KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN
PERBURUAN SATWA DI INDONESIA
Rizki Kurnia Tohir E351160106
Fadlan Pramatana E351160156
Dosen
Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA
PROGRAM STUDI KONSERVASI BIODIVERSITAS TROPIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PENDAHULUAN
Latar belakang
Kegiatan berburu telah berlangsung sejak jaman pra-aksara (Gazalba
1996), yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan). Tetapi pada
saat ini kegiatan berburu tidak hanya dikaitkan dengan pemenuhan konsumsi
harian melainkan untuk pemenuhan ekonomi dan juga hobi. Dalam
perkembangannya, kegiatan perburuan ternyata telah menimbulkan ancaman
terhadap kelestarian beberapa spesies satwaliar karena dilakukan secara ilegal
(Thohari dkk 2011).
Kegiata berburu yang ilegal ternyata telah menimbulkan kerugian yang
bagi Indonesia, salah satunya telah menyebabkan penurunan dan kepunahan lokal
banyak spesies flora maupun fauna, termasuk spesies yang ada di dalam area yang
dilindungi (USAID 2015). Peningkatan kegiatan perburuan ilegal harus diikuti
dengan adanya pengaturan dan kelembagaan yang fokus terhadap pengelolaan
perburuan satwa di Indonesia. Sehingga mencegah terjadinya kepunahan satwa
dengan tetap mempertimbangkan pemasukan ekonomi bagi masyarakat dan tetap
memenuhi kebutuhan akan hobi berburu.
Peraturan perundang undangan dan kelembagaan menurut Pasal 5 UU No
12/2011 Tetang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bertujuan untuk
menuntun seluruh kegiatan supaya sesuai dengan tujuan yang hendak di capai
dalam hal ini tujuan kelestarian satwa. Selain itu kelembagaan berkaitan dengan
penunjukan pihak yang berwenang dan memiliki kekuasaan dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan.
Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peraturan perundang-
undangan dan kelembagaan mengenai perburuan di Indonesia, serta dapat
memahami semua peraturan yang ada sehingga terciptanya kegiatan perburuan
yang lestari baik hasil maupun kegiatannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. JENIS PERATURAN YANG MENGATUR PERBURUAN SATWA DI
INDONESIA
Peraturan yang mengatur kegiatan perburuan, kawasan buru dan wisata
buru telah telah ada sejak jaman Ordonansi Perburuan tahun 1931. Sampai saat ini
telah banyak peraturan yang mengatur kegiatan diatas mulai dari Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Direktur
Jenderal dan Keputusan Direktur Jenderal (Masigit Kareumbi 2015). Adapun
rincian peraturan normatif perburuan tersaji pada (Tabel 1)
Tabel 1 Peraturan terkait perburuan, taman buru dan wisata buru.
Jenis
Peraturan No Peraturan
Ordonansi
1 Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad
1931 Nummer 133)
2
Ordonansi Perlindungan Binatang-Binatang Liar
(Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931
Nummer 134);
3
Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura
(Jachtoddonnantie Javaen Madoera 1940 Staatsblad
1939 Nummer 733)
4
Ordonansi Perlindungan Alam
(Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941
Nummer 167)
Undang-
Undang
1 UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kehutanan
2 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
3 UU No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan
4 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan
Pemerintah
1 PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru
2 PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar
3 PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar
4
PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
5 PP No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan
Peraturan 1 Permenhut No. P.31/Menhut-II/2009 tentang Akta Buru dan
Menteri
Kehutanan
Tata Cara Permohonan Akta Buru
2 Permenhut No. P.17/Menhut-II/2010 tentang Permohonan,
Pemberian, dan Pencabutan Izin Pengusahaan Taman Buru
3 Permenhut No. P.18/Menhut-II/2010 tentang Surat Izin
Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu
4 Permenhut No. P.19/Menhut-II/2010 tentang
Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru;
5 Permenhut No. P.69/Menhut-II/2014 tentang Penetapan
Musim Berburu Satwa Buru
6
Permenhut No. P.70/Menhut-II/2014 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.19/Menhut-II/2010 tentang Penggolongan dan Tata
Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru
7 Permenhut No. P.71/Menhut-II/2014 tentang Memiliki
dan Membawa Hasil Berburu
8
Permenhut No. P.79/Menhut-II/2014 tentang
Pemasukan Satwa Liar Ke Taman Buru dan Kebun
Buru
Keputusan
Menteri
Kehutanan
1
Kepmenhut No. 99/Kpts/DJ-VI-II/1996 tentang Petunjuk
Teknis pelaksanaan perburuan di Taman Buru,
Kebun Buru dan Areal Buru
2
Kepmenhut No. 591/Kpts-II/1996 tanggal 16 September
1996 tentang Tata cara Permohonan, Pemberian, dan
Pencabutan Izin Pengusahaan Taman Buru
3
Kepmenhut No. 592/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara
Permohonan, Pemberian dan Pencabutan Izin
Pengusahaan Kebun Buru
4
Kepmenhut No. 593/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara
Pengendalian peledakan populasi satwa liar yang
tidak dilindungi
5 Kepmenhut No. 616/Kpts-II/1996 tentang pengawasan
Perburuan satwa buru
6
Kepmenhut No. 617/Kpts-II/1996 tentang Pemasukan
Satwa Liar dari Wilayah lain dalam Negara RI ke Taman
Buru dan Kebun Buru
7
Kepmenhut No. 618/Kpts-II/1996 tentang pemasukan
Satwa liar dari wilayah lain dalam Negara RI
ke Taman Buru dan Kebun Buru
8
Kepmenhut No. 141/Kpts – II/1998 tentang Perubahan
Keputusan Menteri Kehutanan tentang Pemberian
Hak Pengusahaan Pariwisata Alam pada 13 Lokasi
Kawasan Pelestarian Alam Di Pulau Jawa Kepada
Perum Perhutani Nomor 104 /Kpts-II/1993
Keputusan
Direktur
Jenderal
Perlindungan
Hutan dan
1
Kep Dirjen PHPA No. 95/Kpts/DJ-II/1996 tentang
Petunjuk Teknis Sarana dan Prasarana Pengusahaan
Taman Buru
2 Kep Dirjen PHPA No. 96/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 26
September 1996 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
Pelestarian
Alam
Rencana Pengusahaan Taman Buru
3
Kep Dirjen PHPA No. 97/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 26
September 1996 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
Rencana Pengelolaan Taman Buru
4
Kep Dirjen PHPA No. 99/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 3
Oktober 1996 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Perburuan di Taman Buru, Kebun Buru dan Areal Buru
5
Kep Dirjen PHPA No. 129 /kpts/DJ- VI/1996 tentang Pola
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung
Peraturan
Direktur
Jenderal
PHPA
1
Per Dirjen PHPA No P. 7/IV- Set/2011 tentang Tata Cara
Masuk Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian
Alam dan Taman Buru
Peraturan mengenai perburuan di Indonesia telah diatur, tetapi masih
banyak masyarakat yang enggan untuk mempelajarinya dan terlebih sistem
birokrasi Indonesia yang rumit, sehingga akhirnya masyarakat melakukan
perburuan secara illegal. Berikut ini akan disajikan beberapa rincian mengenai
kebijakan, perundangan dan kelembagaan perburuan satwa di Indonesia.
B. KETENTUAN-KETENTUAN YANG TELAH DIATUR DALAM
PERATURAN PERUNDANGAN
1. Istilah-istilah perburuan (PP No.13/1994)
1. Berburu adalah menangkap dan/atau membunuh satwa buru termasuk
mengambil atau memindahkan telur-telur dan/atau sarang satwa buru.
2. Perburuan adalah segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kegiatan
berburu.
3. Pemburu adalah orang atau kelompok orang yang melakukan kegiatan
berburu.
4. Satwa buru adalah jenis satwa liar tertentu yang ditetapkan dapat diburu.
5. Taman buru adalah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat
diselenggarakan perburuan secara teratur.
6. Kebun buru adalah lahan di luar kawasan hutan yang diusahakan oleh
badan usaha dengan sesuatu alas hak, untuk kegiatan perburuan.
