LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA IKAN
GINOGENESIS , HIBRIDISASI DAN TRIPLOIDISASI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Genetika Ikan
Disusun Oleh :
Perikanan B – Kelompok 16
Indah Nurwulan 230110130087
Satrio Bagas 230110130107
Dehan Ahmadi 230110130130
Yuliana Rafika 230110130153
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
2014
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dankarunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan laporan praktikum
untuk memenuhi nilai mata kuliah Genetika Ikan, yang berjudul “Triplodisasi,
Ginogenesis, dan Hibridisasi” dengan tepat waktu.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkandemikesempurnaan laporan praktikum ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga
bermanfaat untuk kita semua.
Jatinangor, 10 Desember 2014
Kelompok 16
ii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………... ii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………….. iv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………... v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………….. 1
1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………….. 2
1.3 Tujuan…………………………………………………………... 2
1.4 Manfaat…………………………………………………………. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi Ikan Mas (Cyprinus carpio)…………………………. 3
2.2 Morfologi Ikan Mas (Cyprinus carpio) ………………………… 4
2.3 Reproduksi Ikan………………………………………………… 5
2.4 Spermatozoa…………………………………………………….. 6
2.5 Pemijahan Buatan……………………………………………….. 8
2.5.1 Ginogenesis…………………………………………………… 9
2.5.2 Triploidisasi…………………………………………………… 9
2.5.3 Hibridisasi…………………………………………………….. 10
2.6 Embriogenesis…………………………………………………... 11
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat……………………………………………… 13
3.2 Alat dan Bahan………………………………………………….. 13
3.2.1 Alat……………………………………………………………. 13
3.2.2 Bahan………………………………………………………….. 13
3.3 Prosedur Praktikum……………………………………………... 14
3.3.1 Persiapan Alat………………………………………………… 14
3.3.2 Pemijahan Buatan…………………………………………….. 14
3.3.3 Hibridisasi…………………………………………………….. 14
3.3.4 Ginogenesis…………………………………………………… 14
3.3.5 Triploidisasi…………………………………………………… 15
3.3.6 Embriogenesis………………………………………………… 15
3.3.7 Pemeliharaan Larva…………………………………………… 15
3.4 Metode Praktikum………………………………………………. 16
3.5 Rancangan Praktikum…………………………………………... 16
3.5.1 FR……………………………………………………………... 16
3.5.2 HR…………………………………………………………….. 16
3.5.3 SR Larva………………………………………………………. 17
3.6 Analisa Data…………………………………………………….. 17
iii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil…………………………………………………………….. 18
4.2 Pembahasan……………………………………………………... 21
4.2.1 Triploidisasi…………………………………………………… 21
4.2.2 Ginogenesis…………………………………………………… 24
4.2.3 Hibridisasi…………………………………………………….. 27
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan……………………………………………………... 30
5.2 Saran…………………………………………………………….. 31
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………. vi
LAMPIRAN
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Ikan Mas (Cyprinus carpio)…………………………………. 4
2. Ikan Komet (Carassius auratus)…………………………… 5
3. Spermatozoa dan bagiannya………………………………… 7
4. Fase Perkembangan Ikan…………………………………… 11
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Fase Pertumbuhan Embrio Ikan…………………………… 1
2. Alat dan Bahan Praktikum…………………………………. 3
3. Proses Pemijahan Secara Buatan………………………… 3
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rekayasa genetika merupakan suatu cara memanipulasikan gen untuk
menghasilkan makhluk hidup baru dengan sifat yang diinginkan. Rekayasa
genetika disebut juga pencangkokan gen atau rekombinasi DNA. Dalam rekayasa
genetika digunakan DNA untuk menggabungkan sifat makhluk hidup. Hal itu
karena DNA dari setiap makhluk hidup mempunyai struktur yang sama, sehingga
dapat direkomendasikan. Selanjutnya DNA tersebut akan mengatur sifat-sifat
makhluk hidup secara turun-temurun. Dalam hala ini beberapa kegiatan rekayasa
genetika dalam bidang perikanan adalah Ginogenesis, Triploidisasi, dan
Hibridisasi
Ginogenesis adalah proses terbentuknya zigot dari gamet betina tanpa
kontribusi dari gamet jantan. Dalam ginogenesis gamet jantan hanya berfungsi
untuk merangsang perkembangan telur dan sifat-sifat genetisnya tidak diturunkan.
Ginogenesis dapat terjadi secara alami dan buatan. Nagy et al,. 1978,
menyebutkan ginogenesis adalah terbentuknya zigot 2n (diploid) tanpa peranan
genetik gamet jantan. Jadi gamet jantan hanya berfungsi secara fisik saja,
sehingga prosesnya hanya merupakan perkembangan pathenogenetis betina
(telur). Untuk itu sperma diradiasi. Radiasi pada ginogenesis bertujuan untuk
merusak kromososm spermatozoa, supaya pada saat pembuahan tidak berfungsi
secara genetic.
Triploidisasi merupakan salah satu bagian dari ploidisasi dengan proses
atau kejadian terbentuknya individu dengan kromosom lebih dari dua set.
Triploidisasi telah dilakukan dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan
ikan. Ikan-ikan triploid merupakan ikan-ikan secara genetik mempunyai satu set
tambahan kromosom, sehingga pada setiap sel tubuhnya memiliki tiga set
kromosom. Dua set kromosom adalah kromosom telur dan satu set kromosom
sperma.
2
Hibridisasi merupakan program persilangan yang dapat diaplikasikan pada
ikan, udang, kerang-kerangan maupun rumput laut. Hasil dari program ini dapat
menghasilkan individu-individu yang unggul, kadang-kadang ada juga yang steril
dan dapat menghasilkan strain baru (Rustidja, 2005). Hibridisasi akan mudah
dilakukan apabila dapat dilakukan reproduksi buatan seperti halnya ikan mas dan
ikan nila, dimana dapat dilakukan striping telur dan sperma. Selain itu ada
defenisi lain dari hibridisasi yang sebenarnya tidak jauh berbeda
1.2. Identifikasi Masalah
Berkembangnya teknik dalam rekayasa genetika berhasil membuat hasil
di bidang perikanan di Indonesia semakin maju dalam hal kualitas dan kuantitas.
Rekayasa genetika dipengaruhi banyak faktor-faktor yang akan mempengaruhi
dari perkembangan ikan. Dalam praktikum kali ini akan mempelajari tentang
teknik rekayasa genetika menggunakan hibridisasi, ginogenesis dan triploidisasi.
1.3. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
1. Mempelajari teknik ginogenesis untuk memproduksi populasi ikan betina
2. Mempelajari teknik triploidisasi untuk memproduksi ikan yang memiliki
kromosom sebanyak 3 set (triploid).
