Makalah Kapita Selekta
Sejarah Perkembangan
Industri Elektronik di Indonesia
Disusun oleh
EKO ADITIYA
111.06.0009
INSTITUT TEKNOLOGI INDONESIA
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
SERPONG
2010
PENDAHULUAN
Sejak tahun 1962 telah lahirnya tonggak baru dalam dunia elektronika.
Waktu itu pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia menyaksikan pesta
olah raga kebanggaan masyarakat Asia tersebut. Tak kurang dari alm. M. Thayeb
Gobel menyambut keinginan tersebut dengan mulai merakit televisi hitam putih
pertama di Indonesia, di samping radio. Kendati hanya dadakan, produksi televisi
tersebut telah menandai lahirnya industri elektronik di persada Nusantara.
Sebetulnya, sebelum itu sudah ada pabrik radio Philip di Bandung dan
Surabaya. Tapi, kedua pabrik itu merupakan peninggalan Belanda. Kemudian,
pabrik radio Philips di Surabaya berubah menjadi pabrik bohlam. Tahun 1956 Pak
Gobel juga sudah mendirikan PT Transistor Radio Mfg. Co., yang memproduksi
radio merek Tjawang. Kemudian, di Medan tahun 1962 lahir pula radio merek
Nusantara yan diproduksi PT Nusantara Polaar.
Sampai tahun 1960-an industri elektronik kita memang masih belum
kelihatan atau masih dalam proses menjadi bayi. Yang muncul hanyalah kegiatan
reparasi, seperti yang sudah dilakukan Bos Toa Galva, Uripto Wijaya sejak tahun
1950-an. Produksi televisi yang dilakukan, misalnya, hanya sebatas memenuhi
kebutuhan Asian Games. Sesuai dengan kondisi waktu itu, perhatian pemerintah
memang hanya tertuju ke sana. Setelah Asian Games belum ada kebijakan
lanjutan dari Pemerintah.
Saat itu semua kebutuhan barang elektronik harus diimpor. Sehingga,
tahun 1950-an sudah terbentuk Persatuan Pedagang Radio Indonesia (PPRI).
Selain dari hasil produksi Philips di Bandung dan Surabaya, kebutuhan radio
masih diimpor. Pemerintah menyadari bahwa kondisi itu tidak menguntungkan
Indonesia harus mengeluarkan devisa begitu banyak untuk mengimpor produk
elektronik. Sebetulnya, kondisi ini tidak hanya berkaitan dengan bidang
elektronik, tapi juga dengan bidang lain,. Sehingga, waktu itu pemerintah
mengeluarkan kebijakan substitusi impor.
Melalui kebijakan ini pemerintah berusaha mendorong industri dalam
negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dalam negeri, menggantikan
barang-barang yang diimpor. Demikian juga dengan industri elektronik. Mulai
awal tahun 1970 industri elektronik dikembangkan dengan pola substitusi impor
sampai pertengahan tahun 1985.
Kebijakan pemerintah tersebut disambut baik oleh masyarakat industri
elektronik. Puluhan perusahaan bermunculan sejak tahun 1970. Mereka ini boleh
dibilang pioner dalam dunia elektronik.
Dengan rangsangan yang diberikan terhadap PMA (Penanaman Modal
Asing), munculah beberapa perusahaan patungan dengan merek-merek terkenal
dari Jepang, seperti National dan Sanyo. Juga, beberapa perusahaan dengan merek
terkenal dari Eropa, seperti Grundig, Philips, dan ITT. Sampai 1973 saja sudah 15
Perusahaan aktif, baik sebagai agen tunggal pemegang merek (ATPM) maupun
yang memproduksi dengan merek lokal.
Perusahaan ATPM, misalnya PT Yasonta yang merakit televisi dengan
merek Sharp dari Jepang ; PT Sanyo Industries Indonesia yang merakit radio,
televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek Sanyo dari Jepang; PT National
Gobel yang merakit radio, televisi dan alat-alat rumah tangga dengan merek
National dari Jepang; PT Asia Electronics Corp. yang merakit radio dan televisi
merek Grundig dari Jerman. Sedangkan yang memproduksi merek lokal adalah
seperti PT Galindra Electric Ltd. Yang juga merakit radio, televisi, tape recorder
dengan merek Galindra; PT Telesonic, dan sebagainya. Sampai 1985 jumlah
perusahaan elektronik bertambah menjadi sekitar 58 perusahaan dengan berbagai
merek produksi.