7. Pengusahaan kebun buru dan taman buru adalah suatu kegiatan untuk
menyelenggarakan perburuan, penyediaan sarana dan prasarana berburu.
8. Areal buru adalah areal di luar taman buru dan kebun buru yang di
dalamnya terdapat satwa buru yang dapat diselenggarakan perburuan.
9. Musim buru adalah waktu tertentu yang ditetapkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk olehnya untuk dapat diselenggarakan kegiatan
berburu.
10. Akta Buru adalah akta otentik yang menyatakan bahwa seseorang telah
memiliki/menguasak kemampuan dan ketrampilan berburu satwa buru.
11. Surat Izin Berburu adalah surat yang diberikan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk olehnya, yang menyebut pemberian hak untuk berburu
kepada orang yang namanya tercantum di dalamnya.
12. Hasil buruan adalah hasil yang diperoleh dari kegiatan berburu yang
berwujud satwa buru baik hidup maupun mati atau bagian-bagiannya.
13. Izin pengusahaan taman buru adalah izin untuk mengusahakan kegiatan
berburu serta sarana dan prasarananya di taman buru.
14. Izin usaha kebun buru adalah izin yang diberikan untuk mengusahakan
kegiatan berburu serta sarana dan prasarananya di kebun buru.
15. Pungutan akta buru adalah pungutan yang dikenakan kepada seseorang
untuk memperoleh akta buru sebagai pengganti biaya-biaya administrasi.
16. Pungutan izin berburu adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang
izin berburu sesuai dengan jumlah dan jenis satwa buru yang diizinkan
untuk diburu.
17. Pungutan izin pengusahaan taman buru adalah pungutan yang dikenakan
kepada calon pemegang izin pengusahaan taman buru.
18. Pungutan izin usaha kebun buru adalah pungutan yang dikenakan kepada
calon pemegang izin usaha kebun buru.
19. Iuran hasil usaha perburuan adalah iuran yang dikenakan kepada
pemegang izin pengusahaan taman buru atau pemegang izin usaha kebun
buru yang dikenakan dari hasil usahanya sekali setiap tahun.
2. Tempat berburu di Indonesia dan aturan pengusahaannya
Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan telah mengatur bahwa
kawasan konservasi terdiri dari tiga bagian yaitu kawasan suaka alam (KSA),
kawasan pelestarian alam (KPA) dan taman buru (TB). Taman buru dalam hal ini
memiliki fungsi khusus yaitu untuk memenuhi kebutuhan kegiatan berburu.
Menurut PP No.13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru, Tepat berburu di
Indonesia terdiri dari taman buru, areal buru dan kebun buru (Tabel 2).
Tabel 2 Taman buru, kebun buru dan areal buru di Indonesia
No Nama Lokasi
1 Taman Buru Lingga Isaq Aceh Tengah, Aceh
2 Taman Buru Pulau Rempang Kepulauan Riau, Riau
3 Taman Buru Pulau Pini Nias, Sumut
4 Taman Buru Gunung Nanu’ua Bengkulu Utara
5 Taman Buru Semidang Bukit Kabu Bengkulu Utara
6 Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi Sumedang/Garut, Jabar
7 Taman Buru Landusa Tomata Sulawesi Tengah
8 Taman Buru Komara Takalar, Sulsel
9 Taman Buru Karakelang Utara dan Selatan Sangihe Talaud, Sulut
10 Taman Buru Padamarang Mata Osu Kolaka, Sulteng
11 Taman Buru Pulau Moyo Sumbawa, NTB
12 Taman Buru Dataran Bena Timor Tengah Selatan, NTT
13 Taman Buru Pulau Ndano Kupang, NTT
14 Taman Buru Pulau Rusa Alor, NTT
15 Cikidang Hunting Resort Sukabumi, Jabar
Pengusahaan taman buru maupun kebun buru diatur dalam PP No.13/1994
tentang Perburuan Satwa Buru bahwa pelaksanaannya memegang teguh asas
konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pengusahaan taman buru
dan kebun buru ini meliputi usaha perburuan serta penyediaan sarana dan
prasarana perburuan. Izin mengadakan pengusahaan perburuan diberikan oleh
Menteri serta mendapat pertimbangan dari Menteri yang menangani urusan
kepariwisataan dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1. Izin untuk melakukan
pengusahaan taman buru dan kebun buru diberikan untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun dan dapat diperpanjang. Pengawasan terhadap kegiatan berburu
dilakukan oleh Menteri.
