Download - Makalah hukum dan kebijakan lingkungan
Mereka menemukan pemandangan yang membikin miris. Kayu bertumbangan, gergaji mesin menderu-deru.
Ada pembalakan besar-besaran di ujung hutan adat mereka.
Peristiwa pada pertengahan 1984. “Tua-tua adat kami langsung mencari pimpinan penebang
pohon itu untuk menyampaikan satu pesanBegitu mendengar pesan Apai Janggut, tak sampai satu
jam, kelompok pembalak liar itu mengemasi barang-barangnya dan pergi.
Apa pesannya? “Mau lari atau mati?”. Tanpa bentrok, tanpa kekerasan, mereka pergi,”
BAB I. PENDAHULUAN
Kalimantan merupakan pulau terluas di Indonesia yang kondisinya
saat ini luas hutan di Kalimantan dari tahun ke tahun mengalami
penurunan. Menurut World Wildlife Fund (WWF, 2005) dalam kurun waktu
tahun 2000 – 2005 luas hutan Kalimantan menurun sebesar 7,1%, 2005 –
2010 telah terjadi deforestasi seluas 6,3%. Bahkan diperkirakan tahun
2020 nanti luas hutan Kalimantan hanya tersisa 32,6%.
Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat suatu kearifan tradisional
yang selama ini dilakukan sebuah komunitas adat di Suku Dayak Iban di
pedalaman Kampung Sungai Utik. Komunitas adat ini menurut
pemberitaan yang ditulis oleh Ekolabel Indonesia berhasil menjaga
keletarian hutannya, sehingga memperoleh sebuah penghargaan
Sertifikat Ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Hutan di Kampung
Sungai Utik ini merupakan Hutan adat pertama penerima Sertifikat
Ekolabel Indonesia.
Ekolabel merupakan bentuk penerapan kebijakan pemerintah
terhadap perlindungan produk unggul dalam negeri yang berkelanjutan
dan berwawasan linkungan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomer 31 Tahun 2009 Tentang Pembinaan Dan
Pengawasan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel,
1
Produksi Bersih, Dan Teknologi Berwawasan Lingkungan Di Daerah
bahwa:
“penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan perlu ditingkatkan sebaran penerapan, efektivitas kinerja dan pemanfaatannya oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan pendekatan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan”.
Dalam hal ini komunitas Dayak Iban Sungai Utik berharap upaya-upaya
untuk menjaga keberlanjutan dapat terus dilanjutkan dengan proses
sertifikasi ekolabel yang telah lulus penilaian sertifikasi pengelolaan hutan
lestari oleh PT Mutu Agung Lestari (MAL) pada bulan Mei 2008.
Tantangan yang berat yang dihadapi Suku Dayak Ibun adalah
mempertahankan kelestarian hutannya dari perubahan lahan untuk Hutan
Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit yang semakin meraja lela
di Kalimantan. Sebagaimana dikemukakan oleh Tua Adat Suku Dayak
Iban “Masalah yang paling berat adalah menjaga agar hutan tidak hilang
akibat perubahan lahan untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit". Di
samping itu perbatasan hutan adat Suku Dayak Iban Sungai Utik adalah
dengan Taman Nasional Betung Karihun (TNBK), yang berada di
perbatasan tiga negara, yakni Indonesia-Malaysia, dan Brunei
Darussalam menjadikan resiko tersendiri akan besarnya pengaruh dari
Negara tetangga sebagai investor yang mengeksploitasi kayu di hutan
adatnya. Tantangan berat ini akan terus menghantui masyarakat Suku
Kampung Sungai Utik di masa yang akan mendatang.
Dari studi yang dilakukan oleh LEI pada tahun 2005, tawaran
investor kayu dari Malaysia, yang sangat memahami masyarakat Iban di
Serawak, sulit ditolak kampung-kampung di luar komunitas Dayak Iban
Sungai Utik (LEI;2008). Prestasi yang telah diperoleh ini harus mendapat
dukungan dari pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah kabupaten
yang notabene sulit menjangkau daerah pedalaman di perbatasan ini.
