Download - makalah kel 7.rtf
MAKALAH IKGM IV
“ KEBIJAKAN DESENTRALISASI KESEHATAN DAN
GOVERNANCE SEKTOR KESEHATAN “
Disusun Oleh :
KELOMPOK 7
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2013
KELOMPOK 7
KETUA : FIONA WARIZKY (10-052)
SEKRETARIS : MELISYA (10-056)
MODERATOR : DIAH SULISTIA (10-058)
ANGGOTA : MAIDESILVA ELUKHRA (10-050)
MUTIA FEBRIAN (10-054)
IRENE SEPTIKA (10-060)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Illahi Rabbi, atas kehendak dan
ketetapan- Nya telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulisan
makalah yang berjudul ” KEBIJAKAN DESENTRALISASI KESEHATAN
DAN GOVERNANCE SEKTOR KESEHATAN “ dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas kuliah IKGM IV pada
semester VII di Universitas Baiturrahmah.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari, bahwa semua proses
yang telah dilalui tidak lepas dari bimbingan Drg. Masra Roesnoer, M.Kes. selaku
dosen pembimbing, bantuan, dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak
lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini belum sempurna sebagaimana
mestinya, baik dari segi ilmiah maupun dari segi tata bahasanya, karena itu kritik
dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah semuanya penulis serahkan dan
mudah- mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Padang, Oktober 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum.................................................................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus................................................................. 2
1.3 Manfaat ................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Desentralisasi dan Desentralisasi Kesehatan........... 3
2.1.1 Desentralisasi Kesehatan.................................................. 3
2.1.2 Hakikat Desentralisasi Kesehatan.................................... 5
2.1.3 Tujuan Desentralisasi Kesehatan..................................... 6
2.1.4 Elemen Pokok Desentralisasi Kesehatan di Daera........... 6
2.2 Good Governance di Sektor Kesehatan di Daerah................... 8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Dampak Desentralisasi Kesehatan............................................ 12
3.1.1 Dampak Positif................................................................. 12
3.1.2 Dampak Negatif............................................................... 12
3.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia............................ 12
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................ 16
4.2 Saran........................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia saat ini sedang berlangsung sebuah reformasi yang dipicu oleh
adanya UU No 22 dan 25 tahun 1999. UU tersebut jelas akan membawa
perubahan besar mengenai peran pemerintah dan swasta dalam pelayanan
kesehatan. Dampak perubahan UU tersebut adalah adanya otonomi di daerah di
bidang kesehatan yang pada hakikatnya ialah pemberian kewenangan kepada
daerah untuk merumuskan dan mengembangkan sistem kesehatan di daerah yang
bersangkutan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat serta
kondisi dan kemampuan daerah.
Dampak kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan dan pemikiran ke depan
dalam berbagai skenario perlu dipahami oleh para pelaku kesehatan di Indonesia.
Beberapa bukti empiris di negara lain melaporkan berbagai masalah dalam
pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan. Masalah-masalah yang timbul itu
disebabkan oleh karena implikasi desentralisasi di sektor kesehatan tidaklah
mudah. Ini akan terkait dengan berbagai hal seperti pemahaman akan cara
pandang terhadap lembaga-lembaga di sektor kesehatan, apakah menggunakan
paradigma good governance atau good corporate.
Desentralisasi di bidang teknis jauh lebih sulit dibandingkan desentralisasi di
bidang politik. Sebagai contoh setelah terbentuknya DPRD baru dan pemda maka
selesai proses desentralisasi di bidang politik, tetapi tidak halnya di bidang teknis
kesehatan. Karena makna desentralisasi dalam praktik mempunyai berbagai
macam bentuk yang tidak hanya tergantung pada struktur politik pemerintahan
dan administrasi, tetapi juga tergantung dari pola organisasi pelayanan kesehatan
yang terdapat di masing-masing negara. Dengan demikian desentralisasi tidak
hanya sebagai suatu konsep penting dalam manajemen kesehatan, tetapi juga hal
yang tidak mudah untuk dipahami. Dalam prosesnya, pemerintah daerah sangat
tergantung pada beberapa faktor, yaitu dukungan pembiayaan, kerja sama lintas
sektor, dan lain-lain dalam menyukseskan sistem kesehatan di daerahnya.
Good governance dalam konteks otonomi daerah merupakan bahasa strategi
karena, pertama, erat relevansinya dengan berkembangnya operasionalisasi
1
manajemen dan administrasi publik, selaras dengan berbagai perubahan
kemasyarakatan, baik pada skala domestik maupun skala internasional. Dalam
kaitannya dengan otonomi daerah, prinsip good governance dalam praktiknya
adalah dengan menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dalam setiap pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan serta tindakan
yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsi
pelayanan publik.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui kebijakan desentralisasi kesehatan dan governance
sektor kesehatan di Indonesia.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami kebijakan desentralisasi dan desentralisasi kesehatan.
2. Memahami good governance di sektor kesehatan.
3. Memahami pengaruh kebijakan desentralisasi terhadap governance di
sektor kesehatan.
1.3 Manfaat
1. Pembaca dapat memahami latar belakang kebijakan desentralisasi dan
desentralisasi kesehatan di Indonesia.
2. Memahami arti good govenance di sektor kesehatan, dalam konteks
perubahan kebijakan desentralisasi .
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Desentralisasi dan Desentralisasi Kesehatan
2.1.1 Desentralisasi Kesehatan
Desentralisasi merupakan suatu proses transfer/penyerahan sebagian
wewenang dan tanggung jawab dari urusan yang semula adalah urusan
pemerintah pusat kepada badan-badan atau lembaga-lembaga Pemerintah Daerah
agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan-urusan tersebut beralih
kepada Daerah dan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Jenis desentralisasi yang umum dijumpai dalam praktek terdiri dari :
1. Dekosentrasi
Yaitu istilah yang dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa
kekuasaan administratif ke kantor-kantor daerah dari pemerintah pusat.
Contoh di sektor kesehatan yaitu adanya kantor wilayah departemen
kesehatan ditingkat propinsi atau kabupaten.
2. Devolusi
Yaitu merupakan kebijaksanaan untuk membentuk atau memperkuat
tingkat subnasional sering disebut sebagai pemerintahan daerah atau
badan otoritas daerah yang benar-benar independen dari tingkat nasional
dalam beberapa fungsi yang jelas.
3. Delegasi
Yaitu berkaitan dengan pemindahan tanggung jawab manajerial untuk
tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi yang berada diluar struktur
pemerintah pusat dan hanya secara tidak langsung dikontrol oleh
pemerintah pusat.
4. Privatisasi
Yaitu pemindahan tugas-tugas pengelolaan ke organisasi sukarelawan atau
perusahaan-perusahaan privat yang mencari untung atau tidak mencari
untung dengan berbagai jenis peraturan pemerintah yang mengikatnya.
3
Desentralisasi kesehatan harusnya menjadi bagian yang menguntungkan dari
pembangunan kesehatan, sehingga para pelaku tenaga kesehatan dapat lebih
terbuka dan profesional dalam menjalankan setiap tugasnya. Namun dalam
pelaksanaan desentralisasi bidang kesehatan, masih terdapat ketidaksamaan visi
antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Untuk itu perlu adanya sinergi
antara komitmen pemerintah pusat untuk menjalankan desentralisasi kesehatan
secara utuh dengan akselerasi sumber daya pemerintah daerah untuk
memperjuangkan desentralisasi kesehatan dan sekaligus bertanggung jawab
terhadap terjaminnya kualitas pelaksanaan program-program kesehatan di daerah.
Poin dalam desentralisasi kesehatan, yaitu :
1. Mendekatkan pengambilan keputusan.
2. Pembangunan kesehatan lebih sesuai dengan lokal spesifik.
3. Potensi masyarakat lebih diberdayakan.
4. Derajat kesehatan meningkat.
5. Human developmental index Indonesia meningkat.
Ditengah keterbatasan sumber daya dalam hal pembiayaan dan tenaga adalah
memprioritaskan bidang-bidang pembangunan kesehatan, seperti Kesehatan Ibu
dan Anak. Oleh karena itu, Depkes akan menempuh 4 strategi utama, yaitu :
1. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat
Sasaran utama strategi ini adalah seluruh desa menjadi desa siaga, seluruh
masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat serta seluruh keluarga
sadar gizi.
2. Meningkatkan akses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas
Sasaran utama strategi ini adalah :
a. Setiap orang miskin mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu.
b. Setiap bayi, anak, dan kelompok masyarakat risiko tinggi terlindungi
dari penyakit.
c. Setiap desa tersedia SDM kesehatan yang kompeten.
d. Setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar.
4
e. Setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau
seluruh masyarakat di wilayah kerjanya.
f. Pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit, Puskesmas dan
jaringannya memenuhi standar mutu.
3. Meningkatkan sistem surveillans, monitoring dan informasi kesehatan
Sasaran utama dari strategi ini adalah :
a. Setiap kejadian penyakit terlaporkan secara cepat kepada desa/lurah
untuk kemudian diteruskan ke instansi kesehatan terdekat.
b. Setiap kejadian luar biasa (KLB) dan wabah penyakit tertanggulangi
secara cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan
masyarakat
c. Semua ketersediaan farmasi, makanan dan perbekalan kesehatan
memenuhi syarat.
d. Terkendalinya pencemaran lingkungan sesuai dengan standar
kesehatan
e. Berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence based di
seluruh Indonesia.
4. Meningkatkan pembiayaan kesehatan
Sasaran utama dari strategi ini adalah :
a. Pembangunan kesehatan memperoleh prioritas penganggaran
pemerintah pusat dan daerah.
b. Anggaran kesehatan pemerintah diutamakan untuk upaya pencegahan
dan promosi kesehatan.
c. Terciptanya sistem jaminan pembiayaan kesehatan terutama bagi
rakyat miskin.
2.1.2 Hakikat Desentralisasi Kesehatan
Sesuai dengan paradigma sehat yang ditetapkan sebagai model pembangunan
kesehatan yang mengutamakan upaya-upaya promotif dan preventif tanpa
mengabaikan upaya-upaya kuratif dan rehabilitatif.
5
Paradigma sehat merupakan modal pembangunan kesehatan yang dalam
jangka panjang akan mampu mendorong masyarakat untuk bersikap dan bertindak
mandiri dalam menjaga kesehatannya sendiri melalui kesadaran terhadap
pentingnya upaya-upaya kesehatan yang bersifat promotif dan dan preventif.
2.1.3 Tujuan Desentralisasi Kesehatan
1. Terbangun komitmen antara Pemda, legislatif, masyarakat dan stakeholder
lainnya guna kesinambungan pembangunan kesehatan.
2. Kapasitas sumber daya manusia meningkat.
3. Kesehatan masyarakat terlindung, khususnya maskin, kelompok rentan
dan daerah miskin.
4. Terwujud komitmen nasional dan global dalam kesehatan daerah dan
tertatanya manajemen kesehatan di era desentralisasi.
2.1.4 Elemen Pokok Desentralisasi Kesehatan di Daerah
Pemerintah Daerah harus memahami hakikat desentralisasi kesehatan,
bagaimana menentukan skala prioritas, bagaimana menganalisis potensi setempat,
bagaimana melibatkan masyarakat, bagaimana mengoptimalkan sarana dan
prasarana yang ada, dan bagaimana melibatkan sektor (instansi) lain yang terkait
dengan pembangunan kesehatan di daerah. Ada tiga elemen pokok di daerah yang
dituntut kesiapannya dalam memahami hakikat dan tujuan desentralisasi
kesehatan sehingga pelaksanaannya di daerah dapat berjalan sesuai dengan
harapan. Ketiga elemen tersebut adalah :
1. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Hal pertama yang perlu dipahamai oleh pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota beserta jajarannya adalah memahami hakekat dan tujuan
kebijakan desentraslisasi kesehatan. Selain itu, hal lain yang sama
pentingnya adalah pemahaman fungsi, tugas, dan wewenang Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh peraturan, serta
kewenangan pihak instansi yang lebih tinggi (Provinsi dan Pusat). Hal ini
diperlukan untuk menghindari kemungkinan adanya saling tidak
pengertian antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah
Provinsi dan Pusat. Untuk tujuan ini pemerintah daerah bersama-sama
6
dengan pihak DPRD dapat menyelenggarakan sebuah seminar atau
sejenis pelatihan bekenaan dengan fungsi, tugas, dan wewenang daerah
untuk menyamakan persepsi mereka terhadap desentralisasi kesehatan.
Bekenaan dengan pelaksanaan desentralisasi kesehatan, pihak Pemerintah
Daerah, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan DPRD perlu
melaksanakan hal-hal, antara lain, sebagai berikut :
a. Menetapapkan sistem kesehatan daerah.
b. Menyusun program pembangunan secara bottom-up.
c. Menumbuhkan mental proaktif.
d. Mengembangkan sistem informasi kesehatan daerah.
e. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan
kesehatan.
f. Mengembangkan model promosi kesehatan daerah.
g. Meningkatkan kerjasama lintas sektoral.
h. Membentuk badan kerjasama antar Kabupaten/Kota.
i. Meningkatkan keterlibatan masyarakat.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Disadari bahwa kemampuan anggota DPRD sangat beragam dan cenderung
terbatas, terutama DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Sementara mereka dituntut
untuk memahami hakikat desentralisasi (termasuk desentralisasi bidang
kesehatan) agar dapat mengawasi pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah
dan mengeluarkan peraturan daerah (PERDA). PERDA yang dihasilkan harus
mendukung program pembangunan kesehatan, menciptakan iklim yang kondusif
untuk infestasi kesehatan. Hal ini dapat terjadi jika pihak DPRD memiliki
komitmen yang baik terhadap pembangunan kesehatan dan memahami
hakikatnya. Untuk tujuan ini perlu diselenggarakan pelatihan (capacity building)
kepada anggota DPRD (terutama komisi C yang membidangi kesehatan)
mengenai kebijakan desentralisasi kesehatan. Ada baiknya juga dipertimbangkan
agar komisi C DPRD memiliki staf ahli bidang kesehatan untuk dimintai saran
dan pendapat berkaitan dengan tugas pengawasan DPRD.
7
3. Masyarakat
Makna substansial dari desentralisasi kesehatan adalah peran serta
masyarakat, maka adanya kebijakan desentralisasi akan memberi ruang dan waktu
bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan usul berkenaan
dengan pembangunan kesehatan di daerah. Masyarakat berhak dimintai
pendapatnya mengenai apa yang terbaik bagi mereka dan apa yang mereka
butuhkan. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga adat, tokoh masyarakat, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus secara bersama-sama dan bahu-
membahu dengan pemerintah menjalankan pembangunan kesehatan di daerahnya.
Pemerintah harus memberi akses yang sebesar-besarnya kepada masyarakat
tentang kebijakan yang dilakukan, sehingga masyarakat merasa turut memiliki
pembangunan dan diakui keberadaannya. Selain itu, masyarakat dapat berperan
sebagai pengawas jalannya pembangunan kesehatan daerah.
2.2 Good Governance di Sektor Kesehatan
Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan
sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam
suatu kegiatan kolektif . Lembaga Administrasi Negara, mengartikan governance
adalah proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan
penyediaan public goods and services. Lebih lanjut LAN menegaskan jika dilihat
dari segi functional aspect, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah
telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah
digariskan atau sebaliknya.
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok
ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1. Partisipasi masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan
yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut
dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta
kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif.
8
2. Tegaknya supremasi hukum
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu,
termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparasi
Transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak
yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat
dimengerti dan dipantau.
4. Peduli dan stakeholder
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani
semua pihak yang berkepentingan.
5. Berorientas pada consensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan
yang berbeda demi terbangunnya suatu consensus menyeluruh dalam hal apa yang
terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam
hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau
mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan efisiensi
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil
sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber
daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas
Kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggung
jawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan
yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan melalui media pertanggung jawaban secara periodik. Akuntabilitas ini
tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan
tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
9
9. Visi strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke
depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan
tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas
kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
10
BAB III
PEMABAHASAN
Banyak pendapat yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia saat ini diyakini bisa menjamin segera terwujudnya good
local governance. Apalagi jika dibandingkan secara dikotomis dengan praktik
sentralistik di masa lalu yang meminggirkan sebagian besar komponen
masyarakat, pelaksanaan otonomi daerah memiliki legitimasi/justifikasi politik
dan moral yang sangat kuat. Permasalahannya bukan terletak pada perlu atau
tidaknya otonomi, melainkan otonomi yang bagaimanakah yang bisa kita
andalkan untuk mewujudkan good governance ?
Dengan adanya otonomi daerah yang landasan berpikirnya mengacu pada
good governance maka pembangunan daerah dan strategi apapun yang ingin
ditempuh daerah untuk mewujudkannya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
elite politik, elite birokrasi, dan eksponen penting dari masyarakat daerah itu
sendiri.
Paradigma perubahan paradigma pembangunan kesehatan dalam kerangka
desentralisasi :
Paradigma Lama Paradigma Baru
1. Program dan kebijakan yang top
down.
2. Mentalitas nrimo.
3. Meninabobokan potensi lokal.
4. Pembangunan kesehatan berbasis
pemerintah.
5. Sistem purnabayar pelayanan
kesehatan.
6. Pembangunan Kesehatan Sektoral.
1. Bottom-up.
2. Mentalitas proaktif.
3. Pemberdayaan sumber daya lokal.
4. Pembangunan kesehatan berbasis
masyarakat.
5. Sistem prabayar pelayanan
kesehatan.
6. Pembangunan Kesehatan
Multisektor.
11
3.1 Dampak Desentralisasi Kesehatan
3.1.1 Dampak Positif
1. Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis yang
berdasarkan atas aspirasi masyarakat.
2. Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan.
3. Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini
belum tergarap.
4. Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah daerah yang
selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan.
5. Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan
(termasuk pembiayaan kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor
lain.
3.1.2 Dampak Negatif
Dampak negatif muncul pada dinas kesehatan yang selama ini terbiasa
dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat diharuskan membuat
program dan kebijakan sendiri. Jika pemerintah daerah tidak memiliki sumber
daya yang handal dalam menganalisis kebutuhan, mengevaluasi program, dan
membuat program, maka program yang dibuat tidak akan bermanfaat. Selain itu,
pengawasan dana menjadi hal yang harus diperhatikan untuk menghindari
penyelewengan anggaran.
Arus desentralisasi semakin menuntut pemotongan jalur birokrasi aparatur
pemerintahan. Hal ini menjadi kendala karena perubahannya membutuhkan waktu
yang lama dan komitmen dari aparatur pemerintah.
3.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia
Dicetuskannya “Visi Indonesia Sehat 2010” pada tahun 1999 seakan
memberikan angin segar dan harapan dalam pembagunan kesehatan. Diharapakan
pada tahun 2010, bangsa Indonesia akan mencapai tingkat kesehatan tertentu
dengan ditandai dengan penduduknya yang :
1. Hidup dalam lingkungan yang sehat.
2. Mempraktikan perilaku hidup bersih dan sehat.
12
3. Mampu menyediakan dan memanfaatkan (menjangkau) pelayanan
kesehatan yang bermutu.
4. Memiliki derajat kesehatan yang tinggi.
Selain itu secara garis besar visi ini juga memberikan gambaran bertahap
tentang pembangunan kesehatan yaitu; Desa Sehat akan terwujud pada tahun
2003, kecamatan sehat pada tahun 2004, kabupaten sehat pada 2005, dan berturut-
turut propinsi dan negara sehat pada tahun 2006 dan 2007. Tetapi, tanpa melihat
indikator-indikator kecilnya saja secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa
Visi Indonesia Sehat 2010 ini tidak tercapai.
Beberapa problem mendasar dalam pembangunan kesehatan yang
mengakibatkan tidak tercapainya Visi Indonesia Sehat 2010 diantaranya :
1. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan di Indonesia belum terselenggara secara menyeluruh,
terpadu dan berkesinambungan. Penyelenggaraan upaya kesehatan yang bersifat
peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih terlihat sangat kurang.
Pemerintah selama ini hanya berkutat dan menghabiskan banyak anggaran di
bidang pengobatan (kuratif) dan rehabilitatif. Pemerintah ternyata masih belum
beranjak dari paradigma sakit.
Kualitas pelayanan rumah sakit sebagai sarana pelayanan rujukan masih
dirasakan sangat kurang. Dengan keadaan seperti ini tidak mengherankan bila
derajat kesehatan masyarakat di Indonesia belum memuaskan. Angka Kematian
Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, yakni masing-masing
50/1000 kelahiran hidup. dan 373/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan umur
harapan hidup masih rendah, yakni rata-rata 66,2 tahun.
