i
KLASIFIKASI EMOSI TOKOH JATI DALAM NOVEL JANGAN MIRINGKAN
SAJADAHMU KARYA MUHAMMAD B. ANGGORO DITINJAU DARI
PSIKOANALISIS SASTRA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN
PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan
Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Oleh
NUNUNG HANDAYANI
E1C111079
UNIVERSITAS MATARAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PRODI S1 BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH
2015
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Manusia hanya bisa berencana, terkadang apa yang direncanakan tidak sesuai dengan hasil yang direncanakan dan sesungguhnya dibalik semua itu Allah telah merencanakan
sesuatu yang indah.
PERSEMBAHAN
Dengan bangga dan penuh bahagia, skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Kedua orang tuaku yang tercinta (Sahdan dan Hermunnah) yang telah
mencurahkan segenap tenaga, cinta, dan kasih sayangnya untuk
kebahagiaanku. Mereka yang tak pernah bosan menasehatiku dan tak pernah
lelah memberiku semangat dan spirit yang bersifat membangun. Terima
kasih Pejuangku, jasamu tidak akan pernah terbalas meskipun dengan
tebusan nyawa sekalipun.
2. Adikku tercinta (Muhammad Novandi), semoga kamu menjadi orang yang
sukses dan dapat membanggakan kedua orang tua
3. Naq Mahnim dan Kakak-kakakku tersayang (Hartawan, Samsul, Dirman,
Her, Yam, Rini, Indah, Roy, Rubaiyah) yang selalu memberikan motivasi
dan dorongan untuk tidak menyerah dalam penulisan skripsi ini.
4. Sahabat-sahabat yang sudah seperti keluarga (Fatma, Sherly Novita,
Qoniatun Afiyati, Dian Tamara, Nunung Hasanah, Lia, Gatot, Baiq Sri
Wahyu, Lifa, Dijah, Ajiz, Ria, Qori, Ewiq)
5. Teman-teman PPL serta KKN yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
terima kasih atas canda tawa dan kebersamaan kalian selama ini.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah, Zat yang hati dan jiwa manusia berada di
tangan-Nya. Berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penyusunan skripsi yang
berjudul “Klasifikasi Emosi Tokoh Jati Dalam Novel Jangan Miringkan
Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro Ditinjau Dari Psikoanalisis Sastra Serta
Hubungannya Dengan Pembelajaran Sastra Di SMA” ini dapat terselesaikan.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada nabi tercinta Muhammad
SAW, keluarga, para sahabat beserta umatnya hingga hari pembalasan.
Penulisan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan program sarjana (S1) Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra
Indonesia dan Daerah, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Mataram. Penulisan skripsi ini tidak mungkin terwujud
tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati, ucapan terimakasih dan rasa hormat disampaikan kepada Yth:
1. Dr. H. Wildan, M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram;
2. Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram;
3. Drs. I Nyoman Sudika, M.Hum., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa
Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram;
vi
4. Drs. Mochammad Asyhar, M.Pd., Koordinator Pengelola Reg. Sore
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram;
5. Drs. H. Sapiin, M.Si., dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan
arahan, serta bimbingan dalam menyusun skripsi ini.
6. Baiq Wahidah, M.Pd., dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan
arahan, serta bimbingan dalam menyusun skripsi ini.
7. Drs. Mar`i, M.Si., dosen penetral yang banyak memberikan arahan, serta
bimbingan dalam penyempurnaan skripsi ini.
8. Semua dosen Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah yang tidak
dapat disebutkan namanya satu per satu, dan
9. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam
penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya dengan segala keterbatasan,tentunya penulisan skripsi ini masih
belum sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca pada umumnya.
Mataram, Agustus 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 8
2.1 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 8
2.2 Landasan Teori ..................................................................................... 10
2.2.1 Psikologi Sastra ........................................................................... 10
2.2.2 Klasifikasi Emosi ........................................................................ 14
2.2.3 Tokoh dan Penokohan ................................................................. 20
2.2.3.1 Tokoh .............................................................................. 20
2.2.3.2 Penokohan ....................................................................... 23
2.2.4 Novel ........................................................................................... 24
2.2.5 Pembelajaran Sastra di SMA ....................................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 30
3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 30
3.2 Data dan Sumber Data .......................................................................... 30
3.2.1 Data ............................................................................................. 30
3.2.2 Sumber Data ................................................................................ 31
3.3 Metode Pengumpulan Data .................................................................. 31
3.4 Instrumen Pengumpulan Data .............................................................. 32
3.5 Analisis Data ........................................................................................ 34
3.6 Metode Penyajian Data ........................................................................ 35
viii
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................... 32
4.1 Emosi Tokoh Jati : Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud .................... 37
4.2 Hubungan Hasil Analisis Dengan Pembelajaran Sastra Di SMA ....... 65
BAB V Simpulan dan Saran ......................................................................... 68
5.1 Simpulan .............................................................................................. 68
5.2 Saran .................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
Abstrak
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah klasifikasi emosi
tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B.
Anggoro ditinjau dari psikoanalisis sastra dan bagaimanakah hubungan hasil
analisis klasifikasi emosi tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu
karya Muhammad B. Anggoro dengan pembelajaran sastra di SMA. Tujuan
penelitian ini adalah mendeskripsikan klasifikasi emosi tokoh Jati dalam novel
Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro berdasarkan teori
psikoanalisis sastra dan mendeskripsikan hubungan hasil analisis klasifikasi emosi
tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu dengan pembelajaran sastra
di SMA. Penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah
novel yang berjudul Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B.
Anggoro. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka,
observasi dan catat dengan Teknik analisis data deskriptif kualitatif yang
menggunakan pendekatan psikologi sastra.
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan terhadap emosi tokoh Jati
dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro, dapat
disimpulkan bahwa emosi tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu
karya Muhammad B. Anggoro terjadi karena permasalahan kehidupan rumah
tangganya yang hancur dengan dilontarkannya talak tiga pada Nastiti, istrinya.
Setelah perceraian itu terjadi Jati mengalami penyesalan yang mendalam sehingga
dia harus melihat mantan istrinya menikah dengan lelaki lain. Berbagai emosi
yang Jati rasakan, seperti konsep rasa bersalah, rasa bersalah yang dipendam,
menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian, dan cinta. Selain itu,
hasil analisis penelitian ini berkaitan juga dengan materi pembelajaran sastra di
SMA khususnya kelas XI semester I pada Standar Kompetensi (SK) : membaca 2.
Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dan Kompetensi
Dasar (KD) : menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia/terjemaahan.
Kata kunci: Klasifikasi Emosi, Tokoh, Novel, dan Psikologi Sastra
x
Abstract
The problems of this reserch is in the way to classity the emotion used by
character Jati in the novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” written by Muhammad
B. Anggoro and evaluated by Muhammad B. Anggoro in literature learning in
SMA. The goal of this research is to describe the emotion classification used by
character Jati in the novel Jangan Miringkan Sajadahmu writen by Muhammad B.
Anggoro according to the literature psychoanalysis theory and describe the
relation in the results of the research in emotion classification used by character
Jati in the novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” in literature learning in SMA.
This research is qualitative. The source of this research is the novel entitled
“Jangan Miringkan Sajadahmu” writen by Muhammad B. Anggoro. The data
collection method used in this research is book analysis, observation, and noted in
descriftive qualitative date analysis technique that used literature psichology
approach. Basud on the analysis results, it can be concluded that character Jati in
novel “Jangan Miringkan Sajadahmu” written by Muhammad B. Anggoro have
guilty, embrassed, sad, hate, and love feeling. Moreover, the results of this
research also relared to the learning materials in literature learning is SMA,
especially at class XI semester I in standard competence 1) reading, understanding
some types of tales, Indonesian/translated novel and basic competenie: analyzing
in intrinsic and extristic unsure in Indonesian/translated novel.
Keywords: emotion classification, character, novel. Literature psychology.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra umumnya berisi tentang permasalahan dalam kehidupan
manusia, yang merupakan hasil dari pengamatan sastrawan terhadap
kehidupan. Permasalahan itu dapat berupa pengalaman dari dalam atau di luar
kehidupan pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, karya sastra merupakan
hasil dari rekaan sastrawan terhadap kehidupan nyata dan dunia imajinasinya
yang bertujuan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh pembaca.
Karya sastra lahir dengan berisikan ide dan gagasan dari pengarang
yang dikemas dengan bahasa yang menarik bagi pembaca, sehingga cerita
tersebut seperti nyata atau menjadi hidup. Dalam karya sastra banyak
menampilkan berbagai macam cerita yang dihadapi dalam setiap tokohnya.
Tidak jarang karya sastra juga sarat akan nasihat-nasihat yang dapat dipetik
untuk menjalani hidup ini. Karena karya sastra mengandung ajaran tentang
nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, pembaca dapat mengambil pelajaran
hidup dalam karya sastra.
Selain itu, karya sastra juga bisa diaplikasikan kepada siswa dalam
pembelajaran sastra di sekolah, karena cerita dalam karya sastra tidak hanya
sekedar tulisan biasa. Akan tetapi, kandungan cerita dalam karya sastra
memiliki fungsi indah, bermakna dan berguna. Cerita dalam karya sastra tidak
hanya bersifat seni, tetapi bisa mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga
cerminan nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam karya sastra inilah yang bisa
dijadikan sebagai alat pembelajaran kepada peserta didik, khususnya pada
2
jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam kurikulum. Siswa mampu memperoleh dan memahami cerita
kemanusiaan, sehingga terbentuknya pribadi yang berbudi pekerti luhur.
Dengan demikian, pembelajaran sastra di sekolah banyak memberikan
keuntungan pada diri siswa. Melalui sastra, siswa dapat mengetahui berbagai
macam aspek kepribadian yang dapat diterapkan dan dijadikan contoh dalam
kehidupan sehari-hari jika bersifat positif dan dapat menjadi tolak ukur untuk
berfikir jika itu negatif. Selain itu juga melatih kepekaan siswa terhadap segala
hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya, karena dalam sastra memuat cerita
segala kehidupan yang mengandung pelajaran baik buruk.
Novel misalnya, sebagai salah satu bentuk karya sastra yang
mengisahkakan problema kehidupan seseorang atau tokoh. Setiap tokoh
diceritakan dengan berbagai macam karakter yang disusun dengan isi cerita
yang sangat kompleks dan diberikan gambaran fisik dan kejiwaan yang
berbeda-beda dalam setiap perannya. Pengarang menggambarkan perwatakan
tokoh dengan dua macam, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh
protagonis dalam cerita dikenal sebagai tokoh yang baik sedangkan tokoh
antagonis dikenal sebagai tokoh yang jahat. Karena memiliki perwatakan yang
berbeda dalam perannya, maka tidak jarang akan menimbulkan konflik dalam
kehidupan tokoh. Konflik terjadi karena adanya permasalahan yang dialami
tokoh, seperti adanya kegagalan diri, adanya ketimbangan, dan adanya
larangan-larangan sosial. Konflik yang terjadi akan mempengaruhi tokoh
seperti pikiran, perasaan, dan tingkah laku tokoh yang beradaptasi dalam
3
kehidupan. Melalui kehidupan tokoh ini, pengarang menggambarkan dengan
detail setiap kejadian yang ada, dengan tujuan mengarahkan pembaca kepada
gambaran-gambaran realita kehidupan.
Novel Jangan Miringkan Sajadahmu dipilih sebagai objek penelitian
karena memiliki kelebihan dalam ceritanya yang menarik, menantang, dan
mampu memberikan pelajaran hidup. Novel ini menggambarkan kehidupan di
lingkungan masyarakat dan masalah-masalah yang terjadi dalam rumah
tangga. Selain itu, novel ini sangat memotivasi pembaca untuk selalu
mempertimbangkan putusan dalam kehidupan sehari-hari agar betul-betul
menanamkan sifat kesabaran, karena cerita dalam novel inimenceritakan
tentang penyesalan sebuah rumah tangga yang tidak dapat mengontrol emosi
antara suami-istri dalam mempertahankan kesabaran sehingga berujung
perceraian (talak). Perceraian itu disebabkan karena sifat kekanak-kanakan
ayah dari Jati. Setelah resmi bercerai Jati ingin menikah lagi dengan mantan
istrinya, namun dalam ajaran agama seorang istri harus menikah dengan lelaki
lain, setelah itu baru bisa menikah lagi dengan mantan suaminya. Jati tidak
rela melihat mantan istrinya menikah dengan orang lain, karena dia masih
mencintainya. Berbagai emosi yang Jati rasakan, seperti konsep rasa bersalah,
rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan,
kebencian dan cinta.
Masalah yang menarik untuk dikaji dalam novel ini yaitu perjalanan
kisah hidup Jati yang sebatang kara setelah bercerai dari istrinya dan ditinggal
mati oleh orang tuanya. Berbagai masalah yang muncul dan harus dihadapi
4
Jati karena penyesalannya telah menceraikan istrinya, seperti merelakan
istrinya menikah dengan laki-laki lain demi melakukan syariah, namun setelah
mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dia tidak mau bercerai dengan
suaminya karena dia sedang hamil. Hal tersebut yang membuat Jati merasakan
kesedihan yang berkepanjangan hingga akhirnya dia tidak mengurus dirinya
sendiri dan menghukum dirinya dengan berdiam diri di rumah.
Permasalahan-permasalahan yang berkaiatan dengan kehidupan suami-
istri yang terdapat dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu sangat kental
dengan emosi yang mewarnai perilaku tokoh Jati. Dalam hal ini, tokoh Jati
mengungkapkan emosinya yang terungkap dalam dialog dan tuturan
pengarang. Emosi-emosi yang diungkapkan dalam dialog dan tuturan
pengarang tersebut, berupa marah, benci, cinta, kerinduan, penyesalan,
kesedihan, duka cita, dan cemburu. Bentuk-bentuk tingkah laku tersebut
menurut teori Sigmund Freud dinamakan klasifikasi emosional, seperti
pengertian pada KBBI, emosi adalah luapan perasaan yang berkembang dan
surut dalam waktu singkat serta keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis
(seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yg bersifat
subjektif)
Sehubungan dengan itu, tokoh Jati merupakan hal yang menarik untuk
dikaji secara mendalam. Gambaran emosi tokoh Jati dalam novel ini sangat
bervarisi, sehingga untuk menganalisis emosi tokoh Jati peneliti akan
menggunakan pendekatan psikologi sastra, dengan memanfaatkan teori
klasifikasi emosi Sigmund Freud. Teori ini akan mempermudah peneliti dalam
5
mengkaji klasifikasi emosi tokoh Jatipada novel Jangan Miringkan
Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro, kemudian hasil kajian
dihubungkan dengan pembelajaran sastra di SMA.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diajukan
dalampenelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah klasifikasi emosi tokoh Jati dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro berdasarkan teori
psikoanalisis sastra?
2. Bagaimanakah hubungan hasil analisis klasifikasi emosi tokoh Jati dalam
novel Jangan Miringkan Sajadahmu Karya Muhammad B. Anggoro
dengan pembelajaran sastra di SMA?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan klasifikasi emosi tokoh Jati dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro berdasarkan teori
Psikoanalisis Sastra?
2. Mendeskripsikan hubungan hasil analisis klasifikasi emosi tokoh Jati
dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu dengan pembelajaran sastra di
SMA.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini sebagai berikut.
a. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi bagi para
pembaca khususnya peneliti untuk lebih meningkatkan apresiasinya
terhadap karya sastra yang lahir terutama kajian mengenai teori
psikoanalisis sastra.
2. Guru dan siswa memahami psikologi tokoh dalam novel pada
umumnya dan khususnya novel Jangan Miringkan SajadahmuKarya
Muhammad B. Anggoro.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti
Penilitian ini diharapkan bisa menjadi bahan acuan untuk
penelitian berikutnya.
2. Bagi guru
Novel Jangan Miringkan Sajadahmu dapat dijadikan sebagai
bahan ajar karena banyak mengandung nilai pendidikan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai klasifikasi emosi sebelumnya pernah dilakukan
oleh Diny Maulina (2012) dengan judul “Emosi Sekar dalam novel Sunset
Bersama Rosie karya Tere Liye”. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diny
Maulina yaitu terdapat 6 jenis emosi dalam diri sekar yaitu konsep rasa
bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, kesedihan,
kebencian dan cinta. Jenis emosi yang paling dominan dalam diri Sekar
adalah rasa cinta. Rasa cinta yang dimaksud adalah cinta kepada Tegar dan
cinta tersebut dapat dikatakan sebagai cinta sejati. Jenis emosi selanjutnya
yang dominan adalah kesedihan. Sekar mengalami kesedihan yang teramat
sangat disebabkan oleh batalnya pertunangan dengan Tegar hingga dua kali,
yang pada akhirnya Sekar benar-benar batal menikah dengan Tegar. Jenis
emosi selanjutnya yang dominan adalah kebencian dan rasa bersalah. Hal
tersebut menggambarkan bahwa di dalam diri Sekar terjadi pertarungan
antara kebencian dan rasa bersalah yang saling tarik-menarik.
Penelitian yang berkaitan dengan pendekatan psikologi yang lainnya
adalah penelitian yang dilakukan oleh Ety Fitriah (2005). Penelitian yang
dilakukan oleh Ety Fitriah menggunakan psikologi Sigmund Freud dalam
novel “Pulang” karya N. Marewo. Penelitian yang dilakukan oleh Ety Fitriah
yaitu mendeskripsikan tokoh Sandi yang berkaitan dengan struktur
kepribadian. Di dalam diri Sandi terdapat dua insting yaitu insting hidup dan
insting mati. Insting hidup terdiri atas insting kasih sayang, penghargaan dan
8
kebebasan. Insting mati merupakan keinginan untuk meraih kembali segala
apa yang pernah ia lakukan seperti menghasilkan karya-karyanya berupa
tulisan-tulisan untuk dipublikasikan. Kaitannya dengan dinamika kepribadian
adalah adanya pengaktualisasian insting-insting tersebut di atas tetapi tetap
dalam pengawasan dari pertimbangan dari ego maupun superego. Dalam
kaitannya dengan perkembangan kepribadian untuk mendapatkan ketenangan
batin, Sandi melakukan beberapa usaha, yaitu identifikasi, transkulfasi, dan
pemindahan objek. Kehidupan Sandi dengan kehidupan yang lain serba
kecukupan tak mampu memuaskan dahaganya, ia selalu dilanda rasa cemas
dan tidak tenang dengan apa yang ia dapatkan selama ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Diny Maulina dan
Ety Fitriah terlihat adanya persamaan dengan penelitian kali ini, yaitu sama-
sama mengkaji tokoh dengan bidang kajiannya novel dan menggunakan teori
psikologi sastra Sigmund Freud. Tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Ety
Fitriah lebih memfokuskan pengkajiannya dengan menganalisis struktur
kepribadian tokoh Sandi, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Diny dan
peneliti kali ini, sama-sama menganalisis klasifikasi emosi tokoh utama,
namun dengan objek kajian yang berbeda.
Penelitian yang berkaitan dengan psikologi juga dilakukan oleh Linda
Astuti (2010) dengan judul “Kajian Psikologis Tokoh Annisa dalam Novel
Perempuan Berkalug Sorban karya Abidah El Khalieqy”. Dalam penelitian
ini Linda menggunakan teori kebutuhan bertingkat Abraham Maslow, dimana
dalam penelitian tersebut, kebutuhan fisiologis tokoh Annisa berupa makan,
9
minum, beristirahat berhubungan seks telah terpenuhi dengan baik.
Kebutuhan rasa aman pada tokoh Annisa mencakup keinginan mencari
perlindungan, menginginkan jaminan dan stabilitas uang sekolah, dan ingin
bercerai dengan Syamsudin. Semuanya terpenuhi dengan baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Linda Astuti terlihat adanya persamaan
dengan penelitian kali ini, yaitu sama-sama mengkaji tokoh utama dalam
novel, dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra, walaupun ada
perbedaan teori yang digunakan yaitu Linda Astuti menggunakan teori
psikologi sastra Abraham Maslow, sedangkan penelitian kali ini menggunakan
teori psikologi sastra Sigmund Freud. Selain itu penelitian ini menghubungkan
dengan pembelajaran sastra di SMA, sedangkan Linda Astuti tidak
menghubungkan dengan pembelajaran sastra di SMA.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Psikologi Sastra
Asumsi dasar psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh
pemahaman bahwa: pertama, karya sastra merupakan produk kejiwaan.
Imajinasi pengarang muncul akibat interpretasi pemikiran pengarang pada
situasi setengah sadar kemudian dituangkan ke dalam bentuk sadar. Kedua,
psikologi sastra menganalisis perwatakan tokoh. Seberapa jauh pengarang
menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya sastra menjadi semakin
hidup. Penggambaran tersebut dapat terlihat melalui dialog atau diksi tokoh di
dalam karya sastra.
10
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai
aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2011:96). Pada dasarnya, psikologi sastra
akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual,
yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan
reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai
penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya,
serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga,
pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika
melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis
sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan dalam Endraswara,
2011:97-98).
Dalam pandangan Wellek dan Warren dan Hardjana (Endraswara,
2011:98-99), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian.
Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai
pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha
menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya
sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan.
Studi ini berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana
langkah-langkah psikologi ketika mengekspresikan karya sastra menjadi
fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra. dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi,
misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra. asumsi dari kajian ini
bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam
11
penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat teks sastra sebagai
wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada
pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek pragmatik psikologis
teks sastra terhadap pembacanya.
Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat
mempengaruhi jiwa pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya
tersebut (Endraswara, 2011:103). Selanjutnya Endraswara menjelaskan
bahwa penelitian psikologi terbagi menjadi dua sasaran, penelitian psikologi
tokoh dan proses kreativitas pengarang. Bila meneliti psikologi tokoh,
langkah-langkahnya yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra terletak
pada aspek intrinsik dan ekstrinsik, tetapi yang ditekankan adalah unsur
intrinsik. Kedua, selain tokoh dan watak, juga diperlukan analisis tema
karya. Analisis tokoh difokuskan pada nalar perilaku tokoh. Yang diteliti
tidak harus tokoh utama, dapat pula tokoh pendamping, selama peneliti bisa
menjelaskan mengapa tokoh tersebut yang dianalisis. Ketiga, konflik
perwatakan tokoh yang dikaitkan dengan alur cerita. Misalnya saja ada
tokoh yang phobi, halusinasi, gila, dan sebagainya harus dihubungkan
dengan jalan cerita secara struktural. Hal tersebut menghindari para peneliti
terjenak hanya pada penggunaan teori psikologi. Jika penelitian hanya pada
aspek teori-teori psikologi, berarti masuk ke ranah penelitian psikologi,
bukan penelitian psikologi sastra.
Jika sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat
melakukan langkah-langkah: pertama, aspek ekstrinsik, meliputi cita-cita,
12
keinginan, obsesi, harapan, dan tuntutan personal. Perlu adanya riwayat
hidup pengarang untuk mengetahui pengalaman pribadi yang diekspresikan
dalam karyanya. Kedua, latar belakang penciptaan karya sastra perlu digali,
dengan begitu, peneliti dapat mengetahui alasan seorang pengarang
menuliskan karyanya tersebut. Apakah pengarang hanya sekedar
menumpahkan perasaannya, atau kah ada tujuan lain. Ketiga, peneliti perlu
mengaitkan dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. Apakah
pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh atau tidak.
Berdasarkan dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian,
tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian
tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai membahas isi dan makna
perwatakan dalam kaitannya dengan struktus alur secara keseluruhan.
Sedangkan sasaran penelitian kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi
dokumen, misalnya biografi pengarang dan atau wawancara kepada
pengarang (jika masih hidup) (Endraswara, 2011:105).
Dalam kajian psikologi sastra tak terlepas dari wilayah psikoanalisa.
Awalnya psikoanalisa diperkenalkan oleh Sigmund Freud. Tiga unsur
kejiwaan yang dianalisis di dalam psikoanalisa yaitu id,
ego, dan superego. Ketiga unsur itu layaknya rantai yang saling terhubung
dan saling memerlukan satu sama lainnya. Id (das es) merupakan
kepribadian dasar manusia, kepribadian dalam bawah sadar manusia yang
berisi insting dan nafsu-nafsu yang tak kenal nilai. Ego merupakan
kepribadian yang mengarahkan setiap individu pada dunia luar, dunia
13
kenyataan. Superego merupakan sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai
dan bersifat evaluatif (berkaitan dengan baik-buruk).
Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana
menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa
absolute, harus dihormati, manja, sewenang-wenang dan mementingkan diri
sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana
menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala
pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan
masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh
pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id
yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak
(Freud dalam Minderop, 2010:21). Berdasarkan ketiga unsur kepribadian
manusia yang dikemukakan oleh Sigmund Freud (Id, Ego, Superego) seperti
di atas, yang berhubungan erat degan psikologis individu adalah unsur
kepribadaian Id itu sendiri karena disitulah banyak melibatkan emosi
seseorang. Misalnya, Jika unsur kepribadian Id ini tidak terlaksana itu akan
berdampak pada psikologis seseorang, seperti kecewa, benci, marah, dan
sedih.
2.2.2 Klasifikasi Emosi
Klasifikasi emosi menurut Sigmund Freud terbagi atas:
kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan selalu dianggap sebagai
emosi yang paling mendasar (primary emotion). Situasi yang
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan
14
yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan. Selain itu,
kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan
marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah
timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi
sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak
suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak
bermaksud untuk menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci selalu
melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas
sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas
Krech, (dalam Minderop, 2010:39). Perasaan bersalah dan menyesal juga
termasuk ke dalam klasifikasi emosi. Berikut klasifikasi emosi Sigmund
Freud yang dikemukan oleh Albertine Minderop:
1. Konsep Rasa Bersalah
Rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi
impuls dan standar moral (implus expression versus moral standards).
Semua kelompok masyarakat secara cultural memiliki peraturan untuk
mengendalikan implus yang diawali dengan pendidikan semenjak masa
kanak-kanak hingga dewasa, termasuk pengendalian nafsu seks. Seks dan
agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang
dihadapkan pada standar moral. Pelanggaran terhadap standar moral inilah
yang menimbulkan rasa bersalah (Hilgard dalam Minderop, 2010:40).
15
Perasaan bersalah kerap kali ringan dan cepat berlalu, tetapi dapat
pula bertahan lama. Derajat yang lebih rendah dari perasaan bersalah
terkadang dapat dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan ia
merasa benar. Upaya ini dilakukan karena adanya kekuatan positif untuk
memperoleh kesenangan.
Terdapat perbedaan yang tajam dalam diri seseorang dalam
menangkap situasi yang menjurus pada rasa bersalah. Ada orang yang sadar
apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh memahami bahwa ia telah
melanggar suatu keharusan, ada pula orang yang merasa bersalah, tetapi ia
tidak tahu penyebabnya serta ia tidak tahu bagaimana menghilangkannya.
2. Rasa Bersalah Yang Dipendam
Dalam kasus rasa bersalah, seorang cenderung merasa bersalah
dengan cara memendam dalam dirinya sendiri, memang ia biasanya
bersikap baik, tetapi ia seorang yang buruk (dalam Minderop, 2010:42).
Setiap orang pasti pernah mengalami perasaan bersalah yang dipendam. Ada
berbagai macam faktor penyebab seseorang mengalami perasaan bersalah
dalam hidupnya. Rasa bersalah yang dipendam adalah perasaan muncul dan
berhubungan dengan tingkah laku atau pengambilan keputusan moral yang
merupakan tanggung jawab pribadi dan dinilai salah oleh hati nurani akibat
tidak memenuhi nilai moral atau nilai keagamaan yang dianutnya, hingga
menimbulkan perasaan bersalah dalam dirinya yang dirasakan oleh dirinya
sendiri (dalam Gaib, 2007:19)
16
Berdasarkan teori diatas rasa bersalah yang dipendam merupakan
perasaan bersalah yang ada dalam diri seseorang tanpa di ketahui orang lain.
Perasaan bersalah muncul karena adanya rasa penyesalan atas kesalahan
yang tidak dapat diselesaikan sehingga seseorang mencoba untuk
melupakan kesalahannya sendiri.
