Download - Lapsus Stemi Fix
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : POLRI
Alamat : Malimbong
MRS : 11/01/2016
MR : 740809
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri dada
Anamnesis terpimpin : Dialami sejak ±9 jam sebelum masuk rumah sakit.
Dialami secara tiba-tiba saat sedang beristirahat. Nyeri dada terasa seperti
tertekan dan tembus ke belakang. Durasi nyeri ±30 menit. Disertai keringat
dingin, mual dan muntah tidak ada. Riwayat nyeri dada sebelumnya tidak ada.
Sesak napas saat berbaring tidak ada, batuk tidak ada, demam tidak ada, nyeri
ulu hati tidak ada.
Riwayat penyakit terdahulu :
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM ada
Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
Riwayat merokok 1 bungkus/hari
C. PEMERIKSAAN FISIS
Status generalis
Keadaan umum: Sakit sedang / Gizi baik /Compos mentis (GCS 15 E4M6V5)
BB: 69 kg, Tb: 173 cm, IMT: 23,05 kg/m2
Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 MmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,6 0C
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Mata : Anemis (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+2 cm H2O
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris
kesan normal
Perkusi :
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
Auskultasi : Bunyi pernapasan: vesikuler
Bunyi tambahan: ronki -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Apeks jantung tidak tampak
Palpasi : Apeks jantung tidak teraba, thrill (-)
Perkusi :
Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II reguler, murmur (-).
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)
PemeriksaanEkstremitas
Extremitas hangat
Edema pretibial -/-
Edema dorsum pedis -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG (11-01-2016)
Interpretasi :
Ritme : sinus rhythm
Heart rate : 75 bpm
Axis : normo axis
Gelombang P : 0,08s
PR Interval : 0,24 s
QRS kompleks :
ST Segmen : ST elevasi di II,III, aVF, v7, v8; ST depresi di V2-
V6
Gelombang T : T inverted di
Kesimpulan : ST elevasi myocardial infarction inferoposterior + AV
blok derajat 1
Laboratorium (
TEST RESULT NORMAL
VALUE TEST RESULT
NORMAL
VALUE
WBC 15,1 x 103
4.0 – 10.0 x
103
Ureum 39 10-50
RBC 4,09 x 106 4.0 – 6.0 x 10
6 Kreatinin 0,89 0,5-1,2
HGB 13,1 14 – 18 Troponin I >10,0 <0,01
HCT 38 37 – 48 CK 1720 <190
PLT 205 x 103
150 – 400 x
103
CKMB 69,5 <25
PT 11 10 – 14 Natrium 137 136 – 145
APTT 26,3 22,0 - 30,0 Kalium 3,6 3,5 - 5,1
INR 1,06 1,00 Klorida 107 97 – 111
GDP 262 <110 Asam Urat 4,3 3,4-7,0
HbA1c 9,5 4-6 Kolesterol
total 234 200
GD2PP 289 <200 Kolesterol
HDL 54 >55
SGOT 178 <38 Kolesterol
LDL 158 <130
SGPT 75 <41 Trigliserida 110 200
Ureum 39 10-50
Kreatinin 0,89 0,5-1,2
Troponin
I >10,0 <0,01
Foto thoraks
Hasil Pemeriksaan :
Kesan : Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru
E. DIAGNOSIS
ST Elevasi Inferoposterior Myocardial Infarction Onset <12 jam
F. TERAPI
Diet jantung I
Oksigen 3 lpm via nasal
Infus NaCl 0,9% 500cc / 24jam/ intravena
Streptokinase 1.500.000 unit dalam Dextrose 5% 100cc habis dalam 60
menit
Aspilet 80mg/24jam/oral
Clopidogrel 75 mg/24jam/oral
Simvastatin 40mg/24jam/oral
Enoxaparin 60mg/12jam/subcutan
Laxadyn syrup 10cc/24jam/oral
Alprazolam 0,5 mg/24jam/oral
DISKUSI
INFARK MIOKARD AKUT
1. DEFINISI
Infark miokard akut (IMA) adalah kerusakan jaringan miokard
akibat iskemia hebat yang terjadi secara tiba-tiba.1 IMA merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA). SKA merupakan
keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak nyaman
di dada atau gejala lain sebagai akibat kurangnya oksigen ke otot
jantung (miokardium). SKA terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.2-4
Konsensus
internasional saat ini menyatakan bahwa istilah IMA dapat digunakan
bila terdapat bukti adanya nekrosis miokard pada kondisi klinis yang
konsisten dengan iskemia miokard. Definisi universal IMA menurut
European Society of Cardiology dapat dilihat pada table di bawah ini.