Aturan mengenai usaha perburuan diatur lebih lanjut dengan Permenhut
P.17/Menhut-II/2010 “Permohonan Pemberian dan Pencabutan Izin Usaha Taman
Buru”. Dalam Permenhut tersebut dijelaskan mengenai tata cara permohonan izin,
tata cara pemberian izin, hak dan kewajiban pengusaha, perpanjangan izin
pengusahaan, berakhirnya izin usaha, tata cara pencabutan izin usaha, dan
pengenaan sanksi.
3. Satwa buru dan musim berburu
Satwa buru menurut peraturan merupakan satwa liar yang tidak dilindungi
dan atau satwa dilindungi yang ditentukan oleh menteri sebagai satwa buru dalam
keadaan tertentu. Satwa buru terbagi menjadi tiga yaitu burung, satwa kecil dan
satwa besar. Musim berburu ditetapkan dengan pertimbangan persyaratan
mengenai keadaan populasi dan jenis satwa buru, musim kawin, musim
berbiak/bertelur, perbandingan jantan betina dan umur satwa (PP No.13/1994)
Menurut Permenhut No. P.19/2010 mengenai Penggolongan dan Tata Cara
Penetapan Jumlah Satwa Buru. Adapun tata cara penetapan jumlah satwa buru
dilakukan dengan melakukan inventarisasi dan pemantauan, penetapan jenis satwa
buru, dan penetapan jumlah satwa buru. Adapun jenis satwa liar yang ditetapkan
sebagai satwa buru pada Tabel 3 (Permenhut P.70/2014).
Tabel 3 Jenis satwa liar yang ditetapkan sebagai satwa buru
Permenhut No.P.69/2014 mengenai Penetapan Musim Berburu Satwa
Buru menyebutkan bahwa penetapan musim berburu dilakukan dengan
mempertimbangkan keadaan populasi dan jenis satwa buru, di luar musim
kawin/breeding, di luar musim bertelur/beranak, di luar musim
menyusui/membesarkan anak, perbandingan jantan betina dan umur satwa buru.
4. Alat, akta dan izin berburu
Alat berburu dapat terdiri dari senjata api buru, senjata angina, alat
berburu tradisional dan alat berburu lainnya yang disesuaikan dengan jenis satwa
buru. Akta buru terdiri dari akta buru burung, akta buru satwa kecil dan akta buru
satwa besar. Pemegang akta buru harus berusia minimal 18 tahun, telah lulus ujian
memperoleh akta buru dan membayar pungutan akta buru, dimana didalam akta
buru akan memuat identitas pemburu, masa berlaku dan golongan satwa buru.
Surat izin berburu memuat nomor akta buru, identitas pemburu, jenis dan jumlah
satwa buru yang akan diburu, alat perburuan, tempat berburu, masa berlaku izin
berburu, ketentuan larangan berburu dan sanksi (PP No.13/1994).
Mengenai akta buru diatur lebih rinci dalam Permenhut No. P.31
/2009 tentang Akta Buru dan Tata Cara Permohonan Akta Buru. Adapun tata cara
permohonan akta buru terdiri dari pengajuan permohonan akta buru kepada kepala
UPT KSDA setempat, mengumpulkan persyarata, dan rekomendasi kepolisian.
Izin perburuan diatur lebih rinci dalam Permenhut No. P.18/2010 tentang Surat
Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu. Dimana tatacara pengajuan
izin berburu diantaranya pemohon menajukan permohonan izin berburu kepada
kepala UPT KSDA dan mengumpulkan persyaratan dokumen.
5. Hak dan kewajiban pemburu
Pemburu yang telah memiliki izin berburu berhak untuk berburu di tempat
yang ditetapkan dalam surat izin, serta memiliki dan membawa hasil buruannya.
Selain itu pemburu memiliki kewajiban untuk memiliki izin berburu,
menggunakan alat yang tercantum dalam izin berburu, melapor kepada pejabat
dan kepolisian setempay saat dan setelah berburu, memanfaatkan hasil berburu,
didampingi oleh pemandu, berburu sesuai jenis dan jumlah berdasar izin dan
memperhatikan keamanan masyarakat dan ketertiban (PP No.13/1994).
Adapun hak pemegang izin buru dijelaskan kembali dalam Permenhut No.
P.18/2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan Izin Berburu,
dimana pemegang izin berburu berhak untuk melakukan kegiatan berburu:
a. Pada tempat berburu sesuai yang ditetapkan dalam surat izin berburu.
b. Selama jangka waktu yang ditetapkan dalam surat izin berburu.
c. Pada musim berburu yang telah ditetapkan.
d. Dengan jenis dan jatah buru sesuai yang ditetapkan dalam surat izin berburu.
e. Menggunakan alat berburu sesuai jenis satwa buru yang akan diburu.
6. Larangan dan sanksi dalam perburuan
Perburuan tidak boleh dilakukan dengan cara menggunakan kendaraan
bermotor atau pesawat terbang sebagai tempat berpijak, menggunakan bahan
peledak dan/atau granat, menggunakan binatang pelacak, menggunakan bahan
kimia, membakar tempat berburu, menggunakan alat lain untuk menarik atau
menggiring satwa buru secara massal, menggunakan jerat/perangkap dan lubang
perangkap, menggunakan senjata api yang bukan untuk berburu (PP No.13/1994).
Adapun larangan pemegang izin buru dijelaskan kembali dalam
Permenhut No. P.18/2010 tentang Surat Izin Berburu dan Tata Cara Permohonan
Izin Berburu. Dimana pemegang izin pemburu dilarang:
a. Melakukan kegiatan berburu di luar tempat berburu yang telah ditetapkan
dalam surat izin berburu.
b. Melakukan kegiatan berburu melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan
dalam surat izin berburu.
c. Melakukan kegiatan berburu di luar musim berburu yang telah ditetapkan.
d. Melakukan kegiatan berburu tidak sesuai jenis dan melebihi jatah buru yang
telah ditetapkan dalam surat izin berburu.
e. Melakukan kegiatan berburu menggunakan alat berburu tidak sesuai dengan
jenis satwa buru yang akan diburu.
f. Memindah-tangankan izin berburu kepada orang lain.
Sanksi yang diberikan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan, dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin
berburu dan tidak menutup kemungkinan dikenakan tuntutan pidana sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku
7. Pengawasan
Pengawasan terhadap kegiatan perburuan satwa buru dilakukan oleh
Menteri secara terkoordinasi dengan instansi Pemerintah yang terkait.
Pengawasan pemburuan satwa buru bertujuan untuk mengendalikan kegiatan
berburu agar Perburuan berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (PP No.13/1994). Adapun pengawasan pemegang izin buru berdasar
Permenhut No. P.18/2010, dilakukan terhadap pelaksanaan kegiatan berburu
sesuai yang ditetapkan dalam surat izin berburu, yang dilakukan oleh petugas
UPT KSDA dan atau Kepala Kepolisian setempat dan atau Pemegang izin
pengusaha taman buru/Pemegang izin usaha kebun buru.
8. Kelembagaan yang mengatur perburuan
Segala kegiatan perburuan diatur dalam peraturan dan kebijakan yang
telah disebutkan sebutkan, dalam struktur kelembagaan yang terkait dengan
perburuan diatur dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam
Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya (Ditjen
KSDAE) yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur organisasi DITJEN KSDAE
Ditjen KSDAE ini membawahi beberapa Direktorat yang mengatur
perburuan yaitu, Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (Gambar
2), Direktorat Kawasan Konservasi (Gambar 3), dan Direktorat Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Hutan Konservasi (Gambar 4).
Gambar 2 Struktur organisasi direktorat pemolaan dan informasi konservasi alam
Gambar 3 Struktur organisasi direktorat kawasan konservasi
Gambar 4 Struktur organisasi direktorat pemanfaatan jasa lingkungan hutan
konservasi
Kelembagaan yang mengatur tentang perburuan diadakan untuk mengatur,
membatasi, dan mengendalikan segala bentuk perburuan agar tujuan perburuan
tetap kearah kelestarian spesies Indonesia.
C. HAL-HAL YANG BELUM DIATUR DAN KEKURANGAN DALAM
PERATURAN PERUNDANGAN
1. Peraturan mengenai pemanfaatan satwa atau perburuan secara tradisional oleh
masyarakat sekitar hutan belum diatur dalam peraturan. Hal ini sangat penting
karena masyarakat sekitar kawasan merupakan masyarakat asli yang banyak
berinteraksi dan memanfaatkan potensi alam untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Dalam peraturan hanya sedikit satwa yang dapat diburu, padahal potensi satwa
lain seperti kupu-kupu ataupun tumbuhan (jamur, anggrek dan lain sebagainya)
yang belum diatur. Perlunya kajian mendalam mengenai potensi
satwa/tumbuhan dari masing-masing lokasi buru yang dapat dibutu
3. Belum adanya penentuan kuota untuk setiap jenis satwa/tumbuhan yang dapat
diburu oleh masyarakat. Kuota ini diharapkan merupakan kuota lokal dari
masing masing lokasi berburu bukan merupakan kuota nasional.
4. Telah dijelaskan diatas mengenai keorganisasian dalam perburuan, bahwa
keorganisasian perburuan di Indonesia masih rumit, dibuktikan dengan
tersebarnya pengurusan perburuan yang berada pada 3 Direktorat. Hal ini
menyebabkan dalam pengurusan kegiatan perburuan menyulitkan pemburu
sehingga kegiatan berburu menjadi sedikit. Seharusnya pemerintah
menyatukan urusan perburuan kedalam satu direktorat sehingga pengurusan
perizinan dan lain sebagainya menjadi terfokus dan mudah.
5. Belum adanya alokasi pendanaan yang khusus ditujukan untuk meningkatkan
kegiatan perburuan di Indonesia. Di Afrika sektor perburuan telah menjadi
sektor utama penghasil devisa negara, hal ini dibuktikan dengan keseriusan
pemerintah setempat dalam mengelola kegiatan perburuan ini. Sehingga
seharunya hal ini diadaptasi oleh Indonesia supaya meningkatkan kegiatan
perburuan dengan memberikan dana dalam pembangunannya.
KESIMPULAN
Kebijakan, perundangan, dan kelembagaan yang mengatur perburuan di
Indonesia menunjukkan bahwa segala bentuk perburuan dimana pun dan
dilakukan oleh siapa pun diharuskan melalui beberapa persyaratan, tahapan, dan
ketentuan sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, Kegiatan perburuan
tidak dapat dilakukan secara besar-besaran dan dilakukan secara terus menerus.
Masih banyak kekurangan yang belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan perburuan di Indonesia, sehingga diperlukan kajian lebih mendalam dan
fokus dalam peningkatan pembangunan kegiatan perburuan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[USAID] United States Agency for International Development. 2015.
Perdagangan Satwa Liar, Kejahatan Terhadap Satwa Liar dan Perlindungan
Spesies di Indonesia: Konteks Kebijakan dan Hukum Change for Justice
Project. Jakarta (ID): USAID.
Gazalba, Sidi. 1996. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta (ID): Bharata Karya
Aksara
Masigit Kareumbi. 2015. Hukum, Aturan dan Perundangan Terkait Taman Buru
dan Perburuan [Diakses 11-09-2016]. Tersedia pada
https://kareumbi.wordpress.com/download/hukumaturandanperundangan
terkaittamanburu/.
Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta(ID):
Sekretariat Negara
Thohari AM, Masyud B, Takanjanji M. 2011. Teknik Penangkaran Rusa Timor
(Cervus timorensis) untuk Stok Perburuan. Bogor (ID): Seminar Sehari
Prospek Penangkaran Rusa Timor Sebagai Stok Perburuan, Fakultas
Kehutanan IPB.