Download - MAKALAH Exercise Jantung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit jantung adalah penyebab kematian dan kesakitan utama di
Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian didapatkan angka hampir 5 juta pria dan
wanita dewasa menderita penyakit jantung. Angka prevalensinya meningkat
dengan meningkatnya umur, dimana 51% pada pria dan 48% pada wanita umur
antara 55-64 tahun, sedangkan sia diatas 75 tahun kejadian penyakit jantung pada
pria 71 % dan pada wanita mendekati 79% .
Di AS dikatakan setiap 26 detik didapatkan kejadian penyakit jantung
koroner, dan 1 kematian setiap menit akibat penyakit jantung. Setiap tahun
terdapat 565.000 kasus baru Infark Miokardial dan pada umumnya mereka akan
mati pada tahun pertama sementara 50% akan mati setelah 8 tahun.
Namun seiring dengan peningkatan prevalensi penyakit jantung maka
terdapat juga peningkatan jumlah tindakan intervensi pada penderita penyakit
jantung yang dilakukan di rumah sakit. Di AS setiap tahunnya di dapatkan angka
1,2 juta orang yang melakukan pemeriksaan angiogram, 571000 tindakan
angioplasty, 516000 tindakan operasi bypass arteri koroner juga terdapat 2154
operasi transplantasi jantung.
Di Indonesia pelayanan tindakan operasi jantung sudah berkembang pesat
baik operasi bedah pintas koroner/CABG maupun operasi perbaikan/penggantian
katup jantung . Berdasarkan data yang ada di Pelayanan Jantung Terpadu ( PJT )
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo sejak berdiri tahun 2004 sampai sekarang, telah
dilakukan operasi jantung ByPass koroner/CABG 242 pasien , operasi
perbaikan/penggantian katup jantung sejumlah 405 pasien sedangkan operasi
jantung pada penderita anak anak jumlahnya lebih banyak lagi dengan kasus yang
sangat bervariasi .
Dengan meningkatnya tindakan intervensi jantung maka angka
perpanjangan hidup pun meningkat. Oleh karenanya rehabilitasi jantung
merupakan suatu program yang penting untuk meningkatkan kembali kualitas
hidup pasien. Program rehabilitasi tersebut meliputi perubahan gaya hidup yang
1
antara lain meliputi pengaturan pola makan, manajemen stress, latihan fisik. Pada
dasarnya, program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung bertujuan untuk :
(1) mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, (2) memberi penyuluhan pada pasien
dan keluarga dalam mencegah perburukan dan (3) membantu pasien untuk
kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung
(Jolliffe et al., 2001:87). Program latihan fisik didasarkan pada tingkat kesadaran
pasien dan kebutuhan individual. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah
bahwa program latihan sebaiknya dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut
nadi, perceived exertion maupun prediksi METs. Apabila terjadi gejala gangguan
jantung, ortopedik maupun neuromuskular, perlu dilakukan peninjauan ulang
terhadap program latihan (Lavie et al., 1993:678).
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan membahas tentang jurnal penelitian terkit dengan
latihan fisik untuk rehabilitasi jantung.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita Gangguan Jantung
Rehabilitasi jantung adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk
memperbaiki penderita penyakit jantung untuk mencapai kondisi fisik, mental
dan sosial terbaik, sehingga mereka dapat mempertahankan atau mencapai
kehidupan seoptimal mungkin di masyarakat dengan usahanya sendiri. Program
rehabilitasi mencakup beberapa hal seperti evaluasi medis, peresepan latihan,
modifikasi faktor resiko, edukasi, konselling dan program vokasional
Program latihan fisik rehabilitatatif bagi penderita gangguan jantung
bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada
pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan dan membantu pasien untuk
kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung.
a. Manfaat Latihan Fisik Pada Penderita Gangguan Jantung.
Mengurangi efek samping fisiologis dan psikologis tirah baring di rumah
sakit.
Dapat dimanfaatkan untuk memonitor kondisi fisiologis penderita
Mempercepat proses pemulihan dan kemampuan untuk kembali apda level
aktivitas sebelum serangan jantung (Lavie et al., 1993:678).
b. Kontraindikasi Latihan Fisik
Selain memiliki manfaat yang vital, latihan fisik pada penderita gangguan
jantung dapat pula mencetuskan serangan ulang. Untuk meminimalisasi resiko
tersebut, latihan fisik di kontraindikasikan pada keadaaan yang tercantum pada
dibawah ini. Oleh karenanya sebelum penderita memulai program latihan fisik,
penderita tersebut harus mendapatkan rekomendasi dari dokter.
Kontraindikasi Pasien yang Dapat Menjalankan Program Latihan.