2
Untuk itu masyarakat Suku Dayak Iban berharap pengakuan yang tertulis
supaya didengar oleh orang luar, ada dokumen-dokumennya. Sertifikasi
Ekolabel merupakan titik penting yang bermanfaat bagi masyarakat.
diharapkan bisa menjadi contoh bagi daerah lain.
Pentingnya kajian yang dituangkan dalam Makalah berjudul
“Sertifikasi Ekolabel Pengelolan Hutan Alami Produksi Lestari Sebagai
Wujud Realiasasi Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Hutan Adat
Suku Dayak Iban Sungai Utik ” ini yaitu kebijakan pemerintah terhadap
perlindungan hutan adat Suku Dayak Sungai Utik perlu direalisasikan
dalam wujud yang lebih nyata. Selain itu Komunitas Dayak Iban sebagai
pihak penerap ekolabel yang menjalankan sistem manajemen hutannya
perlu memiliki kebijakan dan hukum yang jelas demi terjaganya hutan
sebagai produksi bersih pemenuh kebutuhan masyarakat setempat dalam
skala kecil bukan skala besar yang bersifat penjarahan hutan.
BAB II. PEMBAHASAN
Komunitas adat di Suku Dayak Iban bermukim di pedalaman
Kampung Sungai Utik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas
Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Kawasan hutan yang dimiliki komunitas
ini menurut Program Pemberdayaan Sumberdaya Alam Kerakyatan
(PPSDAK) dalam Majalah Kehutanan Indonesia (2008:8) yaitu seluas
9.452,5 ha. Berbagai macam jenis meranti, kapur, lada, gerunggang
(bahan pembuat sirap atap), kempas, jelutung dan beragam jenis rotan
dan damar banyak terdapat di hutan sungai utik. Hutan Adat Sui Utik ini
terbagi-bagi dalam hutan inti, hutan produksi, dan hutan cadangan.
Masyarakat Iban Sungai Utik telah berkiprah langsung dalam
pengelolaan hutan secara lestari, yang ditandai dengan manajemen
pengelolaan hutan yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Hal ini telah dibuktikan oleh masyarakat Iban Sungai Utik berupa
kawasan hutan yang mantap, produksi yang berkelanjutan dan manfaat
3
sosial bagi masyarakat di sekitar hutan, serta terpeliharanya lingkungan
yang mendukung sistem penyangga kehidupan.
Melalui upaya yang keras dari suku Dayak Iban dalam
mempertahankan kelestarian fungsi hutannya, pada tanggal 7 Agustus
2008 Menteri Kehutanan menyerahkan sertifikat ekolabel Pengelolaan
Hutan Adat Menua Sungai Utik pada Tuai Adat. Dalam sambutannya
pada saat penyerahan sertifikat ekolabel pada Suku Dayak Iban, Menteri
Kehutanan (dalam Majalah Komunitas Indonesia,2008:4) memaparkan
bahwa:
“Masyarakat di sini setidak-tidaknya telah memainkan dua peran penting dalam pembangunan kehutanan, yakni menjaga dan memelihara sumberdaya alam serta mencegah terjadinya bencana alam dan kerusakan lingkungan”
Sertifikasi yang diberikan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia
kepada Suku Dayak Sungai Utik menurut jenisnya adalah sertifikat
pengelolaan hutan alam produksi lestari. Sertifikasi ini akan
meningkatkan kredibilitas suatu lembaga atau kelompok masyarakat yang
menerimanya. Secara tidak langsung, sistem ini akan menyelamatkan
sumberdaya alam hutan dan lingkungan dalam kegiatan pemanfaatan
dan pengusahaan hutan yang tidak benar.
