Download - Kritik Tanpa Kedalaman
Kritik Tanpa Kedalaman
Analisis isi berita Jaminan Kesehatan Nasional
di portal Detik, Kompas, Merdeka, dan Vivanews
1 Januari – 15 Maret 2014
Situsweb: pindai.org | Twitter:@pindaimedia | Surel: [email protected]
© April 2014 PINDAI
Peneliti: Wisnu Prasetya Utomo
Asisten Peneliti: Arif Akbar Jatmika Putra
Penyunting: Fahri Salam
PROFIL PINDAI
Dukungan untuk Media
PINDAI adalah sebuah ruang publikasi digital yang menyediakan informasi dari para wartawan maupun penulis lepas dan blogger, yang tujuannya mendukung kerja-kerja media di Indonesia. Kami membangun ruang ini lewat jejaring pertemuan, seleksi, penyuntingan, dan lantas menyebarkan informasi-informasi ini dari sejumlah program yang kami buat maupun reportase mandiri serta penelitian mengenai media sekaligus menjadi tempat khalayak luas membagi pandangannya tentang peristiwa-peristiwa hangat di dunia media sosial.
Melalui program yang mendukung kerja-kerja media, kami mendorong para wartawan maupun penulis lepas membuat liputan berkualitas, antara lain melalui program hibah. Tujuannya menghasilkan informasi mendalam, independen, kredibel, utuh dan proporsional atas isu-isu yang sedapat mungkin mewakili dan melayani kepentingan publik.
Kami mendorong penelitian mengenai kajian media, dilakukan individu baik praktisi maupun akademisi, yang bergelut dalam isu dinamika media massa. Tujuannya membangun literasi dan wacana kritis atas produk jurnalisme dari industri media di Indonesia.
Kami juga mengundang khalayak umum menuliskan pandangannya lewat ruang opini mengenai peristiwa yang tengah ramai dipercakapkan di media sosial, menggali suatu cerita maupun analisis dari sumber kegaduhan yang berjalan gegas.
Kami menyediakan ruang bagi naskah-naskah panjang lewat reportase mandiri terutama bagi para penulis lepas. Kami juga hendak mendorong para wartawan menerbitkan buku nonfiksi mengenai isu-isu relevan bagi publik lewat pendekatan narasi yang segar dan menarik. Pindai juga memberikan apresiasi atas karya-karya jurnalisme yang mengangkat persoalan-persoalan penting di Indonesia.
Selain itu, Pindai menjalin dan membuka forum bagi pengembangan kapasitas media.
Pindai, sebagaimana namanya, adalah ikhtiar memeriksa dengan cermat, dan dalam konteks media, kami hendak berupaya membangun informasi yang teliti dan akurat. Kerja-kerjanya, meski tak selalu, melalui proses kurasi editorial.
Pendahuluan
PROGRAM Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) resmi berlaku sejak 1 Januari 2014. Ia
mengandaikan seluruh penduduk Indonesia mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau. Pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan Undang-Undang 24/2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial.
Menurut buku Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 (2012), ada tiga dimensi
pencapaian jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia. Pertama, besarnya persentase
penduduk yang dijamin; kedua, lengkapnya pelayanan yang dijamin; dan ketiga, besar-kecilnya biaya
langsung yang masih ditanggung penduduk. Mengacu buku itu, pada 2019 seluruh penduduk
Indonesia dapat terserap program JKN. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, pada 2014 ini
JKN ditargetkan dapat melayani 121 juta penduduk Indonesia.1
Namun, sejak diresmikan, JKN menuai protes. Dari lambannya pemerintah membuat regulasi turunan,
minimnya sosialisasi, hingga persoalan teknis administratif yang mengubah sejumlah sistem asuransi
sebelumnya berpindah ke BPJS Kesehatan.
Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah indikasi rawan korupsi dalam
pengelolaan BPJS Kesehatan.2 Itu meliputi investasi dana lembaga pelaksana, investasi dana jaminan
sosial, pengadaan aset, penggunaan operasional, dan anggaran fasilitas jaminan kesehatan. KPK
menengarai adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran, yang dibikin direksi BPJS dan
disetujui Dewan Pengawas, tanpa melibatkan pemerintah dan pihak eksternal.
KPK mengusulkan revisi UU 24/2011 tentang BPJS untuk melibatkan pihak eksternal baik itu Dewan
Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
termasuk juga organisasi masyarakat sipil dalam persetujuan dan pengelolaan dana operasional BPJS.3
KPK mengkhawatirkan adanya potensi kecurangan dalam pelayanan. KPK mensinyalir rumahsakit
memiliki peluang untuk menaikkan klasifikasi penyakit dari yang seharusnya, dan atau memecah
tagihan untuk memperbesar nilai penggantian. Tujuannya, mendapatkan klaim lebih besar dari yang
mesti dibayarkan BPJS. Soal lain, menurut KPK, lemahnya pengawasan untuk mengantisipasi
melonjaknya jumlah peserta BPJS, dari 20 juta di bawah pengelolaan PT Askes hingga 111 juta
peserta di dalam sistem asuransi BPJS.
Karut-marut pelaksanaan JKN dapat dibaca lewat pemberitaan media online. Berita-berita
memperlihatkan sisi negatif program tersebut. Ia tak hanya untuk melihat bopeng pelaksanaan JKN
tapi, lebih dari itu, apakah masyarakat sebagai obyek sistem ini sudah mendapatkan haknya untuk
mendapatkan informasi yang memadai. Karena itu menarik melihat bagaimana media online
membingkai berita-berita terkait implementasi JKN.
Metode Penelitian
Penelitian ini melihat berita-berita mengenai Jaminan Kesehatan Nasional di media online detik.com,
kompas.com, merdeka.com, dan viva.co.id. Ketika penelitian ini dilakukan, keempatnya merupakan
empat portal berita dengan trafik pembaca yang tinggi di Indonesia berdasarkan situs alexa.com.
Peneliti menganggap pemilihan empat media online ini bisa menggambarkan diskursus tentang
penyelenggaraan sistem JKN sejak diberlakukan awal tahun ini.
Penelitian ini menggunakan metode campuran yang diajukan Cresswell (2003). Ia dipakai untuk
menggali hasil kuantitatif dan kualitatif, yakni keluasan sekaligus kedalaman. Kami mengocok
1 “121 Juta Peserta JKN Optimis Tercapai” dalam kompas.com 6 Februari 2014 (diakses 7 April 2014).
2 “KPK Temukan Lima Titik Rawan Korupsi Pengelolaan JKN oleh BPJS” dalam kompas.com 11 Februari 2014
(diakses 7 April 2014).
3 “KPK Dorong BPJS Benahi Celah Potensi Korupsi” dalam kpk.go.id 12 Februari 2014 (diakses 7 April 2014).
analisis isi kuantitatif sebagai metode pencarian data dan analisis deskriprif sebagai teknik
analisisnya. Tujuannya, mendeskripsikan bagaimana framing (pembingkaian) pemberitaan media
online tentang pelaksanaan JKN.
Teknik pengumpulan data lewat dokumentasi berita yang terarsip di portal media online. Peneliti
menggunakan pengambilan sampel dengan sensus pada jangka waktu 1 Januari – 15 Maret 2014.
Pengumpulan jumlah artikel melalui kata kunci “BPJS Kesehatan”, “Jaminan Kesehatan Nasional”,
“BPJS”, dan “Jaminan Kesehatan Masyarakat” serta kombinasi kata-kata yang terkandung keempat
frase itu. Pencarian mencakup seluruh berita dalam jangka waktu tersebut.
Peneliti menerapkan analisis data secara kualitatif sesudah analisis kuantitatif melalui SPSS. Analisis
deskriptif dipakai untuk interpretasi ulang atas hasil data guna mendalami tema penelitian.
Pengkodean tingkat 1 berupa penjelasan variabel deksriptif sebuah artikel, misalnya judul berita,
tanggal pemuatan, panjang artikel, hari diterbitkan dan sebagainya. Pengkodean tingkat 2
menghimpun pelbagai variabel tentang bagaimana suatu berita berargumen dan newstone (nada
berita) yang dikandungnya.
Sementara pengkodean tingkat 3 mengidentifikasi kerangka utama lebih rinci. Ini mencakup
identifikasi aktor-aktor yang membela dan menentang sistem JKN, sikap politik atau kedudukan
ideologis tertentu, dan penilaian aktor-aktor itu terkait pelaksanaan JKN. Guna membingkai ketiga
tahap pengkodean, kami menggunakan teknik analisis isi jenis tematik, khususnya teknik yang
diajukan Neuendorf (2002) di mana tema dalam setiap teks berita akan dilihat berdasarkan subyek
pemberitaan.
Setelah proses pengkodean, kami menganalisis data dalam bentuk teks naratif untuk menarik
kesimpulan, melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari teks
berita, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dari fenomena, dan
proposisi.
Uji Validitas dan Reliabilitas
Meski menggunakan metode campuran tetap saja diperlukan uji validitas dan reliabilitas untuk
melakukan tahapan kuantitatif. Ini untuk memastikan temuan data secara kuantitatif benar-benar bisa
dipertanggungjawabkan. Uji validitas yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas
konstruk. Ia adalah uji validitas untuk melihat apakah variabel yang digunakan merupakan turunan
dari teori tertentu ataupun dari penelitian-penelitian sebelumnya (Neuendorf , 2002). Sementara itu,
uji reliabilitas di sini adalah rumusan yang diajukan oleh Holsti:
Di mana M= Persamaan item persetujuan
M1= Jumlah item yang dikoder oleh Koder 1
M2= Jumlah item yang dikoder oleh Koder 2
Hasil:
= 0,82
Frekuensi Berita: Perhatian terhadap JKN
Berdasarkan sensus yang kami teliti, terdapat 209 item berita JKN yang dimuat di keempat media
online tersebut. Jumlah berita yang kami dapatkan dalam waktu sekira 2,5 bulan ini menunjukkan
bagaimana perhatian media terkait isu ini. Hampir setiap hari sekurangnya ada satu berita mengenai
pelaksanaan JKN. Rincian frekuensi berita di masing-masing media bisa dilihat dalam gambar
berikut:
Gambar 1 Frekuensi Berita
Seperti terlihat dalam gambar, Detik memberitakan 110 item berita, lebih dari separuh berita yang
diteliti. Sementara Kompas menampilkan 53 berita (25, 4%), Merdeka 27 berita (12,9%) dan
Vivanews 19 berita (9,1%).
Jika menyimak gambar 2, frekuensi pemberitaan memperlihatkan grafik menurun. Jumlah
pemberitaan tertinggi muncul pada 1 Januari 2014 dengan 15 item berita (7,2%), bertepatan sistem
baru asuransi kesehatan nasional ini resmi berlaku.
Gambar 2 Frekuensi Tanggal Pemberitaan
Frekuensi pemberitaan tertinggi selanjutnya pada 8 Januari 2014 dengan 14 berita (6, 7%). Sementara
pada awal bulan banyak berita memberi perhatian pada peresmian sistem JKN, pada paruh kedua
Januari mulai bergeser soal ketidaksiapan BPJS dalam menjalankan sistem jaminan kesehatan.
Banyak pasien mengeluhkan administrasi BPJS yang tidak sigap melayani migrasi asuransi yang
sebelumnya mereka miliki. Namun, ada juga protes dari para dokter mengenai besaran pendapatan
yang mereka terima dari pasien BPJS yang dinilai kecil, per pasien Rp 10 ribu. Pada Maret, frekuensi
pemberitaan tertinggi pada 4 Maret dengan 8 berita (3, 8%), masih didominasi protes pelaksanaan
sistem JKN.
Rentang waktu pengunggahan berita tertinggi pada pukul 13.00 -15.00. Gambar 3 menunjukkan, 25
berita diunggah pada pukul 13.00 (12%), 24 berita pukul 15.00 (11,5%), dan 22 berita pukul 14.00
(10,5%). Adapun waktu pengunggahan berita yang paling rendah saat tengah malam pukul 23.00 dan
01.00, masing-masing 1 berita (0,5%).
Gambar 3 Frekuensi Jam Unggah Berita
Newstone Judul: Potret Buram Jaminan Kesehatan
Setidaknya ada tiga bagian dalam berita yang bisa dijadikan obyek pembingkaian media, yakni judul
berita, fokus berita, dan penutup berita (Abrar, 2005:36). Judul adalah salah satu bagian terpenting
dalam berita. Dalam penelitian ini, judul berita kami lihat sebagai tone (nada) sebuah berita.
Karakter media online yang menyajikan artikel-artikel pendek mengandaikan mereka mesti mampu
bikin judul yang mampu menarik perhatian pembaca. Judul dipakai sebagai alat pancing guna
menggerakkan audiens membaca berita tersebut. Terkadang, demi mengejar jumlah klik, banyak judul
media online terkesan bombastis dengan bahasa hiperbolis.
Judul berita dibingkai dengan menggunakan teknik empati. Tujuannya menciptakan “pribadi khayal”
dalam diri pembaca. Ia mengesankan pembaca jadi bagian yang memposisikan diri pada pihak
tertentu dalam sebuah berita. Harapannya, pembaca seolah- berada pada posisi yang sama. Dengan
karakter macam itu judul sebuah berita memang tak bisa mewakili isi tulisan.
Dalam banyak contoh bahkan judul berita bisa berbeda sama sekali dengan isi artikelnya. Namun dari
judul setidaknya kita bisa bisa melihat bagaimana tendensi berita bisa dibaca. Setidaknya terlihat
bagaimana media ingin melakukan framing atas isi artikel tertentu. Dalam penelitian ini, mayoritas
judul berita memuat tone negatif terhadap pelaksanaan sistem jaminan kesehatan oleh BPJS.
Gambar 4 Newstone Judul
Sebagaimana gambar 4, berita-berita dengan tone judul yang negatif sebesar 84 item berita (40, 2%),
tone judul netral 69 berita (33%) dan tone positif 56 berita (26,8%). Tingginya tone negatif ini
menunjukkan bagaimana media memberi ruang terbuka untuk mengkritisi pelayanan asuransi
kesehatan yang dilakukan BPJS.
Beberapa judul misalnya “Pasien di Jakarta Keluhkan JKN Tak Seperti KJS,” “Mau Cuci Darah Jadi
Lebih Rumit dengan BPJS,” “Gara-gara JKN, Ada Puskesmas Tolak Pasien KJS,” dan “Warga
Jakarta Kecewa Layanan Jaminan Kesehatan Nasional”. Itu bisa segera menggiring pembaca pada
pembentukan opini bahwa sistem jaminan kesehatan baru ini memang penuh masalah.
Level Argumentasi: Ketika Media Menyajikan Data
Untuk melihat kualitas argumentasi dalam sebuah berita, kami meminjam satu elemen dalam
Discourse Quality Index (DQI) yang dipaparkan Steenbergeer et al (2003), yakni level justifikasi.
Dalam aspek justifikasi, pengukurannya berbasis pada argumentasi yang mengarah sugesti, inferensi,
dan teknik pengambilan kesimpulan lain menurut hipotesis yang diajukan dalam suatu isu.
Argumentasi ini mengaitkan tingkat koherensinya antara premis dan kesimpulan atau penyelesaian
atas hipotesis itu. Ada berbagai tingkat koherensi yang kami jabarkan di bawah.
Gambar 5 Level Argumentasi
Dari gambar 5 kita bisa melihat ada 22 berita (10,5%) yang level argumentasinya no justification,
yakni isu digulirkan begitu saja tanpa ada penjelasan apapun. Isinya biasanya sebuah acara atau event
tertentu. Berita dengan level argumentasi macam ini umumnya memiliki karakteristik artikel pendek,
dan hanya satu narasumber tertentu.
Argumentasi inferior justification. Penjelasan atas isu memang ada, tetapi tidak ada hubungan pada
keduanya. Misalnya, dalam berita yang kami teliti ada kasus 71 rumahsakit di Jakarta menolak
bergabung dengan BPJS, narasumber dalam berita adalah pemerintah daerah DKI yang tidak
menjelaskan alasan di balik penolakan itu dan hanya mengatakan BPJS tetap jalan terus. Dari hasil
penelitian, ada 56 berita (26,8%) dengan level argumentasi macam itu.
Argumentasi qualified justification. Telah ada hubungan antara isu yang diberitakan dengan
penjelasan yang mengikutinya. Namun, hanya ada satu alasan atau sudut pandang yang digunakan.
Misalnya berita ketika gubernur DKI Jakarta menjelaskan BPJS dan Kartu Jakarta Sehat. Berita hanya
memberikan ruang argumentasi kepada satu narasumber, dalam hal ini gubernur DKI Jakarta, dan
tiada narasumber lain. Dalam berita-berita dalam penelitian ini, tercatat ada 116 berita (55,5%)
dengan level argumentasi tersebut.
Argumentasi sophisticated justification. Penjelasan atas sebuah isu diberikan secara komprehensif
dengan lebih dari sudut pandang. Hanya ada 15 berita (7,2%) dengan level argumentasi ini. Itu bisa
sedikit menjelaskan karakter media online yang artikelnya terbilang pendek. Sementara level
argumentasi ini mensyaratkan bangunan argumen yang jelas dengan berbagai sudut pandang.
Makin banyak berita dengan level argumentasi sophisticated justification sebenarnya makin bagus
bagi kualitas sebuah informasi berita. Teorinya, pembaca akan mendapatkan konteks yang lebih utuh
dari sebuah berita dan bisa membaca aktor-aktor berita di dalamnya. Level argumentasi ini penting
terutama untuk isu-isu kebijakan publik macam Jaminan Kesehatan Nasional ini.
Namun, jika melihat hasil penelitian ini, lebih dari 50% berita yang diteliti menggunakan level
argumentasi qualified justification. Temuan ini bisa dibaca bahwa karakter media online yang
mengejar aktualitas lewat artikel-artikel pendek membuat sebuah berita tak ditulis dengan mendalam.
Subyek Pemberitaan: Dominasi Narasumber Resmi
Selama Januari- medio Maret 2014, mayoritas media online yang kami teliti menampilkan BPJS
sebagai subyek pemberitaan. Tercatat, sebagaimana gambar 6, ada 51 berita (24,4%) yang menjadikan
BPJS sebagai subyek utama pemberitaan. Berikutnya, pemerintah pusat sebanyak 34 berita (16,3%)
dan pemerintah daerah sebesar 26 berita (12,4%).
Tabel 6 Subyek Pemberitaan
Jika dibaca lebih jauh, pengambilan sumber berita yang didominasi dari sumber BPJS, setidaknya
menandakan dua kemungkinan. Pertama, wartawan ingin mudahnya saja dalam mencari berita.
Ketersediaan informasi dan akses seperti siaran pers, konferensi pers, dan adanya biro Humas dari
BPJS bisa memudahkan wartawan mencari berita ketimbang, misalnya, harus turun ke rumahsakit di
daerah-daerah. Kedua, layaknya pers semasa Orde Baru, kebanyakan media yang menyoroti
kebijakan pemerintahan kurang terlalu memerhatikan kebutuhan publik. Ini bisa dilihat dari kecilnya
porsi narasumber dari warga, hanya 6,7–8,1%. Padahal warga lah yang paling merasakan dampak dari
peralihan sistem asuransi kesehatan yang lama ke sistem baru di bawah BPJS.
Pemerintah daerah juga memiliki persentase cukup tinggi mengingat pelaksanaan JKN mengatur
BPJS mesti bekerjasama dengan pemerintah daerah. Untuk daerah-daerah yang sudah memiliki
jaminan kesehatan sendiri seperti DKI Jakarta bahkan sempat memunculkan masalah dengan BPJS.
Dalam penelitian ini, narasumber dari pemerintah daerah yang terbanyak dari DKI Jakarta. Lagi-lagi
ini menunjukkan pola pemberitaan yang lebih tersentralisasi pada pusat kekuasaan dan ekonomi,
yakni Jakarta, di mana keempat media yang kami pilih berbasis di ibukota itu.
Gambar 7 Sikap Subyek Berita
Mayoritas sikap subyek pemberitaan yang memiliki tone netral, sebagaimana ditampilkan tabel 7,
berjumlah 88 berita (42,1%). Sementara yang memiliki sikap positif ada 68 berita (32,5%) dan negatif
51 berita (24,4%). Penelusuran lebih lanjut, rata-rata yang menyumbang sikap positif ini adalah
narasumber dari BPJS. Sementara, meski persentase kumulatifnya kecil, yang menyumbang tone
negatif terbanyak dari masyarakat umum.
Kesan positif dari narasumber BPJS bukan hal aneh mengingat merekalah badan pelaksana JKN.
BPJS memiliki kewajiban memastikan layanannya berjalan maksimal. Sebagai narasumber, mereka
lebih banyak menjalankan fungsi sosialisasi. Misalnya, berita-berita seputar kerjasama BPJS dengan
bank maupun institusi lain atau soal besaran iuran JKN.
Dari berita-berita yang diteliti, tidak banyak narasumber dari BPJS yang melakukan kritik-diri
terhadap sistem yang mereka jalankan. Kalaupun ada, sisi negatif seperti protes-protes dokter maupun
masyarakat, mereka mengesankan sikap defensif. Maksudnya, mewajarkan atau memaklumkan
pelbagai keluhan dengan dalih pelaksanaan JKN yang masih baru.
Sebaliknya, tone negatif muncul dari masyarakat sebagai narasumber yang langsung terkena efek
penerapan JKN. Beberapa media mengangkat berita warga yang sakit parah, bahkan ada pasien HIV,
tapi tak bisa mendapatkan pelayanan dari rumahsakit dengan alasan belum terdaftar sebagai peserta
BPJS.
Tabulasi Silang
Media dan Jam Unggah
Tabel 8 Media dan Jam Unggah
Berdasarkan tabulasi silang, jam unggah berita tentang Jaminan Kesehatan Nasional pada masing-
masing media kebanyakan siang hingga sore hari:
Detik, waktu unggah berita terbanyak pukul 15.00 dengan 17 berita, pukul 13.00 (16 berita),
dan pukul 17.00 (12 berita).
Kompas, waktu unggah berita terbanyak pukul 09.00 (8 berita), pukul 10.00 (7 berita), dan
pukul 12.00 (5 berita).
Merdeka, waktu unggah berita terbanyak pukul 13.00 dan 14.00 (masing-masing 5 berita).
Vivanews, waktu unggah pukul 18.00 (4 berita) serta pukul 14.00 dan 17.00 (masing-masing 3
berita).
Data itu bisa dibaca bahwa jam-jam tersebut merupakan prime-time atau waktuterbaik untuk
mengunggah berita terkait sistem JKN secara khusus. Tak menunggu waktu lama bagi media online
untuk mengunggah berita setelah wartawan-wartawannya melakukan liputan. Yang dipentingkan
adalah aktualitas, sebisa mungkin setelah liputan, berita ditulis, lantas diunggah. Terutama untuk
berita-berita dengan narasumber tunggal.
Media dan Newstone Judul
Gambar 9 Media dan Newstone Judul
Terlihat ada dua media di mana tone judul negatif lebih besar ketimbang tone netral maupun positif.
Newstone judul negatif di Merdeka sebesar 14 berita, sementara tone netral 8 berita dan positif 5
berita. Di Vivanews , tone judul negatif juga mendominasi ada 9 berita, netral ada 6 berita, dan positif
ada 4 berita.
Di Detik, jumlah tone negatif ada 41 berita, hampir seimbang dengan tone netral (43 berita),
sedangkan tone positif jauh lebih sedikit (26 berita).
Adapun di Kompas, judul-judul berita dengan tone positif berjumlah 21 berita, hampir setara dengan
judul ber-tone negatif (20 berita), sementara judul dengan tone netral ada 12 berita.
Jika dilihat keseluruhan, judul berita didominasi dengan tone negatif terhadap penyelenggaraan JKN
sebesar 84 item berita (40, 2%). Sebaliknya, tone positif berjumlah 56 berita (26,8 %).
Tone negatif ini bisa dijelaskan dalam dua proposisi. Pertama, pelaksanaan sistem asuransi kesehatan
publik yang baru ini belum matang dijalankan sejak diresmikan. Dari sisi teknis misalnya, pelaksana
dan tenaga medis di lapangan keteteran menghadapi peralihan kebijakan baru tersebut. Minimnya
sosialisasi bikin masyarakat kebingungan mengakses pelayanan dari BPJS. Banyak pasien tak bisa
dilayani karena belum mendaftar sebagai peserta BPJS. Sistem jaminan kesehatan ini juga bahkan
diklaim dan dimanfaatkan para politisi menjelang pemilihan umum.
Kedua, media online menggunakan judul yang negatif atau bahkan bombastis untuk menarik minat
pembaca. Tujuannya meningkatkan klik pada tampilan laman berita dari media bersangkutan. Dan
salah satu caranya memancing pembaca dengan pilihan-pilihan judul provokatif. Pemberitaan macam
itu lebih digerakkan bahwa kabar buruk adalah santapan berita yang empuk.
Newstone Judul dan Sikap Subyek Pemberitaan
Gambar 10 Newstone Judul dan Sikap Subyek Pemberitaan
Terlihat lewat tabel di atas, tone judul dengan sikap subyek pemberitaan menandakan korelasi positif
di antara keduanya. Maksudnya, sebagian besar berita dengan tone judul negatif memperlihatkan
sikap subyek pemberitaan itu juga negatif. Begitupun sebaliknya, berita-berita dengan tone judul
positif, sikap subyek pemberitaannya juga positif.
Terdapat 46 berita dengan tone judul negatif di mana sikap subyek pemberitaan juga negatif.
Sementara ada 35 berita dengan tone judul netral di mana sikap subyek pemberitaan netral. Untuk
tone judul yang positif, ada 54 berita dengan sikap subyek pemberitaan yang positif.
Satu hal yang membikin korelasi positif antara kedua kategori ini lantaran media online hanya
menggunakan sedikit narasumber dalam pemberitaannya. Minim sekali yang memunculkan
narasumber dengan pandangan berbeda. Kecuali media online memelintir kutipan narasumber, sikap
subyek pemberitaan akan menentukan tone judul bahkan isi artikel.
Misalnya berita Kompas pada 6 Januari 2014, berjudul “Program JKN Bisa Bikin Dokter ‘Tekor’.”
Sisi judul berita itu memiliki tone negatif bahwa program tersebut dianggap akan membuat
penghasilan para dokter menurun di mana artikel itu hanya memakai narasumber tunggal yaitu dari
ketua umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia lebih mencerminkan apa yang disebut
realitas psikologis ketimbang fakta sosiologis di lapangan.
Media dan Subyek Pemberitaan
Gambar 11 Media dan Subyek Pemberitaan
Gambar di atas menunjukkan bahwa Detik adalah media online yang paling banyak memakai
narasumber dari BPJS (27 berita). Urutan narasumber selanjutnya pemerintah pusat (21 berita) dan
pemerintah daerah (9 berita).
Hal serupa terdapat di Vivanews, ada 10 berita dengan BPJS sebagai narasumber, pemerintah pusat
ada 2 berita, dan sisanya masing-masing 1 berita.
Sementara Merdeka, pemerintah daerah menjadi narasumber berita tertinggi dengan 10 berita,
pemerintah pusat hanya 4 berita dan BPJS ada 3 berita. Media ini mengambil berita-berita dari DKI
Jakarta dengan Joko Widodo maupun Basuki Tjahaja Purnama sebagai narasumber. Dalam
jurnalisme, mereka adalah official view alias sumber-sumber resmi yang sebagian besar adalah pejabat
pemerintah.
Di Kompas, narasumber lebih variatif. Narasumber “lain-lain” ada 14 berita, dari BPJS ada 11 berita
dan pemerintah pusat ada 9 berita. Narasumber “lain-lain” meliputi pelbagai pihak, termasuk
narasumber dari Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, dan Guru Besar.
Subyek Berita dan Sikap Subyek Berita
Gambar 12 Subyek Berita dan Sikap Subyek Berita
Gambar 12 memunculkan hasil yang menarik. Ada perbedaan kontras antara pembuat kebijakan dan
masyarakat. Narasumber dari BPJS memiliki sikap netral atau positif terhadap wacana jaminan
kesehatan. Dari tabel bisa terlihat sikap netral narasumber dari BPJS ada 29 berita dan sikap positif
ada 22 berita.
Sikap pemerintah pusat juga senada. Terdapat 17 berita di mana pemerintah pusat bersikap netral dan
15 bersikap positif. Di sini, sebuah berita disebut netral jika hanya berisi penjelasan-penjelasan atau
sosialisasi kebijakan. Sementara berita-berita yang positif merujuk janji-janji atau langkah-langkah
pemerintah atau BPJS menanggapi kritik atas pelaksanaan JKN.
Selanjutnya, ada 12 berita dengan narasumber dari masyarakat yang menunjukkan sikap negatif.
Sementara sikap netral ada 2 berita dan sama sekali tiada yang positif. Data ini bisa menunjukkan,
masyarakat sebagai peserta asuransi kesehatan publik belum puas terhadap sistem yang dibangun oleh
BPJS dan pemerintah.
Sejumlah berita yang mengangkat narasumber dari masyarakat misalnya tentang pasien yang tidak
terdaftar di BPJS, yang gilirannya rumahsakit enggan melayani pengobatannya. Kompas lewat berita
“Warga Jakarta Kecewa Layanan Jaminan Kesehatan Nasional” menyebutkan seorang pasien harus
mendaftar dulu di kantor BPJS bila ingin dirawat di rumahsakit.
Media dan Level Argumentasi
Gambar 13 Media dan Level Argumentasi
Gambar 13 di atas menunjukkan tak didapatkan perbedaan kesimpulan yang mencolok pada masing-
masing media. Sebagian besar berita di empat media online memiliki level argumentasi qualified
justification. Ada 57 berita di Detik dengan level argumentasi tersebut. Sementara jumlah level
argumentasi inferior justification ada 31 berita, no justification 16 berita, dan sophisticated
justification 6 berita.
Di Kompas, 27 berita menggunakan level argumentasi qualified justification, 16 berita inferior
justification, 5 berita no justification, dan 5 berita sophisticated justification. Karakteristik hasil yang
serupa terlihat di Merdeka dengan 16 berita qualified justification, 9 berita inferior justification, 1
berita no justification, dan 1 berita sophisticated justification.
Apa yang patut dicermati soal kecenderungan karakter berita yang pendek di media online berimbas
minimnya berita-berita dengan level argumentasi sophisticated. Di Kompas ada 5 berita dengan level
argumentasi ini. Salah satunya berita bertanggal 22 Februari 2014 berjudul “Pasien di Jakarta
Keluhkan JKN Tak Seperti KJS.” Ia memuat keluhan warga Jakarta soal pelaksanaan JKN yang
merugikan ketimbang sistem asuransi Kartu Jakarta Sehat.
Berita ini menampilkan narasumber beragam dari pasien maupun masyarakat serta Dinas Kesehatan
DKI Jakarta. Penjelasan tentang keluhan seputar JKN bisa terbaca dengan gamblang. Namun bila
lebih ditelisik, beberapa berita dengan level argumentasi sophisticated ini adalah berita-berita dari
edisi cetak yang kemudian diunggah ke versi online.
Kita bisa menyimpulkan, karakter media (cetak dan online) memiliki pengaruh terhadap perbedaan
level argumentasi dalam sebuah berita. Pengaruh ini tak hanya dari keterbatasan ruang untuk berita
tapi juga perbedaan tujuan. Media online mengejar aktualitas yang lebih mementingkan kecepatan,
sementara media cetak memberikan perhatian pada kedalaman sebuah berita.
Pencermatan lebih lanjut adalah Vivanews di mana terdapat 16 berita dengan level argumentasi
qualified justification dan 3 berita sophisticated justification. Sementara tidak terdapat sama sekali
untuk dua level argumentasi yang lain. Data ini bisa dijelaskan dengan melihat karakter tulisan media
ini yang relatif lebih panjang dengan narasumber beragam ketimbang tiga media online lain.
Gambar 14 Persentase Level Sophisticated di Media
Gambar 15 Persentase Level No Justification di Media
Kami mencoba membandingkan dua titik ekstrim pada setiap level argumentasi (sophisticated dan no
justification) di setiap media. Cara yang kami lakukan dengan mengambil persentase proporsional di
setiap media terlebih dulu, lantas membandingkan keempat media itu. Ini bukan bermaksud untuk
memberikan urutan baik atau buruk, tapi lebih ingin menangkap gambaran ihwal kualitas pemberitaan
yang disajikan di setiap media online.
Kesimpulan
Maxwell McCombs dan Donal Shaw dalam Saqib Riaz (2008) mengatakan media massa memiliki
kemampuan memengaruhi agenda publik. Media massa melakukan proses menyaring berita yang
akan disiarkan. Berita bukanlah refleksi atas realitas melainkan realitas itu sendiri.
Berangkat dari pemahaman tersebut, realitas yang dibentuk media terkait program Jaminan Kesehatan
Nasional bisa dilihat dalam penelitian ini. Ada beberapa catatan akhir yang kami digarisbawahi.
Pertama, besarnya persentase berita dengan nada negatif mengenai sistem Jaminan Kesehatan
Nasional mengonfirmasi karut-marut pelaksanaan sistem ini yang telah berjalan sekira tiga bulan.
Masalah JKN beragam, dari lambatnya pembuatan regulasi operasional, minimnya sosialisasi
kepada masyarakat, ketidaksiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sampai politisasi
kebijakan JKN oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Bagaimanapun bulan-bulan
menjelang pemilihan umum membuat maraknya klaim kebijakan yang dianggap populis.
Menurut buku Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 (2012), salah satu
parameter keberhasilan JKN bergantung pada kepercayaan dari publik. Ia setidaknya dapat diukur
dari diskursus isu ini di media. Nada negatif sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian ini
mestinya mendorong BPJS memperbaiki kinerja menunaikan JKN.
Kedua, berita-berita mengenai JKN didominasi oleh sumber resmi. Bisa dilihat orientasi yang
state-centric dalam pemilihan sumber berita. Tercatat ada 24,4% berita di mana BPJS menjadi
narasumber berita. Berikutnya, 16,3 % berita dengan pemerintah pusat sebagai narasumber dan
12,4 % berita dengan pemerintah daerah sebagai narasumber. Artinya, sekitar 53 % narasumber
pemberitaan berasal dari sumber resmi.
Temuan tersebut menandakan bahwa—meminjam istilah Ashadi Siregar—realitas psikologis
mendominasi pemberitaan media. Realitas psikologis berkaitan dengan apa yang diucapkan atau
disampaikan oleh narasumber berita. Realitas psikologis berbeda dengan realitas sosiologis yang
memberikan perhatian besar pada sebuah tindakan atau fakta-fakta di lapangan. Orientasi berita
dengan realitas psikologis yang lebih kental berpotensi mengaburkan pelbagai masalah mendasar
tentang program JKN.
Sebagai contoh, beberapa media online dengan mengutip sumber resmi mengatakan bahwa karut-
marut pelaksanaan di awal adalah hal yang wajar karena merupakan masa transisi. Cukup sampai
di situ. Tak ada elaborasi pelbagai masalah yang dihadapi langsung oleh masyarakat dalam awal
pelaksanaan JKN. Padahal masyarakat merupakan pihak yang terkena dampak langsung dari
program kesehatan publik tersebut.
Orientasi sumber resmi mengingatkan pada perilaku pers di era Orde Baru. Dalam era ketika
sumber-sumber informasi dibatasi secara ketat oleh penguasa, wartawan hanya bisa
mengandalkan rilis serta pernyataan resmi pihak berwenang. Realitas psikologis mendominasi
lembar-lembar koran di Indonesia. Implikasinya, fakta atau kejadian yang terjadi di lapangan akan
menjadi bias ketika diangkat dalam sebuah berita.
Temuan tersebut ini bisa menjadi indikasi minimnya perubahan pola kerja di ruang redaksi media
massa bila dibandingkan dengan era Orde Baru. Keran kebebasan pers terbuka lebar, namun
sumber resmi masih mendominasi. Dan sumber-sumber dari masyarakat tetap termarjinalkan.
Hal tersebut berimplikasi pada catatan ketiga, rendahnya kualitas informasi sebagian besar
berita mengenai JKN. Berdasarkan referensi yang digunakan dalam penelitian ini, berita yang
“berkualitas” idealnya adalah berita yang berpredikat sophisticated justification. Makin banyak
berita dengan level argumentasi sophisticated justification, makin tinggi pula kualitas sebuah
informasi berita.
Teorinya, makin tinggi kualitas informasi maka pembaca bisa mendapatkan konteks yang lebih
utuh dari sebuah berita. Bukan pemahaman yang sepenggal-sepenggal. Informasi yang berkualitas
adalah penting sebagai pedoman masyarakat melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam
mengakses JKN. Apalagi di tengah minimnya sosialisasi oleh pihak-pihak berwenang.
Namun, berdasarkan temuan penelitian, hanya ada 7, 2 % dari keseluruhan berita dengan level
argumentasi sophisticated justification. Sebaliknya, ada 26, 8 % berita dengan level argumentasi
inferior justification dan 55, 5 % berita dengan level argumentasi qualified justification.
Karakteristik tulisan berita di media online yang pendek-pendek bisa disebut sebagai salah satu alasan
mengapa kualitas informasi mengenai JKN tidak cukup memadai. Kesan umum yang kami dapatkan
adalah keempat media online yang kami teliti lebih mengedepankan kecepatan ketimbang kedalaman.
Berpegangan pada kecenderungan selama ini, kecepatan dan kedalaman sebuah berita di media online
seperti berkorelasi negatif. Padahal, jika mengacu pada tren perkembangan konsumsi berita, dua hal
tersebut mestinya bisa didamaikan.
Tren pembaca online seiring gegap-gempita media sosial juga menunjukkan kenaikan signifikan.
Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet Indonesia
tahun 2013 sebesar 71,19 juta, meningkat 13 % dari tahun 2012. Persentase penetrasi internet
Indonesia sekitar 28% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 248 juta orang.4
Tren ini diprediksi akan meningkat. Dengan kecenderungan kenaikan pengguna internet tersebut,
media online sudah semestinya memberikan perhatian pada kedalaman informasi sebuah berita.
Perbedaan karakter dengan media cetak—terutama pada aspek kedalaman—pelan-pelan juga
memudar dan menjadi tak relevan.
Sebabnya, media online justru memiliki ruang yang lebih lapang untuk menayangkan liputan-liputan
mendalam. Ruang artikel panjang bagi media online lebih bisa diterapkan ketimbang media cetak di
mana tiap halamannya dijadikan etalase iklan. Keputusan redaksi media cetak memuat berita panjang,
misalnya, mesti berkompromi lebih dulu setidak-tidaknya dengan tekanan-tekanan dari manajemen
bisnis. Semestinya media online lebih memiliki kebebasan.
Terakhir, selayaknya penelitian analisis isi berita, riset ini mendasarkan analisis pada apa yang
muncul dari teks-teks berita. Ia misalnya, tidak sampai menjawab pertanyaan mengenai politik
keredaksian terkait isu Jaminan Kesehatan Nasional. Hal tersebut menjadi masukan berharga bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.[]
4 “Press Release: Profil Terkini Internet Industri Indonesia” dalam apjii.or.id 15 Januari 2014 (diakses 19 April
2014).
Referensi
Abrar, Ana Nadhya. 2005. Penulisan Berita.Yogyakarta:Universitas Atma Jaya.
Creswell, J. W. 2003. Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches
(edisi kedua). Thousand Oaks : Sage.
Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2012. Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-
2019.
Neuendorf, Kimberly E. 2002. The Content Analysis Guide Book. Thousand Oaks : Sage.
Steenbergen et al. 2003. Measuring political deliberation: A discourse quality index dalam
Comparative European Politics 1 halaman 21-48.
Riqab, Saiz. 2008. Agenda Setting Role of Mass Media terarsip di
http://www.aiou.edu.pk/gmj/artical4(b).asp (diakses 7 April 2014).