Download - MAKALAH Kurikulum Pembelajaran Inovatif
1
PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN
OTENTIK DALAM RANGKA MENCIPTAKAN
PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN PRODUKTIF
UN
IVERS
ITAS PENDIDIKAN G
ANESH
A
UNDIKSHA
DE
PA
R
TEMEN PENDIDIKAN NASIO
NA
L
OLEH
A.A. ISTRI N. MARHAENI
Makalah disampaikan dalam Lokakarya Pengusunan Kurikulum dan Pembelajaran
Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Univesitas Udayana Denpasar tanggal 8-9
Desember 2007
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA
2007
2
PEMBELAJARAN INOVATIF DAN ASESMEN OTENTIK DALAM
RANGKA MENCIPTAKAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN
PRODUKTIF
Oleh
A.A.I.N. Marhaeni1
1. PENDAHULUAN
Laporan UNESCO (Delors, dkk. 1996) telah menetapkan empat pilar pendidikan
sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik
mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan
pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta
didik menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to
live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga
diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia.
Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa
depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based
tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai
kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh
dengan saling ketergantungan.
Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada
pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi
pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat
berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti
disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang
diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini
adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan
oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan
konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran
1 Dosen S1 Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja
3
mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan
menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000).
Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada
kurikulum; dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju
kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka
pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model
pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang
punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.
2. PEMBELAJARAN YANG BERPUSAT PADA PESERTA DIDIK
Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (untuk
selanjutnya, dalam makalah ini akan digunakan istilah asingnya yaitu Student-Centered
Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada saat orang-orang mulai
meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif
dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri.
Dibawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di
Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Para
pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa
peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula
rasa). Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah
peserta didik.
John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas
adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak guru untuk
menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh peserta didik, sebagai bahan
pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah
pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang
hal-hal yang abstrak bagi peserta didik. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan
learning by doing.
SCL dilandasi oleh paham konstruktivisme. Konstruktivisme berarti bahwa peserta
didik membangun (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai
konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran,
melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua
4
kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk,
2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut:
“Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan
mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan,
memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan
yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya tidak
selalu dari materi yang disediakan guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena peserta didik harus
melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi
dirinya “(p. 15, terjemahan oleh penulis makalah).
Belakangan, berbagai interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan
itu terwujud pada peserta didik; ada yang mengatakan bahwa peserta didik itu sendiri
mampu membangunnya, tapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan
terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili
oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai dengan yang telah ada
sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada
dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak,
Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi
sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals).
Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan
dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.
Berdasarkan hakikat SCL tersebut di atas, maka dapat dilihat perbedaan antara SCL
dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi
(Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:
Teacher Centered Student-Centered Learning
Pengetahuan ditransfer dari guru ke
peserta didik
Peserta didik secara aktif mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan yang
dipelajarinya
Peserta didik menerima pengetahuan
secara pasif
Peserta didik secara aktif terlibat didalam
mengelola pengetahuannya
Lebih menekankan pada penguasaan
materi
Penguasaan materi dan juga mengembangkan
karakter peserta didik (life-long learning)
Biasanya memanfaatkan media tunggal Multimedia
Fungsi guru sebagai pensuplai
informasi utama dan evaluator
Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan
bersama dengan peserta didik
Proses pembelajaran dan asesmen
dilakukan secara terpisah
Terpadu dan berkesinambungan
Menekankan pada jawaban yang benar
saja
Menekankan pada pengembangan pengethuan.
Kesalahan menunjukkan proses belajar dan
dapat digunakan sebagai salahsatu sumber
belajar
5
Cocok untuk pengembangan ilmu
dalam satu disiplin saja
Untuk pengembangan ilmu interdisipliner
Iklim belajar lebih individual dan
kompetitif
Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif,
suportif, dan kooperatif
Proses pembelajaran hanya terjadi pada
peserta didik
Peserta didik dan guru belajar bersama dalam
mengembangkan, konsep, dan keterampilan
Perkuliahan mengambil porsi waktu
terbanyak
Perkuliahan dan berbagai kegiatan lain dalam
proses belajar
Penekanan pada ketuntasan materi Penekanan pada pencapaian target kompetensi
Penekanan pada cara pembelajaran
yang dilakukan oleh guru
Penekanan pada bagaimana cara peserta didik
belajar. Penekanan pada problem-based learning
dan skill competency
Sumber: Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi,
Ditjen Dikti Depdiknas, 2005.
3. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Contextual Teaching and Learning)
Dibawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat
menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan
pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang bersifat kontektual (dikenal
dengan istilah Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL).
CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran
dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara
pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai
anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja.
CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat
menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran
demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan
peserta didik untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang
terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan
tersebut.
Bagi peserta didik, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada
pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada
proses pembelajaran tradisional tersebut, peserta didik diharapkan untuk memahami dan
menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca
materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada
guru. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara
abstrak, oleh karena itu banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar.
6
Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota
yang bermutu.
Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis’ masih tetap
diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu
lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada peserta
didik hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat
nanti diperlukan.
Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu
metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Dalam
CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip
apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan
dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan
cognitive apprenticeship.
Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih peserta didik dalam
menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum
pembelajaran dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus
dicapai peserta didik, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3)
memberi peluang untuk keberagaman cara belajar peserta didik.
Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak,
memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified
learning strategies, yaitu yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi
namun kontekstual. Metode ceramah dalam beberapa hal masih diperlukan, tetapi
metode-metode yang berpusat pada peserta didik (student-centered) seperti metode
inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu peserta didik mengembangkan
kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching
strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana peserta didik mendapat
peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang
dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence
dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang
dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja)
besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
7
Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005).
Pemberdayaan peserta didik dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara
pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya peserta
didik dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian),
yaitu kesempatan untuk peserta didik terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai
pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat
kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana peserta didik dapat membandingkan kemampuan
dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi,
berkarya), yaitu yaitu saat dimana guru mendorong peserta didik untuk mencoba
menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.
Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi
dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT,
yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring.
a. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari
dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian peserta didik
pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal
itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
b. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan
sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan
bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi
demikian merupakan strategi pasif, artinya, peserta didik tidak secara
aktif/langsung mengalaminya.
c. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks
yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali
dapat membuat peserta didik mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu
tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh
yang sangat kontekstual dimana peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya
seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung
(firsthand experience) seperti magang.
d. Cooperating: yaitu proses belajar dimana peserta didik belajar berbagi (sharing)
dan berkomunikasi dengan peserta didik lain. Pembelajaran kooperatif merupakan
salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil
8
adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik
dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah
kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap
anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa
teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini.
e. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya
adalah, peserta didik belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara
lain adalah pemecahan masalah (problem solving).
4. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
Secara praktis dapat dikatakan bahwa apa yang dimaksud dengan pembelajaran
inovatif adalah pembelajaran yang memiliki perspektif berpusat pada peserta didik.
Dengan demikian, pembelajaran inovatif bukanlah sesuatu yang sifatnya baru, yang
berbeda betul dengan pembelajaran konvensional yang selama ini dilakukan. Sepanjang
pembelajaran yang dilakukan tersebut menganut prinsip-prinsip berpusat pada peserta
didik, maka pembelajaran tersebut dapat disebut pembelajaran inovatif tidak peduli apakah
pembelajaran tersebut telah dilakukan secara konvensional. Dengan demikian, sangat
mungkin kita memiliki pengajar yang sesungguhnya telah inovatif sejak lama.
Beberapa model pembelajaran yang relevan dengan SCL adalah cooperative
learning, problem-based learning, project-based learning, group discussion, contextual
learning, role play and simulation, discovery learning, self-directed learning, dan
collaborative learning. Namun, perlu dicatat disini bahwa model-model pembelajaran di
atas seringkali overlap satu sama lain, baik dari segi istilah yang digunakan maupun dalam
praktek pelaksanaan pembelajarannya. Istilah contextual learning sebagai suatu model
pembelajaran disini disejajarkan dengan problem-based learning, padahal di dalam CTL
itu sendiri, problem-based learning yang intinya adalah problem solving merupakan
bagian penting dari CTL. Kadangkala penggunaan istilah juga menunjukkan penekanan
dari model dimaksud. Misalnya, dalam problem-based learning penekanannya adalah
problem atau masalah. Dalam model ini pembelajaran dimulai dengan menampilkan
masalah dihadapan peserta didik, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran berikutnya
diarahkan untuk memecahkan masalah tersebut. Sementara itu dalam CTL, penekanan ada
pada otentisitas pembelajaran, yaitu bahwa pembelajaran itu harus nyata sesuai dengan
9
apa yang terjadi sehari-hari, dimana didalamnya sangat mungkin ada kegiatan pemecahan
masalah. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, sangat mungkin dilakukan secara
berkelompok, thus dengan demikian, berarti juga dilakukan pembelajaran kooperatif.
