KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh Gede Sandiasa
(Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Publik)
FISIP Universitas Panji Sakti Singaraja
BAB I PENDAHULUAN
Pentingnya peranan pemerintah dalam pembangunan kiranya tidak perlu
diragukan lagi. Tanpa ikut campur tangannya pemerintah, pembangunan tidak
akan berhasil atau sekurang-kurangnya tidak dapat berjalan dengan lancar. Tetapi
bagaimanapun baiknya dan efesiensinya suatu aparat pemerintah, setiap birokrasi
selalu mengandung keterbatasan. Langkah-langkah tindakannya selalu mengikuti
pola kebijaksanaan umum atau menunggu petunjuk-petunjuk dari atasan, dan
dilakukan melalui jalur-jalur formal dan jenjang hirarki yang telah ditetapkan.
Jalur dan jenjang-jenjang hirarki ini kerap kali terlalu panjang dan cukup rumit,
sehingga berakibat tindakan-tindakannya tidak cepat dan tidak luwes. Akibatnya
pemerintah kurang peka terhadap masalah-masalah khusus yang timbul di daerah
dengan cepat dan silih berganti.
Karena kurang peka dan kurang cepat tanggap terhadap masalah-masalah
dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang mendesak, maka dalam memenuhi
kebutuhan daerah, pemerintah cendrung mementingkan hasil-hasil kuantitatip
saja. Karena terdorong oleh usaha mengejar jumlah output dan sasaran waktu
yang ahrus dicapai, maka para petugas pemerintah dalam menjalankan tugasnya
tidak sempat memikirkan bagaimaa output yang seharusnya dihasilkan. Padahal
masyarakat justru sangat berkepentingan terhadap sasaran output yang harus
dicapai. Seharusnya masyarakat mengambil bagian dan memegang peranan
penting dalam pembangunan serta berpengaruh terhadap keberhasilan
pembangunan di daerah.
Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan pemerintah, sering juga
terjadi persepsi yang berbeda ini, menurut Subanda (1994) diakibatkan oleh
faktor-faktor : struktur birokrasi, sumber daya dan sistem komunikasi yang ada
masing-masing daerah.
Dengan analisis diharapkan bagaimana agar suatu produk kebijakan
dengan judgement moral yang tinggi, sebab tidak diinginkan adanya formulasi
kebijakan publik in a moral vacuum (Horrington, 1996) dan berdimensi
kemanusiaan (Hoksbergen, 1986) atau ―the collective life‖, Terry Cooper (dalam
Harington diakuinya kebenaran yang hakiki dari setiap orang. Jane Mansbridge
(dalam Lynn, 1995) social arrangement sebagai ungkapan lain dari kebijakan
publik harus mencirikan diri pada ―public spirits‖ artinya keberpihakannya benar-
benar pada rakyat utamanya masyarakat yang lemah. Chambers (1988)
menyebutkan bahwa pembangunan diarahkan untuk rakyat, dari rakyat dan oleh
rakyat. Dengan demikian nafas demokrasi diakui oleh para pembuat kebijakan,
diperlukan adanya partisipasi politik semua pihak ―Partisipatory Public Policy‖
melalui Public Fora (Peter De Leon, 1994) Perumusan dan implementasi
kebijakan hendaknya terhindar dari paham profesionalisme yang sempit.
Tampaknya jalan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat bagi golongan
profesionalisme, tidak begitu mudah. Tidak mudah secara mental dan kultural
demikian juga secara teknis. Sekarang ini hal yang penting disadari adalah
diperlukan sikap mental tertentu bagi golongan profesional yang dalam kenyataan
berasal dari kelas menengah, bahkan lingkungan elit, untuk berorientasi kepada
rakyat kecil, dalam konteks dan struktur birokrasi dan sistem nilai yang berlaku
dalam proses pembangunan ini. Para profesionalisme bisa menimba bahan bahkan
ilmu serta teknologi dari rakyat, sebab menurut pengalaman gagasan yang lahir
dari proses itu mudah dimengerti oleh masyarakat karena disusun berdasarkan
logika rakyat, bukan berdasarkan kemampuan kaum profesional yang biasanya
bekerja diatas meja, sehingga sulit untuk dipahami apa yang mereka programkan
(Chamber, 1988). Public Fora merupakan media untuk mewujudkan ―public
conversation‖ (Harington, 1996), untuk mengetahui apa yang diinginkan dan
diketahui rakyat, untuk kemudian dikompensasikan dengan kaum profesional
dengan berbagai dalil ilmiah yang dimilikinya, sehingga ada sinkronisasi antara
keinginan rakyat dengan Policy makers, juga dalam upaya untuk mengangkat
Human dinity, Lasswell & Kaplan, 1950 (dalam Peter de Leon, 1994) dari rakyat
itu sendiri, bagaimana berupaya mendudukkan manusia dalam posisi yang setara
antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini antara Policy makers dengan
target group yang dikehendaki. Dengan melalui apa yang disebut oleh Habermas
(__________, 1994) dengan ―Communicative competence‖. Semua hal ini
diupayakan untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat.
Sehubungan dengan peranan masyarakat dalam proses pembangunan, Gant
(dalam Syamsi, 1986 : 112) menyatakan bahwa peranan masyarakat antara lain :
1. Masyarakat merupakan target dari proses pembangunan.
2. Masyarakat merupakan instrumen pembangunan.
3. Masyarakat mempunyai hak untuk menikmati hasil pembangunan.
Menurut R. Mayer dan Ernest Green Wood (1984). Penelitian kebijakan
menaruh perhatian pada proses mencapai pemecahan suatu masalah tertentu
disamping juga sebagai pemecahan masalahnya sendiri. Tidaklah salah untuk
mengatakan bahwa penelitian kebijakan merupakan suatu jenis penelitian ilmu
sosial terapan baru.
Melalui penelitian dan analisis kebijakan diharapkan memperkaya studi
kebijakan. Untuk dapat memberikan sumbangan yang positif bagi para pengambil
keputusan kebijakan dan para pelaksana kebijakan (implementor). Menurut
Solichin (1998) bahwa studi kebijakan diharapkan berperan sentral dalam
memberikan nuansa baru dalam kerangka dasar pemikiran yang lebih baik bagi
keputusan-keputusan kebijakan itu dibuat.
Permasalahan yang menyangkut implementasi (pelaksanaan)
kebijaksanaan negara sekalipun telah sering diperbincangkan orang, namun
sesungguhnya masih amat jarang dipelajari dan diteliti, Pressman dan Wildausky
(Solichin, 1990 : 172). Implementasi dapat dikatakan sebagai memahami apa yang
senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus penelitian impelementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-
kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-
pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat / dampak nyata pada
masyarakat atau kejadian-kejadian, Daniel A. Masmanian dan Paul A. Sabatier
lihat gambar 5 (Solichin, 1991 : 51).
Dengan demikian pelaksanaan kebijaksanaan dapat dicermati melalui hasil
atau dampak langsung yang diterima dan dirasakan oleh pengguna (kelompok
sasaran) yang dituju oleh produk suatu kebijaksanaan. Keberhasilan atau gagalnya
implementasi suatu kebijaksanaan dapat dilihat dan dicermati dari sudut
kemampuan yang nyata dalam meneruskan pelaksanaan program-program yang
telah direncanakan. Dan bersentuhan langsung pada sasaran dari kebijaksanaan
yang dibuat, artinya memperhatikan dan melibatkan kepentingan kelompok atau
individu sasaran, sehingga manfaatnya dapat dirasakan serta pembuat
kebijaksanaan mencapai harapan dan tujuan dari dibuatnya kebijaksanaan
tersebut.
Fenomena kegagalan sering nampak pada hasil pelaksanaan-pelaksanaan,
ini dimungkinkan besar disebabkan kurang adanya analisa secara mendalam
terhadap produk kebijaksanaan yang akan dilaksanakan, dan dipengaruhi faktor-
faktor yang dimiliki oleh kelompok dan individu-individu sebagai sasaran
kebijaksanaan tersebut. Telah ada beberapa kebijaksanaan yang dihasilkan untuk
mengatasi beberapa permasalahan yang menyangkut masyarakat atau penduduk di
Indonesia, khususnya yang banyak menjadi pembicaraan para pakar dan peneliti,
yakni kebijaksanaan-kebijaksanaan arti kemiskinan, seperti : program IDT,
pemberdayaan sumber daya manusia, penetapan upah minimum regional,
GN’OTA dan lain-lain, serta kebijaksanaan tentang perkembangan kependudukan
dan pembangunan keluarga sejahtera. Dalam tulisan ini akan diungkapkan proses
kebijakan dari formulasi, implementasi, evaluasi, analisis dan skenario kebijakan,
serta berbagai pendekatan dalam ilmu sosial.
BAB II FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pemahaman Terhadap Kebijakan Publik
Serangkaian tindakan yang bertujuan, dirumuskan, dilakukan, diikuti dan
ditetapkan pemerintah dalam menyelesaikan pokok atau permasalahan-
permasalahan publik, itulah yang dipahami sebagai kebijakan publik oleh
Anderson, ―public policy is a purposive course of action followed by government
in dealing with some topic or matter of public concern‖. Menurut Thomas R Dye
(Islmay, 1995), bahwa kebijakan publik ―whatever government choose to do or
not to do‖ (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan). Ini berkenaan dengan kewenangan administrasi ―administration
descretion‖, untuk membuat pilihan diantara berbagai macam alternatif baik untuk
berbuat atau tidak berbuat misalnya pembatalan pembelian pesawat terbang dari
Amerika, atau memutuskan hubungan dengan IGGI dan sebagainya.
Dalam buku yang sama Amara Raksasataya mengemukakan kebijakan
sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh
karena itu suatu kebijakan memuat tiga elemen yaitu :
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan nyata dari taktik
atau strategi.
B. Proses Perumusan Kebijakan Publik
Proses perumusan kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1.
Pertama, pemetaan tujuan dengan syarat-syarat sebagai berikut : (a). Tidak terlalu
tinggi atau rendah. (b). Tercapainya tujuan individu dan organisasi. (c). Bersifat
luwes, tujuan disertai sarana pencapaian tujuan. (d). Ada tidaknya ukuran
keberhasilan. (e). Mendefinisikan masalah dengan benar dan mencari alternatif
yang sebaik mungkin. (f). Memahami karakteristik masalah: interdependen;
subyektif; artifisial yaitu membaca dan menterjemahkan masalah; serta dinamis
bahwa masalah harus disadari selalu berubah-ubah, dari struktur, agak terstruktur
dan tidak terstruktur. (g). Memusatkan diri pada masalah dan bukan pada gejala-
gejala masalah. Dan (h). Mengantisipasi dampak positif maupun negatif.
Kedua, mencari alternatif dengan cara : (a). Menggali informasi dari
dalam/luar. (b). Menemukan alternatif yang relevan. (c). Alternatif
Menetapkan
Tujuan
Tindak lanjut
dan kontrol
Merevisi
Tujuan
Merevisi tujuan
Mencari
alternatif
Menilai
Alternatif
Menetapkan
pilihan Implementasi Keputusan
Memperbaiki pencarian alternatif
berkorespondensi dengan tujuan. (d). Pendekatan yang dipakai rasional dan non
rasional. Ketiga, Menilai alternatif, mengukur bobot serta kualitas masing-masing
alternatif. (a). Tergantung pada kualitas SDM. (b). Faktor eksternal. (c).
Membandingkan kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan alternatif. (d).
Berpedoman pada hasil dan tujuan. (e). Menemukan alternatif yang baik.
Keempat, menempatkan pilihan dengan cara : (a). Memilih alternatif yang
baik bukan yang terbaik. (b). Mempertimbangkan kriteria aksestabilitas dari segi :
aktor perumus kebijakan, aplibility, ekspektansi hasil dilihat dari intended risk
atau intended consequency. (c). Rasional kuantitatif atau non rasional semisal :
subyektif dan kualitatif. (d). Mempertimbangkan dampak sosial politik dan
ekonomis. Dan (e). Pembuatan keputusan lebih menjadi satisficer daripada
optimizer.
Kelima, melaksanakan keputusan dengan : (a). Pemberian kekuatan hukum
dengan legitimasi atau penerapan sangsi. (b). Pelaksanaan yang efektif semisal
tiadanya komplik kepentingan, rasio imbalan dengan resiko yang ditimbulkan dan
dapat dipahami oleh kelompok sasaran. Dan (c). Memperhatikan aspek teknis dan
kemanusiaan. Terakhir, tindakan lanjutan dan pengendalian melalui : (a). Menilai
hasil nyata, dengan hasil yang diharapkan. (b). Sistem pengendalian dilakukan
dengan menetapkan standar, menilai kinerja dengan standar dan koreksi atas
penyimpanan. Dan (c). Melihat dampak positif atau negatif menjadikannya
sebagai input baru.
David Easton, mengemukakan perumusan kebijakan sebagai suatu sistem,
yang dilihat bagaimana kebijakan itu dibuat dan bagaimana dampak dari
kebijakan tersebut. Easton hanya melihat dari sistem fisik, tidak melihat aspek
kesemestaan, dengan melihat proses itu sendiri dan dukungan dari sistem-sistem
lain. Teori sistem ini lahir sebagai upaya menolak pendekatan keseimbangan dari
Harol Laswell, menurutnya sistem mempunyai hubungan yang saling
mempengaruhi dan juga bisa terjadi komplik serta juga integrasi diantaranya. Ini
dapat digambarkan sebagai berikut (seperti gambar 2)
Gambar 2.
Sumber: David Easton, 1965
Selanjutnya untuk dapat memahami lingkungan sosial politik suatu
kebijakan menurut Ann Majchrzak (1984 : 33) dapat mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Select social problem ; menyeleksi problem-problem sosial
2. Indentify key policy issues ; menentukan permasalahan utama yang akan
ditangani dengan merumuskan kebijakan-kebijakan tersebut pada agenda
pemerintah. Untuk bisa permasalahan masuk kedalam agenda pemerintah,
maka masalah itu sendiri harus dipersepsikan oleh masyarakat, atau
stakeholder yang lain semisal permasalahan tersebut potensial meresahkan
masyarakat dan perlu penanganan segera serta adanya kemauan, keinginan
dan perhatian Policy maker untuk mengangkat permasalahan tersebut.
3. Analyze legislative history of policy issues : menelusuri proses perumusan
dari orang-orang yang menyusun atau mentrasir secara squency (berurutan).
4. Trace progress of previous research and change efforts : adanya kajian-
kajian penelitian sebelum masalah tersebut diangkat dan kemudian diadakan
upaya-upaya penanganan.
5. Obtain organizational chart of decision making bodies : memperoleh atau
membuat bagan perumusan keputusan (kerangka pikir).
6. Interviews stakeholders : wawancara langsung dengan berbagai stakeholder
yang terlibat atau bisa melihat lansung rapat-rapat perumusan kebijakan.
7. Synthesize information : memadukan berbagai informai lalu kemudian
menganalisisnya untuk membuat suatu kajian yang mendalam.
C. Teori Inkremental Sebagai Pendekatan Perumusan Kebijakan
Menurut Anderson (1979), teori inkremental pada pembuatan kebijakan,
lebih sederhana. Inkrementalism (menambahkan) muncul sebagai teori keputusan
yang menghindari beberapa permasalahan pada teori rasional komprehensif dan
saat bersamaan lebih deskriptif sebagai langkah nyata yang diambil oleh para
pelayan publik dalam membuat keputusan. Mengenai teori tersebut dapat
disarikan sebagai berikut :
1. Menyeleksi tujuan-tujuan atau sasaran dan langkah analisis empiris
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, yang saling terkait antara
yang satu dengan yang lainnya, dan tidak dibedakan antara yang satu dengan
yang lain.
2. Pembuat keputusan mempertimbangkan hanya pada beberapa alternatif
pemecahan masalah dan hanya pilihan-pilihan yang sifatnya marginal dari
kebijakan yang sudah ada.
3. Pada setiap alternatif dibatasi hanya para sejumlah konskwensi penting yang
merupakan evaluasi.
4. Permasalahan yang hadapi pembuat kebijakan adalah perubahan secara
kontinu, inkrementalis memungkinkan perubahan cara dan tujuan terus
menerus (bahkan tak terhitung) yang berpengaruh agar permasalahan lebih
dapat diatur.
5. Bukan merupakan satu-satunya keputusan atau solusi yang benar dari satu
permasalahan. Menghasilkan keputusan yang baik dengan berbagai analisis
untuk menemukannya dan langsung menyepakati tanpa pertimbangan apakah
keputusan itu merupakan cara yang tepat untuk mencapai sasaran.
6. Pembuatan keputusan Inkremental merupakan perbaikan yang esensial dan
lebih menyempurnakan dari ketidak-sempurnaan sosial yang nyata dari
peningkatan tujuan-tujuan sosial di masa mendatang.
Menurut Limblom, (1979), model ini sangat baik untuk diterapkan karena
mudah mencapai kesepakatan dengan memodifikasi program-program yang sudah
ada dari isu-isu kebijakan yang luas. Mengingat para pembuat kebijakan
diharapkan dengan kondisi yang tidak tentu sebagai konskwensi tindakannya di
masa mendatang. Pendekata ini lebih realistis mengingat keterbatasan waktu,
kemampuan intelektual dan sumber-sumber yang tersedia yan dibutuhkan untuk
memperoleh analisis komprehensif pada seluruh pilihan dari solusi terhadap
permasalahan-permasalahan yang ada. Lebih dari itu orang tidak selalu mencari
jalan (pemecahan) yang terbaik dari permasalahan, tetapi lebih mendekati pada
sesuatu yang akan dikerjakan secara inkremental. Keputusan singkat, hasil-hasil
dibatasi, praktis, aseptable. Mengenai pendekatan inkremental ini ada beberapa
hal yang perlu menjadi perhatian kita.
Pertama, mengingat waktu dan dana yang dijatahkan untuk masalah
kebijakan hanya terbatas. Administrator pemerintah dapat melaksanakan fungsi-
fungsinya, membatasi perhatiannya sampai pada nilai-nilai yang relatif sedikit dan
kebijakan-kebijakan alternatif yang relatif sedikit diantara alternatif-alternatif
yang tak terhitung jumlahnya. Dalam teori-teori formal pendekatan inkremental
jarang dibahas, organisasi dalam membahas masalah keputusa mestinya dimulai
secara berurutan, seperti yang dilakukan oleh pendekatan rasional. Namun
prakteknya banyak yang melakukan pendekatan inkremental. Terus menerus
merumuskan permasalahan berdasarkan situasi yang ada, setapak demi setapak
dan sedikit demi sedikit ―disebut juga succesive limited comparisons‖.
Kedua, gagasan bahwa nilai-nilai harus diperjelas, ini dilakukan sebelum
penelitian dilaksanakan terhadap kebijakan-kebijakan alternatif, tapi pada
masalah-masalah sosial hal ini tidak dapat terlaksana dengan baik sebab :
a. Mengenal banyak nilai dan tujuan yang sangat penting, para warga negara
yang tidak sepaham, para anggota konggres yang tidak sepaham, dan para
administtrator yang demikian juga. Bahkan apabila telah disepakati,
mengenal tujuan spesifik masih memungkinkan terjadinya komplik pada
penentuan sub-sub tujuan.
b. Administrator sulit menghindari komplik dalam mencari kepastian mengenai
apa yang lebih disukai mayoritas, karena preferensi-preferensi mengenal
kebanyakan masalah belum pernah tercatat.
c. Sulit menentukan nilai-nilai yang akan dipilih, bahkan nilai-nilainya sendiri
(dalam dirinya), nilai mana yang akan diambil atau dikorbankan.
d. Tujuan-tujuan sosial tidak selalu mempunyai nilai-nilai yang relatif sama.
Satu keputusan mungkin dinilai sangat penting pada suatu situasi tertentu,
tetapi kurang penting dalam situasi yang lain. Usaha-usaha untuk membuat
urutan-urutan atau mengatur nilai-nilai dalam pengertian-pengertian umum
dan abstrak sehingga nilai-nilai itu tidak bergeser dari satu keputusan ke
keputusan lainnya. Akan berakhir dengan diabaikannya preferensi-preferensi
yang relevan.
e. Evalausi dan analisis jalin menjalin dengan memilih diantara nilai-nilai dan
diantara kebijakan-kebijakan, pada saat yang sama dan memilihterkait dengan
perhatian terpusat pada nilai-nilai yang merginal atau nilai-nilai tambahan.
f. Meraih pengertian, memahami dan menghubungkan nilai-nilai satu dengan
yang lainnya tidak diperluas sampai melampaui kemampuannya.
Ketiga, pengambilan keputusan biasanya dirumuskan sebagai hubungan
means-end (cara-cara dan tujuan, menurut anggapan mean dinilai serta dipilih dari
dan sebelum tujuan ditetapkan. Sedangkan inkremental mean-end dipilih secara
bersama-sama. Keempat, bagaimana menentukan kebijakan yang baik. Pada
pendekatan rasional bahwa keputusan yang diambil dapat mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, dimana dalam menetapkan tujuan tidak hanya menggambarkan
keputusa itu sendiri, tetapi termasuk langkah-langkah implementasi, tujuan etc.
inkrementalism bahwa pemufakatan mengenai kebijakan itu sendiri, mungkin atau
tidak mungkin tercapai kesepakatan mengenai nilai-nilai. Kedua pendekatan
tersebut menekankan kesepakatan menjadi ciri dari kebijakan yang baik. Tetapi
metode rasional kesepakatan diletakkan pada unsur-unsur apakah dalam
keputusan itu yang memerlukan tujuan, dan tujuan manakah yang harus
didahulukan. Sedangkan metode inkremental mengandalkan kesepakatan,
dimanapun kesepakatan itu diperoleh, baik dalam menentukan nilai, alternatif
maupun tujuan dari kebijakan itu sendiri.
Kelima, analisis bersifat non-komprehensif bahwa keterbatasan-
keterbatasan pada kemampuan intelektual manusia dan pada informasi yang
tersedia menetapkan batas-batas yang pasti bagi kemampuan manusia untuk dapat
komprehensif. Setiap administrator dihadapkan pada masalah-masalah yang
sungguh-sungguh komplek harus mencari cara-cara drastis untuk
menyederhanakannya ―Succecive limited comparison‖ dapat dicapai dalam dua
cara.
a. Penyederhanaan itu dicapai melalui pembatasan perbandingan-perbandingan
kebijakan hanya sampai pada kebijakan-kebijakan yang berbeda secara relatif
sedikit dari kebijakan-kebijakan yang sedang berlaku.
b. Tidak perlu untuk mengadakan penelitian fundamental terhadap suatu
alternatif serta akibat-akibatnya, yang perlu hanyalah mempelajari segi-segi
dimana alternatif yang diusulkan beserta konskwensi-konskwensinya berbeda
dari situasi yang ada. Penyesuaian akan terus berlangsung melalui pengaruh
mempengaruhi antara kelompok-kelompok, bahkan apabila antara mereka
sedang tidak ada komunikasi, apa yang diabaikan oleh kelompok yang satu
akan tidak diabaikan oleh kelompok lain.