1. Angina tidak stabil
2. Tekanan darah sistolik istirahat > 200 mm Hg atau diastolik istirahat >100
mmHg
3. Hipotensi orthostatik sebesar ≥ 20 mmHg
4. Stenosis aorta sedang sampai berat
3
5. Gangguan sistemik akut atau demam
6. Disritmia ventrikel atau atrium tidak terkontrol
7. Sinus takikardia (>120 denyut/menit)
8. Gangguan jantung kongestif tidak terkontrol
9. Blok Atrio Ventrikular
10. Myocarditis dan pericarditis aktif
11. Embolisme
12. Tromboplebitis
13. Perubahan gelombang ST (>3mm)
14. Diabetes tidak terkontrol
15. Problem ortopedis yang menganggu istirahat.
(Oldridge, 1988:45)
c. Struktur Program RehabilitasiSecara tradisional program rehabilitasi dibagi menjadi :
Fase I : Inpatient (di dalam rumah sakit)
Fase II : Out-Patient (pulang dari rumah sakit sampai dengan 12 minggu
merupakan program dengan pengawasan)
Fase III : Pemeliharaan
Ades (2001:892) menyatakan bahwa secara kontemporer, program latihan
diarahkan berdasarkan kebutuhan individual. Pada individu dengan resiko rendah
program latihan tanpa supervisi dapat dilakukan secepatnya, sedangkan pada
penderita dengan resiko tinggi, program latihan termonitor dapat dilakukan dalam
selang waktu yang lebih lama. Secara umum, program latihan dibagi menjadi
program inpatient dan out-patient.
1. Program Inpatient
Program latihan inpatient dapat dilakukan sejak 48 jam setelah gangguan
jantung sepanjang tidak terdapat ada kontraindikasi. Latihan fisik yang dilakukan
terbatas pada aktivitas sehari-hari misalnya gerakan tangan dan kaki dan
pengubahan postur. Program latihan biasanya berupa terapi fisik ambnulatory
yang diawasi. Pada fase ini perlu dilakukan monitoring ECG untuk menilai respon
terhadap latihan. Latihan pada fase ini harus menuntut kesiapan tim yang dapat
mengatasi keadaan gawat darurat apabila pada saat latihan terjadi serangan
4
jantung. Manfaat dari latihan fisik pada fase ini adalah sebagai bahan survailance
tambahan, melatih pasien untuk dapat mejalankan aktivitas pada aktivitas sehari-
hari, dan untuk menghindari efek fisiologis dan psikologis negatif pada bedrest.
Tujuan dari latihan fsik fase pertama ini harus disesuaikan dengan kebutuhan
pasien. Pasien dengan aktivitas rendah mungkin hanya memerlukan latihan fisik
untuk menunjang kegiatan sehari-hari (ADL: activity of daily life).
Pasien dengan kapasitas fisik yang lebih baik dapat menjalankan program
letihan untuk encegahan tertier dan mengikuti program jangka panjang untuk
meningkatkan ketahanan kardiorespirasi, komposisi tubuh, fleksibilitas dan
ketahanan otot (Marchionni et al., 2003:2201). Pemantauan lebih lanjut perlu
dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala : peningkatan denyut andi
melebihi batas yang ditetapkan, peningkatan tekanan darah sebagai respon latihan,
sesak napas, iskemia myocardial, disritmia, angina pectoris dan kelelahan berat.
Pada fase initial ( 1 sampai 3 hari paska infark post myocardial atau prosedur
bedah) pada pasien di rumah sakit yang menjalankan program latihan, aktivitas
harus dibatasi harus dibatasi dengan intensitas yang rendah (sekitar 2 sampai 3
METs). Pada umumnya aktivitas mengurangi resiko timbulnya trombosis.
Program latihan meliputi aktivitas sehari-hari dan latihan pada kaki dan
lengan untuk mempertahankan tonus otot, hipotensi orthostatik dan kapasitas
sendi. Pasien dapat memulai latihan dari berbaring menuju ke duduk dan
kemudian berdiri. Latihan ortostatik perlu dilakukan dalam program latihan.
