Download - Kejang Pada Anak
Pendahuluan Kejang atau bangkitan adalah gangguan neurologi yang sering pada anak. Hal
ini terlihat bahwa sekitar 10% anak menderita paling tidak satu kali kejadian kejang
dalam 16 tahun pertama hidupnya. Penderita tertinggi ditempati oleh anak yang
berusia kurang dari tiga tahun. Data epidemiologi menunjukkan sekitar 150.000 anak
mendapatkan kejang dan 30.000 diantaranya berkembang menjadi status epilepsi.1
Kejang atau bangkitan didefinisikan sebagai kejadian mendadak yang berupa
kesadaran terganggu, binggung, gerakan otot abnormal yang sifatmya involunter.2
Definisi klasik dari epilepsi mengacu pada kejang terus menerus atau berulang yang
berlangsung lebih dari 30 menit tanpa pemulihan kesadaran. Selama kejang, aliran
darah otak, oksigen, konsumsi glukosa, karbon dioksida dan produksi asam laktat
meningkat. Kejang singkat jarang menghasilkan efek yang berlangsung pada otak.
Kejang yang berkepanjangan dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia,
hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi inin dapat menyebabkan kerusakan neurologis
permanen.3
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang
gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah
mengalami sekali kejang selama hidupnya.
Kejang penting sebagai suatu tanda
adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang
mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan
lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakti berat, atau cenderung menjadi
status epileptikus. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena
diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan
kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal
dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau
bkuan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang
demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan
elektrolit, dan overdosis obat.4 Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada
fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena
manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien
dengan kejang aktif.2
Salah satu bentuk kejang yang sering dijumpai pada anak adalah
kejang demam. Kejang demam adalah kejang disertai demam (suhu ≥ 100.4° F atau
38°C), tanpa infeksi sistem saraf, yang terjadi pada bayi dan anak-anak 6 sampai 60
bulan. Kejang demam terjadi pada 2% sampai 5% dari semua anak-anak, dengan
demikian menjadi bentuk yang paling umum terjadi. Pada tahun 1976, Nelson dan
Ellenberg, menggunakan data dari National Collaborative Perinatal Project dan
ditetapkan bahwa kejang demam diklasifikasikan sebagai simpleks atau kompleks.
Kejang demam simpleks didefinisikan sebagai kejang yang terjadi setelah demam,
yang berlangsung selama kurang dari 15 menit dan tidak berulang dalam waktu 24
jam. Kejang demam kompleks didefinisikan sebagai kejang fokal, berlangsung lebih
dari 15 menit, dan atau berulang dalam waktu 24 jam. Anak-anak yang mengalami
kejang demam simpleks tidak terbukti meningkat risiko kematiannya, hemiplegia,
atau keterbelakangan mental. Sebuah konsensus pada tahun 1980 dari National
Institutes of Health menyimpulkan bahwa kejang demam simpleks memiliki
prognosis yang sangat baik.
Etologi
Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari jaringan
neuroglia. Berbagai gangguan fungsi otak atau homeostasis dapat menyebabkan
kejang (tabel 1). Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk
tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi.
Adapun etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada tabel 1.
Penyebab kejang
Kondisi Perinatal
Malformasi serebral
Infeksi intrauterine
Hipoksik iskemik*
Trauma
Perdarahan*
Infeksi
Ensefalitis*
Meningitis*
Abses otak
Kondisi Metabolik
Hipoglikemia*
Hipoksemia
Hipomagnesemia
Hiponatremia
Storage disease
Sindrom reye
Penyakit neuro degenerative
Porfiria
Ketergantungan dan defisiensi piridoksin
Keracunan
Timbal
Kokain
Toksisitas obat
Putus obat
Penyakit Sistemik
Vaskulitis (SSP atau Sistemik)
SLE
Ensefalopati hipertensi
Gagal ginjal
Ensefalopati hepatic
Penyakit / kondisi penyebab lain
Trauma*
Tumor
Demam*
Idiopatik*
familial
* Sering dijumpai
Tabel 1. Penyebab kejang
Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau
otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak.
Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang berulang
lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran Mekanisme dasar terjadinya
kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan
mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama
melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh;
1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan
muatan listrik yang berlebihan
2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino but irat
[GABA]
3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena
proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat
ilnhibisi yang tidak sempurna.