A. Tujuan Sertifikasi ekolabel pengelolaan hutan alam produksi
lestari
Ekolabel merupakan suatu kebijakan perdagangan yang dewasa ini
dirasakan sangat penting sebagai alternatif perlindungan perdagangan
disamping upaya lainnya yang juga telah lama diterapkan. Akan tetapi
ekolabel ini nampaknya muncul didasari isu lingkungan yaitu deforestasi
yang marak terjadi di negara-negara dengan sumber daya hutan yang
terbilang tinggi. Apabila dikaji dari segi definisi ekolabel dalam arti luas
menurut Kementerian Lingkungan Hidup yaitu:
“Ekolabel Indonesia merupakan salah satu perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat proaktif sukarela dan diharapkan
4
sebagai perangkat yang efektif untuk melindungi fungsi lingkungan hidup, kepentingan masyarakat dan peningkatan efisiensi produksi serta daya saing. Selain itu ekolabel juga dimaksudkan untuk mewujudkan sinergi pengendalian dampak negatif ke lingkungan sepanjang daur hidupnya serta mendorong supply and demand product”.
Maka dapat ditarik kesimpulan tujuan ekolabel yaitu untuk mewujudkan
sinergi pengendalian dampak negative ke lingkungan sepanjang daur
hidupnya serta mendorong penawaran dan permintaan produk.
“Adapun tujuan dari adanya ekolabel ini antara lain terdiri dari tiga hal. Pertama dengan adanya ekolabel diharapkan konsumen tahu tentang produk yang dikonsumsinya. Kedua, mendorong berkembangnya pasar produk yang dikonsumsinya. Kedua, medorong berkembangnya pasar produk yang berwawasan lingkungan. Dan ketiga dimaksudkan agar konsumen dapat melakukan pilihan terhadap produk yang berwawasan lingkungan” (Barbier dalam Carunia).
Akan tetapi ekolabel yang diperoleh Suku Dayak Iban menurut
jenisnya adalah sertifikat ekolabel pengelolaan hutan alami produksi
lestari. Definisi sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi lestari menurut
LEI yaitu:
“…strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan yang menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial”.
Berbeda dengan definisi dan tujuan ekolabel dalam arti luas.
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari bukanlah jenis ekolabel
yang lebih menekankan pada persaingan produksi hasil hutan
sebagaimana ekolabel yang diterapkan perusahaan-perusahaan. Dalam
hal ini ekolabel dilihat dari tujuannya yaitu menjamin keberlanjutan fungsi-
fungsi produksi, ekologi dan sosial. Jika diuraikan lebih jelas maka tujuan
ekolabel yaitu menjamin:
1. Fungsi Produksi
5
Hutan adat milik Suku Dayak Iban sepenuhnya merupakan
sumberdaya yang dapat dimanfaatkanuntu pemenuhan kebutuhan
suku Dayak Iban dalam skala kecil. Artinya hutan bukan untuk
dialihfungsikan menjadi kebun sawit atau hutan tanaman industri
seperti yang telah dilakukan kampung-kampung lain di sekitar
Kampung Sungai Utik . Hal ini terbukti dari ketegasan mereka dalam
menolak investor luar negeri untuk mengeksploitasi hutannya
meskipun mereka diimingi oleh berbagai macam fasilitas yang
dijanjikan oleh investor seperti listrik, jalan beraspal dan rumah
panjang.
2. Fungsi Ekologi
Tujuan ekologis berarti menjaga kelestarian hutan. Diupayakan
terjaganya kelestarian lingkungan yang sesuai dengan prinsip
ekologis keberlajutan yaitu jika dari keragaman hayati hutan adat ini
yang ada dalam suatu ekosistem telah terjadi keterkaitan antar
komponennya dan telah terbentuk keterikatan serta saling
ketergantungan secara serasi dan seimbang maka akan terciptalah
ekosistem yang keberadaannya berlanjut hingga waktu yang lama
3. Fungsi sosial
Tujuannya yaitu menjaga adat istiadat baik di Sungai Utik.