Keenam, perbandingan-perbandingan dilakukan bersamaan dengan
pemilihan kebijakan, berlangsung dalam urutan-urutan kronologis. Kebijakan
diciptakan tidak untuk dipakai selamanya. Tapi kebijakan akan dibuat dan
diciptakan kembali terus menerus tanpa akhir. Pembuatan kebijakan merupakan
suatu proses mendekati tujuan-tujuan yang dikehendaki secara berturut-turut,
dimana yang diinginkan itu sendiri dan terus berubah (ditinjau kembali). Baik
para politisi atau administrator belum memiliki pengetahuan yang cukup
mengenal dunia sosial yang begitu luas, untuk mencegah kekeliruan yang
berulang-ulang. Dalam meramalkan akibat-akibat tindaka kebijakan, diharapkan
dapat mencapai sebagian dari keinginan dan pada waktu yang sama akan
menghasilkan akibat-akibat yang tak terduga yang semestinya lebih suka untuk
dihindari. Ada beberapa hal kelebihan pendekatan inkremental.
1. Penggunaan kebijakan-kebijakan masa lampau dapat meramalkan
kemungkinan-kemungkinan akibat yan dihasilkan.
2. Tidak perlu berusaha melakukan lompatan-lompatan besar kearah sasaran-
sasaran yang akan menuntut daripada prediksi-prediksi yang ada diluar
jangkauan pengetahuan (tidak pernah merupakan pemecahan masalah secara
tuntas).
3. Sesungguhnya bisa menguji prediksi-prediksi yang dibuat sebelumnya,
sementara itu maju terus dengan langkah selanjutnya. Kita dapat membuat
keputusan sambil melaksanakan keputusan sebelumnya.
Ketujuh, pada administrator sering merasa mempunyai kepercayaan diri
yang lebih besar, apabila bekerja atas pikirannya sendiri daripada mengikuti
nasehat para teoritis, mempraktekkan metode sistematik. Tidak berbelit-belit atau
tidak perlu mengikuti aturan-aturan, teori-teori dan dalil-dalil yang panjang.
BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Memahami Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi sebagai suatu dualisme pandangan : ekskursi dimana
kebijakan itu dilaksanakan atau prosesnya, dan yang kedua mencoba melihat
hasil/efek atau prestasi yang dicapai oleh suatu kebijakan atau produk yang pada
awalnyadilihat secara dikotomis, pada akhirnya mereka melihat secara kontinum.
Pendekotomian antara administrasi-politik oleh Frank Goodnow, ini berarti secara
politik peranan diambil oleh Policy maker. Sedangkan dalam proses implementasi
politik tidak terlibat. Menurut Anderson (1979), implementasi adalah hal-hal yang
berkaitan dengan :
1. Mempertanyakan siapa yang melaksanakan. Pandangan ―top down‖
mengandalkan pelaksanaan kebijakan kepada unit-unit administrasi dengan
POAC. Terjadi pada semua departemen, memandang implementasi sebagai
suatu pelaksanaan sempurna daripada pelaksanaan program SOP ―standard
operation prosedur‖, semua tertata dengan baik.
2. Bagaimana sebenarnya hakekat makna proses kebijakan. Hakekat dari pada
proses administrasi akibat dengan telah ditetapkannya ―bottom up‖, ada
semacam ramifikasi untuk mencoba melihat pada tataran implementasi di
tingkat bawah. ―implementation process doesn’t work in a vacuum‖.
Pelaksanaan yang sempurna pada point 1, tidak melihat faktor-faktor lain
berfungsi menunjang pelaksanaan implementasi. Maka dari itu point 2
memperbaiki, yang menyatakan ternyata kandungan politik sangat besar
pengaruhnya pada kesuksesan implementasi kebijakan.
3. Aspek kepatuhan stakeholder (s), target group. Bagaimana upaya dilakukan
oleh unit administrasi yang bersifat indusif ―pendekatan endorcement‖, bukan
koersif, untuk mencapai kepatuhan pada target group, namun pada tataran
tertentu tindakan koersif perlu juga. Peran penyebaran informasi sangat besar
pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan, sebagai upaya memotivasi target
group. Tingkat kepatuhan ini perlu untuk melihat apakah suatu kebijakan
perlu dilanjutkan (continuiting), terminating (ditunda), atau dihentikan sama
sekali.
4. Pelaksanaan kebijakan dengan melihat konten dari suatu kebijakan tersebut,
apakah betul-betul maksud yang diharapkan telah tercapai, termasuk
pertimbangan-pertimbangan political and social coast. Sebab menurut
pandangan G. Edward II & I Sharkanshy, bahwa tidak ada kebijakan yang
―self excecutive‖ sehingga perlu diupayakan untuk dilaksanakan.
Selanjutnya hal-hal yang penting dalam implementasi menurut G. Edward
II & I Sharkanshy adalah sebagai berikut. Pertama, komitmen; pada siapa aspek
masalah implementasi pertama kali disampaikan. Yang mana menurut Anderson
bahwa komunikasi pertama adalah pada para pelaksana. Komunikasi
dimaksudkan agar pemahaman secara jelas, konsistensi, dan adaptasi kebijakan
serta mewujudkan implementasi sebagai proses belajar.
Kedua, resources; para pelaksana harus didukung oleh kecukupan sumber-
sumber dalam arti luas seperti : human resources; finansial; tehnologi baik
bersifat soft wear (pengetahuan) maupun hard wear (teknis); natural; social
fsikological yang sangat berpengaruh besar antara lain :
a. Educated staff, kualitas dan kuantitas pegawai yang memadai dan
proporsional.
b. Hak dan kewajiban yang harus dimiliki oleh pegawai menyangkut otoritas
dan responsibilitas.
c. Akses terhadap informasi; selain menerima informasi dapat pula memberi
informasi atau berhak bertanya tentang sesuatu yang mereka ingin ketahui.
Ketiga, diskresi atau disposisi bagi para pelaksana kebijakan; kewenangan
untuk memilih berbagai alternatif (administration descretion), keluwesan,
kebebasan mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan sedemikian rupa,
sehingga berjalan sebagaimana diharapkan, maka perlu diperhatikan hal-hal
semisal ; organizational interest; personal interest; policy interest dan public
interest (general interest sebagai hal terpenting dan terkait dengan public interest).
Diskresi diarahkan untuk melihat dua sisi, baik segi kepentingan birokrasi dan
public interest. Dengan konsep ―putting in the last first‖ (melakukan yang akhir
menjadi yang utama, artinya target group sebagai sasaran akhir kebijakan,
kepentingannya menjadi prioritas. Semisal kebijakan tentang masyarakat desa,
maka yang utama dilakukan merebut hati atau simpati masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingannya, sehingga pada akhirnya mereka
dengan antusias akan mendukung kebijakan yang dibuat. Dalam hal ini
implementasi dipengaruhi oleh :
1. Birokrat politik
2. Insentif atau daya dorong/daya tarik
3. By pressing final; memilih orang-orang yang tepat untuk melaksanakan
kebijakan.
Keempat, SOP ―standard operation prosedur‖ adalah alat untuk
mengendalikan dan mengontrol implementasi kebijakan sebagai bahan evaluasi
kebijakan. Kelima, Follow up, dengan melihat dari indikasi suatu kebijakan,
kapan diteruskan atau kapan ditunda dan dihentikan, apa yang menjadi alasannya
serta kebijakan penggantinya. Fleksibilitas harus ada dalam implementasi
kebijakan, sebagai upaya selektif/memilah-milah dalam pengembangan tindakan
untuk mengimplementasikan suatu kebijakan.
B. Model Implementasi Kebijakan
Model implementasi diperlukan setiap perumus kebijakan yang
menginginkan setiap kebijakannya berhasil. Implementasi akan berhasil bila
mengikuti suatu model tertentu dan akan lebih berhasil lagi apabila menggunakan
model lebih dari satu. Terkait dengan model implementasi ada dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu : a). Analisis implementasi; bagaimana sesuatu yang kita buat
atau desain implementasi bisa menghasilkan tujuan maksimal. Maka pertanyaan
yang perlu dijawab adalah siapa yang terlibat didalam implementasi (menyangkut
aktor atau lembaga), bagaimanakah kegiatan-kegiatan implementasi itu akan
dilaksanakan dan faktor kritis apa yang bisa menyebabkan tujuan kebijaksanaan
berhasil atau tidak. b). Dengan analisis, implementasi tidak dengan sendirinya
akan berhasil mencapai tujuan, maka yang perlu dilihat adalah proses
implementasi.
Ada beberapa kisi yang perlu diperhatikan tentang model yaitu : tidak
dengan sendirinya ketika kebijaksanaan diputuskan secara otomatis implementasi
dapat dilakukan; model lebih menekankan pada apa yang terjadi sesudah
kebijaksanaan dibuat; dan model lebih banyak menawarkan kepada usaha
memperbaiki implementasi kebijaksanaan di masa mendatang. Mengenai model
implementasi dapat digambarkan seperti model Parkins dibawah ini (gambar 3)
Gambar 3
Implementasi
Formulasi Statemen Tujuan Sistem Layanan Efek Program
Beberapa model Jan Erik Lane, 1995
Model dari Hood (1976) yaitu implementasi sebagai administrasi yang
sempurna. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa untuk mencapai hasil
kebijakan secara optimal dapat dilakukan dengan sistem administrasi yang terpadu
misalnya : ada otoritas yang tunggal; adanya tujuan yang jelas; adanya pijakan
peraturan yang tegas; implementasi memiliki kekuatan otoritatif guna
mengendalikan: koordinasi, informasi, sumber-sumber dan mendapatkan
Problem Sosial Tujuan yang
dilegistasikan
Tujuan
Program
Struktur
Administr
asi
outcome
Intervensi sosial
Politik Sosial Ekonomi
Evaluasi
dukungan secara politik penuh. Hood menyebutkan bahwa implementasi yang
sempurna ini sebagai tipe yang ideal dari implementasi, karenma dia melihat
kegagalan-kegagalan implementasi sebelumnya disebabkan oleh tidak adanya
unitary administrasi. Dipertegas lagi bahwa karakteristik dan tipe ideal Hood
adalah guna mencapai kesuksesan dari pada implementasi harus diatur secara
mekanis.
Karakteristik model implementasi sebagai administrasi yang sempurna
adalah sebagai berikut :
1. Merupakan suatu sistem administrasi tunggal dengan menggambarkan garis
otoritas yang tunggal, maka orang-orang yang akan melaksanakan harus
persis seperti apa yang digariskan.
2. Pemaksaan ―enforcement‖ yang seragam tentang aturan-aturan atau prinsip-
prinsip yang tunggal, pelaksanaan sesuai dengan SOP.
3. Tujuan yang ditetapkan harus jelas. Agar si pelaksana tidak lagi memberikan
suatu tafsiran yang lain dari suatu kebijakan, maka sistem administrasi harus
memiliki sistem pengendalian (kontrol administrasi). Juga diperlukan
koordinasi dan mendapatkan informasi yang cukup.
4. Para pelaksana harus terbebas daria danya ―time pressure‖; tidak bisa
dipaksakan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, sehingga mereka tidak
merasa seperti dikejar-kejar waktu, ini akan mengurangi keberhasilan
implementasi kebijakan.
5. Tersedianya sumber-sumber yang tidak terbatas; untuk itu harus
dipertimbangkan mengenai premis-premis apa yang perlu disediakan. Para
pelaksana dituntut mampu untuk melihat bahan-bahan yang tersedia atau
disediakan serta yang akan tersedia.
6. Political feasibility; push and full mechanism (mekanisme tarik ulur) diantara
para perumus, stakeholder (s). sebab tidak akan pernah suatu kebijakan
vakum oleh suatu pengaruh.
Kritikan terhadap tulisan ini; bahwa mekanisme akan lebih simetri jika
dilakukan oleh implementor melalui proses bargaining baik itu melalui negosiasi
atau hubungan pertukaran; mekanisme bargaining lebih penting ketimbang unsur
otoritaitf; dan model ini adalah top down akan terjadi kesulitan jika implementasi
melibatkan pelaksana yang cukup banyak, hal ini disebabkan karena nilai
pelaksanaan dan intensitasnya berbeda-beda. Untuk itu diperlukan riset kebijakan.
Riset ini akan lebih berguna ketika implementor mengalami hambatan di dalam
pelaksanaan; hasil penelitian akan lebh bermanfaat jika konsumen peneliti masuk
sebagai implementor dan analisis kebijakan; riset tidak akan merubah
kepentingan-kepentingan birokrasi kecuali hanya sekedar memperbaiki efisiensi
layanan dan riset dengan pilihan usulan yang bervariasi akan lebih bermanfaat
ketimbang pemecahan yang bersifat tunggal.
Model kedua, implementasi sebagai manajemen kebijaksanaan
(Mazmanian dan Sabatier). Model ini tercakup dengan garis-garis besar kebijakan
implementasi. Didalam mana bahwa target group merupakan tujuan utama
kebijakan, kemampuan strategi manajemen diperlukan bagi dukungan proses
perubahan perilaku target group. Kemampuan managerial yang harus terikat
dengan keputusan kebijakan. Guna mencapai kemampuan manajerial yang
maksimal ada berbagai macam faktor yang seyogianya dipenuhi. Seperti
tehnologi, kejelasan tujuan, keahlian, dukungan dan konsensus. Persyaratan model
ini bahwa para pelaksana harus mampu melaksanakan prinsip-prinsip manajemen.
Karakteristik model ini antara lain:
1. Setiap kebijakan harus didasarkan kepada teori yang sehat, tujuan yang
menguntungkan kelompok sasaran. Pendekatan bersifat ―people centre
development approacht‖ (pendekatan pengembangan yang berpusat pada
manusia). Yang kita kenal sebagai ―tricle down effect theory‖ yaitu growth,
basic needs dan equity (pemerataan), bukan lawannya yaitu ―empire
building‖ (membangun kekaisaran/memperkuat status quo). Para pelaksana
menginginkan adanya perubahan perilaku pada kelompok sasaran
sehubungan dengan tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana dari tujuan
dibuatnya suatu kebijakan.
2. Kebijakan tersebut didukung secara nyata dan aktif oleh kelompok sasaran,
tokoh-tokoh politik (ekskutif dan legislatif). Sehingga implementasi tersebut
berjalan dengan baik, aseptable. Bahkan sebelum kebijakan dilaksanakan
kebijakan tersebut tidak ada yang menolaknya dalam hal ini komunikasi
politik sangat diperlukan.
3. Pelaksana kebijakan harus memperhatikan faktor-faktor krusial yang
mempengaruhi suatu kebijakan. Sebab tidak ada suatu pendekatan yang
berakhir secara linier; keterkaitan antar berbagai aspek masih sangat
berpengaruh dan tidak ada kepakuman dari proses perumusan sampai pada
implementasi. Hal-hal yang berpengaruh diantaranya : adanya ambiguitas
tujuan, meskipun dalam perumusan kebijakan telah ditetapkan suatu tujuan,
tetapi bisa jadi para pelaksana mempunyai penafsiran yang berbeda mengenai
tujuan tersebut; keahlian implementor baik yang berada di dalam birokrasi
maupun diluar birokrasi; dukungan dan konsensus; dan tehnologi.
Ketiga, model implementasi sebagai evolusi. Ide pokoknya adalah terletak
pada kemampuan untuk mendefinisikan tujuan-tujuan dan reinterpretasi atas
implementasi. Model ini tidak memisahkan antara implementasi dan formulasi.
Model ini memiliki kelemahan yang mempertanyakan tentang kapan sebuah
implementasi itu dikatakan berhasil atau gagal. Kapan dicapai tujuan, kapan mulai
sulit terpisahkan antara implementasi dan formulasi, sebab begitu hasil dicapai
diformulasikan lagi dan begitu seterusnya. Model keempat, implementasi sebagai
proses belajar. Pada model ini dikatakan bahwa implementasi sebagai proses
belajar yang tidak ada akhirnya, dalam mana implementor terlibat secara kontinu
terhadap proses penyelidikan, untuk memperbaiki fungsi dan tehnologi
implementasi yang reliable. Titik sentralnya adalah perbaikan cara-cara didalam
setiap pelaksanaan implementasi. Model ini merupakan penjelasan atas hipotesis
implementasi sebagai evolusi, adminsitasi sempurna maupun manajemen
kebijakan. Dan model ini digunakan untuk melihat/mengkaji suatu kebijakan yang
dikeluarkan. Implementasi bukanlah sebagai suatu sekali tembak ―one shot‖,
melainkan sebagai suatu proses.
Model kelima, model simbolik yang penekanannya pada jargon-jargon
politik, tehnik-tehnik implementasi termanipulasi didalam tujuan dan hasil dari
kebijakan. Implementasi dipandang sebagai simbul-simbul dari kepentingan
politik. Model keenam, implementasi sebagai struktur, aktor-aktor perumus dan
pelaksana kebijakan (H. Jeren Porter). Diantaranya para pelaksana haruslah
tercakup didalam kebijakan yang dimaksud, sehingga antara formulator dan
implementor tetap konsisten di dalam tujuan dan hasil kebijakan. Meskipun
penekanan pada top down, tetapi juga tetap memperhatikan beberapa hal
diantaranya kompleksitas organisasi, pemilihan kepada kelompok partisipan,
perbedaan lokasi dan motif serta kepentingan. Sebagai titik penekanan yang lain
yakni pada kualisi antara formulator dan implementor. Model ini memerlukan
waktu yang cukup lama dan melibatkan banyak orang.
Dari model-model tersebut ada dua hal yang bisa dikemukakan oleh Erik
Lane antara lain: model-model yang bottom up ; skor yang tinggi di dalam
pelaksanaan dan dalam realisasi di lapang. Dan model-model yang top down
mempunyai skor yang tinggi dalam hal kesederhanaan dan koherensinya. Dua hal
ini dibedakan atas asumsi-asumsinya, untuk model top down berangkat dari
asumsi-asumsi sumber daya, keterkaitan dan kausalitas.
Ada beberapa model lain yang bisa dikemukan yaitu: a). Implementasi
dampak. Yang melihat dampak itu penting, namun seringkali orang lupa bahwa
mencapai hal itu memerlukan banyak hal. Apakah yang ingin dicapai sudah
benar-benar telah dipersiapkan, tujuan-tujuan dengan struktur yang mendukung,
faktor-faktor extraneus dan komponen-komponen cukup tersedia. b).
Implementasi sebagai backward mapping, sebagai pemetaan kembali yaitu
melihat kembali pada fase formulasi. Dalam artian jika implementasi mengalami
kegagalan atau keberhasilan maka kita harus melihat kembali pada formulasi
kebijakan tersebut. Sebab keberhasilan implementasi sangat tergantung pada
proses awal, proses komunikasi, ada tidaknya public debate, baru kemudian pada
tataran pelaksanaan (mencakup kualitas implementor). c). Implementasi sebagai
kualisi (sabatier). Tidak ada satupun kebijakan yang tidak tersentuh provider
policy, melibatkan semua pihak. Bila Implementasi ingin dimengerti ada suatu
proses jangka panjang, perlu adanya proses belajar diantara orang-orang yang
terlibat pada kebijakan. Dan model terakhir adalah model Implementasi biografi
dari Adam Smith (gambar 4)
Gambar 4.
Bio Grafikal Model
Process Policy Making (dengan asumsi bahwa kebijakan harus
dilaksanakan)
4. environmental factor
Menurut Smith, tidak benar begitu suatu kebijakan itu dirumuskan seolah-
olah langsung bisa diterapkan, karena terlampau banyak faktor internal/eksternal
yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan, tidak seperti pandangan
model rasional komprehensif, bahwa formulasi baik maka implementasi akan
baik. Tingkat implementasi paling bawah seolah-olah sudah siap, padahal
kebijakan yang mereka laksanakan terlalu banyak bahkan menumpuk.kelompok
kepentingan, partai oposisi, kelompok sasaran, kelompok pengaruh ―affected
population‖ organisasi yang berpengaruh, seringkali ketika pada tataran
implementasi melakukan modifikasi. Karena stakeholder ini begitu beragam maka
modifikasinyapun bervariasi. Modifikasi sengaja dilakukan padahal mereka secara
birokrasi bertanggungjawab sebagai implementasi. Mengenai hal ini perlu
diperhatikan adalah : faktor kemampuan dan keterampilan yang rendah sulit
3. Implementing Organization
1. idealized policy
Policy Making
Policy process
Tensions
Transactions
Institutions Feed Back
Teori Rodgers
Aksestabilitas
Aplikabilitas
Ekspektansi hasil
2. Target Group
Adoption Process 1. Awareness 2. Information 3. Aplication/evaluation 4. Trial 5. Adoption
menterjemahkan kebijakan makor arsibal artinya seringkali kebijakan-kebijakan
itu direvisi secara radikal, akan kesulitan ketika dihadapkan pada political
feasibility, technical social etc; akibat adanya kesulitan-kesulitan itu seringkali
pada implementor mengalami tensions/stress, oleh karena seringkali implementasi
tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Policy making process yaitu decision—action—policy
1. Idealized policy bahwa suatu pola interaksi yang dicita-citakan oleh perumus
kebijakan yang bertujuan untuk mendukung, mendorong, merangsang
kelompok sasaran untuk melaksanakan.
2. Target group ; bagian dari policy stakeholder, dimana mereka diharapkan
dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang dirumuskan oleh
perumus kebijakan tadi. Mereka adalah orang-orang yang paling banyak
mendapat pengaruh dari kebijakan. Oleh karena itulah mereka harus dapat
menyesuaikan pola-pola perilakunya sesuai dengan kebijakan-kebijakan itu.
3. Implementation organization ; unit-unit birokrasi pemerintah yang
bertanggungjawab bagi pelaksanaan kebijakan.
4. Environment factor ; faktor-faktor atau unsur-unsur di dalam lingkungan yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan. Smith
menyebut hal ini sebagai koridor yang bisa menghambat atau merintangi
pelaksanaan kebijakan.
Menurut Rodger dalam implementasi perlu adanya hal-hal sebagai berikut:
1. Awareness ; bahwa formulator harus memiliki kesadaran dan kebijakannya
merupakan sesuatu yang baru, yang belum dipahami oleh kelompok sasaran.
Oleh karena itu adalah kewajibannya untuk meneruskan kesadaran itu pada
level dibawahnya ―the gate keeper‖
2. Information ; untuk menimbulkan kepatuhan pada kelompok sasaran maka
diperlukan informasi, persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam
implementasi perlu dikuasai.
3. Application/evaluation ; begitu kelompok sasaran mendapat informasi,
kemudian disaring sesuai dengan kepentingan mereka. Untuk diterapkan
(penyaringan/compactability).
4. Trial (Uji Coba) ; dalam hal-hal tertentu formulator perlu mengadakan uji
coba terhadap kebijakan baru, agar tidak membuat kejutan bagi masyarakat.
