KELAYAKAN USAHATANI BEBERAPA TANAMAN OBAT
Ermiati
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Jln. Tentara Pelajar No 3 Bogor 16111
E-mail: [email protected]
Prospek yang baik terhadap permintaan berbagai tanaman obat belum disertai dengan
peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Hal ini disebabkan karena teknik budidaya
yang diterapkan belum sesuai dengan teknologi yang dianjurkan serta keterbatasan modal petani
dalam pengembangan usahataninya. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
kelayakan usahatani beberapa tanaman obat, khususnya tanaman obat unggulan, yaitu
temulawak, jahe, kunyit, kencur dan purwoceng. Suatu usahatani dikatakan berhasil, apabila
usahatani tersebut dapat memenuhi kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang
digunakan, upah tenaga luar serta sarana produksi lain dan dapat menjaga kelestarian usahanya.
Layak atau tidaknya suatu usahatani, harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya; B/C Ratio >
1, NPV > 0, IRR (%) > tingkat bunga bank yang berlaku, produksi (kg) > BEP produksi (kg), Harga
(Rp/kg) > BEP harga (Rp/kg) dan terjadi penurunan harga produksi, maupun peningkatan harga
faktor produksi, sampai batas tertentu tidak menyebabkan kerugian. Hasil analisis kelayakan
usahatani beberapa tanaman obat ungulan, seperti temulawak, jahe, kunyit, kencur dan
purwoceng, secara finansial layak diusahakan, akan tetapi semua tergantung terutama dari harga
jual dan produksi saat itu. Dari hasil penelitian juga diketahui beberapa kendala pengembangan
tanaman obat pada tingkat petani, diantaranya; belum menggunakan varietas unggul yang
dilepas, teknologi yang digunakan masih tradisional/belum sesuai dengan teknologi yang
dianjurkan, keterbatasan modal petani, kepemilikan lahan yang sempit, fluktuasi harga, jauhnya
lokasi kebun dari pasar, belum adanya usaha diversifikasi produk pada tingkat petani (untuk
menciptakan pasar), bahkan khusus untuk temulawak belum adanya pasar di lokasi penelitian
(Cileungsi, Sumedang dan Boyolali). Salah satu solusi yang bisa ditempuh untuk menciptakan
pasar, yaitu dengan diversifikasi hasil.
Kata kunci: Kelayakan, Usahatani, Tanaman Obat
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi,
menempati posisi nomor dua setelah Brazil. Dari 40.000 species yang ada di dunia, 30.000
spesies terdapat di Indonesia dengan 1.845 jenis tumbuhan yang memiliki potensi
biofarmaka (Ohistein ., Zuraida ., 2009). Meskipun demikian baru sekitar
180 spesies yang telah digunakan untuk keperluan industri obat herbal dan jamu.
Sedangkan yang dibudidayakan secara intensif baru hanya beberapa spesies saja.
et al dalam et al
86 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Adanya kecendrungan masyarakat untuk kembali kepada produk alami (
), ini menyebabkan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan produk
kesehatan yang berasal dari bahan alami. Fenomena ini membuka peluang besar tidak
hanya bagi pengembangan tanaman obat dan obat tradisional tapi juga berdampak
kepada pengembangan industri farmasi, makanan, minuman dan kosmetik berbasis
bahan alami, baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia sebagai salah satu negara
dengan biodiversitas tinggi, mempunyai modal dasar yang cukup potensial untuk
merespon perkembangan tersebut (Anon, 2002).
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan menggali
potensi khasanah obat asli Indonesia salah satu program yang dicanangkan Departemen
Kesehatan adalah pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional dan fitofarmaka di
dalam pelayanan kesehatan formal. Untuk itu industri farmasi telah meluncurkan
produk obat fitofarmaka yang memenuhi standar persyaratan mutu obat. Diantaranya
yaitu pil pelancar asi dari daun katuk, obat sakit lambung dari ekstrak rimpang kunyit
dan obat gangguan fungsi hati/lever dari ekstrak temulawak. Untuk mendukung
program tersebut diperlukan bahan baku dengan standar mutu yang baik dan
kontinuitas produksi yang pasti (Anon, 2002).
Adanya pertumbuhan yang tinggi dalam perdagangan produk obat/herbal/
berbasis bahan alami dan potensinya akan menghasilkan keuntungan yang besar.
Dengan adanya perubahan sosial masyarakat berupa pandangan positif terhadap
produk obat alami telah menarik lembaga permodalan untuk membantu investasi
finansial dalam bisnis sektor ini. Dari segi kebijakan hal ini pun telah mendorong usaha
pengaturan yang harus dilakukan untuk evaluasi kualitas, keamanan, manfaat terapi dan
pedoman klinik dari produk herbal/berbasis bahan alami, sehingga pemakaiannya dapat
dipertanggung jawabkan (Lestari Y., ., 2009).
Potensi pasar produk tumbuhan obat di Indonesia dapat dilihat dari jumlah
perusahaan pembuat obat tradisional (OT) yang dari tahun ke tahun terus bertambah,
untuk IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) sampai tahun 1990 yang mendapat izin ada
259 buah, tahun 1997 (masa awal krisis ekonomi) ada 458 buah, tahun 2000 ada 853 buah,
tahun 2003 ada 905 buah dan akhir tahun 2005 mencapai 1037 buah. Sedangkan untuk
IOT (Industri Obat Tradisional) sampai tahun 1996 (61 buah), 1998 (79 buah), tahun 2000
(87 buah), 2003 (97 buah) dan akhir tahun 2005 (129 buah). Jadi total IKOT dan IOT pada
akhir tahun 2005 ada 1166 buah. Penyebaran industri OT ini tidak hanya terpusat di
Pulau Jawa saja, tapi sudah menyebar ke seluruh provinsi. Hal yang menarik, suatu
kenyataan bahwa industri farmasi yang selama ini memproduksi obat-obat dari senyawa
sintetis, pada saat ini (terutama setelah krisis ekonomi) juga sudah memproduksi
produk-produk tumbuhan obat, bahkan beberapa produknya sudah dipasarkan (Anon,
2009).
Mengingat potensi pasar dan potensi hayati alam Indonesia, maka Indonesia
memiliki prospek hayati (tumbuhan) yang besar, khususnya dibidang kesehatan. Tapi
perlu diingat bahwa sumber daya alam yang melimpah tidak akan langgeng jika tidak di
back to
nature
et al
87Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
kelola dengan baik. Sebagian besar (74%) dari tumbuhan obat yang digunakan oleh
industri jamu diambang langsung dari alam, selebihnya (26%) dibudidayakan secara
terbatas. Kecuali beberapa tanaman obat multiguna, seperti jahe, kunyit, kencur dan
temulawak (Anon, 2002 dan Lestari Y., ., 2009).
Berdasarkan klaim khasiat yang dimiliki, jumlah serapan oleh IOT (Industri Obat
Tradisonal) dan IKOT (Industri Kecil Obat Tradisonal), jumlah petani dan tenaga yg
terlibat, prospek pengembangan dan tren investasi ke depan, temulawak, jahe, kunyit,
kencur dan purwoceng merupakan tanaman potensial dalam pengembangan agribisnis
tanaman obat unggulan yang pemanfaatannya belum optimal (Balitbang Pertanian,
2007).
Temulawak, kunyit, kencur dan jahe merupakan tanaman temu-temuan
( , yang digunakan dalam hampir semua produk obat tradisional (jamu)
karena paling banyak diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit (degeneratif,
penurunan imunitas, penurunan vitalitas). Sedangkan purwoceng sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai komplemen dan substitusi ginseng impor, sehingga dapat
menghemat devisa negara.
Produk yang dapat dihasilkan dari tanaman temulawak, kunyit, kencur dan jahe
adalah produk setengah jadi (simplisia, pati, minyak, ekstrak), produk industri
(makanan/minuman, kosmetika, farmasi, Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan
Industri Obat Tradisional (IOT), dan produk jadi (sirup, instan, bedak, tablet dan kapsul).
Sedangkan untuk purwoceng, produk setengah jadi berupa simplisia dan ekstrak,
produk industri dalam bentuk jamu seduh, minuman kesehatan (IKOT/IOT), dan pil atau
tablet/kapsul (Farmasi) (Balitbang Pertanian, 2007).
Temulawak, kunyit, kencur dan jahe mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap
PDB nasional, masyarakat petani dan industri. Dalam waktu 6 tahun (2005-2010),
diperkirakan terjadi kekurangan pasokan bahan baku dari keempat komoditas tersebut,
terutama jahe, sehingga terbuka peluang untuk intensifikasi dan/atau ekstensifikasi
seluas 10-15% dari areal yang tersedia (Balitbang Pertanian, 2007). Upaya peningkatan
produksi dan produktivitas, pendapatan, kesejahteraan, daya beli dan taraf hidup petani
dapat melalui intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, adopsi teknologi maupun
diversifikasi hasil (Sutawi, 2003).
Masalah yang dihadapi dalam pengembangan tanaman obat adalah rendahnya
produktivitas, mutu, harga produk-produk primer, ketidak pastian pasar dan lemahnya
modal dan daya tawar petani. Berdasarkan permasalahan tersebut, pengembangan
tanaman obat diarahkan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan
baku dan peningkatan nilai tambah komoditas temu-temuan dan juga purwoceng. Hal
tersebut dapat dicapai melalui pemanfaatan varietas/klon unggul, pengembangan di
daerah yang sesuai, budidaya dengan penerapan praktek pertanian yang baik (
GAP) yang didasarkan atas SOP
untuk masing-masing komoditas serta panen dan pengolahan produk juga harus sesuai
dengan GMP , sosialisasi dan pelatihan teknologi, serta
bantuan investasi permodalan (Balitbang Pertanian, 2007).
et al
Zingiberaceae)
Good
Agricultural Practices) ( (Standard Operational Procedures)
(Good Manufacturing Practices)
88 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Teknologi budidaya dan pascapanen temulawak, kencur, kunyit, jahe dan
purwoceng, telah tersedia. Namun teknologi tersebut belum semuanya diadopsi oleh
petani, mengingat proses di dalam pengalihan teknologi kepada petani memerlukan
investasi yang cukup tinggi. Karena keterbatasan modal, petani belum mampu
mengadopsi teknologi tersebut.
