialog dan komunikasi. Vygotsky
juga memunculkan konsep scaffolding, yaitu pemberian sejumlah bantuan kepada
seorang peserta didik selama tahap awal pembelajaran dan kemudian peserta didik
mengambil tanggung jawab semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
4. Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu belajar
menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut Nur (1999: 38) belajar
menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-hubungan, misal tabel
perkalian dan lambang-lambang atom kimia. Sedangkan menurut Ausubel belajar
dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan
struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut mengkaitkan informasi barunya dengan
struktur kognitif yang dimilikinya (Hudojo, 1988: 61).
Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep yang dimiliki seseorang
mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep yang terhubung satu dengan yang
lain secara bermakna melahirkan kaidah yang berguna dalam pemecahan masalah
(Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa
11
pengetahuan yang dipelajari secara bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke
situasi yang lebih luas dalam kehidupan nyata (Nur, 1999: 34).
Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika pengetahuan yang semestinya dapat
diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan dengan menghafal akan menghasilkan
pengetahuan inert. Pengetahuan inert adalah pengetahuan yang sesungguhnya dapat
diterapkan untuk situasi yang lebih umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat
diterapkan dalam situasi khusus (Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu
konsep tanpa benar-benar mengerti isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme
(Winkel, 1991: 58).
Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan
konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti bahwa
lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan
sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun
pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan yang berharga untuk dijadikan
sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa.
Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih berada dalam
jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus
dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan tersebut.
Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia
mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa
juga harus dapat menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan
masalah kontekstual tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk
siswa dalam pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna
Ausubel.
12
E. Konsepsi Siswa Dalam RME
Pendekatan matematika realistic mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:
1. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya.
2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri.
3. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan.
4. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam
pengalaman.
5. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:
1. Guru hanya sebagai fasilitator
2. Guru harus mampu membnagun pengajaran yang interaktif
3. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada
proses belajar dirinya,dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil
4. Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum,melainkan aktif
mengaitkan kurikulum dengan dunia riil,baik fisik maupun sosial.
Konsepsi tentang Pengajaran
Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut:
1. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pelajaran secara bermakna
2. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pelajaran tersebut
3. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap
persoalan/masalah yang diajukan
13
4. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian
yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap
hasil pelajaran.
Titik awal proses belajar dengan pendekatan matematika realistik menekankan pada
konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa mempunyai konsep awal tentang ide-
ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses
tersebut dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan
pengetahuan baru tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri.
(M. AsikinHidayat, 2001).
F. Kelebihan Dan Kekurangan Realistic Mathematic Education
Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi
memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan PMR.
Kelebihan
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari
pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada
siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan
kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada
siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan
dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar
dalam bidang tersebut.
3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada
siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal
dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang
bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-
sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan
membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang
14
lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan
tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada
siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan
sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain
yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani
sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
(Suwarsono.2001)
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul justru
menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:
1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal,
misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual,
sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut
dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap
pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-
soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan
berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat
melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip
matematika yang dipelajari.
Walaupun pada pendekatan PMR memiliki kesulitan-kesulitan dalam upaya
implementasinya, namun penulis optimis bahwa kendala-kendala tersebut hanya bersifat
sementara. Hal ini sangat tergantung dari upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari guru,
serta respons siswa untuk menerapkannya pada kegiatan belajar mengajar di kelas, kiranya
berbagai kesulitan tersebut lambat laun dapat diatasi. (Masbied.2010)
15
G. Pengembangan RME di Indonesia
Materi pelajaran perlu bersifat real bagi siswa. Inilah yang menjadi alasan mengapa disebut
Realistic Mathematics Education. Tentu saja tidak berarti bahwa RME harus selalu
menggunakan masalah kehidupan nyata. Masalah matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat
menjadi nyata dalam benak (pikiran) siswa.
Pembelajaran matematika di Indonesia, pada umumnya dilakukan dengan urutan (1)
penyajian definisi/rumus, (2) pemberian contoh/contoh soal, dan (3) pemberian latihan. Latihan
kadang kala berupa soal cerita yang terkait dengan penggunaan definisi/rumus dalam kehidupan
sehari-hari. Jadi, tradisi pembelajaran di Indonesia masih cenderung menempatkan pemberian
masalah nyata di akhir pembelajaran. Hal ini sangat berbeda dengan RME yang menempatkan
pemberian masalah nyata di awal pembelajaran.
Di lain pihak banyak negara maju telah menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan
realistik (RME). RME banyak ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Dua
pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be connected to reality and mathematics as
human activity ’. Pertama, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan
situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas
manusia, sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua topik
dalam matematika.
RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real’ bagi siswa,
menekankan ketrampilan ‘proses of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi,
berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (‘student
inventing’ sebagai kebalikan dari ‘teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika
itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini
peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir,
mengkomunikasikan ‘reasoningnya’, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat
orang lain.
Treffers mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan horizontal dan vertikal
mathematization (matematisasi) ke dalam empat type:
16
(1) mechanistic, atau ‘pendekatan traditional’, yang didasarkan pada ‘drill-practice’ dan pola
atau pattern, yang menganggap orang seperti komputer atau suatu mesin (mekanik). Pada
pendekatan, baik horizontal dan vertikal mathematization tidak digunakan.
(2) empiristic, dunia adalah realitas, dimana siswa dihadapkan dengan situasi dimana mereka
harus menggunakan aktivitas horizontal mathematization. Treffer (1991) mengatakan bahwa
pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam pendidikan matematika.
(3) structuralist, atau ‘Matematika modern’, didasarkan pada teori himpunan dan game yang
bisa dikategorikan ke horizontal mathematization tetapi di tetapkan dari dunia yang dibuat
secara ‘ad hoc’, yang tidak ada kesamaan dengan dunia siswa.
(4) realistic, yaitu pendekatan yang menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu
konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini siswa melakukan
aktivitas horizontal mathematization. Maksudnya siswa mengorganisasikan masalah dan
mencoba mengidentfikasi aspek matematika yang ada pada masalah tersebut. Kemudian,
dengan menggunakan vertical mathematization siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.
17
H. Perbedaan dan Persamaan RME dan CTL
Persamaaan antara RME dan CTL yakni model pembelajaran yang sama-sama bertitik
tolak dari hal-hal realistis bagi peserta didik. Materi pelajaran perlu bersifat real bagi siswa.
Dalam hal ini, Guru bukan satu satunya sumber ilmu. Pendidikan lebih mudah diterima karena
dihubungkan dengan kehidupan sehari hari.
Dari segi filsafat pendidikan matematika, CTL tidak berbeda dengan, keduanya
merupakan pembelajaran problems based dan menganut aliran konstruktivisme. Namun terdapat
sedikit perbedaan terutama dalam formulasi permasalahan dan strategi pembelajarannya. Dalam
pembelajaran kontekstual, kegiatan ditekankan untuk mempromosikan siswa mencapai
pemahaman secara akademik di dalam atau di luar konteks sekolah melalui pemecahan masalah
nyata atau yang disituasikan. Adapun karakteristik dari pembelajaran kontekstual adalah sebagai
berikut.
berbasis permasalahan kontekstual
menuntut siswa untuk menggunakan aturan sendiri dalam menyelesaikan masalah
dilakukan dalam beragam situasi atau konteks
(Anonim) (Mulyana, 2003)mengaitkan siswa dalam beragam konteks kehidupan
menggunakan cara belajar kelompok
CTL dapat diterapkan dalam berbagai bidang studi dan RME lebih mengkhususkan pada
bidang studi matematika. Perbedaan lain antara implementasi RME dan CTL dalam matematika
adalah pemberian soal realistik. Dalam model pembelajaran RME diberikan sebelum materi,
sedangkan model pembelajaran CTL dapat diberikan sebelum atau sesudah materi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (n.d.). RME. Retrieved Oktober 20, 2013, from Sang_Debu Pesisir: http://debupesisir.blogspot.com/2012/09/rme_25.html
Asikin, M. (2001). Realistic Mathematic Education (RME) Sebuah Harapan Baru dalam Pembelajaran Matematika. Seminar Nasional RME. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Gravemeijer. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: CD-ß Press / Freudenthal Institute.
Massofa. (n.d.). Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Retrieved Oktober 20, 2013, from CARI ILMU ONLINE BORNEO: http://massofa.wordpress.com
Mulyana, E. (2003). Pembelajaran Matematika Berbasis Permasalahan untuk Menumbuhkembangakan Kemampuan Memecahkan Masalah Siswa Kelas IIB SLTPN 22 Bandung. Instrumen Penelitian Tindakan Kelas , 10.
Nurkaida, F. (n.d.). PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) INDONESIA. Retrieved Oktober 20, 2013, from Dimensi Ilmoe: http://h4mm4d.wordpress.com/2009/02/27/pendidikan-matematika-realistik-indonesia-pmri-indonesia/
Rozanie, I. (n.d.). Realistic Mathematic Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Retrieved Oktober 20, 2013, from Irwan Rozanie's Blog: http://ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-mathematic-education-rme-atau-pembelajaran-matematika-realistik-pmr/
Septiana, D. (n.d.). Scribd. Retrieved Oktober 20, 2013, from Pembelajaran Matematika Realistik: http://www.scribd.com/doc/52317899/Pembelajaran-Matematika-Realistik
Suharta, I. G. (2009). Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
19