5. Adoption ; setelah beberapa waktu kelompok sasaran akan memutuskan untuk
menerima kebijakan secara langsung ―newly adoption‖, atau menolak
―rejection‖, atau pada awalnya menolak setelah terbukti kebenaran baru
diterima ―late adoption‖
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Stillman II, 1988), untuk melihat
efektivitas implementasi dapat dikaji melalui : A. perspektif Policy maker; B.
perspektif implementor dan C. perspektif kelompok sasaran. Sedangkan mengenai
keefektipan pencapaian tujuan bisa dilihat dari tiga faktor :
I. Mudah tidaknya masalah dikendalikan.
a. Kesukaran-kesukaran teknis
b. Keragaman perilaku kelompok sasaran
c. Prosentase kelompok sasaran dari popilasi
II. Kemampuan di dalam menggambarkan struktur implementasi
a. Kejelasan dan konsentrasi tujuan
b. Keterpaduan teori kausalitas
c. Ketepatan alokasi sumber
d. Keterpaduan secara hirarki lembaga implementasi
e. Aturan yang diputuskan pejabat pelaksana
f. Rekruitmen tenaga pelaksana
g. Akses formal pihak luar
III. Faktor-faktor di luar kebijaksanaan yang berpengaruh
a. Kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan tehnologi
b. Dukungan publik
c. Sikap dan sumber daya dalam masyarakat
d. Dukungan pejabat atasan
e. Komitmen dan kemajuan kepemimpinan para pelaksana
Model tersebut digambarkan seperti pada gambar 5
Gambar 5
Selanjutnya model Kebijakan Publik George C. Edward III, yang dikenal
dengan direct and Indirect Impact on Implementation pendekatan ini berspektif
Topdown, dalam pendekatan ini menyebutkan ada empat factor yang berpengauh
terhadap keberhasilan suatu kebijakan, yaitu (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3)
disposisi; dan (4) struktur birokrasi. Model implementasi kebijakan publik
menurut Edward III menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan,
dapat ditentukan oleh empat (4) variabel yaitu: 1) komunikasi menunjuk bahwa
setiap kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi
efektif antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran;
indikator yang digunakan adalah : a) transmisi, yakni penyaluran komunikasi yang
baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik; b) kejelasan,
komunikasi harus jelas dan tidak membingungkan; c) konsistensi bahwa perintah
yang diberikan dalam implementasi harus konsisten dan jelas. 2) sumberdaya
adalah menyangkut a) staf harus memadai, kompeten dan mencukupi secara
jumlahnya; b) informasi, yang menyangkut cara melaksanakan kebijakan dan
mengenai kepatuhan dari para pelaksanan; c) wewenang merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan
secara politik; d) fasilitas pendukung merupakan faktor penting dalam
pelaksanaan kebijakan. Setiap kebijakan harus didukung dengan sumberdaya
yang memadai, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya financial. 3)
disposisi menunjuk pada karakteristik yang menempel erat pada implementor
kebijakan, meliputi dua hal: a) pengangkatan birokrat, disposisi atau sikap para
pelaksana akan menimbulkan hambatan, staf birokrat harus memiliki dedikasi
pada kebijakan yang telah ditetapkan; b) insentif, pemberian insentif secara tepat
akan mempengaruhi cara kerja para pelaksana kebijakan; 4) struktur birokrasi
menjadi penting dalam implementasi kebijakan yang menyangkut dua hal yaitu
mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri yang tertuang dalam SOP
pelaksanaan program (Indiahono, 2009 dan Agustino, 2006).
Gambar Model Pendekatan Direct and Direct on Implementation (George Edward III Dalam Agustino, 2006: 150)
Model hybrida atau pendekatan atas dan bawah, model ini dapat disebut
dengan model partisipatif. Pendekatan ini Hill dan Hope merumuskan sebagai
“implementation theory: the synthesizers”. Dengan tokohnya adalah Richard
Elomore dengan “innovative methodology; Fritz Scharpf dengan konsep
“pioneering network analysis; Randal Ripley dan Grace Franklin “specifying
policy type” yang menyampaikan bahwa, proses implementasi melibatkan
sejumlah aktor penting yang melontarkan tujuan dan bersaing, di mana bekerja
dalam kontekstualisasi dari gabungan semakin luas dan kompleknya program
pemerintah yang memerlukan partisipasi dari berbagai lapisan dan unit
pemerintah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kuat di luar kendali para
aktor bersangkutan, dan tokoh lainnya adalah Paul Sabatier: towards the
advocacy coalition approach. Sabatier sangat penting, sama halnya dengan
Barret dan Fudge, yang cenderung untuk menghilangkan perbedaan antara
pembentukan kebijakan dan implementasi, dengan pendapat bahwa pertama, itu
membuat sangat sulit untuk membedakan pengaruh relatif dari pejabat terpilih
dan para pelayan publik, sehingga menghalangi analisis akuntabilitas demokratis
KOMUNIKASI
SUMBER DAYA
IMPLEMENTASI
DISPOSISI
SRUKTUR BIROKRASI
dan kebijaksanaan birokrasi, sebagai topik yang tidak sepele. Kedua,
pandangan proses kebijakan sebagai sesuatu yang mulus berikut tanpa poin
keputusan, umumnya mengesampingkan evaluasi kebijakan dan analisis
perubahan kebijakan (Hill & Hope , 2002). Adapun salah satu model hybrid
seperti bagan di bawah ini.
Gambar An Advocacy Coalitions framework of Policy Change
(Model Sabatier)
Sumber: Mazmanian & Sabatier, 1989 p. 305
BAB IV EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK
A. Pemaknaan Tentang Evaluasi Kebijakan
MC. Alister (Solichin, 1995), mengenai evaluasi kebijakan sebagai berikut
―pollicy evaluation is now an integral part of the public policy process in which
programmes are reviewed to asses wheter the have achieved their stated
objectives and the interventions, has had the requisite impact‖. Evaluasi bertujuan
untuk menaksirkan secara kritis dan kemudian menetapkan apakah program atau
Relatively Stable Parameters
1. Basic attributes of the problem area (good)
2. Basic distribution of natural resources
3. Fundamental socio-cultural values and social structure
4. Basic constitutional structure (rules)
External (System) Event
1. Changes in socio-economic conditions
2. Changes in systemic governing coalition
3. Policy decision and impacts from other subsystems
Constraints
and
Resources of
Subsystem
Actors
Coalition A Policy Coalition B
a) Policy beliefs Brokers a) Policy beliefs b) Resouces b) Resources
Strategy A1 Strategy B1
Re guidance re guidance
Instruments instruments
Decisions
By sovereigns
Agency Resources and
General Policy Orientation
Policy Output
Policy Impacts
proyek pembangunan tertentu telah mencapai tujuan atau hasil akhir yang
diharapkan atau tidak. Sedangkan menurut Campbell dan Scriven menyebutkan
bahwa evaluasi sebagai penilaian menyeluruh terhadap efektivitas program.
Ada jenis evaluasi yang mengevaluasi hasil evaluasi, yang disebut dengan
meta evaluasi, yang biasanya dilakuka setelah akhir suatu program. ―evaluasi ex
ante‖
1. Guna melihat apakah evaluasi yang telah dilaksanakan sebelumnya, telah
dilaksanakan dengan tepat dan benar.
2. Kemungkinan hasil-hasil evaluasi terhadap proyek yang sejenis dijadikan satu,
disistematiskan dan dianalisis.
Siapakah yang dapat menjadi evaluator: 1) Para pejabat yang bertanggung
jawab pada tingkat kebijakan (orang-orang yang menduduki posisi senior dalam
struktur kebijakan. 2). Para pejabat yang bertanggungjawab pada tingkat program,
termasuk para staf dari pemberi bantuan sebagai tanggung jawab administrasi. 3)
Staf program yang bekerja pada tingkat local atau pada tingkat proyek (misalnya
manajer proyek). Dan 4). Kelompok sasaran yaitu individu / kelompok yang
dikenakan suatu program atau “the beneficiary”.
Peran evaluator : sebagai teknisi, pengukuran tertentu atau baku, sebagai
descriptor, pemberi gambaran tentang kelemahan dan kekuatan suatu program;
sebagai predictor, menafsirkan kinerja suatu program (Scriven) dan responsive
evaluator, sebagai penanggungjawab informan atau selaku mediator dalam proses
negosiasi. Dalam Solichin (1995) menyebutkan berbagai peran evaluator.
Generasi pertama, terpusat pada pengukuran tertentu misalnya dalam bidang
pendidikan, keuangan dan seterusnya. Generasi kedua, mendiskripsikan pola-pola
yang ada pada suatu program dengan menunjuk pada kekuatan dan kelemahan
program untuk mencapai tujuan. Generasi ketiga, menaksir kinerja suatu program
dan model informasi serta pada akhirnya member pertimbangan-pertimbangan
alternative. Generasi keempat, bertindak selaku mediator dalam proses negosiasi.
Beberapa pendapat disekitar evaluasi ; Kelin (1980), evaluasi tidak hanya
untuk pengembangan metode dibutuhkan, tetapi dalam upaya pencapaian berbagai
intervensi sosial yang komplek, sekali waktu pula untuk menemukan suatu
kesimpulan yang sensible yang ingin diwujudkan. Menurut Morell & Flathery
evaluator harus melibatkan “constituencies” (partisipan). Cronbach dan
asosiasinya; mengatakan pentingnya evaluator yang professional sebagai sine qua
non dalam pemanfaatan dan dampak evaluasi yang menurutnya : evaluasi
terhadap proyek diletakkan untuk perwujudan implikasi-implikasi proyek di masa
mendatang melalui perkembangan dan akumulasi pengetahuan yang reasonable
dan lebih menekankan pada akomodasi berbagai komplik ketimbang prosedur
komando.
Dalam kesimbangan dan kesadaran ketika dalam ruang akomodasi
interpretasi keluasan dan komplik dari setiap interest dalam kebijakan yang secara
tidak kentara sebagai studi kelompok untuk memelihara atau melepaskan
netralitas (Carol Weiss). Policy maker sebagai nilai instrumental yang melibatkan
perubahan praktis atau prosedur yang merupakan hasil langsung dari temuan
evaluasi konseptual. Melibatkan perubahan pada titik pandang Policy maker atau
pemimpin proyek atas kebijakan dengan studi evaluasi dari program-program
yang berhubungan (Corner). Dan Oleh Cook dan Weiss tentang konsep ini
dimaksudkan untuk mengembangkan cara dan gagasan yang berorientasi pada
masa mendatang.
Ada sejumlah syarat yang dipakai oleh sejumlah pakar kalau kita mencoba
menguakkan atau mencerminkan pada persoalan-persoalan politik, gagasan kita
terjebak pada hal-hal yang atau mencerminkan pada persoalan-persoalan politik,
gagasan kita terjebak pada hal-hal yang bersifat politis tapi lebih ditekankan pada
fesebilitas politik, mana yang sekiranya aspek-aspek politik yang menghambat
atau mendukung kebijakan yang dibuat atau mana yang rentan dengan “Policy
Dilemma”. Point 2 eksplorasi kualitatif, dapat mengungkapkan melampui dari
perhitungan rasional ekonomi; sampai mengapa itu terjadi/mengapa kausalitas itu
terjadi. Harus ada perhatian yang besar pada aspek kearifan atau “Tacit
Knowledge”. Selanjutnya muatan evaluasi yakni aktivitas, dampak dan efisiensi
baik financial maupaun politik.
Bagaimana mencapai rasionalitas nilai, penilaian menyeluruh terhadap
efektivitas program (Campbell & Scriven), apakah actual output dan expected
output, evaluasi tentang tindakan pemerintah, untuk siapa, mengapa dilakukan,
konskwensinya apa, impact bagaimana, pengungkapan the hidden dimension
seperti ongkos sosial dan politik.
B. Manfaat dan Fungsi Evaluasi Kebijakan
Manfaat evaluasi : peningkatan kualitas dan impact kebijakan, member
informasi tentang pelaksanaan suatu proyek atau program, member informasi
pada para penanam modal, mengetahui cara-cara penyempurnaan pelayanan, dan
apakaha tujuan serta kepentingan target group dapat dicapai. Fungsi penelitian
evaluasi (Dussel Dorp, 1994) adalah evaluasi dapat mengemban fungsi
pembelajaran dalam artian bahwa dengan evaluasi dapat diketahui kondisi-kondisi
yang membuat suatu program sukses atau mengantar kepada kegagalan. Adapun
fungsi lainnya adalah: sebagai kemudi manajemen, kontrol dan inspeksi,
akuntabilitas (cost apakah sama atau tidak dengan output), dan sebagai fungsi
kepenasihatan dalam rangka menghindari resiko dan perbaikan program. Tiga
unsur dasar penelitian evaluasi adalah :
1. Analisis teoritis mengenai asumsi-asumsi program (pengumpulan
informasi)
2. Penelitian terhadap komponen-komponen program (kepentingan para
stakeholder)
3. Pembagian teliti atas pendekatan-pendekatan alternatif. Unsure-unsur
evaluasi lainnya adalah informasi yang sistematis, bermanfaat bagi yang
berkepentingan, pemahaman yang mendalam terhadap perubahan akibat
suatu kebijakan dan member dukungan dalam pengambilan keputusan atau
upaya perbaikan program.
Weiss, penelitian evaluasi bermaksud agar dimanfaatkan segera dan
langsung untuk memperbaiki kualitas program sosial. Namun tinjauan
menyeluruh atas pengalaman-pengalaman evaluasi menunjukkan bahwa hasil
evaluasi ternyata tidak membuahkan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan
program. Ada beberapa tipe pemanfaatan evaluasi. Pertama, instrumental, hasil
dipergunakan oleh pengguna dalam setiap langkah maupun keputusan. Kedua,
secara konseptual, hasil evaluasi secara konsep dapat diterima dan diperhatikan
oleh para pengguna (masih dalam pikiran saja). Ketiga, persuasive penggunaan
hasil hanya untuk mempengaruhi atau untuk menggalang kekuasaan.
Meskipun evaluasi telah dilakukan dengan baik dan dengan metode yang
canggih, tapi pemanfaataannya tidak maksimal bahkan tidak jarang hanya masuk
laci para biokrat. Sebab banyak halangan yang ada diseputar pemanfaatan hasil
evaluasi sehingga rendah pemanfaatannya. Mengenai hal ini menurut Huran
Institute, Lyn dkk (Solichin, 1995) bahwa :
1. Rendahnya kualitas penelitian, dilihat dari sudut kepentingan pengguna
sama sekali tidak mempunyai implikasi-implikasi praktik.
2. Daya kegunaannya diragukan atau tidak diketahui atau orang lebih
memilih untuk tidak menggunakan.
3. Evaluasi tidak menghasilkan dampak, karena dampak tidak ditentukan
oleh keputusan-keputusan yang dilakukan oleh banyak individu di
pemerintah.
Sedangkan menurut Shadish dalam buku yang sama bahwa hal-hal yang
mempengaruhi kemanfaatan hasil evaluasi adalah : 1. Dianggap mengancam
kepentingan yang telah mengakar. 2. Para manajer terbiasa bekerja dengan cara-
cara tertentu, yang dirasa sebagai sesuatu yang nyaman dana aman. 3. Para
pengambil keputusan-keputusan menggunakan berbagai sumber informasi dengan
berbagai cara. Sebenarnya evaluasi juga diharapkan bisa memberdayakan dan
member peluang bagi pihak klien. Konsep ini yang dikenal dengan pendekatan
“kosmetik simpatik” dimana didalamnya ada sharing of power (empowerment),
pengguna sebagai pelanggan, “consumer driven approach”, hak konsumen adalah
selain dilayani, juga perlu didengar pendapatnya. Dengan demikian kemungkinan
pemanfaatan terhadapa hasil evaluasi akan lebih baik, sebab para klien merasa
ikut bertanggungjawab dalam menentukan hasil evaluasi dan rekomendasi. Makna
konsumerisme (Pollit) sebagai sebuah kontinum yang bergerak mulai dari
kepedulian terhadap konsumen dengan menyediakan informasi yang semakin
banyak dan baik kepada para pengguna jasa, hingga upaya pemberdayaan dimana
para konsumen dilibatkan dalam manajemen dan pemberian pelayanan itu sendiri.
Namun dalam hal pelayanan kadangkala terjadi distorsi, yang mana :
1. Berasal dari dampak pengaruh yang melampui hal-hal yang tengah
dievaluasi.
2. Berasal dari tingkat aspirasi awal dari para pengguna yang dipengaruhi
oleh hal-hal sebagai berikut : a) para pengguna telah terbiasa dengan
pelayanan yang berkualitas rendah (menerima apa adanya), b). para
pengguna tingkat pengetahuannya rendah mengenai jenis pelayanan
(pelayanan yang diberikan), c). informasi dan kapasitas para pengguna
mempengaruhi preferensi-preferensi tidak terdistribusikan secara merata.
Ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap pemanfaatan hasil
evaluasi adalah : para evaluator dan para pengguna; pengolah informasi oleh para
pengguna; kredibilitas evaluasi yang memenuhi criteria timing yang tepat,
transfaransi dan juga konten dari evaluasi; dan keterlibatan para pengguna dalam
penelitian evaluasi. Yang terefleksikan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Relevansi; dengan kebutuhan tertentu dari pihak pengguna.
2. Komunikasi; keakraban komunikasi antara pengguna dan evaluator, tidak
terjadi distorsi, disiminasi informasi, mereka sering menggunakan
evaluator atau perantara.
3. Pengolah informasi; dituntut jelas dan syarat dengan pertimbangan,
informasi yang relevan berkualitas, komunikasi tertulis ataupun lisan,
disampaikan secara terbuka dengan metode yang baik dalam bahasa yang
praktis, mudah dimengerti dan bila dilaksanakan nyata hasilnya.
4. Kredibilitas; pertimbangan rasional politik dan akademis, mempercayai
hasil penelitian ketimbang Intuisi, evaluator terlatih dan menguasai bidang
yang diteliti hingga tidak seorangpun dapat menyangkal kualitas metode
yang dipergunakan.
5. Keterlibatan pengguna dan advokasi (dalam kontek politik dan komitmen
individu), ini akan memungkinkan beberapa hal antara lain :
Mudah berintegrasi dengan hasil penemuan.
Komitmen individual pembuat keputusan menentukan apakah
evaluasi akan digunakan.
Menggunakan pendekatan kepemilikan hasil evaluasi mudah
meresap keseluruh pengguna.
Pemanfaatan temuan evaluasi secara konsepsual bersifat serta
merta.
Pengguna akan lebih mudah diadvokasi.
Proses pembuatan keputusan tidak lagi menjadi monopoli para
evaluator.
Kasus di Indonesia mengenai evaluasi tidak berkembang pesat. Ini
dikarenakan tidak tersedia informasi dan data yang transparan, proses politik dan
pelembagaan tidak teratur, banyak terjadi korupsi, perumusan terburu-buru oleh
karena permasalahan terlalu banyak, pusat kekuasaan tidak terbagi secara merata,
sering terjadi perubahan ditiap daerah, adanya perbedaan persepsi dalam
menafsirkan ideology, terbelenggu oleh struktur dan birokrasi yang ketat dan apa
yang senyatanya mereka kerjakan dan pikirkan sering merupakan rahasia ―silence
dan secrecy‖.
Menurut Abidin bahwa ―evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses
kebijakan‖, namun pengertian evaluasi secara lengkap mengandung tiga
pengertian, yaitu: (1) evaluasi awal dari proses perumusan kebijakan sebelum
diimplementasikan; (2) evaluasi dalam proses implementasi atau monitoring dan
(3) evaluasi akhir yang dilakukan setelah selesai proses implementasi kebijakan.
Penilaian yang hendak dicapai dalam evaluasi adalah menyangkut: efisiensi,
keuntungan, efektif, keadilan, detriment (indikator negatif dalam bidang sosial)
dan manfaat tambahan (Abidin, 2012).
Evaluasi kebijakan bersangkutan, dengan persoalan dengan untuk
menentukan dampak dari kebijakan terhadap kondisi kehidupan nyata. Menurut
James Anderson, ungkapan "mencoba untuk menentukan" digunakan karena,
seperti yang akan menjadi jelas, menentukan efek yang sebenarnya, atau
konskwensi-konskwensi, kebijakan seringkali merupakan tugas yang sangat rumit
dan sulit. Minimal, evaluasi kebijakan mengharuskan untuk mengetahui apa yang
ingin dicapai dengan kebijakan yang diberikan (tujuan kebijakan), bagaimana
berusaha untuk melakukannya (program), dan jika ada, apa yang telah dicapai
menuju pencapaian tujuan (dampak atau otcomes), dan hubungan hal tersebut
dengan kebijakan). Dan dalam mengukur prestasi, perlu menentukan tidak hanya
bahwa beberapa perubahan dalam kondisi kehidupan nyata telah terjadi, seperti
penurunan tingkat pengangguran, tetapi juga bahwa itu karena tindakan kebijakan
dan tidak karena faktor-faktor lain, seperti ekonomi swasta keputusan (Anderson,
1979).
Menurut hasil penelitian Compston, bahwa penerapan kebijakan publik di
masa depan di arahkan pada upaya untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan: 1)
kebijakan bisnis Lebih ramah; 2) kebijakan ketenaga-kerjaan lebih ramah; 3)
kebijakan lebih institusif, teknologi dan internasionalisasi, penegakan hukum dan
keamanan; 4) kebijakan berpihak pada perempuan lebih ramah; 5) kebijakan
sosial lebih liberal; 6) kebijakan penanganan lingkungan lebih kuat; dan 7)
kebijakan untuk melawan efek negatif dari inovasi teknologi dan
internasionalisasi ekonomi yang lebih kuat (Compston, 2009).
Menurut Masmanian dan Sabatier, penilaian evaluasi pada realisasi dampak
output kebijakan berarti telah peduli dengan pencapaian tujuan program, sesuai
dengan harapan yaitu: (a) output kebijakan dari lembaga pelaksana konsisten
dengan tujuan undang-undang, (b) kelompok sasaran akhir sesuai dengan output
kebijakan, (c) tidak ada "subversi" output kebijakan yang serius atau undang-
undang mengalami dampak yang saling bertentangan, dan undang-undang yang
menggabungkan teori kausal yang memadai menghubungkan perubahan perilaku
dalam kelompok target untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan. Dampak yang
dirasakan akan menjadi fungsi dari dampak aktual, mengharapkan korelasi yang
tinggi antara predisposisi awal menuju undang-undang dan persepsi serta evaluasi
dampak. Selain itu, sesuai dengan undang-undang kognitif baik akan (a) melihat
dampak-dampak yang tidak konsisten dengan tujuan undang-undang, (b) melihat
undang-undang tidak sah, dan/atau (c) mempertanyakan validitas data dampak
(Masmanian dan Sabtier, 1989).
Dampak dari kebijakan memiliki beberapa dimensi, semua yang harus
diperhitungkan dalam proses evaluasi. Ini termasuk:
1. Dampak pada masalah publik yang diarahkan dan pada orang yang terlibat;
2. Kebijakan mungkin memiliki efek pada situasi atau kelompok lain selain
seperti apa yang menjadi harapan, efek ini disebut dengan eksternalitas atau
spillover;
3. Kebijakan mungkin berdampak pada masa depan serta kondisi saat ini;
4. Biaya langsung dari kebijakan merupakan komponen lain dari evaluasi, dan
5. Kebijakan mungkin menimbulkan biaya tidak langsung dari masyarakat atau
sebagian dari anggotanya (Anderson, 1979).