Sebagian besar merek asing yang diproduksi di Indonesia berasal dari
Jepang. Dari sisi jenis produk juga berkembang. Sampai tahun 1973 produk yang
dihasilkan terbatas pada radio, televisi, dan tape recorder. Ada sedikit perusahaan
yang merakit beberapa produk alat-alat rumah tangga. Setelah tahun 1973, jenis
produknya sudah mulai merambah ke alat-alat listrik rumah tangga.
Di samping itu juga muncul sejumlah merek baru. Misalnya, PT Wily
Antariksa Electronics yang merakit televisi merek Toshiba; PT Alfa Intone
Internasional yang merakit televisi merek ITT dari Jerman; PT Adab Alam
Electronics yang merakit amplifier, tape deck speaker system dengan merek
Pioner dari Jepang; PT Ben Elektronik Nasional merakit radio merek Belna; PT
Hartono Istana Electronics merakit merek Polytron; PT Scortius Jaya yang
memproduksi merek video; PT Panggung Elektronik yang memproduksi merek
Intel dan sebagainya.
Munculnya perusahaan-perusahaan tersebut telah mengurangi
ketergantungan kita terhadap barang impor. Untuk memperkuat posisi
perusahaan-perusahaan tadi, pemerintah mengeluarkan kebijakan "larangan
impor". Pada awal tahun 1970-an impor televisi dan radio dalam keadaan CBU
(Completely Buit Up) dilarang. Dan, di samping itu, ketentuan CKD (Completely
Knocked Down) diatur dengan tarif lebih rendah dari part untuk merangsang
industri perakitan.
Dari sisi struktur produksi, sebetulnya perusahaan-perusahaan elektronik
tadi sebagian besar melakukan perakitan dengan sebagian besar melakukan
perakitan dengan sebagian besar komponen diimpor dari luar negeri. Bagi
perusahaan ATPM, mereka mengimpor komponennya dari pemilik merek. Produk
bermerek lokalpun mendapatkan sebagian besar komponennya dari luar negeri.
Secara garis besar terlihat bahwa industri elektronika Indonesia sangat
bertumpu pada industri elektronika konsumsi dan pada sektor-sektor pendorong
pertumbuhan yang pesat di industri elektronika dunia kurang dikembangkan, hal
ini merupakan salah satu kelemahan dari industri elektronika Indonesia.
Tingginya ketergantungan terhadap barang impor juga merupakan
kelemahan industri elektronika indonesia. Kandungan impor berkisar 80-90
persen, hanya sekitar 10-20 persen dari kebutuhan bahan baku dan bahan
penolong pada industri ini yang dapat dipasok dari dalam negeri. Tingginya
kandungan impor ini menunjukkan bahwa keterkaitan industri ini dengan industri
lainnya sangat lemah.
Berdasarkan data laporan mingguan BI, nilai ekspor non-migas menurut
kelompok barang tahun 1993 sampai dengan tahun 1999, industri elektronika
hampir selalu berada pada posisi ketiga dalam enam besar ekspor hasil industri,
setelah tekstil dan kayu. Meskipun industri elektronika selalu berada pada posisi
ke tiga dari nilai ekspor di sektor industri tapi pertumbuhannya jauh melampaui
pertumbuhan sektor industri lainnya.
Dan makalah ini akan membahas perkembangan industri elektronika,
struktur industri elektronika di indonesia dan menganalisis industri elektronika di
indonesia.
PEMBAHASAN
STRUKTUR INDUSTRI ELEKTRONIKA
Analisa saya industri elektronika di indonesia paling besar adalah pada sub
sektor industri alat komunikasi, selanjutnya yang tidak kalah tinggi indutri
TV/Radio Pada tahun 1999 tingkat konsentrasi industri ini mengalami penurunan
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1998), hal ini disebabkan semakin
banyak perusahaan yang masuk sehingga kondisi persaingan meningkat.
Sedangkan subsektor industri komponen masuk dalam industri dengan persentasi
yang masih kecil. Artinya, rata-rata empat perusahaan terbesar menguasai sekitar
46 persen pangsa pasar. Jika menggunakan klasifikasi rasio empat perusahaan
terbesar menurut Biro Census USA, industri alat komunikasi termasuk dalam
struktur industri yang mempunyai kekuatan monopoli tinggi.
