Download - Lapkas Bab 3 (Tinjauan Pustaka) Baru
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak.
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik
3.2. Anatomi Kepala
A. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut SCALP yaitu:
1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5. Perikarnium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama
pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii, di regio
temporal tulang tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas tiga fosa yaitu
anterior, media dan posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa
media tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak
bawah dan serebelum.
Gambar 1. Anatomi Tulang Tengkorak
C.Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga
lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya
(araknoid), terdapat ruang subdural.
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri
meningea terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di
ruang epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater
terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan
yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam
ruang sub araknoid.
Gambar 2. Anatomi Lapisan Meninges
D.Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan duramater
yang berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang mengandung
pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan mengandung pusat
ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan
orientasi ruang dan fungsi sensorik. Lobus temporalis mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus occipitalis berukuran lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital
kardiorespiratorik yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak
dan kedua hemisfer serebri.
Gambar 3. Anatomi Otak
E. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.
Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat,
selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang
berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial (hidrosefaluskomunikans)
F. Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan
infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak
berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial.
Nervus oculomotorius(N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat
tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa
supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui
insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus.
Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan
pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral
dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan
intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi,
walaupun tidak selalu.
3.3. Jenis Trauma
Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi
trauma. Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara
garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup
merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala
setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma
kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-
tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai
kepada dura mater. Kemungkinan kecederaan atau trauma adalah seperti berikut;
a) Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4
jenis fraktur yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture,
compound fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa
depresi, distorsi dan ‘splintering’.
Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak.
Selain retak terdapat juga hematoma subdural.
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak
atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium.
Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium.
Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami
trauma kepala berat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii
yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala
raccoon’s eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen
magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah.
Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior.
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada
bagian ini boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari.
b) Luka memar (kontosio)
Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya,
kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar
pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung
otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat
terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) seperti luka besar.
Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang di
sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran.
c) Laserasi (luka robek atau koyak)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau
runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam
dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi
pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada proses penyembuhan dan biasanya
pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.
d) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan
subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang
rusak.
e) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit
pada kranial terlepas setelah kecederaan.
2.4. Perdarahan Intrakranial
2.4.1. Perdarahan Epidural
• Perdarahan epidural adalah antara tulang kranial dan dura mater. Gejala
perdarahan epidural yang klasik atau temporal berupa kesadaran yang semakin
menurun, disertai oleh anisokoria pada mata ke sisi dan mungkin terjadi
hemiparese kontralateral.
• Perdarahan epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala
khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang membaik setelah
beberapa hari.
2.4.2. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan antara dura mater dan araknoid,
yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian iaitu:
a) Perdarahan subdural akut
• Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon
yang lambat, serta gelisah.
• Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.
• Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan
cedera batang otak.
b) Perdarahan subdural subakut
• Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah cedera
dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat.
• Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat
kesadaran.
c) Perdarahan subdural kronis
Terjadi karena luka ringan.
Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural.
Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan
secara pelan-pelan ia meluas.
Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan.
Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik.
2.4.3. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid adalah perdarahan antara rongga otak dan lapisan
otak yaitu yang dikenal sebagai ruang subaraknoid.
2.4.4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel
otak. Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan
intraserebral.
2.4.5. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan
otak. Di mana terjadi penumpukan darah pada sebelah otak yang sejajar dengan
hentaman, ini dikenali sebagai counter coup phenomenon.
2.5. Trauma Murni atau Multipel
Menurut Barell, Heruti, Abargel dan Ziv (1999), sebanyak 1465 korban
mengalami trauma kepala, sedangkan 1795 korban mengalami trauma yang
multipel dalam penelitian di Israel. Kecederaan multipel berkaitan dengan
keparahan dan ia adalah asas dalam mendiagnosa gambaran keseluruhan
kecederaan. Dengan merekam seluruh kecederaan yang dialami oleh korban, ia
dapat membantu dalam mengidentifikasi kecederaan yang sering mengikut
penyebab trauma pada korban.
2.5.1. Trauma Murni
Trauma Murni adalah apabila korban didiagnosa dengan satu kecederaan
pada salah satu regio atau bagian anatomis yang mayor.
2.5.2. Trauma Multipel
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih
kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya
bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik
atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak
dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti
amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome
dan kondisi kelainan jiwa yang lain (Veterans Health Administration Transmittal
Sheet).
1. Trauma servikal, batang otak dan tulang belakang
Trauma yang diakibatkan kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat yang
tinggi serta pada aktivitas olahraga yang berbahaya boleh menyebabkan cedera
pada beberapa bagian ini. Antara kemungkinan kecederaan yang bisa timbul
adalah seperti berikut:
• Kerusakan pada tulang servikal C1-C7; cedera pada C3 bisa menyebabkan
pasien apnu. Cedera dari C4-C6 bisa menyebabkan pasien kuadriplegi, paralisis
hipotonus tungkai atas dan bawah serta syok batang otak.
• Fraktur Hangman terjadi apabila terdapat fraktur hiperekstensi yang bilateral
pada tapak tulang servikal C2.
• Tulang belakang torak dan lumbar bisa diakibatkan oleh cedera kompresi dan
cedera dislokasi.
• Spondilosis servikal juga dapat terjadi.
• Cedera ekstensi yaitu cedera ‘Whiplash’ terjadi apabila berlaku ekstensi pada
tulang servikal.
2. Trauma toraks
Trauma toraks bisa terbagi kepada dua yaitu cedera dinding toraks dan
cedera paru.
a) Cedera dinding torak seperti berikut:
• Patah tulang rusuk.
• Cedera pada sternum atau ‘steering wheel’.
• Flail chest.
• Open ‘sucking’ pneumothorax.
b) Cedera pada paru adalah seperti berikut:
• Pneumotoraks.