Tulisan ini akan memberikan informasi tentang kelayakan usahatani beberapa
tanaman obat, terutama tanaman obat unggulan (temulawak, jahe, kunyit, kencur dan
purwoceng).
Menurut Kadarsan, 1993 Suratiyah, 2006, usahatani adalah suatu tempat
dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi
seperti alam, tenaga kerja, modal dan ketrampilan dengan tujuan berproduksi untuk
menghasilkan sesuatu di lapangan pertanian.
Petani sebagai pelaksana mengharapkan produksi usahataninya lebih besar agar
memperoleh pendapatan yang besar pula. Untuk itu petani menggunakan tenaga, modal
dan sarana produksinya sebagai umpan untuk mendapatkan produksi yang diharapkan.
Ada kalanya produksi yang diperoleh justru lebih kecil dan ada kalanya lebih besar.
Suatu usahatani dikatakan berhasil apabila usahatani tersebut dapat memenuhi
kewajiban membayar bunga modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga kerja luar
serta sarana produksi yang lain dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah,
2006).
Layak tidak suatu usahatani dipengaruhi oleh harga input/faktor produksi, upah
tenaga kerja, produksi dan harga jual. Suatu usahatani dikatakan layak harus memenuhi
beberapa kriteria, diantaranya:
(NPV) > 0
(B/C Ratio) > 1
(IRR) > atau di atas tingkat suku bunga bank yang berlaku
- Produksi (kg) > BEP produksi (kg)
- Harga (Rp/kg) > BEP harga (Rp/kg)
- Penerimaan (Rp) > BEP penerimaan (Rp)
- Jika terjadi penurunan harga produksi maupun peningkatan harga faktor produksi
sampai batas tertentu tidak menyebabkan kerugian
(Adnyana O.M., 1989; Gittinger, 1986; Kadariah , 1988; Soetrisno, 1982 dan Suratiyah
K., 2006).
KELAYAKAN USAHATANI
dalam
- Net Present Value
- Benefit Coat Ratio
- Internal Rate of Return
et al
89Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
A. Kelayakan usahatani beberapa tanaman obat
1. Kelayakan usahatani temulawak ( Roxb)Curcuma xanthorhiza
Temulawak Roxb) adalah tanaman obat asli Indonesia (Prana,
1985) dan merupakan obat potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dirjen
Horti, 2006).
Mengingat pemanfaatan yang sangat luas, peluang pengembangan tanaman ini
terbuka lebar, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Wilayah
pengembangan dan sentra tanaman temulawak di Indonesia pada tahun 2003 meliputi 15
propinsi, yaitu: Sumatera Utara, Riau, Jambi, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, pada tahun 2005 bertambah menjadi 27 propinsi,
penambahan propinsi tersebut antara lain: Sumbar, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Kep.
Bangka Belitung, NTB, NTT, Kalteng, Kalsel, Sulsel, Sultra dan Irian Jaya Barat (Dirjen
Horti, 2006). Rata-rata perkembangan luas panen dan produksi temulawak dari tahun
2000 sampai 2008, masing-masing sebesar 15,36% dan 25,89%/tahun (BPS, 2006; Dirjen
Horti, 2007; 2008, data diolah).
Salah satu permasalahan dalam budidaya temulawak adalah masih rendahnya
produktifvitas dan mutu. Walaupun tanaman temulawak sudah ada dari zaman nenek
moyang, namun budidayanya masih tradisional bahkan masih banyak berupa tanaman
liar. Pengadaan benih masih menggunakan benih dari kebun sendiri atau dari tanaman
liar dan belum mengacu kepada standar mutu benih, sehingga rata-rata produksi yang
diperoleh rendah dan pemasarannyapun tidak menentu (Dirjen Horti2006). Sampai saat
ini produktivitas temulawak nasional baru berkisar 9 - 15 ton/ha ( BPS, 2006; Dirjen Horti
(Statistik), 2007; 2008).
Walaupun temulawak sudah banyak diketahui khasiatnya dan ditanam secara luas
oleh masyarakat Indonesia tetapi teknik budidaya masih tradisional dan belum
menggunakan varietas unggul yang telah dilepas dengan kualitas dan produktivitas
yang tinggi. Untuk itu dalam pembudidayaan temulawak perlu adanya prioritas yang
berorientasi kepada kepentingan petani, perkembangan tingkat ekonomi/pasar serta
jumlah kebutuhan pasar.
Balittro memiliki 6 nomor harapan temulawak dengan karakteristik produksi,
kadar atsiri dan pati, rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan yang biasa ditanam oleh
petani. Nomor-nomor ini merupakan hasil karakterisasi dan evaluasi tahun 2004
terhadap 20 nomor plasma nutfah temulawak hasil eksplorasi tahun 1995. Keenam
nomor harapan tersebut memiliki rata-rata produksi 2.39 - 3.37 kg/m , lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata nasional 1.73 kg/m (Setiyono ., 2007; BPS., 2006).
Keenam nomor harapan tersebut selain mempunyai potensi poduksi tinggi, juga
memiliki mutu yang tinggi dan telah memenuhi persyaratan ekspor, dimana kandungan
minyak atsirinya berkisar 6.2 - 9.8% sedangkan yang umum di pasar adalah rata-rata 5.0%
(standar MMI), kadar kurkuminnya berkisar 1.16 - 3.24% dan yang umum rata-rata 1.93%
(Setiyono ., 2008).
(Curcuma xanthorhiza
et al
et al
2
2
90 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Pada lembaran ini akan disajikan kelayakan usahatani temulawak tingkat petani, dan 6
calon varietas unggul milik Balittro dan dua varietas lokal sebagai pembanding hasil uji
multilokasi di tiga lokasi dengan agroekologi yang berbeda serta kelayakan usahatani
yang berasal dari benih dengan berbagai ukuran.
Penelitian di lakukan di Desa Cipenjo Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor
pada bulan Agustus 2008. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja, yaitu di Desa
Cipenjo Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor karena daerah tersebut merupakan
daerah sentra produksi temu-temuan di Kabupaten Bogor. Daerah ini merupakan
daerah dataran rendah dengan ketinggian 200 m dpl., memiliki kisaran suhu 28 -34 C,
jumlah hari hujan 90 hari per tahun dengan sifat fisika tanah liat berpasir. Penelitian
dilakukan pada bulanAgustus 2008 dengan metode survei.
Tabel 1. NPV, B/C Ratio, IRR, Harga dan Produksi BEP Usahatani Temulawak di Desa
Cipenjo Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor th 2008 (1 000 m²)
Kelayakan usahatani temulawak di tingkat petani
o
Uraian/ Discription Hasil/Out put
Produksi/ Production (kg) 1750 1750
Produksi/ Production (kg) 1500 1000
Discount Faktor (%/bln) 1,50% 1,50%
Penerimaan bersih / Net benefit (Rp) 876380 1380
NPV / Net Present Value ( Rp) 598368 -155591
IRR/Internal Rateof Return (%) 4% -1%
Net B/C Ratio / Net Benefit Cost Ratio 1,5 0,87
Harga BEP/ Price BEP (Rp/kg) 1100 1100
Produksi BEP/Production BEP 1290 1925
Sumber: Ermiati, 2011
Hasil analisis kelayakan usahatani temulawak tingkat petani di Desa Cipenjo
Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor dengan tingkat produksi 1.750 kg/1.000 m² dan
harga Rp 1.500,-/kg (harga yang berlaku saat penelitian) = harga rata-rata dari harga yang
pernah berlaku (Rp 1.000,- - Rp 2.000,-/kg) serta “discount factor” 1,5%/bulan atau
18%/tahun, layak secara finansial karena Net B/C ratio > 1 (1.5), (NPV)
positif (Rp 598.368,-), dan rn (IRR) aktual (4%/bulan) > dari IRR
(1,5%/bulan). Akan tetapi bila harga yang berlaku, harga terendah (Rp 1.000,-/kg), maka
usahatani temulawak merugi karena B/C ratio < 1 (0,87), NPV negative (Rp 144.591,-) dan
IRR actual (- 1%) < IRR estimate atau di bawah tingkat suku bunga bank yang berlaku
(1,5%). Produksi BEP untuk harga terendah, harus mencapai 1.925 kg, sedangkan
produksi actual hanya 1 750 kg/1000 m² (Tabel 1).
Net Present Value
Internal Rate of Retu estimate
91Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tab
el 2
. P
eng
elu
aran
dan
Pen
erim
aan
Usa
hat
ani
Tem
ula
wak
Tin
gk
at P
etan
i d
i K
ecam
atan
Cil
eun
gsi
(10
00 m
²)T
emu
law
ak (
Java
Tu
mer
ic)
Vlm
Hrg
/B
ula
n k
e/M
onth
Ura
ian
/ D
iscr
ipti
on
Stn
stn
01
23
45
67
89
10
I. T
enag
a K
erja
/L
abor
-P
eng
ola
han
tan
ahtr
akto
r1
2000
0020
0000
-Pem
bu
atan
dra
inas
e d
an l
ob
ang
ho
k2
3000
060
000
-P
emu
pu
kan
Das
ar/P
uk
an 1
ho
k3
3000
090
000
-P
enan
aman
/h
ok
230
000
6000
0
-P
eny
ula
man
/h
ok
00
-P
emu
pu
kan
su
sula
n/
ho
k1
3000
030
000
-P
HT
/P
est
con
trol
ho
k0
0
-P
eny
ian
gan
/W
eedi
ng
ho
k4
3000
060
000
6000
0
-P
emb
um
bu
nan
/Fil
l u
ph
ok
00
-P
anen
/Har
vest
&h
ok
1030
000
3000
00
Jum
lah
Bia
ya
T.K
erja
/0
00
4100
000
3000
060
000
00
6000
00
00
3000
00
II. S
aran
a P
rod
uk
si/
-B
ibit
/See
dk
g20
010
0020
0000
-P
up
uk
kan
dan
g/M
anu
rek
rg (
a20
kg
)10
040
0040
0000
-K
Cl/
K(P
otas
ium
)k
g0
-U
RE
A/N
(k
g15
1500
2250
0-
SP
36 p
up
uk
K (
kg
00
-P
esti
sid
a/P
esti
cide
00
0
Jum
lah
Bia
ya
Pro
d./
00
060
0000
022
500
00
00
00
00
III.