3. Mempelajari teknik hibridisasi untuk memproduksi ikan yang lebih unggul
dari induknya
1.4. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah
1. Praktikan diharapkan mendapatkan informasi mengenai cara melakukan
ginogenesis, triplodisasidan hibridisasi
2. Praktikan mampu mengaplikasikan teknik ginogenesis, triplodisasi dan
hibridisas
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Ikan mas termasuk famili Cyprinidae yang mempunyai ciri-ciri umum,
badan ikan mas berbentuk memanjang dan sedikit pipih ke samping (Compresed)
dan mulutnya terletak di ujung tengah (terminal), dan dapat di sembulka, di
bagian mulut di hiasi dua pasang sungut, yang kadang-kadang satu pasang di
antaranya kurang sempurna dan warna badan sangat beragam. Adapun klasifikasi
ilmiah ikan mas adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus carpio
Tubuh ikan mas digolongkan menjadi tiga bagian yaitu kepala, badan, dan
ekor. Pada kepala terdapat alat-alat seperti sepasang mata, sepasang cekung
hidung yang tidak berhubungan dengan rongga mulut, celah-celah insang,
sepasang tutup insang, alat pendengar dan keseimbangan yang tampak dari luar
(Cahyono, 2000). Jaringan tulang atau tulang rawan yang disebut jari-jari. Sirip-
sirip ikan ada yang berpasangan dan ada yang tunggal, sirip yang tunggal
merupakan anggota gerak yang bebas. Disamping alat-alat yang terdapat dalam,
rongga peritoneum dan pericardium, gelembung renang, ginjal, dan alat
reproduksi pada sistem pernapasan ikan umumnya berupa insang.
4
Gambar 1. Ikan Mas (Cyprinus carpio)
(Sumber : www.tips-peternakan.blogspot.com)
Ikan mas dapat tumbuh normal, jika lokasi pemeliharaan berada pada
ketinggian antara 150-1000 m diatas permukaan laut, dengan suhu 20oC - 25oC
pH air antara 7-8 (Herlina,2002). Ikan ini merupakan ikan pemakan organisme
hewan kecil atau renik ataupun tumbuh-tumbuhan (omnivore). Kolam yang di
bangun dari tanah banyak mengandung pakan alami,ikan ini mengaduk
Lumpur,memangsa larva insekta,cacing-cacing mollusca (Djarijah,2001).
Cahyono (2000) menyatakan, jenis makan dan tambahan yang biasa di berikan
pada ikan mas adalah bungkil kelapa atau bungkil kacang, sisa rumah pemotongan
hewan, sampah rumah tangga dan lain-lain, sedangkan untuk makanan buatan
biasanya di berikan berupa crumble dan pellet.
2.2. Morfologi Ikan Komet (Carassius auratus)
Ikan komet (Carassius auratus) merupakan salah satu jenis ikan mas hias,
ciri yang membedakan dengan ikan mas hias lainnya adalah caudal fin atau sirip
ekornya lebih panjang dan percabangan di sirip ekornya sangat terlihat jelas, tidak
seperti ikan mas biasa yang percabangan di sirip ekornya tidak begitu terlihat
jelas. Selain itu, ikan komet mempunyai warna oranye yang mencolok sehingga
sangat menarik untuk menjadi ikan hias di dalam ruangan ataupun di luar ruangan.
Ikan komet memiliki badan yang memanjang dan ramping sehingga di dalam
akuarium ataupun di kolam, ikan ini selalu aktif berenang ke segala penjuru.
Panjang tubuh ikan komet bisa mencapai sekitar 35 cm dari ujung kepala sampai
5
ujung ekor. Ikan komet mulai bisa memijah pada umur 4 bulan dan bisa hidup
sampai berumur 14 tahun tergantung pemeliharaan. Dari banyaknya varietas ikan
mas hias yang dihasilkan di dunia oleh Cina dan Jepang, ikan komet ini
merupakan satu-satunya hasil seleksi dari ikan common goldfish pada abad 19 di
Philadelpia Amerika Serikat oleh Hugo Murket dan secara masal di terjunkan ke
pasaran.
Gambar 2. Ikan Komet (Carassius auratus)
(Sumber : A.S.T. Afandi, www.mediaajar.com, 2011)
Klasifikasi ikan komet berdasarkan ilmu taksonomi adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Otariphisysoidei
Sub Ordo : Cyprinoidae
Famili : Cyprinidae
Genus : Carassius
Spesies : Carassius auratus
2.3. Reproduksi Ikan
Reproduksi pada ikan teleostei berbeda-beda. Ikan teleostei pada umunya
dioecius (misalnya ikan mas), tetapi ada juga yang hermaprodite (ikan belut).
Gonad ikan disebut juga kelenjar reproduksi, gonad ikan betina dinamakan ovaria,
sedangkan gonad ikan jantan dinamakan testis.
6
Gonad ikan mas terdiri atas ovaria atau testis yang terdapat sepasang pada
bagian kiri dan kanan; dari tiap-tiap ovaria keluar sebuah saluran telur atau
oviductus (kedua saluran bertemu dan bermuara di ductus urogenitalis bersama-
sama ureter). Sedangkan dari tiap-tiap testis keluar saluran yang disebut ductus
deferens (kedua saluran tersebut bertemu dan bermuara di ductus urogenitalis
bersama-sama ureter). Ovaria ataupun testis ikan terletak memanjang di dalam
rongga badan, biasanya ada sepasang yang masing-masing berada dikiri dan
kanan antara gelembung renang dan usus.
Sifat kompleks dari organ reproduksi ikan teleostei dicerminkan oleh
luasnya perkembangan gonad, meskipun struktur dasar yang meliputi morfologi
sel-sel dan bermacam-macam elemen sel somatik yang terdapat pada jaringan
gonad adalah sama. Fungsi dasar gonad pad ikan teleostei seperti pada hewan
vertebrata tingkat tinggi lainnya yaitu menghasilkan gamet-gamet (ovaria
menghasilkan sel telur dan testis menghasilkan spermatozoa).
2.4. Spermatozoa
Sperma adalah gamet jantan yang dihasilkan oleh testis dan merupakan
suatu sel kecil, kompak yang tidak bertumbuh dan tersimpan dalam cairan sperma
dalam testis. Cairan sperma adalah larutan spermatozoa yang berada dalam cairan
seminal dan dihasilkan oleh hidrasi testis. Campuran antara seminal plasma
dengan spermatozoa disebut semen. Dalam setiap testis semen terdapat jutaan
spermatozoa (Hoar 1969). Sperma terdiri dari kepala yang membawa materi
keturunan paternal dan ekor yang berperan sebagai alat penggerak. Fungsi utama
sperma pada individu parental adalah sebagai pembawa sebagian materi genetik
dalam proses pembuahan untuk membentuk individu baru.
7
Gambar 3. Spermatozoa dan bagiannya
(Sumber : google.com)
a. Morfologi Sperma
Struktur spermatozoa secara umum pada ikan yang sudah matang terdiri
dari kepala, leher, dan ekor flagella. Inti spermatozoa terdapat pada bagian kepala
(Lagler 1977). Middle piece merupakan penghubung atau penyambung antara
leher dan ekor yang mengandung mitokondria dan berfungsi dalam metabolisme
sperma. Spermatozoa mempunyai struktur yang sederhana dan ukuran yang
hampir sama. Umumnya ukuran panjang kepala sperma antara 2-3 mikron dan
panjang total dari spermatozoa antara 40-60 mikron.
b. Kepala Sperma
Kepala spermatozoa secara umum berbentuk bulat atau oval. Bagian
tengah mengikuti pola struktur umum, terdiri dari sebuah flagel tengah dan
selubung mitokondria yang sedikit tidak termodifikasi dan terletak di dalam
sebuah low collar (lengkung bawah) agak jauh di belakang nukleus bulat. Kepala
sperma berisi materi inti, berupa chromosome yang terdiri dari DNA. Informasi
genetika yang dibawa oleh spermatozoa diterjemahkan dan disimpan didalam
molekul DNA. Sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis, sperma
hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik dari spesies yang
sama dan terbentuklah dua macam spermatozoa, sperma yang membawa
chromosom-x akan menghasilkan embrio betina sedangkan sperma yang
mengandung chromosom-y akan menghasilkan embrio jantan.