Industri TV/Radio termasuk dalam struktur industri yang mempunyai
kekuatan monopoli menengah, dan industri komponen termasuk dalam struktur
industri yang mempunyai kekuatan monopoli rendah yang pada tahun 1999
cenderung ke arah monopoli menengah. Perubahan kecenderungan subsektor ini
disebabkan karena menurunnya jumlah perusahaan yang ada dari 181 pada tahun
1998 menjadi 66 pada tahun 1999.
TABEL 1.
Industri Elektronika dan Jumlah Perusahaan, 1990 – 1999
ISIC
Subsektor1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999
Rata
-rata
ISIC 38321 0.48 0.65 0.39 0.67 0.63 0.65 0.74 0.65 0.68 0.54 0.61
Total
firm
48 52 48 44 49 51 56 45 36 65
ISIC 38322 1.00 0.97 0.89 0.89 0.88 0.86 0.86 0.96 0.97 0.91 0.92
Total
firm
6 9 11 14 14 15 16 16 18 9
ISIC 38322 0.71 0.66 0.35 0.45 0.45 0.37 0.36 0.37 0.39 0.52 0.46
Total
firm
26 36 56 57 90 110 123 172 181 66
0.73 0.76 0.54 0.67 0.65 0.63 0.65 0.66 0.68 0.66 0.66
Ket : Isic 38321 = Subsektor Industri TV/Radio
Isic 38322 = Subsektor Alata Komunikasi
Isic 38324 = Subsektor Industri Komponen
“Sumber : Dihitung dari data BPS”
Indikator konsentrasi industri berdasarkan pangsa pasar berbagai
perusahaan elektronika dengan menggunakan indikator, hasilnya dapat dilihat
pada tabel 1. Tabel-1. menunjukkan bahwa rata-rata rasio konsentrasi di sektor
industri elektronika cukup tinggi walaupun terjadi penurunan. Pada tahun 1990
rata-rata CR4 ialah 73 persen dan turun menjadi 66 persen pada tahun 1999.
Artinya, secara umum kondisi persaingan meningkat karena selama periode 1990
hingga 1999 terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang masuk.
Berdasarkan subsektor, industri alat komunikasi merupakan subsektor
yang paling tinggi konsentrasi industrinya, selama tahun 1990 hingga 1999 rata-
rata konsentrasi industrinya sebesar 92 persen. Pada tahun 1998 tingkat
konsentrasi subsektor ini turun dari 97 persen di menjadi 91 persen di tahun 1999
dengan jumlah perusahaan sebanyak 18 di tahun 1998 dan sebanyak 9 perusahaan
di tahun 1999. Penurunan tingkat konsentrasi ini bukan karena bertambahnya
jumlah perusahaan yang masuk melainkan disebabkan keluarnya perusahaan-
perusahaan berskala kecil yang jumlah kapasitasnya lebih kecil daripada kapasitas
perluasan perusahaan besar dan penurunan output empat perusahaan terbesar.
Subsektor industri Radio/TV juga merupakan industri yang tingkat
konsentrasinya tinggi, dengan rata-rata sebesar 61 persen. Dari tahun 1990 hingga
1999 tingkat konsentrasi subsektor ini meningkat dari 48 persen menjadi 54
persen, padahal jumlah perusahaan yang masuk meningkat dari 48 perusahaan di
tahun 1990 menjadi 65 perusahaan di tahun 1999. Hal ini disebabkan banyak
perusahaan yang masuk merupakan perusahaan berskala kecil yang jumlah
kapasitasnya lebih kecil daripada kapasitas perluasan perusahaan besar. Meski
demikian, bukan berarti perubahan tingkat konsentrasi di subsektor ini hanya
disebabkan oleh skala perusahaan melainkan juga dipengaruhi oleh jumlah
perusahaan yang masuk dan keluar. Terlihat bahwa pada tahun 1998 tingkat
konsentrasi industri sebesar 68 persen dan pada tahun 1999 menjadi 54 persen, hal
ini lebih disebabkan karena jumlah perusahaan yang masuk meningkat dari 36
perusahaan menjadi 65 perusahaan.
Menurut standar internasional, suatu industri dikatakan berstruktur
oligopoli bila empat perusahaan terbesar dalam industri yang sama mempunyai
konsentrasi industri di atas 40 persen . Bila demikian, berarti industri elektronik
Indonesia yang diwakili oleh subsektor di atas mempunyai struktur oligopolis
karena rata-rata nya cenderung di atas 60 persen. Subsektor industri elektronika
yang memiliki konsentrasi terendah ialah industri komponen , di mana di bawah
40 persen selama tahun 1995 hingga 1998.
Penyebab rendahnya konsentrasi untuk industri tersebut karena relatif
banyaknya jumlah perusahaan yang aktif dalam subsektor tersebut, dari 26
perusahaan di tahun 1990 menjadi 181 perusahaan di tahun 1998. Meningkatnya
konsentrasi industri dari 39 persen menjadi 52 persen pada tahun 1998 dan tahun
1999, menggambarkan melemahnya persaingan di subsektor ini karena banyaknya
jumlah perusahaan yang keluar.
Industri yang memiliki konsentrasi yang tinggi biasanya hidup karena
banyak diberi proteksi oleh pemerintah. Mereka juga cenderung tidak efisien
karena lebih suka menggarap pasar dalam negeri dibanding bersaing di pasar
ekspor.
KLUSTER UTAMA INDUSTRI ELEKTRONIKA
Peta1 memperlihatkan bahwa industri elektronika yang berada di
kabupaten/kota di Jawa dan Sumatra berada atau berdekatan dengan empat kota
besar, yaitu: (1) Jakarta dan daerah sekitarnya (Bogor di selatan, Tanggerang-
Serang di barat, dan Bekasi di timur), (2) Surabaya dan daerah sekitar (Sidoarjo),
(3) Bandung, (4) Medan (kabupaten Medan dan Deli Serdang).
Peta 1. Tenaga Kerja Industri Elektronika di Pulau Sumatra dan
Pulau Jawa, 1999
Sementara itu ada industri elektronika di tujuh kabupaten yang tidak
berbatasan langsung dengan kota besar, industri tersebut berada di kabupaten/kota
Kuningan di Jawa Barat, Tegal, Klaten dan Kudus di Jawa Tengah, Malang di
Jawa Timur, Batam dan kepulauan Riau. Dari peta 1 terlihat bahwa kabupaten
Batam dan Bekasi merupakan daerah industri elektronika yang distribusi jumlah
tenaga kerjanya tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di
Indonesia. Kabupaten Batam walaupun tidak berdekatan dengan kota utama di
Indonesia namun memiliki keunggulan tersendiri, seperti lengkapnya fasilitas
yang tersedia di pulau tersebut dan dekatnya wilayah tersebut dengan negara
Singapura (+ 40 menit dari pelabuhan laut Batam).
Berdasarkan nilai tambah, kabupaten/kota yang memiliki nilai tambah
yang sangat dominan cukup banyak, di Jawa seperti Jakarta dan sekitarnya
(Serang, Tanggerang, dan Bekasi) serta Bandung. Di Pulau Sumatra terletak di
kabupaten Deli Serdang (Sumut) dan Batam.
Kasus Fairchild dan National Semiconductors
Tahun 1973 dan 1974 dua perusahaan multinasional AS, Fairchild dan
National Semiconductors membuka pabrik di Indonesia. Waktu itu memang AS
sedang melakukan relokasi perakitan semi conductor ke lokasi yang upah
buruhnya rendah supaya bisa bersaing dengan Jepang. Keduanya mengekspor
produknya 100%. Hasilnya, ekspor elektronik Indonesia tahun 1978 mencapai
15% dari total ekspor manufaktur Indonesia.
Tapi, tahun 1985 kedua pabrik itu pindah ke Malaysia. Di samping karena
permintaan komputer pada pertengahan tahun 1980-an menurun, perpindahan
keduanya juga didorong oleh iklim investasi dan usaha dalam negeri yang tidak
menunjang. Padahal, tahun 1984 nilai ekspor semiconductor kita sudah mencapai
$ 135 juta.
Hengkangnya kedua pabrik tersebut merupakan petaka buat industri
komponen elektronik kita. Kendati produksinya tidak untuk dipasarkan dalam
negeri, keduanya merupakan perintis industri komponen elektronik kita. Dalam
rangka memperkuat struktur industri elektronik nasional, pada tahun 1978
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Deletion Program.