• hematorak.
• Subcutaneous(SQ) dan mediastinal emphysema.
• Kontusio pulmonal.
• Hematom pulmonal.
• Emboli paru.
3. Trauma abdominal
Trauma abdominal terjadi apabila berlaku cedera pada bagian organ dalam
dan bagian luar abdominal yaitu seperti berikut:
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kanan abdomen adalah seperti
cedera pada organ hati, pundi empedu, traktus biliar, duodenum dan ginjal kanan.
• Kecederaan yang bisa berlaku pada kuadran kiri abdomen adalah seperti cedera
pada organ limpa, lambung dan ginjal kiri.
• Kecederaan pada kuadran bawah abdomen adalah cedera pada salur ureter, salur
uretral anterior dan posterior, kolon dan rektum.
• Kecederaan juga bisa terjadi pada organ genital yang terbagi dua yaitu cedera
penis dan skrotum.
4. Tungkai atas
Trauma tungkai atas adalah apabila berlaku benturan hingga menyebabkan
cedera dan putus ekstrimitas. Cedera bisa terjadi dari tulang bahu, lengan atas,
siku, lengan bawah, pergelangan tangan, jari-jari tangan serta ibu jari.
5. Tungkai bawah
Kecederaan yang paling sering adalah fraktur tulang pelvik. Cedera pada
bagian lain ekstrimitas bawah seperti patah tulang femur, lutut atau patella, ke
arah distal lagi yaitu fraktur tibia, fraktur fibula, tumit dan telapak kaki.
2.6. Tingkat Keparahan Trauma Kepala dengan Skor Koma Glasgow (SKG)
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat
kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;
1. Proses membuka mata (Eye Opening)
2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu
tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Gambar 4. Skala Koma Glasglow
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;
1. Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow 14 – 15
2. Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow 9 – 13
3. Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow 3 – 8
a) Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan,
tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes,
1999). Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi
neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi. Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau terkena
benda tumpul. Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai
dengan hilangnya kesadaran sementara. Pada penelitian ini didapat kadar laktat
rata-rata pada penderita cedera kepala ringan 1,59 mmol/L.
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam
CT-scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit (Torner, Choi, Barnes, 1999).
Pasien mungkin bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana (SKG 9-13). Pada suatu penelitian penderita cedera kepala
sedang mencatat bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah
Sakit. Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya cedera
otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses patofisiologi
sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan. Penelitian pada
penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental menunjukkan bahwa pada
cedera kepala berat dapat disertai dengan peningkatan titer asam laktat dalam
jaringan otak dan cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis
otak (DeSalles et al., 1986). Penderita cedera kepala berat, penelitian
menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L.
2.7. Gejala Klinis Trauma Kepala
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
2.7.1. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
2.7.2. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
2.7.3. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
2.8. Penyebab Trauma Kepala
2.8.1. Mekanisme Terjadinya Kecederaan
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti
translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-
tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.
Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial.
2.8.2. Penyebab Trauma Kepala
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma
kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak
20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan
sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama
trauma kepala.
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1
per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab
utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a) Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor
bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan
kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b) Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur
ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c) Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang
lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
2.9. Indikasi CT –Scan pada Trauma Kepala
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam
sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas.
Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan
tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai
penampang-penampang melintang dari objeknya.
Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas.
Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas
baik bentuk maupun ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus trauma
kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang
dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak.
7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma
kepala jika dilakukan CT-Scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Indikasi untuk
melakukan CT-Scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut yang diikuti
dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan SKG (Skor Koma
Glasgow) <14.
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya
cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh
suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf,
radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus
ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari
tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi,
sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan
prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran
pada saat diperiksa:
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa
diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral
lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan
radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk
mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan
kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa
sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
B. Pasien dengan kesadaran menurun
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran
disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT
Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada
riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau
timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral
disamping tanda-tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalamkategori ini bisa
mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya
sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera
organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera
yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai
kelainan sistemik. Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai
berikut:
a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien
dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk
menghindarkan aspirasi muntahan
Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,
edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan
fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma,
hydroxyethyl starch atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan
ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis
adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari
dan menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada
danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada
fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom
intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-
15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan
sebagai berikut:
1. Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi
dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2
(pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti
berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2
sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba
dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak
menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT
scan ulang untuk menyingkirkan hematom
2. Drainase Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil.
Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan
untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt,
misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK
dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak
yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi
diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm
Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK
melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal
dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya
bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40
mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-
ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut
diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam
dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada
kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.
Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu
sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
6. Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi
posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan
kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau
leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit
sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit Pada saat awal pemasukan cairan
dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan
jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya
dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat
dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan
diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi
keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan
cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia
kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari
dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan
tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit,
pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat
diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic
hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit,
gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses
ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah
3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral
melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari
g. Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah
trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama
disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-
anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi,
hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit.
Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan
tetesan
h. Komplikasi sistematik
Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi
infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur
basis kranii
Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa.
Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan
menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan
suhu dengan kompres
Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi
dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah.
Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau
bersamaan dengan H2 reseptor bloker.
Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia,
trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC.
Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu
cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.
Referensi
Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw
Hill, 1997: 874-901
Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199
Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia
in head injury. Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery,
1995:1-7
Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma.
Philadelphia : WB Sounders, 1996: 53-90
Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981
Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed).
Sydney : Butterworth, 1990: 422-426
Kelly DF. General principles of head injury management. New York:
McGraw Hill, 1996
Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and
management. Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213
Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase
following sever head trauma: hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J.
neurosurgey, 1997(87): 9-19
Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury.
London: Chapman & Hall Medical, 1997
Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head
patients. Neurosurgery 1996 (15):307-314
Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage
in brain trauma. London : Chapman & Hall Medical, 1995:21-29
Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth,
1990: 427-431