Latihan ortostatik meliputi berdiri dengan gerakan otot selama1 sampai 2 menit
dengan monitor denyut nadi dan tekanan darah. Respon terhadap latihan ini
diperlukan untuk menilai respon tubuh terhadap berbagai jenis vasodilatator dan
beta bloker. Pada hari ke 3 sampai 5 paska infark post cardial atau gangguan
kardiovaskular lain, mulai dapat dilakukan latihan dengan berjalan, treadmill, atau
ergometri (Oldridge, 1988:45). Beberapa contoh aktivitas ringan yang dapat
dilakukan oleh penderita terdapat dibawah ini:
Contoh Aktivitas Pada Fase Inpatient
Kelas Gerakan Contoh Aktivitas
Kelas I :
Duduk di tempat tidur dengan bantuan
5
Duduk di kursi 15-30 menit, 2-3 kali sehari\
Kelas II :
Duduk di tempat tidur tanpa bantuan
Berjalan di dalam ruangan
Kelas III
Duduk dan berdiri secara manditi
Berjalan dengan jarak 15-30 meter dengan bantuan 3 x sehari
Kelas IV:
Melakukan perawatan diri secara mandiri
Berjalan dengan jarak 50-70 meter dengan bantuan 3-4 x sehari
Kelas V Berjalan dengan jarak 80-150 meter mandiri 3-4 x sehari
Perencanaan pemulangan
Pada perencanaan pemulangan pasien jantung beberapa hal harus
diperhitungkan yakni : kondisi klinis, aktivitas fisik sehari-hari, aktivitas pada
waktu luang, istirahat, bekerja, aktivitas seksual, gejala dan rujukan pada fase
rehabilitasi dengan pengawasan. Pada saat pemulangan, pasien harus
mendapatkan informasi tentang kerja dan karakteristik arteria koronaria jantung
dan gangguan yang dialaminya sehingga dapat memahami gangguan jantung yang
terjadi pada dirinya dan keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi terjadinya
atherosklerosis. Pada saat pemulangan, sebaiknya hal hal perawatan diri mendasar
seperti mandi, mengenakan baju makan dan minum sudah dapat dilakukan secara
mandiri. Pada saat pemulangan pasien juga diberikan pengertian agar menghindari
suhu dan kelembaban udara yang terlalu ekstrim. Jumlah waktu istirahat juga
harus secara jelas disampaikan. Istirahat yang dianjurkan dapat meliputi tidur dan
atau istirahat berbaring atau duduk tenang. Jenis pekerjaan yang tidak disarankan
adalah yang meliputi mengangkat beban dan menahan nafas. Pasien yang
merasakan gejala palpitasi, dyspnea, tidak bisa tidur, kelelahan berat harus
berkonsultasi kepada dokter. Sebelum fase I berakhir, pasien harus sudah
mendapatkan penjelasan tentang program fase selanjutnya (Lavie et al.,
1993:678).
6
2. Program Out-patient
Program out-patient dilakukan segera setelah kepulangan pasien dari
rumah sakit. Tujuan utama dari program ini adalah untuk mengembalikan
kemampuan fisik pasien pada keadaan sebelum sakit. Pasien yang pernah
mengalami infark myocard dan atau operasi bypass arteri memiliki resiko yang
lebih besar untuk mengalami dysritmia, dypnea dan angina. Pada pasien yang
pernah menjalani operasi bypass sering terjadi rasa pusing dan diyrrhitmia
supraventricular sedangkan pasien yang pernah mengalami infark myocard sering
mengalami perubahan segmen ST pada EKG. Hal inilah yang mendorong
perlunya pengawasan program latihan pada orang dengan riwayat gangguan
jantung tersebut (Jolliffe et al., 2001:87).
Seperti yang telah dikemukakan program rehabiliatasi sebaiknya diawali
beberapa hari sebelum fase I berakhir. Biasanya fase II dimulai pada minggu
kedua atau ketiga setelah serangan myocardial infark. Program ini diharapkan
dapat memberi dukungan dan dapat membimbing penderita gangguan jantung
untuk mengatasi masalah-masalah kesehatannya. Idealnya, program fase II
dijalankan di fasiloitas kesehatan yang memiliki fasilitas EKG untuk pengawasan
latihan, peralatan dan staf yang dapat mengatasi kondisi darurat. Apabila fase
rehabilitasi ini terpaksa dijalankan di rumah ataupun di tempat dengan sarana
minimal, seyogyanya tetap dilakukan pemeriksaan periodik pada pusat pusat
kesehatan. Pada prinsipnya, tujuan dari fase ini adalah untuk memberi latihan
rehabilitasi fisik seseorang penderita gangguan jantung agar dapat kembali
melakukan aktivitas sehari-hari seperti sedia kala. Program ini sebaiknya
dikepalai oleh dokter yang dapat melakukan kontak secara teratur dengan pasien,
dapat melayani panggilan rumah atau dapat melakukan pengawasan pada program
latihan (Marchionni et al., 2003:2201).
Ades (2001:894) memberikan beberapa contoh kegiatan yang dapat
dilakukan secara mandiri terdapat pada gambar 2 sampai 10. Pada tiap latihan
dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali dan dilakukan dua kali sehari. Pada tiap
latihan dilakukan pengaturan nafas yang baik karena apabila dilakukan penahanan
nafas dapat terjadi peningkatan tekanan darah dan meningkatkan beban kerja
7
jantung. Pada hari ke 4 dan ke 5 dapat ditambahkan beban sebesar 250 gram pada
tangan. Pada hari ke 6 beban dapat ditingkatkan menjadi 500 gram.