3. Menghukum Diri Sendiri
Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah sebagaimana
terdapat dalam sikap menghukum diri sendiri si individu terlihat sebagai
sumber dari sikap bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi
terhadap berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian yang terkait
dengan kepribadian, penyakit mental dan psikoterapi (dalam Minderop,
2010:42). Perasaan bersalah yang semakin dipendam tidak jarang juga
menimbulkan sikap menghukum diri sendiri dalam diri seseorang. Biasanya
seseorang tersebut menganggap dengan menghukum dirinya sendiri seperti
menyalahkan dirinya atau terpuruk dalam kesalahannya membuat dia
merasa lebih baik.
4. Rasa Malu
Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu
tanpa terkait dengan rasa bersalah. Seseorang mungkin merasa malu ketika
salah menggunakan garpu ketika hadir dalam pesta makan malam yang
terhormat, tapi ia tidak merasa bersalah. Ia merasa malu karena merasa
bodoh dan kurang bergengsi dihadapan orang lain. Orang itu tidak merasa
bersalah karena ia tidak melanggar nilai-nilai moralitas. Perasaan ini tidak
17
terdapat pada anak kecil (dalam Minderop, 2010:43). Perasaan malu bisa
dikatakakan sebagai sifat negatif yang timbul karena kesadaran diri atau
perasaan rendah diri, terhadap kekurangan yang ada pada diri sendiri ketika
berhadapan dengan orang lain.
5. Kesedihan
Kesedihan atau duka cita berhubungan dengan kehilangan sesuatu
yang penting dan bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai.
Biasanya kesedihan yang teramat sangat atau berlarut-larut bila kehilangan
orang yang dicintai. Kesedihan yang medalam bisa juga karena kehilangan
milik yang sangat berharga yang mengakibatkan kekecewaan atau
penyesalan. Parkes (dalam Minderop, 2010:44) menemukan bukti bahwa
kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus
asa yang menjurus pada kecemasan, akibatnya bisa menimbulkan
insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel, dan
menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.
Seperti yang dijelaskan di atas, intensitas kesedihan tergantung yang
dialami si individu. Kesedihan yang sifatnya lama atau berlarut-larut ketika si
individu kehilangan orang yang disayang seperti orang tuanya meninggal,
akibatnya si individu merasakan kesedihan yang berkepanjangan. Kesedihan
yang bersifat sementara ketika si individu kehilangan uang seratus ribu dan
kesedihan ini hanya bersifat sementara karena uang yang seratus ribu bisa
didapatkan lagi.
18
6. Kebencian
Kebencian atau persaan benci berhubungan dengan perasaan marah,
cemburu dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah
timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang
menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya
perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar
dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya perasaan benci selalu
melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas
sebelum meghancurkannya, bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas
(Krech dalam Minderop, 2010:44). Perasaan benci bisa disebabkan karena
ketidaksukaan individu terhadap individu lainnya, yang disebabkan karena
kecemburuan dan iri hati. Perasaan benci ini akan muncul kapan saja
apabila keinginan si individu belum terpenuhi.
7. Rasa Cinta
Psikolog merasa perlu mendefinisikan cinta dengan cara memahami
mengapa timbul cinta dan apakah terdapat bentuk cinta yang berbeda.
Gairah cinta dari cinta romantis tergantung pada si individu dan objek cinta
adanya nafsu dan keinginan untuk bersama-sama. Gairah seksual yang kuat
kerap timbul dari perasaan cinta. Menurut kajian cinta romantis, cinta dan
suka pada dasarnya sama. Mengenai cinta seorang anak kepada ibunya
didasari kebutuhan perlindungan, demikian pula cinta ibu kepada anak
adanya keinginan melindungi (Krech dalam Minderop, 2010:45). Dengan
demikian, perasaan cinta bervariasi dalam beberapa bentuk. Seperti rasa
19
cinta kepada orang tua. Cinta seorang anak pada ibunya didasari kebutuhan
perlindungan, demikian pula cinta ibu kepada anak adanya keinginan
melindungi. Sedangkan perasaan cinta kepada pasangan cenderung
menimbulkan gairah seks.
Berdasarkan klasifikasi emosi di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
tujuh emosi yang selalu ada pada tiap masing-masing individu, yaitu rasa
bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu,
kesedihan, kebencian, dan cinta.
2.2.3 Tokoh dan Penokohan
2.2.3.1 Tokoh
Abrams mengemukakan bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada
orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
(Abrams dalam Burhan Nurgiantoro, 2010 : 165).
Selanjutnya, Aminuddin (2009:79). Tokoh adalah pelaku yang
mengemban peistiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa itu mampu
menjalin suatu cerita. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat
dibedakan kedalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana
penamaan itu dilakukan, yaitu:
20
a. Tokoh utama dan tokoh tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam
novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian
(Burhan Nurgiantoro, 2010:177). Karena, tokoh utama paling banyak
diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat
menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Tokoh utama umumnya
merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh
pengarangnya. Sedangkan, tokoh tambahan atau tokoh pembantu adalah
tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena kemunculannya hanya
melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama. Pemunculan tokoh-tokoh
tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, dan kehadirannya hanya
jika ada keterkaitan dengan tokoh utama.
b. Tokoh protagonis dan antagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu
jenisnya secara popular disebut hero. Tokoh protagonis merupakan pelaku
yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca.
Dalam sebuah karya fiksi harus mengandung konflik. Ketegangan
khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis.
Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh anatagonis. Tokoh
antagonis merupakan tokoh yang tidak disenangi pembaca karena memiliki
watak yang tidak sesuai dengan apa yang didambakan oleh pembaca.
21
c. Tokoh sederhana dan tokoh bulat
Berdasarkan perwatakannya tokoh cerita dapat dibedakan kedalam
tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh
bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya
yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu,
satu sifat watak yang tertentu saja. Ia tidak memiliki watak dan tingkah laku
yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku
seseorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton dan hanya
mencerminkan satu watak tertentu (Nurgiantoro, 2010:181). Sedangkan
tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat
saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat
pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan
mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu,
perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.
Dibandingkan tokoh sederhana. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan
manusia yang sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai
kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan,
Abrams (dalam Nurgiantoro, 2010:183)
Berdasarkan uraian di atas, tokoh adalah pelaku yang ada dalam
sebuah cerita yang terbagi menjadi: tokoh utama dan tambahan, tokoh
protagonis dan antagonis, serta tokoh sederhana dan bulat.
22
2.2.3.2 Penokohan
Jones (dalam Burhan Nurgiantoro, 2010 : 165) menyatakan,
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
disampaikan dalam sebuah cerita. Penokohan disebut juga perwatakan,
perwatakan dalam novel adalah pemberian sifat dan sikap para tokoh
seperti yang ditafsirkan oleh pembaca lebih menunjuk pada kualitas
pribadi seorang tokoh. Antara seorang tokoh dan perwatakan yang
dimilikinya (Nurgiantoro, 2010:165).
Perwatakan (character) menurut Abraham (dalam Nurgiantoto,
2010) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau
drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui
bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan
dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini pembacalah sebenarnya yang
memberikan arti semuanya untuk kasus kepribadian seorang tokoh,
pemaknaan itu dilakuka berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku
lain (nonverbal). Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain
lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik
(Nurgiantoro, 2010:166).
Jadi, penokohan merupakan gambaran terhadap tokoh-tokoh
berdasarkan waktu atau karakternya yang dapat diketahui dari
psikologisnya.
23
2.2.4 Pengertian Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis secara naratif,
biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel
berasal dari bahasa Italia novella yang berarti “sebuah kisah, sepotong
berita”. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan
kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitikberatkan
pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut (Mustofa Sadikin, 2010:42 ).
Pengertian novel dalam bahasa Inggris disebut “novel” merupakan
salah satu bentuk karya sastra yang memiliki ciri khas tersendiri
dibandingkan dengan karya sastra lain. Novel juga sebagai prosa fiksi
yang bersifat rekaan namun memiliki kebenaran yang membahas antar
manusia. Novel merupakan salah salah satu karya yang mengisahkan
kehidupan manusia, dicirikan oleh adanya konflik-konflik yang akhirnya
menyebabkan perubahan psikologis para tokohnya. Perubahan tokoh ini
tidak harus selalu diakhiri keberhasilan tetapi terkadang juga diakhiri
dengan kegagalan. (http://andriew/2012/04/novel.html).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa novel
adalah karya imajinasi yang menceritakan tentang hidup seseorang atau
beberapa tokoh yang mengisahkan problematika kehidupan.
2.2.5 Pembelajaran Sastra Di SMA
Arah pembelajaran Bahasa Indonesia, diharapkan siswa terampil
dibidang aspek mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Hal tersebut
merupakan pokok bahasan yang akan dipelajari. Materi pembelajaran
24
sastra di SMA dapat dipilih atau ditetapkan oleh guru. Hal terpenting
adalah arah pembelajaran agar siswa terampil menulis, berbicara,
menyimak, dan bersastra. Oleh karena itu, buku-buku pelajaran dan buku-
buku pendukung sangat menentukan tujuan pembelajaran itu dapat
tercapai.
Batasan pembelajaran sastra dapat dilihat dari kegiatan
pembelajaran di sekolah meliputi: (a) membaca novel Indonesia dan novel
terjemahan, (b) menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik (alur,
tema, penokohan, sudut pandang, latar dan amanat) novel Indonesia dan
novel terjemahan, (c) membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
terjemahan dengan novel Indonesia.
Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan
penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan
khusus, yaitu menggunakan karya sastra untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosioal dan sosial; menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus
budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;
25
dan menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah
budaya dan inelektual manusia Indonesia.
Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu
menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat
diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat
produktif-apresiatif. Konsekuensinya, pengembangan materi
pembelajaran, tehnik, tujuan, dan arah pembelajaran harus menekankan
pada kegiatan apresiatif. Sedangkan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dilihat dari kompetensi dasar yaitu menganalisis unsur-unsur
intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. Pelaksanaan
pembelajaran sastra mempunyai tujuan-tujuan khusus yaitu terbinanya
apresiasi dan kegemaran terhadap sastra yang didasari oleh pengetahuan
dan keterampilan dibidang sastra.
Tujuan dan manfaat di atas dapat tercapai jika diadakan pemilihan
bahan ajar yang sesuai dengan tingkat siswa SMA. Bahan pengajaran yang
disajikan kepada para siswa harus sesuai dengan kemampuan, merupakan
upaya yang membutuhkan waktu yang cukup lama, dari keadaan tidak
tahu menjadi tahu, dari yang sederhana sampai yang rumit atau
memerlukan suatu pertahapan. Sesuai dengan tingkat kemampuan para
siswa dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesukarannya dan
kriteria-kriteria tertentu lainnya. Tanpa adanya kesesuaian antara siswa
dengan bahan yang diajarkan, pelajaran yang disampaikan akan gagal.
26
Bahan ajar sastra yang diterapkan di SMA dapat berupa: naskah
drama, puisi, cerpen, dan novel. Bahan ajar ini sesuai dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tingkat SMA dengan kompetensi dasar
menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik (naskah drama, cerpen,
puisi, dan novel). Unsur-unsur intrinsik dapat berupa: tema, alur,
penokohan, latar, gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik
dapat berupa: psikologi pengarang, biografi dan lain-lain.
Pemilihan bahan ajar merupakan suatu langkah pembelajaran
apresiasi sastra yang harus dilakukan oleh pengajar atau subjek didik.
Kriteria pemilihan bahan ajar untuk mengatasi kesulitan guru sastra dalam
proses pemilihan karya sastra sebagai bahan ajar. Setidaknya memenuhi
kriteria sebagai beikut.
Mengatasi kesulitan guru dalam proses pemilihan karya sastra
sebagai bahan ajar, mengemukakan kriteria sebuah karya sastra yang layak
dijadikan bahan ajar, yaitu : (1) memenuhi standar sastra; (2) membantu
kawula muda lebih mendewasakan diri sendiri dan membangun kontak
langsung dengan masalah-masalah kemanusiaan; (3) mampu
meningkatkan imajinasi siswa; (4) membuat dunia mampu menyampaikan
kebenaran; (5) member siswa kekuatan untuk tumbuh dan berkembang; (6)
membantu memerangi nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan sikap apatis, ilusi, dan menarik diri; (7) meliki dasar yang
humanistik dalam menghormati manusia lain; (8) berkaitan dengan
27
masalah-masalah yang berkadar abadi daripada hal-hal yang bersifat
kesementaraan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, memiliki materi
pembelajaran yang meliputi analisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
serta nilai-nilai dalam sastra, dapat diketahui bahwa kriteria karya sastra
yang dapat dijadikan sebagai bahan ajar adalah karya sastra dengan unsur-
unsur intrinsik dan ekstrinsik yang mudah diteliti atau dianalisis oleh
siswa. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) yaitu memahami
berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dan sesuai dengan
Kompetensi Dasar (KD); Menganalisis unsur-unsur instrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
Berdasarkan kriteria pemilihan bahan ajar apresiasi sastra di atas,
maka karya sastra harus mengandung nilai estetik dan nilai soaial yaitu
karya sastra yang mengandung nilai seni dan kemaanusiaan. Psikologi
yaitu karya sastra yang sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa siswa,
dan pedagogis yaitu karya sastra yang tidak bertentangan dengan dasar dan
tujuan pendidikan nasional.
Penelitian ini akan menganalisis emosi tokoh Jati yang ada dalam
novel Jangan Miringkan Sajadahmu dan disesuaikan dengan bahan ajar
sastra di SMA, sehingga bahan kriteria pemilihan bahan ajar akan ditinjau
dari segi kepribadian (penokohan). Mengingat pada kriteria pemilihan
bahan ajar dari segi kepribadian (perilaku tokoh) mencakup banyak hal
28
atau mengandung banyak nilai kepribadian yang dapat bermanfaat untuk
siswa.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk kualitatif, Moleong (2013:6). Penelitian
kualitatif yaitu penelitian yang tidak menggunakan perhitungan dalam bentuk
angka-angka. Jenis penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis/lisan dari orang-orang
atau perilaku yang diamati. Kaitannya dengan penelitian ini adalah untuk
menghasilkan data deskriptif berupa emosi dari tokoh Jati, data deskriptif ini
bisa berupa ucapan/dialog-dialog, perbuatan/tingkah laku, komentar tokoh
lain yang ada di dalam cerita yang berhubungan dengan perilaku tokoh utama
pada novel Jangan Miringkan Sajadahmu.
3.2. Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai bahan
analisis. Oleh karena itu, kualitas dan ketepatan pengambilan data tergantung
pada ketajaman menyeleksi yang dipandu oleh penguasaan konsep atau teori.
Data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan kalimat yang berupa dialog,
serta kata-kata dan kalimat yang berupa narasi yang merupakan klasifikasi
emosi tokoh utama dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya
Muhammad B. Anggoro. Dalam penokohan pada novel ini, pembaca dapat
menelusurinya lewat tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya,
gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
30
kehidupannya maupun caranya berpakaian, menunjukan bagaimana
prilakunya, melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri,
memahami bagaimana jalan pikirannya, melihat bagaimana tokoh lain
berbicara tentangnya (Aminuddin, 2009: 80)
3.2.2 Sumber Data
Sumber data adalah dari mana data itu diperoleh. Dalam penelitian
sastra, sumber data berupa teks novel, cerita pendek, drama, dan lain-lain
(Siswantoro, 2005:63). Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa
novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro, yang
diterbitkan oleh Diva Press pada tahun 2008 dengan jumlah halaman 418.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam hal ini metode pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut :
a. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan dilakukan dengan cara membaca buku-buku
penunjang seperti buku yang berkaitan dengan psikologi sastra dan
penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan klasifikasi emosi.
Selain untuk memperkaya teori, metode kepustakaan juga bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana masalah tersebut pernah diteliti sebelumnya,
bagian mana yang belum diverifikasi, aspek mana yang perlu diperdalam,
dan aspek mana yang perlu ditekankan karena belum diteliti sebelumnya.
Melalui kegiatan kepustakaan ini dapat pula membantu dalam
pengembangan teori penelitan dan bahkan dapat pula melakukan
perumusan masalah, atau penyempurnaan perumusan masalah yang sudah
31
dibuat sebelumnya (Semi, 1993 : 14). Metode ini diterapkan untuk
mempelajari sumber-sumber tulisan yang berkaitan dengan permasalahan
yang akan dikaji. Sumber-sumber tertulis yang dimaksud diantaranya
yaitu, novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro.
b. Metode observasi
Metode observasi yaitu merupakan suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap
kegiatan yang sedang berlangsung (dalam Syaodih, 2005:220). Metode
observasi ini dilakukan dengan cara membaca secara mendalam dan teliti
mengenai klasifikasi emosi pada tokoh utama (Jati) dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro.
c. Metode catat
Metode catat merupakan catatan hasil- hasil yang telah di observasi
(Mahsun, 2007 : 131). Berdasarkan pengertian tersebut hasil dari metode
ini berupa catatan data yang diperoleh dari hasil observasi dalam novel
Jangan Miringkan Sajadahmu, antara lain konsep rasa bersalah, rasa
bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan,
kebencian, dan cinta
3.4 Instrumen Pengumpulan Data
Instrument pengumpulan data adalah alat bantu yang digunakan
oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan
tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Arikunto, 2006).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah kartu data.
32
Peneliti menggunakan kartu data agar mudah mengklasifikasikan data
yang di dalamnya mengandung permasalahan yang akan dikaji yaitu
berupa emosi tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu.
Berikut contoh bentuk kartu data tersebut:
Judul :
No. Data :
Halaman :
Data/Kutipan :
Keterangan :
Judul : Sesuai dengan jenis Klasifikasi Emosi menurut Sigmund
Freud yang terbagi menjadi 7 yaitu rasa bersalah, rasa
bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa
malu, kesedihan, kebencian, dan cinta.
No Data :Nomor urut kutipan yang diambil dari Novel Jangan
MiringkanSajadahmu karya Muhammad B. Anggoro.
Halaman :Nomor dari halaman ke berapa data/kutipan itu diambil.
Data/Kutipan :Uraian data atau kutipan dari Novel Jangan
MiringkanSajadahmu karya Muhammad B. Anggoro yang
sesuai dengan jenis data yang ditentukan.
33
3.5 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
deskriptif kualitatif yang mengacu pada pendekatan psikologi sastra,
khususnya klasifkasi emosi Sigmund Freud. Dengan pendekatan psikologi
sastra peneliti akan mampu mengetahui secara jelas hal yang berkaitan
dengan masalah psikologi yang dialami oleh tokoh Jati.
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Membaca novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B.
Anggoro untuk memahami struktur novel tersebut secara berulang-ulang
dan cermat, kata demi kata, kalimat demi kalimat.
2. Mengidentifikasi klasifikasi emosi pada tokoh Jati melalui prilaku tokoh
dan kalimat-kalimat yang ada dalam novel tersebut.
3. Mengklasifikasi kutipan-kutipan dalam novel Jangan Miringkan
Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro yang mengandung emosi tokoh
Jati sesuai dengan jenis emosi menurut Sigmund Freud.
4. Menganalisis data emosi pada tokoh Jati berdasarkan klasifikasi emosi
menurut Sigmund Freud.
5. Menginterpretasikan data yang terdapat dalam novel Jangan Miringkan
Sajadahmukarya Muhammad B. Anggoro.
6. Menarik kesimpulan hasil analisis data.
34
3.6. Metode Penyajian Data
Setelah data dikumpulkan maka data disajikan. Penyajian data dibuat
untuk memberikan deskripsi mengenai data yang telah dikumpulkan dan
memudahkan untuk pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan penyajian data dalam bentuk teks (textular). Peneliti
menyajikan data yang berkaitan dengan emosi tokoh Jati dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro dalam bentuk teks.
Dalam penyajian data ada beberapa tahap. Tahap pertama yang ada
dirumusan masalah adalah pencarian masalah yang terdapat di dalam novel
Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro, maka yang
akan disajikan adalah sinopsis dari novel tersebut yang dilanjutkan dengan
hasil analisis permasalahan yang terdapat dalam novel tersebut. Dalam tahap
ini digunakakan analisis berdasarkan teori klasifikasi emosi Sigmund Freud
yang terdapat dalam novel. Rumusan permasalahan yang teridentifikasi dari
novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro
selanjutnya diinterprestasi dan dituangkan secara sistematis yang dilengkapi
dengan deskripsi pembuktian bahwa masalah tersebut benar-benar ada dalam
novel tersebut. Dalam hal ini juga dilengkapi dengan kutipan-kutipan
langsung dari novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B.
Anggoro yang mengungkapkan permasalahan yang dimaksud. Penelitian ini
mendeskripsikan hasil penelitian dengan memaparkan klasifikasi emosi tokoh
Jati yang terdapat dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya
Muhammad B. Anggoro. Tahap kedua mengkaitkan hasil analisis emosi
35
tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B.
Anggoro dengan pembelajaran sastra di SMA. Dalam aspek pengklasifikasian
emosi, emosi akan dikalsifikasikan menjadi tujuh yaitu konsep rasa bersalah,
rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan,
kebencian, dan rasa cinta. Sedangkan dalam pembelajaran sastra di SMA,
emosi dihubungkan dengan silabus bahasa indonesia kelas XII tentang
penokohan dalam novel sesuai dengan Kompetensi Dasar 7.2 yaitu
menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia/terjemahan.
36
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil Analisis Klasifikasi Emosi Tokoh Jati Dalam Novel Jangan
Miringkan Sajadahmu Karya Muhammad B. Anggoro
Berdasarkan perspektif Sigmund Freud, bentuk-bentuk klasifikasi
emosi tokoh Jati dalam novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya
Muhammad B. Anggoro, yaitu konsep rasa bersalah, rasa malu, kesedihan,
kebencian, dan cinta, yang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
4.1.1 Rasa Bersalah
Menurut Hilgard, et al (dalam Minderep 2010:39) menjelaskan rasa
bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan
standar moral. Rasa bersalah dapat pula disebabkan oleh perilaku neurotik,
yakni ketika individu tidak mampu mengatasi problem hidup seraya
menghindarinya melalui manuver-manuver defensive yang mengakibatkan
rasa bersalah dan tidak bahagia. Rasa bersalah dalam novel ini terlihat
ketika Jati memberi tahu Aini kalau dia masih mencintai mantan istrinya,
seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Jjj…jadi…, selama ini Mas Jati masih mencintai Mbak
Nastiti? Benar begitu, Mas?”
“Mmm…maafkan aku, Aini! Maafkan aku…! Desis Jati
penuh sesal.
“Mas Jati tega….! Mas Jati tega…!
“Maafkan aku, Aini! Demi Allah! Aku tidak bermaksud
melukai hatimu….”, (Anggoro, 2008 : 277)
37
Berdasarkan kutipan di atas, perilaku neurotik Jati tergambar ketika
dia merasa Aini tersinggung dengan kata-katanya. Dia merasa bersalah
pada Aini, hal ini terlihat pada kutipan kedua yaitu ketika Jati meminta
maaf dan menyesal telah memberi tahu Aini kalau sebenarnya dia masih
mencintai mantan istrinya. Aini merasa kecewa setelah mengetahui orang
yang selama ini dia cintai ternyata masih memendam rasa cinta pada
mantan istrinya, seperti yang terdapat pada kutipan pertama dan ke tiga.
Atas rasa bersalahnya tersebut maneuver defensive yang dilakukan Jati
tergambar saat Jati memilih untuk minta maaf dan menjelaskan bahwa
sebenarnya dia tidak bermaksud menyakiti Aini. Rasa bersalah juga
dialami Jati ketika dia tidak bisa membahagiakan dihari-hari tua bapaknya
yang sudah renta dan pikun, seperti yang digambarkan dalam kutipan
berikut ini:
Sejenak Jati memperhatikan bapaknya. Saat itu, bapaknya
tengah tertidur dengan miring ke sebelah kanan. Jati
hanya bisa memperhatikan punggung bapaknya. Meski
demikian, diam-diam dia merasa terharu sekali melihat
bapaknya. Entah mengapa mendadak Jati diselimuti
perasaan berdosa yang begitu dalam karena tidak dapat
membahagian bapaknya yang sudah renta dan pikun.
Saking tidak tahannya, akhirnya Jati pun keluar dari
kamarnya dengan perasaan sedih yang kian menindih-
nindih hatinya. (Anggoro, 2008 :130)
Berdasarkan kutipan di atas, rasa bersalah Jati terlihat ketika dia
belum bisa membahagiakan bapaknya, seperti yang terdapat pada kutipan
berikut “entah mengapa mendadak Jati diselimuti perasaan berdosa yang
begitu dalam karena tidak dapat membahagian bapaknya yang sudah renta
dan pikun”, dari kutipan tersebut Jati merasa sedih sebagai seorang anak
38
seharusnya dia memanjakan bapaknya dengan kasih sayang dan
membuatnya bahagia, karena tidak tahan melihat kondisi bapaknya dengan
rasa bersalah, maneuver defensive yang dilakukan Jati yaitu keluar dari
kamarnya dengan perasaan sedih.
4.1.2 Rasa Malu
Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu
tanpa terkait dengan rasa bersalah. Dalam novel ini rasa malu Jati
digambarkan ketika berkunjung ke rumah Kiai Ahmad Badawi, guru
agama waktu dia masih aktif di pesantren.
“Maaf, Pak Kiai! Lama saya tidak bisa sowan kemari.
Saya merasa malu karena sudah terlalu lama tidak
menemui Pak Kiai”.
Tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Kiai Ahmad
Badawi kalem. “Oh ya? Ngomong-ngomong, bagaimana
dengan istrimu? Kenepa tidak diajak sekalian kemari?”
“itulah yang ingin saya bicarakan dengan Pak Kiai. Terus
terang, saya sedang bingung sekali, Pak Kiai….”
(Anggoro, 2008 : 74)
Kutipan pertama menggambarkan rasa malu yang dialami Jati
ketika ia berkunjung ke rumah pak Kiai Ahmad Badawi, karena
sebelumnya dia tidak pernah datang setelah pernikahannya dengan Nastiti.
Pak Kiai Ahmad Badawi memaklumi Jati yang jarang ke pondok setelah
pernikahannya, seperti yang terdapat pada kutipan kedua. Kutipan ketiga
menjelaskan kedatangan Jati menemui pak Kiai Ahmad Badawi untuk
menceritakan permasalahan kehidupan rumah tangganya dengan Nastiti
dan dia berharap ada jalan keluar yang diberikan pak Kiai Ahmad Badawi
39
untuk permasalahan rumah tangganya. Rasa malu Jati juga ditujukkan
ketika dia bertemu dengan Hafizh. Hafizh adalah teman kampungnya
sekaligus teman nyantrinya di pondok.
Meski demikian, Jati tetap tidak terima Hafizh
menanyakan tentang Nastiti, mantan istrinya. Bahkan, dia
seperti tidak ingin siapa pun juga membicarakan atau
menanyakan perihal apa pun tentang istrinya. Entah
mengapa mendadak Jati merasa risih, malu jika ada
seseorang membicarakan atau hanya sekedar basa basi
menanyakan mantan istrinya. Jati sepertinya tidak
sanggup mendengar nama istrinya disebut-sebut
didepannya. Hatinya akan semakin nelangsa jika dia
mendengar nama istrinya disebut-sebut orang. Dia belum
siap. Dia masih belum kuat menanggung malu akibat dari
perceraiannya dengan Nastiti. (Anggoro, 2008: 108 )
Pada kutipan di atas, tergambar rasa malu yang dialami Jati ketika
Hafizh menanyakan Nastiti. Jati tidak ingin siapa pun orangnya yang
menanyakan atau membicarakan tentang mantan istrinya setelah
peceraiannya, dia merasa malu, seperti yang yang terdapat pada kalimat
ketiga “entah mengapa mendadak Jati merasa risih, malu jika ada
seseorang membicarakan atau hanya sekedar basa basi menanyakan
mantan istrinya”. Jati belum siap dan dia masih belum kuat menanggung
malu akibat perceraiannya dengan Nastiti.
4.1.3 Kesedihan
Kesedihan atau duka cita berhubungan dengan kehilangan sesuatu
yang penting atau bernilai. Kesedihan yang mendalam bisa juga
kehilangan milik yang sangat berharga yang mengakibatkan kekecewaan
dan penyesalan. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan dibawah ini:
40
“Kenapa kita harus berpisah seperti ini, Nas? Kenapa?
Apa tidak mungkin kita bisa bersatu seperti dulu, Nas?”
Teriakan-teriakan mantan suaminya itu begitu memilukan
hati. Kesedihan dalam hati Nastiti pun kian menjadi. Air
matanya yang membasahi kedua belah pipinya itu pun
kembali membanjiri pipinya bak air bah yang tak
terbendungkan.
“Nggak mungkin, Mas! Nggak mungkin…! Mas telah
menjatuhkan talak tiga kepadaku. Nggak mungkin kita
bersatu lagi sebelum aku menikah terlebih dulu dengan
orang lain, Mas!” pekik Nastiti tidak kalah memilukan.
“Tapi, Demi Allah, Nas…! Demi Allah, aku menyesal,
Nas! Aku menyesal…”
“Tapi, itu semua sudah terlambat, Mas. Sudah
terlambat…!” jerit Nastiti kian mengahrukan. (Anggoro,
2008 : 56 )
Kutipan pertama dan ketiga menjelaskan penyesalan Jati karena
telah menceraikan istrinya. Perceraian itu membuat dia sedih, karena
kesedihannya membuat Jati ingin bersatu lagi dengan mantan istrinya,
namun keinginan itu harus diurungkannya karena dia harus merelakan
mantan istrinya menikah dulu dengan laki-laki lain, seperti yang terdapat
pada kutipan kedua.
Rasa sedih juga ditunjukkan ketika Jati memikirkan akibat dari
perceraiannya. Setiap hari Jati melamun, ia menyesal telah menalak tiga
istrinya. Ia mulai merasakan betapa pentingnya kehadiran seorang istri.
Tetapi nasi telah menjadi bubur inilah kenyataan pahit yang harus
ditelannya. Dia harus berpisah dengan Nastiti, bercerai dengannya, harus
ikhlas menerima kenyataan pahit ini karena dia lebih memilih menjaga dan
mengurus bapaknya yang telah tua ketimbang hidup dan bahagia dengan
41
Nastiti. Kini hanya ada penyesalan-penyesalan dan kekecewaan-
kekecewaan yang kian bertumpuk-tumpuk memenuhi hatinya, seperti yang
terlihat pada kutipan berikut ini:
Jati hanya duduk diam merenung memikirkan akibat dari
perceraiannya itu. Membayangkan itu semua, Jati merasa
berat sekali. Kesedihannya pun semakin menjadi-jadi.
Sudah terbayang jelas betapa akan berat hidupnya nanti.
Masak sendiri, mencuci pakaian sendiri, tidur sendiri,
merawat bapaknya sendiri. Ini bukanlah merupakan
pekerjaan ringan. Selama ini yang melakukan itu adalah
Nastiti, istrinya. akan tetapi, kali ini mau tidak mau harus
dia sendiri yang menjalankan itu semua. Bukan main
pedihnya hati Jati saat itu. Tapa terasa dia sampai
menitikkan air mata. Tanpa terasa dia sampai mengiba
karenanya. (Anggoro, 2008 : 82)
Kutipan di atas menceritakan Jati tidak sanggup lagi memikirkan
akibat dari perceraiannya dengan Nastiti, karena itu akan membuat dia
semakin sulit untuk menjalani hidupnya, tidak ada lagi yang bisa
mencucikan pakaiannya, tidak ada lagi yang bisa memasakkannya, bahkan
tidak ada lagi yang membantu dia untuk mengurus bapaknya yang sudah
pikun, karena selama ini yang mengurus itu semua adalah istrinya.
Memikirkan itu semua membuat Jati semakin larut dalam kesedihannya,
seperti yang terdapat pada kutipan berikut “bukan main pedihnya hati Jati
saat itu. Tapa terasa dia sampai menitikkan air mata. Tanpa terasa dia
sampai mengiba karenanya”. Kesedihan Jati tidak hanya memikirkan
akibat dari perceraiannya dengan Nastiti, dia juga merasa sedih ketika
melihat kondisi bapaknya yang terbaring lemah di rumah sakit, seperti
yang terdapat dalam kutipan berikut ini:
42
Pedih sekali Jati melihat keadaan bapaknya yang dipenuhi
dengan selang. Baik itu selang infuse, oksigen, bahkan
untuk buang air kecil pun harus diselang. Jati benar-benar
tidak tahan melihat kondisi bapaknya. Sosok tubuh
bapaknya yang ringkih tampak semakin rapuh saja
dimatanya. Sewaktu tadi selang-selang dimasukkan ke
dalam tubuh bapaknya, Jati benar-benar tidak tega
melihat kondisi bapaknya. Jati masih diam termangu
memandangi bapaknya. Cukup lama Jati memperhatikan
bapaknya seperti itu. Kepalanya pun digelengkan kesana-
kemari saking tidak tahannya melihat penderitaan
bapaknya dan mungkin juga penderitaan dirinya sendiri.
(Anggoro, 2008 : 182)
Kutipan di atas menggambarkan kesedihan Jati ketika melihat
keadaan bapaknya yang terbaring lemah di rumah sakit, dia tidak tega
melihat kondisi bapaknya yang dipenuhi dengan peralatan rumah sakit, hal
ini terlihat pada kalimat berikut “pedih sekali Jati melihat keadaan
bapaknya yang dipenuhi dengan selang. Baik itu selang infuse, oksigen,
bahkan untuk buang air kecil pun harus diselang. Jati benar-benar tidak
tahan melihat kondisi bapaknya”, disisi lain dia juga memikirkan keadaan
hidupnya yang sudah bercerai dengan istrinya. Selain itu, rasa sedih juga
digambarkan ketika Jati harus mengikhlaskan kepergian bapaknya untuk
selama-lamanya, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini:
Bapaknya terbujur seperti orang yang sedang tidur. Meski
demikian tetap saja membuat Jati tergetar.Tanpa terasa air
matanya kembali menitik membasahi kedua belah pipinya
begitu melihat orang yang paling disayanginya itu telah
tiada di depan matanya. (Anggoro, 2008 : 212)
Kutipan di atas adalah kesedihan yang dialami Jati ketika melihat
orang yang paling disayanginya itu telah tiada di depan matanya. Dia terus
memandangi jenazah bapaknya, begitu berat dia megikhlaskan kepergian
43
bapaknya dan tanpa terasa dia menitikkan air mata untuk kesekian kalinya,
hal ini seperti yang terdapat pada kutipan berikut “tanpa terasa air matanya
kembali menitik membasahi kedua belah pipinya begitu melihat orang
yang paling disayanginya itu telah tiada di depan matanya”.
4.1.4 Kebencian
Kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan
perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan
benci adalah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek
untuk menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya
perasaan tidak suka/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak
bermaksud menghancurkannya. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat
di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum
menghancurkannya. Rasa benci digambarkan dalam novel ini adalah,
ketika Hafizh menanyakan kabar Nastiti dan menanyakan anak kapada
Jati. Pertanyaan Hafiz membuat Jati tersinggung, seperti yang
digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Mas Jati…? Lagi ngapain? Kok bengong saja di situ”
Jati terperanjat. Dia segera mengalihkan perhatiannya ke
arah datangnya suara.
“Oh ya, Mas Jati? Bagaimana kabarnya Nastiti? Sudah
punya anak berapa sekarang, Mas?” lanjut Hafizh
semakin membuat Jati terperangah kaget.
Jati benar-benar tersinggung mendengar pertanyaan
Hafizh itu. Serta merta dia memandangi Hafizh tajam.
44
“Ada apa, Mas? Kok kelihatannya tegang sekali? Apa ada
kata-kataku yang salah sehingga menyinggung
perasaanmu, Mas?
“Maaf, Fizh! Aku harus buru-buru mengambil legen.”
(Anggoro, 2008 : 109)
Kutipan di atas terlihat bahwa Jati merasa tersinggung dengan
pertanyaan Hafiz yang menanyakan kabar Nastiti dan anak selama
pernikahannya, hal ini terdapat pada kutipan pertama dan ketiga.
Bagaimana mungkin pertanyaan Hafizh tidak membuat Jati marah dan
benci padanya, seperti yang terdapat pada kutipan keempat, karena
sekarang ini justru dia sudah bercerai dengan Nastiti, dan selama
pernikahannya dengan Nastiti, mereka belum dikaruniai anak. Pertanyaan
Hafizh telah membuat Jati benci padanya, sehingga dia menghindar dari
pertanyaan hafizh yang telah menyinggung hatinya dan memilih pergi.
Perasaan benci juga digambarkan ketika Jati melihat keakraban mantan
istrinya dengan Hafizh, seperti yang terdapat pada kutipan berikut:
Selama tiga bulan ini, Jati sudah berkali-kali melihat
keakraban Hafizh dan Nastiti. Jati sudah berkali-kali
melihat Nastiti dan Hafizh pergi ke sawah berdua, pergi
ke masjid jika akan melakukan shalat Maghrib dan shalat
Isya berdua, bahkan tidak jarang pula Jati melihat Hafizh
tengah bercakap-cakap berduaan dengan Nastiti di
rumahnya. Tentu saja semua itu semakin membuat hati
Jati mendidih. Ironisnya, sedikit pun dia tidak dapat
melakukan apa-apa. Jangankan untuk menegur, untuk
menentukan sikap melihat keakraban Nastiti dan Hafizh
pun Jati tidak berani. Semuanya serba memusingkan
dalam benaknya. (Anggoro, 2008 : 224)
Kutipan di atas menggambarkan kebencian Jati setiap kali dia
melihat mantan istrinya berduaan dengan Hafizh. Dia merasa cemburu
45
melihat keakraban mereka. Kebencian Jati juga digambarkan ketika dia
mendengar lirik lagu, seperti kutipan berikut:
“Baru sekarang/ Oh! Aku rasakan/ Tak punya istri/
Rasanya kesepian// Tiada tempat/ Untuk mencurahkan/
Rasa rindu dan…/ Segenap kasih saying// Barulah satu
bulan/ Diriku ditinggalkan/ Aku sudah tak tahan/ Diriku
ditinggalkan….”.
Habis sudah kekesalan Jati mendengarkan lagu itu. Tanpa
banyak pikir panjang lagi, Jati masuk ke dalam rumahnya
dan segera mematikan radio itu. (Anggoro, 2008 : 41)
Kutipan di atas menggambarkan kebencian Jati mendengar lirik
lagu yang dirasa menyindir dirinya, Jati sangat tidak suka
mendengarkan lagu tersebut. Hatinya tersulut. Harga dirinya terasa
terinjak-injak hingga dia buru-buru masuk ke dalam rumah untuk
mematikan radio, seperti yang terdapat pada kutipan kedua. Selanjutnya,
Jati merasa cemburu karena pernikahan mantan istrinya dengan Hafizh,
dia tidak rela melihat orang yang dicintainya menikah dengan orang lain,
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut:
Teriakan bernada keras itu mengagetkan semua orang
yang berada di ruangan itu. Belum hilang rasa kaget
mereka, mendadak mereka kembali dikejutkan dengan
kemunculan Jati yang terus berteriak–teriak meminta
pernikahan Nastiti dan Hafizh dihentikan!. (Anggoro,
2008 : 327)
Kutipan di atas menggambarkan tindakan Jati untuk membatalkan
pernikahan mantan istrinya dengan Hafizh. Semua itu dilakukan Jati
karena kebencian dan kecemburuannya terhadap Hafizh yang telah
mengambil Nastiti darinya. Dia tidak rela mantan istrinya menikah dengan
46
laki-laki lain, sehingga dia mencoba membatalkan pernikahan tersebut.
Rasa benci juga digambarkan dalam kutipan berikut:
Bukan main terkejutnya Jati saat itu. Debaran-debaran
dalam hatinya jadi kian tak menentu. Inilah sosok wanita
yang selalu menghantui pikirannya. Inilah sosok wanita
yang sangat dirindukannya. Keperihan hatinya semakin
menjadi-jadi manakala dia melihat kehamilan Nastiti,
mantan istrinya yang datang bersama dengan suaminya.
(Anggoro, 2008 : 406)
Kutipan di atas terlihat rasa benci Jati ketika kedatangan Nastiti
dan Hafizh di rumah sakit. Jati benar-benar dibakar api cemburu melihat
kedatangan mereka, terlebih lagi dia melihat kehamilan wanita yang
dicintainya, melihat itu semua luka dalam hatinya semakin perih.
4.1.5 Cinta
Menurut kajian dari cinta romantik, cinta dan suka pada dasarnya
sama. Mengenai cinta seorang anak kepada ibunya didasari kebutuhan
perlindungan, demikian pula cinta ibu kepada anak adanya keinginan
untuk melindungi. Dengan demikian esensi cinta adalah perasaan tertarik
kepada pihak lain dengan harapan sebaliknya. Novel Jangan Miringkan
Sajadaahmu juga menceritakan tentang rasa cinta seorang anak kepada
orang tuanya, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Nggak bisa begitu dong, Nas! Nggak bisa begitu! Mana
mungkin aku meninggalkan Bapak seorang diri di sini?
Siapa yang memasakkan Bapak? Siapa yang mencucikan
pakaian Bapak? Siapa pula yang akan merawat Bapak?
Nggak ada, Nas! Nggak ada! Mending kalau Ibu masih
ada. Tentu persoalannya akan lain. Tapi, ini….? Bapak
Cuma sendiri? Mana mungkin aku tega meninggalkan
47
Bapak, Nas. Itu sama halnya aku menyiksa Bapak!”
(Anggoro, 2008 : 14-15)
Kutipan di atas adalah perasaan sayang Jati kepada bapaknya. Hal
ini terlihat ketika istrinya meminta dia untuk pindah rumah, namun Jati
tidak mau meninggalkan bapaknya. Dia tidak ingin melihat kesedihan
bapaknya dengan hidup sendiri tanpa ada yang mengurus di rumah itu,
sehingga dia memutuskan untuk tetap tinggal bersama istri dan bapaknya
di rumah tersebut. Perasaan sayang Jati terlihat pada kutipan berikut,
“mana mungkin aku tega meninggalkan Bapak, Nas. Itu sama halnya aku
menyiksa Bapak!”. Perasaan sayang Jati kepada bapaknya tak pernah
terputus, hal ini terlihat ketika dia mengurus bapaknya yang sedang sakit,
seperti yang terdapat pada kutipan berikut:
Jati membantu membukkan obat berbentuk tablet itu
sebentar. Dia juga segera berlari ke dapur untuk
mengambilkan air putih. Semunya itu dilakukannya
dengan penuh kasih sayang. Perasaan iba dan sayangnya
yang begitu dalam terhadap bapaknya membuat Jati tidak
tega melihat kesendirian bapaknya. Sebab, bapaknya
tidak mau tinggal bersama kedua orang kakaknya yang
sekarang tinggal di kota. (Anggoro, 2008 : 154)
Perasaan sayang Jati digambarkan ketika dia merawat bapaknya
yang sedang sakit. Semua itu dilakukannya dengan penuh kasih sayang,
hal tersebut terlihat pada kutipan berikut “Jati membantu membukkan obat
berbentuk tablet itu sebentar. Dia juga segera berlari ke dapur untuk
mengambilkan air putih”. Sikap tersebut adalah bentuk kasih sayang Jati
kepada bapaknya. Rasa cinta juga terlihat ketika Jati tidak bisa menahan
48
rasa rindu kepada istrinya yang masih menunggu masa iddah, seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut ini:
Sore itu, Jati tidak tahan lagi untuk bertemu dengan
Nastiti. Maka, sore itu pula Jati memutuskan untuk pergi
ke rumah Nastiti. Apalagi selama masa Iddah, Jati tidak
pernah lupa memberikan nafkah. Entah itu uang belanja,
makanan, pakaian, maupun yang lain-lainnya. Walau
sebenarnya Jati tahu kalau istri yang mendapat talak dan
nusyuz kepada suaminya itu tidak berhak mendapatkan
nafkah apalagi tempat tinggal karena kedurhakaannya.
Akan tetapi, entah mengapa, walau Jati tahu kalau
istrinya telah berbuat nusyuz kepada dirinya karena berani
melawan bapaknya, Jati masih bersdia memberikan
nafkah kepada mantan istrinya selama menjalani masa
iddah. Hal ini semata-mata rasa cintanya yang mendalam
kepada mantan istrinya. (Anggoro, 2008 : 45)
Kutipan di atas adalah bukti bahwa Jati masih sangat mencintai
Nastiti meskipun dia sudah menjatuhkan talak. Selama masa iddahnya,
Nastiti juga tetap dinafkahi oleh Jati meskipun mantan istrinya telah
berbuat salah dan berani melawannya. Namun semua itu dilakukan Jati
semata-mata karena cintanya yang begitu dalam kepada mantan istrinya.
Selain kutipan di atas, perasaan cinta juga digambarkan ketika Jati ingin
kembali dengan mantan istrinya, seperti yang digambarkan dalam kutipan
berikut ini:
“Ssss…saya….ingin minta tolong kepada Pak Kiai. Saya
sangat mencintai istri saya, Pak Kiai. Saya tidak ingin
berpisah dengan istri saya, Pak Kiai. Sss…saya…ingin
kembali menikahi istri saya, Pak Kiai….,”
“Nggak bisa begitu, Jati. Walau kamu sampai mengis
darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung
menkahi istrimu lagi. Kecuali jika istrimu sudah menikah
lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa menikahi
istrimu lagi. Itu pun kalau suami kedua dari istrimu itu
49
mau menceraikan istrimu. Kalau tidak, kamu ya tetap
tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat….”
“Ttt…tolonglah saya, Pak Kiai! Saya…saya benar-benar
minta tolong, Pak Kiai. Carikanlah saya jalan keluarnya
agar saya bisa kembali menikahi istri saya, Pak Kiai….!”
“Tetap nggak bisa, Jat. Ini semua sudah ketentuan Allah.
Nggak bisa diakal-akali lagi. Kecuali kalau talak raji,
kamu masih bisa rujuk atau menikahi istrimu lagi. Tapi,
talak yang sudah kamu jatuhkan ini adalah talak bain
kubro. Talak yang nggak mungkin kamu bisa menikahi
istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi dengan orang
lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga bukan main-main.
Mereka juga harus bercampur terlebih dulu, Jat.”
(Anggoro, 2008 : 75)
Kutipan pertama dan ketiga menjelaskan dalam keadaan bingung
Jati memikirkan bagaimana caranya agar dirinya dapat kembali hidup
bersama mantan istrinya, karena dia masih mencintai mantan istrinya,
sehingga dia meminta bantuan kepada pak Kiai Ahmad Badawi, guru
agama waktu dia masih aktif di pesantren. Jati menceritakan permasalahan
yang dihadapinya kepada pak Kiai Ahmad Badawi, dengan harapan besar
dia dapat menemukan solusi dari masalah itu, namun sebaliknya setelah
bertemu dengan guru agamanya dan menceritakan semua
permasalahannya, justru semakin tetutup dirinya untuk dapat kembali
dengan mantan istrinya, karena talak yang dijatuhkan adalah talak bain
kubro, yang berarti Jati tidak dapat bersatu lagi sebelum istrinya menikah
dengan laki-laki lain kemudian laki-laki itu menceraikannya, seperti yang
terdapat pada kutipan kedua dan keempat.
Kemudian rasa cinta juga digambarkan ketika Jati bertemu dengan
Nastiti. Pada saat itu Nastiti menawarkan makanan pada Jati, namun Jati
50
menolaknya. Karena menolak, Nastiti jadi tersinggung dan menganggap
kalau Jati sudah tidak menyukai makanan buatannya dan lebih menyukai
makanan buatan Aini, karena selama ini setelah perceraiannya Aini selalu
membawakan Jati makanan. Karena itu Nastiti menjadi salah paham,
seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Kayaknya kamu mau kirim makanan, ya?”
“Iya, Mas. Mas mau?”
“Nggaklah, Nas. Aku lagi malas makan.”
“Malas makan atau sudah bosan dengan masakanku?”
“Maksudmu?”
“Yah..! Siapa tahu Mas Jati sudah nggak suka lagi dengan
masakanku. Tapi, malah lebih suka dengan
masakannya…..”
“Masakan siapa?”
“Aini..!
“Kenapa diam saja, Mas? Benarkah apa yang aku
tanyakan tadi? Benarkah Mas Jati memiliki hubungan
khusus dengan Aini?”
“Tidak. Aku sama sekali tidak memiliki hubungan khusus
dengan Aini. Kalau akhir-akhir ini hubunganku sama
Aini akrab memang aku akui. Tapi, itu bukan berarti aku
mempunyai hubungan khusus dengan Aini.”
“Benarkah?”
“Demi Allah! Aku masih sayang sekali kepadamu, Nas.
Aku masih sangat mencintaimu. Nggak mungkin aku
akan menukarkan cintamu dengan wanita mana pun juga.
Cintamu terlalu indah sekali untuk ditukar dengan wanita
mana pun. Aku nggak mungkin sanggup melakukannya,
Nas….” (Anggoro, 2008 : 256)
Kutipan di atas terlihat rasa cinta Jati kepada Nastiti. Meskipun
sudah bercerai, Jati tidak ingin ada kesalahpahaman diantara mereka
51
ketika Nastiti tersinggung dengan penolakan tawaran makan dari dirinya,
sehingga mantan istrinya beranggapan bahwa dia lebih menyukai makanan
pemberian Aini dan mereka mempunyai hubungan khusus. Jati mencoba
mejelaskan hubungannya dengan Aini pada mantan istrinya bahwa mereka
tidak mempunyai hubungan khusus. Jati masih sangat mencintai mantan
istrinya, sehingga Jati mencoba untuk meluruskan kesalahpahaman Nastiti
yang beranggapan bahwa mantan suaminya dan Aini mempunyai
hubungan khusus, dan yang sebenarnya mereka tidak mempuyai hubungan
khusus. Jati tidak ingin wanita lain menggantikan Nastiti dihatinya karena
Nastiti begitu berarti di matanya, seperti yang terdapat pada kutipan
terakhir “dia juga tidak bisa membuka pintu hatinya untuk Aini, karena
dalam hatinya hanya ada Nastiti, semua cinta, seluruh rindunya hanya
untuk Nastiti seorang”.
Selain itu, rasa cinta Jati digambarkan ketika Jati sangat
mencemaskan keadaan bapaknya. Jati tidak ingin melihat bapaknya sakit,
sehingga buru-buru dia membelikan bapaknya obat. Hal tersebut
digambarkan dalam kutipan berikut ini:
“Jat..! Jat…! Cepat bangun…!
“Iya, Pak.”
“Ada apa, Pak?”
“Kepalaku pusing, Jat. Kayaknya mau muntah,” keluhnya
persis seperti anak kecil
“Oh, ya?, Bapak sakit?”
52
“Nggak tahu nih, Jat. Kepala bapak pusing sekali,”
keluhnya sambil memijit-mijit pelipis kepalanya.
“Atau begini saja, Pak…! Aku panggilkan mantri saja ya,
Pak. Bapak harus suntik biar cepat sembuh.”
“Nggak usahlah, Jat! Belikan saja Bapak obat yang biasa
Bapak minum!”
“Baik, Pak. Sekarang Bapak tunggu sebentar, ya! Aku
mau beli obat sebentar di warung.” (Anggoro, 2008 : 152-
153)
4.2 Hubungan Hasil Analisis Klasifikasi Emosi Sigmund Freud Pada Tokoh
Jati Dalam Novel Jangan Miringkan Sajadahmu Dengan Pembelajaran
Sastra Di SMA
Pembelajaran sastra termasuk dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Pembelajaran tentang karya sastra sudah didapatkan oleh
siswa sejak mereka mulai duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dan dilanjutkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA).
Pembelajaran tentang sastra dapat berupa pembelajaran tentang puisi,
pantun, novel, drama, hikayat, dan lain-lain sesuai dengan jenjang
kelasnya.
Pembelajaran sastra pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan
suasana dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembelajaran sastra di
SMA telah ditetapkan dan telah diterapkan sebagai bagian dari Kurikulum
53
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebelum mengajarkan suatu
pembelajaran sastra, tentu harus mengetahui materi/bahan ajar yang akan
diajarkan di kelas. Bahan ajar yang direpkan di kelas dapat berupa naskah
drama, puisi cerpen, novel dan lain-lain.
Tujuan pembelajaran di atas, dapat tercapai jika bahan ajar yang
diberikan sesuai dengan tingkatan siswa. Pengajaran yang diberikan juga
harus sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri tanpa adanya kesesuaian
antara siswa dengan bahan yang diajarkan, maka kegiatan belajar-mengajar
akan gagal. Sehingga indikator pembelajaran tidak akan tercapai. Terdapat
beberapa materi pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran di kelas
(XI semester I bahasa Indonesia seperti berikut: (1) novel Indonesia dan
novel terjemahan, (2) unsur instrinsik novel adalah unsur yang membangun
karya sastra dari dalam. Unsur instrinsik novel meliputi: (tema, penokohan,
seting, alur, sudut pandang, amanat), (3) unsur ekstrinsik novel adalah unsur
yang membangun karya sastra dari luar. Unsur ekstrinsik novel meliputi:
(biografi pengarang, pendidikan pengarang, agama atau kepercayaan
pengarang, nilai-nilai (pendidikan, moral, religi/agama, sosial, budaya, dll)).
Berkaitan dengan hal tersebut, novel merupakan salah satu
materi/bahan ajar mengenai sastra yang diajarkan di SMA. Dapat dilihat
berdasarkan silabus bahasa Indonesia tingkat SMA kelas XI semester I
dengan Standar Kompetensi (SK) ; Memahami berbagai hikayat, novel
Indonesia atau novel terjemahan, dan Kompetensi Dasar (KD); Menganalisis
unsur intrinsik (tokoh dan penokohan) novel Jangan Miringkan Sajadahmu
54
dan unsur ekstrinsik klasifikasi emosi (konsep rasa bersalah, rasa bersalah
yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian,
dan cinta.
Sesuai dengan pemaparan di atas, klasifikasi emosi yang terjadi pada
tokoh Jatii, dalam novel, Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B.
Anggoro berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud dalam penelitian ini
memiliki kaitan dengan SK/KD yang telah ditetapkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Berdasarkan SK/KD tersebut,
penelitian ini dianggap berpotensi untuk dijadikan materi/bahan ajar
pembelajaran sastra guna memenuhi kompetensi tersebut.
Kemudian terkait dengan aspek klasifikasi tokoh utama Jati dalam
novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro jika
dikaitkan dengan pembelajaran sastra di SMA, banyak pelajaran yang dapat
diambil oleh semua pembaca khususnya para siswa baik sifat yang positif
maupun negatif. Sifat positif dari tokoh utama Jati, dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro ini, dapat dijadikan
sebagai bahan evaluasi untuk terus berbuat baik, sedangkan untuk sifat
negatif dari tokoh utama tersebut dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan jika ada niat untuk melakukan perbuatan yang tidak baik
sehingga perbuatan yang tidak baik itu dapat ditinggalkan. Hikmah penting
yang dapat diambil dari kalsifikasi emosi tokoh Jati dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu oleh para siswa dalam proses pembelajaran sastra,
55
yaitu selalu berpikir dengan baik dalam mengambil keputusan dan belajar
untuk mengiklaskan sesuatu yang sudah bukan menjadi milik kita.
56
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan emosi tokoh Jati dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro yang dikaji
menggunakan pendekatan psikilogi sastra dengan teori klasifikasi emosi
Sigmund Freud yang telah diuraikan di atas. Maka, dapat disimpulkan bahwa
emosi yang dialami Jati adalah ebagai berikut. 1) konsep rasa bersalah, 2) rasa
malu, 3) kesedihan, 4) kebencian, dan 5) cinta.
Hasil analisis klasifikasi emosi yang terjadi pada tokoh Jati dalam
novel Jangan Miringkan Sajadahmu berkaitan dengan pembelajaran sastra di
SMA kelas XI, dalam aspek membaca. Dalam pembelajaran ini, Standar
Kompetensi (SK) yang harus dikuasai adalah memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia dan Kompetensi Dasar (KD) dicapai yaitu Menganalisis
unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia yang didengar melalui
pembacaan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menyampaikan beberapa
saran, yakni sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia
dalam mengajarkan apresiasi sastra pada jenjang SMA/MA kelas XI
semester I, khususnya pada materi menganalisis unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia. Dalam mengajar pokok bahasan tersebut,
hendaknya guru bidang studi Bahasa Indonesia dapat memilih karya sastra
yang tepat. Satu diantara karya sastra yang baik adalah novel Jangan
57
Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro. Hal ini dikarenakan
di dalam novel tersebut banyak mengandung nilai kehidupan yang
mengajarkan bagaimana manusia bisa bersabar dan mengontrol emosi agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti berikutnya
untuk meneliti novel ini dari segi yang berbeda.
58
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Argesindo
Anggoro, Muhammad B. 2008. Jangan Miringkan Sajadahmu. Jogjakarta: Diva
Press.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Metode Penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara.
Astuti, Linda. 2010. Kajian Psikologis Tokoh Annisa dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy: Skripsi. Mataram: FKIP
UNRAM.
Endraswarsa, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Fitriah, Ety. 2005. Aspek Psikoanalisis Sigmund Freud Tokoh Sandi Dalam Novel
Pulang Karya N. Marewo: Skripsi. Mataram: FKIP UNRAM.
http://andriew/2015/04/novel.html. (diakses, 20/04/2015).
http://gurupembaharu.com/home/pembelajaran-sastra-indonesia-di-sekolah-
membandingkan-harapan-dan-realita-yang-dapat-diujudkan. html.
(diakses, 23/05/2015). Http://dinydinot.blogspot.com/2014/01/kritik-sastra-emosi-tokoh. html. (diakses,
10/03/15. 20:15).
Gaib, Isdin. 2007. (Skripsi) Klasifikasi Emosi Tokoh Utama Dalam Novel Bunga
Di Atas Bara Karya Syahriar Tato. (Penelitian Berdasarkan Pendekatan
Psikologi Sastra). Gorontalo: FKIP Universitas Negeri Gorontalo.
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : Rajawali Pers.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya sastra, Metode, Teori, dan
Contoh Kasus. Jakarta: Buku Obor.
Moleong, J. Lexy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
59
Sadikin, Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta Timur: Gudang
Ilmu.
Semi, Muhammad Atar. 1993. Metode penelitian sastra. Bandung : CV Angkasa
Rumpak, Julius C dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakatra : Balai
Pusataka
Siswantoro. 2005. Metode Analisis Data (Analisis Psikologis). Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Sukmadinata, Nana Syodih. 2005. Metode penelitian pendidikan. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya Offset.
60
LAMPIRAN
61
Instrumen Penelitian : KARTU DATA
KONSEP RASA BERSALAH
No. Data : 1
Halaman : 277
Data/Kutipan :
“Jjj…jadi…, selama ini Mas Jati masih mencintai
Mbak Nastiti? Benar begitu, Mas?”
“Mmm…maafkan aku, Aini! Maafkan aku…! Desis
Jati penuh sesal.
“Mas Jati tega….! Mas Jati tega…!
“Maafkan aku, Aini! Demi Allah! Aku tidak
bermaksud melukai hatimu….”, (Anggoro, 2008 : 277)
Keterangan :
Berdasarkan kutipan di atas, perilaku neurotik Jati tergambar ketika dia
merasa Aini tersinggung dengan kata-katanya. Dia merasa bersalah pada Aini, hal
ini terlihat pada kutipan kedua yaitu ketika Jati meminta maaf dan menyesal telah
memberi tahu Aini kalau sebenarnya dia masih mencintai mantan istrinya. Aini
merasa kecewa setelah mengetahui orang yang selama ini dia cintai ternyata
masih memendam rasa cinta pada mantan istrinya, seperti yang terdapat pada
kutipan pertama dan ke tiga. Atas rasa bersalahnya tersebut maneuver defensive
yang dilakukan Jati tergambar saat Jati memilih untuk minta maaf dan
menjelaskan bahwa sebenarnya dia tidak bermaksud menyakiti Aini.
RASA MALU
No. Data : 1
Halaman : 74
Data/Kutipan :
“Maaf, Pak Kiai! Lama saya tidak bisa sowan kemari.
Saya merasa malu karena sudah terlalu lama tidak
menemui Pak Kiai”.
Tidak apa-apa. Aku ngerti kok,” sahut Kiai Ahmad
Badawi kalem. “Oh ya? Ngomong-ngomong,
bagaimana dengan istrimu? Kenepa tidak diajak
sekalian kemari?”
“itulah yang ingin saya bicarakan dengan Pak Kiai.
Terus terang, saya sedang bingung sekali, Pak Kiai….”
62
(Anggoro, 2008 : 74)
Keterangan :
Kutipan pertama menggambarkan rasa malu yang dialami Jati ketika ia
berkunjung ke rumah pak Kiai Ahmad Badawi, karena sebelumnya dia tidak
pernah datang setelah pernikahannya dengan Nastiti. Pak Kiai Ahmad Badawi
memaklumi Jati yang jarang ke pondok setelah pernikahannya, seperti yang
terdapat pada kutipan kedua. Kutipan ketiga menjelaskan kedatangan Jati
menemui pak Kiai Ahmad Badawi untuk menceritakan permasalahan
kehidupan rumah tangganya dengan Nastiti dan dia berharap ada jalan keluar
yang diberikan pak Kiai Ahmad Badawi untuk permasalahan rumah tangganya.
KESEDIHAN
No. Data : 2
Halaman : 82
Data/Kutipan :
Jati hanya duduk diam merenung memikirkan akibat
dari perceraiannya itu. Membayangkan itu semua, Jati
merasa berat sekali. Kesedihannya pun semakin
menjadi-jadi. Sudah terbayang jelas betapa akan berat
hidupnya nanti. Masak sendiri, mencuci pakaian
sendiri, tidur sendiri, merawat bapaknya sendiri. Ini
bukanlah merupakan pekerjaan ringan. Selama ini yang
melakukan itu adalah Nastiti, istrinya. akan tetapi, kali
ini mau tidak mau harus dia sendiri yang menjalankan
itu semua. Bukan main pedihnya hati Jati saat itu. Tapa
terasa dia sampai menitikkan air mata. Tanpa terasa dia
sampai mengiba karenanya. (Anggoro, 2008 : 82)
Kutipan di atas menceritakan Jati tidak sanggup lagi memikirkan akibat dari
perceraiannya dengan Nastiti, karena itu akan membuat dia semakin sulit untuk
menjalani hidupnya, tidak ada lagi yang bisa mencucikan pakaiannya, tidak ada
lagi yang bisa memasakkannya, bahkan tidak ada lagi yang membantu dia
untuk mengurus bapaknya yang sudah pikun, karena selama ini yang mengurus
itu semua adalah istrinya. Memikirkan itu semua membuat Jati semakin larut
dalam kesedihannya, seperti yang terdapat pada kutipan berikut “bukan main
pedihnya hati Jati saat itu. Tapa terasa dia sampai menitikkan air mata. Tanpa
terasa dia sampai mengiba karenanya”.
63
No. Data : 4
Halaman : 212
Data/Kutipan :
Bapaknya terbujur seperti orang yang sedang tidur.
Meski demikian tetap saja membuat Jati tergetar.Tanpa
terasa air matanya kembali menitik membasahi kedua
belah pipinya begitu melihat orang yang paling
disayanginya itu telah tiada di depan matanya. (Anggoro,
2008 : 212)
Keterangan :
Kutipan di atas adalah kesedihan yang dialami Jati ketika
melihat orang yang paling disayanginya itu telah tiada di depan matanya.
Dia terus memandangi jenazah bapaknya, begitu berat dia megikhlaskan
kepergian bapaknya dan tanpa terasa dia menitikkan air mata untuk
kesekian kalinya, hal ini seperti yang terdapat pada kutipan berikut “tanpa
terasa air matanya kembali menitik membasahi kedua belah pipinya begitu
melihat orang yang paling disayanginya itu telah tiada di depan matanya”.
KEBENCIAN
No. Data : 4
Halaman : 327
Data/Kutipan :
Teriakan bernada keras itu mengagetkan semua orang
yang berada di ruangan itu. Belum hilang rasa kaget
mereka, mendadak mereka kembali dikejutkan dengan
kemunculan Jati yang terus berteriak–teriak meminta
pernikahan Nastiti dan Hafizh dihentikan!. (Anggoro,
2008 : 327)
Keterangan :
Kutipan di atas menggambarkan tindakan Jati untuk membatalkan
64
pernikahan mantan istrinya dengan Hafizh. Semua itu dilakukan Jati karena
kebencian dan kecemburuannya terhadap Hafizh yang telah mengambil Nastiti
darinya. Dia tidak rela mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain, sehingga
dia mencoba membatalkan pernikahan tersebut.
No. Data : 5
Halaman : 406
Data/Kutipan :
Bukan main terkejutnya Jati saat itu. Debaran-debaran
dalam hatinya jadi kian tak menentu. Inilah sosok
wanita yang selalu menghantui pikirannya. Inilah sosok
wanita yang sangat dirindukannya. Keperihan hatinya
semakin menjadi-jadi manakala dia melihat kehamilan
nastiti, mantan istrinya yang datang bersama dengan
suaminya. (Anggoro, 2008 : 406)
Keterangan:
Kutipan di atas terlihat rasa benci Jati ketika kedatangan Nastiti dan Hafizh di
rumah sakit. Jati benar-benar dibakar api cemburu melihat kedatangan mereka,
terlebih lagi dia melihat kehamilan wanita yang dicintainya, melihat itu semua
luka dalam hatinya semakin perih.
65
CINTA
No. Data : 4
Halaman : 75
Data/Kutipan :
“Ssss…saya….ingin minta tolong kepada Pak Kiai.
Saya sangat mencintai istri saya, Pak Kiai. Saya tidak
ingin berpisah dengan istri saya, Pak Kiai.
Sss…saya…ingin kembali menikahi istri saya, Pak
Kiai….,”
“Nggak bisa begitu, Jati. Walau kamu sampai mengis
darah sekalipun, nggak mungkin kamu bisa langsung
menkahi istrimu lagi. Kecuali jika istrimu sudah
menikah lagi dengan laki-laki lain. Baru kamu bisa
menikahi istrimu lagi. Itu pun kalau suami kedua dari
istrimu itu mau menceraikan istrimu. Kalau tidak,
kamu ya tetap tidak bisa menikahi istrimu lagi, Jat….”
“Ttt…tolonglah saya, Pak Kiai! Saya…saya benar-
benar minta tolong, Pak Kiai. Carikanlah saya jalan
keluarnya agar saya bisa kembali menikahi istri saya,
Pak Kiai….!”
“Tetap nggak bisa, Jat. Ini semua sudah ketentuan
Allah. Nggak bisa diakal-akali lagi. Kecuali kalau talak
raji, kamu masih bisa rujuk atau menikahi istrimu lagi.
Tapi, talak yang sudah kamu jatuhkan ini adalah talak
bain kubro. Talak yang nggak mungkin kamu bisa
menikahi istrimu lagi sebelum istrimu menikah lagi
dengan orang lain, Jat. Pernikahan itu sendiri juga
bukan main-main. Mereka juga harus bercampur
terlebih dulu, Jat.” (Anggoro, 2008 : 75)
Keterangan :
Kutipan pertama dan ketiga menjelaskan dalam keadaan bingung Jati
memikirkan bagaimana caranya agar dirinya dapat kembali hidup bersama
mantan istrinya, karena dia masih mencintai mantan istrinya, sehingga dia
meminta bantuan kepada pak Kiai Ahmad Badawi, guru agama waktu dia
masih aktif di pesantren. Jati menceritakan permasalahan yang dihadapinya
kepada pak Kiai Ahmad Badawi, dengan harapan besar dia dapat menemukan
solusi dari masalah itu, namun sebaliknya setelah bertemu dengan guru
agamanya dan menceritakan semua permasalahannya, justru semakin tetutup
dirinya untuk dapat kembali dengan mantan istrinya, karena talak yang
dijatuhkan adalah talak bain kubro, yang berarti Jati tidak dapat bersatu lagi
sebelum istrinya menikah dengan laki-laki lain kemudian laki-laki itu
menceraikannya, seperti yang terdapat pada kutipan kedua dan keempat.
66
No. Data : 3
Halaman : 45
Data/Kutipan :
Sore itu, Jati tidak tahan lagi untuk bertemu dengan Nastiti.
Maka, sore itu pula Jati memutuskan untuk pergi ke rumah
Nastiti. Apalagi selama masa Iddah, Jati tidak pernah lupa
memberikan nafkah. Entah itu uang belanja, makanan, pakaian,
maupun yang lain-lainnya. Walau sebenarnya Jati tahu kalau istri
yang mendapat talak dan nusyuz kepada suaminya itu tidak
berhak mendapatkan nafkah apalagi tempat tinggal karena
kedurhakaannya. Akan tetapi, entah mengapa, walau Jati tahu
kalau istrinya telah berbuat nusyuz kepada dirinya karena berani
melawan bapaknya, Jati masih bersdia memberikan nafkah
kepada mantan istrinya selama menjalani masa iddah. Hal ini
semata-mata rasa cintanya yang mendalam kepada mantan
istrinya. (Anggoro, 2008 : 45)
Keterangan:
Kutipan di atas adalah bukti bahwa Jati masih sangat mencintai Nastiti
meskipun dia sudah menjatuhkan talak. Selama masa iddahnya, Nastiti juga
tetap dinafkahi oleh Jati meskipun mantan istrinya telah berbuat salah dan
berani melawannya. Namun semua itu dilakukan Jati semata-mata karena
cintanya yang begitu dalam kepada mantan istrinya.
67
SILABUS PEMBELAJARAN
Nama Sekolah :
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : XI
Semester : 1
Standar Kompetensi : Membaca
2. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
Kompetensi
Dasar
Materi
Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran
Indikator Pencapaian
Kompetensi Penilaian
Alokasi
Waktu
Sumber/
Bahan/ Alat
7.2
Menganalisis unsur-
unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel
Indonesia/terjemahan
Novel Indonesia yaitu Jangan
Miringkan Sajadahmu karya
Muhamad B. Anggoro
unsur-unsur intrinsik ( alur,
tema, penokohan, sudut
pandang, latar, dan amanat)
unsur ektrinsik dalam novel
terjemahan(nilai budaya,
sosial, moral, dll)
Membaca novel
Indonesia dan novel
terjemahan
Menganalisis unsur-
unsur ekstrinsik dan
intrinsik ( alur, tema,
penokohan, sudut
pandang, latar, dan
amanat) novel Indonsia
dan terjemahan
Membandingkan unsur
ekstrinsik dan intrinsik
novel terjemahan dengan
novel Indonesia
Memahami unsur-unsur
intrinsik (tokoh dan
penokohan) novel
Jangan Miringkan
Sajadahmu
Memahami unsur-unsur
ekstrinsik klasifikasi
emosi (rasa bersalah,
rasa bersalah yang
dipendam, menghukum
diri sendiri, rasa malu,
kesedihan, kebencian,
dan cinta)
Jenis Tagihan:
tugas kelompok
tugas kelompok
ulangan
Bentuk
Instrumen:
uraian bebas
pilihan ganda
jawaban singkat
45 menit
novel
Indonesia
(Jangan
Miringkan
Sajadahmu)
68
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
Satuan Pendidikan :
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas : XI IPA/IPS
Semester : I
Alokasi waktu : 1x pertemuan (2 X 45 menit)
A. Standar Kompetensi
Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan
B. Kompetensi Dasar
7.2 Menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan
(novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro)
C. Indikator
1. Memahami unsur-unsur intrinsik (tokoh dan penokohan) novel Jangan Miringkan
Sajadahmu
2. Memahami unsur-unsur ekstrinsik klasifikasi emosi (rasa bersalah, rasa bersalah
yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan, kebencian, dan
cinta).
D. Tujuan Pembelajaran
1. Setelah berdiskusi siswa dapat memahami unsur-unsur intrinsik (tokoh dan
penokohan) novel Jangan Miringkan Sajadahmu
2. Setelah berdiskusi siswa dapat memahami unsur-unsur ekstrinsik klasifikasi emosi
(rasa bersalah, rasa bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu,
kesedihan, kebencian, dan cinta).
E. Materi Pembelajaran
1. Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro
2. Unsur-unsur intrinsik (tokoh dan penokohan)
3. Unsur-unsur ekstrinsik Klasifikasi Emosi Sigmund Freud (rasa bersalah, rasa
bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu, kesedihan,
kebencian, dan cinta)
69
F. Metode Pembelajaran
1. Diskusi
2. Penugasan
G. Sumber Belajar
1. Novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro
2. LKS
H. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
NO Kegiatan
Pertemuan 1
A Pendahuluan
Guru membuka pembelajaran dengan salam dan sapa
Guru menilai kehadiran siswa (absensi)
Guru menyampaikan topik atau tema yang akan dibahas
Guru mengarahkan pemahaman siswa mengenai materi unsur-unsur intrinsik (tokoh
dan penokohan ) novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro
B Kegiatan Inti
Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok
Guru membagikan LKS 1 pada setiap kelompok
Setiap kelompok membaca novel Jangan Miringkan Sajadahmu dan mengerjakan
LKS
Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
C Kegiatan Akhir
Guru mengevaluasi pembelajaran hari ini dan menutupnya dengan salam
I. Penilaian
1. Penilaian
Tugas Kelompok: LKS, ulangan
Bentuk Instrumen: essay
Soal essay
Bacalah sinopsis novel Jangan Miringkan Sajadahmu karya Muhammad B. Anggoro
berikut ! Cerita awalnya dimulai dengan pertengkaran antara sepasang suami-istri yang
saleh dan salehah. Dikarenakan si istri tidak mampu menerima kondisi ayah mertuanya yang
mulai pikun dan bersikap kekanak-kanakan maka si istri pun mulai merasa lelah mengurus ayah
mertuanya hingga berakibat pada pertengkaran dengan suaminya yang berakhir pada jatuhnya
talak tiga oleh Jati terhadap Nastiti. perceraian ini adalah yang ketiga kalinya bagi Jati dan
Nastiti. Kini, Jati dan Nastiti dirundung penyesalan. Sudah tak ada lagi iddah untuk rujuk. Tak
70
ada lagi pula iddah untuk menikahi kembali mantan istrinya kecuali Nastiti telah menikah
dengan orang lain dan bercerai dengan suai keduanya. Jati menyesali dirinya yang telah berlaku
tegas menalak Nastiti hanya karena Nastiti meminta ayah Jati pindah ke rumah lain. Sementara
Nastiti menyesali dirinya yang kurang sabar menghadapi perilaku ayah mertuanya yang bersikap
kekanak-kanakan dan mulai pikun. Setiap hari Jati melamun, ia menyesal telah menalak tiga
istrinya. Kini hanya ada penyesalan-pnyesalan dan kekecewaan-kekecewaan yang kian
bertumpuk-tumpuk memenuhi hatinya.
Demi syariah yang ditetapkan Allah SWT, Jati dan Nastiti menerima sosok Hafizh
dalam kehidupan mereka. Setelah perceraiannya dengan Nastiti, Jati seringkali merasa cemburu
melihat mantan istrinya jalan berdua dengan Hafizh. Dia ingin sekali menegur mantan istrinya
dan memintanya untuk menjauhi Hafizh, namun apa daya kini dia tidak mempunyai hak atas
Nastiti karena statusnya sudah menjadi mantan suami. Jati semakin sakit hati setelah mendengar
kabar dari Aini kalau mantan istrinya akan menikah dengan Hafizh kakaknya Aini, Jati semakin
geram karena orang yang dicintainya akan menikah dengan laki-laki lain dan dia tidak bisa
membatalkan pernikah tersebut. Setelah pernikahan mantan istrinya, Jati merasa sedih, dan
menghukum dirinya dengan mengurung diri di rumah tanpa bertemu dengan orang lain termasuk
Aini, orang yang diam-diam mencintainya. Aini selalu memperhatikan Jati setelah perceraiannya
dengan Nastiti, namun pengorbanan yang dilakukan Aini tidak membuat hati Jati untuk
mencintainya karena dia masih mencintai mantan istrinya.
71
SKOR NILAI
NO Format soal unsur intrinsik (tokoh dan penokohan) skor
1. Jelaskan masing-masing karakter tokoh dalam novel Jangan Miringkan
Sajadahmu!
Jelaskan 6 jenis tokoh berdasarkan penamaannya!
Identifikasilah tokoh utama dan tokoh sampingan dalam novel Jangan
Miringkan Sajadahmu!
10
7
2
Skor Maksimal 10
NO Format soal unsur ekstrinsik klasifikasi emosi (rasa bersalah, rasa
bersalah yang dipendam, menghukum diri sendiri, rasa malu,
kesedihan, kebencian, dan cinta)
skor
2. Jelaskan tujuh klasifikasi emosi menurut Sigmun Freud!
Jelaskan emosi yang dialami Jati setelah bercerai dengan istrinya
Jelaskan emosi apa yang mendominasi Jati setelah bercerai dengan istrinya
10
7
2
Skor Maksimal 10
72
IDENTITAS NOVEL
JUDUL : JANGAN MIRINGKAN SAJADAHMU
PENGARANG : MUHAMMAD B. ANGGORO
PENERBIT : DIVA PRESS
TAHUN : 2008
Sinopsis Novel Jangan Miringkan Sajadahmu Karya Muhammad B. Anggoro.
Mengerikan sekali jika membayangkan seorang suami menjatuhkan talak tiga gara-gara
emosi sesaat sedangkan mereka masih saling cinta. Hasilnya secara syariah harus ada laki-laki lain
yang menikahi istrinya. Dalam dunia nyata, kejadian seperti ini pun seringkali terjadi. Kiranya novel
Jangan Miringkan Sajadahmu ini dapat menjadi renungan bagi kita semua, khususnya para suami-
istri.
Cerita awalnya dimulai dengan pertengkaran antara sepasang suami-istri yang saleh dan
salehah. Dikarenakan si istri tidak mampu menerima kondisi ayah mertuanya yang mulai pikun dan
bersikap kekanak-kanakan maka si istri pun mulai merasa lelah mengurus ayah mertuanya hingga
berakibat pada pertengkaran dengan suaminya yang berakhir pada jatuhnya talak tiga oleh Jati
terhadap Nastiti. Proses perceraian antara Jati dengan Nastiti telah diajukan kepengadilan. Sekarang
mereka tinggal menunggu keputusannya saja, proses perceraian ini adalah yang ketiga kalinya bagi
Jati dan Nastiti. Kini, Jati dan Nastiti dirundung penyesalan. Sudah tak ada lagi iddah untuk rujuk.
Tak ada lagi pula iddah untuk menikahi kembali mantan istrinya kecuali Nastiti telah menikah dengan
orang lain dan bercerai dengan suai keduanya. Jati menyesali dirinya yang telah berlaku tegas
menalak Nastiti hanya karena Nastiti meminta ayah Jati pindah ke rumah lain. Sementara Nastiti
menyesali dirinya yang kurang sabar menghadapi perilaku ayah mertuanya yang bersikap kekanak-
kanakan dan mulai pikun. Setiap hari Jati melamun, ia menyesal telah menalak tiga istrinya. ia mulai
merasakan betapa pentingnya kehadiran seorang istri. Tetapi nasi telah menjadi bubur inilah
kenyataan pahit yang harus ditelannya. Dia harus berpisah dengan Nastiti, bercerai dengannya, harus
ikhlas menerima kenyataan pahit ini karena dia lebih memilih menjaga dan mengurus bapaknya yang
telah tua ketimbang hidup dan bahagia dengan Nastiti. Kini hanya ada penyesalan-pnyesalan dan
kekecewaan-kekecewaan yang kian bertumpuk-tumpuk memenuhi hatinya.
Suatu hari Jati mendatangi Kyai Ahmad Badawi, beliau adalah ustad di pondok pesantren At-
Tauhid tempat dia pernah nyantri. Jati menceritakan penyebab mengapa ia menalak istrinya, ia
menangis, dan ia menginginkan kembali menikahi istrinya. Mendengar keluhan Jati, Kyai Ahmad
badawi justru menjawab dengan tegas bahwa Jati tidak bisa menikahi istrinya lagi, kecuali mantan
73
istrinya telah dinikahi laki-laki lain dan diceraikan kembali. Jati menangis tanpa henti, ia tak mengerti
apa yang harus dilakukannya kini. Terbayangkah bagaimana rasanya bila sepasang suami-istri yang
salih-salihah, hanya sebab emosi sesaat, terlontarkan talak tiga. Maka jatuhnya talak tiga yang penuh
nafsu yang mengakibatkan terpisahnya cinta dan kasih itu. Demi syariah yang ditetapkan Allah SWT,
Jati dan Nastiti menerima sosok Hafizh dalam kehidupan mereka. Tetapi rupanya harga diri, emosi,
cinta, cemburu, nafsu, sesal, getir, patuh dan rasa takut kehilangan sungguh tidak sesederhana itu.
Apalagi selalu ada setan yang tak kunjung capek menarik-narik sajadah kepatuhan di hati mereka agar
tidak lurus kembali.
Aini kembali membawakan hasil masakannya sendiri ke rumah Jati. Semenjak ayah Jati
meninggal, Aini mulai sering membawakan Jati makanan karena kini Jati tinggal seorang diri di
rumahnya. Tapi bukan itu saja alasan Aini kerap memasak untuk Jati, Aini mulai merasa jatuh cinta
dengan duda yang mantan istrinya kini didekati oleh kakak kandungnya, Hafizh. Tapi bagaimana Jati
bisa menerima Aini jika Jati tidak bisa membuka pintu hatinya untuk Aini, karena dalam hati Jati
hanya ada Nastiti, semua cinta, seluruh rindunya hanya untuk Nastiti seorang. Sudut-sudut relung
hatinya hanya berisi wajah cantik Nastiti. Seluruh pikiran, lamunan dan harapannya hanya ada Nastiti
saja.
Nastiti menangis meski tanpa suara tapi air mata membanjiri kedua pipinya. Hari ini adalah
hari pernikahannya dengan Hafizh, pemuda yang telah lama menaruh hati padanya sebelum dia
menikah dengan Jati. Tamu-tamu yang datang menghadir acara syukuran pernikahan Nastiti dan
Hafizh mengira itu adalah air mata kebahagiaan sang pengantin, namun hanya Nastit yang tahu kalau
air matanya adalah air mata kepedihan karena dia menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
Cintanya telah habis diserahkan kepada seorang Jati yang kini menjadi mantan saminya. Sementara
Jati menyusun rencana demi mendapatkan kebali Nastiti, dia tengah merencanakan perceraian Nastiti
dengan Hafizh. Suati hari Jati menemui Nastiti dan menyampaikan maksudnya agar Nastiti meminta
cerai dari Hafizh, tetapi betapa kecewanya Jati, Nastiti menolaknya karena Nastiti tengah
mengandung anak Hafizh.
Hari-hari yang dilalui Jati dirasakannya begitu sunyi, walaupun ada seorang wanita yang
sangat mencintai dan mengharapkannya tetapi Jati tidak mempedulikannya. Di hatinya hanya ada
Nastiti seorang. Akibat terlalu memikirkan Nastiti akhirnya Jati jatuh sakit higga suatu hari Nastiti
dan Hafizh menjenguknya. Jati yang terbaring lemah terperanjat dengan kedatangan mantan istrinya
itu, ia memandangi perut Nastiti yang sudah membesar. Betapa hancur hati Jati, ingin rasanya ia
menangis sejadi-jadinya tapi itu tak mungkin terjadi. Rupanya perasaan itu juga tengah dirasakan oleh
Nastiti. Ia merasa menyesal bercerai dengan Jati, ia juga menyesal menikah dengan Hafizh apalagi
dengan kehamilannya.
74
Pagi hari ketika manusia sibuk dengan pekerjaanya, tiba-tiba terdengar suara dari masjid
dekat rumah Nastiti, suara itu adalah suara seseorang yang mengabarkan berita kematian dan ternyata
orang yang dikabarkan meninggal itu adalah Jati. Betapa hancur hati Nastiti mendengar berita itu.
Begitu juga dengan Aini wanita yang tak kalah cintanya dengan Jati. Ketika jenazah Jati datang
Nastiti dan Aini jatuh pingsan tak kuasa menahan kepedihan.