Download - KWN
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan sebuah makalah
sederhana ini dengan tepat waktu. Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah
tentang ekonomi koperasi, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita untuk mempelajari sejarah mengenai ekonomi koperasi di Indonesia. Melalui kata
pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung
perasaan pembaca. Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa
terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.
DAFTAR ISI
HALAMAN…………………………………………………………………………… i
KATAPENGANTAR………………………………………………………………….. ii
DAFTARISI…………………………………………………………………………… iii
KESIMPULAN…………………………………………………………………………. iv
REFERENSI…………………………………………………………………………….. v
BAB I LATAR BELAKANG PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN
IDEOLOGI
NASIONAL
1.1 Pancasila dalam Pendekatan Filsafat ……………………………………. 2
1.2 Makna Pancasila sebagai Dasar Negara…………………………………. 9
1.3 Makna Pancasila sebagai Ideologi Nasional…………………………… 13
1.4 Implementasi Pancasila sebagai Ideologi Nasional…………………..... 16
1.5 Pengamalan Pancasila………………………………………………………..18
BAB I
PENDAHULUAN
Bagi masyarakat Indonesia, pancasila bukanlah sesuatu yang asing. Pancasila terdiri
atas 5 (lima) sila, tertuang dala pembukaan UUD 1945 alinea IV dan diperuntukan sebagai
dasar Negara republik Indonesia. Meskipun di dalam pembukaan UUD 1945 tersebut tidak
secara eksplisit disebutkan kata Pancasila, namun sudah dikenal luas banyak bahwa 5 (lima)
sila yang dimaksud adalah Pancasila untuk dimaksudkan sebagai dasar Negara.
Dewasa ini, terutama di era reformasi, membicarakan Pancasila dianggap sebagai
keinginan untuk kembali ke kejayaan masa orde baru. Bahkan, sebagian orang memandang
sinis terhadap Pancasila sebagai sesuatu yang salah. Kecenderungan demikian wajar oleh
karena orde baru menjadikan Pancasila sebagai legitimasi ideologis dalam rangka
mempertahankan dan memperluas kekuasaannya secara massif.
Kesepakatan bangsa telah menetapkan bahwa Pancasila yang terdiri atas lima sila itu
merupakan dasar Negara kesatuan republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17
Agustus 1945. Kesepakatan itu dinyatakan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI sebagai
lembaga pembentuk Negara saat itu. Dengan demikian uraian paa bab ini meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1. Pancasila dalam pendekatan filsafat
2. Makna Pancasila sebagai dasar Negara
3. Implementasi Pancasila sebagai dasar Negara
4. Makna Pancasila sebagai ideology nasional
5. Implementasi Pancasila sebagai ideology nasional
6. Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 PANCASILA DALAM PENDEKATAN FILSAFAT
Untuk mengetahui secara mendalam tentang Pancasila, perlu pendekatan filosofis.
Pancasila dalam pendekatan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mendalam mengenai
Pancasila. Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan
rasional tentang Pancasila dalam bangunan bangsa dan Negara Indonesia (Syarbaini;
2003)
1. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila
Rumusan Pancasila sebagaimana terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV
adalah sebagai berikut :
1) Ketuhanan yang maha esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Nilai-nilai yang merupakan perasaan dari sila-sila Pancasila tersebut adalah :
1) Nilai Ketuhanan
2) Nilai kemanusiaan
3) Nilai persatuan
4) Nilai kerakyatan
5) Nilai keadilan
Nilai adalah suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap suatu hal yang dapat
menjadi dasar Negara penentu tingkah laku manusia, karena suatu itu :
1) Berguna (useful)
2) Keyakinan (belief)
3) Memuaskan (satisfying)
4) Menarik (interesting)
5) Menguntungkan (profitable)
6) Menyenangkan (pleasant)
Ciri-ciri dari nilai adalah sebagai berikut :
1) Suatu realitas abstrak
2) Bersifat normatif
3) Sebagai motivator (daya dorong) manusia dalam bertindak
Nilai bersifat abstrak, seperti sebuah ide, dalam arti tidak dapat ditangkap melalui indra, yang
dapat ditangkap adalah objek yang memiliki nilai. Contohnya lagi keadilan, kecantikan,
kedermawanan, kesederhanaan adalah hal-hal yang abstrak. Meskipun abstrak, nilai
merupakan suatu realitas, sesuatu yang ada dan dibutuhkan manusia.Nilai juga mengandung
harapan akan sesuatu yang diinginkan. Misalnya nilai keadilan, kesederhanaan.
Menurut Prof. Notonegoro, nilai ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :
1. Nilai materiil, sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia
2. Nilai vital, sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat melaksanakan kegiatan
3. Nilai kerohanian yang dibedakan menjadi 4 (empat) macam:
Nilai kebenaran bersumber pada akal piker manusia (rasio, budi, cipta)
Nilai estetika (keindahan) bersumber pada rasa manusia
Nilai kebaikan atau nilai moral bersumber pada kehendak keras, karsa hati,
nurani manusia
Nilai religious (ketuhanan) bersifat mutlak bersumber pada keyakinan
manusia.
Dalam ilmu filsafat, nilai dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :
1. Nilai logika yaitu nilai tentang benar-salah
2. Nilai etika yaitu nilai tentang baik-buru, dan
3. Nilai estetika yaitu nilai tentang indah-jelek
Menurut tinggi rendahnya, nilai dapat dikelompokan dalam tingkatan sebagai berikut :
1. Nilai-nilai kenikmatan
Dalam tingkat ini terdapat deretan nilai yang mengenakkan ataupun tidak
mengenakan, yang menyebabkan orang senang atau tidak senang.
2. Nilai kehidupan
Dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang penting dalam kehidupan, seperti
kesejahteraan, keadilan, kesegaran.
3. Nilai-nilai kejiwaan
Dalam tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan yang sama sekali tidak bergantung pada
keadaan jasmani atau lingkungan. Contohnya, keindahan, kebenaran, kebaikan dan
pengetahuan murni.
4. Nilai-nilai kerohanian
Dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai yang suci dan tidak suci. Nilai semacam
ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
Dalam filsafat Pancasila juga disebutkan bahwa 3 (tiga) tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai
instrumental dan nilai praktis.
1. Nilai dasar
Nilai yang mendasari nilai instrumental. Nilai dasar yaitu asas-asas yang kita terima
sebagai dalil yang bersifat sedikit banyak mutlak.
2. Nilai instrumental
Nilai sebagai pelaksanaan umum dari nilai dasar. Umumnya berbentuk norma sosial
dan norma hukum yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan
mekanisme lembaga-lembaga Negara.
3. Nilai praktis
Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.
Nilai-nilai Pancasila tersebut termasuk nilai etik atau nilai moral. Nilai-nilai dalam
pancasila termasuk dalam tingkatan nilai dasar. Nilai kemanusian yang adil dan beradab
mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam
hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal
sebagaimana mestinya.
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha kea rah bersatu dalam kebulatan
rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara kesatuan republik Indonesia. Adanya
perbedaan bukan sebagai sebab perselisihan tetatpi justru dapat menciptakan kebersamaan.
Kesadaran ini tercipta dengan bik bila sesanti “Bhineka Tunggal Ika” sungguh-sunggh
dihayati.
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /
perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat
dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Hal ini diupayakan
dengan menjabarkan nilai-nilai Pancasila tersebut kedalam UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan ini
selanjutnya menjadi pedoman penyelenggaraan bernegara.
1. Mewujudkan Nilai Pancasila sebagai Norma Bernegara
Ada hubungan antara nilai dengan norma. Norma atau kaidah adalah aturan
pedoman bagi manusia dalam berperilaku sebagai perwujudan dari nilai. Tanpa dibuatkan
norma, nilai tidak bias praktis artinya tidak mampu berfungsi konkret dalam kehidupan
sehari-hari. Akhirnya yang tampak dalam kehidupan dan melingkupi kehidupan kita
adalah norma. Norma yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari ada 4 (empat) yaitu
sebagai berikut.
2. Norma agama
Norma ini disebut juga dengan norma religi atau kepercayaan. Norma kepercayaan
atau keagamaan ditujukan kepada kehidupan beriman. Tuhanlah yang mengancam
pelanggaran-pelanggaran norma kepercayaan atau agama itu dengan sanksi.
3. Norma moral (etik)
Norma ini disebut dengan norma kesusilaan atau etika atau budi pekerti. Norma
moral atau etika adalah norma yang paling dasar. Asal atau sumber norma kesusilaan
adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom dan tidak ditunjukan kepada sifat lahir,
tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia. Sanksi atas pelanggaran norma moral berasal
dari diri sendiri.
4. Norma kesopanan
Norma kesopanan disebut juga norma adat, sopan santun, tata karma atau norma
fatsoen. Norma sopan santun didasarkan atas kebiasaan, kepatuhan atau kepantasan yang
berlaku dalam masyarakat. Sanksi atas pelanggaran norma kesopanan berasal dari
masyarakat setempat
5. Norma hukum
Norma hukum berasal dari luar diri manusia. Norma hukum berasal dari kekuasaan
luar diri manusia yang memaksakan kepada kita. Dalam hal ini pengadilanlah sebagai
lembaga yang mewakili masyarakat resmi untuk menjatuhkan hukuman.
Pengalaman sejarah pernah menjadikan Pancasila sebagai semacam norma etik bagi
perilaku segenap warga bangsa. Ketetapam MPRNo.II/MPR/1978 tentang P4 dapat dianggap
sebagai etika sosial dan etika politik bagi bangsa Indonesia yang didasarkan atas nilai-nilai
Pancasila (Achmad Fauzi, 2003). Para pejabat Negara malahan banyak menyimpang dari apa
yang ia pidatokan kepada warga Negara. Di era sekarang ini, tampaknya kebutuhan akan
norma etik untuk kehidupan bernegara masih perlu bahkan amat penting untuk ditetapkan.
Hal ini terwujud dengan keluarnya ketetapan MPR No.VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
1. Etika sosial dan budaya
Etika ini bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan
kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencintai dan
tolong menolong di antara sesama manusia dan anak bangsa. Senapas dengan itu juga
menghidupsuburkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang
bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
2. Etika pemerintahan dan politik
Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan
efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan,
rasa tanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam
persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang
per orang ataupun kelompok orang, serta menjujung tinggi hak asasi manusia.
3. Etika ekonomi dan bisnis
Etika ini dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi, baik oleh pribadi, institusi
maupun pengambil keputusan dalam bidang ekonomi, dapat melahirkan kondisi dan realitas
ekonomi yang bercirikan: persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya
etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing dan terciptanya suasana
kondusif untuk pemberdayaan ekonomi rakyat melalui usaha-usaha bersama secara
berkesinambungan.
4. Etika penegakan hukum yang berkeadilan
Etika ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib social,
ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan hukum
dan seluruh peraturan yang ada.
5. Etika keilmuan dan disiplin kehidupan
Etika keilmuan diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan
dan teknologi agar mampu berfikir rasional, kritis, logis dan objektif. Etika disiplin
kehidupan menegaskan pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan
memanfaatkan waktu, disiplin dalam berfikir dan berbuat, serta menepati janji dan komitmen
diri untuk mencapai hasil terbaik.
Dengan berpedoman pada etika kehidupan berbangsa tersebut, penyelenggara Negara
dan warga Negara dapat bersikap dan berpeilaku secara baik bersumber pada nilai-nilai
Pancasila dalam kehidupannya. Etika kehidupan berbangsa ini dapat kita pandang sebagai
norma etik bernegara sebagai perwujudan dari nilai-nilai dasar Pancasila . untuk operasional
lebih lanjut, pokok-pokok etika kehidupan berbangsa ini dijabarkan lagi dalam berbagai etika
profesi atau kode etik profesi.
Norma etik atau moral memiliki kelemahan, yaitu tidak memiliki sanksi yang kuat
dan memuaskan terutama untuk mengatur perilaku hidup bernegara. Hukum pada dasarnya
adalah norma, yaitu norma hukum. Secara teoritis kehidupan bermasyarakat membutuhkan
norma hukum sebab sanksi dari ketiga norma yaitu agama, etik dan kesopanan belum cukup
memuaskan, dan efektif melindungi keteraturan masyarakat serta masih adanya
kepentinga/perilaku lain yang dibutuhkan masyarakat yang perlu dibuat karena tidak ada
dalam ketiga norma di atas. Misalnya, perilaku di jalan raya.
Norma hukum dapat berasal dari norma agama, norma kesopanan dan norma moral.
Dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai dasar Negara, nilai Pancasila dapat diwujudkan ke
dalam norma hukum Negara. Tata hukum Indonesia yang berpuncak pada hukum dasar
Negara yaitu UUD 1945 bersumber pada nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar
bernegara.
1. Landasan Yuridis dan Historis Pancasila sebagai Dasar Negara
Kedudukan pokok Pancasila bagi Negara kesatuan republik Indonesia adalah sebagai
dasar Negara. Kedudukan pancasila sebagai dasar Negara ini merupakan kedudukan yuridis
formal oleh karena tertuang dalam ketentuan hukum Negara, dalam hal ini UUD 1945 pada
bagian pembukaan alinea IV. Penegasan akan berkedudukan Pancasila sebagai dasar Negara
semakin kuat dengan keluarnya ketetapan MPRNo.XVIII/MPR/1998 tentang penegasan
Pancasila sebagai dasar Negara dan pencabutan ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang P4
pasal 1 ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam
pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah dasar Negara dari Negara kesatuan republik
Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Pancasila sebagai dasar Negara yang dimaksud adalah sebagai dasar filsafat atau dasar
falsafah Negara (philosophische grondslag) dari Negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar
filsafat oleh karena Pancasila merupakan rumusan filsafati atau dapat dikatakan nilai-nilai
Pancasila adalah nilai-nilai filsafat. Oleh karena itu, harus dibedakan dengan dasar hukum
Negara yang dalam hal ini adalah UUD 1945. Pancasila adalah dasar (filsafat) Negara,
sedang UUD 1945 adalah dasar (hukum) Negara Indonesia.
2. Makna Pancasila sebagai dasar Negara
Pancasila sebagai dasar (filsafat) Negara mengandung makna bahwa nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi penyelenggaraan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila pada dasarnya adalah nilai-nilai filsafat yang sifatnya mendasar.
Pancasila sebagai dasar Negara berarti nilai-nilai pancasila menjadi pedoman normative bagi
penyelanggaraan bernegara. Konsekuensi dari rumusan demikian berarti seluruh pelaksanaan
dan penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia termasuk peraturan perundang-
undangan merupakan pencerminan kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai
keadilan. Pereduksian dan pemaknaan atas Pancasila dalam pengertian yang sempit dan
politis ini berakibat pada :
1. Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos
2. Pancasila dipahami sebagai sebuah mitos
3. Nilai-nilai Pancasila menjadi nilai yang disotopia tidak sekadar otopia
Dewasa ini khususnya di era reformasi, ada keinginan berbagai pihak dan kalangan untuk
melakukan penafsiran kembali atas Pancasila dalam kedudukannya bagi bangsa dan Negara
Indonesia.
Dr. Koentowijoyo dalam tulisannya mengenai radikalisasi Pancasila (1998)
menyatakan perlunya kita memberi ruh baru pada Pancasila, sehingga ia mampu menjadi
kekuatan yang menggerakan sejarah. Selama ini Pancasila hanya jadi lip service, tidak ada
pemerintah yang sungguh-sungguh melaksanakannya.
Pancasila sebagai dasar Negara mengandung makna bahwa Pancasila harus kita
letakkan dalam keutuhannya dengan pembukaan UUD 1945, dieksplorasi pada dimensi-
dimensi yang melekat padanya, yaitu :
1. Dimensi realitasnya, dalam arti nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan
sebagai cerminan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat;
2. Dimensi idealitasnya, dalam arti idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah
sekadar otopi tanpa makna, melainkan diobjektifkan sebagai sebuah “kata kerja”
untuk menggairahkan masyarakat dan terutama para penyelenggara Negara menuju
esok yang lebih baik.
3. Dimensi fleksibilitasnya, dalam arti Pancasila bukan barang yang beku, dogmatis dan
sudah selesai. Pancasila terbuka bagi penafsiran baru untuk memenuhi kebutuhan
zaman yang terus berubah. Pancasila tanpa kehilangan nilai dasarnya yang hakiki
tetap actual, relevan dan fungsional sebagai tiang penyangga kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Pancasila adalah dasar Negara dari Negara kesatuan republik Indonesia. Menurut teori
jenjang norma (stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen seorang ahli filsafat
hukum, dasar Negara berkedudukan sebagai norma dasar (grundnorm) dari suatu Negara atau
disebut norma fundamental Negara (staatsfundamentalnorm). Grundnorm merupakan norma
hukum tertinggi dalam Negara. Hans Kelsen menyebutkan bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan tertentu. Suatu norma yang
lebih rendah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berdasar, bersumber dan berlaku pada norma lebih tinggi lagi.
Teori Hans Kelsen ini dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.
Hans Nawiasky menghubungkan teori jenjang norma hukum dalam kaitannya dengan
Negara. Hans Nawiasky berpendapat bahwa kelompok norma hukum Negara terdiri atas 4
(empat) kelompok besar, yaitu :
1. Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental Negara
2. Staatgrundgesetz atau aturan dasar/pokok Negara
3. Formellgesetz atau undang-undang
4. Verordnung dan autonome satzung atau aturan pelaksana dan aturan otonom
Jenjang kelompok norma itu digambarkan sebagi berikut :
Di Indonesia, norma tertinggi ini adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945. Jadi, Pancasila sebagai dasar Negara dapat disebut sebagai :
1. Norma dasar
2. Staatsfundamentalnorm
3. Norma pertama
4. Pokok kaidah Negara yang fundamental
5. Cita hukum (rechtsidee)
Dalam berbagai buku mengenai Pancasila dikemukakan bahwa pembukaan UUD 1945
merupakan pokok kaidah Negara yang fundamental. Hal ini disebabkan pembukaan UUD
1945 memuat didalamnya Pancasila sebagai intinya. Untuk membedakannya, Prof.
Notonagoro menyatakan bahwa pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah Negara
yang fundamental, sedangkan Pancasila sebagai unsure pokok kaidah Negara yang
fundamental.
Tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut diatur dalam ketetapan
MPR No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan. Adapun
tata urutan perundangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (perpu)
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Dalam ketetapan MPR tersebut dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah
Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan batang
tubuh undang-undang dasar 1945.
Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan juga
menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
2. Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
3. Peraturan pemerintan
4. Peraturan presiden
5. Peraturan daerah
2.2 MAKNA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Pancasila selain sebagai dasar Negara Indonesia juga berkedudukan sebagai ideology
nasional Indonesia.
1. Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-
cita, dan logos berarti ilmu. Secara harfiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar ide.
Hubungan manusia dengan cita-citanya disebut dengan ideologi. Ideologi berisi seperangkat
nilai, dimana nilai-nilai itu menjadi cita-citanya atau manusia bekerja dan bertindak untuk
mencapai nilai-nilai tersebut. Berikut diberikan beberapa pengertian ideologi.
Patrick Corbett menyatakan ideologi sebagai setiap struktur kejiwaan yang tersusun
oleh seperangkat keyakinan mengenai penyelenggaraan hidup bermasyarakat beserta
pengorganisasiannya, seperangkat keyakinan mengenai sifat hakiki manusia dan alam
semesta yang ia hidup didalamnya, suatu pernyataan pendirian bahwa kedua perangkat
keyakinan tersebut independen, dan suatu dambaan agar keyakinan-keyakinan tersebut
dihayati dan pernyataan pendirian itu diakui sebagai kebenaran oleh segenap orang yang
menjadi anggota penuh dari kelompok sosial yang bersangkutan. A.S. Hornby menyatakan
bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan
politik atau yang dipegangi oleh seseorang atau sekelompok orang. Soejono Soemargono
menyatakan secara umum “ideology” sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan,
kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut bidang :
1) Politik
2) Sosial
3) Kebudayaan, dan
4) Agama
Gunawan Setiardja merumuskan ideology sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan
seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideology sebagai suatu system pemikiran dapat
dibedakan menjadi ideologi tertutup dan terbuka.
1) Ideologi tertutup, mempunyai ciri sebagai berikut :
Merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat.
Atas nama ideology dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada
masyarakat. Isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari
tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak.
2) Ideologi tertuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ideologi terbuka mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
- Bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar melainkan digali dan
diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri.
- Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang melainkan hasil musyawarah dari
consensus masyarakat tersebut.
- Nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional.
Ada dua fungsi utama ideology dalam masyarakat (Ramlan Surbakti, 1999). Pertama,
sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat.
Kedua, sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik
yang terjadi dimasyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai terwujudnya
nilai-nilai dalam Ideologi itu. Adapun dalam kaitannya yang keduaa, nilai dalam Ideologi itu
merupakan nilai yang disepakati bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu,
serta nilai bersama tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin
timbul dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
1. Landasan dan Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
Ketetapan bangsa Indonesia bahwa Pancasila adalah ideologi bagi Negara dan bangsa
Indonesia adalah sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang
pencabutan ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan
pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang penegasan Pancasila
sebagai dasar Negara.
Catatan risalah/penjelasan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari ketetapan tersebut
menyatakan bahwa dasar Negara yang dimaksud dalam ketetapan didalamnya mengandung
makna ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan Negara.
Adapun makna pancasila sebagai ideologi nasional menurut ketetapan tersebut adalah
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi pancasila menjadi cita-cita normatif
penyelenggaraan bernegara. Pancasila sebagai ideologi nasional yang berfungsi sebagai cita-
cita adalah sejalan dengan fungsi utama dari sebuah ideologi sebagaimana dinyatakan di atas.
Pancasila merupakan tawaran yang dapat menjembatanii perbedaan dikalangan anggota
BPUPKI saat itu.
Menurut Adnan Buyung Nasution (1995) telah terjadi perubahan fungsi asli
Pancasila. Pancasila yang meskipun sebutannya muluk-muluk sebagai Philosophische
grondslag, atau weltanschauung sebenarnya dimaksudkan sebagai platform demokratis bagi
semua golongan di Indonesia. Ideologi pancasila menjadi ideologi yang khas yang berbeda
dengan ideologi lain. Pernyataan Soekarno ini menjadi ruh berkembang dan berbeda dengan
pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Notonagoro pada tahun 1951, 1955, dan 1959. Dari
sudut politik, Pancasila adalah sebuah consensus politik, suatu persetujuan politik bersama
antargolongan di Indonesia. Dengan diterimanya Pancasila, berbagai golongan dan aliran
pemikiran bersedia bersatu dalam Negara kebangsaan Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas, Pancasila sebagai ideologi nasional Indonesia memiliki makna
sebagai berikut :
1) Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi cita-cita normative penyelenggaraan
bernegara;
2) Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama dan
oleh karena itu menjadi salah satu sarana pemersatu (integrasi) masyarakat Indonesia.
2.3 IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
Pancasila sebagai ideologi nasional yang berarti sebagai cita-cita bernegara dan sarana
yang mempersatukan masyarakat perlu perwujudan yang konkret, dan operasional aplikatif
sehingga tidak menjadi slogan belaka. Dalam ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998
dinyatakan bahwa Pancasila perlu diamalkan dalam bentuk pelaksanaan yang konsisten
dalam kehidupan bernegara.
1. Perwujudan ideologi Pancasila sebagai cita-cita bernegara.
Perwujudan Pancasila sebagai ideology nasional yang berarti menjadi cita-cita
penyelenggaraan bernegara terwujud melalui ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang visi
Indonesia Masa Depan terdiri dari tiga visi, yaitu :
a. Visi ideal, yaitu cita-cita luhur sebagaimana termaktub dalam pembukaan undang-
undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 yaitu pada alinea kedua dan
keempat;
b. Visi antara, yaitu visi Indonesia 2020 yang berlaku sampai dengan tahun 2020;
c. Visi lima tahunan, sebagaimana termaktub dalam garis-garis besar haluan Negara.
Pada visi antara dikemukakan bahwa visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang religious, manusiawi, bersatu, demokratis, adil dipergunakan indikator-
indikator utama sebagai berikut :
1. Religius
2. Manusiawi
3. Bersatu
4. Demokratis
5. Adil
6. Sejahtera
7. Maju
8. Mandiri
9. Baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara
2. Perwujudan Pancasila sebagai kesepakatan atau nilai integratif bangsa
Pancasila sebagai nilai integratif, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian
konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara. Pancasila sebagai sarana
pemersatu dalam masyarakat dan prosedur penyelesaian konflik itulah yang terkandung
dalam nilai integrative Pancasila. Kedudukan nilai sosial bersama di masyarakat untuk
menjadi sumber normative bagi penyelesaian konflik bagi para anggotanya adalah hal
penting. Masyarakat membutuhkan nilai bersama untuk dijadikan acuan manakala konflik
antar anggota terjadi.
Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata kesepakatan ini
mengandung makna pula sebagai konsensus bahwa dalam hal konflik maka lembaga politik
yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai penengah. Nilai-nilai Pancasila
hendaknya mewarnai setiap prosedur penyelesaian konflik yang ada di masyarakat. Secara
normatif dapat dinyatakan sebagai berikut; bahwa penyelesaian suatu konflik hendaknya
dilandasi oleh nilai-nilai religious, menghargai derajat kemanusiaan, mengedepankan
pesatuan, mendasarkan pada prosedur demokratis dana berujung pada terciptanya keadilan.
2.4 PENGAMALAN PANCASILA
Tiba saatnya akhir uraian mengenai pancasila ini pada kata “pengamalan Pancasila”.
Sering sekali kita dengar terutama sejak masa orde baru perlunya Pancasila diamalkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun, selalu saja terkesan slogan
belaka dan tidak membumi. Pada ketetapan MPRNo.XVIII/MPR/1998 dinyatakan bahwa
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 adalah dasar
Negara dari Negara kesatuan republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara. Dalam GBHN terakhir 1999-2004 disebutkan pula bahwa misi
pertama penyelenggaraan bernegara adalah pengamalan pancasila secara konsisten dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana sesungguhnya melakanakan
atau mengamalkan pancasila secara konsisten dalam kehidupan bernegara itu.
1. Pengamalan secara objektif
Pengamalan secara okjektif adalah dengan melaksanakan dan menaati peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum Negara yang berlandaskan pada pancasila.
2. Pengamalan secara subjektif
Pengamalan secara subjektif adalah dengan menjalankan nilai-nilai Pancasila yang
berwujud norma etik secara pribadi atau kelompok dalam bersikap dan bertingkah laku
pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping mengamalkan secara objektif, secara
subjektif warga Negara dan penyelenggara Negara wajib mengamalkan pancasila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka pengamalan secara
subjektif ini, pancasila menjadi sumber etika dalam bersikap dan bertingkah laku setiap
warga Negara dan penyelenggara Negara. Etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang
bersumber pada nilai-nilai Pancasila sebagaimana tertuang dalam ketetapan MPR No.
VI/MPR/2001 adalah norma-norma etik yang dapat kita amalkan. Melanggar norma etik
tidak mendapatkan sanksi hukum tetapi sanksi yang berasal dari diri sendiri. Adanya
pengamalan secara subjektif ini adalah konsekuensi dari mewujudkan nilai dasar pancasila
sebagai norma etik berbangsa dan bernegara
BAB III
KESIMPULAN
Melalui perjalanan panjang negara Indonesia sejak merdeka hingga saat ini, Pancasila
ikut berproses pada kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila tetap sebagai dasar negara namun
interprestasi dan perluasan maknanya ternyata digunakan untuk kepentingan kekuasaan yang
silih berganti.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dinyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara
berkedudukan sebagai norma dasar bernegara yang menjadi sumber, dasar, landasan norma,
serta memberi fungsi konstitutif dan regulatif bagi penyusun hukum-hukum negara.
Pengamalan secara objektif membutuhkan dukungan kekuasaan negara untuk
menerapkannya. Seorang warga negara atau penyelenggara negara yang berperilaku
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku akan mendapatkan sanksi.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Fauzi. 2003. Pancasila, Tinjauan Konteks Sejarah, Filsafat Ideologi Nasional dan
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Malang: PT. Danar Jaya Brawijaya University Press.
Endang Zaelani Zukaya, dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: Paradigma
Hamdan Mansoer. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, sebagai dasar
nilai dan pedoman berkarya bagi lulusan. Jakarta: Dirjen Dikti.
Kaelan. 2000. Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta:
Paradigma