Kriteria Kejang
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
penunjang, sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang
atau serangan yang menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada
gambar 1 :
gambar 1: kriteria kejang.Manifestasi Klinis
Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat diklasifikasikan
menjadi6 :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan
satu hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum
pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan
pada anak berusia 3 hingga 13 tahun8. Kejang parsial dapat dikelompokkan
menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan
perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas
motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang
terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan
perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari
sensorik, autonom, dan psikis
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang
umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik.
Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang
umum dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba,
namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau
sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi
kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot
yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau
inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan
menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada
ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama episode
kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang
berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik.
Anak tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat
rigiditas otot yang progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh
secara tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat
terjadi hingga ratusan kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau
disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang
absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara
tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai
dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode
kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini
jarang dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens
atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa
ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan
kesadaran7.
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang
tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.
Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia 1
tahun6.
Diagnosis
Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian sebelum episode kejang terjadi :
Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti
keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau –
bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara,
mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak
mengkonsumsi obat – obatan tertentu?
Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak
sedang demam sebelum kejang terjadi?
Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu
sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala,
beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian saat episode kejang terjadi :
Berapa lama kejang berlangsung?
Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang
terjadi?
Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar
atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal
Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau
anak tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda
vital meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh harus
diperiksa, karena demam merupakan penyebab utama kejang pada anak –
anak. Periksa kepala apakah ada kelainan bentuk, tanda – tanda trauma kepala,
serta tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa leher apakah
terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh juga penting
dilakukan.
Pemeriksaan Penunjang
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien
yang tepat sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu
dalam mempertajam diagnosis dari kejang tersebut. Pemeriksaan penunjang
yang dapat di lakukan adalah :
1. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan
hemodinamik yang tidak stabil. Sangat dipertimbangkan untuk
melakukan pungsi lumbal pada anak kurang dari 12 bulan dan anak
kurang dari 18 bulan. Pungsi lumbal dianjurkan pada :
- Anak yang telah menerima antibiotik sebelum kejang dan
didiagnosa sebagai meningitis, dalam kasus ini dilakukan pungsi
lumbal tanpa memandang usia. Bahkan jika pungsi lumbal
dilakukan dan hasilnya negatif, dapat dipertimbangkan untuk
pemberian pengobatan meningitis, karena cairan cerebrospinal
(CSF) mungkin normal pada fase awal perjalanan penyakit
meningitis.1
- Iritasi meningens didefinisikan sebagai adanya Brudzinski sign
(fleksi leher menyebabkan fleksi dari pinggul pasien dan lutut),
Kernig sign (nyeri muncul ketika adanya fleksi 90◦ dari fleksi
sendi pinggul dan ekstensi sendi lutut), kaku kuduk yaitu
kekakuan leher pada anak yang lebih tua dari usia 1 tahun. Pada
anak-anak berusia kurang dari 1 tahun, tanda-tanda iritasi
meningens adalah tanda-tanda di atas atau rasa gelisah atau rewel
selama manipulasi kepala atau kaki oleh dokter dan atau
menggembungnya fontanel. Perlu ditekankan bahwa tanda-tanda
klinis meningitis tidak sensitif dan jika klinisi curiga bahwa
meningitis positif, pungsi lumbal tidak boleh ditunda sampai
tanda-tanda ini muncul.1
2. Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode
kejang demam sederhana, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada
fitur klinis dari gangguan neurologis, misalnya mikrosefali atau
makrosefali, defisit neurologis yang sudah ada, defisit neurologis
post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa jam, atau ketika ada
kejang demam berulang yang kompleks, atau kejang yang dicurigai
bukan kejang demam Magnetic Resonance Imaging lebih sensitif
dibandingkan Computed Tomography untuk mendeteksi proses
intrakranial yang dapat menyebabkan kejang.1
3. Electroencephalography (EEG)
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada
anak-anak dengan kejang demam. EEG sendiri memiliki
sensitivitas yang rendah pada anak di bawah usia tiga tahun dengan
kejang dan peran yang terbatas dalam diagnosis gangguan
ensefalopatik akut.1
Diagnosis Banding
Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus
segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah
yang dialami seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah
beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur,
penderita tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop
biasanya terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri.
Sedangkan kejang terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja.
2. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak –
anak, biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells
terjadi pada 5% anak – anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe
dari Breath holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic
spell dan pallid spell. Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan
menahan napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai
dengan gerakan seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan
rangsangan nyeri, diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan
kesadaran yang singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang
sering diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur
tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang
abnormal dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang
terjadi. Tics adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian
tubuh manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat
ditekan kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh
yang berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas
normal. Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh
secara involunter dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis.
6. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal
movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang
sebenarnya dan sering terjadi pada anak – anak dengan riwayat epilepsi.
7. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat
karaterisktik perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak
usia sebelum masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun dari tidurnya, diikuti
dengan menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke
tidurnya dan tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleepwalking atau
somnabulisme dapat ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari
tidurnya dan berjalan tanpa tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu
anak tersebut kembali ke tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak
usia remaja dengan perubahan kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan.
Narcolepsy sering disertai dengan katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot
secara tiba – tiba7.
Tatalaksana
Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah
untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan
memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak
dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia.2,4
Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian
patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan napas
tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan cara head
tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan ventilasi dengan
bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang,
mengendalikan kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol
jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin perlu
dibersihkan dari sekret oleh suction. 2,4
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara
napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit.
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse
oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung
dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask. 2,4
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi.
Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta akral
yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat. Jika perlu,
lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh darah tidak
dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal,
intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO) dipergunakan pada
anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses intravena tidak dapat
diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk administrasi long acting
antikonvulsan jika tidak ada akses intravena setelah dua dosis
benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat normal saline untuk
setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu periksa tekanan darah segera
setelah pemberian normal saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan
tes glukosa darah dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat
hipoglikemi berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang
hipoglikemi tersebut. 2,4
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang
disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus
diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi mungkin
juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan trisiklik atau
peningkatan tekanan intrakranial.2,4 Perhatikan tanda-tanda defisit
neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur
anak, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana
sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini kadang dapat keliru
untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada anak dan fontanelle yang
membubung pada bayi, yang dapat menunjukkan tanda – tanda meningitis.
Perlu diingat bahwa penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari
obat anti konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran. 2,4
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera. 2,4
Medikasi pada Kejadian Akut
Status epilept ikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang mengancam
jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama kejang berlangsung
makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana kejang umum yang lebih
dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.
Penghentian kejang:
0 - 5 menit:
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan
oksigen
Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 – 10 menit:
Pemasangan akses intarvena
Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal
0,5 mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg).
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 –
10 menit..
Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 – 15 menit
Cenderung menjadi status konvulsivus
Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum
dosis 30 mg/kgbb.
30 menit
Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 – 15 menit.
Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda
tanda depresi pernafasan.Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan
kirim ke unit perawatan intensif.
Penanganan kejang bisa dilihat pada algoritma penanganan kejang sebagai
berikut:
gambar 2 : Penatalaksanaan Kejang
Edukasi keluarga perjalanan penyakit dan rekurensi
Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari
pengelolaan kejang demam. Langkah – langkah yang perlu dilakukan antara lain:
1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang menakutkan dan
menyingkirkan asumsi bahwa anak mereka akan meninggal saat kejang
demam pertama dengan kesepakatan keluarga untuk memahami prognosis dari
kejang.
2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan risiko
keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30 menit.
3. Memberikan keluarga informasi tentang risiko kekambuhan kejang
berikutnya.1
Rekurensi
Risiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kejang pertama adalah sekitar
33%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan kekambuhan meliputi
kejang demam pertama pada usia muda, riwayat keluarga kejang demam, durasi
pendek demam sebelum kejang atau demam yang relatif rendah pada saat kejang
awal. Terdapat faktor genetik yang mempengaruhi terjadinya kejang. Hal ini terlihat
dari risiko saudara kandung untuk menderita kejang adalah sekitar 10-20% dan dapat
lebih tinggi jika orang tua juga memiliki riwayat kejang. Profilaksis terus menerus
dengan obat antiepilepsi tidak dianjurkan.1
Penanganan pertama saat di rumah
Hal yang harus dilakukan pertama saat dirumah dan berhadapan dengan
anak yang sedang kejang adalah tetap tenang dan jangan panik, jangan memaksa atau
memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien aman dengan menempatkan
mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda yang bisa melukai mereka.
Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya kejang, karena hal ini penting untuk
diketahui dokter. Setelah kejang berhenti, tempatkan pasien dalam posisi tidur pada
salah satu sisinya dan membuat mereka nyaman. Jangan mengguncang pasien untuk
membangunkan mereka atau menahan pasien saat pasien mengalami kejang aktif.
Bawalah pasien ke dokter atau instansi kesehatan setempat sesegera mungkin.