-
Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Desember, 2010
Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan Hirarki Pusat
Pertumbuhan/Pelayanan terhadap
Perubahan Struktur Penggunaan
Lahan di Provinsi Jambi
Yulmardi, Yulmardi; Junaidi, Junaidi; Nurjanah, Rahma Nurjanah
LAPORAN PENELITIAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JAMBI
DESEMBER, 2010
-
i
RINGKASAN
Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Hirarki Pusat
Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Lahan
di Provinsi Jambi
Yulmardi, Junaidi, Rahma Nurjanah
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) pertumbuhan penduduk
kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan kecenderungan pola
penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat pertumbuhan/ pelayanan
di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan
hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur
penggunaan lahan.
Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Jambi. Data yang digunakan adalah data penduduk, penggunaan lahan dan sarana
prasarana pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001 dan 2008.
Analisis data dengan menggunakan Analisis Komponen Utama dan Korelasi
Hasil analisis menemukan: (1) Pertumbuhan penduduk bervariasi antar
kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro Jambi dan
yang terendah Kabupaten Kerinci. (2) Telah terjadi pergeseran struktur
penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) Selama periode 2001 - 2008, Kota Jambi
dan Kabupaten Batanghari menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi, sedangkan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki hirarki terendah. (4) Tidak ada
keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat
pelayanan/pertumbuhan. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan penggunaan lahan.
Pada penelitian ini menyarankan untuk: (1) Perlu dikembangkan pusat-
pusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di Provinsi Jambi selain Kota
Jambi. (2) Perlunya perhatian lebih pada wilayah yang terindikasi mengalami
penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan.(3)
Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur penggunaan
lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan perlu diwaspadai, terutama
ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi sudah relatif tinggi
-
ii
KATA PENGANTAR
Penelitian ini berjudul Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan
Hirarki Pusat Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan
Lahan di Provinsi Jambi. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis: (1)
pertumbuhan penduduk kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan
kecenderungan pola penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat
pertumbuhan/ pelayanan di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan
penduduk berdasarkan hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola
perubahan struktur penggunaan lahan.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Rektor Universitas Jambi
2. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi
3. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jambi
4. Ketua Program Ekstensi Fakultas Ekonomi Universitas Jambi
Atas segala bantuan baik moril maupun materil, sehingga terealisasinya
penelitian ini.
Akhirnya, semoga informasi singkat ini dapat bermanfaat bagi peneliti
khususnya dan peneliti lainnya serta pihak-pihak yang berkepentingan umumnya.
Kritik dan saran membangun dari semua pihak selalu diterima dengan senang
hati, demi kesempurnaan laporan ini.
Jambi, Desember
2010
Ketua Peneliti
-
iii
DAFTAR ISI
halaman
RINGKASAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................ ....................................... 1
1.2. Perumusan Masalah....................................................... ....................................... 1
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori................... ......................................... ....................................... 3
2.2. Kerangka Pemikiran...................................................... ....................................... 9
2.3. Hipotesis...... ................................................................ ....................................... 11
III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian.......................................................... ....................................... 12
3.2. Manfaat Penelitian........................................................ ....................................... 12
IV METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian......................................... ....................................... 13
4.2. Data yang Digunakan.................................................... ....................................... 13
4.3. Rencana Analisis Data................................................... ....................................... 13
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pertumbuhan Penduduk....................................................... ............................. 17
5.2. Penggunaan Lahan............................................................... .............................. 23
5.3. Hirarki Pusat Pertumbuhan ................................................. ............................... 31
5.4. Hubungan Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan Lahan ..............................................................
...............................
34
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ................................................................. ....................................... 36
6.2. Saran ........................................................................... ....................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
-
iv
DAFTAR TABEL
Judul Halaman
Tabel 5.1. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi
Tahun 2001 dan 2008
18
Tabel 5.2. Distribusi Penduduk Provinsi Jambi Menurut Kelompok
Umur Tahun 2001-2008
18
Tabel 5.3. Luas Wilayah, Penduduk dan Tingkat Kepadatan
Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi 2008
22
Tabel 5.4. Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2001 2008 (dalam persentase)
24
Tabel 5.5. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi Tahun 2001 (dalam persentase)
25
Tabel 5.6. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi Tahun 2008 (dalam persentase)
25
Tabel 5.7. Perubahan Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota
di Provinsi Jambi selama Periode 2001 2008 (dalam persen perubahan)
27
Tabel 5.8. Analisis Komponen Utama Penggunaan Lahan Provinsi
Jambi Tahun 2001 - 2008
28
Tabel 5.9. Nilai Skor Baku Komponen Faktor Utama L1 dan L2
Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
29
Tabel 5.10. Analisis Komponen Utama Indeks Pusat Pelayanan
Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
32
Tabel 5.11. Nilai Skor Baku Komponen Sarana Prasarana di
Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008
33
Tabel 5.12. Matriks Korelasi Pertumbuhan Penduduk, Hirarki Pusat
Pertumbuhan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi
35
-
v
DAFTAR GAMBAR
Judul Halaman
Gambar 2.1. Hubungan Antara Land Rent dan Lokasi pada Berbagai
Sektor Ekonomi
7
Gambar 2.2. Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris
8
Gambar 2.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Pertumbuhan
Penduduk dan Perubahan Penggunaan Lahan
11
Gambar 5.1. Piramida Penduduk Provinsi Jambi, Tahun 2008
21
-
1
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mengalami
pertumbuhan penduduk relatif tinggi. Selama periode 2001 - 2008, laju
pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi sebesar 2,02 persen pertahun. Sebaliknya
pada periode yang sama rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah
1,35 persen pertahun.
Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di suatu wilayah, pada
gilirannya akan mengakibatkan kebutuhan lahan di wilayah tersebut cenderung
meningkat. Pertambahan jumlah penduduk yang juga diikuti oleh meningkatnya
berbagai aktivitas ekonomi akan mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap lahan
dan memicu terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan pada suatu wilayah.
Pergeseran pola penggunaan lahan ini menurut Saefulhakim, dkk (1994),
akan memberikan implikasi yang cukup luas terhadap keragaan perekonomian
wilayah, alokasi sumberdaya dan tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah.
Implikasi tersebut dapat berdampak negatif, jika perubahan pola penggunaan
lahan tersebut tidak ditanggapi melalui berbagai kebijakan-kebijakan publik yang
tepat dan terarah.
Berdasarkan hal tersebut, untuk mengeliminir berbagai dampak negatif
dari perubahan pola penggunaan lahan sebagai akibat pertumbuhan penduduk
yang pesat di Provinsi Jambi, maka perlu dilakukan kajian mengenai aspek-aspek
perubahaan penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk
wilayah tersebut. Selanjutnya dalam rangka mengkaitkannya dengan proses
pembangunan yang terjadi, maka pertumbuhan penduduk juga akan dikaitkan
dengan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi.
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang dapat dirumuskan permasalahan penelitian
dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di
-
2
Provinsi Jambi ?
2. Bagaimanakah struktur penggunaan lahan dan pola perubahannya di
Provinsi Jambi ?
3. Bagaimanakah hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di
Provinsi Jambi?
4. Bagaimanakah keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan
hirarki pusat pertumbuhan terhadap pola perubahan struktur
penggunaan lahan di Provinsi Jambi ?
-
3
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu
wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya.
(http://www.datastatistikindonesia.com). Pertumbuhan penduduk merupakan
keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan
kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Kekuatan-kekuatan yang
menambah adalah kelahiran dan migrasi masuk, sedangkan kekuatan-kekuatan
yang mengurangi adalah kematian dan migrasi keluar. Jadi pertumbuhan
penduduk hanya dipengamhi oleh dua Cara yaitu: melalui perubahan reproduksi
dan migrasi neto (Yasin, 2007).
Pertumbuhan penduduk tersebut dapat dinyatakan dengan formula
sebagai berikut: Pt=Po + (B-D) + (Mi - Mo)
Dimana:
Po : Jumlah penduduk pada tahun dasar
Pt : Jumlah penduduk pada tahun t
B : kelahiran yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya
D : kematian yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya
Mi : Migrasi masuk yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya
Mo : Migrasi keluar yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya
Indikator tingkat pertumbuhan penduduk sangat berguna untuk
memprediksi jumlah penduduk di suatu wilayah atau negara dimasa yang akan
datang. Diketahuinya jumlah penduduk yang akan datang, diketahui pula kebu-
tuhan dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di
bidang politik misalnya mengenai jumlah pemilih untuk pemilu yang akan datang.
2.1.2. Hirarki Pusat Pertumbuhan
Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan
aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan
kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu:
-
4
1. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai
puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu;
2. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di
pusat-pusat pertumbuhan ini, secara nasional melalui hirarkhi kota-
kota dan secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke
daerah belakang (hinterland) masing-masing (Soedjito, 1995).
Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler
yang kemudian dikenal sebagai teori tempat central (Central Place Theory) yang
selanjutnya dikembangkan oleh Losch, Berry dan Garrison (Hanafiah, 1985).
Menurut teori pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang
dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah
perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah
belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju
peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan
perkotaan (Richardson, 1974).
Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah
dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas:
1. Pusat pelayanan pada tingkat lokal;
2. Titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah;
3. Pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah;
4. Kutub pertumbuhan pada tingkat nasional.
Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara
terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi
perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan
bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan
berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya
perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak
merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai
maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang nntuk membeli barang
tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat.
Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam
aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat
-
5
kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan
kesejahteranan masyarakat ini ditentukan oleh derajat penyediaan fasilitas
pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga
akan mendorong aktivitas ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan
oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu
implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan
sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan
menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang barn bagi kegiatan manusia.
Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan
pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui
hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland)
dalam ruang Iingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa
spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu
fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland).
Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang
erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas
pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat,
baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah
belakangnya.
2.1.3. Teori Lokasi dan Alokasi Sumberdaya Lahan
Teori Von Thunen (Djojodipuro, 1992), dikenal sejak abad 19, dimana
teori ini merupakan model tata ruang sederhana yang didasarkan pada suatu titik
permintaan dalam suatu lingkaran ekonomi perdesaan yang mempunyai struktur
pasar sempurna, baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan,
seluruh wilayah dapat dijangkau tetapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada
ekspor dan impor. Berdasarkan asumsi tersebut, alokasi lahan akan mengikuti
pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran dengan kota sebagai pusatnya
sekaligus sebagai tempat pemukiman, kemudian areal sawah, tegalan, kebun dan
hutan. Bentuk lingkaran tidak selalu simetris akan tetapi tergantung pada akses
yang ada, misalnya melonjong mengikuti akses jalan ataupun sungai.
Menurut Pakpahan dan ,Anwar, 1989 dalam Somaji (1994), teori ini
merupakan model statis yang menghasilkan keseimbangan berdasarkan tiga
-
6
parameter: harga jual, biaya produksi dan biaya angkutan. Sehingga kalau
digunakan sebagai pedoman keputusan alokasi lahan memiliki beberapa
kelemahan. Salah satunya kelemahan asumsi pasar yang sempurna, baik untuk
input maupun output karena adanya spatial monopoli. Sistem satu pasar, dalam
arti semua komoditi dijual di pusat kota merupakan kelemahan lain, sebab secara
empirik ada beberapa komoditi yang dijual di pasar lain. Dernikian pula asumsi
homogenitas transportasi adalah jauh dari realitas. Akan tetapi terlepas dari
beberapa kelemahan diatas, model Von Thunen tersebut merupakan model awal
yang penting sebagai peletak dasar untuk membuat model tata guna lahan yang
lebih baik.
Sementara itu, teori yang dikemukakan oleh Alfred Wcber (Glasson,
1990) biasanya disebut sebagai teori biaya terkecil. Di dalam teori tersebut Weber
mengasumsikan: (1) bahwa daerah yang menjadi objek penelitian adalah daerah
yang terisolasi, konsumennya terpusat pada pusat-pusat tertentu. Semua unit
perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna;
(2) semua sumberdaya alam tersedia secara tidak terbatas; (3) barang-barang
lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas
pada sejumlah tempat; (4) tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang
menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi. Menurut Weber ada tiga faktor
yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja
dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus
terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang
membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai
input dan pendistribusian yang minimum.
Dipandang dari segi tata guna lahan, model Weber berguna untuk
merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar
nasional atau pasar dunia. Dalam model ini fungsi tujuan adalah meminimumkan
ongkos transportasi sebagai fungsi dad jarak dan berat barang yang harus
diangkut (input dan output). Kritikan terhadap model ini terutama pada asumsi
biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak
memperhatil;Can faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.
-
7
Selanjutnya Anwar (1994), menggambarkan tentang hubungan antara nilai
land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan
kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang
tinggi, sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya
sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial, nilai land rent-nya
semakin kecil. Land rent dalam konteks ini diartikan sebagai Locational Rent.
Gambar 2.1. Hubungan Antara Land Rent dan Lokasi pada Berbagai
Sektor Ekonomi
Land Rent
Lokasi Utama Jarak dari lokasi utama (km)
Sumber : Anwar (1993)
Selanjutnya, ilustrasi gambar tersebut diatas dapat digamarkan dalam
bentuk model tata guna lahan lingkaran konsentris (Anwar, 1993 dalam Somaji,
1994), dimana persaingan antara berbagai kegiatan akan menghasiikan suatu pola
tata guna lahan yang berbentuk lingkaran konsentris seperti tampak dalam gambar
berikut ini:
-
8
Gambar 2.2. Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris
Jarak (km)
Sumber: Anwar, 1993
Keterangan:
1. Kawasan Komersial (Finansial)
2. Kawasan Industri
3. Kawasan Perumahan
4. Wilayah Pertanian
2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan adalah dampak dari segala kegiatan manusia
diatas muka bumi (Sandy, 1995). Penggunaan lahan merupakan jenis usaha
manusia secara bertahap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik materiil maupun spiritual dengan memanfaatkan sumberdaya yang disebut
lahan. Dengan demikian, 'penggunaan lahan merupakan hasii kegiatan manusia
yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serla kegiatan sosial-
ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan, antara lain: jenis
lahan, topografi, ketinggian, aksesibilitas dan tekanan penduduk (Soerianegara,
1977). Sedangkan menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi
pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan
ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis berkaitan
-
9
dengan lingkungan fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan
dukungan sifat-sifat alam yang sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang
untuk kegiatan manusia, dan komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan
geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor
pertimbangan ekonomi meliputi: produktivitas, pemasaran, transportasi dan
kebutuhan yang dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi.
Sedangkan faktor institusi dicirikan oleh ada tidaknya hukum pertanahan yang
berlaku di masyarakat, dan tidak bertentangan dengan keadaan sosial budaya serta
kepercayaan, yang secara empirik dapat diterima dan dilaksanakan oleh
masyarakat.
Penggunaan lahan juga ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan
ketinggian, aksesibilitas, kemainpuan dan kesesuaian lahan serta tekanan
penduduk. Lahan yang subur lebih banyak digunakan untuk pertanian dan
biasanya berpenduduk padat (Sandy, 1985). Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi arah perkembangan dan laju penggunaan lahan pertanian di
perkotaan dan wilayah sekitarnya antara lain: indeks aksesibilitas, faktor sosial,
faktor lingkungan fisik dan kebijakan infrastruktur (Owen, 1978). Sementara itu
Bern (1977), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan adalah akibat
dan jumlah dan komposisi penduduk secara herkala ataupun permanen. Pengaruh
yang lain ialah terhadap ekonomi iahan, seperti harga, sewa dan, pasar lahan.
2.2. Kerangka Pemikiran
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan lahan terus
semakin meningkat. Hal ini akan membawa konsekuensi, bahwa lahan terutama
di pusat pertumbuhan akan mempunyai nilai kelangkaan (scarcity) yang sangat
tinggi, sehingga akan memberikan tekanan-tekanan terhadap lahan yang tersedia,
dan pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya peruhahan penggunaan lahan.
Pada saat yang bersamaan di pusat-pusat pertumbuhan, akan terjadi
pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Pesatnya pertumbuhan penduduk
tersebut antara lain disehabkan, baik oleh faktor alami seperti: fertilitas, maupun
migrasi yang dapat dilihat dan adanya fenomena migrasi.
-
10
Selanjutnya pusat pertumbuhan dapat diurutkan tingkat hirarkhinya berda-
sarkan kemampuan dalam menyediakan fasilitas pelayanan. Hirarkhi pusat
pertumbuhan dihasilkan oleh hubungan antara ukuran dan fungsi pusat
pertumbuhan serta jarak inter-urban. Distribusi spatial yang berkaitan dengan
penggunaan lahan dan persebaran penduduk antara lain dipengaruhi oleh struktur
jaringan transportasi.
Teori pusat pertumbuhan, ini dapat diterapkan untuk menjelaskan interaksi
antara pusat pertumbuhan dengan hinterland-nya atau menerangkan saling keter-
kaitan antar daerah dalam suatu hirarki wilayah. Proses interaksi dan saling
keterkaitan dapat terjadi secara langsung tanpa perantaraan pusat atau wilayah
yang lain maupun secara tidak langsung, yaitu melalui perantaraan pusat atau
wilayah lain. Proses tersebut diasumsikan dilakukan melalui jarak terpendek.
Dengan demikian, jarak merupakan faktor kunci bagi teori pusat pertumbuhan.
Pusat pertumbuhan, dianggap sebagai pusat pelayanan akan berpengaruh
terhadap daerah belakangnya, dan diperkirakan faktor jarak dari pusat pelayanan
akan berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan. Penggunaan lahan di pusat
pertumbuhan cenderung memiliki intensitas yang lebih tinggi, dibandingkan
dengan lokasi yang jauh dari pusat pertumbuhan. Artinya, intensitas penggunaan
lahan akan berbanding terbalik dengan jaraknya terhadap pusat pertumbuhan.
Disini, penggunaan lahan sargat menentukan cara-cara masyarakat berfungsi, hal
ini dapat dipahami mengingat lahan adalah matrik dasar kehidupan dan
pembangunan. Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung
maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Dengan demikian,
pola penggunaan lahan merupakan pencerminan dari budaya, tingkat hidup dan
corak kehidupan dari masyarakat. Oleh karena budaya, tingkat hidup dan corak
kehidupan dari masyarakat bersifat dinamis yang orientasinya selalu berubah
setiap saat sejalan dengan pertambahan penduduk dan dinarnika pembangunan,
dengan demikian maka pola penggunaan lahan juga bersifat dinamis.
Fenomena tersebut pada gilirannya akan berakibat pada perubahan mutu
lingkungan hidup dan peningkatan nilai lahan. Bahkan dalam kerangka yang lebih
luas, fenomena pemanfaatan lahan maupun alih guna lahan akan memberikan
-
11
implikasi yang cukup luas terhadap keragaan perekonomian wilayah, alokasi
sumberdaya dan tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah.
Gambar 2.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Penduduk
dan Perubahan Penggunaan Lahan
2.3. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut: "Ada hubungan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarki pusat
pertumbuhan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan di wilayah
Provinsi Jambi"
Aktivitas Sosial
Ekonomi
Hirarki Pusat Pertumbuhan/
Pelayanan
Aktivitas Sosial
Ekonomi
Kualitas
Lingkungan
Aksesibilitas
Aktivitas Sosial
Ekonomi
Perubahan Pola
Penggunaan
Lahan
-
12
BAB III.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan utnuk:
1. Untuk menganalisis pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di
Provinsi jambi
2. Untuk menganalisis perubahan dan kecenderungan pola penggunaan lahan di
Provinsi Jambi
3. Untuk menganalisis hirarkhi pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di Provinsi
Jambi
4. Untuk menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan
hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur
penggunaan lahan
3.2. Manfaat Penelitian
Hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan arahan bagi perumusan
kebijaksanaan dalam pengarahan laju pertumbuhan penduduk pada masa yang
akan datang, khususnya dalam usaha meninjau kembali pola penggunaan lahan
dalam kerangka penataan ruang bagi pembangunan yang berwawasan spasial,
integral dan berkelanjutan.
-
13
BAB IV.
METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 4 (empat) bulan, yang meliputi tahap
persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan laporan. Lokasi penelitian
adalah Provinsi Jambi dengan cakupan 9 (sembilan) kabupaten dan 1 (satu) kota
yang ada dalam wilayah Provinsi Jambi. Mengingat ketersediaan data, Kota
Sungai Penuh yang merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 2008 dalam
analisis ini masih tergabung dalam Kabupaten Kerinci sebagai kabupaten
induknya.
4.2. Data yang Digunakan
Data yang digunakan dalam penelitian ini, berupa data yang dihimpun dari
berbagai publikasi resmi yang dikeluarkan oleh Dinas/Instansi Pemerintah yang
memiliki keterkaitan dengan tujuan penelitian ini, diantaranya data penduduk,
penggunaan lahani dan sarana prasarana pelayanan (pendidikan, kesehatan,
ekonomi) kabupaten/kota di Provinsi Jambi.
4.3. Rencana Analisis Data
Data yang terkumpul akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar
sebagai upaya mempermudah proses analisis. Analisis data yang dilakukan
meliputi: .
a. Pertumbuhan Penduduk
Untuk menganalisis pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota
di Provinsi Jambi digunakan data dasar penduduk kabupaten/kota tahun 2001 dan
2008.
Pertumbuhan penduduk diukur dengan menggunakan rumus pertumbuhan
eksponensial sebagai berikut:
t
ePoPtr
log))/(log(
Dirnana:
r = tingkat pertumbuhan penduduk tahunan
-
14
Pt = jumlah penduduk akhir periode
Po = jumlah penduduk awal periode
e = angka eksponensial
t = periode waktu
b. Hirarkhi Pusat Pertumbuhan/Pelayanan
Untuk menganalisis hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan digunakan data
dasar berupa jumlah unit sarana-prasarana sosial-ekonomi, jumlah penduduk dan
luas wilayah pada tiap kabupaten dan kota. Sebelumnya data dasar tersebut akan
ditransformasikan terlebih dahulu. Transformasi data dilakukan dengan cara
menghitung indeks pemusatan pelayanan (IPP).
Indeks Pemusatan Pelayanan (IPP) dihitung dengan cara sebagai berikut:
Menghitung IPP berdasarkan penduduk yaitu ratio sarana perpenduduk
kabupaten/kota dibagi dengan ratio sarana-prasarana perpenduduk Provinsi
terhadap masing-masing unit sarana dan prasarana
Menghitung IPP berdasarkan wilayah yaitu ratio sarana per luas wilayah
kabupaten/kota dibagi dengan ratio sarana-prasarana perluas wilayah Provinsi
terhadap masing-masing unit sarana dan prasarana
Menghitung rata-rata IPP dengan merata-ratakan IPP berdasarkan penduduk
dengan IPP berdasarkan wilayah
IPP pada masing-masing kabupaten atau kota dihitung pada dua titik
tahun yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2008. Selanjutnya untuk mengetahui
sarana dan prasarana yang berpengaruh sebagai penentu perkembangan wilayah
pada masing-masing daerah kabupaten/kota akan dilakukan melalui Analisis
Komponen Utama (Principal Components Analysis).
Analisis komponen utama merupakan analisis data yang dilakukan dengan
tujuan untuk menyederhanakan peubah yang diamati dengan menyusutkan atau
mereduksi dimensinya (Gasperzs, 1992). Reduksi dimensi dilakukan dengan
menghilangkan korelasi antar peubah melalui transformasi peubah-peubah asal ke
peubah-peubah baru yang tidak saling berkorelasi. Peubah baru (y) disebut
sebagai komponen utama yang merupakan basil transformasi dari peubah asal x.
-
15
Komponen utama adalah kombinasi linear terbobot peubah asal yang
dapat menerangkan keragaman data dalam proporsi tertentu.
Komponen utama ke-j dapat dituliskan sebagai berikut:
Yj = a1jX1 + a2jX2 + + apjXp
Yj = Xaj
Ragam komponen utama ke-j diperoleh dari persamaan berikut:
Y=Xa
3
2
1
...21
2...2221
1...1211
...21
2...2221
1...1211
a
a
a
XnpXnXn
pXXX
pXXX
YnpYnYn
pYYY
pYYY
Dimana:
sampel i = 1,2,3,...,n
variabel asal j = 1 ,2,3,...,p
a diperoleh dengan cara : max a'X'Xa' = Y'Y
dengan kendala a'a = 1
sehingga diperoleh persamaan akar ciri sebagai berikut: X'Xa = a, dimana
a = vektor ciri (eigen vektor) dan X = akar ciri (eigen value).
Vektor pembobot aj merupakan pembobot peubah asal bagi komponen utama ke-j
Selanjutnya untuk mendapatkan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan
kabupaten/kota di Provinsi Jambi digunakan nilai skor baku dari masing-masing
komponen faktor utama yang memiliki akar ciri > 1.
c. Penggunaan Lahan
Untuk mengetahui pola penggunaan lahan, data dasar yang digunakan
adalah data luas lahan dari tiap jenis penggunaan lahan di tiap kabupaten/kota.
Analisis data akan dilakukan melalui penghitungan nilai LQ (Location Quotient)
penggunaan lahan pada dua titik waktu. Selanjutnya nilai LQ penggunaan lahan
tersebut akan dianalisis melalui Analisis Komponen Utama.
Selanjutnya untuk mendapatkan posisi pangsa relatif jenis penggunaan
lahan dalam komponen faktor utama antara kabupaten/kota di Provinsi Jambi
-
16
digunakan nilai skor baku masing-masing komponen faktor utama yang memiliki
akar ciri > 1.
d. Analisis Korelasi Pertumbuhan Penduduk dengan Pola Penggunaan Lahan
Analisis korelasi dilakukan terhadap pertumbuhan penduduk dengan nilai
skor baku dari peubah-peubah sarana prasarana (pusat perturnbuhan/pelayanan)
dan penggunaan lahan. Untuk menguji nilai korelasi antara dua peubah X dan Y
tersebut akan dilakukan melalui uji-t, dengan membandingkan nilai t hasil
perhitungan dengan nilai t-tabel pada taraf nyata yang dibutuhkan.
Selanjutnya, jika terdapat lebih dari satu hubungan dengan korelasi yang
signifikan dari variabel-variabel yang dianalisis, akan dilanjutkan dengan analisis
jalur (path analysis) dengan memanfaatkan informasi hubungan-hubungan yang
signifikan secara statistik pada pengujian korelasi sebelumnya. Pengembangan
model aliran kausal satu arah ini juga didasarkan pada kerangka pemikiran bahwa
pertumbuhan penduduk di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap hirarki pusat
pertumbuhan, dan selanjutnya akan mempengaruhi struktur penggunaan lahan.
Sistem aliran satu arah ini juga dapat secara langsung terjadi antara pertumbuhan
penduduk terhadap struktur penggunaan lahan.
-
17
BAB V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pertumbuhan Penduduk
Pada Tahun 2008, jumlah penduduk Provinsi Jambi adalah sebanyak
2.788.269 jiwa. Jika dilihat tingkat pertumbuhannya, maka dapat dikemukakan
bahwa selama periode Tahun 2001-2008, tingkat pertumbuhan penduduk di
Provinsi Jambi adalah 1,91 persen pertahun (dengan jumlah penduduk Tahun
2001 sebanyak 2.439.644 jiwa).
Berdasarkan kabupaten/kota memperlihatkan pertumbuhan penduduk
tertinggi dialami oleh Kabupaten Muaro Jambi dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 3,93 persen pertahun. Daerah yang juga memiliki pertumbuhan penduduk
relatif tinggi (diatas rata-rata Provinsi Jambi) adalah Kabupaten Sarolangun,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Bungo.
Tingginya angka pertumbuhan penduduk Kabupaten Muaro Jambi selain
disebabkan oleh faktor pertumbuhan alami (selisih antara kelahiran dan
kematian), juga disebabkan oleh adanya migrasi masuk yang tinggi terutama yang
berasal dari wilayah Kota Jambi. Sebagai daerah yang berbatasan langsung
dengan Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi menjadi salah satu alternatif
penduduk yang bekerja di Kota Jambi (dengan harga pemukiman yang mahal)
untuk bertempat tinggal di daerah ini.
Selanjutnya daerah dengan pertumbuhan penduduk paling rendah adalah
Kabupaten Kerinci. Daerah yang juga memiliki pertumbuhan penduduk relatif
rendah (dibawah rata-rata Provinsi Jambi) adalah Kabupaten Merangin,
Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan
Kota Jambi.
Rendahnya pertumbuhan penduduk Kabupaten Kerinci karena daerah ini
memiliki budaya merantau yang tinggi pada penduduknya. Ini menyebabkan
migrasi keluar penduduk Kabupaten Kerinci menjadi relatif tinggi.
-
18
Tabel 5.1. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun
2001 dan 2008
Kabupaten/Kota Tahun Pertumbuhan
(%/tahun) 2001 2008
Kerinci 295,951 310,093 0.67
Merangin 258,125 286,578 1.49
Sarolangun 182,117 214,036 2.31
Batang Hari 194,251 219,181 1.72
Muaro Jambi 235,940 310,676 3.93
Tanjung Jabung Timur 191,844 211,789 1.41
Tanjung Jabung Barat 211,952 250,746 2.40
Tebo 225,739 253,373 1.65
Bungo 219,834 264,389 2.64
Kota Jambi 423,891 467,408 1.40
Provinsi Jambi 2,439,644 2,788,269 1.91
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008
Selanjutnya untuk menggambarkan keadaan penduduk, salah satu karak-
teristik utama yang umum dianalisis adalah umur. Distribusi umur penduduk pada
kenyataannya sering menggambarkan riwayat fertilitas (kelahiran), mortalitas
(kematian) dan rata-rata umur penduduk. Selain itu dapat juga merefleksikan
beban ketergantungan sekelompok umur tertentu terhadap kelompok umur
lainnya, dalam hal ini beban tanggungan usia muda (0 14 Tahun) dan beban
tanggungan usia tua (65+ Tahun) terhadap usia produktif (15 64 Tahun).
Tabel 5.2. Distribusi Penduduk Provinsi Jambi Menurut Kelompok Umur
Tahun 2001-2008
Kelompok
Umur
2001 2008 Pertumbuhan
Jumlah % Jumlah % (% /Tahun)
0-14 795,325 32.60 836,138 29.99 0.71
15 64 1,572,073 64.44 1,856,812 66.59 2.38
65+ 72,246 2.96 95,319 3.42 3.96
Jumlah 2,439,644 100.00 2,788,269 100.00 1.91
Beban
Ketergantungan 55 50
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008
-
19
Secara teoritis, struktur umur penduduk dapat dikelompokkan atas dua
kelompok yaitu:
(1) struktur umur muda, jika penduduk umur dibawah 15 Tahun lebih
dari 40 persen dan penduduk usia 65 Tahun ke atas kurang dari 5
persen;
(2) struktur umur tua, jika penduduk umur dibawah 15 Tahun kurang dari
40 persen dan penduduk usia 65 Tahun ke atas lebih dari dari 10
persen
Dalam konteks tersebut dapat dikemukakan bahwa struktur umur
penduduk di Provinsi Jambi pada Tahun 2008 sudah tidak tergolong lagi pada
struktur umur muda, tetapi belum sepenuhnya memenuhi kategori struktur umur
tua. Pada Tahun 2008, proporsi penduduk umur dibawah 15 tahun di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur adalah sebesar 29,99 persen atau sudah dibawah 40
persen, tetapi proporsi penduduk usia 65 tahun keatas masih dibawah 10 persen
(3,42 persen). Namun demikian, dengan mengamati perkembangan data selama
Tahun 2001-2008, diperkirakan dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun
kedepan, struktur umur penduduk akan mencapai kategori struktur umur tua.
Selama periode Tahun 20012008 terlihat kecenderungan semakin berkurangnya
proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun (0-14 tahun) yang diikuti dengan
peningkatan yang pesat dari jumlah dan proporsi penduduk umur 65 tahun ke
atas.
Transisi struktur usia ini berdampak pada perubahan beban ketergantungan
penduduk Provinsi Jambi. Dari Tabel 5.2. terlihat bahwa selama periode Tahun
2001-2008, beban ketergantungan penduduk telah mengalami penurunan dari
angka 55 menjadi 50. Artinya, jika pada Tahun 2001 untuk 100 orang penduduk
usia produktif harus menanggung sebanyak 55 orang penduduk belum/tidak
produktif, maka pada Tahun 2008 untuk 100 orang penduduk usia produktif hanya
menanggung 50 orang penduduk belum/tidak produktif.
Terjadinya transisi struktur umur dari struktur umur muda ke struktur
umur tua ini disebabkan transisi fertilitas dan mortalitas yang terjadi di Provinsi
Jambi. Penurunan penduduk umur 0-14 Tahun ini merupakan dampak program
keluarga berencana yang telah berhasil menurunkan angka kelahiran (fertilitas)
-
20
selama 15 tahun terakhir. Sebaliknya peningkatan penduduk umur 65 tahun ke
atas merupakan dampak dari penurunan angka kematian (mortalitas) dan
peningkatan usia harapan hidup sebagai akibat meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat.
Transisi struktur umur ini menciptakan suatu potensi peningkatan
pendidikan, khususnya penduduk muda. Dengan jumlah penduduk muda yang
lebih sedikit, perhatian pada mutu pendidikan dapat menjadi lebih baik. Anggaran
pemerintah dan masyarakat dapat lebih diarahkan pada peningkatan mutu
pendidikan, dan bukan sekedar mengejar sasaran jumlah. Ditambah dengan
perubahan pada tingkat keluarga (yang makin menginginkan anak dalam jumlah
sedikit tetapi dengan mutu yang lebih tinggi), transisi struktur usia ini akan
menyebabkan peningkatan kebutuhan mutu pendidikan yang makin tinggi.
Berbagai perubahan ini dapat mendorong terjadinya transisi pendidikan, dari
masyarakat berpendidikan rendah ke masyarakat berpendidikan tinggi.
Namun demikian, transisi struktur umur ini juga menyebabkan masalah
baru, akibat peningkatan penduduk lanjut usia. Jika pertumbuhan penduduk yang
cepat mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk muda yang telah
mengkonsumsi tetapi belum berproduksi, pertumbuhan penduduk yang lambat
menyebabkan transisi struktur usia ke penduduk yang makin banyak terdiri dari
penduduk tua, yang merupakan bagian penduduk yang masih mengkonsumsi
tetapi tidak berproduksi lagi. Pengeluaran pemerintah dan masyarakat akan makin
banyak digunakan untuk para lansia ini.
Hal lain yang perlu diwaspadai berkaitan dengan kesehatan. Transisi
struktur umur/transisi demografis ini akan diikuti oleh transisi epidemiologi. Pola
penyakit dominan akan berubah dari penyakit infeksi dan parasit ke penyakit
degeneratif, kecelakaan dan penyakit jiwa. Ini secara langsung juga membutuhkan
perubahan dalam orientasi pelayanan kesehatan.
Gambar 5.1 memberikan secara lebih terperinci komposisi umur lima
tahunan penduduk Provinsi Jambi dalam bentuk piramida penduduk. Piramida
penduduk secara umum terdiri dari tiga bentuk yaitu:
-
21
(1) Expansive, jika sebagian besar penduduk berada pada kelompok umur
termuda. Bentuk piramidanya melebar kebawah dan semakin keatas
semakin menyempit;
(2) Constrictive, jika penduduk yang berada pada kelompok umur
termuda jumlahnya sedikit, pada umur pertengahan lebih banyak dan
semakin sedikit pada umur-umur diatasnya. Bentuk piramidanya
menyempit pada bagian bawah, melebar bagian tengah dan kembali
menyempit pada bagian-bagian ke atasnya;
(3) Stationary, jika banyaknya penduduk dalam tiap kelompok umur
hampir sama banyaknya, kecuali pada kelompok umur tertentu.
Bentuk piramidanya lebih lurus dan hanya menyempit pada bagian
puncaknya.
Gambar 5.1. Piramida Penduduk Provinsi Jambi, Tahun 2008
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka 2008
Dari gambar di atas dapat dikemukakan bahwa bentuk piramida penduduk
Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk kategori constrictive. Bentuk
piramida constrictive ini adalah bentuk piramida penduduk yang dialami
Amerika Serikat pada Tahun 1970an.
-
22
Hal yang perlu diwaspadai dalam bentuk piramida ini adalah akan adanya
ledakan penduduk pada periode-periode mendatang terutama jika program
keluarga berencana tidak terus diintensifkan dalam rangka penurunan angka
kelahiran. Hal ini disebabkan, meskipun angka kelahiran telah rendah pada
periode-periode 15 tahun sebelumnya (yang ditunjukkan oleh sedikitnya jumlah
penduduk umur muda 014 tahun), namun jumlah penduduk pada kelompok umur
diatasnya terutama 1529 tahun khususnya kelompok perempuan masih relatif
tinggi. Penduduk perempuan pada kelompok umur ini termasuk kelompok usia
subur, yang berpotensi meningkatkan total kelahiran dan pertumbuhan penduduk.
Selanjutnya, dari aspek keruangan, terdapat ketimpangan kepadatan
penduduk antar kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Secara keseluruhan, tingkat
kepadatan penduduk di Provinsi Jambi adalah 52,2 jiwa per km2. Namun
demikian, kepadatan penduduk ini tidak menyebar secara merata. Kabupaten
Sarolangun hanya memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 27,4 jiwa perkm2
(sebagai daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terendah). Sebaliknya Kota
Jambi memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai 2280 jiwa perkm2 (sebagai
daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi). Artinya ratio kepadatan
tertinggi dan terendah mencapai lebih 80 kali lipat
Tabel 5.3. Luas Wilayah, Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2008
Kabupaten/Kota Luas Wilayah Penduduk Kepadatan
Kerinci 4200 310,093 73.8
Merangin 6380 286,578 44.9
Sarolangun 7820 214,036 27.4
Batang Hari 4983 219,181 44.0
Muaro Jambi 6147 310,676 50.5
Tanjung Jabung Timur 5330 211,789 39.7
Tanjung Jabung Barat 4870 250,746 51.5
Tebo 6340 253,373 40.0
Bungo 7160 264,389 36.9
Kota Jambi 205 467,408 2280.0
Provinsi Jambi 53435 2,788,269 52.2
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2008
-
23
Ketimpangan persebaran penduduk ini berdampak negatif dalam
pelaksanaan pembangunan. Pada daerah-daerah jarang penduduk, akan terjadi
inefisiensi pembangunan terutama pembangunan fisik dan pemanfaatan
sumberdaya alam. Sebaliknya pada daerah-daerah dengan tingkat kepadatan
tinggi, tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam juga akan tinggi, yang dapat
mengancam kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam yang ada.
5.2. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan upaya manusia dalam interaksinya dengan
sumberdaya fisik lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh
karenanya, pergeseran struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata
fenomena fisik berkurangmya luasan lahan tertentu dan meningkatnya
penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya, melainkan mempunyai kaitan erat
dengan peruhahan oientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat
(Nasution dan Winoto, 1990).
Perubahan orientasi tersebut berkait dengan terjadinya proses transformasi
struktur perekonomian yang dicirikan semakin menurunnya pangsa relatif sektor
primer (pertanian dan pertambangan) dan semakin meningkatnya pangsa relatif
sektor sekunder dan tersier (industry dan jasa). Dengan demikian pembangunan
ekonomi diarahkan untuk mengurangi ketergantungan perekonomian suatu
wilayah terhadap sektor primer yang nmempunyai nilai tambah (value added)
yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor sekunder dan terrier.
Penggunaan dan pergeseran struktur penggunaan lahan di wilayah Provinsi
Jambi diberikan pada tabel berikut:
-
24
Tabel 5.4. Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2001 2008 (dalam persentase)
Penggunaan Tahun
Perubahan 2001 2007
Sawah 4.57 3.47 -1.11
Bangunan 6.94 9.72 2.78
Tegal/Huma/Ladang 25.61 19.07 -6.54
Pdg rumput/sementara tdk diusahakan 13.65 23.78 10.14
Tambak/Kolam/Empang 0.19 0.34 0.15
Tanaman kayu-kayuan 12.15 19.23 7.08
Hutan negara 36.89 24.39 -12.50
Jumlah 100.00 100.00
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada kondisi tahun 2008, hampir
seperempat bagian (24,39 persen) lahan di Provinsi Jambi merupakan hutan
negara. Di tempat kedua dengan proporsi penggunaan terbesar adalah untuk
padang rumput/sementara tidak diusahakan, diikuti oleh penggunaan untuk
tanaman kayu-kayuan, penggunaan untuk tegal/huma/ladang, penggunaan untuk
bangunan, penggunaan untuk sawah dan penggunaan untuk
tambak/kolam/empang.
Selama periode 2001 - 2008 telah terjadi pergeseran struktur penggunaan
lahan di Propinsi Jambi. Terdapat lahan yang mengalami pengurangan/penciutan,
dengan urutan terbesar adalah penggunaan untuk hutan negara sebesar 12,50
persen diikuti oleh penggunaan untuk tegal/huma/ladang sebesar 6,54 persen dan
penggunaan untuk sawah sebesar 1,11 persen. Sebaliknya, terdapat lahan yang
mengalami peningkatan luasan secara proporsi, dengan urutan terbesar adalah
penggunaan lahan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan, diikuti oleh
penggunaan untuk tanaman kayu-kayuan, penggunaan untuk bangunan dan
penggunaan untuk tambak/kolam/empang.
Selanjutnya, secara terperinci struktur penggunaan lahan untuk masing-
masing kabupaten/kota dalam Provinsi Jambi pada tahun 2001, tahun 2008 dan
perubahannya dalam periode tersebut, diberikan pada tiga tabel berikut:
-
25
Tabel 5.5. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi
Jambi Tahun 2001 (dalam persentase)
Kabupaten/
Kota Sawah Bangunan
Tegal/
Huma/
Ladang
Pdg
rumput/
sementara
tdk diusa-
kahan
Kolam/
Tambak/
Empang
Tanaman
Kayu-
Kayuan
Hutan
Negara
Kerinci 4.37 1.17 29.30 3.50 0.07 18.38 43.21
Merangin 1.81 10.88 25.94 10.58 0.08 16.38 34.32
Sarolangun 1.29 5.63 15.88 33.84 0.10 8.66 34.59
Batanghari 3.60 6.53 20.60 5.82 0.14 24.30 39.01
Muaro Jambi 2.75 7.53 25.60 18.99 0.50 13.47 31.16
Tanjab Timur 16.53 7.72 10.50 29.26 0.26 17.44 18.28
Tanjab Barat 8.59 4.80 37.55 4.71 0.32 1.92 42.12
Tebo 1.40 3.20 27.94 5.31 0.06 4.43 57.66
Bungo 3.28 12.30 40.04 7.43 0.11 7.30 29.54
Kota Jambi 7.70 48.09 29.48 11.99 1.39 1.35 0.00
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001
Tabel 5.6. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi
Jambi Tahun 2008 (dalam persentase)
Kabupaten/
Kota Sawah Bangunan
Tegal/
Huma/
Ladang
Pdg
rumput/
sementara
tdk diusa-
kahan
Kolam/
Tambak/
Empang
Tanaman
Kayu-
Kayuan
Hutan
Negara
Kerinci 4.59 2.41 26.32 6.41 0.14 13.65 46.48
Merangin 1.78 14.58 24.15 17.84 0.16 16.89 24.60
Sarolangun 1.03 20.06 15.24 18.74 0.13 12.17 32.63
Batanghari 3.48 4.93 30.07 12.07 0.07 22.44 26.93
Muaro Jambi 3.62 7.74 15.14 37.43 0.67 9.06 26.34
Tanjab Timur 13.71 16.97 15.30 34.06 1.69 7.24 11.03
Tanjab Barat 4.62 11.81 22.26 16.47 0.46 31.94 12.45
Tebo 1.54 3.30 7.56 21.44 0.05 33.65 32.47
Bungo 1.37 3.76 18.11 43.79 0.10 22.77 10.10
Kota Jambi 7.67 55.08 24.08 5.43 1.30 6.44 0.00
Keterangan: Klasifikasi penggunaan lahan pada tahun 2008 sedikit berbeda dengan
klasifikasi tahun-tahun sebelumnya.Agar dapat diperbandingkan,
klasifikasi tahun 2008 disesuaikan dengan angka penyesuaian tahun
2007.
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2008
-
26
Berdasarkan kondisi tahun 2008 memperlihatkan penggunaan lahan untuk
sawah yang tebesar ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dengan proporsi
mencapai 13,71 persen dari luas wilayah kabupaten ini. Penggunaan lahan untuk
bangunan yang dominan adalah di Kota Jambi. Lebih separuh (55,08 persen),
lahan di Kota Jambi merupakan lahan peruntukan bangunan. Disisi lain,
penggunaan .lahan untuk tegal/huma/ladang yang terbesar ada di Kabupaten
Batang Hari dengan proporsi mencapai 30,07 persen
Selanjutnya untuk penggunaan padang rumput/sementara tidak
diusahakan, yang terbesar adalah di Kabupaten Bungo. Untuk kolam/tambak/
empang di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Untuk tanaman kayu-kayuan di
Kabupaten Tebo dan penggunaan lahan untuk hutan negara di Kabupaten Kerinci.
Berdasarkan perkembangan selama periode 2001 2008 dapat
dikemukakan bahwa terjadi penurunan proporsi luasan lahan sawah di tujuh
daerah dengan penurunan terbesar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yaitu
sebesar 3,97 persen, diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 2,83
persen, Kabupaten Bungo (1,90 persen), Kabupaten Sarolangun (0,26 persen),
Kabupaten Batang Hari (0,13 persen), Kabupaten Merangin (0,03 persen) dan
Kota Jambi (0,03 persen). Tiga daerah lainnya mengalami peningkatan, dengan
peningkatan terbesar adalah Kabupaten Muaro Jambi, diikuti oleh Kabupaten
Kerinci dan Kabupaten Tebo.
Untuk bangunan, menunjukkan terjadi peningkatan hampir di semua
daerah kecuali Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Bungo. Peningkatan
terbesar terutama terjadi di Kabupaten Sarolangun, yaitu sebesar 14,42 persen,
sedangkan peningkatan terendah adalah untuk Kabupaten Tebo (0,09 persen)
Fenomena yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk padang
rumput/sementara tidak diusahakan serta kolam/tambak/empang. Penggunaan
untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan mengalami peningkatan hampir
pada semua daerah kecuali Kabupaten Sarolangun dan Kota Jambi yang
menunjukkan penurunan. Penggunaan lahan untuk tambak/kolam/empang
mengalami peningkatan pada hampir semua daerah kecuali Kabupaten Batang
Hari, Kabupaten Tebo dan Kota Jambi.
-
27
Sebaliknya penggunaan untuk tegal/huma/ladang memperlihatkan
penurunan hampir pada semua daerah kecuali Kabupaten Batang Hari dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang memperlihatkan peningkatan. Penurunan
terbesar terjadi di Kabupaten Bungo, diikuti oleh Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Tanjung Jabung Barat. Sedangkan penurunan terkecil ada di Kabupaten
Sarolangun.
Fenomena yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk hutan
negara. Hampir semua daerah mengalami penurunan kecuali Kabupaten Kerinci
yang menujukkan peningkatan luasan lahan hutan negara. Pengurangan hutan
negara dengan proporsi yang terbesar terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Pada tahun 2001, sebanyak 42,12 persen wilayah ini merupakan hutan negara,
menjadi hanya 12,45 persen pada tahun 2008, atau mengalami penciutan 29,67
persen dari total luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di tempat kedua
dengan pengurangan proporsi penggunaan terbesar adalah Kabupaten Tebo (25,19
persen), diikuti oleh Kabupaten Bungo (19,44 persen), Kabupaten Batang Hari
(12,08 persen), Kabupaten Merangin (9,73 persen), Kabupaten Tanjung Jabung
Timur (7,25 persen), dan Kabupaten Sarolangun (1,96 persen).
Tabel 5.7. Perubahan Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi selama Periode 2001 2008 (dalam persen perubahan)
Kabupaten/
Kota Sawah Bangunan
Tegal/
Huma/
Ladang
Pdg
rumput/
sementara
tdk diusa-
kahan
Kolam/
Tambak/
Empang
Tanaman
Kayu-
Kayuan
Hutan
Negara
Kerinci 0.22 1.24 -2.98 2.91 0.07 -4.72 3.27
Merangin -0.03 3.70 -1.79 7.26 0.07 0.50 -9.73
Sarolangun -0.26 14.42 -0.64 -15.10 0.03 3.50 -1.96
Batanghari -0.13 -1.59 9.48 6.25 -0.07 -1.86 -12.08
Muaro Jambi 0.87 0.21 -10.46 18.43 0.18 -4.41 -4.82
Tanjab Timur -2.83 9.26 4.79 4.80 1.43 -10.20 -7.25
Tanjab Barat -3.97 7.01 -15.29 11.75 0.14 30.02 -29.67
Tebo 0.14 0.09 -20.38 16.13 -0.02 29.21 -25.19
Bungo -1.90 -8.53 -21.94 36.36 0.00 15.46 -19.44
Kota Jambi -0.03 6.99 -5.40 -6.56 -0.09 5.09 0.00
Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008
-
28
Selanjutnya dari hasil analisis komponen utama (PCA) terhadap tujuh
jenis penggunaan lahan di kabupatenkota di wilayah Propinsi Jambi, dihasilkan
sebanyak 2 komponen faktor utama yang memiliki akar ciri diatas satu, dengan
tingkat keragaman 69,91 persen. Dari masing-masing komponen faktor utama
(yang dilambangkan dengan LI dan L2) keseluruhan jenis penggunaan lahan
memiliki korelasi yang signifikan (Factor Loading > 0,5). Ini berarti bahwa
ketujuh jenis penggunaan lahan tersebut secara nyata merupakan penggunaan
basis, meskipun pada kabupaten/kota yang berbeda-beda.
Adapun penggunaan lahan yang menjadi penciri faktor dalam komponen
faktor utama tersebut yaitu:
LI: Penggunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/empang, tanaman
kayu-kayuan, dan hutan negara
L2: Penggunaan lahan untuk tegal/huma/ladang dan penggunaan untuk padang
rumput/sementara tidak diusahakan
Tabel 5.8. Analisis Komponen Utama Penggunaan Lahan Provinsi Jambi
Tahun 2001 - 2008
Jenis Penggunaan
Rotated Factor Loading
(Varimax Rotation)
L1 L2
Sawah 0.6421* 0.2263
Bangunan 0.8554* -0.2372
Tegal/Huma/Ladang 0.0378 -0.8972*
Padang rumput/sementara tdk diusahakan 0.1447 0.8540*
Kolam/Tambak/Empang 0.9381* -0.0320
Tanaman kayu-kayuan -0.5464* 0.4261
Hutan negara -0.8198* -0.2284
Initial Eigenvalues Total 3.02 1.88
% of Variance 43.12 26.78
Cumulative % 43.12 69.91
Rotation Sums of Squared Loadings Total 3.02 1.88
% of Variance 43.10 26.81
Cumulative % 43.10 69.91
-
29
Pada komponen faktor utama L1, penggunaan lahan untuk sawah,
bangunan dan kolam/tambak/empang memiliki korelasi positif (factor loading
positif), tetapi penggunaan lahan untuk tanaman kayu-kayuan dan hutan negara
memiliki korelasi negatif. Ini menunjukkan bahwa pangsa relatif penggunaan
lahan untuk sawah, bangunan serta kolam/tambak/empang berjalan searah, tetapi
peningkatan pangsa lahan untuk ketiga jenis penggunaan tersebut cenderung
mengurangi luasan tanaman kayu-kayuan dan hutan negara.
Pada komponen faktor utama L2 penggunaan lahan untuk
tegal/huma/ladang memiliki korelasi negatif, tetapi penggunaan untuk padang
rumput/sementara tidak diusahakan memiliki korelasi negatif. Ini berarti
peningkatan pangsa lahan untuk tegal/huma/ladang cenderung mengurangi luasan
lahan padang rumput/sementara tidak diusahakan.
Dan analisis skor baku nilai L1 dan L2 didapatkan nilai positif dan negatif
pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Skor baku positif
menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut memiliki pangsa relatif untuk jenis
penggunaan lahan pembentuk komponen faktor utama L1 dan L2 yang lebih
tinggi, dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Sebaliknya, skor
baku negatif menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut memiliki pangsa relatif
untuk jenis penggunaan lahan pembentuk komponen faktor utama L1 dan L2 yang
lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jambi.
Tabel 5.9. Nilai Skor Baku Komponen Faktor Utama L1 dan L2 Provinsi
Jambi Tahun 2001 - 2008
Kabupaten/Kota L1 L2
2001 2008 2001 2008
Kerinci -0.8344 -0.9027 -0.3838 -1.1846
Merangin -0.4872 -0.3678 -0.0056 -0.5780
Sarolangun -0.2882 -0.4416 1.4949 -0.1445
Batanghari -0.7681 -0.6236 0.3565 -0.9570
Muaro Jambi 0.0136 0.0259 0.4051 0.5814
Tanjabtim 0.5745 1.6379 2.3331 0.8697
Tanjabbar 0.1059 -0.0726 -1.2385 0.0743
Tebo -0.7773 -1.0789 -0.8784 1.0715
Bungo -0.0672 -0.2657 -1.1767 0.9628
Kota Jambi 2.7120 1.9055 -0.6276 -0.9748
-
30
Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku L1 yang positif
adalah Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Jabung Timur dan
Kota Jambi, dengan nilai skor tertinggi adalah untuk Kota Jambi. Ini
menunjukkan bahwa pengunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/
empang, tanaman kayu-kayuan dan hutan negara (kecuali Kota Jambi yang tidak
memiliki hutan negara) memiliki pangsa relatif yang lebih tinggi di
kabupaten/kota ini dibandingkan kabupaten lainnya. Namun demikian, karena
korelasi tanaman kayu-kayuan dan hutan negara bernilai negatif (lihat tabel 5.8),
maka peningkatan luasan lahan untuk sawah, bangunan serta
kolam/tambak/empang akan cenderung mengurangi luasan lahan tanaman kayu-
kayuan dan hutan negara di wilayah ini.
Selanjutnya berdasarkan perkembangan tahun 2001 - 2008, terlihat
dominasi penggunan lahan untuk kelompok L1 tersebut semakin meningkat pada
Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur (yang ditunjukkan oleh
peningkatan nilai skor baku). Tetapi untuk Kota Jambi menunjukkan penurunan
dominasi (yang ditunjukkan oleh penurunan nilai skor baku)
Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku negatif adalah
Kabupaten Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Tanjung Jabung Barat,
Tebo dan Bungo. Kecuali Kabupaten Tanjung Jabung Barat, keseluruhan daerah
tersebut pada tahun 2001 juga menunjukkan skor baku yang negatif.
Selanjutnya, dari analisis skor baku nilai L2, menunjukkan bahwa dari
10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi, separuhnya memiliki skor baku positif yaitu
Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo
dan Bungo. Ini menunjukkan bahwa pangsa relatif penggunaan lahan untuk
tegal/huma/ladang serta padang rumput/sementara tidak digunakan lebih tinggi di
daerah-daerah ini dibandingkan daerah-daerah lainnya.
Selanjutnya berdasarkan perkembangan tahun 2001 - 2008, terlihat
dominasi penggunan lahan untuk kelompok L2 tersebut semakin meningkat pada
Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tebo dan Bungo. Bahkan untuk
tiga kabupaten terakhir, nilai skor bakunya sempat mengalami nilai negatif pada
tahun 2001 dan mengalami peningkatan yang pesat menjadi bernilai positif pada
tahun 2008. Sebaliknya Kabupaten Tanjung Jabung Timur meskipun memiliki
-
31
nilai skor baku positif, tetapi jika dibandingkan keadaan tahun 2001,
menunjukkan penurunan dominasi penggunaan lahan untuk kelompok L2
tersebut.
Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku L2 yang negatif
adalah Kabupaten Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari dan Kota Jambi.
Kabupaten Kerinci, Merangin dan Kota Jambi menunjukkan peningkatan nilai
negatif dibandingkan keadaan tahun 2001. Kabupaten Sarolangun dan Batang
Hari bahkan pada tahun 2001 memiliki nilai skor baku positif menjadi negatif
pada tahun 2008.
5.3. Hirarki Pusat Pertumbuhan
Sistem hirarki pusat-pusat perturnbuhan/pelayanan merupakan suatu
susunan hirarki yang berjenjang atau teratur yang merupakan tempat
berkumpulnya penduduk, pusat-pusat kegiatan sosial ekonumi yang dapat
berfungsi sehagai pusat produksi untuk melayani wilayah sekitarnya dimana
antara masing-masing pusat pengembangan yang berjenjang tersebut terdapat
kegiatan yang saling menunjang. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam
analisis perkembangan hirarki pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di wilayah
Provinsi Jambi, dapat diketahui dari nilai indeks pusat pelayanan (IPP) pada
dua titik waktu, yaitu tahun 2001 dan 2008.
Terdapat 11 indikator sarana-prasarana yang digunakan dalam
menentukan indeks pusat pertumbuhan/pelayanan ini yaitu:
1. Jumlah Sekolah TK
2. Jumlah Sekolah Dasar
3. Jumlah Sekolah SLTP
4. Jurnkah Sekolah SLTA
5. Jumlah Klinik KB
6. Jmnlah Puskesmas (Induk+Pembantu)
7. Panjang Jalan Aspal
8. Jumlah Kamar Hotel
9. Daya Terpasang Listrik
10. Jumlah Koperasi
11. Jumlah Bank Umum
-
32
Dari 11 indikator sarana prasarana yang merupakan variabel dalam
menentukan indeks pusat pelayanan, meskipun semuanya memberikan pengaruh
yang signifikan (factor loading > 0,5), namun demikian indikator-indikator
tersebut hanya mengelompok pada satu kelompok, dan tidak mengelompok secara
terpisah sesuai dengan fungsi pelayanannya (pendidikan, kesehatan, ekonomi
dstnya). Hal ini memberikan arti bahwa di Provinsi Jambi tidak terdapat wilayah-
wilayah yang memiliki karakteristik khusus yang menonjol sebagai pusat
pelayanan dalam fungsi tertentu.
Secara terperinci hasil analisis komponen utama indeks pusat pelayanan
kabupate/kota dalam Provinsi Jambi diberikan pada tabel berikut:
Tabel 5.10. Analisis Komponen Utama Indeks Pusat Pelayanan Provinsi
Jambi Tahun 2001 - 2008
No. Sarana Prasarana Factor Loading
1. TK 0.9962
2. SD 0.9964
3. SLTP 0.9968
4. SLTA 0.9059
5. Puskesmas + Puskesmas Pembantu 0.9961
6. Klinik KB 0.9982
7. Kapasitas Terpasang Listrik 0.9126
8. Panjang Jalan Beraspal 0.9034
9. Jumlah kamar hotel 0.9980
10. Jumlah Koperasi 0.9931
11. Jumlah Bank Umum 0.9976
Initial Eigenvalues Total 10.41
% of Variance 94.68
Cumulative % 94.68
Selanjutnya dari analisis skor baku menunjukkan bahwa hanya Kota Jambi
yang memiliki nilai skor baku positif, sedangkan sembilan daerah lainnya
keseluruhannya memiliki nilai skor baku negatif. Fakta ini menunjukkan dominasi
yang sangat tinggi dari Kota Jambi sebagai pusat pelayanan di Provinsi Jambi,
sementara daerah-daerah yang lainnya relatif kurang menonjol dalam konteks
-
33
penyediaan sarana dan prasarana pelayanan tersebut. Fakta ini juga menjadi faktor
yang menyebabkan tidak terdapatnya pengelompokan yang sesuai dengan sifat
pelayanan tertentu.
Mengingat tidak terpolanya wilayah-wilayah dalam pada pusat pelayanan
dengan fungsi pelayanan tertentu, maka skor baku yang diperoleh dari analisis ini
sekaligus menentukan hirarki pusat pertumbuhan kabupaten/kota di Provinsi
Jambi. Hirarki pusat pertumbuhan di Provinsi Jambi berdasarkan nilai skor baku
ini diberikan pada tabel berikut:
Tabel 5.11. Nilai Skor Baku Komponen Sarana Prasarana di Provinsi
Jambi Tahun 2001 - 2008
Kabupaten/Kota Skor Baku Peringkat
2001 2008 2001 2008
Kerinci -0.2529 -0.2913 4 4
Merangin -0.3137 -0.2880 7 3
Sarolangun -0.3654 -0.3347 8 7
Batanghari -0.2328 -0.2406 2 2
Muaro Jambi -0.2524 -0.3770 3 9
Tanjabtim -0.4720 -0.4322 10 10
Tanjabbar -0.3045 -0.3319 6 6
Tebo -0.3942 -0.3629 9 8
Bungo -0.2798 -0.3094 5 5
Kota Jambi 2.8656 2.9700 1 1
Pada tahun 2008, Kota Jambi sebagai ibukota Provinsi Jambi merupakan
wilayah yang berhirarki tertinggi, diikuti di tempat kedua oleh Kabupaten Batang
Hari. Kedua wilayah ini juga menempati posisi yang sama pada tahun 2001.
Meskipun demikian, jika dilihat perubahan skor nilai bakunya antara tahun 2001
dan 2008 memperlihatkan terjadinya penurunan nilai skor baku untuk Kabupaten
Batang Hari. Penurunan nilai skor baku di Kabupaten Batang Hari menunjukkan
relatif rendahnya kemampuan wilayah ini dalam menyediakan sarana prasarana
dalam mengantisipasi perkembangan aktivitas sosial-ekonomi dan pertambahan
jumlah penduduknya, dibandingkan rata-rata kemampuan wilayah lainnya dalam
Provinsi Jambi.
Pada posisi ketiga sebagai wilayah dengan hirarki pusat pertumbuhan/
pelayanan tertinggi adalah Kabupaten Merangin. Kabupaten Merangin
-
34
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan pada dengan
posisi yang dicapainya pada tahun 2001, yaitu pada posisi ketujuh.
Pada posisi keempat, kelima dan keenam, secara berturut-turut ditempati
oleh Kabupaten Kerinci, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Kondisi ini berlaku sama baik pada tahun 2001 maupun 2008. Namun demikian,
dari sisi perubahan nilai skor bakunya, memperlihatkan terjadinya penurunan
untuk ketiga daerah ini.
Pada posisi ketujuh dan kedelapan ditempati oleh Kabupaten Sarolangun
diikuti oleh Kabupaten Tebo. Dibandingkan keadaan tahun 2001, kedua
kabupaten ini telah menunjukkan peningkatan posisi dari masing-masing
sebelumnya pada posisi kedelapan dan kesembilan.
Pada posisi kesembilan ditempati oleh Kabupaten Muaro Jambi. Wilayah
ini mengalami penurunan yang pesat dari peringkat 3 pada tahun 2001 menjadi
peringkat 9 pada tahun 2008. Selanjutnya pada posisi terendah (kesepuluh) adalah
Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Posisi daerah ini tidak mengalami perubahan
baik pada pada tahun 2001 maupun tahun 2008.
5.4. Hubungan Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan
Lahan
Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan terhadap
permintaan lahan. Luasan lahan yang relatif tetap di satu pihak dan permintaan
lahan yang terus meningkat di pihak lain, menyebabkan alih guna lahan di suatu
wilayah tidak terelakkan.
Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antara pertumbuhan penduduk,
ketersediaan sarana prasarana serta penggunaan lahan di wilayah Provinsi Jambi,
dengan menggunakan nilai skor baku komponen faktor utama, didapatkan matriks
korelasi antar masing-masing komponen faktor utama sebagai berikut:
-
35
Tabel 5.12. Matriks Korelasi Pertumbuhan Penduduk, Hirarki Pusat
Pertumbuhan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi
Komponen P S L1 L2
P
-0.23 -0.06 0.50
S -0.23
0.65* -0.42
L1 -0.06 0.65*
0.01
L2 0.50 -0.42 0.01
Keterangan: * Korelasi signifikan pada tingkat signifikansi 5 % (one tail test)
Dari matriks korelasi tersebut terlihat bahwa hanya satu hubungan yang
memiliki korelasi signifikan yaitu antara S dan L1. Komponen S adalah hirarki
pusat pertumbuhan/pelayanan sedangkan komponen L1 adalah penggunaan lahan
untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/empang, tanaman kayu-kayuan dan hutan
negara. Ini menunjukkan bahwa perubahan dalam hirarki pertumbuhan/pelayanan
atau peningkatan dalam sarana prasarana pelayanan akan merubah struktur
penggunaan lahan pada kelompok ini.
Matrik korelasi tersebut juga memperlihatkan tidak adanya keterkaitan
yang nyata antara pertumbuhan penduduk (P) dengan hirarki pusat
pelayanan/pertumbuhan (S). Temuan ini sebenarnya sejalan dengan kenyataan
bahwa sangat dominannya Kota Jambi dalam hal penyediaan sarana prasarana,
dan relatif tertinggalnya daerah-daerah lainnya dalam hal tersebut. Posisi daerah
lain yang jauh tertinggal ini menyebabkan tidak terdeteksinya hubungan antara
pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan
kabupaten/kota di Provinsi Jambi.
Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk
dengan penggunaan lahan. Ini sebenarnya disebabkan masih rendahnya tingkat
kepadatan penduduk. Meskipun tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi
tidak tergolong rendah, tetapi dengan tingkat kepadatan penduduk rendah,
pertumbuhan penduduk tersebut belum menyebabkan perubahan penggunaan
lahan secara signifikan.
-
36
BAB VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diberikan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi pada periode 2001 2008
adalah sebesar 1,91 persen pertahun. Pertumbuhan penduduk ini bervariasi
antar kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro
Jambi sebesar 3,93 persen pertahun dan yang terendah Kabupaten Kerinci
sebesar 0,67 persen pertahun.
2. Selama periode 2001 - 2008 telah terjadi pergeseran struktur penggunaan
lahan di Provinsi Jambi. Lahan yang mengalami penguranganrpenciutan
adalah penggunaan untuk hutan negara, tegal/ladanghuma dan untuk sawah.
Penciutan lahan untuk jenis penggunaan ini diikuti oleh peningkatan luasan
lahan untuk jenis penggunaan bangunan, padang rumput/sementara tidak
diusahakan, tambak/kolam/empang dan tanaman kayu-kayuan.
3. Berdasarkan analisis hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan menunjukkan
bahwa di Provinsi Jambi tidak terdapat wilayah-wilayah yang memiliki
karakteristik khusus yang menonjol sebagai pusat pelayanan dalarn fungsi
pelayanan tertentu. Hal ini terlihat dari tidak mengelompoknya indikator-
indikator sarana-prasarana sesuai dengan fungsi pelayanannya. Selain itu
dominasi Kota Jambi sangat tinggi sebagai pusat pelayanan di Provinsi Jambi,
sementara daerah-daerah yang lainnya relatif kurang menonjol.
4. Selama periode 2001 - 2008, hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan di wilayah
Propinsi Jambi hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Kota Jambi
dan Kabupaten Batanghari tetap menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi,
sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur menjadi wilayah dengan hirarki
terendah.
5. Berdasarkan analisis korelasi dan analisis jalur didapatkan bahwa tidak
adanya keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki
pusat pelayanan/pertumbuhan. Temuan ini sebenarnya sejalan dengan
-
37
kenyataan bahwa sangat dominannya Kota Jambi dalam hal penyediaan
sarana prasarana, dan relatif tertinggalnya daerah-daerah lainnya dalam hal
tersebut. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan
penduduk dengan penggunaan lahan. Ini sebenarnya disebabkan masih
rendahnya tingkat kepadatan penduduk. Meskipun tingkat pertumbuhan
penduduk Provinsi Jambi tidak tergolong rendah, tetapi dengan tingkat
kepadatan penduduk rendah, pertumbuhan penduduk tersebut belum
menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara signifikan.
6.2. Saran-Saran
1. Dalam kerangka pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah, perlu
dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di
Provinsi Jambi selain Kota Jambi.
2. Perlunya perhatian lebih pada wilayah-wilayah yang terindikasi mengalami
penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan dalam
mendukung perkembangan aktivitas ekonomi dan pertambahan penduduk.
3. Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur
penggunaan lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan, fenomena
ini perlu diwaspadai, terutama ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi
sudah relatif tinggi.
-
38
REFERENCES
Anwar, Affendi. 1994. Proses Pembentukan Sistem Kota-Kota Dan Analisis
Ekonomi Kawasan Perkotaan. PS-PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor
Barlowe, R. 1987. Land Resources Economics. Prentice Hall, Inc. Englewood
Cliff, New Jersey
Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. LPFE-UI. Jakarta
Glasson, John. 1990. Perencanaan Regional. Diterjemahkan oleh Paul Sitohang.
LPFE-UI. Jakarta '
Gasper, Vincent. 1991. Tehnik Analisis Dalam Penelitian Percobaan Jilid 2.
Penerbit Tarsito. Bandung
Hanafiah, T. 1985. Kutub dan Pusat Pertumbuhan Dalam Pembangunan
Wilayah. Pusat Pengembangan Wilayah Pedesaan-Lembaga Pengabdian
Pada Masyarakat IPB. Bogor
Owen, F.J. 1978. "Selected Factor Affecting The Pattern of Agriculture Land
Conversion in Washington Country". Oregon Diss.Abstr. Int 9 (5): 3177-
3178
Richardson, Harry. W. 1974. Dasar-Dasar Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit
FE-UI. Jakarta
Sandy, I Made. 1995. Tanah: UUPA 196& - 1995. PT. Indograph Bakti. FMIPA
Universitas Indonesia. Jakarta
Saefulhakim. 1994. "A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land
Use Management". Ph.D Disertation Kyoto University. Japan
Soerianegara, I. 1975. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Sekolah
Pascasarjana. Jurusan PSL-IPB. Bogor
Somaji, R.P. 1994. "Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap
Masyarakat Petani di Jawa Timur". Thesis S-2. PS-PWD Program
Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Yasin,M. 2007. "Arti dan Tujuan Demografi" dalam Dasar-Dasar Demografi.
LDFE-UI. Jakata