Program yang berintikan penjadwalan komponen ini bermaksud
mengembangkan industri komponen dalam negeri. Karena industri elektronik kita
masih sangat tergantung pada industri komponen di negara lain. Dalam kebijakan
itu perusahaan elektronik diharapkan mulai berusaha mengembangkan industri
komponen untuk kebutuhannya sendiri.
Logikanya, kalau komponennya bisa dipenuhi dalam negeri, secara
ekonomis value yang diperoleh industri elektronik semakin tinggi. Pada
gilirannya, industri elektronika akan semakin berkembang. Ide pemerintah ini
tentu sangat bagus. Beberapa perusahaan langsung terangsang untuk membangun
pabrik komponen. Misalnya, PT National Gobel yang membuat speaker. Lalu, ada
juga perusahaan yang memproduksi mechanical part, trafo, dan kabel.
Apa yang terjadi kemudian? Bagaimana dengan perkembangan industri
elektronik? Sampai saat ini ketergantungan ketergantungan terhadap komponen
impor masih sangat tinggi. Sekitar 80% komponen elektronik kita masih harus
diimpor. Apalagi kebijakan penjadwalan komponen tadi tersandung Inpres No. 5
tahun 1985 yang berkaitan dengan deregulasi bidang tata niaga impor demi
kelancaran arus barang. Akibatnya, larangan impor tadi sudah tidak berlaku lagi.
Menyadari kepincangan dan kerapuhan struktur berkepanjangan ini, pihak
Asosiasi Gabungan Elektronika memang sudah mengusulkan perlunya sebuah
kawasan industri khusus untuk industri komponen elektronik yang diebut
Lingkungan Industri Komponen Elektronika (LIKE). Kawasan ini diiharapkan
mendapat status EPTE (Entreeport Produk Tujuan Ekspor) plus. Artinya, produksi
komponen dan part dari lingkungan ini boleh dipasarkan secara bebas ke dalam
negeri maupun ekspor. LIKE ini pula yang dianggap akan memiliki daya tarik
besar bagi perusahaan-perusahaan asing yang ingin mengadakan relokasi ke
Indonesia. Hasillnya? Kita masih harus menunggu.
Menggenjot Ekspor
Babak baru perkembangan industri elektronik dimulai tahun 1985. Diawali
dengan berbagai deregulasi yang dilancarkan pemerintah. Para investor dari
jepang, Korea dan Taiwan mulai berdatangan terutama dalam bentuk relokasi.
Produk-produk bermerek Korea dan Taiwan seperti Samsung, Goldstar dan
sebagainya mulai menghiasi lembaran elektronik kita.
Sejak pertengahan tahun 1980-an pemerintah mulai dengan gebrakan
deregulasinya untuk menggalakkan ekspor non migas, karena penerimaan dari
ekspor migas tidak bisa diandalakan lagi. Deregulasi sektor elektronik dalam
paket Mei 1990 ternyata memacu perkembangan industri elektronik. Dengan
deregulasi tersebut, semua barang elektronik dapat diimpor untuk produk akhir
juga diturunkan dari 20-60% menjadi 20-40%. Juga, tarif terhadap komponen
diturunkan menjadi 0-5%.
Berkat berbagai deregulasi untuk mendorong ekspor non migas tadi,
ekspor elektronik pun mulai meningkat. Ekspor dimulai dengan beberapa
consumer elektronics, seperti radio, tape recorder, dan radio combination yang
diproduksi perusahaan patungan. Perusahaan domestik juga mulai mengekspor.
Disamping pengaruh deregulasi tadi, perusahaan domestik juga melakukan
ekspor karena mulai lesunya pasar domestik pada pertengahan tahun 1980-an. Di
samping itu, langkah ini diambil sebagai antisipasi menghadapi persaingan
dengan perusahaan di kawasan berikat yang sejak Pakto 1993 boleh memasarkan
produknya 25% ke pasar dalam negeri. Sebelumnya mereka hanya boleh
memasarkan 1% ke pasar domestik.
Pesatnya perkembangan ekspor elektronik mulai terlihat tahun 1991. Saat
itu, realisasi dari perusahaan-perusahaan Jepang, terutama yang bertujuan ekspor,
memang sudah mulai nampak sejak tahun 1985. Saat itu terjadi apresiasi mata
uang Yen.
Tahun 1988, negara-negara industri baru Asia Timur juga mulai gerah dan
ingin mengikuti jejak Negeri Sakura merelokasi industrinya. Tapi, realisasi
relokasi industri elektronik itu baru terjadi di Indonesia tahun 1991. Padahal,
negara-negara tetangga seperti malaysia, Tahiland dan RRC sudah lebih dulu
kedatangan tamu relokasi tersebut.
Lalu, kenapa kita terlambat? Itulah persoalan kita bersama. Sebetulnya, peristiwa
pembantaian korban-korban manusia di Tianiamen oleh kekejaman rejim yang
berkuasa di RRC tahun 1989 merupakan kesempatan buat kit merebut peluang
relokasi. Tapi, ternyata kita masih harus bekerja keras bersaing dengan RRC agar
dilirik para investor asing.
Menurut data dari Departemen perindustrian, pada tahun 1992 ekspor
perusahaan PMA mencapai 80% dari total ekspor sektor elektronik nasional.
Secara nasional, perekonomian Indonesia memang membaik pada akhir
tahun 1980-an. Situasi itu rupanya berdampak pada perkembangan industri
elektronika. Apalagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang disebut Paket Mei
1990. Melalui kebijakan ini tata niaga impor barang jadi elektronika dicabut dan
diganti sistem tarif bea masuk dengan tarif maksimum 40%. Sementara tarif bea
masuk komponen diturunkan menjadi 0-5%.
Hasil dari recovery ekonomi nasionnal plus Paket Mei 1990 nampak
ignifika. Pertumbuhan produksi elektronik 1990-1992 mencapai 65% per tahun.
Tingkat pertumbuhan 1987-1989 baru mencapai 36.4%. yang tidak berubah
adalah pangsa produksi yang masih didominasi consumer elektronics.
Tapi kebijakan ini toh ternyata tidak berdaya terhadap barang elektronik
selundupan. Barang selundupan ini masih berseliweran di pasar lokal. Buat
konsumen tidak jadi masalah, karena barang selundupan tersebut dijual dengan
harga murah. Tapi, bagi inustri elektronik lokal, produk haram tersebut justru
merupakan pesaing berat.
Bahkan, produk lokal kalah bersaing. Apalagi setelah diberlakunya PPn
BM (Pajak Penjualan Barang Mewah) yang dikenakan atas produk elektronik.
Kebijakan itu mengakibatkan harga produk terpaksa harus dinaikkan 10-
30%. Disamping itu, ada perbedaan perlakuan antara produsen dengan importir
produk elektronik. Produsen harus membayar PPn BM 10-30% ditambah PPN
10%, sedangkan importir tidak perlu membayar.
Di lain pihak, pertumbuhan tinggi yang terjadi sejak tahun 1991 juga
disebabkan peningkatan permintaan pasar internasional yang dapat dilihat dari
peningkatan nilai ekspor yang cukup tinggi. Tahun 1987, nilai ekspor hanya
mencapai US$ 59 juta, sedangkan tahun 1992 melonjak menjdai US$ 865 juta dan
tahun 1993 menjadi US$ 1,2 miliar.
Perkembangan yang demikian, didukung oleh prospek pengembangan
yang dimiliki telah membuka mata pemerintah untuk menetapkan sektor
elektronika ini sebagai salah satu dari enam industri andalan ekspor nasional.
Keenam industri ini ditargetkan memasukkan devisa sebanyak US$ 47 miliar atau
85% dari target nilai ekspr nasional sebesar US$ 55 miliar per tahun pada akhir
Pelita VI.
Dari target tersebut industri elektronik diharapkan menyumbang sekitar
US$ 5,5 miliar per tahun. Tahun 1994, nilai ekspor industri elektronika mencapai
sekitar US$ 2,2 miliar. Dengan nilai ekspor seperti ini dan perkembangan tahun-
tahun sebelumnya, dipekirakan tearget tersebut dapat dicapai dengan mudah.
Masalahnya, apakah kita mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan 30% per
tahun?