BAB V ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN
A. Pengertian Analisis Kebijakan
Ericson (Solichin, 1998); analisis kebijakan publik adalah merupakan
penelitian yang berorientasi di masa depan dalam merancang cara-cara optimal
dalam mencapai serangkaian tujuan-tujuan sosial. Dan menurut Dror dalam buku
yang sama; analisis kebijakan public adalah suatu pendekatan dan metodelogi
untuk merancang dan mengidentifikasi pilihan-pilihan alternative dalam
menangani isu kebijakan yang komplek dari sudut para pembuat kebijakan. Ini
berarti analisis kebijakan mencakup serangkaian aktivitas kreatif yang
dimaksudkan untuk pengembangan, koordinasi administrative dan politis,
implementasi, monitoring dan evaluasi.
B. Institusi-institusi Analisis Kebijakan
Tugas Institusi sebagai “think tank” (tangki pemikir) yakni menawarkan
informasi dan alternatif-alternatif kebijakan adalah tugas pemerintah untuk
menggunakan atau tidak menggunakan informasi itu dan untuk memilih atau
tidak, memilih diantara alternatif-alternatif yang disodorkan. Adapun beberapa
institusi tersebut dibagi menjadi :
1. Badan-badan administrasi pusat, menetapkan dan mempersiapkan
kebijakan-kebijakan dalam pedoman-pedoman operasional.
2. Institusi-institusi yang bertugas untuk menghimpun informasi
kecenderungan pilihan-pilihan kebijakan.
3. Dewan penasehat dalam upaya pengembangan dan koordinasi kebijakan
atau mempunyai kerjasama dengan pemerintah / spesialisasi sendiri.
Di Indonesia DPR adalah tangki pemikir juga analis bahkan pengawas, masih
sering dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah. Legislatif berada dibawah
pengaruh eksekutif oleh Baehr (1986) disebabkan hal-hal sebagai berikut: a),
merekrut orang-orang yang seideologi, b). memangkas anggaran keuangan, c).
menolak dan menunda member komentar atas laporan dewan dan, d).
memberondong dewan dengan berbagai permintaan nasehat kebijakan.
C. Pentingnya, Tujuan Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan menjadi penting oleh karena : semakin kompleknya
tanggungjawab urusan dan program yang dilaksanakan pemerintah; sebagai
proses demistifikasi, bahwa kemajuan yang ingin dicapai adalah melalui program
yang telah terencana dengan baik untuk mencapai tujuan di masa mendatang,
untuk meningkatkan kualitas keputusan. Adapun tujuan analisis adalah
merumuskan kebijakan dalam suasana problematik, bukan sekedar
mempertahankan keputusan-keputusan birokrasi yang sudah ada.
D. Peran Analis Kebijakan
Meskipun dalam tujuan telah tergambar seperti itu, namun peran analis
dibatasi oleh tujuan analisis, dukungan sumber financial, sikap Policy maker (s)
dan akses terhadap informasi bagi keperluan analisis. Adapun peran analisis
adalah sebagai berikut:
a. Mampu menyediakan suatu pedoman kebijakan mengenai langkah-
langkah strategis yang harus diambil oleh Policy maker, khususnya
mengidentifikasi masalah politik yang dihadapi serta penyusunan sebuah
scenario kebijakan tentang tindakan strategi yang perlu diambil yang
efektif, efesien dan logis.
b. Mempunyai fungsi kepenasihatan politik ―Politic advocacy”
c. Mengidentifikasi berbagai aktor baik yang mendukung maupun yang
menolak kebijakan.
E. Keterbatasan Analisis Kebijakan Publik
1. Konotasinya yang sering mengarah pada logika kalkulatif, kuantitatif dan
matematis.
2. Tidak dapat menyediakan jawaban yang cepat untuk masalah-masalah
yang ruwet dan tak bisa dimanajemen.
3. Tidak merupakan ilmu pasti dan tak akan menjadi demikian.
4. Bukanlah sebuah obat mujarab, “the panacea” bagi kerusakan-kerusakan
yang terjadi pada kebijakan public (untuk point 3 dan 4 dipertegas oleh
pendapat Edward S. Quade, 1975).
Akan mengalami kesulitan dalam menciptakan kepercayaan public,
membangun koalisi, melakukan negosiasi/kompromi dengan stakeholder (s),
ini menyangkut system politik atau dinamika politik tertentu.
F. Pendekatan-Pendekatan Analisis Kebijakan Publik
Pembuatan kebijakan yang didasarkan pada intuisi/naluri (Dror) ke
penggunaan metode-metode penelitian dan evaluasi yang lebih rasional dan
terstruktur dengan berbasiskan informasi-informasi yang akurat dan melibatkan
aktivitas berpikir penuh pertimbangan adalah menjadi sangat penting. Menolak
anggapan bahwa dengan metode ilmiah dapat diperoleh pemahaman yang netral
dan obyektif atas isu-isu kebijakan. Meyakini adanya kemajuan dan pluralism
nilai-nilai dan argument yang bisa dimanfaatkan untuk memahami berbagai isu
kebijakan. Adapun sifat pendekatan analisis adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan konstektual yang berfungsi memetakan konteks kebijakan,
mengintepretasikan apa yang terjadi dan pada saat yang sama terjadi
berbagai pemahaman atau bertukar pikiran untuk mengkaji atas peta yang
dibuat.
2. Lebih bersifat filosofis dan kritis terhadap asumsi-asumsi yang
melatarbelakangi suatu kebijakan, memungkinkan seseorang mencermati
secara kritis pandangan orang lain, terjadi “meeting of assumption”
(perjumpaan asumsi)
3. Mempromosikan dan mempengaruhi gagasan-gagasan, yang dimaksudkan
menghubungkan antara upaya analisis dengan studi-studi proses, dimana
gagasan-gagasan informasi terlibat dalam persuasi politik.
Adapun pendekatan-pendekatan analisis kebijakan. Pertama, analisis
kebijakan partisipatif / AKP (Dan Durning), meyakini fenomenologi sebagai cara
yang lebih baik, yang interatip dan hermeneutic sebagai paradigm ilmiah yang
terdiri dari : AKP untuk kepentingan partisipatif, AKP sebagai penyedia analitik,
AKP intepretatif dan AKP untuk kepentingan stakeholder. Kedua, analisis
kebijakan sebagai diskursus (White) yakni : diskursus analitik, diskursus kritis,
dan diskursus persuatif. Tehnik-tehnik analisis. Pertama pendesain sistem
informasi atau analisis system dari Quade (1966), yakni analisis guna membantu
pembuat kebijakan mengidentifikasi suatu pilihan tindakan tertentu yang
diinginkan diantara sejumlah alternative yang tersedia. Selanjutnya dalam
menganalisis suatu kebijakan dapat mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perumusan masalah dengan tepat, menetapkan tujuan kebijakan.
b. Mencari alternatif-alternatif yang mungkin
c. Menilai dan merangking alternative
d. Menentukan alternative yang tepat sesuai dengan tujuan.
G. Netralitas Analisis Kebijakan
Reinn (1976) pemikiran bahwa analisis itu sepenuhnya haruslah ilmiah,
tidak memihak dan tidak berperasaan serta bebas nilai, hal ini sesungguhnya
hanyalah sebuah mitos. Sebab penelitian sudah pasti dipengaruhi oleh keyakinan-
keyakinan dan asumsi-asumsi penelitinya. Myrdall mengatakan bahwa studi
tentang suatu persoalan sosial memang harus ditentukan oleh penilaian-penilaian
ilmu sosial yang tidak memihak sesungguhnya tidak ada. Untuk mencapai
obyektivitas adalah dengan membeberkan secara transfaran serta menyajikan
secara sadar, spesifik dan jelas. Sebagai kesimpulan bahwa yang menjadi pusat
perhatian analisis kebijakan adalah : isu kebijakan bagian dari policy space,
substansi kebijakan, waktu dan fisibilitasnya; tindakan-tindakan politik yang
diambil; kualitas isu dan kontek kebijakan itu sendiri; dan mekanistik-atomistik ke
sistematik-holistik. Menurut Habermas dengan analisis, selain nilai atas efesiensi
materi yang ingin dicapai, juga para aktor dibimbing oleh norma-norma tertentu
dan nilai berdasarkan kepantasan sosial dan legitimasi.
H. Pentingnya Pertimbangan Kelayakan Politik
Memahami berbagai aktor utamanya “mayor player” bagaimana mereka
melakukan pengaruh, pola interaksinya tentang aspek-aspek politik serta implikasi
politik yang terlibat. Sebab perlu disadari untuk menghasilkan sebuah kebijakan
dari hasil transaksional dari para aktor melalui loby-loby, tawar menawar,
negosiasi atau kompromi yang intinya dalam proses ini siapa memperoleh apa,
berapa banyak, kapan dan dengan cara bagaimana. Sebab kebijakan publik
sesungguhnya bersangkut paut dengan persoalan kekuasaan dan hubungan
kekuasaan dalam lingkungan system politik. Analisis akan sangat tergantung pada
peran yang diambil oleh analisis, pengetahuannya dan lingkup kebijakan yang
ditangani. Dalam hal kelayakan politik ini ada dua hal yang perlu menjadi
perhatian kita. Pertama pemahaman atas implikasi dan dampak politik dari setiap
kebijakan. Kedua, masih langkanya metodelogi yang tepat.
I. Skenario Kebijakan Publik
Skenario menurut Encel (Solichin, 1998) adalaha merupakan langkah-
langkah hipotetik yang difokuskan pada proses-proses kausalitas dan titik-titik
kritis keputusan. Mengorganisasikan informasi politik bagi keperluan penyusunan
alternatif-alternatif kebijakan yang menyangkut masa depan dan kebijakan yang
sedang digarap Akzin (___). Ada tiga hal yang perlu diperhatikan analis dalam
penyusunan scenario kebijakan yaitu : merumuskan lingkungan politik,
menghimpun dan mengorganisasikan informasi politik; dan membuat
pertimbangan politik, serta memperkirakan kelayakan politik.
J. Proses Penyusunan Skenario Kebijakan Publik
Untuk memahami proses dari penyusunan scenario kebijakan, perlu
dipahami enam komponen berikut ini. Pertama, para aktor bahwa proses
kebijakan sebaiknya dipahami sebagai sebuah peristiwa sosial dan arena
perjuangan, tempat, dimana para partisipan baik individu ataupun kelompok yang
berbeda pandangan dan latar belakang lapisan sosialnya, berkompetensi untuk
memenangkan kepentingannya masing-masing, Crehan & Oppen (Solichin,
1998). Aktor disini termasuk juga target group, yang dapat mempengaruhi
berhasilnya suatu kebijakan. Tidak memandang proses kebijakan sebagai satu
kesatuan yang terintegrasi, melainkan merupakan serentetan upaya negosiasi yang
berlapis-lapis dari para aktor, yang mengambil peranan yang selektif yang secara
sengaja mempengaruhi kebijakan, Ortwin Reinn (1992). Para aktor dalam hal ini
adalah penegak hokum; penggema isu seperti kaum professional, jurnalis,
ilmuwan, para promoter di luar arena dan free riders.
Menurut Crosier, menggariskan suatu pendekatan penelitian yang
memandang birokrasi modern tidak sebagai suatu mesin yang sudah diatur dan
berjalan lancer, melainkan sebagai konstilasi dari berbagai konfigurasi (partai-
partai) yang melakukan tugas-tugas yang berbeda dan berusaha untuk mengontrol
pendefinisian tujuan-tujuan organisasi. Namun demikian pendekatan ini belum
mampu menjawab bagaimana tiap-tiap bagian dalam organisasi nyata berinteraksi
maka muncul Mintzberg yang mengatakan organisasi sebagai sebuah arenah.
Dimana berbagai bagian menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang saling
bertentangan dan bertarung untuk merebut control atas keseluruhannya. Dalam
beberapa kasus manajemen pusat mampu melakukan control dan menciptakan
suatu birokrasi mesin akan tetapi dalam kasus-kasus lainnya ia tidak dapat berbuat
demikian. Sebab lebih pada birokrasi professional yang didominasi oleh staf
operasi.
Kedua, motivasi aktor bahwa masing-masing aktor memiliki motif untuk
melakukan preferensi tertentu, meski bersifat pribadi dan berada dalam dimensi
ruang dan waktu. Termasuk motivasi politik untuk menentukan seberapa besar
nilai trade off oleh aktor lain bagi dukungan politik yang diberikan. Ketiga,
kepercayaan politik yakni menyangkut keyakinan sikap, dan nilai-nilai para aktor.
Analisis menyingkap fenomena-fenomena sosial berdasarkan nilai-nilai sosial dan
cultural yang diyakini sebagai suatu yang lebih baik dan benar. Melalui
pemahaman tersebut diupayakan untuk menggali kompleksitas jaringan makna
atas dasar para aktor itu menyandarkan strategi-strategi yang mereka gunakan
dalam upaya mempengaruhi kebijakan, Crehan dan Oppen (Solichin, 1998). Atau
apa yang disebut sebagai “conceptual lense” yang dianut, yang sering berbeda
dengan para pendukung atau oposan suatu kebijakan.
Keempat, sumber daya bahwa hal yang terpenting dalam proses kebijakan
adalah sumber daya sosial seperti : uang, kekuasaan, pengaruh sosial, komitmen
terhadap nilai dan fakta (Renn, 1992). Sumber daya ini yang menjadi instrument
untuk mencapai tujuan dan sebagai pemuas motivasi. Kelima, pentas para aktor
“political setting” sebagai alur kapan dimulai atau diakhiri sebuah proses yang
bisa terwujud. Sebagai contoh dalam fraksi DPR, yakni lobi-lobi tokoh politik,
bagi analis perlu kiranya membuat “political map” (peta politik untuk mengetahui
semua kekuatan politik yang ada yang mana sangat dipengaruhi oleh sikap, nilai-
nilai dan lain sebagainya. Dan yang terakhir, pertukaran dengan mengestimasi
mengenai aktor-aktor mana saja yang secara politis dapat mengambil tindakan
politik yang efektif, melalui proses trade off dan bargaining serta kemungkinan
terjadinya consensus dan komplik atas suatu kebijakan.
Dalam membuat skenario kebijakan, apa latar belakangnya sehingga
model matematis atau ekonomi yang mendominasi cara orang untuk mencoba
melakukan analisis ? Mulai ragam tehnik yang bisa dilihat seperti cost-benefit,
mekanisme pasar, padahal kita tidak bisa mengabaikan kekuasaan sebagai sumber,
kasak-kusuk, rontoknya kekuasaan tidak bisa analogkan dengan hubungan
korelasi seperti barang dan jasa tetapi toh ini yang dipergunakan sejak dulu
dipakai sepanjang internal statemen-statemen yang kita ikuti tidak akan kesasar.
Bagaimana metodeloginya (lihat Solichin, 1998 : 81-85). Persoalan cost-benefit,
hendaknyaan politis seperti : mengenai siapa yang diuntungkan, siapa yang
dirugikan dan bagaimana prosesnya ? Menurut Hoksbergen; SCBE tidak mungkin
benar-benar netral atau fee-value bahkan harus ada pertimbangan-pertimbangan
nilai seperti kebaikan yang hakiki “the notion of the good” (bagaimana mereka
menilai sesuatu yang berhasil) partisipasi meningkat. Sebab dari pilihan nilai yang
mereka ambil sudah mencirikan bahwa tindakan tersebut penuh dengan
judgement-judgement nilai, dalam artian tidak netral.
Bagaimana kita menyusun skenario, “Theatrum Politicum” bagaimana
kerangka berpikir yang mendominasi kebijakan public bagaimana proses
kebijakan perlu kita lihat sebagai perspektif yang berbeda, yang dianggap berjalan
lurus, tapi kita lihat sebagai “Social Events”, kita melihat pada tatanan makro
politik dalam wacana demokrasi, siapa partisipannya, siapa kelompok-kelompok
yang bergabung didalamnya, apa kepentingannya dan apa pandangannya. Mereka
yang tidak terdidik / miskin / atau lebel-lebel lain yang diberikan kepadanya,
sebenarnya bisa mempengaruhi outcame atau menggagalkan kebijakan dengan
cara-cara mereka sendiri. Jhonson & Clark mengatakan bahwa dalam interaksi
sosial pada proses kebijakan itu pasti ada semacam orang atau organisasi yang
saling tarik menarik. Untuk memperjuangkan kepentingan mereka masing-
masing. Ini yang kita temui dalam teori Metafora dari Ortwin Reinn (model arena
sosial). Bagaimana proses implementasinya yang terkait dengan formulasinya,
siapa bertindak apa, siapa bernegosiasi dan apa yang dinegosiasikan.
1. Proses kebijakan tidak dipandang sebagai suatu proses yang terintegrasi,
janngan dilihat sebagai suatu yang utuh sebab masih merupakan serpihan-
serpihan yang sebenarnya penuh dengan negosiasi / koalisi/kapan/siapa/
dalam situasi yang bagaimana sosial politiknya seperti apa) terkait dengan
dimensi-dimensi pembangunan/sosial.
2. Peran aktor, terutama perilaku individu atau kelompok yang secara sengaja
mempengaruhi kebijakan. Peran aktor dalam arena sosial sangat selektif.
Langkah-langkah analisis model kualitatif (Solichin, 1998) :
1. Identifikasi masalah
2. Identifikasi para aktor
3. Deskripsi karakteristik (point 1 dan 2)
4. Mengkaji berbagai saran dan pandangan yang pernah diajukan dalam
masalah yang sama.
5. Kajilah berbagai pengalaman sebelumnya.
6. Membuat daftar alternative tindakan
7. Pilihan tindakan yang selayaknya bisa diteliti lebih lanjut
8. Rinci tindakan yang akan diambil termasuk cara implementasinya.
9. Rinci akibat atau konskwensi yang mungkin terjadi.
K. Metode-Metode Lain Dalam Penelitian Kebijakan
Metode lain yang digunakan. Pertama, metode Delphi; bahwa para
peneliti tidak perlu datang ke daerah penelitian, mereka atau para peneliti cukup
dengan mengundang orang-orang yang sudah pernah mengadakan penelitian
secara berulang-ulang dan teratur pada daerah yang akan diteliti atau dengan
mengundang masyarakat yang telah lama tinggal didaerah tersebut. Kedua,
metode “The Prince” sangat sederhana tapi brilian, dengan tanpa mengadakan
survey, tapi cukup dengan mengadakan kunjungan pada pusat-pusat keramaian,
kota, daerah terkenal, atau pusat-pusat informasi pada Negara yang ingin diteliti.
Dengan mengasumsikan tempat-tempat tersebut, misalnya ―kalau Bandar
udaranya saja sembraut apalagi stasiun busnya, kalau front officenya saja kotor
bagaimana dengan kamarnya, dll.
Dalam penelitian yang terpenting jangan sampai kehilangan imajinasi,
pertanyaan harus dikembangkan, dan terus menerus. Usahakan memasuki sampai
tahap yang paling abstrak, tidak hanya pada tataran empiris. What Neck To Do,
lompatan-lompatan intelektual atau dentingan intelektual akan terus dilakukan.
Apa yang muncul dalam skenario-skenario kebijakan prosesnya adalah seperti itu.
Pengakuan keterbatasan mengenai analis. Analis kebijakan bukanlah suatu
“Fanacea” masih perlu ditelusuri lagi tiada henti pada statistic atau perolehan
data tertentu. Tugas utama analis; bagaimana mengubah “messes” (sampah)
menjadi sesuatu yang konstruktif, menjadi sesuatu yang lebih baik, dengan kreasi
dan imajinasi kita.
BAB VI KAJIAN TERHADAP PENDEKATAN POSITIVISME
Politism Comte, pengetahuan indrawi khususnya yang terwujud dalam
ilmu-ilmu alam, tidak hanya menjadi norma melainkan satu-satunya norma bagi
kegiatan pengetahuan dan dengan norma ini penelitian empiris sebagai kegiatan
pengetahuan yang sahih, menjadi semakin radikal dalam sejarah perkembangan
teori. Pendekatan ini mengajukan diri sebagai alternative untuk menjadi
pandangan dunia total manusia modern yang akan menyatukan berbagai bidang.
Namun dalam kenyataannya menjadi pecah berkeping-keping, karena
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi beserta berbagai spesialisasinya,
menciptakan tatanan obyektif baru yang didasarkan pada metafisika. Melainkan
metode-metode ilmu alam yang scienties.
Scientifikasi berbagai bidang hidup, mengimplikasikan tehnologi berbagai
bidang kehidupan dan akhirnya mereduksi manusia pada matra obyektifnya,
mengilmiahkan masyarakat dan kehidupan, pada gilirannya mempermiskin dan
mengosongkan makna kehidupan manusia hingga pada akhirnya
menginstrumentalisasikan manusia. Pandangan dunia total scientism bukannya
menyatukan, melainkan memecah belah manusia sampai pada akar-akar
integritasnya, semua hal dikuartifikasikan. Seperti kegelisahan, perasaan, etika,
estetika, agama, metafisika. Menganggap ilmu-ilmu sosial menganut tiga prinsip
yakni : empiris obyektif, deduktif nomologis, dan instrumental bebas nilai.
Menurut Anthony Giddens mengatakan pendekatan positivism memiliki
karakteristik:
1. Prosedur-prosedur metodologi ilmu-ilmu dapat langsung diterapkan pada
ilmu-ilmu sosial,
2. Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti
ilmu-ilmu alam.
3. Ilmu-ilmu sosial harus bersifat tehnis yaitu menyediakan pengetahuan
yang bersifat instrumental murni.
Sedangkan menurut Hammersley (dalam Solichin, 1995), pendekatan
positivism adalah :
1. Diadopsi dari ilmu alam yang merupakan satu-satunya pengetahuan yang
logis dan rasional.
2. Harus diaplikasikan pada penelitian sosial, kendatipun ciri-ciri realitas
sosial berbeda.
3. Pengukuran kuantitatif dan eksperimen atau manipulasi statistic atas
variable-variabel penting atau tidak merupakan ciri-ciri ideal dari setiap
kajian dan penelitian ilmiah.
4. Penelitian dapat dan seharusnya menghasilkan suatu yang bisa
dipertanggungjawabkan sejalan dengan realitas independen.
5. Pengetahuan ilmiah terdiri dari hukum-hukum yang universal.
6. Penelitian haruslah obyektif dank arena itu segala bias harus diatasi
dengan komitmen yang tinggi terhadap prinsip netralitas.
Dalam statistika; pengukuran yang reliable dan kesimpulan analitis yang
sempit (Sproullin & Larkey); untuk mempertahankan diri dari tuntutan publik
mengenai program-program pentingnya : metode untuk memilih desain, prosedur
dan analisis, tetapi juga inovasi metode belum dapat mendefinisikan dan
menjawab persoalan-persoalan yang sebelumnya telah ada. Termasuk aspek-aspek
keprilakuan, solidaritas sosial / kelompok dalam cost-benefit analysis (Knetsch)
diangap sebagai “the blue print model”, sesuatu yang sudah pasti ini hanya akan
berguna untuk memudahkan Policy maker, dan akan membahayakan bagi target
group. Evaluasi bukanlah hanya menyangkut pelaksanaan administrasi atau teknis
saja, tetapi termasuk juga kontruksi sosial dan politik yang ada (Jhon G.
Heliman).