Sistem sertifikasi pengelolaan hutan lestari akan meningkatkan
kredibilitas suku dayak iban yang menerimanya. Secara tidak
langsung sistem ini akan menyelamatkan sumberdaya alam hutan
dan lingkungan dalam kegiatan pemanfaatan dan pengusahaan
hutan yang tidak benar. Serta meningkatkan pendapatan penduduk
dengan mengusahakan kebun karet, cokelat dan tebu.
B. Kebijakan dan Hukum adat Suku Dayak Iban Sebagai Realisasi Pengelolaan Hutan Lestari.
Kebijakan dan Hukum Adat yang telah lama berlaku diKampung
Sungai Utik secara garis besar sudah terkelola dengan baik. Peran Tuai
6
Adat sebagai pengelola dan pengawas hutan, dibentuknya rumah panjang
sebagai wujud kelembagaan dalam manajemen hutan dan hukum adat
yang telah lama dipegang teguh oleh semua warga.
1. Peran Tuai Adat dalam Mengelola dan Mengawasi Hutan Adat
Sejak bertahun-tahun lamanya Tuai adat yang tegas telah
berhasil menjaga hutan dan mengusir para pencuri kayu di hutan
adatnya. Seperti peristiwa yang terjadi pada pertengahan 1984 saat
terjadi pencurian hutan, tua-tua adat mereka langsung mencari
pimpinan penebang pohon itu untuk menyampaikan satu pesan. Begitu
mendengar pesan Apai Janggut, tak sampai satu jam, kelompok
pembalak liar itu mengemasi barang-barangnya dan pergi. Apa
pesannya? Pesan itu adalah “Mau lari atau mati?”. Tanpa bentrok,
tanpa kekerasan, mereka pergi,”. Beitulah kurang lebih penuturan yang
disampaikan Rengga salah satu warga SukuDayak Sungai Utik (dalam
Dhyatmika, 2012).
Selain itu hingga saat ini secara berkala, tetua suku Dayak Iban
itu mengelilingi hutan; memeriksa pohon demi pohon; serta menjenguk
beruang, harimau dahan, dan satwa lain yang hidup di sana.
2. Keberadaan Rumah Panjang sebagai Bentuk Manajemen Hutan
Ketaatan pada adat dan norma sosial komunitas Dayak Iban Sungai
Utik, yang menempati kawasan hutan seluas 9.452,5 ha di Kabupaten
Kapuas Hulu itu, tidak terlepas dari peran “Rumah Panjang" sebagai identitas
dan pengikat solidaritas warga. Rumah Panjang ini besar sekali peranannya
dalam mengontrol akses dan kepemilikan lahan, baik antarwarga maupun
antardesa. Sebagaimana dijelaskan oleh Direktur LEI, Alimi (dalam Ekolabel
Indonesia, 2008) bahwa: “Rumah panjang mengontrol akses dan
kepemilikan lahan baik antar warga maupun antar desa. Masyarakat
memliki batas-batas daerah sesuai kesepakatan”. Gambaran
mengenai Rumah Panjang dapat dilihat pada Gambar 1. Berikut ini:
7
Gambar 1. Rumah Panjang Suku Dayak Sungai Utik
Selain itu hingga saat ini di bawah pimpinan kolektif dari "Tuai
Adat", kepala kampung dan temenggung serta para hulubalangnya,
semua masalah berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dapat
ditangani dan diselesaikan di tingkat pertemuan "Rumah Panjang".
3. Hukum Adat yang Berlaku Dipegang Teguh Oleh seluruh Warga
Sejak lama suku adat Dayak Iban telah mempertahankan
kelestarian hutannya. Meski berbagai permasalahan telah terjadi
seperti upaya eksploitasi hutan mereka dari negara tetangga. Suku
Dayak Iban Sungai Utik telah memiliki kebijakan dan hukum yang
dipercaya telah berperan menjaga hutan mereka. Menurut berbagai
informasi dari kajian literatur dapat disimpulkan bahwa beberapa
kebijakan dan hukum yang telah diterapkan hingga saat ini diantaraya:
a. Tutupan hutan menuju ke Taman Nasional diberi tanda.
b. Orang Iban membagi hutan mereka menjadi tiga peruntukan
yakni; Kampong Taroh (hutan lindung), kampong Galao (hutan
cadangan), kampong ndor kerja (hutan produksi) dan Damun
(keperluan lain;ladang dsb). Berbasiskan peruntukan hutan
tersebut, masyarakat adat Sungai Utik menjaga dan
memanfaatkan hutannya secara terencana dan berkelanjutan.
8
Lebih jelasnya pembagian zona hutan adat ini menurut Dhyatmika
(2012) yaitu:
“Wilayah hutan yang disebut kampong taroh adalah kawasan yang wajib dilindungi. Tidak boleh ada kegiatan berkebun dan berladang di sana, apalagi mengambil dan menebang kayu. Wilayah ini berfungsi melindungi mata air dan perkembangbiakan satwa. Karena itu, kampong taroh biasanya ada di hulu sungai.Zona kedua disebut kampong galao. Wilayah ini adalah kawasan hutan cadangan. Di sini warga hanya boleh mengambil tanaman obat dan kayu api. Hutan di kawasan ini mulai bisa dimanfaatkan, meski secara terbatas dengan pengawasan ketat.Kampong endor kerja adalah kawasan hutan produksi. Di sini, warga bebas mengambil kayu selama diameter batangnya di atas 30 sentimeter. Pohon yang batangnya masih kecil tak boleh ditebang, karena biasanya dipakai sebagai bibit untuk ditanam di kawasan lain”.
c. Kesepakatan untuk memperbolehkan menebang tapi ada
perencanaan; berapa yang boleh diambil, kayu apa yang boleh
diambil. Pembatasan jumlah pohon yang boleh diambil dari hutan
ini menjadi salah satu peraturan yang mereka pegang teguh.
“Berkait dengan penebangan kayu orang Iban Sungai Utik telah membuat aturan tersendiri jika ada anggota komunitas hendak menebang kayu untuk diolah ataupun dijual, maksimal per KK hanya boleh menebang 1-2 pohon diameter besar per tahun. Jika terjadi pelanggaran, pelaku dikenakan sanksi adat lalu alat untuk menebang (chain saw) akan disita oleh lembaga adat dan masyarakat” (Gawing:2010).
d. Kesepakatan bahwa bekerja mengambil kayu janganlah dijadikan
mata pencaharian utama tetapi mengusahakan kebun karet,
cokelat dan tebu.
e. Cara pengambilan pohon dilarang menggunakan teknologi
modern tapi harus dengan cara tradisional.
9
f. Dalam membuka ladang pun mereka melakukan musyawarah
untuk menentukan berapa luas lahan yang akan dibuka oleh tiap-
tiap kepala keluarga.
g. Sanksi adat dan sosial pun sudah menunggu bagi mereka yang
membiarkan lahan yang luasnya mereka tentukan sendiri tersebut
terbengkalai.
a. Jika seseorang terbukti bersalah membakar lahan, kebun buah-buahan, tembawang atau Tapang (tempat sarang lebah madu) milik orang lain maka yang bersangkutan akan dijatuhi hukum adat “Ngangus ke Pesaka Urang”. yang bersangkutan akan membayar hukuman adat berupa uang Rp.100,000,- dan mengganti rugi semua kerugian yang ditimbulkan serta membayar “Penti Pemali”atau pengeras semangat yang wajib disertakan dalam hampir setiap hukum adat berupa ; Jane siko, Manok siko Duko site, Pinggae sesingkap, Karong kerubong mungkol 10 (@Rp. 10.000).
b. Jika seseorang yang membakar lahan atau dengan sengaja membakar Pendam (Kuburan), maka yang bersangkutan akan terkena hukum adat ”Ngangus ke Pendam”. Hukuman bagi pembakar Pendam adalah membayar Rp.600.000,- ditambah Penti Pemali.
C. Sertifikasi Ekolabel Sebagai Realisasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Perlindungan Hutan Adat Suku Dayak Sungai Utik
Proses sertifikasi ekolabel pengelolaan hutan alam produksi lestari
seperti yang diberikan pada Suku Dayak Iban merupakan hasil
pengawasan dan upaya yang tidak diperoleh dalam waktu singkat, tapi
melalui upaya keras dari suku tersebut untuk menjaga hutannya selama
bertahun-tahun. Melalui dorongan dari berbagai pihak seperti Lembaga
Bela Banua Talino, Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kerakyatan (PPSDAK) dan Program Pemberdayan Sistem Hutan
Kerakyatan (PPSHK) yang telah membentuk masyarakat Iban dalam
mempertahankan nilai-nilai, norma-norma dan perilaku serta adat istiadat
yang baik dalam menjaga dan memelihara sumber daya alam hutan dan
10
lingkungan. Selanjutnya proses evaluasi dan penerbitan ekolabel yang
dilakukan Lembaga Ekolabel Indonesia.
Dalam hal ini ekolabel bersifat melindungi dengan cara
memberikan pengakuan yang tertulis agar didengar oleh pihak luar, dan
ada dokumen-dokumennya. Disamping itu dalam Peraturan MENLH
Nomor 31 Tahun 2009 Pasal 2 bahwa Menteri Menetapkan kebijakan
bagi hutan tersertifikasi ekolabel untuk mendapat pembinaan,
pengawasan, evaluasi dan tidak lanjut evaluasi sistem manajemen
lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan
lingkungan.
Dengan diperolehnya sertifikasi ekolabel ini maka masyarakatdi
dalam dan di sekitar hutan mendapatkan akses yang lebih luas dan
pemanfaatan yang lebih besar terhadap sumberdaya alam hutan dan
lingkungan. Dengan akses yang leih besar akan memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
hidupnya.
Setelah mendapat sertifikasi komunitas Dayak Iban Sungai Utik
tidak lantas mengeksploitasi hutannya utnuk menambah tingkat
perekonomiannya. Mereka bersepakat menggunakan perencanaan
seperti yang dikemukakan oleh tuai adat (dalam MKI,2008:9):
“Ada kesepakatan untuk memperbolehkan menebang tapi ada perencanaan, berapa yang boleh diambil, kayu seperti apa yang boleh diambil. Kemi juga mengumpulkan masyarakatagar tidak bekerja mengambil kayusebagai pencaharian utama tetapi mengusahakan kebun karet, cokelat dan tebu”.
Ekolabel mungkin memang belum dirasa penting baik itu oleh
lembaga atau perusahaan yang melakukan produksi yang bahan
bakunya dari hutan, maupun oleh konsumen yang memanfaatkan hasil
hutan dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Selain masih minim
penerapannya, ruang lingkup ekolabel yang masih sangat sempit hanya
berorientasi pada hasil hutan, juga masyarakat sebagai konsumen belum
banyak tahu dan peduli terhadap ekolabel.