1. Latihan I (Latihan Siku)Cara :• Berdiri dengan siku menekuk dan dikatupkan pada dada• Luruskan siku ke arah depan.• Tekuk kembali siku.• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 1. Latihan Siku
2. Latihan Elevasi LenganCara :• Berdiri dengan siku menekuk di dada.• Luruskan siku dan lengan ke arah atas• Tekuk kembali ke posisi semula.• Ulangi sampai dengan 10 kali
Gambar 2. Latihan lengan
8
3. Latihan Ekstensi lenganCara :• Berdiri dengan siku menekuk ke arah dada.• Lengan direntangkan ke arah disamping pinggang.• Katupkan kembali lengan pada dada• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 3. Latihan Ektensi Lengan
4. Latihan Elevasi Lengan IICara :• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dan lengan disamping badan.• Dengan tetap meluruskan siku angkat lengan keatas kepala.• Turunkan lengan kembali ke samping badan.• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 4. Latihan Elevasi Lengan II
9
5. Latihan Lengan Gerak MelingkarCara :• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dan lengan disamping badan.• Rentangkan tangan setinggi bahu.• Gerakakan secara melingkar tangan dan lengan dengan arah depan dengan tetapmeluruskan siku.• Ulangi sampai dengan 10 kali.• Lakukan gerakan memutar kebelakang sampai dengan 10 kali
Gambar 5. Latihan Lengan Gerak Melingkar
6. Latihan Jalan Di Tempat (Mulai hari ke-5)Cara:• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu dengan lengan ditekuk ke depan• Angkat satu kaki dengan menekuk lutut seperti saat berbaris.• Ayunkan lengan untuk membantu menjaga keseimbangan• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 6. Latihan jalan di tempat
10
7. Latihan Menekuk PinggangCara :• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu• Tekuk lengan sehingga tangan menyentuh pinggang kanan• Pertahankan kaki dan punggung tetap lurus.• Ulangi sampai dengan 10 kali.• Tekuk lengan sehingga tangan menyentuh pinggang kiri.• Ulangi sampai 10 kali
Gambar 7. Latihan Menekuk Pinggang
8. Latihan Memutar PinggangCara:• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu, tekuk lengan dan tempatkan tangan di pinggang• Putar tubuh ke kanan dan kemudian kembali.• Putar tubuh ke kiri dan kemudian kembali• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 8. Latihan Memutar Pinggang
11
8. Latihan Menyentuh Lutut (Mulai hari ke 7)Cara:• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu, lengan diangkat diatas kepala.• Tekuk punggung sampai tangan menyentuh lutut.• Angkat kembali lengan keatas kepala• Putar tubuh ke kiri dan kemudian kembali• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 8. Latihan Menyentuh Lutut
9. Latihan Menekuk Lutut (Mulai Minggu ke-3)Cara:• Berdiri dengan kaki membuka selebar bahu, tangan menyentuh pinggang.• Tekuk punggung ke depan dengan lutut juga menekuk.• Kembali luruskan punggung• Ulangi sampai dengan 10 kali.
Gambar 10. Latihan Menekuk Lutut
12
III. Fase PemeliharaanBeberapa hal yang harus diperhatikan untuk melanjutkan ke fase
pemeliharaan adalah kapasitas fungsional pasien, status klinis serta tingkat
pengetahuan pasien tentang gangguan jantung yang dialaminya. Kapasitas
fungsional minimal yang dimiliki oleh pasien adalah sekitar 5 METs yang
memungkinkan seseorang dapat menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa kesulitan
yang berarti. Secara klinis, pasien harus sudah memiliki respon hemodinamik dan
kardiovaskular yang stabil. Pasien juga diharapakn sudah memiliki pengetahuan
dasar tentang gejala-gejala yang dialami, pilihan terapi yang dapat dilakukan,
karakteristik perjalanan alamiah penyakit serta rentang aktivitas yang aman untuk
dilakukan (Oldridge, 1988:45). Program latihan pada fase pemeliharaan pada
dasarnya sama dengan individu normal dengan penekanan pada latihanb jenis
aerobik. Pada pasien dengan kapasitas fungsional diatas 5 METS, pemrograman
latihan dengan menggunakan frekuensi denyut jantung dan RPE (rating of
perceived exertion) dapat dilakukan. Frekuensi latihan sebaiknay berkisar 3
sampai 4 kali dalam seminggu. Durasi latihan dapat dimuai dari 10 menit an
kemudian dapat ditingkatkan secara bertahap sampai dengan mencapai 60 menit.
Pada saat terjadi peningkatan kapasitas fungsional dan status klinis (Jolliffe et al.,
2001:87).
Beberapa metode latihan yang dapat dijalankan pada penderita gangguan
jantung adalahblatihan interval, sirkuit, sirkuit-interval dan kontinyu:
Latihan interval didefinisikan sebagai latihan yang kemudian diikuti oleh
periode istirahat. Beberapa manfaat dari jenis latihan ini adalah (1) dapat
dilakukannya latihan fisik dengan intensitas tinggi pada fase aktif dan (2)
secara keseluruhan intensitas latihan rata-rata meningkat.
Latihan sirkuit merupakan latihan dengan melakukan beberapa jenis
aktivitas fisik tanpa istirahat. Latihan sirkuit biasanya meliputi latihan
beban dengan sasaran otot tangan dan kaki. Manfaat dari latihan jenis ini
adalah dapat melatih otot tangan dan kaki.
Latihan sirkuit interval merupakan latihan tipe sirkuit dimana seseorang
menjalankan beberapa aktivitas akan tetapai diselingi oleh istirahat pada
saat dilakukan peralihan aktivitas. Manfaat dari latihan jenis ini meliputi
manfaat yang didapat dari altihan sirkit dan interval.
