Download - Kel.3 Model Pembelajaran
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Kimia
DosenPengampu:
Dr. Wawan Wahyu, M.Pd.
Dr. H. Syaeful Anwar
Disusun Oleh:
Kelompok 1
1. Ismiyanti Khairunnisa (1306622)
2. Rahmawati Nurfatihah (1304423)
3. Rifaa Widasmara (1400174)
4. Rini Hendrawati (1300354)
5. Risda Novita (1302156)
6. Sisca Dwi Luviani (1301084)
7. Widhi Gumilar (1306103)
8. Zuhair Rasyid (1303788)
Pendidikan Kimia A 2013
DEPARTEMEN PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pendidikan merupakan hal penting yang diperlukan bagi setiap
manusia untuk memperoleh pengetahuan, wawasan serta meningkatkan
martabat dalam kehidupan. Manusia berhak mendapatkan pendidikan yang
layak sesuai perkembangannya. Pendidikan ini diperoleh melalui proses dari
pendidikan dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Pengetahuan yang
diperoleh melalui pendidikan akan sangat berguna bagi kehidupan akan
datang manakala setiap orang mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan
pendidikan didapatnya selama ini. Manusia harus memahami bahwa
pendidikan yang didapatnya selama ini bukan hanya sekadar formalitas
belaka. Namun lebih dari itu, pendidikan akan sangat menentukan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejatinya dipupuk dari tingkat
dasar.
Pendidikan layak diberikan secara optimal, khususnya pada siswa
Sekolah Dasar. Pengetahuan diberikan di Sekolah Dasar merupakan
pengetahuan dasar siswa berguna untuk melanjutkan kejenjang lebih tinggi.
Pendidikan hendaklah membuat manusia menjadi transitif, yaitu suatu
kemampuan menangkap dan menanggapi masalah-masalah lingkungan
serta kemampuan untuk berdialog tidak hanya sebatas dengan sesama,
tetapi juga dengan dunia beserta isinya (Paul Freire dalam Made Pidarta,
2000: 17).
Pembelajaran di sekolah-sekolah juga cenderung hanya menekankan
pada kemampuan intelektual dan kurang menekankan segi yang lain.
Banyak guru menggunakan sistem kompetisi atau persaingan dalam
pembelajaran maupun penilaian dilakukan di kelas. Tak sedikit pula guru
yang menganggap bahwa metode ini merupakan satu-satunya cara dalam
pembelajaran. Metode persaingan juga dapat membuat siswa bersikap
individualis bahkan dapat menciptakan suasana permusuhan di kelas. Siswa
berlomba-lomba agar mempunyai nilai yang tertinggi di kelasnya sehingga
berasumsi jika ingin berhasil harus mengalahkan siswa lainnya. Siswa yang
berhasil mendapatkan nilai tinggi sering dimusuhi karena dianggap
menjatuhkan teman ataupun dicap "tidak kompak". Siswa yang mendapat
nilai terendah atau kalah dalam persaingan bisa menjadi antipati terhadap
sesama siswa, pengajar, sekolah, atau bahkan proses pembelajaran yang
dilakukan.
Seorang pendidik diketahui bahwa profesionalisme seorang guru
bukanlah hanya mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih kepada
kemampuanya melaksanakan pembelajaran yang menarik untuk siswa
sehingga siswa lebih aktif mengikuti pembelajaran (Sugiyanto, 2010: 1).
Daya tarik suatu pelajaran terletak pada dua hal yaitu oleh mata pelajaran itu
sendiri dan cara guru mengajar (Degeng dalam Sugiyanto, 2010:1).
Satu cara yang diterapkan untuk meningkatkan hasil belajar siswa
selama di kelas adalah penerapan model pembelajaran, dalam proses belajar
mengajar. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai
pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Model diartikan
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam
melakukan kegiatan (Syaiful Sagala, 2010: 62). Model pembelajaran guru
dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan,
cara berpikir, dan mengekspresikan ide (joyce dalam Agus Suprijono, 2011:
46) .
Penerapan model pembelajaran yang bervariasi sangat berpengaruh
terhadap hasil belajar siswa karena dengan menggunakan model
pembelajaran. Pusat pembelajaran bukan lagi terletak pada guru melainkan
pusat pembelajaran pada siswa. Siswa bukan lagi sebagai objek dalam
pembelajaran namun sebagai subjek pembelajaran. Model pembelajaran
yang dapat diterapkan oleh seorang guru dalam melatih peserta didik dalam
berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Dengan model pembelajaran guru akan dapat
mengembangkan keterampilan intelektual, sosial, dan personal siswa.
Pembelajaran yang melibatkan siswa akan menjadikan pembelajaran lebih
bermakna sehingga diharapkan materi dapat tersampaikan dengan
maksimal.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru
mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada
peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses
pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran yang tepat pada dasarnya
bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan
siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkan sehingga siswa dapat
meraih hasil belajar dan prestasi yang optimal.
Untuk dapat mengembangkan model pembelajaran yang efektif maka
setiap guru harus memiliki pengetahuan yang memadai berkenaan dengan
konsep dan cara-cara pengimplementasian model-model tersebut dalam
proses pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif memiliki keterkaitan
dengan tingkat pemahaman guru terhadap perkembangan dan kondisi siswa-
siswa di kelas. Demikian juga pentingnya pemahaman guru terhadap sarana
dan fasilitas sekolah yang tersedia, kondisi kelas dan beberapa faktor lain
yang terkait dengan pembelajaran. Tanpa pemahaman terhadap berbagai
kondisi ini, model yang dikembangkan guru cenderung tidak dapat
meningkatkan peran serta siswa secara optimal dalam pembelajaran, dan
pada akhirnya tidak dapat memberi sumbangan yang besar terhadap
pencapaian hasil belajar siswa.
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah pengertian dari model pembelajaran?
2. Bagaimana ciri-ciri model pembelajaran?
3. Apa sajakah jenis-jenis dari model pembelajaran?
4. Bagaimanakah penjelasan dari model-model pembelajaran?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari model pembelajaran.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dari model pembelajaran.
3. Untuk mengetahui macam-macam model pembelajaran
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber ilmu agar dapat lebih
memahami tentang model-model pembelajaran.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Meyer, (dalam Trianto, 2011: 22) mengemukakan bahwa
secara kaffah model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang
digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal. Sesuatu yang nyata dan
dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komperehensif. Sebagai contoh,
model pesawat yang terbang terbuat dari kayu, plastik, dan lem adalah model
nyata dari pesawat terbang.
Arends (1997) (dalam Trianto, 2011: 22) menyatakan bahwa istilah
model pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu
termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.
Model pembelajaran merupakan pedoman bagi guru dan murid dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar. Joyce dan Weil (1980) dalam (Rahman,
2012: 9) mendefinisikan model pembelajaran (model of teaching) adalah
suatu perencanaan yang digunakan dalammenyususn kurikulum, mengatur
materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelas dalam
setting pengajaran ataupun setting lainnya.
Kemp (1977) dalam (Rahman, 2012: 9) mengartikan model pembelajaran
merupakan suatu perencanaan pembelajaran (desain instrucsional) yang
digunakan dalam menentukan maksud dan tujuan setiap topik/pokok bahasan
(goals topics and purposes), menganalisis karakteristik warga belajar
(learner characteristics), menyusun tujuan instruksional khusus (learning
objectives), memilih isi pembelajaran (subject content), melakukan prates
(pre-assesment), melaksanakan kegiatan belajar mengajar/sumber
pembelajaran (teaching activities/resources), mengadakan dukungan
pelayanan (support services), melaksanakan evaluasi (evaluation), dan
membuat revisi (revise).
Baik Joyce dan Weil maupun Kemp sependapat bahwa model
pembelajaran merupakan suatu pola perencanaan pembelajaran yang
digunakan dalam proses belajar mengajar.
Menurut Soekamto, dkk (dalam Trianto, 2011: 22) maksud dari model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedman bagi para perancang
pembelajaran dan para penagajar dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar.
2.2 Ciri-ciri Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas
daripada strategi, metode atau prosedur. Model pengajaran memilki empat
ciri khusus, yaitu:
1. Rasional teoritis logis yang disusun oleh para pencipta atau
pengembangnya
2. Landasan pemikirian tentang apa dan bagaimana siswa belajar
(tujuan pembelajaran yang akan dicapai)
3. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat
dilaksanakan dengan berhasil
4. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu
dapat tercapai (Kardi, 2000: 9 dalam Trianto, 2011: 23).
Selain ciri-ciri khusus pada suatu model pembelajaran , menurut
Nieveen (1999) dalam (Trianto, 2011: 25) menyatakan bahwa suatu model
pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Sahih (valid)
Aspek validitas terkait dengan dua hal, yaitu:
a. Model yang dikembangkan didasarkan pada rasional
teroritis yang kuat
b. Terdapat konsistensi internal.
2. Praktis
Aspek kepraktisan hanya dapat dipenuhi jika para ahli dan praktisi
menyatakan bahwa apa yang dikembangkan dapat diterapkan; dan
kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dikembangkan tersebut
dapat diterapkan.
3. Efektif
Berkaitan dengan aspek efektivitas ini, Nieveen
memberikan parameter sebagai berikut:
a. Ahli dan praktisi berdasar pengalamannya menyatakan
bahwa model tersebut efektif;
b. Secara operasional model tersebut memberikan hasi sesuai
dengan yang diharapkan.
2.3 Jenis-jenis Model Pembelajaran secara Umum
Menurut Joyce dan Weil, rumpun model pembelajaran ada empat macam,
yakni sebagai berikut :
1. Model pemrosesan informasi (The information procesing family),
yaitu model pembelajaran yang menjelaskan cara individu memberi
respons rangsangan dari lingkungannya dengan cara
mengorganisaiskan data, memformulasikan masalah, membangun
konsep dan merencanakan pemecahan masalah, serta menggunakan
simbol-simbol verbal dan non-verbal. Model-model pembelajaran
yang termasuk dalam rumpun ini bertolak dari prinsip-prinsip
pengolahan informasi oleh manusia dengan memperkuat dorongan-
dorongan internal (datang dari dalam diri) untuk memahami dunia
dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya
masalah dan mengupayakan jalan keluarnya serta pengembangkan
bahasa untuk mengungkapkannya. Kelompok model ini menekankan
pada peserta didik agar memilih kemampuan untuk memproses
informasi sehingga peserta didik yang berhasil dalam belajar adalah
yang memiliki kemampuan dalam memproses informasi. Dalam
rumpun model pembelajaran ini terdapat 7 model pembelajaran, yaitu:
a. Model perolehan konsep, tokohnya adalah Jerome Brunner.
Pendekatan pembelajarn ini dikembangkan berdasarkan
karya Jerome Brunner, Jacqueline Goodnow, dan George Austin
Brunner. Goodnow dan Austin yakin bahwa lingkungan sekitar
manusia beragam dan sebagai manusia kita harus mampu
membedakan, mengkategorikan, dan menamakan semua itu.
Kemampuan manusia dalam membedakan, mengelompokkan, dan
menamakan sesuatu inilah yang menyebabkan munculnya sebuah
konsep.
Pendekatan pembelajaran konsep adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa memahami
suatu konsep tertentu. Pendekatan pembelajaran ini dapat
diterapkan untuk semua umur, dari anak-anak sampai orang
dewasa. Pendekatan ini lebih tepat digunakan ketika penekanan
pembelajaran lebih dititikberatkan pada mengenal konsep baru,
melatih kemampuan berpikir induktif, dan melatih berpikir
manusia.
Prosedur Pembelajaran
Suatu konsep diperoleh melalui tiga tahap. Pertama adalah
tahap kategorisasi, yaitu upaya mengkategorikan sesuatu yang
sama atau tidak sesuai dengan konsepyang diperoleh. Kemudian
masuk ke tahap selanjutnya (kedua), kategori yang tidak sesuai
disingkirkan dan kategori yang yang sesuai digabungkan sehingga
membentuk suatu konsep (consept formation). Setelah itu, suatu
konsep tertentu baru dapat disimpulkan (tahap ketiga). Tahap
terakhir inilah yang dimaksud dengan perolehan konsep.
Melalui model ini, perolehan konsep didasarkan pada
kondisi reseptif siswa dan sifatnya lebih langsung. Artinya, guru
lebih banyak memimpin. Model ini terdiri dari tiga tahapan
mengajar.
- Pertama, guru menyajikan data kepada siswa.
- Kedua, siswa menguji perolehan konsep mereka.
- Ketiga, mengajak siswa untuk menganalisis atau mendiskusikan
strategi sampei mereka dapat memperoleh konsep tersebut.
b. Model berpikir induktif, tokohnya adalah Hilda Taba.
Model pembelajaran berpikir induktif merupakan karya besar
Hilda Taba. Suatu strategi belajar yang dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam mengolah informasi,
secara singkat model ini merupakan strategi mengajar untuk
mengembangkan keterampilan berpikir siswa. Model ini
dikembangkan atas beberapa postulat berikut:
1. Kemampuan berpikir dapat diajarkan.
2. Berpikir merupakan suatu transaksi aktif antara individu dengan
data. Artinya, dalam setting kelas, bahan ajar merupakan sarana
bagi siswa untuk mengembangkan operasi kognitif tertentu. Dalam
setting tersebut, siswa belajar mengorganisasikan fakta ke dalam
suatu sistem konsep.
3. Proses berpikir mweupakan suatu urutan tahapan yang beraturan
(lawfull). Artinya, agar dapat menguasai keterampilan berpikir
tertentu, prasyarat tertentu harus dikuasi terllebih dahulu, dan
urutan tahapan ini tidak bisa dibalik. Oleh karena itu, konsep
tahapan beraturan ini memerlukan strategi mengajar tertentu agar
dapat mengendalikan tahapan-tahapan tersebut.
Prosedur Pembelajaran
Postulat yang diajukan Taba di atas menyatakan bahwa
keterampilan berpikir harus diajarkan dengan menggunakan
strategi khusus. Menurutnya, berpikir induktif melibatkan tiga
tahap dan karenanya ia mengembangan tiga strategi cara
mengajarnya.
Strategi 1: Pembentukan Konsep
Tahapan pertama dalam pembentukan konsep ini terdiri dari tiga
langkah, yaitu:
1. Mengidentifikasi data yang relevan dengan permasalahan
2. Mengelompokan data atas dasar kesamaan karakteristik
3. Membuat kategori serta member label pada kelompok-kelompok
data yang memiliki kesamaan karakteristik.
Strategi 2: Interprestasi Data
Strategi kedua ini merupakan cara mengajarkan bagaimana
menginterprestasi dan menyimpulkan data. Sama halnya dengan
strategi pertama (pembentukan konsep), cara ini dapat dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Strategi 3: Pembelajaran Prinsip
Strategi ketiga merupakan kelanjutan dari startegi pertama dan
kedua. Setelah siswa dapat merumuskan suatu konsep,
menginterprestasi, dan menyimpulkan data, selanjutnya mereka
diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip tertentu ke dalam
situasi permasalahan yang berbeda. Atau siswa diharapkan dapat
menerapkan suatu prinsip untuk menjelaskan suatu fenomena baru.
c. Model inquiry training, tokohnya adalah Richard Suchman.
Model pembelajaran ini dikembangkan oleh seorang tokoh
yang bernama Suchman. Suchman meyakini bahwa anak-anak
merupakan individu yang penuh rasa ingin tahu akan segala
sesuatu. Oleh karena itu, prosedur ilmiah dapat diajarkan secara
langsung kepada mereka.
Secara singkat, model ini bertujuan untuk melatih
kemampuan siswa dalam meneliti, menjelaskan fenomena, dan
memecahkan masalah secara ilmiah. Melali model ini, Suchman
juga ingin meyakinkan kepada siswa bahwa ilmu bersifat dinamis
dan tenttatif, karena ilmu berkembang terus-menerus.
Prosedur Pembelajaran
Tujuan utama dari mode ini adalah membuat siswa
menjalani suatu proses tentang bagaimana pengetahuan diciptakan.
Untuk mencapai tujuan ini, siswa dihadapkan pada sesuatu
(masalah) yang misterius, belum diketahui, tetapi manari. Namun,
perlu diingat bahwa masalah tersebut harus didasarkan pada suatu
gagasan yang memang dapat ditemukan (discoverable ideas),
bukan mengada-ada.
Terdapat lima langkah prosedur mengajarkan Inquiry
Training. Tahap pertama adalah siswa dihadapkan pada situasi
yang membingungkan (teka-teki). Tahap kedua dan ketiga adalah
pengumpulan data untuk verifikasi dan eksperimentasi. Verifikasi
(ada pada tahap kedua), merupakan proses dimana siswa menggali
informasi tentang peristiwa yang mereka alami. Sedangkan
eksperimen (percobaan) pada tahap ketiga merupakan proses
dimana guru memperkenalkan kepada siswa suatu unsure baru
pada suatu situasi tertentu untuk menunjukkan bahwa suatu
peristiwa dapat terjadi secara berbeda.
Tahap keempat adalah tahap merumuskan penjelasan atas
peristiwa yang telah dialami siswa. Langkah terakhir (tahap
kelima) adalah menganalisis proses penelitian yang telah mereka
lakukan.
d. Model scientific inquiry, tokohnya adalah Joseph J. Schwab.
e. Model penumbuhan kognitif, tokohnya adalah Piaget, Freud,
Irving Siel, dan Kohlberg.
Dirancang terutama untuk pembentukan kemampuan
berpikir/pengembangan intelektual pada umumnya, khususnya
berpikir logis, meskipun demikian kemampuan ini dapat
diterapkan pada kehidupan sosial dan pengembangan moral.
f. Model advance organizer, tokohnya adalah David Ausubel.
Dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengolah
informasi melalui penyajian materi beragam (ceramah,
membaca, dan media lainnya) dan menghubungkan pengetahuan
baru dengan struktur kognitif yang telah ada.
g. Model memory, tokohnya antara lain, Harry Lorayne dan Jerry
Lucas.
Strategi belajar untuk mengingat dan mengasimilasi
informasi.
2. Model pribadi (the personal family), yaitu model pembelajaran
yang mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau orang
lain, dan memusatkan perhtiannya pada proses realitas yang ada
dipandang sebagai negosiasi sosial. Rumpun model personal bertolak
dari pandangan kedirian atau “selfhood” dari individu. Proses pendidikan
sengaja diusahakan yang memungkinkan seseorang dapat memahami diri
sendiri dengan baik , sanggup memikul tanggung jawab untuk
pendidikan dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih
baik. Penggunaan model-model pembelajaran dalam rumpun personal ini
lebih memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha
menggalakkan kemandirian yang produktif sehingga manusia menjadi
semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. Dalam rumpun
model personal ini terdapat 5 model pembelajaran, yang terdapat dalam
tabel berikut :
Tabel 1.1 Model-Model Pembelajaran Personal (Pribadi)
No. Nama Model
PembelajaranTokoh Misi/tujuan/manfaat
1 Pengajaran Non
Direktif
Carl
Rogers
Penekanan pada pembentukan kemampuan
belajar sendiri untuk mencapai pemahaman
dan penemuan diri sendiri sehingga
terbentuk konsep diri. Model ini
menekankan pada hubungan guru-peserta
didik.
2. Latihan
Kesadaran
Fritz Perls
William
Schutz
Pembentukan kemampuan menjajagi dan
menyadari pemahaman diri sendiri.
3 Sinektik William
Gordon
Pengembangan individu dalam hal
kreativitas dan pemecahan masalah kreatif.
4 Sistem
Konseptual
David Hunt Didisain untuk meningkatkan kompleksitas
pribadi dan fleksibilitas.
5 Pertemuan kelas William
Glasser
Pengembangan pemahaman diri dan
tanggungjawab pada diri sendiri dan
kelompok sosial lainnya.
(Sumberi Bruce Joyce dan Marha Weil, 1980, Models of Teaching, )
3. Model interaksi sosial (the social family), yaitu model pembelajaran
yang mengutamakan hubungan individu dengan masyarakat atau
orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses realitas yang
ada dan dipandang sebagai negosiasi sosial. Penggunaan rumpun
model interaksi sosial ini menitik beratkan pada pengembangan
kemampuan kerjasama dari para siswa. Model pembelajaran rumpun
interaksi sosial didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu (a) masalah-
masalah sosial diidentifikasi dan dipecahkan atas dasar dan melalui
kesepakatanm-kesepakatan yang diperoleh di dalam dan dengan
menggunakan proses-proses sosial, dan (b) proses sosial yang
demokratis perlu dikembangkan untuk melakukan perbaikan
masyarakat dalam arti seluas-luasnya secara build-in dan terus
menerus. Dalam rumpun model interaksi sosial ini terdapat 5 model
pembelajaran, yang ditunjukkan pada tabelberikut :
Tabel 1.2. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial
No. Nama Model
Pembelajaran
Tokoh Misi/tujuan
1 Kerja
kelompok.
(investigation
group)
Herbert
Thelen
John Dewey
Mengembangkan
keterampilanketerampilan untuk
berperan dalam kelompok yang
menekankan keterampilan komunikasi
interpersonal dan keterampilan inkuari
ilmiah. Aspek-aspek pengembangan
pribadi merupakan hal yang penting dari
model ini.
2. Inkuari Sosial Byron
Massialas
Benjamin
Cox
Pemecahan masalah sosial, utamanya
melalui inkuari ilmiah dan penalaran
logis.
3 Jurisprudential National
Training
Laboratory
Bethel,Main
e
Donald
Oliver
James
P.Shaver
Pengembangan keterampilan
interpersonal dan kerja kelompok untuk
mencapai, kesadaran, dan fleksibilitas
pribadi. Didisain utama untuk melatih
kemampuan mengolah informasi dan
menyelesaikan isu kemasyarakatan
dengan kerangka acuan atau cara
berpikir Jurisprudensial (ilmu tentang
Hokum-hukum manusia).
4 Role playing
(Bermain
peran)
Fannie
Shaftel
George
Shafted
Didisain untuk mengajak peserta didik
dalam menyelidiki nilai-nilai pribadi dan
sosial melalui tingkah laku mereka
sendiri dan nilai-nilai yang menjadi
sumber dari penyelidikan itu
5 Simulasi Sosial Sarene
Boocock,
Didisain untuk membantu pengalaman
peserta didik melalui proses sosial dan
realitas dan untuk menilai reaksi mereka
terhadap proses-proses sosial tersebut,
juga untuk memperoleh konsep-konsep
dan keterampilan-keterampilan
pengambilan keputusan.
(Sumber: Bruce Joyce dan Marha Weil, 1980, Models of Teaching)
4. Model perilaku (the behavioral models), yaitu model pembelajaran
yang dibangun atas dasar teori yang umum, yakni teori perilaku.
Rumpun model system perilaku mementingkan penciptaan
sistem lingkungan belajar yang memungkinkan penciptaan sistem
lingkungan belajar yang memungkinkan manipulalsi penguatan
tingkah laku (reinforcement) secara efektif sehingga terbentuk pola
tingkah laku yang dikehendaki. Model ini memusatkan perhatian pada
perilaku yang terobservasi dan metode dan tugas yang diberikan
dalam rangka mengkomunikaksikan keberhasilan. Dalam rumpun
model sistem perilaku ini terdapat 7 model pembelajaran, yang
ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 1.3. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku
No. Nama Model Tokoh Misi/tujuan
1 Contingency
Management
(manajemen dari
akibat /
hasilperlakuan)
B.F.
Skinner
Fakta-fakta, konsep-konsep dan
Keterampilan
2 Self Conrol B.F.
Skinner
Perilaku sosial/ keterampilan-
keterampilan
3 Relaksasi Rimm &
Masters
Wolpe
Tujuan-tujuan pribadi
4 Stress Reduction
(pengurangan stres)
Rimm &
Masters
Cara relaksasi untuk mengatasi
kecemasan dalam situasi sosial
5 Assertive Training
(Latihan
berekspresi)
Wolpe,
lazarus,
Salter
Menyatakan perasaan secara
langsung dan spontan dalam
situasi sosial
6 Desensititation Wolpe Pola-pola perilaku, keterampilan–
keterampilan
7 Direct training Gagne
Smith &
Smith
Pola tingkah laku, keterampilan-
keterampilan.
(Sumber: Bruce Joyce dan Marha Weil, 1980, Models of Teaching)
2.4 Model-Model Pembelajaran Lainnya
1. Model Pembelajaran Terpadu
Menurut Joni,T.R(1996: 3), pembelajaran terpadu merupakan suatu
system pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual
maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta
prinsip keilmuan secara holistik, bermakan dan otentik.
Menurut Hadisubroto (2000: 9), pembelajaran terpadu adalah
pembelajaran yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu
yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang
dikaitkan dengan pokok bahasan lain, konsep tertentu dikaitkan dengan
konsep lain, yang dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam
satu bidang studi atau lebih, dan dengan beragam pengalaman belajar
anak, maka pembelajaran lebih bermakna.
Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep dapat dikatakan
sebagai suatu pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa
bidang studi untuk memberikan pengalaman bermakna kepada peserta
didik. Dikatakan bermakna karena dalam pengajaran terpadu, anak akan
memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melaui pengamatan
langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang mereka
pahami.
Secara umum prinsip-prinsip pembelajaran terpadu dapat
diklasifikasikan menjadi prinsip penggalian tema, prinsip pengelolaan
pembelajaran, prinsip evaluasi dan prinsip reaksi.
a. Prinsip Penggalian Tema
Prinsip penggelian tema merupakan prinsip utama dalam
pembelajaran terpadu. Dalam penggealian tema, hendaklah
memerhatikan beberapa persyaratan berikut :
1. Tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat
digunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran.
2. Tema harus bermakna, maksudnya adalah tema yang dipilih untuk
dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya.
3. Tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis
anak.
4. Tema dikembangkan harus mewadahi sebagian besar minat anak.
5. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-
peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar.
6. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang
berlaku serta harapan masyarakat (asas relevansi).
7. Tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan ketersediaan
sumber belajar.
b. Prinsip Pengelolaan Pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran dapat optimal apabila guru mampu
menempatkan dirinya dalam keseluruhan proses. Menurut prabowo
(2000), bahwa dalam pengelolaan pembelajaran hendaklah guru dapat
berlaku sebagai berikut :
1. Guru hendaknya jangan menjadi single actor yang mendominasi
pembicaraan dalam proses belajar mengajar.
2. Pemberian tanggung-jawab individu dan kelompok harus jelas
dalam setiap tugas yang menuntuk adanya kerja sama kelompok.
3. Guru perlu mengakomodasi terhadap ide-ide yang terkadang sama
sekali tidak terpikirkan dalam perencanaan.
c. Prinsip Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui hasil suatu kerja. Dalam
melaksanakan evaluasi pembelajaran terpadu diperlukan beberapa
langkah-langkah, yaitu sebagai berikut :
1. Memeberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri
(self evaluation/self assessment) di samping bentuk evaluasi lainnya.
2. Guru perlu mengajak para siswa untuk mengevaluasi perolehan
belajar yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan
pencapaian tujuan yang akan dicapai.
d. Prinsip Reaksi
Guru harus bereaksi terhadap aksi siswa dalam semua peristiwa
serta tidak mengarahkan aspek yang sempit melainkan ke suatu
kesatuan yang utuh dan bermakna.
Menurut Depdikbud (1996: 3), pembelajaran terpadu sebagai suatu
proses mempunyai beberapa karakteristik yaitu
1. Holistik
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa untuk memahami suatu
fenomena dari segala sisi. Sehingga dapat membuat siswa menjadi
lebih arif dan bijak dalam menyikapi atau menghadapi kejadian yang
ada di depan mereka.
2. Bermakna
Pengkajian suatu fenomena dari berbagi macam aspek,
memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar konsep-konsep
yang berhubungan, disebut skemata. Hal ini akan berdampak pada
kebermaknaan dari materi yang dipelajari.
3. Otentik
Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami secara
langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan
belajar secara langsung. Mereka memahami dari hasil belajarnya
sendiri, bukan sekedar pemberitahuan guru. Informasi dan
pengetahuan yang diperoleh sifatnya menjadi lebih otentik.
4. Aktif
Pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam
pembelajaran, baik secara fisik, mental, intelektual, maupun
emosional guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan
mempertimbangkan hasrat, minat dan kemampuan siswa sehingga
mereka termotivasi untuk terus menerus belajar.
Langkah-langkah pembelajaran terpadu :
1. Tahap Perencanaan
a. Menentuka kompetensi dasar
b. Menentukan indicator dan hasil belajar
2. Langkah yang ditempuh guru:
a. Menyampaikan konsep pendukung tang harus dikuasai siswa
b. Menyampaikan konsep-konsep pokok yang akan dikuasasi oleh
siswa
c. Menyampaikan keterampilan proses yang akan dikembangkan
d. Menyampaikan alat dan bahan yang dibutuhkan
e. Menyampaikan pertanyaan kunci
3. Tahap Pelaksanaan
a. Pengelolaan kelas, dimana kelas dibagi dalam beberap kelompok
b. Kegiatan proses
c. Kegiatan pencatatan data
d. Diskusi
4. Evaluasi
1. Evaluasi proses
a) Ketepatan hasil pengamatan
b) Ketepatan penyusunan alat dan bahan
c) Ketapatan menganalisis data
2. Evaluasi hasil
Penguasaan konsep-konsep sesuai indikator yang telah
ditetapkan
3. Evaluasi Psikomotorik
Penguasaan penggunaan alat ukur
Prinsip utama yang dikembangkan dalam pembelajaran
terpadu adalah Developmentally Appropriate Practice (DAP). Dalam
DAP ini dinyatakan bahwa pembelajaran harus disesuaikan dengan
perkembangan usia dan individu yang meliputi perkembangan
kognisi, emosi, minat dan bakat siswa. Pembelajaran terpadu juga
dilandasi oleh landsan normatif dan landasan praktis. Landasan
normatif menghendaki bahwa pembelajaran terpadu hendaknya
dilaksanakan berdasarkan gambaran ideal yang ingin dicapai oleh
tujuan-tujuan pembelajaran. Sedangkan landasan praktis,
mengharapkan bahwa pembelajaran terpadu dilaksanakan dengan
memerhatikan situasi dan kondisi praktis yang berpengaruh terhadap
kemungkinan pelaksanaannya mencapai hasil yang optimal.
2. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Dari sisi etimologi Jigsaw berasal dari bahasa ingris yaitu
gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah Fuzzle,
yaitu sebuah teka teki yang menyususn potongan gambar. Pembelajaran
kooperatif model jigsaw ini juga mengambil pola cara bekerja sebuah
gergaji jigsaw), yaitu siswa melakukan sesuatu kegiatan belajar dengan
cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.
Model pemebelajaran kooperatif model jigsaw adalah sebuah
model belajar kooperatif yang menitik beratkan kepada kerja kelompok
siswa dalam bentuk kelompok kecil , seperti yang diungkapkan Lie
( 1993: 73), bahwa pembelajaran kooperatif model jigsaw ini
merupakan model belajar kooperatif dengan cara siswa belajar dalam
kelompok kecil yang terdiri atas empat sampai dengan enam orang
secara heterogen dan siswa bekerja sama salaing ketergantungan positif
dan bertanggung jawab secara mandiri. Dalam model pembelajaran
jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk mengemukanakan
pendapat, dan mengelolah informasi yang didapat dan dapat
meningkatkan keterampilan berkomunikasii, anggota kelompok
bertanggung jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan
bagian materi yang dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada
kelompoknya.( Rusman, 2008.203)
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Menurut
Rusman (2008 : 205) pembelajaran model jigsaw ini dikenal juga
dengan kooperatif para ahli. Karena anggota setiap kelompok
dihadapkan pada permasalahan yang berbeda. Namun, permasalahan
yang dihadapi setiap kelompok sama, kita sebut sebagai team ahli yang
bertugas membahas permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya, hasil
pembahasan itu di bawah kekelompok asal dan disampaikan pada
anggota kelompoknya. Kegiatan yang dilakukan sebagai berikut:
1. Melakukan mambaca untuk menggali imformasi. Siswa
memeperoleh topik -topik permasalahan untuk di baca sehingga
mendapatkan imformasi dari permasalahan tersebut
2. Diskusi kelompok ahli. Siswa yang telah mendapatka topik
permasalahan yang samabertemu dalam satu kelompokataqu kita
sebut dengan kelompok ahli untuk membicarakan topic
permasalahan tersebut.
3. Laporan kelompok, kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan
menjelaskan dari hasil yang didapat dari diskusi tim ahli.
4. Kuis dilakukan mencakup semua topik permasalahan yang
dibicarakan tadi.
5. Perhitungan sekor
6. kelompok dan menetukan penghargaan kelompok.
Sedangkan menurut Stepen, Sikes and Snapp (1978 ) yang dikutip
Rusman (2008), mengemukakan langkah-langkah kooperatif model
jigsaw sebagai berikut:
1. Siswa dikelompokan sebanyak 1 sampai dengan 5 orang siswa.
2. Tiap orang dalam team diberi bagian materi berbeda
3. Tiap orang dalam team diberi bagian materi yang ditugaskan
4. Anggota dari team yang berbeda yang telah mempelajari bagian
sub bagian yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok
ahli) untuk mendiskusiksn sub bab mereka.
5. Setelah selesai diskusi sebagai tem ahli tiap anggota kembali
kedalam kelompok asli dan bergantian mengajar teman satu tem
mereka tentang subbab yang mereka kusai dan tiap anggota lainnya
mendengarkan dengan seksama,
6. Tiap tem ahli mempresentasikan hasil diskusi
7. Guru memberi evaluasi
8. Penutup
3. Model Pembelajaran Discovery Learning
Model Discovery Learning adalah didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran
dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri.
Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be
defined as the learning that takes place when the student is not presented
with subject matter in the final form, but rather is required to organize it
him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103). Ide dasar Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
dalam belajar di kelas.
Model Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan
hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu
terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan
beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi,
klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi. Proses tersebut
disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the
mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert
B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri
(inquiry). Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada kedua istilah ini, pada
Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau
prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery
ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa
semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri
masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan
seluruh pikiran dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan
di dalam masalah itu melalui proses penelitian.
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan
sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman,
2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar
yang teacher oriented menjadi student oriented. Dalam metode Discovery
Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut
untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan.
Berdasarkan fakta dan hasil pengamatan, penerapan pendekatan
Discovery Learning dalam pembelajaran memiliki kelebihan-kelebihan
dan kelemahan-kelemahan, antara lain :
1) Kelebihan Penerapan Discovery Learning.
Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-
keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan
kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui model ini sangat pribadi dan
ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa
menyelidiki dan berhasil.
Model ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai
dengan kecepatannyasendiri.
Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
Membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif
mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak
sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
Membantu siswa menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi
proses belajar yang baru.
Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada
pembentukan manusia seutuhnya.
Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis
sumber belajar.
Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
2) Kelemahan Penerapan Discovery Learning.
Menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi
siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau
berpikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang
tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan
frustasi.
Tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan
teori atau pemecahan masalah lainnya.
Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-
cara belajar yang lama.
Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan
pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan
dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk
mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berpikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.
Langkah-langkah Operasional Implementasi dalam Proses
Pembelajaran
Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan Discovery
Learning di kelas,ada beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam
kegiatan belajar mengajar secara umum antara lain sebagai berikut :
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi
generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di
samping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan
pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis
(jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah 2004:244).
Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban
sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis
permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna
dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu
masalah.
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan
kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya
yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah,
2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan
(collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur,
mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba
sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar
secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan
permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja
siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya,
semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu
dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan
pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep
dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu
mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan
temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah,
2004:244). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar
akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang
ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu
kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik
sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk
semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil
verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka
dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik
kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang
menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah
atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang,
serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-
pengalaman itu.
Penilaian pada Model Pembelajaran Discovery Learning.
Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat
dilakukan dengan menggunakan tes maupun nontes, sedangkan penilaian
yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau
penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penilaiannya berupa penilaian
kognitif, maka dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk penilaiannya
menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa
dapat menggunakan nontes.
4. Model PembelajaranContextual Teaching Learning
Menurut Nur Hadi CTL adalah konsep belajar yang mendorong
guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia
nyata siswa.
Menurut Jonhson CTL adalah sebuah proses pendidikan yang
bertujuan untuk menolong para siswa melihat siswa melihat makna
didalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara
menghubungkan subyek-subyek akademik dengan konteks dalam
kehidupan keseharian mereka.
Jadi pengertian CTL dari pendapat para tokoh-tokoh diatas dapat
kita simpulkan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru
mengkaitkan antara materi yang diajarkanya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan Model Pembelajaran CTL:
1. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk memotivasi siswa untuk
memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-
hari sehingga siswa memiliki pengetahuan atu ketrampilan yang secara
refleksi dapat diterapkan dari permasalahan kepermasalahan lainya.
2. Model pembelajaran ini bertujuan agar dalam belajar itu tidak hanya
sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman
3. Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat
pengalaman siswa.
4. Model pembelajaran CTL ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat
berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar dapat
menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya
sendiri dan orang lain
5. Model pembelajaran CTL ini bertujun agar pembelajaran lebih produktif
dan bermakna
6. Model pembelajaran nodel CTL ini bertujuan untuk mengajak anak pada
suatu aktivitas yang mengkaitkan materi akademik dengan konteks
jehidupan sehari-hari
7. Tujuan pembelajaran model CTL ini bertujuan agar siswa secara indinidu
dapat menemukan dan mentrasfer informasi-informasi komplek dan siswa
dapat menjadikan informasi itu miliknya sendiri.
Kelebihan dan Kelemahan
1. Kelebihan dari model pembelajaran CTL
a. Memberikan kesempatan pada sisiwa untuk dapat maju terus sesuai
dengan potensi yang dimiliki sisiwa sehingga sisiwa terlibat aktif dalam
PBM.
b.Siswa dapat berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data,
memahami suatu isu dan memecahkan masalah dan guru dapat lebih
kreatif
c. Menyadarkan siswa tentang apa yang mereka pelajari.
d. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa tidak ditentukan oleh
guru.
e. Pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan.
f. Membantu siwa bekerja dengan efektif dalam kelompok.
g.Terbentuk sikap kerja sama yang baik antar individu maupun kelompok.
2. Kelemahan dari model pembelajaran CTL
a. Dalam pemilihan informasi atau materi dikelas didasarkan pada
kebutuhan siswa padahal,dalam kelas itu tingkat kemampuan siswanya
berbeda-beda sehinnga guru akan kesulitan dalam menetukan materi
pelajaran karena tingkat pencapaianya siswa tadi tidak sama
b.Tidak efisien karena membutuhkan waktu yang agak lama dalam PBM
c. Dalam proses pembelajaran dengan model CTL akan nampak jelas
antara siswa yang memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang memiliki
kemampuan kurang, yang kemudian menimbulkan rasa tidak percaya diri
bagi siswa yang kurang kemampuannya
d. Bagi siswa yang tertinggal dalam proses pembelajaran dengan CTL ini
akan terus tertinggal dan sulit untuk mengejar ketertinggalan, karena
dalam model pembelajaran ini kesuksesan siswa tergantung dari keaktifan
dan usaha sendiri jadi siswa yang dengan baik mengikuti setiap
pembelajaran dengan model ini tidak akan menunggu teman yang
tertinggal dan mengalami kesulitan.
e. Tidak setiap siswa dapat dengan mudah menyesuaikan diri dan
mengembangkan kemampuan yang dimiliki dengan penggunaan model
CTL ini.
f. Kemampuan setiap siswa berbeda-beda, dan siswa yang memiliki
kemampuan intelektual tinggi namun sulit untuk mengapresiasikannya
dalam bentuk lesan akan mengalami kesulitan sebab CTL ini lebih
mengembangkan ketrampilan dan kemampuan soft skill daripada
kemampuan intelektualnya.
g. Pengetahuan yang didapat oleh setiap siswa akan berbeda-beda dan
tidak merata.
h. Peran guru tidak nampak terlalu penting lagi karena dalam CTL ini
peran guru hanya sebagai pengarah dan pembimbing, karena lebih
menuntut siswa untuk aktif dan berusaha sendiri mencari informasi,
mengamati fakta dan menemukan pengetahuan-pengetahuan baru di
lapangan
5. Model Pembelajaran Learing Cycle
Slavin (2005:187) mengatakan bahwa pada dasarnya para siswa
memasuki kelas dengan pengetahuan, ketrampilan dan motivasi yang
berbeda-beda dari rumah. Ketika guru memberikan suatu materi pelajaran
dalam kelas, siswa dalam menerima pelajaran tersebut ada yang cepat dan
ada yang lambat. Untuk mengatasi masalah perbedaan kecepatan siswa
dalam menerima materi dalam kelas dapat digunakan model pembelajaran
Leaning Cycle.
LC (Learning Cycle) ,yaitu suatu model pembelajaran yang
berpusat pada pebelajar (student centered). LC (Learning Cycle) patut
dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al,
1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan
bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi:
struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi
mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-
masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang
dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual
yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995).
Ciri khas model pembelajaran LC(Learning Cycle) ini adalah
setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan guru yang kemudian hasil belajar individual dibawa ke
kelompok-kelompok untuk didiskusikan oleh anggota kelompok, dan
semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban
sebagai tanggung jawab bersama. Kelebihan model pembelajaran LC
(Learning Cycle) meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar
dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran., dapat memberikan
kondisi belajar yang menyenangkan, meningkatkan ketrampilan sosial dan
aktivitas siswa, membantu siswa dalam memahami dan menguasai
konsep-konsep fisika yang telah dipelajari melalui kegiatan atau belajar
secara berkelompok, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar fisika
siswa. Sehingga, Model pembelajaran LC (Learning Cycle) ini cocok
diterapkan dalam pembelajaran fisika karena dapat mengatasi kesulitan
belajar siswa secara individu untuk memahami konsep karena lebih
banyak digunakan untuk pemecahan masalah.
Menurut Piaget (1989) model pembelajaran LC (Learning Cycle (5
E)) pada dasarnya memiliki lima fase yaitu:
1. Engagement (Undangan)
Bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam
menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan
awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini
minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan
diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak
membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan
dibuktikan dalam tahap eksplorasi.
2. Exploration (Eksplorasi)
Siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-
kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji
prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui
kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur.
3. Explanation (Penjelasan)
Guru mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat
mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan
mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan
istilah-istilah dari konsep yang dipelajari.
4. Elaboration (Pengembangan)
Siswa mengembangkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru
melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving.
5. Evaluation (Evaluasi)
Pengajar menilai apakah pembelajaran sudah berlangsung baik
dengan jalan memberikan tes untuk mengukur kemampuan siswa setelah
menerima materi pelajaran.
Gambar 1. Langkah-langkah Daur Belajar (Sumber: Johnston, 2001)
Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran
bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya
mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan
memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari.
Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam
pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.
LC (Learning Cycle) ,yaitu suatu model pembelajaran yang
berpusat pada pebelajar (student centered). LC (Learning Cycle) patut
dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al,
1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. LC melalui kegiatan
dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun
konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan
fisik maupun sosial.
Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan
kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna
dengan bekerja dan berpikir.Pengetahuan di konstruksi dari pengalaman
siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa.
Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang
merupakan pemecahan masalah.(Hudojo,2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer
pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme,
tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada
keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran
demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar
menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh
pebelajar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-
hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang
implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan
model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa
(Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004).
BAB III
KESIMPULAN
Model pembelajaran merupakan pedoman bagi guru dan murid dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar, model pembelajaran juga dapat dijadikan acuan dalam
melakukan perencanaan pembelajaran, menganalisis karakteristik warga belajar,
menyusun tujuan instruksional khusus, memilih isi pembelajaran, melakukan
prates, melaksanakan kegiatan belajar mengajar/sumber pembelajaran,
mengadakan dukungan pelayanan, melaksanakan evaluasi, dan membuat revisi.
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri umum yaitu sahih, praktis dan efektif.
Terdapat banyak jenis-jenis dan contoh-contoh dari model pembelajaran yang
dapat diaplikasikan oleh pendidik dalam proses pembelajaran. Dari sekian banyak
model-model pembelajaran tersebut, memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing.
Daftar Pustaka
B. Uno, Hamzah. 2007. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar
Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Fadhly.(......) MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK JIGSAW.
Tersedia online http://sumsel.kemenag.go.id/file/dokumen/modeljigsaw.pdf [15
Oktober 2015]
Joyce, B. & Weil, M. 1980. Models of Teaching (2nd ). USA: Prentice-Hall, Inc.
Joyce, B. dkk. 2009. Models of Teaching (Edisi kedelapan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar:
Rahman. (2012). Model Mengajar dan Bahan Pembelajaran. Bandung: Alqaprint
Rosdakarya. Permana, J. dan Sumantri, M. ( 1998/1999 ). Strategi Belajar
Mengajar . Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud
Trianto. (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,
Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group