11
Akan tetapi bagi warga Suku Dayak Iban yang terbilang masih
awam terhadap informasi, sangatlah penting arti sebuah ekolabel. Dengan
sistem ini akan meningkatkan kredibilitas suku dayak iban yang
menerimanya. Secara tidak langsung sistem ini Suku Dayak Iban
mendapatkan akses yang lebih luas dan pemanfaatan yang lebih besar
terhadap sumberdaya alam hutan dan lingkungan
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kearifan lokal suku dayak iban kampung sungai utik merupakan
salah satu bentuk nyata bahwa masih ada orang-orang yang sangat
tegas menjaga kelestarian fungsi hutannya dari investor-investor yang
menjarah hutan secara besar-besaran yang yang dipastikan akan
berdampak pada kerusakan lingkungan. Sehingga dari upaya ini
pemerintah member penghargaan berupa Sertifikat Ekolabel Pengelolaan
Hutan Alami Produksi Lestari. Sertifikasi ini bertujuan untuk : 1) menjaga
adat istiadat baik di Sungai Utik, 2) menjaga kelestarian hutan, 3)
melindungi hutan dari eksploitasi investor, 4) meningkan kesejahteraan
Suku Dayak Iban.
Keberhasilan Suku Dayak Iban dalam menjaga kelestarian
hutannya karena merek memegang teguh pada kebijakan dan hukum
adat yang telah lama diterapkan, peran penting seorang Tuai Adat dalam
mengelola dan mengawasi hutannya serta keberadaan “rumah panjang”
dalam mengontrol akses dan kepemilikan lahan baik antar warga maupun
antar desa.
Dukungan Lembaga terkait yang mendorong Suku Dayak Iban
dalam menjaga kearifan tradisonalnya dan membantu dalam upaya
pengajuan sertifikasi ekolabel serta bentuk pembinaan, pengawasan,
evaluasi dan tidak lanjut evaluasi sistem manajemen lingkungan,
ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan.
12
B. Saran
Upaya penerapan kebijakan atau program ekolabel masih
memerlukan waktu yang panjng. Kampanye ekolabel sangat diperlukan
saat ini, namun dalam waktu mendatang penting untuk mempertegas
peraturan dan undang-undang yang mengikatnya.
Selanjutnya sertifikasi ekolabel ini janganlah hanya bagi pihak-
pihak yang mengajukan saja dalam artian secara sukarela, tapi Lembaga
Ekolabel dan pihak lainnya secara berkala mengawasi hutan produksi di
daerah lainnya dalam rangka pengawasan standarisasi ekolabel.
Selain itu sertifikasi seharusnya tidak hanya berorientasi pada
produk hasil hutan saja, tetapi berbagai produk lainnya seperti produk
makanan, non makanan dan obat. Meskipun masing-masing produk
tersebut telah memiliki standarisasi masing-masing, namun ekolabel
penting sebagai upaya alternatif dalam menjaga lingkungan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Dhyarmika, Wahyu.Para Penjaga Hutan Kita.2012. Tersedia;http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/para-penjaga-hutan-kita.asp
Ekolabel Indonesia. Sungai-Utik, Hutan Adat Pertama Penerima Sertifikat Ekolabel. 2008.
Tersedia: http://manajemenlingkungan.com/ekolabel/index.php?option=com_content&view=article&id=62:sungai-utik-hutan-adat-pertama-penerima-sertifikat-ekolabel&catid=1:berita-terbaru
Firdausy, M. Carunia. Masalah dan Kebijakan Ekolabel Rotan Dalam Perdagangan Luar Negeri Indonesia.
Gawing, Laurens. Sekelumit catatan perjalanan hidup seorang Pendamping Hukum Rakyat.2010. Tersedia: http://laurensgawing.blogspot.com/
Komite Akreditasi Nasional. Pedoman Umum Akreditasi dan Sertifikasi Ekolabel. Tersedia: http://www.kan.or.id/wp-content/uploads/downloads/2010/03/Ped-KAN-801-2004-Persyaratan-Umum-LSE.pdf
Lembaga Ekologi Indonesia. Program Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Phpl). 2006Tersedia: http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO_V02/I_V02.htm
MENLH. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, Produksi Bersih, Dan Teknologi Berwawasan Lingkungan Di Daerah.2009: Jakarta
Redaksi Majalah Kehutanan Indonesia. Sertifikat Ekolabel Pengelolaan
Hutan Lestari. 2008. Edisi VIII
14
15