Banyak kalangan berpendapat, kalau struktur industri elektronika tidak
bertumbuh, maka mustahil mempertahankan tingkat pertumbuhan cukup tnggi
untuk masa depan. Lebih dari itu, investor asing yang selama ini menjadi pilar
utama ekspor elektronika Indonesia,dapat beralih ke RRC atau India yang
diperkirakan 2-3 tahun lagi akan lepas dari kendala struktur yang masih disandang
Indonesia sejauh ini.
Kondisi lain yang juga parah adalah mengharapkan impor komponen dari
negara tetangga. Justru karena keuntungan terbesar bukan berasal daari produk
akhir tetapi dari komponen dan bagian-bagian itu.
Waktu terus berganti dan segalanya telah berubah. Tetapi destinasi utama
ekspor elektonikkita secara total tidak banyak berubah. Masih didominasi AS dan
Singapura sebagai pasar utama. Sebagai catatan, besarnya ekspor ke Singapura
disebabkan posisi negara tersebut sebagai entreport. Kalau dibagi per wilayah,
ekspor elektronik kita didominasi oleh pasar Asia Timur. Ekspor ke Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE) menunjukkan kecenderunganmeningkat. Misarnya, tahun
1989 ekspor elektronik ke MEE mencapai 16% dari total, sedangkan tahun 1992
sudah meningkat manjadi 28%.
Angka ekspor yang meningkat ini ternyata belum dapat membuat kita
berbangga. Dibandingkan dengan negara ASEAN lain, angka ekspor kita ternyata
masih kecil. Data tahun 1994 menunjukkan bahwa nilai ekspor elektronik
Malaysia mencapai sekitar US$ 18 miliar, Singapura sebesar US$ 30 miliar,
Thailand mencapai US$ 8,5 miliar. Sementara Filipina sudah mampu mendapat
US$ 2,5 miliar dari ekspor elektroniknya tahun 1993.
Walaupun demikian, dunia elektronika kita semakin marak setelah
dibukanya keran PMA 100% melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1993.
Kini ruang gerak mereka lebih leluasa. Persyaratan yang mengharuskan mereka
mencari partner lokal tidak menjadi kendala lagi. Hasilnya mulai kelihatan.
Beberapa merek terkenal yang dahulu dikembangkan melalui perusahaan
patungan di Indonesia, kini pihak prinsipalnya mulai beroperasi dengan status
PMA murni.
Lalu, bagaimana nasib perusahaan elektronik nasional yang dulu tumbuh
mekar di tahun 1970-an? Ternyata beberapa di antaranya sudah tidak bernafas
alias cerobongnyatidak berasap lagi. Sementara yanglain masih hidup di tengah
gelombang persaingan yang sangat ketat. Bagaimanapun, merekalah perintis
industri elektronik di bumi pertiwi ini.
KESIMPULAN
Dari hasil analisa antara struktur pasar, kinerja dan sebaran geografis industri
elektronika Indonesia dengan menggunakan data kode ISIC lima-dijit dari industri
besar dan menengah Biro Pusat Statistik, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Struktur industri elektronika di Indonesia dari tahun 1990 hingga 1999
berdasarkan pangsa pasar secara umum adalah berbentuk oligopoli dengan
tingkat konsentrasi tergolong tinggi. Tingginya nilai rasio konsentrasi ini
berdampak buruk bagi kinerja ekspor. Hasil trend dan trend ekspor per output
menunjukkan bahwa rasio konsentrasi yang tinggi mengakibatkan buruknya
kinerja ekspor.
2. Subsektor industri alat komunikasi dapat dikategorikan dalam struktur industri
oligopoli ketat, sedangkan subsektor industri komponen tergolong oligopoli
dengan konsentrasi yang rendah. Subsektor industri yang memiliki rasio
konsentrasi yang tinggi biasanya memberikan profit yang berlebih dan disinyalir
pada suatu tingkat tertentu dapat menyumbang terhadap masalah inflasi. Hal
tersebut terlihat jelas pada subsektor industri alat komunikasi (tahun 1999),
namun peluang terbesar investasi ada pada industri ini karena memberikan profit
tertinggi dibandingkan dengan industri elektronika lainnya.
3. Kontribusi nilai tambah industri elektronika terhadap total industri manufaktur
selama tahun 1990-1999 hanya mengalami kenaikan 2,41 persen, dari 1,03 persen
menjadi 3,44 persen. Subsektor industri komponen merupakan subsektor
penyumbang terbesar pada pertumbuhan nilai tambah, pertumbuhan tenaga kerja,
dan profit per output. Pada tahun 1999 hanya kinerja ekspor (E/O) subsektor
industri komponen yang membaik, setelah menurun tajam di tahun 1997 dan
1998.