Bia
ya
Pen
yu
suta
n P
eral
atan
/4.
112
4.11
24.
112
4.11
24.
112
4.11
24.
112
4.11
24.
112
4.11
2
Jum
lah
Bia
ya
Pen
yu
suta
n/
04.
112
4.11
24.
112
4.11
24.
112
4.11
24.
112
4.11
24.
112
4.11
2
IV. T
ran
spo
rtas
i /
Tra
nsp
orta
tion
mo
bil
bo
x1
2250
0022
5000
Jum
lah
Bia
ya
Tra
nsp
ort
asi/
00
00
00
00
00
2250
00
Jum
lah
Bia
ya
/Tot
al C
ost
I+II
+III
+IV
00
010
1000
041
1256
612
6411
241
1241
1264
112
4112
4112
4112
5291
12
Pro
du
ksi
, har
ga
& p
ener
imaa
n k
oto
r26
2500
0
00
0-1
0100
00-4
112
-566
12-6
4112
-411
2-4
112
-641
12-4
112
-411
2-4
112
2095
888
Net
Pre
sen
t V
alu
e(N
PV
)-1
01
00
00
-40
51
,23
-54
95
1,1
0-6
13
11
,40
-38
74
,26
-38
17
,01
-58
63
3,1
3-3
70
5,0
2-3
65
0,2
7-3
59
6,3
21
80
59
58
92 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Kelayakan usahatani 6 nomor harapan temulawak dan 2 varietas lokal sebagaipembanding hasil uji multilokasi di tiga lokasi dengan agroekologi yang berbeda(Cileungsi, Sumedang dan Bayolali)
Penelitian dilakukan di daerah sentra produksi temu-temuan di Jawa Barat dan
Jawa Tengah. Di Jawa Barat, yaitu 1) Di Desa Cipenjo Kecamatan Cileungsi Kabupaten
Bogor (penelitian mewakili dataran rendah) dengan ketinggian 200 m dpl, memiliki
kisaran suhu udara 28-34 C, jumlah hari hujan 90 hari/tahun dengan sifat fisika tanah liat
berpasir. 2) Di Desa Ganjar Resik Kecamatan Wado Kabupaten Sumedang (penelitian
mewakili dataran tinggi) yang terletak pada ketinggian 800 m dpl dengan jenis tanah
pudzolik merah kuning dan type iklim B (klasifikasi Schmidt dan Ferguson). 3) Di Jawa
Tengah yaitu di Desa Kragilan Kecamatan Mojosongo Kabupaten Bayolali (penelitian
mewakili dataran sedang) dengan ketinggian 450 m dpl , kisaran suhu 18-35 C, curah
hujan 5500-6500mm/th, hari hujan 185-195 hari/th dengan kelembaban udara berkisar
antara 40 - 70%. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2006 - Agustus 2007. Bahan
tanaman yang digunakan adalah 6 nomor harapan temulawak asal Balittro (A, B, C, D, E,
F) dan 2 varietas lokal (L1 dan L2) sebagai pembanding. Percobaan menggunakan
Rancangan Acak kelompok dengan 4 (empat) ulangan. Ukuran plot percobaan 30 m² (6 m
x 5 m) dengan jarak tanam 70 cm x 50 cm dan setiap plot terdapat 80 tanaman. Semua
perlakuan di pupuk dengan 20 ton pupuk kandang, 200 kg SP36 dan 200 kg KCl/ha yang
diberikan pada awal tanam, khusus Urea 200kg/ha diberikan 3 kali agihan, masing-
masing 1/3 bagian pada 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam (BST).
Tabel 3. Rata-rata produksi klon-klon temulawak di tiga lokasi uji multilokasi
o
o
LokasiVarietas
clg smd bylRata-rata
Standar
Deviasi
A 26188 26064 16958 23070 5293
B 25076 23228 13500 20601 6219
C 17249 5073 6833 9719 6581
D 26908 21622 13708 20746 6643
E 25764 22628 17767 22053 4030
F 25997 17573 14883 19484 5798
L1 23982 17671 13375 18343 5335
L2 24351 21589 13858 19933 5439
Sumber: Ermiati ., 2008et al
93Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tanaman di panen pada umur 10 BST. Sedangkan data yang diamati meliputi; data
asupan (input) berupa penggunaan sarana produksi usahatani, penggunaan tenaga kerja
dan peralatan berupa biaya penyusutan alat serta data keluaran ( ) berupa hasil
rimpang segar/basah. Sedangkan harga masukan dan keluaran yang digunakan
mengacu pada harga standar/pasar yang berlaku. Rata-rata produksi masing-masing
klon dari tiga lokasi uji multilokasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Dalam analisa ini harga yansg digunakan adalah harga rata-rata (Rp 1.500,-) dari
harga yang berlaku pada petani selama itu yang berkisar antara Rp 1.000,- - Rp 2.000,-/kg
rimpang basah. Dengan memakai harga rata-rata rimpang dan produksi rata-rata per ha
dari 3 lokasi hasil uji multilokasi dari setiap klon, hasil analisis finasial temulawak
menunjukkan, bahwa nilai NPV positif, IRR aktual > IRR estimate dan B/C ratio > 1 untuk
semua varietas, kecuali klon C. Hal ini berarti, bahwa jika harga Rp 1.500,-/kg rimpang,
maka klonA, B, D, E, F, L1 dan L2 secara finansial layak untuk diusahakan (Tabel 4).
Tabel 4.Analisis finansial usahatani klon-klon temulawak per ha
output
KlonParameter
A B C D E F L1 L2
Produksi (kg) 23.070 20.601 9.719 20.746 22.053 19.484 18.343 19.933
Harga (Rp/kg) 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500 1.500
Discount
faktor 1,0% 1,0% 1,0% 1,0% 1,0% 1,0% 1,0% 1,0%
NPV 15.987.456 12.634.726 -2.142.273 12.831.626 14.606 441 11.117.917 9.568.519 11.727.628
IRR 10,0% 8.6% 0,0% 8,7% 9,5% 7,9% 7,2% 8,2%
B/C 2,22 1,96 0,84 1,98 2,11 1,85 1,73 1,89
Harga BEP
(Rp/kg) 735 820 1.740 815 770 870 920 850
Produksi BEP
(kg/ha) 16.875
Sumber: Setiyono ., 2007 dan Ermiati ., 2008et al et al
Hasil analisis sensitifitas harga menunjukkan bahwa dengan tingkat produktivitas
tetap, kondisi usahatani setiap klon akan terjadi jika harga rimpang basah
per kg untuk klon A, B, D, E, F, L1 dan L2, masing-masing sebesar Rp 735,-, Rp 820,-, Rp
815,-, Rp 770,-, Rp 870,-, Rp 920,-, dan Rp 850,-. Hal ini berarti jika harga rimpang basah
turun menjadi Rp 1000,-/kg, usahatani setiap klon tersebut secara finansial masih layak
diusahakan.
Hasil analiss sensitifitas produksi menunjukkan bahwa jika harga rimpang basah
sebesar Rp 1.000,-/kg, kondisi usahatani temulawak akan terjadi jika
produktivitas mencapai 16.875 kg/ha. Hal ini berarti jika harga rimpang basah mencapai
harga terendah (Rp 1.000,-/kg) dan produktivitas usahatani di bawah 16.875 kg/ha, maka
usahatani akan mengalami kerugian. Dari data produktivitas terlihat bahwa
produktivitas semua klon dilokasi Bayolalin kecuali klon Adan E di bawah 16.875 kg. Hal
ini menunjukkan bahwa walaupun semua klon layak secara finansial untuk diusahakan
break event point
break event point
94 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
walaupun harga rimpang mencapai harga terendah (Rp 1.000,-/kg) akan tetapi dari
keragaman pencapaian produktivitas yang ada hanya klon A dan E yang layak
diusahakan di setiap lokasi penelitian.
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Sukamulia Sukabumi yang terletak pada
ketinggian 350 m dpl., dengan type iklim A (Schmidt and Ferguson) dan jenis tanah
latosol merah. Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2007 sampai bulan
Agustus 2008. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5
perlakuan dan 5 ulangan. Bahan tanaman yang digunakan berasal dari nomor harapan
temulawak milik Balittro, yaitu nomor harapan A. Benih yang digunakan; perlakuan 1
(rimpang induk utuh = 220.5 g), 2 (rimpang induk dibelah 2 = 109.7g), 3 (rimpang induk
dibelah 4 = 54.36 g), 4 (rimpang induk dibelah 8 = 27.29 g) dan perlakuan 5 (anak rimpang =
2 2,01 g). Masing-masing satu per lobang tanam. Ukuran plot percobaan 30 m² (5 m x 6 m)
dengan jarak tanam 70 cm x 50 cm, sehingga setiap pot terdapat 80 tanaman. Semua
perlakuan di pupuk dengan 20 ton pupuk kandang, 200 kg UREA, 200 kg SP36 dan 200 kg
KCl/ha. Khusus untuk UREAdiberikan 3 kali agihan, yaitu 1, 2 dan 3 BST masing-masing
67 kg/ha/agihan.
Panen dilakukan pada umur tanaman 10 bulan setelah tanam. Data yang diamati
meliputi; data asupan ( ) berupa penggunaan sarana produksi usahatani,
penggunaan tenaga kerja dan peralatan serta data keluaran ( ) berupa hasil dan
harga jual rimpang basah. Harga masukan dan keluaran yang digunakan mengacu pada
harga standar/pasar yang berlaku.
Hasil analisis, jika modal usahatani berasal dari modal petani sendiri, maka dari
hasil tabulasi analisis biaya dan pendapatan untuk ke 5 perlakuan dengan harga rimpang
basah sebesar Rp 1.500.-/kg ternyata memberikan pendapatan positif untuk semua
perlakuan (ke 1,2,3,4 dan ke 5), secara berturut-turut sebesar Rp 13.502.347,-,
Rp 11.077.347,-, Rp 4.702.347,- Rp 952.347,-, dan Rp 4.382.347,- per 10 bulan. Perlakuan
yang memberikan pendapatan terbesar, yaitu perlakuan ke 1 (benih induk utuh), yaitu
sebesar Rp 13.502.347,-) dan yang terkecil perlakuan ke 4 (rimpang induk belah 8), hanya
sebesar Rp 952.347,-) per panen (Tabel 5).
Kelayakan usahatani temulawak yang berasal dari benih dengan ukuran yang berbeda
input
output
95Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 5. Total Biaya, Produksi, Pendapatan dan Kelayakan Usahatani Temulawak yang
berasal dari Benih dengan berbagai Ukuran (Ha)
URAIAN PERLAKUAN KE
Varietas
1
(Induk Utuh)
2
(Induk dibelah 2)
3
(induk dibelah 4)
4
(Induk dibelah 8)
5
(R. Cabang)
Produksi (Kg) 24 480 21 780 16 380 13 230 16 200
Harga (Rp) 1 500 1 500 1 500 1 500 1 500
Tot.Biaya (Rp)
23.217.653
(100%)
21.592.653
(93%)
19.867.653
(85,6%) 18.892.653 (81,4%)
19.917.653
(85,8%)
Pendapatan (Rp) 13.502.347 11.077.347 4.702.347 952.347 4.382.347
DF (%) 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5
NPV (Rp) 9.433.448 7.482.238 2.058.275 -1.138.394 1.768.709
IRR (%) 6,41 5,78 2,88 0,65 2,68
B/C ratio 1,54 1,46 1,13 0,93 1,11
Hrg BEP 1050 1100 1350 1600 1375
Prod BEP 17200 16000 14750 1418 0 14890
Sumber: Ermiati dan Sukarman, 2011
Akan tetapi jika modal usahatani berasal dari modal pinjaman dengan tingkat suku
bunga bank 1,5%/bulan, hasil analisis kelayakan menunjukkan bahwa semua perlakuan
secara finansial layak untuk diusahakan karena masing-masing NPV positif, B/C ratio-
nya > 1, dan IRR actual > IRR estímate. Kecuali perlakuan ke 4 (rimpang induk belah 8)
merugi karena NPV negatif, B/C ratio < 1 dan IRR actual < IRR estímate.
Hasil análisis sensitifitas harga menunjukkan bahwa jika tingkat produktivitas
tetap, kondisi usahatani temulawak tiap perlakuan akan terjadi jika harga
rimpang basah per kg untuk perlakuan 1, 2, 3 dan 4 masing-masing sebesar Rp 1.050,-,
Rp 1.100,-, Rp 1.350,-, dan Rp 1.375,-/kg. Hal ini berarti bahwa jika harga rimpang basah
temulawak turun jadi harga terendah (Rp 1.000,-/kg), maka usahatani semua perlakuan
akan merugi.
Jahe merupakan salah satu tanaman obat asli Indonesia dengan klaim khasiat
paling banyak dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Rimpangnya digunakan sebagai
bahan baku industri obat, makanan, minuman dan juga kosmetik. Disamping itu jahe
juga merupakan komoditi ekspor potensial yang memberi subangan devisa negara
cukup besar.
Ekspor total jahe Indonesia dari tahun 2002 - 2009 berfluktuasi dengan rata-rata
perkembangan sebanyak 24,33% per tahun. Ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2008,
yaitu sebanyak 11 137 115 kg dengan nilai nominal US $ 4 221 453. Negara tujuan Japan,
Singapure, Philippines, Malaysia, Brunei Darusslam, India, Pakistan, Bangladesh, Saudi
Arabia. Eypt, United States, United Kingdom dan Netherlands (Badan Pusat Statistik,
2002-2009. Data diolah).
break event point
2. Kelayakan usahatani jahe ( Rosc.)Zingiber officinalle
96 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe yang didasarkan atas ukuran dan warna
rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil atau dikenal juga dengan jahe emprit
serta jahe merah. Jahe putih kecil dan merah sebagian besar dimanfaatkan dalam industri
minuman penyegar dan bahan baku IOT, herbal terstandar maupun fitofarmaka
(Bermawie . , 2005).
Untuk meningkatkan daya saing jahe, perlu dilakukan perbaikan produktivitas
dan kualitas hasil dari hulu sampai hilir. Untuk menunjang permintaan ekspor dan
idustri OT, telah dilakukan perluasan area pengembangan jahe yang pada tahun 1993 -
1997, mengalami peningkatan rata-rata 20%/tahun dan dari tahun 2003 - 2008,
6,28%/tahun. Sedangkan produksi peningkatan rata-rata 6,30% pertahun. Khusus untuk
jahe putih kecil (JPK) data yang tersedia hanya ada di Propinsi Bali, dengan
produktivitas sebanyak 4,58 ton/ha (Puslitbangbun, 2007; Ditjenhorti, 2003-2008. Data
diolah).
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), sudah melepas beberapa
varietas unggul jahe putih kecil (JPK), yaitu Halina 1, 2, 3 dan varietas unggul jahe merah
(JM), yaitu Jahira 1 dan 2. Pada lembaran ini akan dibahas kelayakan usahatani Jahira 2
serta Halina 1 dan 2.
Penelitian dilakukan di 4 lokasi dengan agroekologi berbeda, yaitu Sumedang,
Majalengka, Sukabumi dan Garut pada tahun 2003 - 2005 dengan kondisi agroklimat
seperti pada Tabel 6 (Bermawie 2005).
Tabel 6. Kondisi agroklimat masing-masing lokasi/daerah penelitian
et al
et al.
Kelayakan usahatani varietas unggul Jahira 2 (JM Genotip C)
Lokasi
Penelitian/
Pengujian
Ketinggian
Tempat (dplTipe iklim Jenis tanah
Sukabumi
Sumedang
Garut
Majalengka
350 m
800 m
640 m
700 m
A (Schmidt and Ferguson)
B (Schmidt and F erguson)
B (Schmidt and Ferguson)
A (Schmidt and Ferguson)
Latosol Merah
Latosol merah sangat gembur
Latosol merah kekuningan
Regosol coklat
Sumber : Bermawie ., 2005et al
Teknis budidaya yang dilakukan mengacu kepada Jarak tanam 60
x 40 cm. Pupuk yang diberikan; pupuk kandang sebagai pupuk dasar diberikan 2 kali
(sebulan sebelum tanam dan pada umur 4 bulan, masing-masing sebanyak 20 ton).
Pupuk SP-36 (300 kg) dan KCl (400 kg/ha) diberikan pada saat tanam, sedangkan pupuk
Urea 600 kg/ha diberikan dalam 3 agihan, yaitu pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam
(BST), masing-msing 200 kg tiap aplikasi. Sebelum ditanam benih direndam dalam
larutan fungisida dan insektisida masing-masing 2 g/l. Pemeliharaan yang dilakukan
Sudiarto (1978).
97Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
meliputi penyiangan mulai umur 1 sampai 6 bulan, pembumbunan pada umur 4 bulan
serta penyemprotan hama dan penyakit. Tanaman di panen pada umur 9 - 10 BST.
Produktivitas jahe diukur berdasarkan bobot rimpang per rumpun, kemudian data
yang didapat dikonversikan ke ha dengan perhitungan bobot rimpang per rumpun
dikalikan dengan populasi tanaman per ha (40.000) dengan faktor koreksi 70%.
Sedangkan parameter yang diamati, adalah penggunaan sarana produksi, tenaga kerja,
peralatan, produksi dan harga jual. Untuk mengetahui besarnya pendapatan dari
usahatani jahe merah, dilakukan analisis pendapatan dengan metode
tabulasi yang kemudian disajikan secara deskriptif.
Menurut Bermawie . (2005), berdasarkan hasil analisis gabungan dan stabilitas
dari 4 genotipe yang diuji terhadap produksi rimpang, ternyata JM Genotip C lebih
adaptif dan stabil di Sumedang, Sukabumi dan Garut. Oleh sebab itu JM Genotip C dapat
dijadikan dan telah diusulkan sebagai varietas unggul jahe merah untuk produksi
rimpang, industri minuman kesehatan dan bahan baku ekstrak dengan nama Jahira (Jahe
Merah Indondesia) 2, karena itu analisis kelayakan hanya dilakukan pada JM Genotip C
(JAHIRA 2) pada tiap-tiap lokasi yang adaptif dan stabil (Sumedang, Sukabumi dan
Garut).
Tabel 7. Besar Pendapatan Petani, NPV, B/C ratio dan IRR (DF 1.5%/bln) Usahatani Jahe
Merah Genotip C (Jahira 2) pada masing-masing lokasi yang adaptif dan
stabil/1000 m².
(Adnyana, 1989)
et al
Harga (Rp/kg) Pendapatan DF 1.5%/bln
Lokasi GenotipTotal
Produksi
Prod.
untuk
Konsumsi
(30%)
Prod.untuk
Bibit
(70%)Konsumsi Bibit (Rp/ha) NPV
B/C
Ratio
IRR/
Bln
Sumedang C 1611 483 1128 6000 13000 13 383 682 11 079 873 3.74 15%
Sukabumi C 1441 432 1009 6000 13000 11 557 696 9 506 481 3.36 14%
Garut C 1266 379 887 6000 13000 9 667 618 7 877 862 3 13%
Sumber: Ermiati dan N. Bermawie (2006)
Dalam analisis biaya faktor-faktor produksi serta harga jual pada tiap-tiap lokasi
penelitian diasumsikan sama dan berdasarkan pengalaman banyak rimpang yang dapat
dijadikan untuk bibit sekitar 70% dan 30% lainnya untuk konsumsi dengan harga yang
berlaku masing-masing Rp 13.000,- dan Rp 6.000,-/kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa
usahatani jahe merah genotip C pada masing-masing lokasi, secara finansial layak untuk
diusahakan karena masing-masing NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR actual > IRR
estimate atau > dari tingkat suku bunga bank yang berlaku (Tabel 7).
Menurut Bermawie . (2005), berdasarkan hasil analisis gabungan dan stabilitas
dari 6 genotipe yang diuji dengan 2 pembanding lokal, ditemukan 2 genotip JPK yang
Kelayakan usahatani jahe putih kecil Genotip G dan K (Halina 1 dan 2)
et al
98 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
dapat dijadikan sebagai varietas unggul untuk produktivitas rimpang karena adaptif dan
stabil di beberapa lokasi penelitian. JPK yang dimaksud adalah JPK Genotip G untuk
produktivitas rimpang adaptif dan stabil di Garut, Sukabumi dan Sumedang dan JPK
Genotip K untuk produktivitas rimpang dan minyak atsiri, adaptif dan stabil disemua
lokasi pengujian (Garut, Sukabumi, Majalengka dan Sumedang). Oleh karena itu JPK
Genotip G telah diusulkan sebagai varietas unggul jahe putih kecil untuk produksi
rimpang dengan nama Halina 1 dan JPK Genotip K untuk produksi rimpang dan minyak
atsiri dengan nama Halina 2. Karena itu dalam analis finansial, yang dianalisis hanya
JPK Genotip G dan K pada tiap-tiap lokasi.
Hasil analisis kelayakan usahatani varietas unggul jahe putih kecil Genotip G dan K
(Halina 1 dan 2) pada masing-masing lokasi dengan tingkat harga yang berlaku Rp 6.000,-
untuk konsumsi dan Rp 7.500,-/kg untuk bibit, secara finansial layak untuk diusahakan
karena masing-masing NPV positif, B/C ratio >1 dan IRR actual > estimate (Tabel 8).
Tabel 8. Besar Pendapatan Petani, NPV, B/C ratio dan IRR (DF 1.5%/bln) Usahatani Jahe
Putih Kecil Genotip G dan K (Halina 1 dan 2) pada masing-masing lokasi yang
adaptif dan stabil (1 000 m²)
Lokasi Genotip
Total
produksi
(kg)
Prod.
untuk
konsumsi
30% (kg)
Prod.
untuk bibit
(70%)
(kg)
Harga
konsumsi
(Rp/kg)
Harga
bibit
(Rp/kg)
Pendapata
n
(Rp)
NPV
(Rp)
B/C
ratio
IRR
(%)
Garut G 767 230 537 6000 7500 1 348 017 709 135 1.18 2%
K 853 256 597 6000 7500 1 951 962 1 229 535 1.31 3%
Majalengka G - - - - - - - - -
K 981 294 687 6000 7500 2 829 436 1 985 625 1.50 5%
Sukabumi G 1170 351 819 6000 7500 4 135 618 3 111 199 1.80 7%
K 1195 357 838 6000 7500 4 302 144 3 254 609 1.80 7%
Sumedang G 1537 461 1076 6000 7500 6 667 145 5 292 453 2.30 10%
K 1683 505 1178 6000 7500 7 679 813 6 165 036 2.50 11%
Sumber : Ermiati dan N. Bermawie, 2007
Hasil analisis sensitifitas harga, jika produktivitas masing-masing varietas tetap
pada masing-masing lokasi, maka kondisi usahatani Halina 1 dan 2
terjadi jika harga yang berlaku pada masing-masing lokasi Rp 5.294,-, Rp 3.517,-, Rp 2.712
dan Rp 4.777,-, Rp 4.168,-, Rp 3.450,-, Rp 2.487,-. Hal ini berarti jika harga yang berlaku
Rp 6.000,-/kg maka usahatani ke dua varietas tersebut secara finansial layak untuk
diusahakan (Tabel 9).
Hasil analisis sensitivitas, menunjukkan bahwa daerah Sumedang, baik untuk JPK
Genotip G ataupun K, disamping memberikan produksi dan pendapatan tertinggi juga
mempunyai produksi dan harga minimum terendah dari tiga lokasi pengujian lainnya
(Garut, Sukabumi dan Majalengka). Untuk itu, JPK genotip G dan K akan lebih efektif
dan efisien kalau dikembangkan di daerah Sumedang atau di daerah dengan ketinggian
break event point
99Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
800 m dpl., tipe iklim A dan B (Schmidt & Ferguson), jenis tanah latosol merah sangat
gembur.
Tabel 9. Analisis Sensitivitas Varietas Unggul Genotip G dan K pada masing-masing
lokasi yang adaptif dan stabil
JPK Genotip
G (Halina 1) K (Halina 2)Lokasi
Produktivitas
(kg/ha)
Produksi BEP
(kg)
Harga BEP
(Rp/kg)
Produktivitas
(kg)
Produksi BEP
(kg)
Harga BEP
(Rp/kg)
Garut 7677 6773 5294 8533 6793 4777
Majalengka - - - 9818 6820 4168
Sukabumi 11707 6863 3517 11949 6870 3450
Sumedang 15369 6947 2712 16831 6977 2487
Sumber: Ermiati dan Bermawie, 2007
Kelayakan usahatani jahe putih kecil tingkat petani di Kabupaten Sumedang
Penelitian dilaksakan di Desa Nyalindung Kecamatan Cimalaka Kabupaten
Sumedang. Daerah tersebut merupakan daerah sentra produksi jahe di Jawa
Barat. Daerah ini terletak pada ketinggian 800 m dpl., type iklim B (Schmidt and
Ferguson) dengan jenis tanah latosol merah sangat gembur. Penelitian dilakukan
pada bulan November 2007 dengan metode survey.
Hasil analisis menunjukkan kelayakan usahatani jahe putih kecil tingkat
petani di Desa Nyalindung Kec. Cimalaka Kabupaten Sumedang dengan
produksi sebanyak 1.570 kg/1.000 m² dan harga yang berlaku pada saat penelitian
hanya Rp 1.000,-/kg, dengan 1%/bulan ternyata masih
menguntungkan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria NPV > 0 (Rp 497.769,-), B/C
ratio > 1 (1,7) dan IRR 6%. Sedangkan harga BEP Rp 643,-/kg dan BEP produksi 1
010 kg/1000 m².
discount factor
Tabel 10. NPV, B/C Ratio, IRR, Harga dan Produksi BEP Usahatani Jahe Putih Kecil di
Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang th 2007 (1000 m²)
Parameter Jahe Putih Kecil
Produksi/Production (kg) 1570
Harga/Price (Rp/kg) 1000
Discount Faktor (%/bln) 1,00%
NPV (Rp) 497 769
IRR 6%
B/C 1,7
Harga BEP/Price BEP (Rp/kg) 643
Produksi BEP/Production BEP 1010
Sumber: Ermiati, 2010
100 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Kelayakan usahatani sangat dipengaruhi oleh terutama besarnya produksi dan
harga jual. Dengan harga jual sebesar Rp 1.000,-/kg memang petani masih untung akan
tetapi sangat tipis sekali, hanya Rp 497.769,-/1.000 m²/12 bulan atau hanya Rp 41.480,-
/bulan. Sangat memprihatinkan.
Kendala utama pengembangan usahatani jahe di lokasi penelitian adalah
sempitnya luas kepemilikan lahan, modal yang terbatas dan fluktuasi harga, disamping
itu tidak mau menggunakan varietas unggul karena pengalaman petani pernah gagal
menggunakan varietas unggul yang ditawarkan oleh salah satu perusahaan pada tahun
1998/1999 dengan cara kredit, sehingga kreditpun macet.
Penelitian dilaksanakan di Luhak Cimpanas Desa Werasari Kecamatan Bantarujek
Kabupaten Majalengka pada bulan November 2004 sampai dengan bulan Agustus 2005.
Daerah ini terletak pada ketinggian 600 m dpl dengan suhu rata-rata 20°C, tekstur tanah
lempung berpasir dan PH netral.
Hasil analisis menunjukan bahwa pola tanam jahe merah, baik yang monokultur,
tumpangsari dengan bawang daun dan kacang merah menguntungkan dan layak di
usahakan, ini ditujukkan B/C ratio masing- masing > 1. Meskipun semua pola tanam
monokultur menguntungan, akan tetapi mungkin akan lebih baik ditanam secara
tumpang sari karena kalau terjadi kegagalan panen pada jahe, pada umur 3 bulan tanam
petani sudah dapat penghasilan dari bawang daun.
Tabel 11. Produksi, biaya dan pendapatan usahatani jahe merah tumpang sari dengan
bawang daun dan kacang merah di Desa Werasari Kecamatan Batarujek
Kabupaten Majalengka (1 000 m²)
Kelayakan usahatani jahe merah dan jahe emprit tumpang sari dengan bawang daun
dan kacang merah
Jahe merah monokultur Jahe merah + bawang daun Jahe merah + kacang merah
Uraian SatuanVolume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)Volume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)Volume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)
Total biaya Rp 1.536.547 1.742.610 1.606.870
Produksi:
1.Jahe kg 1.575 1.575 1.110 2.500 832.500
-konsumsi kg 473 2.500 1.182.500 473 2.500 1.182.500 333 6.500 5.050.500
-bibit Kg 1.102 6.500 7.163.000 1.102 6.500 7.163.000 777
B. daun kg 529 2.500 1.322.500
K. merah Kg 168 4.000 672.000
Penerimaan Rp 8.345.500 9.668.000 6.555.000
Pendapatan Rp 6.853.954 7.940.390 4.963.130
B/C ratio 4,6 4,6 3,1
Sumber; Ermiati dan Sukarman, 2006
101Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Dari Tabel 12 diketahui bahwa pola tanam jahe emprit, baik yang monokultur,
tumpangsari dengan bawang daun dan kacang merah menguntungkan dan layak di
usahakan, ini ditujukkan B/C ratio masing-masing > 1. Pola tanam jahe emprit + kacang
merah memberikan keuntungan lebih dari polatanam jahe emprit monokultur,
disamping memberikan pendapatan lebih, petani juga dapat memperoleh penghasilan
tambahan sebelum tanaman pokok dipanen. Pola tanam jahe emprit + bawang daun
memberi keuntungan lebih tinggi dengan B/C ratio 2,4.
Tabel 12. Produksi, biaya dan pendapatan usahatani jahe emprit tumpang sari dengan
bawang daun dan kacang merah di Desa Werasari Kecamatan Batarujek
Kabupaten Majalengka (1 000 m²)
Jahe emprit monokultur Jahe emprit + bawang daun Jahe emprit + kacang merah
Uraian SatuanVolume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)Volume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)Volume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)
Total biaya Rp 1.741.500 1.992.610 1.871.870
Produksi:
1.Jahe kg 2.295 2.100 2.010
-konsumsi kg 688,5 1.200 826.200 630 1.200 756.000 603 1.200 723.600
-bibit Kg 1.606,5 2.000 3.213.000 1.470 2.000 2.940.000 1.407 2.000 2.814.000
B. daun kg 428 2.500 1.070.000
K. merah Kg 192 4.000 768.000
Penerimaan Rp 4.039.200 4.766.000 4.305.600
Pendapatan Rp 2.297.700 2.773.400 2.433.730
B/C ratio 2,3 2,4 2,3
Sumber; Ermiati dan Sukarman, 2005
3. Kelayakan usahatani kencur ( L)Kaempferia galanga
Kencur ( L) termasuk ke dalam komoditas yang memiliki
prospek pasar cukup baik karena merupakan bahan baku industri penting baik untuk
obat tradisional, kosmetika, obat herbal terstandar, saus rokok, bumbu, bahan makanan
maupun minuman penyegar lainnya (Ditjen TPH, 1996).
Pada tahun 2005, telah dilepas tiga varietas unggul kencur yaitu Galesia 1, 2 dan 3.
Ketiga varietas tersebut mempunyai keunggulan yang berbeda dalam produksi rimpang,
ukuran serta mutunya. Ditinjau dari segi produksi, produktivitas Galesia 1 sebanyak 959
kg/1000 m², Galesia 2, 1070 kg/1000 m² dan Galesia 3, 1040 kg/ m².
Kaempferia galanga
102 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 13. Kondisi lingkungan lokasi penelitian/pengujian
No.
Lokasi Penelitian/
Pengujian
Experimental locations
Ketinggian
Tempat (dpl)/
Altitude.
Tipe iklim/
Climmate type
(Oldeman)
Jenis tanah/
Soil.type.
1.
2.
3.
4.
5.
Desa Jingkang - Sumedang
Kelurahan Wanareja – Subang
Cileugsi - Bogor
Cijeruk - Bogor
KP Sukamulya - Sukabumi
550 m
80 m
80 m
650 m
350 m
B2
C2
C2
A
B1
Latosol Merah/red latosol
Latosol coklat/brown latosol.
Latosol merah/ red latosol.
Andosol/Andosol
Latosol/Latosol
Sumber: Dinas pertanian pada masing-masing lokasi penelitian.
Analisis finansial dilakukan terhadap ke tiga varietas unggul tersebut, ditinjau dari
segi produksi masing-masing yang merupakan hasil uji multilokasi di lima lokasi dengan
agroekologi yang berbeda, yaitu 1) Desa Jingkang, Kecamatan Tanjungmedar, Kabupaten
Sumedang, 2) Kelurahan Wanareja, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang, (3) Desa
Rawailat, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, (4) Desa Tugu Jaya, Kecamatan
Cijeruk, Kabupaten Bogor dan (5) Kebun Percobaan Sukamulya, Kabupaten Sukabumi.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil analisis menunjukkan bahwa, kelayakan usahatani kencur baik Galesia 1, 2
ataupun Galesia 3 dengan tingkat harga untuk konsumsi Rp 5.000,-/kg dan untuk bibit
Rp 7.500,-/kg, secara finansial layak untuk di usahakan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria
NPV masing-masing +, B/C ratio > 1 da IRR di atas tingkat suku bunga bank yang berlaku.
Akan tetapi yang memberikan keuntungan yang tinggi (Rp 3.334 680,-) yaitu Galesia 2
karena produksinya tertinggi (1.070) dan yang terkecil yaitu Galesia 1 (Rp 2.702.001,-)
karena produksinya paling rendah (959 kg).
Tabel 14. Kelayakan Usahatani Varietas Unggul Kencur galesia 1, 2 dan 3 (1000 m²)
Varietas Produksi (kg) Harga (Rp/kg) Pendapatan DF 1.5%/bln Beradaptasi
Unggul Total Bibit Konsumsi Konsumsi Bibit (Rp) NPV B/C IRR/ di
-70% -30% Ratio bln
Galesia 1 959 671.3 287.7 5000 7500 3 498 250 2 702 001 1.94 8% Sumedang,
Cilengsi(V2)
Cijeruk,
Sukamulya
Galesia 2 1070 749 321 5000 7500 4 232 500 3 334 680 2.16 9% Cijeruk,
Sumedang(V4)
Sukamulya
Galesia 3 1040 728 312 5000 7500 4 030 000 3 160 193 2.10 9%
Cileungsi,
Cijeruk,
(V3) Sumedang,
Sumber: Ermiati dan Otih Rostiana, 2007
103Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
4. Kelayakan usahatani kunyit ( Val)Curcuma domestica
Kunyit merupakan tanaman obat potensial yang dapat dimanfaatkan dalam
banyak hal. Sebagai obat, kunyit dimanfaatkan untuk antikoagulan, penurun tekanan
darah, penambah darah, dll. Selain sebagai obat, kunyit juga digunakan sebagai bahan
pewarna, bahan campuran kosmetika, bakterisida, fungisida, dan stimulant. Kunyit juga
digunakan sebagai alat peningkat daya tahan tubuh, disamping sebagai jamu dan bumbu
dapur.
Produktivitas kunyit di Indonesia masih rendah 1,62 ton/ha. Hal ini disebabkan
oleh penggunaan bibit asalan, teknik budidaya yang belum optimal, dan adanya masalah
penyakit layu bakteri dan serangan hama rimpang.
Tabel 15. Kondisi lingkungan lokasi penelitian/pengujian
No.Lokasi Penelitian/
Pengujian
Ketinggian
Tempat (dpl)Tipe iklim Jenis tanah
1.
2.
3.
Garut
Subang
Sumedang
560 m
80 m
700 m
C
C2 (Oldeman)
C2
Latosollatosol
Latosol coklat/brown latosol.
Latosol/ latosol.
Sumber: Dinas pertanian pada masing-masing lokasi penelitian
Pada tahun 2005, telah dilepas 3 varietas unggul kunyit, yaitu Cudo 21, Cudo 30
dan Cudo 38, masing-masing dengan nama TURINA 1, TURINA 2 dan TURINA 3 yang
mempunyai keunggulan dari segi produktivitas rimpang dan kadar kurkumin, akan
tetapi masih rentan terhadap penyakit layu bakteri
Tiga varietas unggul kunyit (Turina 1, Turina 2 dan Turina 3) yang sudah dilepas,
merupakan hasil uji multilokasi dari 10 nomor harapan milik Balittro. Kegiatan dimulai
dari tahun 2001-2004 ditiga lokasi dengan agro ekologi yang berbeda, diantaranya Garut,
Subang dan Sumedang (Tabel 15).
104 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 16. Rata-rata produksi rimpang kunyit aktual di 3 lokasi, tahun tanam 2001/2002,
2002/2003 dan 2003/2004).
Sumber: Syukur ., 2005et al
Nomor -nomor
harapan kunyit
Rata-rata produksi
rimpang (g/rumpun)
Rata-rata produksi
kg/1000 m²
Cudo 03 703,33 2251
Cudo 11 712,22 2279
Cudo 13 633,33 2027
Cudo 21 745,93 2387
Cudo 37 752,22 2407
Cudo 22 704,07 2253
Cudo 23 687,96 2201
Cudo 38 782,96 2505
Cudo 28 715,18 2289
Cudo 30 723,7 2316
Lokal 675,93 2163
Rata-rata 712,49 2280
KK (%) 13,11
Penanaman tahun pertama, dilaksanakan pada awal musim hujan (bulan
September 2001), yang dipanen pada tahun berikutnya (2002) pada saat tanaman
berumur 10 BST. Pada tahun kedua, penanaman pada bulan Sepember 2002, yang
kemudian di panen pada tahun berikutnya (2003) juga pada saat tanaman berumur 10
BST. Sedangkan pada tahun ke tiga penanaman dilakukan bulan September 2003 yang
dipanen pada tahun berikutnya (2004) pada saat tanaman berumur 10 BST. Pengujian
dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan teknik
budidaya seperti berikut; Jarak tanam 50 x 50 cm., ukuran petak 3 x 4 m (12 m²) (1 petak 48
tanaman). Sedangkan pupuk yang diberikan terdiri atas pupuk kandang (20 ton/ha)
sebagai pupuk dasar yang diberikan seminggu sebelum tanam, SP36 dan KCl (masing-
masing sebanyak 100 dan 150 kg/ha) diberikan pada saat tanam dan UREA (150 kg/ha)
diberikan pada saat tanaman berumur 2 bulan setelah tanam (2 BST). Rata-rata produksi
masing-masing nomor harapan kunyit di 3 lokasi bisa dilihat pada Tabel 16.
105Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 17. VPV, B/C Ratio, IRR dan Sensitivitas/BEP masing-masing nomor harapan dan
varietas unggul kunyit (Cudo 21, 30 dan 38) (1000 m²)
Uraian Cudo 03 Cudo 11 Cudo 13 Cudo 21 Cudo 30 Cudo 22 Cudo 23 Cudo 38 Cudo 28 Cudo 37 Lokal
Produksi 2251 2279 2027 2387 2407 2253 2201 2505 2289 2316 2163
a.Konsumsi 675 684 608 716 722 676 660 752 687 695 649
b.Bibit 1575 1595 1419 1671 1685 1577 1541 1754 1602 1621 1514
NPV (Rp) 4957149 5046595 4252649 5385887 5449166 4964508 4802442 5758548 5077228 5162146 4681451
B/C Ratio 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 3
IRR (%) 17 16 15 17 17 16 16 17 16 16 15
BEP harga 1350 1330 1525 1260 1250 1350 1385 1190 1330 1310 1415
Sumber: Ermiati dan C. Syukur, 2007
Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan tingkat harga untuk konsumsi Rp 500,-/
kg dan untuk bibit Rp 5.000,-/kg, semua nomor harapan yang ada secara finansial layak di
usahakan karena masing-masing NPV positif, B/C ratio > 1 dan IRR > dari tingkat suku
bunga bank yang berlaku. Akan tetapi yang adaptif dan stabil pada tiap lokasi uji
multilokasi baik dari segi produksi dan kadar kurkumin hanya nomor harapan Cudo 21,
30 dan 38. Dengan produktivitas yang lebih tinggi varietas unggul kunyit baik Cudo 21,
30 maupun Cudo 38 memberikan NPV, B/C ratio dan IRR yang lebih tinggi pula dengan
harga BEP terendah dibanding nomor lainnya (Tabel 17).
Purwoceng Molk.) merupakan tanaman endemik asli
Indonesia, dikategorikan langka dan hampir punah, serta berkhasiat afrodisiak.
Tanaman ini tumbuh dipegunungan pada ketinggian 1800 - 3500 m dpl. Daerah
sebarannya antara lain dataran tinggi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa
Barat ditemukan banyak tumbuh di Gunung Galunggung dan Gunung Pangrango,
sedangkan di Jawa Tengah terdapat di Pegunungan Dieng (Rifai, 1986; Burkill, 1935;
Rahardjo, 2005).
Pada awalnya purwoceng merupakan tanaman liar yang tumbuh di bawah tegakan
hutan. Secara turun temurun purwoceng telah dimanfaatkan sebagai obat penambah
stamina bagi pria (afrodisiak). Purwoceng terus dicari oleh pelaku usaha obat tradisional
maupun obat moderen sebagai bahan baku untuk meningkatkan vitalitas pria. Namun,
karena tanpa diikuti oleh upaya budidaya yang memadai, maka akhirnya semakin langka
sehingga harga semakin mahal.
Sekitar 80% bahan baku obat alami (tradisional) masih diperoleh dari alam. Hanya
sekitar 20% yang telah dibudidayakan dengan cara sederhana. Saat ini terdapat sekitar 54
jenis tanaman obat dalam kondisi langka, satu di antaranya adalah purwoceng.
Meskipun pemerintah belum mengizinkan industri obat tradisional mengeluarkan
produk dengan bahan baku purwoceng, tetapi industri skala rumah tangga telah banyak
menjual produk kemasan jamu berbahan baku purwoceng tersebut (Rahardjo, 2005).
5. Kelayakan usahatani purwoceng ( Molk)Pimpinella pruatjan
(Pimpinella pruatjam
106 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Bagian yang bermanfaat sebagai afrodisiak pada purwoceng adalah akarnya yang
mengandung turunan senyawa sterol, saphonin dan alkaloida sebagai tanaman asli
Indonesia purwoceng dapat menjadi substitusi bahkan sebagai penganti ginseng yang di
impor dari Cina dan Korea. Karena itu prospek pengembangan purwoceng sebagai
bahan baku obat alami sangat cerah dan pemanfaatan untuk afrodisiak merupakan
peluang besar untuk meningkatkan devisa dari sektor industri obat fitofarmaka dan
minuman kesehatan (Caropeboka dan Lubia, 1985; Rajardjo, 2005).
Sarnpai saat ini tanaman purwoceng belum dibudidayakan secara besar-besaran,
usahatani purwoceng masih terbatas sebagai tanaman pekarangan dengan luasan lahan
yang sempit dan dengan tingkat teknologi budidaya yang sederhana.
Pembudidayaan purwoceng di Kabupaten Wonosobo hanya terdapat di satu desa,
yaitu Desa Sikunang. Tidak berkembangnya tanaman ini ke daerah lain, karena adanya
satu mitos yang mengatakan, bahwa tanaman ini tidak tumbuh bila dipindahkan dari
habitat aslinya, walaupun mitos itu telah dapat dihapus oleh penelitian Balittro, dimana
dengan penanaman di luar habitat aslinya seperti di Banjarnegara, di Gunung Putri
Cianjur, Jawa Barat, di Gunung Lawu tanaman ini dapat tumbuh dengan baik (Kemala
., 2003). Pada Tabel 18 dapat dilihat keragaan usahatani purwoceng sebagai tanaman
pekarangan Desa Sikunang Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo.
Hasil Penelitian
et
al
107Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Uraian Keterangan
Total lahan ± 1000 m ,
Rata-rata kepemilikan lahan usahatani purwoceng/ petani ± 37 m 2
Range kepemilikan lahan usahatani 4 m2 - 200 m 2
Jumlah petani purwoceng di Desa Sikunang 27 KK
Nama Kelompok Tani Sikunang
Umur tanaman mulai tanam sampai panen 7 bulan
Umur tanaman untuk pohon induk/sumber bibit 1 tahun
Produksi 428,6 kg basah/1000 mz
Range harga punvoceng basah (Rp/kg) Rp. 50.000, - - Rp. 85.000, -/kg
Harga purwoceng basah saat penelitian (Rp/kg) Rp 75 000, -
Tabel 18. Keragaan usahatani purwoceng sebagai tanaman pekarangan di Desa
Sikunang Kec. Kejajar Kab. Wonosobo, MT 2004 (per 1000 m ).2
Sumber: Ermiati ., 2006et al
Hasil analisis diketahui bahwa dari usahatani purwoceng di peroleh produksi
sebanyak 428,6 kg basah/panen/1000 m². Dengan harga yang berlaku pada saat penelitian
sebesar Rp. 75.000,-/kg basah dan biaya produksi sebesar Rp. 5.706.000,- diperoleh
keuntungan sebesar Rp 26.439.000,-/panen/1000 m atau rata-rata sebesar Rp. 1.321.950,-/
bulan dengan B/C Ratio sebesar = 5,63. Ini menunjukkan bahwa usahatani purwoceng
menguntungkan, layak dan punya prospek untuk dikembangkan sebatas luas lahan
tertentu sesuai dengan permintaan untuk mempertahankan harga (Tabel 3).
2
108 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tabel 19. Analisis Usahatani Purwoceng di Desa Sikunang Kec. Sejajar Kab. Wonosobo
MT 2004 (1000)
Uraian Satuan Volume Harga (Rp) Nilai (Rp)
I. Tenaga Kerja
- Pengolahan Tanah HOK 10 I 15.000 I 150.000
- Pembuatan Drainase HOK 3 15.000 45.000
- Pemupukan dasar HOK 2 15.000 30.000
- Penanaman HOK 10 15.000 150.000
- Penyulaman HOK 1 15.000 15.000
- Pemberian pupuk daun HOK 3 15.000 45.000
- Penyiangan HOK 15 15.000 225.000
- Pembumbunan HOK 15 15.000 225.000
- Panen HOK 5 15.000 75.000
Total Biaya Tenaga Kerja - - - 960.000
I1. Sarana Produksi
- Bibit rimpang 7500 460 3.450.000
- Bambu batang 40 5.000 200.000
- Paranet buah 8 50.000 400.000
- Pupuk kandang karung 100 2.500 250.000
- Pupuk daun botol 20 11.000 220.000
Total Biaya Sarana Produksi - - - 4 520.000 ~
III. Peralatan
- Cangkul
- Garpu
- Gacok
buah
buah
buah
2
2
2
25.000
50.000
8.000
50.000
16.000
16.000
Total Biaya Peralatan - - - 226.000
Total Biaya I + II + III - - - 5.706.000
IV. Produksi / Penerimaan K g 428,6 75.000 32.145. 000
Keuntungan Rp - - 26.439.000
Rata-rata keuntungan/bulan Rp - - _1.321.950
Harga pokok/kg Kg - - 13.313
B/C Ratio- -- - - J 5,63
Sumber: Ermiati ., 2006
Keterangan : 1 karung pupuk kandang = 20 kg
1 kg purwoceng basah = berkisar antara 15 - 20 rumpun
et al
Harga yang berlaku selama ini pada petani berkisar antara Rp 50.000,- sampai
Rp 85.000,-/kg basah. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan, bahwa dengan tingkat
produksi minimal sebesar 428,6 kg basah/panen/1000 m , harga minimum purwoceng
untuk mencapai titik impas sebesar Rp. 13.313,-/kg. Dengan harga Rp. 50.000,/kg basah,
maka produksi minimal sebesar 114,12 kg basah/panen/1000 m dan kalau harga sebesar
Rp. 85.000,-/kg basah, maka produksi minimal 76 kg basah/panen/1000 m untuk
mencapai titik impas. Sedangkan dengan tingkat harga yang berlaku saat penelitian
dilaksanakan, yaitu sebesar Rp. 75.000,-, maka titik impas terjadi apabila produksinya
turun menjadi 67,13 kg basah/panen/1000 m . Hal ini menunjukkan bahwa dengan
fluktuasi harga yang tinggi saat ini , petani masih memperolah keuntungan yang tinggi.
Tabel 20. Analisis Sensitivitas Usahatani Purwoceng di Desa Sikunang Kec. Kejajar Kab.
Wonosobo (1000 m )
2
2
2
2
2
Harga (Rp/kg basah) Produksi (kg basah/panen/1000 mz) B/C Ratio
13.313 428,6 1
50.000 114,12 1
75.000 76 1
85.000 6 7,13 1
Sumber: Ermiati ., 2006et al
III. KESIMPULAN DAN SARAN
Layak atau tidaknya suatu usahatani, harus memenuhi beberapa kriteria,
diantaranya; B/C Ratio > 1, NPV > 0, IRR (%) > tingkat bunga bank yang berlaku, produksi
(kg) > BEP produksi (kg), Harga (Rp/kg) > BEP harga (Rp/kg) dan terjadi penurunan harga
produksi, maupun peningkatan harga faktor produksi, sampai batas tertentu tidak
menyebabkan kerugian.
Hasil analisis kelayakan usahatani beberapa tanaman obat unggulan, seperti
temulawak, jahe, kunyit, kencur dan purwoceng, secara finansial layak diusahakan, akan
tetapi semua tergantung terutama pada besarnya produksi dan harga jual yang berlaku
saat itu karena harga komoditi hortikultura itu sangat berfluktuasi.