Contoh lain, dalam model kooperatif, yang ditonjolkan adalah kegiatan kerja
kelompoknya, yang diharapkan berdampak pada pengembangan pilar learning to live
together secara optimal. Oleh sebab itu, meskipun nama tetap diperlukan, namun dalam
pemilihan model yang akan digunakan, guru perlu mendasarkan pada tujuan pembelajaran
(kompetensi dasar dan indikator) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
a. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL)
Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham
konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan
pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan
pengembangan pemahaman tentang topik-topik, peserta didik belajar bagaimana
mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah,
mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi
mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam
pemecahan masalah.
Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends,
1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang
berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu,
dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi peserta
didik), (2) guru membantu peserta didik mengklarifikasi masalah dan menentukan
bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar,
informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu
peserta didik menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan
dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4)
pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-
lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua peserta didik, guru, bila perlu
melibatkan administrator dan anggota masyarakat).
10
Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan peserta
didik dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter
pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.
Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing
dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses
pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja peserta didik,
bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping,
peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang
sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan
dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah
kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated
learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi
keragaman peserta didik.
Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:
Fase 1. Orientasi pada masalah
Pengajar menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang
diperlukan, dan mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan
masalah yang dipilihnya sendiri.
Fase 2. Perencanaan dan Pengorganisasian
Pengajar membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan
tugas belajar yang berhubungan dengan masalah.
Fase 3. Investigasi mandiri dan berkelompok
Pengajar mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi, melakukan
eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi.
Fase 4. Pengembangan dan Penampilan artefak/karya
Pengajar membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak
yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Pengajar juga membantu peserta didik
untuk saling menginformasikan pekerjaan mereka
Fase 5. Analisis dan evaluasi proses penyelesaian masalah
11
Pengajar membantu peserta didik untuk merefleksikan investigasi dan proses-
proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.
b. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan model-
model lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas
dan struktur penghargaan (reward) yang lain dari yang lain. Peserta didik diharapkan
bekerja dalam kelompok, dan penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun
individual.
Munculnya pembelajaran kooperatif didasari oleh konsep-konsep belajar
demokratis, aktif, kooperatif, dan penghargaan terhadap perbedaan (karena itu sering
dipakai dalam pembelajaran multikultural).
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah timbulnya efek akademik yang dibarengi
oleh efek pengiring seperti kemampuan bekerjasama, penghargaan terhadap eksistensi
orang lain, dan lain-lain.
Sintaks pembelajaran kooperatif adalah tugas dalam kelompok-kelompok kecil,
dan terdiri dari enam fase:
(1) menetapkan tujuan pembelajaran,
(2) transfer informasi melalui presentasi atau pemberian bahan bacaan,
(3) pembentukan kelompok,
(4) pelaksanaan tugas dan pemberian bimbingan,
(5) evaluasi hasil kerja kelompok, dan
(6) menentukan hasil belajar individu maupun kelompok.
Beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang sering digunakan adalah STAD
(Student Team Achievement Division), Jigsaw, Think-Pair-Share, dan Group
Investigation. Dalam Jigsaw, misalnya, peserta didik dibagi menjadi 5-6 kelompok
heterogen. Materi diberikan dalam bentuk teks, dan setiap anggota suatu kelompok
bertugas mempelajari sebagian dari keseluruhan materi. Pada saat dilakukan jigsaw,
anggota dari semua tim yang membaca materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi
tentang materi tersebut. Setelah itu, setiap orang kembali ke kelompok/timnya semula.
Mereka ini menjadi expert dalam materi yang dipelajari, dan bertugas mengajari anggota
timnya. Ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep Jigsaw di atas (sumber: Arends, 1997).
12
5. ASESMEN OTENTIK/ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI
Asesmen yang relevan adalah jenis-jenis asesmen yang gayut dengan ciri peserta
didik aktif membangun pengetahuan, hingga terbentuk kompetensi seperti yang ditetapkan
dalam setiap mata kuliah. Jenis-jenis asesmen berbasis kompetensi meliputi asesmen
portofolio, kinerja, esai, projek, dan evaluasi diri. Tes-tes objektif sebaiknya dihindari
karena jenis tes tersebut merupakan imposed target by the tester with only one single
answer. Tes objektif tidak memberi kesempatan peserta didik menemukan jawaban atas
persoalan yang dihadapi dengan caranya sendiri, tetapi dipaksa dengan hanya sedikit
pilihan tanpa boleh mengambil pilihan diluar pilihan yang diberikan.
Secara garis besar, asesmen otentik memiliki sifat-sifat (1) berbasis kompetensi yaitu
asesmen yang mampu memantau kompetensi seseorang. Asesmen otentik pada dasarnya
adalah asesmen kinerja, yaitu suatu unjuk kerja yang ditunjukkan sebagai akibat dari suatu
proses belajar yang komprehensif. Kompetensi adalah atribut individu peserta didik, oleh
karena itu asesmen berbasis kompetensi bersifat (2) individual. Kompetensi tidak dapat
JIGSAW
X X X
X X X X X
X X
X X X
X X
X X X
X X
X X X
X X
HOME TEAMS
(5 atau 6 peserta didik heterogen dikelompokkan)
EXPERT
TEAMS
13
disamaratakan pada semua orang, tetapi bersifat personal. Karena itu, asesmen cara-cara
yang untuk memantau kemampuan peserta didik cenderung tidak dapat secara akurat
mengukur kompetensi setiap individu; (3) berpusat pada peserta didik karena
direncanakan, dilakukan, dan dinilai oleh peserta didik sendiri; mengungkapkan seoptimal
mungkin kelebihan setiap individu, dan juga kekurangannya (untuk bisa dilakukan
perbaikan). Asesmen otentik bersifat tak terstruktur dan open-ended, dalam arti,
percepatan penyelesaian tugas-tugas otentik tidak bersifat uniformed dan klasikal, juga
kinerja yang dihasilkan tidak harus sama antar individu di suatu kelompok. Untuk
memastikan bahwa yang diases tersebut benar-benar adalah kompetensi riil individu
(peserta didik) tersebut, maka asesmen harus dilakukan secara (4) otentik (nyata, riil
seperti kehidupan sehari-hari) dan sesuai dengan proses pembelajaran yang dilakukan,
sehingga asesmen otentik berlangsung secara (5) terintegrasi dengan proses
pembelajaran. Asesmen otentik bersifat (6) on-going atau berkelanjutan, oleh karena
itu asesmen harus dilakukan secara langsung pada saat proses dan produk belajar. Dengan
demikian, asesmen otentik memiliki sifat berpusat pada peserta didik, terintegrasi dengan
pembelajaran, otentik, berkelanjutan, dan individual.
Sifat asesmen otentik yang komprehensif juga dapat membentuk unsur-unsur
metakognisi dalam diri peserta didik seperti risk-taking, kreatif, mengembangkan
kemampuan berfikir tingkat tinggi dan divergen, tanggungjawab terhadap tugas dan karya,
dan rasa kepemilikan (ownership).
a. Asesmen Kinerja
Asesmen kinerja adalah suatu prosedur yang menggunakan berbagai bentuk tugas-
tugas untuk memperoleh informasi tentang apa dan sejauhmana yang telah dilakukan
dalam suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang
ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan yang diberikan. Hasil
yang diperoleh merupakan suatu hasil dari unjuk kerja tersebut.
Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil
kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan program itu digunakan sebagai basis
untuk dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian program
tersebut.
Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja
(performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring
14
guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas,
dan kondisi penyelesaian tugas. Rubrik performansi merupakan suatu rubrik yang berisi
komponen-komponen suatu performansi ideal, dan deskriptor dari setiap komponen
tersebut. Cara penilaian kinerja ada tiga, yaitu (1) holistic scoring, yaitu pemberian skor
berdasarkan impresi penilai secara umum terhadap kualitas performansi; (2) analytic
scoring, yaitu pemberian skor terhadap aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu
performansi; dan (3) primary traits scoring, yaitu pemberian skor berdasarkan beberapa
unsur dominan dari suatu performansi.
b. Evaluasi Diri
Menurut Rolheiser dan Ross (2005) evaluasi diri adalah suatu cara untuk melihat
kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun
kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement
goal). Dengan demikian, peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses dan
pencapaian tujuan belajarnya.
Salvia dan Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi dan evaluasi diri
merupakan cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu
pemahaman bahwa apa yang dilakukan dan dihasilkan peserta didik tersebut memang
merupakan hal yang berguna bagi diri dan kehidupannya.
Rolheiser dan Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik untuk menunjukkan
kontribusi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tersebut menekankan bahwa,
ketika mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk menetapkan
tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, peserta didik harus melakukan usaha yang
lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini menentukan prestasi
(achievement); selanjutnya prestasi ini berakibat pada penilaian terhadap diri (self-
judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’?
Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’
Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction dapat terpadu untuk
membentuk kepercayaan diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan
bahwa sesungguhnya, evaluasi diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment dan
self-reaction dalam model di atas. Model tersebut digambarkan dalam bagan berikut.
15
Evaluasi diri adalah suatu unsur metakognisi yang sangat berperan dalam proses
belajar. Oleh karena itu, agar evaluasi dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross
menyarankan agar peserta didik dilatih untuk melakukannya. Kedua peneliti mengajukan
empat langkah dalam berlatih melakukan evaluasi diri, yaitu: (1) libatkan semua
komponen dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan semua peserta didik tahu
bagaimana caranya menggunakan kriteria tersebut untuk menilai kinerjanya, (3) berikan
umpan balik pada mereka berdasarkan hasil evaluasi dirinya, dan (4) arahkan mereka
untuk mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya.
Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria penilaian. Pengajar mengajak
peserta didik bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan dalam bentuk
sosialisasi tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat tepat dilakukan. Kriteria ini
dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian
adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan
menggunakan ceklis evaluasi diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama dengan
mengembangkan rubrik penilaian dalam asesmen kinerja. Ceklis evaluasi diri
dikembangkan berdasarkan hakikat tujuan tersebut dan bagaimana mencapainya.
(1)
Goals (2)
Effort
(3)
Achievement
Self-se S Self-evaluation
Self-evaluation
elf-evaluation
Self-evaluation
seseevaluation
(4)
Self-judgment
(5)
Self-reaction
(6)
Self-confidence
16
c. Esai
(Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, dan
mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti peserta didik tidak memilih jawaban, akan
tetapi memberikan jawaban dengan kata-katanya sendiri secara bebas.
Tes esai dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka
(extended-response) dan jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung
pada kebebasan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengorganisasikan atau
menyusun ide-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka
atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya untuk: (1)
menyebutkan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (3) menyusun ide-
idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai
jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi pada bentuk dan ruang
lingkup jawabannya, karena secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang harus
diberikan oleh peserta didik. Esai terbuka/tak terstruktur merupakan bentuk asesmen
otentik.
Tes esai memiliki potensi untuk mengukur hasil belajar pada tingkatan yang lebih
tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ide, dan peserta didik harus
mengembangkan sendiri buah pikirannya serta menuliskannya dalam bentuk yang tersusun
atau terorganisasi. Kelemahan esai adalah berkaitan dengan penskoran.
Ketidakkonsistenan pembaca merupakan penyebab kurang objektifnya dalam memberikan
skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui
penggunaan rubrik penilaian, dan penilai ganda (inter-rater).
d. Asesmen Portofolio
Portofolio adalah sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data) sebagai bukti
(evidence) yang menunjukkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan
portofolio dalam kegiatan evaluasi sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama dalam
pendidikan bahasa. Belakangan ini, dengan adanya orientasi kurikulum yang berbasis
kompetensi, asesmen portofolio menjadi primadona dalam asesmen berbasis kelas.
Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (biasanya ditaruh dalam folder) bukan
semata-mata kumpulan bukti yang tidak bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan
17
tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah
portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase
portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sesuai dengan langkah-langkah
kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan mengenai kapan suatu
artefak dihasilkan menjadi sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut dapat
dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik
diseleksi sendiri oleh pemilik portofolio dan diberikan alasannya. Karya terbaik dapat
lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yang lebih digunakan untuk tujuan
pajangan, sebagai hasil dari suatu kinerja tertentu.
Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target
kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yang komprehensif
karena: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara bersama-sama,
(2) berorientasi baik pada proses maupun produk belajar, dan (3) dapat memfasilitasi
kepentingan dan kemajuan peserta didik secara individual. Dengan demikian, asesmen
portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat tepat untuk menjawab
tantangan KBK.
Asesmen portofolio mengandung tiga elemen pokok yaitu: (1) sampel karya
peserta didik, (2) evaluasi diri, dan (3) kriteria penilaian yang jelas dan terbuka.
(1) Karya
Karya peserta didik menunjukkan perkembangan belajarnya dari waktu ke waktu.
Sampel tersebut dapat berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, problem
matematika, maupun eksperimen. Isi dari sampel tersebut disusun secara sistematis
tergantung pada tujuan pembelajaran, preferensi pengajar, maupun preferensi peserta
didik. Asesmen portoflolio menilai proses maupun hasil. Oleh karena itu proses dan hasil
sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yang berarti proses
mendapatkan porsi penilaian yang besar (bandingkan dengan asesmen konvensional yang
hanya menilai hasil belajar) tetapi kualitas hasil sangat penting. Dan memang, penilaian
proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan peserta didik
mencapai produk yang sebaik-baiknya.
Isi folder adalah berbagai produk yang dihasilkan oleh peserta didik, baik yang
berupa bahan/draf maupun karya (terbaik), dan disebut entri (entry). Sumber informasi
dapat diperoleh dari tes maupun non-tes (dengan tes objektif diupayakan minimal). Bahan
non-tes antara lain karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yang dapat
18
menunjukkan perkembangan peserta didik sebagai peserta didik. Catatan dan bahan
evaluasi-diri juga merupakan bagian dalam folder.
(2) Evaluasi Diri dalam Asesmen Portofolio
O’Malley dan Valdez Pierce (1994) bahkan mengatakan bahwa ‘self-assessment is
the key to portfolio’. Hal ini disebabkan karena melalui evaluasi diri peserta didik dapat
membangun pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya
apakah rute yang ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat
melihat kelebihan maupun kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini menjadi
tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian peserta didik lebih
bertanggungjawab terhadap proses belajarnya dan pencapaian tujuan belajarnya.
Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama dengan evaluasi diri yang
dibahas dalam bagian b. di atas. Memang, asesmen portofolio adalah asesmen otentik yang
paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis
asesmen yang lain seperti asesmen kinerja dan esai (lihat lampiran: contoh implementasi
asesmen portofolio).
(3) Kriteria Penilaian yang Jelas dan Terbuka
Bila pada jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘rahasia’
pengajar atau pun tester, dalam asesmen portofolio justru harus disosialisasikan kepada
peserta didik secara jelas. Kriteria tersebut dalam hal ini mencakup prosedur dan standar
penilaian. Para ahli menganjurkan bahwa sistem dan standar asesmen tersebut ditetapkan
bersama-sama dengan peserta didik, atau paling tidak diumumkan secara jelas. Rubrik
penilaian yang digunakan pengajar untuk menilai kinerja peserta didik.
6. Masalah Subjektivitas Penilaian
Isu subjektivitas terutama dalam penilaian pembelajaran yang bersifat terbuka dan
berpusat pada peserta didik seperti CTL yang menggunakan asesmen otentik seringkali
menjadi perdebatan. Ada pihak yang mengatakan bahwa hasil penilaian terhadap tugas,
projek, portofolio, dan sebagainya, rentan dari segi validitas dan reliabilitas penilaian.
Bagaimana mungkin, menurut pendapat ini, membandingkan dua peserta didik dari
portofolio masing-masing, sementara portofolio mereka berisi hal-hal yang berbeda.
19
CTL adalah upaya untuk meningkatkan kinerja dan pemberdayaan peserta didik.
Untuk tujuan ini, sangatlah sulit bila dilakukan dengan menggunakan tes-tes objektif
(yang sama untuk semua peserta didik). Dan, perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah
untuk membandingkan satu peserta didik dengan yang lainnya, melainkan bertujuan untuk
menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi, dengan kata lain, seorang peserta didik yang
berhasil bukanlah karena dia mampu ‘mengalahkan’ saingan-saingannya, melainkan
karena dia memiliki kompetensi yang tinggi dan dapat diandalkannya untuk menyongsong
masa depannya.
Namun demikian, subjektivitas dalam diri penilai sendiri tidak dapat dihindarkan
dalam asesmen non-tes. Suatu contoh, seorang guru yang terlalu banyak mengoreksi
karangan cepat merasa lelah sehingga tidak cermat lagi dalam membaca tulisan peserta
didik, akibatnya, tidak terjadi konsistensi penilaian. Hal-hal lain seperti impresi awal dapat
pula menyebabkan penilaian tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi
peserta didik.
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi subjektivitas penilaian.
Pertama, penilaian inter-rater, yaitu lebih dari satu orang memberikan penilaian terhadap
naskah yang sama. Kedua, adalah dengan menetapkan benchmark, yaitu sampel kinerja
yang berfungsi sebagai standar yang dipakai untuk menilai sampel kinerja lainnya
7. Penutup
Pembelajaran dan asesmen berbasis kompetensi sudah menjadi keharusan bagi kita
untuk melakukannya mengingat kelebihan-kelebihan yang dimiliki, yang jauh
meninggalkan pembelajaran tradisional yang lebih berpusat pada guru. Untuk itu,
kesediaan untuk mencoba sambil melakukan inovasi terhadap praktik pembelajaran yang
kita lakukan perlu terus dipupuk. Sekalian kita berbicara evaluasi diri, mari kita mulai
mencoba mengevaluasi praktik pembelajaran yang kita anut selama ini, melihat kelebihan
dan kekurangannya; dan daripadanya kita melakukan perbaikan-perbaikan. Semoga
makalah singkat ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu meningkatkan
kualitas pembelajaran yang kita lakukan, dalam rangka ikut mendukung upaya-upaya
peningkatkan kualitas pendidikan kita.
20
REFERENSI
Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill
Companies Inc.
Bond, L. P. (2005). Using Contextual Instruction to Make Abstract Learning Concrete.
Copyright 2005. Association for Career and Technical Education, printed on 15th
July 2005.
Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences:
Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December
2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy.
Printed on 15th
July 2005.
Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing.
Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005).
Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di
Perguruan Tinggi. Jakarta.
Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning.
Boston: Mc.Graw Hill.
Marhaeni, A.A.I.N. (2005). Pengaruh Asesmen Portofolio dan Motivasi Berprestasi
terhadap Kemampuan Menulis Bahasa Inggris (disertasi tak dipublikasikan),
Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Marhaeni, A. A. I. N. (2006). Menggunakan Pembelajaran Kontekstual di SMP. Makalah
disampaikan dalam workshop tentang pembelajaran di SMP Negeri 1 Negara,
tanggal 31 Juli 2006. Nitko, A.J. (1996). Educational Assessment of Students. 2nd
Edition. New Jersey: Merrill.
O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language
Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.
Paris, S. G. & Winograd, P. (2005). The Role of Self-Regulated Learning in Contextual
Teaching: Principles and Practices for Teacher Preparation (artikel
download).
Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th
Edition. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What
Practice Shows. Internet download.
Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s
Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.
21
Tentang Pembicara:
Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah dosen pada Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha Singaraja sejak tahun 1990. Lulus S1 bidang
Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan
Dasar dengan spesialisasi Pengajaran Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika
Serikat tahun 1996; dan S3 bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas
Negeri Jakarta tahun 2005. Mengajar pada Program D2 PGSD, S1 Pendidikan Bahasa
Inggris, dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Undiksha Singaraja. Meneliti dan
menulis artikel ilmiah bidang pendidikan, serta menjadi pembicara dalam seminar dan
workshop bidang Pembelajaran, Metodologi Penelitian, dan Evaluasi Pendidikan.
Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Blok C No. 3 Desa Kerobokan, Singaraja
81171; Tlp. 0362-7000162, Hp. 0817567427.
22
Skenario Perkuliahan
Pembelajaran berbasis pemecahan masalah dengan asesmen portofolio
A. Topik:
Bagaimanakah ekonomi Indonesia dapat survived tanpa IMF?
B. Kompetensi Dasar : memiliki analisis yang baik tentang pengaruh lembaga keuangan
internasional seperti IMF terhadap ekonomi Indonesia
C. Indikator:
1. dapat merumuskan peran IMF dalam ekonomi dunia.
2. dapat merumuskan peran IMF dalam ekonomi Indonesia selama 3 dekade terakhir
3. dapat merumuskan suatu strategi ekonomi yang tepat dimana Indonesia dapat
tumbuh tanpa harus tergantung pada pinjaman.
D. Materi:
Bacaan wajib:
(referensi dari guru)
Bahan dan bacaan pendukung:
Seperti download internet, dokumen, rekaman berita, dan lain-lain
E. Strategi Pembelajaran dan asesmen: PBL dan portofolio
1. Sintaks PBL
2. Asesmen Portofolio
a. Topic-based portfolio
b. Folder Contents: 3 esai (sesuai dengan indicator), draf terseleksi, materi dan
bahan yang digunakan, evaluasi diri, refleksi (cover letter)
F. Langkah-langkah Pembelajaran
Persiapan
1. merancang kompetensi dasar dan indikator kompetensi
2. merancang langkah-langkah umum pemecahan masalah
23
3. merancang cara pelaksanaan asesmen portofolio
4. merancang isi folder dan kriteria penilaian
5. merancang instrumen evaluasi diri
Pelaksanaan:
Pertemuan I:
a. Guru menyampaikan topik pembelajaran dan rancangan 1-5 kepada peserta
didik dan mendiskusikannya dengan peserta didik
b. Guru-peserta didik menyepakati 1-5 (berdasarkan hasil diskusi)
c. Guru memberi wawasan umum tentang topic (bila perlu)
d. Peserta didik berbagi kelompok
Pertemuan II
Work in progress: group work, self-evaluation in group, teacher-student conferences,
portfolio development (catatan: banyak hal-hal yang harus disiapkan dan dilakukan
peserta didik diluar sesi perkuliahan untuk kegiatan ini. Disinilah antara lain terlihat
nuansa SCL secara jelas).
Pertemuan III
Portfolio presentation (dalam bentuk seminar, workshop, atau pameran)
Monitoring dan Evaluasi
a. Portfolio presentation ( kualitas presentasi/4, kemampuan menjawab
pertanyaan/4, etika presentasi/2)
b. Portfolio folder (kelengkapan isi folder/2, relevansi data/2, ketajaman
analisis terhadap masalah/4, evaluasi diri dan refleksi/2)
24
Rubrik Penilaian
Portfolio Presentation
No. Dimensi Deskriptor Skor
(1-10)
Bobot SxB
1. Kualitas presentasi Paparan sistematis,
dukungan visual
tepat, bahasa baik
4
2. Kemampuan menjawab
pertanyaan
Menjawab
pertanyaan, isi
jawaban tepat dan
lugas
4
3. Etika presentasi Tegas dan luwes,
mengikuti tatatertib,
mengikuti tatakrama
kegiatan ilmiah
2
Ceklis Evaluasi Diri
Presentation Checklist
No. Dimensi Deskriptor Cek
1. Kualitas presentasi paparan sistematis
dukungan visual tepat
bahasa baik
2. Kemampuan menjawab
pertanyaan
menjawab pertanyaan
isi jawaban tepat dan lugas
3. Etika presentasi tegas dan luwes
mengikuti tatatertib
mengikuti tatakrama kegiatan ilmiah
25
Rubrik Penilaian
Portfolio Folder Assessment
No. Dimensi Deskriptor Skor Bobot SxB
1. Kelengkapan entri Cover letter, table of
contents, final works,
draf dan bahan, self-
evaluation
2
2. Relevansi data menunjang
penyelesaian tugas,
isi komprehensif,
volume memadai
2
3. Ketajaman analisis latar belakang logis,
fokus masalah jelas,
dukungan teori dan
fakta tepat, solusi
tajam dan
komprehensif
4
4. Evaluasi diri dan Refleksi Kualitas dan
kuantitas self-
evaluation, kualitas
isi cover letter
2
Ceklis Evaluasi Diri
Portfolio Folder Checklist
No. Dimensi Deskriptor Cek
1. Kelengkapan entri Cover letter
table of contents
final works
Draf dan bahan
self-evaluation
26
2. Relevansi data menunjang penyelesaian tugas
isi komprehensif
volume memadai
3. Ketajaman analisis latar belakang logis
fokus masalah jelas
dukungan teori dan fakta tepat
solusi tajam dan komprehensif
4. Evaluasi diri dan Refleksi kualitas self-evaluation
kuantitas self-evaluation
kualitas isi cover letter
TUGAS LOKAKARYA
Dengan menggunakan contoh di atas sebagai pegangan dan inspirasi, masing-
masing peserta diminta membuat satu skenario pembelajaran yang berpusat pada
peserta didik, untuk suatu topik atau pokok bahasan dalam salahsatu matakuliah yang
diampu. Skenario tersebut akan dipresentasikan untuk mendapat umpan balik.
27
Referensi
Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill
Companies Inc.
Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences:
Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000.
Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy. Printed on
15th
July 2005.
Direktorat Pembinaan Akademik dan Kepeserta didikan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005).
Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di
Perguruan Tinggi. Jakarta.
Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning.
Boston: Mc.Graw Hill.
Moore, K. D. (2005). Effective Instructional Strategies From Theory to Practice.
California: Sage Publications Inc.
Tentang Pembicara:
Dr. Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni, M. A., adalah guru pada S1 Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris dan S2 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program
Pascasarjana Undiksha Singaraja. Lulus S1 bidang Pendidikan Bahasa Inggris dari FKIP
UNUD Singaraja tahun 1989; S2 bidang Pendidikan Dasar dengan spesialisasi Pengajaran
Bahasa dari Ohio State University, Ohio Amerika Serikat tahun 1996; dan S3 bidang
Penelitian dan Evaluasi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta tahun 2005. Selain
mengajar, juga meneliti dan menulis naskah dan artikel ilmiah bidang pendidikan, serta
menjadi narasumber dalam seminar dan workshop bidang pembelajaran, metodologi
penelitian, dan evaluasi pendidikan. Anggota tim kurikulum PGSD Ditjen Dikti (1997-
1998), penatar PTK Proyek PGSM Ditjen Dikti (1998-2001). Anggota tim Standar
Penilaian pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2005). Konsultan Penelitian
Guru di Jembrana, Ditjen PMPTK Dikti (2005). Reviewer penelitian dan hibah kompetisi
Undiksha (2004-sekarang). Bertempat tinggal di Perumahan Puri Asri Desa Kerobokan,
Kabupaten Buleleng. Tlp. 0362-7000162; Hp. 0817567427.