4. Pada tahun 1999 industri elektronika tersebar di daerah pulau jawa dan pulau
sumatra (berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah). Berdasarkan jumlah
tenaga kerja dominasi terbesar industri ini berada di pulau Batam EIA, yang
selanjutnya disusul oleh daerah Jabotabek EIA, Bandung EIA, Surabaya EIA,
Semarang EIA, Medan EIA. Berdasarkan nilai tambah Medan EIA menduduki
posisi nomor tiga setelah Batam EIA. Skala ini bergeser bila dibandingkan dengan
tahun 1990, berdasarkan tenaga Jabotabek EIA menduduki peringkat pertama
disusul oleh Bandung, Surabaya, Batam EIA. Berdasarkan nilai tambah walaupun
Jabotabek EIA unggul namun hampir disamai oleh Bandung EIA yang
selanjutnya disusul oleh Batam EIA. Yang menarik di tahun 1990 adalah propinsi
Ujung Pandang memberikan kontribusinya dalam industri elektronika khususnya
subsektor industri TV/Radio.
5. Berdasarkan analisis di tahun 1990, kriteria skala, keanekaragaman, dan
spesialisasi setidaknya telah memungkinkan diidentifikasi adanya perbedaan
daerah-daerah industri elektronika di Indonesia dan kluster-kluster industri
elektronika. Kluster ditandai oleh spesialisasi sektoral dan konsentrasi geografis
(Kuncoro, 2000: 69; Kuncoro, 2002: bab 2). Skala sektor yang besar, bersama-
sama dengan keanekaragaman dan spesialisasi yang tinggi, memberikan indikasi
yang kuat bahwa Batam EIA merupakan suatu kluster industri elektronika yang
besar dan beragam. Jabotabek EIA walau memenuhi kriteria skala dan
keanekaragaman, namun karena ia tidak memenuhi kriteria spesialisasi maka
tidak dapat dikatakan sebagai suatu kluster industri elektronika. Meski demikian
Jabotabek EIA memungkinkan memenuhi kriteria kluster, khususnya pada
subsektor industri TV/Radio dilihat dari kecenderungan nilai indeks spesialisasi
subsektor industri ini yang mendekati satu. Di Jawa Barat, Bandung EIA
skalanya jauh lebih kecil dari Batam EIA dan Jabotabek EIA serta kurang
beragamnya struktur industri elektronika di daerah ini, namun demikian Bandung
EIA menunjukkan bahwa ia memenuhi kriteria kluster, yaitu kluster subsektor
industri alat komunikasi dan subsektor industri komponen. Surabaya EIA walau
memenuhi kriteria skala, namun karena industri elektronika di daerah tersebut
tidak terspesialisasi dan kurang beragam, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai
kluster industri elektronika. Kriteria kluster industri elektronika tidak dipenuhi
oleh Medan EIA dan Semarang EIA, hal ini disebabkan karena daerah tersebut
tidak memenuhi kriteria spesialisasi, disamping itu daerah ini juga memiliki skala
industri yang rendah dan industrinya tidak beragam.
6. Melihat prospek masa depan industri elektronika yang sangat besar, industri
elektronika Indonesia merupakan industri yang belum optimal dikembangkan oleh
bangsa Indonesia. Keunggulan mengembangkan industri ini akan membawa
bangsa Indonesia menjadi Newly Industrial Countries (NICs).
DAFTAR PUSTAKA
1. Wie, T.K., Jusmaliani, dan Indrawati, S.M. (1995) “Pengembangan
Kemampuan Teknologi Industri dan Alih Teknologi di Indonesia”, dalam
Anwar, M.A., Basri, F.H. dan Ikhsan, M. (eds.), Sumber Daya, Teknologi,
dan Pembangunan, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Pangestu, M. dan Basri, F.H. (1995) “Perdagangan Internasional dan
Strategi Pengembangan Teknologi”, dalam Anwar, M.A., Basri, F.H. dan
Ikhsan, M. (eds.), Sumber Daya, Teknologi, dan Pembangunan, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta