JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
1 | P a g e
KUALITAS PLAYANAN PEMBUATAN KARTU TANDA PENDUDUK DI DINAS
KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL MELALUI KANTOR KECAMATAN
TALIABU SELATAN KABUPATEN PULAU TALIABU
Oleh
Iksan Lamadira
Magister Ilmu Administrasi
Pascasarjana UNISMA
Abstrak
Peningkatan kualitas pelayanan publik adalah salah satu isu yang sangat krusial
dimana hal ini terjadi karena disatu sisi tuntutan masyarakat terhadap kualitas
pelayanan dari tahun ketahun semakin besar, sementara itu praktek penyelenggara
pelayanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Dewasa ini masyarakat
semakin moderen sehingga kebutuhannya semakin kompleks. Pemerintah
Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakat telah
malakukan berbagai usaha, seperti halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam
rangka meningkatkan pelayanan dan percepatan pembangunan, Pemerintah daerah
membentuk kecamatan-kecamatan baru. Hasil analisis membuktikan kualitas
pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk di dinas kependudukan dan catatan
sipil melalui kantor kecamatan taliabu selatan kabupaten pulau taliabu belum
memuaskan, masih terdapat beberapa masalah dalam proses pelayanan,
diantaranya ialah kurangnya sarana dan prasarana kantor, rendahnya kualitas
sumber daya pegawai, kurangnya kesadaran pegawai dalam melaksanakan
tanggung jawabnya sebagai abdi masyarakat, rendahnya disiplin pegawai, dan
belum efisiennya waktu pembuatan KTP, serta belum adanya standar biaya
pembuatan KTP oleh masyarakat.
Kata kunci: Kualitas, Pelayanan, Publik, Bukti Nyata, Kehandalan, Daya
Tanggap, Jaminan, dan Empati.
PENDAHULUAN
Pemerintah merupakan suatu entitas
yang memiliki fungsi dan tujuan
memberikan layanan publik kepada
kelompok masyarakat dengan menjalankan
peran sebagai organisasi publik non profit.
Pada dasarnya pelayanan publik
merupakan tanggung jawab pemerintah
daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Banyak
fenomena yang menggambarkan betapa
buruknya kualitas pelayanan publik yang
selama ini dinikmati oleh masyarakat.
Sudah sejak lama masyarakat mengeluh
terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik yang dirasakannya sangat jauh dari
harapannya.
Pelayanan yang diharapakan dan
menjadi tuntutan pelayanan publik oleh
organisasi publik yaitu pemerintah lebih
mengarah pada pemberian layanan publik
yang lebih professional, efektif, efisien,
responsif, transparan, dan akuntabel.
Dewasa ini masyarakat semakin moderen
sehingga kebutuhannya semakin kompleks.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
2 | P a g e
Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
telah malakukan berbagai usaha, seperti
halnya di kabupaten Pulau Taliabu dalam
rangka meningkatkan pelayanan dan
percepatan pembangunan, Pemerintah
daerah membentuk kecamatan-kecamatan
baru.
Sebelum dibentuknya Kecamatan
Taliabu Selatan masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan tidaklah mudah,
memerlukan biaya dan waktu yang tidak
sedikit karena letak kantor kecamatan
terdahulu sebelum dimekarkan jaraknya
cukup jauh. Maka tidaklah mengherankan
jika pada waktu itu banyak masyarakat
mangabaikan pentingnya kewajiban
sebagai warga negara yang baik dengan
tidak melengkapi diri dengan berbagai
catatan sipil sebagai identitas diri sehingga
pemerintah sulit memberikan akses
pelayanan. Namun ironisnya walau sudah
menjadi kecamatan yang berdiri sendiri
dalam hal Kartu Tanda Penduduk saja
menurut hasil observasi lapangan yang
dilakukan peneliti, masyarakat yang
memiliki KTP dengan masyarakat yang
tidak memiliki KTP jumlahnya sangat
memprihatinkan. Dimana jumlah wajib
KTP di Kecamatan Taliabu Selatan
berjumlah 4.526 jiwa, yang hanya
memiliki KTP berjumlah 2.967 jiwa dan
yang belum memiliki KTP berjumlah
1.559 jiwa.
Hal tersebut rupanya masih menjadi
momok yang masih belum terwujud.
Kualitas pelayanan di Kecamatan Taliabu
Selatan hasil pemekaran ini masih kurang
maksimal, hal ini terlihat kecepatan
pelayanan administrasi yang diberikan oleh
penyelenggara pemerintahan kepada
masyarakat masih terkesan lamban dan
melebihi waktu yang ditetapkan, sarana
dan prasarana Kantor belum memadai baik
sarana oprasional, fasilitas fisik serta
prasarana pendukung lainnya, kurangnya
respon petugas pelayanan kepada
masyarakat, kurangnya perhatian terhadap
pengguna layanan secara individual yang
diberikan oleh pihak penyelenggara
pelayanan, kurangnya kedisiplinan
pegawai dari waktu yang telah ditentukan,
dan masih adanya perbedaan perlakuan
pegawai kecamatan kepada masyarakat
yang hendak melakukan pelayanan
(Diskriminatif).
Itulah sebabnya peneliti tertarik untuk
meneropong sejauh mana Kualitas
Pelayanan Pembuatan Kartu Tanda
Penduduk di Dinas Kependudukan Dan
Catatan Sipil Melalui Kantor Kecamatan
Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang
sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana Kualitas Pelayanan
Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di
Dinas Kependudukan Dan Catatan
Sipil Melalui Kantor Kecamatan
Taliabu Selatan Kabupaten Pulau
Taliabu?
2. Apa permasalahan yang dihadapi oleh
Pemerintah Kecamatan dalam
melakukan Pelayanan Pembuatan
Kartu Tanda Penduduk?
Tujuan
Berdasarkan uraian rumusan masalah
yang telah dikemukakan tersebut diatas,
maka tujuan dari penulis melakukan
penelitian di Kantor Kecamatan Taliabu
Setalan Kabupaten Pulau Taliabu adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Kualitas Pelayanan
Pembuatan Kartu Tanda Penduduk di
Dinas Kependudukan Dan Catatan
Sipil Melalui Kantor Kecamatan
Taliabu Selatan Kabupaten Pulau
Taliabu.
2. Untuk menggambarkan permasalahan
yang dihadapi oleh Pemerintah
Kecamatan dalam melakukan
pelayanan pembuatan Kartu Tanda
Penduduk.
Manfaat Penelitian
Harapan peneliti dalam melakukan
penelitian ini agar bisa bermanfaat:
1. Bagi pemerintah, memberikan sara-
saran atau masukan sebagai alternatif
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
3 | P a g e
pertimbangan dalam meningkatkan
kualitas pelayanan publik dalam hal
pembuatan kartu tanda penduduk.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah wawasan pengetahuan
dalam keilmuan, khususnya tentang
pelayanan pembuatan kartu tanda
penduduk.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil
penelitian ini diharapakn dapat
menjadi rujukan bagi penelitian yang
lebih mendalam terkait kualitas
pelayanan pembuatan kartu tanda
penduduk.
Kajian Pustaka
Penelitian tentang pelayanan publik
telah banyak dikaji, baik peneliti maupun
praktisi. Diantara temuan penelitian
terdahulu antara lain :
Dalam tesis I Nyoman Adi Sudana
(2003) yang berjudul : Analisis Kualitas
Pelayanan Publik Pada Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten
Karangasem-Bali, dia mengatakan :
Faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya kualitas pelayanan publik
dipengaruhi faktor kapabilitas kerja
pegawai, prosedur/sistem tata kerja, dan
budaya kerja juga terkait dengan faktor
lainnya seperti faktor kepemimpinan
(Leadership), motivasi kerja,
pendapatan/penghasilan, pendidikan dan
pelatihan, dukungan suasana atau
lingkungan kerja, manajemen maupun
faktor-faktor lainnya.
Dalam tesis Erland Mouw (2013) yang
berjudul : Kualitas Pelayanan Publik di
Daerah (Pelayanan Publik Di Kabupaten
Halmahera Selatan) dia mengatakan :
Masyarakat selalu menginginkan kepuasan
dalam pelayanan, tetapi kelemahan
birokrat terlihat pada kelemahan atau
terbatasnya sumber daya yang mupuni
serta ditambah dengan peraturan-peraturan
yang membuat birokrat daerah bekerja
dengan kaku. Sehingga berbagai kritik
dilontarkan kepada birokrasi publik seperti
boros, kaku, berbeli-belit dan semacamnya,
namun pada saat yang sama masih
diperlukan kkkarena mampu melindungi
melindungi kepentingan publik dan
menciptakan keadilan.
Dalam tesis Novirsari (2012) yang
berjudul : Penilaian Kualitas Pelayanan
Publik Pada Sistem Admiiistrasi
Manunggal Satu Atap (Samsat) Di Unit
Pelayanan Teknis Dinas Pendapatann
Daerah Provinsi Sumatera Utara Tebing
Tinggi, dia mengatakan : Kualitas
pelayanan terhadap masyarakat sering
dijadikan tolak ukur didalam melihat
keberhasilan suatu organisasi atau instasni
pemerintah. Kemudian, pemerintah sebagai
penyedia pelayanan dengan kualitas yang
sesuai dengan harapan masyarakat.
Dalam tesis Kuncoro (2006) yang
berjudul : Studi Evaluasi Pelayanan Publik
Dan Kualitas Pelayanan Di Rumah Sakit
Umum Dr. Soetomo, dia mengatakan :
Mengevaluasi Implementasi Perda
Pelayanan Publik sangat mempengaruhi
kualitas pelayanan publik. Paradigma baru
pelayanan prima memposisikan
pelanggan/pasien sebagai keutamaan
dalam memperoleh pelayanan dapat
dirasakan dmpaknya di kalangan
pelanggan.
Pelayanan
Pengertian pelayanan menurut
Sedarmayanti (2009) melayani suatu jasa
yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam
segala bidang. Kegiatan pelayanan kepada
masyarakat merupakan salah satu tugas
dan fungsi administrasi negara. Pendapat
lain mengenai pelayanan menurut Albrecht
dalam Sedarmayanti (2009) pelayanan
adalah suatu suatu pendekatan organisasi
total yang menjadi kualitas pelayanan yang
diterima pengguna jasa, sebagai kekuatan
penggerak utama dalam pengoperasian
bisnis.
Pelayanan Publik
Menurut Fitzimmons dalam
Sedarmayanti (2009) terdapat lima
indikator pelayanan publik, yaitu :
1. Reliablity: kemampuan untuk
memberi secara tepat dan benar, jenis
pelayanan yang telah diberikan kepada
konsumen/pelanggan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
4 | P a g e
2. Responsiviness: (pertanggungjawaban)
kesadaran/keinginan membantu
konsumen dalam memberikan
pelayanan yang cepat.
3. Assurance: (jaminan), pengetahuan/
wawasan, kesopanan, kesantunan,
kepercayaan diri dari pemberi layanan,
perhatian, dan respek terhadap
konsumen.
4. Empathy: (empati), kemauan pemberi
layanan untuk melakukan pendekatan,
memberi perlindungan, berusaha
mengetahui keinginan dan kebutuhan
konsumen/masyarakat.
5. Tangibless: (terjamah), penampilan
pegawai dan fasilitas fisik lainnya,
seperti : peralatan, meja, kursi,
perlengkapan, kebersihan kantor, serta
sarana lainnya yang menunjang
pelayanan.
Kualitas Pelayanan
Pengertian kualitas menurut Goetsh
dan Davis (1994) dalam Arief (2007)
bahwa kualitas merupakan ―suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan‖.
Ada beberapa indikator kualitas
pelayanan menurut Sedarmayanti (2009),
yaitu sebagai berikut :
1. Kesesuaian dengan
persyaratan/tuntutan.
2. Kecocokan untuk pemakaian.
3. Perbaikan/penyempurnaan
berkelanjutan./cacat.
4. Pemenuhan kebutuhan pelanggan awal
dan setiap saat.
5. Melakukan sesuatu secara benar awal.
6. Sesuatu yang bisa membahagiakan
pelanggan.
7. Bebas dari kerusakan
Konsep kualitas menurut Tjiptono
(2011) memiliki dua dimensi, yaitu:
1. Dimensi produk, memandang kualitas
barang dan jasa dari perspektif derajat
konformitas dengan spesifikasinya
yakni dengan memandang kualitas
dari sosok yang dapat dilihat, kasat
mata dan dapat diidentifikasi melalui
pemeriksaan dan pengamatan.
2. Dimensi lingkungan antara produk dan
pemakai suatu karakteristik
lingkungan dimana kualitas produk
adalah dinamis, sehingga produk harus
disesuaikan dengan perubahan dari
pemakai produk.
Persepsi Terhadap Pelayanan
Menurut Tjipjono dalam Ginting
(2012) kualitas pelayanan harus dimulai
dari kebutuhan masyarakat dan berakhir
dengan kepuasan masyarakat serta persepsi
positif terhadap kualitas layanan.
Masyarakat yang menilai tingkat kualitas
pelayanan sebuah organisasi publik.
Tantangannya, penilaian masyarakat
terhadap hasil kerja pelayanan yang
diterimanya bersifat subjektif, karena
tergantung persepsi masing-masing
masyarakat pengguna layanan.
Ekspektasi Terhadap Pelayanan
Menurut Santos dan Boot dalam
Ginting (2012) terdapat setidaknya 56
definisi ekspektasi pelanggan yang
dijumpai dalam literature kualitas
pelayanan dan kepuasan pelanggan.
Definisi-definisi tersebut dapat
dikelompokkan menjadi delapan tipe, yaitu
:
1. Ideal expectation, yaitu tingkat kinerja
optimum atau terbaik yang diharapkan
dapat diterima konsumen.
2. Normative (should) expectation
(persuasion-based standard), yaitu
tingkat kinerja yang dianggap
konsumen seharusnya mereka
dapatkan dari produk yang
dikonsumsi.
3. Desired Expectation, yaitu tingkat
kinerja yang diinginkan pelanggan
dapat diberikan produk atau jasa
tertentu.
4. Predicted (will) expectation
(experience-based norms), yaitu
tingkat kinerja yang diantisipasi atau
diperkirakan konsumen akan
diterimanya, berdasarkan semua
informasi yang diketahuinya.
5. Deserved (want) expectation
(equitable expectation), yaitu evaluasi
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
5 | P a g e
subyektif konsumen terhadap investasi
produknya.
6. Adequated expectation atau minimum
tolerable expectation, yakni tingkat
kinerja terendah yang bisa diterima
atau ditolerir konsumen.
7. Intolerable expectation, yakni
serangkaian ekspektasi menyangkut
tingkat kinerja yang tidak akan
ditolerir atau diterima pelanggan.
8. Worst imaginable expectation, yaitu
skenario terburuk mengenai kinerja
produk yang diketahui dan/atau
terbentuk melalui kontak dengan
media, seperti TV, radio, koran atau
internet.
Hakikat Pelayanan Publik
Menurut Surjadi (2009) hakikat
pelayanan publik adalah pemberian
pelayanan prima kepada masyarakat yang
merupakan perwujudan kewajiban aoaratur
pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Karena itu pengembangan kinerja
pelayanan publik senantiasa menyangkut
tiga unsur pokok pelayanan publik, yaitu 1)
Unsur kelembagaan penyelenggara
pelayanan; 2) Proses pelayanan; dan 3)
Sumber daya manusia pemberi layanan.
Standar Pelayanan Publik
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun
2014, harus memenuhi prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1. Sederhana. Standar Pelayanan yang
mudah dimengerti, mudah diikuti,
mudah dilaksanakan,mudah diukur,
dengan prosedur yang jelas dan biaya
terjangkau bagi masyarakat maupun
penyelenggara.
2. Partisipatif. Penyusunan Standar
Pelayanan dengan melibatkan
masyarakat dan pihak terkait untuk
membahas bersama dan mendapatkan
keselarasan atas dasar komitmen atau
hasil kesepakatan.
3. Akuntabel. Hal-hal yang diatur dalam
Standar Pelayanan harus dapat
dilaksanakan dan
dipertanggungjawabkan kepada pihak
yang berkepentingan.
4. Berkelanjutan. Standar Pelayanan
harus terus-menerus dilakukan
perbaikan sebagai upaya
peningkatankualitas dan inovasi
pelayanan.
5. Transparansi. Standar Pelayanan harus
dapat dengan mudah diakses oleh
masyarakat.
6. Keadilan. Standar Pelayanan harus
menjamin bahwa pelayanan yang
diberikan dapat menjangkau semua
masyarakat yang berbeda status
ekonomi, jarak lokasi geografis.
Beberapa Permasalahan Dalam
Pelayanan Publik
Beberapa faktor yang menyebabkan
rendahnya kualitas pelayanan publik (di
Indonesia) antara lain adanya:
1. Konteks monopolistik, Dalam hal ini
karena tidak adanya kompetisi dari
penyelenggara pelayanan publik non
pemerintah, tidak ada dorongan yang
kuat untuk meningkatkan jumlah,
kualitas, maupun pemerataan
pelayanan tersebut oleh pemerintah.
2. Tekanan dari lingkungan, Dimana
faktor lingkungan amat mempengaruhi
kinerja organisasi pelayanan dalam
transaksi dan interaksinya antara
lingkungan dengan organisasi publik
3. Budaya patrimonial, dimana budaya
organisasi penyelenggara pelayanan
publik di Indonesia masih banyak
terikat oleh tradisi-tradisi politik dan
budaya masyarakat setempat yang
seringkali tidak kondusif dan
melanggar peraturan-peraturan yang
telah ditentukan (Yayan dalam
Novandy, 2009)
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian dalam tesis ini
yaitu menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Menurut Strauss dalam Ahmadi
(2014), menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan istilah penelitian kualitatif adalah
suatu jenis penelitian yang menghasilkan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
6 | P a g e
temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh
alat-alat prosedur statistik atau alat-alat
kuantifikasi lainnya.
Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah pusat perhatian
penelitian dalam mengambil data sesuai
dengan rumusan masalah yang ditentukan,
hal ini dilakukan supaya tidak terjadi
pembiasan kajian serta tidak menyimpang
dalam pencarian data. Adapun fokus
penelitaian diantaranya, Responsiviness,
Tangibless, Assurance, Reliabilitas, dan
Empathy
Lokasi Penelitian Dan Situs Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi
lokasi penelitian adalah Kecamatan
Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu.
Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan
data yang dibutuhkan mudah diperoleh dan
relevan dengan pokok permasalahan yang
akan menjadi objek penelitian. Adapun
Situs penelitian adalah yang menjadi
pokok pembicaraan dalam penelitian. Oleh
karena itu, hal yang diteliti dalam
penyusunan tesis ini adalah Kualitas
Pelayanan pembuatan kartu tanda
penduduk.
Tenik Analisis data Dalam analisis data ini peneliti
menggunakan analisis dengan model
interaktif. Proses Analisis data model
interaktif terdiri atas tahap-tahap kegiatan
sebagai berikut :
1. Reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis
dilapangan.
2. Penyajian data sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penaikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan
baik penyajian dalam bentuk tabel
maupun naratif guna menggabungkan
informasi yang tersusun ke dalam
yang padu.
3. Menarik kesimpulan/Verifikasi yaitu
mencatat keteraturan, penjelasan,
konfigurasi-konfigurasi yang
mungkin, alur sebab akibat dan
proposisi peneliti.
Keabsahan Data
Untuk melihat derajat kepercayaan
atau kebenaran terhadap hasil penelitian
diperlukan suatu standariasi dalam
penelitian kualitatif, standar tersebut
keabsahan data. Keabsahan data diperlukan
pelaksanaan teknik pemeriksaan dengan
didasarkan pada 4 (empat) macam kriteria :
1. Kredibilitas, Penerapan kriteria derajat
kepercayaan (kredibilitas) dimaksud
sebagai pengganti konsep validitas
internal dari penelitian non kualitatif.
2. Keteralihan (Transferibility,
Keteralihan merupakan upaya
membangun persamaan persepsi
antara Peneliti dengan pembaca atau
pengguna. Namun, dalam penelitian
kualitatif, keteralihan sangatlah
bergantung pada pembaca atau
pengguna, yakni: hingga manakah
hasil penelitian ini dapat digunakan
dalam konteks dan situasi tertentu
(Moleong: 2005
3. Ketergantungan (Dependibility,
Ketergantungan dalam istilah
konvensional disebut dengan
reliabilitas, yang merupakan syarat
bagi valisitas. Oleh karena itu, untuk
memenuhi kriteria ini seluruh langkah-
langkah dalam membangun kerangka
piker penelitian, rancangan penelitian,
hasil temuan penelitian,
4. Kepastian, Kriteria kepastian dalam
penelitian tidak bias atau menyimpang
dari realita yang ada, rumusan masalah
dan tujuan penelitian.
PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan peneliti di
lapangan melalui wawancara bersama
Camat dan tokoh masyarakat sekitar
Kecamatan Taliabu Selatan, bahwa untuk
mencapai kualitas pelayanan yang baik
harus dimulai dari manusia itu sendiri, baik
dari pegawai maupun dari masyarakat
pengguna layanan. Selain itu, hal yang
terpenting adalah transparansi pelayanan
terhadap masyarakat yang tepat sasaran.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
7 | P a g e
Menurut peneliti, untuk meningkatkan
pelayanan yang berkualitas tentunya
partisipasi dan peran aktif masyarakat
sangat diperlukan. Karena dalam
penyelenggaraan pelayanan publik tanpa
didukung oleh peran serta masyarakat
pelayanan tidak akan berjalan secara
maksimal seperti yang diharapkan. Untuk
itu, pemerintah Kecamatan harus konsisten
dalam memberikan layanan yang
berkualitas dengan langkah-langkah :
Pertama, tangibles yaitu bukti fisik yang
bisa dilihat secara langsung seperti,
kelengkapan meja dan kursi, ketersediaan
alat komputer, sarana parkir, ruang tunggu,
jumlah pegawai, media informasi
pengurusan, media informasi keluhan, dan
jarak ke tempat layanan. Kedua, adalah
Reability, yaitu kualitas pelayanan yang
dilihat dari sisi kemampuan dan
kehandalan dalam menyediakan layanan
yang terpercaya, meliputi proses waktu
penyelesaian layanan dan proses waktu
pelayanan keluhan. Ketiga, Responsiviness
yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari
sisi kesanggupan untuk membantu dan
menyediakan pelayanan secara cepat dan
tepat, serta tanggap terhadap keinginan
masyarakat. Keempat adalah Assurance,
yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari
sisi kemampuan petugas dalam
meyakinkan kepercayaan masyarakat.
Indikatornya adalah adanya kejelasan
mengenai mekanisme layanan dan
kejelasan mengenai tarif layanan. Kelima
adalah Empathy, yaitu kualitas pelayanan
yang yang diberikan berupa sikap tegas
tetapi penuh perhatian terhadap
masyarakat. Dalam konteks ini indikator
yang dilihat adalah adanya sopan santun
petugas selama pelayanan berlangsung dan
bantuan khusus dari petugas selama proses
pelayanan berlangsung.
Pembahasan di atas pada intinya bahwa
kualitas pelayanan di Kantor Kecamatan
Taliabu Selatan Kabupaten Pulau Taliabu
belum memuaskan karena harapan
masyarakat akan pelayanan yang
seharusnya diberikan jauh berbeda dengan
pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat.
Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara
semua dimensi kualitas pelayanan masih
terdapat kelemahan, maka hal ini dapat
disimpulkan bahwa masyarakat belum
merasa puas atas pelayanan yang diberikan
oleh pihak penyelenggara layanan
sehingga pelayanan dapat dikatakan belum
maksimal.
Berdasarkan uraian pembahasan diatas
akan diuraikan lebih lanjut mengenai hal-
hal yang kemudian menjadi penghambat
atau pun pendukung jalannya pelayanan di
Kantor Kecamatan Taliabu Selatan ;
1. Sumber Daya Aparatur
Untuk memberikan pelayanan yang
maksimal kepada masyarakat sangat
dibutuhkan aparatur-aparatur
pemerintah yang memiliki kualitas
sumber daya manusia yang handal,
untuk itulah kemudian dapat dikatakan
keberhasilan suatu pelayanan salah
satunya sangat ditentukan oleh
kualitas aparat yang ditunjuk sebagai
pelayan publik.
2. Kesadaran Masyarakat
Salah satu faktor yang turut
mempengaruhi pelaksanaan tugas
pelayanan pemerintah di wilayah
Kecamatan Taliabu Selatan adalah
faktor kesadaran masyarakat.
Kesadaran masyarakat dimaksudkan
ialah kesadaran untuk mempersiapkan
segala yang menjadi persyaratan untuk
melakukan suatu urusan pelayanan di
kantor desa/kelurahan, relasi antara
aparat pemerintah dengan masyarakat
memang harus saling mendukung agar
dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, baik itu dari pihak
masyarakat maupun dari aparat
pemerintah sendiri.
3. Kedisiplinan Pegawai
Faktor lain dari tidak berhasilnya suatu
pelayanan adalah tingkat kedisplinan
dari pegawai yang masih rendah. Hal
ini didasari tidak adanya kesdaran
dalam diri masing-masing pegawai
akan tanggung jawab yang mereka
emban. Esensi pegawai publik adalah
―melayani‖ bukan ―dilayani. Di
Kantor Kecamatan Taliabu Selatan
pegawai masih mengadopsi paradigma
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
8 | P a g e
―dilayani bukan ―melayani‖ sehingga
Hal ini menjadi salah satu indikator
tidak maksimalnya pelayanan. Ini
merupakan tantangan bagi setiap
pimpinan khususnya camat Taliabu
Selatan untuk memberikan pembinaan
agar bisa merubah paradigma tersebut.
4. Sarana dan Prasarana
Salah satu faktor pendukung atau bisa
menjadi penghambat prosedur
pelayanan yaitu saran dan prasarana.
Dengan adanya sarana pelayanan
beraneka ragam jenis dan fungsinya
dapat membantu pelayanan pada
masyarakat lebih efisien dan efektif.
Dari temuan di lapangan dan didukung
oleh teori dapat dismpulkan bahwa kualitas
pelayanan sangat besar harapannya karena
sama-sama menguntungkan antara
pelayanan dan pengguna layanan karena
jika pelaksanaan seirama atau besinergi
maka pelayanan dan pengguna layanan
sama-sama merasakan dampak dari
pelayanan yang berkualitas itu, berkenaan
dengan hal di atas, bahwa pelayanan
pemberkasan pembuatan kartu tanda
penduduk untuk mempermudah pendataan
penduduk Indonesia.akan membantu
Pembahasan di atas pada intinya
bahwa kualitas pelayanan di Kantor
Kecamatan Taliabu Selatan Kabupaten
Pulau Taliabu belum memuaskan karena
harapan masyarakat akan pelayanan yang
seharusnya diberikan jauh berbeda dengan
pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat.
Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara
semua dimensi kualitas pelayanan masih
terdapat kelemahan, maka hal ini dapat
disimpulkan bahwa masyarakat belum
merasa puas atas pelayanan yang diberikan
oleh pihak penyelenggara layanan
sehingga pelayanan dapat dikatakan belum
maksimal.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan
pembahasan pada bab sebelumnya, maka
peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Secara umum kualitas pelayanan
pembuatan Kartu Tanda Penduduk di
Dinas Kependudukan Dan Catatan
Sipil Melalui Kantor Kecamatan
Taliabu Selatan Kabupaten Pulau
Taliabu belum terlaksana secara
maksimal. Hal ini dapat dilihat dari 5
(lima) dimensi kualitas pelayanan.
a. Tangibles (bukti langsung), ruang
tunggu yang tidak dilengkapi
dengan kipas angin, fasilitas meja
dan kursi yang belum memadai,
dan kebersihan yang kurang
diperhatikan.
b. Reability (kehandalan), kecepatan
pegawai dalam pengurusan
administrasi tergolong masih
lambat, kemahiran pegawai dalam
mengaplikasikan komputer masih
kurang, kurangnya jumlah pegawai
dan kualitas dari pegawai yang ada
masih kurang.
c. Responsiviness (daya tanggap),
ketekunan terhadap suatu pekerjaan
masih cukup baik, pemberian
informasi terhadap masyarakat
tentang persyaratan pengurusan
KTP sudah berjalan dengan bagus,
dan perlu ditingkatkan lagi, namun
yang harus lebih diperhatikan oleh
pemerintah Kecamatan adalah
kejelasan biaya/tarif administrasi.
d. Assurance (jaminan), masih
ditemukan perlakuan istimewa
kepada masyarakat yang ada
hubungan kekerabatan.
e. Empathy (empati), sikap tegas tapi
penuh perhatian terlihat jelas
dengan sikap aparatur yang terbuka
sehingga keakraban terjalin antara
masyarakat dan aparat.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas,
maka penulis dapat memberikan saran
sebagai berikut :
1. Melihat persepsi aparatur pemerintah
daerah dalam tugas pokok dan fungsi
pelayanan ditinjau dari sikap dan
norma-norma sopan santun dalam
pelayanan terhadap masyarakat,
pelaksanaan pelayanan di kantor Desa/
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
9 | P a g e
Kecamatan dan penilaian masyarakat
terhadap pelayanan tersebut,
diharapkan pemerintah sebagai pelaku
utama atau pengendali jalannya sistem
pemerintahan agar bisa lebih
meningkatkan pelayanan khususnya
layanan di bidang administrasi
kependudukan dan lebih dekat serta
memperhatikan kebutuhan
masyarakat. Memperhatikan dalam
segi peningkatan kualitas, kemudahan,
ketapatan waktu, ekonomis, serta
keamanan dalam memberikan
pelayanan.
2. Lebih meningkatkan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi,
karena pelayanan tidak akan berjalan
dengan baik jika pelayanan yang
diberikan tidak sepenuh hati.
3. Diperlukan paradigma pelayanan
publik yaitu pelayan yang berorientasi
sebagai penyedia menjadi pelayan
menuju pelayanan yang berorientasi
kebutuhan masyarakat.
4. Pemerintah lebih memperhatikan
kelengkapan sarana dan prasarana
kantor, perlu dilakukan pengadaan
kursi, meja, alat kelengkapan
elektronik dan ruang tunggu yang
bersih. Karena kenyamanan pengguna
layanan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan oleh penyedia
layanan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Rulam. 2014. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Arief, Mts. 2007. Pemasaran Jasa Dan
Kualitas Pelayanan. Malang:
Banyumedia
Ginting, Tamaseri, 2012. Jurnal Analisis
Kualitas Pelayanan Rawat Jalan
Puskesmas Berastagi Kabupaten
Karo.
Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara (Kepmen PAN)
Nomor 25 Tahun 2004 Tentang
Pedoman Umum Indeks Kepuasan
Masyarakat.
Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 26 Tahun
2004 Tentang Petunjuk Teknis
Transparansi Dan Akuntabililas Dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
_____ 2011. Modul Manajemen
Pelayanan Publik.
Moleong, J. Lexy, 2005. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Novandy, Riswan. 2009. Analisis Persepsi
Masyarakat terhadap Kualitas
Pelayanan Publik pada Bagian
Administrasi Kemasyarakatan dan
Kesejahteraan Rakyat Pemerintah
Kabupaten Simalungun, Medan.
Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2004
tentang Pemekaran Kecamatan
Taliabu Selatan
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 13 Tahun
2009 Pedoman Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik Dengan Partisipasi
Masyarakat
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Dan Reformasi
Birokrasi Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Standar Pelayanan
Ratminto dan Aptik Septi Winarsih. 2006.
Manajemen Pelayanan. Yogyakarta.
Pustaka pelajar
Sedarmayanti. 2009. Reformasi
Administrasi Publik, Reformasi
Birokrasi dan Kepemimpinan Masa
Depan. Bandung: Reflika Aditama.
Sinambela, Lajian poltak dkk. 2006
Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta:
Bumi Aksara.
Surjadi. 2009. Pengembangan Kinerja
Pelayanan Publik. Bandung: Reflika
Aditama.
Tjipjono, fandi. 2008. Service Managemen,
Mewujudkan Layanan Prima.
Yogyakarta: Andi Office.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
Tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
Tentang Pemerintahan Daerah
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
10 | P a g e
CITA RASA ELIT PADA PERUMUSAN KEBIJAKAN PERTAMBANGAN
MINERAL DI HUTAN LINDUNG GUNUNG TUMPANG PITU BANYUWANGI
Muhamad Imron
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Islam Raden
Rahmat Malang
Abstraksi
Kebijakan pertambangan seringkali ditandai dengan dominasi kelompok tertentu
atas kelompok lainnya. Tahapan formulasi merupakan satu tahapan yang begitu
krusial dan determinan bagi berlangsungnya suatu kebijakan. Terdapat
ketidakseimbangan dari interaksi yang terbangun antara pemerintah, perusahaan
tambang, dan masyarakat lokal. Perselingkuhan antara kuasa modal dan kuasa
politik atas nama pembangunan terjadi begitu saja tanpa melibatkan masyarakat
sebagai pihak yang juga berkepentingan atas berjalannya operasi pertambangan.
Dominasi kelompok elit atas kelompok non elit menjadi akhir dari cerita
formulasi kebijakan tersebut. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan
menganalisis tentang bagaimana proses formulasi kebijakan pertambangan di
Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi. Metode yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Fokus penelitian (1) proses formulasi kebijakan pertambangan (2)Faktor-faktor
yang mempengaruhi berlangsungnya kebijakan pertambangan. Sumber data yang
digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data
dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data dengan
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa proses pelibatan masyarakat dianggap masih semu karena
pada kenyataannya meski masyarakat sepakat menolak akan adanya operasi
pertambangan emas oleh PT IMN, kebijakan pemberian izin eksplorasi
pertambangan tetap turun tanpa adanya izin sosial (social lisence). Kebijakan
pertambangan emas di HLGTP cenderung merepresentasikan kepentingan
(dominasi) elit, terbukti peran masyarakat yang sengaja di pinggirkan dan tidak
terakomodasi dengan baik.
Kata kunci: Formulasi kebijakan, kelompok elit, pertambangan
PENDAHULUAN
Negara Indonesia begitu terkenal
memiliki beragam sumber daya alam,
mulai dari pertanian, perikanan,
perkebunan, hingga pertambangan. Fakta
sejarah telah membuktikan tentang
bagaimana berhasratnya bangsa Belanda
kala itu untuk datang ke Indonesia demi
memperoleh rempah-rempah sampai hasil
bumi lainnya. Revolusi industri di Eropa
saat itu, menjadi salah satu faktor
pendorong bangsa-bangsa eropa untuk
melakukan ekpansi ke berbagai belahan
dunia, termasuk Indonesia. Salah satu
syarat untuk terus bergulirnya revolusi
industri saat itu adalah tersedianya sumber
daya alam yang siap untuk di produksi
dalam jumlah besar, sedang sumber daya
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
11 | P a g e
alam yang dimiliki oleh bangsa-bangsa
eropa tidak sebesar (jika di banding)
dengan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa
di benua lainnya, termasuk asia. Dan
bangsa Indonesia memang memiliki
kekayaan alam yang (bagi bangsa barat)
begitu menakjubkan jumlahnya. Hampir di
seluruh penjuru negeri ini memiliki ragam
kekayaan alam yang sesungguhnya
berpotensi besar untuk mensejahterakan
rakyat.
Dan sektor pertambangan
merupakan salah satu sektor saja yang (jika
di kelola dengan baik) niscaya dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Indonesia merupakan penghasil utama
beberapa mineral. Negara Indonesia adalah
penghasil timah terbesar kedua di dunia,
eksportir batu bara thermal terbesar ketiga
di dunia, penghasil tembaga terbesar ketiga
dan menduduki urutan kelima dan ketujuh
untuk produsen nikel dan emas. Potensi
tembaga terbesar Indonesia terdapat di
Papua, potensi lain tersebar di jawa Barat,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
Sedangkan potensi emas nyatanya hampir
terdapat di seluruh wilayah Indonesia
seperti di Pulau Jawa, Kalimantan,
Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Kepulauan Riau, Maluku dan tentu saja
Papua. Adapun potensi nikel terdapat di
Sulawesi, Kalimantan Bagian Tenggara,
Maluku dan Papua. Sementara timah
berada di Pulau Bangka, Pulau Belitung,
Pulau Singkep, Pulau Karimun. Kekayaan
sumber daya alam yang melimpah ruah
dari Sabang hingga Merauke, kekayaan
alam yang tidak semua negara
memilikinya. (Gali-Gali, 2009:13).
Negara, di tuntut untuk mampu
mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam yang ada serta merubahnya dalam
bentuk distribusi kesejahteraan yang
merata. Dan memang, sektor
pertambangan saat ini cukup menjanjikan
kesejahteraan bagi rakyat, namun dengan
syarat, pemerintah harus memainkan
peranannya dengan baik. Idealnya, ia harus
mampu menjembatani kepentingan para
pemilik modal dan kepentingan
masyarakat terutama yang tinggal disekitar
area terdampak dari operasi pertambangan.
Hingga kini, masih cukup menarik
untuk mendiskusikan pola relasi dan
interaksi yang terbangun antara negara
(state),perusahaan/pasar (private sector)
dan masyarakat (civil society) dalam
konteks kebijakan pertambangan. Relasi
ini seringkali menimbulkan kontroversi
saat wajah kebijakan pertambangan
menunjukkan suasana yang kurang
menyenangkan dirasakan oleh pihak
masyarakat. Tahapan perumusan kebijakan
pertambangan merupakan satu tahapan
yang begitu krusial dan determinan bagi
berlangsungnya suatu kebijakan tersebut.
Saat tahap perumusan terjadi, acapkali
peran negara dan perusahaan nampak lebih
dominan dalam menyusun suatu skenario
kebijakan. Sedang keterlibatanmasyarakat
menjadi kurang memperoleh perhatian
bagi relasi ini. Sehingga, sikap penolakan
pada suatu kebijakan pertambangan
menjadi fenomena yang sering terlihat.
Terlebih, aspek-aspek yang menyangkut
kepentingan lingkungan tidak mendapat
perhatian serius oleh para pembuat
kebijakan. Bagaimanapun, masyarakat
tidak menginginkan ekosistem lingkungan
disekitarnya menjadi rusak dan pada
akhirnya mengganggu kehidupan mereka
dikemudian hari.
Di Banyuwangi, eksplorasi
pertambangan mineral menghampiri
sebuah hutan lindung yang berada di ujung
selatan kabupaten tersebut. Secara tiba-
tiba, Hutan Lindung Gunung Tumpang
Pitu (HLGTP) tersebut beralih status
menjadi hutan produksi. Merasa tidak
dilibatkan, masyarakat menyatakan
menolak. Derasnya aksi penolakan
terhadap alih fungsi kawasan hutan
lindung, nampaknya tidak mengubah
pendirian dan hasrat pemerintah untuk
terus mengobral kekayaan sumber daya
alamnya. Buktinya, Kabupaten
Banyuwangi justru menjadi target
kebijakan pertambangan. Adalah PT. IMN
(Indo Multi Niaga) yang mula-mula telah
mengantongi izin dari pemerintah untuk
melakukan proses eksplorasi terhadap
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
12 | P a g e
kandungan emas yang ada di sekitar
kawasan hutan lindung tersebut. Menteri
Kehutanan Republik Indonesia melalui
surat bernomor S. 406/MENHUT-
VII/PW/2007 perihal Persetujuan izin
Kegiatan Eksplorasi Tambang Emas dmp
di Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP)
dan Hutan Lindung (HL) A.n. PT IMN di
Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa
timur tertanggal 27 Juli 2007 telah
memberikan izin eksplorasi kepada PT
IMN. Luas areal hutan tersebut 11, 621,
45 ha. Adapun data ini dapat dilihat dari
Berita Acara Pemeriksaan Lapangan
(BPAL) terhadap kawasan hutan yang
dimohon oleh PT. IMN, tertanggal 18
April 2007, yang ditandatangani bersama
oleh Kepala Biro Hukamas Perum
Perhutani Unit II Jawa Timur, Kepala Sub
Dinas (Kasubdin) PHKA Dinas Kehutanan
(Dishut) Propinsi Jatim, Kepala Urusan
Kawasan Biro Perencanaan SDH Perum
Perhutani Unit II Jatim, Wakil KSPH V
Jember Perum Perhutani Unit II Jatim, dan
Administrasi Perhutani/KKPH
Banyuwangi Selatan. Sedangkan lokasi
kawasan hutan yang di mohon oleh PT.
IMN berada dalam KPH Banyuwangi
Selatan. Tepatnya berada pada petak 75,
76, 77, dan 78. Dimana ke semua petak
tersebut masuk kawasan RPH Kesilir Baru
dan BKPH Sukamade.
Wajah kebijakan pertambangan
mineral di Indonesia memang memiliki
kemiripan, terutama pada tahap perumusan
(pembuatan) kebijakan. Nyaris seluruhnya
menggunakan model elit yang hanya
mengakomodir suara pemodal besar, tanpa
melibatkan aspirasi masyarakat lokal,
hingga menghiraukan aspek keselamatan
lingkungan. Kehendak pasar masih saja
menjadi pertimbangan utama bagi para
pembuat kebijakan, sehingga kebijakan
pun seolah-olah bisa terbeli oleh para
pemilik modal. Pun juga yang terjadi di
Kabupaten Banyuwangi, izin
pertambangan untuk tahap eksplorasi tiba-
tiba saja di kantongi oleh PT. IMN.
Persoalan ini menjadi penting untuk di
teliti, sebuah perumusan kebijakan yang
sarat kepentingan kelompok elit. Sampai
saat ini pemerintah yang harusnya mampu
memposisikan diri sebagai penyusun dan
pembuat skenario kebijakan (khususnya di
bidang pertambangan) yang baik dan
bermanfaat bagi masyarakat, nyatanya
malah menjadi fasilitator yang baik dan
patuh atas kehendak pasar. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dan
menganalisis tentang bagaimana proses
perumusan (formulasi) kebijakan
pertambangan di Hutan Lindung Gunung
Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi
terjadi.Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif dengan
memaparkan keadaan yang terjadi
berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan
bagaimana adanya.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif, dengan maksud untuk
menemukan, memahami, menjelaskan dan
memperoleh gambaran (deskripsi) tentang
Formulasi Kebijakan Pertambangan di
Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu
Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif sehingga
dititikberatkan pada upaya untuk
memberikan deskripsi (gambaran) umum
secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta terkait pertambangan
mineral yang ada di sana. Dalam
melakukan penelitian dengan pendekatan
kualitatif sesuai di kutip dalam Moleong
(2007, h.8), seorang peneliti haruslah
memperhatikan ciri-ciri yang mencakup:
latar ilmiah, manusia sebagai alat atau
instrumen, metode kualitatif, analisis
deskriptif, lebih mementingkan proses dari
pada hasil, kriteria khusus pada keabsahan
data, desain bersifat sementara dan hasil
penelitian yang dirundingkan bersama.
