Download - LP Asfiksia.docx
LAPORAN PENDAHULUAN
ASFIKSIA NEONATORUM
A. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur
segera atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan sianosis,
bradikardi, hipotonia, dan tidak ada respon terhadap rangsangan, yang secara
objektif dapat dinilai dengan skor APGAR. Keadaan ini disertai hipoksia,
hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Asfiksia ini dapat terjadi karena
kurangnya kemampuan organ bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti
pengembangan paru. Konsekuensi fisiologis yang terutama terjadi pada bayi
dengan asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan kriteria menurut WHO
tahun 2008 didapatkan adanya gangguan neurologis berupa Hypoxic Ischaemic
Enchepalopaty (HIE), akan tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan
segera. (Kosim, 1998; Hidayat, 2008; Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005)
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfiksia dalam
kehamilan dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan
obat bius, uremia, toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma.
Sementara itu, asfiksia dalam persalinan disebabkan oleh partus yang lama,
ruptura uteri, tekanan terlalu kuat kepala anak pada plasenta, prolapsus, pemberian
obat bius yang terlalu banyak dan pada saat yang tidak tepat, plasenta previa,
solusia plasenta, serta plasenta tua (serotinus) (Nurarif, 2013).
B. Etiologi
Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013) :
1. Faktor ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui
plasenta berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang dan
dapat menyebabkan gawat janin dan akhirnya terjadilah asfiksia. Berikut
merupakan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia pada bayi baru
lahir (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1
a. Preeklamsia dan eklamsia
b. Demam selama persalinan
c. Kehamilan postmatur
d. Hipoksia ibu
e. Gangguan aliran darah fetus, meliputi :
f. gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri
g. hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan
h. hipertensi pada penyakit toksemia
i. Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
2. Faktor plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen
melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia (Depkes
RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
a. Abruptio plasenta
b. Solutio plasenta
c. Plasenta previa
3. Faktor fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa
didahului tanda gawat janin (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
a. Air ketuban bercampur dengan mekonium
b. Lilitan tali pusat
c. Tali pusat pendek atau layu
d. Prolapsus tali pusat
4. Faktor persalinan
Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu (Nurarif, 2013):
a. Persalinan kala II lama
b. Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan
sehingga menyebabkan depresi pernapasan pada bayi
5. Faktor neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia
(Nurarif, 2013):
2
a. Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm
b. Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, forsep)
c. Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran
pernapasan, hipoplasi paru, dll.
d. Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial
C. Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor
maternal, plasenta-tali pusat, dan fetus atau neonatus (Volpe, 2001; Aurora, 2004;
dan Levene, 2005) :
a. Kelainan maternal, dapat meliputi hipertensi, peyakit vaskular, diabetes, drug
abuse, penyakit jantung, paru, gangguan susunan saraf pusat, hipotensi,
ruptura uteri, tetani uteri, panggul sempit.
b. Kelainan plasenta dan tali pusat, meliputi infark dan fibrosis plasenta, prolaps
atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus.
c. Kelainan fetus atau neonatus meliputi anemia, hidrops, infeksi, pertumbuhan
janin terhambat, serotinus.
Selain itu, kurangnya kesadaran calon ibu untuk melakukan ANC, status
nutrisi yang rendah, perdarahan saat melahirkan, dan infeksi saat kehamilan juga
merupakan faktor resiko terjadinya asfiksia. Ditambah lagi dengan letak bayi
sungsang dan kelahiran dengan berat bayi kurang dari 2500 gram, maka akan
memperburuk keadaan dan meningkatkan resiko asfiksia (Majeed, 2007 dan
Pitsawong, 2011). Namun sayangnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Ogunlesi dkk (2013) dinyatakan bahwa dari 354 orang responden yang diteliti,
hampir seluruhnya tidak mengetahui faktor resiko terjadinya asfiksia (Ongunlesi,
2013).
3
D. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Asfiksia
Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan asfiksia
livida dengan masing-masing manifestasi klinis sebagai berikut (Nurarif, 2013):
Tabel 1. Karakteristik Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna Kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus Otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi Rangsangan Negatif Positif
Bunyi Jantung Tidak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik
Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR (Nurarif,
2013).
Tabel 2. APGAR score
TandaNilai
0 1 2
A : Appearance (color/warna kulit)
Biru/pucat Tubuh kemerahan, ekstremitas biru
Tubuh dan ekstremitas kemerahan
P : Pulse (heart rate/denyut nadi)
Tidak ada < 100x per menit >100x per menit
G : Grimance (reflek)
Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
A : Activity (tonus otot)
Lumpuh Fleksi lemah Aktif
R : Respiration (usaha bernapas)
Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score berada
pada rentang 0-3, asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi normal atau
dengan sedikit asfiksia jika APGAR score berada pada rentang 7-10 (Nurarif,
2013).
4
E. Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi Asfiksia
Asfiksia terjadi jika oksigen terlalu sedikit dan terlalu banyak
karbondioksida dan asam laktat di dalam darah. Konsekuensi dari kondisiini
adalah gagal napas yang akhirnya menyebabkan metabolisme pernapasan bayi
berubah dari aerob menjadi anaerob. Terjadi asidosis metabolik. Bayi yang
5
Paralisis pusat pernapasan Persalinan lama, lilitan tali pusat, presentasi janin
abnormal
Faktor lain : obat-obatan
ASFIKSIA
Janin kekurangan O2 dan kadar CO2 meningkat
Paru-paru terisi cairan
Gangguan metabolisme dan perubahan asam basa
Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Suplai O2 dalam darah Asidosis respiratorikSuplai O2 dalam paru
Resiko Ketidakseimbangan
Suhu Tubuh
Napas cepat
Apneu
DJJ dan TD
Ketidakefektifan Pola Napas
Janin tidak bereaksi terhadap rangsangan
Gangguan perfusi-ventilasi
Gangguan Pertukaran Gas
Napas cuping hidung, sianosis, hipoksia
Kerusakan otak
Kematian bayi Resiko Cidera
Proses Keluarga Terhenti
Resiko Sindrom Kematian Bayi
Mendadak
mengalami anoksik dapat berada pada empat fase, bergantung pada tingkat
hipoksia intrauterin yang terjadi (Johnson & Taylor, 2004):
1. Hiperventilasi
2. Apnea primer
3. Napas terengah-engah
4. Apnea sekunder atau terminal
Mengkaji pada saat lahir di fase mana bayi berada merupakan hal yang
sulit untuk dilakukan. Merespons dan kemudian mengkaji perkembangan
merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Skor APGAR membantu dalam
membuat keputusan tentang resusitasi, tetapi harus selalu diingat ketika
menghadapi apnea, resusitasi harus dilakukan sebelum menit pertama berlalu
(Johnson & Taylor, 2004).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan diantaranya yaitu (William, 2004) :
1. Analisa Gas Darah (AGD) : pH kurang dari 7,20
2. Penialaian APGAR score, meliputi warna kulit, frekuensi jantung, usaha napas,
tonus otot, dan reflek
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik
G. Penatalaksanaan
Asfiksia merupakan kejadian kegawatan pada janin sehingga memerlukan
tindakan yang cepat. Adapun prosedur pertolongan bayi dengan asfiksia adalah
sebagai berikut (Depkes RI, 2005):
6
PENILAIAN :Bayi tidak menangis, tidak bernapas atau megap-megap
LANGKAH AWAL (dilakukan dalam 30 detik) :1). Jaga bayi tetap hangat, 2). Atur posisi bayi : leher agak ekstensi, 3). Isap lendir, 4). Keringkan dan rangsang taktil, 5). Reposisi
---------------------------------------------------------------------------------------------------Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur
Gambar 2. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir
Pada pertolongan persalinan, setiap petugas perlu mengetahui apakah bayi
mempunyai resiko mengalami asfiksia. Pada keadaan tersebut, bicarakan dengan
ibu dan keluarganya kemungkinan diperlukannya tindakan resusitasi. Akan tetapi,
pada keadaan tanpa faktor resiko pun beberapa bayi dapat mengalami asfiksia.
7
Lanjutkan ventilasi, hentikan tiap 30 detik--------------------------------------------------------------------------Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan
teratur
Ya Tidak
Setelah ventilasi selama 2 menit tidak berhasil, siapkan rujukan
Bila bayi tidak bisa dirujuk dan tidak bisa bernapas, hentikan ventilasi setelah 20 menit
Konseling dukungan emosional dan pencatatan bayi meninggal
ASUHAN PASCA RESUSITASI :1. Jaga bayi agar tetap hangat2. Lakukan pemantauan3. Konseling4. Pencatatan
Ya Tidak
VENTILASI :1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi3. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20
cm air dalam 30 detik------------------------------------------------------------------------------------------
4. Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur
Ya Tidak
Oleh karena itu, petugas harus siap melakukan resusitasi bayi setiap melakukan
pertolongan persalinan (Depkes RI, 2005).
Cara mengatasi asfiksia adalah sebagai berikut (Hidayat, 2008) :
1. Asfiksia ringan APGAR Skor (7-10)
Bayi dibungkus dengan kain hangat
Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudia mulut
Bersihkan badan dan tali pusat
Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukkan ke
dalam inkubator.
2. Asfiksia sedang APGAR Skor (4-6)
Bersihkan jalan napas
Berikan oksigen 2 liter per menit
Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki. Apabila belum ada
reaksi, bantu pernapasan dengan masker (ambubag)
Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis, berikan natrium
bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc disuntikkan
melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan.
3. Asfiksia berat APGAR Skor (0-3)
Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag
Berikan oksigen aliran 4-5 liter per menit
Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT (Endotracheal tube)
Bersihkan jalan napas melalui ETT
Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan natrium
bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc.
Tahap persiapan resusitasi meliputi (Depkes RI, 2005):
a. Persiapan keluarga
Bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
pada ibu dan bayi sebelum menolong persalinan.
b. Persiapan tempat
Tempat untuk resusitasi harus hangat, terang, rata, keras, bersih, kering,
sebaiknya dekat pemancar panas, dan tidak berangin.
8
c. Persiapan alat resusitasi
Alat yang digunakan meliputi :
1) Kain ke 1 : untuk mengeringkan bayi
2) Kain ke 2 : untuk membungkus bayi
3) Kain ke 3 : untuk mengganjal bahu bayi
4) Alat pengisap lendir DeLee
5) Tabung dan sungkup
6) Kotak alat resusitasi
7) Handscun
8) Stopwatch atau jam tangan
d. Persiapan diri
Penolong harus mencuci tangan dan menggunakan APD sebelum
menolong persalinan. Keputusan melakukan resusitasi dinilai dari kondisi
bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap. Selain itu, resusitasi juga
dilakukan jika air ketuban bercampur dengan mekonium. Dalam manajemen
asfiksia, proses penilaian sebagai dasar pengambilan keputusan bukanlah
suatu proses sesaat yang dilakukan hanya satu kali. Pada setiap tahapan
manajemen asfiksia senantiasa dilakukan penilaian untuk membuat
keputusan, tindakan apa yang tepat untuk dilakukan (Depkes RI, 2005).
Setelah dilakukan resusitasi, maka bayi baru lahir dengan asfiksia
diberikan asuhan pasca resusitasi. Asuhan pasca resusitasi merupakan
perawatan intensif selama 2 jam pertama. Asuhan yang diberikan sesuai
dengan hasil resusitasi, meliputi (Depkes RI, 2005 dan Agarwal, 2008):
1) Bila resusitasi berhasil
Hal yang pertama kali dilakukan setelah resusitasi berhasil yaitu
memindahkan bayi ke ruangan bayi dan menjaga bayi agar tetap hangat.
Kemudian lakukan monitoring tanda-tanda vital secara berkala. Lakukan
juga pemeriksaan analisa gas darah, kadar gula darah, hematokrit, dan
kadar kalsium.
Sementara itu, berikan konseling kepada ibu terkait pemberian ASI,
menjaga kehangatan bayi dengan teknik Kangoroo Mother Care, dan
9
jelaskan kepada ibu bagaimana tanda-tanda bahaya pada bayi baru lahir.
Selain itu, selalu monitor warna kulit, suhu, dan respirasi rate minimal
pada dua jam pertama, serta lakukan pencatatan atau dokumentasi.
2) Bila perlu rujukan
Bayi perlu rujukan jika :
a) RR < 30x per menit, atau > 60x per menit
b) Adanya tarikan dinding dada
c) Bayi merintih (ada bunyi napas saat ekspirasi) atau megap-megap (ada
bunyi napas saat inspirasi)
d) Tubuh bayi pucat atau kebiruan
e) Bayi lemas
Siapkan surat rujukan dan lakukan pencatatan atau dokumentasi setiap
kali selesai melakukan tindakan.
3) Bila resusitasi tidak berhasil
a) Lakukan konseling berupa pemberian dukungan moral kepada
keluarga yang kehilangan. Ibu akan merasa sedih, bahkan menangis.
Perubahan hormon setelah kehamilan mungkin menyebabkan
perasaan ibu sangat sensitif. Jelaskan kepada ibu dan keluarga bahwa
ibu memerlukan istirahat, dukungan moral, dan makanan bergizi.
b) Berikan asuhan tindak lanjut berupa kunjungan nifas.
c) Lakukan pencatatan atau dokumentasi
Ada beberapa hal yang tidak dianjurkan dilakukan terhadap bayi dengan
asfiksia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang sebaiknya dihindari saat
melakukan pertolongan kepada bayi dengan asfiksia beserta akibat yang
ditimbulkannya (Depkes RI, 2001) :
Tabel 3. Tindakan yang Tidak Dianjurkan dan Akibat yang MungkinDitimbulkannya
Tindakan Akibat
Menepuk bokong Trauma dan melukai
Menekan rongga dada Fraktur, pneumototaks, gawat napas, kematian
10
Menekankan paha ke perut bayi Ruptura hepar atau lien, perdarahan
Mendilatasi sfingter ani Robek atau luka pada sfingter
Kompres dingin atau panas Hipotermi, luka bakar
Meniupkan oksigen atau udara dingin ke muka atau tubuh bayi
Hipotermi
Berdasarkan penelitian oleh Berglund dkk (2008) dinyatakan bahwa
kepatuhan terhadap protap penatalaksanaan atau manajemen asfiksia bayi baru
lahir masih rendah dan harus ditingkatkan, terutama menyangkut tindakan
ventilasi. Pendokumentasian juga harus diperbaiki agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan (Berglund, 2008).
Penatalaksanaan dari sisi medikamentosa dapat dilakukan dengan
(Depkes RI, 2005 dan IAI, 2012):
1) Cairan penambah volume darah
Cairan diberikan jika bayi terlihat pucat, kehilangan darah, dan atau
tidak memberikan respon yang memuaskan terhadap resusitasi. Cairan yang
dipakai dapat berupa garam fisiologis (dianjurkan), ringer laktat, dan dapat
juga berupa darah O-negatif dengan dosis 10 ml/kgBB/5-10 menit melalui
jalur vena umbilikalis.
2) Epinefrin
Epinefrin diberikan setelah VTP (ventilasi tekanan positif) 30 detik dan
VTP+kompresi dada selama 30 detik tidak memberikan hasil positif sehingga
frekuensi jantung tetap > 60 kali per menit. Dosis yang diberikan sebanyak
0,1 s.d. 0,3 ml/kgBB melalui rute IV dengan pengenceran 1 : 10.000 dan
diberikan secepat mungkin.
3) Natrium bikarbonat
Hanya diberikan jika dicurigai terjadinya asidosis metabolik atau
terbukti sudah terjadi asidosis metabolik. Dosis pemberian yaitu sebanyak 2
mEq/kgBB (larutan 4,2%) melalui jalur vena umbilikus dengan kecepatan < 1
mEq/kgBB/menit. Natrium bikarbonat tidak boleh diberikan jika ventilasi
masih belum adekuat.
11
Penelitian yang dilakukan oleh Gregorio dkk (2011) menyatakan bahwa
ternyata kafein dapat digunakan untuk penanganan apneu pada bayi baru lahir
prematur sehubungan dengan belum matangnya sistem saraf pada bayi
tersebut. Dinyatakan bahwa kafein memiliki toksisitas yang rendah dan waktu
paruh yang panjang. Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa
kemungkinan menarik dari efek yang dihasilkan oleh kafein, seperti efek
perlindungan kafein terhadap otak dan paru-paru (Gregorio, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gathwala dkk (2010) menyatakan
bahwa pemberian magnesium dalam dosis tertentu kepada bayi dengan
asfiksia berat dapat memberikan perlindungan terhadap sistem saraf bayi. Ion
magnesium mempunyai reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang dapat
melindungi otak dari kerusakan lebih lanjut akibat asfiksia (Gathwala, 2010).
H. Komplikasi
Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya adalah
sebagai berikut (Karlsson, 2008) :
1) Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
2) Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus, perdarahan
paru, edema paru
3) Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos
4) Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1 ml/kg/jam)
untuk 24 jam atau lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L
5) Hematologi : DIC
6) Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau alanine amino transferase
> 100 U/L sejak minggu pertama kelahiran
Komplikasi yang khas pada asfiksia neonatorum yaitu Enselopati Neonatal
atau Hipoksik Iskemik Enselopati yang merupakan sindroma klinis berupa
gangguan fungsi neurologis pada hari-hari awal kehidupan bayi aterm (Moster,
2002). Penelitian yang dilakukan oleh Azzopardi dkk (2009) serta penelitian oleh
Wintermark dkk (2011) menyatakan bahwa meskipun induksi hipotermia sedang
selama 72 jam pada bayi dengan asfiksia neonatorum tidak secara signifikan
12
mengurangi tingkat kematian maupun cacat berat, tetapi menghasilkan pengaruh
baik terhadap sistem saraf pada bayi yang selamat (Azzopardi, 2009 dan
Wintermark, 2011).
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Hal-hal yang dikaji pada bayi baru lahir dengan asfiksia setelah tindakan
resusitasi meliputi (Carpenito, 2007 dan Mansjoer, 2000) :
a. Sirkulasi
Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110-180 kali per menit. Tekanan
darah 60-80 mmHg sistolik dan 40-45 mmHg diastolik
1) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas
maksimal tepat di kiri dari mediasternum pada ruang intercostae III/IV
2) Mur-mur biasanya terjadi pada selama beberapa jam pertama
kehidupan
3) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena
b. Eleminasi
Dapat berkemih saat lahir
c. Makanan atau cairan (status nutrisi)
1) Berat badan : 2500-4000 gram
2) Panjang badan : 44-45 cm
3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai dengan gestasi
d. Neurosensori
1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas
2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30
menit pertama setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas).
Penampilan asimetris (molding, edema, hematoma)
3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi
menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemia, atau efek nekrotik)
e. Pernapasan
1) APGAR score optimal : antara 7 s.d. 10
13
2) Rentang RR normal dari 30-60 kali per menit, pola periodik dapat
terlihat
3) Bunyi napas bilateral, kadang-kadang krekels umum awalnya silidrik
thorax : kertilago xifoid menonjol umum terjadi
f. Keamanan
Suhu normal pada 36,5 s.d. 37,5 0C. Ada verniks (jumlah dan distribusi
tergantung pada usia gestasi
g. Kulit
Kulit lembut, fleksibel, pengelupasan kulit pada tangan atau kakai dapat
terlihat, warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang
menunjukkan memar minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau
perubahan warna herliquin, petekie pada kepala atau wajah (dapat
menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan dengan kelahiran atau
tanda nukhal), bercak portuine, telengiektasis ( kelopak mata, antara alis
dan mata, atau pada nukhal), atau bercak mongolia (terutama punggung
bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penampakan elektroda internal)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain yaitu
(Nurarif, 2013 dan NANDA, 2009) :
a. Gangguan pertukaran gas b.d. ventilasi-perfusi
b. Ketidakefektifan pola napas b.d. hipoventilasi, kerusakan neurologis
c. Resiko keterlambatan perkembangan, faktor resiko berupa kekurangan
oksigen ke otak
d. Resiko ketidakseimbangan suhu tubuh, faktor resiko berupa pemajanan
suhu lingkungan yang ekstrem, umur dan berat badan ekstrem.
e. Resiko cidera, faktor resiko berupa hipoksia jaringan
f. Resiko infeksi, faktor resiko berupa pertahan tubuh primer tidak adekuat
g. Resiko sindrom kematian bayi mendadak, faktor resiko berupa
prematuritas organ
14
3. Prioritas Masalah
Diagnosa keperawatan yang menjadi prioritas adalah ketidakefektifan
pola napas b.d. hipoventilasi dan kerusakan neurologis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.
Agarwal R, Ashish J, Ashok K, Deorari, Vinod KP. 2008. Post-Resuscitation Management of Asphyxiated Neonates. Indian Journal of Pediatrics : 75; 175-80.
Aurora S, Snyder EY. 2004. Perinatal Asphyxia. In : Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 536-55.
Azzopardi DV, Brenda S, David E, Leight D, Henry LH, Edmund J, et al. 2009. Moderate Hypothermia to Treat Perinatal Asphyxial Encephalopathy. The New England Journal of Medicine : 361 (14); 1349-58.
Berglund S, Mikael N, Charlotta G, Hans P, Sven C. 2008. Neonatal Resuscitation After Severe Asphyxia – A Critical Evaluation of 177 Swedish Cases. Acta Pediatric : 97; 714-9.
Bulecheck, Gloria M, et all. 2008. Nursing intervention Classification (NIC) Fifth Edition. USA: Mosbie Elsevier.
Carpenito, LJ.2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta : EGC
Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar Pelayanan Kebidanan, Buku 1. Jakarta : Depkes RI
Departemen Kesehatan RI. 2005. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan. Jakarta : Depkes RI.
Gathwala G, Khera A, Singh J, Balhara B. 2010. Magnesium for Neuroprotection in Birth Asphyxia. Jornal of Pediatric Neurosciences : (5); 102-4.
Gregorio HO, Rojas DM, Villanueva D, Jaime HB, Bonilla XS, Gonzales LT, et al. 2011. Caffeine Therapy for Apnoea of Prematurity : Pharmacological Treatment. African Jornal of Pharmacy and Pharmacology : 5(4); 564-71.
Hasan R, Alatas H. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-UI.
Hidayat AAA. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
16
Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Sesialite Obat Indonesia volume 47. Jakarta : ISFI Penerbitan.
Johnson R, Taylor W. 2004. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta: EGC.
Karlsson M. 2008. On Evaluation of Organ Damage in Perinatal Asphyxia : an Experimental and Clinical Studi. Stockholm : Departemen of Clinical Science and Education Sodersjukhuset.
Kosim MS. 1998. Asfiksia Neonatorum dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Dokter Spesialis Anak dalam Bidang NICU untuk RSU Kelas B Tingkat Nasional. Semarang : IAI.
Levene M, Evans DJ. 2005. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. In : Rennie JM eds. Roberton’s Textbook of Neonatologi 4th ed. Philadelphia : Elsevier Limited; 1128-48.
Majeed R, Yasmeen M, Farrukh M, Naheed PS, Uzma DMR. 2007. Risk Factor of Birth Asphyxia. J Ayub Med Coll Abbottabad : 19(3); 67-71.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. USA: Mosbie Elsevier.
Moster D, Lie RT, Markestad T. 2002. Joint Association of Apgar Scores and Early Neonatal Symptoms with Minor Disabilities at School Age. Arch. Dis. Child. Fetal Neonatal Ed : 86; 16-21.
NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication.
Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.
Ongunlesi TA, Fetuga MB, Adekanmbi AF. 2013. Mother’s Knowladge About Birth Asphyxia : The Need to Do More!. Nigerian Journal of Clinical Practice : 16(1); 31-6.
Pitsawong C, Prisana P. 2011. Risk Factors Associated with Birth Asphyxia in Phramongkutklao Hospital. Thai J of Obstertrics and Gynaecology : 19; 165-71.
Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In : Volpe JJ eds. Neurologi of the newborn 4th ed. Philadelphia : WB. Saunders Co; 217-394.
William MG. 2004. Perinatal Asphyxia. Clin Evid : 12; 1-2.
17
Wintermark P, Hansen A, Gregas MC, Soul J, Lebrecque M, Robertson RL, et al. 2011. Brain Perfusion in Asphyxiated Nerborns Treated with Therapeutic Hypothermia. Am J Neuroradiol : 32; 2023-29.
18