Download - Laprak AAS Fix
Tanggal praktikum: 2 April 2015
PENENTUAN KADAR TEMBAGA DALAM SAMPEL AIR LIMBAH
DENGAN MENGGUNAKAN SPEKTROMETER SERAPAN ATOM (AAS)
A. Tujuan Percobaan
Menentukan kadar logam dalam sampel air limbah dengan alat
spektrometer serapan atom (AAS)
B. Tinjauan Pustaka
Penyerapan energi radiasi oleh atom-atom netral pada keadaan dasar,
dengan panjang gelombang tertenru yang menyebabkan tereksitasinya
dalam berbagai tingkat energi. Keadaan eksitasi ini tidak stabil dan akan
kembali ke tingkat dasar dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi
eksitasinya dalam bentuk radiasi.
Gambar 1. Proses eksitasi
Gambar 2. Proses deeksitasi
Energi yang diemisiskan dapat berupa energi cahaya dengan panjang
gelombang yang berhubungan langsung dengan transisi elektronik yang
1
terjadi. Setiap unsur mempunyai struktur elektronik yang khas, maka
panjang gelombang yang diemisikan pun merupakan sifat khas dari suatu
unsur. Jika cahaya dengan panjang gelombang tertentu yang sesuai
mengenai suatu atom yang berada dalam keadaan dasar, maka atom dapat
menyerap energi cahaya tersebut untuk berpindah ke keadaan tereksitasi.
Proses ini disebut serapan atom dan menjadi dasar untuk spektrometri
serapan atom.
Gambar 3. Eksitasi dan emisi
Larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam
sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala rnengandung atom unsur-
unsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara
termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom
netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini
kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang
terbuat dari unsur-unsur yang bersangkutan.
Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama
dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala.
Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer. yakni absorbansi
berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi
uap atom dalam nyala. Kedua variabel ini sulit untuk ditentukan tetapi
panjang nyala dapat dibuat konstan sehingga absorbansi hanya berbanding
langsung dengan konsentrasi analit dalam larutan sampel. Secara
sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut ;
2
A = a.b.C
Keterangan:
A=Absorbansi
a= absorptivitas
b=lebar kuvet
C= Konsentrasi
Gambar 4. Hukum dasar penyerapan
Dengan cara kurva kalibrasi, yaitu hubungan linier antara absorbansi
(sumbu y) dan konsentrasi (sumbu x) kita dapat menetukan konsentrasi
sampel.
Peristiwa serapan atom pertama kali diamati Fraunhofer, ketika
menelaah garis-garis hitam pada spectrum matahari. Sedangkan yang
memanfaatkan prinsip serapan atom pada bidang analisis adalah seorang
kebangsaan Australia bernama Alan Wash pada tahun 1955. Sebelumnya
ahli kimia banyak tergantung pada cara-cara spektrografik.
Beberapa cara ini sulit dan memakan waktu. Kemudian diganti dengan
Spektroskopi Serapan Atom (SSA) atau Atomic Absorption Spectro
(AAS). Metode ini sangat tepat untuk spektrokopi emisi konvensional,
pada metode konvensional emisi tergantung pada sumber eksitasi, bila
eksitasi dilakukan analisis zat pada konsentrassi rendah. Teknik ini
3
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode Spektrokopi
emisi konvensional, pada metode konvensional emisi tergantung pada
temperatur sumber. Selain itu eksitasi termal tidak selalu spesifik, dan
eksitasi secara serantak terjadi pada berbagai spesies dalam suatu
campuran. Sedangkan nyala, eksitasi unsur-unsur dengan berbagai tingkat
energy eksitasi yang rendah dapat dimungkinkan, tentu saja perbandingan
banyaknya atom yang tereksitasi terhadap atom yang berada pada tmgkat
dasar harus cukup besar, karena metode serapan atom hanya tergantung
pada perbandingan ini dan tidak tergantung pada temperatur. Metode
serapan sangatlah spesifik, logam-logam yang membentuk campuran
kompleks dapat dianalisa dan selain itu tidak selalu diperlukan sumber
energi yang besar.
Sistem Atomisasi
1. Sistem Atomisasi Nyala
Setiap alat spektrometri atom akan mencakup dua komponen utama
sistem introduksi sampel dan sumber (source) atomisasi. Untuk
kebanyakan instrumen sumber atomisasi ini adalah nyala dan sampel di
introduksikan dalarn bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam
bentuk aerosol. Aerosol biasanya dihasilkan oleh Nebulizer (pengabut)
yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray).
Ada banyak variasi nyala yang telah diapakai bertahun-tahun untuk
spektrometri atom. Namun demikian. yang saat ini menonjol dan
dipakai secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan
nitrous oksida- asetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis
yang sesuai untuk kebanyakan ana!it (unsur yang dianalisis) dapat
ditentukan dengan menggunakan metode-metode emisi, absorbsi dan
juga fluoresensi.