Dalam penelitian ini, lokasi
penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.
Sedangkan situs penelitian ini yaitu di
Desa Sumberagung yang merupakan areal
penambangan emas oleh PT IMN di
HLGTP Banyuwangi. Selain itu situs
penelitian juga di Dinas Pertambangan,
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
13 | P a g e
Dinas Perhutani KPH Banyuwangi
Selatan, serta Dinas Perijinan Kabupaten
Banyuwangi.
Sumber data dalam penelitian ini
diperoleh melalui dua sumber, yakni
sumber data primer dan sumber data
sekunder. Adapun teknik pengumpulan
data menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data, diantaranya
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Fokus dalam penelitian ini adalah (1)
proses formulasi kebijakan pertambangan
(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi
berlangsungnya kebijakan pertambangan
di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu
(HLGTP) Banyuwangi.
Hasil Dan Pembahasan
Kebijakan publik memang bisa jadi
tidaklah bebas nilai, artinya bahwa setiap
kebijakan yang di ambil oleh pemerintah
sangat mungkin dapat memberikan efek
dan dinamika di dalam masyarakat, karena
sebuah kebijakan terkadang sarat dengan
kepentingan lain yang seringkali
meniadakan kepentingan masyarakat.
Apalagi jika peran partisipatif masyarakat
dalam proses pembuatan kebijakan dengan
sengaja di singkirkan atau tidak di
akomodasi, sehingga seringkali kebijakan
hanya menjadi preferensi para elit saja.
Kelompok elit dengan sengaja
merumuskan sebuah kebijakan yang hanya
menguntungkan kelompok-kelompok
tertentu, misalnya para pemodal besar atau
kelompok elit itu sendiri, sehingga
berujung pada sifat top down dari
kebijakan tersebut. Pada tahap
implementasi kebijakan, tidak jarang para
elit dengan sengaja bekerja sama dengan
pihak Militer (seperti yang terjadi pada
kasus penambangan emas oleh PT IMN di
HLGTP) agar kebijakan tertentu dapat
berjalan dengan skenario yang telah di
rencanakan. Dalam kasus ini nampaknya
elit-elit yang bermain adalah dari pihak
birokrasi, teknokrat dan melibatkan pihak
militer. Bagi Lasswell, jika elit-elit ini di
padukan, maka elit-elit ini akan
mengancam demokrasi. Kombinasi elit
yang mempunyai kemampuan untuk
memanipulasi komunikasi dan simbol
dengan elit yang terlatih dalam soal
kekerasan, organisasi, dan pengetahuan
teknis akan menimbulkan kemungkinan
munculnya “Garrison-state” dimana yang
berkuasa adalah elit militer, birokrat, dan
teknokrat (Parsons, 2008:252).
Suatu kebijakan idealnya
merupakan cerminan dari kehendak publik,
sehingga tidaklah layak ketika pandangan
umum yang menyangkut masalah-masalah
kebijakan hanya di warnai dan di
pengaruhi oleh para elit saja. Idealnya
rakyatlah yang mempengaruhi pendapat
golongan elit. Teori elit misalnya
beranggapan bahwa kebijakan publik
seringkali tidak memihak publik (rakyat),
dan bahkan tidak ada kebijakan publik
yang sungguh-sungguh memihak pada
rakyat (Wahab, 2008:88). Berangkat dari
argumentasi teori elit tersebut, nampaknya
berbagai kebijakan yang di terbitkan
pemerintah, hanya merepresentasikan
kepentingan para elit penguasa di negeri
ini dan tentu saja kepentingan pengusaha-
pengusaha besar. Sehingga benar ketika
ada yang menyatakan bahwa suatu
kebijakan identik dengan siapa yang di
untungkan dan siapa yang di rugikan.
Proses Formulasi (Perumusan)
Kebijakan Pertambangan di HLGTP
Banyuwangi
Proses formulasi (perumusan)
kebijakan pertambangan di Hutan Lindung
Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)
Banyuwangi Selatan terbilang cukup cepat.
Bagaimana tidak, adalah PT. IMC (Indo
Multi Cipta), yang kemudian berubah
menjadi PT. IMN (Indo Multi Niaga),
untuk pertama kali melayangkan surat
permohonan pada tanggal 17 Januari 2006
bernomor 01/IMC/1/2006 dengan perihal
permohonan ijin peninjauan bahan galian.
Selang 3 hari kemudian, Bupati
Banyuwangi saat itu (Ratna Ani Lestari)
telah memberikan ijin pada perusahaan
emas itu lewat Surat Keterangan Ijin
Peninjauan (SKIP) nomor
545/095/429.022/2006 tertanggal 20
Januari 2006. Dua bulan kemudian,
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
14 | P a g e
tepatnya pada tanggal 23 Maret 2006
Bupati kembali menerbitkan Surat
Keputusan bernomor 188/57/KP/429.012/
2006 tentang Pemberian Kuasa
Pertambangan Penyelidikan Umum yang
ditujukan kepada PT. IMC. Surat ini
memberikan Kuasa Pertambangan
berdurasi paling lama 1 (satu) tahun bagi
PT. IMC.
Berselang delapan bulan kemudian,
PT. Indo Multi Niaga (IMN) mengirimkan
surat nomor 025/DM-IMN/XI/2006
tertanggal 7 Nopember 2006 tentang
Permohonan Peningkatan Kuasa
Pertambangan Ketahap Eksplorasi di
Lokasi Kecamatan Pesanggaran. Dan
permohonan itu pun dikabulkan melalui
Keputusan Bupati nomor
188/57/KP/429.012/2006. Dalam
keputusan tersebut, Bupati Banyuwangi
menilai bahwa PT. IMN saat itu selaku
pemegang Kuasa Pertambangan
Penyelidikan Umum telah memenuhi
syarat menjadi pemegang Kuasa
Pertambangan Eksplorasi. Dan akhirnya
pada tanggal 16 Februari 2007, Bupati
Banyuwangi menerbitkan Surat Keputusan
Bupati bernomor 188/05/KP/429.012/2007
tentang Kuasa Pertambangan Eksplorasi.
Sedangkan masa berlaku Kuasa
Pertambangan Eksplorasi selama 3 (tiga)
tahun terhitung sejak 16 Februari 2007.
PT. IMN kemudian melayangkan
surat bernomor 026/AD-IMN/III/2007
tertanggal 5 Maret 2007 perihal
Permohonan untuk memperoleh
rekomendasi penggunaan kawasan hutan
untuk kegiatan eksplorasi (penyelidikan)
tambang emas dan mineral dan
pengikutnya di Banyuwangi kepada
Gubernur Jawa Timur. Selain itu mereka
juga mengajukan surat bernomor 027/AD-
IMN/III/2007 bertanggal 5 Maret 2007
perihal Permohonan Ijin Penggunaan
Kawasan Hutan Untuk Kegiatan
Eksplorasi (penyelidikan) Tambang Emas
dmp di tujukan kepada Menteri Kehutanan.
Layaknya gayung bersambut,
dengan begitu cepat Instansi Kehutanan
Jawa Timur pun merespon surat yang
dilayangkan oleh PT. IMN tadi melalui
Dinas Kehutanan Jatim, Perum Perhutani
Unit II Jatim, Biro Perencanaan SDH
Perum Perhutani Unit II Jatim, dan Perum
Perhutani KPH Banyuwangi Selatan
membentuk Tim Pemeriksa Lapangan
(TPL). Tim ini kemudian melakukan
pemeriksaan lapangan terhadap kawasan
hutan yang akan di eksplorasi. Tim ini
kemudian menyarankan agar permohonan
PT. IMN untuk menggunakan kawasan
hutan lindung sebagai daerah eksplorasi
untuk di proses lebih lanjut.
Kemudian, hanya melalui lampiran
selembar peta, lewat surat bernomor
S.406/MENHUT-VII/PW/2007 perihal
Persetujuan Ijin Kegiatan Eksplorasi
Tambang Emas dmp di Kawasan Hutan
Produksi Tetap (HP) dan Hutan Lindung
(HL) seluas 1.987,80 ha A.n. PT IMN Kab.
Banyuwangi, Propinsi Jatim tertanggal 27
Juli 2007 Menteri Kehutanan RI
memberikan ijin eksplorasi kepada PT
IMN. Surat ijin tersebut berlaku selama 2
tahun terhitung sejak 27 Juli 2007. Dalam
poin 7 (tujuh) surat tersebut, menyatakan
bahwa ijin tersebut dapat di perpanjang.
Dan hanya berselang waktu 3 (tiga)
bulan kemudian, PT IMN telah berhasil
mempresentasikan hasil penelitiannya di
depan para anggota DPRD Banyuwangi.
Adapun keputusan yang kemudian muncul
dari anggota dewan adalah berupa
rekomendasi kepada PT IMN agar
meneruskan aktivitas eksplorasinya dan
mendukung sepenuhnya atas
keberlangsungan operasi pertambangan
yang ada. Disini mengandung pengertian
bahwa para anggota dewan juga cenderung
mendukung dan mengabaikan aspirasi
masyarakat lokal dusun Pancer yang
memang sejak awal menyatakan menolak
adanya operasi industri tambang.
Kaum elit lokal di Banyuwangi
(Bupati, Pimpinan dan anggota dewan,
Muspida, serta beberapa dinas terkait
seperti Dinas Perhutani, Dinas Perijinan,
dan Dinas Pertambangan) terkesan
cenderung eksklusif dan menutup diri atas
aspirasi dan harapan dari publik
Banyuwangi. Kebijakan pertambangan
yang mereka rumuskan bercirikan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
15 | P a g e
preferensi kaum elit saja, dan menganulir
suara-suara dan harapan dari masyarakat.
Ini terbukti dari beberapa hasil wawancara
peneliti dengan tokoh-tokoh lokal, LSM-
LSM di Banyuwangi, dan warga dusun
Pancer tentunya yang merasa dijadikan
korban kebijakan, yang sama sekali tidak
dihiraukan aspirasinya.
Untuk menganalisis kebijakan
pertambangan di Hutan Lindung Gunung
Tumpang Pitu (HLGTP) Banyuwangi yang
memiliki kecenderungan di dominasi oleh
elit ini, begitu tepat jika menggunakan
suatu pendekatan (teori) elit. Seperti yang
kita ketahui, dalam teori elit (elite theory),
suatu kebijakan di rumuskan atau dibuat
hanya merepresentasikan kepentingan elit
saja. Sedangkan kepentingan dan aspirasi
dari akar rumput (grasrooth) tidaklah
begitu di hiraukan.
Dari sudut pandang teori elit (elite
theory), kebijakan publik dapat dianggap
sebagai nilai dan pilihan elit pemerintah
semata. Penjelasan pokok dari teori ini
adalah bahwa kebijakan publik tidak
ditentukan oleh massa melalui permintaan
dan tindakan mereka tetapi kebijakan
publik diputuskan oleh suatu elit yang
mengatur dan dipengaruhi oleh instansi
pejabat publik. Model teori elit
mengasumsikan bahwa didalam setiap
masyarakat pasti terdapat dua kelompok
yaitu pemegang kekuasaan (elite) dan yang
tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori
ini mengembangkan diri pada kenyataan
bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias
didalam formulasi kebijakan karena pada
akhirnya kebijakan-kebijakan yang
dilahirkan merupakan preferensi politik
dari kaum elit. Lebih jelasnya, Thomas
Dye dan Harmer Zeigler (dalam Nawawi:
50) memberikan ringkasan mengenai teori
elit, sebagai berikut:
(1) Masyarakat dapat dibagi menjadi
dua. Pertama, mereka-mereka yang
sedikit mempunyai kekuasaan dan,
kedua, mereka yang banyak tidak
memiliki kekuasaan. Dan hanya
beberapa orang yang memberikan
nilai untuk masyarakat dan massa
tidak memutuskan suatu kebijakan
publik.
(2) Sedikit orang yang memerintah
tidak sama dengan massa yang
diperintah. Elite secara tidak
proporsional diambil dari
masyarakat dengan tingkat sosial
ekonomi yang lebih tinggi.
(3) Pergerakan dari non-elit ke posisi
elit harus kontinyu agar terpelihara
stabilitas dan menghindari
perubahan secara besar-besaran.
Hanya non-elit yang telah diterima
dalam kesepakatan elit dasar dapat
diijinkan masuk dalam lingkaran
pemerintah
(4) Elit membuat kesepakatan
berdasarkan sistem nilai sosial dan
pemeliharaan sistem.
(5) Kebijakan publik tidaklah
mencerminkan kebutuhan massa
tetapi lebih mencerminkan nilai-
nilai dan kebutuhan elit.
(6) Elit yang aktif lebih merupakan
subyek pengaruh langsung dari
massa yang apatis yang relatif
kecil. Elit lebih banyak
memengaruhi massa dari pada
massa yang memengaruhi elit.
Teori elit merupakan teori
pembentukan kebijakan yang agak
provokasi. Kebijakan merupakan
hasil keluaran elit yang
mencerminkan nilai mereka dengan
tujuan melayani mereka, salah satu
yang mungkin keinginan publik
adalah visi kesejahteraan massa
secara imaginer. Teori elit
memusatkan perhatian pada tugas
elit dalam perumusan kebijakan
dan pada kenyataannya bahwa
dalam sistem politik orang yang
memerintah jauh lebih sedikit dari
pada orang yang diperintah.
Ada dua penilaian di dalam
pendekatan ini, yakni negative dan positif.
Pada pandangan negative dikemukakan
bahwa pada akhirnya didalam sistem
politik pemegang kekuasaan politiklah
yang menyelenggarakan kekuasaan sesuai
dengan selera dan keinginannya. Dalam
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
16 | P a g e
konteks ini rakyat dianggap sebagai
kelompok yang dimanipulasi sedemikian
rupa agar tidak masuk dalam proses
formulasi kebijakan. Pemilihan umum pun
bukan bermakna partisipasi melainkan
mobilisasi.
Pandangan positif melihat bahwa
seseorang elit menduduki puncak
kekuasaan karena berhasil memenangkan
gagasan membawa negara-bangsa ke
kondisi yang lebih baik dibandingkan
dengan pesaingnya. Pemimpin atau elit
pasti mempunyai visi tentang
kepemimpinannya dan kebijakan publik
adalah bagian dari karyanya untuk
mewujud-nyatakan visi tersebut menjadi
kenyataan. Tidak ada yang secara mutlak
keliru karena ini hanya masalah preferensi
dari visi elit serta tentang bagaimana
tujuan atau cita-cita bangsa yang sudah
disepakati akan dijalani melalui jalur yang
diyakininya (Nugroho: 2004).
Berangkat dari fakta di lapangan,
maka yang dimaksud dua kelompok dalam
teori elit ini yaitu pemegang
kekuasaan/elite(Bupati Banyuwangi saat
itu, Muspida, dinas terkait, anggota DPRD
Banyuwangi hingga pihak Perusahaan/PT.
IMN) dan yang tidak memiliki
kekuasaan/massa (warga dusun Pancer,
masyarakat Banyuwangi, dan LSM-LSM
setempat). Teori ini berargumentasi bahwa
sedemokratis apapun sebuah kebijakan di
rumuskan, maka tetap saja pada akhirnya
kebijakan-kebijakan yang dilahirkan
merupakan preferensi politik dari para
kaum elit. Sama halnya yang terjadi di
Banyuwangi dalam kasus perumusan
kebijakan pertambangan di Hutan Lindung
Gunung Tumpang Pitu (HLGTP), semula
warga setempat pada tahun 2006 pernah di
sodori lembaran angket oleh pemerintah
desa melalui RT setempat yang berisi
pertanyaan terkait apakah mereka setuju
dengan akan adanya aktivitas industri
pertambangan di dusun mereka, yang mana
saat itu seluruh warga dusun Pancer
menyatakan menolak dengan berbagai
macam alasan, seperti khawatir akan
tercemarnya laut yang selama ini menjadi
tempat mata pencaharian mereka karena
kebanyakan warga pesisir Pancer
berprofesi sebagai nelayan, sawah dan
ladang yang takut tercemar limbah tailing
hasil olah tambang yang mengalir dari
sungai Gonggo yang ada di lereng gunung
tumpang pitu, hingga kekhawatiran akan
adanya konflik sosial seperti yang terjadi
di berbagai tempat lain (Bima, Papua dan
Kalimantan). Seluruh warga bersepakat
untuk menolak keberadaan operasi
pertambangan oleh PT. Indo Multi Niaga
(IMN). Aksi penolakan warga dusun
Pancer pun juga turut di amini oleh
berbagai LSM yang ada di sekitar
Banyuwangi, semacam Kurva Hijau,
Komunitas Pecinta Alam Pemerhati
Lingkungan (Kappala), dan Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam). Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi mengklaim bahwa
cara-cara dalam mengambil keputusan
(izin tambang) telah dilakukan dengan
begitu demokratis, terbukti melalui adanya
proses dilibatkannya masyarakat dusun
Pancer dalam angket yang diselenggarakan
oleh pemerintah desa Sumberagung.
Namun, secara tiba-tiba izin
penelitian (eksplorasi) pertambangan itu
tetap diterbitkan kepada PT. IMN. Hasil
dari angket yang telah disebarkan
sebelumnya rupanya tidak begitu
diperhatikan oleh para pengambil
kebijakan, tetap saja para elit memiliki
pandangan dan argumentasi tersendiri.
Maka tetap saja pada akhirnya kebijakan-
kebijakan yang dilahirkan merupakan
preferensi politik dari para kaum elit.
Pelibatan masyarakat lokal dusun Pancer
sepertinya hanya sebatas mengisi angket
saja, tidak lebih. Setelah itu izin eksplorasi
tetap turun dan memberikan karpet merah
bagi pihak perusahaan untuk segera
melakukan penelitian (eksplorasi) atas
kandungan emas dan biji mineral lainnya
di HLGTP.
Para elit penguasa terkesan
menggunakan kekuasaannnya dengan cita
rasa, selera dan keinginannya sendiri, ini
terbukti dengan surat izin eksplorasi
bernomor 188/57/KP/429.012/2007 yang
dikeluarkan Bupati saat itu yang cenderung
tidak prosedural karena begitu cepatnya
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
17 | P a g e
izin itu diterbitkan. Selain surat izin
eksplorasi tersebut, pihak perusahaan juga
telah mengantongi surat izin eksplorasi
dari Kementrian Kehutanan bernomor
S.406/MENHUT-VII/PW/2007, dan kedua
surat inilah yang kemudian melancarkan
jalannya operasi industri pertambangan di
Banyuwangi. Sementara di sisi lain, warga
yang tidak tahu apa-apa hanya menjadi
obyek sebuah kebijakan yang tidak
menghiraukan suara rakyat. Dalam konteks
ini rakyat dianggap sebagai kelompok
yang dimanipulasi sedemikian rupa agar
tidak masuk dalam proses formulasi
kebijakan.
Pandangan Thomas Dye dan
Harmer Zeigler yang teringkas dalam
enam poin diatas nampaknya cukup
relevan dengan fakta yang terjadi di
lapangan, perihal non-elit dan sistem yang
di bangun oleh kaum elit misalnya. Non-
elit cenderung di pinggirkan dan tidak
diberi ruang dalam skenario kebijakan
pertambangan emas di HLGTP yang telah
di rumuskan oleh elit pemerintah. Mereka
yang tergolong non-elit tidak akan diterima
untuk masuk dalam lingkaran kepentingan
elit selagi mereka tidak mau menyepakati
atas sistem nilai sosial dan aturan yang
telah dirancang oleh kaum elit. Dan hanya
non-elit yang bersedia menyepakati dan
memelihara sistem yang telah dibangun
yang diberikan izin untuk masuk ke dalam
lingkaran kepentingan kekuasaan/elit.
Seorang tokoh masyarakat di Banyuwangi
menolak sistem dan skenario kebijakan
pertambangan yang telah ada, maka dia
tidak akan bisa masuk/di masukkan dalam
lingkaran kepentingan elit, akan tetapi
ketika dia menyepakati sistem yang telah
ada, maka dia mendapat izin untuk
masuk/bahkan sengaja dimasukkan dalam
lingkaran tersebut, dan pasti juga akan
turut menerima bagian dari hasil sikapnya
yang menerima sistem tadi. Ini bisa terjadi
karena kaum elit telah membangun dan
membuat kesepakatan berdasarkan sistem
nilai sosial dan upaya pemeliharaan atas
sistem yang telah ada.
Gambar 1
MODEL ELIT
Sumber: Sholichin Abdul Wahab, 2008:94
Pada gambar di atas tampak bahwa
kelompok elit secara top down membuat
kebijakan publik untuk di implementasikan
oleh administrator publik kepada rakyat
banyak atau massa. Pendekatan ini dapat
dikaitkan dengan paradigma pemisahan
antara politik dengan administrasi publik
yang di ikonkan dalam konstanta where
politics end administrations begin.Jadi,
model elit merupakan abstraksi dari proses
formulasi kebijakan dimana kebijakan
publik merupakan perspeksi elit politik.
Prinsip dasarnya adalah karena setiap elit
politik ingin mempertahankan status quo
maka kebijakannya menjadi bersifat
konservatif. Kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh para elit politik tidaklah berarti
selalu mementingkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu tidak ada kelompok
masyarakat diluar mereka yang ikut
menentukan kebijakan. Dan birokrasi
adalah pelaksana yang patuh atas semua
kebijakan tersebut (Wibawa, 2011:17).
Corak kebijakan yang top-down
seringkali menimbulkan beragam
persoalan di tataran implementasi, semisal
perlawanan oleh masyarakat sebagai
bentuk ketidakpuasan atas partisipasi
mereka yang merasa telah di pasung. Aksi
perlawanan atas kebijakan yang bersifat
top down ini juga terjadi dalam kasus di
HLGTP Banyuwangi. Saat itu, ribuan
massa dengan mengendarai puluhan truk
melakukan unjuk rasa di depan gedung
dewan, mereka merasa kecewa kepada
Elit
Pejabat Pemerintah dan
Administrator
Massa
Arah Kebijakan
Pelaksanaan Kebijakan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
18 | P a g e
para anggota dewan yang bagi mereka
sebenarnya merupakan harapan terakhir
ketika pihak eksekutif tidak lagi mau
mendengarkan aspirasi mereka. Namun
yang terjadi, anggota dewan pun juga tak
jauh berbeda sikapnya dengan para elit
penguasa di atas, mereka malah memberi
rekomendasi bagi PT IMN untuk
meneruskan proses selanjutnya ke tahap
eksploitasi, yang mana alasan mereka
adalah pembangunan dan naiknya
Pendapatan Asli Daerah (PAD) haruslah
menjadi prioritas bagi Banyuwangi, yang
terpenting bagi DPRD adalah upaya
kontrol dari masyarakat Banyuwangi atas
pelaksanaan operasi industri tersebut.
Faktanya, kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh para elit politik tidaklah
berarti selalu mementingkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu tidak ada kelompok
masyarakat diluar mereka yang ikut
menentukan kebijakan. Dan birokrasi
adalah pelaksana yang patuh atas semua
kebijakan tersebut. Dinas-dinas terkait
(Dinas Perijinan, Dinas Perhutani KPH
Banyuwangi Selatan, Dinas Pertambangan)
menjadi alat pemulus suatu kebijakan, ia
hanya mengekor apa yang dikehendaki
oleh kaum elit politik saja. Sehingga
birokrasi-birokrasi terkait tak ubahnya
seperti kepanjangan tangan para penguasa.
Melalui teori elit (elite theory) ini,
telah tergambar jelas bagaimana kebijakan
pertambangan emas di Hutan Lindung
Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) dapat
dipastikan akan berwarna kepentingan elit-
elit yang berkuasa di bandingkan dengan
kebutuhan dan tuntutan publik. Karena
pada dasarnya ketika elit merumuskan
kebijakan, maka kebijakan-kebijakan itu
sebenarnya berusaha untuk
mempertahankan kekuasaannya, kebijakan
yang menguntungkan dirinya, hingga
kebijakan yang berusaha meminggirkan
partisipasi publik akan lebihbanyak
muncul.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Berlangsungnya Kebijakan
Pertambangan di Hutan Lindung
Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)
Banyuwangi.
Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi seringkali menjadi
faktor determinan dalam menentukan
sebuah arah kebijakan publik. Kepentingan
ekonomi kaum elit seringkali terbungkus
rapi dengan tema kepentingan publik
(masyarakat). Faktor ekonomi pada suatu
titik juga akan berfungsi untuk mengawal
berlangsungnya suatu kebijakan di
lapangan. Faktor ini tentu tidak
menghendaki sebuah kebijakan yang telah
dirumuskan oleh para elit politik akan
kacau ketika berada pada tataran
implementasi.
Pemerintah Daerah melalui Dinas
Pertambangan Kabupaten Banyuwangi
mengemukakan bahwasannya dengan
adanya penambangan di kawasan Hutan
Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)
dapat menimbulkan dampak positif yaitu:
(1) Meningkatnya Pendapatan Masyarakat
(2) Meningkatkan iklim investasi
(3) Meningkatkan mobilitas dan
pemerataan pembangunan
(4) Serta meningkatkan Pajak Daerah dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dari dampak positif tersebut para
elit pembuat kebijakan mengasumsikan
kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi
dan pendapatan daerah akan meningkat.
Padahal tanpa adanya sistem manajemen
yang baik terkait pengelolaan
pertambangan bisa jadi harapan itu akan
nihil, pasalnya di beberapa tempat seperti
di Kalimantan (sekitar permukiman suku
Dayak Siang) ataupun di Papua
(Tembagapura) juga masih terjadi
ketimpangan soal kesejahteraan
masyarakat sekitar tambang. Masyarakat
yang tidak mendapat imbas positif dari
hasil eksploitasi, bahkan dalam beberapa
kasus mereka malah menjadi korban
tailing yang mengalir melalui sungai-
sungai disekitar area tambang yang
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
19 | P a g e
kemudian mengakibatkan beragam
penyakit dalam bagi warga sekitar.
Asumsi para elit pembuat kebijakan
di Banyuwangi cenderung bersifat
normatif, ketika ada operasi industri
pertambangan pasti akan membawa berkah
berupa kesejahteraan bagi semua kalangan,
padahal asumsi-asumsi yang kurang
dilandasi pertimbangan matang dan tanpa
ada studi komparatif dengan di lokasi
tambang lain sangat berpotensi jauh dari
dugaan awal para pembuat kebijakan.
Kesejahteraan yang menjadi tujuan
normatif tanpa adanya mekanisme
pengaturan yang jelas soal tata kelola, bagi
hasil, penanganan tailing yang baik, hingga
pada tahap reklamasi yang harus di atur
sedari awal, sangat memungkinkan akan
terjadi kekacauan dikemudian hari.
Bagaimana tidak, pertambangan adalah
soal investasi (bisnis), dan tentu para
investor akan menggunakan prinsip
mengeluarkan modal sesedikit mungkin
untuk kemudian memperoleh keuntungan
sebesar mungkin, dengan jalan yang relatif
tidak menyulitkan. Prinsip investasi
semacam ini jika tidak di antisipasi sejak
dini oleh para perumus kebijakan di
khawatirkan akan merusak skenario
kebijakan yang telah disusun dengan baik.
Sehingga pada level tertentu alternatif
kebijakan yang telah disiapkan tidak akan
bisa menjadi jalan tengah untuk
menyelesaikan suatu persoalan.
Empat poin (dampak positif dari
pertambangan) di atas (Meningkatnya
pendapatan masyarakat, meningkatkan
iklim investasi, meningkatkan mobilitas
dan pemerataan pembangunan, serta
meningkatkan pajak daerah dan
pendapatan asli daerah), akan menjadi sia-
sia belaka ketika kaum elit hanya
memposisikan diri sebagai fasilitator bagi
para investor. Kecenderungan kaum elit
politik Banyuwangi yang memposisikan
diri sebagai fasilitator ini terbukti melalui
fakta prosedur perizinan yang relatif begitu
cepat dan tanpa adanya pertimbangan-
pertimbangan yang matang. Selain
prosedur perizinan yang begitu cepatnya,
pertimbangan-pertimbangan lokasi
pertambangan yang berada di kawasan
hutan lindung, resapan air hingga pesisir
pantai Pancer penghasil ikan terbesar
kedua di Banyuwangi setelah Muncar juga
tidak begitu diperhatikan. Mereka
cenderung hanya memfasilitasi keinginan
pemodal.
Harusnya, pemerintah kabupaten
Banyuwangi belajar banyak dari
pengalaman pemerintah pusat di era orde
baru dengan corak dan posisi sebagai
fasilitator bagi para investor asing. Hutan
dan isi bumi yang diobral habis oleh
pemerintah orde baru yang kemudian
menimbulkan beragam problem dilapis
bawah merupakan fakta yang tidaklah bisa
dipungkiri. Suku dayak siang di
Kalimantan yang terpinggirkan hingga
terusir dari tanah kelahirannya, kasus-
kasus asusila di sekitar lokasi tambang,
hingga kesejahteraan yang tak sampai ke
tangan masyarakat lokal dan hanya
tersedot ke pusat serta para investor saja
harusnya menjadi perhatian serius bagi
para elit perumus kebijakan pertambangan
di HLGTP Banyuwangi. Daya tahan
pemerintah kita atas lobi-lobi kuat dari
kuasa modal memang seringkali luntur dan
luluh lantak.Melalui iming-iming bagi
hasil dibalik layar antara pihak kuasa
modal tadi dengan para elit acapkali
merusak nilai luhur dari suatu kebijakan.
Dari pihak legislatif, anggota
DPRD Kabupaten Banyuwangi yang
awalnya menolak, kemudian cenderung
menerima keberadaan operasi tambang.
Alasan utama mereka adalah perihal
kesejahteraan masyarakat Banyuwangi
yang tergolong perlu untuk ditingkatkan.
Selain itu meningkatnya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) juga selalu menjadi
prioritas bagi mereka, salah satunya
dengan mengoptimalkan operasi
pertambangan di HLGTP tersebut. Dengan
PAD yang meningkat otomatis juga akan
meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan,
dan perbaikan infrastruktur. Namun,
harapan dan tujuan yang sekaligus menjadi
faktor ekonomi di atas bisa jadi akan
menjadi semu ketika di wilayah perumusan
kebijakannya sudah ditemukan berbagai
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
20 | P a g e
problem. Masyarakat yang tidak
terakomodasi keikutsertaannya dalam
merumuskan kebijakan pertambangan
menjadi salah satu problem serius ketika
kebijakan tersebut nantinya berada pada
tahap implementasi. Perumusan kebijakan
pertambangan yang hanya melibatkan
kaum elit lokal (termasuk anggota DPRD
Banyuwangi) tentu menimbulkan berbagai
asumsi, mulai dari konspirasi hingga
adanya bagi hasil atas keuntungan
eksplorasi antara pihak perusahaan dengan
para elit penguasa.
Dari persoalan peningkatan PAD,
selanjutnya kita akan membahas perihal
tujuan pemerintah berikutnya, terciptanya
iklim investasi yang kondusif. Iklim
investasi yang kondusif selalu digembor-
gemborkan oleh pemerintah daerah, tentu
dengan tujuan agar para investor semakin
tertarik untuk menanamkan modal ataupun
menggarap beragam potensi SDA yang ada
di Banyuwangi. Namun, langkah yang
ditempuh Pemerintah Banyuwangi dengan
memberikan prosedur perijinan
pertambangan yang begitu singkat dan
tidak rumit, dengan harapan perusahaan-
perusahaan baik asing maupun lokal
menjadi tidak ragu untuk menanamkan
investasinya, bisa dianggap keliru dan
salah kaprah. Harusnya, prosedur perijinan
tetap berjalan sesuai aturan dan tidak
dipermudah sedemikian rupa. Kesan yang
kemudian timbul adalah di obral murahnya
SDA yang ada di Banyuwangi. Jika
pemerintah serius dalam upaya
menciptakan nuansa investasi yang
nyaman bagi investor, idealnya mereka
mampu memposisikan diri berada di
tengah-tengah masyarakat, atau sebagai
mediator dan bukan sebagai penikmat atas
iklim investasi yang nyaman tadi. Faktor
ekonomi lain yang menyebabkan
berlangsungnya kebijakan pertambangan
ini adalah adanya dorongan dan loby yang
kuat oleh pihak perusahaan PT. IMN. Dua
faktor terakhir (iklim investasi yang
kondusif dan adanya lobi), bagaimanapun
kepentingan bisnis juga akan mengambil
peran dalam proses-proses pembangunan
di suatu negara. Pemerintah kita memang
seringkali takluk ketika berhadapan dengan
lobi-lobi yang kuat dari pihak-pihak
perusahaan yang ada. Persoalan mental
bisa jadi menjadi faktor utama mengapa
acapkali pemerintah kita bertekuk lutut di
depan investor. PT. IMN melalui 4 pilar
program pro masyarakatnya tentu dianggap
juga akan mampu turut menopang
pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat
Banyuwangi. Adapun 4 pilar dari program
kemaslahatan PT. IMN adalah sebagai
berikut:
(1) Di bidang ekonomi, melalui
penguatan produktifitas nelayan
Dusun Pancer. Ini karena sebagian
besar matapencaharian masyarakat
tersebut adalah berprofesi sebagai
nelayan. PT. IMN siap membantu
dalam hal apapun, seperti
pengadaan peralatan untuk melaut
bagi para nelayan.
(2) Di bidang pendidikan, PT. IMN
telah mengadakan olimpiade
matematika untuk SMA
sekecamatan Pesanggaran.
(3) Di bidang kesehatan, melalui
pengobatan gratis, dan penyuluhan
bahaya virus HIV (karena di sekitar
area pertambangan terdapat
lokalisasi). Selain itu perusahaan
ini juga memiliki program kader
posyandu yang bertujuan agar taraf
kesehatan anak-anak di sekitar
Dusun Pancer terjaga
kesehatannya.
(4) Kualitas infrastruktur, terlihat
dengan telah di perbaikinya
beberapa akses jalan menuju area
pertambangan. Jalan yang
sebelumnya hanya tanah sekarang
telah di rubah dengan paping
sehingga mempermudah menuju
area wisata pulau merah dan area
pertambangan. (wawancara dengan
Musmin Nuryadi Humas PT. IMN).
Dorongan dan lobi yang kuat oleh
pihak perusahaan seringkali membuat
pihak birokrasi pemerintahan menjadi
bertekuk lutut. Belum lagi ketika pihak
perusahaan menyediakan beragam
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
21 | P a g e
program seperti 4 pilar diatas yang seolah-
olah sangat berpihak kepada masyarakat.
Melalui program-program CSR (Corporate
Social Responsibility) seringkali
perusahaan-perusahaan pertambangan
mengemas keberadaan mereka dengan
wajah yang santun dan peduli akan
masyarakat lokal, namun disisi lain
masyarakat juga harus mampu berfikir
kritis, karena bisa jadi program-program
dari pihak perusahaan tersebut hanya
upaya mengelabui ataupun membangun
citra positif di muka publik.
Faktor Politik
Aksi penolakan warga Pancer dan
sekitarnya terhadap keberedaan eksplorasi
tambang emas oleh PT IMN terus
berlangsung antara kurun waktu tahun
2006 sampai sekarang, hingga di beberapa
media baik cetak maupun elektronik,
warga yang tidak sepakat dengan
keberadaan perusahaan tersebut terus
mengecam kepemimpinan lokal. Fakta ini
dapat dimaklumi mengingat keberpihakan
proses politik lokal terhadap perusahaan
emas semakin transparan saat itu.
Sedangkan untuk mengukur adanya proses
politik lokal yang berpihak pada
perusahaan, lagi-lagi dapat kita lihat
melalui fakta tentang begitu cepatnya
proses dan prosedur perijinan yang di lalui
oleh PT IMN. Dalam konteks rencana
penambangan emas HLGTP, keinginan PT
IMN dan para elit politik lokal seolah
menjadi harga mati yang tidak bisa di
tawar-tawar lagi. Pemimpin lokal dan
pihak perusahaan mampu berjalan dengan
begitu sinergi untuk mengawal lancarnya
suatu ijin pertambangan.
Baik eksekutif maupun legislatif
terkesan berjalan sesuai dan seirama,
eksekutif bertindak cepat dengan
mengeluarkan ijin eksplorasi hingga
hampir eksploitasi serta memposisikan diri
layaknya bagai fasilitator pembangunan,
sementara DPRD Banyuwangi (legislatif)
juga mendukung keberlangsungan operasi
pertambangan oleh PT. IMN. Beberapa
anggota dewan dengan terang-terangan
menyatakan mendukung proses ekplorasi
dengan alasan globalisasi yang tak bisa
dibendung lagi, namun ketika mereka
ditanya apakah proses reklamasi misalnya,
telah terkonsep dengan baik? Rata-rata
mereka hanya mampu menjawab bahwa
setiap tahap pertambangan haruslah di
monitor. Ini menunjukkan terdapat
problem dalam tahap formulasi kebijakan,
bahwa begitu kurang matangnya konsep
perumusan kebijakan oleh elit lokal di
Banyuwangi. Skenario kebijakan
pertambangan di HLGTP yang dibangun
oleh elit pemerintah hanya bermuara pada
eksplorasi yang berujung eksploitasi tanpa
menyertakan konsep yang jelas mengenai
berbagai dampak yang akan muncul,
proses reklamasi yang tidak jelas, sampai
pada bagi hasil operasi tambang. Kondisi
yang berjalan hingga saat ini, seolah-olah
memang telah terskenario dengan rapi oleh
para elit pemerintahan. Sehingga harapan
dan janji para elit pemerintah terkait
kesejahteraan bagi masyarakat atas hasil
tambang hanya menjadi harapan yang
imaginer, dan berujung pada politisasi
sektor pertambangan.
Faktor politik disini mengandung
pengertian bahwa suatu kebijakan pasti
akan bermuatan politik, entah itu untuk
kepentingan melanggengkan kekuasaan si
pembuat kebijakan ataukah untuk
kepentingan elit politik tertentu. Fenomena
pemilihan kepala desa saja (pada tahun
2010), sudah bisa kita temukan bahwa
faktor politik juga berperan dalam upaya
mendukung berjalannya suatu kebijakan.
Terdapat calon yang didukung pihak
perusahaan dan calon yang tidak di
dukung. Belum lagi kalau berbicara faktor
politik ditingkat lebih atas, bisa jadi
keluarnya izin eksplorasi pertambangan ini
adalah sebagai simpanan modal bagi
penguasa saat itu untuk melanggengkan
kekuasaannya menjelang Pilkada akhir
tahun 2010.
Faktanya suatu kebijakan memang
seringkali di rumuskan bukan untuk
kepentingan publik, karena kebijakan telah
menjadi preferensi kaum elit saja. Inilah
yang kemudian disebut sebagai kebijakan
yang tidak berpihak kepada publik,
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
22 | P a g e
kebijakan yang hanya merepresentasikan
kebutuhan melanggengkan status quo dan
kekuasaan, kebijakan yang berfungsi
sebagai modal investasi untuk tujuan-
tujuan politik di masa akan datang.
Padahal seharusnya, kebijakan publik
harus merepresentasikan kehendak dan
keinginan serta kebutuhan publik.
Bahkan sebelum Pilkada akhir
tahun 2010, beberapa Partai pengusung
calon bupati menyatakan bahwa proses
ekplorasi tambang emas di HLGTP perlu
untuk di lanjutkan dengan alasan agar
Banyuwangi ke depan dapat lebih maju
dalam hal pembangunan. Menurut mereka,
saat ini kita sudah berada pada zaman
globalisasi, dimana pembangunan dan
investasi itu menjadi satu, dan kita tidak
bisa mengelak dari itu semua. Mereka
sepakat terhadap eksplorasi tambang emas
di HLGTP asal nantinya bermanfaat bagi
masyarakat Banyuwangi. Sebuah
argumentasi yang terbilang begitu polos,
menyerahkan pembangunan pada
mekanisme pasar yang begitu liar tanpa
ada upaya-upaya membentengi daerah dan
masyarakat melalui paket-paket kebijakan
yang lebih populis.
Faktor politik disini mengandung
pengertian bahwa suatu kebijakan pasti
akan bermuatan politik, entah itu untuk
kepentingan melanggengkan kekuasaan si
pembuat kebijakan atau kah untuk
kepentingan elit politik tertentu. Yang
jelas, momentum ketika itu menjelang
Pemilihan Kepala Daerah, warga di
hadapkan untuk memilih antara calon yang
di dukung dan di danai oleh PT. IMN dan
calon yang menolak pertambangan. Bisa
jadi keluarnya izin pertambangan ini
adalah sebagai simpanan modal bagi
penguasa saat itu untuk melanggengkan
kekuasaannya menjelang Pilkada akhir
tahun 2010. Logika politik semacam ini
secara faktual seringkali terjadi di berbagai
daerah, investasi politik berupa jasa
(pemberian ijin eksplorasi tambang)
kepada pemilik modal menjadi barang
yang berharga untuk suksesi dan
melanggengkan status quo.
Berlangsungnya kebijakan
pertambangan emas di Banyuwangi
memang tidak bisa lepas dari dua faktor di
atas (faktor ekonomi dan politik). Kedua
faktor ini nampaknya berjalan seiring
sejalan. Pihak penguasa atau kaum elit
misalnya sengaja memperkaya diri dengan
mengambil keuntungan secara ekonomi
untuk menggapai tujuan politik di
kemudian hari. Karena fakta bahwa politik
memerlukan biaya (cost) yang tinggi telah
menjadi pemahaman bagi masyarakat saat
ini, sehingga mengakumulasi modal
menjadi sebuah keniscayaan bagi para elit.
Sedangkan pihak perusahaan yang
notabene memiliki kepentingan bisnis juga
akan bermain mata dengan elit pemegang
kekuasaan politik guna menjaga
kelangsungan operasi pertambangan.
Adapunmasyarakat yang tidak
mendapatkan bagian/tidak dilibatkan
dalam proses perumusan kebijakan hanya
akan menjadi penonton yang tak berkutik
dan hanya bisa berkomentar atas berbagai
fenomena yang terjadi di atas mereka. Hal
ini kemudian menyebabkan pro dan kontra
masih berlangsung hingga kini.
Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat
atas janji-janji pemerataan kesejahteraan
sebagai prinsip kebijakan pertambangan
dirasa hanya imaginer belaka dan jauh dari
kenyataan.
Aksi pro dan kontra niscaya tidak
akan terjadi ketika publik dilibatkan dalam
proses pembuatan kebijakan. Mereka yang
menolak atas operasi tambang dikarenakan
aspirasi mereka seperti kekhawatiran akan
rusaknya ekosistem dan mata pencaharian
sebagai nelayan akan hilang dan musnah
tidak pernah di akomodasi oleh pihak elit
pemerintah selaku perumus kebijakan.
Keberpihakan penguasa terhadap
pengusaha menjadikan masyarakat yang
kontra (menolak) tambang menjadi
semakin jengkel, apalagi ketika melihat
beberapa kelompok masyarakat yang pro
(menerima) operasi tambang mendapatkan
kompensasi ataupun memperoleh
pekerjaan dari pihak perusahaan (PT.
IMN).
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
23 | P a g e
Kebijakan Pertambangan Mineral oleh
Elit: Kesejahteraan Imaginer
Berlangsungnya kebijakan
pertambangan emas di Banyuwangi
memang tidak bisa lepas dari dua faktor,
ekonomi dan politik. Kedua faktor ini
nampaknya berjalan seiring sejalan. Pihak
penguasa atau kaum elit misalnya sengaja
memperkaya diri dengan mengambil
keuntungan secara ekonomi untuk
menggapai tujuan politik di kemudian hari.
Karena fakta bahwa politik memerlukan
biaya (cost) yang tinggi telah menjadi
pemahaman bagi masyarakat saat ini,
sehingga mengakumulasi modal menjadi
sebuah keniscayaan bagi para elit.
Sedangkan pihak perusahaan yang
notabene memiliki kepentingan bisnis juga
akan bermain mata dengan elit pemegang
kekuasaan politik guna menjaga
kelangsungan operasi pertambangan.
Sedangkan masyarakat yang tidak
mendapatkan bagian/tidak dilibatkan
dalam proses perumusan kebijakan hanya
akan menjadi penonton yang tak berkutik
dan hanya bisa berkomentar atas berbagai
fenomena yang terjadi di atas mereka. Hal
ini kemudian menyebabkan pro dan kontra
masih berlangsung hingga kini.
Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat
atas janji-janji pemerataan kesejahteraan
sebagai prinsip kebijakan pertambangan
dirasa hanya imaginer belaka dan jauh dari
kenyataan. Bagaimana tidak, faktanya para
elit dan pihak perusahaan melakukan
kerjasama dengan cukup erat dan rapi,
tentu mereka juga akan berbagi
keuntungan dari hasil olah tambang.
Kondisi semacam ini seringkali
mengakibatkan kesejahteraan rakyat
menjadi tidak begitu diperhatikan/di nomer
sekiankan. Dalam teori elit (elite theory),
inilah yang disebut kebijakan merupakan
hasil keluaran elit yang mencerminkan
nilai mereka dengan tujuan melayani
mereka, dan yang ada hanyalah visi
kesejahteraan massa secara imaginer
(Nawawi: 50).
Berkaitan dengan perihal
kesejahteraan bagi masyarakat, Pemerintah
Daerah harusnya selalu belajar banyak dari
pengalaman-pengalaman operasi
pertambangan di daerah-daerah lain.
Contoh paling mengemuka adalah
kebijakan pertambangan di Papua Barat
dengan PT. Freeport Indonesia-nya. PT.
Freeport Indonesia merupakan potret nyata
sektor pertambangan di Indonesia.
Keuntungan ekonomi yang dibayangkan
tidak seperti yang dijanjikan, sebaliknya
kondisi lingkungan dan masyarakat
disekitar lokasi pertambangan terus
memburuk dan menuai protes akibat
berbagai pelanggaran hukum dan HAM,
dampak lingkungan serta pemiskinan
terhadap rakyat sekitar tambang.
kesejahteraan yang awalnya dijanjikan
nyatanya hanya bersifat imaginer belaka.
Riset yang dilakukan oleh Walhi
yang dipublikasikan ulang pada tahun
2006 mendapatkan gambaran terkini
mengenai dampak operasi dan kerusakan
lingkungan disekitar lokasi pertambangan
PT. Freeport Indonesia. Hingga saat ini
sulit sekali bagi masyarakat lokal untuk
mendapatkan informasi yang jelas dan
menyeluruh mengenai dampak kegiatan
pertambangan skala besar di Indonesia.
Ketidakjelasan tersebut akhirnya berbuah
konflik berkepanjangan yang tak kunjung
usai. Negara telah gagal memberikan
perlindungan dan menjamin hak atas
lingkungan yang baik bagi masyarakat,
namun dilain pihak memberikan dukungan
penuh kepada perusahaan tersebut, yang
dibuktikan dengan pengerahan personil
militer dan membiarkan kerusakan
lingkungan serta mengeliminasi rakyat dari
daftar kesejahteraan.
Dampak lingkungan yang terjadi
disekitar area pertambangan PT. Freeport
Indonesia bukanlah hal yang terbilang
kecil, matinya sungai Aljkwa, Aghawagon
dan Otomona, tumpukan batuan limbah
tambang dan tailing yang menurut Walhi
jika ditotal mencapai 840.000 ton dan
matinya ekosistem disekitar lokasi
pertambangan merupakan fakta kerusakan
lingkungan yang nilainya tidak akan dapat
tergantikan. Kerusakan lingkungan yang
terjadi disana juga mencerminkan kondisi
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
24 | P a g e
pembiaran pelanggaran hukum atas nama
kepentingan ekonomi dan desakan politis
yang menggambarkan digdayanya kuasa
korporasi.
Dalam konteks pertambangan emas
di Banyuwangi, andai pemerintah daerah
mau belajar banyak dari kasus yang terjadi
di Papua maka niscaya pemerintah akan
mampu menggiring arus kepentingan
ekonomi (bisnis) perusahaan ke arah
meratanya bagi hasil keuntungan antara
pihak perusahaan, pemerintah dan
masyarakat tentunya. Sehingga
kesejahteraan tidak menjadi harapan semu
bagi rakyat.
Fakta bahwa di sekitar dusun
Pancer (area pertambangan) masih sering
terjadi penambangan liar oleh warga
setempat dan dari luar daerah serta kualitas
infrastruktur yang relatif kurang baik
menjadi bukti bahwa kesejahteraan yang
telah dijanjikan oleh para elit penguasa
adalah imaginer. Para nelayan yang kini
kesulitan mencari buruh untuk melaut -
karena warga lokal lebih tertarik bekerja
ditambang - juga sekaligus menambah
daftar nihilnya kesejahteraan bagi warga
sekitar, bahkan kecenderungan yang ada
malah semakin menghimpit kesempatan
dan peluang kerja bagi sektor lain, yakni
nelayan dengan lautnya.
Kesejahteraan yang tidak merata
dan tidak berkeadilan ini tentunya telah
menciderai amanat UUD 1945 terutama
dari pasal 33. Pasal ini berbunyi “Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat”.Pasal ini merupakan
salah satu prinsip mendasar tentang
bagaimana seharusnya sumberdaya alam
kita dikelola.
SIMPULAN
Proses perumusan (formulasi)
kebijakan pertambangan emas di Hutan
Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP)
Banyuwangi memang sempat melibatkan
peran serta masyarakat berupa penyebaran
angket ke masyarakat lokal dusun Pancer,
namun proses pelibatan masyarakat
tersebut bisa dianggap masih semu karena
pada kenyataannya meski masyarakat
sepakat menolak akan adanya operasi
tambang emas oleh PT IMN, kebijakan
pemberian izin eksplorasi tersebut tetap
turun tanpa adanya izin sosial (social
lisence). Kebijakan pertambangan emas di
HLGTP cenderung merepresentasikan
kepentingan (dominasi) elit, terbukti peran
masyarakat yang sengaja di pinggirkan dan
tidak terakomodasi dengan baik. Kebijakan
hanya mencitrakan kepentingan elit lokal,
yang tentunya bekerja sama dengan pihak
perusahaan (private sector). Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan
pertambangan ini tidak dapat menemukan
titik kesepakatan, hingga pro dan kontra
tidak dapat terjembatani. Tidak
terakomodasinya seluruh kelompok
kepentingan dalam proses perumusan
kebijakan pertambangan mengakibatkan
kebijakan ini dianggap kurang begitu
populis. Sedangkan posisi dan peran
masyarakat dusun Pancer secara faktual
memang tidak dilibatkan dalam proses
perumusan kebijakan, sehingga
memunculkan kekesalan dan kemarahan
yang berujung pada berbagai tindakan
massa (demonstrasi, pembakaran kantor
PT IMN).
DAFTAR PUSTAKA
Moleong J. Lexy. 2007,Metodologi
Penelitian Kualitatif, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Nawawi, Ismail. 2009, Public Policy
(Analisis, Strategi Advokasi Teori
dan Praktek), PMN, Surabaya.
Nugroho, Riant D. 2004, kebijakan Publik
(Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi), PT Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Parsons, Wayne. 2008, Public Policy
(Pengantar Teori & Praktik Analisis
Kebijakan),Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Wahab, Solichin Abdul. 2005,Analisis
Kebijakan (Dari Formulasi ke
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
25 | P a g e
Implementasi Kebijakan Negara),
Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta.
Wibawa, Samodra. 2011,Politik
Perumusan Kebijakan Publik, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Salamudin, 2009,―Kebijakan Keruk Dari
Presiden Ke Presiden‖. GALI-
GALIJaringan Advokasi Tambang
(JATAM), Volume 3, Nomor 3,
Jakarta.
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan
(Andal) PT IMN.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
26 | P a g e
PENGEMBANGAN POTENSI WISATA UNGGULAN DI KABUPATEN BLITAR
Oleh:
M. Hassan Bisri
Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan
Universitas Islam Raden Rahmat
Malang – Indonesia
Abstrak
Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola
potensi wilayah untuk mengembangkan perekonomian daerah yang berorentasi
untuk menyejahterakan masyarakat sebagai stakeholders. Salah satu untuk
pengembangan potensi wilayah yang memiliki keunggulan dan menarik bagi
investasi adalah pengembangan potensi wisata. Dengan pengembangan potensi
wisata akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dan menjadi
sumber pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian potensi wisata unggulan di
Kabupaten Blitar ini memfokuskan studi pada karakter wisata air darat yang
meliputi wisata air terjun dan arung jeram, dengan menggunakan pendekatan studi
eksploratif dengan subjek masyarakat. Pendekatan kualitatif eksploratif ini
dilakukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang studi wisata dari
perspektif pengembangan yang meniscayakan keikutsertaan peran serta
masyarakat dan subjek-subjek lain, diantaranya Pemerintah daerah dan pelaku
wisata. Permasalahan utama dalam pengembangan potensi wisata saat ini antara
lain adanya keterbatasan dana/ anggaran. Hal ini memberikan pengaruh pada
ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Di samping itu, adanya
keterbatasan pengembangan konsep wisata dan kurangnya promosi mengenai
tempat-tempat wisata yang memiliki keindahan alam dan kelestarian lingkungan
yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Berbagai strategi
yang diperlukan untuk pengembangan potensi wisata unggulan di Kabupaten
Blitar, antara lain melalui kebijakan yang lebih berpihak pada sektor pariwisata
adalah pemberdayaan masyarakat.
Keyword: Otonomi Daerah, Pengembangan potensi lokal, Sektor Pariwisata,
PENDAHULUAN
Pada era otonomi daerah,
pemerintah mendapatkan ruang yang luas
untuk mendesain kebijakan pembangunan
yang berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat luas. Untuk mampu
mengoptimalkan pemerataan kesejahteraan
masyarakat maka pemerintah daerah harus
mampu mendesain kebijakan-kebijakan
yang bertumpu pada optimalisasi
sumberdaya lokal yang potensial.
Pariwisata menjadi salah satu sektor yang
memiliki potensi besar untuk
dikembangkan dan dikelola menjadi
sumber pendapatan daerah. Disamping itu,
sektor pariwisata dapat dioptimalkan untuk
mendorong berjalannya kegiatan ekonomi
masyarakat di sekitar objek
wisata.Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan menyimpulkan bahwa secara
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
27 | P a g e
signifikan pariwisata dapat memberikan
kontribusi kepada negara dalam tiga
bentuk, yaitu: perluasan kesempatan kerja,
peningkatan pendapatan dan devisa, serta
pemerataan pembangunan antar wilayah.
Kabupaten Blitar adalah salah satu
kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang
memiliki lokasi strategis yang terletak di
jalur utama perekonomian yang
menguntungkan Kabupaten Blitar sebagai
salah satu tujuan investasi. Namun dari
keseluruhan di Kabupaten Blitar masih
banyak objek wisata alam potensial yang
belum dikembangkan dan dikelola dengan
optimal oleh pemerintah Kabupaten Blitar.
Oleh karena itu, diperlukan pengembangan
potensi untuk memetakan kawasan potensi
wisata alam secara efektif dan efisien,
terutama untuk daerah Kabupaten Blitar
yang masih menyimpan banyak kawasan
wisata alam yang belum dieksplorasi dan
dikembangkan untuk kepentingan
pengembangan potensi pariwisata
unggulan daerah.
Pariwisata adalah sektor yang
mengambil peranan penting di suatu
wilayah daerah. Tingkat kunjungan
seseorang ke suatu daerah sebagaian besar
didasarkan oleh daya tarik pariwisata
didaerah tersebut. Hal ini akan juga
memicu berkembangnya sektor
perekonomian masyarakat, baik dalam
kegiatan jual beli maupun munculnya
usaha pendukung, seperti pusat kerajinan
dan sebagainya. Disamping itu juga
hadirnya bisnis yang lain, seperti kuliner.
Keterkaitan pariwisata dengan sektor
lainnya tidak dapat dipisahkan. Salah satu
cara untuk membangun potensi wisata
unggulan adalah melakukan branding atau
pengenalan nama tempat wisata kepada
calon pengunjung. Dalam konteks
pemerekan (branding) kegiatan
memberikan kesadaran (awareness) ini
merupakan langkah awal untuk
menumbuhkan persepsi positif dan juga
loyalitas para wisatawan. Branding
merupakan alat strategi yang tergolong
baru dan memiliki kemampuan yang besar
dalam menguji, menjelaskan, serta
menciptakan nilai dari sebuah tempat
tujuan wisata. Beberapa penelitian terbaru
menjelaskan bahwa untuk mewujudkan
tujuan wisata yang sukses terdapat dua
langkah utama, yaitu: menciptakan suatu
pengalaman yang menyenangkan bagi
pengunjungnya (Snepenger, et. al.,2004);
dan mengembangkan brand dari tempat
wisata tersebut (Kotler, 2009). Dengan
menciptakan suatu pengalaman akan
menimbulkan keterikatan antara
pengunjung dan tempat wisata itu sendiri.
Bagi sebuah bisnis pariwisata modern
harus mampu memahami dan
menambahkan keinginan pelanggannya
untuk meningkatkan nilai dari pariwisata
itu sendiri. Membangun, menawarkan dan
mengelola sebuah pengalaman wisata
menjadi aspek utama untuk mencapai
inovasi produk wisata (Voss, 2004). Jika
pengalaman wisata tersebut dapat dikelola
dengan baik, maka akan mendorong
tempat wisata itu untuk meningkatkan
pangsa pasar dan daya saing (Pine and
Gilmore, 1998). untuk membangun suatu
tujuan wisata adalah memperkuat brand
yang dimiliki. Pada dasarnya membangun
brand suatu produk, jasa ataupun tempat
wisata adalah bukan hal yang mudah.
Apalagi pencapaian keberhasilan suatu
brand tidak dapat dilihat secara nyata.
Brand itu dikatakan berhasil jika para
pengunjung merasa puas setelah
berkunjung ke suatu tempat wisata.
Perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana akar permasalahan yang
dihadapi oleh sektor pariwisata di
Kabupaten blitar? dan strategi apa saja
untuk membangun potensi wisata unggulan
di Kabupaten blitar?
Adapun tujuan dalam penelitian ini
adalah Untuk mengetahui permasalahan
yang dihadapi oleh sektor pariwisata di
Kabupaten Blitar dan Untuk mengetahui
strategi membangun wisata unggulan di
Kabupaten Blitar.
Metodologi Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian dan
perumusan masalah maka jenis penelitian
ini menggunakan pengukuran-pengukuran
yang bersifat kualitatif eksploratif.
Penelitian kualitatif dilakukan dengan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
28 | P a g e
metode etnografi (ethnographic study),
dengan wawancara mendalam untuk
memperoleh thick description (deskripsi
mendalam) atas pengalaman subjek yakni:
tentang eksplorasi pengembangan potensi
wisata dari perspektif pengalaman subyek.
Metode kualitatif berkontribusi pada
eksplorasi secara mendalam atas fenomena
sosial di masyarakat, amat sesuai dengan
kondisi dan karakter masyarakat yang
diteliti berkaitan dengan pengembangan
potensi wisata di Kabupaten Blitar.
Jenis metode penelitian kualitatif
eksploratif, yaitu: peneliti akan
melaporkan dan menjelaskan data apa
adanya berdasarkan temuan di lapangan
melalui aktivitas penggalian data secara
eksploratif dengan melibatkan beberapa
informan penting terkait dengan
pengembangan wisata di kabupaten Blitar.
Oleh karenanya, peneliti akan meliputi
jangkauan wilayah penelitian di sekitar
lokasi tempat wisata di kabupaten Blitar,
sehingga diperoleh temuan data yang
akurat dan merepresentasikan keadaan
masyarakat sebenarnya terkait objek
wisata. Dalam metode kualitatif
eksploratif, diperlukan beberapa informan
yang tersebar secara proporsional di 4
(empat) lokasi tempat wisata di Kabupaten
Blitar. Instrumen yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah pedoman
wawancara kualitatif. Teknik pengumpulan
data, menggunakan teknik wawancara
mendalam (in-depth interview), dilakukan
terhadap 20 narasumber utama yang
berdekatan dengan lokasi tempat wisata
yaitu dari unsur masyarakat di Kabupaten
Blitar, pelaku wisata, tokoh masyarakat,
pemerintah desa, pemerintah kecamatan
dan pemerintah kabupaten.Analisa data
dalam penelitian ini menggunakan
variabel-variabel yang akan diukur dalam
penelitian meliputi : a). Respons
masyarakat pada sektor wisata daerah, b).
Respons dan harapan masyarakat pada
pengembangan potensi wisata daerah, c).
Manfaat sosial dan ekonomi bagi
masyarakat, d). Strategi pengembangan
potensi wisata daerah.
Variabel-variabel tersebut
kemudian akan dianalisis dengan metode
focussed synthesis untuk
mengidentifikasikan dan mengetahui
hubungan antar variabel. Dimana apabila
terdapat hubungan antar keduanya, maka
terdapat tingkat ketergantungan yang
saling mempengaruhi yaitu perubahan
variabel yang satu ikut mempengaruhi
perubahan pada variabel lain. Teknik
focus-synthesis ini juga sekaligus
menyandingkan dan membandingkan data-
data yang diperoleh dari tiap-tiap nara
sumber terkait dengan indikator dan
variabel yang sedang diukur. Simpulan
dari tiap-tiap variabel dari akumulasi
sejumlah narasumber kemudian dianalisis
dengan cara direduksi, disandingkan dan
dibandingkan dengan simpulan dari
variabel lain yang juga diukur. Sehingga
hasilnya dianalisis dan dideskripsikan.
Analisis Data dan Pembahasan
AnalisisPotensi dan Strategi
Pengembangan Wisata Unggulan di
Kabupaten Blitar
a. Pemetaan Permasalahan Sektor
Pariwisata di Kabupaten Blitar
Permasalahan yang dihadapi oleh
sektor pariwisata di Kabupaten Blitar
relatif kompleks. Namun, menurut salah
satu informan di lapangan menegaskan
bahwa keterbatasan dana/anggaran dari
Pemerintah Kabupaten Blitar merupakan
salah satu permasalahan utama. Informan
memberikan alasan bahwa dana/anggaran
yang memadai dapat dialokasikan untuk
perbaikan fasilitas sarana dan prasarana
pariwisata. Bahkan menurut informan
permasalahan juga dapat berkaitan dengan
kebijakan Pemerintah Daerah sendiri yang
kurang peduli mengenai potensi wisata
yang ada. Jadi, dari hasil wawancara dari
informan setidaknya dapat ditarik suatu
permasalahan utama. Pertama, anggaran.
Hal yang dimaksud adalah keterbatasan
dana/anggaran dari Pemerintah Kabupaten
Blitar untuk pengembangan sektor
pariwisata. Hal ini dapat dikaitkan dengan
kebijakan pemerintah daerah setempat.
Permasalahan lain yang dapat
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
29 | P a g e
diidentifikasi adalah promosi, sebagian
objek wisata di Kabupaten Blitar kurang
begitu dikenal oleh wisatawan jika
dibandingkan dengan daerah lain.Kedua,
infrastruktur dan jalan akses ke lokasi
wisata potensial.
Analisis Optimalisasi dan Integrasi
Sumberdaya Pariwisata
a. Sumberdaya Wisata dan Alam
Sumberdaya Wisata dan Alam
merupakan salah satu faktor yang penting
untuk mengembangkan potensi wisata
unggulan di Kabupaten Blitar. Keindahan
alam dan kelestarian lingkungan sebagai
instrumen yang menjadi dasar utama
dalam menciptakan tempat wisata alam
yang mampu menarik para wisatawan.
Selanjutnya keindahan lingkungan alam
yang alami dan lokasi yang strategis
tempat wisata juga akan menjadi
pemikiran untuk mengoptimalkan tempat
wisata alam. Bentuk dataran alam dan
lingkungan yang masih alami akan
menjadi keistimewaan tersendiri bagi
objek wisata.
Dari berbagai macam keindahan
alam dan lingkungan disekitar tempat
wisata seperti yang diungkapkan diatas
perlu menjadi perhatian utama pemerintah
setempat dalam upaya untuk
mengoptimalkan pengembangan sektor
wisata alam, sehingga potensi wisata yang
ada akan tereksplorasi dengan maksimal
untuk menciptakan tempat wisata unggulan
yang menjadi perhatian masyarakat untuk
berkunjung ke lokasi tempat
wisata.Pemerintah juga harus
memperhatikan dengan serius mengenai
potensi keindahan alam yang masih alami
dan seharusnya untuk ditindaklanjuti untuk
pengembangannya.
b. Sumberdaya Manusia dan Budaya
Dalam upaya untuk optimalisasi
pengembangan sektor pariwisata yang
berbasis pada wisata alam, selain faktor
sumberdaya alam yang harus diperhatikan
kesiapan sumberdaya manusia dan budaya
lokal masyarakat di sekitar lokasi tempat
wisata. Kemajuan objek wisata tidak
terlepas dari faktor kualitas sumberdaya
manusia di masyarakat di sekitar tempat
objek wisata. Selain itu juga sumberdaya
budaya masyarakat tentu akan menjadi
penunjang perkembangan wisata alam.
Sumberdaya budaya lokal menjadi
karakteristik wilayah lokasi tempat wisata
alam dan menjadi tujuan utama bagi para
wisatawan untuk berkunjung ke tempat
objek wisata, selain ke tempat lokasi
wisata lainnya.
Dari berbagai penjelasan yang
diungkapkan diatas sumberdaya manusia
dan budaya menjadi karateristik utama
dalam perkembangan sector pariwisata.
Budaya masyarakat merupakan warisan
leluhur yang harus dipelihara untuk
mengembangkan adat istiadat masyarakat
lokal dan menjaga kelestarian tradisi
masyarakat yang menunjang
perkembangan sektor pariwisata lainnya
untuk kemajuan suatu daerah dengan
menjaga kearifan lokal yang telah melekat
di masyarakat. Hal ini yang akan menjadi
dasar utama untuk strategi perkembangan
wisata unggulan yang menjadi harapan
masyarakat dan pemerintah setempat.
Analisis Sistem Pariwisata
a. Strategi dan Pendekatan
Pengembangan Wisata
Pengembangan potensi wisata
unggulan memang membutuhkan adanya
strategi dan pendekatan yang tepat
sehingga menambah daya tarik objek
wisata yang ada, termasuk di Kabupaten
Blitar. Hal ini akan meningkatkan jumlah
kunjungan wisatawan. Adanya pendapatan
dari kunjungan wisatawan pada gilirannya
dapat memajukan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat, khususnya
warga yang berdomisili di lingkungan
sekitar objek wisata di Kabupaten Blitar.
Berbicara strategi tentunya tidak
dapat dilepaskan dari kebijakan yang telah
dan akan ditempuh oleh Pemerintah
Daerah, dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten Blitar, untuk mengembangkan
sektor pariwisata di wilayahnya. Dari hasil
wawancara dengan informan dilapangan
dapat diidentifikasi bahwa selama ini
pengembangan sektor pariwisata belum
menjadi prioritas kebijakan atau fokus
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
30 | P a g e
utama dari Pemerintah Kabupaten Blitar.
Selain itu, sebenarnya Kabupaten Blitar
telah memiliki potensi untuk dapat
dikembangkan dalam sektor wisata.
Namun demikian, menurut informan
hingga saat ini tampaknya masih belum
dianggap menarik oleh pengunjung objek
wisata.Selanjutnya, pengembangan sektor
pariwisata sangat memerlukan kerjasama
antara Pemerintah Kabupaten Blitar
dengan Sektor swasta (privat sector).
Artinya bahwa pihak swasta memiliki dana
berupa investasi yang dapat dialokasikan
untuk pembangunan di sektor pariwisata.
Di samping itu, perlu adanya
promosi sebagai instrumen untuk
memperkenalkan berbagai destinasi wisata
di Kabupaten Blitar. Berbagai strategi yang
telah diungkapkan tersebut sangat perlu
untuk ditindaklanjuti. Hal ini diharapkan
akan memberikan hasil positif pada
pengembangan sektor pariwisata.
Keberhasilan suatu strategi dapat
memajukan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat, khususnya
warga yang berdomisili di lingkungan
sekitar objek wisata di Kabupaten Blitar.
Selanjutnya, sehubungan dengan
keberhasilan suatu strategi, maka hal ini
akan membawa dampak terhadap
pembangunan sektor wisata pada
peningkatan kesejahteraan dan
perekonomian masyarakat.Intinya bahwa
pengelolaan objek wisata yang dapat
menarik wisatawan untuk berkunjung
mampu membuka lapangan pekerjaan yang
nantinya akan dapat memajukan
perekonomian masyarakat setempat pada
khususnya dan masyarakat Kabupaten
Blitar pada umumnya.
Peran Pemerintah Kabupaten Blitar
dalam Pengembangan Sektor Pariwisata
Untuk tingkat pengembangan
sektor pariwisata dapat dilihat dari ada
tidaknya peran dan upaya pemerintah.
Secara umum, dalam konteks Kabupaten
Blitar, pemerintah daerah telah berperan
dan melakukan berbagai upaya untuk
memajukan sektor pariwisata. Ada
beberapa upaya yang dilakukan Pemkab
Blitar, yaitu:
a) Melalui pemberdayaan masyarakat
wisata meliputi: desa wisata, dan duta
wisata.
b) Mengusulkan tentang kualitas destinasi
wisata.
c) Sebagai kebutuhan teknis Dinas
Pemuda dan Olahraga, Kebudayaan
dan Pariwisata (DISPORBUDPAR)
meningkatkan pembangunan pada
bidang wisata dengan dirangkul untuk
mengembangkan dan mempromosikan
tempat wisata yang sudah dikelola oleh
pemerintahan daerah.
Di sisi lain, upaya pemerintah
daerah perlu didukung oleh masyarakat
setempat. Tanpa dukungan masyarakat,
maka akan sulit untuk mengembangkan
sektor pariwisata. Dalam konteks ini upaya
Pemerintah Kabupaten Blitar masih belum
cukup untuk meningkatkan dukungan dari
masyarakat (setempat). Untuk itu, peran
dan upaya dari berbagai pihak harus
dilakukan secara berkelanjutan.
Peran Masyarakat, Sektor Swasta, dan
Pelaku Wisata
Peran dan upaya Pemerintah
Kabupaten Blitar untuk mengembangkan
bidang pariwisata tentunya harus
diimbangi dengan adanya kehadiran dan
partisipasi pihak lain, dalam konteks ini
masyarakat dan sektor swasta. Adanya
antusiasme dari masyarakat meskipun
tidak demikian halnya dengan pihak
swasta. Berdasarkan hasil wawancara di
lapangan dapat dinyatakan bahwa secara
umum masyarakat telah berperan dan
berupaya untuk ikut mengembangkan
sektor pariwisata dengan cara memberikan
dukungan, bahkan berpartisipasi dalam
kegiatan tertentu. Sedangkan dari pihak
swasta masih belum menunjukkan
partisipasinya secara signifikan.
Harapan terhadap Pengembangan
Sektor Pariwisata
Mengenai harapan terhadap
pengembangan sektor Pariwisata di
Kabupaten Blitar. Sehubungan dengan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
31 | P a g e
meningkatnya jumlah wisatawan yang
mengunjungi objek wisata di Kabupaten
Blitar. Darilaporan hasil wawancara
menunjukkan bahwa harapan dari
pengembangan objek wisata Kabupaten
Blitar adalah dapat menyejahterakan
masyarakat, memberikan lapangan
pekerjaan untuk masyarakat sekitar tempat
wisata. Harapan utamanya adalah
pariwisata di Kabupaten Blitar dapat
dikenal oleh masyarakat luas, baik
wisatawan domestik maupun mancanegara,
serta dapat memberikan pendapatan
(income) untuk Pemerintah Kabupaten
Blitar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan
tentang potensi dan strategi pengembangan
wisata unggulan di Kabupaten Blitar, maka
dari penelitian ini dapat ditarik
kesimpulansebagai berikut:
1. Wisata alam air terjun di Kabupaten
Blitar memiliki potensi untuk
dikembangkan, namun masih terdapat
beberapa permasalahan. Selama ini
permasalahan yang dihadapi oleh
sektor pariwisata di Kabupaten Blitar
relatif kompleks. Permasalahan utama
yang dapat diidentifikasi, yaitu:
keterbatasan dana/anggaran dari
Pemerintah Kabupaten Blitar. Hal ini
memberikan pengaruh pada
ketersediaan infrastruktur dan fasilitas
pendukung lainnya. Di samping itu,
keterbatasan pengembangan konsep
wisata dan kurangnya promosi juga
menjadi kendala dalam
memperkenalkan dan
mengembangkan sektor tersebut.
2. Pada skala tertentu Pemerintah
Kabupaten Blitar telah memberikan
dukungan terhadap pengembangan
sektor pariwisata. Namun, tingkat
partisipasi warga masyarakat juga
membawa pengaruh pada bentuk dan
jenis dukungan. Artinya, semakin
tinggi tingkat partisipasi warga, maka
Pemerintah Kabupaten Blitar juga
akan mendukung pengembangan
sektor tersebut. Demikian pula
sebaliknya.
3. Berbagai strategi yang diperlukan
untuk pengembangan potensi wisata
unggulan di Kabupaten Blitar, antara
lain melalui kebijakan yang lebih
berpihak lagi pada sektor pariwisata
adalah community development atau
pemberdayaan masyarakat
sekitarsehingga dapat memajukan
sektor tersebut, kerjasama dengan
pihak swasta/investor untuk
pembangunan sarana-prasarana dan
pengelolaan objek wisata, serta
meningkatkan daya promosi wisata
Kabupaten Blitar yang dapat
dilakukan melalui berbagai media,
baik media cetak maupun media
elektronik.
Saran
1. Perlu adanya perhatian dan komitmen
yang lebih nyata dalam
pengembangan sektor pariwisata di
Kabupaten Blitar dengan menambah
alokasi anggaran untuk memfasilitasi
sektor tersebut, terutama menyediakan
infrastruktur yang memadai (termasuk
akses jalan). Dalam konteks ini,
ketersediaan infrastruktur dapat
menjadi salah satu faktor utama yang
mampu meningkatkan (arus) mobilitas
wisatawan ke suatu objek wisata.
2. Perlu adanya koordinasi yang lebih
intensif antar instansi di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Blitar bagi
pengembangan sektor pariwisata.
Selain itu dibutuhkan adanya sinergi
yang dapat berupa kemitraan antara
Pemerintah Kabupaten Blitar dengan
sektor swasta dan masyarakat,
khususnya warga yang berdomisili di
daerah sekitar objek wisata. Khusus
dengan warga masyarakat sekitar
objek wisata, menggunakan strategi
integrated community
development.Dengan adanya pola
kemitraan dan integrated community
development ini, maka diharapkan
juga akan dapat meringankan beban
anggaran daerah sekaligus
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
32 | P a g e
memberdayakan masyarakat
Kabupaten Blitar.
3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut
terkait dengan topik tentang sektor
pariwisata, seperti pemetaan
pariwisata secara spesial atau
pengembangan potensi dan model
desa wisata di Kabupaten Blitar
dengan pendekatan ICD – IMC atau
integrated community development –
integrated marketing communication.
DAFTAR PUSTAKA
Fandeli, Chafid, 1997. Dasar-dasar
Manajemen Kepariwisataan Alam.
Yogyakarta: Liberty
Fiatiano, Edwin. Tata Cara Mengemas
Produk Pariwisata pada Daerah
Tujuan Wisata, (Online),
(http://journal.unair.ac.id/...diakses 4
Mei 2010.
Ilyas, Muhammad. 2009. Strategi
Pengembangan Pariwisata
Kepulauan Togean di Kabupaten
Tojo Una-Una. Tesis. Makassar:
Program Studi Perencanaan
Pengembangan Wilayah. Program
Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Kodhyat H, 1996. Sejarah Pariwisata dan
Perkembangannya di Indonesia.
Jakarta: Grasindo
Kotler and Gertner, 2002. Conceptualizing,
Measuring and Managing Customer
Based-Brand Equity. Journal of
Marketing.
Pendit, Nyoman S, 1999. Ilmu Pariwisata
Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:
PT. Pradnya Paramita
Pine and Gilmore, 1998. Building
Contemporary Brands: A
Sponsorship Based Strategy, Journal
of Business Research, 58.
Pitana, Gde, dan Diarta, I Ketut Surya.
2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.
Yogyakarta: CV. Andi Offset
Radiawan, Hari, Hartati, dan Soepomo, Sri
Sadah, 1997/1998.
PengembanganJaringan Ekonomi di
Kawasan Pariwisata. Jakarta: CV.
Bupara Nugraha
Snepenger, et. al.,2004. Marketing
Management 13th edition, Prentice
Hall, New Jersey.
Soekadijo, R. G, 1997. Anatomi Pariwisata
: Memahami Pariwisata
SebagaiSistem Linkage. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Spillane, James, J, 1994. Pariwisata
Indonesia : Siasat Ekonomi dan
RekayasaKebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius
Suwantoro, Gamal, 1997. Dasar-dasar
Pariwisata.Yogyakarta: ANDY
Voss, 2004. The New Strategic Brand
Management: Creating and
Sustaining Brand Equity Long Term
3rd, Londres, Kogan.
Wahab, Salah dkk, 1997. Pemasaran
Pariwisata. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita
Yoeti, Oka A, 1990. Pengantar Ilmu
Pariwisata. Bandung: Angkasa
______, 1996. Pemasaran Pariwisata.
Bandung: Angkasa
______, 1997. Perencanaan dan
Pengembangan Pariwisata.
Jakarta:PT. PradnyaParamita.
Yudhiantari, Luh Putu Emi. 2002.
Ekowisata sebagai Alternatif dalam
Pengembangan Pariwisata yang
Berkelanjutan di Desa Wongaya
Gede, Kecamatan Penebel-Bali,
(Online),
(http://eprints.undip.ac.id_3jan11.pdf
, diakses 6 Januari 2011).
Sumber lain:
Undang-Undang No. 10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan
Kompas, 19 Desember 2012.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
33 | P a g e
NKRI DI SIMPANG JALAN: SEBUAH TELAAH KRITIS IMPLEMENTASI 13
TAHUN PERJALANAN OTONOMI DAERAH PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK
Mahathir Muhammad Iqbal
Universitas Islam Raden Rahmat Malang
Abstrak
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945 secara konstitusional
maupun legal diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Sebagaimana digariskan dalam Penjelasan UU No. 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa melalui otonomi luas, daerah diharapkan
mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan keadilan, keistimewaaan dan kekhususan, serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah merupakan sarana untuk mencapai tujuan bernegara dalam
mewujudkan kesatuan bangsayang demokratis. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara selalu menekankan
konsepsi Negara tersebut sebagai bentuk keseimbangan antara kebutuhan
menerapkan otonomi daerah dan kebutuhan memperkuat persatuan nasional.
Kata Kunci: otonomi daerah, pemerintahan daerah, demokrasi, pemerataan
keadilan
PENDAHULUAN
Perdebatan panjang mengenai
persatuan dan kesatuan bangsa dan
ancaman disintegrasi bangsa akhir-akhir
ini muncul kembali seiring dengan adanya
gerakan massif maupun yang bersifat
psikologis ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Tuntutan akan pemerataan hasil
pembangunan dan pelayanan publik
kadang-kadang menjadi alasan untuk
melakukan pemisahan yang dapat berubah
menjadi gerakan emosional.
Di dalam sejarah pemerintahan,
kehendak untuk memisahkan diri pada
umumnya dikarenakan oleh ketidakpuasan
masyarakat lokal terhadap pemerintahan
nasional mereka. Hancurnya imperium Uni
Soviet merupakan contoh yang sangat
jelas. Demikian juga dengan terkoyak-
koyaknya Yugoslavia yang kemudian
hanya meninggalkan sejarah negeri itu.
Kita harus belajar dari Negara-negara
tersebut. Oleh karena itu otonomi daerah di
Indonesia diharapkan merupakan wahana
yang efektif untuk menjaga terpeliharanya
kesatuan.
Integrasi nasional yang sudah
berhasil diwujudkan setelah melalui proses
yang sangat panjang dan kompleks
menjadi sebuah masalah yang harus
dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang
ini. Tantangan terhadap integrasi nasional
ini mewujudkan dirinya dengan munculnya
konflik komunal dan gerakan separatisme
di beberapa daerah yang merupakan bagian
dari Negara Kesatuan.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
34 | P a g e
Sementara itu, masyarakat
Indonesia sudah sepakat bahwa Negara
Kesatuan yang dibangun dan dijaga selama
lebih dari setengah abad akan tetap dijaga
terus sekalipun dengan menghadapi
tantangan-tantangan yang sangat besar.
Memang, setelah lepasnya Timor Timur
dari Negara Kesatuan hal itu menjadi
inspirasi dari sekelompok orang di
beberapa wilayah Negara untuk mengikuti
jejak wilayah tersebut untuk memilih
berpisah setelah lebih dari dua dasawarsa
terintegrasi dengan Indonesia.
Pilihan otonomi daerah luas
merupakan pilihan yang sangat strategis
dalam rangka memelihara nation state
(negara bangsa) yang sudah lama kita
bangun dan kita pelihara. Dengan otonomi
kita harus mengembalikan harkat,
martabat, serta harga diri masyarakat di
daerah, karena masyarakat di daerah
selama puluhan tahun lebih, bahkan sejak
masa kemerdekaan telah mengalami proses
marginalisasi. Mereka bahkan mengalami
alienasi dalam segala bentuk pembuatan
kebijaksanaan publik. Jakarta, yang
merupakan ibukota negara, tidak lebih dari
―Batavia‖ pada masa pemerintahan
kolonial, yang selalu memandang rendah
masyarakat di daerah, dan bahkan
menjadikan daerah hanya sebagai obyek
eksploitasi kepentingan orang-orang di
Jakarta. Segala bentuk kebijaksanaan
publik yang bersifat nasional ditentukan
oleh sekelompok kecil orang di Jakarta,
sementara masyarakat di daerah
diwajibkan untuk mensukseskannya di
dalam proses implementasi kebijaksanaan
tersebut.
Kalau dicermati, tuntutan daerah-
daerah tertentu kepada pusat yang
mengemuka sebenarnya bukan pada
perubahan bentuk negara, tetapi lebih
kepada menuntut keadilan dalam
pembagian hasil kekayaan secara
berimbang, kesenjangan pembangunan dan
kesejahteraan antara pusat-daerah, antara
kawasan timur-barat Indonesia, disamping
masalah pengelolaan pemerintahan yang
terlalu sentralistik selam orde baru, karena
sepanjang orde baru, hampir seluruh
kekayaan daerah berupa uang, emas, perak,
logam, minyak, rempah, dan buah semua
digotong ke Jakarta. Pohon, lading, kebun
boleh di daerah, tetapi ―buah‖ dan ―uang‖
ada di Jakarta. Singkat cerita, daerah
menanam Jakarta memanen. (Lihat pada
tulisan Ahmad Mujahid Darlan dalam
buku “Memperkokoh Otonomi Daerah”).
Kita tidak mungkin menafikan
gejala kehendak untuk memisahkan diri
dari dua kelompok masyarakat di Negara
Republik Indonesia, yaitu masyarakat
Aceh dan Irian Jaya yang sekarang
menjadi Papua. Kehendak untuk
memisahkan diri dari dua kelompok
masyarakat tersebut dikarenakan
pengalaman pemerintahan masa lampau
yang tidak memberikan peluang yang
sepantasnya bagi mereka untuk
mengembangkan diri semaksimal mungkin
sesuai potensi yang mereka miliki. Pada
masa lampau otonomi bukan dianggap
sebagai hak yang melekat bagi masyarakat
daerah sebagai bagian dari sebuah
pemerintahan demokrasi. Otonomi daerah
pada masa pemerintahan orde baru
merupakan kosa kata yang seringkali
dipersepsikan secara negatif dengan
menekankan pentingnya tanggung jawab
daerah di dalam memelihara dan menjaga
negara kesatuan.