Tabel Definisi Universal IMA 5
1. Deteksi adanya kenaikan dan/atau penurunan nilai biomarker
kardiak (terutama troponin) dengan minimal satu nilai di atas
persentil 99 dari batas atas nilai referensi ditambah minimal salah
satu dari criteria di bawah ini:
- Gejala-gejala iskemia
- Perubahan segmen ST-T yang baru/diperkirakan baru atau
LBBB baru
- Perubahan gelombang Q patologis pada EKG
- Bukti pada pemeriksaan pencitraan bahwa terdapat hilangnya
area miokard viable yang baru, atau abnormalitas regional
pada dinding miokard yang baru
- Identifikasi thrombus intrakoroner menggunakan pemeriksaan
angiografi atau otopsi
2. Kematian kardiak dengan gejala yang mengarah kepada iskemia
miokard dan terdapat perubahan EKG yang diduga baru atau
LBBB baru, namun kematian terjadi sebelum terdapat nilai
biomarker jantung dalam darah atau sebelum nilai biomarker
jantung mengalami peningkatan.
3. Thrombosis pada stent yang berhubungan dengan infark miokard
yang terdeteksi menggunakan angiografi koroner atau otopsi pada
kondisi iskemia miokard disertai peningkatan dan/atau penurunan
nilai biomarker jantung dengan minimal satu nilai diatas persentil
99 dari batas atas nilai referensi.
2. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko IMA dibedakan atas faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga
penyakit keluarga, dan faktor yang dapat dimodifikasi seperti DM,
hipertensi, hiperkolesterolemia atau dislipidemia, merokok dan
kegemukan, hiperurisemia, aktivitas fisik yang kurang, stress, dan
gaya hidup.3, 4
Kejadian IMA makin sering didapatkan bertambahnya
umur. IMA umumnya sering ditemukan pada umur 40-70 tahun.
Telah dibuktikan bahwa merokok berhubungan dengan rusaknya endotel. 5,6
Efek rokok adalah menambah beban miokard karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah, dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb
sehingga meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut.5
Peran rokok dalam
patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya : a. Timbulnya aterosklerosis. b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner) c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. d. Provokasi aritmia jantung. e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard. f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti. Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung kencing (47,48) dan
penurunan kesegaran jasmani
Hipertensi dapat berpengaruh terhadap jantung melalui
meningkatkan beban jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel
kiri dan mempercepat timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah
yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap
dinding pembuluh darah arteri koronaria sehingga memudahkan
terjadinya aterosklerosis koroner.
Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat menyebabkan
penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari
pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut
aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan
aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran
darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi oksigen
ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan
otot jantung menjadi lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan
kematian mendadak.3
Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah.(52). Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.(53)
Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia. Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik.(54) Disamping pemberian daftar komposisi makanan , pasien juga diharapkan
untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.(55
Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang sesuai. Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati,
fibrosis
otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung.
Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK.(58) Penyakit jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang
berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium. (36)
Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi vaskuler
terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi.
Laki-laki memiliki risiko lebih besar terkena serangan jantung dan kejadiannya lebih awal dari pada wanita.(66) Morbiditas penyakit PJK pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki darpada perempuan. (31) Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopouse insiden PJK meningkat dengan pesat, tetapi tidak sebesar insiden PJK pada laki-laki (66). Perokok pada wanita mengalami menopouse lebih dini daripada bukan perokok. Gejala PJK pada perempuan dapat atipikal, hal ini bersama bias gender, kesulitan dalam interpretasi pemeriksaan standart (misalnya : tes latihan treadmill) menyebabkan perempuan lebih jarang diperiksa
dibandingkan laki-laki. Selain itu manfaat prosedur revaskularisasi lebih menguntungkan pada laki-laki dan berhubungan dengan tingkat komplikasi perioperatif yang lebih tinggi pada perempuan. Faktor risiko kardiovaskuler mayor serupa pada kedua jenis kelamin, tetapi pria biasanya menderita PJK 10 sampai 15 tahun lebih awal daripadawanita. Hingga berusia 60 tahun, di Amerika Serikat, hanya 1 dari 17 wanita yang sudah mengalami kelainan koroner, sedangkan pria 1 dari 5. Sesudah usia 60 tahun, PJK menjadi
penyebab utama kematian wanita, sama dengan pria
Pada kelompok masyarakat kulit putih maupun kulit berwarna, laki-laki mendominasi kematian akibat PJK, tetapi lebih nyata pada kulit putih dan lebih sering
ditemukan pada usia muda dari pada usia lebih tua. Onset PJK pada wanita kulit
putih umumnya 10 tahun lebih lambat disbanding pria, dan pada wanita kulit berwarna lebih lambat sekitar 7 (tujuh) tahun. (67)
Insidensi kematian dini akibat PJK pada orang Asia yang tinggal di Inggris lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lokal dan juga angka yang rendah pada ras
Afro-Karibia. (
Stres, baik fisik maupun mental merupakan faktor risiko untuk PJK. Pada masa sekarang, lingkungan kerja telah menjadi penyebab utama stress dan terdapat hubungan yang saling berkaitan antara stress dan abnormalitas metabolisme lipid.(31)
Disamping itu juga stres merangsang sistem kardiovaskuler dengan dilepasnya catecholamine yang meningkatkan kecepatan denyut jantung dan menimbulkan
vaso
konstriksi.
Pada latihan fisik akan terjadi dua perubahan pada sistem kardiovaskuler, yaitu peningkatan curah jantung dan redistribusi aliran darah dari organ yang kurang aktif ke organ yang aktif. (74) Aktivitas aerobik secara teratur menurunkan risiko PJK, meskipun hanya 11 % laki-laki dan 4 % perempuan memenuhi target pemerintah untuk berolah raga.(31) Disimpulkan juga bahwa olah raga secara teratur akan menurunkan tekanan darah sistolik, menurunkan kadar katekolamin di sirkulasi, menurunkan kadar kolesterol dan lemak darah, meningkatkan kadar HDL lipoprotein, memperbaiki sirkulasi koroner dan meningkatkan percaya diri. (75)
Diperkirakan sepertiga laki-laki dan dua per tiga perempuan tidak dapat mempertahankan irama langkah yang normal pada kemiringan gradual (3 mph pada gradient 5 %). Olah raga yang teratur berkaitan dengan penurunan insiden PJK sebesar 20 – 40 %. (31) Dengan berolah raga secara teratur sangat bermanfaat untuk menurunkan faktor risiko seperti kenaikan HDL-kolesterol dan sensitivitas insulin serta
menurunkan berat badan dan kadar LDL-kolesterol.(
3. PATOFISIOLOGI.
IMA terjadi oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen di miokard akibat atherosclerosis atau plak.1 Infark
miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada
plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Pada sebagian besar
kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura, rupture
atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture
yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Selanjutnya, pada lokasi
rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain
itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konfirmasi reseptor
glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor
mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein
adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat
mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan
silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan
tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,
mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner
yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh thrombus yang
terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.2 Trombus ini menyumbat
lumen pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau
menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh darah koroner yang
lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokontriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan
iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selam kurang-
lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total
pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai
vasokontriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan
nekrosis jaringan otot jantung (miokard).1, 6
Bila terbentuk thrombus
yang bersifat oklusif akan terjadi STEMI, sedangkan bila thrombus
yang terbentuk tidak bersifat oklusif akan terjadi NSTEMI atau UAP.6
4. GEJALA
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA.
Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :
- Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial
- Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir
- Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang
bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke
lengan kanan
- Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat
- Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan
sesudah makan
- Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat
dingin, cemas dan lemas 2, 6
Nyeri dada pada STEMI biasanya berlangsung >20 menit, tidak
berespon terhadap nitroglycerin, dan biasanya menjalar ke leher,
rahang bawah atau lengan kiri. Nyeri yang dirasakan bisa tidak terlalu
berat.5 Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa
nyeri dada sering dijumpai pada pasien diabetes mellitus dan usia
lanjut.2 Beberapa pasien kadang mengalami gejala yang tidak khas
seperti mual dan muntah, sesak, lemas, palpitasi atau sinkop.5
5. DIAGNOSIS
Tiga kriteria untuk menegakkan diagnosis IMA adalah adanya nyeri
dada khas infark, perubahan gambar EKG, dan kenaikan biomarker
jantung seperti enzim creatine kinase (CK), creatine kinase myocardial
band (CKMB), mioglobin dan troponin.1
A. ANAMNESIS
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung
atau luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari
jantung, perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau
bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard
sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner dalam keluarga.2
B. PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan fisis, biasanya tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding.Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal
jantung, maka dapat ditemukan irama gallop (S3) atau ronki basah. Bila terjadi
aritmia dan hipotensi, maka penderita mungkin tampak pucat dan berkeringat
dingin. Kadang-kadang pasien IMA datang dengan keluhan nyeri ulu hati, dada
rasa terbakar, atau rasa tidak nyaman di dada yang sulit digambarkan penderita.1
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi
katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema
paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat
diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak
seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- EKG
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada
semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai
STEMI, dalam waktu 10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai
landasan dalam menentukan keputusan terapi reperfusi. Jika
pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi
pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan
(sadapan V3R dan V4R), serta v7-v9 sebaiknya direkam pada
semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada
iskemia dinding inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark
ventrikel kanan atau iskemia dinding posterior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik.2, 7
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan
pada 2 sadapan yang berhubungan. Kriteria elevasi segmen ST ≥
0,25 mV untuk pria <40 tahun, ≥0,2 mV pada pria >40 tahun dan ≥
0,15 mV pada wanita pada sadapan V2-V3 dan/atau ≥ 0,1 mV pada
sadapan yang lain (jika tidak ada LVH atau LBBB).6, 8
Bagi pria
dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan
V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang
≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9
adalah ≥0,5 mV).5, 7
Sebaliknya, depresi segmen ST di lead V1-V3
menunjukkan adanya iskemik miokard.5 Di lain pihak, pasien
dengan gejala iskemik dan peningkatan biomarker namun tanpa
adanya elevasi segmen ST digolongkan sebagai penderita
NSTEMI. Adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T
dapat menunjukkan suatu NSTEMI atau UAP. Klasifikasi tersebut
berguna secara klinis, karena pasien dengan STEMI biasanya akan
langsung dirujuk ke laboratorium kateterisasi atau diberikan terapi
fibrinolitik untuk tujuan revaskularisasi segera sedangkan
perujukan pasien dengan NSTEMI ke laboratorium kateterisasi
biasanya tidak terlalu mendesak dan tergantung dari skor
stratifikasi risiko yang berhubungan.6
Tabel Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG7
Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi iskemia atau infark
V1-V4 Anterior
V5-V6 Lateral
II,III,aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
- Pemeriksaan Marker Jantung
Biomarker jantung merupakan salah satu komponen yang
penting pada evaluasi awal pasien-pasien yang diduga menderita
IMA. Biomarker jantung merupakan makromolekul intraseluler
yang dikeluarkan menuju sirkulasi akibat jejas pada miokardial,
sehingga dapat terdeteksi di darah tepi. Marker tersebut akan
dikeluarkan dengan cepat menuju darah setelah episode IMA,
sehingga konsentrasi biomarker pada plasma biasanya
berhubungan dengan luasnya area infark. Biomarker jantung yang
sering digunakan untuk evaluasi pasien-pasien dengan kecurigaan
IMA adalah CK-MB dan Troponin (I dan T). CK-MB merupakan
salah satu dari tiga isoenzim Creatine Kinase (CK). CK terdiri dari
dua subunit, yaitu B yang paling banyak terdapat pada jaringan
otak dan M yang paling banyak terdapat di jaringan otot.
Kombinasi dari kedua subunit tersebut akan menghasilkan tiga
isoenzim CK, yaitu CK-BB, CK-MB, dan CK-MM.6
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T
merupakan marka nekrosis miosit jantung dan menjadi marka
untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka
nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai
untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap
terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih
tinggi dari troponin T. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah).7
Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas
normal menunjukkan adanya nekrosis jantung:
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Pada kondisi IMA, kadar CK-MB biasanya meningkat 10-20
kali lipat dari nilai normal.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pada kasus IMA, troponin
biasanya meningkat 20-50 kali nilai normal.2, 6
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin,
creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase (LDH)
Gambar waktu peningkatan biomarker setelah onset IMA6
- Pemeriksaan Laboratorium Lainnya
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus
diperiksa adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status
elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.7 Pada
pemeriksaan darah rutin dapat ditemukan leukositosis. Reaksi non
spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah
onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai
12.000-15.000/ul.2
6. TATALAKSANA
A. Tata Laksana Pra Rumah Sakit
Sebagian besar kematian di luar rumah sakit pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian
besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utam
tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara
lain:
o Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari
pertolongan medis
o Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat
melakukan tindakan resusitasi
o Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai
fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat
yang terlatih
o Melakukan terapi reperfusi. Perfusi pada pasien STEMI
dapat dilakukan dengan farmakologis atau pendekatan
kateter (PCI primer)
B. Tata Laksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri
dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi
segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.2, 9
Sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung, pasien dengan diagnosis kerja
curiga SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang emergensi, harus
diberikan terapi awal berupa Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat
MONA). Adapun penanganan yang bisa dilakukan adalah :
1. Tirah baring
2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi oksigen arteri.
3. Nitrogliserin (NTG) sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Dapat diberikan
dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3
dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. NTG intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsive dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Dalam keadaan
tidak tersedia NTG, Isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai
pengganti. Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi).
Tabel : Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat
Dosis
Isosorbid dinitrate
(ISDN)
Sublingual 2,5–15 mg
(onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari
dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-
240 mg/hari
Nitroglicerin
(trinitrin, TNT, glyceryl
trinitrate)
Sublingual tablet 0,3-0,6
mg–1,5 mg
Intravena 5-200
mcg/menit
4. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 1-5 mg intravena dan dapat diulang dengan interval 5-
15 menit sampai dosis total 20 mg bagi pasien yang tidak responsive
dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.
5. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral
dengan dosis 75-162 mg.
6. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3
dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan
darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak
lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap
6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.2,7
7. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien
STEMI yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik
Atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor
ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6.1.4 Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-
12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari).2,7
1.2. Terapi pada pasien STEMI
1.2.1. Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan PCI atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang
(terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa PCI primer)
diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang
sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu
atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan
terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit
sekitar yang memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung pilih terapi
fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian baik rumah
sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2
jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah
fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika memungkinkan pasien
dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI.7 Pemilihan terapi reperfusi dapat
melibatkan risiko perdarahan pada pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama
(tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak
tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan
manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu
utama apakah PCI dapat dikerjakan.2
Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). Stenting lebih disarankan
dibandingkan angioplasti balon untuk PCI primer. PCI efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama
infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka
arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika
terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah
sakit.2, 7
Fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan
dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra
apabila PCI primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman
dalam 120 menit sejak kontak medis pertama. Pada pasien-pasien yang
datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan
risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila waktu
antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit.
Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. 7
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin. Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase)
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase)7
A. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang
pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya
karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan.
Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.8
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies
to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA
dibandingkan SK. Namun, tPA harganya lebih mahal disbanding SK dan
risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.9
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.10
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan
tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan
yang sama dibandingkan dengan tPA.11
Indikasi terapi fibrinolitik :
Kelas I
1. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukakn pada
pasien STEMI dengan onset gejala <12jam dan elevasi segmen ST
>0,1mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial atau sekurang-
kurangnya 2 sadapan ekstremitas
2. Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus diberikan pada
pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru atau diduga
baru
Kelas IIa
1. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien STEMI dengan onset gejala <12jam dan EKG
12 sadapan konsisten dengan infark miokard posterior
2. Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi
fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12 jam
sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemia terus berlanjut dan
elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial
yang berdampingan atau sekurang-kurangnya 2 sadapan ekstremitas.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :2
B. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam 3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan
C. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg atau
TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau diketahui
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau operasi
besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari sebelumnya
atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin tinggi risiko
perdarahan.
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah satu terapi yang
manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai beberapa risiko seperti
perdarahan. Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien
paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah
PCI.
Koterapi antikogulan
1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam (Kelas II-C) dan lebih baik
selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non
UFH bila lama terapi lebih dari 48 jam karena risiko heparin-induced
thrombocytopenia dengan terapi UFH berkepanjangan (Kelas II-A)
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8
hari pemberian (Kelas IIa-B)
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH (Kelas IIa-C) atau
fondaparinuks (Kelas IIa-B) dengan regimen dosis sama dengan pasien
yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis:
• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai kebutuhan untuk
mendukung prosedur, dengan pertimbangan GP
IIb/IIIA telah diberikan (Kelas II-C).
• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan
dalam 8 jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir
antara 8-12 jam, maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
(Kelas II-B)
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan
dengan aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/
IIIa (Kelas II-C)
5. Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa (Kelas III-C)
6.2.2. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat
beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.7,8,12
1) Anti platelet
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI berperan
dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut penelitian
ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark
non fatal sebesar 49%.13
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda
indikasi kontra
dengan dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100
mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi
pengobatan yang diberikan (Kelas I-A). Penghambat reseptor ADP perlu
diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien
dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun,
serta konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis
(Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan
dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian
dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian
ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B). Clopidogrel
direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300
mg diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk
pasien yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa
mendapatkan ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP
tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
ADP yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara
klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang
tinggi (Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas
IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-
2 selektif dan NSAID non-selektif ) (Kelas III-C).
Tabel 10. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet Dosis
Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis pemeliharaan 75-100 mg
Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari
Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis pemeliharaan 75 mg/hari
2) anti koagulan
Antikogulan. Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi
antiplatelet secepat mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang
mendapatkan terapi antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan
iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas
I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding
risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari
secara subkutan (Kelas I-A).
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP
(Kelas I-B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan
risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang
direkomendasikan) diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin
tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi
perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas
I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).
Antikoagulan Dosis
Fondaparinuks 2,5 mg subkutan
Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari
Heparin tidak Bolus i.v. 60 U/g, dosis
terfraksi maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam
target aPTT 11/2-2x kontrol
3) Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat yang
terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka
panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Keuntungan utama terapi penyekat
beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan
turunnya konsumsi oksigen miokardium.Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi
nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia
ventrikel yang serius.2
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien
termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan
kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri
sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).2
Tabel
Penyekat beta
Selektivitas Aktivitas agonis
parsial
Dosis untuk
angina
Atenolol B1 - 50-200 mg/hari
Bisoprolol B1 - 10 mg/hari
Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2x25
mg/hari
Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari
Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari
Inhibitor ACE
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard
yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis. Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan penambahan
aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan
manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut
atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri
menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien STEMI.
Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti
klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan
penurunan fungsi ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif.2
Inhibitor ACE diindikasikan
penggunaannya untuk jangka panjang,
kecuali ada indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40% dan pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit
ginjal kronik (PGK) (Kelas I-A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain
seperti di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark
mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung
(Kelas I-B). Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA
Inhibitor ACE dosis
Captopril 2-3 x 6,25-50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis
TERAPI JANGKA PANJANG
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah:
1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok,
dengan ketat (Kelas I-B)
2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan
tanpa henti (Kelas I-A)
3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12
bulan setelah STEMI (Kelas I-C)
4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasien-pasien
dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri (Kelas I-A)
5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang (Kelas I-C)
6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial (Kelas I-A)
7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal
ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior (Kelas I-A).
Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan (Kelas I-B).
8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat
gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia
(Kelas I-B).
7. KOMPLIKASI
1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada
apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.2
2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari
infark) dan sesudahnya.2
3) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.2
4) Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.2
5) Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di
zona iskemi miokard.2
6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.2
7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama. 2
8) Fibrilasi atrium
9) Aritmia supraventrikular
10) Asistol ventrikel
11) Bradiaritmia dan Blok
12) Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.2
8. PROGNOSIS
Mortalitas STEMI dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya :
usia, kelas Killip, kecepatan mendapatkan pengobatan, jenis terapi
yang diterima, riwayat infark miokard sebelumnya, diabetes mellitus,
kegagalan ginjal, fraksi ejeksi, dsb.5
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis paska IMA11 :
1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal
jantung 6
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks
jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 2. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut
Kelas Indeks Kardiak
(L/min/m2)
PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
1. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
3. Setiawan I, Wardhani V, Sargowo D. Akurasi Fibrinogen dan Hs-CRP sebagai Biomarker pada Sindroma Koroner Akut. Jurnal Kedokteran Brawijaya 2011;26(4):233-239.
4. Torry SRV, Panda AL, Ongkowijaya J. Gambaran Faktor Risiko Penderita Sindrom Koroner Akut. In. Manado: Fakultas Kedokteran Unsrat; 2014.
5. Steg G, James SK, Atar D. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal 2012;2012(33):2569-2619.
6. Yasmin AADA. Nilai Mitral Annular Plane Systolic Excursion (MAPSE) dan Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion (TAPSE) yang Rendah Sebagai Prediktor Kejadian Kardiovaskular Mayor Pada Pasien Infark Miokard Akut (IMA). Denpasar: Universitas Udayana; 2015.
7. Indonesia PDSK. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 3 ed; 2015. 8. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD. 2013 ACCF/AHA Guideline for the
Management of ST-Elevation Myocardial Infarction. American Heart Association Journals 2013:364-425.
9. Fauci, Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17 ed. New South Wales: McGraw Hill; 2010.
9.