13
Latihan kontinyu menekankan penggunaan energi submaksimal yang
diajaga terus samapai dengan latihan berakhir. Manfaat dari latihan jenis
ini adalah bahwa latihan ini lebih mudah untuk dijalankan.
2.2 Efektifitas Latihan Fisik pada Rehabilitasi Jantung
2.2.1 Efektifitas latihan fisik jangka panjang (6tahun)
Manfaat latihan untuk pasien dengan gagal jantung kronis telah banyak
dijelaskan dalam beberapa tahun terakhir. Manfaat fisiologis berbagai rehabilitasi
meliputi peningkatan kapasitas latihan, adaptasi metabolik otot rangka, output
jantung lebih maksimal dan perbaikan fungsi endotel. Namun, penelitian tentang
pengaruh latihan fisik umumnya terbatas pada periode waktu tertentu (misalnya 1-
6 bulan), dan sedikit yang mengetahui efek jangka panjang rehabilitasi pada
pemeliharaan adaptasi fisiologis, peristiwa jantung dan pola aktivitas fisik.
Sebuah penelitian yang bertujuan mengevaluasi efek program pelatihan
perawatan jangka panjang terhadap kapasitas latihan dan pola aktivitas fisik, dan
untuk membandingkan hasil jangka panjang antara kelompok kontrol dengan
kelompok intervensi. Dimana 50 pasien laki-laki dengan penurunan fungsi
ventrikel (usia rata-rata 55 tahun) yang dirujuk ke pusat rehabilitasi di rumah di
negara Swiss. Dibagi menjadi dua kelompok secara acak dimana 25 kelompok
untuk intervensi dan 25 untuk kelompok kontrol.
Pada awal nya 25 partisipan (50%) telah menderita infark miokard, 3 (6%)
telah menjalani angioplasti koroner perkutan transluminal dan 20 (40%) telah
menjalani arteri koroner operasi bypass (TAKSI). Setelah penyakit koroner pasien
stabil, tunggu selama kurang lebih satu bulan sebelum memulai rehabilitasi.
Dilakukan penyesuaian terhadap rejimen pengobatan sehingga semua pasien
memiliki gejala dasar yang stabil. Semua pasien dibatasi oleh kelelahan, dyspnoea
atau keduanya dasar pengujian latihan pada, dan tidak memiliki bukti klinis
penyakit paru. Setelah informed consent diperoleh, pengujian latihan awal
dilakukan, dan partisipan secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Pasien pada
kelompok latihan tinggal di pusat rehabilitasi selama satu bulan. Subyek kontrol
menerima tindakan perawatan biasa, termasuk dorongan verbal untuk tetap aktif
secara fisik.
14
Exercise training yang dilakukan terdiri dari Lima sesi bersepeda
dilakukan setiap minggu nya dengan durasi 30 menit, dan latihan berjalan diluar
selama 45 menit dua kali sehari. Durasi pelatihan adalah satu bulan. Intensitas
latihan adalah ditentukan dengan baik obyektif (denyut jantung cadangan dan
kerja tingkat ditargetkan 60-80% maksimal), dan subyektif (Borg skala 12-14)
tanggapan, dan tingkat kerja telah disesuaikan (manual) sesuai.
Hasil dari penelitian ini bahwa Puncak VO2 (volume maksimal O2 yang
diproses oleh tubuh manusia pada saat melakukan kegiatan yang intensif)
meningkat 21,4% pada kelompok latihan selama Program rehabilitasi, sedangkan
puncak VO2 tidak berubah pada kelompok kontrol. Setelah waktu enam tahun,
puncak VO2 hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan pada awal di kelompok
latihan, sedangkan puncak VO2 kelompok kontrol tidak berubah. Selama tindak
lanjut jangka panjang, 9 pasien meninggal pada kelompok latihan dan 12 pada
kelompok kontrol. Setelah 6 tahun, pola aktivitas fisik cenderung lebih tinggi
dalam kelompok latihan yaitu nilai pengeluaran energi rata-rata selama tahun lalu
adalah 2704 -/+1970 dan 2085 -/+1522 kkal / minggu selama kegiatan rekreasi
untuk masing-masing kelompok latihan dan kelompok kontrol. Namun, kedua
kelompok lebih aktif dibandingkan dengan pengeluaran energi sebelum latihan
jantung mereka (P<0.001).
Enam tahun setelah partisipasi dalam program rehabilitasi dirumah, pasien
dengan gagal jantung kronis memiliki hasil sedikit lebih baik dibandingkan
kelompok kontrol, mempertahankan kapasitas latihan dan terlibat dalam kegiatan
yang melebihi batas maksimal jumlah yang disarankan oleh pedoman untuk
kesehatan jantung.
Pasien dengan fungsi ventrikel berkurang baik karena gagal jantung
iskemik atau kardiomiopati dilatasi merespon positif ke program latihan olahraga.
Enam tahun setelah acara jantung dan ikut fokus berpartisipasi dalam program
rehabilitasi dirumah pasien secara acak untuk program latihan memiliki sedikit
hasil yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. Namun, kedua kelompok
mempertahankan kapasitas latihan mereka, dan terlibat dalam aktivitas fisik yang
melebihi Jumlah yang disarankan oleh pedoman kesehatan jantung. Analisis saat
ini adalah percobaan acak prospektif kecil, dan lebih besar diperlukan untuk
15
menilai efek jangka panjang rehabilitasi program pada pasien dengan kronis gagal
jantung setelah peristiwa jantung.
Hal-hal yang harus dicermati dalam penelitian ini adalah :
1. Latihan yang aman dan efektif untuk pasien dengan gagal jantung kronis.
2. Efek dari program rehabilitasi jangka panjang pada gagal jantung kronis
hasilnya tetap tidak jelas, dalam penelitian ini dimana hasil tidak berbeda antara
kelompok latihan dan kelompok kontrol.
3. Enam tahun setelah subjek berpartisipasi dan terkonsentrasi dalam program
rehabilitasi dirumah, pola aktivitas fisik melebihi jumlah minimal yang
direkomendasikan untuk kesehatan kardiovaskular, dan cenderung lebih besar di
kelompok secara acak untuk Program latihan.
2.2.2 Efektifitas latihan fraksi ejeksi ventrikel kiri
Latihan fisik (exercise training) sebagai bagian dari rehabilitasi jantung
bertujuan untuk mengembalikan kesehatan pasien penyakit jantung. Namun,
fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) secara klinis digunakan sebagai prediktor
prognosis jangka panjang pada pasien penyakit arteri koroner (CAD) , jarang nya
penelitian tentang efektivitas rehabilitasi jantung latihan fisik berdasarkan pada
LVEF.
Sebuah penelitian yang bertujuan Untuk mengetahui efektivitas latihan
fisik rehabilitasi jantung berbasis pada LVEF pada pasien setelah menjalani
CABG atau PTCA. Sampel diambil secara acak tunggal terkontrol, pasein yang
telah selesai melakukan tindakan PTCA/CABG usia dari 35-75 tahun,atau yang
diobati secara konservatif, yang direkrut dari Rumah Sakit Golsar, Iran. Kriteria
eksklusi adalah kelompok pasien dan kontraindikasi (AACVPR-99) yang berisiko
tinggi melaksanakan pelatihan. Empat puluh dua pasien diacak untuk menjadi
kelompok intervensi dan Control. Kelompok intervensi menjalani 12 minggu
program latihan terstruktur yang dirancang secara individual baik dalam bentuk
latihan di pusat rehabilitasi (CExs) atau Home-based (HExs) menurut pedoman
ACSM-2005 (guidelines for exercise testing ang prescription) . Kelompok kontrol
hanya menerima perawatan jantung biasa tanpa latihan.
LVEF diukur sebelum dan setelah 12 minggu latihan untuk ketiga
kelompok. Perbedaan antara kelompok dianalisis menggunakan model linier
16
umum, dua arah langkah-langkah diulang pada alfa = 0,05. Hasil penelitian
mengatakan rata-rata subjek penelitian adalah 60,5 ± 8,9 tahun. Ada peningkatan
yang signifikan dalam LVEF dalam penelitian dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam perubahan LVEF antara Hexs
(kelompok yang melakukan latihan dirumah) dan kelompok CExs (yang
melakukan latihan dipusat rehabilitasi). Dalam 12-minggu awal (dalam waktu 1
bulan pasca-discharge) latihan terstruktur disesuaikan secara individual bisa
secara signifikan meningkatkan LVEF setelah pasien CAD melakukan tindakan
CABG/PTCA.
Meskipun penurunan sistolik fungsi ventrikel kiri merupakan prediktor
independen yang baik pada kematian Pasien CAD, sedikit informasi yang tersedia
mengenai efek latihan terhadap LVEF. Literatur yang ada baik lebih berfokus
pada pasien gagal jantung atau kekurangan keseragaman metodologis mengenai
jenis pasien, kesenjangan waktu antara pasca keluarnya untuk memulai
melaksanakan pelatihan pada pasien pasca-kejadian atau intensitas dan jenis
latihan yang diberikan kepada pasien. Adachi, Koiket dan Obayshi (1996)
melaporkan peningkatan fungsi jantung (seperti stroke volume) baik saat istirahat
dan selama latihan hanya dengan latihan intensitas tinggi.
Penelitian ini menunjukkan dua temuan penting yaitu:
1. Pada awal (dalam waktu 1 bulan pasca-discharge) 12 minggu program
latihan terstruktur setelah tindakan CABG/PTCA pasien penyakit arteri
koroner bisa secara signifikan meningkatkan kontraktilitas miokard dalam
hal dari LVEF.
2. Latihan dirumah secara terstruktur (Hexs) yang dirancang untuk latihan
individu bisa sama efektif nya dengan program yang dilakukan di pusat
rehabilitasi dan aman digunakan serta beresiko rendah pada pasien CAD.