Dari hasil penelitian juga diketahui beberapa kendala pengembangan tanaman
obat pada tingkat petani, diantaranya; belum menggunakan varietas unggul yang
dilepas, teknologi yang digunakan masih tradisional/belum sesuai dengan teknologi
yang dianjurkan, keterbatasan modal petani, kepemilikan lahan yang sempit, fluktuasi
harga, jauhnya lokasi kebun dari pasar, belum adanya usaha diversifikasi produk pada
tingkat petani (untuk menciptakan pasar), bahkan khusus untuk temulawak belum
adanya pasar di lokasi penelitian (Cileungsi, Sumedang dan Bayolali). Salah satu solusi
yang bisa ditempuh untuk menciptakan pasar, yaitu dengan diversifikasi hasil.
109Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Tanaman obat sebagai sarana perawatan kesehatan, memperkuat daya tahan tubuh
dan untuk menanggulangi berbagai macam penyakit sudah berakar kuat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, disamping juga sebagai bahan baku untuk kosmetik
atau untuk kecantikan. Ini merupakan aset nasional yang belum dimanfaatkan secara
optimal, untuk itu perlu diteliti dan dikembangkan lebih jauh.
Anonymous, 2002. Benih Unggul Tanaman Obat. Info Teknologi Tanaman Rempah dan
OBat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Badan Litbang Pertanian.
Hal 6 - 9.
Adnyana O.M., 1989. Analisis ekonomi dalam penelitian sistem usahatani. Latihan
Metodologi Penelitian Sistem Usahatani. Badan Litbang Pertanian. Jakarta, 1989: 12
hal.
Bermawie N., Hobir, N. Ajijah, Sukarman, Meynarti S.D Ibarahim dan Susi P., 2005.
Usulan Pelepasan Varietas Jahe Putih Kecil dan Jahe Merah. Balai
PenelitianTanaman Obat dan Aromatika. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Perkebunan. Bogor. 0 hal.
Balitbang Pertanian., 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat,
Edisi kedua. Balitbang Pertanian. Deptan. Hal v-vi.
.
BPS., 2002. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 77-78.
BPS. 2003. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 80-81.
BPS. 2004. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 68.
BPS. 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 65.
BPS. 2006. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal. 65.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2009. Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan
Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Dephut. Hal 37.
http://www.litbang.deptan.go.id/special/publikasi/doc_perkebunan/tanamanobat/tan-
obat-bagian-a.pdf 21April 2010
Indonesia Foreigh Trade Statistics
Volume
Indonesia Foreigh Trade
Statistics Volume
Indonesia Foreigh Trade
Statistics Volume
Indonesia Foreigh Trade
Statistics Volume
Indonesia Foreigh Trade
Statistics Volume
110 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
BPS. 2006. Statistik Tanaman Biofarmaka (Obat-obatan) dan Hias. Badan Pusat Statistik
Jakarta.
BPS. 2007. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 68-69.
BPS. 2008. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 74.
BPS. 2009. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia,
Ekspor/Exports Jilid/ I. Badan Pusat Staustik Jakarta. Hal 75.
Buletin Tanaman Rempah dan Obat Vol. XVIII (1). 2007. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Hal 86-106.
Burkill, LH., 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Vol. II.
London. 1364 p.
Caropebola, A.M., Dan Lubis. 1985. Pemeriksaan Pendahuluan Kimia Akar Purwoceng
( ). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I. Bogor.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2006. Profil Sentra Produksi Temulawak (
Roxb). Direktorat Budididaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka.
Direktorat Jendral Hortikultura. Deptan. 71 p.
Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura, 2003. Produksi, Luas Panen dan
Produktivitas buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat. Angka
Tetap. Dirjen Bina Produksi Hortikultura. Deptan. 2004. Hal 87.
Direktorat Jendral Hortikultura, 2004. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas buah-
buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman obat. Angka Tetap. Dirjen Bina
Produksi Hortikultura. Deptan. 2005. Hal 82.
Direktorat Jendral Hortikultura., 2007. Statistik Produksi Hortikultutra. Direktorat
Jenderal Hortikultura. Deptan. Hal. 83 - 85.
Direktorat Jendral Hortikultura., 2008. Statistik Produksi Hortikultutra. Direktorat
Jenderal Hortikultura. Deptan. Hal. 91 - 92.
Ditjen TPH. 1996. Program Pengembangan Perbenihan Tanaman Obat-obatan di
Indonesia. Tidak diterbitkan. 1996. 16 p.
Ermiati dan Sukarman, 2006. Analisa Kelayakan Usahatani Jahe Gajah Tumpangsari
dengan Bawang Daun dan Kacang Merah. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku Vol.
XI (3), Oktober 2005. Persada. Hal 44 - 47.
Indonesia Foreigh Trade Statistics
Volume
Indonesia Foreigh Trade Statistics
Volume
Indonesia Foreigh Trade Statistics
Volume
Pimpinella alpine
Curcuma
xanthorrhiza
111Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Ermiati, 2005. Pola Tanam Jahe Emprit Dengan Bawang Daun dan Kacang Merah di
Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Buletin Tanaman Rempah dan Obat Vol. XVI
(1), 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal 38 - 48.
Ermiati, C. Indrawanto dan O. Rostiana, 2006. Kelayakan Usahatani Purwoceng sebagai
Tanaman Pekarangan dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Petani. Prosiding
Seminar Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVII. Baittro
kerjasama dengan Pokjanas TOI dan Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka.
Hal 91 - 100.
Ermiati dan N. Bermawie, 2006. Keunggulan Varietas Unggul Jahe Merah. Prosiding
Seminar Nasional. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aromatik. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Ermiati dan N. Bermawie, 2007. Analisis Finansial Varietas Unggul Jahe Putih Kecil di
Jawa Barat. Hal 86-106.
Ermiati dan O. Rostiana, 2007. Kelayakan Usahatani Varietas Unggul Kencur Gelesia 1, 2
dan 3. Prosiding Buku I. Seminar Nasional dan Pameran Pengembangan Teknologi
Tanaman Obat dan Aromatik, Balai Penelitian Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan. Hal 220-234.
Ermiati dan C. Syukur, 2007. Analisis Kelayakan Pengembangan Usahatani Varietas
Unggul Kunyit (Turino 1, Turino 2 dan Turino 3). Prosiding Buku 2. Seminar
Nasional dan Pameran Pengembangan Teknologi Tanaman Obat dan Aromatik.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Hal 471-482.
Ermiati, 2010.Analisa Kelayakan dan Kendala Pengembangan Usahatani Jahe Putih Kecil
di Kabupaten Sumedang (Studi Kasus Kecamatan Cimalaka Kabupaten
Sumedang). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Hal 80 - 92.
Ermiati dan Sukarman, 2006. Pola Tanam Jahe Merah dan Pengaruhnya terhadap
Produksi Benih dan Pendapatan Petani. Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku Vol.
XII (2), Juli 2006. Persada. Hal 152 - 159.
Ermiati, C. Indrawanto dan Rudi T. Setiyono, 2008. Analisa Kelayakan Usahatani 6
Nomor-nomor Harapan Temulawak dan 2 Varietas Lokal sebagai pembanding di 3
Lokasi dengan Kondisi Agroekologi Berbeda (Belum dipublikasikan). Balai
Penelitian Tanaman Rempah, Obat danAromatik. 30 p.
Ermiati, 2011. Analisa Kelayakan, Kendala Pengembangan Usahatani dan Solusi
Diversivikasi Produk Akhir Temulawak di Kabupaten Bogor (Studi Kasus
Kecamatan Cileungsi).Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Hal 97 - 114.
112 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat
Gittinger J. Price, 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi ke dua.
Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1986. 579 hal.
Kadariah L.,Karlina dan Gray., 1988. Pengantar Evaluasi Proyek. Analisa Ekonomis Edisi
Kedua. LPFE - UI. Jakarta. 122 hal.
Kemala ., 2003. Serapan Pasokan dan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia.
Laporan Teknis Penelitian Balittro. p 381-392.
Lestari Y., D Iswantini, Latifah, K Darusman, E Djauhari, M Ghulammahdi dan Ervizal
A.M, Zuhud, 2009. Tantangan dan Arah Pengembangan Biofarmaka Kehutanan.
Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan Hutan untuk
Keunggulan Bangsa dan Negara.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Dephut. Hal 29 - 41.
Prana, M,S. 1985. Beberapa Aspek Biologi temulawak ( Roxb.).
Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Bandung 17-18 September 1985: 42-48.
Puslitbangbun., 2007. Varietas Unggul Tanaman Perkebunan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Deptan. Hal 4 - 9.
Rahardjo M., 2005. Purwoceng Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat Perkasa Pria. Seri
Agrisehat. Penebar Swadaya Cimanggis Depok. 59 p.
Fifai MA., 1990. 30 Tumbuhan Obat Langka Indonesia. Hori Bunda No. 10. 15 p.
Setiyono R.T., C. Indrawanto dan Ermiati, 2007. Uji Multilokasi Nomor-nomor Harapan
Temulawak pada Berbagai Kondisi Agroekologi. Laporan Teknis Penelitian T.A
2007. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan. Hal 220 - 256.
Setiyono, R.T., N. Ajijah dan N. Bermawie, 2008. Usulan Pelepasan Varietas Temulawak
( Roxb.). Balai Penelitian Tanaman Obat danAromatik. 35 hal.
Soetrisno, 1982. Soetrisno, 1982. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek (Dasar-dasar perhitungan
teori dan studi kasus). Fakultas Ekonomi UGM. Andi Offset. Yokyakarta, 1982. Hal.
231 - 240.
Suratiyah K., 2006. Ilmu Usahatani. Cetakan I. Penebar Swadaya Jakarta. 124 p.
Sutawi, 2003. Ketahanan Pangan dan Kesengsaraan Petani. Tanggapan untuk Siswono
Yudo Husodo dan Khudori. Kompas, Senen.23/Juni/2003. Hal 4.
Syukur ., 2005. Usulan Pelepasan Varietas Kunyit Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik. 32 p.
Zuraida, Lelana A dan Nuroniah HS., 2009. Perkembangan Biofarmaka Kehutanan.
Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia dari Tumbuhan Hutan untuk
Keunggulan Bangsa dan Negara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Dephut. Hal 3 - 13.
et al
Curcuma xanthorizha
Curcuma xanthorrhiza
et al
113Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat