keterkaitan pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan terhadap perubahan...

44
Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Desember, 2010 Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Hirarki Pusat Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Yulmardi, Yulmardi; Junaidi, Junaidi; Nurjanah, Rahma Nurjanah LAPORAN PENELITIAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JAMBI DESEMBER, 2010

Upload: junaidi

Post on 07-Nov-2015

41 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) pertumbuhan penduduk kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan kecenderungan pola penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat pertumbuhan/ pelayanan di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan.Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Data yang digunakan adalah data penduduk, penggunaan lahan dan sarana prasarana pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001 dan 2008. Analisis data dengan menggunakan Analisis Komponen Utama dan Korelasi Hasil analisis menemukan: (1) Pertumbuhan penduduk bervariasi antar kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro Jambi dan yang terendah Kabupaten Kerinci. (2) Telah terjadi pergeseran struktur penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) Selama periode 2001 - 2008, Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi, sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki hirarki terendah. (4) Tidak ada keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat pelayanan/pertumbuhan. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan penggunaan lahan. Pada penelitian ini menyarankan untuk: (1) Perlu dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di Provinsi Jambi selain Kota Jambi. (2) Perlunya perhatian lebih pada wilayah yang terindikasi mengalami penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan.(3) Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur penggunaan lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan perlu diwaspadai, terutama ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi sudah relatif tinggi

TRANSCRIPT

  • Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, Desember, 2010

    Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk

    Berdasarkan Hirarki Pusat

    Pertumbuhan/Pelayanan terhadap

    Perubahan Struktur Penggunaan

    Lahan di Provinsi Jambi

    Yulmardi, Yulmardi; Junaidi, Junaidi; Nurjanah, Rahma Nurjanah

    LAPORAN PENELITIAN

    FAKULTAS EKONOMI

    UNIVERSITAS JAMBI

    DESEMBER, 2010

  • i

    RINGKASAN

    Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Hirarki Pusat

    Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan Lahan

    di Provinsi Jambi

    Yulmardi, Junaidi, Rahma Nurjanah

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) pertumbuhan penduduk

    kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan kecenderungan pola

    penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat pertumbuhan/ pelayanan

    di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan

    hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur

    penggunaan lahan.

    Ruang lingkup penelitian adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi

    Jambi. Data yang digunakan adalah data penduduk, penggunaan lahan dan sarana

    prasarana pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi tahun 2001 dan 2008.

    Analisis data dengan menggunakan Analisis Komponen Utama dan Korelasi

    Hasil analisis menemukan: (1) Pertumbuhan penduduk bervariasi antar

    kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro Jambi dan

    yang terendah Kabupaten Kerinci. (2) Telah terjadi pergeseran struktur

    penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) Selama periode 2001 - 2008, Kota Jambi

    dan Kabupaten Batanghari menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi, sedangkan

    Kabupaten Tanjung Jabung Timur memiliki hirarki terendah. (4) Tidak ada

    keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat

    pelayanan/pertumbuhan. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk dengan penggunaan lahan.

    Pada penelitian ini menyarankan untuk: (1) Perlu dikembangkan pusat-

    pusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di Provinsi Jambi selain Kota

    Jambi. (2) Perlunya perhatian lebih pada wilayah yang terindikasi mengalami

    penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan.(3)

    Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur penggunaan

    lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan perlu diwaspadai, terutama

    ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi sudah relatif tinggi

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Penelitian ini berjudul Keterkaitan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan

    Hirarki Pusat Pertumbuhan/Pelayanan terhadap Perubahan Struktur Penggunaan

    Lahan di Provinsi Jambi. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis: (1)

    pertumbuhan penduduk kabupaten/kota di Provinsi jambi; (2) perubahan dan

    kecenderungan pola penggunaan lahan di Provinsi Jambi; (3) hirarkhi pusat

    pertumbuhan/ pelayanan di Provinsi Jambi; (4) keterkaitan antara pertumbuhan

    penduduk berdasarkan hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola

    perubahan struktur penggunaan lahan.

    Ucapan terima kasih disampaikan kepada yang terhormat:

    1. Bapak Rektor Universitas Jambi

    2. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Jambi

    3. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jambi

    4. Ketua Program Ekstensi Fakultas Ekonomi Universitas Jambi

    Atas segala bantuan baik moril maupun materil, sehingga terealisasinya

    penelitian ini.

    Akhirnya, semoga informasi singkat ini dapat bermanfaat bagi peneliti

    khususnya dan peneliti lainnya serta pihak-pihak yang berkepentingan umumnya.

    Kritik dan saran membangun dari semua pihak selalu diterima dengan senang

    hati, demi kesempurnaan laporan ini.

    Jambi, Desember

    2010

    Ketua Peneliti

  • iii

    DAFTAR ISI

    halaman

    RINGKASAN i

    KATA PENGANTAR ii

    DAFTAR ISI iii

    DAFTAR TABEL iv

    DAFTAR GAMBAR v

    I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang ............................................................ ....................................... 1

    1.2. Perumusan Masalah....................................................... ....................................... 1

    II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Landasan Teori................... ......................................... ....................................... 3

    2.2. Kerangka Pemikiran...................................................... ....................................... 9

    2.3. Hipotesis...... ................................................................ ....................................... 11

    III

    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    3.1. Tujuan Penelitian.......................................................... ....................................... 12

    3.2. Manfaat Penelitian........................................................ ....................................... 12

    IV METODE PENELITIAN

    4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian......................................... ....................................... 13

    4.2. Data yang Digunakan.................................................... ....................................... 13

    4.3. Rencana Analisis Data................................................... ....................................... 13

    V HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Pertumbuhan Penduduk....................................................... ............................. 17

    5.2. Penggunaan Lahan............................................................... .............................. 23

    5.3. Hirarki Pusat Pertumbuhan ................................................. ............................... 31

    5.4. Hubungan Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan Lahan ..............................................................

    ...............................

    34

    VI KESIMPULAN DAN SARAN

    6.1. Kesimpulan ................................................................. ....................................... 36

    6.2. Saran ........................................................................... ....................................... 37

    DAFTAR PUSTAKA

  • iv

    DAFTAR TABEL

    Judul Halaman

    Tabel 5.1. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

    Tahun 2001 dan 2008

    18

    Tabel 5.2. Distribusi Penduduk Provinsi Jambi Menurut Kelompok

    Umur Tahun 2001-2008

    18

    Tabel 5.3. Luas Wilayah, Penduduk dan Tingkat Kepadatan

    Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi 2008

    22

    Tabel 5.4. Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2001 2008 (dalam persentase)

    24

    Tabel 5.5. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di

    Provinsi Jambi Tahun 2001 (dalam persentase)

    25

    Tabel 5.6. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di

    Provinsi Jambi Tahun 2008 (dalam persentase)

    25

    Tabel 5.7. Perubahan Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota

    di Provinsi Jambi selama Periode 2001 2008 (dalam persen perubahan)

    27

    Tabel 5.8. Analisis Komponen Utama Penggunaan Lahan Provinsi

    Jambi Tahun 2001 - 2008

    28

    Tabel 5.9. Nilai Skor Baku Komponen Faktor Utama L1 dan L2

    Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008

    29

    Tabel 5.10. Analisis Komponen Utama Indeks Pusat Pelayanan

    Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008

    32

    Tabel 5.11. Nilai Skor Baku Komponen Sarana Prasarana di

    Provinsi Jambi Tahun 2001 - 2008

    33

    Tabel 5.12. Matriks Korelasi Pertumbuhan Penduduk, Hirarki Pusat

    Pertumbuhan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi

    35

  • v

    DAFTAR GAMBAR

    Judul Halaman

    Gambar 2.1. Hubungan Antara Land Rent dan Lokasi pada Berbagai

    Sektor Ekonomi

    7

    Gambar 2.2. Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris

    8

    Gambar 2.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Pertumbuhan

    Penduduk dan Perubahan Penggunaan Lahan

    11

    Gambar 5.1. Piramida Penduduk Provinsi Jambi, Tahun 2008

    21

  • 1

    BAB I.

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah di Indonesia yang mengalami

    pertumbuhan penduduk relatif tinggi. Selama periode 2001 - 2008, laju

    pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi sebesar 2,02 persen pertahun. Sebaliknya

    pada periode yang sama rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah

    1,35 persen pertahun.

    Pertambahan jumlah penduduk yang cepat di suatu wilayah, pada

    gilirannya akan mengakibatkan kebutuhan lahan di wilayah tersebut cenderung

    meningkat. Pertambahan jumlah penduduk yang juga diikuti oleh meningkatnya

    berbagai aktivitas ekonomi akan mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap lahan

    dan memicu terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan pada suatu wilayah.

    Pergeseran pola penggunaan lahan ini menurut Saefulhakim, dkk (1994),

    akan memberikan implikasi yang cukup luas terhadap keragaan perekonomian

    wilayah, alokasi sumberdaya dan tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah.

    Implikasi tersebut dapat berdampak negatif, jika perubahan pola penggunaan

    lahan tersebut tidak ditanggapi melalui berbagai kebijakan-kebijakan publik yang

    tepat dan terarah.

    Berdasarkan hal tersebut, untuk mengeliminir berbagai dampak negatif

    dari perubahan pola penggunaan lahan sebagai akibat pertumbuhan penduduk

    yang pesat di Provinsi Jambi, maka perlu dilakukan kajian mengenai aspek-aspek

    perubahaan penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk

    wilayah tersebut. Selanjutnya dalam rangka mengkaitkannya dengan proses

    pembangunan yang terjadi, maka pertumbuhan penduduk juga akan dikaitkan

    dengan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

    1.2. Perumusan Masalah

    Dari uraian pada latar belakang dapat dirumuskan permasalahan penelitian

    dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di

  • 2

    Provinsi Jambi ?

    2. Bagaimanakah struktur penggunaan lahan dan pola perubahannya di

    Provinsi Jambi ?

    3. Bagaimanakah hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan kabupaten/kota di

    Provinsi Jambi?

    4. Bagaimanakah keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan

    hirarki pusat pertumbuhan terhadap pola perubahan struktur

    penggunaan lahan di Provinsi Jambi ?

  • 3

    BAB II.

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Landasan Teori

    2.1.1. Pertumbuhan Penduduk

    Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu

    wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya.

    (http://www.datastatistikindonesia.com). Pertumbuhan penduduk merupakan

    keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan

    kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Kekuatan-kekuatan yang

    menambah adalah kelahiran dan migrasi masuk, sedangkan kekuatan-kekuatan

    yang mengurangi adalah kematian dan migrasi keluar. Jadi pertumbuhan

    penduduk hanya dipengamhi oleh dua Cara yaitu: melalui perubahan reproduksi

    dan migrasi neto (Yasin, 2007).

    Pertumbuhan penduduk tersebut dapat dinyatakan dengan formula

    sebagai berikut: Pt=Po + (B-D) + (Mi - Mo)

    Dimana:

    Po : Jumlah penduduk pada tahun dasar

    Pt : Jumlah penduduk pada tahun t

    B : kelahiran yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya

    D : kematian yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya

    Mi : Migrasi masuk yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya

    Mo : Migrasi keluar yang terjadi pada jangka waktu antara keduanya

    Indikator tingkat pertumbuhan penduduk sangat berguna untuk

    memprediksi jumlah penduduk di suatu wilayah atau negara dimasa yang akan

    datang. Diketahuinya jumlah penduduk yang akan datang, diketahui pula kebu-

    tuhan dasar penduduk, tidak hanya di bidang sosial dan ekonomi tetapi juga di

    bidang politik misalnya mengenai jumlah pemilih untuk pemilu yang akan datang.

    2.1.2. Hirarki Pusat Pertumbuhan

    Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan

    aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan

    kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu:

  • 4

    1. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai

    puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu;

    2. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di

    pusat-pusat pertumbuhan ini, secara nasional melalui hirarkhi kota-

    kota dan secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke

    daerah belakang (hinterland) masing-masing (Soedjito, 1995).

    Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler

    yang kemudian dikenal sebagai teori tempat central (Central Place Theory) yang

    selanjutnya dikembangkan oleh Losch, Berry dan Garrison (Hanafiah, 1985).

    Menurut teori pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang

    dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah

    perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah

    belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju

    peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan

    perkotaan (Richardson, 1974).

    Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah

    dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas:

    1. Pusat pelayanan pada tingkat lokal;

    2. Titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah;

    3. Pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah;

    4. Kutub pertumbuhan pada tingkat nasional.

    Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara

    terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi

    perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan

    bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan

    berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya

    perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak

    merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai

    maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang nntuk membeli barang

    tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat.

    Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam

    aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat

  • 5

    kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan

    kesejahteranan masyarakat ini ditentukan oleh derajat penyediaan fasilitas

    pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga

    akan mendorong aktivitas ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan

    oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu

    implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan

    sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan

    menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang barn bagi kegiatan manusia.

    Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan

    pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui

    hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland)

    dalam ruang Iingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa

    spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu

    fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland).

    Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang

    erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas

    pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat,

    baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah

    belakangnya.

    2.1.3. Teori Lokasi dan Alokasi Sumberdaya Lahan

    Teori Von Thunen (Djojodipuro, 1992), dikenal sejak abad 19, dimana

    teori ini merupakan model tata ruang sederhana yang didasarkan pada suatu titik

    permintaan dalam suatu lingkaran ekonomi perdesaan yang mempunyai struktur

    pasar sempurna, baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan,

    seluruh wilayah dapat dijangkau tetapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada

    ekspor dan impor. Berdasarkan asumsi tersebut, alokasi lahan akan mengikuti

    pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran dengan kota sebagai pusatnya

    sekaligus sebagai tempat pemukiman, kemudian areal sawah, tegalan, kebun dan

    hutan. Bentuk lingkaran tidak selalu simetris akan tetapi tergantung pada akses

    yang ada, misalnya melonjong mengikuti akses jalan ataupun sungai.

    Menurut Pakpahan dan ,Anwar, 1989 dalam Somaji (1994), teori ini

    merupakan model statis yang menghasilkan keseimbangan berdasarkan tiga

  • 6

    parameter: harga jual, biaya produksi dan biaya angkutan. Sehingga kalau

    digunakan sebagai pedoman keputusan alokasi lahan memiliki beberapa

    kelemahan. Salah satunya kelemahan asumsi pasar yang sempurna, baik untuk

    input maupun output karena adanya spatial monopoli. Sistem satu pasar, dalam

    arti semua komoditi dijual di pusat kota merupakan kelemahan lain, sebab secara

    empirik ada beberapa komoditi yang dijual di pasar lain. Dernikian pula asumsi

    homogenitas transportasi adalah jauh dari realitas. Akan tetapi terlepas dari

    beberapa kelemahan diatas, model Von Thunen tersebut merupakan model awal

    yang penting sebagai peletak dasar untuk membuat model tata guna lahan yang

    lebih baik.

    Sementara itu, teori yang dikemukakan oleh Alfred Wcber (Glasson,

    1990) biasanya disebut sebagai teori biaya terkecil. Di dalam teori tersebut Weber

    mengasumsikan: (1) bahwa daerah yang menjadi objek penelitian adalah daerah

    yang terisolasi, konsumennya terpusat pada pusat-pusat tertentu. Semua unit

    perusahaan dapat memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna;

    (2) semua sumberdaya alam tersedia secara tidak terbatas; (3) barang-barang

    lainnya seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadik tersedia secara terbatas

    pada sejumlah tempat; (4) tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang

    menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi. Menurut Weber ada tiga faktor

    yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya transportasi, biaya tenaga kerja

    dan kekuatan aglomerasi. Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus

    terhadap jarak yang ditempuh dan berat barang, sehingga titik lokasi yang

    membuat biaya terkecil adalah bobot total pergerakan pengumpulan berbagai

    input dan pendistribusian yang minimum.

    Dipandang dari segi tata guna lahan, model Weber berguna untuk

    merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar

    nasional atau pasar dunia. Dalam model ini fungsi tujuan adalah meminimumkan

    ongkos transportasi sebagai fungsi dad jarak dan berat barang yang harus

    diangkut (input dan output). Kritikan terhadap model ini terutama pada asumsi

    biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak

    memperhatil;Can faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.

  • 7

    Selanjutnya Anwar (1994), menggambarkan tentang hubungan antara nilai

    land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan

    kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang

    tinggi, sehingga sektor-sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya

    sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial, nilai land rent-nya

    semakin kecil. Land rent dalam konteks ini diartikan sebagai Locational Rent.

    Gambar 2.1. Hubungan Antara Land Rent dan Lokasi pada Berbagai

    Sektor Ekonomi

    Land Rent

    Lokasi Utama Jarak dari lokasi utama (km)

    Sumber : Anwar (1993)

    Selanjutnya, ilustrasi gambar tersebut diatas dapat digamarkan dalam

    bentuk model tata guna lahan lingkaran konsentris (Anwar, 1993 dalam Somaji,

    1994), dimana persaingan antara berbagai kegiatan akan menghasiikan suatu pola

    tata guna lahan yang berbentuk lingkaran konsentris seperti tampak dalam gambar

    berikut ini:

  • 8

    Gambar 2.2. Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris

    Jarak (km)

    Sumber: Anwar, 1993

    Keterangan:

    1. Kawasan Komersial (Finansial)

    2. Kawasan Industri

    3. Kawasan Perumahan

    4. Wilayah Pertanian

    2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Penggunaan Lahan

    Pola penggunaan lahan adalah dampak dari segala kegiatan manusia

    diatas muka bumi (Sandy, 1995). Penggunaan lahan merupakan jenis usaha

    manusia secara bertahap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,

    baik materiil maupun spiritual dengan memanfaatkan sumberdaya yang disebut

    lahan. Dengan demikian, 'penggunaan lahan merupakan hasii kegiatan manusia

    yang dipengaruhi oleh keadaan alam (fisik lingkungan) serla kegiatan sosial-

    ekonomi dan budaya masyarakat suatu wilayah.

    Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan, antara lain: jenis

    lahan, topografi, ketinggian, aksesibilitas dan tekanan penduduk (Soerianegara,

    1977). Sedangkan menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi

    pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor fisik-biologis, faktor pertimbangan

    ekonomi, dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis berkaitan

  • 9

    dengan lingkungan fisik dimana manusia berada. Faktor ini memberikan

    dukungan sifat-sifat alam yang sesuai dengan letaknya, keadaan bahan penunjang

    untuk kegiatan manusia, dan komunitas manusia, diantaranya mencakup keadaan

    geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor

    pertimbangan ekonomi meliputi: produktivitas, pemasaran, transportasi dan

    kebutuhan yang dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi.

    Sedangkan faktor institusi dicirikan oleh ada tidaknya hukum pertanahan yang

    berlaku di masyarakat, dan tidak bertentangan dengan keadaan sosial budaya serta

    kepercayaan, yang secara empirik dapat diterima dan dilaksanakan oleh

    masyarakat.

    Penggunaan lahan juga ditentukan oleh keadaan topografi, relief dan

    ketinggian, aksesibilitas, kemainpuan dan kesesuaian lahan serta tekanan

    penduduk. Lahan yang subur lebih banyak digunakan untuk pertanian dan

    biasanya berpenduduk padat (Sandy, 1985). Adapun faktor-faktor yang

    mempengaruhi arah perkembangan dan laju penggunaan lahan pertanian di

    perkotaan dan wilayah sekitarnya antara lain: indeks aksesibilitas, faktor sosial,

    faktor lingkungan fisik dan kebijakan infrastruktur (Owen, 1978). Sementara itu

    Bern (1977), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan adalah akibat

    dan jumlah dan komposisi penduduk secara herkala ataupun permanen. Pengaruh

    yang lain ialah terhadap ekonomi iahan, seperti harga, sewa dan, pasar lahan.