4
Gambar 5. Nebuliser pada SSA
Nyala udara-asetilen
Biasanya menjadi pilihan untuk analisis menggunakan
AAS,temperarur nyala-nya yang lebih rendah mendorong terbentuknya
atom netral dan dengan nyala yang kaya bahan bakar pembentukan oksida
dari banyak unsur dapat diminimalkan.
Nitrous oksida-asetilen
Dianjurkan dipakai untuk penentuan unsur-unsur yang mudah
membentuk oksida dan sulit terurai. Hal ini disebabkan temperatur nyala
yang dihasilkan relative tinggi. Unsur-unsur tersebut adalah: Al, B, Mo,
Si, So, Ti, V danW.
5
Proses atomisasi adalah proses pengubahan sample dalam bentuk
larutan menjadi spesies atom dalam nyala. Proses atomisasi ini akan
berpengaruh terhadap hubungan antara konsentrasi atom analit dalam
larutan dan sinyal yang diperoleh pada detektor dan dengan demikian
sangat berpengaruh terhadap sensitivitas analisis.
2. Sistem Atomisasi Dengan Elektrothermal (Tungku)
Sistem nyala api ini lebih dikenal dengan nama GFAAS. GFAAS dapat
mengatasi kelemahan dari sistem nyala seperti, sensitivitas, jumlah sampel dan
penyiapan sampel. Ada tiga tahap atomisasi dengan tungku yaitu:
Tahap pengeringan atau penguapan larutan
Tahap pengabuan atau penghilangan senyawa-senyawa organik dan
Tahap atomisasi
Unsur-unsur yang dapat dianalsis dengan menggunakan GFAAS adalah sama
dengan unsur-unsur yang dapat dianalisis dengan sistem nyala. Beberapa unsur
yang sama sekali tidak dapat dianalisis dengan GFAAS adalah tungsten, Hf, Nd,
Ho, La, Lu, Os, Br, Re, Sc, Ta, U, W, Y dan Zr, hal ini disebabkan karena unsur
tersebut dapat bereaksi dengan graphit.
6
Instrumentasi AAS
Gambar 6. Skema Alat AAS
a. Sumber Radiasi
Lampu HCL (Hollow Chatode Lamp), lampu ini merupakan sumber radiasi
dengan spektra yang tajam dan mengemisikan gelombang monokhromatis. Lampu
ini terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari unsur yang akan
ditentukan atau campurannya (alloy) dan anoda yang terbuat dari tungsten.
Elektroda-elektroda ini berada dalam tabung gelas dengan jendela quartz karena
panjang gelombang emisinya sering berada pada daerah ultraviolet. Tabung gelas
tersebut dibuat bertekanan rendah dan diisi dengan gas inert Ar atau Ne. Beda
voltase yang cukup tinggi dikenakan pada kedua elektroda tersebut sehingga atom
gas pada anoda terionisasi. Ion positif ini dipercepat kearah katoda dan ketika
menabrak katoda menyebabkan beberapa logam pada katoda terpental dan berubah
menjadi uap, Atom yang teruapkan ini, karena tabrakan dengan ion gas yang
berenergi tinggi, tereksitasi ke tingkat energi elektron yang lebih tinggi; ketika
kembali ke keadaan dasar atom-¬atom tersebut memancarkan sinar dengan λ yang
karakteristik untuk unsur katoda tersebut. Berkas sinar yang diemisikan bergerak
melalui nyala dan berkas dengan λ tertentu yang dipilih dengan monokromator
akan diserap oleh uap atom yang ada dalam nyala yang berasal dari sampel. Sinar
yang diabsorpsi paling kuat biasanya adalah sinar yang berasal dart transisi
elektron ke tingkat eksitasi terendah. Sinar ini disebut garis resonansi.\
7
Gambar 6. HCL
Sumber radiasi lain yang sering digunakan adalah "Electrodless Discharge
Lamp ". Lampu ini mempunyai prinsip kerja hampir sama dengan HCL, tetapi
mempunyai output radiasi lebih tinggi dan biasanya digunakan untuk analisis
unsur-unsur As dan Se, karena lampu HCL untuk unsur-unsur ini mempunyai
sinyal yang lemah dan tidak stabil.
Gambar 7. EDL
b. Copper
Merupakan modulasi mekanik dengan tujuan mengubah sinar dari sumber
sinar menjadi berselang-seling. Isyarat selang-seling oleh detector diubah menjadi
isarat bolak-balik, yang oleh amplifier akan digandakan. Sedang emisi kontinyu
bersifat searah dan tidak digandakan oleh amplifier.
c. Alat pembakar (proses atomisasi)
8
Gambar8. Sistem Pembakar pada SSA
Tujuan sistem pembakaran-pengabut adalah untuk mengubah larutan uji
menjadi atom-atom dalam bentuk gas. Fungsi pengabut adalah menghasilkan
kabut atau aerosol larutan uji. Larutan yang akan dikabutkan ditarik ke dalam pipa
kapiler oleh aksi semprotan udara ditiupkan melalui ujung kapiler, diperlukan
aliran gas bertekanan tinggi untuk menghasilkan aerosol yang halus.
d. Nyala dan profit nyala
Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan
menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Untuk
spektrokopi nyala suatu persyaratan yang penting adalah bahwa nyala yang
dipakai hendaknya menghasilkan temperatur lebih dari 2000o K. Konsentrasi
tereksitasi, dipengaruhi oleh komposisi nyala.
Komposisi nyala asitelin-udara sangat baik digunakan untuk lebih dari tiga
puluh unsur sedangkan komosisi nyala propane-udara disukai untuk logam yang
mudah menjadi uap atomic. Untuk logam seperti Alumunium (Al) dan titranium
(Ti) yang membentuk oksida refrakori temperatur tinggi dari nyala asitelin-NO
sangat perlu, dan sensitivitas dijumpai bila nyala kaya akan asitilen.
e. Monokromator
Dalam Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) fungsi monokromator
adalah untuk memisahkan garis resornansi dari semua garis yang tak diserap yang
dipancarkan oleh sumber radiasi. Dalam kebanyakan instrument komersial
digunakan kisi difraksi karena sebaran yang dilakukan oleh kisi seragam daripada
9
yang dilakukan oleh prisma dan akibatnya instrument kisi dapat memelihara daya
pisah yang lebih tinggi sepanjang jangka gelombang yang lebih besar.
f. Detektor
Detektor pada Atomic Absorption Spectrophotometry (AAS) berfungsi
mengubah intensitas radiasi yang datang menjadi arus listrik. Pada Atomic
Absorption Spectrophotometry (AAS) yang umum dipakai sebagai detektor adalah
tabung penggandaan foton (PMT=Photo Multiplier Tube Detector).
g. Read out
Read out merupakan sistem pencatatan hasil. Hasil pembacaan dapat berupa
angka atau kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau
intensitas emisi.
Metode Analisis
Ada tiga teknik yang biasa dipakai dalam analisis secara spektrometri. Ketiga teknik
tersebut adalah :
1. Metoda Standar Tunggal
Metoda ini sangat praktis karena hanya menggunakan satu larutan standar yang
telah diketahui konsentrasinya (Cstd). Selanjutnya absorbsi larutan standar (Asta)
dan absorbsi larutan sampel (Asmp) diukur dengan Spektrofotometri. Dari hukum
Beer diperoleh
Astd=ε.b.Cstd Asmp=ε.b.Csmp
ε.b = Astd/ Cstd ε.b = Asmp/Csmp
sehingga
Astd/Cstd = Csmp /Csmp → Csmp = (Asmp/Astd) X Cstd
2. Metode Kurva Kalibrasi
Dalam metode ini dibuat suatu seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi
dan absorbansi dari larutan tersebut diukur dengan AAS. Langkah selanjutnya
adalah membuat grafik antara konsentrasi (C) dengan Absorbansi (A) yang akan
merupakan garis lurus melewati titik nol dengan slope = ε.b atau slope = a.b.
10
Konsentrasi larutan sampel dapat dicari setelah absorbansi larutan sampel diukur
dan diintrapolasi ke dalam kurva kalibrasi atau dimasukkan ke dalam persamaan
garis lurus yang diperoleh dengan menggunakan program regresi linear pada kurva
kalibrasi.
3. Metoda Adisi Standar
Metoda ini dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan yang
disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standar.
Dalam metoda ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel
dipindahkan ke dalam labu takar. Satu larutan diencerkan sampat volume tertentu
kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan
larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih dulu dengan
sejumlah tertentu tarutan standar dan diencerkan seperti pada larutan yang
pertama. Menurut hukum Beer akan berlaku hal-hal berikut :
Ax = k.Cx AT = k(Cs + Cx)
Keterangan :
Cx = konsentrasi zat sampel
Cs = konsentrasi zat standar yang ditambahkan ke larutan sampel
Ax = Absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar)
Ar = Absorbansi zat sampel + zat standar
Jika kedua persarnaan diatas digabung akan diperoleh:
Cx = Cs x {Ax/(AT - Ax)}
Konsentrasi zat dalam sampel (Cx) dapat dihitung dengan mengukur Ax dan
AT dengan spektrofotometer. Jika dibuat suatu seri penambahan zat standar dapat
pula dibuat suatu grafik antara AT lawan Cs, garis lurus yang diperoleh
diekstrapolasi ke AT = 0, sehingga diperoleh:
Cx = Cs x {Ax/(O - Ax)} ; Cx = Cs x (Ax /-Ax)
Cx = Cs x ( -1) atau Cx = - Cs
11
Gangguan dalam analisis dengan AAS :
Ada tiga gangguan utama dalam SSA :
(1) Gangguan ionisasi
(2) Gangguan akibat pembentukan senyawa refractory (tahan panas)
(3) Gangguan fisik alat
Gangguan lonisasi: Gangguan ini biasa terjadi pada unsur alkali dan alkali
tanah dan beberapa unsur yang lain karena unsur-unsur tersebut mudah terionisasi
dalam nyala. Dalam analisis dengan FES dan AAS yang diukur adalah emisi dan
serapan atom yang tidak terionisasi. Oleh sebab itu dengan adanya atom-atom
yang terionisasi dalam nyala akan mengakibatkan sinyal yang ditangkap detek'tor
menjadi berkurang. Namun demikian gangguan ini bukan gangguan yang sifatnya
serius, karena hanya sensitivitas dan linearitasnya saja yang terganggu. Gangguan
ini dapat diatasi dengan menambahkan unsur-¬unsur yaug mudah terionisasi ke
clalam sampel sehingga akan menahan proses ionisasi dari unsur yang dianalisis.
Pembentukan Senyawa Refraktori: Gangguan ini diakibatkan oleh reaksi
antara analit dengan senyawa kimia, biasanya anion yang ada dalam larutan
sampel sehingga terbentuk senyawa yang tahan panas (refractory). Sebagai contoh,
pospat akan bereaksi dengan kalsium dalam nyala menghasilkan kalsium
piropospat (CaP2O7). Hal ini menyebabkan absorpsi ataupun emisi atom kalsium
dalam nyala menjadi berkurang. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan
stronsium klorida atau lantanum nitrat ke dalam tarutan. Kedua logam ini lebih
mudah bereaksi dengan pospat dihanding kalsium sehingga reaksi antara kalsium
dengan pospat dapat dicegah atau diminimalkan. Gangguan ini juga dapat
dihindari dengan menambahkan EDTA berlebihan. EDTA akan membentuk
kompleks chelate dengan kalsium, sehingga pembentukan senyawa refraktori
dengan pospat dapat dihindarkan. Selanjutnya kompleks Ca-EDTA akan
terdissosiasi dalam nyala menjadi atom netral Ca yang menyerap sinar. Gangguan
yang lebih serius terjadi apabi!a unsur-unsur seperti: AI, Ti, Mo,V dan lain-lain
bereaksi dengan O dan OH dalam nyala menghasilkan logam oksida dan
hidroksida yang tahan panas. Gangguan ini hanya dapat diatasi dengan menaikkan
12
temperatur nyala., sehingga nyala yang urnum digunakan dalam kasus semacam
ini adalah nitrous oksida-asetilen.
Gangguan Fisik Alat : yang dianggap sebagai gangguan fisik adalah semua
parameter yang dapat mempengaruhi kecepatan sampel sampai ke nyala dan
sempurnanya atomisasi. Parameter-parameter tersebut adalah: kecepatan alir gas,
berubahnya viskositas sampel akibat temperatur atau solven, kandungan padatan
yang tinggi, perubahan temperatur nyala dll. Gangguan ini biasanya dikompensasi
dengan lebih sering membuat Kalibrasi (standarisasi).
Gangguan dalam pengukuran absorbs atom dapat timbul dari spektrum,
sumber kimia dan fisika. Efek kimia (gangguan kimia) meliputi pembentukan
senyawa stabil dan ionisasi, keduanya menurunkan jumlah atom bebas (atom
dalam bentuk gas) dalam uap sampel dan dengan demikian mengurangi nilai
absorbansi. Untuk mengatasinya, dapat ditambahkan zat pembebas (releasing
agents), penaikan suhu, dan penambahan zat penopeng. Gangguan fisika terjadi
dalam proses penguapan sampel. Seperti terbentuknya larutan padat dari dua
unsure atau lebih (contoh kromium dalam besi). Untuk mengatasinya, dapat
digunakan zat pembebas dan penyesuaian kandungan sampel dan standar dengan
hati-hati. Selain itu, gangguan absorbansi latar belakang juga bisa terjadi karena
adanya berbagai pengaruh, yaitu dari absorbs molecular, dan penghamburan
cahaya. Gangguan ini dapat diatasi dengan keberadaan system optic berkas ganda
(double beam).
AAS merupakan salah satu teknik yang paling luas digunakan untuk
menentukan konsentrasi logam dalam larutan. Jika dibandingkan dengan AES,
AAS bebas dati gangguan efek inter-elements (self absorbsion) dan intensitasnya
relative pada temperature nyala yang bervariasi. Lebih dari 60 unsur dapat
ditentukan dengan AAS. Contohnya logam-logam berat dalam cairan fluida, air
yang terkena polusi, bahan makanan, soft drink, analisis sampel metalurgi dan
geochemical, dan penentuan banyak logam dalam tanah, minyak mentah, produk
petroleum dan plastic.
13
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Labu takar 50 mL 2 buah
Labu takar 25 mL 4 buah
Pipet tetes 1 buah
Gelas kimia 100 mL 1 buah
Gelas kimia 600 mL 1 buah
Corong kecil 1 buah
Pipet ukuran 1 mL 1 buah
Hot plate 1 buah
Kaca arloji 1 buah
2. Bahan
Larutan HNO3 pH 2,0
Larutan stock Cu(II) 1000 ppm
D. Prosedur Percobaan
1. Preparasi Sampel
Pertama sampel diambil sebanyak 350 mL dan masukkan ke dalam
gelas kimia 600mL. Kemudian ditambahkan 17,5 mL HNO3 pekat, diaduk,
kemudian diuapkan di atas hot plate sampai volumenya menjadi + 15 mL.
Selanjutnya sampel dipindahkan kedalam 6 gelas kimia 100ml dengan
volume masing-masing ±15 ml lalu, ditambahkan dengan 2,5 mL HNO3
pekat, ditutup dengan kaca arloji dan dipanaskan kembali sampai warna
larutan jernih. Sampel yang sudah jernih didinginkan, ditambahkan sedikit
aquades dan dituangkan ke dalam labu takar 50 mL. Volume sampel
ditandabataskan sampai dengan 50 mL dengan cara menambahkan
aquades. Jika masih ada yang tidak larut disaring dengan kertas saring
Whatmann.
2. Pembuatan Larutan blanko
14
Larutan blanko dibuat dari larutan HNO3 dengan pH 2,0. Larutan
HNO3 65% dipipet sebanyak 0,349 mL dan diencerkan dengan aquades
hingga volumenya 500 mL. Larutan balnko siap digunakan.
3. Pembuatan Larutan kerja Cu(II)
Larutan kerja atau larutan standar Cu(II) dibuat dengan konsentrasi 5
ppm, 10ppm, 15ppm, 20ppm, dan 25ppm; dengan cara mengencerkan
larutan stock dengan larutan blanko. Larutan stock Cu(II) 1000ppm
dibuat menjadi 100ppm diencerkan dengan larutan blanko dengan
perbandingan sebagai berikut:
Konsentrasi 5 ppm : 2,5 mL larutan stock Cu(II) dalam labu ukur
50 mL
Konsentrasi 10 ppm : 2,5 mL larutan stock Cu(II) dalam labu ukur
25 mL
Konsentrasi 15 ppm : 3,75 mL larutan stock Cu(II) dalam labu ukur
25 mL
Konsentrasi 20 ppm : 5 mL larutan stock Cu(II) dalam labu ukur 25
mL
Konsentrasi 25 ppm : 6,25 mL larutan stock Cu(II) dalam labu ukur
25 mL
4. Pembuatan kurva kalibrasi dan pengukuran konsentrasi sampel
Sebelum membuat kurva kalibari terlebih dahulu dilakukan
pengukuran terhadap absorbansi eret larutan standar. Absorbansi masing-
masing larutan standar atau larutan kerja yang telah anda siapkan
dimulai dari konsentrasi terendah. Setelah itu dilakukan pengukuran
absorbansi sampel. sebelum mengukur absorbansi sampel selang
nebulizer diaspirasikan ke larutan blanko terlebih dahulu.
Setelah semua absorbansi diukur, dibuat kurva kalibrasi. Kurva
memetakan hubungan absorbansi vs konsentrasi dengan program Excel.
Kemudian ditentukan persamaan matematik hubungan linier antara
15
absorbansi dengan konsentrasi. Dan konsentrasi Cu(II) dapat ditentukan
melalui persamaan garis y = ax +b.
E. Hasil dan Analisis Data
Dalam praktikum Penentuan Kadar Tembaga pada Sampel dengan Metode
Spektometri Serapan Atom (AAS) ini bertujuan untuk mempreparasi sampel
yang akan ditentukan kadar tembaganya dengan alat spektrometer serapan
atom, menyiapkan larutan kerja dari larutan “stock”yang tersedia, memahami
prinsip penentuan kadar logan dalam suatu sampel dengan alat spektrometer
serapan atom, dan menentukan kadar logam tembaga dari suatu sampel dengan
spektrometer serapan atom.
Prinsip kerja dari Atomic Absorption Spectrometry (AAS) yaitu adanya
serapan/ absorpsi sinar ultraviolet (UV) atau visible (VIS) oleh atom-atom
suatu unsur logam pada tingkat “ground state “ atau keadaan dasar yang
terdapat dalam atomizer. Atomizer dapat berupa nyala api, batang grafit yang
diberi energi listrik, atau hydride system. Pada praktikum ini atomizer yang
digunakan berupa nyala api. Nyala api hanya berfungsi untuk pembentuk atom
sedangkan sumber energinya digantikan oleh hollow cathod.
Larutan yang akan diukur dengan Atomic Absorption Spectrometry (AAS)
yaitu larutan sampel, larutan blanko, dan larutan kerja Cu (II). Dalam preparasi
sampel dikondisikan larutan dalam keadaan asam supaya tidak terbentuk
endapan. Sampel ditambahkan asam nitrat (HNOз) pekat tujuannya untuk
mendestruksi partikel koloid yang terdapat dalam sampel menjadi larutan
jernih atau larutan sejati dengan cara membentuk garam nitrat yang dapat larut
dalam air dan juga mengeluarkan zat-zat organik yang mudah menguap dalam
sampel dan apabila ditambah dengan basa akan membentuk endapan Cu(OH)₂.
Larutan sampel dibuat jernih karena syarat larutan yang akan diukur dengan
alat spektrometer serapan atom harus larutan sejati (tidak ada endapan dan
tidak ada koloid). Apabila dalam sampel masih terdapat partikulat yang belum
16
larut, maka dilakukan penyaringan dengan mmenggunakan kertas saring
whatman.
Larutan blanko dibuat agar nilai absorbansi 0,000 sebelum pengukuran
sampel dan standar dan juga larutan blanko digunakan untuk mengencerkan
larutan stock menjadi larutan standar. Larutan blanko dibuat dengan cara
mengencerkan larutan HN03 pekat sampai pH mencapai 2. pH 2 diketahui
dengan menggunakan indikator universal yang dicelupkan ke dalam larutan
blanko akan berubah warna menjadi merah jingga. Tujuan dibuat pH 2 yaitu
untuk mencegah terjadinya hidrolisis atau pengendapan sehingga
mempengaruhi jumlah cuplikan yang sampai ke nyala api.
Larutan standar Cu (II) dibuat dengan mengencerkan larutan stock 100
ppm menggunakan larutan blanko. Konsentrasi larutan dibuat 5 ppm, 10 ppm,
15 ppm, 20 ppm, dan 25 ppm. Larutan kerja ini digunakan untuk membuat
kurva kalibrasi standar sebagai metode dari analisis kuantitatif yang dilakukan
dalam penentuan kadar tembaga Cu (II) dalam sampel. Konsentrasi dibuat 5
variasi (5 titik) karena dalam pembuatan kurva kalibrasi dengan 5 titik dapat
mewakili garis yang dihasilkan. Konsentrasi terkecil dibuat 5 ppm tujuannya
yaitu untuk optimasi alat dan karena batas minimum absorbansi yang dapat
dideteksi yaitu 0,2 atau yang mendekatinya pada konsentrasi 5ppm. Dalam
percobaan ini nilai absorbansi 5 ppm yaitu sebesar 0,2 sehingga AAS sudah
optimal dan dapat langsung digunakan. Optimasi alat dilakukan supaya
diperoleh hasil analisis yang baik.
a. Panjang gelombang yang digunakan yaitu pada 324,8 nm. Panjang gelombang ini
merupakan panjang gelombang terbesar dari Cu untuk bertransisi dari tingkat
dasar ke tingkat eksitasi dan panjang gelombang maksimum dari Cu sebesar
324,8 nm. Lebar celah yang digunakan yaitu 0,7 nm, semakin kecil lebar celah
yang digunakan, maka semakin kecil gangguan spekta. Kuat arus yang
digunakan dalam percobaan ini sebesar 15 mA dan kuat arus maksimalnya
yang dapat digunakan yaitu sebesar 25 mA. Bahan bakar yang digunakan yaitu
asetilen karena Cu merupakan logam yang mudah diuapkan sehingga
dibutuhkan suhu rendah dan asetilen ini mempunyai temperatur nyala yang
17
rendah, memudahkan terbentuknya atom netral dan juga meminimalkan
pembentukan oksida dari unsur Cu misalnya pembentukan CuO, Cu(OH)₂dll
dan oksidannya yaitu udara.
Pengukuran absorbansi dimulai dari konsentrasi terendah ke konsentrasi
tinggi. Data absorbansi yang diperoleh diplot sehingga diperoleh kurva
kalibrasi yaitu hubungan linier antara absorbansi (sumbu y) dan konsentrasi
(sumbu x). Absorbansi sampel didapat sebesar 0,372.Setelah di plot ternyata
ada penyimpangan garis pada konsentrasi 20 ppm, didapatkan persamaan y
=0,0396xdan R²= 0,9898 , sehingga konsentrasi Cu(II) diperoleh sebesar
9,3939 sedangkan apabila penyimpangan garis pada konsentrasi 20 ppm tidak
dimasukan dalam plot garis didapatkan persamaan y = 0,0379x + 0,0047 dan
R² = 0,9999,dari persamaan ini dapat diketahui konsentrasi Cu(II) yang
terdapat dalam sampel. Didapatkan konsentrasi Cu dalam sampel sebesar
9,6912 ppm.
Analisi faktor kesalahan dalam praktikum ini yaitu preparasi sampel yang
kurang cermat, pembuatan larutan standar Cu(II) yang kurang teliti,dan
penggunaan alat yang kurang terampil.
F. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum Penentuan Kadar Tembaga pada Sampel
dengan Metode Spektometri Serapan Atom (AAS) preparasi sampel dilakukan
dengan cara destruksi yaitu penambahan HNO₃ pekat dan pemanasan, larutan
standar dibuat dari larutan stock Cu(II) 100 ppm dan larutan blanko dan dibuat
berbagai konsentrasi5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm, dan 25 ppm. Prinsip
kerja dengan menggunakan spektrometer serapan atom penyerapan/absorpsi
sinar UV/VIS oleh atom Cu pada keadaan dasar yang terdapat dalam nyala api.
Absorbansi sampel didapat sebesar 0,372. Setelah di plot ternyata ada
penyimpangan garis pada konsentrasi 20 ppm, didapatkan persamaan y =
0,0396x dan R²= 0,9898 , sehingga konsentrasi Cu(II) diperoleh sebesar 9,3939
sedangkan apabila penyimpangan garis pada konsentrasi 20 ppm tidak
dimasukan dalam plot garis didapatkan persamaan y = 0,0379x + 0,0047 dan
18
R² = 0,9999 ,dari persamaan ini dapat diketahui konsentrasi Cu(II) yang
terdapat dalam sampel. Didapatkan konsentrasi Cu dalam sampel sebesar
9,6912 ppm.
G. Daftar Pustaka
Basset, J., Denney, R. C., Jeffery, G. H dan Mendham, J. (1994). Buku Ajar Vogel
Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik (Edisi keempat). Terjemahan
Handyana Pudjaatmaka. Jakarta: EGC.
Fifield, FW & D. Kealey. 2000, Principles and Practice of Analitytical Chemistry fift
edition. Cambridge: The University Press/The Blacwell Science.
Harvey, David. (2000). Modern Analytical Chemistry. USA: The McGraw-Hill
Companies.
Hendayana, S. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP Semarang Press.
Khopkar, S. M,. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-press.
Tim Kimia Analitik Instrumen.(2015). Penuntun Praktikum Kimia Analitik
Instrumen. Bandung : Departemen Pendidikan Kimia FPMIPA UPI.
Wiryawan, Dkk. (2007). Kimia Analitik. Malang : Departemen Pendidikan
Nasional
19
H. Lampiran
1. Perhitungan
a. Pembuatan larutan blanko HNO3 pekat pH 2
Diketahui :
pH larutan = 2
V.larutan = 500 ml
% HNO3 = 65%
Mr HNO3 = 63,58 g/mol
ρ HNO3 = 1,39 g/mL
Maka, konsentrasi HNO3sebesar :
[ HNO 3 ]=65 % x10 x 1,39 g /mL63 ,58 g /mol
[ HNO 3 ]=14 ,2283 ppm
Jadi, volume HNO3pekat pH 2 yang digunakan sebanyak :
M 1 xV 1=M 2 xV 2
V 1= M 2 xV 2M 1
V 1=(0,01 ppm ) x (500 mL )
14 ,2283 ppm
V 1=0,3514 mL
b. Pembuatan Larutan Kerja Cu (II)
Volume konsentrasi 5 ppm dalam labu ukur 50 ml
M 1 xV 1=M 2 xV 2
V 1= M 2 xV 2M 1
V 1=(5 ppm ) x (50mL)
100 ppm
V 1=2,5 mL
Volume konsentrasi 10 ppm dalam labu ukur 25 ml
M 1 xV 1=M 2 xV 2
V 1= M 2 xV 2M 1
20
V 1=(10 ppm ) x (25 mL)
100 ppm
V 1=2,5 mL
Volume konsentrasi 15 ppm dalam labu ukur 25 ml
M 1 xV 1=M 2 xV 2
V 1= M 2 xV 2M 1
V 1=(15 ppm ) x (25mL)
100 ppm
V 1=3,75 mL
Volume konsentrasi 20 ppm dalam labu ukur 25 ml
M 1 xV 1=M 2 xV 2
V 1= M 2 xV 2M 1
V 1=(20 ppm ) x(25 mL)
100 ppm
V 1=5 mL
Volume konsentrasi 25 ppm dalam labu ukur 25 ml
M 1 xV 1=M 2 xV 2
V 1= M 2 xV 2M 1
V 1=(25 ppm ) x(25mL)
100 ppm
V 1=6,25 mL
c. Menentukan kadar Cu (II) dalam sampel
Berdasarkan pengukuran absorbansi larutan standar menggunakan
instrument AAS diperoleh data sebagai berikut :
Data ke- konsentrasi Absorbansi 1 0 02 5 0,23 10 0,3834 15 0,5765 20 0,8636 25 0,951
21
1. Kurva kalibrasi standar sampel menggunakan seluruh data yang
diperoleh
0 5 10 15 20 25 300
0.10.20.30.40.50.60.70.80.9
1f(x) = 0.0396400000000001 xR² = 0.989839218388124
Kurva Kalibrasi Standar
Kurva Kalibrasi Standar Linear (Kurva Kalibrasi Standar )
Konsentrasi
Abso
rban
si
2. Kurva kalibrasi standar sampel menggunakan data 1,2,3,4, dan 6 untuk
memperoleh grafik dengan linieritas lebih baik
0 5 10 15 20 25 300
0.10.20.30.40.50.60.70.80.9
1f(x) = 0.0379324324324325 x + 0.00474324324324316R² = 0.999879216275809
Kurva Kalibrasi Standar
Kurva Kalibrasi Standar Linear (Kurva Kalibrasi Standar )
Konsentrasi
Abso
rban
si
22
Berdasarkan pengukuran absorbansi larutan sampel diperoleh
absorbansi sampel 0,372. Untuk menentukan kadar Cu (II) dalam sampel
menggunakan persamaan regrasi kurva kalibrasi larutan standar yaitu
y=0.0396 xdan y=0,0379 x+0,0047dengan y adalah absorbansi sampel
sehingga akan diperoleh nilai x sebagai kadar Cu (II) dalam sampel
Untuk y=0.0396 x maka kadar Cu (II) dalam sampel :
y=0,0396 x
0,372=0,0396 x
x= 0,3720,0396
x=9,3939
Jadi, kadar Cu (II) dalam sampel sebanyak 9,3939 ppm
Untuk y=0,0379 x+0,0047 maka kadar Cu (II) dalam sampel :
y=0,0379 x+0,0047
0,372=0,0379 x+0,0047
0,0379 x=0,372−0,0047
0,0379 x=0,3673
x=0,36730,0379
x=9,6912
Jadi, kadar Cu (II) dalam sampel sebanyak 9,6912 ppm
23
2. Data Pengamatan
a. Langkah kerja dan pengamatan
No Bagan Alir Langkah Kerja Pengamatan
1 Preparasi Sampel - Sampel berwarna cokelat
kekuningan keruh
- Larutan HNO3 pekat tidak berwarna
dan berasap
- Volume sampel 350 mL
- Volume HNO3 17,5 mL
- Volume setelah diuapkan ±140 mL
- Sampel berwarna kuning
kecokelatan seulas keruh dengan
endapan cokelat
- Setelah dipanaskan sampel
berwarna sedikit kekuningan, jernih
dan sedikit endapan cokelat
- Setelah ditambahkan aquades
sampel menjadi tidak berwarna,
jernih, dan sedikit endapan cokelat
- Setelah disaring sampel tidak
berwarna, jernih, dan tanpa endapan
- Hasil berupa sampel tidak
berwarna, jernih dan tanpa endapan
24
-Disaring dengan kertas saring whatmann jika masih ada yang tidak larut
dipindahkan kedalam gelas kimia 100ml sebanyak 6 buahdimasukkan volume ±15 mLditambahkan ±2,5 ml HNO3 pekatditutup dengan kaca arlojidipanaskan hingga larutan menjadi jernihdidinginkanditambahkan aquades dituangkan kedalam labu takar 50 mL
Sampel
diambil 350 mLdimasukkan kedalam gelas kimia 600 mL ditambahkan 17,5 ml HNO3 pekat lalu diadukdiuapkan diatas hot plate hingga volume ±105 mL
Sampel
Sampel
Sampel yang telah dipreparasi
2. Pembuatan Larutan Blanko - Larutan HNO3 pekat tidak berwarna
dan berasap
25
Larutan HNO3
dibuat pH = 2
Larutan blanko
Larutan stock
diencerkan dengan larutan blanko hingga memperoleh konsentrasi 5, 10, 15, 20, 25 ppm
Larutan Kerja
diamati dan diukur absorbansi setiap larutan dari konsentrasi terendahdiukur absorbansi sampeldiplot grafik hubungan absorbansi vs konsentrasiditentukan persamaan liniernyaditentukan konsentrasi Cu (II) ppm dalam sampel
Instrumen AAS
Kurva Kalibrasi
- Larutan blanko tidak berwarna
dengan pH = ±2
3 Penyiapan Larutan Kerja Cu (II) - Larutan stock Cu (II) 1000ppm
tidak berwarna
- Larutan stock Cu (II) 1000ppm
dibuat menjadi 100ppm
- Berikut ini perbandingan larutan
blanko dan konsentrasi
[Cu2+], M V. [Cu2+] 100 ppm, mL
5 2,510 2,515 3,7520 525 6,25
- Hasil larutan kerja Cu (II) tidak
berwarna
4. Pembuatan Kurva Kalibrasi - Kondisi operasional instrumen AAS
Fuel : Asetilen
Oksidan : Udara
- Perbandingan fuel dan oksidan
yaitu 1,5 : 3
b. Data Pengamatan kondisi alat
No Parameter yang diamati Pengamatan
26
Catatan :
Larutan kerja pada konsentrasi terkecil dibuat dalam labu takar 50 mL dan larutan standar dalam labu takar 25 mL
1. Fuel (bahan bakar) Asetilen
2. Oksidan Udara
3. Sumber sinar HCl – Cu
4. Slit (celah) 0,7 nm
5. Panjang gelombang 324, 8 nm
6. Integrate time 0,7 s
7. Energi 66 %
8. Replicate 3 kali
9. Suhu 1000 – 1500K
10.
W
Warna Nyala Biru
27
3. Dokumentasi
a. Alat dan bahan yang digunakan
alat praktikum larutan Asam nitrat pekat sampel air limbah
Larutan stock Cu(II) pH indikator dan indikator universal alat AAS
b. Preparasi sampel
Pemanasan sampel penambahan larutan pemanasan kembaliDalam ruang asam asam nitrat pekat larutan sampelsampel
28
Mendinginkan sampel yang sampel ditambahkan aquades penyaringan sampel Telah dipanaskan hingga 50 mL dengan membran whatman
c. Pembuatan larutan blanko
Larutan asam asetat + aquades larutan blanko
d. Pembuatan larutan Cu (II)
Memipet larutan stock memasukkannya kedalam diencerkan dengan aquades Labu ukur hingga tanda batas
Larutan stock dengan berbagai konsentrasi
29