2. Pembiayaan Kesehatan
Dalam hal pembiyaian kesehatan, negara kita sangatlah jauh dari ideal.
Terget biaya kesehatan yang seharusnya 15 % per tahun 2010 dalam anggaran
APBD ternyata hanya terpenuhi 5,8 % per 2008. Untuk tahun 2009 , pemerintah
hanya mengalokasikan anggaran pembangunan kesehatan sebesar 2,5% dari total
APBN.
Keadaan ini diperparah dengan tidak meratanya anggaran kesehatan dari
masing-masing daerah akibat desentralisasi. Pengalokasian dana bersumber
13
pemerintah belum efektif. Dana pemerintah lebih banyak dialokasikan pada upaya
kuratif dan sementara itu besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif
dan preventif sangat terbatas. Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil
untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk keluarga
miskin. Mobilisasi sumber pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih terbatas
serta bersifat perorangan (out of pocket). Jumlah masyarakat yang memiliki
jaminan kesehatan masih terbatas, yakni kurang dari 20% penduduk. Metoda
pembayaran kepada penyelenggara pelayanan masih didominasi oleh pembayaran
tunai sehingga mendorong penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan
secara berlebihan serta meningkatnya biaya kesehatan. Demikian pula penerapan
teknologi canggih dan perubahan pola penyakit sebagai akibat meningkatnya
umur harapan hidup akan mendorong meningkatnya biaya kesehatan tidak dapat
dihindari. Tingginya angka kesakitan juga berdampak terhadap biaya kesehatan
yang pada gilirannya akan memperberat beban ekonomi. Hal ini terkait dengan
besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk berobat, serta hilangnya pendapatan
akibat tidak bekerja. Sebagai contoh beban dan atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan penyakit TBC di Indonesia diperkirakan tidak kurang dari Rp 2,5
triliun/tahun.
3. Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sumber daya kesehatan, teritama sumber daya manusia di negara ini masih
belum memadai. Terlibih masalah distribusi tenaga kesehatan. Distribusi tenaga
kesehatan sampai saat ini belum bisa dikatakan menggembirakan. Sekalipun sejak
tahun 1992 telah diterapkan kebijakan penempatan tenaga dokter dan bidan
dengan sistem PTT. Tercatat rasio dokter terhadap Puskesmas untuk kawasan
Indonesia bagian barat, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah bagian
timur. Rasio tenaga dokter terhadap Puskesmas di Provinsi Sumatera Utara = 0,84
dibanding dengan Provinsi NTT = 0,26 dan Provinsi Papua = 0,12. Belum lagi
soal tenagar kesehatan para medis lainnya. Mutu SDM Kesehatan masih
membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin dari rendahnya kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
14
4. Pemberdayaan Masyarakat
Pembangunan kesehatan di Indonesia dilaksanakan dengan pemberdayaan
masyarakat. Untuk itu berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat
banyak didirikan, antara lain dalam bentuk Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa,
serta Pos Upaya Kesehatan Kerja. Sedangkan dalam bidang pembiayaan
kesehatan pemberdayaan masyarakat diwujudkan melalui bentuk dana sehat serta
berbagai yayasan peduli dan penyandang dana kesehatan seperti yayasan kanker
Indonesia, yayasan jantung Indonesia, yayasan thalasemia Indonesia, serta
yayasan ginjal Indonesia. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan pula dalam
bentuk berbagai gerakan, seperti Koalisi Indonesia Sehat, Gebrak Malaria,
Gerdunas TB, Gerakan Sayang Ibu, gerakan anti madat serta gerakan pita putih
(kesehatan ibu) dan gerakan pita merah (HIV/AIDS). Sayangnya pemberdayaan
masyarakat dalam arti mengembangkan kesempatan yang lebih luas bagi
masyarakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang
kesehatan masih dilaksanakan secara terbatas. Kecuali itu lingkup pemberdayaan
masyarakat masih dalam bentuk mobilisasi masyarakat. Sedangkan pemberdayaan
masyarakat dalam bentuk pelayanan, advokasi kesehatan serta pengawasan sosial
dalam program pembangunan kesehatan belum banyak dilaksanakan.
5. Manajemen Kesehatan
Dalam hal manajemen kesehatan pun dianggap mengecewakan,
Inkonsistensi antara pengambilan dan implementasi kebijakan pembangunan
kesehatan menjadi salah satu kendala mencapai tujuan pembangunan kesehatan.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dengan diterapkannya desentralisasi kesehatan di Indonesia, memberikan
ruang yang lebih bagi pemerintah daerah untuk dapat menyikapi sendiri
permasalahan kesehatan yang dihadapi di daerah tersebut. Tentunya hal ini akan
mempersempit “lahan” departemen kesehatan dalam melaksanakan kebijakan-
kebijakan kesehatan di Indonesia. Pola sentralisasi dari pemerintahan sebelumnya
sudah begitu melekat dalam praktek pemerintahan sehingga akan menimbulkan
konflik birokrasi jika berhadapan dengan sistem desentralistik dengan model
bottom to up seperti yang terlihat dimasa ini.
Desentralisasi pembangunan kesehatan bertujuan untuk mengoptimalkan
pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat. Dengan sistem desentralistik diharapkan program
pembangunan kesehatan lebih efektif dan efisien untuk menjawab kebutuhan
kesehatan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sistem desentralistik tidak
harus selalu menunggu kebijakan dari pemerintah pusat. Selain itu, sistem
desentralistik juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri
program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya.
Keterlibatan masyarakat (community involvement) menjadi kebutuhan sistem ini
untuk dapat lebih mengeksplorasi kebutuhan dan potensi lokal.
4.2 Saran
Diharapkan dengan adanya kebijakan desentralisasi, pemerintah dan
masyarakat harus bersama-sama bahu-membahu menjalankan pembangunan
kesehatan untuk mencapai kondisi kesehatan yang dicanangkan dalam Indonesia
Sehat 2010 dapat tercapai, yaitu masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan
dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan
yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim Batubara, Alwi. 2006. Konsep Good Governance dalam Konsep Otonomi Daerah. Medan
Nasriyadi, Nasir. 2010. Potret Pembangunan Kesehatan Indonesia; Sebuah Refleksi Akhir Tahun 2009. [On Line]. Dari : http://nasriyadinasir.blogspot.com/2010/01/potret-pembangunan-kesehatan-indonesia.html [1 Oktober 2012]
Ramadhani, Chasiah. 2009. Desentralisasi Kesehatan. [On Line]. Dari :
http://chasiahramadhani.blogspot.com/2009/05/desentralisasikesehatan.ht
ml) [1 Oktober 2013]
---------, 2013. Arti Otonomi Daerah dan Desentralisasi. [On Line]. Dari : http://macrofag.blogspot.com/2013/03/konsep-puskesmas-era-desentralisasi_4.html#chitika_close_button [1 Oktober 2013]
Samsudrajat S, Agus. 2013. Reformasi Sistem Kesehatan Melalui Pengembangan Konsep Kesehatan Holistik Sebagai Pelayan Masyarakat Universal, Menjangkau, Aman, Nyaman dan Profesional Menuju Pembangunan Kesehatan yang Berkualitas. [On Line]. Dari : http://agus34drajat.wordpress.com/2013/06/12/potret-indonesia-2014-reformasi-sistem-kesehatan-melalui-pengembangan-konsep-kesehatan-holistik-sebagai-pelayan-masyarakat-universal-menjangkau-aman-nyaman-dan-profesional-menuju-pembangunan-keseha/ [1 Oktober 2013]
Siagian, Albiner. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Kesehatan (Suatu Kajian Kesiapan Daerah Menghadapi Desentralisasi Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010). [On Line]. Dari : http://www.mojokertokota.go.id/bpse/1298442484.pdf [1 Oktober 2013]
Sj. Sumarto, Hetifah. 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor. [On Line]. Dari : http://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=yj2_Bb46jRAC&oi=fnd&pg=PR13&dq=governance+kesehatan+indonesia&ots=CIHE06iwjy&sig=tEqmNmBpIgYhtJMyNzWiRQuftnM&redir_esc=y#v=onepage&q=governance%20kesehatan%20indonesia&f=false [1 Oktober 2013]
Suharto, Edi. 2006. Pembangunan Kesos dalam Pusaran Desentralisasi dan Good Governance. [On Line]. Dari : http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=198 [1 Oktober 2013]