Jurgen Habermas mengatakan bahaya riil positisme dalam ilmu sosial
sebagai penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses alam pada masyarakat
yang selayaknya diketahui dengan pengetahuan reflektif. Untuk saling memahami
intersubyektif oleh karena itu akan menghadirkan tehnologi sosial. Yang pada
gilirannya menjadi determinan dan dominasi, di dalam teknokrasi total peranan
subyek dalam membentuk “fakta sosial” disingkirkan. Yang terjadi disini adalah
obyektivisme, dimana subyek hanya bertugas menyalin fakta obyektif yang
diyakini dapat menjelaskan menurut mekanisme yang obyektif.
Paradigma ekonomi neoklasik (Martin Staniland) yang mendukung
individu meliputi kepentingan-kepentingan dan perilakunya sebagai sesuatu yang
secara anallitis maupun normatif bersifat fundamental, masyrakat dalam
pandangan mereka terikat sebagai kumpulan atau hasil perjuangan kepentingan
individual politik (dan juga Negara) dianggap hanya merupakan agen melalui
mana kepentingan-kepentingan individual diperjuangkan sejalan dengan pendapat
Adam Smith (dengan teori pasar) konvensional, bahwa dalam pasar setiap
individu dapat berusaha memaksimalkan kepentingan mereka masing-masing, jika
mereka diberi kebebasan maka akan muncul inovasi-inovasi baru, alternatif-
alternatif baru untuk mewujudkan keseimbangan pasar. Didalam tulisan
Hoksbergen juga menyebutkan dalam ekonomi neoklasik bahwa manusia
merupakan “rational maximize” dari kepentingan mereka sendiri dan tindakan
mereka yang bercirikan pada kekuatan yang mengarah pada suatu keseimbangan.
Koreksi yang diberikan oleh Peter De Leon (1994), pada epistomologi
positisme sebagai metodelogi ekonomi yang bersifat the sine qua non, teknokratis,
mencirikan Negara garnesum, diupayakan untuk mendukung kepentingan kaum
tirany, melalui penyederhanaan fenomena sosial, dengan political exclution
artinya para klien atau target group dikesampingkan tidak dilibatkan dalama
proses pengambilan keputusan dan pendekatan top-down, menganggap problema
dan resolusinya sebagai sesuatu yang fix price (harga mati yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi). Padahal tidak ada kebijakan yang linier artinya apa yang
sudah direncanakan akan berjalan seperti itu atau sebagai model kausal (jika,,,,
maka.) dan hegemony. Sebagaimana pemikiran public policy quota dominanze
school of throught”. Sehingga terjadi “policy dilemma” dimana dasar-dasar
preferensi tidak terungkap jelas, penggambaran tidak akurat dan terlalu legalistic,
hanya pada hal-hal yang Nampak saja atau dapat diamati, kebijakan dianggap
sebagai unit analisis, sehingga gagal menyingkapkan bahwa kebijakan sebagai
proses belajar “policy discourse”.
Alternative yang ditawarkan oleh Peter DeLeon adalah kebijakan sebagai
wacana “share” cara pandang yang sama, “complicating” (beda pendapat dan
diskursus sebagai sarana belajar). Share meaning; harus ada trade-off (tawar
menawar), take and give, negosiasi, public debate, dan penyikapan terhadap
permasalahan yang dipikirkan bersama sebagai alternative terbaik. Sebagai solusi
De Leon menawarkan pendekatan partisipatory, dimana dalam pendekatan ini
mengandung akuntabilitas, terjadi proses transformasi, democratizing public
policy making planning as social discourse dalam menentukan the notion of the
good. Penerapan political inclution sebagai proses politik to competing
diversivication of interest (dalam upaya pencapaian berbagai kepentingan yang
berbeda), penerapan double hermeneutics dalam mencari kebenaran yang
humanis. Dalam upaya tersebut ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Menempatkan informan sebagai individu yang komplit yang memiliki
politic choice, perasaan, harga diri, dll.
b. Peneliti sebagai pendengar yang baik dan informan sebagai guru,
perlakuan yang sama dan berada dalam situasi kesetaraan.
c. Menyadari bahwa informan atau partisipan sebagai pemilik property
“social property” apa yang dikatakan, apa yang peneliti amati adalah
kepunyaan yang diteliti, peneliti tidak mengiterpretasikan sendiri tapi
menanyakan dan meminta informan member arti tentang apa yang mereka
ketahui. Peneliti hanya menulis dan memindahkan apa yang disampaikan
oleh partisipan.
Sebagai kesimpulan kritik terhadap model ekonomi mikro atau ekonomi
kesejahteraan adalah sebagai berikut:
1. Kurang memperhatikan aspek politik seperti status, legitimasi,
kewenangan, kekuatan dan kekuasaan cenderung tidak dianggap penting.
2. Kurang menyadari pentingnya nilai-nilai procedural, kepentingan kolektif.
3. Meremehkan factor-faktor ketidakpastian dalam pencapaian tujuan dan
harapan. Anggapan
BAB VII BEBERAPA PENDEKATAN ALTERNATIF
Memperhatikan sumbangan dan dominasi yang selama ini dari pendekatan
positivism yang begitu banyak dalam perkembangan ilmu sosial, namun masih di
rasa banyak kekurangan maka perlu diupayakan beberapa pendekatan alternatif,
dengan tanpa meninggalkan pendekatan perintis tersebut. Beberapa pendekatan
alternative ini harus memenuhi criteria sebagai berikut :
1. Mempertimbangkan aspek-aspek politik
2. Konsepsi pembuatan keputusan dan kebijakan diperluas tidak hanya
didasarkan pada pandangan alokasi sumber-sumber.
3. Inovasi dan kreatif, tidak disandarkan hanya pada alternative yang sudah
ada.
4. Aspek kearifan (tacit knowledge) perlu ditonjolkan.
5. Dapat memprediksi jangka panjang ke depan.
6. Lebih luwes, tidak kaku namun tetap sistematik.
A. Pendekatana Kualitatif
Menurut Detzner dkk, kualitatif sebagai naturalistic field work
mempunyai ciri-ciri umum dengan metode “doble fitting dan multiplicity of
reality” sebagai berikut:
1. Mencari kedalaman informasi bukan kebebasannya atau ketebalannya.
2. Bukan mencari representative atau tidaknya sample yang ditarik dari
populasi yang besar, melainkan memberikan kedalaman dan keakraban
terhadap mereka sebagai totalitas sosial (dengan meneliti sebagian kecil
dari masyarakat).
3. Pusat pembahasan pada bagaimana mereka bertindak dan berpikir, segala
sesuatu yang ingin kita ketahui bukan memfokuskan pada apa yang dilalui
oleh orang-orang itu, apa yang mereka percayai.
4. Situasi yang dipelajari dapat dibedakan dalam berbagai level, mikro ke
makro atau induktif ke deduktif.
5. Menemukan dimensi-dimensi yang tersembunyi yang mungkin tidak
ditemui dalam survey, menemukan informasi yang baru yang tidak
mungkin diperoleh dengan cara lain.
6. Tujuan akhirnya dari metode ini adalah mempertanyakan kebenaran
teoritis untuk memunculkan teori baru yang diangkat dari hasil kajian
lahan dan tidak pernah berhenti pada satu titik.
Bentuk-bentuk penelitian kualitatif (Detzner), adalah naturalistic kualitatif
yang mencakup : a). oral word (monolog), peneliti sebagai pendengar yang baik
dari informasi yang disampaikan oleh informan/partisipan, b). write words
yakaniaaa diambil dari data-data sekunder seperti : jurnal, otobiografi, texs book,
surat-surat, laporan-laporan resmi dan dokumen sejarah., c). catata-catatan
observer atau hasil-hasil temuan partisipan, pengamatan-pengamatan pada
upacara-upacara, ritual dan family life, d). sejarah kehidupan dan cerita narasi
baik secara tertulis maupun tak tertulis, e). Observasi visual; peneliti dapat
menggunakan hal-hal yang bisa diamati seperti rekaman video, gambar, relief
bangunan, “fhysical of setting self” seperti dekorasi rumah, atau ornament-
ornamen kehidupan termasuk self expression ; bahasa tubuh/isyarat, expresi
wajah, mode pakaiana.
Bagaimana cara untuk menguji tranferbilitas (validitas dalam kuantitatip)
dan dependibilitas (reliabilitas dalam kuantitatip) penelitian kualitatif; keabsahan
suatu penelitian diperlukan dengan bersandar pada satu orang informan yang
kemudian di cross-checkkan dengan orang-orang yang mempunyai fenomena
sosial yang ± sama dengan informan kunci. Atau di cross-chekkan dengan
pengamatan yang lebih dilakukan secara informal oleh pengamat lain seperti :
tokoh-tokoh adat, pengamat informal di pedesaan, model ini mirip dengan model
triangulasi). Membandingkan kategori-kategori yang dipakai oleh informan
dengan masyarakat luar “inter coder”. Menurut Daly; validitas atau rehabilitas
bisa ditingkatkan kalau ada kesamaan antara peneliti dengan yang diteliti, dalam
kesetaraan, aka nada kepercayaan antara mereka dalam pertukaran informasi yang
setara, “in egalitarian of the meaningful exchange”.
Rasionalitas kualitatif (Solichin, 1997) bahwa kebijakan publik sebenarnya
tidak bebas nilai, tetapi sarat dengan nilai dengan penekanan pada keadialan,
kebebasan preferensi bagi setiap orang yang terlibat adalah penting. Sehingga
diharapkan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara adil, agar dapat
memaksimalkan kesejahteraan umum tanpa melanggar kebebasan pribadi. Dan
prinsip ulitarian mesti diperhatikan : a), hal yang menyangkut bagaimana
mengukur kebaikan / kemaslahatan umum, memaksimalkannya dan mengevaluasi
dampak yang ditimbulkannya, b). pertimbangan moral tentang kebahagiaan dan
kelompok public yang spesifik dan c). menyangkut perdebatan yang sengit antara
kelompok ulitarian yang berorientasi pada segi praktis (tindakan) dengan
kelompok yang orientasinya pada aturan. Diharapkan kebijakan dapat
mengakomodasi semua nilai yang ada.
B. Teori Fenomenologi, Hermaneutik, dan Teori Kritik (Memberi tekanan
pada subyek yang menafsirkan obyeknya)
B.1. Teori Fenomenologi
Memperluas kontek ilmu pengetahuan dengan konsep dunia kehidupan
(Hussseri) yang diangkat, dan direfleksikan secara filosophis untuk menjadi
landasan sebuah teori (dunia apa adanya). Konsep dunia kehidupan ini dapat
memberikan inspirasi yang sangat kaya dalam ilmu-ilmu sosial. Windel Brand
membedakan ilmu alam sebagai nomotetis (menghasilkan hukum-hukum/dalil)
dan ilmu sosial sebagai ilmu-ilmu idiografis (melukiskan suatu keunikan). Segala
tindakan berlangsung dalam dunia kehidupan sosial, yang mendahului segala
penafsiran individu. Dunia kehidupan sosial itu bersifat pro-teoritis dan pra-ilmiah
dan bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis
menurut struktur yang ditetapkan oleh masyarakat.
B.2. Hermeneutik
Merupakan penafsiran atas dunia kehidupan sosial (Dilthey), dunia
kehidupan sosial didekati dengan memahami (versteken) yaitu dengan
menafsirkan makna tindakan-tindakan sosial dan bukan dengan erklaren
(menjelaskan hubungan sebab akibat). Penafsiran menunjukkan peranan pokok
subyek dalam kegiatan pengetahuan.
Tokoh-tokoh Hermeneutik; Dilthey Schleiermacher, Gadamer.
Pemahaman terhadap pokok-pokok kajian ilmu-ilmu sosial yakni pengalaman,
ungkapan dan pemahaman. Dunia kehidupan sosial ini tidak dapat diketahui
begitu saja lewat observasi seperti pada ilmu-ilmu alam melainkan melalui
pemahaman, “share meaninga”, apa yang ingin diketahui di dunia sosial bukan
kausalitas semata dalam memberikan makna. Oleh karena itu tujuan ilmu sosial
mendekati wilayah observasinya adalah dengan memahami makna. Dalam hal ini
ilmuwan sosial tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu,
karena itu dengan cara tertentu ia harus masuk kedalam dunia kehidupan yang
unsure-unsurnya ingin ia jelaskan. Untuk dapat menjelaskan makna pemahaman
menjadi penting, dalam rangka memahami ia harus dapat berpartisipasi dalam
proses menghasilkan dunia kehidupan.
Ungkapan yang direfleksikan dalam bentuk obyek-obyek simbolis seperti
pikiran, perasaan, dan keinginan melalui endapan misalnya teks-teks kuno, tradisi-
tradisi, karya-karya seni, artifact-artifact, tehnik-tehnik sampai pada hal-hal yang
bersifat terstruktur dan tersusun seperti pranata-pranata, system sosial, struktur
kepribadian, memahami secara komunikasi intersubyektif untuk mengungkap
matra verbal /non-verbal, matra vertical (kontek sejarah masyarakat), matra
horizontal (kontek sosial pengalaman bersama), matra historis dan sosialnya.
Dalam buku yang lain Crabtree dan Miller (1992), menyebutkan asumsi-
asumsi dari pendekatan Hermeneutik sebagai berikut:
1. Partisipants of research are meaning giveng being; pemaknaan adalah
penting dalam memahami perilaku manusia.
2. Pemaknaan tidak hanya pada pernyataan yang verbal (but action and
practice, belief and dayly work : everyday practice).
3. Proses permaknaan seseorang tidak sepenuhnya merdeka/bebas tetapi
selalu ada yang melatarbelakangi seperti : konsep kesegeraan, struktur
sosial : hubungan keluarga, hubungan sosial, personal histories
(pengalaman hidup seseorang), share of practice seperti kerjasama /
pembagian tugas semisal subak di bali/banjar.
4. Pemaknaan dan signifikansi terhadap tindakan manusia jarang sebagai
―fixed clear and unambiguitious” (selalu pasti dan nyata dengan jelas),
pemaknaan tidak dibatasi oleh kategori-kategori yang tetap/baku,
melainkan sebagai suatu proses negosiasi dan interaksi-interaksi yang
secara kontinu.
5. Interpretasi diperlukan dalam memaknai tindakan manusia, sebab evaluasi
tidak pernah mencapai apa yang namanya obyektivitas dalam posisi bebas
nilai, selalu ada upaya-upaya perbaikan (tidak berhenti pada suatu titik).
B.3. Teori Kritis Mazhab Frankfurt dan Jurgen Habermas Versus
Marx
Menekankan peranan kesadaran (subyek) untuk mengubah struktur-
struktur obyektif, maka analisis mereka ditekankan pada fenomena superstruktur,
khususnya rasionalitas. Sedangkan Habermas mengembangkan komunikasi bagi
ilmu-ilmu sosial, dalam praktik komunikasi dimaksudkan untuk mencapai
pemahaman timbale balik.
Habermas. Berbicara language games, yang melibatkan unsure kognitif,
emotif dan volisional manusia serta bertindak dalam kerangka tindakan
komunikatif yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik. Sekurang-
kurangnya dalam kondisi manusiawi yang wajar, hubungan-hubungan dalam
dunia kehidupan sosial tersusun atas language games dan tindakan komunikatif
tertentu.
Guideline For Preparing Policy Issue Papers (Willian Dunn, 1995).
1. Bagaimana konflik terjadi, sejak kapan untuk mencari akar permasalahan.
2. Bagaimana para stakeholders merumuskan permasalahan (komplik) itu,
meliputi landasan nilai, persepsi, etik yang mereka gunakan, seperi
komplik yang laten atau manifest.
3. Masalah ini masuk kategori apa, lingkupnya sampai dimana, seberapa
jauhkah masalahnya, bagaimana kualitas masalahnya “severity”. Juga
menyangkut masalah geografi lokal, melebar nasional atau internasional.
4. Bagaimana kira-kira peluang masalah yang kita tangani akan mengalami
perubahan di bulan-bulan atau tahun-tahun mendatang (mengarah pada
peliknya keadaan), perubahan mengarah kemana makin baik atau buruk.
5. Kalau begitu sasaran atau tujuan apakah yang bisa dikembangkan agar
lebih membaik (minimal memecahkan masalah yang ada).
6. Bagaimana kita mengukur keberhasilan pemecahan permasalahan atau
tujuan (secara cost-efectiveness etc.)
7. Tindakan-tindakan atau proyek yang perlu dikembangkan untuk
memecahkan masalah itu.
8. Alternatif-alternatif apakah yang direkomendasikan. Yang mana dari
alternative tersebut yang dipilih, disukai mengingat masalah yang
dihadapi.
Yang menjadi focus dan format isu kebijakan adalah siapa klien, siapa
yang menjadi audiens. Untuk menghasilkan berbagai alternative sebagai tugas
analis, maka perlu diawali dengan pertanyaan-pertanyaan kunci. Serta perlu
diingat bahwa pilihan-pilihan yang dihasilkan tidaklah mandeg sampai disitu,
melainkan masih bersifat terbuka (masih mungkin untuk diuji, diperbaiki) “Not
definitive conclusions”. Analisis yang mendalam dapat dilakukan kemudian tetapi
kesegeraan informasi itu yang dibutuhkan oleh reader atau klien. Jadi hasil
sementara sudah dapat ditawarkan pada klien. Dalam membahas isu kebijakan
dapat diikuti bentuk berikut : staff refort, briefing paper dan option papers. Serta
policy paper dibatasi oleh waktu “times constraint”, memerlukan respon yang
cepat (segera) sebab sifat permasalahan cepat berubah.
Setiap permasalahan “is not given”, masih dalam konstruksi pikiran.
Konstruksi mental kita apa yang kita anggap sebagai masalah meliputi cara kita
memandangnya “the way we views‖. Parah tidaknya kita melihat masalah
sebagaimana yang dinamakan sebagai kualitas masalah, tergantung pada dasar
pengetahuan yang kita miliki mengenai problem tersebut. Ada yang melihat
permasalahan tersebut sebagai suatu hal final/given, tapi ada pula yang masih
melihat peluang-peluang yang perlu dikaji dan diperbaiki. Semuanya kalau
dipikirkan secara jujur, semua hal yang kita analisis harus ada berbagai
pertimbangan etik atau moral (Harrington). Jangan sampai hanya untuk
kepentigan sempit mereka (Policy maker), dengan mengekploitasi kepentingan-
kepentingan lainnya. Disatu pihak diserahkan pada mekanisme pasar. Misalnya
masalah-masalah kemiskinan, apa yang disebut sebagai moral obligation, social
equity perlu menjadi perhatian didalam membuat “social arrangement”. (Lyn).
Agar perilaku target group sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Policy
maker.
Pemerintah sebagai aktor harus dalam posisi yang tegas, jelas dan tepat.
Apakah ketepatan ini kita persepsikan sebagai “proper function” sama dengan
pengertian kenetralan (whilshire). Jangan sampai posisi pembuat UU atau
kebijakan lainnya serta kebijakannya yang dibuatnya ketinggalan kereta. Harus
diupayakan “balance competing interests of stakeholder groups are honored”
atau public conversation (dircourses) perlu dilakukan untuk mencapai hal ini.
Atau oleh Fritz Gaenslen mesti diupayakan rational choice analysis of unanimity
and mayority rules dalam bahasa kita musyawarah mufakat dengan melalui
“dispute resolution process” atau perdebatan publik dalam publik fora.
Dengan proses tersebut akan terjadi interpersonal disagreement in fiction,
hubungan-hubungan sosial antara komplik-komplik dari kondisi-kondisi awal
yang menyebabkan dispute. Akan terjadi cross cultural evidence dan status
dimension of social relationships to feature, untuk dapat eksis di dunia dari para
elit politik yang terlibat dalam policy making. Kepentingan pengukuran dalam
proses dicision making, apakah konflik-konflik kepentingan tersebut, dalam
“double filling” (De Leon) diperhatikan. Dini akan dapat dibedakan dan
mendapat masukan-masukan yang positif.
Persepsi terhadap Policy maker yang meliputi legitimasi tindakan mereka,
dalam treating colleagues and subordinates akan sangat dipengaruhi oleh respect,
honesty dari para pembuat kebijakan. (Haringgton). Dan oleh Merk Moore
mengatakan bahwa kepercayaan yang diberikan pada Policy makers akan
tergantung pada kemampuannya dalam :
1. To articulate the value at stakeholders (bagaimana ia mampu memilih,
menempatkan dan mewujudkan judgement nilai).
2. Keterandalan Policy maker dalam “handling inevitable uncertainly;
karena perlu dipikirkan bahwa tidak semua persoalan yang ditangani sudah
pasti atau diyakini empiris adanya.
3. Quantified in market term; mereka mampu memperhitungkan segala
sesuatu dalam ukuran-ukuran monetary, cost benefit and so on.
Kepentingan akan kemampuan itu perlu dimiliki oleh Policy maker, agar
kebijakan senantiasa mendapat dukungan dari semua pihak, yang akhirnya dapat
diimplemantasikan dengan baik, sehingga perilaku target group dapat dirubah
sesuai dengan arah kebijakan yang dibuat. Sebab menurut George Akeriof dan Jl.
Yellen, bahwa tidak mungkin menekan pelanggaran apabila hanya mengandalkan
“law enforcement”, kerjasama dengan masyarakat atau target population dan juga
apakah ia percaya pada para agen pembuat kebijakan dapat menjamin keadilan
yang mereka inginkan itulah yang menjadi pendorong kepatuhan bagi kelompok
sasaran. Bahwa kepatuhan warga Negara adalah bukanlah sesuatu yang
pemerintah dapat melakukannya dengan mudah. Menurut Yanke Lovich,
kebijakan harus didasarkan pada pengutamaan “spirit of public”, titik tekan pada
nilai yang mana, dimana nilai digali melalui proses perubahan sosial dan politik
yang panjang. Sedangkan pemerintah sering merubah kebijakannya lebih tertuju
pada perubahan tujuan-tujuan bukan dengan memilih cara-cara yang terbaik untuk
mewujudkan tujuan tersebut.
Masalah keadilan menurut Margaret Mead (Lyn, 1995) adalah bagaimana
mereka dapat melakukan sesuatu sesuai dengan dasar kebutuhan mereka ―nature
of person”, bukan didasarkan pada tujuan masyarakat. Apakah tuntutan mereka
mampu memperbaiki nasib mereka ataukah mereka yang menjadi korban dari
ketidakadilan masyarakat dari apa yang menjadi harapannya. Sebab masyarakat
yakin bahwa tindakan pemerintah akan mampu merubah sikap dan perilaku
mereka yang mengarah pada solusi permasalahan.
Prinsip keadilan menurut Jhon Rawls (Solichin, 1997), fungsi utama dari
prinsip keadilan adalah membetengi pihak-pihak yang paling tidak beruntung atau
menderita dalam masyarakat terhadap kemungkinan kesewenang-wenangan
birokrat atau Negara atau pihak yang kuat. Atau bila demi kesejahteraan umum
dan jika ada korban janganlah silemah yang jadi korban. Dari uraian tersebut
dapat diajukan 2 formula sebagai pedoman dalam merumuskan kebijakan publik.
1. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan seluruh
sistem yang sama yang mengatur kebebasan bagi semua orang.
2. Ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi haruslah diatur sedemikian
rupa sehingga keduanya dapat :
a. Memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling
tidak beruntung dalam masyarakat sejalan dengan penerapan prinsip-
prinsip penabungan yang dil.
b. Memungkinkan kesempatan yang terbuka pada semua orang untuk
menduduki jabatan dan posisi, benar-benar berlangsung dalam situasi
yang adil.
Pemikir-pemikir metapolicy berpikir lebih jauh dari Rawls yakni prinsip nilai
kebebasan untuk memaksimasi kesejahteraan meliputi, bebas untuk hidup, bebas
dari perbudakan dan dominasi yang tidak adil serta bebas dari pemenjaraan yang
tak adil.
Pelanggaran terhadap suatu produk kebijakan, bagi target group atau yang
lain sering diakibatkan dengan masalah untuk rugi yang mereka dapatkan dari
suatu konsekwensi tindakan melanggar atau compliance. Menurut Knetch, bahwa
masyarakat akan melanggar jika barang lain member dampak kesejahteraan yang
menguntungkan, pada pilihan barang yang sama. Dengan demikian mereka
dengan sukarela membayar untuk memperolehnya. Selanjutnya dikompensasikan
dengan fungsi-fungsi penjualan ―trade off‖ dari justifikasi terpenuhinya harapan .
Perhitungan untung rugi “losses and gains” (Frey & Pommerchne, 1987),
yng didasarkan pada kemampuan untuk membayar akan sangat berbahaya bagi
lingkungan alam dan sosial. Dalam perilaku mereka untuk melakukan pilihan
realitasnya terfokus pada perhitungan sejauhmana mereka mengetahui informasi
dari kerugian terhadap pelanggaran atau kepatuhannya. Biaya sosial sering
terabaikan, secara kontinu sebagai hal yang memungkinkan untuk perbaikan
dalam frekwensi tuntutan para analis kebijakan atas analisis yang baik, yang
mengarah pada respon kebijakan yang lebih rasional dan reasonable. Rasional
menurut Oliver Wendell Holmess adalah bahwa pilihan manusia didasarkan pada
pikirannya, didasarkan pada sifat atau pendapatnya. Dan akan melakukan cara
tanpa kebencian pada tindakan dan mencoba mempertahankan diri. Artinya dalam
setiap tindakan yang dilakukan penuh dengan tujuan dan perhitungan (lihat
Gaenslen dalam Rational choice theory).
Dalam upaya penerapan law enforcement, untuk memelihara dan
menegakkan wibawa pemeritah, guna menghendaki perubahan perilaku
masyarakat kearah yang lebih baik, sangat diinginkan jaminan insentif yang dapat
disediakan melalui struktur yang ada. Lawrence Margaret Mead mengatakan
pemenuhan pilihan-pilihan publik dengan mengatur sejumlah insentif, dalam
upaya memaksimalkan manfaat yang diperoleh “utlity maximizers” . Dimana
Policy maker dapat berperan :
1. Interest mazimizers
2. Information prossesor
3. Social being.
Bagi masyarakat yang menjadi harapannya adalah kesediaan pemerintah
untuk menjalankan nilai-nilai yang ada, bukan hanya dengan memperhitungkan,
juga banyak hal yang terahasiakan bahkan dianggap tidak ada nilai, guna
mencapai efektivitas dan efisiensi yang mengabaikan argumen politik (Reich,
1988), bahkan nilai yang mana berkenaan dengan moral, kebiasaan, dan norma-
norma sosial seperti penyelenggaraan kepercayaan, efektifitas dan demokrasi
dalam fungsi politik.
Perbedaan dalam melakukan pilihan rasional, menimbulkan pokok
persoalan baru tentang fakta-fakta dan biaya sosial, yang biasanya cenderung
diabaikan seperti apa yang telah disampaikan di atas. Persoalannya adalah
bagaimana prosedur kebijakan dapat diketahui dan dipahami dan pelaksanaannya
mendekati universal. Disini perlu dilakukan proses transfaransi, transaksional dari
mekanisme dan substansi kebijakan itu sendiri. Policy maker dituntut
kemampuannya sebagai agen perubahan atau “enginee of change” yang bisa
berfungsi enabling dan empowering not constraint the public”. Ketepatan Policy
maker dalam melakukan law enforcement; dalam artian kapan ia harus melakukan
pendekatan koersif, kapan persuasif. Sebab dalam dimensi ruang dan waktu
manusia tidak ada yang universalitas, artinya semua kepentingannya terpenuhi
dan dapat mencapai rasionalitas sejati atau seluruhnya berlangsung secara
simultan, tidak ada criteria dan nilai yang datang atau berlaku di setiap tempat
(dari Tuhan / alam), tetapi dari usaha mereka sendirilah yang akan mampu
mencapainy, berdasarkan historis dan interest mereka, THomans Kun (dalam
Danzinger). Para pengambil keputusan harus bersikap antisipatif bahkan proaktif
antisipatif. On the equity of the distribution judgement value of benefit cost
(Hoksbergen, 1986).
BAB VIII MATERI-MATERI TAMBAHAN
A. Hoksbergen, 1986 “Approach to evaluation of Development Intervention”
Hoksbergen, memberikan pendekatan alternative dari kaum humanis
sebagai counter terhadap pandangan positisme, dimana ia yang mengatakan
obyektivitas dalam positisme sebenarnya adalah anti religious, bebas nilai, mudah
dikuantifikasikan dalam menghadapi fenomena sosial (menggunakan money
figures). Padahal ada hal-hal yang sulit dalam menentukan pilihan-pilihan
subyektif. Dia menganut metafisika atau pandangan mengenai kualitas kehidupan
dalam ilmu sosial “The world and the views in social science”. Ia menekankan
pendekatan SCBE, sangat netral dan bebas nilai karena mendasarkan ukurannya
pada efisiensi suatu proyek, dengan demikian para evaluator tidak perlu
memperhatikan apakah tujuan/ sasaran baik/tidak, namun lebih pada bagaimana
upaya untuk mencapainya. Menurutnya SCBE tidak mungkin bebas nilai/netral,
pertimbangan-pertimbangan nilai tidak mungkin bisa dihindari, dan akan tetap
digunakan secara implicit maupun eksplisit.
Analisis paradigm neoklasik dan SCBE (biaya manfaat dalam hukum
uang), dalam menilai suatu kebaikan lebih ditekankan pada hal-hal yang dapat
dikuantifikasikan seperti hubungan antar personal, pendidikan, urusan budaya,
keluarga, dan organisasi tempat mereka bekerja. Bukan pertimbangan pada
kualitas hidup, penekanan pada keadaan ceteris paribus (suatu keadaan yang tidak
berubah) dan menggunakan logika positif yang mengutamakan ketepatan dan
obyektivitas (lihat Solichin, 1995 :16). Dalam praktiknya sering
memperhitungkan kepentingan dan kebebasan dari kualitas hidup terfokus pada
input dan output yang dapat dikualifikasikan. Akhirnya manusia dianggap sebagai
benda “think” yang tidak memiliki kepentingan, nilai/preferensi. Menurut John
Sommer : kesalahan pendekatan kuantitatif adalah dalam mengenali elemen-
elemen manusia yang menjadi dasar program mereka.
Landasan world and life views mempunyai beberapa preposisi antara lain:
1. Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang : a). suka mementingkan diri
sendiri, b). rasional; tahu kepentingan dan mampu mengadakan pilihan-
pilihan anternatif untuk memaksimalkan kepentingannya.
2. Tujuan hidupnya adalah bersifat individual dalam mengejar kebahagiaan
sesuai dengan definisinya dan pemahaman mereka.
3. Dunia sosial merupakan sekumpulan individu yang saling melengkapi di
bawah kondisi kelangkaan sumber dalam meraih kepentingan atau tujuan
pribadinya.
Kelengkapan judgemen nilai berdasarkan preferensi pada kebutuhan individu
dapat diringkas sebagai berikut:
1. Individu harus mendapatkan apa yang diinginkannya.
2. Keseimbangan dalam persaingan pasar merupakan situasi ekonomi yang
ideal; (a) institusi pasar yang kompetitif harus dilegalkan dalam segala
situasi dan kondisi, (b) harga pasar harus dipakai untuk menentukan nilai.
3. Cara dan tujuan harus “mean-end” dibedakan secara jelas dalam dua
kategori yang saling mempengaruhi.
4. Cara dan tujuan harus diukur secara kualitatif (sebagai focus dari mean-
end).
Pemisahan antara cara dan tujuan tidaklah dibutuhkan oleh world and life
views, tapi merupakan suatu kebutuhan operasional dalam upaya menghasilkan
riset studi yang bermakna. Jika cara dan tujuan tidak dibedakan secara jelas maka
ekonomi neoklasik menjadi kehilangan makna atau hanya sekedar sebutan
tautologies. Dengan pemisahan cara dan tujuan maka secara operasional dapat
dilakukan pengukuran secara kuantitatif, dengan demikian memungkinkan untuk
melakukan pengukuran mengenai seberapa jauh suatu situasi, bermakna lebih baik
di banding situasi yang lain, seperti apa yang diungkapkan oleh Hagul;
pembangunan di lihat sebagai suatu proses dimana tujuannya yang pasti tidak
ditentukan sebelumnya, dalam kenyataannya salah satu tujuan utama
pembangunan adalah proses pembangunan itu sendiri, jadi tidak terdapat
perbedaan yang jelas antara mean-end.
“Perfectly neutral its imposible” but ; syarat sifat dari nilai kepentingan
dan skema klasifikasi secara historis mempengaruhi sains, dalam menentukan
persoalan yang akan diajukan, problem yang ingin dipecahkan, jawaban yang
akan dipertimbangkan, asumsi-asumsi yang mendasari teorinya, persepsi terhadap
fakta yang diterima, hipotesis yang disusun, standar yang menjadi dasar
estimasinya, bahasa yang dipakai dalam memformulasikan, kategori-kategori
yang dipilih (Larry Dwyer). Bahkan Royal Brandis, mengatakan evaluator tidak
bisa lari dari judgement nilai, karena itu adalah penting untuk mempertahankan
sebagian pandangan dunia dalam menyeleksi aksioma teori yang kita pakai
landasan untuk menyusun data empiris.
Pandangan humanis (Haque dkk); untuk memperkuat status politik dari
pihak yang tereksploitir dalam suatu masyarakat.
1. Manusia merupakan mahluk sosial yang tahan banting, sehingga punya
kemampuan adaptif dalam menciptakan lingkungan sosialnya.
2. Tujuan dari hidup adalah bekerja untuk memperkuat kepribadian individu
dan kelompok.
3. Dunia biologis dan dunia sosial terikat atau terlibat dalam proses evolusi
historis yang mengarahkannya ke depan yaitu menuju tahap tatanan yang
lebih baik.
Pada evaluasi pembangunan pedesaan, pelibatan kelompok sasaran / desa
adalah hal yang baik, karena membawa manfaat bagi individu. Makin besar
melibatkan orang maka makin besar memperoleh manfaat masing-masing
individu. Langkah-langkah evaluasi pedesaan:
1. Mempertimbangkan problem-problem yang dihadapi oleh institusi-
institusi desa.
2. Mempertimbangkan kemajuan dalam bidang ekonomi. Pertimbangan-
pertimbangan ekonomi antara lain : a). prestasi, b). keadilan dalam
distribusi keadilan, c). akumulasi asset-aset yang dimiliki secara kolektif,
d). ekspansi dari proyek menuju masyarakat / wilayah lain. e). pemantapan
garis komunikasi dengan wilayah lain yang terkait dengan proyek.
Sedangkan sikap yang harus dikembangkan dalam evaluasi.
1. Semangat solidaritas kelompok
2. Nilai-nilai demokratis
3. Semangat kerjasama
4. Semangat kebersamaan
5. Jiwa kreatif
6. Semangat percaya diri kelompok.
B. Wildavsky, 1982. “Self Evaluation Organization (SEO)”
Konsep Seo adalah evaluasi yang dilakukan sendiri pada organisasi,
sebagai salah satu cara dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang
muncul dalam upaya mencapai tujuan terkait dengan berbagai metode yang
dipergunakan untuk mencapainya. Dan kreasi model dari hubungan antara input
dan output dalam upaya mencari kombinasi yang terbaik. Evaluasi dalam upaya
menseleksi permasalahan dan kemudian dengan kecerdasannya mencari solusi,
oleh karena demikian evaluasi dilakukan pada setiap proses kebijakan. Ini berarti
SEO oleh Wildavsky dapat dikatakan sama dengan langkah monitoring;
mengadakan monitoring secara kontinu pada segala kegiatan organisasi, sehingga
dapat menentukan apakah tujuan mereka telah dicapai, saat evaluasi menyarankan
mengadakan perubahan tujuan/program untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Dengan monitoring akan terbuka kemungkinan para pembuat kebijakan
menjadikan dirinya sebagai pembuat kebijakan yang menguasai persoalan.
Meskipun sebenarnya secara umum antara evaluasi dan monitoring dapat
dan harus dibedakan (Solichin, 1996). Monitoring dapat dilakukan pada setiap
langkah untuk menghindari kegagalan (mirip kontroling dan inspeksi), sedangkan
evaluasi dapat dilakukan untuk keseluruhan / akhir suatu proses kebijakan.
Monitoring menurut Casley & Kumar (1987) adalah suatu kegiatan internal
proyek berwujud studi-studi diagnostic yang sebagian fungsinya ialah mendukung
manajemen pembuatan keputusan. Monitoring dapat dijadikan dasar/sebagai
informasi awal kegiatan evaluasi dia bukan sekedar menyangkut kegiatan
mengumpulkan data atau informasi, juga menyangkut keputusan-keputusan
strategi mengenai tindakan apa yang harus diambil jika program melenceng dari
garis yang diharapkan. Bukan juga sekedar menyangkut masalah rutin, teknis
administratip melainkan menyangkut control dan krida kekuasaan (Solichin,
1996).
Langkah-langkah monitoring : 1). Melakukan penelitian terhadap bukti-
bukti kualitatif guna menetapkan isu-isu penting untuk membahas kebijakan, 2).
Perhimpunan dan manajemen data (pengelompokkan data menurut urutan waktu
dan jenis), 3). Analisis statistik terhadap keluaran-keluaran birokrasi. Dan 4).
Melakukan uji ulang dengan mengkaji laporan-laporan birokrasi atau sumber-
sumber kualitatip. Mengenai proses monitoring dapat digambarkan seperti pada
gambar 6.
Tujuan evaluasi menurut Wildavsky adalah : 1). Sebagai upaya untuk
memaksimalkan kebutuhan sosial serta efisiensi, tujuan dan sumber dimodifikasi
secara kontinu agar responsive dapat mencapai keutuhan sosial. 2). Selain
diupayakan untuk mencapai sasaran yang lebih baik juga diarahkan untuk bisa
merobah sasaran. 3). Analisis yang efektif dalam upaya mendekatkan antara caa
dan tujuan suatu kebijakan dalam mencapai tujuan sosial, melayani klien,
masyarakat yang terlemah “the lumbermen”. 4). Herbert Kaufman; melalui kasus
“on the forest rangers” tuntutan SEO sulit dilakukan sebab dalam problem
solving structure khusus dan kebijakan dalam organisasi, tingkatan keahlian
diperlukan dalam melakukan pertimbangan yang tinggi dan dalam identifikasi
permasalahan yang tersebar. Keahlian diperlukan untuk memungkinkan
memaknai kebijakan dan kualitas perilaku untuk mempengaruhi anggotanya.
Tugas mereka untuk memonetoring birokrasi dan mengadakan perubahan-
perubahan yang dibutuhkan. 5). Melakukan kritik terhadap program-program
tertentu dan bermaksud untuk menggantinya dengan program yang lain, sebagai
proses politik. Jika evaluasi tidak bermakna politik terhadap partisipan partai
maka makna politiknya mengacu pada advokasi kebijakan, tanpa suatu dukungan
Evaluation (ex-ante) I. Perencanaan
Onggoing Program II. Pelaksanaan
Ex-post III.Evaluasi Program
Sejauhmana tujuan Cukup layak dan tidak menimbulkan kesulitan pelaksanaan
Untuk menentukan penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan berdasarkan pengalaman lapangan yang diperoleh sepanjang program
Pengumpulan informasi Tindakan koreksi
Untuk mengetahui sejauhmana dampak pelaksanaan program apakah hasil diperoleh sesuai dengan rencana tujuan program
politik atau dukungan pihak-pihak yang ada di masyarakat, maka keberadaan
evaluasi akan menjadi terlantar. 6). Menseleksi aktivitas organisasi.
Political : - diversifikasi strategy
- diversity creates political flexibility manifestly.
Adapun syarat-syarat untuk mengadakan SEO : 1). Dapat memelihara
stabilitas kerjanya, kelangsungan hidup organisasi dan secara simultan mendapat
kebebasan dan dukungan dari birokrasi saat menghasilkan kebijakan yang anti
birokrasi. 2). Harus mampu menggabungkan fisibilitas politik dengan analisis
murni. 3). Evaluasi bersifat terbuka, cinta kebenaran dan transfaran (baik
mengenai biaya maupun tujuan yang setepat mungkin), member kesempatan pada
yang lain untuk mengadakan penyangkalan/penilaian.
Selain itu sikap skeptic selalu diperlukan dalam mengadakan evaluasi
sebab:
1. Organisasi terbuka untuk koleksi diri, haruslah memiliki sikap skeptic
ketimbang sikap pasrah atau mudah menerima/mengakui. Terus bersikap
kritis atau meragukan secara ilmiah dalam upaya mencari kebenaran yang
baru dan upaya menguji hipotesis haruslah menjadi kegiatan utamanya.
2. Belajar bertindak lebih baik dalam memproduksi dan menggunakan
evaluasi.
Beberapa karakteristik SEO : 1). Memiliki pemahaman yang lebih rinci
tentang permasalahan yang dihadapi selama tahapan proyek. 2). Lebih mudah
memperbaiki kesalahan, apabila disadari berdasarkan pengamatan sendiri
ketimbang menerima kritik dari luar. 3). Saluran komunikasi yang dilalui tidak
terlalu panjang, 4). Mengandung fungsi pembelajaran, 5). Sebagai landasan (batu
loncatan) bagi evaluasi eksternal, 6). Biaya yang dikeluarkan lebih murah. Dan
cenderung mencari alasan-alasan pembenaran dan dapat menciptakan ketegangan-
ketegangan tertentu bagi pelaksana proyek.
Kelebihan-kelebihan yang dapat ditunjukkan metode SEO adalah:
a. Dengan SEO untuk keperuan evaluasi dan pengelolaan akan lebih murah
ongkosnya; biaya ditanggung oleh setiap evaluator pada seluruh tingkatan
organisasi.
b. Setiap anggota akan mempunyai dan dituntut untuk meningkatkan
kemampuan evaluasi/ananalisis sehingga dengan demikian kualitas
pribadinya meningkat.
c. Mengurangi beban manajemen puncak yang nota bene jarang dapat
melaksanakan fungsi evaluatornya dengan baik.
d. Setiap anggota organisasi dapat memaksimalkan kemampuan kreativitas/
inisiatifnya untuk mengadakan perbaikan disetiap jenjang hirarki, para
evaluator memiliki otoritas untuk mengendalikan permasalahan-
permasalahan yang dihadapi, mengolah data dan model untuk
mengendalikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, mengolah data
dan model untuk menjustifikasi kebijakan yang ada, dapat mencegah
terjadinya proses kerja dari sistem yang mengarah pada birokrasi yang
berlebihan. Mereka akan mengikuti persaingan pasar, mereka bersaing
dalam mengarahkan kebijakan pada suatu area yang ditentukan,
pengakuan nilai-nilai dan bakat mereka dapat dimaksimalkan. Tugas
evaluator adalah memperhitungkan konskwensi dari kebijakan yang
berlaku, mencari alternative kerja yang lebih baik dan memperkenalkan
kebijakan baru agar dijalankan oleh unit-unit administratipnya.
e. Kemampuan untuk membuat perubahan sesuai dengan ketentuan analisis
yang menjadi esensial dari kapasitasnya untuk melakukan koreksi diri
dalam realitas yang dinamis.
f. Pihak evaluator selain dapat menghimpun pengetahuan juga dapat
menggalang power.
g. Dapat memantapkan bentuk organisasi yang dimiliki; manfaat analisis
sebagai suatu cara membuat keputusan kebijakan yang baik, yang
selanjutnya menawarkan kepada pihak lain (bagi evaluator lain).
sedangkan bagi pengguna analisis sebagai suatu cara untuk mendapatkan
pemahaman yang baik mengenai pilihan-pilihan yang ada, sehingga
mereka bisa melakukan control terhadapnya.
h. Sebagai inti dari SEO adalah bahwa ditanamkan pada setiap tingkatan
organisasi etika evaluasi.
Namun demikian dalam melaksanakan SEO juga ditemukan beberapa
kendala antara lain : 1). Seluruh personel dilibatkan, sangat sulit untuk
mempertemukan criteria/standar evaluasi pada setiap tingkatan organisasi. 2)
belum ada tindakan yang tepat untuk setiap tingkatan organisasi bila evaluasi
merembes kedalam keseluruhan organisasi, 3). Problem yang muncul pada aspek
politik mengalami kegagalan bila evaluasi dilakukan secara serius (menyangkut
status dan konplik terhadap pengambilan keputusan/birokrasi). Sebaliknya jika
kurang serius akan mengalami krisis kepercayaan dan kehilangan dukungan dari
para anggota yang penuh pengabdian. Jadi menjaga keseimbangan antara
keefektifan dengan komitmen sangatlah sulit. 4). Sebagai organisasi yang terbuka
terhadap koreksi diri sangat rentan terhadap macam-macam tendensi anti
evaluative (kecenderungan labil). Karena itu diperlukan mestabilkan lingkungan,
bisa menjaga loyalitas internal dan dukungan dari luar.
C. Harrington, 1996. “Ethic and Public Policy Analysis”
Peran pemerintah sepenuhnya dalam hubungan public dan private, dengan
pemberian input yang baik dan peran perusahaan untuk dapat memaksimalkan
berbagai kepentingan stakeholder, yang selanjutnya akan menjadi landasan yang
sangat penting dalam analisis etika dari kebijakan-kebijakan pengaturan. Namun
demikian sangat jarang para pembuat kebijakan member perhatian pada unsur
etika dalam mewarnai analisisnya. Asumsi-asumsi dasar keengganan
pertimbangan etik dan moral dalam kebijakan pengaturan adalah hubungan bisnis
dan pemerintah; peran jelas pemerintah; fungsi hukum dan peran pembuat hukum,
karakteristik bisnis dan perusahaan.
Pernyataan selanjutnya dari Harrington, “don’t formulate public policy in
moral vacumm” (tak ada satupun perumusan kebijakan yang terbebas dari
judgement-judgement moral), sebab dalam kontek sosial dari kehidupan manusia
dan dasar kemanusiaan untuk berjuang demi kebaikan, etika dan politik saling
terkait. Negara adalah sebuah kesatuan dan persatuan yang dibentuk oleh
beberapa pandangan tentang tujuan baik yang bertingkat. Dimana kebaikan yang
paling tinggi akan lebih berkuasa ketimbang yang lain, hal ini dicapai melalui
aktivitas politik. Analisis etik belum banyak menjadi bahan diskusi dalam
kebijakan public, ide tehnik pengaturan bisnis dan industri dilakukan dengan
alasan kekhawatiran terhadap pandangan mayoritas yang melanggar legitimasi
hak-hak minoritas, sebagai suatu kerapuhan moral dalam bentuk perbedaan nilai.
Pertimbangan etik dan moral merupakan hal yang baru menjadi perbincangan
dalam problem-problem publik semisal : kekejaman kota “urban violence,
welfare and health care”. Berkenaan dengan analisis etik, artikel ini akan
mencoba membahas dari kajian demokrasi kapitalis sosial, yang tidak memandang
secara terpisah dari elemen-elemen tersebut, tapi lebih dilihat sebagai aspek-aspek
yang fundamental saling berhubungan, saling ketergantungan dari “social life”.
C.1. Hubungan Bisnis dan Pemerintah
Teori sosial klasik liberal (Jhon Locke’s) menyebutkan bahwa private dan
public adalah hal yang terpisah baik keterhubungannya maupun aktivitasnya,
bahwa otonomi individu adalah yang utama, yang berarti ada kebebasan yang
sempurna, kesamaann dan kemerdekaan, “the civil government was non arbitrary
and transferable” (pemerintah sipil tidak bersifat arbitrasi tetapi lebih
tranferbilitas), tidak mengambil alih dan tidak mempunyai wewenang
mencampuri kepemilikan private. Peran pemerintah disini adalah menegakkan
hukum dasar dan terbatas pada “provide the public good or public sphere and
private market sphere” (penyediaan kebutuhan-kebutuhan dasar dan private
bertanggungjawab pada bidang ekonomi ―pasar‖). Sedangkan menurut Barry
Bozeman, bahwa public mempunyai kewenangan politik yang berpengaruh pada
perilaku dan proses keseluruhan organisasi, karenanya “publicness is not discrete
quality but rather multidimensional property, constraints the economic activity
and political constraints is significant”. Dengan demikian publik tidak dibatasi
pada kualitas pelayanan tertentu, melainkan semua aspek / bidang termasuk
pembatasan-pembatasan dibidang ekonomi maupun politik yang relevan. Dengan
mengingat bahwa peran pemerintah/public adalah melindungi kepentigan public
dan anggota organisasi (masyarakat umum).
Pandangan terpisah antara peran bisnis dan pemerintah ini, menghadirkan
konsekwensi-konsekwensi seperti pemerintah dapat mengkonsentrasikan diri pada
“public goods and keeping the law of nature”. Apa yang sungguh-sungguh
menjadi kepentingan publik seharusnya dapat dipenuhi. Sedangkan private “can
be balance of diverse stakeholders interest and another proverty universally
accessible dimensions of collective life” (Coper). Ini sebagai esensi dari teori
stakeholder adalah menyeimbangkan berbagai kepentingan stakeholder, menjaga
stabilitas organisasi dalam hubungan dengan sistem ekonomi dimana organisasi
itu berada.
Sedangkan pandangan mengenai pemerintah dan private tak terpisah.
Menurut Terry Cooper bahwa private dan public mempunyai hubungan yang
kontinum “from public to fully private” atau sebaliknya. Hubungan yang saling
membantu sebagai “another provider”. Ia melihat sebagai dua lembaga yang
bertanggungjawab pada ekonomi masyarakat (keduanya sangat berperan), dalam
menyelenggarakan “general collective good”. Namun demikian ada dua kesulitan
penting dalam rangka hubungan antara public dan private dalam analisis etika dari
tujuan kebijakan dan konsekwensinya. Pertama, pemahaman dari sistem politik
sebagai hubungan ekologi. Kedua, penyeimbangan kepentingan-kepentingan
politik dengan kepentingan-kepentingan ekonomi. Menurut Cooper bahwa
pemerintah yang efisien seharusnya mampu memaksimalkan “the full range of
public” dan private sebagai pemberi input. Dengan demikian semakin jelas bahwa
antara pemerintah dan private mempunyai peranan yang saling mendukung.
Dalam teori agen (Cooper) kejelasan tujuan dan konskwensi kebijakan
publik, mengatur komplik antar kepentingan merupakan sesuatu dilemma yang
sudah biasa dihindari oleh bisnis dalam tugas dan tanggungjawab publiknya. Ada
pemahaman yang berbeda antara pemerintah dan bisnis mengenai apa yang
sungguh-sungguh menjadi kepentingan public dan bagaimana kepentingan, public
seharusnya dapat dipenuhi.
C.2. Peran Pemerintah
Pemahaman dari demokrasi kapitalis yang menghantarkan kita pada
kerangka Interpretasi komitmen umum dari human well being dalam public good,
untuk mengevaluasi fakta-fakta Institusi-Institusi dan kebijakan. Yang termasuk
etos demokrasi adalah regim nilai semisal focus on free individual (Jhon Locke);
kepentingan public dan social equity (keadilan sosial). Dalam hal ini bagaimana
pemerintah dapat membuat UU untuk dapat melindungi kepentingan-kepentingan
fundamental / kebutuhan-kebutuhan dasar, dan hak-hak minoritas, menghindari
korupsi. Mengenai identitas kepentingan-kepentingan para pembuat hukum atau
kebijakan dengan kepentingan mayoritas yang diatas.
Walter Uppman berpendapat bahwa kepentingan public merupakan ;
apakah manusia akan melakukan pilihanaa, jika mereka memandang ada
kejelasan, rasionalitas, keuntungan atau kerugian dan kebijakan ?. Menurut Mark
Moore tugas pelayan public adalah melayani kepentingan public dari tiga prinsip
kewajiban yakni, dengan meligitimasi tindakannya, mengkoordinasi rekan/
bawahannya, kejujuran dll. Dalam pencapaian kepentingan publik diperlukan
tugas dan tanggungjawab Policy maker didasarkan pada kepentingan publik
tersebut. Menurut Moore ada kesulitan-kesulitan dalam mencapai kepentinga
publik adalah : kurang bisa memahami tindakan yang berakibat gagal dalam
mengartikulasikan nilai-nilai dari berbagai stakeholder, salah penanganan
terhadap preferensi-preferensi kebijakan publik yang tidak dapat diprediksi
―inevitable uncertainty”, pelaksanaan yang hanya didasarkan pada pandangan
yang sempit dalam bentuk “market term” or money term”.
Pemerataan atau keadilan sosial dalam hal hak-hak asasi yang dikatakan
oleh David Hart sebagai “spirits and habits of faimess, justness dan kebenaran
dalam memperlakukan hubungan pergaulan antar manusia. Pemberian
kesempatan yang sama atau perolehan yang sama dalam suatu kebijakan, harus
mengandung dimensi pembinaan, pemberian peluang dan kesempatan yang sama
pada setiap orang dalam memperbaiki kehidupannya (SOlichin, 1998). Juga dalam
hal untuk member input nilai pada suatu kebijakan serta menikmati hasil dari
suatu kebijakan.
C.3. Hukum dan Pembuatan Hukum
Jennings berpendapat baha kehidupan politik sebagai hal yang menolak
etika dari kebahagiaan dan kebaikan ideal. Dengan demikian begitu kentalnya
kehidupan politik yang kurang memperhatikan sisi etika dalam tindakannya.
Berkenaan dengan legislative yang sangat besar pengaruhnya dengan kehidupan
politik ada dua kategori yang berbeda dari dilemma etika yaitu : permasalahan –
permasalahan pengaturan (tindakan – tindakan legislator); dan permasalahan-
permasalahan kewajiban “obligation”. Ketepatan tindakan dalam proses
legislative dan penanganan komplik kepentingan yang terjadi antar stakeholders
serta dalam mengevaluasi berbagai kemungkinan legislative yang diperhadapkan
dengan kondisi yang tidak dapat prediksi berbagai kemungkinan legislative yang
diperhadapkan dengan kondisi yang tidak dapat prediksi “uncertainty
conditions”. Bila legislative yang meletakkan problem-problem regulasi dan
tanggungjawab atau kewajiban sebagai “moral minimalism” (penyelenggaraan
kepercayaan, efektif, kejelasan demokrasi, fungsi-fungsi politik legislatif).
Menurut Madisons legislatif secara umum berkeinginan untuk mencapai
kepentingannya dan motivasi untuk tetap berkuasa melalui pemilihan kembali,
legislative dituntut responsibilitasnya, berkenaan dengan “political reward
sistem” sebab banyak penggunaan kantor publik untuk mencari keuntungan
financial personal. Pemasukan moral minimalism dalam kehidupan sosial yang
komplek adalah guna keperluan-kepelruan; restrukturisasi; membatasi opsion
pembelaan dan menentukan pokok-pokok baru dari penjelasan dan justifikasi oleh
para pelaksanaan itu sendiri. Efektifnya moral dipandang dari sudut kemanfaatan
tradisional dari kelayakan, kemampuan dan kepentingan politik itu sendiri, moral
minimalism diperlukan untuk tetap membedakan secara jelas antara prinsip-
prinsip moral dan kebijakan politik “moral principle and political prudence”,
dimana politik seringkali dominan. Penyesuaian antara tuntutan publik terhadap
aktivitas legislative adalah penting. Dengan moral minimalism pada legislator
dapat melakukan peran advokasi dan dapat melakukan pilihan kebijakan yang
sesuai (viable), yaitu :
1. Multidimensional nature of advocacy role dan kemampuan untuk
mencapai kepentingan itu sendiri.
2. Mengembangkan political viable policy choice
3. Resolving problem of regulation
4. To support the ethical analysis of public policy
5. Membatasi permasalahan-permasalahan pengaturan, menampilkan secara
cermat produk legislatif dan dilemma obligasi.
Lon Fuller menyebutkan paradigm moralitas Internal hukum (UU),
menawarkan alternative untuk moral minimalism sebagai standar etika legislative,
yang menawarkan kerangka eksplorasi kebijakan pengaturan dalam memperluas
penerapan Internal atau prosedur, integritas hukum dan identifikasi perubahan
dalam substansi tujuan hukum yang seharusnya juga diteliti. Moralitas internal
hukum didukung dengan nilai dari etika demokrasi. Secara umum tujuan hukm
dalam demokrasi adalah “to protect those regim values of liberty property and
quality”, hal ini terkait dengan fungsi-fungsi untuk tetap menjaga prosedur
keadilan dan spirits and habit of faimess‖ yang menandai adanya keadilan sosial
dalam produk kebijakan tersebut.
C.4. Karakteristik Bisnis dan Perusahaan
Menurut Adam Smith bahwa publik dan private adalah berbeda,
efektivitas bisnis yang murni private, hak milik dan efisiensi tergantung pada
pasar bebas dan tanpa adanya intervensi pemerintah. Pandangan perusahaan
individual sebagaimana dalam teori agen pada pasar bebas bahwa :
1. Terjadi kontrak yang tegas antar pengelola sumber-sumber
2. Penggunaan agen (manajemen) dalam penyelenggaraan pelayanan
kepentingan
3. Peran manajemen sebagai upaya memaksimalkan kepentingan-
kepentingan para pemegang saham (memperbesar modal).
Dan Milto Friedman menyebutkan “the social responsibility of business is
increasing profits/profit maximizing goals” (responsibilitas sosial dari kehidupan
bisnis adalah dengan meningkatkan keuntungan atau memaksimalkan
keuntungan). Dan Jhon Lodd mengungkapkan bahwa organisasi yang ideal tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip moral, organisasi-organisasi formal adalah
merupakan struktur pembuatan keputusan yang dapat menunjukkan rasionalitas
pencapaian tujuan, dalam perolehan manfaat secara empiris yang membawa pada
manajemen etika, netral dalam tindakan efisiensi yang rasional. Peran manajemen
sebagai agen tersendiri dari para pelaksana dan responsibilitas manajemen untuk
memaksimalkan kekayaan para pemegang saham “shareholder”.
Pendapat Friedman yang ditindaklanjuti oleh K. Good Paster yang
mengarah pada teori Stakeholders. Kurang adanya mandate sosial dari manajer,
berakibat terjadi kesalah pahaman antara sector privat dan public. Menurutnya tak
ada bisnis yang bebas (tanpa dipengaruhi) oleh para pelanggannya, suppliernya,
para pegawai, masyarakat dan lainnya, dalam wilayah moral dan sosial yang
berpengaruh pada kehidupan para pendukungnya. Douglas Sherwin mengatakan
tujuan bisnis adalah sebagai mekanisme yang prinsip dalam memproduksi dan
distribusi barang-barang ekonomi tetapi tergantung pada pandangan sistem
partisipan. Adapun komponen-komponen Teori Stakeholder adalah :
1. Perusahaan baik secara implicit maupun eksplisit merupakan kontrak
antara berbagai stakeholder (yang mempunyai kepentingan-kepentingan
sendiri terhadap perusahaan).
2. Pengakuan terhadap perbedaan-perbedaan fungsi (kepentingan) dari
stakeholder.
3. Peranan manajemen didefinisikan sebagai mediator antar kepentingan
stakeholder.
Peran pemerintah menurut Cooper adalah meyakini ekologi dari hubungan
sistem ekonomi sebagai sesuatu yang saling tergantung antar stakeholder,
pelanggan/klien, pemilik, pegawai, manajer dan sebagainya. Sebagai inti teori
stakeholder adalah saling ketergantungan antar stakeholder semakin meningkat,
sebab setiap stakeholder ingin menjaga kestabilan lingkungan bisnis mereka dan
sistem partisipasi lain, guna memuaskan pencapaian kebutuhan mereka. Situasi
saling ketergantungan memperburuk kesamaan antar stakeholder, bagaimanapun
sumber keputusan dialokasikan. Pencapaian akan pemerataan, setiap waktu dapat
terlaksana jika sistem tetap stabil. Kepentingan-kepentingan berbeda seperti para
pemilik preferensinya adalah bertambahnya modal, pegawai naiknya gaji,
manajemen menginginkan bonus/reward dan customer memerlukan harga yang
turun.
C.5. Kepentingan-kepentingan Stakeholder dan Pengaturannya
Pembicaraan berbagai pereanan pemerintah, hukum, pembuat hukum,
bisnis dan perusahaan, sarat dengan dimensi-dimensi kehidupan sosial.
Perhitungan-perhitungan yang membedakan public dengan privat, moral
minimalism dalam etika legislative dan teori agen dalam perusahaan secara luas,
berpengaruh pada keengganan dalam subyek kebijakan pengaturan dalam
ketelitian/ketepatan etika. Nilai-nilai transaksional dari etos demokrasi, liberty,
equality, private property dan public interest dalam gagasan social equity, tetap
menjadi bagian budaya kontemporer, bagaimanapun pemisahan klasik antara
private dan public sebagai ketidak akuratan kerangka kerja dalam
menggambarkan kekomplekan masyarakat dimana kita hidup. Ada beberapa
kegagalan yang dilakukan oleh Teory Agen yaitu dalam hal memenuhi tuntutan-
tuntutan stakeholder atas sumber-sumber organisasi; dan menyediakan pedoman
kegiatan strategi serta taktik untuk memuaskan kepentingan pemilik. Kebijakan
pengaturan meredakan hubungan antara Industri, pemerintah dan individu lainnya
serta stakeholder kolektif. Dengan subyek tujuan dan konskwensi-konskwensi
yang tegas dari kebijakan pengaturan dengan analisis etik sebab struktur yang
jelas seperti persiapan cara-cara yang teliti untuk mengevaluasi kebijakan yang
sukses.
Kesimpulan sejumlah isu pemerintah yang melibatkan potensi pemerintah
akan bemanfaat dengan analisis etika (contoh health care dillivery), bagaimana
dapat memperhitungkan seluruh stakeholder dan kepentingan mereka,
konskwensi-konskwensi tujuan dari kebijakan-kebijakan pengaturan dapat
dipahami. Manfaat pendekatan analisis etika adalah : terjadinya public discourse
guna relevansi antara stakeholder dan kepentingan mereka; kebijakan regulatory
ditetapkan atas dasar kemampuan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan
stakeholder, legitimasi dari kepentingan dari keseluruhan stakeholder yang
terlibat (ikut mewarnai alternative kebijakan dan konskwensi); dan kecermatan
pilihan kebijakan regulatory melalui kajian analisis etika dan policy debate dalam
sistem sosial dan organisasi ekonomi melalui moral. Analisis didasarkan pada
kepentingan stakeholder termasuk komponen deskriptif dan normatif. Analisis
etika merupakan alat evaluasi pilihan kebijakan dan konskwensinya melalui
perhitungan-perhitungan kepentingan yang bersaing dan komplik dari keseluruhan
stakeholder dan kecermatan penggabungan berbagai tindakan tertentu, dalam
memaksimalkan keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut.
Gambar 7.
Tujuan-tujuan dari fase deskriptif dari analisis merupakan identifikasi dari
peranan yang dimainkan dan pemainnya (stakeholder). Focus analisis adalah
identifikasi berbagai isu yang ditangani dan fakta-fakta yang menunjang isu
tersebut. Key stakeholder (berpengaruh) dan kelompok-kelompok stakeholder
harus juga diidentifikasi termasuk kepentingan mereka. Akhirnya fase deskriptif
dari analisis seharusnya mengestimasi impact dari subyek kebijakan terhadap
interest dari stakeholders.
Fase deskriptif; analisis terfokus pada pemetaan pengembangan dampak
kebijakan (dampak antisipatif), penyeimbangan antar berbagai stakeholder,
dengan kata lain dengan analisis etika dapat mengetahui apakah kebijakan
regulatory dapat mengembangkan antar kepentingan stakeholder atau sebaliknya
terjadi keuntungan yang jomplang bagi stakeholder tertentu, dengan
mengorbankan yang lain. peningkatan kemampuan bisnis untuk mempertemukan
kebutuhan-kebutuhan stakeholder melalui diskusi kebijakan pengaturan “policy
Facts & Issues
Key Stakeholder
Stakeholders Interest
Impact of Policy
Balance test
Balance Test for necessary
amandements
Pengembangan Alternatif
Perhitungsn Berbagai
Konskwensi
Rekomendasi Amenden
Kebijakan
regulatory debate” yang mengarh pada balance of all stakeholder interest,
balance of costs and benefit a cross stakeholder, tapi tidak bermaksud bahwa
setiap kebijakan berpengaruh sama pada setiap stakeholder, tapi semata-mata
menjaga stabilitas. Penghindaran analisis etika dalam bisnis dalam ukuran-ukuran:
“good deeds” (perbuatan-perbuatan baik), yang merupakan misi dari organisasi
bisnis atau industry atau merupakan cara-cara yang tidak pantas. Beberapa
penerapan model :
1. Bagaimana memberi kesempatan untuk pada setiap stakeholder untuk
memberi warna pada kebijakan pengaturan.
2. Bagaimana kebijakan pengaturan dapat mengurangi biaya dan menambah
saving and loan bailoat (good will).
3. Penyebaran uang di pedesaan atau di daerah terpencil menurun.
4. Pendekatan Draconian pada industry kesehatan financial.
D. FRITZ GAENSLEN, 1996. “Motitional Orientation and the Nature of
Konsensual Decision Making”
Model pengambilan keputusan elit masa (non demokratis) dengan asumsi
dasarnya hal mutlak bagi elit mengambil keputusan (dengan cara bagaimana
dispute dapat diselesaikan). Perbedaan pengambilan keputusan consensus ada tiga
hal yang perlu diperhatikan yaitu analisis pilihan rasionalitas mayoritas dan
mayoritas suara (yang kita kenal sebagai musyawarah mufakat) sebagai
maksimasi kepentingan, studi psikologi sosial terhadap dampak, hukum di lapang
(laboratorium), dalam upaya mengelola informasi (sebagai prosesor informasi);
dan diskripsi proses resolusi dispute/komplik sebagai social being seperti yang
terjadi di RUsia, Cina, Jepang dan AS.
Di Cina dalam bidang kebijakan ekonomi melalui pembagian wewenang
dalam isu-isu yang komplek dari reformasi, ekonomi (pendelegasian melalui
consensus). Para pemimpin partai yang bercokol di birokrasi membagi wewenang
pada pemerintah di level tingkat bawahnya untuk mengambil keputusan
consensus. Apabila consensus tidak dapat dicapai pada tingkat pemerintahan
diatasnya sampai consensus itu tercapai (model bertingkat). Dengan moral
tertentu yang signifikan para anggota dapat mempunyai kesempatan konsultasi
yang sama dan seimbang didalam rangka proses kebijakan yang adil (Limpton,
1992). Akibatnya anggota pada tingkat bawah sering menunggu petunjuk atasan
dalam melakukan resolusi.
Di Jepang para elit mengambil consensus secara tertutup, tidak terjadi
kesempatan antara otoritas dan power dari berbagai aktor pemerintah yang
berwenang untuk intervensi dan berpartisipasi dalam pengembangan berbagai isu,
tetapi tidak memiliki kekuasaan langsung untuk bertindak atau mengontrol hasil,
(tanggungjawab aktor hanya pada tingkat perumusan dengan consensus). Para elit
pembuat keputusan dapat memandang proses keputusan consensus sebagai
ketepatan cultural (Calder, 1988). Kesimpulannya. Di Jepang kekuasaan tersebar
pada semua pihak (tidak terakumulasi pada satu elit pembuat keputusan). Setiap
bawahan dapat mengambil keputusan; dapat melakukan bargaining, take and give
dan trade off bisa terlaksana. Jepang memiliki ―streamline structure” (struktur
pemerintah yang ramping), sehingga keputusan dapat diambil di bawah.
Tujuan penulisan artikel Gaenslen adalah menunjukkan bahwa perbedaan
hanya merupakan catatan teoritis dan kebutuhan menyatakan signifikansi dalam
kasus yang nyata sulit diidentifikasikan, paling tidak pada bagian orientasi
motivasi dari para partisipan (perbedaan-perbedaan yang ada hanya memiliki
makna teoritis apa yang semestinya terjadi sulit teridentifikasi). Kesulitan yang
muncul adalah tidak mampu mengakses pada tiap level pengambilan keputusan;
siapa berkata apa, untuk siapa, apa yang ditekankan (tidak semua hal dapat
terungkap dengan jelas atau hanya sebagian saja). Berbagai informasi secara
otomatis memperbaiki proses materi pengarsifan seperti memorandum report, dan
catatan-catatan pertemuan, yang dapat dirinci antara lain :
1. Banyak diskusi dan persuasi pada level pengambilan keputusan
pemerintah teratas (tertinggi) sebagai suatu formalitas.
2. Pengarsipan berbagai materi materi dilakukan untuk alasan-alasan
institusional dan bukan untuk konsumsi umum (publik) tapi dilakukan
melalui “image manajement”
3. Apa yang dihasilkan dalam formal yang refleksinya tidak bisa dirubah dari
setiap kecenderungan dan pembatasan para pembuatnya.
D.1. Pengambil Keputusan Sebagai “Interest maximize”
Pilihan rasional bekerja dalam obyak perancangan dan institusi evolusi
public dalam penekanan asumsi pada konteks:
1. Setiap para pengambil keputusan bebas mengembangkan pilihan,
mendahului preferensi kelompok (atau konsep otonomi diterapkan).
2. Preferensi yang dilakukan tidak sama antara para pembuat keputusan
(variasi preferensi atau mandiri dalam opini)
3. Hak suara terdistribusikan sama bagi setiap pembuat keputusan (masing-
masing mempunyai hak suara).
4. Para pembuat keputusan dimotivasi untuk dapat memaksimalkan
kepentingan (setiap orang bebas menyampaikan pendapat).
Sehingga dengan demikian proses pencapaian suara terbanyak nampak
lebih; dapat mengakomodasi lebih banyak kepentingan; lebih banyak terjadi
―debate isu”; dan sebagai upaya “log rolling solution” (solusi yang disepakati
semua pihak), yang dapat mengakses semua preferensi para partisipan untuk
menghasilkan perubahan yang menguntungkan bagi semua pihak (win-win).
Proses ini diharapkan menghasilkan efisiensi ―pareto outcome” (kesepakatan),
karena sejak awal telah gagal mencapai kesepakatan sebab tidak mudah bagi
Policy maker untuk melakukan tindakan kolektif. Ketidakmampuan Policy maker
mengambil tindakan kolektif dalam mencapai kesepakatan sebagai anjuran
―rational choice‖ mengandung konskwensi :
1. Positif bahwa pencapaian kesepakatan lebih sebagai upaya stabilitas
(memelihara stabilitas).
2. Negatif bahwa sebagai upaya mendukung status quo (dengan segala
bentuk ketimpangan lain). Dan bagi partisipan individual akan terjadi ;
falsify (kepalsuan) dalam pilihan mereka dalam artian mereka dapat saja
memalsukan pribadinya untuk keamanan dirinya, pemerasan (exortion),
menentang dengan diam-diam, penyogokan suara (publik), mengurangi
kelompok yang tidak sepakat (dengan proses birokratik atau mengikuti
pola-pola birokratik artinya sebelum adanya pertemuan formal telah
dirumuskan terlebih dahulu oleh kelompok-kelompok tertentu dalam
birokrasi, untuk kemudian dilegitimasi dalam formal meeting, untuk
memperoleh kata sepakat.
Keinginan untuk memaksimalkan berbagai kepentingan, berakibat terjadi
kelambatan keputusan ―Inertia‖, stagnasi, serta pembusukan politik “politic
decoy”. Disebabkan alasan-alasan rasional choice diatas, yang dilalui dalam
proses politik yaitu : artikulasi, agregrasi, sosialisasi dan implementasi hasil
proses, dimana perlu disadari faksi-faksi menunjuk pada political will yang
berbeda.
D.2. Pengambil keputusan sebagai “Information prossesor”
Para psikologis sosial yang membandingkan (musyawarah mufakat)
sebagai studi lapang memiliki dua karakteristik. Pertama, kelompok tersusun atas
individu-individu yang tidak saling mengenal dan begitu selesai tugas mereka
membubarkan diri. Kedua, tugas-tugas dilaksanakan atas dasar kooperatif dan
terdefinisikan dengan baik (ada kerjasama) dan identifikasi dengan baik serta
pembuatan keputusan nampak sebagai usaha-usaha kognitif dan sedikit dapat
memaksimalkan kepentingan-kepentingan yang ada, memandang secara
komprehensif pada setiap permasalahan. Ciri yang membedakan dengan D.1
adalah penggunaan daya piker kognitif secara penuh dalam upaya mencapai kata
sepakat. Beberapa kesimpulan yang mendukung mufakat adalah sebagai berikut:
a. Para pembuat kesepakatan menemukan fakta-fakta yang relevan
(pendapat) dari setiap pembuat kesepakatan dalam waktu yang relatif sama
(Hastle, 1983).
b. Para pembuat kesepakatan dari mayoritas dapat mencurahkan perhatian
pada opini kelompok minoritas (Foss, 1981). Hal ini mendorong
munculnya pemikiran-pemikiran berbeda serta mengurangi kemungkinan
visi yang sama.
c. Faksi-faksi dan usulan-usulan tindakan memunculkan kesepakatan
bersama.
d. Para pembuat kesepakatan hanya sedikit memiliki kesempatan untuk
melakukan jalan pintas “cognitive shortcut” dan perhatian mereka
tercurah pada “away of from what is being said to who is doing the talk”
(dari apa yang mereka katakana dan siapa yang mengerjakan apa yang
mereka katakana (Chaiken, dkk, 1989). Dalam artian apa yang diputuskan
dan siapa yang melaksanakan keputusan yang dimaksud.
Kesimpulannya kesepakatan digambarkan sebagai upaya pengumpulan data
ketimbang mencari solusi (apa yang terjadi dan mengapa terjadi dan mayoritas
nampak lebih menekankan apa yang mereka seharusnya kerjakan, atau seperti apa
yang tertulis. Ada beberapa perbedaan tipe/gaya pertimbangan pencapaian
kesepakatan :
a. Unity seeker (user) mayority ; penekanan pada rekomendasi terhadap apa
yang seharusnya dikerjakan atau dilakukan.
b. Mayoritas pembuat kesepakatan lebih menggunakan waktunya untuk
merancang solusi baru, terhadap permasalahan ketimbang mengadopsi
solusi-solusi yang sudah ada atau mencapai kepuasan semua pihak.
c. Mencapai kesesuaian antara solusi dan permasalahan yang terjadi,
sehingga nampak mencapai kualitas kepatuhan yang tinggi (Bower dkk,
1965).
Dengan demikian keputusan akan lebih dapat diimplementasikan oleh karena
merupakan hasil keputusan bersama atau semua pihak berpartisipasi dan resisten
terhadap perubahan (lebih dapat dipertahankan, karena untuk mengadakan
perubahan memerlukan kesepakatan baru, yang melibatkan semua pihak, waktu
dan biaya tambahan. Keputusan ini terfokus pada pembuat keputusan yang
dimotivasi untuk sebagai prossesor (pengelola) informasi ketimbang Interest
maximize. Namun demikian keputusan yang dihasilkan sering tidak dilaksanakan
karena ketidakmampuan para pembuat keputusan untuk bertindak atau
ketidakinginan (komitmen) untuk tidak melaksanakan apa yang dilakukannya,
sebelumnya (keputusan atau hasil pemikisan kognitif seluruhnya).
D.3. Pembuat Keputusan Sebagai “Social Being”
Para pembuat keputusan sering menekankan pada kehidupan mereka
sehari-hari dalam perjuangannya melalui analisis pengalaman “world historical”.
Keputusan-keputusan mereka diambil guna mendukung atau menghambat tujuan-
tujuan eksternal dalam keputusan kelompok. Perilaku kelompok tidak merakan
adanya batasan (sukarela) menerima status hirarki, persahabatan, melewati
sejarah, harapan-harapan interaksi atau sepakat/tidak dengan kolega (dalam
perhitungan-perhitungan pembuat keputusan yang dilandaskan pada dirinya
sebagai mahluk sosial).
Elit politik sebagai mahluk sosial; perluasan status elit, keinginan dan
secara problematik tidak dikembangkan dari inpersonal rules of the game (sesuai
dengan hukum yang ada), melainkan melalui kreasi, pemeliharaan dan alterasi
hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan politik. Merumuskan urusan-urusan
merupakan manifestasi dari upaya-upaya melalui top leader, untuk
mengkonsolidasikan dan ekspansi jaringan kerja pelanggan, menawarkan
kesempatan karier dalam perubahan untuk mencapai kesetiaan dan dukungan (Gill
dkk).
Ada beberapa perbedaan pelaksanaan ide dalam artikel ini dibeberapa
Negara, semisal di Jepang standar Inpersonal “rules of the game” berkembang
dengan baik, meskipun tindakan elit dari bangunan faksi, peningkatan sumber
dana dan seleksi pelayanan, didominasi oleh proses informal dalam hubungan
sosial. Sedangkan Soviet dan Cina pengembangan mekanisme sistem atasan yang
relative lemah dalam penyelesaian komplik kebijakan, penyelenggaraan hubungan
sosial dapat dilihat sebagai hambatan langsung dalam proses pembuatan
keputusan.
Fisi sebagai sumber data, hubungan sosial dipertimbangkan berdampak
dalam keputusan consensus (keuntungannya);
a. Fisi dapat memberikan gambaran tentang hubungan sosial dan
berpengaruh dalam proses pengarsipan.
b. Upaya untuk menghindari kesalahan memory dan dalam merespon hasil
wawancara dengan Policy maker.
c. Memungkinkan untuk mengakses berbagai konteks tanpa intervensi
berbagai investigator yang terkait dengan observasi langsung terhadap
proses keputusan.
d. Beberapa dengan dilapangan; kecenderungan penggunaan setting natural
(alamiah), dimana para pelaku saling memiliki hubungan nyata dan
problem yang dihadapi juga secara factual. Rekruitmen didasarkan pada
hubungan sosial, namun miskin pada penegasan subyek sebagai tiruan
dalam hubungan yang jelas.
e. Penilaian terhadap dampak hubungan sosial mempengaruhi keputusan dan
proses consensus bagi pengambil keputusan memiliki waktu ektra untuk
memaksimalkan manfaat dan perbaikan kesalahan struktur.
Dalam hal keputusan consensus ini, penggunaan metode diarahkan pada
hal-hal sebagai berikut:
a. Membedakan antara hasil consensus dan non consensus
b. Mengukur hubungan sosial antara para peserta yang komplik dengan
kondisi awal yang menyebabkan komplik itu terjadi. Dengan alasan : cross
culture evidence (bukti lintas budaya). Sangat berpengaruh pada cara-cara
orang menilai orang lain, kesamaan dan perbedaan mewarnai
pertimbangan mereka (Wish dkk, 1976); pemunculan dimensi status
hubungan sosial dalam dunia elit politik.
c. Memerlukan ukuran proses pembuatan keputusan tentang apa yang
menjadi discourse para partisipan yang dibedakan antara tindakan koersif
(argument paksaan), pendapat akhli, ketentuan normative dan preferensi.
Pada akhir tulisan ini siding pembaca bisa mencermati dan member makna
pribahasa yang terkenal di AS yaitu “to go along, you have to go along, at least
some of the time” (Gaenzlen, 1996).
TABEL PROSES KEBIJAKAN
FORMULASI IMPLEMENTASI EVALUASI REFORMASI
1. Masalah Kebijakan
- Masalah apa? Ekono-
mi? Politik? Sosial?
Lingkungan? Tekno-
logi?
- Mengapa masalah tsb
yang diangkat? Sebe-
rapa urgen ?
- Apa karakteristik uta-ma
masalah tsb ?
- Apakah definisi masa-
lah kebijakan cukup
jelas ?
- Siapa saja yang terlibat
dlm perumusan masa-
lah tsb ?
- Apa tujuan yang hen-
dak dicapai ?
2. Opsi/alternatif/solusi ma-
salah Kebijakan
- Apa upaya yang dila-
kukan shg masalah bisa
masuk ke agenda
pemerintah ?
- Apa alternatif kebija-
kan yang dipilih untuk
mengatasi masalah tsb ?
1. Strategi implementasi
- Apa strateginya? Me-
ngapa?
- Apa rasionalitasnya?
- Siapa yg memilih?
2. Instrumen implementasi
- Apa instrumen imple-
mentasi yang dipakai?
- Apa rasionalitasnya?
- Siapa yang menetap-
kan instrumen tsb ?
3. Jejaring implementasi
- Apa bentuk jejaring
yang dibentuk ( kemi-
traan, kolaborasi dst )
untuk melaksanakan
kebijakan ?
- Siapa saja yang terlibat
dlm jejaring tsb? Me-
ngapa ?
- Sejauhmana efekti-vitas
koordinasi dian-tara
mereka ?
4. Aktor pelaksana kebijakan
- Siapa saja aktor yang
terlibat?
- Apakah mereka punya
1. Siapa pihak yang menilai
hasil dan dampak imple-
mentasi kebijakan ?
Mengapa?
2. Apa instrumen / kriteria
yang dipakai untuk meni-
lai keberhasilan imple-
mentasi kebijakan ? Efek-
tivitas? Effisiensi? Kea-
dilan? Persamaan? Akun-
tabilitas? Atau apa?
3. Apakah evaluasi juga
dilakukan pada fase : Ex-
ante? On-Going? Ex-Post?
Mengapa ?
4. Sejauhmana tujuan kebi-
jakan telah tercapai ? Dan
apa dampaknya terhadap
beneficiaries ?
5. Apa kendala yang dihadapi
selama proses evaluasi ?
Mengapa? Dan apa jalan
keluarnya ?
1. Kebijakan apa/mana yang
akan direformasi?
2. Mengapa? Atau apa
alasannya ?
3. Siapa yang terlbat dalam
reformasi kebijakan tsb?
4. Siapa yang bakal di-
untungkan dan dirugikan
dengan adanya perubahan
kebijakan tsb?
5. Apa tujuan utama dari
proses reormasi kebijakan
tsb ?
6. Bagaimana proses peru-
bahan kebijakan itu dilak-
sanakan ?
7. Apa strategi utama yang
dipakai oleh reformer
untuk mereformasi kebi-
jakan tsb ? Mengapa?
8. Pada diimensi proses
kebijakan apa/mana re-
formasi tsb hendak dila-
kukan ? Formulasi? Imple-
mentasi? Evaluasi?
9. Hasil dan dampak
signifikan apa yang
Mengapa ?
- Faktor lingkungan ling-
kungan apa saja yang
diperhatikan dlm me-
milih alternatif yang
terbaik ?
- Kriteria apa saja yang
dipakai untuk menakar
bobot terbaik dari
alternatif tsb ? Teknis?
Ekonomis? Politis?
Administratif?
- Siapa saja pihak yang
mendukung atau me-
nolak alternatif tsb ?
3. Kendala apa saja yang
dijumpai dalam merumus-
kan kebijakan tsb?
power, interest and
influence yang signifi-
kan ?
- Sejauhmana mereka
telah memiliki 5C
Protocols : Content,
Context, Capacity,
Commitment, Client &
Constituent ?
5. Kendala-kendala apa saja
yang dihadapi selama
implementasi kebijakan?
Bagaimana jalan keluar-
nya?
diperoleh dari reformasi
kebijakan tsb ?
10. Kendala apa saja yang
dijumpai dalam mere-
formasi kebijakan tsb ?
Sumber : Materi Kuliah Prof Irfan Islamy, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2012. Kebijakan Publik. Salemba Humanika. Jakarta
Anderson, James, 1979, Public Policy Making. Holt, Rinehat & Winston
Chambers, Robert, 1988. Pembangunan Desa : Mulai Dari Belakang. LP3ES.
Jakarta.
Compston, Hugh. 2009. Policy Networks and Policy Change Putting Policy
Network Theory to the Test. Palgrave Macmillan. New York.
Crabtree & Miller, 1992. Doing Qualitative Research. Page 111-112.
Danziger, Marie, 1995. ―Policy analysis Post Modernzed : Some Political and
Pedagogical Ramiflcation‖. Dalam Policy Studies Journal. Harvard
Kennedy School.
Deitzner, Daniel F, 1995. ―Understanding and valuation Qualitative Research‖.
Dalam Journal of Marriage and the Family 57. Department Sociology,
Your University, Ontario Canada.
DeLeon, Peter, 1994. ―Democration and the Policy Sciences : Aspirations and
Operations‖. Dalam Policy Studies Journal.
Dunn, William N, 1995. Analisa Kebijakan Publik. PT. Hanindita Offset.
Yogyakarta.
Dye, Thomas R, 1981. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, Prestise
Hall, New Jersey.
Easton, David, 1965. A Systems Analysis of Political Life. Jhon Wiley & Sons, Inc
Edward III, George, 1980. Implementing Public Policy. CQ Press, US
Gaenslen, Fritz, 1996. ―Motivational Orientation and the nature of Konsensual
Decision Process : A triangulate Approach‖ Dalam Political Research
Quartety. Gettysburg College.
Harrington, L K, 1996. ―Ethics and Public Policy Analysis : Stakeholder’s Interest
and regulary policy‖. Dalam Journal of Bisnis Ethic‖. Kluwer Academic.
Netherlands.
Heilman, John G. 1983. ―Beyond The Technical and Bureaucratic Theories of
Utilization: Some Though om Synthesizing Reviews and the Knowledge
Base of the Evaluation Profession‖. Dalam Evaluation Review. Sage
Publications, Inc.
Hoksbergen, Roland, 1986, ―Approach to Evaluation of Development Intervision:
The Importance of World and Life Views‖. Dalam Charles K. Wilber. The
Methodological Foundations of Development Economics. Pergamon Press,
Oxford, New York.
Knetsch, Jack L. 1995. ―Assumption, Behavioral Findings and Policy Analysis‖.
Dalam Journal of Policy Analysis and Management, Jhon Wiley and Sons,
Inc.
Kobrin, Solomon & Steven G Lubeck, 1975. ―Problems The Evaluator of Crime
Control Policy‖. Dalam Kenneth M. Dolbeare ed. Public Policy Evaluation.
Sage Publication. Beverly Hills. London.
Lodge, George C, & Steven D Gudeman, 1968. ―Study of The Organization of
Rural Change In a Latin American Country‖. Dalam The Veraguas Report.
Harvard University.
Mazmanian, Daniel A & Paul A. Sabatier. 1989. Implemnetaion and Public Policy
with a New Postscript. University Press of America. New York.
Parks, Boyer B, 1975. ―Complementary Measure of Policies Performance‖. Dalam
Kenneth M. Dolbeare ed. Public Policy Evaluation. Sage Publication.
Beverly Hills. London.
Sabatier, Paul & Daniel Mazmanlan, 1988. ―Implementation : The Concept of
optimal Conditions for Effectively accomplishing Objectives‖ Dalam
Richard J.Stilmann II. Public Administration : Concept & Cases. Houghton
Miffin Company. New Jersey.
Solichin. AW, 1988. Reformasi Pelayanan Publik Menuju Sistem Pelayanan yang
Responsif dan Berkualitas. Program Pasca Sarjana. Brawijaya Malang.
Solichin. AW, 1996. Evaluasi Kebijakan Publik. IKIP. Malang
Solichin. AW, 1997. Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara. Bumi Aksara Jakarta.
Solichin. AW, 1998. Analisis Kebijakan :Teori dan Aplikasinya. FIA Unibraw.
Malang.
Wildavsky Aaron. 1972. ―The Self-Evaluating Organisation‖. Dalam Buying
Recreation Budgeting and Evaluation in Federal Outdoor Recreation
Policy. University California at Berkeley.
Wiltshire, Kenneth W, 1975. An Introduction to Australian Public Administration,
Cassel Australia.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
atas asung kerta waranugraha-Nyalah, diktat kebijakan publik ini dapat tersusun,
sesuai dengan harapan penyusun. Dan semoga demikian juga, seperti apa yang
menjadi harapan para sidang pembaca.
Dalam diktat ini, penulis berupaya menghimpun berbagai materi mengenai
kebijakan publik. Dan tak lebih merupakan ringkasan berbagai materi kuliah dan
hasil kajian terhadap beberapa buku teks serta artikel, yang penulis tekuni selama
satu tahun, melalui bimbingan pakar kebijakan publik yang sekaligus sebagai dosen
pembina mata kuliah kebijakan publik yaitu Prof. Dr. M. Irfan Islamy, MPA, Prof.
Dr. Solichin Abdul Wahab, MA dan Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS, dalam
mengikuti Program Pasca Sarjana di Universitas Brawijaya Malang, dan
selanjutnya menyusun sebuah diktat yang sekiranya dapat mempermudah bagi
mahasiswa atau akademisi dalam memahami intervansi pemerintah dalam bentuk
kebijakan Negara dan juga memberi pertimbangan terhadap kemajuan
perkembangan kebijakan publik, bagi kelompok masyarakat dan praktisi kebijakan
publik lainnya. Jika sidang pembaca ingin menulis, diktat ini belum bisa dijadikan
referensi, namun apabila ingin mengutip essensi dari tulisan ini, diharapkan sidang
pembaca mempergunakan referensi aslinya.
Meskipun segala kemampuan da daya upaya telah tercurah sepenuhnya,
sehingga tulisan ini menurut pemahaman kami sudah cukup baik. Namun demikian
sumbang saran dan kritik yang sifatnya dapat memperbaiki diktat ini, sebagaimana
partisipasi yang kami harapkan dari sidang pembaca adalah sangat mungkin kami
terima secara terbuka. Akhirnya semoga diktat ini senantiasa bermanfaat bagi
pembaca.
Singaraja, Pebruari 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Judul Halaman
JUDUL ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB II FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK .......................................... 4
A. Pemahaman Terhadap Kebijakan Publik ................................... 4
B. Proses Perumusan Kebijakan Publik ......................................... 5
C. Teori Inkremental Sebagai Pendekatan Perumusan Kebijakan . 8
BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK ................................... 12
A. Memahami implementasi Kebijakan Publik .............................. 12
B. Model Implementasi Kebijakan ................................................. 14
BAB IV EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK ............................................. 26
A. Pemahaman Tentang Evaluasi Kebijakan .................................. 26
B. Manfaat dan Fungsi Evaluasi ..................................................... 29
BAB V ANALISIS DAN SKENARIO KEBIJAKAN ................................ 34
A. Pengertian Analisis Kebijakan ................................................... 34
B. Institusi-Institusi Analisis Kebijakan ......................................... 35
C. Pentingnya, Tujuan Analisis Kebijakan ..................................... 35
D. Peran Analisis Kebijakan ........................................................... 36
E. Keterbatasan Analisis Kebijakan Publik .................................... 36
F. Pendekatan-Pendekatan Analisis Kebijakan Publik .................. 36
G. Netralitas Analisis Kebijakan .................................................... 38
H. Pentingnya Pertimbangan Kelayakan Politik ............................ 38
I. Skenario Analisis Kebijakan ...................................................... 39
J. Proses Penyusunan Skenario Analisis Kebijakan Publik .......... 39
K. Metode-Metode Lain dalam Penelitian Kebijakan .................... 42
BAB VI PENGKAJIAN TERHADAP PENDEKATAN POSITIVISME ... 43
BAB VII BEBEPARA PENDEKATAN ALTERNATIF .............................. 47
A. Pendekatan Kualitatif ................................................................. 47
B. Teori Fenomenologi, Hermeneutik, dan Teori Kritik (memberi
tekanan pada subyek yang menafsirkan obyeknya) ................... 49
B.1. Teori Fenomenologi ............................................................ 49
B.2. Hermeneutik ....................................................................... 49
B.3. Teori Kritis Mazhab Frankurt dan Jurgen Habermas Versus
Marx .................................................................................... 51
BAB VIII MATER-MATERI TAMBAHAN ................................................. 57
A. HOKSBERGEN, 1986. ―Approach to Evaluation of Development
Intervention‖ .............................................................................. 57
B. WILDAVSKI, 1982. ―Self Evaluation Organization (SEO)‖ ... 60
C. Harington, 1996. Ethic and Public Policy Analysis ................... 64
C.1. Hubungan Bisnis dan Pemerintah ....................................... 65
C.2. Peran Pemerintah ................................................................ 66
C.3. Hukum dan Pembuatan Hukum .......................................... 67
C.4. Karakteristik Bisnis dan Perusahan .................................... 68
C.5. Kepentingan-Kepentingan Stakeholder dan Pengaturannya 70
D. Fritz Gaenslen, 1996. ―Motivational Orientation and the Nature
of Konsensual Decision Making‖ .............................................. 73
D.1. Pengambilan Keputusan Sebagai ―Interest Maximizer‖ ..... 75
D.2. Pengambilan Keputusan Sebagai ―Information Prosessor‖ . 76
D.3. Pembuat Keputusan Sebagai ―Social Being‖ ..................... 77
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 82