    2.2. Kerangka Pemikiran

    Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan lahan terus

    semakin meningkat. Hal ini akan membawa konsekuensi, bahwa lahan terutama

    di pusat pertumbuhan akan mempunyai nilai kelangkaan (scarcity) yang sangat

    tinggi, sehingga akan memberikan tekanan-tekanan terhadap lahan yang tersedia,

    dan pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya peruhahan penggunaan lahan.

    Pada saat yang bersamaan di pusat-pusat pertumbuhan, akan terjadi

    pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Pesatnya pertumbuhan penduduk

    tersebut antara lain disehabkan, baik oleh faktor alami seperti: fertilitas, maupun

    migrasi yang dapat dilihat dan adanya fenomena migrasi.

  • 10

    Selanjutnya pusat pertumbuhan dapat diurutkan tingkat hirarkhinya berda-

    sarkan kemampuan dalam menyediakan fasilitas pelayanan. Hirarkhi pusat

    pertumbuhan dihasilkan oleh hubungan antara ukuran dan fungsi pusat

    pertumbuhan serta jarak inter-urban. Distribusi spatial yang berkaitan dengan

    penggunaan lahan dan persebaran penduduk antara lain dipengaruhi oleh struktur

    jaringan transportasi.

    Teori pusat pertumbuhan, ini dapat diterapkan untuk menjelaskan interaksi

    antara pusat pertumbuhan dengan hinterland-nya atau menerangkan saling keter-

    kaitan antar daerah dalam suatu hirarki wilayah. Proses interaksi dan saling

    keterkaitan dapat terjadi secara langsung tanpa perantaraan pusat atau wilayah

    yang lain maupun secara tidak langsung, yaitu melalui perantaraan pusat atau

    wilayah lain. Proses tersebut diasumsikan dilakukan melalui jarak terpendek.

    Dengan demikian, jarak merupakan faktor kunci bagi teori pusat pertumbuhan.

    Pusat pertumbuhan, dianggap sebagai pusat pelayanan akan berpengaruh

    terhadap daerah belakangnya, dan diperkirakan faktor jarak dari pusat pelayanan

    akan berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan. Penggunaan lahan di pusat

    pertumbuhan cenderung memiliki intensitas yang lebih tinggi, dibandingkan

    dengan lokasi yang jauh dari pusat pertumbuhan. Artinya, intensitas penggunaan

    lahan akan berbanding terbalik dengan jaraknya terhadap pusat pertumbuhan.

    Disini, penggunaan lahan sargat menentukan cara-cara masyarakat berfungsi, hal

    ini dapat dipahami mengingat lahan adalah matrik dasar kehidupan dan

    pembangunan. Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung

    maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Dengan demikian,

    pola penggunaan lahan merupakan pencerminan dari budaya, tingkat hidup dan

    corak kehidupan dari masyarakat. Oleh karena budaya, tingkat hidup dan corak

    kehidupan dari masyarakat bersifat dinamis yang orientasinya selalu berubah

    setiap saat sejalan dengan pertambahan penduduk dan dinarnika pembangunan,

    dengan demikian maka pola penggunaan lahan juga bersifat dinamis.

    Fenomena tersebut pada gilirannya akan berakibat pada perubahan mutu

    lingkungan hidup dan peningkatan nilai lahan. Bahkan dalam kerangka yang lebih

    luas, fenomena pemanfaatan lahan maupun alih guna lahan akan memberikan

  • 11

    implikasi yang cukup luas terhadap keragaan perekonomian wilayah, alokasi

    sumberdaya dan tenaga kerja serta struktur tata ruang wilayah.

    Gambar 2.3. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Pertumbuhan Penduduk

    dan Perubahan Penggunaan Lahan

    2.3. Hipotesis

    Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

    berikut: "Ada hubungan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan hirarki pusat

    pertumbuhan dengan pola perubahan struktur penggunaan lahan di wilayah

    Provinsi Jambi"

    Aktivitas Sosial

    Ekonomi

    Hirarki Pusat Pertumbuhan/

    Pelayanan

    Aktivitas Sosial

    Ekonomi

    Kualitas

    Lingkungan

    Aksesibilitas

    Aktivitas Sosial

    Ekonomi

    Perubahan Pola

    Penggunaan

    Lahan

  • 12

    BAB III.

    TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

    3.1. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan utnuk:

    1. Untuk menganalisis pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota di

    Provinsi jambi

    2. Untuk menganalisis perubahan dan kecenderungan pola penggunaan lahan di

    Provinsi Jambi

    3. Untuk menganalisis hirarkhi pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di Provinsi

    Jambi

    4. Untuk menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan penduduk berdasarkan

    hirarkhi pusat pertumbuhan/pelayanan dengan pola perubahan struktur

    penggunaan lahan

    3.2. Manfaat Penelitian

    Hasil dari studi ini diharapkan dapat memberikan arahan bagi perumusan

    kebijaksanaan dalam pengarahan laju pertumbuhan penduduk pada masa yang

    akan datang, khususnya dalam usaha meninjau kembali pola penggunaan lahan

    dalam kerangka penataan ruang bagi pembangunan yang berwawasan spasial,

    integral dan berkelanjutan.

  • 13

    BAB IV.

    METODE PENELITIAN

    4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan selama 4 (empat) bulan, yang meliputi tahap

    persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan laporan. Lokasi penelitian

    adalah Provinsi Jambi dengan cakupan 9 (sembilan) kabupaten dan 1 (satu) kota

    yang ada dalam wilayah Provinsi Jambi. Mengingat ketersediaan data, Kota

    Sungai Penuh yang merupakan daerah pemekaran baru pada tahun 2008 dalam

    analisis ini masih tergabung dalam Kabupaten Kerinci sebagai kabupaten

    induknya.

    4.2. Data yang Digunakan

    Data yang digunakan dalam penelitian ini, berupa data yang dihimpun dari

    berbagai publikasi resmi yang dikeluarkan oleh Dinas/Instansi Pemerintah yang

    memiliki keterkaitan dengan tujuan penelitian ini, diantaranya data penduduk,

    penggunaan lahani dan sarana prasarana pelayanan (pendidikan, kesehatan,

    ekonomi) kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

    4.3. Rencana Analisis Data

    Data yang terkumpul akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar

    sebagai upaya mempermudah proses analisis. Analisis data yang dilakukan

    meliputi: .

    a. Pertumbuhan Penduduk

    Untuk menganalisis pertumbuhan penduduk berdasarkan kabupaten/kota

    di Provinsi Jambi digunakan data dasar penduduk kabupaten/kota tahun 2001 dan

    2008.

    Pertumbuhan penduduk diukur dengan menggunakan rumus pertumbuhan

    eksponensial sebagai berikut:

    t

    ePoPtr

    log))/(log(

    Dirnana:

    r = tingkat pertumbuhan penduduk tahunan

  • 14

    Pt = jumlah penduduk akhir periode

    Po = jumlah penduduk awal periode

    e = angka eksponensial

    t = periode waktu

    b. Hirarkhi Pusat Pertumbuhan/Pelayanan

    Untuk menganalisis hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan digunakan data

    dasar berupa jumlah unit sarana-prasarana sosial-ekonomi, jumlah penduduk dan

    luas wilayah pada tiap kabupaten dan kota. Sebelumnya data dasar tersebut akan

    ditransformasikan terlebih dahulu. Transformasi data dilakukan dengan cara

    menghitung indeks pemusatan pelayanan (IPP).

    Indeks Pemusatan Pelayanan (IPP) dihitung dengan cara sebagai berikut:

    Menghitung IPP berdasarkan penduduk yaitu ratio sarana perpenduduk

    kabupaten/kota dibagi dengan ratio sarana-prasarana perpenduduk Provinsi

    terhadap masing-masing unit sarana dan prasarana

    Menghitung IPP berdasarkan wilayah yaitu ratio sarana per luas wilayah

    kabupaten/kota dibagi dengan ratio sarana-prasarana perluas wilayah Provinsi

    terhadap masing-masing unit sarana dan prasarana

    Menghitung rata-rata IPP dengan merata-ratakan IPP berdasarkan penduduk

    dengan IPP berdasarkan wilayah

    IPP pada masing-masing kabupaten atau kota dihitung pada dua titik

    tahun yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2008. Selanjutnya untuk mengetahui

    sarana dan prasarana yang berpengaruh sebagai penentu perkembangan wilayah

    pada masing-masing daerah kabupaten/kota akan dilakukan melalui Analisis

    Komponen Utama (Principal Components Analysis).

    Analisis komponen utama merupakan analisis data yang dilakukan dengan

    tujuan untuk menyederhanakan peubah yang diamati dengan menyusutkan atau

    mereduksi dimensinya (Gasperzs, 1992). Reduksi dimensi dilakukan dengan

    menghilangkan korelasi antar peubah melalui transformasi peubah-peubah asal ke

    peubah-peubah baru yang tidak saling berkorelasi. Peubah baru (y) disebut

    sebagai komponen utama yang merupakan basil transformasi dari peubah asal x.

  • 15

    Komponen utama adalah kombinasi linear terbobot peubah asal yang

    dapat menerangkan keragaman data dalam proporsi tertentu.

    Komponen utama ke-j dapat dituliskan sebagai berikut:

    Yj = a1jX1 + a2jX2 + + apjXp

    Yj = Xaj

    Ragam komponen utama ke-j diperoleh dari persamaan berikut:

    Y=Xa

    3

    2

    1

    ...21

    2...2221

    1...1211

    ...21

    2...2221

    1...1211

    a

    a

    a

    XnpXnXn

    pXXX

    pXXX

    YnpYnYn

    pYYY

    pYYY

    Dimana:

    sampel i = 1,2,3,...,n

    variabel asal j = 1 ,2,3,...,p

    a diperoleh dengan cara : max a'X'Xa' = Y'Y

    dengan kendala a'a = 1

    sehingga diperoleh persamaan akar ciri sebagai berikut: X'Xa = a, dimana

    a = vektor ciri (eigen vektor) dan X = akar ciri (eigen value).

    Vektor pembobot aj merupakan pembobot peubah asal bagi komponen utama ke-j

    Selanjutnya untuk mendapatkan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan

    kabupaten/kota di Provinsi Jambi digunakan nilai skor baku dari masing-masing

    komponen faktor utama yang memiliki akar ciri > 1.

    c. Penggunaan Lahan

    Untuk mengetahui pola penggunaan lahan, data dasar yang digunakan

    adalah data luas lahan dari tiap jenis penggunaan lahan di tiap kabupaten/kota.

    Analisis data akan dilakukan melalui penghitungan nilai LQ (Location Quotient)

    penggunaan lahan pada dua titik waktu. Selanjutnya nilai LQ penggunaan lahan

    tersebut akan dianalisis melalui Analisis Komponen Utama.

    Selanjutnya untuk mendapatkan posisi pangsa relatif jenis penggunaan

    lahan dalam komponen faktor utama antara kabupaten/kota di Provinsi Jambi

  • 16

    digunakan nilai skor baku masing-masing komponen faktor utama yang memiliki

    akar ciri > 1.

    d. Analisis Korelasi Pertumbuhan Penduduk dengan Pola Penggunaan Lahan

    Analisis korelasi dilakukan terhadap pertumbuhan penduduk dengan nilai

    skor baku dari peubah-peubah sarana prasarana (pusat perturnbuhan/pelayanan)

    dan penggunaan lahan. Untuk menguji nilai korelasi antara dua peubah X dan Y

    tersebut akan dilakukan melalui uji-t, dengan membandingkan nilai t hasil

    perhitungan dengan nilai t-tabel pada taraf nyata yang dibutuhkan.

    Selanjutnya, jika terdapat lebih dari satu hubungan dengan korelasi yang

    signifikan dari variabel-variabel yang dianalisis, akan dilanjutkan dengan analisis

    jalur (path analysis) dengan memanfaatkan informasi hubungan-hubungan yang

    signifikan secara statistik pada pengujian korelasi sebelumnya. Pengembangan

    model aliran kausal satu arah ini juga didasarkan pada kerangka pemikiran bahwa

    pertumbuhan penduduk di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap hirarki pusat

    pertumbuhan, dan selanjutnya akan mempengaruhi struktur penggunaan lahan.

    Sistem aliran satu arah ini juga dapat secara langsung terjadi antara pertumbuhan

    penduduk terhadap struktur penggunaan lahan.

  • 17

    BAB V.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    5.1. Pertumbuhan Penduduk

    Pada Tahun 2008, jumlah penduduk Provinsi Jambi adalah sebanyak

    2.788.269 jiwa. Jika dilihat tingkat pertumbuhannya, maka dapat dikemukakan

    bahwa selama periode Tahun 2001-2008, tingkat pertumbuhan penduduk di

    Provinsi Jambi adalah 1,91 persen pertahun (dengan jumlah penduduk Tahun

    2001 sebanyak 2.439.644 jiwa).

    Berdasarkan kabupaten/kota memperlihatkan pertumbuhan penduduk

    tertinggi dialami oleh Kabupaten Muaro Jambi dengan tingkat pertumbuhan

    sebesar 3,93 persen pertahun. Daerah yang juga memiliki pertumbuhan penduduk

    relatif tinggi (diatas rata-rata Provinsi Jambi) adalah Kabupaten Sarolangun,

    Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Bungo.

    Tingginya angka pertumbuhan penduduk Kabupaten Muaro Jambi selain

    disebabkan oleh faktor pertumbuhan alami (selisih antara kelahiran dan

    kematian), juga disebabkan oleh adanya migrasi masuk yang tinggi terutama yang

    berasal dari wilayah Kota Jambi. Sebagai daerah yang berbatasan langsung

    dengan Kota Jambi, Kabupaten Muaro Jambi menjadi salah satu alternatif

    penduduk yang bekerja di Kota Jambi (dengan harga pemukiman yang mahal)

    untuk bertempat tinggal di daerah ini.

    Selanjutnya daerah dengan pertumbuhan penduduk paling rendah adalah

    Kabupaten Kerinci. Daerah yang juga memiliki pertumbuhan penduduk relatif

    rendah (dibawah rata-rata Provinsi Jambi) adalah Kabupaten Merangin,

    Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan

    Kota Jambi.

    Rendahnya pertumbuhan penduduk Kabupaten Kerinci karena daerah ini

    memiliki budaya merantau yang tinggi pada penduduknya. Ini menyebabkan

    migrasi keluar penduduk Kabupaten Kerinci menjadi relatif tinggi.

  • 18

    Tabel 5.1. Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun

    2001 dan 2008

    Kabupaten/Kota Tahun Pertumbuhan

    (%/tahun) 2001 2008

    Kerinci 295,951 310,093 0.67

    Merangin 258,125 286,578 1.49

    Sarolangun 182,117 214,036 2.31

    Batang Hari 194,251 219,181 1.72

    Muaro Jambi 235,940 310,676 3.93

    Tanjung Jabung Timur 191,844 211,789 1.41

    Tanjung Jabung Barat 211,952 250,746 2.40

    Tebo 225,739 253,373 1.65

    Bungo 219,834 264,389 2.64

    Kota Jambi 423,891 467,408 1.40

    Provinsi Jambi 2,439,644 2,788,269 1.91

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008

    Selanjutnya untuk menggambarkan keadaan penduduk, salah satu karak-

    teristik utama yang umum dianalisis adalah umur. Distribusi umur penduduk pada

    kenyataannya sering menggambarkan riwayat fertilitas (kelahiran), mortalitas

    (kematian) dan rata-rata umur penduduk. Selain itu dapat juga merefleksikan

    beban ketergantungan sekelompok umur tertentu terhadap kelompok umur

    lainnya, dalam hal ini beban tanggungan usia muda (0 14 Tahun) dan beban

    tanggungan usia tua (65+ Tahun) terhadap usia produktif (15 64 Tahun).

    Tabel 5.2. Distribusi Penduduk Provinsi Jambi Menurut Kelompok Umur

    Tahun 2001-2008

    Kelompok

    Umur

    2001 2008 Pertumbuhan

    Jumlah % Jumlah % (% /Tahun)

    0-14 795,325 32.60 836,138 29.99 0.71

    15 64 1,572,073 64.44 1,856,812 66.59 2.38

    65+ 72,246 2.96 95,319 3.42 3.96

    Jumlah 2,439,644 100.00 2,788,269 100.00 1.91

    Beban

    Ketergantungan 55 50

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008

  • 19

    Secara teoritis, struktur umur penduduk dapat dikelompokkan atas dua

    kelompok yaitu:

    (1) struktur umur muda, jika penduduk umur dibawah 15 Tahun lebih

    dari 40 persen dan penduduk usia 65 Tahun ke atas kurang dari 5

    persen;

    (2) struktur umur tua, jika penduduk umur dibawah 15 Tahun kurang dari

    40 persen dan penduduk usia 65 Tahun ke atas lebih dari dari 10

    persen

    Dalam konteks tersebut dapat dikemukakan bahwa struktur umur

    penduduk di Provinsi Jambi pada Tahun 2008 sudah tidak tergolong lagi pada

    struktur umur muda, tetapi belum sepenuhnya memenuhi kategori struktur umur

    tua. Pada Tahun 2008, proporsi penduduk umur dibawah 15 tahun di Kabupaten

    Tanjung Jabung Timur adalah sebesar 29,99 persen atau sudah dibawah 40

    persen, tetapi proporsi penduduk usia 65 tahun keatas masih dibawah 10 persen

    (3,42 persen). Namun demikian, dengan mengamati perkembangan data selama

    Tahun 2001-2008, diperkirakan dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun

    kedepan, struktur umur penduduk akan mencapai kategori struktur umur tua.

    Selama periode Tahun 20012008 terlihat kecenderungan semakin berkurangnya

    proporsi penduduk usia dibawah 15 tahun (0-14 tahun) yang diikuti dengan

    peningkatan yang pesat dari jumlah dan proporsi penduduk umur 65 tahun ke

    atas.

    Transisi struktur usia ini berdampak pada perubahan beban ketergantungan

    penduduk Provinsi Jambi. Dari Tabel 5.2. terlihat bahwa selama periode Tahun

    2001-2008, beban ketergantungan penduduk telah mengalami penurunan dari

    angka 55 menjadi 50. Artinya, jika pada Tahun 2001 untuk 100 orang penduduk

    usia produktif harus menanggung sebanyak 55 orang penduduk belum/tidak

    produktif, maka pada Tahun 2008 untuk 100 orang penduduk usia produktif hanya

    menanggung 50 orang penduduk belum/tidak produktif.

    Terjadinya transisi struktur umur dari struktur umur muda ke struktur

    umur tua ini disebabkan transisi fertilitas dan mortalitas yang terjadi di Provinsi

    Jambi. Penurunan penduduk umur 0-14 Tahun ini merupakan dampak program

    keluarga berencana yang telah berhasil menurunkan angka kelahiran (fertilitas)

  • 20

    selama 15 tahun terakhir. Sebaliknya peningkatan penduduk umur 65 tahun ke

    atas merupakan dampak dari penurunan angka kematian (mortalitas) dan

    peningkatan usia harapan hidup sebagai akibat meningkatnya derajat kesehatan

    masyarakat.

    Transisi struktur umur ini menciptakan suatu potensi peningkatan

    pendidikan, khususnya penduduk muda. Dengan jumlah penduduk muda yang

    lebih sedikit, perhatian pada mutu pendidikan dapat menjadi lebih baik. Anggaran

    pemerintah dan masyarakat dapat lebih diarahkan pada peningkatan mutu

    pendidikan, dan bukan sekedar mengejar sasaran jumlah. Ditambah dengan

    perubahan pada tingkat keluarga (yang makin menginginkan anak dalam jumlah

    sedikit tetapi dengan mutu yang lebih tinggi), transisi struktur usia ini akan

    menyebabkan peningkatan kebutuhan mutu pendidikan yang makin tinggi.

    Berbagai perubahan ini dapat mendorong terjadinya transisi pendidikan, dari

    masyarakat berpendidikan rendah ke masyarakat berpendidikan tinggi.

    Namun demikian, transisi struktur umur ini juga menyebabkan masalah

    baru, akibat peningkatan penduduk lanjut usia. Jika pertumbuhan penduduk yang

    cepat mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk muda yang telah

    mengkonsumsi tetapi belum berproduksi, pertumbuhan penduduk yang lambat

    menyebabkan transisi struktur usia ke penduduk yang makin banyak terdiri dari

    penduduk tua, yang merupakan bagian penduduk yang masih mengkonsumsi

    tetapi tidak berproduksi lagi. Pengeluaran pemerintah dan masyarakat akan makin

    banyak digunakan untuk para lansia ini.

    Hal lain yang perlu diwaspadai berkaitan dengan kesehatan. Transisi

    struktur umur/transisi demografis ini akan diikuti oleh transisi epidemiologi. Pola

    penyakit dominan akan berubah dari penyakit infeksi dan parasit ke penyakit

    degeneratif, kecelakaan dan penyakit jiwa. Ini secara langsung juga membutuhkan

    perubahan dalam orientasi pelayanan kesehatan.

    Gambar 5.1 memberikan secara lebih terperinci komposisi umur lima

    tahunan penduduk Provinsi Jambi dalam bentuk piramida penduduk. Piramida

    penduduk secara umum terdiri dari tiga bentuk yaitu:

  • 21

    (1) Expansive, jika sebagian besar penduduk berada pada kelompok umur

    termuda. Bentuk piramidanya melebar kebawah dan semakin keatas

    semakin menyempit;

    (2) Constrictive, jika penduduk yang berada pada kelompok umur

    termuda jumlahnya sedikit, pada umur pertengahan lebih banyak dan

    semakin sedikit pada umur-umur diatasnya. Bentuk piramidanya

    menyempit pada bagian bawah, melebar bagian tengah dan kembali

    menyempit pada bagian-bagian ke atasnya;

    (3) Stationary, jika banyaknya penduduk dalam tiap kelompok umur

    hampir sama banyaknya, kecuali pada kelompok umur tertentu.

    Bentuk piramidanya lebih lurus dan hanya menyempit pada bagian

    puncaknya.

    Gambar 5.1. Piramida Penduduk Provinsi Jambi, Tahun 2008

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka 2008

    Dari gambar di atas dapat dikemukakan bahwa bentuk piramida penduduk

    Kabupaten Tanjung Jabung Timur termasuk kategori constrictive. Bentuk

    piramida constrictive ini adalah bentuk piramida penduduk yang dialami

    Amerika Serikat pada Tahun 1970an.

  • 22

    Hal yang perlu diwaspadai dalam bentuk piramida ini adalah akan adanya

    ledakan penduduk pada periode-periode mendatang terutama jika program

    keluarga berencana tidak terus diintensifkan dalam rangka penurunan angka

    kelahiran. Hal ini disebabkan, meskipun angka kelahiran telah rendah pada

    periode-periode 15 tahun sebelumnya (yang ditunjukkan oleh sedikitnya jumlah

    penduduk umur muda 014 tahun), namun jumlah penduduk pada kelompok umur

    diatasnya terutama 1529 tahun khususnya kelompok perempuan masih relatif

    tinggi. Penduduk perempuan pada kelompok umur ini termasuk kelompok usia

    subur, yang berpotensi meningkatkan total kelahiran dan pertumbuhan penduduk.

    Selanjutnya, dari aspek keruangan, terdapat ketimpangan kepadatan

    penduduk antar kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Secara keseluruhan, tingkat

    kepadatan penduduk di Provinsi Jambi adalah 52,2 jiwa per km2. Namun

    demikian, kepadatan penduduk ini tidak menyebar secara merata. Kabupaten

    Sarolangun hanya memiliki tingkat kepadatan penduduk sebesar 27,4 jiwa perkm2

    (sebagai daerah dengan tingkat kepadatan penduduk terendah). Sebaliknya Kota

    Jambi memiliki tingkat kepadatan penduduk mencapai 2280 jiwa perkm2 (sebagai

    daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi). Artinya ratio kepadatan

    tertinggi dan terendah mencapai lebih 80 kali lipat

    Tabel 5.3. Luas Wilayah, Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk

    Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2008

    Kabupaten/Kota Luas Wilayah Penduduk Kepadatan

    Kerinci 4200 310,093 73.8

    Merangin 6380 286,578 44.9

    Sarolangun 7820 214,036 27.4

    Batang Hari 4983 219,181 44.0

    Muaro Jambi 6147 310,676 50.5

    Tanjung Jabung Timur 5330 211,789 39.7

    Tanjung Jabung Barat 4870 250,746 51.5

    Tebo 6340 253,373 40.0

    Bungo 7160 264,389 36.9

    Kota Jambi 205 467,408 2280.0

    Provinsi Jambi 53435 2,788,269 52.2

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2008

  • 23

    Ketimpangan persebaran penduduk ini berdampak negatif dalam

    pelaksanaan pembangunan. Pada daerah-daerah jarang penduduk, akan terjadi

    inefisiensi pembangunan terutama pembangunan fisik dan pemanfaatan

    sumberdaya alam. Sebaliknya pada daerah-daerah dengan tingkat kepadatan

    tinggi, tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam juga akan tinggi, yang dapat

    mengancam kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam yang ada.

    5.2. Penggunaan Lahan

    Penggunaan lahan merupakan upaya manusia dalam interaksinya dengan

    sumberdaya fisik lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh

    karenanya, pergeseran struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata

    fenomena fisik berkurangmya luasan lahan tertentu dan meningkatnya

    penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya, melainkan mempunyai kaitan erat

    dengan peruhahan oientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat

    (Nasution dan Winoto, 1990).

    Perubahan orientasi tersebut berkait dengan terjadinya proses transformasi

    struktur perekonomian yang dicirikan semakin menurunnya pangsa relatif sektor

    primer (pertanian dan pertambangan) dan semakin meningkatnya pangsa relatif

    sektor sekunder dan tersier (industry dan jasa). Dengan demikian pembangunan

    ekonomi diarahkan untuk mengurangi ketergantungan perekonomian suatu

    wilayah terhadap sektor primer yang nmempunyai nilai tambah (value added)

    yang lebih rendah dibandingkan dengan sektor sekunder dan terrier.

    Penggunaan dan pergeseran struktur penggunaan lahan di wilayah Provinsi

    Jambi diberikan pada tabel berikut:

  • 24

    Tabel 5.4. Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi Tahun 2001 2008 (dalam persentase)

    Penggunaan Tahun

    Perubahan 2001 2007

    Sawah 4.57 3.47 -1.11

    Bangunan 6.94 9.72 2.78

    Tegal/Huma/Ladang 25.61 19.07 -6.54

    Pdg rumput/sementara tdk diusahakan 13.65 23.78 10.14

    Tambak/Kolam/Empang 0.19 0.34 0.15

    Tanaman kayu-kayuan 12.15 19.23 7.08

    Hutan negara 36.89 24.39 -12.50

    Jumlah 100.00 100.00

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008

    Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa pada kondisi tahun 2008, hampir

    seperempat bagian (24,39 persen) lahan di Provinsi Jambi merupakan hutan

    negara. Di tempat kedua dengan proporsi penggunaan terbesar adalah untuk

    padang rumput/sementara tidak diusahakan, diikuti oleh penggunaan untuk

    tanaman kayu-kayuan, penggunaan untuk tegal/huma/ladang, penggunaan untuk

    bangunan, penggunaan untuk sawah dan penggunaan untuk

    tambak/kolam/empang.

    Selama periode 2001 - 2008 telah terjadi pergeseran struktur penggunaan

    lahan di Propinsi Jambi. Terdapat lahan yang mengalami pengurangan/penciutan,

    dengan urutan terbesar adalah penggunaan untuk hutan negara sebesar 12,50

    persen diikuti oleh penggunaan untuk tegal/huma/ladang sebesar 6,54 persen dan

    penggunaan untuk sawah sebesar 1,11 persen. Sebaliknya, terdapat lahan yang

    mengalami peningkatan luasan secara proporsi, dengan urutan terbesar adalah

    penggunaan lahan untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan, diikuti oleh

    penggunaan untuk tanaman kayu-kayuan, penggunaan untuk bangunan dan

    penggunaan untuk tambak/kolam/empang.

    Selanjutnya, secara terperinci struktur penggunaan lahan untuk masing-

    masing kabupaten/kota dalam Provinsi Jambi pada tahun 2001, tahun 2008 dan

    perubahannya dalam periode tersebut, diberikan pada tiga tabel berikut:

  • 25

    Tabel 5.5. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi

    Jambi Tahun 2001 (dalam persentase)

    Kabupaten/

    Kota Sawah Bangunan

    Tegal/

    Huma/

    Ladang

    Pdg

    rumput/

    sementara

    tdk diusa-

    kahan

    Kolam/

    Tambak/

    Empang

    Tanaman

    Kayu-

    Kayuan

    Hutan

    Negara

    Kerinci 4.37 1.17 29.30 3.50 0.07 18.38 43.21

    Merangin 1.81 10.88 25.94 10.58 0.08 16.38 34.32

    Sarolangun 1.29 5.63 15.88 33.84 0.10 8.66 34.59

    Batanghari 3.60 6.53 20.60 5.82 0.14 24.30 39.01

    Muaro Jambi 2.75 7.53 25.60 18.99 0.50 13.47 31.16

    Tanjab Timur 16.53 7.72 10.50 29.26 0.26 17.44 18.28

    Tanjab Barat 8.59 4.80 37.55 4.71 0.32 1.92 42.12

    Tebo 1.40 3.20 27.94 5.31 0.06 4.43 57.66

    Bungo 3.28 12.30 40.04 7.43 0.11 7.30 29.54

    Kota Jambi 7.70 48.09 29.48 11.99 1.39 1.35 0.00

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001

    Tabel 5.6. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di Provinsi

    Jambi Tahun 2008 (dalam persentase)

    Kabupaten/

    Kota Sawah Bangunan

    Tegal/

    Huma/

    Ladang

    Pdg

    rumput/

    sementara

    tdk diusa-

    kahan

    Kolam/

    Tambak/

    Empang

    Tanaman

    Kayu-

    Kayuan

    Hutan

    Negara

    Kerinci 4.59 2.41 26.32 6.41 0.14 13.65 46.48

    Merangin 1.78 14.58 24.15 17.84 0.16 16.89 24.60

    Sarolangun 1.03 20.06 15.24 18.74 0.13 12.17 32.63

    Batanghari 3.48 4.93 30.07 12.07 0.07 22.44 26.93

    Muaro Jambi 3.62 7.74 15.14 37.43 0.67 9.06 26.34

    Tanjab Timur 13.71 16.97 15.30 34.06 1.69 7.24 11.03

    Tanjab Barat 4.62 11.81 22.26 16.47 0.46 31.94 12.45

    Tebo 1.54 3.30 7.56 21.44 0.05 33.65 32.47

    Bungo 1.37 3.76 18.11 43.79 0.10 22.77 10.10

    Kota Jambi 7.67 55.08 24.08 5.43 1.30 6.44 0.00

    Keterangan: Klasifikasi penggunaan lahan pada tahun 2008 sedikit berbeda dengan

    klasifikasi tahun-tahun sebelumnya.Agar dapat diperbandingkan,

    klasifikasi tahun 2008 disesuaikan dengan angka penyesuaian tahun

    2007.

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2008

  • 26

    Berdasarkan kondisi tahun 2008 memperlihatkan penggunaan lahan untuk

    sawah yang tebesar ada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dengan proporsi

    mencapai 13,71 persen dari luas wilayah kabupaten ini. Penggunaan lahan untuk

    bangunan yang dominan adalah di Kota Jambi. Lebih separuh (55,08 persen),

    lahan di Kota Jambi merupakan lahan peruntukan bangunan. Disisi lain,

    penggunaan .lahan untuk tegal/huma/ladang yang terbesar ada di Kabupaten

    Batang Hari dengan proporsi mencapai 30,07 persen

    Selanjutnya untuk penggunaan padang rumput/sementara tidak

    diusahakan, yang terbesar adalah di Kabupaten Bungo. Untuk kolam/tambak/

    empang di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Untuk tanaman kayu-kayuan di

    Kabupaten Tebo dan penggunaan lahan untuk hutan negara di Kabupaten Kerinci.

    Berdasarkan perkembangan selama periode 2001 2008 dapat

    dikemukakan bahwa terjadi penurunan proporsi luasan lahan sawah di tujuh

    daerah dengan penurunan terbesar di Kabupaten Tanjung Jabung Barat yaitu

    sebesar 3,97 persen, diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebesar 2,83

    persen, Kabupaten Bungo (1,90 persen), Kabupaten Sarolangun (0,26 persen),

    Kabupaten Batang Hari (0,13 persen), Kabupaten Merangin (0,03 persen) dan

    Kota Jambi (0,03 persen). Tiga daerah lainnya mengalami peningkatan, dengan

    peningkatan terbesar adalah Kabupaten Muaro Jambi, diikuti oleh Kabupaten

    Kerinci dan Kabupaten Tebo.

    Untuk bangunan, menunjukkan terjadi peningkatan hampir di semua

    daerah kecuali Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Bungo. Peningkatan

    terbesar terutama terjadi di Kabupaten Sarolangun, yaitu sebesar 14,42 persen,

    sedangkan peningkatan terendah adalah untuk Kabupaten Tebo (0,09 persen)

    Fenomena yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk padang

    rumput/sementara tidak diusahakan serta kolam/tambak/empang. Penggunaan

    untuk padang rumput/sementara tidak diusahakan mengalami peningkatan hampir

    pada semua daerah kecuali Kabupaten Sarolangun dan Kota Jambi yang

    menunjukkan penurunan. Penggunaan lahan untuk tambak/kolam/empang

    mengalami peningkatan pada hampir semua daerah kecuali Kabupaten Batang

    Hari, Kabupaten Tebo dan Kota Jambi.

  • 27

    Sebaliknya penggunaan untuk tegal/huma/ladang memperlihatkan

    penurunan hampir pada semua daerah kecuali Kabupaten Batang Hari dan

    Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang memperlihatkan peningkatan. Penurunan

    terbesar terjadi di Kabupaten Bungo, diikuti oleh Kabupaten Tebo dan Kabupaten

    Tanjung Jabung Barat. Sedangkan penurunan terkecil ada di Kabupaten

    Sarolangun.

    Fenomena yang sama juga terjadi pada penggunaan lahan untuk hutan

    negara. Hampir semua daerah mengalami penurunan kecuali Kabupaten Kerinci

    yang menujukkan peningkatan luasan lahan hutan negara. Pengurangan hutan

    negara dengan proporsi yang terbesar terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

    Pada tahun 2001, sebanyak 42,12 persen wilayah ini merupakan hutan negara,

    menjadi hanya 12,45 persen pada tahun 2008, atau mengalami penciutan 29,67

    persen dari total luas wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Di tempat kedua

    dengan pengurangan proporsi penggunaan terbesar adalah Kabupaten Tebo (25,19

    persen), diikuti oleh Kabupaten Bungo (19,44 persen), Kabupaten Batang Hari

    (12,08 persen), Kabupaten Merangin (9,73 persen), Kabupaten Tanjung Jabung

    Timur (7,25 persen), dan Kabupaten Sarolangun (1,96 persen).

    Tabel 5.7. Perubahan Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten/Kota di

    Provinsi Jambi selama Periode 2001 2008 (dalam persen perubahan)

    Kabupaten/

    Kota Sawah Bangunan

    Tegal/

    Huma/

    Ladang

    Pdg

    rumput/

    sementara

    tdk diusa-

    kahan

    Kolam/

    Tambak/

    Empang

    Tanaman

    Kayu-

    Kayuan

    Hutan

    Negara

    Kerinci 0.22 1.24 -2.98 2.91 0.07 -4.72 3.27

    Merangin -0.03 3.70 -1.79 7.26 0.07 0.50 -9.73

    Sarolangun -0.26 14.42 -0.64 -15.10 0.03 3.50 -1.96

    Batanghari -0.13 -1.59 9.48 6.25 -0.07 -1.86 -12.08

    Muaro Jambi 0.87 0.21 -10.46 18.43 0.18 -4.41 -4.82

    Tanjab Timur -2.83 9.26 4.79 4.80 1.43 -10.20 -7.25

    Tanjab Barat -3.97 7.01 -15.29 11.75 0.14 30.02 -29.67

    Tebo 0.14 0.09 -20.38 16.13 -0.02 29.21 -25.19

    Bungo -1.90 -8.53 -21.94 36.36 0.00 15.46 -19.44

    Kota Jambi -0.03 6.99 -5.40 -6.56 -0.09 5.09 0.00

    Sumber: Diolah dari Jambi dalam Angka, 2001 dan 2008

  • 28

    Selanjutnya dari hasil analisis komponen utama (PCA) terhadap tujuh

    jenis penggunaan lahan di kabupatenkota di wilayah Propinsi Jambi, dihasilkan

    sebanyak 2 komponen faktor utama yang memiliki akar ciri diatas satu, dengan

    tingkat keragaman 69,91 persen. Dari masing-masing komponen faktor utama

    (yang dilambangkan dengan LI dan L2) keseluruhan jenis penggunaan lahan

    memiliki korelasi yang signifikan (Factor Loading > 0,5). Ini berarti bahwa

    ketujuh jenis penggunaan lahan tersebut secara nyata merupakan penggunaan

    basis, meskipun pada kabupaten/kota yang berbeda-beda.

    Adapun penggunaan lahan yang menjadi penciri faktor dalam komponen

    faktor utama tersebut yaitu:

    LI: Penggunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/empang, tanaman

    kayu-kayuan, dan hutan negara

    L2: Penggunaan lahan untuk tegal/huma/ladang dan penggunaan untuk padang

    rumput/sementara tidak diusahakan

    Tabel 5.8. Analisis Komponen Utama Penggunaan Lahan Provinsi Jambi

    Tahun 2001 - 2008

    Jenis Penggunaan

    Rotated Factor Loading

    (Varimax Rotation)

    L1 L2

    Sawah 0.6421* 0.2263

    Bangunan 0.8554* -0.2372

    Tegal/Huma/Ladang 0.0378 -0.8972*

    Padang rumput/sementara tdk diusahakan 0.1447 0.8540*

    Kolam/Tambak/Empang 0.9381* -0.0320

    Tanaman kayu-kayuan -0.5464* 0.4261

    Hutan negara -0.8198* -0.2284

    Initial Eigenvalues Total 3.02 1.88

    % of Variance 43.12 26.78

    Cumulative % 43.12 69.91

    Rotation Sums of Squared Loadings Total 3.02 1.88

    % of Variance 43.10 26.81

    Cumulative % 43.10 69.91

  • 29

    Pada komponen faktor utama L1, penggunaan lahan untuk sawah,

    bangunan dan kolam/tambak/empang memiliki korelasi positif (factor loading

    positif), tetapi penggunaan lahan untuk tanaman kayu-kayuan dan hutan negara

    memiliki korelasi negatif. Ini menunjukkan bahwa pangsa relatif penggunaan

    lahan untuk sawah, bangunan serta kolam/tambak/empang berjalan searah, tetapi

    peningkatan pangsa lahan untuk ketiga jenis penggunaan tersebut cenderung

    mengurangi luasan tanaman kayu-kayuan dan hutan negara.

    Pada komponen faktor utama L2 penggunaan lahan untuk

    tegal/huma/ladang memiliki korelasi negatif, tetapi penggunaan untuk padang

    rumput/sementara tidak diusahakan memiliki korelasi negatif. Ini berarti

    peningkatan pangsa lahan untuk tegal/huma/ladang cenderung mengurangi luasan

    lahan padang rumput/sementara tidak diusahakan.

    Dan analisis skor baku nilai L1 dan L2 didapatkan nilai positif dan negatif

    pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Skor baku positif

    menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut memiliki pangsa relatif untuk jenis

    penggunaan lahan pembentuk komponen faktor utama L1 dan L2 yang lebih

    tinggi, dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Sebaliknya, skor

    baku negatif menunjukkan bahwa kabupaten/kota tersebut memiliki pangsa relatif

    untuk jenis penggunaan lahan pembentuk komponen faktor utama L1 dan L2 yang

    lebih rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

    Tabel 5.9. Nilai Skor Baku Komponen Faktor Utama L1 dan L2 Provinsi

    Jambi Tahun 2001 - 2008

    Kabupaten/Kota L1 L2

    2001 2008 2001 2008

    Kerinci -0.8344 -0.9027 -0.3838 -1.1846

    Merangin -0.4872 -0.3678 -0.0056 -0.5780

    Sarolangun -0.2882 -0.4416 1.4949 -0.1445

    Batanghari -0.7681 -0.6236 0.3565 -0.9570

    Muaro Jambi 0.0136 0.0259 0.4051 0.5814

    Tanjabtim 0.5745 1.6379 2.3331 0.8697

    Tanjabbar 0.1059 -0.0726 -1.2385 0.0743

    Tebo -0.7773 -1.0789 -0.8784 1.0715

    Bungo -0.0672 -0.2657 -1.1767 0.9628

    Kota Jambi 2.7120 1.9055 -0.6276 -0.9748

  • 30

    Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku L1 yang positif

    adalah Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Jabung Timur dan

    Kota Jambi, dengan nilai skor tertinggi adalah untuk Kota Jambi. Ini

    menunjukkan bahwa pengunaan lahan untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/

    empang, tanaman kayu-kayuan dan hutan negara (kecuali Kota Jambi yang tidak

    memiliki hutan negara) memiliki pangsa relatif yang lebih tinggi di

    kabupaten/kota ini dibandingkan kabupaten lainnya. Namun demikian, karena

    korelasi tanaman kayu-kayuan dan hutan negara bernilai negatif (lihat tabel 5.8),

    maka peningkatan luasan lahan untuk sawah, bangunan serta

    kolam/tambak/empang akan cenderung mengurangi luasan lahan tanaman kayu-

    kayuan dan hutan negara di wilayah ini.

    Selanjutnya berdasarkan perkembangan tahun 2001 - 2008, terlihat

    dominasi penggunan lahan untuk kelompok L1 tersebut semakin meningkat pada

    Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur (yang ditunjukkan oleh

    peningkatan nilai skor baku). Tetapi untuk Kota Jambi menunjukkan penurunan

    dominasi (yang ditunjukkan oleh penurunan nilai skor baku)

    Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku negatif adalah

    Kabupaten Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Tanjung Jabung Barat,

    Tebo dan Bungo. Kecuali Kabupaten Tanjung Jabung Barat, keseluruhan daerah

    tersebut pada tahun 2001 juga menunjukkan skor baku yang negatif.

    Selanjutnya, dari analisis skor baku nilai L2, menunjukkan bahwa dari

    10 kabupaten/kota di Provinsi Jambi, separuhnya memiliki skor baku positif yaitu

    Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo

    dan Bungo. Ini menunjukkan bahwa pangsa relatif penggunaan lahan untuk

    tegal/huma/ladang serta padang rumput/sementara tidak digunakan lebih tinggi di

    daerah-daerah ini dibandingkan daerah-daerah lainnya.

    Selanjutnya berdasarkan perkembangan tahun 2001 - 2008, terlihat

    dominasi penggunan lahan untuk kelompok L2 tersebut semakin meningkat pada

    Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tebo dan Bungo. Bahkan untuk

    tiga kabupaten terakhir, nilai skor bakunya sempat mengalami nilai negatif pada

    tahun 2001 dan mengalami peningkatan yang pesat menjadi bernilai positif pada

    tahun 2008. Sebaliknya Kabupaten Tanjung Jabung Timur meskipun memiliki

  • 31

    nilai skor baku positif, tetapi jika dibandingkan keadaan tahun 2001,

    menunjukkan penurunan dominasi penggunaan lahan untuk kelompok L2

    tersebut.

    Pada tahun 2008, wilayah yang mempunyai skor baku L2 yang negatif

    adalah Kabupaten Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari dan Kota Jambi.

    Kabupaten Kerinci, Merangin dan Kota Jambi menunjukkan peningkatan nilai

    negatif dibandingkan keadaan tahun 2001. Kabupaten Sarolangun dan Batang

    Hari bahkan pada tahun 2001 memiliki nilai skor baku positif menjadi negatif

    pada tahun 2008.

    5.3. Hirarki Pusat Pertumbuhan

    Sistem hirarki pusat-pusat perturnbuhan/pelayanan merupakan suatu

    susunan hirarki yang berjenjang atau teratur yang merupakan tempat

    berkumpulnya penduduk, pusat-pusat kegiatan sosial ekonumi yang dapat

    berfungsi sehagai pusat produksi untuk melayani wilayah sekitarnya dimana

    antara masing-masing pusat pengembangan yang berjenjang tersebut terdapat

    kegiatan yang saling menunjang. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam

    analisis perkembangan hirarki pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan di wilayah

    Provinsi Jambi, dapat diketahui dari nilai indeks pusat pelayanan (IPP) pada

    dua titik waktu, yaitu tahun 2001 dan 2008.

    Terdapat 11 indikator sarana-prasarana yang digunakan dalam

    menentukan indeks pusat pertumbuhan/pelayanan ini yaitu:

    1. Jumlah Sekolah TK

    2. Jumlah Sekolah Dasar

    3. Jumlah Sekolah SLTP

    4. Jurnkah Sekolah SLTA

    5. Jumlah Klinik KB

    6. Jmnlah Puskesmas (Induk+Pembantu)

    7. Panjang Jalan Aspal

    8. Jumlah Kamar Hotel

    9. Daya Terpasang Listrik

    10. Jumlah Koperasi

    11. Jumlah Bank Umum

  • 32

    Dari 11 indikator sarana prasarana yang merupakan variabel dalam

    menentukan indeks pusat pelayanan, meskipun semuanya memberikan pengaruh

    yang signifikan (factor loading > 0,5), namun demikian indikator-indikator

    tersebut hanya mengelompok pada satu kelompok, dan tidak mengelompok secara

    terpisah sesuai dengan fungsi pelayanannya (pendidikan, kesehatan, ekonomi

    dstnya). Hal ini memberikan arti bahwa di Provinsi Jambi tidak terdapat wilayah-

    wilayah yang memiliki karakteristik khusus yang menonjol sebagai pusat

    pelayanan dalam fungsi tertentu.

    Secara terperinci hasil analisis komponen utama indeks pusat pelayanan

    kabupate/kota dalam Provinsi Jambi diberikan pada tabel berikut:

    Tabel 5.10. Analisis Komponen Utama Indeks Pusat Pelayanan Provinsi

    Jambi Tahun 2001 - 2008

    No. Sarana Prasarana Factor Loading

    1. TK 0.9962

    2. SD 0.9964

    3. SLTP 0.9968

    4. SLTA 0.9059

    5. Puskesmas + Puskesmas Pembantu 0.9961

    6. Klinik KB 0.9982

    7. Kapasitas Terpasang Listrik 0.9126

    8. Panjang Jalan Beraspal 0.9034

    9. Jumlah kamar hotel 0.9980

    10. Jumlah Koperasi 0.9931

    11. Jumlah Bank Umum 0.9976

    Initial Eigenvalues Total 10.41

    % of Variance 94.68

    Cumulative % 94.68

    Selanjutnya dari analisis skor baku menunjukkan bahwa hanya Kota Jambi

    yang memiliki nilai skor baku positif, sedangkan sembilan daerah lainnya

    keseluruhannya memiliki nilai skor baku negatif. Fakta ini menunjukkan dominasi

    yang sangat tinggi dari Kota Jambi sebagai pusat pelayanan di Provinsi Jambi,

    sementara daerah-daerah yang lainnya relatif kurang menonjol dalam konteks

  • 33

    penyediaan sarana dan prasarana pelayanan tersebut. Fakta ini juga menjadi faktor

    yang menyebabkan tidak terdapatnya pengelompokan yang sesuai dengan sifat

    pelayanan tertentu.

    Mengingat tidak terpolanya wilayah-wilayah dalam pada pusat pelayanan

    dengan fungsi pelayanan tertentu, maka skor baku yang diperoleh dari analisis ini

    sekaligus menentukan hirarki pusat pertumbuhan kabupaten/kota di Provinsi

    Jambi. Hirarki pusat pertumbuhan di Provinsi Jambi berdasarkan nilai skor baku

    ini diberikan pada tabel berikut:

    Tabel 5.11. Nilai Skor Baku Komponen Sarana Prasarana di Provinsi

    Jambi Tahun 2001 - 2008

    Kabupaten/Kota Skor Baku Peringkat

    2001 2008 2001 2008

    Kerinci -0.2529 -0.2913 4 4

    Merangin -0.3137 -0.2880 7 3

    Sarolangun -0.3654 -0.3347 8 7

    Batanghari -0.2328 -0.2406 2 2

    Muaro Jambi -0.2524 -0.3770 3 9

    Tanjabtim -0.4720 -0.4322 10 10

    Tanjabbar -0.3045 -0.3319 6 6

    Tebo -0.3942 -0.3629 9 8

    Bungo -0.2798 -0.3094 5 5

    Kota Jambi 2.8656 2.9700 1 1

    Pada tahun 2008, Kota Jambi sebagai ibukota Provinsi Jambi merupakan

    wilayah yang berhirarki tertinggi, diikuti di tempat kedua oleh Kabupaten Batang

    Hari. Kedua wilayah ini juga menempati posisi yang sama pada tahun 2001.

    Meskipun demikian, jika dilihat perubahan skor nilai bakunya antara tahun 2001

    dan 2008 memperlihatkan terjadinya penurunan nilai skor baku untuk Kabupaten

    Batang Hari. Penurunan nilai skor baku di Kabupaten Batang Hari menunjukkan

    relatif rendahnya kemampuan wilayah ini dalam menyediakan sarana prasarana

    dalam mengantisipasi perkembangan aktivitas sosial-ekonomi dan pertambahan

    jumlah penduduknya, dibandingkan rata-rata kemampuan wilayah lainnya dalam

    Provinsi Jambi.

    Pada posisi ketiga sebagai wilayah dengan hirarki pusat pertumbuhan/

    pelayanan tertinggi adalah Kabupaten Merangin. Kabupaten Merangin

  • 34

    menunjukkan perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan pada dengan

    posisi yang dicapainya pada tahun 2001, yaitu pada posisi ketujuh.

    Pada posisi keempat, kelima dan keenam, secara berturut-turut ditempati

    oleh Kabupaten Kerinci, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

    Kondisi ini berlaku sama baik pada tahun 2001 maupun 2008. Namun demikian,

    dari sisi perubahan nilai skor bakunya, memperlihatkan terjadinya penurunan

    untuk ketiga daerah ini.

    Pada posisi ketujuh dan kedelapan ditempati oleh Kabupaten Sarolangun

    diikuti oleh Kabupaten Tebo. Dibandingkan keadaan tahun 2001, kedua

    kabupaten ini telah menunjukkan peningkatan posisi dari masing-masing

    sebelumnya pada posisi kedelapan dan kesembilan.

    Pada posisi kesembilan ditempati oleh Kabupaten Muaro Jambi. Wilayah

    ini mengalami penurunan yang pesat dari peringkat 3 pada tahun 2001 menjadi

    peringkat 9 pada tahun 2008. Selanjutnya pada posisi terendah (kesepuluh) adalah

    Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Posisi daerah ini tidak mengalami perubahan

    baik pada pada tahun 2001 maupun tahun 2008.

    5.4. Hubungan Pertumbuhan Penduduk terhadap Perubahan Penggunaan

    Lahan

    Pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan peningkatan terhadap

    permintaan lahan. Luasan lahan yang relatif tetap di satu pihak dan permintaan

    lahan yang terus meningkat di pihak lain, menyebabkan alih guna lahan di suatu

    wilayah tidak terelakkan.

    Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antara pertumbuhan penduduk,

    ketersediaan sarana prasarana serta penggunaan lahan di wilayah Provinsi Jambi,

    dengan menggunakan nilai skor baku komponen faktor utama, didapatkan matriks

    korelasi antar masing-masing komponen faktor utama sebagai berikut:

  • 35

    Tabel 5.12. Matriks Korelasi Pertumbuhan Penduduk, Hirarki Pusat

    Pertumbuhan dan Penggunaan Lahan di Provinsi Jambi

    Komponen P S L1 L2

    P

    -0.23 -0.06 0.50

    S -0.23

    0.65* -0.42

    L1 -0.06 0.65*

    0.01

    L2 0.50 -0.42 0.01

    Keterangan: * Korelasi signifikan pada tingkat signifikansi 5 % (one tail test)

    Dari matriks korelasi tersebut terlihat bahwa hanya satu hubungan yang

    memiliki korelasi signifikan yaitu antara S dan L1. Komponen S adalah hirarki

    pusat pertumbuhan/pelayanan sedangkan komponen L1 adalah penggunaan lahan

    untuk sawah, bangunan, kolam/tambak/empang, tanaman kayu-kayuan dan hutan

    negara. Ini menunjukkan bahwa perubahan dalam hirarki pertumbuhan/pelayanan

    atau peningkatan dalam sarana prasarana pelayanan akan merubah struktur

    penggunaan lahan pada kelompok ini.

    Matrik korelasi tersebut juga memperlihatkan tidak adanya keterkaitan

    yang nyata antara pertumbuhan penduduk (P) dengan hirarki pusat

    pelayanan/pertumbuhan (S). Temuan ini sebenarnya sejalan dengan kenyataan

    bahwa sangat dominannya Kota Jambi dalam hal penyediaan sarana prasarana,

    dan relatif tertinggalnya daerah-daerah lainnya dalam hal tersebut. Posisi daerah

    lain yang jauh tertinggal ini menyebabkan tidak terdeteksinya hubungan antara

    pertumbuhan penduduk dengan hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan

    kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

    Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan penduduk

    dengan penggunaan lahan. Ini sebenarnya disebabkan masih rendahnya tingkat

    kepadatan penduduk. Meskipun tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi

    tidak tergolong rendah, tetapi dengan tingkat kepadatan penduduk rendah,

    pertumbuhan penduduk tersebut belum menyebabkan perubahan penggunaan

    lahan secara signifikan.

  • 36

    BAB VI.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    6.1. Kesimpulan

    Dari pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat diberikan

    beberapa kesimpulan sebagai berikut:

    1. Tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi pada periode 2001 2008

    adalah sebesar 1,91 persen pertahun. Pertumbuhan penduduk ini bervariasi

    antar kabupaten/kota dengan pertumbuhan tertinggi untuk Kabupaten Muaro

    Jambi sebesar 3,93 persen pertahun dan yang terendah Kabupaten Kerinci

    sebesar 0,67 persen pertahun.

    2. Selama periode 2001 - 2008 telah terjadi pergeseran struktur penggunaan

    lahan di Provinsi Jambi. Lahan yang mengalami penguranganrpenciutan

    adalah penggunaan untuk hutan negara, tegal/ladanghuma dan untuk sawah.

    Penciutan lahan untuk jenis penggunaan ini diikuti oleh peningkatan luasan

    lahan untuk jenis penggunaan bangunan, padang rumput/sementara tidak

    diusahakan, tambak/kolam/empang dan tanaman kayu-kayuan.

    3. Berdasarkan analisis hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan menunjukkan

    bahwa di Provinsi Jambi tidak terdapat wilayah-wilayah yang memiliki

    karakteristik khusus yang menonjol sebagai pusat pelayanan dalarn fungsi

    pelayanan tertentu. Hal ini terlihat dari tidak mengelompoknya indikator-

    indikator sarana-prasarana sesuai dengan fungsi pelayanannya. Selain itu

    dominasi Kota Jambi sangat tinggi sebagai pusat pelayanan di Provinsi Jambi,

    sementara daerah-daerah yang lainnya relatif kurang menonjol.

    4. Selama periode 2001 - 2008, hirarki pusat pertumbuhan/pelayanan di wilayah

    Propinsi Jambi hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Kota Jambi

    dan Kabupaten Batanghari tetap menjadi wilayah dengan hirarki tertinggi,

    sedangkan Kabupaten Tanjung Jabung Timur menjadi wilayah dengan hirarki

    terendah.

    5. Berdasarkan analisis korelasi dan analisis jalur didapatkan bahwa tidak

    adanya keterkaitan yang nyata antara pertumbuhan penduduk dengan hirarki

    pusat pelayanan/pertumbuhan. Temuan ini sebenarnya sejalan dengan

  • 37

    kenyataan bahwa sangat dominannya Kota Jambi dalam hal penyediaan

    sarana prasarana, dan relatif tertinggalnya daerah-daerah lainnya dalam hal

    tersebut. Selain itu, juga tidak terlihat keterkaitan antara pertumbuhan

    penduduk dengan penggunaan lahan. Ini sebenarnya disebabkan masih

    rendahnya tingkat kepadatan penduduk. Meskipun tingkat pertumbuhan

    penduduk Provinsi Jambi tidak tergolong rendah, tetapi dengan tingkat

    kepadatan penduduk rendah, pertumbuhan penduduk tersebut belum

    menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara signifikan.

    6.2. Saran-Saran

    1. Dalam kerangka pemerataan pembangunan dan pengembangan wilayah, perlu

    dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan/pelayanan pada daerah-daerah di

    Provinsi Jambi selain Kota Jambi.

    2. Perlunya perhatian lebih pada wilayah-wilayah yang terindikasi mengalami

    penurunan kemampuan dalam penyediaan sarana prasarana pelayanan dalam

    mendukung perkembangan aktivitas ekonomi dan pertambahan penduduk.

    3. Meskipun saat ini belum terlihat indikasi nyata perubahan struktur

    penggunaan lahan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi ke depan, fenomena

    ini perlu diwaspadai, terutama ketika kepadatan penduduk Provinsi Jambi

    sudah relatif tinggi.

  • 38

    REFERENCES

    Anwar, Affendi. 1994. Proses Pembentukan Sistem Kota-Kota Dan Analisis

    Ekonomi Kawasan Perkotaan. PS-PWD Program Pascasarjana IPB. Bogor

    Barlowe, R. 1987. Land Resources Economics. Prentice Hall, Inc. Englewood

    Cliff, New Jersey

    Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. LPFE-UI. Jakarta

    Glasson, John. 1990. Perencanaan Regional. Diterjemahkan oleh Paul Sitohang.

    LPFE-UI. Jakarta '

    Gasper, Vincent. 1991. Tehnik Analisis Dalam Penelitian Percobaan Jilid 2.

    Penerbit Tarsito. Bandung

    Hanafiah, T. 1985. Kutub dan Pusat Pertumbuhan Dalam Pembangunan

    Wilayah. Pusat Pengembangan Wilayah Pedesaan-Lembaga Pengabdian

    Pada Masyarakat IPB. Bogor

    Owen, F.J. 1978. "Selected Factor Affecting The Pattern of Agriculture Land

    Conversion in Washington Country". Oregon Diss.Abstr. Int 9 (5): 3177-

    3178

    Richardson, Harry. W. 1974. Dasar-Dasar Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit

    FE-UI. Jakarta

    Sandy, I Made. 1995. Tanah: UUPA 196& - 1995. PT. Indograph Bakti. FMIPA

    Universitas Indonesia. Jakarta

    Saefulhakim. 1994. "A Land Availability Mapping Model for Sustainable Land

    Use Management". Ph.D Disertation Kyoto University. Japan

    Soerianegara, I. 1975. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Sekolah

    Pascasarjana. Jurusan PSL-IPB. Bogor

    Somaji, R.P. 1994. "Perubahan Tata Guna Lahan dan Dampaknya Terhadap

    Masyarakat Petani di Jawa Timur". Thesis S-2. PS-PWD Program

    Pascasarjana IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

    Yasin,M. 2007. "Arti dan Tujuan Demografi" dalam Dasar-Dasar Demografi.

    LDFE-UI. Jakata