Apakah memang diharapkan
kebijaksanaan otonomi daerah akan
mampu memelihara integrasi nasional? Hal
itu akan kita lihat kemudian. Hanya saja,
kita memang harus menyadari bahwa
integrasi nasional kata Reinhard Bendix
(1976) sebenarnya merupakan sebuah
proses untuk mengubah loyalitas yang
bersifat sempit, yang bersumber dari nilai-
nilai yang bersifat askriptif pada loyalitas
yang lebih luas, yaitu Negara bangsa. Dan
hal itu tidaklah mudah karena harus
dilakukan secara perlahan yang dilakukan
secara perlahan yang dimulai dengan
pemberian hak-hak politik (politik
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
35 | P a g e
franchise) kepada segenap lapisan
masyarakat ini dalam sebuah Negara.1
Dalam esai ini, saya akan mencoba
mengeksplorasi bagaimana pentingnya
sebuah kebijakan otonomi daerah dalam
perspektif ekonomi-politik terhadap usaha
untuk memelihara integrasi nasional.
Sebuah kebijakan nasional yang baik
belum tentu dapat diimplementasikan
dengan baik pula jika begitu banyak
kepentingan yang terlibat. Implementasi
dari kebijaksanaan otonomi daerah akan
ikut menentukan keberhasilan dari usaha
memelihara Negara bangsa atau menjaga
integrasi nasional.
KONSEP IDEAL OTONOMI
DAERAH
Saya akan memulainya dengan
tujuan ideal diberlakukannya kebijakan
otonomi daerah. Isran Noor dalam buku
Politik Otonomi Daerah Untuk Penguatan
NKRI menegaskan bahwa pelaksanaan
otonomi daerah sebagai amanat UUD 1945
secara konstitusional maupun legal
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat. Sebagaimana
digariskan dalam Penjelasan UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
ditegaskan bahwa melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan
daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan keadilan, keis-
timewaaan dan kekhususan, serta potensi
dan keanekaragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hari Sabarno dalam bukunya yang
berjudul “Memandu Otonomi Daerah
Menjaga Kesatuan Bangsa” menulis
bahwa otonomi daerah merupakan sarana
untuk mencapai tujuan bernegara dalam
mewujudkan kesatuan bangsa (national
unity) yang demokratis. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai konstitusi Negara selalu
1Lihat tulisan Drs. H. Syaukani, HR dkk dalam
buku bertajuk ―Otonomi Daerah Dalam
Negara kesatuan‖ pada BAB VIII.
menekankan konsepsi Negara tersebut
sebagai bentuk keseimbangan antara
kebutuhan menerapkan otonomi daerah
dan kebutuhan memperkuat persatuan
nasional. Dalam kerangka ini, maka ada
ketentuan-ketentuan yang harus dijalankan
sebagai konsekuensi logis, yakni:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah
dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab di
daerah secara proporsional
diwujudkan dengan pengaturan
pembagian dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadlian serta
perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
2. Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dan memperhatikan
keanekaragaman daerah.
3. Pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumberdaya nasional
antara pusat dan daerah dilaksanakan
secara adil untuk kemakmuran
masyarakat daerah dan bangsa secara
keseluruhan.
4. Pengelolaan sumberdaya alam
dilakukan secara efektif dan efisien,
bertanggung jawab, transparan,
terbuka dan dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan yang luas
kepada usaha kecil, menengah, dan
koperasi.
5. Perimbangan keuangan pusat dan
daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan potensi daerah, luas
daerah, keadaan geografi, jumlah
penduduk, dan tingkat pendapatan
masyarakat di daerah.
6. Pemerintah daerah berwenang
mengelola sumberdaya nasional dan
bertanggung jawab memelihara
kelestarian lingkungan.
7. Penyelenggaraan otonomi daerah,
pengaturan pembagian dana
pemanfaatan sumberdaya nasional
yang berkeadilan, dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah dalam
kerangka mempertahankan dana,
memperkokoh NKRI dilaksanakan
berdasarkan asas kerakyatan dan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
36 | P a g e
berkesinambungan yang diperkuat
dengan pengawasan DPRD dan
masyarakat.
PEMBAHASAN
Pertanyaannya sekarang ialah
apakah pelaksanaan otonomi daerah
selama ini sudah bermuara pada tujuan-
tujuan ideal diatas? Dalam kurun waktu 10
tahun, yakni pada tahun 1999-2009,
pertumbuhan otonom baru di Indonesia
mencapai 64% atau bertambah 205 daerah
baru. Rinciannya ada 7 provinsi baru, 164
Kabupaten baru, dan 34 Kota baru. Karena
itu, pada saat itu Indonesia terdiri atas 524
daerah yang meliputi 33 Provinsi, 398
Kabupaten, dan 93 Kota.
Berdasar catatan JPIP (The Jawa
Post Institute of Pro Otonomi), pemekaran
daerah banyak terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid (1999-2001) dan Presiden
Megawati (2001-2004). Saat itu,
pemerintah dan DPR mengesahkan 103
Undang-Undang tentang daerah otonom
baru.2
Bagaimana hasilnya? Pada tahun
2008, United Nations Development
Programme (UNDP) dan Bappenas
melakukan studi di 72 kabupaten-Kota di 6
Provinsi. Di antara Kabupaten-Kota
tersebut, dipilih 26 Kabupaten-Kota
sebagai sampel. Yaitu, 10 Kabupaten
sebagai daerah induk, 10 Kabupaten
sebagai DOB, dan 6 Kabupaten sebagai
daerah kontrol. Hasilnya, kondisi DOB
masih jauh tertinggal dari daerah induk dan
daerahkontrol atau rata-rata Kabupaten di
Indonesia.3
Evaluasi tersebut melihat DOB dari
4 aspek. Yaitu, perekonomian daerah,
keuangan daerah, pelayanan publik, dan
aparatur pemerintahan daerah. Dari aspek
perekonomian daerah, bisa dilihat dari
pembagian sumberdaya ekonomi di DOB
2 Lihat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 26
Januari 2010 pada rubrik PRO-OTONOMI, hal
3. 3 Lihat dalam surat kabar Jawa Pos edisi 16
februari 2010 pada rubrik PRO-OTONOMI,
hal 8.
tidak merata dan beban jumlah penduduk
miskin semakin meningkat. Itu terjadi
karena keterbatasan SDA, SDM, dan
belum maksimalnya dukungan pemerintah.
SDA umumnya menjadi dominasi daerah
induk.
Dari segi pengelolaan keuangan
daerah, DOB memiliki ketergantungan
fiskal yang tinggi terhadap pemerintah
pusat. Di sisi lain, Pendapatan Asli Daerah
(PAD) kurang bisa dioptimalkan. Dalam
hal ini, PAD tidak identik dengan
peningkatan pajak dan retribusi. Sebab,
tatanan system, regulasi, kelembagaan
ataupun individu belum optimal.
Aspek pelayanan publik dilihat dari
3 hal. Yaitu: pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur. Diantara 3 aspek tersebut,
kesehatan mengalami peningkatan dari
segi sarana dan prasarana. Untuk
pendidikan dan infrastruktur, daerah induk
menunjukkan hasil yang lebih bagus,
meski telah terjadi perbaikan di daerah
otonom baru. Namun, perbaikan dalam
tiga hal itu belum mampu mendorong
peningkatan ekonomi daerah.
Untuk aparatur pemerintah daerah,
secara kualitas lebih rendah bila dibanding
daerah induk dan daerah kontrol.
Misalnya, aparatur yang dibutuhkan tidak
sesuai yang tersedia, banyak aparatur yang
bekerja tidak sesuai pembagian kerjanya,
dan bekerja di bawah jam yang
seharusnya.
Dalam perspektif nasional, Dalam
kurun waktu 1,5 tahun (antara Januari
2010 hingga Juni 2011), kenaikan
kekayaan orang Indonesia ditaksir
mencapai USD 420 miliar atau sekitar Rp
3.738 triliun. Hal itu menjadikan total
kekayaan orang Indonesia pada
pertengahan 2011 mencapai USD 1,8
triliun atau sekitar Rp 16.000 triliun.4
Pada konteks ini, ada beberapa
fakta menarik untuk diungkapkan.
Pertama, masih tingginya tingkat
ketimpangan kemiskinan antardaerah.
4http://feb.ub.ac.id/agus-suman-orang-kaya-
kemiskinan.html
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
37 | P a g e
Secara umum, kinerja pertumbuhan
ekonomi nasional triwulan II memang
mencapai 6,5 persen. Namun, sayang,
penyumbang terbesar PDB masih saja
didominasi Pulau Jawa dan Sumatera
sebesar 81,2 persen, Kalimantan 9,5
persen, Sulawesi 4,7 persen, dan sisanya
4,6 persen tersebar merata di daerah yang
lain.
Dampak ketimpangan itu
memperlebar jurang kemiskinan
antardaerah. Tak salah, kontributor utama
penduduk miskin di Indonesia berada di
kawasan timur Indonesia (KTI) yang
masih minim kontribusi PDB, khususnya
daerah Papua dan Maluku, yang mencapai
25,95 persen.
Masalah ketimpangan
kesejahteraan ekonomi itulah yang menjadi
salah satu penyebab utama pemicu
terjadinya kerusuhan di Papua belakangan
ini. Berbagai upaya pendekatan telah
dilakukan pemerintah pusat untuk
meredam konflik di Papua, baik dari sisi
politik, hukum, budaya, maupun sosial
ekonomi. Salah satu contoh, yaitu melalui
pendekatan ekonomi yang diwujudkan
dalam bentuk konsistensi desentralisasi
fiskal Papua dan Papua Barat.
Pembiayaan pusat ke Papua dan
Papua Barat dalam tujuh tahun terakhir ini
meningkat lebih dari 100 persen. Jika pada
2004–2005 alokasi dana otsus (otonomi
khusus), dana sektoral, dan dana alokasi
umum ke daerah berkisar sekitar Rp 13
triliun, tahun ini alokasinya meningkat
drastis menjadi Rp 30 triliun. Meski
demikian, hal itu kurang membuahkan
hasil. Sebab, ditengarai triliunan rupiah
dana tersebut diselewengkan banyak pihak,
termasuk para pejabat di Papua dan Papua
Barat itu sendiri.
Kedua, semakin meningkatnya
jumlah penduduk miskin. Laporan BPS
menyebut kan, jumlah penduduk miskin di
Indonesia selama dua tahun terakhir
(2008–2010) turun sekitar 4 juta orang,
dari 35 juta orang menjadi 31 juta orang.
Selain itu, per Maret 2011 jumlah
penduduk miskin Indonesia turun satu juta
orang (0,84 persen) jika dibandingkan
dengan per Maret 2010. Hasilnya, jumlah
penduduk miskin per Maret 2011 di
Indonesia sebesar 30,02 juta orang (12,49
persen dari total penduduk Indonesia).
Namun, sayangnya, moncernya
pencapaian kinerja tersebut terbantahkan
oleh fakta baru bahwa jumlah penduduk
miskin di Indonesia meningkat sekitar 2,7
juta orang sejak 2008 hingga 2010.Pada
2008, jumlah penduduk miskin di
Indonesia 40,4 juta orang dan pada 2010
menjadi 43,1 juta orang.
Ketiga, semakin rendahnya tingkat
distribusi pendapatan nasional. Realitas
yang ada menunjukkan tingkat distribusi
pendapatan nasional semakin
memprihatinkan, khususnya bila ditinjau
dari gini ratio (GR).
Keempat, semakin lebarnya tingkat
ketimpangan desa dan kota. Ketimpangan
desa dan kota selama ini merupakan faktor
utama penyebab kemiskinan di Indonesia
tak kunjung selesai. Data menunjukkan,
per Maret 2011 penduduk miskin di desa
tercatat 18,97 juta orang, sedangkan di
kota hanya 11,05 juta orang.
Hal itu disebabkan semakin
timpangnya pedesaan dan perkotaan.
Indeks kedalaman kemiskinan (P1) dan
indeks keparahan kemiskinan (P2) di
daerah pedesaan masih jauh lebih tinggi
jika dibandingkan perkotaan sampai saat
ini. Pada Maret 2010, nilai indeks P1
perkotaan hanya hanya 1,57 sementara di
daerah pedesaan mencapai 2,80. Nilai
indeks P2 untuk perkotaan hanya 0,40,
sementara di daerah pedesaan mencapai
0,75.
Data terbaru menyebutkan, Maret
2011 menunjukkan bahwa indeks ‖P1‖
perkotaan hanya 1,51, sedangkan pedesaan
malah mencapai 2,96. Sedangkan untuk
‖P2‖ di perkotaan sebesar 0,35 dan
pedesaan mencapai 0,72. Kesimpulannya
bahwa tingkat kemiskinan di daerah
pedesaan jauh lebih buruk daripada daerah
perkotaan.
Pertumbuhan ekonomi yang
eksklusif saat ini telah menjerumuskan
sekian banyak penduduk Indonesia dalam
jurang kemelaratan dan ketimpangan.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
38 | P a g e
Hanya sebagian kecil penduduk negeri ini
yang menikmati tingginya pertumbuhan
ekonomi.
Selain itu, Hasil survei nasional
Indo Barometer mengenai Evaluasi 13
Tahun Reformasi mengindikasikan
buruknya kinerja pemerintahan, khususnya
di bidang ekonomi. Kenyataan itu seakan-
akan menjadi alarm alias peringatan bagi
SBY-Boediono dan jajaran menteri
pembantunya.
Betapa tidak, berdasar hasil survei
tersebut, ketidakpuasan masyarakat
terhadap kinerja pemerintah yang paling
menonjol adalah di bidang ekonomi.
Sebanyak 55,8 persen publik menyatakan
tidak puas dan sebaliknya, 41,2 persen,
menyatakan puas. Terlepas dari metode
dan siapa objek survei Indo Barometer
tersebut, paling tidak hasil survei itu
membuka mata hati rakyat Indonesia pada
umumnya dan pemerintah khususnya.
Yakni tentang kondisi ekonomi sebenarnya
yang relatif masih jauh dari harapan.
Hasil kinerja makroekonomi
nasional triwulan I 2011 yang baru saja
dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS)
melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia mencapai 6,5 persen (padahal,
sebelumnya asumsi pemerintah hanya 6,3
persen). Tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia mencapai 6,8 persen dari total
angkatan kerja atau menurun daripada
Agustus 2010 sebesar 7,4 persen dan
Februari 2010 sebesar 7,41 persen.
Pencapaian kinerja ekonomi
pemerintah yang menggembirakan di atas
tak seharusnya membuat kita lupa diri.
Setidaknya terdapat beberapa realitas yang
cukup miris untuk diungkap. Pertama,
ketimpangan pertumbuhan sektor ekonomi
masih sangat mencolok. Pertumbuhan
ekonomi yang mencapai 6,5 persen
tersebut kurang didukung oleh
pertumbuhan di sektor riil (tradable
sector).
Sektor yang disebut terakhir itu
hanya tumbuh 3,4 persen untuk pertanian
dan 4,6 persen untuk industri. Hal tersebut
sangat kontras dengan pertumbuhan sektor
pengangkutan dan komunikasi yang
meningkat 13,8 persen serta sektor
perdagangan, hotel, dan restoran (PHR)
yang meningkat 7,9 persen.
Hal itu terjadi karena kebijakan
ekonomi pemerintah mengutamakan sektor
non-tradable (sektor keuangan, asuransi,
pengangkutan, komunikasi, perdagangan,
hotel, restoran, dan lain-lain). Akibatnya,
sektor riil terjebak dalam pertumbuhan
yang rendah sehingga masalah kemiskinan
dan pengangguran menjadi semakin sulit
untuk diatasi.
BPS juga melaporkan bahwa sejak
Februari 2010 hingga Februari 2011
hampir semua sektor mengalami kenaikan
jumlah pekerja. Kecuali sektor pertanian
dan sektor transportasi yang masing-
masing mengalami penurunan jumlah
pekerja sebesar 360 ribu orang (0,84
persen) dan 240 ribu orang (4,12 persen).
Belum lagi ancaman
deindustrialisasi yang mulai membayangi
perekonomian Indonesia saat ini. Hal itu
ditandai dengan ketergantungan terhadap
asing dan perusahaan asing. Tak pelak,
pertumbuhan impor terus melaju kencang
hingga mencatatkan rekor baru. BPS
mencatatkan, impor Maret 2011 mencapai
USD 14,48 miliar atau tumbuh 23,23
persen daripada Februari sebesar USD
11,75 miliar. Itu capaian impor bulanan
tertinggi sepanjang masa (Jawa Pos,
3/5/2011).
Peningkatan impor didominasi
kelompok bahan baku dengan porsi 73,93
persen dari sebelumnya 72 persen.
Sementara itu, impor kelompok barang
modal turun dari 19,8 persen menjadi 17
persen. Hal tersebut didukung hasil survei
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
di lima provinsi pada 2010 yang
menunjukkan bahwa mayoritas penjahit
penghasil produk tekstil industri rumah
tangga telah berganti profesi menjadi
pedagang karena mengalami banyak
hambatan selama menjadi produsen.
Hal itu terjadi karena mereka sulit
mendapatkan bahan baku, tidak mampu
bersaing dengan produk impor, terutama
dari Tiongkok yang harganya lebih murah,
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
39 | P a g e
dan lain-lain. Dengan begitu, mereka
merasa lebih nyaman menjadi pedagang.
Sejalan dengan itu, pada Desember
2010 Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) juga mengungkapkan
bahwa saat ini perekonomian nasional
mulai bergerak ke arah deindustrialisasi.
Apalagi Indonesia ikut serta dalam
perjanjian kawasan perdagangan bebas
ASEAN-Tiongkok (ACFTA) yang
menegaskan kehancuran industri dalam
negeri.
Sebagai ilustrasi, industri manufaktur di
Jatim yang merupakan salah satu
kontributor terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional tumbuh rendah. Hal itu
bisa dilihat dari pertumbuhan produksi
industri manufaktur besar dan sedang di
provinsi tersebut pada triwulan I 2011
yang hanya 0,53 persen daripada triwulan
IV 2010. Rendahnya pertumbuhan tersebut
mengikuti kinerja produksi industri
nasional yang minus 2,18 persen atau
menurun daripada pertumbuhan triwulan
IV 2010 yang tercatat 1,28 persen (Jawa
Pos, 5/5/2011).
Deskripsi di atas tak pelak
mengingatkan kita akan bahaya involusi
pertanian dan gejala deindustrialisasi.
Karena itu, pemerintah diharapkan
memberikan perhatian yang serius dan
cepat untuk mengatasi persoalan tersebut.
Kedua, terdapat ketimpangan
dalam distribusi pembangunan ekonomi
yang masih terkonsentrasi di Jawa dan
Sumatera. Berdasar laporan BPS,
kontribusi Jawa dan Sumatera terhadap
pembentukan PDB (produk domestik
bruto) 81,4 persen, Kalimantan 9,2 persen,
Sulawesi 4,6 persen, Bali dan Nusa
Tenggara 2,5 persen, serta Maluku dan
Papua 2,3 persen.
Terlepas dari banyaknya persoalan
dan masalah ekonomi yang dihadapi
Indonesia saat ini, dua aspek masalah di
atas merupakan hal penting yang harus
segera ditangani pemerintah. Dalam hal
ini, pemerintah dalam setiap kebijakannya
diharapkan lebih pro kepada rakyat dengan
cara mengembalikan dasar pembangunan
ekonomi pada sektor pertanian dan
industri.
Meletakkan sektor pertanian sebagai motor
penggerak pembangunan adalah skenario
yang harus segera dilakukan. Skenario itu
hendaknya bukan sebatas wacana, tetapi
diperlukan implementasi yang lebih nyata.
Masalah izin pengelolaan terhadap
sumber daya yang menguasai hajat hidup
orang banyak, seperti pertambangan,
kehutanan, dan perkebunan, harus diatur
sedemikian rupa sehingga lebih tampak
berpihak kepada masyarakat dan tidak
hanya berpihak kepada para pemilik modal
kakap. Regulasi yang berkaitan dengan
perdagangan juga perlu disempurnakan,
khususnya yang berkaitan dengan upaya
mengedepankan sektor kerakyatan agar
tidak tergusur penetrasi besar-besaran dari
para pelaku ekonomi besar. Penyehatan
beberapa aspek di atas diharapkan dapat
menyingkirkan patogen ketidakmerataan
secara lebih berkualitas.
KESIMPULAN
Dari data yang sudah saya
kemukakan diatas, jelas sudah bahwa
otonomi daerah selama ini telah gagal
mewujudkan tujuan idealnya. Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi
menilai, pemekaran wilayah yang sudah
dilakukan hingga kini belum memberikan
hasil yang memuaskan bagi kesejahteraan
rakyat. Gamawan bahkan mengatakan dari
hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah
70 persen dari 205 daerah otonom baru
(DOB) gagal.5
Bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menilai bahwa 80%
pemekaran wilayah telah gagal. "Dalam 10
tahun terakhir ada 205 daerah pemekaran.
80 Persen mengalamikegagalan," kata
Presiden SBY saat jumpa pers bersama
pimpinan DPR usai rapat konsultasi antara
DPR dan presiden di Istana Negara, Jl
Veteran, Jakarta, Rabu (14/7/2010).6
5http://nasional.kompas.com/read/2012/12/15/
06072741/Mendagri.70.Persen.Pemekaran.Dae
rah.Gagal 6http://news.detik.com/read/2010/07/14/15152
4/1399111/10/sby-80-persen-pemekaran-
wilayah-gagal
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
40 | P a g e
Menurut saya, pangkal masalah
terjadinya jor-joran pemekaran daerah itu
itu bersumber dari inisiatif pembentukan
daerah baru yang bisa melalui dua pintu.
Yakni, lewat pemerintah dan DPR. Inisiatif
lewat pintu DPR itulah yang diindikasikan
sarat dengan kepentingan politik. Sebab
pemekaran daerah berarti perluasan jabatan
politik bagi elit-elit politik di tingkat lokal.
Daerah baru akan membutuhkan kepala
daerah dan DPRD baru yang menjadi jatah
partai politik.
Dalam istilah Prof. Dr. M. Ryaas
rasyid, MA, pemekaran itu terdorong oleh
adanya insentif dari pemerintah pusat, baik
secara politik maupun ekonomi. Secara
politik, semua daerah baru hasil pemekaran
itu otomatis adalah daerah otonom.
Sehingga perlu dipilih kepala daerah baru,
ini menjadi peluang bagi parpol, elit
politik, bahkan pegawai negeri untuk
mendapatkan posisi dan jabatan. Itu
sebabnya, soal pemekaran ini tidak ada
yang menolak, baik dari elit daerah, partai
politik birokrat daerah, karena mereka
semua berkepentingan dan mengambil
keuntungan di dalamna. Bayangkan, ada
ratusan jabatan baru terbuka untuk itu.
Di sisi ekonomi (keuangan),
pemekaran membuat daerah membutuhkan
banyak biaya, yang semua ini bisa
didapatkan dari bantuan dekonsentrasi.
Sehingga pemekaran ini memang sesuatu
yang sangat menggiurkan, baik dari sisi
politik maupun ekonomi (keuangan).7
Selain itu, janji memperjuangkan
pemekaran daerah saat kampanye
merupakan sarana bagi partai politik untuk
memperbanyak suara di daerah (vote
getter). Sebab, dengan pemekaran daerah,
akan semakin banyak dana yang mengalir
dari pusat dan daerah.
Saran
Lantas apa yang harus dilakukan?
Menurut saya, pertama, pemerintah boleh
memberikan bantuan bagi pembangunan
daerah, tetapi pendekatannya jangan
7Lihat dalam Tulisan Prof. Dr. M. Ryaas
rasyid, MA pada majalah TEMPO edisi 24- 30
Desenber 2007, hal 24.
dengan pemekaran (kecuali memang pada
daerah yang mendesak dilakukan
kebijakan itu), tetapi harus berorientasi
pada tujuan. Jadi, berlakukan kebijakan
moratorium pemekaran daerah dan jangan
alokasikan bantuan berbasis pada wilayah
aministrasi. Misalnya, dana bantuan itu
diorientasikan untuk pembangunan daerah
khusus yang potensial, daerah terisolir, dan
daerah terbelakang. Sehingga dengan
bantuan itu potensi daerah itu akan
bangkit, yang kemudian akan memberikan
kontribusi perbaikan ekonomi daerah dan
Negara.
Selain itu, menegakkan kembali
dua prinsip yang lain (penggabungan dan
penghapusan daerah) adalah pilihan yang
realistis. Tiga prinsip inilah yang
diistilahkan oleh Syarif Hidayat dengan
terminologi ―kembar siam‖ pemekaran,
penggabungan, dan penghapusan daerah.8
Kedua, tetap memperkuat Negara
kesatuan dengan mengusahakan
dilaksanakannya demokrasi yang
sesungguhnya di Indonesia dan
diberlakukannya otonomi daerah yang
seluas-luasnya untuk secepatnya mengatasi
kesenjangan pusat dan daerah.
Ketiga, tugas yang paling utama
bagi pemerintah nasional di Jakarta adalah
memberikan supervisi agar daerah tidak
melakukan tindakan yang menyimpang
dari kepentingan nasional. Kalau daerah
memperlihatkan gejala yang menyimpang
maka sudah seharusnya pemerintah di
Jakarta mengambil tindakan yang
meluruskan penyimpangan tersebut.
Dengan demikian tidak aka nada keraguan
di daerah terhadap pemerintah nasional,
sehingga tumbuh rasa nasionalisme baru,
karena mereka yakin untuk maju bersama
dengan segenap warga bangsa yang ada di
tanah airnya, bukan sebalikna untuk
dipinggirkan. Oleh karena itu, kalau daerah
kuat dalam membangun masyarakatnya,
maka mereka akan sendirinya akan
mendukung negara kesatuan, dan tidak ada
8 Hidayat, Syarif, ―Pemekaran Kepentingan
Elit‖ Kompas, 30 November 2012. Hal 6.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
41 | P a g e
alasan bagi mereka untuk mendukung
gerakan separatisme.
Keempat, pemekaran daerah
otonom baru ke depan, harus dirancang
relevan dengan Design Besar Penataan
Daerah (Desartada), setelah dilakukan
moratorium pemekaran daerah empat
tahun terakhir ini. Daerah-daerah yang
akan dimekarkan, misalnya, wajib menjadi
daerah persiapan selama 3-5 tahun,
sebelum menjadi daerah otonom penuh.
Selama menjadi daerah persiapan, semua
persyaratan administratif sebagai daerah
otonom harus dipersiapkan secara matang,
untuk menghindari maraknya konflik-
konflik ketika ditetapkan sebagai daerah
otonom baru. RUU Pemerintahan Daerah
juga harus menata kembali kewenangan
dan urusan pemerintahan daerah,
kelembagaan sumberdaya aparatur dan
pembiayaan daerah yang disesuaikan
dengan besaran kewenangan untuk daerah
provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kelima, otonomi daerah sebagai
sarana pendidikan politik. Dengan
dibentuknya pemerintahan daerah, maka
sejumlah lembaga demokrasi akan
terbentuk pula, terutama partai-partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok
penekan, media massa lokal, dan lembaga
perwakilan rakyat. Lembaga-lembaga
tersebut akan memainkan peranan yang
strategis dalam rangka pendidikan politik
warga masyarakat yang, tetntu saja,
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma
yang berkaitan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai
tersebut mencakup nilai yang bersifat
kognitif, afektif, ataupun evaluatif. Ketiga
nilai tersebut menyangkut pemahaman,
dan kecintaan serta penghormatan terhadap
kehidupan bernegara, simbol, dan para
pemimpin Negara, serta tentu saja rasa
nasionalisme yang kemudian diikuti oleh
kehendak untuk ikut mengambil bagian
dalam proses penyelenggaraan Negara atau
prorses politik.
Akhirnya, otonomi daerah ini
ditujukan untuk mendekatkan rakyat
kepada kesejahteraan, bukan sebaliknya.
Yang terjadi, elit di daerah yang lebih
dekat dengan kesejahteraan. Jadi,
kembalilah ke tujuan semula bahwa
otonomi dan pemekaran wilayah
hendaknya membuat masyarakat daerah
lebih cepat menikmati kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Edy Suandi, et. al. 2004.
Memperkokoh Otonomi Daerah. UII
Press: Yogyakarta.
Hidayat, Syarif, ―Pemekaran Kepentingan
Elit” Kompas, 30 November 2012.
Hal 6.
http://nasional.kompas.com/read/2012/12/1
5/06072741/Mendagri.70Persen.Peme
karan.Daerah.Gagal
http://news.detik.com/read/2010/07/14/151
524/1399111/10/sby-80-persen-
pemekaran-wilayah-gagal
http://feb.ub.ac.id/agus-suman-orang-kaya-
kemiskinan.html
HR, Syaukani, dkk. 2012. Otonomi
Daerah Dalam Negara kesatuan.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Jawa Pos, 26 Januari 2010. “Usul
Pemekaran di Tangan Eksekutif”.
Halaman 3
Jawa Pos, 16 Februari 2010. “Inovasi di
Tengah Impitan Moratorium”.
Halaman 8
Noor, Isran. Politik Otonomi Daerah
Untuk Penguatan NKRI.
Rasyid, Ryaas, “Pusat dan Daerah Jangan
Tumpang Tindih”, Tempo, edisi 34-30
Desember 2007. Hal 24.
Sabarno, Hari. 2007. Memandu Otonomi
Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa.
Sinar Grafika: Jakarta.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
41 | P a g e
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM-MP) MANDIRI DI DESA IMBODU
KECAMATAN RANDANGAN
KABUPATEN POHUWATO PROVINSI GORONTALO
Oleh :
Iskandar Ibrahim, S.IP.,M.Si
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Ichsan Gorontalo
Abstrak
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi masukan berarti dalam upaya
mengembangkan partispasi masyarakat perdesaan dalam upaya mensukseskan
program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM-MP) khususnya di kecamatan
randangan kabupaten pohuwato. Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui
bagaimana Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten
Pohuwato Provinsi Gorontalo. Hasil penelitian menunjukan Partisipasi
masyarakat dalam perencanaan, dimana masyarakat masih kurang berpartispasi
aktif, dimana seperti dalam proses musyawarah hanya diwakili oleh kepala-kepala
dusun dan tokoh-tokoh masyarakat tertentu, dan hanya menerima setiap keputusan
musyawarah tanpa mau terlibat secara aktif dalam proses tersebut, hal tersebut
dikarenakan kurangnya sosialisasi dan ajakan dari aparat desa sehingga
menimbulkan keengganan untuk mengikuti berbagai rapat yang dilakukan didesa
imbodu kecamatan randangan. Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
program. Pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri di desa imbodu kecamatan
randangan dilakukan masyarakat secara swakelola dan difasilitasi oleh perangkat
pemerintahan yang dibantu oleh fasilitator atau konsultan serta oleh PJOK, tahap
pelaksanaan dilakukan setelah tahap perencanaan selesai dan telah ada dana
pengalokasian kegiatan.
Kata Kunci: Partisipasi Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
PENDAHULUAN
Desa Imbodu adalah sebuah desa
yang terletak di kecamatan randangan
kabupaten pohuwato, dengan mata
pencaharian sebagian besar penduduknya
adalah sebagai petani. Tingkat kemiskinan
di desa Imbodu masih sangat tinggi dimana
faktor-faktor utama yang menyebabkan
kemiskinan di desa Imbodu yaitu
kurangnya pendidikan dan lapangan kerja
serta pola pikir masyarakatnya yang masih
tradisional, sehingga kurang paham dan
kurang mengerti mengenai kemajuan desa
tersebut dan juga fasilitas umum seperti
jalan yang tidak memadai sebagai jalur
transportasi untuk kegiatan sehari-hari
sehingga menghambat laju kesejahteraan
masyarakat.
Dengan semangat dan kerja keras
serta upaya-upaya yang telah dilakukan
dari berbagai pihak yang terkait untuk
memajukan desa Imbodu menuju
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
42 | P a g e
perubahan kearah yang lebih baik akhirnya
membuahkan hasil, sehingga pada tahun
2013 desa Imbodu kecamatan randangan
mendapatkan dana dari PNPM Mandiri
perdesaan Rp. 57.254.000.
Selain itu juga dalam rangka
mencapai visi dan misi PNPM Mandiri
Perdesaan, selain menjadikan rumat tangga
miskin (RTM) sebagai kelompok
sasarannya peran serta partisipasi
masyarakat dalam hal ini sangat
menentukan. Partisipasi masyarakat pada
dasarnya merupakan suatu keharusan bagi
setiap penyelenggaraan pemerintahan pada
tingkat nasional dan daerah.
Partisipasi masyarakat khususnya
pada tingkat daerah dianggap sangat
penting manakala pemerintah daerah atau
lokal dapat melibatkan masyarakat sebagai
bagian yang sangat penting bagi
terselenggaranya pemerintahan, dimana
pemerintah memalui aspirasi dari
masyarakat dapat menampung dan
melaksanakan aspirasi tersebut sesuai
dengan kebutuhan dari masyarakat
khususnya dalam program pembangunan.
Pembangunan di desa Imbodu
kecamatan randangan kabupaten pohuwato
melalui program nasional pemberdayaan
masyarakat (PNPM Mandiri) dalam hal ini
lebih memprioritaskan pembangunan
dalam segi infrastruktur seperti
pembangunan jalan, jembatan, dan
pembangunan irigasi. Karena ketiga
elemen tersebut terutama jalan, kondisi
jalannya rusak parah sehingga hal tersebut
dapat menyebabkan terganggunya
perekonomian masyarakat.
Selain itu melalui PNPM Mandiri
perdesaan yaitu merupakan program
nasional penanggulangan kemiskinan
terutama yang berbasis pada
pemberdayaan masyarakat misalnya SPP
(Simpan Pinjam Perempuan). Program
SPP ini ditujukan untuk ibu-ibu rumah
tangga yang memiliki suatu usaha kecil
dan juga ibu-ibu rumah tangga yang
sekiranya masuk kedalam golongan tidak
mampu untuk pengembangan dan
pendiptaan suatu usaha baru.
Untuk meningkatkan efektifitas
penanggulangan kemiskinan dan
penciptaan lapangan kerja melalui PNPM
Mandiri yang kemudian dirumuskan
kembali mekanisme upaya
penanggulangan kemiskinan yang
melibatkan unsur masyarakat, mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan hingga
pemantauan dan evaluasi. Melalui proses
pembangunan partisipatif, kesadaran kritis
dan kemadirian masyarakat, terutama
masyarakat miskin dapat tumbuh
kembangkan sehingga mereka bukan
sebagai objek melainkan sebagai subjek
upaya penanggulangan kemiskinan.
Dengan pengitegrasian berbagai
program pemberdayaan masyarakat ke
dalam kerangka kebijakan PNPM Mandiri,
cakupan pembangunan diharapkan
diperluas hingga ke daerah-daerah
terpencil dan terisolir. Efektifitas dan
efisiensi dari kegiatan yang selama ini
sering diduflikasikan antar proyek
diharapkan juga dapat diwujudkan
mengingat proses pemberdayaan umumnya
membutuhkan waktu 5-6 tahun, maka
PNPM Mandiri sekurang-kurangnya akan
dilaksanakan hingga tahun 2015.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang
telah dipaparkan diatas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah Partisipasi Masyarakat
Dalam Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa
Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten
Pohuwato?
Maksud dan Tujuan Penelitian Setiap penelitian apapun tentu akan
memiliki suatu tujuan dari penelitian
tersebut. Hal ini sangat perlu untuk bisa
menjadikan acuan bagi setiap kegiatan
penelitian yang akan dilakukan. Karena
tujuan merupakan tolak ukur dan menjadi
target dari kegiatan penelitian. Tanpa itu
semua, maka apa yang akan dilakukan
akan menjadi sia-sia. Dimana maksud dan
tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui Partisipasi Masyarakat Dalam
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
43 | P a g e
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Di Desa
Imbodu Kecamatan Randangan Kabupaten
Pohuwato.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis
a. Menambah ilmu pengetahuan
melalui penelitian yang
dilaksanakan sehingga memberikan
kontribusi pemikiran bagi
pengembangan ilmu pemerintahan
khsususnya.
b. Sebagai bahan pemahaman dan
pembelajaran bagi peneliti yang
lain untuk melakukukan penelitian-
penelitian khususnya tentang
Partisipasi Masyarakat Dalam
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri.
2. Secara praktis
a. Bagi pemerintah daerah diharapkan
nantinya dapat dijadikan acuan
pengembangan kebijakan
khususnya tentang Partisipasi
Masyarakat Dalam Program
Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri.
b. Bagi masyarakat, diharapkan
nantinya dapat membuka ruang
kesadaran masyarakat untuk mulai
berperan aktif untuk berpartisipasi
dalam Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri.
PEMBAHASAN
Konsep Partisipasi Konsep yang luas mengenai
partisipasi kadang menempatkan
partisipasi sebagai sebuah kata yang tidak
memiliki arti yang jelas bagi setiap orang.
Akibatnya partisipasi menjadi konsep
omnibus (apapun dapat disebut sebagai
partisipasi). Untuk lebih memahaminya
ada 3 (tiga) konsep partisipasi yang
dikemukakan oleh Gaventa (Sastropoetro,
2005:28) yang berkaitan dengan praktek
pemerintahan dan pembangunan yang
demokratis yaitu :
a. Partisipasi politik
Partisipasi politik diartikan sebagai
kegiatan seseorang atau sekelompok
orang untuk ikut secara aktif dalam
kehidupan politik, yaitu dengan jalan
memilih pemimpin Negara secara
langsung maupun tidak langsung dan
partisipasi politik ini lebih
mengedepankan pada program-pogram
sesial dan ekonomi yang
mempengaruhi pengambilan keputusan
sehingga terdapat persetujuan antara
pemerintah dan masyarakat (Nelson,
1994:21).
b. Partisipasi sosial
Disamping konsep partisipasi politik
diatas, di kenal juga konsep partisipasi
sosial yang orientasi partisipasinya
pada perencanaan, implementasi dan
pengawasan pembangunan. Oleh
Spriatna (2000:29) mengartikan
partisipasisebagai upaya terorganisir
untuk meningkatkan pengawasan
terhadap sumber daya dan lembaga
pengatur dalam kegiatan-kegiatan
tertentu oleh berbagai kelompok
masyarakat yang selama ini tidak
berada dalam tubuh pemerintahan yang
memainkan fungsi pengawasan. Dalam
pemahaman ini partisipasi ditempatkan
diluar lembaga-lembaga formal
pemerintahan, sebagai keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
konsultasi atau pengambilan
keputusan, pembangunan dari evaluasi
kebutuhan yang kemudian dituangkan
dalam bentuk perencanaan, hingga
sampai pada penilaian evaluasi dari
kegiatan pembangunan tersebut.
Karena sifatnya yang berada diluar
lembaga formal pemerintahan, konsep
ini disebut sebagai partisipasi sosial.
Beberapa asumsi yang dapat diterima
untuk mendorong partisipasi sosial
masyarakat dalam pembangunan.
1) Pembangunan membawa
konsekusensi perubahan dalam
tatanan kehidupan sosial budaya
masyarakat, perubahan ini
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
44 | P a g e
membawa dampak yang langsung
dirasakan oleh masyarakat, apakah
itu positif atau negative,
masyarakat dipandang sebagai
―beneficiary” pembangunan, oleh
sebab itu keterlibatan masyarakat
dalam proses pembangunan
menjadi sebuah keniscayaan.
2) Rakyat dianggap yang paling tahu
kebutuhannya, oleh karena itu
keterlibatan rakyat untuk
mengidentifikasi dan menentukan
kebutuhan pembangunan daerahnya
merupakan hak rakyat tersebut.
3) Anggapan selama ini,
pembangunan dilaksanakan kadang
mengabaikan kepentingan dan
suara masyarakat luas,
kecenderungan yang ada kebijakan-
kebijakan pembangunan lebih
mengakomodir kepentingan
kekuasaan, dengan adanya
partisipasi sosial diharapkan dapat
menjamin kepentingan masyarakat,
selama ini dimarjinalkan dalam
pembangunan hukum, ekonomi,
dan sosial budaya.
Dalam pemahaman ini,
partisipasi rakyat dilakukan secara
insidentil artinya keikutsertaan
rakyat dalam kegiatan
pembangunan berjalan sering
dengan proyek yang partisipasi
yang selesai.
c. Partisipasi warga
Telah ditemukan sebelumnya
partisipasi politik menekankan pada
lembaga ―representasi‖ dalam hal ini
orang-orang yang telah diberikan
kepercayaan oleh rakyat untuk
menyelenggaraakan kegiatan
pemerintahan. Partisipasi rakyat
sebatas keikutsertaan mereka dalam
proses-proses pemilu hingga
pemberian suaranya, selanjutnya wakil-
wakil rakyat yang duduk dilembaga
perwakilan dan pemerintah yang
menyelenggarakan pemerintahan
karena mereka dianggap telah
mewakili kepentingan rakyat.
Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam rangka pembangunan
bangsa yang meliputi segala aspek
kehidupan, partisipasi masyarakat
memainkan peranan penting, bahkan
Bintoro Tjokroamijojo (1982:38)
menegaskan pembangunan yang meliputi
segala segi kehidupan, politik, ekonomi
dan sosial budaya itu baru akan berhasil
apabila merupakan kegiatan melibatkan
partisipasi dari seluruh rakyat didalam
suatu Negara.
Sementara itu Katz dalam
Tjokroamijojo (1982:38) menempatkan
partisipasi sebagai salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan pembangunan,
disamping faktor-faktor tenaga terlatih,
biaya, informasi, peralatan dan
kewenangan yang sah.
Sedangkan arbi sanit dalam
Tjokroamijojo (1982:38) menandaskan
apabila kita berbicara mengenai
pembanguna, sesungguhnya yang
diperbicarakan adalah keterlibatan
sekeluruhan masyarakat sebagai system
terhadap masalah yang dihadapinya dan
pencarian bagi masalah tersebut.
Masyarakat sendiri dapat
berpartisipasi pada beberapa tahap,
terutama dalam pembangunan, yakni : pata
tahap inisiasi, legitimasi, dan eksekusi atau
dengan kata lain, pada tahap decision
making, implementation, benefit, dan
tahap evaluation. Atau yang dirumuskan
Bintoro Tjokroamoto.
Pertama keterlibatan aktif atau
partisipasi masyarakat tersebut dapat
berarti keterlibatan dalam proses
penentuan arah, strategi dan kebijaksaan.
Kedua, adalah keterlibatan dalam memikul
hasil dan manfaat pembangunan secara
berkeadilan.
Dari pendapat yang ada tersebut
dapat disimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat dapat terjadi pada empat
jenjang :
1. Partisipasi dalam proses pembuatan
keputusan
Setiap prose penyelenggaraan,
tertutama dalam kehidupan bersama
masyarakat, pasti melewati tahap
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
45 | P a g e
penentuan kebijaksanaan. Dalam
rumusan yang lain adalah menyangkut
nasib mereka secara keseluruhan.
Dalam keadaan yang paling ideal
keikutsertaan masyarakat untuk
membuat putusan politik yang
menyangkut nasib mereka, adalah
ukuran tingkat partisipasi rakyat.
Semakin besar kemampuan untuk
menentukan nasib sendiri, semakin
besar partisipasi masyarakat dalam
pembangunan.
Demikian pula secara sederhana dapat
diketahui bahwa masyarakat hanya
akan terlibat dalam aktivitas
selanjutnya apabila mereka merasa ikut
andil dalam menentukan apa yang akan
dilaksanakan.
2. Partisipasi dalam pelaksanaan,
Partisipasi ini merupakan tidak lanjut
dari tahap pertama diatas, bahwa
partisipasi dalam pembangunan ini
dapat dilakukan melalui keikutsertaan
masyarakat dalam memberikan
kontribusi guna menunjang
pelaksanaan pembangunan yang
berwujud tenaga, uang, barang
material, ataupun informasi yang
berguna bagi pelaksanaan
pembangunan.
Hal penting yang perlu
diperhatikan disini, kesediaan untuk
membantu keberhasilan setiap program
sesuai kemampuan yang dimiliki oleh
setiap orang tanpa berarti
mengorbankan kepentingan diri sendiri
sudah terkategorikan ke dalam
pengertian partisipasi.
3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil,
Setiap usaha bersama manusia
pembangunan, misalnya bagaimana
pun ditujukan untuk kepentingan dan
kesejahteraan bersama anggota
masyarakatnya. Oleh sebab itu,
anggota masyarakat berhak untuk
berpartisipasi dalam menikmati setiap
usaha bersama yang ada. Demikian
pula halnya dengan penyelenggaraan
pemerintahan daerah,
rakyat/masyarakat daerah harus pula
dapat menikmati hasilnya secara adil.
Adil dalam pengertian disini
adalah setiap orang mendapatkan
bagiannya sesuai dengan
pengorbanannya dan menurut norma-
norma yang umum diterima.
Sedangkan norma-norma yang dapat
dijadikan ukuran dapat berupa norma
hukum (peraturan-perundangan),
ataupun berupa nilai-nilai etika dan
moral keagamaan.
4. Partisipasi dalam evaluasi
Sudah umum disepakati bahwa setiap
penyelenggaraan apapun dalam
kehidupan bersama, hanya dapat dinilai
berhasil apabila dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat. Untuk
mengetahui hal ini, sudah sepantasnya
masyarakat diberi kesempatan menilai
hasil yang telah dicapai. Demikian pula
dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, masyarakat dapat dijadikan
sebagai hakim yang adil dan jujur
dalam menilai hasil yang ada.
Partisipasi bukanlah proses yang
instan tapi perlu memiliki basis yang kuat
yakni modal sosial. Modal sosial
merupakan kemampuan orang bekerja
sama, pengetahuan bersama, pemahaman
bersama, pranata bersama, dan pola-pola
interaksi untuk mencapai tujuan bersama
dalam organisasi kecil sampai besar seperti
Negara, modal sosial juga dapat
mengandalkan hubungan kontraktual dan
aturan formal, maupun dalam ikatan-ikatan
primordial yang sempit, melainkan
bersandar pada nilai-nilai dari norma-
norma yang menjadi panduan utama bagia
setiap orang untuk berpikir dan bertindak.
Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program
nasional penanggulangan kemiskinan
terutama yang berbasis pemberdayaan
masyarakat. Pengertian yang terkandung
mengenai PNPM Mandiri adalah ;
1. PNPM Mandiri adalah program
nasional dalam wujud kerangka
kebijakan sebagai dasar dan acual
pelaksanaan program-program
penanggulangann kemiskinan berbasis
pemberdayaan masyarakat. PNPM
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
46 | P a g e
Mandiri dilaksanakan melalui
harmonisasi dan pengembangan sistem
serta mekanisme dan prosedur
program, penyediaan pendamping dan
pendanaan simultan untuk mendorong
prakarsa dan inovasi masyarakat dalam
upaya penanggulangan kemiskinan
yang berkelanjutan.
2. Pemberdayaan masyarakat adalah
upaya untuk
menciptakan/meningkatkan kapasitas
masyarakat, baik secara individu
maupun secara berkelompok, dalam
memecahkan berbagai persoalan terkait
upaya peningkatan kualitas hidup,
kemandirian dan kesejahteraan.
Pemberdayaan masyarakat
memerlukan keterlibatan yang besar
dari perangkat pemerintah daerah serta
berbagai pihak untuk memberikan
kesempatan dan menjamin
keberlanjutan berbagai hasil yang
dicapai.
Sedangkan tujuan yang diingi
dicapai dalam pelaksanaan PNPM
Mandiri, yang tujuan umumnya yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kesempatan kerja masyarakat miskin
secara mandiri, sedangkan tujuan khusus
yang ingin dicapai dalam PNPM Mandiri
yaitu sebagai berikut :
1. Meningkatkan partisipasi seluruh
masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, kelompok perempuan,
komunitas kelompok adat terpencil dan
kelompok masyarakat lainnya yang
rentan dan sering terpinggirkan
kedalam proses pengambilan
keputusan dalam pengelolaan
pembangunan.
2. Meningkatkan kapasitas kelembagaan
masyarakat yang mengakar,
refresentatif dan akuntabel.
3. Meningkatkan kapasitas pemerintah
dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat tertutama masyarakat
miskin melalui kebijakan, program da
pengangguran yan berpihak pada
masyarakat miskin (pro-poor).
4. Meningkatkan sinergi masyarakat,
pemerintah daerah, swasta, asosiasi,
perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi masyarakat dan
kelompok peduli lainnya untuk
mengefektifkan upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan.
5. Meningkatkan keberadaan dan
kemandirian masyarakat, serta
kapasitas pemerintah daerah dan
kelompok perduli setempat dalam
menanggulangi kemiskinan
diwilayahnya.
6. Meningkatkan modal sosial masyarakat
yang berkembang sesuai dengan
potensi sosial dan budaya serta untuk
melestarikan kearifan lokal.
Meningkatkan inovasi dan
pemanfaatan teknologi tepat guna,
informasi dan komunikasi dalam
pemberdayaan masyarakat.
Pendekatan dan Komponen PNPM
Mandiri Pendekatan atau upaya-upaya
rasional dalam mencapai tujuan program
dalam pedoman umum PNPM Mandiri
(2007:13) dengan memperhatikan prinsip-
prinsip pengelolaan program adalah
pembangunan yang berbasi masyarakat
dengan :
1. Menggunakan kecamatan sebagai
lokus program untuk
mengharmonisasikan perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian
program.
2. Mempromosikan masyarakat sebagai
penentu/pengambil kebijakan dan
pelaku utama pembangunan pada
tingkat lokal.
3. Mengutamakan nilai-nilai universal
dan budaya lokal dalam proses
pembangunan partisipasi.
Sedangkan untuk rangkaian proses
pemberdayaan masyarakat dilakukan
melalui komponen program sebagai
berikut :
1. Pengembangan masyarakat.
Merupakan komponen pengembangan
masyarakat mencakup serangkaian
kegiatan untuk membangun kesadaran
kritis dan kemandirian masyarakat
yang terdiri dari pemetaan potensi,
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
47 | P a g e
masalah dan kebutuhan masyarakat,
perencanaan partisipatif,
pengorganisasian, pemanfaatan sumber
daya, pemamtauan dan pemeliharaan
hasil-hasil yang telah dicapai. Untuk
mendukung rangkaian tersebut,
disediakan dana pendukung kegiatan
pembelajaran masyarakat,
pengembangan relawan dan
operasional. Pendampingan masyarakat
: dan fasilitator, pengembangan
kapasitas, media dan advokasi. Peran
fasilitator terutama pada saat awal
pemberdayaan, sedangkan relawan
masyarakat adalah yang utama sebagai
motor penggerak masyarakat
diwilayahnya
2. Bantuan langsung masyarakat
Komponen bantuan langsung
masyarakat (BLM) adalah dana
stimulan keswadayaan yang diberikan
kepada kelompok masyarakat untuk
membiayai sebagian kegiatan yang
direncanakan oleh masyarakat dalam
rangka untuk meningkatkan
kesejahteraan terutama masyarakat
miskin.
3. Peningkatan kapasistas pemerintahan
dan pelaku lokal
Komponen peningkatan kapasitas
pemerintah dan pelaku lokal/kelompok
perduli lainnya agar mampu
menciptakan kondisi yang kondusif
dan sinergi yang positif bagi
masyarakat terutama kelompok miskin
dalam menyelenggarakan hidupnya
secara layak kegiatan terkait dalam
komponen ini diantaranya seminar,
pelatihan, lokakarya, kunjungan
lapangan yang dilakukan secara
selektif dan sebagainya.
4. Bantuan pengelolaan dan
pengembangan program
Komponen ini meliputi kegiatan-
kegiatan untuk mendukung pemerintah
dan berbagai kelompok peduli lainnya
dalam pengelolaan kegiatan seperti
penyediaan konsultan manajemen,
pengendalian mutu, evaluasi dan
pengembangan program.
5. Menggunakan pendekatan
pemberdayaan yang sesuai, yang terdiri
dari atas pembelajaran karakterisitik
sosial, budaya dan geografis.
6. Melalui proses pemberdayaan yang
terdiri dari atas pembelajaran,
kemandirian dan keberlanjutan.
(Pedoman Umum PNPM Mandiri,
2007:16).
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Desa Imbodu
Kecamatan Randangan Desa Imbodu adalah sebuah desa
yang dulu dinamakan kampong imbondu
berdiri sejak tahun 1920 silam. Dahulu
desa imbodu adalah dataran yang
ditumbuhi semak belukar yang ditempati
oleh binatang-binatang buas.
Asal mula penduduk imbodu yaitu
merupakan pemukiman lingkungan yang
terdiri dari kelompok masyarakat yang
dating dari berbagai macam kampung saat
itu untuk mencari nafkah kehidupan
mereka dan dikepalai oleh seorang pemuka
masyarakat yang digelar Bantalo atau
pemimpin lingkungan. Mata pencaharian
masyarakat pada saat itu adalah pergi ke
hulu mencari rotan dan damar untuk
menafkahi keluarga.
Setelah lingkungan ini berkembang
penduduknya, maka pada tahun itu juga
masyarakat bermusyawarah membentuk
kampung imbodu yang dikepalai oleh
seorang tokoh masyarakat dari gorontalo
bernama LAGANI BUMULO tahun 1920
dan nama kampung imbodu berasal dari
kata Himbunga atau Ibode yang artinya
(Bantu membantu dalam melaksanakan
segala kegiatan yang ada dilingkungan itu).
Pada masa pemerintahan kepala
kampung Bapak LAGANI BUMULO
masyarakat diatur dan diarahkan untuk
bercocok tanam padi, jagung dan lain-lain.
Dengan hasil produksi cocok tanam padi
dan jangung dapat mencukupi kebutuhan
masing-masing keluarga tersebut, sehingga
mata pencaharaian masyarakat pergi ke
hulu untuk mencari damar dan rotan mulai
hilang. Sampai dengan saat ini secara
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
48 | P a g e
geografis desa imbodu adalah lading
pertanian dan perkebunan.
Adapun visi desa imbodu
kecamatan randangan adalah
―Terwujudnya Masyarakat Imbodu Yang
Beriman, Bertaqwa Dalam Masyarakat
Kemandirian dan Kesejahteraan‖.
Sedangkan dalam rangka menunjang visi
maka dibuatlah misi desa imbodu sebagai
berikut :
1. Meningkatkan persatuan serta
mengamalkan ajaran agama dan
meningkatkan aktivitas organisasi
masyarakat
2. Meningkatkan sumber daya manusia
3. Meningkatkan peran serta masyarakat
dalam aktifitas pemerintah
pembangunan dan masyarakat
4. Mewujudkan pemerintah amanah, yang
bersih dan berwibawa
5. Peningkatan ekonomi masyarakat desa
dan produktifitas
Partispasi Masyarakat Dalam Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan Di Desa
Imbodu Kecamatan Randangan
Partisipasi Dalam Perencanaan Dalam perencanaan tentunya ada
perencanaan partisipatif dimana dalam
pengambilan keputusan melibatkan unsur
masyarakat serta pemerintah sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Dalam
mekanisme perencanaan PNPM Mandiri
didesa imbodu kecamatan randangan
dimulai dari dusun yaitu memberikan
ruang yang seluas-luasnya kepada
masyarakat baik perempuan maupun laki-
laki, terutama sekali yang diutamakan
untuk masyarakat yang tidak mampu untuk
dilibatkan secara aktif dalam pengambilan
keputusan perencanaan pembangunan. Dan
kualitasnya itu sendiri dapat dilihat dari
jumlah masyarakat yang hadir, kualitas
pendapat/gagasan/usulan, serta dokumen
perencanaan yang diusulkan. Indikator-
indikator yang dapat digunakan untuk
melihat partisipasi masyarakat dalam
perencanaan PNPM Mandiri sendiri agar
berjalan baik yaitu :
Pertama, dapat dilihat dari
partispasi masyarakat itu sendiri dalam
melaksanakan program tersebut. Partsipasi
masyarakat dalam Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri di desa imbodu dimana
masyarakat dilibatkan secara aktif dimulai
dengan cara meningkatkan kesadaran
masyarakat melalui sosialisasi, pertemuan
masyarakat refleksi kemiskinan pemetaan
swadaya untuk identifikasi masalah,
potensi dan kebutuhan masyarakat yang
dituangkan dalam rencana pembangunan
jangka menengah dan rencana kerja
pembangunan desa (RPJM-Des & RKP-
Desa).
Kedua, partisipasi masyarakat dapat
dilihat dari kebutuhan masyarakat akan
program tersebut. Apakah hal itu selalu
disesuikan atau tidaknya dengan kebutuhan
masyarakat. Ketika penulis melakukan
penelitian maka partispasi ini selalu
disesuaikan dengan kebutuhan dari
masyarakat, alasanya agar pembangunan
itu tepat sasaran dan masyarakat dapat
merasakan manfaatnya secara langsung.
Karena dalam proses musyawarah pun
masyarakat dilibatkan. Jadi tidak mungkin
pembangunan yang dilakukan tanpa ada
perhitungan yang matang dari masyarakat.
Ketiga, partisipasi masyarakat
dalam perencanaan juga dapat dikaitkan
dengan tujuan dimana masyarakat
dilibatkan dalam penentuan tujuan dari
serangkaian kegiatan PNPM Mandiri, pada
perencanaan ini didesa imbodu khususnya
masyarakat selalu dilibatkan dalam
penentuan tujuan karena masyarakat
merupakan bagian terpenting dalam
melakukan program tersebut, agar tercipta
masyarakat yang mandiri dan berdaya dan
dapat memecahkan permasalahan yann
menjadi keinginan masyarakat tersebut.
Berdasarkan wawancara yang telah
dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan
bahwa partisipasi masyarakat dalam
perencanaan PNPM Mandiri di desa
imbodu kecamatan randangan, dalam hal
ini masyarakat selalu dilibatkan dalam
melakukan program khususnya pada tahap
awal perencanaan. Kemudian hasil
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
49 | P a g e
perencanaan ini menjadi prioritas
perencanaan pembangunan partisipatif
PNPM Mandiri.
Partisipasi Masyarakat Dalam
Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatannya meliputi :
1) persiapan pelaksanaan (Rapat
Koordinasi Awal di kecamatan, dan rapat
persiapan pelaksanaan di desa). 2)
pelaksanaan (penyaluran dana, pengadaan
tenaga kerja, pengadaan bahan dan alat,
rapat evaluasi TPK), 3) Musdes
pertanggungjawaban, 4) sertifikasi, 5)
revisi kegiatan, 6). Dokumentasi kegiatan,
dan 7) penyelesaian kegiatan (pembuatan
laporan penyelesaian pelaksanaan
kegiatan, pembuatan dokumen
penyelesaian, berita acara status
pelaksanaan kegiatan).
Pelaksanaan kegiatan PNPM
Mandiri di desa imbodu kecamatan
randangan dilakukan oleh masyarakat
secara swakelola dan difasilitasi oleh
pemerintah yang dibantu oleh fasilitator
atau konsultan, tahap pelaksanaan
dilakukan setelah tahap perencanaan
selesai dan telah ada dana pengalokasian
kegiatan. Sedangkan dalam proses
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
PNPM Mandiri di desa imbodu dapat
dilihat dari keaktifan masyarakat untuk
melaksanakan pekerjaan dengan
memberikan kontribusi (uang, tenaga dan
pikiran) untuk menunjang setiap program
pembangunan. Masyarakat desa imbodu
dari dulu sampai sekarang mereka selalu
menginginkan adanya pembangunan fisik
terutama pembangunan jalan, karena jalan
utama yang ada di desa sepanjang 2000 M,
kondisi jalanya sudah rusak parah. Pada
saat pelaksanaan pembangunan jalan tidak
mengalami kendala yang berarti, karena
masyarakat sangat aktif didalamnya.
Dari hasil pemaparan diatas dapat
disimpulkan bahwa peran serta masyarakat
dalam pelaksanaan pembangunan sangat
tinggi, dalam hal ini tenaga yang
melakukan pembangunannya sendiri
dilakukan oleh masyarakat setempat,
karena sebagian masyarakat desa imbodu
sedikit banyaknya mengerti mengenai
pembangunan.
Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengawasan Jenis kegiatan pemantauan didalam
PNPM Mandiri meliputi pemamtauan
internal, dan pemantauan eksternal.
Pemantauan internal merupakan yang
dilakukan oleh para pelaku program, yaitu
mereka yang terlibat secara langsung
dalam program. Mereka adalah pelaksana
program, aparat pemerintah, lembaga
pemberi dana ataupun manfaat. (a)
pemantauan partisisipatif oleh masyarakat,
(b) pemantauan oleh konsultan dan
fasilitator, (c) pemantauan oleh pemerintah
yang berwenang, (d) pemantauan
penanganan pengaduan (complain) dan
proses penyelesaian masalah, (e) studi
kasus dan dokumentasi tentang beberapa
pelajaran yang bisa dipetik. Sedangkan
untuk pemantauan ekternal dilakukan oleh
pihak luar yang independen. Pemantauan
eksternal diharapkan dapat memberi
pandangan yang lebih objektif dan badan
yang independen yang tidak secara
langsung terlibat dalam pelaksanaan
program.
Pertama, dilihat dari keterlibatan
masyarakat dalam program PNPM Mandiri
khususnya mengenai pengawasan, mereka
dilibatkan langsung dalam pengawasan
agar tidak terjadi penyimpangan dalam
program tersebut, pengawasan ini
dilakukan oleh masyarakat guna untuk
menjaga agar proses pembangunan dapat
berjalan dengan baik dan diharapkan jauh
dari penyelewengan-penyelewengan.
Kedua, partisipasi masyarakat juga
terkait dengan prosedur yang dijalankan,
untuk partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan pengawasan dapat dilihat dari
itngkat desa sendiri yaitu pihak desa
menilai pada saat mereka datang pada
masyarakat untuk memantau pelaksanaan
program, dimana PJOK datang setiap satu
minggu sekali untuk mengawasi program.
Dengan melihat pembangunan jalan telah
selesai yang dibiayai dari PNPM Mandiri
di desa imbodu, penulis telah melakukan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
50 | P a g e
wawancara kepada sebagian masyarakat
guna mendapatkan penilaian terkait dari
hasil pembangunan jalan tersebut.
Dari beberapa pemaparan hasil
wawancara diatas dapat penulis simpulkan
bahwa partispasi masyarakat dalam
pengawasan sangat baik sekali, selain
pengawasan yang dilakukan oleh PJOK
dan konsultan sendiri. Dalam hal ini hasil
pembangunan jalan di desa imbodu yang di
biayai dari PNPM Mandiri kurang sesuai
dengan apa yang diharapkan masyarakat,
setelah peneliti melakukan wawancara
terhadap beberapa tokoh masyarakat desa
imbodu, banyak masyarakat yang
menggerutu dan sedikit kecewa hasil dari
pembangunan tersebut, namun dalam hal
ini masyarakat tidak bisa bicara banyak,
mereka berasumsi daripada tidak dibangun
sama sekali meskipun kondisinya tidak
memuaskan masyarakat tetap bersyukur
karena sudah lebih baik daripada
sebelumnya.
Partisipasi Masyarakat Dalam
Pemanfaatan dan Pemeliharaan Pemanfaatan dan pemeliharaan
didalamnya meliputi menerima hasil
pembangunan seolah-olah milik sendiri,
menggunakan atau memanfaatkan setiap
hasil pembangunan, menjadikan atau
mengusahakan suatu lapangan usaha,
merawat secara rutin, mengatur kegunaan
atau memanfaatkannya, mengusahakan dan
mengamankannya serta
mengembangkannya. Partisipasi dalam
pemeliharaan dan pemanfaatan berarti
mendukung kearah pembangunan yang
serasi dengan martabat manusia keadilan
social dan memelihara alam sebagai
lingkungan manusia untuk generasi yang
akan datang.
Pertama, penerimaan masyarakat
terhadap hasil pembangunan yaitu
diharapkan masyarakat dapat menerima
hasil pembangunan seolah-olah milik
sendiri, sehingga pada akhirnya
masyarakat akan menjaga dan memelihara
serta memanfaatkan hasil
pembangunannya demi kelancaran dan
kemajuan bersama.
Kedua, partisipasi masyarakat
dapat dilihat dari manfaat yang dapat
diambil dari pembangunan, manfaat yang
dapat dirasakan masyarakat dari hasil
pembangunan jalan banyak sekali, dalam
hal ini masyarakat mendapatkan
kemudahan dari akses jalan, transportasi
menjadi lancar, dan perekonomian
masyarakat meningkat.
Ketiga, partisipasi masyarakat
dalam pemanfaatan dan pemeiliharaan
dapat dilihat dari masyarakat yang
mengatur program dan maupun
mengamankan setiap program yang sudah
dijalankan. Dimana dalam hal ini
masyarakat diberikan kebebasan untuk
mengatur setiap program yang sudah
dijalankan, diantaranya memanfaatkan
pembangunan yang sudah dilaksanakan
dengan cara memanfaatkannya sebaik
mungkin, dalam hal ini memang sudah
sepatutnya masyarakat menggunakan
pembangunan sebaik mungkin agar
pembangunan jalan bisa awet dan tidak
cepat rusak.
Berdasarkan pernyataan diatas
maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat dalam pemanfaatan dan
pemeliharaan hasil pembangunan berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan, dalam
hal ini tingkat kesadaran masyarakat untuk
menjaga hasil pembangunan seolah-olah
milik sendiri sudah nampak adanya,
sehingga kalau sekiranya adanya
kerusakan-kerusakan kecil yang dapat
diperbaiki dengan tenaga mereka, dalam
hal ini masyarakat akan insiatif untuk
memperbaikinya dan memiliki kesadaran
untuk hal itu.
Hasil penelitian dan temuan
lapangan sangat berkaitan dengan teori
yang menjadi rujukan dalam penelitian ini
yakni teori yang bersumber dari Coben dan
Uphoff disadur Maskun (1994:23)
mengatakan bahwa partisipasi masyarakat
dalam pembangunan teribat dalam 4
(empat) hal yaitu : pertama, Partisipasi
dalam perencanaan merupakan sautu
rencana atau keputusan yang telah
disiapkan oleh pemerintah dalam
masyatakat hanya dapat menyatakan untuk
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
51 | P a g e
setuju tidak akan membawa hasil yang
diharapkan. Kedua, Partisipasi dalam
pelaksanaan merupakan hubungan antara
pelaksanaan dan pelaksanaannya cukup
erat, masalah pelaksanaannya sudah cukup
dipertimbangkan dalam menyusun
rencana. Ketiga, Partisipasi dan
pengawasan merupakan aktivitas untuk
menemukan, mengoreksi penyimpangan-
penyimpangan terhadap aktivitas yang
telah direncanakan. Dan Keempat,
Partisipasi dalam pemeliharaan dan
pemanfaatan meliputi ; menerima hasil
pembangunan seolah-olah miliki sendiri,
menggunakan atau memanfaatkan setiap
hasil pembangunan, menjadikan atau
mengusahakan suatu lapangan usaha,
merawat secara rutin dan sistematis,
mengatur kegunaan dan memanfaatkannya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan mengenai partispasi
masyarakat dalam Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan di Desa Imbodu
Kecamatan randangan Kabupaten
Pohuwato. Adapun kesimpulan dari
penelitian ini yaitu :
Partisipasi masyarakat dalam
perencanaan, dimana masyarakat masih
kurang berpartispasi aktif, dimana seperti
dalam proses musyawarah hanya diwakili
oleh kepala-kepala dusun dan tokoh-tokoh
masyarakat tertentu, dan hanya menerima
setiap keputusan musyawarah tanpa mau
terlibat secara aktif dalam proses tersebut,
hal tersebut dikarenakan kurangnya
sosialisasi dan ajakan dari aparat desa
sehingga menimbulkan keengganan untuk
mengikuti berbagai rapat yang dilakukan
didesa imbodu kecamatan randangan.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
program. Pelaksanaan kegiatan PNPM
Mandiri di desa imbodu kecamatan
randangan dilakukan masyarakat secara
swakelola dan difasilitasi oleh perangkat
pemerintahan yang dibantu oleh fasilitator
atau konsultan serta oleh PJOK, tahap
pelaksanaan dilakukan setelah tahap
perencanaan selesai dan telah ada dana
pengalokasian kegiatan. Di desa imbodu
dapat dilihat dari proses pelaksanaan
PNPM Mandiri itu sendiri, keaktifan
masyarakat untuk melaksanakan pekerjaan
dengan hanya memberikan kontribusi
berupa tenaga dan pikiran saja untuk
menunjang proses pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan
PNPM Mandiri dilakukan oleh masyarakat
secara umum yang dibantu oleh fasilitator
desa, konsultan, PJOK, LSM, BPD serta
wartawan guna menjamin pelaksanaan
pembangunan yang direncanakan sesuai
dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan
dan memastikan bahwa dana yang
digunakan tepat sasaran, dan untuk
pengawasan di desa imbodu, sebagian
masyarakat telah memberikan partispasi
masyarakat dalam pengawasan kegiatan
tersebut meskipun banyak juga masyarakat
yang tidak terlibat langsung dalam
pengawasan.Partisipasi masyarakat dalam
pemanfaatan dan pemeliharaan hasil
pembangunan dari PNPM Mandiri di desa
imbodu, dapat dilihat dari manfaat yang
dirasakan oleh masyarakat dalam
pembangunan seperti pembangunan jalan
desa sepanjang 2000 M yang sudah
dilakukan antara lain dapat membantu
meningkatkan perekonomian masyarakat,
kemudian alat transportasi menjadi lancar
dan mudah untuk dilalui baik roda dua
maupun roda empat.
Saran
Berangkat dari hasil penelitian dan
kesimpulan yang telah diuraikan maka
peneliti mencoba untuk memberikan saran-
saran sebagai berikut :
1. Partisipasi masyarakat dalam PNPM
Mandiri di desa imbodu masih kurang,
oleh karena itu diharapkan bagi aparat
desa untuk melakukan pendekatan
persuasif dan sosialisasi kepada seluruh
masyarakat terkait dengan manfaat
PNPM Mandiri yang akan berjalana
maupun yang akan datang.
2. Masyarakat desa imbodu kecamatan
randangan diharapkan meningkatkan
peran sertanya dalam program PNPM
Mandiri mulai dari perencanaan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
52 | P a g e
pelaksanaan, pengawasan dan
pemeliharaan dan pemanfaatan karena
semua itu akan menentukan
keberhasilan dan kelancaran
berjalannya program PNPM Mandiri di
desa imbodu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Joe, Fernandes, 2002, Otonomi Daerah Di
Indonesia Masa Reformasi, Jakarta
Institute For Policy and Community
Development Studies (IPCOS)
Kaho, Riwo, Joseph, 2005, Prosfek
Otonomo Daerah Di Negara
Republik Indonesia, Jakarta, Radja
Grafindo Persada.
Kartasasmita Ginanjar, 1996,
Pembangunan Untuk Rakyat,
Jakarta, Cides
Kuromotomo, Wahyudi, 2002, Etika
Administrasi Negara, Jakarta Radja
Grafindo Persada.
Maskun, Soemitro. 1994, Pembangunan
Masyarakat Desa : Asas,
Kebijakandan Manajemen, PT
Media Widya Mandala, Yogyakarta
Milles, Mathew, B dan Huberman AM,
1992, Analisis Data Kualitatif,
Jakarta Universitas Indonesia
Moleong, L, J, 2007 Metode Penelitian
Kualitatif, Bandung, Remadja
Rosdakarya.
Sastropoetro, Santoso R.A. 1988.
Partisipasi, Komunilasi, Persuasi,
dan Disiplin Dalam Pembangunan
Nasional. Bandung: Alumni
Siagian Sondang, P, 2008, Administrasi
Pembangunan Konsep, Dimensi, dan
Strateginya, Jakarta, Bumi Aksara.
Sjafari, Agus dan Sumaryo, 2007,
Pembangunan Masyarakat, Bogor,
CDI Pres
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif dan R&D,
Bandung, Alfabeta.
Sjamsudin, Haris, 2005, Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI
Press.
Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi
Pembangunan dan Kemiskinan.
Jakarta: Rineka Cipta
Tjokroamijoyo, Bintoro, dkk, 1982, Teori
dan Strategi Pembangunan
Nasional, Jakarta, Gunung Agung.
Tjokroamijoyo, Bintoro, dkk, 1990,
Pengantar Administrasi
Pembangunan, Jakarta, LP3ES.
Sumber Lain :
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah dan Rencana Kerja
Pembangunan Desa (RPJM-DS dan
RPK-Desa) Desa Imbodu Kecamatan
Randangan, Kabupaten Pohuwato,
2011-2015.
Modul Tim Pemantau Desa Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri
Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan
Data Desa dan Kelurahan.
Pedoman Umum PNPM Mandiri Tahun
2007
PTO (Petunjuk Teknis Operasional)
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri
Perdesaan.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
53 | P a g e
MENINGKATKAN PROFESIONALISME PELAYAN PUBLIK MELALUI
PENDEKATAN PENDIDIKAN NON-FORMAL
DALAM RANGKA MEMENUHI KEPUASAN PUBLIK
Oleh
Dr. Rulam Ahmadi, M.Pd.
(Dosen Universitas Islam Malang - UNISMA)
www.infodiknas.com
Abstrak
Perubahan sosial terus berlangsung. Setiap perubahan memunculkan persoalan
dan kebutuhan baru. Perubahan sosial terjadi antara lain karena perkembangan
ilmu dan teknologi (IPTEK), khususnya teknologi informasi dan komunikasi terus
berlangsung dan membawa dampak para perubahan dan perkembangan dalam
semua sektor pembangunan, khususnya dalam pelayanan publik. Waktu dan jarak
semakin sempit dan tanpa batas sehingga memungkinkan arus informasi dan
komunikasi dalam waktu singkat dapat beredar ke seluruh penjuru dunia. Semua
orang, masyarakat, atau organisi (institusi) tidak mempunyai alasan untuk tidak
beradaptasi dengan perkembangan yang sedang terjadi, atau mereka menjadi
korban perubahan dan perkembangan yang sedang dan akan terjadi. Semua orang
dan institusi harus belajar untuk meningatkan profesionalismenya sehingga
memungkinkan untuk mampu ikut ambil bagian dalam perkembangan yang
terjadi. Begitu pula bagi pelayan publik bahwa menjadi kebutuhan dan tuntutan
untuk terus meningkatkan profesionalismenya sehingga proses pelayanan publik
dapat berjalan secara efisien dan efektif.
Kata Kunci: profesionalisme, pelayanan publik, pendidikan non-formal
1. Pendahuluan
Dari waktu ke waktu pelayan publik
(pemerintah non-pemerintah) dituntut
untuk terus meningkatkan berkemampuan
menyesuaika diri terhadap setiap
perubahan dan tuntutan baru yang terjadi
terkait dengan tugas dan tanggung jawab
kerjanya. Pengetahuan, keterampilan, atau
sikap yang beberapa waktu lalu efektif
untuk melaksanakan tugas layanan publik,
maka untuk masa mendatang semua itu
akan mengalami penurunan daya guna.
Setiap perubahan akan membawa dampak
dan tuntutan baru yang akan berimbas pada
prasyarat dimilikinya kemampuan baru
pula.
Modal kemampuan yang diperoleh di
perguruan tinggi beberapa saat yang silam
dan masih bisa diterapkan dalam lapngan
kerja saat ini, maka kemampuan itu bisa
tidak memiliki daya suai terhadap tuntuan
baru di masa mendatang. Pelayan publik
dituntut untuk belajar kemampuan baru,
tetapi untuk memperoleh kemampuan baru
itu tidak mungkin atau tidak harus
diperoleh dari jalur studi di lembaga
pendidikan formal karena sistem yang
dikembangkan di pendidikan formal sangat
ketat dan memakan waktu yang relatif
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
54 | P a g e
lama. Adapun dunia lapangan (tugas)
pelayan publik memiliki kebutuhan untuk
memiliki kemampuan baru yang bisa
dikuasai secara singkat karena tuntutan
kerja yang mendesak. Untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan yang mendesak itu
tidak mungkin melalui jalur formal,
melainkan melalui jalur pendidikan non-
formal atau informal. Dalam kupasan ini
fokus pada lingkup pendidikan non-formal.
Pendidikan non-formal cocok bagi
masyarakat yang sudah bekerja untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan,
dan sikap baru yang berkenaan dengan
lapangan kerjanya masing-masing.
2. Mengapa Perlu Peningkatan
Profesionalisme?
Ada beberapa alasan yang
mendorong pentingnya usaha meningkatan
profesionalis pelayan publik (aparatur),
yang diantaranya adalah:
1) Perubahan sosial yang sangat cepat
dan kompleks yang disertai dengan
munculnya tuntutan-tuntutan baru
yang berkembang di masyarakat,
dan persoalan-persoalan dalam
semua sektor kehidupan
masyarakat (pembangunan)..
2) Masih rendahnya kualitas
pelayanan publik dalam hal
penyalahgunaan wewenang, praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme serta
pungutan liar.
3) Masih lemahnya pengawasan
terhadap kinerja aparatur
pemerintah, dan tidak pedulinya
teman sejawat atas penyimpangan
yang dilakukan oleh koleganya.
4) Konsekuensi peranan aparatur
(pelayan publik) yang jenis
pekerjaannya adalah termasuk
pekerjaan profesional. Pekerjaan
seperti ini menuntut adanya
pengembangan diri secara
berkelanjutan untuk terus
beradaptasi dengan pengetahuan
baru, keterampilan baru, dan sikap
baru.
5) Azaz pendidikan seumur hidup.
Azaz pendidikan seumur hidup
mendorong setiap manusia,
khususnya aparatur pemerintah
untuk terus belajar sepanjang masa
jabatannya.
6) Gejala lemahnya pelayanan
aparatur pada publik, termasuk
berbagai kasus penyimpangan
dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya.
7) Lemahnya kemampuan aparatur
pemerintah dalam hal pemanfaatan
perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi.
Paling tidak ada tujuah faktor yang
mendorong perlunya dilakukan
peningkatan profesionalisme aparatur
pemerintahebagai pelayan publik sehingga
publik betul-betul memperoleh pelayanan
yang perima dan pada gilirannya untuk
mengakselerasi pencapaian tujuan
pembangunan nasional. Peningkatan
profesionalisme aparatur pemerintah
hendaknya dilakukan secara terprogram,
serempak, dan berkelanjutan. Hanya
dengan cara demikian maka program
peningkatan profesionalisme aparatur
pemerintah dapat membawa hasil sesuai
harapan dan tuntutan yang tak pernah
berhenti.
3. Konsep Profesionalisme
Kata profesionalisme merujuk pada
suatu pekerjaan yang mensyaratkan
dimiliknya keahlian spesifik berdasarkan
pendidikan yang spesifik yang ditunjukkan
dengan adanya ijasah, dan dalam
melaksanakan pekerjaan profesional
diperoleh imbalan yang layak sesuai
dengan standar yang ditetapkan
sebelumnya. Banyak ahli memberikan
definisi profesionalisme dengan beragam,
diantaranya sebagaimana dikemukakan
oleh beberapa ahli berikut.
Badudu dan Zaini dalam
Sedarmayanti (2004:76) mengemukakan
bahwa profesionalisme adalah:
1. Berasal dari kata ―profesi‖ yang
artinya:
a. Pekerjaan daripadanya
didapatkan pendapatan nafkah
untuk hidup.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
55 | P a g e
b. Pekerjaan yang dikuasai karena
pendidikan keahlian.
2. Profesionalisme artinya:
a. Bersifat profesi.
b. Memiliki keahlian dan
keterampilan karena pendidikan
dan latihan.
c. Memperoleh bayaran karena
pekerjaan itu.
Menurut Thomas H. Pattern Jr.,
profesionalisme dalam Sedarmayanti
(2004:76-77) bahwa disebut
profesionalisme apabila pekerjaan itu
mencerminkan adanya dukungan berupa:
1. Ciri pengetahuan.
2. Diabdikan untuk kepentingan orang
lain.
3. Keberhasilan pekerjan tersebut bukan
didasarkan pada keuntungan finansial.
4. Didukung oleh adanya organisasi
(asosiasi), profesi tersebut antara lain
menentukan berbagai ketentuan yang
merupakan kode etik dan tanggung
jawab dalam memajukan dan
penyebarannya profesi yang
bersangkutan.
5. Ditentukan adanya standar kualifikasi
profesi
Sedangkan menurut Legge dan Exley
dalam Sedarmayanti (2004:77) bahwa
profesionalisme adalah:
1. Keterampilan yang didasarkan atas
pengetahuan teoritis.
2. Diperoleh dengan pendidikan tinggi
dan latihan kemampuannya diakui oleh
rekan sejawatnya.
3. Punya organisasiprofesi yang
menjamin berlangsungnya budaya
profesi melalui persyaratan untuk
memasuki organisasi tersebut, yaitu
ketaatan pada kemanusiaan.
Semana (1995) dalam dalam
Sedarmayanti (2004:77) bahwa
profesionalisme adalah:
1. Seorang pekerja yang terampil atau
cakap dalam bekerja.
2. Seseorang yang dituntut menguasai visi
yang mendasari keterampilannya yang
menyangkut wawasan filosofis,
pertimbangan nasonal, dan memiliki
sikap yang positif dalam melaksanakan
serta mengembangkan mutu karyanya.
3. Mempunyai ciri:
a. Memerlukan persiapan atau
pendidikan khusus.
b. Memenuhi persyaratan yang
telah dibebankan oleh pihak
yang berwewenang.
c. Mendapat pengakuan
masyarakat atau negara.
d. Berkecakapan kerja
(berkeahlian) sesuai dengan
tugas khusus serta tuntutan dari
jenis jabatannya.
e. Menurut pendidikan yang
terprogram secara relevan,
sehingga terselenggara secara
efektif dan efisien dan tolok
ukur yang berstandar.
f. Berwawasan sosial, bersikap
positif terhadap jabatannya dan
perannya serta bermotivasi
untukl bekerja dengan sebaik-
baiknya.
g. Memiliki kode etik yang harus
dipenuhi.
h. Mencintai profesinya dan
memiliki etos kerja yang tinggi
serta selalu meningkatkan diri
serta karyanya.
Jadi profesionalisme itu adakah suatu
jenis pekerjaan tertentu yang menuntut
dimilikinya disiplin ilmu atau keahlian
tertentu yang dikembangkan secara terus-
menerus dan ditunjukkan dengan tanda
keprofesionalan, yakni ijasah atau
sertifikat, dan pekerja profesional dalam
melaksanakan tugas profesinya
menperoleh upah. Pelayan publik sebagai
pekerja profesional menuntut bahwa yang
bersangkutan harus memiliki ilmu sesuai
denga bidang kerjanya, dan mereka secara
terus-menerus harus melakukan kegiatan-
kegiatan pengembangan profesinya.
4. Definisi Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal telah
didefiniskan oleh Kleis (1973:6) sebagai
usaha pendidikan yang melembaga dan
sistematis (biasanya di luar sekolah
tradisional) di mana isi diadaptasikan pada
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
56 | P a g e
kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang
spesifik (atau situasi yang spesifik) untuk
memaksimalkan belajar dan
meminimalkan unsur-unsur lain yang
sering dilakukan oleh para guru sekolah
formal. Pendidikan nonformal lebih
berpusat pada peserta didik daripada
pendidikan yang paling formal. Para
peserta didik dapat meninggalkan waktu
yang tidak mereka sukai. Pendidikan
nonformal cenderung menekankan sebuah
kurikulum kafetaria (pilihan-pilihan)
daripada ditentukan sebelumnya, yaitu
kuirkulum sebagaimana dijumpai di
sekolah-sekolah. Dalam pendidikan
nonformal hubungan-hubungan manusia
lebih informal (peranan-peranan guru dan
peserta didik lebih tidak kaku dan sering
bergantian) daripada di sekolah-sekolah di
mana guru-murid dan peranan
administrator guru bersifat hirarkis dan
jarang berubah dalam jangka waktu
pendek. Pendidikan nonformal fokus pada
pengetahuan dan keterampilan praktis
sementara sekolah sering fokus pada
informasi yang menunda aplikasi. Seluruh
pendidikan nonformal memiliki tingkat
struktur yang lebih rendah (oleh karena itu
lebih fleksibel) daripada sekolah. Menurut
Tight (1983:6) bahwa pendidikan
nonformal merupakan usaha pendidikan
yang disengaja yang dilaksanakan di luar
sistem persekolahan.
Paulston (dalam La Belle, 1976:12)
mengemukakan bahwa pendidikan
nonformal itu adalah aktivitas-aktivitas
pendidikan dan pelatihan di luar sekolah
yang terstruktur dan sistematis dalam
durasi yang relatif pendek yang disponsori
oleh para agen untuk terjadinya perubahan
perilaku yang konkret dalam penduduk
sasaran tertentu.. Ahli lain, Brembeck
(dalam La Belle, 1976:12) memberikan
definisi bahwa pendidikan nonformal itu
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan belajar
yang terjadi di luar sistem pendidikan yang
diorganisir secara formal ... untuk
mendidik ke arah tujuan-tujuan khusus di
bawah sponsorsip baik orang (individu),
kelompok, maupun organisasi.. Pengertian
di luar sistem pendidikan formal adalah di
luar aturan-aturan sebagaimana berlaku di
formal (sekolah). Pendidikan informal,
termasuk pendidikan non-formal,
keduanya berlangsung di luar sistem
pendidikan formal, tetapi pelaksanaannya
bisa berlangsung di sekolah (menggunakan
fasilitas atau media yang ada di sekolah).
UNESCO (1997:41) memberikan
definisi bahwa pendidikan nonformal
adalah setiap kegiatan pendidikan yang
diorganisir dan berkelanjutan yang tidak
berkaitan secara tepat pada definisi
pendidikan formal. Pendidikan nonformal
bisa terjadi baik di dalam maupun di luar
lembaga-lembaga pendidikan, dan
melayani orang-orang semua usia.
Tergantung pada konteks negara, bisa
mencakup program-program pendidikan
termasuk melek hurup orang dewasa,
pendidikan dasar untuk anak-anak di luar
sekolah, keterampilan kehidupan (life-
skills), keterampilan kerja (work-skills),
dan kebudayaan umum. Program
pendidikan nonformal tidak perlu
mengikuti sistem ―tangga‖, dan bisa
memiliki durasi yang berbeda, dan bisa
atau tidak bisa memperoleh sertifikat dari
belajar yang dicapai.
Pendidikan nonformal yang inovatif
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Program pendidikan nonformal
muncul sebagai inovasi untuk
memecahkan masalah yang
menekan dalam masyarakat
tertentu.
2) Tujuan pendidikan nonformal
diorientasikan bukan untuk
memperoleh sertifikat.
3) Pendidikan nonformal menekankan
pada pemecahan masalah-masalah
khusus daripada belajar mata
pelajaran yang abstrak.
4) Pendidikan nonformal membantu
memprakarsai sebuah program atau
proyek setelah fase eksperimental.
5) Pendidikan nonformal fleksibel,
berpusat pada peserta didik, dan
partisipatori.
6) Pendidikan nonformal lebih praktis
daripada teoritis.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
57 | P a g e
7) Otonom pada tingkat program dan
kesempatan yang kurang dari
kontrol luar.
8) Lebih bersifat ekonomis karena
menggunakan fasilitas yang ada.
9) Pendidikan nonformal berlangsung
sepanjang proses kehidupan.
Combs & Ahmed (1973:233-234)
mengetengahkan ada beberapa sifat atau
karakteristik pendidikan nonformal, yakni
sebagai berikut:
1) Keluwesan (fleksibilitas) untuk
disesuaikan dengan kebutuhan
khusus setempat, serta dalam
mengubah-menyesuaikan kondisi
dan kesempatan dalam memilih
mata-pelajaran serta memilih cara
mengajarnya dan dalam
mengadakan kombinasi pelajaran
teori dan latihan praktis.
2) Keleluasan untuk disesuaikan
dengan keperluan anak-didik,
misalnya dengan mengatur
pengajaran sambilan yang
disesuaikan dengan tugas pada
tempat bekerja atau dalam kalangan
keluarga, dan dengan menyusun
satuan-satuan pelajaran yang
tertentu yang boleh dipelajari dan
diselesaikan oleh masing-masing
siswa dalam jangka masa dan pada
waktu yang lebih cocok –
memungkinkan mereka masuk-
keluar berganti-ganti ke dalam
proses pengajaran, sesuai dengan
kehendak dan kesempatan masing-
masing.
3) Kemampuan untuk memanfaatkan
tenaga ahli, fasilitas dan dukungan
masyarakat setempat – sementara
memupuk rasa turut-memiliki dan
turut-mengurus di kalangan
masyarakat bersangkutan –
sehingga antara lain diperoleh
kesempatan pendidikan yang lebih
mampu bertahan dalam segi
ekonominya (Combs & Ahmed,
1973:233-234).
Callaway dalam La Belle (1973:18)
mengemukakan sifat umum pendidikan
nonformal dengan memberikan garis besar
karakteristik pendidikan nonformal sebagai
berikut: Program-program pendidikan
nonformal pada umumnya:
1) Merupakan pelengkap pendidikan
formal.
2) Beragam dalam hal organisasi,
sponsor, dan metode-metode
pembelajaran.
3) Suka rela dan mencakup rentangan
usia, latar belakang, dan kepetingan
kepentingan yang luas.
4) Tidak mengarah pada perolehan
kredensial atau diploma.
5) Ada di mana para peserta didik
tinggal dan bekerja, dan (6) lentur
(fleksibel) dan dapat disesuaikan
(adaptable) dalam hal waktu, lama,
dan tujuan.
Menurut O.P. Dahama dan O.P. Bhatnagar
(1981:6) bahwa pendidikan nonformal itu
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Fleksibel.
2) Berorientasi pada kehidupan,
lingkungan, dan peserta didik.
3) Beragam dalam isi dan metode.
4) Tidak otoriter.
5) Dibangun berdasarkan partisipasi
peserta didik.
6) Memobilisir sumber-sumber lokal.
7) Memperkaya potensi manusia dan
lingkungan.
Berdasarkan karakteristik pendidikan
non-formal sebagaimana diuraikan di atas
maka peningkata profesionalisme aparatur
pemerintah lebih efisien dan efektif
dilakukan melalui jalur pendidikan non-
formal karena memungkinkan untuk
memilih jenis kegiatan sebagaimana yang
dibutuhkan oleh para pelayan publik
berbasis latar belakang tugas dan wilayah
yang karakteristik persoalan dan
kulturalnya beragam. Melalui jalur
pendidikan non-formal maka program
kegiatan (pendidikan atau pelatihan) dapat
dilaksanakan secara singkat sehingga
hasilnya dapat langsung diterapkan dalam
melaksanakan tugas pelayanan publik.
Selain itu umumnya biaya
pendidikan/pelatihan relatif murah
sehingga tidak menuntut anggaran yang
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
58 | P a g e
besar jika dilaksanakan dalam skala
nasional maupun regional.
5. Pelayanan Publik Prima dan
Memuaskan
Kepuasan pelayanan publik hingga
sekarang masih jauh dari harapan.
Walaupun pada sebagian layanan publik
berjalan dengan baik, tetapi layanan pada
bidang-bidang lainnya masih sangat
mengecewakan. Perlakuan oknum aparatur
negara pada masyarakat yang
membutuhkan layanan publik masih terus
menggejalan dengan mengecewakan,
bahkan menyakitkan. Pelayanan publik
yang tidak baik merupakan faktor kendala
bagi upaya mewujudkan kepemerintahan
baik baik (good governance). Sebenarnya
para aparutur harus menunjukkan
pelayanan yang baik atau pelayanan prima
sebagai perwujudan keteladanan yang baik.
Pelayanan publik merupakan suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pemerintah. Sebagaimana dikemukakan
oleh Sinambela (2006:5) bahwa Pelayanan
publik adalah pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara
Negara. Negara didirikan oleh publik
(masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar
dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pada hakikatnya Negara
dalam hal ini pemerintah (birokrat)
haruslah dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini
bukanlah kebutuhan secara individual akan
tetapi berbagai kebutuhan sesungguhnya
diharapkan masyarakat, misalnya
kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan
lain-lain (Sinambela, 2006:5).
Pelayanan publik yang memuaskan
adalah pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan dilaksanakan
dengan penuh nilai kemanusiaan. Dilihat
dari sudut pandang teori kualitas pelayanan
jasa, bahwa terdapat lima faktor utama
yang menentukan kualitas pelayanan jasa
sekaligus sebagai ukuran di dalam melihat
kualitas jasa yang dipersepsikan konsumen
yaitu: 1) Wujud atau bukti langsung
(tangibility), yaitu dimensi yang mengukur
aspek fisik dari suatu layanan, antara lain
kelengkapan fasilitas fisik, peralatan, dan
tampilan para karyawan. 2) Keandalan
(reliability), yaitu dimensi yang mengukur
kehandalan suatu layanan, berupa seberapa
besar keakuratan perusahaan dalam
memberi layanan, pemenuhan janji
karyawan. 3) Koresponsifan atau daya
tanggap (responsiveness), yaitu dimensi
yang mengukur kecepatan layanan kepada
pelanggan. 4) Keyakinan atau jaminan
(assurance), yaitu dimensi yang mengukur
kemampuan perusahaan (khususnya para
staf) untuk menanamkan rasa percaya dan
keyakinan kepada para pelanggannya. 5)
Empati (empathy), yaitu dimensi yang
mengukur kemampuan produsen
(khususnya para staf) dalam mengetahui
kebutuhan para pelanggan secara pribadi
(Parasuraman, Zeithaml, dan Bary dalam
Tjiptono, 2000:72). Kemudian secara
spesifik tentang pelayanan publik yang
berorientasi pada kualitas pelayanan
tercermin dari: a Tranparansi, pelanggan
yang bersifat terbuka, mudah dan dapat
diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara
memadai serta mudah dimengerti; b
Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat
dipertanggungjawaban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c Kondisional, yakni pelayanan yang
sesuai dengan kondisi dan kemampuan
pemberi dan penerima pelayaan dengan
tetap perpegang pada prinsip efisiensi dan
efektifitas; d Partisipatif, yakni pelayanan
yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dengan memperhatikan
aspirasi, kebutuhan dan harapan
masyarakat; e Kesamaan hak, yaitu
pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apa pun
khususnya suku, ras, agama, golongan,
status sosial, dan lain-lain; f Keseimbangan
hak dan kewajiban, yakni pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara
pemberi dan penerima pelayanan publik
(Sinambela, 2006:6).
Kepuasan pelanggan dalam konteks
pelayanan publik yang prima antara lain
meliputi: 1) Selalu meningkatkan kualitas
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
59 | P a g e
pelayanan kepada masyarakat dengan
memperhatikan aspek-aspek : komunikasi
yang baik, suasana psikologis dan perilaku
melayani. 2) Selalu berupaya menciptakan
citra positif dimata masyarakat yang
dilayani. 3) Membuat pihak yang dilayani
merasa diperhatikan. 4) Menyeleraskan
antara apa yang dikatakan dengan cara
mengatakanya dan dengan perbuatan yang
nyata. 5) Mengenal dengan baik pihak-
pihak yang dilayani (Ibrahim, 2008:71).
Singkatnya bahwa kepuasan publik
terhadap layanan yang diterima apabila
kebutuhan dan harga diri mereka
diperhatikan. Pelayan publik harus
mengenal publik yang dilayani dengan
baik dan memperlakukan mereka dengan
baik pula. Apa yang dikatakan harus sesuai
dengan tindakannya sehingga citra pelayan
publik menjadi baik. Kepercayaan publik
terhadap pelayan publik sangat penting
untuk memberikan kepuasan pada publik.
Mewujudkan pelayanan publik yang
prima dan memuaskan memerlukan suatu
proses, yakni apa yang disebutkan
pembelajaran atau pendidikan dan
pelatihan, khususnya bagi para aparatur
pemerintah sebagai pelayan publik.
Pendidikan dan pelatihan yang diperlukan
dalam konteks in servive training adalah
jenis pendidikan yang relatif fleksibel
dalam konten dan sistemnya serta
berlangsung singkat karena ingin segera
diterapkan dalam prores pelaksanaan
pelayanan publik. Jenis pendidikan yang
lebih cocok untuk kepentingan
peningkatan profesionalisme para aparatur
tersebut adalah pendidikan non-formal.
6. Peningkatan Profesionalisme Pelayan
Publik melalui Pendidikan Non-formal
Para pelayan publik (aparatur
pemerintah) posisinya adalah bekerja di
mana mereka melaksanakan tugas sesuai
dengan jam kerja sebagai pegawai
(aparatur) pemerintah. Mereka setiap hari
telah disibukkan dengan kebawajiban
melayani publik setiap hari secara rutin
dan sepanjang hari kerja. Artinya bahwa
para aparatur itu waktu yang dimiliki untuk
belajar sangat terbatas. Padahal setiap saat
atau dalam saat-saat tertentu yang tidak
diprediksi sebelumnya terjadi perubahan-
perubahan atau perbaikan atau peningkatan
kinerja. Peningkatan kinerja pelayan publik
ini menjadi sebuah keharusan dan tidak
bisa ditawar lagi. Karena konsekuansinya
sangat besar terutama dalam hal
pemenuhan tuntutan publik yang semakin
kompleks dan maju. Mereka tidak
mungkin harus berhenti bekerja lalu ke
sekolah untuk memperoleh pengetahuan
baru dan pengalaman baru yang menjadi
tuntutan lapangan kerjanya dalam
memberikan pelayanan publik. Mereka
sangat mungkin untuk belajar atau berlatih
tetapi tidak meninggalkan pekerjannya.
Dengan demikian bahwa pelayanan
pendidikan yang bisa memenuhi kebutuhan
pendidikan bagi para pelayan publik adalah
pendidikan non-formal.
Ada beberapa langkah dalam
melaksanakan program peningkatan
profesionalisme pelayan publik melalui
pendidikan non-formal.
Pertama, identifikasi persoalan atau
kebutuhan yang sedang terjadi di
masyarakat, termasuk keterbatasan-
keterbatasan kemampuan yang terdapat
pada pra pelayan publik. Termasuk dalam
langkah pertama ini adalah identifikasi
sumber-sumber potensi baik potensi
manusia dan non-manusia yang dapat
dimanfaatkan dalam proses pelaksanaan
program.
Kedua, mengidentifikasi alternatif-
alternatif jenis program yang
memungkinkan untuk dilaksanakan dalam
rangka peningkatan kualitas
profesionalisme pelayan publik.
Ketiga, menetapkan prioritas
program yang lebih mungkin untuk
dilaksanaka berdasarkan pertimbanga-
pertimbangan tertentu, seperti sumber
potensi manusia sebagai pelatihnya,
fasilitas dan sarana/prasarana yang
diperlukan selama pelatihan, biaya yang
tersedia untuk kepentingan
pendidikan/pelatihan. Dalam sistem
pendidikan non-formap bahwa tempat
kegiatan adalah di mana saja asal program
dapat berjalan dengan efisien dan efektif,
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
60 | P a g e
dan tidak harus mahal dan mewah. Selain
itu bahwa pelaksanaan pelatihan bisa
memanfaatkan sumber lokal yang tersedia
di masyarakat. Tentang pelatih sebaiknya
diambil dari diantara kolega yang lebih
berpengalaman dan berkemampuan lebih
diantara mereka. Sehingga pada satu sisi
dapat lebih mengefektifkan pelaksanaan
kegiatan karena yang melatih teman
sejawat di mana dimungkinkan untuk
terjadinya interaksi dan kounikasi yang
lebih lancar. Dan pada sisi lain bahwa
pelatih dari kolega sendiri akan lebih
meningkatkan kemampuannya dalam
melaksanakan tugas karena pada dasarnya
melatih berarti juga belajar kembali.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut
adalah penting untuk pelaksanaan
pelatihan berbasis pendidikan non-formal.
Keempat, adalah pelaksanaan
program kegiatan (pendidikan/pelatihan).
Selama proses pelaksanaan (implementasi)
program ini perlu dilakukan pengawasan
secara terprogram sehingga pelaksaan
kegiatan berjalan sebagaimana diharapkan.
Dengan pengawasan akan dapat
diminimalkan penyimpangan dalam
pelaksanaan program. Seperti, dalam
rencana pelatihan adalah dua hari, tetapi
dalam pelaksanaannya hanya satu hari
diukur dari jam pelatihan, tetapi dua hari
dilihat dari harinya. Misalnya, program
pelatihan dengan lama waktu dua hari
sabtu dan minggu, program dimulai hari
sabtu pukul 13.00 wib kemudian ditutup
minggu pukul 12.00 wib. Dengan demikian
ada pemangkasan penggunaan dana secara
illegal dengan hanya membayar hotel
tempat pelaksanaan kegiatan satu hari,
namum dalam laporannya dua hari. Yang
dirugikan adalah publik sebagai penerima
layanan pelatihan. Negara pun termasuk
dirugikan.
Kelima, evaluasi. Yakni setiap akhir
pelaksanaan kegiatan peningkatan
profesionalisme pelayan publik berupa
pendidikan atau pelatihan hendaknya
dilakukan evaluasi secara menyeluruh. Ini
penting untuk melihat efisiensi dan
efektifitas pelaksanaan program kegiatan.
Lebih dari itu adalah untuk mengetahui
peyimpangan-penyimpangan secara
menyeluruh dalam pelaksanaan kegiatan.
Program pendidikan dan pelatihan (diklat)
ini merupakan salah satu peluang
terjadinya penyimpangan perilaku pelayan
publik, yakni terjadinya korupsi.
Keenam, tindak lanjut (follow-up).
Berakhirnya pelaksanaan pelatihan bukan
berarti berakhirlah program peningkatan
profesionalisme pelayan publik. Program
ini bukan hanya yang penting adalah
proyek selesai dilakukan, tetapi hasil
pelatihan itu harus betul-betul dicermati
dan dilakukan langkah-langkah lanjutan
sehingga mereka yag sudah mengikuti
pelatihan betul-betul mengmplementasikan
hasil pelatihannya dalam melaksanakan
tugas pelayanan publik dengan tujuan
untuk memberikan pelayanan publik yang
memuaskan masyarakat penerima
pelayanan.
Program pendidikan dan pelatihan
pelayan publik dengan prosedur di atas
tidak mungkin dilaksanakan melalui jalur
pendidikan formal (sekolah). Namun ini
tidak berarti bahwa jalur pendidikan formal
tidak perlu dipertimbangka. Bagi mereka
yang ingin belajar lebih profesional lagi
dan siap mengikuti program dalam waktu
yang relatif lama, maka pendidikan formal
seperti studi lanjut di perguruan tinggi bisa
menjadi alternmatif pilihan dengan segala
konsekuensinya. Namun kalau persoalan
yang dihadapi di masyarakat ada
memerlukan pemecahan secara cepat
dengan kemampuan baru yang harus
dimiliki oleh para pelayan publik, maka
pendidikan non-formal menjadi alternatif
terbaik.
7. Simpulan
Profesionalisme pelayan publik
semakin lama semakin menuntut adanya
peningkatan kualitas sejalan dengan
semakin berkembangnya demokrasi dan
tuntutan publik yang terus berkembang.
Secara konseptual bahwa pekerjaan
profesional itu salah satu karakteristiknya
adalah adanya pengembangan atau
peningkatan profesi secara terus menerus
seirama dengan perkembangan ilmu dan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
61 | P a g e
teknologi. Secara faktual juga bahwa
publik semakin sadar akan hak sebagai
warga negara (publik) untuk memperoleh
pelayanan yang prima (smart).
Pelayanan publik yang baik atau
berkualitas adalah pelayanan yang betul-
betul memuaskan bagi masyarakat yang
berhak mendapatkan pelayanan.
Kemampuan untuk memberikan pelayanan
publik yang baik menuntut pelayan publik
(paratur pemerintah) untuk secara terus
menerus meningkatkan kualitas profesinya
dengan cara terus belajar baik melalui
pendidikan maupun pelatihan. Oleh karena
kemampuan pelayan publik adalah
diharapkan dengan segera untuk
diimplementasikan maka kemampuan itu
hanya bisa didapat khususnya melalui jalur
pendidikan non-formal karena pendidikan
non-formal lebih fleksibel dan berjangka
pendek masa yang dibutuhkan untuk
menguasai pengetahuan baru maupun
keterampilan baru.
DAFTAR PUSTAKA
Combs & Ahmed. 1973. Memerangi
Kemiskinan di Pedesaan Melalui
Pendidikan Non-formal. Jakarta:
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Dahama, O.P. & O.P. Bhatnagar. 1980.
Education and Communication for
Development. New Delhi: Oxford &
IBH Publishing Co.
Ibrahim, Amin. 2008. Teori Dan Konsep
Pelayanan Publik Serta
Implementasinya. Bandung: Mandar
Maju.
Kleis, J., Lang, L., Mietus, J.R. & Tiapula,
F.T.S. 1973. ‖Toward a Contextual
Detinition of Nonformal Education.‖
Nonformal Education Discussion
Papers. East Lansing, MI: Michigan
State University.
La Belle, Thomas J. 1976. Nonformal
Education and Social Change in
Latin America. Los Angeles: UCLA
Latin America Center Publications,
University of California.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance
(Kepemerintahan yang Baik). Bagian
Kedua. Bandung: Mandar Maju.
Sinambela, Lijan Poltak dkk. 2006.
Reformasi Pelayanan Publik (Teori
Kebijakan Dan Implementasi).
Jakarta : Bumi Aksara.
Tjiptono, Fandy. 2000. Total Quality
Mananagement. Yogyakarta: Andi
Offset.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
62 | P a g e
PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN
TERHADAP KEPUASAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MALANG
(Study di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu kabupaten Malang )
Oleh
Bambang Suryanto
Program Pascasarjana Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
Abstrak Dalam pemerintahan yang mempunyai otonomi bahwa pelayanan publik juga
menjadi isu strategis yang bermakna politis, karena menyangkut, bagaimana pola
hubungan kekuasaan dijalankan dalam memenuhi kebutuhan dasar
masyarakatnya. Artinya bahwa kualitas pelayanan publik juga dapat
menggambarkan bagaimana political will penguasa (pemerintah) dalam
memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya penelitian ini adalah
untuk mengetahui lebih dalam tentang tingkat kualitas pelayanan yang telah di
jalankan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam rangka
memberikan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa layanan perizinan.
Dalam penelitian ini rumusan masalah yang disampaikan adalah: 1)
Bagaimanakah kualitas layanan UPT Perizinan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat pengguna jasa layanan; 2) Faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap kinerja pelayanan UPT Perizinan; serta 3) Langkah-langkah
apa yang diambil oleh UPT Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja
pelayanan.Tujuan Penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui seberapa jauh
kualitas layanan Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Kabupaten Malang dalam
memberikan pelayanan perijinan kepada masyarakat; 2) Untuk mengetahui faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan UPT Perizinan Kabupaten
Malang; dan 3) Untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Unit
Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten Malang dalam meningkatkan kinerja
pelayanan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif yang didesain dengan model studi kasus. Sumber data (subyek
penelitian) dalah informan kunci yang ditentukan berdasarkan tujuan-tujuan
tertentu sesuai dengan kebutuhan, dengan memilih sampel yang menguasai
permasalahan, memiliki data dan bersedia untuk memberikan data. Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan analisa terhadap dokumen.
Untuk analisa data menggunakan prosedur reduksi data, penyajian data, menarik
kesimpulan/verifikasi. Sedangkan untuk melihat keabsahan data, digunakan teknik
derajat kepercayaan, keteralihan dan uji obyektivitas.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: Pertama, Kualitas pelayanan perizinan yang dijalankan oleh
UPT Perizinan Kabupaten Malang dari dimensi Responsibilitas penyelenggaraan
pelayanan, responsiveness aparat penyedia layanan dan akuntabilitas terhadap
proses keseluruhan penyelengaraan perijinan sudah mengalami peningkatan yang
significant dibanding tahun-tahun sebelumnya, meskipun masih terdapat
kekurangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kedua: Faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pelayanan dari UPT Perizinan antara
lain meliputi: 1) kualitas sumber daya manusia; 2) sarana dan prasarana yang
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
63 | P a g e
tersedia guna penunjang operasional; 3) bentuk kelembagaan dari UPT Perizinan;
4) wilayah Kabupaten Malang yang luas sehingga menyebabkan daya jangkau
UPT Perizinan relatif besar; dan Data subyek dan obyek perizinan yang belum
terpetakan sebagai potensi perizinan daerah. Ketiga: Langkah-langkah yang
dilakukan oleh UPT Perizinan dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan,
dimana terdapat beberapa langkah prioritas yang bisa dilakukan oleh UPT
Perizinan guna peningkatan pelayanan perizinan dengan menciptakan pola
kegiatan pelayanan perizinan yang memberikan kemudahan dan biaya murah
kepada masyarakat; 1) Melakukan penyesuaian dan penyempurnaan sistem dan
prosedur pelayanan perizinan yang berlaku sesuai dengan tuntutan kondisi saat
ini; 2) Menambah jumlah kendaraan operasional; 3) Memanfaatkan jaringan
elektronik/media untuk publikasi layanan; 3) Perlu adanya penataan arsip yang
memadai; 4) Meningkatkan koordinasi aparat desa/kelurahan dan kecamatan; 5)
Melakukan pendataan subyek dan obyek perizinan; 6) Melaksanakan sosialisasi
dan penyuluhan kepada aparatur kecamatan, desa/kelurahan baik secara langsung
maupun tidak; 7) Melakukan pemilihan dan penetapan terhadap wilayah tertentu
(kecamatan/desa/kelurahan) sebagai uji coba wilayah sadar perizinan; 8)
Merencanakan program pekan pelayanan izin di wilayah tertentu berdasar periode
tertentu; dan 9) Perlu diajukan payung hukum terkait pemberian pelayanan
perizinan di Kabupaten Malang dalam bentuk Peraturan Daerah. Dari hasil
obeservasi di lapangan, maka peneliti juga memberikan saran kepada Pemerintah
Kabupaten Malang bersama dengan DPRD Kabupaten Malang, diharapkan segera
membuat: 1) Peraturan Daerah tentang Pelayanan Publik, agar masalah pelayanan
publik di Kabupaten Malang lebih optimal dan mempunyai landasan hukum; 2)
Peraturan Daerah tentang Investasi secara umum, agar iklim investasi di
Kabupaten Malang meningkat.
Kata Kunci: Kualitas Pelayanan
PENDAHULUAN
Dalam otonomi daerah ini,
menghadapi masyarakat ekonomi asean
pada tahun ini, Masalah kelemahan
layanan pemerintah kepada masyarakat
merupakan salah satu konsekwensi sifat
pertumbuhan pembangunan kota yang
cepat sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi nasional yang pesat. Kenyataan
ketidakefektifan model layanan yang
disediakan pemerintah telah mendorong
berbagai upaya pembaharuan dan
percobaan untuk memobilisasi sumber-
sumber daya yang ada di masyarakat
menuju perubahan yang lebih baik.
Pelayanan publik tetap menjadi
topik menarik untuk dikaji oleh para ahli
dan pemerhati masalah administrasi publik.
Besarnya perhatian terhadap administrasi
publik ini disebabkan dua hal, yaitu:
Pertama, pada tataran teoritis, menguatnya
pendekatan ekologis sebagai pengganti
pendekatan non ekologis yang memandang
administrasi publik sebagai sosok yang
tidak bisa dipisahkan dan bahkan
berimpitan dengan persoalan politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Kedua, pada
tatanan empiris yaitu menguatnya tuntutan
masyarakat akan pelayanan publik dan
merebaknya keinginan masyarakat untuk
melakukan reformasi pelayanan publik
sebagai akibat berbelit-belitnya pelayanan
publik (Zauhar, 2001:45).
Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
pelaksanaan pelayanan perizinan yang
berorientasi dan fokus pada kepuasan
pengguna layanan (masyarakat) yang
dilakukan pada kantor badan Perizinan
Kabupaten Malang .
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
64 | P a g e
Sedangkan tujuan utama dari
penelitian ini sesuai dengan perumusan
masalah yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
(1) Untuk mengetahui seberapa jauh
kualitas layanan badan Pelayanan
Terpadu Perizinan Kabupaten
Malang
(2) Untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja
pelayanan
(3) Untuk mengetahui langkah-langkah
yang dilakukan oleh badan
Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang dalam
meningkatkan kinerja pelayanan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai hasil yang
dicapai setelah dilakukan penelitian secara
sempurna di lapangan, sehingga mampu
memberikan sumbangan secara ilmiah baik
bagi perkembangan ilmu pengetahuan,
khususnya pada kualitas pelayanan publik
di bidang perizinan sektor publik maupun
kebutuhan praktis bagi Pemerintah Daerah
(Kabupaten Malang) dalam menangani
permasalahan-permasalahan yang terjadi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik
di bidang perizinan.
METODE Metode penelitian adalah
merupakan cara ilmiah yang digunakan
untukl mendapatkan data dengan tujuan
tertentu. Menurut Suriasumantri dalam
Sugiyono (1999:1) bahwa ―metode
penelitian adalah merupakan gabungan
antara pendekatan rasional dan empiris.
Pendekatan rasional memberikan kerangka
berpikir yang koheren dan logis.
Sedangkan pendekatan empiris
memberikan kerangka pengujian dalam
memastikan suatu kebenaran‖
Fokus Penelitian
Mengacu perumusan
permasalahan yang telah dirumuskan
dalam penelitian ini, maka fokus penelitian
dapat ditetapkan pada beberapa hal pokok,
Pertama, Kualitas pelayanan yang
dijalankan oleh badan Pelayanan Terpadu
Perizinan Kabupaten Malang, baik dari sisi
responsibilitas dalam proses
penyelenggaraan pelayanan, responsivitas
aparatur penyedia layanan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat
pengguna jasa layanan, serta akuntabilitas
dalam proses penyelenggaraan pelayanan
perizinan. Kedua, faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kinerja pelayanan
perizinan di badan Pelayanan Terpadu
Perizinan. Hasil penelitian yang dilakukan
ada beberapa faktor yang berpengaruh
yang antara lain adalah keadaan Sumber
Daya Manusia/aparatur penyelenggara
layanan, keadaan sarana dan prasarana
operasional dalam menjalankan aktivitas
pelayanan, kelembagaan Unit Pelayanan
Terpadu Perizinan Kabupaten Malang,
daya jangkau pelayanan yang dilakukan
oleh UPT-P serta data subyek dan obyek
perizinan di Kabupaten Malang.
Ketiga, langkah-langkah yang
sekiranya dapat dilakukan oleh badan
Pelayanan Terpadu Perizinan dalam rangka
meningkatkan kinerja pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa di seluruh
wilayah Kabupaten Malang. Hal ini
dilakukan dengan analisa SWOT
sederhana terhadap kekuatan, kelemahan,
peluang dan tantangan yang dihadapi oleh
Unit Pelayanan Terpadu Perizinan
Kemudian fokus penelitian
tersebut kemudian dijabarkan ke dalam
beberapa sub fokus penelitian sebagai
berikut:
Pertama, Kualitas layanan perizinan badan
Pelayanan Terpadu Perizinan Kabupaten
Malang, meliputi:
(1) Responsibility/Responsibilitas badan
Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang dalam
penyelenggaraan pelayanan perizinan
dimana dapat dilihat pada
keberadaan Standar Pelayanan
Publik UPT-P yang merupakan
Standar Operating Procedure (SOP)
sebagai standar baku yang harus
dilakukan oleh petugas/aparat dalam
memberikan pelayanan perizinan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
65 | P a g e
kepada masyarakat pengguna jasa
layanan. Di dalam SPP ini sendiri
juga telah dilengkapi dengan alur
pelayanan dan mekanisme pelayanan
secara jelas mengenai
berlangsungnya proses pelayanan
perizinan yang dijalankan.
(2) Responsiveness/daya
tanggap/responsivitas
aparatur/petugas pemberi layanan di
badan Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang sehingga dari sini
dapat dilihat seberapa jauh
responsivitas petugas layanan dalam
membantu masyarakat pengguna jasa
layanan yang membutuhkan
informasi, ataupun solusi terhadap
permasalahan yang dihadapi, serta
sejauh mana perilaku aparatur
pemberi layanan dalam melayani
pelanggan baik dari tingkat
kesopanan, keramahan dan
sebagainya.
(3) Accountability/Akuntabilitas badan
Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang dalam proses
penyelenggaraan pelayanan
perizinan, dimana hasil penelitian
dapat diketahui terhadap seberapa
jauh Unit Pelayanan Terpadu
Perizinan mendapatkan pengaduan
dari masyarakat pengguna jasa
pelayanan dikarenakan
ketidakpuasan masyarakat terhadap
layanan yang diberikan. Juga dapat
dilihat pada sejauh mana efektivitas
dan efisiensi Unit Pelayanan Terpadu
Perizinan Kabupaten Malang
menyelenggarakan kinerja
organisasinya mengelola kebijakan
dan program sebagaimana yang
tertuan di dalam Renstra dan visi-
misi UPT Perizinan serta pencapaian
target kegiatan terkait UPT Perizinan
sendiri adalah salah satu SKPD
penggali Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Kedua, Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja pelayanan Unit Pelayanan
Terpadu Perizinan Kabupaten Malang
dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa layanan,
meliputi:
(1) Sumber daya manusia pada Unit
Pelayanan Terpadu Perizinan. Hal ini
meliputi kualitas SDM apakah telah
sesuai dengan kompetensi dan basis
keilmuan yang dimiliki, kuantitas
atau jumlah personil yang ada dalam
mendukung kinerja pelayanan Upt
Perizinan serta kompetensi
penempatan pegawai yang
dilaksanakan oleh Badan
Kepegawaian Daerah di masing-
masing SKPD sebagaimana juga
Unit Pelayanan Terpadu Perizinan.
(2) Sarana dan Prasarana Kerja yang
dimiliki oleh Unit Pelayanan
Terpadu perizinan dalam rangka
memberikan pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa layanan.
Hal ini dapat dilihat pada kondisi
gedung, ruang tunggu, sarana
operasional termasuk komputer dan
lain-lain serta kendaraan operasional
sebagai sarana penunjang dalam
kegiatan yang dilakukan oleh Unit
Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang.
(3) Kelembagaan Unit Pelayanan
Terpadu Perizinan, dalam hal ini
kelembagaan yang ada berbentuk
Unit layanan Terpadu yang dipimpin
oleh Sekretaris UPT-P sebagaimana
Permendagri nomor 20 Tahun 2008
sangat inkonsistensi mengingat
dipersyaratkan di Permendagri di
atas berbentuk Badan/Dinas.
(4) Daya jangkau pelayanan yang
diberikan oleh Unit Pelayanan
Terpadu Perizinan Kabupaten
Malang sangat luas dikarenakan
harus menjangkau seluruh wilayah
Kabupaten Malang yang terdiri atas
33 (tiga puluh tiga) Kecamatan dan
390 (tiga ratus sembilan puluh)
Desa/Kelurahan yang menjadi obyek
dan cakupan kerja Unit Pelayanan
Terpadu Perizinan Kabupaten
Malang.
(5) Subyek dan Obyek data perizinan
adalah prasyarat mutlak Unit
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
66 | P a g e
Pelayanan Terpadu Perizinan agar
dapat memetakan seluruh potensi
perizinan yang ada di wilayah
Kabupaten Malang sehingga akan
diketahui kebijakan dan program
kerja yang akan dilaksanakan di
tahun-tahun berikutnya.
Ketiga, Langkah-langkah yang dilakukan
oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang dalam rangka
meningkatkan kinerja dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal
ini langkah-langkah yang sekiranya dapat
dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu
Perizinan Kabupaten Malang dapat
diketahui dengan melakukan analisa
SWOT
Lokasi penelitian
Adapun lokasi penelitian yang
dipilih adalah badan Pelayanan Terpadu
Perizinan Kabupaten Malang.
Sumber Data
Pada dasarnya penelitian
dilakukan adalah ingin mendapatkan data
yang obyektif, valid dan reliable
(Sugiyono, 1999:7). Sebagaimana halnya
menurut Arikunto (1998:99) ―data adalah
obyek penelitian, atau apa yang menjadi
titik perhatian suatu penelitian‖.
Sebagaimana juga pengertian data menurut
SK Menteri Pendidikan dan Keudayaan RI
Nomor: 0259/U/1977 bahwa data adalah
segala fakta dan angka yang dapat
dijadikan bahan untuk menyusun suatu
informasi, dan sedangkan informasi adalah
hasil pengolahan data yang dipakai sesuai
keperluan.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang
aktual dan akurat serta sesuai dengan
permasalahan dan fokus penelitian, maka
ada 3 (tiga) teknik pengumpulan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu :
(1) Teknik observasi/pengamatan
langsung
Menurut Kerlinger dalam Arikunto
(1998:225) mengemukakan bahwa
―observasi adalah suatu istilah umum
yang mempunyai arti semua bentuk
penerimaan data yang dilakukan
dengan cara merekam kejadian,
menghitungnya, mengukurnya dan
mencatatnya‖.
(2) Teknik wawancara
Menurut pendapat Arikunto
(1998:145), “Interview yang sering
juga disebut kuesioner lisan adalah
sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara (interviewer) untuk
memperoleh informasi dari
terwawancara (interviewer). Teknik
dokumentasi
Keabsahan Data
Teknik yang digunakan dalam
melihat keabsahan data pada penelitian ini
adalah menguji kredibilitas data, caranya
dengan melakukan perpanjangan waktu di
lapangan, melakukan kecermatan/
ketekunan pengamatan. Pengecekan data
atau informasi diperoleh melalui
wawancara yang dilakukan kepada
Sekretaris UPT-P, Kabag TU UPT-P,
Administrator UPT-P dan masyarakat
pengguna jasa layanan. Dimane kemudian
hasil wawancara tersebut di cross check
melalui observasi/pengamatan bahkan
kepada masyarakat atau personil lainnya
yang dianggap relevan.
Teknik Analisis Data
Dalam penelitian deskriptif,
analisa data dilakukan sejak awal dan
sepanjang proses penelitian berlangsung.
Dalam penelitian ini, digunakan analisis
data dari Miles dan Huberman
sebagaimana dikutip Dhamayanti
(2010:68) dengan proses ―reduksi data,
penyajian data, menarik
kesimpulan/verifikasi‖ sebagai berikut:
(1) Reduksi Data
Data yang diperoleh di
lokasi penelitian (data lapangan)
dituangkan dalam uraian yang
lengkap dan terperinci. Laporan
lapangan oleh peneliti direduksi,
dirangkum, dipilih hal-hal yang
pokok, kemudian dicari tema atau
polanya, sehingga tersusun secara
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
67 | P a g e
sistematis dan lebih mudah
pengendaliannya. Reduksi data
berlangsung terus menerus selama
proses penelitian berlangsung.
Dalam mereduksi data, peneliti
menulis semua data di lapangan
sekaligus menganalisanya.
(2) Penyajian Data
Penyajian data atau display
data dimaksudkan agar dapat
memudahkan bagi peneliti untuk
melihat gambaran secara
keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari penelitian. Display
data dilakukan peneliti agar data
yang diperoleh yang banyak
jumlahnya tetap dapat dikuasai
dengan dipilah-pilah secara fisik
dan dapat dibuat dalam bagan.
Membuat display ini juga
merupakan bagian dari analisis
data.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Kabupaten Malang terletak antara
112° 17° - 122
° 57' bujur timur dan 7
° 44° -
8° 26° lintang selatan. Dengan luas wilayah
3.534,86 km2 atau 353.486 ha, Kabupaten
Malang adalah salah satu, Kabupaten di
Indonesia yang teletak di Propinsi Jawa
Timur (untuk Propinsi Jawa Timur
Kabupaten Malang mempunyai wilayah
terluas kedua setelah Kabupaten
Banyuwangi),
Fokus Data Penelitian
Kualitas Layanan Badan Perizinan
Kabupaten Malang
(a) Responsibilitas Proses
Penyelenggaraan Layanan
Perizinan
Untuk mendukung
operasionalisasi Badan Perizinan yang
telah dibentuk ini, maka hal pertama yang
dilakukan adalah menempatkan petugas
dari tiap-tiap UPTD (SKPD terkait), yang
memiliki kewenangan terhadap perizinan.
Sehingga, meski secara administrasi dan
prosesnya telah dilakukan oleh UPT
Perizinan, tetapi masing-masing UPTD
SKPD terkait masih tetap berkewajiban
mengawasi secara teknis terkait 5 (lima)
perizinan tersebut.
(b) Persyaratan Pelayanan
1) Mengisi Blanko Permohonan.
2) Syarat Administrasi
(1) Foto Copy Kartu Tanda
Penduduk (KTP)
(2) Nomor Pokok Wajib Pajak
(NMP)l Daerah
(NPWPD);
(3) Surat Pernyataan Para
Tetangga (diketahui Lurah
1 Camat)
(4) Bukti Penguasaan Lahan
Atau Sertipikat Tanah ;
(5) Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang (SPPT)
Terakhir 1 Tanda Lunas
PBB.
3) Syarat Teknis
(1) Proposal Rencana Usaha
yang dimohonkan
(kegiatan usaha);
(2) Lay Out Bangunan
(3) Peta Lokasi
Catatan:
- Apabila diurus orang lain
(bukan pemohon), dilampiri
Surat Kuasa pengurusan
IPPT;
(c) Besarnya tarif 1 biaya
pelayanan dan cara
pembayarannya
Besamya retribusi IPPT
ditetapkan sebagai berikut:
1) Lokasi Industri : Rp. 50,- per
meter persegi
2) Lokasi Perumahan : Rp. 25,-
per meter persegi
(d) Waktu penyelesaian pelayanan
- 12 (duabelas) hari kerja,
maksimal 14 (empat belas) hari
kerja
(e) Spesifikasi Produk 1 hasif
pelayanan
- Surat Izin Peruntukkan
Penggunaan Tanah
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
68 | P a g e
(f) Kompetensi petugas yang
terlibat dalam proses
pemberian / penyelesaian
pelayanan
- Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah
- Dinas Cipta Karya dan Tata
Ruang
(g) Pemberian Kompensasi kepada
penerima pelayanan publik atas
adanya ketidaksesualan
pelayanan (nihil)
KESIMPULAN
Hasil akhir dari penelitian tentang
Kualitas Pelayanan Perizinan di Kabupaten
Malang, dapat disimpulkan sebagai berikut
:
(1) Pelayan Perijinan yang djalankan oleh
Unit Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang telah memenuhi
standar kualitas pelayanan yang baik,
baik dari sisi: 1) Responsibilitas terkait
kesederhanaan pelayanan, standar
prosedur serta kepastian akan waktu
dan biaya, 2) responsiveness/daya
tanggap dan perilaku aparat yang
santun dan ramah serta keinginan
membantu masyarakat pengguna jasa
layanan; dan 3) akuntabilitas dari
seluruh proses penyelenggaraan
pelayanan perizinan. Hal ini
dibuktikan dengan telah adanya
instrumen-instrumen yang
menunjukkan telah berjalannya
(2) Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja pelayanan Unit
Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang antara lain adalah:
(a) Kualitas Sumber Daya Manusia
penyedia layanan. Dalam hal ini
kualitas SDM yang sesuai dengen
kompetensi, keterampilan serta
basis keilmuan yang sesuai, akan
sangat menentukan keberhasilan
UPT Perizinan. Selain itu juga
penempatan SDM yang dilakukan
oleh Badan Kepegawaian Daerah
masih dirasakan jauh dari analisa
kebutuhan pegawai yang sesuai
dengan standar kompetensinya
sehingga keberadaan pegawai
aparatur pemberi layanan masih
dirasakan jauh dari harapan, baik
dari sisi kualitas maupun
kuantitas.
(b) Sarana dan prasarana yang
terdapat di UPT perizinan masih
dirasakan belum memadai dalam
mendukung operasionalisasi
kegiatan yang dilakukan dalam
pemberian pelayanan perizinan
kepada seluruh masyarakat
pengguna jasa di Kabupaten
Malang, mengingat jangkauan
wilayah kerja UPT Perizinan yang
luas. Sehingga berpengaruh
terhadap kinerja dari UPT
Perizinan Kabupaten.
(c) Terjadinya inkonsistensi
Kelembagaan UPT Perizinan
berdasarkan Perda nomor 1 Tahun
2008 dan Permendagri Nomor 20
Tahun 2008 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelayanan Perizinan Terpadu di
Daerah, sehingga hal ini juga
sangat berpengaruh terhadap
gerak langkah UPT Perizinan
Kabupaten Malang dalam
meningkatkan kinerja pelayanan.
(d) Belum terpetakannya potensi
obyek dan subyek perizinan di
wilayah Kabupaten Malang
menyebabkan kebijakan yang
nantinya akan di ambil oleh
Pemerintah kabupaten Malang
menyebabkan kecenderungan
tidak akan tepat sasaran dan
berimplikasi luas terhadap
peningkatan kinerja pelayanan
perizinan kepada masyarakat
pengguna jasa layanan dan iklim
investasi di Kabupaten Malang.
(3) Langkah-langkah yang dapat dilakukan
oleh Unit Pelayanan Terpadu
Perizinan dalam rangka meningkatkan
kinerja pelayanannya setelah
dilakukan analisa terhadap kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan
yang ada melalui analisa SWOTR
sederhana antara lain sebagai berikut:
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
69 | P a g e
(a) Menciptakan pola kegiatan
pelayanan perizinan yang
memberikan kemudahan dan
biaya murah kepada masyarakat;
(b) Melakukan penyesuaian dan
penyempurnaan sistem dan
prosedur pelayanan perizinan
yang berlaku sesuai dengan
tuntutan kondisi saat ini;
(c) Menambah jumlah kendaraan
operasional;
(d) Memanfaatkan jaringan
elektronik/media untuk publikasi
layanan;
(e) Perlu adanya penataan arsip
yang memadai;
(f) Meningkatkan koordinasi aparat
desa/kelurahan dan kecamatan;
(g) Melakukan pendataan subyek
dan obyek perizinan;
(h) Melaksanakan sosialisasi dan
penyuluhan kepada aparatur
kecamatan, desa/kelurahan baik
secara langsung maupun tidak;
(i) Melakukan pemilihan dan
penetapan terhadap wilayah
tertentu
(kecamatan/desa/kelurahan)
sebagai uji coba wilayah sadar
perizinan;
(j) Merencanakan program pekan
pelayanan izin di wilayah
tertentu berdasar periode
tertentu; dan
(k) Perlu diajukan payung hukum
terkait pemberian pelayanan
perizinan di Kabupaten Malang
dalam bentuk Peraturan Daerah..
Saran
Dengan demikian, dikaitkan
dengan kesimpulan di atas sebagaimana
manfaat yang diinginkan dari diadakannya
penelitian ini, maka perlu dibentuk saran
yang bersifat rekomendasi baik dari sisi
akademis maupun praktis agar dapat
diterapkan oleh UPT Perizinan dalam hal
peningkatan kualitas pelayanan perizinan.
Saran-saran tersebut yaitu :
(1) UPT Perizinan melalui SDM yang
dimiliki, perlu membuat inovasi
dengan penemuan-penemuan baru,
salah satu peluang yang dapat
dikembangkan adalah penyediaan
jasa-jasa pelayanan ke dalam beberapa
alternatif kegiatan. Sebagai contoh
sederhana pelayanan yang bersifat
kompleks dikenakan biaya agak
mahal, sementara jasa pelayanan
standar dikenakan biaya atau tarif
yang standar pula.
(2) Dari hasil obeservasi di lapangan,
maka peneliti juga memberikan saran
kepada Pemerintah Kabupaten Malang
bersama dengan DPRD Kabupaten
Malang, diharapkan segera membuat :
(a) Peraturan Daerah tentang
Pelayanan Publik yang
didalamnya mengikat seluruh
bentuk pelayanan perizinan yang
ada, agar masalah pelayanan
publik di Kabupaten Malang lebih
optimal dan mempunyai landasan
hukum yang jelas dikarenakan
tidak diatur dalam berbagai
macam Peraturan Daerah;
(b) Peraturan Daerah tentang
Investasi secara umum, agar iklim
investasi di Kabupaten Malang
dapat segera untuk ditingkatkan.
(3) Berdasarkan pasal Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
tentang Pembentukan Organisasi
Perangkat Daerah, Permendagri
Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja
Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di
Daerah, setelah dilakukan pengamatan
secara mendalam, maka penulis juga
memberikan saran yang bersifat
rekomendasi yaitu mengevaluasi
kembali bentuk kelembagaan UPT
Perizinan menjadi Dinas Perizinan
ataupun Lembaga Teknis Daerah
berbentuk Badan yang khusus
mengelola berbagai macam perizinan
yang tersebar di seluruh Satuan Kerja
Perangkat Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
70 | P a g e
Albrow, Martin, 2007, Birokrasi, Cetakan
keempat, Tiara Wacana,Yogyakarta.
Arikunto, Suharsini, 1998, Prosedur
Penelitian (Suatu pendekatan
praktek), Cetakan kesebelas, PT
Rineka Cipta, Jakarta.
Dirjen Pemerintahan Umum, 2004, Modul
Pengembangan Kelembagaan
Pelayanan Terpadu satu Atap, Jakarta
Dwiyanto, Agus, dkk, 2008, Reformasi
Birokrasi Publik di Indonesia,
Cetakan kedua, Gadjah mada
University Press, Yogyakarta.
Dhamayanti, Fajar, 2010, Upaya dan
pengembangan SDM di Lembaga
Unit Pelayanan Terpadu Perizinan
Kabupaten Malang dalam Rangka
Meningkatkan Pelayanan Publik.
Malang, h:189-191.
Frederickson H. George, 1988,
Administrasi Negara Baru, Cetakan
ketiga, LP3ES, Jakarta.
Indradi, Sjamsiar Sjamsudin, 2007, Etika
Birokrasi dan Akuntabilitas Sektor
Publik, CV. Sofa Mandiri, Malang.
Islamy, Irfan, 1992, Prinsip-Prinsip
Perumusan Kebijakan Negara, Bina
Aksara, Jakarta
Lindawati, Rita Dwi. 2011. Modul
Pengembangan Karakter
Kementerian Keuangan Republik
Indonesia. Pusdiklat Bea dan Cukai.
Muluk, M.R. Khairul, 2005, Desentralisasi
dan Pemerintahan Daerah, Cetakan
kedua, Bayu Media, Malang.
Moleong, J Lexy, 2008, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi,
Rosdakarya, Bandung.
Nasution, 2004, Manajemen Jasa Terpadu
(Total Service Manajemen), Ghalia
Indonesia, Bogor.
Nasucha, Chaizi, 2004, Reformasi
Administrasi Publik, Teori dan
Praktik, PT Grasindo, Jakarta.
Osborne David & Gaebler Ted, 1995,
Mewirausahakan Birokrasi, Edisi 1,
PPM & Pustaka Binaman Pressindo,
Jakarta
Putra, Fadillah dkk, 2001, Kapitalisme
Birokrasi, Kritik Reinventing
Government Osborne-Gaebler, LkiS
& PusPeK Averroes, Malang.
Pasolong, Harbani, 2008, Teori
Administrasi Publik, Alfabeta,
bandung.
Riant D. Nugroho, 2002, Analisis
Kebijakan, PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia,
Jakarta.
Sedarmayanti, 2009, Reformasi
Administrasi Publik, Reformasi
Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa
Depan (Mewujudkan pelayanan
prima dan kepemerintahan yang
baik), Refika Aditama, Bandung.
Sinambela, Lijan Poltak dkk, 2008,
Reformasi Pelayanan Publik: Teori,
Kebijakan & Implementasi, Cetakan
Ketiga, Bumi Aksara, Jakarta.
Suryabrata, Sumadi, 2010, Metodologi
Penelitian, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Sugiyono, 1998, Metode Penelitian
Administrasi, Cetakan kelima,
Alfabeta, Bandung.
Wasistiono, Sadu, 2001, Kapita Selekta
Manajemen Pemerintahan Daerah,
Alqaprint Jatinangor, Sumedang.
Zauhar, Susilo, 2001. Reformasi
Administrasi: Konsep, Dimensi,
Strategi, Bumi Aksara, Jakarta
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
71 | P a g e
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NO 4 TAHUN 2011
TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA DI KAB. PASURUAN (STUDI KASUS
DI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KAB. PASURUAN)
Oleh
Abdul Karim, Maskuri,Slamet Muchsin
Program Studi Magister Ilmu Administrasi,Program Pascasarjana,
Universitas Islam Malang
Abstrak
Penanggulangan bencana di Indonesia mendapatkan perhatian khusus oleh
pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksana terkait, yaitu
Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta
Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam
Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan
pendirian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan masih akan
dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksanaannya sesuai dengan daerah
masing masing. Upaya penanggulangan bencana di daerah perlu dimulai dengan
adanya kebijakan daerah yang bertujuan menanggulangi bencana sesuai dengan
peraturan yang ada. Strategi yang ditetapkan daerah dalam menanggulangi
bencana perlu disesuaikan dengan kondisi daerah. Operasi penanggulangan
bencana perlu dipastikan efektif, efisien dan berkelanjutan. Tujuan penulisan
ilmiah ini adalah untuk mengkaji Implementasi Peraturan daerah No 4 tahun 2011
tentang penanggulangan bencana di Kabupaten Pasuruan yang mana Perda
tersebut merupakan peraturan yang dibuat dalam melaksanakan undang undang
No. 24 tahun 2007 tentang peanggulangan bencana. Penelitian ini juga ingin
mengetahui tentang kendala dan hambatan yang dihadapi dalam implementasi
peraturan daerah tersebut. Metode yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan
metode penelitian deskriptif kualitafif. Sedangkan teknik pengumpulan datanya
menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, dan model analisis
interaktif sebagai metode analisa data dengan prosedur, reduksi data, penyajian
data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa 1) implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan no 4 tahun 2011
bersifat top-down dan community participation yang melibatkan banyak lembaga
non pemerintahan dalam tindakan penanggulangan bencana dan menjadi acuan
bagi terbentuknya BPBD Kabupaten Pasuruan sebagai lembaga yang
bertanggungjawab terhadap penanggulangan bencana serta menjadi acuan dalam
melaksanakan kegiatan kegiatan penanggulangan bencana di kabupaten Pasuruan.
Dengan perda tersebut BPBD sebagai peanggungjawab penanggulangan bencana
telah melakukan aktivitas dan program peanggulangan bencana baik dari sisi
mitigasi bencana (pra-bencana), tanggap darurat (saat bencana) maupun
rekonstruksi dan rehabilitasi paska bencana, 2) kendala-kendala yang dihadapi di
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
72 | P a g e
lapangan antara lain a) Pra Bencana (mitigasi bencana), b) saat terjadi bencana, c)
pasca-bencana yang masing-masing meliputi kendala internal dan eksternal
seperti masalah sumberdaya manusia, sarana prasarana, pendanaan, komunikasi
lintas sektoral, partisipasi masyarakat, dan perundang-undangan. Dari hasil
penelitian ini menyarankan kepada BPBD Kabupaten pasuruan melakukan
beberapa hal sebagai berikut: 1) Meningkatkan koordinasi dan konsolidasi yang
lebih intensif dengan dinas terkait seperti Dinas PU, Disnakersostrans, dinas
Pengairan, Dinas Pendidikan dan Dinas terkait lain agar program dan kegiatan
penanggulangan bencana di kabupaten pasuruan menjadi lebih teratur dan
sistematis, 2) Meningkatkan kegiatan yang terkait dengan mitigasi dan
pencegahan bencana secara intensif, 3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran
masyarakat khusunya masyarakat yang berada di sekitar daerah rawan bencana
tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pencegahan bencana di
kabupaten pasuruan.
Kata Kunci: Implemetasi, Peraturan Daerah, Penanggulangan Bencana.
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui bersama
Indonesia merupakan wilayah yang rawan
bencana. wilayah Indonesia terletak di
daerah iklim tropis dengan dua musim
yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri
adanya perubahan cuaca, suhu dan arah
angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim
seperti ini digabungkan dengan kondisi
topografi permukaan dan batuan yang
relatif beragam, baik secara fisik maupun
kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang
subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat
menimbulkan beberapa akibat buruk bagi
manusia seperti terjadinya bencana
hidrometeorologi seperti banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.
Seiring dengan berkembangnya
waktu dan meningkatnya aktivitas
manusia, kerusakan lingkungan hidup
cenderung semakin parah dan memicu
meningkatnya jumlah kejadian dan
intensitas bencana hidrometeorologi
(banjir, tanah longsor dan kekeringan)
yang terjadi secara silih berganti di banyak
daerah di Indonesia. Meskipun
pembangunan di Indonesia telah dirancang
dan didesain sedemikian rupa dengan
dampak lingkungan yang minimal, proses
pembangunan tetap menimbulkan dampak
kerusakan lingkungan dan ekosistem.
Pembangunan yang selama ini bertumpu
pada eksploitasi sumber daya alam
(terutama dalam skala besar) menyebabkan
hilangnya daya dukung sumber daya ini
terhadap kehidupan mayarakat. Dari tahun
ke tahun sumber daya hutan di Indonesia
semakin berkurang, sementara itu
pengusahaan sumber daya mineral juga
mengakibatkan kerusakan ekosistem yang
secara fisik sering menyebabkan
peningkatan risiko bencana.
Pada sisi lain laju pembangunan
mengakibatkan peningkatan akses
masyarakat terhadap ilmu dan teknologi.
Namun, karena kurang tepatnya kebijakan
penerapan teknologi, sering terjadi
kegagalan teknologi yang berakibat fatal
seperti kecelakaan transportasi, industri
dan terjadinya wabah penyakit akibat
mobilisasi manusia yang semakin tinggi.
Potensi bencana lain yang tidak kalah
seriusnya adalah faktor keragaman
demografi di Indonesia. Jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2004 mencapai 220
juta jiwa yang terdiri dari beragam etnis,
kelompok, agama dan adat-istiadat.
Keragaman tersebut merupakan kekayaan
bangsa Indonesia yang tidak dimiliki
bangsa lain. Namun karena pertumbuhan
penduduk yang tinggi tidak diimbangi
dengan kebijakan dan pembangunan
ekonomi, sosial dan infrastruktur yang
merata dan memadai, terjadi kesenjangan
pada beberapa aspek dan terkadang muncul
kecemburuan sosial. Kondisi ini potensial
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
73 | P a g e
menyebabkan terjadinya konflik dalam
masyarakat yang dapat berkembang
menjadi bencana nasional.
Satu hal yang perlu digaris bawahi,
bahwa bencana itu bukanlah takdir semata.
Ada sebab akibat yang jelas antara alam
dengan prilaku manusia yang berakibat
pada terjadinya bencana. Allah telah
berfirman di dalam Al-Qur’an surat An
Nisa; 79 sebagaimana dikutip oleh fahmi
dalam Mardiyono (2008; 871) bahwa “apa
saja nikmat yang kamu peroleh itu adalah
dari Allah semata, dan apa saja bencana
yang menimpamu, maka itu adalah dari
(kesalahan) dirimu sendiri”.
Dengan kata lain, bencana itu
timbul karena manusia lalai sehingga
menuntun mereka berada pada kondisi
lingkungan yang berbahaya pada suatu
tempat dan waktu tertentu yang dapat
mengancam jiwa dan hartanya. Tetapi
tidak semua kondisi lingkungan yang
berbahaya itu akan menyebabkan bencana.
Satu gempa bumi tertentu pada suatu
daerah tertentu yang tidak berpenghuni,
sebagai contoh, adalah satu fenomena
alam, bukan sesuatu yang berbahaya.
Demikian juga banjir tahunan di sepanjang
sungai Nil, satu elemen penting bagi
kesejahteraan dari orang-orang yang
tinggal di sekitar sungai (UNDP, 1992;
12).
Indonesia telah mengalami
kerugian jiwa dan materi yang besar akibat
berbagai bencana yang silih berganti.
Bencana banjir di Jakarta tahun 2002
menunjukan betapa besarnya kerugian
yang ditimbulkan. Untuk pemulihan
kondisi perkotaan setalah kejadian banjir,
diperkirakan menghabiskan dana lebih dari
15 trilyun rupiah. Hal ini diperparah karena
penangan bencana di Indonesia selama ini
hanya berorientasi pada tanggap darurat
saja. Oleh karnanya diperlukan sebuah
upaya penangan yang sistematis dan
sinergis dari berbagai pihak sehingga
penanganannya bias secara menyeluruh
dan tidak parsial (Hasniati, 2008; 831).
Untuk menghindari kerugian besar
akibat bencana perlu adanya kesadaran
seluruh komponen bangsa terutama
pemerintah agar suatu kejadian bahaya
tidak menyebabkan bencana. Seperti yang
diungkapkan Priambodo (2009;15):
Timbulnya kerugian baik fisik
maupun non fisik—terutama
korban jiwa—seringkali disebabkan
oleh ketidaktanggapan dalam
menghadapi bencana, baik secara
individu maupun kelompok. Untuk
meminimalkan hal tersebut,
diperlukan sebuah system yang
efektif, efisien, terukur, dan tepat
sasaran. Sistem tersebut adalah
sistem tanggap bencana yang
berfungsi sebagai panduan tindakan
dalam menghadapi bencana bagi
setiap individu, kelompok, maupun
bangsa secara keseluruhan.
Sistem tanggap bencana atau
manajemen bencana (disaster
management) adalah sebuah pendekatan
yang sistematis dan sinergis dari berbagai
pihak dalam mengantisipasi dan atau
menangani suatu bencana (Hasniati, 2008;
831). Sistem ini merupakan penangan
bencana secara menyeluruh mulai tahap
pra bencana, pada saat bencana, hingga
pasca bencana. Selama ini, penanganan
bencana pada tahap pra bencana terutama
terkait kebijakan mitigasi bencana terkesan
tidak tersentuh.
Adanya mitigasi bencana
merupakan langkah preventif untuk
meminimalisir dampak bencana yang
ditimbulkan. Mitigasi bencana merupakan
bagian dari tanggap bencana yang
dilakukan dalam rangka mengurangi
kerugian akibat kemungkinan terjadinya
bencana, baik itu berupa korban jiwa atau
harta benda yang berpengaruh pada
kehidupan dan kegiatan manusia.
Kebijakan mitigasi dalam manajemen
bencana ini adalah sebuah kebijakan yang
bersifat jangka panjang, yang dapat
bersifat structural maupun non-struktural
(Susanto, 2008; 909).
Pola penanggulangan bencana
mendapatkan dimensi baru dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana yang diikuti beberapa aturan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
74 | P a g e
pelaksana terkait, yaitu Peraturan Presiden
No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Peraturan
Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan
Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008
tentang Peran Serta Lembaga Internasional
dan Lembaga Asing non Pemerintah
Dalam Penanggulangan Bencana.
Berbagai kebijakan tersebut telah
ditindaklanjuti dengan pendirian Badan
Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) dan masih akan dilengkapi dengan
berbagai peraturan pelaksanaan. Sementara
proses pengembangan kebijakan sedang
berlangsung, proses lain yang tidak kalah
penting adalah memastikan bahwa provinsi
dan kabupaten/kota mulai mengembangkan
kebijakan, strategi, dan operasi
penanggulangan bencana sesuai dengan
arah pengembangan kebijakan di tingkat
nasional.
Upaya penanggulangan bencana di
daerah perlu dimulai dengan adanya
kebijakan daerah yang bertujuan
menanggulangi bencana sesuai dengan
peraturan yang ada. Strategi yang
ditetapkan daerah dalam menanggulangi
bencana perlu disesuaikan dengan kondisi
daerah. Operasi penanggulangan bencana
perlu dipastikan efektif, efisien dan
berkelanjutan.
Pemerintah Kabupaten Pasuruan
pada tahun 2011 telah mengeluarkan
peraturan daerah No 4 yang berkaitan
dengan penanggulangan bencana dengan
mengacu pada arah kebijakan Nasional
tentang penanggulangan bencana.
Sebenarnya dalam hal ini, upaya ini
merupakan sebuah langkah yang maju
dalam usaha mitigasi bencana yeng
mendapatkan payung hukum secara legal
dalam menjalankan upaya penanggulangan
bencana secara tekhnis di lapangan
khususnya di daerah Kab. Pasuruan.
Namun demikian, sejauh mana efektivitas
dan efisiensi implementasi kebijakan
tersebut masih jauh dari harapan.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar
belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian tesis ini sebagai berikut:
Bagaimana mekanisme
implementasi penanggulangan
bencana pada saat pra, saat dan
pasca mitigasi bencana di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014?
Bagaimana implementasi kebijakan
perda No 4 tahun 2011 tentang
penanggulangan bencana di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014?
Apa kekhususan atau keunikan
penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat di Kab. Pasuruan
pada tahun 2014?
Kendala dan permasalahan apa
yang dihadapi di lapangan dalam
implementasi kebijakan perda No 4
tahun 2011 tentang
penanggulangan bencana di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Untuk mengetahui dan
menggambarkan mekanisme
implementasi penanggulangan
bencana pada saat pra, saat dan
pasca mitigasi bencana di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014
Untuk mengetahui,
mendiskripsikan, dan menganalisis
implementasi kebijakan perda No 4
tahun 2011 tentang
penanggulangan bencana di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014
Untuk mengetahui dan
menggambarkan kekhususan atau
keunikan penanggulangan bencana
pada saat tanggap darurat di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014
Untuk mengetahui,
mendiskripsikan, dan mengalisis
kendala dan permasalahan yang
dihadapi di lapangan dalam
implementasi kebijakan perda No 4
tahun 2011 tentang
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
75 | P a g e
penanggulangan bencana di Kab.
Pasuruan pada tahun 2014.
BATASAN MASALAH Dalam rangka memberikan arah
pada penelitian ini, penulis membatasi
masalah dalam penelitian ini pada
implementasi kebijakan perda No 4 tahun
2011 tentang penanggulangan bencana di
Kab. Pasuruan pada tahun 2014 yang
dilakukan oleh badan penanggulangan
bencana daerah (BPBD) Kab. Pasuruan.
Hal ini dilakukan karena Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kab.
Pasuruan sebagai pelaksana teknis dalam
implementasi kebijakan penanggulangan
bencana yang dilakukan oleh pemerintah
daerah Kab. Pasuruan.
MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat Praktis
Sebagai input bagi
pemerintah dalam
mengevaluasi kebijakan
penanggulangan bencana
yang sudah ada untuk
penyempurnaan di masa
yang akan datang
Memberikan sumbangsih
pemikiran terhadap instansi
terkait di dalam menyusun
agenda kerja
penanggulangan bencana
b. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat
memberikan konsep dan
pengayaan studi
administrasi negara
khususnya dalam hal
penanggulangan bencana
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat
menambah referensi ilmiah
yang bermanfaat bagi
pengembangan ilmu baik
dikalangan akademisi
maupun masyarakat secara
umum
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi
dasar bagi peneliti
selanjutnya yang lebih
mendalam berkenaan
dengan penanggulangan
bencana
KERANGKA TEORISTIS
Kebijakan Publik
Konsep dan Prinsip Kebijakan Publik
Kebijakan memiliki banyak
pengertian, Suharto (2005:7)
mengemukakan bahwa kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-
prinsip untuk mengerahkan cara-cara
bertindak yang dibuat secara terencana,
dan konsistensi dalam mencapai tujuan
tertentu. Sedangkan Wahab (2008:32)
mengemukakan beberapa bentuk kebijakan
publik yang secara sederhana dapat
dikelompokkan menjadi tiga:
a) Kebijakan publik yang bersifat
makro atau umum/mendasar.
Sesuai dengan UU No.10/2004
tentang Pembentukan
Perundang-undangan pasal 7,
hirarkinya yaitu; (1) UUD
Negara RI Thn 1945; (2)
UUD/Peraturan Pemerintah
Pengganti UU; (3) Peraturan
Pemerintah; (4) Peraturan
Presiden; dan (5) Peraturan
Daerah.
b) Kebijakan publik yang bersifat
meso (menengah) atau penjelas
pelaksana, dimana kebijakan
ini dapat berbentuk Peraturan
Menteri, Surat Edaran Menteri,
Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati. Kebijakannya dapat
pula berbentuk surat keputusan
bersama antar Menteri,
Gubernur dan Bupati/Walikota.
c) Kebijakan publik yang bersifat
mikro, adalah kebijakan yang
mengatur pelaksanaan atau
implementai dari kebijakan
diatasnya. Bentuk
kebijakannya adalah peraturan
yang dikeluarkan oleh aparat
publik di bawah Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
76 | P a g e
Abidin (2002:193) menyatakan
bahwa secara umum, suatu kebijakan
dianggap berkualitas dan mampu
dilaksanakan bila mengandung beberapa
elemen, yaitu:
a) Tujuan yang ingin dicapai atau
alasan yang dipakai untuk
mengadakan kebijakan itu, dimana
tujuan suatu kebijakan dianggap
baik apabila tujuannya:
Rasional, yaitu tujuan dapat
dipahami atau diterima oleh
akal yang sehat. Hal ini
terutama dilihat dari faktor-
faktor pendukung yang
tersedia, dimana suatu
kebijakan yang tidak
mempertimbangkan faktor
pendukung tidak dapat
dianggap kebijakan yang
rasional.
Diinginkan (desirable), yaitu
tujuan dari kebijakan
menyangkut kepentingan orang
banyak, sehingga mendapat
dukungan dari banyak pihak.
b) Asumsi yang dipakai dalam proses
perumusan kebijakan itu realistis,
asumsi tidak mengada-ada. Asumsi
juga menentukan tingkat validitas
suatu kebijakan.
c) Informasi yang digunakan cukup
lengkap dan benar, dimana suatu
kebijakan menjadi tidak tepat jika
didasarkan pada informasi yang
tidak benar atau sudah kadarluarsa.
Karakteristik utama dari suatu
definisi kebijakan publik, yaitu :
Pada umumnya kebijakan publik
perhatiannya ditujukan pada
tindakan yang mempunyai
maksud atas tujuan tertentu dari
pada perilaku yang berubah atau
acak.
Kebijakan publik pada dasarnya
mengandung bagian atau pola
kegiatan yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah daripada
keputusan yang terpisah-pisah.
Kebijakan publik merupakan apa
yang sesungguhnya dikerjakan
oleh pemerintah dalam mengatur
perdagangan, mengotrol inflasi,
atau menawarkan perumahan
rakyat, bukan apa maksud yang
dikerjakan atau yang akan
dikerjakan.
Kebijakan publik dapat berbentuk
positif maupun negatif. Secara
positif, kebijakan melibatkan
beberapa tindakan pemerintah
yang jelas dalam menangani suatu
permasalahan; secara negatif,
kebijakan publik dapat
melibatkan suatu keputusan
pejabat pemerintah untuk tidak
melakukan suatu tindakan atau
tidak mengerjakan apapun
padahal dalam konteks tersebut
keterlibatan pemerintah amat
diperlukan.
Kebijakan publik, paling tidak
secara positif, didasarkan pada
hukum dan merupakan tindakan
yang bersifat memerintah.
Dwijowijoto (2003; 158)
mengungkapkan bahwa implementasi
kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar
sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya. Studi implementasi merupakan
suatu kajian mengenai studi kebijakan
yang mengarah pada proses pelaksanaan
dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya
implementasi kebijakan merupakan suatu
proses yang begitu kompleks bahkan tidak
jarang bermuatan politis dengan adanya
intervensi berbagai kepentingan. Untuk
melukiskan kerumitan dalam proses
implementasi tersebut dapat dilihat pada
pernyataan yang kemukakan oleh seorang
ahli studi kebijakan Ugene Bardach, yaitu :
―Adalah cukup untuk membuat
sebuah program dan kebijakan
umum yang kelihatannya bagus
diatas kertas. Lebih sulit lagi
merumuskannya dalam kata-kata
dan slogan-slogan yang
kedengarannya mengenakan bagi
telinga para pemimpin dan para
pemilih yang
mendengarkannya. Dan lebih
sulit lagi untuk
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
77 | P a g e
melaksanakanannya dalam bentuk
cara yang memuaskan semua
orang termasuk meraka anggap
klien.‖ (Agustino, 2008; 138)
Dari penjelasan tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa implementasi
merupakan suatu proses yang dinamis,
dimana pelaksana kebijakan melakukan
suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada
akhirnya akan mendapatkan suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran
kebijakan itu sendiri.
Implementasi Kebijakan
Konsep Implementasi Implementasi sebagaimana
digambarkan oleh Edward (1980) adalah
bagian dari proses pembuatan kebijakan,
dimana setelah salah satu kebijakan
ditetapkan dan diperoleh legitimasi secara
hukum maka sebagai konsekuensinya
kebijakan akan diaplikasikan dengan
maksud untuk mempengaruhi masyarakat.
Pandangan tersebut dikemukakan
oleh Presman dan Wildawsky (1970) yang
mengemukakan bahwa :
implementasi dapat dipandang
sebagai proses interaksi antara
penentuan tujuan yang disesuaikan
untuk mencapai tujuan atau
kemampuan membuat kaitan-kaitan
tindakan dalam suatu mata rantai
sebab akibat guna hasil yang
diinginkan.
Berdasarkan atas kedua pendapat
tersebut dapat diindikasikan bahwa
implementasi dapat berjalan dengan baik
jika didukung oleh sarana dan prasarana
baik dalam konteks organisasi maupun
dalam konteks manajemen. Wildawsky
dalam Abdullah (1987; 132) implementasi
dimaksudkan sebagai proses interaksi
antara rencana dengan tujuan dan tindakan
pencapaiannya. Oleh karena itu dalam
implementasi dibutuhkan kemampuan
untuk menetapkan susunan kegiatan yang
saling berhubungan antara satu unit
kegiatan dengan unit kegiatan lainnya
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan
perlu diperhatikan dua faktor utama yaitu
pendukung pada kondisi tertentu yang
terdiri :
1. Keutuhan pimpinan politik.
2. Kemampuan organisasi kebijakan dan
dukungan kelompok kepentingan
Sedangkan yang dapat
menghambat terdiri dari :
1. Banyaknya faktor yang terlibat.
2. Komitmen yang melekat.
3. Terdapat komitmen atau loyalitas
ganda.
4. Jenjang pengambilan keputusan yang
terlalu banyak.
5. Adanya perubahan waktu
kepemimpinan.
Dengan demikian maka implementasi
dipandang sebagai tahapan yang kritis dan
penting artinya dalam suatu kebijakan,
dikatakan demikian karena secara
kumulatif implementasi merupakan tahap
yang menentukan dari suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan mulai dari proses
perencanaan dengan melibatkan berbagai
komponen.
Model pendekatan top-down yang
dirumuskan oleh Donald Van Metter dan
Carl Van Horn dalam Islam Nawawi
(2009: 139) disebut dengan A Model of
policy implementation. Proses
implementasi ini merupakan abstraksi atau
performansi suatu implementasi kebijakan
yang pada dasarnya secara sengaja
dilakukan untuk meraih kinerja
implementasi kebijakan publik yang tinggi
yang berlangsung dalam hubungan
berbagai variabel. Ada enam variable yang
menurut Van Metter dan Van Horn, yang
mempengaruhi implementasi adalah :
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
Kinerja implementasi kebijakan
dapat diukur tingkat keberhasilannya jika
ukuran dan tujuan dari kebijakan memang
realistis dengan sosio kultur yang mengada
dilevel pelaksana kebijakan. Ketika ukuran
kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu
ideal untuk dilaksanakan dilevel warga,
maka agak sulit memang merealisasikan
kebijakan publik hingga titik yang dapat
dikatakan berhasil.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
78 | P a g e
2. Sumber daya
Keberhasilan proses implementasi
kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan dari sumber
daya yang tersedia. Manusia merupakan
sumber daya yang terpenting dalam
menentukan suatu keberhasilan proses
implementasi. Tahap-tahap tertentu dari
keseluruhan proses implementasi menuntut
adanya sumber daya manusia yang
berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang
diisyaratkan oleh kebijakan yang telah
ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika
kompetensi dan kapabilitas dari sumber-
sumber daya itu nihil, maka kinerja
kebijakan publik sangat sulit untuk
diharapkan
3. Karakteristik agen pelaksana
Pusat perhatian pada agen
pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat
pengimplementasian kebijakan publik. Hal
ini sangat penting karena kinerja
Implementasi kebijakan akan sangat
banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang
tepat serta cocok dengan para agen
pelaksanannya.
4. Sikap/ kecenderungan ( disposition )
para pelaksana
Sikap penerima atau penolakan
dari (agen) pelaksana akan sangat banyak
mempengaruhi keberhasilan kebijakan
publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh
karena kebijakan yang dilaksanakan
bukanlah hasil formulasi warga setempat
yang mengenal betul persoalan dan
permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi
kebijakan yang akan implementor
laksanakan adalah kebijakan ―dari atas‖
(top down) yang sangat mungkin para
pengambil keputusannya tidak pernah
mengetahui (bahkan tidak mampu
menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau
permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5. Komunikasi antarorganisasi dan
aktivitas pelaksana
Koordinasi merupakan
mekanisme yang ampuh dalam
implementasi kebijakan publik. Semakin
baik koordinasi komunikasi diantara pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu proses
implementasi, maka asumsinya kesalahan-
kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.
Dan, begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Lingkungan sosial, ekonomi dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi
biang keladi dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Karena itu upaya
mengimplementasikan kebijakan harus
pula memperhatikan kekondusifan kondisi
lingkungan eskternal.
Selanjutnya menurut teori
Mazmanian & Sabatier (Dalam Nawawi,
2009; 145), mengungkapakan bahwa:
keberhasilan implementasi kebijakan
publik dipengaruhi oleh tiga kelompok
variabel, yaitu: (1) karakteristik masalah
(tractabilty of the problems), (2)
Karakteristik kebijakan / undang-undang
(ability of statue to structure
implementation), dan (3) Variabel
lingkungan (nonstatory variabel affecting
implementation).
a. Karakteristik masalah
1. Kesulitan permasalahan yang
dihadapi. Dalam implementasi
kebijakan terdapat beberapa
masalah sosial secara teknis
mudah dipecahkan. Di sisi lain
terdapat berbagai permasalahan
sosial yang sering terjadi di
tengah masyarakat yang sulit
diatasi, yaitu masalah
kemiskinan, pengangguran, dan
sebagainya.
2. Kemajemukan dari kelompok
sasaran. Variabel ini berarti
bahwa suatu program akan
relatif mudah
diimplementasikan apabila
kelompok sasarannya adalah
homogen atau kesetaraan.
Sebaliknya, apabila kelompok
sasaran kebijakan heterogen
atau bervariasi, maka
implementasi program
kebijakan akan relatif lebih
sulit, karena tingkat
pemahaman setiap anggota
kelompok sasaran terhadap
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
79 | P a g e
program relatif berbeda antara
satu dengan yang lain.
3. Proporsi kelompok sasaran
terhadap total populasi.
Program kebijakan akan
menghadapi berbagai kesulitan
dalam mengimplementasikan
kebijakan apabila sasaranya
mencakup semua populasi secar
global. Sebaliknya sebuah
program akan mudah
diimplementasikan apabila
cakupannya tidak terlalu luas
dan kompleks.
4. Lingkup dan cakupan
perubahan perilaku kelompok
sasaran yang dikehendaki dan
diharapkan. Dalam
mengimplementasikan sebuah
program yang bertujuan
memberikan pengetahuan atau
bersifat kognitif akan relatif
mudah daripada program yang
bertujuan untuk mengubah
sikap dan perilaku masyarakat.
b. Karakteristik kebijakan
1. Kejelasan isi kebijakan. Sebuah
kebijakan yang jelas dan
terperinci isinya akan mudah
diimplementasikan karena
implementor mudah memahami
dan menerjemahkan dalam
tindakan nyata. Sebaliknya
ketidakjelasan isi kebijakan
merupakan potensi lahirnya
distorsi dalam implementasi
kebijakan.
2. Dukungan teoritis. Suatu
kebijakan yang berorientasi
pada teoritis memiliki sifat
lebih kemapanan karena sudah
teruji, walaupun untuk beberapa
lingkungan sosial tertentu
diperlukan modifikasi teori
yang bersangkutan sesuai
dengan tuntutan / harapan
lingkungannya.
3. Alokasi sumber daya finansial,
sumber daya manusia, material,
dan metoda adalah faktor
krusial untuk setiap program
sosial. Setiap program juga
memerlukan dukungan sumber
daya manusia untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang
bersifat administrasi dan teknis,
serta memonitor dan
mengevaluasi program, yang
semua memerlukan
pembiayaan, dan metoda untuk
mencapai program tersebut.
4. Keterikatan dan dukungan
berbagai instansi. Program
sering mengalami kegagalan
disebabkan kurangnya
koordinasi antar instansi yang
terlibat dalam implementasi
program kebijakan.
5. Kejelasan dan konsistensi
aturan yang ada pada badan
pelaksana sebuah kebijakan
yang telah ditetapkan.
6. Adanya komitmen aparat.
Dalam implementasi kebijakan
yang tinggi dan rendahnya
komitmen merupakan salah satu
variabel yang menetukan
tingkat tercapainya program
kebijakan.
7. Akses kelompok-kelompok
kepentingan suatu program
kebijakan yang memberikan
peluang kelompok kepentingan
yang ada pada masyarakat
untuk terlibat akan relatif
mendapat dukungan dari
program yang tidak melibatkan
masyarakat. Masyarakat akan
merasa terasing dan teralienasi
apabila hanya menjadi
penonton terhadap program
kebijakan yang dilaksanakan di
daerahnya.
c. Lingkungan kebijakan
1. Sosial ekonomi dan kemajuan
teknologi masyarakat.
Kemajuan masyarakat
membuka dan memudahkan
penerimaan program-program
pembaruan di banding dengan
masyarakat masih terbelakang.
Di sisi lain kemajuan teknologi
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
80 | P a g e
akan membantu dalam proses
keberhasilan sebuah
implementasi program, karena
program-program tersebut
dapat disosialisasikan dan
diimplementasikan dengan
bantuan media yang ditunjang
dengan teknologi canggih.
2. Dukungan publik. Implementasi
program kebijakan yang
memberikan motivasi dan
intensif biasanya mudah
mendapatkan dukungan publik.
Sebaliknya kebijakan yang
bernuansa menghilangkan
motivasi dan intensif, akan
kurang mendapat dukungan
publik, seperti kenaikan pajak.
3. Sikap dari kelompok-kelompok
pemilih (constituency groups).
Dalam kehidupan masyarakat
kelompok pemilih dapat
mempengaruhi implementasi
kebijakan melalui berbagai
macam yaitu: (1) Dapat
melakukan intervensi terhadap
berbagai macam keputusan
yang dibuat oleh badan-badan
pelaksana melalui berbagai
komentar dengan maksud untuk
mengubah keputusan. (2)
kelompok pemilih dalam segala
upaya mempengaruhi badan-
badan pelaksana secara tidak
langsung melalui kritik yang
dipublikasikan terhadap kinerja
yang badan-badan pelaksana,
dan membuat pernyataan dan
ungkapan kritis yang
disampaikan kepada legislatif.
4. Komitemen dan keterampilan
aparat dan implementor.
Komitmen aparat pelaksana
dalam mewujudkan proram
kebijakan merupakan variabel
yang paling krusial. Aparat
badan pelaksana harus memiliki
kompetensi dalam menentukan
skala prioritas tujuan dan
selanjutnya merealisasikan
skala prioritas tujuan program
kebijakan yang telah ditentukan
tersebut.
Dalam teori yang sama mengenai
proses pembuatan serta implementasi
kebijakan publik disebutkan bahwa ia
merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel
yang harus dikaji.
HASIL PENELITIAN
Kebijakan Penanggulangan Bencana
Kabupaten Pasuruan merupakan
salah satu Kabupaten yang terletak di
Wilayah Propinsi Jawa Timur, dengan
memiliki permasalahan kebencanaan yang
komplek. Kabupaten Pasuruan terletak
antara 112,300 s/d 113,300 bujur timur dan
antara 7,300 s/d 8,300 lintang selatan
dengan luas 147.401,50 ha (3,3 % luas
Propinsi Jawa Timur) terdiri dari 24
Kecamatan, 24 Kelurahan, 341 Desa dan
1694 Pedukuhan. Kabupaten Pasuruan
terbagi menjadi 5 bagian yaitu kerucut
gunung api, pegunungan, perbukitan,
dataran pasir dan dataran rendah Secara
alamiah, kondisi ini memposisikan wilayah
Kabupaten Pasuruan memiliki kerawanan
yang tinggi terhadap berbagai macam
bencana mulai dari bencana banjir, puting
beliung, longsor, kekeringan dan gunung
meletus.
Implementasi Kebijakan
Dalam pembahasan ini, penulis ingin
menitikberatkan pada proses pelaksanaan
program atau implementasi nyata dari
peraturan daerah no 4 tahun 2011 tentang
penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan
pada tahun 2014 dengan melihat variabel-
variabel penentu dalam proses tersebut,
berdasarkan teori Van Meter Van Horn
bahwa ada 6 variabel yang mempengaruhi
implementasi, yaitu (1) Ukuran dan Tujuan
kebijakan, (2) sumber daya, (3)
komunikasi antar organisasi dan aktivitas
pelaksana, (4) karakteristik agen
pelaksana, (5) Kecenderungan Pelaksana,
(6) Lingkungan kondisi sosial, ekonomi,
dan politik.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
81 | P a g e
Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Dalam menentukan sasaran
kebijakan dibutuhkan suatu standar atau
indikator yang kuat agar selama proses
implementasi berjalan, tidak terjadi konflik
antar aparat pelaksana. Dalam hal ini
Badan pelaksana di lapangan khususnya
BPBD Kab. Pasuruan seharusnya
mempunyai standar operasi yang jelas
dalam menjalankan setiap kegiatan
operasionalnya. Sehingga kelompok-
kelompok lainnya, seperti dinas-dinas
terkait serta relawan-relawan yang
kemungkinan ikut terlibat dalam kerja
sosial tersebut mempunyai acuan dalam
membantu menjalankan program baik
sebelum, pada saat atau bahkan pasca
terjadinya bencana.
Sumber Daya
Selanjutnya yang tidak kalah penting
yang menjadi tolak ukur keberhasilan
implementasi kebijakan adalah sumber
daya. Sumber daya disini bisa terdiri dari
sumber daya manusia, alam, dan materil
yang merupakan suatu perangkat penting
dalam menjalankan suatu program atau
kebijakan. Keberhasilan suatu program
dilihat sejauh mana kualitas serta
kemampuan sumber daya yang dimliki. Ini
semua diperoleh melalui rangkaian
perencanaan yang matang dari para
pelaksana kebijakan serta kerjasama dalam
membangun sumber daya yang
mendukung dalam proses pelaksanaan.
Jika dilihat dari data yang penulis
peroleh dari BPBD dan dinas terkait ada
banyak pekerjaan rumah yang harus segera
dibenahi oleh pemerintah dalam poin ini.
Dimana pada saat ini BPBD Kab. Pasuruan
dinilai mempunyai tenaga atau personil
yang kurang memadai yaitu hanya
berjumlah 12 orang. Hal ini belum
menyinggung masalah kapasitas serta
kapabilitas personal yang ada, dimana hal
ini merupakan sesuatu yang sangat penting
bagi kelancaran implementasi kebijakan
baik disaat melakukan koordinasi dengan
instansi lain maupun dalam melakukan
fungsi-fungsi kerja komunikasi dengan
masyarakat luas, bagaimana mereka harus
lihai berdiplomasi dengan masyarakat,
menyampaikan sosialisasi pengenalan
lembaga yang selama ini kurang dikenal
secara luas.
Komunikasi antar Organisasi dan
Aktifitas Pelaksana
Keberhasilan suatu program dinilai
dari sejauh mana kerjasama dalam hal ini
komunikasi serta penguatan aktivitas
daripada aparat pelaksana yang terlibat
dalam proses pelaksanaan suatu program.
Dengan komunikasi yang harmonis, maka
seluruh mekanisme pelaksanaan akan
terkoordinir dengan baik. Begitupun
dengan adanya penguatan aktifitas, apabila
semua elemen yang terlibat memiliki
kesatuan yang kuat dan juga memiliki
profesionalitas serta kooperasi yang tinggi,
maka dengan ini akan memudahkan
jalannya suatu program sehingga tercapai
suatu tujuan yang efektif.
Apa yang terjadi pada BPBD Kab.
Pasuruan perlu adanya usaha yang lebih
keras dalam membangun komunikasi dan
koordinasi yang baik, efektif dan efisien
dengan berbagai elemen, seperti yang
diterangkan oleh salah satu anggota BPBD
Kab. Pasuruan, Hari Santosa (16 Juli
2014):
―Kami sudah berusaha bekerja secara
maksimal, namun memang hasilnya
belum seperti yang diharapkan.
Kendala yang sangat terasa adalah
lemahnya sistem koordinasi antar
dinas, karena masalah bencana
melibatkan beberapa dinas terkait‖
Lemahnya system komunikasi lintas
sektoral seperti yang diakui oleh BPBD
Kab. Pasuruan merupakan persoalan yang
serius mengingat tugas dan wewenang
BPBD selalu intens berinteraksi dengan
berbagai dinas terkait, seperti dinas sosial,
Pekerjaan Umum, serta SKPD-SKPD
terkait yang menyokong kerja BPBD.
Dampak yang paling nampak pada
persoalan ini adalah adanya program
sektoral yang seolah berjalan sendiri-
sendiri antar dinas, sehingga tidak ada
program jangka panjang dalam masalah
penanggulangan bencana. Jika demikian,
maka sewajarnya apabila pengurangan
dampak bencana atau penanganan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
82 | P a g e
penanggulangan bencana tidak berjalan
secara komprehensif dari hulu ke hilir
seperti yang diharapkan.
Dalam hal pelaksa kebijakan yang
disahkan oleh Pemerintah Kabupaten
Pasuruan yaitu Peraturan Daerah No 4
tahun 2011 tentang penanggulangan
bencana di Kabupaten Pasuruan. Perda
tersebut dimaksudkan untuk memperkuat
koordinasi dan pelaksanaan
penanggulangan bencana lintas sektoral
dan SKPD terkait, yang mana secara teknis
di lapangan semua sektor berkoordinasi
secara simultan dan saling dukung
mendukung dalam program pelaksanaanya.
Seperti penyiapan prasarana sarana
pendukung pencegahan dan kesiapsiagaan
penanggulangan bencana, EWS bencana,
peralatan evakuasi dan pertolongan korban
bencana menjadi serta yang
bertanggungjawab dalam mengkoordinasi
penanggulangan bencana yang terjadi di
Kabupaten Pasuruan semuanya merupakan
tanggung jawab BPBD Kab. Pasuruan.
Sedangkan badan yang mengurus
Persiapan logistik untuk mencukupi
kebutuhan penduduk yang mengungsi
dalam situasi darurat bencana menjadi
tugas dan tanggung jawab Dinas Tenaga
Kerja Sosial dan Transmigrasi.
Berikutnya mengenai persiapan
pelayanan kesehatan dengan penyediaan
obat-obatan dan tenaga medis/ paramedis
serta prasarana sarana pendukung
kesehatan lainnya bagi warga yang
terdampak bencana menjadi tanggung
jawab Dinas Kesehatan dan untuk program
pembangunan daerah Kabupaten Pasuruan
yang berhubungan dengan penanggulangan
atau pencegahan bencana non struktural,
masuk pada ―urusan pemerintahan wajib‖
SKPD (Bab V/46-34), yaitu pada urusan
Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri
dengan Program Pencegahan Dini dan
Penanggulangan Korban Bencana Alam
(khususnya kebakaran pemukiman) yang
dilaksanakan oleh Badan Kesatuan Bangsa
dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang.
dan Linmas).
Kecenderungan Para Pelaksana
Disposisi implementor atau
kecenderungan para pelaksana yang
meliputi salah satunya mengenai respon
para implementor terhadap kebijakan,
respon implementor berkaitan dengan
kemauan atau inisiatif daripada para
implementor untuk turut andil adalam
menjalankan suatu program berdasarkan
tupoksi yang ada.
Sebenarnya, berkaitan dengan respon
instansi terhadap program yang
dicanangkan oleh BPBD dinilai cukup
bagus, hal ini terbukti dengan
terlaksananya beberapa kali kerjasama tim
di lapangan untuk penanggulangan
bencana yang terjadi di Kab. Pasuruan.
Semua instansi terlibat aktif pada saat
terjadi bencana dari membantu
menyiapkan sarana prasarana yang
dibutuhkan masing-masing instansi
misalkan tenaga medis, dapur umum,
tempat evakuasi korban dan lain-lain.
Namun, demikian yang masih dirasa
kurang saat ini adalah penguatan aktifitas
pra bencana atau siaga bencana.
Seharusnya, kesiapsiagaan dilakukan tidak
hanya pada saat terjadi bencana dan
menelan korban serta semacamnya,
melainkan sebelum terjadinya bencana.
Sehingga, apa yang dimaksud pengurangan
dampak bencana hingga 0% bisa dicapai
dengan nyata, tidak hanya sebagai isapan
jempol yang hanya ditulis dan dijadikan
target.
Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan
Politik
Berkaitan dengan kondisi sosial,
ekonomi dan politik yang ada di Kab.
Pasuruan, keterdukungan implementasi
perda No.4 tahun 2011 pemerintah Kab.
Pasuruan, cukup tinggi yang mana jika
dilihat dari kondisi pendidikan masyarakat
Pasuruan cukup tinggi jika dibandingkan
antara masyarakt terdidik dan tidak. Hal ini
sebenarnya menjadi poin penguat untuk
kesuksesan implementasi program turunan
dari perda diatas.
Rata-rata pendidikan masyarakat
Pasuruan lulus SMA, sehingga tingkat
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
83 | P a g e
literasi bisa dikatakan tinggi dan dirasa
cukup untuk mencerna dan memahami
tujuan dalam implementasi segala program
yang dijalankan BPBD dan instansi
penduklungnya.
Begitu juga dengan tingkat ekonomi
masyarakat yang jika diprosentase
keluarga dibawah sejahtera lebih sedikit
daripada keluarga sejahtera. Dari sini,
potensi kesadaran akan dampak buruk
bencana terhadap segala aset yang dimiliki
oleh masyarakat menjadi penting untuk
menumbuhkan kesiapsiagaan masyarakat
dalam mengatasi persoalan bencana yang
terjadi.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari urain dan analisis pada bab V
dapat disimpulkan bahwa pada saat
sebelum dibentuknya BPBD,
program/kegiatan pemerintah daerah yang
berhubungan dengan penanganan atau
penanggulangan bencana khususnya pada
saat tidak terjadi bencana (mitigasi
struktural dan nonstruktural), sudah ada
dan melekat pada masing-masing
dinas/instansi terkait sesuai tugas dan
fungsi masing-masing dinas serta sebagai
isu strategis pembangunan daerah dan visi,
misi dan program kepala daerah terpilih
periode tahun 2008-2013.
Walaupun pada waktu itu masalah
yang berhubungan dengan penanggulangan
bencana masih belum berpola pada
paradigma baru yang meletakkan
manajemen penanggulangan bencana pada
semua tahapan dengan penanganan yang
dilakukan secara utuh, terkoordinasi,
menyeluruh dan terpadu, mulai pada tahap
prabencana, tahap tanggap darurat, sampai
dengan tahap pascabencana (rehabilitasi
dan rekonstruksi), tetapi upaya untuk
penanganan kebencanaan sudah ada,
meskipun belum terpadu, belum
komprehensif dan belum menyeluruh.
Implemantasi peraturan daerah No 4
tahun 2011 dilakukan dengan membentuk
BPBD Kabupaten Pasuruan sebagai badan
yang bertanggungjawab terhadap
penanggulangan bencana dikabupaten
Pasuruan. Tugas BPBD selanjutkanya
adalah melaksanakan program dan
kegiatan yang terkait dengan
penanggulangan bencana mulai dari
mitigasi bencana, tanggap bencana saat
terjadi bencana serta rekontruksi dan
rehabilitasi paska bencana.
Dalam kaitan dengan dinas dinas
terkait dengan penanganan bencana, BPBD
Kabupaten Pasuruan melakukan koordinasi
dan fasilitasi berbagai kegiatan yang terkait
dengan penanggulangan bencana di
Kabupaten Pasuruan.
Dalam konteks implementasi
kebijakan penanggulangan bencana yang
dilakukan oleh Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kab. Pasuruan beberapa
model implementasi dikolaborasikan untuk
memenuhi target dan tujuan yang ingin
dicapai. Dari sekian model yang
berkembang, setidaknya ada dua model
yang sampai saat ini digunakan di dalam
implementasi penanggulangan bencana
baik pra, saat dan pasca-bencana yaitu,
model Top-Down dan Model Bottom-Up.
Sedangkan dalam hal yang menjadi
pembeda atau unik dari pola
penanggulangan bencana di Kab. Pasuruan
adalah diantaranya aplikasi pola interaksi
antara pelaksana Perda No 4 tahun 2011
yaitu BPBD Kab. Pasuruan dengan
lembaga-lembaga non-pemerintah yang
sudah atau sedang berjalan saat ini, dan
pelibatan dan pemberdayaan masyarakat di
dalam penanggulangan bencana serta
soliditas dan kekompakannya yang luar
biasa dan adanya desa tangguh bencana
yang sudang terbentuk beberapa tahun
yang lalu.
Adapun secara geografis, daerah
Kab. Pasuruan sebenarnya cukup strategis
dan potensial dari segi bisnis karena daerah
ini masih cukup dekat dengan daerah
industri dan pusat pemerintahan propinsi
yaitu Surabaya. Dari sini seharunya proses
administrasi terkait dengan perijinan,
konsultasi dan hal lainnya yang berkaitan
dengan kooordinasi dan konsolidasi antara
instansi pemerintah yang terlibat di dalam
penanganan bencana menjadi lebih mudah
dan soliditas serta kesadaran kolekti
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
84 | P a g e
masyarakat Kab. Pasuruan menjadi faktor
pendukung yang dapat menjadi pendorong
kesuksesan program-program yang akan
dijalankan oleh BPBD Kab. Pasuruan.
Dari hasil penelitian diperoleh
gambaran bahwa masih banyak persoalan
atau kendala terkait dengan implementasi
penanggulangan bencana di kapupaten
pasuruan pada tahun 2014 baik itu yang
erat kaitannya dengan implementasi pra
bencana, pada saat terjadi bencana,
maupun setelah terjadinya bencana.
Sederet permasalah baik internal maupun
eksternal memiliki pengaruh yang besar
dalam pelaksanaan program dan kegiatan
BPBD Kabupaten Pasuruan dalam
menangani bencana.
Saran
Sebagai Penanggungjawab
Penanggulangan bencana di Kabupaten
Pasuruan, BPBD Kabupaten pasuruan
perlu melakukan koordinasi yang lebih
inntensif dengan dinas terkait seperti Dinas
PU, DISNAKERSOSTRANS, dinas
pengairan, Dinas Pendidikan dan Dinas
terkait lain agar program dan kegiatan
penanggulangan bencana di kabupaten
pasuruan menjadi lebih teratur dan
sistematis. Selama ini, kegiata
penanggulangan bencana di Kabupaten
pasuruan sering tidak terintegrasi dan
tersinergi dengan baik antar dinas terkait
pelaksanaan program atau kegiatan yang
berkaitan dengan penanggulangan
bencana.
Selain itu, peningkatan kegiatan yang
terkait dengan mitigasi dan pencegahan
bencana perlu dilakukan lebih intensif.
Banyaknya sungai di kabupaten pasuruan
misalnya, seringkali menyebabkan luberan
air yang mengakibatkan banjir dan longsor
dibeberapa titik rawan bencana, misalnya
di rejoso, lekok dan bangil. Pencegahan
bencana dapat dilakukan misalnya dengan
memperbaiki sistem drainase dan
pengerukan pendangkalan sungai yang
terjadi akibat material banjir yang terjadi di
setiap musim hujan.
Selain itu, kegiatan yang perlu
mendapat perhatian lebih dari BPBD
kabupaten Pasuruan adalah peningkatan
pemahaman dan kesadaran masyarakat
khusunya masyarakat yang berada di
sekitar daerah rawan bencana tentang
pentingnya partisipasi masyarakat dalam
pencegahan bencana di kabupaten
pasuruan, sehingga terjadinya bencana bisa
diatasi dan dihindari sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Abarquez, Imelda and Murshed, Zubair.
2004. Community-Based Disaster
Risk Management - field
practitioners’ handbook. APDC.
Pathumthani, Thailand
Abdullah, S. 1987. “Kumpulan Naskah
“Study Implementasi Latar Belakang
Konsep Pendekatan dan
Relevansinya dalam Pembangunan.”
Persadi,Ujung Pandang.
Abidin, S.Z. 2002. Kebijakan Publik.
Jakarta: Yayasan Pancur Siwah.
Agustino, Leo. 2008.Dasar-dasar
kebijakan Publik. cet.ke-2, Alfabeta,
Bandung.
Boediono, B. 2003. Pelayanan Prima
Perpajakan. Jakarta: Rineka Cipta
Dunn, William N. 1998. Pengantar
Analisis Kebijakan Publik. Edisi
Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Dwijowijoto, R. N. 2003.Kebijakan
publik formulasi, implementasi
dan evaluasi. PT.elex media
komputindo, Jakarta.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good
Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Dye, Thomas R. 1978. Understanding
Public Policy. N.J Englewood Cliffs
: Prentice Hall, Inc
Edwards, George C. 1980. Implementing
Public Policy. Washington D.C :
Congressional Quarterly Press.
Fonna, Febrina.2012.Implementasi
Kebijakan Pemerintah Daerah
Tentang Pembinaan Anak Jalanan
Di Kota Makassar. UNHAS.
Hadari, Nawawi. 2007.Metode Penelitian
Bidang Sosial. Gajahmada
University Press : Yogyakarta.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
85 | P a g e
Handmer, John and Dovers, Stephen. 2007.
Handbook of Disaster and
Emergency Policies and Institution.
Earthscan. New York.
Isani, Fitria. 2012. Implementasi Kebijakan
Pemerintah Daerah dalam
Pelaksanaan Pendidikan Gratis Di
Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi barat. UNHAS
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian
Kualitatif dan Kuantitatif Untuk
Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta. DIA
FISIP UI.
Haryati. 2012. Implementasi PNPM
Mandiri Perdesaan Simpan
Pinjam Bagi Kelompok
Perempuan di Kabupaten Luwu.
Makassar: Unhas.
Hasniati. 2008. Manajemen Bencana:
Sebuah Upaya Untuk
Meminimalisasi Dampak Bencana.
Jurnal Administrasi Negara Vol.X
No.2 Malang: Fakultas Ilmu
Administrasi UNBRAW.
Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi
Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Pembaharuan
Mardiyono. 2008. Peran Pemerintah
dalam Kebijakan Mitigasi Bencana
Alam. JurnalAdministrasi Negara
Vol.X No.2 Malang: Fakultas Ilmu
Administrasi UNBRAW.
Miles, M.B. danHuberman, M.A. 1992.
Analisa data kualitatif, Jakarta: UI press.
Moleong, Lexy J. 2001. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung. PT. Remaja
Rosdakarya.
Muchsin, Slamet, Dr. 1999. Dampak Sosial
Ekonomi Pelaksanaan Kebijakan
Pengembangan Wilayah Kota
Administratif Batu (Studi Kasus di
Wilayah Kota Administratif batu
Kabupaten Daerah Tingkat II
Malang). Unibraw.
Napitupulu, Paimin. 2007. Pelayanan
Publik dan Costemer Satisfiction.
Bandung: PT. Alumni
Nugroho, D Riant. 2006. Public Policy,
Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
_____ 2007. Analisis Kebijakan. Jakarta.
PT. Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia.
_____ 2007. Kebijakan Publik, Formulasi,
Implementasi dan Evaluasi. Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia.
____ 2010. Implementasi Kebijakan
Penanggulangan Bencana di
Kabupaten Blitar (Studi Tentang
Mitigasi Bencana Di Kawasan
Rawan Bencana (KRB) Letusan
Gunung Kelud).UNIBRAW.
_____ 2003. Kebijakan Publik:
Formulasi, implementasi dan
evaluasi. Jakarta: PT Alex Media
Komputindo.
Parson, Wayne. 2006. Public Policy,
Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan.Jakarta :Kencana Prenada
Media Group.
Petunjuk Teknis Operasional PNPM MP
Tahun 2008. Departemen Dalam
Negeri Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa.
Priambodo, S Arie. 2009. Panduan Praktis
Menghadapi Bencana. Yogyakarta:
Kanisius.
Ratminto, Atik Septiwinarsi.2005.
Manajemen Pelayanan. Yogyakarta:
PustakaPelajar
Santosa, P. 2008. Administrasi Publik,
Teori dan Aplikasi Good
Governance. Bandung: PT.
RefikaAditama
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian
Administrasi, Bandung :Alfabeta
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan sosial
sebagai Kebijakan publik.
Bandung:Alfabeta
UNDP, 1992. Tinjauan Umum Manajemen
Bencana. PBB: Pusat Manajemen
Bencana Universitas Wisconsin.
Wahab, S.A. 2008. Analisis
Kebijaksanaan, dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara.
Jakarta: PT Umi Aksara.
Wahab, S.A. 2008. Analisis
Kebijaksanaan, dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara.
Jakarta: PT Umi Aksara.
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
86 | P a g e
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana. Diakses
dari
http://kompas.go.id/upload/dokumen
_perundangan/UU_32_2004. pdf
Pada tanggal 23 Oktober 2012
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Diakses dari
http://kerjasama.jogja.go.id/upload/d
okumen_perundangan/UU_32_2004.
pdf Pada tanggal 23 Oktober 2012
Draft perda Kab. Pasuruan No 4 tahun
2011 dan 8 tahun 2010 tentang
Penanggulangan Bencana daerah.
Draft Peraturan kepala BNBP No 4 2008
tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Penanggulangan
Bencana
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
87 | P a g e
REFORMASI ORGANISASI PEMERINTAH
KABUPATEN BANYUWANGI
(Studi pada Bagian Organisasi)
Sunariyanto
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi, dan Magister Ilmu Administrasi Universitas Islam
Malang
Reformasi Organisasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengacu pada Peraturan
Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Banyuwangi, yang dilakukan mengingat Peraturan Daerah Kabupaten
Banyuwangi tentang Organisasi Perangkat Daerah sebelumnya, dinilai sudah tidak mampu
menjawab kemajuan daerah, sehingga untuk efektifitas kinerja kelembagaan perangkat
daerah, maka dilakukan penataan kembali Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Banyuwangi yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Adapun perubahan organisasi dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
diantaranya adalah perubahan pada Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi yang
didalamnya terdapat Bagian Organisasi yang berada dibawah Asisten Administrasi
Pemerintahan. Perubahan tersebut meliputi Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan
Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi juga termasuk Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi.
Rumusan masalah kajian ini yaitu: Bagaimanakah perubahan organisasi dalam
lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi?.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perubahan organisasi
dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi khususnya dilingkup Bagian
Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi.
Hasil kajian penulisan ini bahwa Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan pedoman dan petunjuk
teknis pembinaan dan penataan kelembagaan, ketatalaksanaan, pembinaan Pendayagunaan
Aparatur Negara (PAN), pelayanan publik, budaya kerja, pengawasan melekat, analisis
jabatan, LAKIP dan AKIP. Perubahan pada Bagian organisasi ini dilakukan secara bertahap,
yaitu awalnya berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17 tahun 2000 yaitu Bagian
Organisasi bernama Bagian Aparatur, yang berada dibawa Asisten Administrasi yang
membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian
Analisis Jabatan dan AKIP; d. Sub Bagian Kepegawaian; Kemudian tahap kedua berdasarkan
Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 bahwa Bagian Aparatur dirubah menjadi
Bagian Organisasi, yang berada dibawah Asisten Pemeritahan. Bagian Organisasi ini,
membawahi : a. Sub Bagian Anjab dan AKIP; b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub Bagian
Kelembagaan; d. Sub Bagian Kepegawaian. Dan pada saat ini Bagian Organisasi didasarkan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
88 | P a g e
pada Perda Nomor 6 Tahun 2011, dengan susunan organisasi adalah sebagai berikut: Bagian
Organisasi, membawahi:
a. Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja;
b. Sub Bagian Ketatalaksanaan.
Kata Kunci Reformasi Organisasi Pemerintah
LATAR BELAKANG MASALAH
Reformasi Organisasi Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi mengacu pada
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi,
yang dilakukan mengingat Peraturan
Daerah Kabupaten Banyuwangi tentang
Organisasi Perangkat Daerah sebelumnya,
dinilai sudah tidak mampu menjawab
kemajuan daerah, sehingga untuk
efektifitas kinerja kelembagaan perangkat
daerah, maka dilakukan penataan kembali
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Banyuwangi yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
Adapun perubahan organisasi
dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi diantaranya adalah perubahan
pada Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi yang didalamnya terdapat
Bagian Organisasi yang berada dibawah
Asisten Administrasi Pemerintahan.
Perubahan tersebut meliputi Susunan
Organisasi, Kedudukan, Tugas Dan Fungsi
Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi
juga termasuk Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi.
Mengenai Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah dapat dijelaskan
sebagai berikut: Bagian Organisasi
mempunyai tugas pokok melaksanakan
penyusunan pedoman dan petunjuk teknis
pembinaan dan penataan kelembagaan,
ketatalaksanaan, pembinaan
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN),
pelayanan publik, budaya kerja,
pengawasan melekat, analisis jabatan,
LAKIP dan AKIP.
Untuk melaksanakan tugas pokok
tersebut, maka Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi
mempunyai fungsi:
a. pengumpulan bahan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis
pelaksanaan analis dan formasi jabatan
serta pendayagunaan aparatur;
b. pengumpulan dan pengolahan data
serta menyiapkan bahan pembinaan
dan penataan kelembagaan di lingkup
Pemerintah Kabupaten;
c. pengumpulan bahan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis
pembinaan ketata laksanaan yang
meliputi tata kerja, metode kerja dan
prosedur kerja;
d. pengumpulan bahan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis
pelaksanaan pelayanan publik, budaya
kerja dan pengawasan melekat;
e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan
oleh Asisten Administrasi
Pemerintahan.
Sedangkan susunan organisasi
Bagian Organisasi Sekretariat Daerah
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 adalah
sebagai berikut: Bagian Organisasi,
membawahi:
a. Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja;
b. Sub Bagian Ketatalaksanaan.
Susunan Organisasi, Kedudukan,
Tugas Dan Fungsi Sekretariat Daerah
Kabupaten Banyuwangi termasuk Bagian
Organisasi yang dibentuk dengan
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi
Nomor 6 Tahun 2011 ini, mengalami
perubahan jika dibandingkan dengan
Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas
Dan Fungsi Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi termasuk Bagian Organisasi
sebelumnya yang dibentuk berdasarkan
pada perda-perda sebelumnya mengenai
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
89 | P a g e
Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten
Banyuwangi.
Berdasarkan permasalahan seperti
yang telah dikemukakan di atas, maka
perlu dikaji mengenai perubahan
organisasi dalam lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi khususnya
dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat
Daerah Kabupaten Banyuwangi.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang masalah
kajian di atas, dapat dirumuskan masalah
kajian ini yaitu: Bagaimanakah perubahan
organisasi dalam lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi khususnya
dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat
Daerah Kabupaten Banyuwangi?.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis perubahan
organisasi dalam lingkungan Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi khususnya
dilingkup Bagian Organisasi Sekretariat
Daerah Kabupaten Banyuwangi.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengembangan Organisasi
―Pengembangan organisasi adalah suatu
pendekatan yang sistematik, terpadu dan
terencana untuk meningkatkan efektivitas
organisasi. Ia dirancang untuk
memecahkan masalah – masalah yang
merintangi efisiensi pengoperasian
organisasi pada semua tingkatan. Berbagai
masalah tersebut mencakup kurangnya
kerjasama, desentralisasi yang berlebihan,
dan kurang cepatnya komunikasi. Dari segi
istilah pengembangan orgasisasi dapat juga
disebut sebagai ―Organizational
Development‖, ―Organizational
Improvement‖ atau ―Planned Change‖.
Dimana organisasi melakukan beberapa
perubahan terencana untuk
mengembangkan diri dari orgasnisasi XA
yang tidak mampu melakukan perubahan–
perubahan positif sendiri menjadi YB yang
mampu memperbaharui diri sendiri‖
(Warren Bennis, dalam Adam 1986 : 12).
Sedangkan James Champy di dalam
bukunya Manajemen rekayasa ulang
mengemukakan:
―Suatu organisasi pemimpin, yang
seluruhnya memiliki visi dan tujuan yang
sama, dapat merupakan pasukan yang
tangguh. Tetapi agar organisasi baru itu
dapat berjalan, setiap anggota harus
mendapat tugas yang nyata, tugas yang
menitik beratkan terwujudnya visi dan
tujuan itu, singkatnya yang difokuskan
pada rekayasa ulang‖(James Champy,
1996).
Kemudian lebih lengkap James
Champy juga mengemukakan:
―Seorang pemimpin tidak cukup hanya
memiliki visi. Seorang pemimpin harus
menarik pengikut – pengikut (atau, saya
lebih suka menyebutnya, ―rekan kerja‖),
orang – orang yang dapat memberikan
komitmen terhadap pemikiran ideal yang
baru dan terfokus pada pelanggan. Tetapi
juga proses mobilisasi diinginkan berhasil,
para pengikut itu pun harus menjadi
pemimpin, yang mengemukakan kesadaran
sendiri akan tujuan dalam tantangan
bersama, dan menyebarluaskan tuntutan
dan visi perubahan‖(James Champy, 1996
: 60).
Tetapi De Michele dalam James Champy
secara sempurna mengilustrasikan
persyaratan bahwa visi inspiratif
perubahan suatu perusahaan harus selalu
dibiarkan terbuka untuk revisi, revisi dan
revisi. Seperti apa yang secara lengkap
dikemukakan :
―Garis batas antara surga (peluang–
peluang yang diberikan oleh rekayasa
ulang) dan neraka (ketegangan dan
ketakutan yang ditimbulkan oleh
perusahaan) sangat tipis. Para pemimpin
harus mampu mengatur secara emosional
itu, baik secara psikologis maupun dalam
perasaan yang nyata, untuk mendapatkan
hasil yang positif. Restrukturisasi terus–
menerus, menurut saya, akan menjadi cara
dalam hidup bisnis sejak sekarang ke
depan dan tantangan bagi kepemimpinan
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
90 | P a g e
selama rekayasa ulang adalah mengakui
adanya ketegangan, mendukung (orang–
orang yang tetap bertahan) dan menjaga
agar mereka tetap memusatkan perhatian
pada hal–hal yang positif, memusatkan
perhatian mereka pada masa depan‖ (De
Michele dalam James Champy, 1996:54).
DATA DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Perda nomor 17 tahun
2000 tentang Struktur Organisasi
Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi bahwa Bagian Organisasi
yang dibentuk berdasarkan Perda tersebut
bernama Bagian Aparatur, yang berada
dibawa Asisten Administrasi. Bagian
Aparatur, mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas Sekretariat Daerah dibidang
aparatur antara lain mengolah bahan dan
mempersiapkan penyusunan program dan
pelaksanaan pembinaan di bidang
Kelembagaan, Tata Laksana, Analisis
Jabatan dan AKIP serta Kepegawaian.
Bagian Aparatur ini membawahi :
a. Sub Bagian Kelembagaan
b. Sub Bagian Tata Laksana
c. Sub Bagian Analisis Jabatan dan AKIP
d. Sub Bagian Kepegawaian
Sub Bagian Kelembagaan,
mempunyai tugas mengumpulkan bahan
penyusunan pedoman dan petunjuk
pembinaan dan penataan sistem, metode,
dan prosedur kerja. Sub Bagian Tata
Laksana, mempunyai tugas mengumpulkan
bahan penyusunan pedoman dan petunjuk
pembinaan dan penataan sistim, metode
dan prosedur kerja. Sub Bagian Analisis
jabatan dan AKIP, mempunyai tugas
menyiapkan dan mengolah bahan untuk
melaksanakan analisis dan formasi jabatan.
Sub Bagian Kepegawaian, mempunyai
tugas mengumpulkan bahan penyusunan
Pedoman Teknis Pembinaan PNS serta
menyelenggarakan Tata Usaha
Kepegawaian, meliputi pengumpulan data
kepegawaian, buku induk Pegawai, Usulan
Mutasi, Kenaikan Gaji Berkala, Kenaikan
Pangkat, Pembinaan Karier dan pensiunan
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan
Sekretariat Daerah.
Selanjutnya tahun 2003 diadakan
evaluasi, dengan demikian berdasarkan
Perda nomor 1 tahun 2003 tentang Struktur
Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi (hasil evaluasi), bahwa
Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian
Organisasi, yang berada dibawah Asisten
Pemeritahan. Bagian Organisasi,
membawahi :
a. Sub Bagian Anjab dan AKIP;
b. Sub Bagian Tata Laksana;
c Sub Bagian Kelembagaan;
d. Sub Bagian Kepegawaian.
Dan pada saat ini Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Bagian
Organisasi yang diberlakukan pada
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi adalah
berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2011
tentang Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Banyuwangi. Yang mana dalam
rangka melaksanakan Peraturan Daerah
Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun
2011 tersebut, maka ditetapkan mengenai
rincian tugas, fungsi dan tata kerja Bagian
Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi dengan menerbitkan
Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 38
Tahun 2011 Tentang Rincian Tugas,
Fungsi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
Kabupaten Banyuwangi yang didalamnya
termasuk Bagian Organisasi. Adapun
rinciannya adalah sbb:
Bagian Organisasi mempunyai
tugas pokok melaksanakan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis pembinaan
dan penataan kelembagaan,
ketatalaksanaan, pembinaan
Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN),
pelayanan publik, budaya kerja,
pengawasan melekat, analisis jabatan,
LAKIP dan AKIP.
Selain itu Kepala Bagian
Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi mempunyai tugas:
a. menyusun rencana Bagian Organisasi
sesuai dengan rencana kerja Sekretariat
Daerah;
b. mengumpulkan bahan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis
pelaksanaan analis dan formasi jabatan
serta pendayagunaan aparatur;
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
91 | P a g e
c. mengumpulkan dan mengolah data
serta menyiapkan bahan pembinaan
dan penataan kelembagaan di lingkup
pemerintah kabupaten;
d. mengumpulkan bahan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis
pembinaan ketata laksanaan yang
meliputi tatakerja, metode kerja dan
prosedur kerja;
e. mengumpulkan bahan penyusunan
pedoman dan petunjuk teknis
pelaksanaan pelayanan publik, budaya
kerja dan pengawasan melekat;
f. mengkoordinasikan penyelesaian
permasalahan-permasalahan
pemerintahan di daerah secara terpadu;
g. mengkoordinasikan bawahan agar
terjalin kerjasama yang baik dan saling
mendukung;
h. menilai hasil kerja bawahan untuk
bahan pengembangan karier;
i. melaksanakan tugas kedinasan lain
yang diberikan oleh atasan sesuai tugas
pokok dan fungsinya;
j. melaporkan hasil pelaksanaan
tugas/kegiatan kepada atasan.
Kepala Sub Bagian Kelembagaan
dan Kinerja Bagian Organisasi Sekretariat
Daerah Kabupaten Banyuwangi
mempunyai tugas:
a. menyusun rencana Sub Bagian
Kelembagaan dan Kinerja sesuai
dengan rencana kerja Sekretariat
Daerah;
b. menyelenggarakan pengaturan dan
penyusunan organisasi dan formasi
perangkat daerah;
c. mengumpulkan dan mengolah data
yang diperlukan untuk penyempurnaan
pemantapan dan pengembangan
organisasi satuan kerja di lingkungan
pemerintah daerah;
d. melakukan pengkajian dan
penganalisaan tugas dan fungsi serta
susunan organisasi satuan kerja di
lingkungan pemerintah daerah;
e. melaksanakan penelitian, penyusunan
evaluasi dan pembuatan konsep
rencana pengembangan serta
pemantapan kelembagaan di
lingkungan pemerintah daerah;
f. mengumpulkan dan mengolah bahan
pelaksanaan analisis dan formasi
jabatan serta pemanfaatannya;
g. melaksanakan evaluasi hasil analisis
dan formasi jabatan di lingkungan
pemerintah daerah;
h. mengumpulkan dan mengolah bahan
untuk penyusunan formasi jabatan;
i. mengumpulkan dan mengolah bahan
penyusunan LAKIP;
j. mengkoordinasikan bawahan agar
terjalin kerjasama yang baik dan saling
mendukung;
k. menilai hasil kerja bawahan untuk
bahan pengembangan karier;
l. melaksanakan tugas kedinasan lain
yang diberikan oleh atasan sesuai tugas
pokok dan fungsinya;
m. melaporkan hasil pelaksanaan
tugas/kegiatan kepada atasan.
Kepala Sub Bagian
Ketatalaksanaan Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah Kabupaten Banyuwangi
mempunyai tugas:
a. menyusun rencana Sub Bagian
Ketatalaksanaan sesuai dengan rencana
kerja Sekretariat Daerah;
b. memberikan bantuan ketatalaksanaan
kepada seluruh perangkat daerah untuk
kelancaran penyelenggaraan tugas
pokok;
c. membuat pedoman kerja dan
pelaksanaan pembinaan tata naskah
dinas bagi satuan kerja perangkat
daerah;
d. membuat sistem dan prosedur kerja
agar tercapai efisiensi dan efektivitas
kerja bagi satuan kerja perangkat
daerah;
e. membuat pedoman dan koordinasi
pelaksanaan pelayanan publik oleh
instansi pemerintah;
f. membuat pedoman dan koordinasi
pelaksanaan budaya kerja;
g. membuat pedoman dan koordinasi
pelaksanaan pengawasan melekat;
h. mengkoordinasikan bawahan agar
terjalin kerjasama yang baik dan saling
mendukung;
i. menilai hasil kerja bawahan untuk
bahan pengembangan karier;
JI_MILD ISSN : 2337-697X Volume 3, No. 1, Januari 2016
92 | P a g e
j. melaksanakan tugas kedinasan lain
yang diberikan oleh atasan sesuai tugas
pokok dan fungsinya;
k. melaporkan hasil pelaksanaan
tugas/kegiatan kepada atasan.
Berdasarkan data diatas dapat
dianalisis bahwa Bagian Organisasi
Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi, merupakan salah satu bentuk
perubahan dari organisasi yang mana
didalamnya termasuk pengembangan
organisasi. Hal itu dapat dikatakan
termasuk sebuah perubahan organisasi
dikarenakan menggunakan suatu
pendekatan yang sistematik, terpadu dan
terencana dalam menyusun struktur
organisasi, tugas pokok dan fungsi serta
dalam menyusun tata kerja demi untuk
meningkatkan efektivitas pada Bagian
Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten
Banyuwangi. Bagian Organisasi ini
dirancang untuk memecahkan masalah –
masalah yang merintangi efisiensi dalam
pelaksanaan tugasnya pada semua
tingkatan, baik pada level staf, level
Kasubbag maupun level Kepala Bagian.
Berbagai masalah tersebut mencakup
kurangnya kerjasama, desentralisasi yang
berlebihan, dan kurang cepatnya
komunikasi (Warren Bennis, dalam Adam
1986 : 12).
Selanjutnya tujuan perubahan dari
Bagian Organisasi Sekretariat Daerah
Kabupaten Banyuwangi, adalah untuk
memperbaiki efisiensi dan efektivitas dari
Bagian Organisasi secara menyeluruh yang
artinya tidak hanya memperbaiki prestasi
dari Sub Bagian Kelembagaan dan Kinerja
atau hanya memperbaiki prestasi Sub
Bagian Ketatalaksanaan saja.
KESIMPULAN
Bagian Organisasi Sekretariat Daerah
Kabupaten Banyuwangi, merupakan suatu
proses perubahan organisasi yang beralih
dari keadaan sekarang menuju ke keadaan
yang diinginkan pada masa mendatang,
dengan tujuan meningkatkan efektivitas
pada Bagian Organisasi. Selain itu
perubahan pada bagian organisasi ini
dilakukan secara bertahap, yaitu awalnya
berdasarkan Perda Kabupaten Banyuwangi
nomor 17 tahun 2000 yaitu Bagian
Organisasi bernama Bagian Aparatur, yang
berada dibawa Asisten Administrasi yang
membawahi: a. Sub Bagian Kelembagaan;
b. Sub Bagian Tata Laksana; c. Sub
Bagian Analisis Jabatan dan AKIP; d. Sub
Bagian Kepegawaian; Kemudian tahap
kedua berdasarkan Perda Kabupaten
Banyuwangi nomor 1 tahun 2003 bahwa
Bagian Aparatur dirubah menjadi Bagian
Organisasi, yang berada dibawah Asisten
Pemeritahan. Bagian Organisasi ini,
membawahi : a.Sub Bagian Anjab dan
AKIP; b.Sub Bagian Tata Laksana; c.Sub
Bagian Kelembagaan; d.Sub Bagian
Kepegawaian. Dan pada saat ini Bagian
Organisasi didasarkan pada Perda Nomor 6
Tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA
Adam molekun, Ladipo dan Coralie
Bryant, 1986, Governance
Progress Report The Africa
Region Ecxperience, Capacity
Building and Implementation
Division Study Paper, Africa
Technical Paper, Washington DC
: World Bank.
Champy, James, A., 1996, Preparing for
Organization of the Future, Jossey
Bass, Inc. San Francisco, CA.
Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 17
tahun 2000 tentang Organisasi
Perangkat Daerah Kabupaten
Banyuwangi.
Perda Kabupaten Banyuwangi nomor 1
tahun 2003 tentang Organisasi
Perangkat Daerah Kabupaten
Banyuwangi.
Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi
Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Banyuwangi.