3. Program-program dapat dimulai sedini mungkin yaitu 2 minggu pasca-
discharge pada pasien tanpa komplikasi.
Berbagai penelitian banyak membuktikan banyak kesulitan dan hambatan
untuk latihan jangka panjang dan hanya 25-30% dari pasien yang patuh dan
memenuhi syarat mengikuti latihan berbasis program rehabilitasi jantung.
Dirancang secara individual Program pelatihan HExs bisa menjadi metode
17
alternatif dalam meningkatkan kontraktilitas miokard tanpa mempengaruhi
efektivitas program. Menerapkan hasil temuan dalam praktek menguatkan
pentingnya pencegahan sekunder dan efektivitas rehabilitasi berpusat pada
program latihan jantung pada kondisi jantung secara keseluruhan dari pasien.
Mengingat peningkatan jumlah penyakit kardiovaskular. Kesimpulannya, 12-
minggu awal (dalam waktu 1 bulan pasca-discharge) terstruktur latihan yang
dirancang secara pelatihan individual secara signifikan dapat meningkatkan LVEF
setalah CABG/PTCA pada pasien penyakit arteri koroner. Dan program latihan
yag berpusat dirumah yang dirancang secara individual (Hexs) terbukti efektif
sama dengan program yang dilakukan di pusat rehabilitasi untuk meningkatkan
fraksi ejeksi pada ventrikel kiri (LVEF).
2.2.3 Latihan fisik selama rehabilitasi pada pasien gagal jantung yang
menggunakan implan.
Dalam dekade terakhir perkembangan yang signifikan dalam pengelolaan
dan rehabilitasi penderita Kegagalan jantung kronis (CHF) telah mamanfaatkan
penggunaan alat/perangkat yang dipasangkan dijantung. Penggunaan alat pacu
jantung biventricular, disebut sebagai Therapy Sinkronisasi Jantung (CRT) dapat
menghasilkan perbaikan dalam kemampuan fungsional. Ulasan ini menyediakan
terapis fisik dengan pemahaman dasar tentang bagaimana untuk meresepkan
latihan bagi penderita CHF yang memiliki ini perangkat implan.
Dalam dekade terakhir beberapa inovasi penting dalam pengelolaan dan
rehabilitasi orang dengan CHF telah muncul yang dapat meningkatkan tingkat
kelangsungan hidup mereka. Salah satu perkembangan yang signifikan adalah
penggunaan perangkat jantung dalam pengobatan CHF. Biventrikular alat pacu
jantung dan defibrillator implan jantung (ICDs) telah terbukti menjadi intervensi
yang efektif bagi sebagian orang dengan CHF.
Therapy Sinkronisasi Jantung (CRT) dengan perangkat biventrikular
memanfaatkan biventrikular atrium-disinkronisasi dua arah untuk
mengkoordinasikan kontraksi ventrikel kanan dan kiri, dan telah terbukti untuk
meningkatkan kemampuan fisik beberapa orang dengan CHF. Selanjutnya,
banyak pasien yang diobati dengan CRT juga menerima ICD. Tujuan dari kajian
ini adalah untuk memberikan terapis fisik dengan pemahaman dasar tentang
18
perangkat ini dan bagaimana untuk meresepkan latihan dan mengelola rehabilitasi
Pasien CHF dengan perangkat tersebut. Makalah ini akan mulai dengan gambaran
singkat tentang dampak CRT pada fungsi fisik dan kapasitas latihan. Ini akan
diikuti oleh rekomendasi untuk pelatihan aerobik dan resistensi. Akhirnya akan
ada review pada ICDs diikuti oleh rekomendasi latihan.
Sejak CRT terbukti signifikan berdampak pada kemampuan fisik serta
kualitas hidup, beberapa pasien termotivasi untuk berpartisipasi dalam program
latihan rehabilitasi untuk lebih meningkatkan kemampuan fungsi jantung. Namun,
sampai saat ini hanya dua penelitian kecil memiliki meneliti dampak dari latihan
menyusul CRT. Conraads et AL26 melaporkan bahwa 4 bulan latihan
memberikan manfaat yang berbeda dalam hal latihan kapasitas (yang diukur
dengan peningkatan VO2, beban kerja maksimal, dan kelancaran peredaran
darah). Dalam penelitian tersebut, pasien yang menerima CRT tapi tidak ada
latihan menunjukkan peningkatan 16% di puncak VO2, sedangkan gabungan CRT
dan latihan diberikan kenaikan 40% di puncak VO2. Demikian pula, Belardinelli
et al25 melaporkan bahwa 8 minggu pelatihan di samping CRT ditingkatkan
VO2peak, dilatasi endotelium-dependen dari arteri brakialis, dan kualitas hidup.
Dengan demikian nampak bahwa olahraga aerobik dapat memberikan manfaat
lebih lanjut untuk pasien CRT.
Berkembangnya penerapan terapi perangkat/implan dalam pengobatan
CHF menghadirkan tantangan unik bagi terapis. Sementara CRT dapat
meningkatkan kemampuan fungsional dari pasien CHF, kemampuan untuk
meningkatkan perbaikan ini dengan pemrograman latihan membutuhkan terapis
yang mengerti bagaimana beradaptasi dan menerapkan prinsip-prinsip latihan ini
dengan kelompok pasien yang unik. Selain itu, karena banyak pasien sekarang
menerima ICDs bersama dengan alat pacu jantung CRT mereka, terapis harus
memiliki pemahaman tentang perangkat tersebut untuk memastikan keselamatan
pasien selama proses latihan untuk rehabilitasi. Dengan bantuan dari terapis yang
kompeten, pasien dengan CRT dan ICD dapat dengan aman berpartisipasi dalam
latihan selama rehabilitasi dan menyadari manfaat kesehatan yang berhubungan
dengan latihan tersebut.
19
BAB 3
PENUTUP
20
3.1 Kesimpulan
Rehabilitasi pada penderita gangguan jantung merupakan kegiatan multi
tahap yang melibatkan kegiatan fisik, diet dan perubahan perilaku yang pada
intinya menurunkan resiko gangguan jantung, ulangan. Pada dasarnya, program
rehabilitasi pada penderita gangguan jantung bertujuan untuk mengoptimalkan
kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam
mencegah perburukan dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas
fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung. Secara tradisional, aktivitas
fisik yang dilaksanakan meliputi tahap inpatient, outpatient dan pemeliharaan
yang dilaksanakan dengan batas waktu tertentu. Dewasa ini peralihan tahap
latihan fisik, dilaksanakan berdasarkan respon individual terhadap latihan dan
tingkat resiko. Latihan pada tahap inpatient dapat dilakukan sejak 48 jam pertama.
Kegiatan out patient dapat dilakukan secara termonitor maupun secara mandiri di
rumah. Latihan pada fase pemeliharaan identik dengan latihan pada individu
normal dengan catatan dilakukan secara aerobik dengan pemeriksaan fisik
berkala.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa latihan fisik sangat efektif
pada fase rehabilitasi pasien gagal jantung, baik pada pasien post CABG/PTCA
maupun pasien yang menggunakan alat pacu jantung. Namun untu latihan jangka
panjang karena berbagai keterbatasan penelitian masih tidak berdampak terlalu
signifikan.
3.2 Saran
Diharapkan dikembangkan penelitian-penelitian tentang efektifitas latihan
fisik jangka panjang dengan sample yang lebih besar dan pendekatan yang lebih
bagus. Fase rehabilitasi merupakan bagian terpenting untuk meningkatkan
kembali fungsi jantung pasien setelah mengalami gagal jantung, atau penurunan
fungsi jantung. Untuk itu perlu pengembangan ilmu tentang latihan fisik yang
sesuai dengan kondisi pasien secara individu dan latihan disesuaikan dengan
terapi yang telah dijalankan oleh pasien. Perawat berperan besar dalam rehabilitasi
jantug baik perawatan di rumah sakit ataupun perawatan di rumah, diharapkan
perawat memiliki kompetensi untuk menjadi konsultan atas latihan rehabilitasi
yang dijalani pasien.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ades, P. A. 2001. "Cardiac rehabilitation and secondary prevention of coronary heart disease." The New England journal of medicine 345(12): 892.
22
Jolliffe, J. A., K. Rees, R. S. Taylor, D. Thompson, N. Oldridge and S. Ebrahim 2001. "Exercisebased rehabilitation for coronary heart disease." Sports Medicine Journal 1: 87.
Lavie, C. J., R. V. Milani and A. B. Littman 1993. "Benefits of cardiac rehabilitation and exercise training in secondary coronary prevention in the elderly." Journal of the American College of Cardiology 22(3): 678.
Marchionni, N., F. Fattirolli, S. Fumagalli, N. Oldridge, F. Del Lungo, L. Morosi, C. Burgisser and G. Masotti 2003. "Improved exercise tolerance and quality of life with cardiac rehabilitation of older patients after myocardial infarction: results of a randomized,controlled trial." Circulation 107(17): 2201.
Oldridge, N. B. 1988. "Cardiac rehabilitation exercise programme." Sports Medicine 6: 45. Williams, M. A. 2001. "Exercise testing in cardiac rehabilitation. Exercise prescription and beyond." Cardiology clinics 19(3): 415.
Mueller, L et all. Exercise capacity, physical activity patterns and outcomes six years after cardiac rehabilitation in patients with heart failure. Clinical rehabilitation 2007 : 21: 923-931
Haddadzadeh et all. Effect of exercise-based cardiac rehabilitation on ejection fraction in coronary artery desease patients: a randomized controlled trial. Heart views.2011: 12:51-7
Haebbel, robert. Exercise rehabilitation for chronic heart failure patients with cardiac device implants. Cardiopulmonary physical therapy journal 2012 vol 23: 23-8
23