c. Ekor Sperma
8
Ekor sperma dapat dibagi atas tiga bagian, bagian tengah, bagian utama
dan bagian ujung berasal dari centriol spermatid selama spermiogenesis. Ekor
sperma berfungsi memberi gerak maju kepada spermatozoa dan gelombang-
gelombang yang dimulai di daerh inplantasi ekor kepala dan berjalan ke arah
distal sepanjang ekor seperti pukulan cambuk. Selubung mitokondria berasal dari
pangkal kepala membentuk dua struktur spiral ke arah berlawanan dengan arah
jarum jam. Bagian tengah ekor merupakan gudang energi untuk kehidupan dan
pergerakan spermatozoa oleh proses-proses metabolik yang berlangsung di dalam
helix mitokondria, mitokondria mengandung enzim-enzim yang berhubungan
dengan metabolisme eksudatif spermatozoa. Bagian ini kaya akan fosfolipid,
lecithin dan plasmalogen. Plasmalogen mengandung satu aldehid lemak dan satu
asam lemak yang berhubungan dengan gliserol maupun cholin. Asam-asam lemak
dapat dioksidasi dan merupakan sumber energi endogen untuk aktifasi sperma.
Inti ekor atau axial core terdiri atas dua serabut sentral dikelilingi oleh suatu
cincin konsentrik terdiri atas 9 fibril rangkap yang berjalan dari daerah implantasi
sampai bagian ujung ekor.
2.5. Pemijahan Buatan
Pemijahan induk adalah proses pembuahan telur oleh sperma. Induk yang
telah matang gonad berarti telah siap melakukan pemijahan. Proses pemijahan
dapat berlangsung secara alami dan bantuan, sehingga masing-masing disebut
pemijahan alami dan pemijahan buatan. Dalam pemijahan alami, telur dibuahi
oleh sperma didalam air setelah dikeluarkan oleh induk betina, proses ini biasanya
didahului oleh aktifitas percumbuan oleh kedua induk tersebut. Pada pemijahan
buatan, pembuahan telur oleh sperma dilakukan oleh bantuan manusia. Telur
dipaksa keluar dari tubuh induk betina. Pemijahan dapat berlangsung setelah
melalui proses perangsangan. Perangsangan pemijahan dapat dilakukan dengan
mengatur lingkungan dan pemberian hormon.
Pemijahan ikan secara buatan adalah pemijahan ikan yang dilakukan oleh
campur tangan manusia, terjadi dengan memberikan rangsangan hormon untuk
mempercepat kematangan gonad serta proses ovulasinya dilakukan secara buatan
9
dengan teknik stripping atau pengurutan. Jenis ikan yang sudah dapat dilakukan
pemijahan secara buatan antara lain ikan Patin, ikan Mas, dan ikan Lele, dll.
Untuk keberhasilan pemijahan ini sangat ditentukan oleh tingkat kematangan
gonad induk yang benar-benar siap untuk dipijahkan agar benih yang dihasilkan
berkualitas.
2.5.1. Ginogenesis
Ginogenesis adalah proses terbentuknya zigot dari gamet betina tanpa
kontribusi dari gamet jantan. Dalam ginogenesis gamet jantan hanya berfungsi
untuk merangsang perkembangan telur dan sifat-sifat genetisnya tidak diturnkan.
Ginogenesis dapat terjadi secara alami dan buatan.
Ginogenesis adalah suatu proses penurunan sifat maternal secara total
melalui perkembangan telur tanpa kontribusi sperma secara genetik untuk menjadi
embrio yang dimaksudkan agar keturunan yang dihasilkan bersifat homozigotik
(cloning). Ginogenesis dapat terjadi secara alami dan buatan, namun pada
ginogenesis alami jarang sekali ditemukan sperma yang membuahi telur dalam
keadaan material genetik tidak aktif. Ginogenesis adalah suatu perlakuan untuk
mengatasi masalah untuk menonaktifkan material genetik sperma dan merangsang
diploidisasi terbentuknya zigot.
Ginogenesis buatan dapat dilakukan dengan mutagenesis sperma dengan
sinar ultraviolet (UV) dan kejutan panas. Radiasi yang terjadi merupakan proses
penyinaran dengan menggunakan bahan mutagen untuk menghasilkan mutan.
Sinar ultraviolet (UV) merupakan radiasi yang juga merupakan sinar tidak tampak
yang mempunyai panjang gelombang 200-380 nm.
2.5.2. Triploidisasi
Triploidisasi merupakan salah satu bagian dari ploidisasi dengan proses
atau terbentuknya individu dengan kromosom lebih dari dua set. Triploidisasi
telah dilakukan dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. Teknik
triploidisasi dapat mengunakan dua pelakuan, yaitu perlakuan fisika dan kimia.
10
Penggunaan perlakuan fisika dan kimia sesaat setelah dimulainya pembuahan
merupakan cara yang relatif mudah dalam triploidisasi.
Ikan-ikan triploid merupakan ikan-ikan secara genetik mempunyai satu set
tambahan kromosom, sehingga pada setiap sel tubuhnya memiliki tiga set
kromosom. Dua set kromosom adalah kromosom telur dan satu set kromosom
sperma. Individu tetraploid merupakan individu yang fertil dan mempunyai laju
pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan spesies diploid. Individu
tetraploid mempunyai kemampuan di dalam pembelahan sel yang jauh lebih
tinggi bila dibandingkan dengan ikan normal diploid, sehingga ikan tetraploid
akan mempunyai jumlah sel yang lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan
normal.
2.5.1 Hibridisasi
Hibridisasi merupakan program persilangan yang dapat diaplikasikan pada
ikan, udang, kerang-kerangan maupun rumput laut. Hasil dari program ini dapat
menghasilkan individu-individu yang unggul, kadang-kadang ada juga yang steril
dan dapat menghasilkan strain baru (Rustidja,2005). Hibridisasi akan mudah
dilakukan apabila dapat dilakukan reproduksi buatan seperti halnya ikan mas dan
ikan nila, dimana dapat dilakukan striping telur dan sperma.
Hibridisasi adalah perkawinan antara spesies yang berbeda. Hibridisasi
atau persilangan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan kombinasi antara
populasi yang berbeda untuk menghasilkan keturunan yang memiliki sifat unggul.
Berdasarkan hal tersebut para ahli genetika perikanan membagi hibridisasi ke
dalam tiga macam yaitu :
1. Hibridisasi intraspesifik yaitu perkawinan antara spesies yang sama tetapi
berasal dari populasi yang berbeda. Misalnya persilangan antara ikan mas raja
danu dengan ikan mas sinyonya (Cyprinus carpio X Cyprinus carpio).
2. Hibridisasi interspecifik yaitu perkawinan dalam genus yang sama tetapi
berbeda species. Misalnya persilangan antara ikan lele: Clarias meladerma X
Clarias gariepinus atau Clarias meladerma X Clarias teijsmanni, persilangan
ikan patin: Pangasius djambal X Pangasius hypophthalmus.
11
3. Hibridisasi intergenerik yaitu perkawinan dalam genus yang berbeda.
Misalnya persilangan antara ikan nila dengan ikan mujair (Oreochromis
niloticus X Tilapia mosambicus), persilangan antara ikan mas dengan ikan
tawes atau ikan nilem
2.6. Embriogenesis
Embriogenesis adalah tahap perkembangan telur dari peleburan sel telur
dan sel sperma hingga menetas. Tahap embriogenesis terdiri dari stadia
pembelahan sel zigot (cleavage), blastulasi, gastrulasi, dan neurulasi. Proses
selanjutnya adalah organogenesis, yaitu pembentukan alat-alat (organ) tubuh.
Perkembangan larva merupakan tahap perkembangan dari penetasan hingga larva
mengalami penyempurnaan bentuk. Embriologi mencakup proses perkembangan
setelah fertilisasi sampai dengan organogenesis sebelum menetas atau lahir.
Gambar 4. Fase Perkembangan Ikan
(Sumber : www.budidarma.com)
Cleavage yaitu tahapan proses pembelahan sel. Proses ini berjalan teratur
dan berakhir hingga mencapai blastulasi. Bisa juga dikatakan proses pembelahan
sel yang terus menerus hingga terbentuk bulatan, seperti bola yang di dalamnya
berisi rongga. Gastrulasi merupakan proses kelanjutan blastulasi. Hasil proses ini
adalah terbentuknya tiga lapisan, yaitu ektoderm, modeterm dan entoderm.
Organogenesis adalah tahapan dimana terjadi pembentukan organ-organ tubuh
dari tiga lapisan diatas, yaitu ektoderm, metoderm dan entoderm. Setiap lapisan
12
membentuk organ yang berbeda. Ektoterm membentuk lapisan epidermis pada
gigi, mata dan saraf pendengaran. Mesoderm membentuk sistem respirasi,
pericranial, peritonial, hati dan tulang. Sedangkan entoterm membentuk sel
kelamin dan kelenjar endokrin.
13
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 27 November - 29 November
2014. Pada pukul 08.00 WIB yang dilakukan di Laboraturium MSP, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Jatinangor.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
1. Alat suntik berfungsi untuk menyuntikkan hormone ovaprim ke dalam bagian
tubuh ikan uji coba.
2. Ember berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan ikan.
3. Lap berfungsi untuk menuntup kepala ikan saat akan disuntikkan agar ikan
tidak mengalami stress.
4. Akuarium berfungsi sebagai tempat menyimpan induk.
5. Instalasi aerasi (blower, batu aerasi, dan selang) berfungsi sebagai penyedia
oksigen bagi ikan di dalam akuarium.
6. Water bath berfungsi sebagai tempat untuk melakukan heat shock terhadap
telur.
7. Kotak UV berfungsi sebagai tempat untuk melakukan radiasi terhadap telur.
8. Termometer berfungsi untuk mengatur suhu pada saat melakukan heat shock
di dalam water bath.
9. Cawan petri berfungsi sebagai tempat menyimpan sel telur.
10. Akuarium berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan telur yang sudah
dibuahi dan tempat telur menetas.
11. Mikroskop berfungsi untuk melihat dan mengamati perkembangan sel telur.
3.2.2. Bahan Praktikum
1. Ikan Komet berfungsi sebagai sampel ikan yang akan diuji
14
2. Ikan Mas berfungsi sebagai sampel ikan yang akan diuji.
3. Nacl fisiologis 0,9 berfungsi sebagai cairan untuk mengencerkan sperma.
4. Hormon ovaprim berfungsi untuk merangsang terjadinya ovulasi telur oleh
indukan yang dipijahkan dan indukan jantan berfungsi untuk meningkatkan
produksi sprema yang akan dikeluarkan.
3.3. Prosedur Praktikum
3.3.1. Periapan Alat
1. Mencuci akuarium hingga bersih.
2. Memasangkan instalasi aerasi agar berfungsi dengan baik.
3.3.2. Pemijahan Buatan
1. Menyeleksi indukan yang akan digunakan dalam praktikum.
2. Memisahkan indukan jantan dan indukan betina.
3. Menyuntikkan hormon pada indukan betina.
4. Melakukan stripping sperma pada indukan jantan.
5. Melakukan stripping sel telur pada indukan betina.
3.3.3. Hibridisasi
1. Mengencerkan sperma yang telah dihasilkan oleh indukan jantan
menggunakan larutan NaCl.
2. Sperma diletakkan di cawan petri.
3. Melakukan fertilisasi atau penyatuan sel telur ikan betina yakni ikan komet
dan sperma ikan jantan yakni ikan mas.
4. Meletakkan sel telur yang berada di cawan petri ke dalam akuarium yang
telah disediakan.
5. Melakukan pengamatan.
3.3.4. Ginogenesis
1. Mengencerkan sperma yang telah dihasilkan oleh indukan jantan
menggunakan larutan NaCl.
2. Sperma diletakkan di cawan petri.
3. Sperma yang telah diencerkan diradiasi selama 2 menit.
15
4. Melakukan fertilisasi atau penyatuan sel telur ikan betina dan ikan jantan
yakni ikan komet.
5. Hasil fertilisasi didiamkan selama 30 menit.
6. Sel telyr dan sperma yang telah difertilisasi kemudia di heat shock pada
sterofoam berisi air yang suhunya 40° C selama 2 menit.
7. Meletakkan sel telur yang berada di cawan petri ke dalam akuarium yang
telah disediakan.
8. Melakukan pengamatan.
3.3.5. Triploidisasi
1. Mengencerkan sperma yang telah dihasilkan oleh indukan jantan
menggunakan larutan NaCl.
2. Sperma diletakkan di cawan petri.
3. Melakukan fertilisasi atau penyatuan sel telur ikan betina dan ikan jantan
yakni ikan komet.
4. Hasil fertilisasi didiamkan selama 2 menit.
5. Sel telur dan sperma yang telah difertilisasi kemudian diheat shock pada
sterofoam berisi air yang suhunya 40° C selama 2 menit.
6. Meletakkan sel telur yang berada di cawan petri ke dalam akuarium yang
telah disediakan.
7. Melakukan pengamatan.
3.3.6. Embriogenesis
Mengamati sel telur yang suda difertilisasi menggunakan mikroskop.
Pengamatan dilakukan untuk mengamati perubahan atau perkembangan yang
terjadi pada sel telur. Pengamatan dilakukan setaip 15 menit sekali selama 3 jam.
3.3.7. Pemeliharaan Larva
Sel telur mengalami kematian dan tidak berkembang menjadi larva setelah
ditebar karena tidak terjadi perubahan setelah dilakukan pengamatan selama
kurang lebih 16 jam.
16
3.4. Metode Praktikum
Metode yang digunakan dalam praktikum ini berupa eksperimental dengan
menggunakan beberapa perlakuan. Perlakuan yang diberikan diantaranya adalah
stripping, pengemceran, radiasi dan kejut suhu (heat shock).
3.5. Rancangan Praktikum
3.5.1. FR
FR atau fertitization rate adalah derajat pembuahan telur. Pengamatan
derajat pembuahan telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada
proses ginogenesis, hibridisasi, dan triploodisasi selesai dilakukan.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat fertilisasi
telur ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
FR : Derajat fertilisasi te;ur (%)
P : Jumlah telur sampel
Po : Jumlah telur yang dibuahi
3.5.2. HR
Hr atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat
penetasan telur dilakukan ketika embrio berumur 17-20 jam dari proses
ppembuahan telur.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan
telur ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
FR (%) = x 100 %
HR (%) = x 100 %
17
Keterangan :
HR : Derajat penetasan telur
Pt : Jumlah telur yang menetas
Po : Jumlah telur yang dibuahi
3.5.3. SR Larva
SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan
derajat kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis,
hibridisasi, dan triploidisasu setelah larva ikan berumur tujuh hari.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui kelangsungan
hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
SR : Kelangsungan hidup ikan selama praktikum
Nt : Jumlah ikan pada akhir praktikum
No : Jumlah ikan pada awal praktikum
3.6. Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk perhitungan dan dianalisis
secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan hasil percobaan dengan literatur
yang berkaitan dengan hibridisasi, triploidisasi, dan ginogenesi.
SR (%) = x 100 %
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1 FR (fertilization rate)
FR atau fertilization rate adalah derajat pembuahan telur. Pengamatan
derajat pembuahan telur (FR) yang dilakukan setelah pembuahan telur pada
proses ginogenesis, hibridisasi, dan triploidisasi selesai dilakukan.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat fertilisasi telur
ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
FR = Po x 100 %
P
Keterangan :
FR : Derajat fertilisasi telur (%)
P : Jumlah telur sampel
Po : jumlah telur yang dibuahi
Grafik 1. FR (fertilization rate)
19
Triploidisasi
FR = Po x 100 %
P
FR = 146 x 100 %
194
= 75,26 %
Ginogenesis
FR = Po x 100 %
P
FR = 77 x 100 %
129
= 59,69 %
Hibridisasi
FR = Po x 100 %
P
FR = 201 x 100 %
229
= 87,77 %
4.1.2 HR (hatching rate)
HR atau hatching rate adalah derajat penetasan telur. Pengamatan derajat
penetasan telur dilakukan ketika embrio berumur 17-20 jam dari proses
pembuahan telur.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat penetasan telur
ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
HR = Pt x 100 %
Po
Keterangan :
HR : Derajat penetasan telur
20
Pt : Jumlah telur yang menetas
Po : Jumlah telur yang dibuahi
Triploidisasi
HR = Pt x 100 %
Po
HR = 0 x 100 %
146
= 0 %
Ginogenesis
HR = Pt x 100 %
Po
HR = 0 x 100 %
77
= 0 %
Hibridisasi
HR = Pt x 100 %
Po
HR = 0 x 100 %
201
= 0 %
4.1.3 SR (survival rate)
SR atau survival rate adalah derajat kelangsungan hidup ikan. Pengamatan
derajat kelangsungan hidup ikan dilakukan hanya untuk proses ginogenesis,
hibridisasi, dan triploidisasi setelah larva ikan berumur tujuh hari.
Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui derajat kelangsungan
hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut :
SR = Nt x 100 %
No
Keterangan :
SR : Kelangsungan hidup ikan selama praktikum
Nt : Jumlah ikan pada akhir praktikum
21
No : Jumlah ikan pada awal praktikum
SR = 0 % (karena tidak ada yang menetas)
4.2. Pembahasan
4.2.1. Triploidisasi
Triploidisasi merupakan salah satu bagian dari ploidisasi dengan proses
atau kejadian terbentuknya individu dengan kromosom lebih dari dua set.
Triploidisasi telah dilakukan dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan
ikan. Pada praktikum yang kami lakukan digunakan ikan komet betina dan ikan
komet jantan untuk dilakukan proses triploidisasi. Proses pertama yang dilakukan
adalah mengencerkan sperma yang telah dihasilkan oleh indukan jantan
menggunakan larutan NaCl. NaCl dalam hal ini berfungsi untuk mengencerkan
sperma agar tidak menggumpal. Kemudian sperma diletakkan pada sebuah cawan
petri dan dicampurkan dengan telur yang sudah dikeluarkan dari tubuh ikan komet
betina. Hasil fertilisasi kemudian didiamkan selama 2 menit. Setelah didiamkan
selama 2 menit sel telur dan sel sperma yang telah difertilisasi kemudian di heat
shock pada sterofoam berisi air yang bersuhu 40⁰C selama 2 menit. Prinsip
pemberian kejutan suhu pada telur yang telah dibuahi adalah untuk mencegahnya
keluarnya badan kutub II pada saat pembelahan meiosis II. Dengan demikian
kromosom telur yang telah diploid ditambah seperangkat, sehingga menjadi tiga
perangkat. Kemudian sel telur yang sudah di heat shock ditaruh dalam akuarium
yang telah diberi aerator untuk dilakukan pengamatan.
Pengamatan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I pengamatan dilakukan
tiap 15 menit sekali selama 3 jam, tahap II dilakukan tiap 30 menit sekali selama 2
jam, tahap III dilakukan tiap 60 menit sekali sampai ikan tersebut menetas. Pada
pengamatan tahap I terlihat telur masih hidup dan menunjukkan perubahan-
perubahan saat diamati menggunakan mikroskop pada telur sampel namun masih
berada dalam fase pembelahan I. Pada tahap II hasil pengamatan yang dilakukan
menunjukkan perubahan menjadi fase pasca pembelahan I belum memasuki fase
pembelahan II karena bentuk yang terlihat belum menunjukkan pada fase
pembelahan II. Namun pada tahap III telur-telur yang diamati tidak menunjukkan
22
perkembangan lagi sehingga dinyatakan telah mati dibuktikan dengan warna telur
yang berubah menjadi putih.
Rata-rata nilai persentase derajat pembuahan telur dan derajat penetasan
telur pada pemijahan ikan komet betina dan ikan komet jantan yaitu FR sebesar
75,26% dan HR sebesar 0%. Dari hasil nilai FR dan HR termasuk dalam kategori
rendah bahkan gagal karena angka keberhasilan tidak mencapai 50%. Dengan
demikian kelompok kami gagal menetaskan telur pada proses triploidisasi ini.
Umumnya persentase penetasan ikan secara normal berkisar antara 50–80
%. Rendahnya derajat penetasan telur ikan komet dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: kualitas telur, kualitas air media inkubasi (penetasan)
dan perlakuan kejutan panas. Kualitas telur dan kualitas air media inkubasi sangat
menentukan keberhasilan proses penetasan telur. Kualitas telur yang baik dan
didukung oleh kualitas air media yan g memadai dapat membantu kelancaran
pembelahan sel dan perkembangan telur untuk mencapai tahap akhir terbentuknya
embrio ikan. Yatim (1990) dan Effendie (1997) menyatakan, salah satu faktor
kualitas air yang penting dalam memengaruhi pembelahan sel (penetasan telur)
adalah suhu air medium.
Rendahnya derajat penetasan ikan komet poliploid juga diakibatkan oleh
pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam proses
poliploidisasi. Tave (1993) mengemukakan, mortalitas yang terjadi kemungkinan
disebabkan oleh beberapa macam efek merugikan dari perlakuan kejutan pada
sitoplasma telur. Perlakuan kejutan suhu dapat mengakibatkan kerusakan pada
benang-benang spindel yang terbentuk saat proses pembelahan sel dalam telur.
Kejutan suhu dan tekanan mengakibatkan rusaknya mikrotubulus yang
membentuk spindel selama pembelahan.
Suhu media inkubasi yang terlalu tinggi dapat mengganggu aktivitas
enzim penetasan pada telur dan mengakibatkan pengerasan pada chorion,
sehingga menghambat proses penetasan pada telur dan dapat mengakibatkan
terjadinya keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan. Rieder dan
Bajer (1978) dalam Bidwell et al. (1985) mengemukakan, larva cacat dapat
disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan,
23
sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka
embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang cacat.
Derajat kelangsungan hidup ikan komet hasil triploidisasi yang relatif
rendah bila dibandingkan dengan ikan komet kontrol kemungkinan besar akibat
rendahnya kemampuan ikan-ikan triploid dalam menangkap oksigen terlarut
dalam air. Kemampuan pengikatan oksigen terlarut ikan-ikan triploid sangat
rendah bila dibandingkan dengan ikan normal. Kelangsungan hidup ikan poliploid
pada fase larva pertama kali makan umumnya berbeda dengan diploid, yaitu lebih
rendah bila dibandingkan dengan diploid.
Keberhasilan poliploidisasi melalui perlakuan kejutan suhu sangat
dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan, seperti
disampaikan oleh Don dan Avtalion (1986) dan tergantung juga pada umur dan
kualitas (kematangan ) telur (Pan dian dan Var ada raj, 1990). Triploidisasi pada
ikan relative lebih mudah untuk diproduksi menggunakan perlakuan fisik atau
kimia sesaat setelah fertilisasi dengan menghambat pembelahan meiosis atau
peloncatan polar body II (Carman et al., 1991). Shepperd dan Bromage (1996)
mengatakan, induksi triploidi dapat dilakukan menggunakan kejutan lingkungan
seperti panas, dingin, tekanan dan kimiawi selama periode kritis sesaat setelah
fertilisasi dan peloncatan polar body II terjadi antara 3–7 menit setelah fertilisasi
pada beberapa spesies (Carman et al., 1991). Arai dan Wilkins (1987) melaporkan
bahwa perlakuan kejutan suhu panas dalam waktu singkat efektif untuk induksi
triploidi, tetapi merugikan secara signifikan pada kelangsungan hidupnya.
Hasil praktikum ini seharusnya menunjukkan bahwa perlakuan kejutan
suhu panas 40° C selama 2 menit memengaruhi tingkat poliploidisasi ikan komet.
Ikan komet hasil triploidisasi memiliki derajat penetasan lebih tinggi,
abnormalitas lebih rendah, derajat kelangsungan hidup lebih rendah dan
keberhasilan induksi poliploidi lebih tinggi daripada ikan komet hasil
tetraploidisasi. Perlakuan kejutan suhu panas ini dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan secara luas untuk proses poliploidisasi pada ikan komet maupun
spesies ikan lain. Namun pada percobaan yang kelompok kami lakukan tidak
berhasil menetaskan telur pada proses triploidisasi ini.
24
4.2.2. Ginogenesis
Nagy et al,. 1978, menyebutkan ginogenesis adalah terbentuknya zigot 2n
(diploid) tanpa peranan genetik gamet jantan. Jadi gamet jantan hanya berfungsi
secara fisik saja, sehingga prosesnya hanya merupakan perkembangan
pathenogenetis betina (telur).
Pada praktikum yang kami lakukan digunakan ikan komet betina dan ikan
komet jantan untuk dilakukan proses ginogenesis. Proses pertama yang dilakukan
adalah mengencerkan sperma yang telah dihasilkan oleh indukan jantan
menggunakan larutan NaCl. NaCl dalam hal ini berfungsi untuk mengencerkan
sperma agar tidak menggumpal. Kemudian sperma diletakkan pada sebuah cawan
petri untuk kemudian di radiasi selama 10 menit. Radiasi pada ginogenesis
bertujuan untuk merusak kromososm spermatozoa, supaya pada saat pembuahan
tidak berfungsi secara genetic (Sumantadinata, 1981). Setelah selesai di radiasi
sperma dicampurkan dengan telur yang sudah dikeluarkan dari tubuh ikan komet
betina. Hasil fertilisasi kemudian didiamkan selama 2 menit. Setelah didiamkan
selama 2 menit sel telur dan sel sperma yang telah difertilisasi kemudian di heat
shock pada sterofoam berisi air yang bersuhu 40⁰C selama 2 menit. Prinsip
pemberian kejutan suhu pada telur yang telah dibuahi adalah untuk mencegahnya
keluarnya badan kutub II pada saat pembelahan meiosis II. Dengan demikian
kromosom telur yang telah diploid ditambah seperangkat (Purdom, 1983 dalam
Risnandar, 2001), sehingga menjadi tiga perangkat. Kemudian sel telur yang
sudah di heat shock ditaruh dalam akuarium yang telah diberi aerator untuk
dilakukan pengamatan.
Pengamatan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I pengamatan dilakukan
tiap 15 menit sekali selama 3 jam, tahap II dilakukan tiap 30 menit sekali selama 2
jam, tahap III dilakukan tiap 60 menit sekali sampai ikan tersebut menetas. Pada
pengamatan tahap I terlihat telur masih hidup dan menunjukkan perubahan-
perubahan saat diamati menggunakan mikroskop pada telur sampel namun masih
berada dalam fase pembelahan I. Pada tahap II hasil pengamatan yang dilakukan
menunjukkan perubahan menjadi fase pasca pembelahan I belum memasuki fase
pembelahan II karena bentuk yang terlihat belum menunjukkan pada fase
25
pembelahan II. Namun pada tahap III telur-telur yang diamati tidak menunjukkan
perkembangan lagi sehingga dinyatakan telah mati dibuktikan dengan warna telur
yang berubah menjadi putih.
Rata-rata nilai persentase derajat pembuahan telur dan derajat penetasan
telur pada pemijahan ikan komet betina dan ikan komet jantan yaitu FR sebesar
59,69% dan HR sebesar 0%. Dari hasil nilai FR dan HR yang didapat termasuk
dalam kategori rendah bahkan gagal karena angka keberhasilan tidak mencapai
50%.
Perkembangan embrio ikan komet hasil ginogenesis pada penelitian
dimulai dari fase cleavage, yaitu ditandai zigot membelah menjadi dua buah sel.
Menurut Sukra et al. (1989) dalam Nugraha (2004), cleavage adalah proses
proliferasi zigot menjadi molural melalui pembelahan mitosis secara berangkai
yang terjadi segera setelah pembuahan, di dalam tuba fallopii. Perkembangan
embrio ikan komet dilanjutkan dengan terjadinya perubahan bentuk embrio seperti
pembentukan lapisan kedua. Balinsky (1970) dalam Nugraha (2004)
mengungkapkan pendapatnya bahwa pada stadium morula sel membelah secara
melintang dan mulai membentuk formasi lapisan kedua yang terlihat samar pada
kutub anima. Perkembangan embrio setelah melalui fase morula adalah fase
blastula. Embrio terus melakukan pembelahan sel untuk berkembang menjadi
blastula, yaitu ditandai dengan terbentuknya rongga kosong. Pada stadium
blastula, blastomer membelah beberapa kali sehingga blastomer makin mengecil,
tetapi besar blastula tidak berbeda dengan besar morula. Menjelang proses
pembelahan berakhir sebagian blastomer yang ada di bawah permukaan rongga
kosong. Rongga kosong yang terbentuk itu disebut blastosul. Morula memiliki
rongga, sedangkan blastula memiliki blastosul (Sukra 1989 dalam Nugraha 2004).
Akhir perkembangan embrio ikan komet pada penelitian ini adalah fase gastrulasi,
mengingat embrio mati setelah fase ini, dan fase perkembangan embrio tidak
berlangsung sampai fase organogenesis ataupun fase penetasan embrio menjadi
larva.
Kematian embrio ikan komet hasil ginogenesis pada penelitian diduga
karena embrio yang dihasilkan bersifat lemah, tertambah fase gastrulasi
26
merupakan fase kritis karena merupakan fase pembentukan bakal organ larva
ikan. Energi yang dibutuhkan embrio untuk pembentukan organ kemungkinan
akan lebih besar dibandingkan untuk pembelahan sel saja. Effendie (1985)
mengungkapkan pada stadium gastrula proses pembelahan sel dengan
pergerakannya berjalan lebih cepat dari pada stadium blastula. Garis besarnya
proses pergerakan sel dalam stadium gastrula ada dua macam yaitu epiboli dan
emboli. Epiboli adalah suatu pergerakan sel-sel yang lelak dianggap akan menjadi
epidermis, dimana pergerakannya itu ke depan, kebelakang dan juga ke
sampingnya dari sumbu bakal embrio. Gerakan yang banyak dan berlangsung
cepat memungkinkan akan lebih mudah menimbulkan kematian pada embrio hasil
ginogenesis, mengingat kondisi embrio yang lemah memiliki kemampuan yang
fasip dalam melakukan gerakan-gerakan.
Dengan demikian kelompok kami gagal menetaskan telur pada proses
ginogenesis ini. Hal ini kemungkinan terjadi karena proses perlakuan yang kurang
baik, atau nilai umur zigot yang kurang.
Pengaplikasian proses ginogenesis ikan komet pada penelitian belum
berhasil dilakukan sampai diperolehnya larva ikan komet hasil ginogenesis.
Kegagalan proses ginogenesis tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
yang diduga berpengaruh dalam menentukan keberhasilan ginogenesis ikan komet
adalah keterkaitan ketahanan telur ikan komet terhadap suhu panas pada proses
heat shok (kejutan suhu). Siraj et al. (1993) dalam Haryanto (2004) menyatakan
bahwa sedikitnya persentase benih ginogenetik yang dihasilkan disebabkan karena
kegagalan polar body II untuk melebur pada inti telur hingga terbentuk individu
haploid (abnormal), bisa juga karena keluarnya polar body II tidak bersamaan
karena matangnya telur tidak seragam, dan rusaknya telur akibat dari kejutan
panas yang dapat membuat kerusakan pada telur sehingga membuat telur mati dan
tidak sempat berkembang. Hal tersebut ditegaskan oleh Richter dan Rustidja
(1985) dalam Nurasni (2011) bahawa kejutan panas berpengaruh pada rendahnya
daya tetas telur akibat penurunan aktivitas enzim chorionase yang bersifat
mereduksi chorion menjadi lunak, karena suhu yang tinggi akan mereduksi enzim
atau menyebabkan kerusakan protein-protein sitoplasma telur.
27
Effendie (1997) menyebutkan bahwa derajat tetas telur dipengaruhi oleh
dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain
kualitas telur dan kualitas sperma, karena telur yang terbuahi sperma merupakan
zigot hasil pertemuan gamet betina dan jantan. Faktor eksternal antara lain suhu,
oksigen, dan kondisi tempat telur diinkubasi. Proses embriogenesis embrio ikan
komet hasil ginogenesis hanya dapat hidup selama 9 jam dari proses fertilisasi.
4.2.3. Hibridisasi
Hibridisasi pada ikan dapat dilakukan antara ikan ras dalam satu spesies,
antara ras dalam satu genus anataragenus dalam ras satu family atau berbeda
family.
Pada praktikum yang kami lakukan digunakan ikan komet betina dan ikan
mas (Cyprinus carpio) jantan untuk dilakukan proses hibridisasi. Proses pertama
yang dilakukan adalah mengencerkan sperma yang telah dihasilkan oleh indukan
jantan menggunakan larutan NaCl. NaCl dalam hal ini berfungsi untuk
mengencerkan sperma agar tidak menggumpal. Kemudian sperma diletakkan pada
sebuah cawan petri dan dicampurkan dengan telur yang sudah dikeluarkan dari
tubuh ikan komet betina. Hasil fertilisasi kemudian didiamkan selama 2 menit.
Kemudian sel telur ditaruh dalam akuarium yang telah diberi aerator untuk
dilakukan pengamatan.
Pengamatan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I pengamatan dilakukan
tiap 15 menit sekali selama 3 jam, tahap II dilakukan tiap 30 menit sekali selama 2
jam, tahap III dilakukan tiap 60 menit sekali sampai ikan tersebut menetas. Pada
pengamatan tahap I terlihat telur masih hidup dan menunjukkan perubahan-
perubahan saat diamati menggunakan mikroskop pada telur sampel namun masih
berada dalam fase pembelahan I. Pada tahap II hasil pengamatan yang dilakukan
menunjukkan perubahan menjadi fase pasca pembelahan I belum memasuki fase
pembelahan II karena bentuk yang terlihat belum menunjukkan pada fase
pembelahan II. Namun pada tahap III telur-telur yang diamati tidak menunjukkan
perkembangan lagi sehingga dinyatakan telah mati dibuktikan dengan warna telur
yang berubah menjadi putih.
28
Rata-rata nilai persentase derajat pembuahan telur dan derajat penetasan
telur pada pemijahan ikan komet betina dan ikan komet jantan yaitu FR sebesar
87,77% dan HR sebesar 0%. Dari hasil nilai FR dan HR yang didapat termasuk
dalam kategori rendah bahkan gagal karena angka keberhasilan tidak mencapai
50%. Dengan demikian kelompok kami gagal menetaskan telur pada proses
hibridisasi ini.
Pengaplikasian proses hibridisasi ikan komet betina dan ikan mas
(Cyprinus carpio) jantan pada penelitian belum berhasil dilakukan sampai
diperolehnya larva ikan hasil hibridisasi. Kegagalan proses hibridisasi tersebut
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya pengaruh
penggunaan sperma ikan mas untuk membuahi telur ikan komet. Ikan mas dan
ikan komet merupakan ikan dengan spesies yang berbeda, perbedaan spesies
tersebut berpengaruh terhadap keberhasilan proses persilangan yang dilakukan.
Hal ini sesuai seperti yang diungkapkan Yan dan Ozgunen (1993) yang
menyatakan bahwa keterkaitan taksonomi induk yang digunakan akan
menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan persilangan seperti tidak terjadinya
pembuahan telur oleh sperma, kematian embrio, dan ada pula embrio yang
bertahan hidup sampai menetas menjadi larva. Yan dan Ozgunen (1993) juga
mengungkapakan pendapatnya bahwa pembuahan telur oleh sperma pada
persilangan dipengaruhi oleh renggang taksonomi seperti perbedaan spesies induk
yang digunakan. Sperma ikan mas yang digunakan untuk membuahi telur ikan
komet memungkinkan menjadi penyebab gagalnya hibridisasi yang dilakukan,
mengingat sperma ikan mas berperan langsung pada proses pembuahan telur ikan
komet. Sperma ikan mas berukuran lebih besar dibandingkan ukuran sperma ikan
komet.sebagaimana diungkapkan oleh Risnawati (1995) dalam Yusrizal (2004)
bahwa ukuran lebar kepala sperma mas adalah 1,832 ± 0,179μm, dan panjang
ekor 33,733 ± 2,093μm. Hal tersebut menjadi dasar bahwa sperma ikan mas akan
lebih sulit untuk masuk ke dalam lubang mikropyle telur ikan komet.
Hal ini didukung oleh pernyataan Yatim (1992) yang mengungkapkan
pendapatnya bahwa bentuk spermatozoa abnormal terjadi karena berbagai
gangguan dalam spermatogenesis, gangguan itu mungkin karena faktor hormonal,
29
nutrisi, obat, akibat radiasi, atau oleh penyakit. Yan dan Ozgunen (1993) juga
mengungkapkan bahwa perbedaan spesies yang berbeda dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan proses biologis sperma untuk membuahi telur, seperti :
1. Kegagalan sperma asing untuk menembus sel telur, karena sperma yang tidak
bisa melewati mikrofyl dari korion telur pada ikan.
2. Sperma asing bisa masuk ke dalam telur, tapi mengecil dan menghilang di
sitoplasma telur tanpa melakukan fungsi apapun.
3. Sperma asing bisa masuk ke dalam telur dan membesar sebagai pronukleus
jantan, tapi tidak bisa menyatu dengan pronukleus inti telur untuk membentuk
zigot.
4. Sperma asing bisa masuk ke dalam telur dan membesar sebagai pronukleus
jantan, kemudian menyatu dengan pronukleus inti telur sebagai zigot secara
terkoordinasi di dalam telur. Kondisi ini menunjukan proses pembuahan
hibridisasi seksual antara sperma dan telur selesai dan hibrida dibuahi, sehingga
telur mulai berkembang menjadi embrio.
Dari percobaan triploidisasi, ginogenesis, dan hibridisasi yang kelompok
kami lakukan tidak ada satupun yang berhasil sampai menetas, kelompok kami
hanya dapat melakukan percobaan sampai proses fertilisasi telur dengan
persentase triploidisasi dengan nilai HR 75,26 %, ginogenesis dengan nilai HR
59,69 %, dan hibridisasi dengan nilai HR 87,77 %.
30
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Triploidisasi merupakan salah satu bagian dari ploidisasi dengan proses
atau kejadian terbentuknya individu dengan kromosom lebih dari dua set.
Triploidisasi telah dilakukan dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan
ikan. (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et al., 1992; Shepperd dan
Bromage, 1996 dalam Mukti, 2001). Rata-rata nilai persentase derajat pembuahan
telur dan derajat penetasan telur pada pemijahan ikan komet betina dan ikan
komet jantan yang dilakukan kelompok kami yaitu nilai FR sebesar 75,26% dan
nilai HR sebesar 0%.
Nagy et al,. 1978, menyebutkan ginogenesis adalah terbentuknya zigot 2n
(diploid) tanpa peranan genetik gamet jantan. Jadi gamet jantan hanya berfungsi
secara fisik saja, sehingga prosesnya hanya merupakan perkembangan
pathenogenetis betina (telur). Rata-rata nilai persentase derajat pembuahan telur
dan derajat penetasan telur pada pemijahan ikan komet betina dan ikan komet
jantanyang dilakukan kelompok kami yaitu nilai FR sebesar 59,69% dan nilai HR
sebesar 0%.
Hibridisasi pada ikan dapat dilakukan antara ikan ras dalam satu spesies,
antara ras dalam satu genus anataragenus dalam ras satu family atau berbeda
family (Hickling 1971 Dalam Syamsiah2001). Rata-rata nilai persentase derajat
pembuahan telur dan derajat penetasan telur pada pemijahan ikan komet betina
dan ikan komet jantan yang dilakukan kelompok kami yaitu nilai FR sebesar
87,77% dan nilai HR sebesar 0%.
Setelah melakukan praktikum mengenai hibridisasi, triploidisasi dan
ginogenesis ini dapat disimpulkan bahwa ketiga proses rekayasa genetika tersebut
memiliki fungsi yang berbeda dalam menghasilkan individu-individu baru. Fungsi
dari setiap proses tersebut dapat digunakan oleh para pembudidaya untuk
menghasilkan suatu populasi ikan yang sesuai dengan keinginannya.
31
Hibridisasi digunakan ketika populasi yang diinginkan nantinya memiliki sifat-
sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Triploidisasi
digunakan untuk menghasilkan populasi yang pertumbuhannya lebih cepat
sehingga dapat memenuhi kebutuhan ikan yang semakin meningkat. Ginogenesis
digunakan agar dapat menghasilkan suatu populasi ikan yang berjenis kelamin
betina sehingga dapat diperoleh telur-telur yang lebih banyak.
5.2. Saran
Praktikum selanjutnya dilakukan dengan lebih teliti dan serius agar dapat
meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi sehingga memperkecil
kemungkinan terjadinya kegagalan praktikum.
vi
DAFTAR PUSTAKA
Isnaeni. 2006. Fisiologi Hewan. Carnisius. Yogyakarta.
Rohadi, D.S, 1996. Pengaruh Berbagai Waktu Awal Kejutan Panas Terhadap
Persentase Larva Diploid Mitoandrogenetik Ikan Mas (Cyprinus carpio
L). Universitas Padjadjaran, Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan,
Jatinangor, Bandung.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 1. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan.
Mukti, Ahmad Taufiq, Rustidja , Sutiman Bambang Sumitro dan Mohammad
Sasmito Djati. 2001. Poliploidisasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.).
Biosain, Volume.1 No.1
Rinandar, Dian. 2011. Pengaruh Umur Zigot Pada Saat Kejutan Panas Terhadap
Tingkat Keberhasilan Triploidisasi, Serta Kelangsungan Hidup Embrio
dan Larva Ikan Jambal Siam (Pangasius hypophthalmus). Skripsi
program Study budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, institute Tinggi Bogor.
http://media.unpad.ac.id/thesis/230110/2009/230110097027_4_3170.pdf [diakses
pada tanggal 8 Desember 2014 pukul 20.30]
LAMPIRAN
1
Lampiran 1. Fase Pertumbuhan Embrio Ikan
Ginogenesis pada fase awal pertubuhan
Sumber: dokumen pribadi
Ginogenesis pada fase pasca
pertumbuhan
Sumber: dokumen pribadi
Ginogenesis pada fase awal
pembelahan
Sumber: dokumen pribadi
Hibridisasi pada fase awal pertumbuhan
Sumber: dokumen pribadi
Hibridisasi pada fase pasca
pertumbuhan
Sumber: dokumen pribadi
Hibridisasi pada fase awal pembelahan
Sumber: dokumen pribadi
2
Hibridisasi pada fase pasca blastula
Sumber: dokumen pribadi
Triploidisasi pada fase awal
pertumbuhan
Sumber: dokumen pribadi
Triploidisasi pada fase pasca
pertumbuhan
Sumber: dokumen pribadi
Triploidisasi pada fase awal
pembelahan
Sumber: dokumen pribadi
Triploidisasi pada fase pasca blastula
Sumber: dokumen pribadi
3
Lampiran 2. Alat dan Bahan Praktikum
Alat dan bahan praktikum
Sumber: dokumen pribadi
Lampiran 3. Proses Pemijahan Secara Buatan
Pada proses penyuntikan hormon
Sumber: dokumen pribadi
Pada proses stripping sperma
Sumber: dokumen pribadi
Pada proses pemijahan secara buatan
Sumber: dokumen pribadi