perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON
PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN
DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43
TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER
MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
T E S I S
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Kebijakan Publik
Oleh :
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON
PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN
DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43
TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER
MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DISUSUN OLEH :
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing :
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH ........................... ………….
NIP. 196111081987021001
Pembimbing II Suranto, SH., M.Hum. .......................... …………
NIP. 195608121986011001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS NIP 194405051969021001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON
PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN
DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43
TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER
MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DISUSUN OLEH :
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029
Telah Disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sekretaris Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Anggota 1. Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. Suranto, SH., M.Hum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Mengetahui,
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .Magister Ilmu Hukum NIP 194405051969021001
Direktur Program Prof.Drs.Suranto,M.Sc.,Ph.D . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .Pascasarjana NIP 195708201985031004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Yang menyatakan di bawah ini :
Nama : YULI BUDI SUSILOWATI
NIM : S. 310409029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis dengan judul
”KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN
BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA
HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL” adalah benar-
benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan
tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Juli 2010
Yang Membuat Pernyataan
YULI BUDI SUSILOWATI
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
Motto
Inna ma’al ‘usri yusran (sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, Al- Insyirah : 6)
PERSEMBAHAN
Tesis ini kupersembahkan dengan tulus hati dan rasa terimakasih
kepada :
Orang tuaku tercinta
SLAMET YOSO SUHARJO DAN HJ. SOEKARTI yang senantiasa mendoakanku dengan tulus
Anakku tercinta
ALIF DAFFA FAUZAN HIDAYATULLAH yang selalu mendampingi, mendoakan dan memberikan semangat
kepada “Mama”-nya untuk selesainya penulisan tesis ini
Kakak-kakakku :
Endang/Munawir, Bambang/Indah, Titik/Didik (alm),
Joko/Nining, Ning/Ucok dan Etik
yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
Dan Keponkan-keponakanku tersayang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan taufik, hidayah serta petunjuk – Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini yang diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta dengan minat utama Hukum Kebijakan Publik.
Salah satu permasalahan yang harus ditangani pemerintah saat ini adalah
mengurangi angka pengangguran, kebijakan yang ditempuh pemerintah
diantaranya adalah dengan membuka kesempatan kerja melalui pengadaan
CPNS. Kebijakan pengadaan CPNS melalui pegangkatan tenaga honorer
menjadi CPNS sebagaimana yang diatur dalam PP 43 Tahun 2007 merupakan
hal menarik untuk dikaji, diteliti dan dianalisa. Berangkat dari hal tersebut tesis
ini mengambil judul : ” KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA
HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI
KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG
PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON
PEGAWAI NEGERI SIPIL”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tak lepas dari
bantuan, partisipasi, bimbingan dan dorongan moril serta informasi baik dari
pembimbing maupun dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis
dengan tulus menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar -
besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, S.P.Kj Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bapak Prof. Drs.Suranto,M.Sc.,Ph.D. selaku Direktur Program Pasca
Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
3. Bapak Muh. Yamin, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
4. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS. selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan sabar
memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan
kepada peneliti dalam penulisan tesis.
5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta,
yang telah membantu dalam penyelesaian studi penulis.
6. Bapak Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH, Selaku Pembimbing I yang
dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi
kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.
7. Bapak Suranto, SH., M.Hum Selaku Pembimbing II yang dengan sabar
memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan
kepada peneliti dalam penulisan tesis.
8. Bapak Drs. Purwanto Anggono Cipto, M.Si Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Klaten yang telah berkenan memberikan ijin dan data-
data dalam penelitian yang dilakukan penulis, serta keluarga besar Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten yang telah memberikan waktu dan
motivasi dalam penulisan tesis ini.
9. Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang senantiasa memberikan
dukungan dan bantuan dalam penulisan tesis ini.
10. Rekan – rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta terutama teman senasib dalam
suka dan duka lapar dan dahaga di kelas kebijakan publik angatan 2009
(April) yang senantiasa memberikan dukungan dan bantuan dalam
penulisan tesis ini (wabil khusuzon Dyan, mbak Yuli, mbak Eny, Pak
Djatmiko, Frangko dan Ahmad yang selalu memberikan dukungan
semangat kepada penulis).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
11. Teman-teman di Badan Kepegawaian Daerah yang selalu memberikan
semangat, bantuan, dukungan dan perhatian untuk selesainya penulisan
tesis ini.
12. Semua pihak yang telah membantu dan berperan aktif yang tidak dapat
penulis sebut satu persatu dalam penulisan tesis ini.
Dengan hati yang tulus, penulis hanya bisa berdoa semoga semua pihak
yang telah berkenan membantu selesainya penulisan tesis ini senantiasa
mendapatkan ridho dan pahala yang lebih dari Allah SWT. penulis juga
menyadari tesis ini masih ada kekurangannya, dan masih jauh dari sempurna
oleh karena itu segala saran, koreksi, pendapat dan kritik yang membangun dari
semua pihak sangat diharapkan. Dan semoga tesis ini dapat memberikan
manfaat. Amin.
Surakarta, Juli 2010.
Penulis
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S. 310409029
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………………..
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ………………………………..
PERNYATAAN ………………………………………………………………..
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………….
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….
ii
iii
iv
v
vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...
ABSTRAK ……………………………………………………………………...
ABSTRACT …………………………………………………………………….
viii
x
xi
xii
xiii
xiv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
A Latar Belakang ………………………………………………. 1
B Rumusan Masalah ………………………………………….... 9
C Tujuan Penelitian ……………………………………………. 9
D Manfaat Penelitian …………………………………………... 10
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………... 11
A Deskripsi Teoritik …………………………………………… 11
1. Kajian tentang Kebijakan Publik (Public Policy)................ 11
a. Definisi kebijakan publik ................................................ 11
b. Teori pengambilan kebijakan .......................................... 16
c. Proses Pembuatan kebijakan ........................................... 17
d. Analisis kebijakan ........................................................... 19
2. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) .............. 20
3. Efektifitas Bekerjanya Hukum ........................................... 30
4. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri ....................................... 41
5. Tinjauan Tentang Tenaga Honorer ...................................... 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
B Penelitian Yang Relevan ......................................................... 48
C Kerangka Berpikir ................................................................... 48
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 50
A Jenis Penelitian ........................................................................ 50
B Lokasi Penelitian ..................................................................... 53
C
D
Data dan Sumber Data .............................................................
Tehnik Pengumpulan Data ......................................................
53
54
E Tehnik Analisis Data ............................................................... 56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 59
A
Hasil Penelitian ........................................................................
1. Gambaran Umum Badan Kepegawaian Daerah ..................
2. Dasar Hukum Badan Kepegawaian Daerah Kab. Klaten ....
3. Struktur Organisasi BKD Kab. Klaten ................................
4. Kondisi Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten ...................
59
59
59
60
68
B
Pembahasan ............................................................................
1. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil Di Kabupaten Klaten .............
2. Faktor-Faktor Penghambat...................................................
71
71
96
BAB V P E N U T U P .................................................................................. 103
A Kesimpulan .............................................................................. 103
B Implikasi .................................................................................. 109
C Saran-saran .............................................................................. 110
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 4.1 .............…………………………………………………………… 76
TABEL 4.2 .......................................................………………………………..
TABEL 4.3 .......................................................………………………………..
TABEL 4.4 …...………………………………………………………………..
78
80
81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 2. Surat Ijin Melakukan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
GAMBAR 2.1 .............………………………………………………………… 49
GAMBAR 3.1 .......................................................……………………………..
GAMBAR 4.1 .......................................................……………………………..
.
59
62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Klaten dipandang dari aspek efektifitas hukum dan untuk mengevaluasi efektifitas implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dalam menyelesaikan masalah pengadaan pegawai di Kabupaten Klaten.
Dalam kenyataannya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Diantara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Untuk menjawab permasalahan tenaga honorer tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dengan filosofi ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap pengabdian mereka terhadap pemerintah, dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum sosiologis, karena bertitik tolak dari data primer, yakni diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi) dan wawancara. Penelitian hukum sebagai penelitian sosilogis (empiris) dapat direalisasikan terhadap efektifitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum. Penelitian ini mengambil lokasi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten untuk lebih memudahkan akses mendapatkan sumber atau informasi mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan mendasarkan tempat tinggal peneliti yang berada di wilayah lokasi penelitian sehingga tingkat pengamatan, pengkajian dan analisa terhadap objek penelitian diharapkan lebih cermat.
Hasil pembahasan melalui analisa, menunjukkan bahwa pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Klaten sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil masih ditemui hambatan/permasalahan yang menyebabkan proses implementasi tidak efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
ABSTRACT
The objectives of research is to analyze the Government Regulation No. 43
of 2007 abaout the Honorary Officer Hiring into the Potencial Civil Servants implemented in the Government of Regency Klaten viewed from the law effectiveness aspect and to evaluate the effectiveness of Government Regulation No. 43 of 2007 implementation in coping with the problems of officer hiring in Regency Klaten.
In fact, in order to support the smoothness of government and development assignment implementation, in both central and local government, the honorary officers are hired. Among those honorary officers some of them had been working for a long time for the government and their existences are really necessary to the government. In order to cope with the problems of honorary officer, the government issues a policy goverming the honorary officers hiring into the Potential Civil Servant (CPNS). With the philosophy of desiring to recruit the Potential Civil Servant (CPNS) from honorary officer as appreciation for their dedication to the government, the Government Policy is issued in the form of Government Regulation No. 43 of 2007 about the Honorary Officer Hiring into the Potencial Civil Servants.
The research method used in this study was sociological law research, because it started from the primary data, the one deriving directly from the society as the first source using field study that was conducted using observation and interview. The law research as sociological (empirical) research can be realized in the law effectiveness prevailing or the research on law identification. This research was taken place in Badan Kepegawaian Daerah of Regency Klaten to facilitate the access to the source and information on the data needed in this research and because the writer resides in the research location area so that observation, study and analysis level on the research object is expected to be more precisely.
The result of discussion using analysis shows that the implementation of honorary officer hiring into the potential civil servants in Regency of Klaten has not effective because some obstacles and problems are found during implementation of honorary officer hiring into the potential civil servants in Regency of Klaten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era reformasi di Indonesia yang dimulai sejak jatuhnya rezim orde
baru membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan
yang lebih demokratis. Salah satu transisi kebijakan ekonomi dan politik
di Indonesia pada tahun 1999 adalah pengenalan desentralisasi, otonomi
yang memungkinkan pemerintah daerah berperan langsung terhadap
perkembangan wilayahnya dan alokasi sumber daya yang ada di
wilayahnya masing-msing.
Decentralisation policy in Indonesia, as it has been implemented in recent years has impacted strongly on regional levels of government. An examination of how decentralisation policy has affected good governance implementation at regional of government levels is timely.1
Dari batasan di atas, dapat dijelaskan bahwa kebijakan desentralisasi di
Indonesia, seperti yang telah diimplementasikan dalam beberapa tahun
terakhir telah berdampak kuat pada tingkat pemerintah daerah. karena
daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
yang ada di wilayahnya, sehingga mendukung pemerintah daerah untuk
merespons kebutuhan penduduk setempat baik pada masa kini dan
mendatang.
However they also admitted that the current decentralization process is still far from perfect and many parts of process still need a lot of improvement. Generally, it has to be admitted that despite the (mild)
1 Mardiasmo, Diaswati and Barnes, Paul H. and Sakurai, Yuka (2008) Implementation of Good
Governance By Regional Governments in Indonesia: The Challenges. In Brown, Kerry A. and Mandell, Myrna and Furneaux, Craig W. andBeach, Sandra, Eds. Proceedings Contemporary Issues in Public Management:The Twelfth Annual Conference of the International Research Society for PublicManagement (IRSPM XII), pages pp. 1-36, Brisbane, Australia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
success of decentralization process, there were some big holes in the laws that sometimes led to the confusion or even conflicts between local and central government or among local government.2 Dari pengertian di atas diperoleh gambaran bahwa ternyata proses
desentralisasi saat ini masih jauh dari sempurna dan banyak bagian dari
proses tersebut masih perlu banyak perbaikan, ketidaksempurnaan arus
proses desentralisasi itu karena ketidakmampuan aparat pelaksana melalui
produksi masing-masing peraturan pemerintah. Dalam proses pelaksanaan
desentralisasi, ada beberapa lubang besar dalam peraturan pemerintah yang
kadang-kadang menyebabkan kebingungan atau bahkan konflik antara
pemerintah daerah dan pusat atau di antara lokal pemerintah.
Desentralisasi di Indonesia merupakan salah satu perwujudan dari
tuntutan reformasi dilakukan dalam berbagai bidang diantaranya reformasi
dibidang politik yang ditandai dengan penyelenggaraan pemilu yang
berbeda dari pemilu sebelumnya yaitu dengan sistem pemilihan legislatif
maupun eksekutif secara langsung oleh rakyat dari tingkat pusat sampai
daerah. Reformasi politik ternyata belum mampu menciptakan suatu sistem
pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena masih banyaknya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) di lembaga-lembaga negara dari tingkat pusat
sampai daerah. Sulitnya memberantas KKN dalam pemerintahan dan
birokrasi terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah untuk membenahi
sistem birokrasi publik. Reformasi politik tanpa diikuti oleh reformasi
birokrasi ternyata tidak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik.3
Selain hal-hal di atas masih banyak permasalahan yang harus
ditangani oleh pemerintah. Permasalahan yang harus ditangani secara
serius dan sungguh-sungguh oleh pemerintah dan bangsa Indonesia pada
saat ini, antara lain : memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran
2 Bambang Brodjonegoro, The Indonesian Decentralization after Law Revision : Toward Better
Future, Departement of Economics University of Indonesia, [email protected], Indonesian Paper.pdf
3 Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta, PSKK UGM, 2002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
serta menegakkan ketertiban dan keamanan. Ketiga hal tersebut berkaitan
satu sama lain. Pengangguran menyebabkan kemiskinan. Pengangguran
seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya
pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang
sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah
sosial lainnya. Pengangguran yang berkepanjangan dapat menimbulkan
efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Pengangguran dan kemiskinan itu secara langsung menyebabkan
terganggunya keamanan dan ketertiban. Tingkat pengangguran yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga
mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pengangguran di
Indonesia untuk saat ini sudah mencapai 99,9 juta orang (BPS 2010).
Kemiskinan dan pengangguran adalah masalah substansional, masalah
utama yang mendasar, yang sejak awal perencanaan pembangunan harus
ditetapkan sebagai target nasional utama. Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945
menyebutkan : "...Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...". Salah satu cara yang
ditempuh pemerintah dalam mengurangi pengangguran adalah dengan
membuka kesempatan kerja melalui pengadaan Calon Pegawai Negeri
Sipil.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil merupakan alternatif pilihan bagi
sebagian besar pencari kerja di tengah-tengah keadaan sulitnya mencari
pekerjaan. Berkarier di lingkungan birokrasi pemerintah sampai saat ini
masih menjadi pilihan banyak orang. Kepastian adanya gaji tetap,
minimnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan adanya pensiun di hari
tua menjadi alasan untuk memilih Pegawai Negeri Sipil sebagai pilihan
profesi.
PNS (Pegawai Negeri Sipil) mempunyai kedudukan yang sangat
penting dan menentukan bagi negara, dimana PNS merupakan unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
aparatur negara yang menyelenggarakan tugas pemerintahan dan tugas
pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Kedudukan yang
sangat penting dalam kinerja birokrasi tentunya membutuhkan
profesionalitas dan kompetensi dari para PNS karena kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional terutama
tergantung dari kesempurnaan kinerja PNS. Dengan demikian perlu adanya
manajemen kepegawaian yang teratur dan terencana bagi PNS baik
ditingkat pusat maupun daerah.
Dalam Pasal 129 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa :
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil
daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai
negeri sipil secara nasional.
(2) Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan,
kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan
kompetensi dan pengendalian jumlah.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut,
menurut HAW. Widjaja, dalam sistem kepegawaian secara nasional,
pegawai negeri memiliki posisi penting untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan difungsikan sebagai alat pemersatu bangsa. Sejalan
dengan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
maka ada sebagian kewenangan di bidang kepegawaian diserahkan kepada
daerah yang dikelola dalam sistem kepegawaian daerah.4
Harus diakui bahwa manajemen kepegawaian di Indonesia masih
belum tertata rapi. Mulai dari sistem administrasi, renumerasi, rekruitmen, 4 HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
pengangkatan, hingga pembinaan dan pengawasan masih nampak
kelemahan yang melingkupinya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
kinerja aparat birokrasi dan berujung pada penggambaran (image) bahwa
birokrasi tidak profesional, berbelit-belit, kurang efisien dan efektif,
bahkan kadang-kadang sampai terjadi pungutan liar (pungli) dalam
pengurusan-pengurusan kepentingan publik tertentu, misalnya KTP, akta
kelahiran dan berbagai urusan perizinan.
Ada beberapa otokritik terhadap sistem penataan aparatur birokrasi
di Indonesia yang secara sistemik masih menjangkiti aparatur pemerintah
di negeri ini. Pertama, lemahnya sistem rekruitmen pegawai, dengan tanpa
perencanaan yang matang yang mendasarkan pada job analisis yang jelas.
Model rekruitmen ini tidak akan memenuhi permintaan pegawai yang
benar-benar proposional dengan kebutuhan birokrasi yang sesungguhnya
dan berimplikasi panjang, yakni tidak terpenuhinya tuntutan the right man
in the right place. Kedua, pola rekruitmen yang buruk juga memberikan
kontribusi pada sistem alokasi atau penempatan pegawai yang menjadi
tidak standar. Ketiga, pola pengembangan aparatur yang belum
diorientasikan pada sistem karier secara benar. Keempat, sistem penilaian
kinerja melalui DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) dipandang
kurang objektif dan bersifat kontraproduktif. Kelima, sistem kenaikan
pangkat yang berjalan secara otomatis, menjadikan pegawai bersikap
apatis, pasif dan menerima apa adanya tanpa ada suatu tantangan untuk
senantiasa meningkatkan produktivitas kerja. Keenam, sistem imbalan yang
sama pada tingkat kepangkatan, golongan dan ruang yang sama kurang
mengakomodasi perbedaan prestasi kerja, tingkat kompetensi dan kinerja
pegawai yang lebih baik. Ketujuh, peraturan disiplin pegawai tidak mampu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
mengikat secara tegas, karena unsur pimpinan sendiri seringkali melakukan
pelanggaran disiplin.5
Persoalan lain muncul berkaitan dengan manajemen pegawai negeri
sipil, yaitu masalah keberadaan tenaga honorer. Dalam kenyataannya untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian
dilakukan oleh tenaga honorer. Diantara tenaga honorer tersebut ada yang
telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh pemerintah. Untuk menjawab permasalahan tenaga
honorer tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Dan tenaga honorer yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah serta memenuhi syarat
yang ditentukan dalam peraturan pemerintah dapat diangkat menjadi
CPNS.
Dengan filosofi ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap pengabdian mereka terhadap
pemerintah, dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11
Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan
bertahap mulai Tahun Anggaran 2005 dan paling lambat selesai Tahun
Anggaran 2009.
5 Ambar Teguh Sulistyani, Memahami Good Governance Dalam Prespektif Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta, Gava Media, 2004.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Implementasi Peraturan Pemerintah tersebut ternyata mengalami
banyak permasalahan dan kendala. Apa yang diharapkan pemerintah sesuai
dengan filosofi yaitu adanya wujud reward (penghargaan) terhadap tenaga
honorer yang telah mengabdi pada pemerintah melalui perekrutan tenaga
honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pada kenyataannya belum
bisa menuntaskan ataupun mengakomodir semua honorer yang ada.
Kegiatan perekrutan dimaksud diawali dengan Pendataan Tenaga
Honorer yang ada. Dari kegiatan pendataan ini sudah timbul masalah,
karena lemahnya sosialisasi, sehingga menyebabkan perbedaaan persepsi
di antara petugas pendataan di kabupaten/kota juga para tenaga honorer.
Tentang definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran,
sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, belum lagi para tenaga
honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil.
Definisi tenaga honorer menjadi isu yang sangat pelik, karena
sangat menentukan klasifikasi / kriteria tenaga honorer yang akan didata.
Data tersebut menjadi pedoman pengangkatan tenaga honorer menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil. Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi
CPNS harus tercantum dalam database, oleh karena itu para tenaga honorer
berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran masing-masing,
dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS.
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 juga
menjadi beban, karena kondisi tenaga honorer daerah sangat bervariatif,
diantaranya :
1. Legalitas pejabat yang mengangkat tenaga honorer bervariasi.
2. Pendanaan penggajian tidak hanya dari APBN/APBD, tapi juga dari
pendapatan lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
3. Tempat kerja tidak di Instansi Pemerintah tetapi diangkat oleh pejabat
yang berwenang, gaji dari APBN/APBD.
4. Banyak tenaga honorer yang tidak memenuhi ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 mengenai usia dan masa kerja.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah menetapkan formasi
Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 2009 untuk Kabupaten Klaten sebanyak
505 orang yang akan ditempatkan di seluruh wilayah Kabupaten Klaten,
yang dituangkan dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor : 102.PM/M.PAN/9/2009 tanggal 7 September 2009 perihal
Persetujuan Rincian Formasi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Tahun
2009 untuk Pelamar Umum, Tenaga Honorer dan Sekretaris Desa. Formasi
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan PNS dan diutamakan untuk bidang
pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan teknis strategis lainnya. Untuk
tahun 2009 Kabupaten Klaten mendapat alokasi CPNS sebesar 505 orang
yang terdiri dari 70 untuk tenaga honorer, 418 dari pelamar umum dan 17
sekretaris desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sebagai produk
kebijakan publik diharapkan dapat mengakomodir tuntutan semua tenaga
honorer untuk dapat diproses menjadi calon pegawai negeri sipil. Akan
tetapi fakta di Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa implementasi
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tersebut justru menimbulkan
berbagi permasalahan dan ketidakpuasan dari para tenaga honorer yang
belum bisa diproses menjadi calon pegawai negeri sipil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut :
1. Apakah pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri
sipil (CPNS) di Kabupaten Klaten berdasar PP Nomor 43 Tahun 2007
sudah efektif ?
2. Faktor-faktor penghambat apakah yang dihadapi Pemerintah Kabupaten
Klaten dalam penerapan/implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007
tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil ?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka
tujuan penelitian adalah :
1. Untuk menganalisa implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 Tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
yang dilaksanakan di Kabupaten Klaten di pandang dari aspek
efektifitas hukum.
2. Untuk mengevaluasi efektifitas dan mengetahui faktor-faktor
penghambat implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Klaten dalam menyelesaikan masalah pengadaan pegawai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
antara lain :
1. Sebagai sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum, khususnya
Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara yang sekarang
berkembang dengan cepat.
2. Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan
pemikirian pada pihak – pihak yang terkait dengan kegiatan Pengadaan
Calon Pegawai Negeri Sipil dalam pengambilan kebijakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Teoritik
1. Kajian Tentang Kebijakan Publik (Public Policy)
a. Definisi kebijakan publik
Seiring dengan berkembangnya masalah-masalah di dunia,
berkembang pulalah usaha yang yang dilakukan untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut. Dalam usaha untuk memecahkan
masalah-masalah yang terdapat di tengah-tengah kehidupan
masyakarat, pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan.
Recently the terms "governance" and "good governance" are being increasingly used in development literature. The concept of "governance" is not new. It is as old as human civilization. Simply put "governance" means: the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented).7
Batasan diatas menjelaskan bahwa baru-baru ini istilah
pemerintahan (goverment) dan tata pemerintahan (good governance)
yang baik sering digunakan dalam literatur pembangunan. Konsep
pemerintahan bukan merupakan hal yang baru karena sudah ada
sejak adanya peradaban manusia. Secara sederhana tata (good)
berarti : proses pengambilan keputusan atau kebijakan dan proses
dengan mana keputusan / kebijakan itu diimplementasikan (atau
tidak diimplementasikan). Dari pengertian tersebut diperoleh
gambaran bahwa good governance adalah cara bagaimana kekuasaan
pemerintah baik pusat maupun daerah digunakan untuk mengelola 7 United Nations, ESCAP, PBB Web Site/Website PBB Locator, Proverty and Development
Division, Good Governance, http://www.unescap.org/pdd/prs/Project Activities/Ongoing/gg/governance.asp, 28/05/2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
sumber daya-sumber daya ekonomi dan sosial untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat.
Thomas R Dye8 menjelaskan bahwa kebijakan negara atau
public policy is whatever goverments choose to do or not to do
(pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan
oleh pemerintah). Menurut Anderson dan Dye,9 ada 3 (tiga) alasan
mempelajari kebijakan negara yaitu, pertama dilihat dari sudut
alasan ilmiah (scientific reason), kebijakan negara dipelajari dengan
maksud untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam
mengenai hakekat dan asal mula kebijakan negara, berikut proses-
proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya
pada masyarakat; kedua dilihat dari sudut alasan profesional
(profesional reason), maka studi kebijakan negara dimaksudkan
untuk menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan negara
guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari. Sehubungan
dengan ini, terkandung suatu pemikiran tentang faktor-faktor yang
membentuk kebijakan negara, atau akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh kebijakan tertentu, maka perlu dipertimbangkan bagaimana
individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak guna mencapai
tujuan mereka; ketiga, dilihat dari sudut alasan politis (political
reason), maka mempelajari kebijakan negara pada dasarnya
dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang
tepat, guna mencapai tujuan yang tepat pula. Dengan kata lain, studi
kebijakan negara dalam hal ini dimaksudkan untuk
menyempurnakan kebijakan negara yang dibuat oleh pemerintah.
8 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT. Suryandaru Utama,
2005 9 Solichin Abdul Wahab, Public Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisis
Kebijakan Pemerintah, Surabaya : Airlangga University Press, 1997.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti
kebijakan sebagai suatu pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-
praktek yang terarah, sedang Carl J. Friedrich mendefinisikan
kebijakan sebagai ”...serangkaian tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan
tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-
kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.”10
Ragam kebijakan yang dibuat ada beberapa jenis, pertama
kebijakan yang dibuat oleh legislatif secara tunggal (Undang-undang
Dasar, Ketetapan MPR), kedua kebijakan yang dibuat dalam bentuk
kerja sama antara legislatif dan eksekutif (undang-undang). Ketiga
adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif saja, karena di dalam
perkembangan kebijakannya peran eksekutif tidak cukup hanya
melaksanakan kebijakan yang dibuat legislatif. Semakin
meningkatnya kompleksitas kehidupan bersama diperlukan
kebijakan-kebijakan untuk melaksanakan kebijakan yang bersifat
umum yang dibuat legislatif (UUD, TAP MPR, UU, dll). Di
Indonesia ragam kebijakan yang dibuat/ditangani eksekutif
bertingkat, contoh :11
Di tingkat pusat yaitu :
1). Peraturan Pemerintah (PP),
2). Keputusan Presiden (Kepres),
3). Keputusan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dll.
10 Joko Purwono, Analisis Kebijakan Publik : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan
Negara, Yakarta, Bumi Aksara, 1989 . 11 Riant Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta, Edisi Kedua,
Gramedia, 2004 .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Di tingkat daerah yaitu :
1). Keputusan Gubernur,
2.) Keputusan Bupati dan bertingkat-tingkat keputusan di
bawahnya,
3). Keputusan Walikota dan bertingkat-tingkat keputusan di
bawahnya.
Dalam studi kebijakan publik, maka kebijakan-kebijakan
tertulis formal inilah yang menjadi pusat perhatian.
Proses implementasi sangat erat dengan kebijakan. Kebijakan-
kebijakan yang diputuskan dan ditetapkan bermuara untuk mengatasi
masalah yang terjadi dalam masyarakat (publik), menurut Friedrich
mendefinisikan kebijakan sebagai :12
”serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan
peluang yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut
ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi
hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu”
Sedangkan James E Anderson menyatakan bahwa kebijakan
adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku
guna memecahkan masalah tertentu13
WI. Jenkins merumuskan kebijakan sebagai :14serangkaian
keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seseorang aktor
politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang
telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi 12 Ibid, hal 4 13 Irfan Islami, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2004. 14 Abdul. Wahab Solichin, op.cit, hal 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada
dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.
Sedangkan kebijakan menurut Heins Eulau dan Keneth
Prewith adalah keputusan yang teguh yang disifati oleh adanya
perilaku yang konsisten dan pengulangan pada bagian dari keduanya
yakni bagi orang-orang yang membuatnya dan bagi orang-orang
yang melaksanakannya.
Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang
dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu.
Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat
kebijakan publik, maka ketika itu pula pemerintah mengalokasikan
nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung
seperangkat nilai di dalamnya. Sedangkan Harold Laswell dan
Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya
berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam
masyakarat. Ketika kebijakan publik berisi/mengandung nilai-nilai
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyakarat,
maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika
diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu
mengakomodasikan nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Kebijakan menurut Graycar15 dapat dilihat sebagai konsep
filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai
suatu kerangka kerja. Dalam konsep filosofis, kebijakan merupakan
serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu
produk, kebijakan dipandang sebagai suatu serangkaian kesimpulan
dan rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai
15 Yeremias T Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Gava
Media, Yogyakarta, 2004, hlm. 55
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
suatu sistem organisasi, sehingga dapat mengetahui apa yang
diharapkan dari program dan mekanisme kerja dalam mencapai
produknya serta sebagai suatu kerangka kerja. Kebijakan merupakan
suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-
isu dan metode implementasinya.
Thomas R. Dye 16menjelaskan, bahwa kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Selanjutnya Dye mengatakan, apabila pemerintah
memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan
kebijakan tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan
semata-mata keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu,
sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk
kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan “
oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya
dengan “sesuatu yang dilakukan” pemerintah.
b Teori pengambilan kebijakan
Menurut Solichin Abdul Wahab17 ada tiga teori pengambilan
kebijakan yang sering dipakai, yaitu:
Pertama, Teori Rasional Komprehensif. Teori ini paling banyak
dikenal dan diterima oleh kalangan luas. Unsur-unsur utama dari
teori ini meliputi: (1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu
masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain; (2)
Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang sebagai pedoman
pembuat keputusan amat jelas dan dapat diperbandingkan
rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya; (3) Berbagai
alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama; 16 Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 159 17 Solichin Addul Wahab, 2004,op.cit hlm. 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
(4) Akibat-akibat berupa biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh
setiap alternatif dipilih dan diteliti; (5) Setiap alternatif dan masing-
masing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan
alternatif lainnya; (6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan
akibat-akibatnya untuk mencapai tujuan, nilai atau sasaran yang telah
digariskan. Hasil dari proses tersebut adalah keputusan yang rasional
yakni suatu keputusan dapat mencapai tujuan paling efektif.
Kedua, Teori Inkremental. Pengambilan keputusan dalam teori
ini menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan
pada saat yang sama merupakan teori lebih banyak menggambarkan
cara untuk ditempuh oleh pejabat pemerintah dalam mengambil
keputusan sehari-hari.
Ketiga, Teori Pengamatan Terpadu. Suatu pendekatan untuk
pengambilan sebuah keputusan dengan memperhitungkan baik
keputusan-keputusan yang bersifat fundamental maupun keputusan-
keputusan bersifat inkremental dan memberikan urutan teratas bagi
proses pembuatan kebijakan fundamental guna memberikan arahan
dasar dan proses pembuatan kebijakan inkremental sesudah
keputusan tercapai.
c Proses Pembuatan kebijakan
Membuat atau merumuskan suatu kebijakan Negara, bukanlah
suatu proses sederhana dan mudah, hal ini disebabkan karena
terdapat banyak faktor atau kekuatan-kakuatan yang berpengaruh
terhadap proses pembuatan kebijakan Negara tersebut. Menurut Irfan
Islamy18 ada enam langkah yang harus diperhatikan dalam
perumusan kebijakan Negara yaitu; Pertama Perumusan masalah;
Kedua, Penyusunan agenda pemerintahan; Ketiga, Perumusan usulan
18 Irfan Islamy, 2004, 0p.cit, hlm. 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
kebijakan; Keempat, Pengesahan kebijakan Negara; Kelima,
Pelaksanaan kebijakan dan Keenam,Penilaian kebijakan Negara.
William Dunn19 mengemukakan proses pembuatan kebijakan
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung
menurut urutan-urutan waktu; Pertama, Penyusunan agenda, para
pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada
agenda publik; Kedua, Formulasi kebijakan, para pejabat
merumuskan alternatif kebijakan untuk mengantisipasi masalah;
ketiga, Adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur
lembaga atau keputusan peradilan; keempat, Implementasi
kebijakan, kebijakan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia; Kelima,
Penilaian kebijakan, untuk pemeriksaan dan akuntasi dalam
pemerintahan menentukan apabila badan-badan eksekutif, legislatif
dan badan peradilan memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan
oleh undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian
tujuan.
Proses kebijakan dapat dilukiskan sebagai deretan keadaan
yang berbeda-beda sehubungan dengan keseluruhan dari tindakan
yang dinamis dalam hal persiapan, penentuan, pelaksanaan,
penilaian dan pengendalian suatu kebijakan. David Easton
menjelaskan,20 “Melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-
komitmen masyarakat yang acap kali masih kabur dan abstrak
sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan
masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor (politik) ke dalam
19 William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajahmada University Press, Yogyakarta,
1998, hlm. 24 20 Bambang Sunggono, 1997, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Insan Cendikia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan
dan tujuan-tujuan yang konkrit.”
Thomas R. Dye merumuskan secara terperinci pembuatan
kebijakan sebagai :21 “ Keseluruhan proses yang menyangkut
pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk
tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke
dalam sistem politik, pengupayaan pengenaan sanksi-sanksi atau
legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan
pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali
(umpan balik).”
Dalam pembuatan kebijakan ada beberapa model yang salah
satunya adalah model group theory : Policy as Group Equilibrium.
Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan
kebijakan yang dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha
untuk mempengaruhi isi & bentuk kebijakan secara interaktif.
Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk
menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan
cara bargaining, negoisasi dan kompromi.22
d Analisis kebijakan
William Dunn23 menyatakan Analisis kebijakan dilakukan
untuk menilai secara kritis dan mengkonsumsikan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses
pembuatan kebijakan. Dalam melakukan analisis kebijakan Dunn
membagi lima tahap analisis yaitu, (1) Perumusan masalah (2)
Peramalan (3) Rekomendasi (4) Pemantauan (5) Penilaian. Setiap
21 Ibid, hal 47 22 R. Slamet Santoso, Model dalam Kebijakan Publik, 23 Ibid; hlm. 23
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir
(penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan
agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkup aktivitas yang tidak
linier.
Berdasarkan pendapat tadi, dapat dipastikan bahwa kebijakan
adalah rangkaian tindakan dengan tujuan untuk memecahkan
masalah, tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat yang dilakukan setelah adanya keputusan terhadap
alternatif yang dipilih.
2. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Jika suatu kebijakan telah diputuskan atau direkomendasikan
untuk dipilih, maka kebijakan tersebut tidak akan berhasil terwujud
apabila kebijakan tadi tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah
dipilih oleh pembuat kebijakan (policy makers) tidak menjamin bahwa
kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya.
Istilah implementasi sering digunakan oleh para ahli untuk
menggambarkan tahapan pelaksanaan. Namun di kalangan para ahli
sendiri hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat mengenai
implementasi, hal ini disebabkan karena memang apa yang disebut
sebagai implementasi merupakan tahapan yang kompleks dan rumit.
Kendati sulit untuk merumuskan batasan implementasi secara definitif,
namun batasan mengenai apa yang disebut implementasi untuk
keperluan analisis, mutlak diperlukan.
Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa To Implement
(mengimplementasikan) berarti to provide, the mean for carrying out,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical
effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)24
Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah :25
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian atau kegiatan-
kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman
kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak
nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Mazmanian dan Sabatier juga memberikan definisi lain tentang
implementasi yaitu :
Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk
Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalahnya
yang ingin dicapai, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk untuk menstrukturkan/mengatur
proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui tahapan
tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-undang,
kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan-
keputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata baik yang
dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan
sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan
dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting atau upaya untuk melakukan
perbaikan-perbaikan terhadap Undang-undang/peraturan yang
bersangkutan.
24 Abdul. Wahab Solichin, 2004, op.cit 64. 25 Ibid, hal 65-68
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Implementasi tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan
administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program
dan menumbuhkan ketaatan pada diri kelompok sasaran. Implementasi
juga menyangkut jaringan-jaringan kekuatan politik, ekonomi dan
sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku
dari semua pihak yang terikat dan yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Sedangkan Van Meter dan Van Horn merumuskan proses
implementasi sebagai berikut :
Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-
individu/pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijaksanaan.
Proses implementasi terkait erat dengan kebijakan, implementasi
melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi “street level
bureaucats” untuk memberikan pelayananan atau mengatur perilaku
kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana,
implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai
implementator. Sebaliknya untuk kebijakan yang bersifat makro, maka
usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi.
Mengenai keterlibatan berbagai pelaku (actors) dalam
implementasi, Ripley dan Franklin menyatakan :26
Impelementation processinvolve many important actors holding diffuse and competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly large and complex mix of government programs that require participation form numerous layers and unit of government and who are affected by powerfull factors beyond their control.
26 AG. Subarsono, op.cit, hal 88-89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Pengertian di atas menjelaskan bahwa Kompleksitas implementasi
bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang
terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh
berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual
maupun variabel organisasional dan masing-masing variabel pengaruh
tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain.
Setelah ditetapkannya suatu kebijakan tidak berarti bahwa
masalah yang dihadapi sudah terselesaikan, masalah yang masih harus
dihadapi adalah apakah kebijakan itu langsung dapat diterima oleh
masyarakat dan mempunyai kesediaan diri untuk
mengimplementasikannya.
Jika suatu kebijakan telah dirumuskan dan diputuskan maka
dibutuhkan suatu sistem untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Kebijakan yang telah dirumuskan, diterima dan disahkan oleh pihak
yang berwenang maka siap untuk diimplementasikan. Masalah
implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara
riil dari kebijakan tersebut. Pembuat kebijakan tidak hanya ingin
melihat kebijakannya dilihat oleh masyarakat akan tetapi juga ingin
mengetahui seberapa jauh kebijakan tersebut memberikan konsekwensi
positif dan negatif bagi masyarakat. Sebab pada dasarnya kebijakan itu
dibuat untuk kepentingan rakyat banyak.
Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar
bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan
politik ke dalam prosedur-prosedur rutin, melainkan lebih dari itu, ia
menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh
apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah apabila
dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari
keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya
adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
mengimplementasikan kebijakan publik, maka dua pilihan langkah
yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan
dari kebijakan publik tersebut.
Pada umumnya tugas implementasi adalah mengkaitkan realisasi
tujuan kebijakan dengan hasil kegiatan/program pemerintah. Beberapa
kebijakan bersifat ”self executing” artinya dapat dirumuskannya
kebijakan itu sekaligus (dengan sendirinya) kebijakan itu
terimplementasikan. Akan tetapi jumlah kebijakan yang self executing
ini tidak banyak. Kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk peraturan
perundang-undangan baik berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, ataupun berbagai macam ketentuan dan ketetapan yang
sejenis dengan itu yang lebih bersifat non self executing, artinya bahwa
kebijakan negara perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai
pihak sehingga nampak efeknya.
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas,
merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik yang bekerjasama untuk menjalankan kebijakan
guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.27
Meter dan Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara
individu atau kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan
sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan.28
Ada dua macam strategi dalam proses implementasi kebijakan
negara yaitu top down dan bottom up, yang masing-masing memiliki
karakteristik sendiri-sendiri. Sabatier mengemukakan, kenyataannya
pelaksanaan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh bekerjanya tarik
27 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Pressindo, 2002 28 Samodra Wibawa dkk, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
menarik kepentingan antara pemerintah dengan perubahan sikap
masyarakat. Dinamika tarik menarik inilah yang disebutnya sebagai
Implementasi top-down dan bottom up.29
Menurut teori yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn
maupun Sabatier dan Mazmanian, suatu implementasi akan efektif
apabila pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh
peraturan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis atau dengan
menggunakan model top down. Kebijakan yang bersifat top down
hampir tidak memberikan ruang kepada aparat pelaksana untuk
melakukan inovasi dalam bekerja. Segala tindakan sudah diatur dengan
detail dan bersifat mengikat. Kecenderungan aparat untuk
melaksanakan kebijakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis sangat kuat.
Accountability is a top-down notion. It assumes – rightly – that the government structure is a hierarchical one. In a hierarchical bureaucracy, accountability usually implies answerability to higher echelons of government.30
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa menurut Santosh
Mehrotra, implementasi top down berkaitan dengan kemampuan
meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Struktur pemerintah adalah
suatu hirarki tatanan birokrasi, dan akuntabilitas dalam hal ini biasanya
berarti answerability ke tingkat yang lebih tinggi dalam pemerintahan.
Yang pada akhirnya pertanggungjawaban ini harus disampaikan kepada
warga negara.
Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak
variabel, faktor dan dimensi dan masing-masing saling berhubungan
29 Mas Roro Lilik Ekowati, Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program,
Pustaka Citra, Surakarta, 2005. 30 Santosh Mehrotra, Penasihat Ekonomi Daerah Kemiskinan dan Pemerintahan, Pusat Regional
untuk Asia, Elaborasi pada kemampuan pendekatan Sen, Demokrasi, Desentralisasi dan akses ke Layanan Dasar, Bangkok, E-mail: [email protected].
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
satu sama lain. Para ahli banyak mengemukakan pendapatnya tentang
teori metode implementasi kebijakan. Menurut Grindle keberhasilan
implementasi dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yaitu isi
kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (contex of
implementation).
Variabel isi kebijakan menyangkut:31
1). Kepentingan kelompok sasaran
2). Jenis manfaat
3). Derajad perubahan yang diinginkan
4). Letak pengambilan keputusan
5). Pelaksanaan program
6). Sumber daya yang dilibatkan
Sedang variabel lingkungan implementasi menyangkut :
1). Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2). Karakteristik lembaga dan penguasa
3). Kepatuhan dan daya tanggap
Sedang Edward memandang bahwa : implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat variabel yakni : (1) komunikasi, (2) sumber
daya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut
juga saling berhubungan satu sama lain.
Sementara Van Meter dan Van Horn berpendapat bahwa
Implementasi kebijakan berjalan lancar secara linier dari kebijakan
publik, implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel
yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi implementasi
kebijakan publik adalah variabel : 32
1). Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi.
2). Karakteristik dari agen pelaksana/implementator.
31 AG. Subarsono, op.cit, hal 90-94 32 Riant Nugroho, op.cit, hal 167
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
3). Kondisi ekonomi, sosial dan politik.
4). Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/impelementator.
Mazmanian dan Sabatier mengembangkan model yang disebut
sebagai A Frame work for Implementation Analysis (Kerangka Analisis
Implementasi)
Peran penting dari implementasi kebijaksanaan negara ialah
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-
variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) katagori
besar yaitu :
1). Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan.
2). Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara
cepat proses implementasi dan
3). Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan
dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan
tersebut.33
Berdasar pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi
bukan hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang
bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan
ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut
jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang
berlangsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak
yang terlibat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik
yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan ádalah suatu proses tindakan yang dilakukan
oleh individu atau kelompok setelah peraturan atau keputusan
33 Abdul. Wahab Solichin, op.cit, hal 81
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
ditetapkan untuk mencapai tujuan dengan didukung oleh peralatan,
aparat pelaksana, dan biaya.
Suatu kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan
dan mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Dengan kata lain,
tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu
bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.
Dengan demikian jika mereka bertindak/berbuat tidak sesuai dengan
keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara akan menjadi
tidak efektif.
Dari berbagai pendapat tersebut, maka implementasi kebijakan
dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan
kebijakan. Usaha untuk melakukan melaksanakan kebijakan tetentu,
tentunya membutuhkan suatu keahlian dan keterampilan dalam
menguasai persoalan yang hendak dikerjakan. Dalam hal ini birokrasi
menempati kedudukan yang strategis, karena birokrasilah yang
berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi
senantiasa dituntut untuk mempunyai keterampilan dan keahlian yang
tinggi.
Keberhasilan implementasi kebijakan negara sebagai suatu proses
secara garis besar disamping dipengaruhi oleh faktor tujuan yang telah
ditetapkan, dengan cara apa tujuan tersebut dilaksanakan juga
dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam implementasi kebijakan
publik, yaitu : communications (komunikasi), resources (sumber daya),
dispotitions atau attitudes (sikap) dan bereaucratic structure (struktur
birokrasi).34
34 Mas Roro Lilik Ekowati, op.cit, hal 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
a). Komunikasi
Agar implementasi kebijakan berjalan efektif diperlukan
komunikasi yang jelas, akurat dan konsisten bagi implementator.
Tidak cukupnya komunikasi bagi implementator mengakibatkan
implementasi yang dikirim akan mengalami kesalahan atau
kerusakan, samar-samar atau tidak konsisten yang akhirnya secara
serius akan mempengaruhi implementsai kebijakan.
b). Sumber Daya
Diperlukan sumber daya yang memadai agar implementasi bisa
efektif. Pentingnya sumber daya ini meliputi ukuran staf dan
keahlian yang dimiliki, sumber daya yang lemah akan berakibat
bahwa pelayanan tidak akan bisa diberikan atau peraturan-peraturan
tidak akan bisa untuk diterapkan.
c). Sikap
Seorang implementator disamping harus mengetahui apa yang harus
dilaksanakan juga harus bisa membawa kebijakan sebagaimana
yang diinginkan (diharapkan).
d). Struktur birokrasi
Struktur birokrasi merupakan faktor penting di dalam pelaksanaan
kebijakan. Dimana di dalam birokrasi tersebut akan terjadi
koordinasi dan kerjasama agar implementasi kebijakan bisa efektif
dan efisien.
Langkah terakhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi
kebijakan yang meliputi penilaian terhadap hasil-hasil kebijakan,
tujuan-tujuan, sarana-sarana, aktivitas-aktivitas, urutan waktu dengan
berpegang pada ukuran-ukuran lain dari tujuan-tujuan kebijakan seperti
asas-asas maupun pandangan-pandangan lain yang dianut oleh para
penilai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
3. Efektifitas Bekerjanya Hukum
Sesungguhnya hubungan hukum dan kebijakan publik sangat erat
bagaikan dua sisi mata uang. Maksudnya adalah produk hukum yang
baik harus melalui proses komunikasi yang baik antara stakeholders
dan antar komponen masyarakat yang biasa dilakukan dalam proses
penyusunan kebijakan publik. Produk hukum dibicarakan dalam dua
sisi, yakni sisi keadilan dan sisi legalitas sebagai upaya adanya
kepastian hukum yang kemudian menjelma hukum positif, yakni
produk hukum yang berlaku dalam suatu negara tertentu dan dibuat
lembaga yang berwenang seperti pembuatan undang-undang dilakukan
oleh pemerintah dan DPR RI, peraturan daerah dibuat oleh DPRD dan
Gubernur atau Bupati.
Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan
publik sebagai sarana yang mampu mengaktualisasikan hukum tersebut
dengan kebutuhan dan kondisi riil yang ada di masyarakat, sebab jika
responsifitas aturan masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan pada
hukum semata, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi
pemaksaan-pemaksaan hukum yang tidak sejalan dengan cita-cita
hukum itu sendiri yang ingin mensejahterakan masyarakat.
Kebijakan publik sebagai sebuah konsep pengaturan masyarakat
yang lebih menekankan pada proses, dewasa ini tampaknya menjadi
lebih populer daripada hukum. Namun keberadaan hukum secara sadar
atau tidak sadar masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern.
Penerapan hukum menjadi sangat tergantung pada kebijakan
publik sebagai sarana yang dapat menyukseskan berjalannya penerapan
hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka
pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan
mampu merumuskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar penerapan
hukum yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Menurut Lawrence Meir Friedman seorang ahli sosiologi hukum
dari Stamford University dalam bukunya The Legal System,
mengemukakan mengenai Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Element
of Legal System). Untuk itu sangat tepat Teori Friedman yang
menyatakan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri
dari tiga unsur yang saling terkait. Ketiga unsur sistem hukum yang
mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut adalah sebagai berikut :35
a. Struktur Hukum (legal structure);
Struktur menurut Friedman adalah kerangka bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di
Indonesia berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia maka
termasuk didalamnya struktur Institusi-institusi penegakan hukum,
seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan
Dalam hal ini merupakan unsur yang berasal dari para
pemegang aturan hukum. Bisa jadi pemerintah (eksekutif), pembuat
peraturan (legislatif) ataupun lembaga kehakiman (yudikatif). Para
aparat penegak hukum, seyogyanya harus bersikap konsisten
terhadap apa yang telah dikeluarkannya. Ia tidak boleh mangkir dari
kebijakan-kebijakan hukum yang telah dibuatnya. Atau dengan kata
lain, dalam melakukan segala perbuatan, pemerintah harus selalu
berpegang teguh terhadap peraturan umum yang telah dibuatnya.
Jadi pada dasarnya struktur hukum secara sederhana bisa
diartikan dari kerangka hukum maupun wadah dan organisasi dari
lembaga-lembaganya.
35 Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, PT. Yarsif Watampone,
2001.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
b. Substansi Hukum ( legal substance);
Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga
berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam
sistem hukum itu mencakup peraturan baru yang mereka susun.
Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum yang
berupa peraturan-peraturan keputusan-keputusan yang digunakan
baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.36
Substansi hukum meliputi norma dan aturan itu sendiri. Tidak
terbatas pada norma formal saja tetapi juga meliputi pola perilaku
sosial termasuk etika sosial, terlepas apakah nantinya akan perilaku
sosial tersebut akan membentuk norma formal tersendiri. Idealnya,
isi/materi hukum tidak boleh diinterpretasikan secara
baku/sebagaimana adanya seperti yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan.
c. Kultur hukum (legal culture).
Pernyataan Friedman menyatakan bahwa kultur hukum ádalah
apa yang masyarakat rasakan terhadap hukum dan sistem
hukumnya, kemudian Friedman memperluas lagi bahwa budaya
hukum bukan sekedar pikiran saja, tetapi juga cara pandang dan
cara masyarakat menentukan bagaimana sebuah hukum itu
digunakan
Pada akhirnya, pemahaman kultur hukum menurut Friedman
adalah setiap manusia terhadap hukum dan sistem hukum
kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum
adalah susunan pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan.
36 Ibid, hal 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Tanpa Kultur Hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak
berdaya. Pendapat Friedman, jika unsur ini dihilangkan akan
menimbulkan kepincangan hukum & tidak bisa berjalan
sebagaimana mestinya, serta cita-cita mewujudkan keadilan pun
akan sirna. Pemerintah, dalam menyusun peraturan dan menentukan
langkah-langkah hukum perlu memperhatikan pula nilai-nilai dalam
masyarakat. Tidak boleh mengambil keputusan/kebijakan hanya
berdasarkan asumsinya belaka. Sesuai/tidaknya kebijakan hukum
dengan tuntutan masyarakat umum, akan sangat menentukan
keberhasilan hukum itu sendiri.
Berdasarkan teori sistem dari Friedman diatas kalau ingin
memperbaiki sistem hukum yang ada ketiga komponen tersebut harus
diperhatikan dan dibenahi. Kondisi ini memerlukan suatu proses yang
panjang untuk mampu merubahnya karena menyangkut masalah sosial
budaya, sehingga bukan hanya perundang-undangan yang harus
dibenahi namun juga budaya hukum masyarakat.
Menurut Setiono, pada dasarnya di dalam penerapan hokum
tergantung pada empat unsur yaitu unsure hukum, unsur struktural,
unsur masyarakat dan budaya.37
1) Unsur Hukum
Unsur hokum merupaka produk atau teks aturan-aturan hokum.
Ketika pada kasus tertentu ternyata unsur hokum ini tidak dapat
diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan
publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang
lebih kontekstual dengan kondisi riil di lapangan. Ketika kebijakan
publik melakukan hal itu maka sesungguhnya ia pun berangkat dari
unsur hokum yang dimaksud. Perencanaan dan langkah-langkah
37 Setiono, PemahamanTterhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum,
Surakarta, Pasca Sarjana UNS, 2005.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
yang diambil oleh kebijakan publik bisa jadi tidak sepenuhnya sama
dengan teks-teks aturan hokum, dengan demikian pada dasarnya
kebijakan publik itu lebih sebagai upaya untuk membantu atau
memperlancar penerapan hokum yang telah ditetapkan.
2) Struktural
Struktural merupakan lembaga-lembaga atau organisasi yang
diperlukan dalam penerapan hokum itu. Kebijakan publik dalam
konteks unsur struktural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah
seni, yaitu bagaimana ia mampu melakukan kreasi sedemikian rupa
sehingga performance organisasi yang dialaminya itu dapat tampil
lebih baik, sekaligus distorsi-distorsi pemaknaan dari unsur hokum
yang ada tidak diselewengkan atau ditafsir berbeda oleh para
pelaksananya di lapangan. Atau mungkin terjadi para pelaksana
dalam organisasi sudah mengerti maksud dari aturan hokum yang
ada tetapi mereka tidak mampu menjalankannya.
3) Masyarakat
Yang dimaksud dengan masyarakat disini adalah bagaimana kondisi
social politik dan social ekonomi dari masyarakat yang akan terkena
dampak atas diterapkannya sebuah aturan hokum atau Undang-
undang. Sebaik apapun unsur-unsur kinerja organisasi atau institusi
pelaksana, bila kondisi masyarakatnya sedang kacau balau tentu
semua itu tidak akan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Posisi
dari kebijakan publik lagi-lagi akan sangat berpengaruh dalam hal
unsur masyarakat dalam penerapan hokum. Kondisi masyarakat
yang ada itu harus diselesaiakan terlebih dahulu demi
terselenggaranya sebuah penerapan hokum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
4) Budaya
Yang dimaksud dengan budaya adalah berkaitan dengan bagaimana
isi kontekstual sebuah Undang-undang yang hendak diterapkan
dengan pola piker, pola perilaku, norma-norma nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Unsur budaya
dalam penerapan hokum sangat penting sebab ini berkaitan dengan
bagaimana pamahaman masyarakat atas sebuah introduksi nilai
yang hendak ditransformasikan oleh sebuah produk hokum atau
Undang-undang.
Earl Letham beranggapan,38 bahwa kebijakan publik pada
dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan
antar kelompok. Kebijakan publik merupakan keadaan seimbang yang
tercapai dalam perjuanagan antar kelompok pada suatu waktu tertentu
dan merupakan cerminan keseimbangan setelah pihak-pihak atau
kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik itu ke arah
yang menguntungkan. Dalam hubungan mencapai keseimbangan itu
dibutuhkan berlakunya suatu system hukum yang merupakan cerminan
dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok
mereka. Kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi kepada
masalah politik yang sarat dengan diskriminasi terhadap kelompok lain.
Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok penegakan
hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak
positif atau negatifnya penegakan hukum itu terletak pada isi faktor-
faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut : 39
38 Bambang Sunggono, op.cit, hal. 60 39 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada,1983
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
1). Faktor hukumnya sendiri
Yang dimaksud dengan hukum dalam hal ini adalah peraturan
tertulis yang dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah,
yang mencakup :
a. Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau
suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di
sebagian wilayah negara.
b. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau
daerah saja.
2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum
Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan
(role). Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan warga-
warga masyarakat lainnya mempunyai beberapa kedudukan dan
peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil bahwa
antara berbagai kedudukan dan peranan tersebut timbul konflik
(status conflict dan conflict of roles). Kalau di dalam kenyataannya
terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan
peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka akan
terjadi kesenjangan peranan (role distance). Penegak hukum
merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya
mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu. Mereka harus dapat
berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran,
disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang
dapat diterima oleh mereka.
3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin
penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup dan lain-lain. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka
mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
4). Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hokum berlaku atau
diterapkan
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu
dipandang dari sudut tertentu masyarakat dapat mempengaruhi
penegakan hukum tersebut. Tidak setiap usaha yang bertujuan
supaya warga masyarakat menaati hukum menghasilkan kepatuhan
tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut
malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan
tujuannya.
5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor
masyarakat sengaja dibedakan karena dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari
kebudayaan spiritual atau non materiil. Kebudayaan hukum pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari),
Masih menurut Soerjono Soekanto, kelima faktor tersebut saling
berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan
merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum.
Hukum agar bisa berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi
masyarakat biasa dan masyarakat pejabat sebagai pemegang law
enforcement, maka dapat dipakai pendekatan dengan mengambil teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Robert Seidman,40 yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dalam
masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu pembuat
hukum (Undang-undang), birokrat pelaksana dan masyarakat obyek
hukum. Pelaksana hukum, perilakunya ditentukan pula oleh peranan
yang diharapkan darinya, namun bekerjanya harapan itu tidak hanya
ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan juga ditentukan
oleh faktor-faktor lainnya tetapi juga oleh :
a). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya.
b). Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum
c). Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri
pemegang peran itu.
Efektifitas hukum merupakan indikator untuk menilai berhasil
atau tidaknya penerapan suatu produk hukum atau penegakkan hukum
di dalam masyarakat. Hukum akan ditaati dan dilaksanakan sebagai
perilaku oleh warga masyarakat apabila hukum tersebut berhasil
mengatur pola perilaku orang/warga masyarakat sesuai tujuannya.
Suatu kaedah hukum akan berhasil atau gagal dalam mencapai
tujuannya dapat diukur dengan terwujudnya hukum sebagai perilaku.
Dalam hal ini Soerjono Soekanto mengatakan, bahwa apabila
seseorang mengatakan suatu kaedah hukum berhasil atau gagal
mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya
berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai
dengan tujuannya atau tidak. Pernyataan ini pada dasarnya
memperlihatkan bahwa hal berlakunya hukum adalah terwujudnya
hukum sebagai perilaku.
40 Robert Seidman, Law and Development, A General Model, Law and Society Review, Madison,
University of Wisconsin, USA, dalam Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT. Suryandaru Utama, 1972.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Paul dan Dias mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi
untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :41
1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap
dan dipahami
2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi
aturan-aturan hukum yang bersangkutan
3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum
4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah
dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan
juga harus cukup efektif dalam menyelesaiakan sengketa
5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga
masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu
memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis dapat dilihat adanya
2 (dua) fungsi utama hukum, yaitu :42
a). Social control (kontrol sosial)
Yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku
sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai urutan hukum,
termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
b). Social Engineering (rekayasa sosial)
Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum
atau keadaan masyarakat sebagaimana yang diinginkan oleh
pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih
praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi
rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap
dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan
keinginan pembuat undang-undang. 41 Esmi Warrasih, 2005, op. cit, hal. 105-106. 42 Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada
akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru
dalam masyarakat.
Menurut Radbuch,43 hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis
atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu :
a). Keadilan
b). Kemanfaatan/kegunaan
c). Kepastian Hukum
Suatu Undang-undang/kaedah hukum dibuat dengan tujuan untuk
mengatur kepentingan-kepentingan anggota masyarakat agar tidak
terjadi perselisihan sehingga tercipta kedamaian, ketertiban dan yang
lebih penting lagi bahwa hukum itu harus bisa mewujudkan keadilan di
dalam masyarakat.
Pembuatan undang-undang/kaedah hukum merupakan proses awal
bergulirnya pengaturan. Namun kita tidak berhenti hanya membahas
masalah wujudnya yang formal berupa peraturan-peraturan tertulis
yang telah dibakukan dalam peraturan perundangan saja, akan tetapi
perlu dikaji lebih jauh konsekwensi dari peraturan perundangan
tersebut dalam kehidupan di masyarakat. Hukum yang baik adalah
hukum yang bisa bekerja untuk menciptakan kepastian, kedamaian,
ketertiban, keadilan dan kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat.
Agar supaya berfungsi, maka kaedah hukum harus memenuhi tiga
unsur berlakunya hukum yaitu, yuridis, sosiologis dan filosofis.44
Apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai unsur yuridis belaka,
maka kaedah hukum tersebut merupakan suatu kaedah hukum yang
mati (dodel regel). Kalau suatu kaedah hukum hanya mempunyai
kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaedah hukum 43 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000. 44 Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,
Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1983.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
yang bersangkutan menjadi aturan pemaksa (dwangmaat-regel).
Akhirnya apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan
filosofis, maka kaedah hukum hukum tersebut hanya boleh disebut
sebagai kaedah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan (ius
constituendum atau ideal norm).
Menurut Dias45, suatu sistem hukum itu dapat dikatakan efektif
kalau perilaku-perilaku manusia di masyarakat dapat cocok sepenuhnya
dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang
berlaku, dengan perkataan lain adanya suatu sistem hukum yang efektif
itu akan ditandai oleh adanya suatu kelainan yang sangat minimal
antara sistem hukum yang formal dengan sistem hukum yang operatif.
4. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri Sipil
Kamus Umum Bahasa Indonesia memberi penjelasan mengenai
arti pegawai adalah orang yang bekerja pada pemerintah, perusahaan,
dst. Sedangkan pengertian negeri adalah arti Negara, pemerintahan atau
kota, tempat tinggal. Arti Sipil adalah berkenaan dengan orang biasa
bukan militer, hal-hal yang mengenai pemerintahan bukan militer.46
Berdasar pengertian menurut kamus umum Bahasa Indonesia itu,
pengertian pegawai negeri sipil adalah orang yang bekerja pada
pemerintah dan bukan pegawai militer. Karena pemerintahan
dilaksanakan berdasar Undang-Undang, maka orang yang menjadi
pegawai negeri sipil diangkat berdasar peraturan perundang-undangan
mengenai kepegawaian.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-
undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang
45 Bambang Sunggono dalam Aries Hartanto, Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar
Maju. Bandung. 2001. 46 Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dengan
perumusan sebagai berikut :
“ Pegawai Negeri adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang
telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, diangkat oleh pejabat
yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau
diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” 47
Dari definisi tersebut di atas maka pengertian Pegawai Negeri
mencakup 4 ( empat ) hal yaitu :
1). Setiap WNI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan.
2). Diangkat oleh pejabat yang berwenang.
3). Diserahi tugas negeri atau diserahi tugas negara lainnya.
4). Digaji berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang
berlaku.
Mereka yang memenuhi keempat syarat-syarat tersebut termasuk
Pegawai Negeri.
Menurut pasal 2 ayat ( 1 ) Undang - undang Nomor 43 Tahun
1999, Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota
Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Republik
Indonesia .
Tahun 2006 jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia secara
drastis meningkat sekitar 3,6 juta. Pegawai Negeri Sipil di Indonesia
dibedakan dalam tiga sistem penggajian : 48
47 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian 48 Eko Prasojo, Teguh Kurniawan, Defny Holidin, An Analysis of The Government Systems in
Indonesia, Draft of The Final Report, June 2007, Administrative Sciences Department University of Indonesia and Korea-Australia Research Centre University of New South Wales.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
1). Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Pusat, yaitu Pegawai Negeri
Sipil yang pembayaran gajinya dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Nasional (APBN);
2). Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah Otonom, yaitu Pegawai
Negeri Sipil yang pembayaran gajinya dengan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan
3). Pegawai Negeri Sipil Usaha Negara, yaitu Pegawai Negeri yang
pembayaran gajinya dengan menggunakan aktiva pajak
tangguhan.
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 2 ayat ( 1 ) huruf a terdiri dari Pegawai Negeri Sipil
Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah .
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat .
Menurut penjelasan dari Undang - undang Nomor 43
Tahun 1999 maka yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil
Pusat adalah:
1). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada
Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Kesekretariat Lembaga Tertinggi / Tinggi Negara, Instansi
Vertikal di Daerah - daerah dan Kepaniteraan Pengadilan.
2). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang bekerja pada Perusahaan
Jawatan.
3). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang diperbantukan atau
dipekerjakan pada Daerah Otonom.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
4). Pegawai Negeri Sipil yang berdasarkan sesuatu peraturan
perundang-undangan diperbantukan atau dipekerjakan pada
badan lain, seperti Perusahaan Umum, Yayasan lain-lain.
5). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas
negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi dan lain-lain.
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah
Pengertian Pegawai Negeri Sipil Daerah menurut penjelasan
Undang - Undang Nomor 43 Tahun 1999 adalah Pegawai Negeri
Sipil Daerah Otonom . Sedangkan Derah Otonom menurut
menurut Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak , berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom pada pokoknya berlaku
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam
pasal 129 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah :
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai
negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan
manajemen pegawai negeri sipil secara nasional.
(2) Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi,
pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan
kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi dan
pengendalian jumlah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Sistem manajemen pegawai sesuai dengan kondisi pemerintahan
saat ini tidak murni menggunakan unified system namun sebagai
konsekuensi kebijakan desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan
gabungan unified system dan separated system, artinya ada bagian-
bagian kewenangan yang diserahkan kepada daerah untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip lain yang
dianut adalah memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada
pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik tata cara
mengenai rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi
dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud, maka pembina
kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintah
daerah.49
5. Tinjauan Tentang Tenaga Honorer
Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk
melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau
penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, Pasal 1).
Pejabat Pembina Kepegawaian berwenang untuk mengangkat
tenaga honorer dengan tujuan untuk memperlancar pelaksanaan
sebagian tugas – tugas pemerintahan dan pembangunan yang selama ini
pelaksanaanya kurang maksimal dikarenakan terbatasnya jumlah
pegawai yang ada. Tenaga honorer yang telah lama bekerja dan atau
tenaganya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah dan memenuhi syarat
yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah dapat diangkat menjadi
49 HAW Widjaja, op. cit, hal. 145-146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Calon Pegawai Negeri Sipil, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga tertentu pada instansi pemerintah.
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil diprioritaskan bagi yang melaksanakan tugas sebagai :
1). Tenaga guru;
2). Tenaga kesehatan pada unit pelayanan kesehatan;
3). Tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan peternakan; dan
4). Tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Pengangkatan tenaga honorer dilakukan melalui seleksi administrasi,
disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi dan diprioritaskan pada
tenaga honorer yang usianya paling tinggi dan/atau mempunyai masa
kerja lebih banyak. Mereka juga diwajibkan mengisi/menjawab daftar
pertanyaan mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan.
Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil harus memenuhi kriteria antara lain :
a. Disiplin dan integritas yang tinggi.
Disiplin dan integritas adalah bahwa selama menjadi tenaga honorer
melakukan tugasnya dengan baik dan disiplin serta mempunyai
integritas tinggi yang dibuktikan dengan surat pernyataan oleh
atasan langsungnya serta disahkan kebenarannya oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk sekurang-
kurangnya pejabat struktural eselon II.
b. Sehat jasmani dan rohani.
Tenaga honorer harus sehat jasmani dan rohani yang ditunjukan
dengan surat keterangan dari Dokter Pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
c. Memiliki kompetensi.
Kompetensi adalah bahwa tenaga honorer tersebut mempunyai
pendidikan, kecakapan, keahlian, atau ketrampilan yang sesuai
dengan jabatan yang akan diduduki.
Pengertian diatas memberikan penjelasan bahwa kompetensi
merupakan bagian integral dari reportoar perilaku individu
sebagai mediator yang membantu atau menghalangi kinerja
mereka, mencakup aspek kinerja seperti pengetahuan teknis,
kemampuan dan ketrampilan yang mempunyai pengaruh yang
sangat signifikan terhadap kinerja. 50
d. Tidak terlibat tindak pidana.
e. Bebas dari Zat aditif, narkoba dan zat – zat terlarang lainnya
(NAPZA).
Tenaga honorer yang telah diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan Pegawai
Negeri Sipil lainnya yang tidak diperoleh selama menjadi tenaga
honorer, sesuai dengan Undang – undang Kepegawaian Nomor 43
tahun 1999. Setiap Pegawai negeri wajib dan setia dan taat kepada
Pancasila, Undang – undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta
wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (Undang Undang Kepegawaian Nomor 43 tahun
1999, Pasal 4).
Sedangkan haknya tercantum dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) s/d (3) :
1). Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak
sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya
50 Ann Davis and Judy Scully,The Aston Centre for Human Resources, A free sample chapter
from Strategic Human Resource Management, Published by the CIPD. Copyright © CIPD 2008
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
2). Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu
produktivitas dan menjamin kesejahteraannya
3). Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerinyah.
Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
bagi yang bersangkutan, yang tidak diperoleh selama menjadi tenaga
honorer. Walaupun belum menerima gaji penuh, karena sebelum PNS
penuh CPNS baru menerima gaji 80 % dari gaji penuhnya, namun
secara ekonomi kesejahteraannya mereka meningkat cukup signifikan.
B. Penelitian Yang Relevan
Muhammad Arifin, Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Surakarta, ( Skripsi ), Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Skripsi ini memaparkan tentang proses pelaksanaan pengadaan Calon
Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Surakarta.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan, dapatlah
kemudian dibuat kerangka dasar pemikiran penelitian Implementasi
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten,
dengan menggunakan teori dari Soerjono Soekanto mengenai lima faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor hukumnya sendiri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan
faktor kebudayaan yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
Apresiasi terhadap pengabdian tenaga honorer
Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil - Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil
Faktor Hukumnya
Sendiri
Faktor Masyarakat
Faktor Kebudayaan
Faktor-faktor Penghambat
Efektif Tidak Efektif
Faktor Penegak Hukum
Faktor Sarana atau
Fasilitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum sosiologis (non doktrinal), karena penelitian ini bertitik tolak dari
data primer atau dasar, yakni diperoleh langsung dari masyarakat sebagai
sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik
melalui pengamatan (observasi) ataupun wawancara. Penelitian hukum
sebagai penelitian sosilogis (empiris) dapat direalisasikan terhadap
efektifitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap
identifikasi hukum.
Penelitian sosiologis pada dasarnya diharapkan dapat
mengungkapkan fenomena tertentu serta menghasilkan kesimpulan teoritis
tentang jalin- menjalinnya gejala atau fenomena tadi. Bobot kinerja
penelitian sosial ditentukan oleh kemampauan untuk mewujudkan dua
kategori kinerja, yaitu visi (vision) dan presisi.
Visi adalah kemampuan peneliti untuk melihat jalin-menjalinnya
fenomena atau peristiwa yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan presisi
meliputi kemampuan peneliti untuk mengungkap realitas sosial secara
obyektif, tepat dan unbiased atau tidak menyimpang. Persoalan penting
bagi suatu penelitian adalah mengenai pemilihan metodologinya akan
menentukan derajat keberhasilan penelitian.
Di dalam penelitian ini peneliti ingin memberikan gambaran metode
yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun, menganalisa dan
menginterprestasikannya. Metode yang digunakan adalah metode yuridis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
sosiologis dengan sifat penelitian deskriptif dan tehnik pendekatan secara
kualitatif. Penelitian deskriptif adalah :
Penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi)
mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam arti ini penelitian
deskriptif itu adalah akumulasi data dasar, dalam cara cara deskriptif
semata-mata tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan,
mentest hipotis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan
implikasi, walaupun penelitian yang bertujuan untuk menemukan hal-hal
tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.52
Sedang penelitian kualitatif adalah penelitan yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode
ilmiah.53
Bogdan dan Taylor, mengatakan: ”Prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari
orang – orang dan perilaku yang diamati disebut pula metodologi
kualitatif”54
Menurut Moh. Nazir penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem
pemikiran pada masa sekarang.55
Pendapat-pendapat tersebut menjadi dasar pemakaian jenis penelitian
yang digunakan, karena penelitian ini berusaha mendeskripsikan kajian
tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
52 Sumadi Suryabrata, Penelitan Kualitatif, Jakarta, Edisi Keempat, Bumi Aksara, 2004. 53 Lexy J, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004. 54 Ibid, hal. 3 55 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 1983.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Dengan mendiskripsikan kajian tersebut peneliti dapat menganalisa
Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
dikaitkan dengan teori mengenai keefektifan suatu kebijakan publik.
Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari lima
konsep hukum menurut Soetandyo Wignjosoebroto sebagai berikut :56
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai
Hukum Alam)
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan
tersistematisasi sebagai judge made law.
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis
sebagai variabel sosial yang empirik
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial
sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono
disebut sebagai Hukum yang ada dalam benak manusia)
Dalam penulisan ini, penulis memakai konsep hukum yang ke 5
(lima), yaitu manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial sebagai
tampak dalam interaksi mereka. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto57
penelitian non doktrinal adalah penelitian hukum yang tidak dikonsepsikan
dan dikembangkan sebagai rules tetapi sebagai reguleritas yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman. Artinya, hukum
56 Soetandyo Wignjosoebroto, Mengembangkan Ketaatan Hukum di Sanubari Warga Masyarakat
Lewat Proses Belajar, Makalah, Surabaya, FISIP UNAIR, 1974. 57 Ibid, hal.147
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia secara aktual dan
potensial akan terpola sebagai realita sosial yang terjadi dalam alam
pengalaman indrawi empiris.
Menurut Lexy J. Moleong,58 kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di Kabupaten
Klaten tepatnya di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, hal ini
didasarkan karena tugas pokok dan fungsi peneliti di bidang kepegawaian
pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten untuk lebih
memudahkan akses mendapatkan sumber atau informasi mengenai data
yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan mendasarkan tempat tinggal
peneliti yang berada di wilayah lokasi penelitian sehingga tingkat
pengamatan, pengkajian dan analisa terhadap objek penelitian diharapkan
lebih cermat.
C. Data dan Sumber Data
1. Data Primer
Data Primer adalah data dari hasil penelitian secara langsung dari
lapangan penelitian berupa keterangan yang diperoleh dari hasil
wawancara yang berkaitan dengan implementasi PP nomor 43 Tahun
2007. Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan orang –
orang yang dipandang dapat memberikan informasi yang memadai (key
person) dari kegiatan pengadaan pegawai. Dalam hal ini maka
responden yang diwawancarai adalah aparat yang terlibat langsung
sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam menangani pengadaan calon 58 Lexy J, Moleong, 2004, op. Cit, hal. 112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pegawai negeri sipil dari tenaga honorer, seperti Kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten,
Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Kepala
Bidang Pengembangan, Kepala Sub Bidang Pengadaan, Pengembangan
Pegawai, Staf Bidang Pengadaan, Pengembangan Pegawai, serta tenaga
honorer pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten Klaten
yang akan diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil di lingkungan
pemerintah kabupaten Klaten.
2. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berupa bahan hukum yang
mencakup :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu :
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa bahan kepustakaan yang berkaitan
dengan pokok permasalahan penelitian ini, seperti buku-buku
hukum, literatur-literatur, penulisan hukum dan lain sebagainya.
c. Bahan Hukum Tertier, antara lain :
1) Kamus Hukum Indonesia 2) Kamus Umum Bahasa Indonesia
D. Tehnik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini bisa dari beragam jenis, bisa berupa
orang, peristiwa, tempat, lokasi, benda serta dokumen tertulis atau arsip.
Dengan beragam jenis sumber data tersebut untuk mengumpulkan data
dalam penelitian guna mendapatkan data yang diperlukan untuk menjawab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
permasalahannya. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, perlu
dilakukan metode (tehnik) sebagai berikut :
a. Pengamatan langsung atau observasi. b. Wawancara tidak terstruktur, dan c. Sumber tertulis.
Untuk lebih jelasnya ketiga sumber data tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Pengamatan Langsung atau Observasi
Pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data dengan
mengadakan pengamatan langsung tehadap obyek penelitian. Ada dua
jenis pengamatan menurut Nazir, yaitu pengamatan berstruktur dan
pengamatan tidak berstruktur. Pengamatan berstruktur menurut Moh.
Nazir59 adalah : Si peneliti telah mengetahui aspek apa dari aktifitas
yang akan diamatinya yang relevan dengan masalah serta tujuan
penelitiannya, dengan pengungkapan yang sistematis untuk menguji
hipotesisnya. Dengan demikian, pengamatan yang dilakukan dalam
penelitian ini sejalan dengan pertanyaan penelitian dan bermaksud
untuk melengkapi data – data dan informasi yang dibutuhkan untuk
menjelaskan aspek – aspek perbandingan dalam penelitian ini. Tehnik
pengamatan langsung berperan aktif agar peneliti tidak bersikap pasif
sebagai pengamat, tetapi memainkan berbagai peran yang
dimungkinkan dalam suatu situasi yang berkaitan dengan penelitian.
b. Wawancara Tidak Terstruktur
Wawancara, dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih memahami
berbagai data dan informasi sekunder. Definisi wawancara adalah60:
proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian, dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara
59 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 219 60 Ibid, hal. 234
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dengan sipenjawab atau responden dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (pedoman wawancara). Dalam penelitian ini
wawancara akan dilakukan dengan orang – orang yang dipandang dapat
memberikan informasi yang memadai (key person) dari kegiatan
pengadaan pegawai. Dalam hal ini maka responden yang akan
diwawancarai adalah seperti aparat yang terlibat langsung tugasnya
dalam menangani pengadaan calon pegawai negeri sipil dari tenaga
honorer, seperti Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Sekretaris, Kepala Bidang
Pengembangan dan Diklat, Kepala Sub Bidang Formasi dan Pengadaan
Pegawai, Staf Bidang Formasi dan Pengadaan Pegawai, serta tenaga
honorer pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten Klaten
yang akan diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Tehnik
wawancara dikembangkan mengarah pada wawancara mendalam (in
depth interviewing) agar diperoleh kedalaman informasi guna menggali
pandangan subyek penelitian tentang banyak hal yang bermanfaat
secara lebih jauh dan mendalam.
c. Sumber Tertulis
Sumber tertulis, yang berupa dokumen tertulis, arsip dan studi
kepustakaan merupakan sumber data yang penting dalam penelitian ini,
terutama bila sasaran kajian mengarah pada latar belakang peristiwa
guna mendukung proses interprestasi setiap peristiwa yang diteliti.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik kualitatif, yakni suatu cara pemilihan data yang menghasilkan data
deskriptif yaitu ” apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan
dan juga perilaku nyata yang diamati dan diteliti dipelajari secara utuh.”
Data sekunder yang tersedia menjadi pangkal penelitian dihubungkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
dengan data primer, kemudian dianalisis secara kualitatif. Teknik
analisisnya dengan model analisis interaktif (Interactive Model of
Analysis) dari Milles dan Huberman. Dalam teknik ini ketiga komponen
utama yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang
dilakukan serentak dengan proses pengumpulan data, dalam bentuk siklus
selama proses penelitian yang digambarkan seperti di bawah ini :61
Gambar 3.1
Untuk lebih jelasnya tiga komponen dalam model analisa interaktif dari
Milles dan Huberman dalam Sutopo di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Reduksi Data (Pengumpulan Data)
Merupakan proses seleksi, berupa membuat singkatan, coding,
memusatkan tema, membuat batas – batas permasalahan, menulis
memo. Proses reduksi ini berlangsung sampai laporan akhir
penelitian selesai ditulis. Data reduksi adalah bagian dari analisis,
suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat
fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian
rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. Teknik ini
61 H.B. Sutopo, op.cit, hal., 18
Pengumpulan data
Sajian Data
Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Reduksi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
digunakan agar data dapat digunakan sepraktis dan seefisien
mungkin, sehingga hanya data yang diperlukan dan dinilai valid
yang dijadikan sumber penelitian. Tahap ini berlangsung terus
menerus dari tahap awal sampai tahap akhir.
b. Data Display (Penyajian Data)
Merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat suatu
penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun
tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Penyajian berupa
kalimat panjang atau cerita menyulitkan peneliti untuk mendapatkan
gambaran yang telas tentang data keseluruhannya guna menyusun
kesimpulan studi. Dengan demikian susunan penyajian data yang
baik dan jelas, sistematis akan menolong peneliti. Display meliputi
berbagai matriks, gambar/sketsa, jaringan kerja berkaitan kegiatan
dan tabel. Kesemuanya dirancang guna merakit informasi secara
teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang
kompak. Data display merupakan bagian analisis.
c. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan)
Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus sudah mulai
mengerti apa arti dari hal-hal yang ditemui dengan melakukan
pencatatan peraturan -peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan,
konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan, sebab akibat dan
proposisi – proposisi peneliti yang kompeten memegang berbagai
hal tersebut tidak secara kuat, artinya tetap bersikap terbuka. Dari
data yang diperoleh dilapangan maka dapat diambil suatu
kesimpulan hasil akhir proses penelitian tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Badan Kepegawaian Daerah
Dalam perjalanan pelaksanaan reformasi, Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, demikian juga dengan Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja perangkat daerah juga
mengalami perubahan. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka
kelembagaan perangkat daerah juga diadakan penataan kembali
sehingga seluruh urusan pemerintahan dapat diselenggarakan oleh
pemerintah daerah. Dan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah
Nomor 41 tahun 2007 di atas maka Pemerintah Kabupaten Klaten
menetapkan Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten yang yang ditetapkan tanggal 2 September 2008. Badan
Kepegawaian Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan daerah di bidang kepegawaian.65
2. Dasar Hukum Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten
Dasar hukum berdirinya Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten adalah sebagai berikut :
65 Pasal 3, Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 23 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
b. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian;
c. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten.
Landasan Operasional Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten setiap tahunnya adalah Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten
tahun yang bersangkutan.
Kegiatan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten adalah
menyelenggarakan Manajemen Pegawai Negeri Sipil Pemerintah
Kabupaten Klaten. Tujuan dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur
Pemerintah Kabupaten Klaten yang ulet, terampil, kreatif, jujur,
bertanggung jawab serta bersih dan bebas dari KKN.
3. Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten
a. Susunan Organisasi
Susunan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Daerah
Kabupaten Klaten Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, adalah
sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
1) Kepala;
2) Sekretariat :
a) Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan;
b) Sub Bagian Keuangan;
c) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian.
3) Bidang Umum Kepegawaian :
a) Sub Bidang Administrasi Umum, Dokumentasi dan
Pengolahan Data;
b) Sub Bidang Pembinaan Disiplin, Perundang-undangan dan
Kesejahteraan Pegawai.
4) Bidang Pengembangan Pegawai :
a) Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai;
b) Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai.
5) Bidang Mutasi :
a) Sub Bidang Penggajian, Kepangkatan, Pemberhentian dan
Pensiun;
b) Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf.
6) Kelompok Jabatan Fungsional.
b. Bagan Organisasi
Bagan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten sebagaimana termuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Klaten Nomor 23 Tahun 2008 sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
c. Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 23
Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten dalam Pasal 3 diterangkan
mengenai kedudukan Badan Kepegawaian Daerah adalah sebagai
KEPALA
Sub Bagian Keuangan
Sub Bagian Umum dan
Kepegawaian
Sub Bagian Perencanaan
Dan Pelaporan
SEKRETARIAT
Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf
Sub Bidang Penggajian, Kepangkatan,
Pemberhentian dan Pensiun
BIDANG MUTASI
Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan
Pegawai
BIDANG PENGEMBANGAN PEGAWAI
Sub Bidang Pembinaan Disiplin, Perundang-
Undangan & Kesejahteraan. Pegawai
Sub Bidang Adm. Umum, Dokumentasi dan Pengolahan Data
BIDANG UMUM
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL
Sumber Data : Bagan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten (Perda Kab. Klaten Nomor 23 Tahun 2008)
Gambar 4.1 BAGAN ORGANISASI
BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KAB. KLATEN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
unsur pendukung Bupati yang dipimpin oleh seorang kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui
Sekretaris Daerah.
Sedangkan untuk tugas pokok dan fungsi Badan
Kepegawaian Daerah diatur dalam Keputusan Bupati Klaten Nomor
54 Tahun 2008 Tanggal 28 Nopember 2008 tentang Rincian Tugas,
Fungsi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten.
Rincian Tugas Badan Kepegawaian Daerah yaitu :
1). Kepala Badan Kepegawaian Daerah.
Tugas Kepala Badan Kepegawaian Daerah adalah memimpin
Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di bidang
kepegawaian daerah, dan melaksanakan manajemen Pegawai
Negeri Sipil Daerah.
Sedangkan Rincian Tugas tersebut di atas antara lain sebagai
berikut :
a). Menyiapkan penyususnan peraturan perundang-undangan
daerah di bidang kepegawaian sesuai norma, standart dan
prosedur yang ditetapkan pemerintah;
b). Melakukan perencanaan dan pengembangan kepegawaian
daerah ;
c). Menyiapkan kebijakan teknis pengembangan kepegawaian
daerah ;
d). Menyiapkan dan melaksanakan pengangkatan, kenaikan
pangkat, pemindahan dan pemberhentian PegawaiNegeri
Sipil Daerah sesuai dengan norma dan standart serta
prosedur yang ditetapkan pemerintah ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
e). Menyiapkan dan melaksanakan administrasi kepegawaian
dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari
dan ke dalam Jabatan struktural serta fungsional sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku ;
f). Menyelenggarakan administrasi manajemen Pegawai Negeri
Sipil Daerah ;
g). Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai
bidang tugasnya.
2). Sekretaris Badan Kepegawain Daerah.
Tugas Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah adalah mengelola
urusan administrasi ketatausahaan yang meliputi urusan umum,
kepegawaian, keuangan, perencanaan, evaluasi, dan pelaporan.
a). Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan.
Tugas Sub Bagian ini adalah menyusun rencana program
kegiatan, pengumpulan dan pengolahan data, evaluasi dan
pelaporan kegiatan badan.
b). Sub Bagian Keuangan.
Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas sebagai Pejabat
Penatausahaan Keuangan (PPK) yang melaksanakan fungsi
pengelolaan keuangan Badan.
c). Sub Bagian Umum dan Kepegawaian.
Tugas Sub Bagian ini adalah melakukan urusan surat
menyurat, penggandaan, ekspedisi, kearsipan, rumah tangga,
pengadaan dan pemeliharaan perlengkapan kantor serta
melakukan pengelolaan administrasi kepegawaian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
3). Bidang Umum Kepegawaian.
Tugas Bidang Umum Badan Kepegawaian Daerah adalah
melaksanakan sebagian tugas badan di bidang umum
kepegawaian yang meliputi pengelolaan administrasi umum,
dokumentasi dan pengolahan data serta pembinaan disiplin,
perundang-undangan dan kesejahteraan pegawai.
a). Sub Bidang Administrasi Umum, Dokumentasi dan
Pengolahan Data. Bertugas melaksanakan sebagian tugas
bidang umum kepegawaian yang mengelola administrasi
umum, dokumentasi dan pengolahan data pegawai.
b). Sub Bidang Pembinaan Disiplin, Perundang-undangan dan
Kesejahteraan Pegawai. Mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas bidang umum kepegawaian yang mengelola
pembinaan disiplin pegawai, peraturan perundang-undangan
dan kesejahteraan pegawai.
4). Bidang Pengembangan Pegawai.
Bidang Pengembangan Pegawai mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas Badan di bidang pengembangan
pegawai yang meliputi pengadaan dan pengembangan pegawai
serta pendidikan dan pelatihan pegawai.
a). Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai.
Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai
mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas bidang
pengembangan pegawai yang menyelenggarakan urusan
pengadaan dan pengembangan pegawai.
Dalam pembahasan ini penulis akan sedikit menguraikan
rincian tugas sub bidang pengadaan dan pengembangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
pegawai yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti yaitu mengenai pengangkatan calon pegawai negeri
sipil di kabupaten Klaten, antara lain :
(1) menyelenggarakan administrasi kepegawaian tentang
pengangkatan calon pegawai baru;
(2) mengumpulkan, mengolah dan memelihara data
tentang pengangkatan calon pegawai baru;
(3) menyiapkan konsep ajuan tentang pengangkatan calon
pegawai baru, serta menyiapkan Surat Keputusan
tentang Pengangkatan calon pegawai baru;
(4) mengurus pengumpulan bahan untuk penyusunan
kebutuhan formasi dengan cara menghimpun data dari
unit kerja terkait;
(5) mengurus administrasi pelaksanaan pengadaan pegawai
negeri guna pengisian formasi sesuai kebutuhan yang
telah ditetapkan dalam formasi yang ada.
b). Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai.
Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai mempunyai
tugas melaksanakan sebagian tugas bidang pengembangan
pegawai yang menyelenggarakan urusan pendidikan dan
pelatihan pegawai.
5). Bidang Mutasi.
Bidang Mutasi mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas
badan yang menyelenggarakan urusan mutasi kepegawaian yang
meliputi penggajian, kepangkatan, pemberhentian, pensiun,
mutasi jabatan dan staf.
a). Sub Bidang Penggajian, Kepangkatan Pemberhentian dan
Pensiun. Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
bidang mutasi yang menyelenggarakan penyelesaian
administrasi penggajian, kepangkatan, pemberhentian dan
pensiun pegawai.
b). Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf.
Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas bidang mutasi yang
menyelenggarakan urusan mutasi jabatan dan staf.
d. Keadaan Pegawai
Jumlah Pegawai Negeri Sipil pada Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Klaten per 1 Juni 2010 adalah 53 (lima puluh
tiga) orang. Jumlah tersebut dapat dibedakan berdasarkan golongan
ruang, jenis kelamin dan pendidikan.
Sedangkan Pegawai Negeri Sipil yang sedang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada saat penulis
mengadakan survei ada 4 orang untuk jenjang Strata-1 (S-1) dan 3
orang untuk jenjang Strata-2 (S-2) serta 1 orang tugas belajar
Strata-2 (TB, S-2).
Mengenai rekapitulasi pejabat struktural yang ada pada
Badan Kepegawaian Daerah berjumlah 14 pejabat yang terdiri dari
Kepala 1 (satu) orang eselon II, Sekretaris Badan 1 (satu) orang
eselon III.a, 3 (tiga) orang Kepala Bidang eselon III.b, dan 9
(sembilan) orang Kasubag dan Kasubid eselon IV.
Mengenai jabatan fungsional yang merupakan bagian dari
susunan organisasi Badan Kepegawaian Daerah sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
penelitian ini dilakukan belum terealisasi karena formasinya belum
ditetapkan.
4. Kondisi Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten
Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah sebagian pekerjaan atau tugas pemerintahan
dilakukan oleh tenaga honorer, mereka terdiri dari Guru, Tenaga Medis,
Tenaga Teknis lain termasuk Penyuluh Pertanian serta tenaga-tenaga
administratif. Masa pengabdian mereka sangat bervariaasi antara 1
tahun sampai dengan 20 tahun bahkan lebih dari 20 tahun, usia mereka
juga bervariasi rata-rata antara 25 tahun sampai dengan 45 tahun,
namum ada yang kurang dari 25 tahun ada juga yang lebih dari 45
tahun.
Tenaga honorer sendiri ada bermacam-macam istilahnya dalam
praktek pelaksanaan pemerintahan khususnya di Kabupaten Klaten,
antara lain : tenaga harian lepas, tenaga borongan, guru bantu, wiyata
bakti, guru tidak tetap, pegawai tidak tetap dan lain-lain. Pada dasarnya
tenaga honorer ada 2 (dua) macam/jenisnya, yaitu (1) tenaga honorer
yang sumber gajinya dari APBN/APBD dan (2) tenaga honorer yang
sumber gajinya dari pembiayaan lainnya atau non APBN/APBD. Untuk
lebih jelasnya akan diuraikan secara detail sebagai berikut :
1) Tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBN:
a) PTT atau Pegawai tidak tetap untuk formasi dokter dan bidan
yang Surat Keputusan pengankatannya oleh Menteri Kesehatan
dan sumber gajinya dari APBN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
b) Guru Bantu yaitu tenaga honorer untuk formasi guru yang Surat
Keputusan pengangkatannya oleh MenteriPendidikan Nasional
dan sumber gajinya dari APBN
c) Penyuluh pertanian, diangkat oleh Menteri Pertanian dan
sumber gajinya juga dari APBN
Untuk ketiga jenis tenaga honorer di atas masa kontraknya adalah 3
(tiga) tahun dan setelah tiga tahun dapat memperpanjang
kontraknya.
2) Tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBD :
Tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBD disebut dengan
Tenaga Kontrak, yaitu tenaga honorer yang Surat Keputusan
pengangkatannya dikeluarkan oleh Kepala Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota) dengan masa kontra k 1 (satu) tahun
dan setiap akhir tahun harus memperpanjang kontraknya, namun
bisa juga diberhentikan setelah kontraknya habis atau tidak
diperpanjang lagi kontraknya sesuai kebutuhan daerah.
3) Tenaga honorer yang sumber gajinya dari pembiayaan lainnya atau
non APBN/APBD, yaitu tenaga honorer yang Surat Keputusan
Pengangkatannya dikeluarkan oleh Kepala Instansi/Unit Kerja
(Kepala Sekolah, Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor,
Camat dan lain-lain) dan sumber gajinya dari masing-masing
instansi/unit kerja yang mengangkatnya sesuai kemampuan masing-
masing.
Contoh : WB (Wiyata Bakti) dan GTT (Guru Tidak Tetap) diangkat
oleh Kepala Sekolah untuk membantu mengajar sesuai kebutuhan
sekolah yang bersangkutan. Ada lagi PTT (Pegawai Tidak Tetap)
adalah tenaga kontrak non guru selain dokter dan bidan. Yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
tenaga teknis atau administratif di instansi/unit kerja yang
mengangkatnya.
Jumlah tenaga honorer yang ada di Kabupaten Klaten
seluruhnya ada 3.311 orang, terdiri dari tenaga honorer dengan sumber
penghasilan/penggajian dari APBN/APBD sejumlah 2.070 orang dan
tenaga honorer dengan sumber penghasilan/penggajian dari non
APBN/APBD atau pembiayaan lainnya sejumlah 1.241 orang.
Selama masa pengabdiannya mereka tidak memiliki kejelasan
masa depan karir serta kesejahteraan dan hak-hak lainnya. Mengingat
jumlah tenaga honorer di Indonesia berdasar hasil pendataan cukup
besar, maka penyelesaiannya akan dilakukan secara bertahap mulai
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Untuk tahap awal, penanganan
tenaga honorer diprioritaskan bagi mereka yang pembayaran gajinya
dibiayai dari APBN/APBD. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah
strategis untuk diselesaikan, sebelum terakumulasi menjadi masalah
nasional yang akan menganggu penyelenggaraan pemerintahan secara
keseluruhan.
Dengan mengangkat mereka sebagai PNS diharapkan akan
meningkatkan dedikasi, loyalitas dan prestasi kerja yang bersangkutan.
Diharapkan dalam penanganan masalah tenaga honorer, hendaknya
tidak perlu mencari siapa yang salah dalam hal ini, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana mencari solusi terbaik dengan tetap
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
bermanfaat bagi semua pihak. Selain itu pula dengan mengangkat
tenaga honer yang ada maka ke depan tidak akan ada lagi pengangkatan
tenaga honorer.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
B. Pembahasan
1. Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Di
Kabupaten Klaten
Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil pada prinsipnya
dilakukan secara selektif baik jenis pekerjaan/jabatan yang akan diisi,
kualifikasi pendidikan dan kompetensi sesuai dengan tugas/jabatan
yang diduduki.
Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil pada awalnya di dasarkan pada filosofi keinginan pemerintah
merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer
sebagai apresiasi terhadap masa kerja dan pengabdian mereka terhadap
pemerintah. Dan sebagai perwujudan apresiasi tersebut dikeluarkanlah
kebijakan Pemerintah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun
2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007. Untuk keperluan
pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tersebut pemerintah
melakukan pendataan tenaga honorer. Berdasarkan surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
B/2524/M.PAN/11/2005 tanggal 16 Nopember 2005 serta Peraturan
Kepala BKN Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Kegiatan pendataan tersebut
dimaksudkan agar terbangun suatu database tenaga honorer yang
nantinya akan diumumkan secara transparan kepada publik dalam
tenggang waktu yang cukup memadai, denga memperhatikan prinsip
obyektivitas dan dijamin akuntabilitasnya sebagai dasar pengangkatan
sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Secara umum implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil, pada dasarnya melalui dua tahapan
kegiatan yaitu tahapan sosialiasi dan tahap pelaksanaan.
a. Tahap Sosialisasi
Sosialisasi atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil tidak bisa lepas dari Pedoman Pendataan dan
Pengolahan Tenaga Honorer (Peraturan Kepala BKN nomor 21
Tahun 2005) serta Pedoman Pelaksanaan Pengadaan CPNS Tahun
2005 (Peraturan Ka BKN Nomor 30 Tahun 2007)
Sosialisasi dilakukan secara berjenjang dari tingkat Pusat,
Provinsi, dan Kabupaten/Kota masing-masing. Seperti dikemukakan
oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Drs. Purwanto Anggono
Cipto, M.Si sebagai berikut :66
”Sosialisasi tentang Peraturan Pemerintah ini dilakukan secara berjenjang, dimulai dari tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Bahkan sebelum peraturan tersebut dikeluarkan secara resmi sudah disosialisasikan kepada jajaran Gubernur, Bupati/Walikota dari jajaran Badan Kepegawaian Negara secara nasional. Waktu itu dari Kabupaten Klaten yang hadir Kepala Badan Kepegawaian Daerah bersama Sekretaris Daerah Kabupaten Klaten pada Rapat Kerja Kepegawaian Nasional pada tanggal 10-11 Agustus 2005 di Jakarta. Walaupun belum secara detail dijelaskan tetapi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mensosialisasikan akan terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut”.
66 Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara,
21April 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan calon pegawai
negeri sipil di Kabupaten Klaten, diawali dengan kegiatan
pendataan, sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
yang telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2007 serta pelaksanaannya terlihat adanya interaksi antara lembaga
perumus dengan lembaga atau instansi terkait. Interaksi dapat
berupa koordinasi (rapat koordinasi), perintah/petunjuk (surat
edaran, petunjuk teknis). Kepala BKD Kabupaten Klaten lebih
lanjut mengungkapkan :67
”Koordinasi dilakukan antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Badan Kepegawaian Negara dengan instansi pelaksana di daerah yaitu Badan Kepegawaian Daerah Provinsi serta kabupaten/kota. BKD Kabupaten Klaten selalu berkoordinasi dengan instansi terkait mulai dari kegiatan pendataan, pelamaran, seleksi dan penyerahan Surat Keputusan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan pembinaan tenaga honorer ada pada masing-masing instansi sebagai contoh : tenaga guru di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, tenaga teknis dan administratif lain tersebar pada dinas, kantor dan satuan kerja di wilayah Kabupaten Klaten”.
Mendukung pernyataan Kepala Badan Kepegawaian
Daerah, Sekretaris BKD Drs. Triyanto, MM menyatakan :68
”Untuk menangani, mengolah dan menyelesaikan permasalahan tenaga honorer kita tidak bisa meninggalkan koordinasi dengan instansi lain, terkait dengan pembinaan dan tugas pokok tenaga honorer berada di instansi/satker di lingkup Kabupaten Klaten”
Interaksi perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan
serta instansi terkait dilakukan baik secara vertikal maupun
horisontal.
67 Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara,
21 April 2010 68 Triyanto, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah, Wawancara, 22 April 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Kepala Bidang Pengembangan Pegawai, Dody Hermanu,
SH, menyatakan :69
”Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Sekretaris Daerah berangkat pada acara Rapat Kerja Kepegawaian Nasional di Jakarta tanggal 10-11 Agustus 2005 yang mensosialisasikan bahwa akan diterbitkan Peraturan Pemerintah untuk pengangkatan tenaga honorer melalui seleksi khusus. Sedang sosialisasi di tingkat provinsi diselenggarakan di Hotel Lor Inn Solo pada tanggal 1 Desember 2005, di tingkat Kabupaten Klaten dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 2005 di Pendopo Pemerintah Kabupaten Klaten.”
Senada dengan pernyataan Kepala Bidang Pengembangan
Pegawai, Tamtama, S.Sos, seorang staf sub bidang Pengembangan
Pegawai menyatakan :70
”Sosialisasi Peraturan Pemerintah di tingkat provinsi dilaksanakan di Solo tanggal 1 – 3 Desember 2005, saya ikut hadir dalam acara tersebut, selanjutnya di tingkat kabupaten pada tanggal 10 Desember 2005 dengan mengundang dinas instansi di lingkungan pemerintah Kabupaten Klaten. Selain sosialisasi juga diperintahkan kepada para Kepala Unit Kerja untuk menginformasikan kepada tenaga honorer di unit kerjanya untuk segera mengumpulkan data-data dan bukti pendukung yang diperlukan sesuai ketentuan untuk pendataan tenaga honorer di Kabupaten Klaten, paling lambat tanggal 10 Januari 2006.”
Dari hasil wawancara lanjutan ketiga nara sumber tersebut
menyatakan pada saat sosialisasi di tingkat Provinsi pada tanggal 1-
3 Desember 2005 ditemui kendala adanya kesalahan persepsi
khususnya dalam mengartikan pengertian tenaga honorer yang akan
didata. Seharusnya tenaga honorer yang didata hanya yang
penghasilannya diperoleh dari APBN dan APBD dan tercantum
dalam klausul kontrak tenaga honorer yang bersangkutan. Namun
69 Dody Hermanu, Kepala Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Klaten, Wawancara, 27 April 2010 70 Tamtama, Staf Sub Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten, Wawancara, 21 April 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
hasil sosialisasi itu menjadi bias karena pengertian tenaga honorer
dikaitkan dengan pasal 6 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2007 yang
menyatakan :
”Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan
penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, baru dapat
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga
honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional
telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun
Anggaran 2009”
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang
kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan yang dilakukan
oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah akhirnya menimbulkan
permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon
Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali
pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang menimbulkan
keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi
korban revisi/ralat pengumuman. Hal ini terjadi karena kesalahan
dalam pengolahan data di tingkat propinsi, yang dilakukan pihak
ketiga (yang ditunjuk oleh panitia dari propinsi Jawa Tengah), yang
mencampur data base A dan data base B sehingga 116 orang yang
masuk data base B muncul dalam pengumuman. Seharusnya data
base B tidak ikut diolah, dan hanya data base A saja yang diolah.
Dari uraian tadi nampak bahwa sosialisasi telah dilakukan
secara berjenjang dan dilakukan melalui pertemuan resmi, namun
masih terdapat hambatan/permasalahan yaitu belum adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
kesatuan persepsi dalam mengartikan tenaga honorer yang akan
didata, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Dan ternyata provinsi
lainnya tidak mendata tenaga honorer yang bekerja pada instansi
pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh APBN dan
APBD.
b. Tahap Pelaksanaan
Sebagai dasar pengangkatan tenaga honorer sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2007, dilakukan pendataan tenaga honorer dengan pedoman
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara nomor 21 Tahun
2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer
Tahun 2005.
Kegiatan pendataan tenaga honorer di Kabupaten Klaten
dilaksanakan sesuai jadwal waktu sebagai berikut :
Tabel 4.1
Jadwal Pendataan Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten
No KEGIATAN JADWAL KETERANGAN
1 Sosialisasi Pendataan Tenaga Honorer di masing-masing instansi/daerah
12 Des 2005 Prop/Kab/Kota
2 Pengisian Isian Formulir oleh tenaga honorer
13 – 16 Des 2005
3 Pengecekan Isian Formulir Pendataan Tenaga Honorer oleh Pejabat Pengelola Kepegawaian masing-
15 – 17 Des 2005
Pengelola Kepegawaian Instansi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
masing instansi
4 Pengiriman Formulir ke BKD/Bag. Kepegawaian masing-masing daerah
17 Des 2005 Pengelola Kepegawaian Instansi
5 Pengolahan Formulir (Batching, Editing, Coding, Entry Data, Penyimpanan) oleh masing-masing daerah
19 – 26 Des 2005
BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
6 Penyampaian/Penandatanganan Print Out Hasil Pengolahan ke Bupati/Walikota
27 – 28 Des 2005
BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
7 Penyampaian ke BKD Prop.
• Listing Print Out setelah ditandatangani Bupati/Walikota beserta CD masing-masing tiga rangkap.
• Formulir Pendataan disertai berkas fisik per tenaga honorer masing-masing satu rangkap.
29 Des 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
8 Penandatanganan Listing Print Out ke Gubernur
30 – 31 Des 2005
BKD Prop
9 Penyampaian kembali Listing Print Out ke Kab/Kota masing-masing
2 Jan 2005 BKD Prop
10 Pengumuman ke masyarakat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing (pengumuman tempel/surat edaran di seluruh Instansi)
4 Jan 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
11 Masa Uji Publik 4 – 7 Jan 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
12 Up Dating/Revisi berdasarkan hasil uji publik oleh Kab/Kota/Prop. Masing-masing
4 – 7 Jan 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
13 Penandatanganan Listing Print Out akhir ke Bupati/Walikota masing-masing
8 – 9 Jan 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
14 Penyampaian kembali Print Out, CD dan Formulir pendataan disertai berkas fisik masing-masing ke BKD Prop.
9 Jan 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
15 Penandatanganan Listing Print Out akhir ke Gubernur
11 – 12 Jan 2005
BKD Prop
16 Pengiriman Listing Print Out akhir dan CD ke Pusat.
13 Jan 2005 BKD Prop
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
Dari hasil kegiatan pendataan tenaga honorer tersebut dihasilkan
data sebagai berikut :
Tabel 4.2
Data Jumlah Tenaga Honorer dengan sumber Penghasilan dari
APBN/APBD
Jumlah tenaga honorer seluruhnya 2070 org
Jumlah tenaga honorer yang memenuhi PP Nomor 43 Tahun 2007
1407 org
Tenaga Pendidik 528 org
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
1. Guru TK/RA/BA 2. Guru SD/MI 3. Guru SMP/MtS 4. Guru SMU/MA
5. Guru SMK
11 orang 245 orang 107 orang 56 orang 109 orang
Tenaga Kesehatan 170 org
1. Dokter Umum/Spesialis 2. Bidan
11 orang 159 orang
Tenaga Teknis Lainnya 516 org
Tenaga Adminstrasi Lainnya 193 org
Jumlah tenaga honorer yang tidak
memenuhi PP Nomor 43 Tahun 2007
663 org
Tenaga Pendidik 570 org
1. Guru TK/RA/BA 2. Guru SD/MI 3. Guru SMP/MtS 4. Guru SMU/MA 5. Guru SMK
285 orang 75 orang 56 orang 34 orang 120 orang
Tenaga Kesehatan 2 orang
Bidan 2 orang
Tenaga Teknis Lainnya 73 orang
Tenaga Adminstrasi Lainnya 18 orang
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Tabel 4.3
Data Jumlah Tenaga Honorer dengan sumber Penghasilan dari
Pembiayaan Lainnya
Jumlah tenaga honorer seluruhnya 1241 orang
Jumlah tenaga honorer yang usia dan masa
kerjanya sesuai PP Nomor 43 Tahun 2007
1136 orang
Tenaga Pendidik 505 orang
1. Guru SD/MI 2. Guru SMP/MtS 3. Guru SMU/MA 4. Guru SMK
246 orang 180 orang 59 orang 20 orang
Tenaga Teknis Lainnya 86 orang
Tenaga Adminstrasi Lainnya 545 orang
Jumlah tenaga honorer yang usia dan masa
kerjanya tidak sesuai PP Nomor 48 Tahun 2005
105 orang
Tenaga Pendidik 59 orang
1. Guru TK/RA/BA 2. Guru SD/MI 3. Guru SMP/MtS 4. Guru SMU/MA 5. Guru SMK
2 orang 33 orang 16 orang 7 orang 1 orang
Tenaga Teknis Lainnya 5 orang
Tenaga Adminstrasi Lainnya 41 orang
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Pemerintah Kabupaten Klaten mulai tahun 2005 sampai dengan
tahun 2007 telah mengangkat Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil dan Pegawai Negeri Sipil dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 4.4
Data Pengadaan PNS Kabupaten Klaten Formasi Tahun 2000 – 2007
No Formasi
Tahun
Jumlah Guru Kesehatan Teknis Jumlah
Pelamar/Ket
1 2005 360 223 34 103 Tenaga
Honorer
2 2006 709 378 59 272 Tenaga
Honorer
3 2007 772 488 76 208 Tenaga
Honorer
4 2008 492 230 66 196 22.367/umum &
honorer
5 2009 505 162 76 267 14.355/umum &
honorer
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
Tahun 2009 Kabupaten Klaten mendapat alokasi CPNS sebesar
505 orang yang terdiri dari 70 untuk tenaga honorer, 418 dari pelamar
umum dan 17 sekretaris desa.
Proses pemberkasan untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi
calon pegawai negeri sipil tahun 2009 dilakukan pada tanggal 26 Oktober
s/d 13 Nopember 2009 yang bertempat di Ruang Rapat B-2 Setda.
Kabupaten Klaten. Dari 70 Nominatif Tenaga Honorer semua melakukan
proses pemberkasan namun yang dapat ditetapkan NIP-nya sebanyak 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
orang yang terdiri dari formasi tenaga teknis dan administrasi. Satu orang
yang tidak melakukan proses pemberkasan dikarenakan umurnya kurang 3
(tiga) bulan dari batasan umur yang seharusnya sesuai Peraturan
Pemerintah yaitu 19 tahun, jadi usianya tidak memenuhi peryaratan
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2007.
Seperti dijelaskan dalam kerangka pemikiran di atas, bahwa untuk
menjawab efektifitas pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai
negeri sipil berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007,
khususnya di Kabupaten Klaten digunakan rujukan teori dari Soerjono
Soekanto mengenai lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum,
yaitu : faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau
fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.
Dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007
sebagai produk hukum, bekerjanya juga tidak terlepas dari kelima faktor
tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan melalui pembahasan sebagai
berikut :
a) Faktor Hukumnya Sendiri
Untuk menilai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43
tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil secara yuridis, berdasarkan Stufent theory dari
Hans Kelsen71, bahwa sistem hukum pada hakikatnya merupakan
sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat
tertinggi. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya,
semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya, dan
semakin rendah peringkatnya, semakin nyata operasional sifat norma
yang dikandungnya. Hukum yang lebih rendah harus berdasar,
71 Budiman N.P.D Sinaga, 2004 hal. 18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi (lex superior derogate lex inferior), sifat bertentangan dari
hukum yang lebih rendah akan berakibat batal demi hukum. Stufen
theory ini juga menjiwai sistem hukum di Indonesia sebagaimana
Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat (1) sebagai berikut :
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut:
(a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c). Peraturan Pemerintah; (d). Peraturan Presiden; (e). Peraturan Daerah.
Peraturan Pemerintah berada pada posisi nomor 3 (tiga) dalam
tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga
semakin nyata operasional sifat norma yang dikandungnya.
Isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil,
utamanya dalam pengertian tentang tenaga honorer kurang jelas
sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda atau bias baik bagi
pelaksana maupun para tenaga honorer. Sehingga para tenaga honorer
berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran masing-masing,
dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS, ketentuan akan adanya
syarat usia dan masa kerja pada PP Nomor 43 Tahun 2007,
menimbulkan permasalahan yaitu adanya gejolak dari para honorer
yang merasa dirinya masuk kelompok tidak memenuhi syarat untuk
diangkat menjadi CPNS.
Rumusan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007
tentang definisi tenaga honorer : ”Tenaga honorer adalah seorang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam
pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi
pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.” serta pasal 3 ayat (2) : ”Pengangkatan tenaga honorer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada usia dan masa
kerja sebagai berikut :
(a).Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam)
tahun dan mempunyai masa kerja 19 (sembilan belas) tahun.
(b).Tenaga honorer harus mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu)
tahun secara terus menerus.”
Rumusan tersebut menimbulkan beban masalah, karena kondisi
tenaga honorer daerah sangat bervariatif, di antaranya :
1). Legalitas pejabat yang mengangkat tenaga honorer bervariasi
2) Pendanaan penggajian tidak hanya dari APBN/APBD tapi juga dari
pendapatannya lainnya.
3) Tempat kerja tidak di instansi pemerintah tetapi diangkat oleh
pejabat yang berwenang gaji dari APBN/APBD.
4) Banyak tenaga honorer yang tidak memenuhi ketentuan pasal 3
ayat (2) mengenai usia dan masa kerja.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten
mengungkapkan :72
” Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 rumusannya belum bisa sepenuhnya menyelesaikan permasalahan karena adanya pembatasan usia dan masa kerja, asal penghasilannya dan legalitas pejabat yang mengangkat, padahal kondisi tenaga honorer sangat bervariatif.”
72 Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara,
21 April 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Senada dengan ungkapan Kepala Badan Kepegawaian Daerah,
Tenaga honorer (Maryono)73 menyatakan bahwa :
”Rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 belum dapat menyelesaikan permasalahan pengangkatan tenaga honorer, karena tenaga honorer jenisnya bermacam-macam dan belum bisa terangkum dalam rumusan definisi tenaga honorer, belum lagi jenis pengabdian tidak hanya di negeri saja, contoh guru bantu yang memiliki SK dari Mendiknas tapi bekerja di swasta. Adapula yang usia lebih tua dan pengabdian yang lama tapi tidak memenuhi syarat untuk diangkat.”
Harapan pemerintah dengan menetapkan kebijakan untuk
mengangkat tenaga honorer diprioritaskan bagi mereka yang
pembayaran penghasilannya dibiayai dari APBN/APBD. Penyelesaian
pengangkatannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai
dengan tahun 2009, rumusan kebijakan sebagaimana diatur dalam pasal
1 dan pasal 3 ayat (2) nampaknya belum bisa mengakomodir seluruh
tenaga honorer yang ada. Hal ini mengakibatkan kondisi :
1). Masih ditemui tenaga honorer yang penghasilannya dari
APBN/APBD terancam tidak bisa diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil karena terkendala rumusan pasal 3 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang mengatur batasan usia dan
masa kerja. Jumlah mereka menurut hasil pendataan tenaga honorer
di Kabupaten Klaten sebanyak 663 orang. Padahal seiring dengan
filosofi pemerintah mereka yang penghasilannya dari APBN/APBD
menjadi prioritas penyelesaian pengangkatan menjadi Calon
Pegawai Negeri.
2). Terdapat tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah namun
penghasilannya dari pendapatan lainnya (Non APBN/APBD) yang
terkendala dengan rumusan pasal 1 dan 3 ayat (2) Peraturan
73 Maryono, Tenaga honorer, Wawancara, 5 Mei 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, jumlah mereka sebanyak 1241
orang yang diperoleh dari hasil pendataan tenaga honorer di
Kabupaten Klaten.
Menurut Kepala Sub Bidang Pengembangan Pegawai Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten :74
”Antara keinginan pemerintah dan rumusan kebijakan yang formal pada pengangkatan tenaga honorer ternyata tidak cocok, sehingga pada kenyatannya tidak bisa mengakomodir semua tenaga honorer, sehingga membuat mereka yang terkendala dengan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 menjadi kecewa”
Kepala Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Klaten menyatakan hal yang senada :75
”Sasaran kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 cenderung agak rumit proses penyelesaiannya karena harus ada pendataan terlebih dahulu. Dengan adanya rumusan yang membatasi sumber penghasilan, usia dan masa kerja selain menimbulkan masalah kekecewaan dari tenaga honorer non APBN/APBD dan guru/karyawan sekolah swasta. Kami di daerah hanya melaksanakan ketentuan yang ada saja.”
Di sisi lain tenaga honorer yang terkendala Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2007 seperti Anik Hidayati dan Haryanto (Honorer
non APBN/APBD) mengungkapkan pendapatnya :76
”Bahwa rumusan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 ternyata menghapus harapan kami yang tadinya kami kami berharap dapat diangkat menjadi CPNS, namun adanya batasan persyaratan penghasilan, pengabdian, usia dan masa kerja membuat kami kecewa. Ternyata aturan tidak sesuai dengan pernyataan pemerintah melalui media massa.”
74 Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara,
21 April 2010 75 Dody Hermanu, Kepala Bidang Pengembangan Pegawai dan Triyanto, Sekretaris Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 27 April 2010 76 Anik Hidayati dan Haryanto, Tenaga honorer, Wawancara, 5 Mei 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Memaknai uraian dan pernyataan tadi nampak rumusan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 belum bisa
mengakomodir seluruh sasaran/target yang dikehendaki, akibat
terkendala dengan persyaratan sumber penghasilan, pengabdian, usia
dan masa kerja.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten
mengemukakan :77
”Pada awal penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 43Tahun 2007, banyak protes yang ditujukan kepada jajaran Badan Kepegewaian, protes tersebut dilontarkan terutama berasal dari kelompok yang terkendala aturan PP tersebut, baik dari kelompok TMS, PGT2NK, FKGS dan juga dari kelompok korban revisi pengumuman CPNS. Yang terkendala PP tersebut minta PP dirubah/direvisi agar mereka bisa terakomodir untuk diangkat menjadi CPNS”
Tenaga honorer yang sudah terangkat menjadi CPNS (Wakchid
Hasyim) menyatakan keprihatinannya juga :78
”Walaupun saya sudah terangkat namun saya juga minta agar ada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sehingga teman-teman saya dari guru bantu yang tidak memenuhi syarat bisa terangkat menjadi CPNS, mereka juga tenaga honorer APBN yang menjadi prioritas pengangkatan.”
Senada dengan pernyataan tersebut Sekretaris FTHSNI (Nurul
Hidayati) memberikan tanggapan :79
”Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sangat diskriminatif karena yang mengabdi di instansi negeri tidak hanya memiliki penghasilan/honor dari APBN/APBD, kami juga mengabdi di instansi negeri dan juga mendapat insentif dari APBD sehingga kami juga berhak dan menuntut untuk diangkat menjadi CPNS, Peraturan Pemerintah Nomor 43Tahun 2007 perlu dirubah atau direvisi”
77 Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara,
21 April 2010 78 Wakchid Hasyim, Tenaga honorer yang sudah terangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil,
Wawancara, 7 Mei 2010 79 Nurul Hidayati, Sekretaris Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia, Wawancara, 7
Mei 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Sedang Ketua Forum Guru dan Karyawan Swasta Kabupaten
Klaten (Suwarto), menambahkan :80
”Guru dan karyawan swasta merasa dianaktirikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, karena kami juga merasa ikut mendukung di dunia pendidikan untuk turut serta mencerdaskan anak-anak bangsa, oleh karena itu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 agar direvisi sehingga kami juga bisa terakomodir dan bisa diangkat menjadi CPNS”
Rumusan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007
tentang definisi tenaga honorer : Tenaga honorer adalah seorang yang
diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam
pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi
pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Seharusnya dari pengertian tersebut tenaga honorer yang didata
hanya yang penghasilannya diperoleh dari APBN dan APBD dan
tercantum dalam klausul kontrak tenaga honorer yang bersangkutan.
Namun hasil sosialisasi itu menjadi bias karena pengertian tenaga
honorer tadi dikaitkan dengan pasal 6 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun
2007 yang menyatakan :
”Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan
penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, baru dapat diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga honorer
yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional telah diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun Anggaran 2009”
80 Suwarto, Ketua Forum Guru dan Karyawan Swasta Kabupaten Klaten, Wawancara, 17 Mei
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang
kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan akhirnya
menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman
Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali
pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang menimbulkan
keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban
revisi/ralat pengumuman. Hal ini menyebabkan pelaksanaan
pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil
(CPNS) di Kabupaten Klaten berdasar PP Nomor 43 Tahun 2007
menjadi tidak efektif.
b) Faktor Penegak Hukum
Yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum. Penegak hukum diibaratkan sebagai mesin yang
menggerakkan suatu peraturan hukum, maka efektifnya hukum akan
sangat ditentukan oleh struktur pelaksana hukum tersebut. Penegak
Hukum mencakup mereka yang secara langsung berkecimpung dalam
penegakan hukum. Di dalam tulisan ini yang dimaksud dengan penegak
hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung
berkecimpung dalam pelaksanaan/implementasi PP nomor 43 tahun
2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, khususnya di Kabupaten Klaten, yaitu jajaran birokrasi di
Pemerintah Kabupaten Klaten yang tugas pokok dan fungsi
pelaksanaannya ada pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten
Klaten.
Dalam pelaksanaan PP nomor 43 tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
digunakan model kebijakan top down. Model kebijakan yang
diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan pengadaan Calon
Pegawai Negeri Sipil ini antara lembaga perumus kebijakan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
pelaksana kebijakan serta instansi terkait diperlukan interaksi. Perumus
kebijakan adalah lembaga pemerintah/birokrasi pada tataran yang lebih
tinggi daripada lembaga pelaksana kebijakan. Koordinasi secara
berjenjang tentu harus dilakukan agar kebijakan dapat berjalan efektif.
Dari hasil wawancara, baik Kepala BKD, Sekretaris BKD,
Kabid Pengembangan Pegawai, Kasubid Pengembangan Pegawai,
mengungkapkan hal yang senada : bahwa kebijakan berupa Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dan aturan penjelas/pendukung
seperti Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 tahun
2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer
tahun 2005 serta Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor
30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon
Pegawai Negeri Sipil Tahun 2008 dibuat oleh lembaga yang
mempunyai kewenangan dalam masalah kebijakan pengadaan pegawai.
Dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 19 Tahun
2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Kepegawaian Negara disebutkan pada pasal 1 dan 2 bahwa
Badan Kepegawaian Negara (BKN) adalah Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden. BKN mempunyai tugas melaksanakan tugas
permerintahan di bidang manajemen kepegawaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana kebijakan yaitu
pemerintah, kerjasama pemerintah dan swasta atau kebijakan yang
diswastakan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 jelas
disebutkan dalam pasal 13 :
”Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut
oleh Badan Kepegawaian Negara”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara diterbitkan ketentuan
pelaksanannnya yaitu Peraturan Nomor 21 dan 22 Tahun 2005. Dalam
ketentuan pelaksanaan tersebut diatur bahwa mulai dari kegiatan
pendataan sampai dengan pengadaan dilaksanakan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian tingkat pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dibentuk Tim Pengadaan Pegawai Negeri Sipil di tingkat pusat,
provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten Klaten Tim Pengadaan
Pegawai Negeri Sipil ditetapkan oleh Bupati Klaten selaku Pejabat
Pembina Kepegawaian Kabupaten Klaten dengan Keputusan Bupati
Klaten nomor : 811/172/10 tanggal 9 Oktober 2009 tentang Tim
Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten Klaten
Formasi Tahun 2009.
Karena karakter kebijakan adalah masalah kebijakan pengadaan
pegawai negeri sipil, maka sudah tepat apabila pelaksana kebijakan
adalah pemerintah. Kerjasama dengan pihak ketiga diperlukan dalam
hal yang bersifat teknis saja, seperti penggandaan soal ataupun
scanning hasil Lembar Jawab Komputer (LJK).
Dalam implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun
2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, yang dikategorikan penegak hukum adalah para pelaksana
kegiatan dari tingkat pusat, propinsi dan sampai ke daerah yaitu
kabupaten/kota. Dan permasalahan implementasi bermula dari
pelaksana di tingkat Propinsi yaitu Panitia dari Badan Kepegawaian
Daerah Propinsi Jawa Tengah yang salah dalam mengartikan isi dari
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007, sehingga untuk provinsi
Jawa Tengah tenaga honorer yang tidak dibiayai dari APBN dan APBD
juga didata seluruhnya, dan pada proses pendataannya dibedakan
penyebutannya dengan istilah Data Base A dan Data Base B. Dengan
pengertian Data Base A adalah data dari tenaga honorer yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
penggajiannya dibiayai dari APBN atau APBD, sedangkan data base B
adalah data dari tenaga honorer yang penggajiannya tidak dibiayai dari
APBN atau APBD.
Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang
kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan yang dilakukan
oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah akhirnya menimbulkan
permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon
Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali
pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang menimbulkan
keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban
revisi/ralat pengumuman. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam
pengolahan data di tingkat propinsi, yang dilakukan pihak ketiga (yang
ditunjuk oleh panitia dari propinsi Jawa Tengah), yang mencampur data
base A dan data base B sehingga 116 orang yang masuk data base B
muncul dalam pengumuman. Seharusnya data base B tidak ikut diolah,
dan hanya data base A saja yang diolah.
Kesalahan penafsiran peraturan, kesalahan pengumuman
kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di
lingkungan penegak hukum selaku pelaku kegiatan pengadaan Calon
Pegawai Negeri Sipil kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal
Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer menjadi CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan
publik.
c) Faktor Sarana atau Fasilitas
Dalam upaya penegakan hukum pastilah diperlukan sarana dan
fasilitas untuk mendukung kelancaran dari proses penegakan hukum
tersebut. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak
mungkin penegakan hukum akan dapat berlangsung dengan lancar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Sarana atau fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup dan lain-lain. Kalau hal-hal itu tidak
terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi CPNS juga memerlukan sarana dan fasilitas
seperti tersebut di atas. Agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar
diperlukan tenaga dalam hal ini di lingkungan birokrasi terkait yang
terampil dan memahami isi dan maksud dari PP tersebut, organisasi
yang baik seperti BKN dan BKD baik provinsi maupun
Kabupaten/Kota, peralatan yang memadai yang mendukung
terselenggaranya pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai
negeri sipil dimaksud. Dan yang paling penting adalah adanya dana
atau anggaran untuk pelaksanaan / implementasi PP Nomor 43 Tahun
2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS ini.
d) Faktor Masyarakat
Hukum merupakan bagian dari masyarakat yang timbul dan
berproses di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karenanya
masyarakatlah yang dapat menentukan luas daya cakup hukum maupun
batas kegunaannya. Yang dimaksud masyarakat yang terkait dengan
implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
adalah tenaga honorer itu sendiri.
e) Faktor Kebudayaan
Dalam upaya mengefektifkan hukum, harus dipahami kekuatan-
kekuatan sosial yang melingkupinya. Penegakan hukum terhadap
masyarakat bertujuan untuk mencapai kedamaian dan ketentraman di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
dalam masyarakat, oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka
budaya yang ada di dalam masyarakat dapat mempengaruhi penegakan
hukum. Kepatuhan dan daya tanggap masyarakat dalam hal ini tenaga
honorer sebagai subyek, sasaran/target kebijakan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2007sangat dipengaruhi oleh manfaat kebijakan yang
diterima oleh tenaga honorer.
1). Bagi tenaga honorer yang memperoleh manfaat dari rumusan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yaitu mereka yang
memenuhi syarat baik dari segi pengabdian, penghasilan, usia dan
masa kerja tentu saja akan menerima pelaksanaan kebijakan
tersebut.
2) Bagi tenaga honorer yang tidak memperoleh manfaat terhadap
pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007karena
terkendala persyaratan pengabdian, penghasilan, usia dan masa
kerja, tentu saja akan menolak dan melakukan protes agar PP
tersebut diubah atau direvisi sehingga mereka bisa memperoleh
manfaat yaitu bisa terangkat menjadi CPNS.
Disinilah terlihat adanya budaya penolakan dari masyarakat
dalam hal ini tenaga honorer terhadap peraturan yang tidak
menguntungkan dan bahkan merugikan bagi dirinya, dengan tujuan
agar pemerintah mengganti, merevisi atau menerbitkan peraturan baru
yang akan mendatangkan atau membawa manfaat bagi masyarakat
yang merasa dirugikan tersebut, karena implementasi Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 ternyata belum bisa mengkomodir
tenaga honorer yang ada maka menimbulkan budaya penolakan dari
para tenaga honorer yang merasa dirugikan oleh ketentuan yang
termuat dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Kelompok tenaga honorer yang menolak Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2007 membentuk kelompok/barisan/organisasi
tersendiri yaitu :
1.) Kelompok tenaga honorer APBN/APBD yang terkendala
persyaratan pengabdian, penghasilan, usia dan masa kerja Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, sehingga terancam tidak bisa
diangkat menjadi CPNS. (Kelompok TMS/tidak memenuhi syarat)
2) Kelompok tenaga honorer yang penghasilannya dari pendapatan
lainnya tetapi bekerja di instansi pemerintah yang tergabung dalam
Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI)
3) Kelompok guru dan karyawan swasta yang tergabung dalam Forum
Guru dan Karyawan Swasta (FGKS) Kabupaten Klaten.
Mereka melakukan upaya untuk mengadukan nasibnya, baik
melalui dialog dengan Bupati, audiensi dengan DPRD Klaten dan ada
pula yang mendirikan tenda keprihatinan. Pada intinya mereka menolak
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dan meminta agar PP
tersebut dirubah/direvisi.
Audiensi di DPRD :
1). Pada tanggal 9 Nopember 2007 dan 19 Pebruari 2008 oleh
kelompok FTHSNI.
2). Pada tanggal 28 September 2007 dan 11 Maret 2008 oleh FGKS
3).Tanggal 26 September 2008 kelompok FGKS
4).Tanggal 21 Desember 2009 kelompok FKGS dengan Komisi 1
DPRD Kab. Klaten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Dialog dengan Bupati Klaten :
1) Pada tanggal 17 Januari 2007 oleh kelompok TMS. Juga
mendirikan tenda keprihatinan.
2).Tanggal 19 September 2008 oleh kelompok FTHSNI di Pendopo
Pemda.
3).Tanggal 21 Juli 2009 oleh kelompok FGKS di Pendopo Pemkab
Klaten.
4).Tanggal 17 Pebruari 2010 oleh kelompok Guru WB di Ruang Rapat
B-2 Setda Kabupaten Klaten.
5).Terakhir tanggal 17 Juni 2010 oleh kelompok Guru WB dan PTT
sejumlah 4.767 di GOR Gelarsena Klaten.
Adanya sebagian besar pendapat yang menolak dan
menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007
menunjukkan bahwa budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan
yang merugikan menjadi indikator lemahnya substansi hukum yang
berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh struktur hukum,
sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan tersebut menjadi
kurang efektif.
2. Faktor-Faktor Penghambat
Dari hasil-hasil penelitian yang telah dikaitkan dengan kerangka
pemikiran yang merujuk kepada teori dari Soerjono Soekanto mengenai
lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor
hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas,
faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan sebagaimana dipaparkan
dimuka, dapat dilihat adanya hambatan dan permasalahan yang
menimbulkan kendala dalam pelaksanaan atau implementasi Peraturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten
sebagai berikut :
a. Faktor Hukumnya Sendiri
Hambatan/permasalahan pada Implementasi PP Nomor 48
Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP Nomor 43 Tahun 2007
tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, khususnya Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Klaten dapat diketahui dari hasil wawancara dengan
Kasubid Pengembangan Pegawai yang mengungkapkan81 :
“Sejak semula awal dari kendala, hambatan dan permasalahan yang ada dimulai dari kurang jelasnya aturan yang menimbulkan persepsi yang berbeda atau bias, serta ketentuan akan adanya syarat usia dan masa kerja pada PP Nomor 43 Tahun 2007, menimbulkan permasalahan yaitu adanya gejolak dari para honorer yang merasa dirinya masuk kelompok tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi CPNS”.
Pasal 3 (2) PP Nomor 43 tahun 2007 :
”Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada usia dan masa kerja sebagai berikut :
a) Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam tahun) dan paling
rendah 19 (sembilan belas tahun ); dan
b) Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu)
tahun secara terus menerus.
Pasal ini mengakibatkan keresahan karena sejumlah 663
orang honorer APBN/APBD merasa terancam tidak bisa terangkat
menjadi CPNS.
81 Muh. Agus Salim, Kepala Sub Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Klaten, Wawancara, 11 Mei 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Rumusan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2007 tentang definisi tenaga honorer : ”Tenaga honorer adalah
seorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau
pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu
pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.”
Seharusnya dari pengertian tersebut tenaga honorer yang
didata hanya yang penghasilannya diperoleh dari APBN dan APBD
dan tercantum dalam klausul kontrak tenaga honorer yang
bersangkutan. Namun hasil sosialisasi itu menjadi bias karena
pengertian tenaga honorer tadi dikaitkan dengan pasal 6 ayat (2) PP
Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan :
”Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan
penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, baru dapat
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga
honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional
telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun
Anggaran 2009”
Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang
kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan akhirnya
menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan
pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan
adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang
menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang
menjadi korban revisi/ralat pengumuman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
b. Penegak Hukum
Hambatan dalam penegak hukum dalam hal ini pelaksana
dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 adalah lemahnya
sosialisasi yang dilaksanakan oleh instansi-instansi terkait, mulai
dari tingkat pusat dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara sampai
ke daerah, yaitu tim atau panitia di tingkat
Propinsi/Kabupaten/Kota. Disamping itu, kurangnya koordinasi
antar lembaga-lembaga atau badan-badan terkait menyebabkan
pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang
dimulai dengan kegiatan pendataan tenaga honorer menyebabkan
waktu pelaksanaan kegiatan terkesan mendadak.
Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP Nomor
43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik.
Demikian juga adanya kesalahan pengumuman CPNS di
tahun 2005, yaitu adanya 2 kali pengumuman pada tanggal 17 dan
18 Maret, menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi
116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman. Hal ini terjadi
karena kesalahan dalam pengolahan data di tingkat propinsi, yang
dilakukan pihak ketiga (yang ditunjuk oleh panitia dari propinsi
Jawa Tengah), yang mencampur data base A dan data base B
sehingga 116 orang yang masuk data base B muncul dalam
pengumuman. Seharusnya data base B tidak ikut diolah, dan hanya
data base A saja yang diolah. Kejadian ini menunjukkan ketidak
cermatan, ketidaktelitian panitia selaku pelaksana yang menurut
teori Friedmen adalah struktur hukum dalam implementasi
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Kesiapan sumber daya manusia selaku penegak hukum
diharapkan mampu meminimalisir, hambatan/permasalahan pada
implementasi suatu kebijakan. Kesalahan penafsiran peraturan,
kesalahan pengumuman kelulusan menjadi indikator bahwa aspek
sumber daya manusia di lingkungan pelaku kegiatan pengadaan
Calon Pegawai Negeri Sipil kurang siap.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Pelaksanaan kegiatan yang terkesan mendadak karena
kurangnya sosialisasi menimbulkan kesulitan dalam hal pembiayaan
di daerah-daerah pelaksana khususnya di Kabupaten Klaten karena
tidak adanya perencanaan yang matang untuk melaksanakan
kegiatan tersebut sehingga belum teranggarkan secara khusus dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Klaten.
Hal itu dapat diketahui dari hasil wawancara dengan
Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah , Drs. Triyanto, MM yang
menyatakan :82
”Pelaksanaan PP Nomor 43 Tahun 2007 menimbulkan beberapa hambatan dan permasalahan. Selain sosialisasi yang nampaknya kurang baik juga dari waktu pelaksanaan kegiatan dikaitkan dengan pembiayaan/anggaran. Isi dari PP nomor 43 Tahun 2007 mengenai kriteria tenaga honorer menimbulkan keresahan. pelaksanaan pendataan tidak tersosialisasikan terlebih dahulu sehingga tidak dianggarkan. Pelaksanaan kegiatan pengadaan mempengaruhi proses pembiayaan/penganggaran.”
Selanjutnya Kasubag Perencanaan dan Pelaporan Badan
Kepegawaian Daerah, menyatakan :
”Kegiatan pendataan yang terkesan mendadak dan tidak teranggarakan sebelumnya, membuat kita harus mengajukan anggaran pada Biaya tak Terduga, yang sebetulnya pengeluaran
82 Triyanto, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 17 Mei 2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
anggaran biaya tak terduga tadi relevansinya pada kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, wabah penyakit dan lain-lain. Namun mengingat pendataan ini merupakan kegiatan nasional yang harus segera dilaksanakan maka akhirnya pembiayaan kegiatan pendataan tersebut dapat ditutup dari Biaya Tak Terduga. Sedangkan kegiatan pengadaan mulai dari pendaftaran, seleksi dan lain-lain dilaksanakan pada awal tahun anggaran berikutnya, sehingga proses pencairan harus menunggu penetapan anggaran terlebih dahulu, dan pembiayaan harus mengajukan permohonan pencairan mendahului anggaran. Memang akhirnya pembiayaan dapat tercukupi namun mekanisme seperti ini dapat dianggap perencanaan anggaran yang tidak matang.
Dari keterangan atau pernyataan di muka dapat dianalisis
bahwa kendala, hambatan dan permasalahan implementasi PP 43
Tahun 2007 dari faktor sarana atau fasilitas pada Pengadaan Calon
Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dapat dilihat dari aspek :
1) Aspek Perencanaan
Perencanaan kegiatan Pengadaan diawali dari pendataan
terkesan tidak matang, mendadak dan tidak komprehensif,
sehingga menyebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana
yang diperlukan dalam pelaksanaan PP tersebut.
2) Aspek Keuangan
Pelaksanaan kegiatan didukung dengan dana APBD, namun
perencanaan kegiatan yang tidak komprehensif sangat
mempengaruhi kelancaran proses mekanisme anggaran, yaitu
pendanaan kegiatan tidak tepat waktu, membuat instansi terkait
dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten
tidak mempunyai alokasi dana atau anggaran untuk kegiatan ini.
d. Faktor Masyarakat
Hambatan yang timbul di dalam masyarakat adalah bahwa
definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, khususnya para
tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Definisi tenaga honorer
menjadi isu yang sangat pelik, karena sangat menentukan klasifikasi
/ kriteria tenaga honorer yang akan didata. Data tersebut menjadi
pedoman pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil. Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS
harus tercantum dalam database, oleh karena itu para tenaga
honorer berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran
masing-masing, dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS.
e. Faktor Kebudayaan
Bagi tenaga honorer yang tidak memperoleh manfaat
terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007,
tentu saja akan menolak dan melakukan protes agar PP tersebut
diubah atau direvisi sehingga mereka bisa memperoleh manfaat
yaitu bisa terangkat menjadi CPNS.
Budaya penolakan dari masyarakat dalam hal ini tenaga
honorer terhadap peraturan yang tidak menguntungkan dan bahkan
merugikan bagi dirinya, dengan tujuan agar pemerintah mengganti,
merevisi atau menerbitkan peraturan baru yang akan mendatangkan
atau membawa manfaat bagi masyarakat yang merasa dirugikan
tersebut, muncul karena implementasi Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2007 ternyata belum bisa mengkomodir tenaga honorer
yang ada.
Budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang
merugikan menjadi indikator lemahnya substansi hukum yang
berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh penegak
hukum, sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan tersebut
menjadi kurang efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kebijakan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Klaten berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai
negeri sipil di Kabupaten Klaten berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil tidak efektif karena :
a. Faktor Hukumnya Sendiri
Faktor hukumnya sendiri adalah ketentuan hukum mengenai
pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil yang
berupa syarat-syarat yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2007. Secara substansi hukum Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil masih bias dalam mengaturnya. Hal ini
ditunjukkan dalam pengertian tenaga honorer yang kurang jelas dan
bahkan tidak tegas sehingga menimbulkan persepsi yang bermacam-
macam dari berbagai pihak, baik dari pelaksana maupun dari tenaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
honorer sendiri yang mempunyai kepentingan untuk diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil.
b. Faktor Penegak Hukum
Faktor Penegak Hukum dalam hal ini pelaksana Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, yaitu tim pengadaan dari Badan
Kepegawaian Negara dan Badan Kepegawaian Daerah baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten/kota. Ketidaktegasan pengertian tenaga
honorer dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil,
menyebabkan kesalahan pelaksana dalam mengartikan perintah yang
termaktub pada peraturan tersebut. Sehingga untuk provinsi Jawa
Tengah tenaga honorer yang tidak dibiayai dari APBN dan APBD juga
didata seluruhnya, dan pada proses pendataannya dibedakan
penyebutannya dengan istilah Data Base A dan Data Base B. Dengan
pengertian Data Base A adalah data dari tenaga honorer yang
penggajiannya dibiayai dari APBN atau APBD, sedangkan data base B
adalah data dari tenaga honorer yang penggajiannya tidak dibiayai dari
APBN atau APBD.
Kesalahan penafsiran peraturan, kesalahan pengumuman
kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di
lingkungan pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil
kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi CPNS juga memerlukan sarana dan fasilitas
seperti tersebut di atas. Agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar
diperlukan tenaga dalam hal ini di lingkungan birokrasi terkait yang
terampil dan memahami isi dan maksud dari PP tersebut, organisasi
yang baik seperti BKN dan BKD baik provinsi maupun
Kabupaten/Kota, peralatan yang memadai yang mendukung
terselenggaranya pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai
negeri sipil dimaksud. Dan yang paling penting adalah adanya dana
atau anggaran untuk pelaksanaan / implementasi PP Nomor 43 Tahun
2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS ini.
d. Faktor Masyarakat
Yang dimaksud masyarakat yang terkait dengan implementasi
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah tenaga
honorer itu sendiri.
e. Faktor Keudayaan
Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
menimbulkan keresahan bagi tenaga honorer dan menyebabkan
munculnya reaksi keras dari masyarakat dalam hal ini tenaga honorer
yang dirugikan atau tidak mendapatkan manfaat dari adanya peraturan
tersebut yang merupakan akibat dari budaya apriori atau menolak
berlakunya suatu peraturan yang dianggap merugikan dirinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
2. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Klaten
dalam penerapan/implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah
sebagai berikut :
a. Faktor Hukumnya Sendiri
Hambatan dalam faktor hukumnya sendiri dalam pelaksanaan PP
Nomor 43 Tahun 2007 muncul akibat adanya kesalahan persepsi
tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian dilanjutkan dengan
pemisahan pendataan yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota di
Jawa Tengah atas perintah dari tim pelaksana Propinsi Jawa Tengah
akhirnya menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan
pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan
adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang
menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang
menjadi korban revisi/ralat pengumuman.
b. Faktor Penegak Hukum
Kesalahan penafsiran peraturan, kesalahan pengumuman
kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di
lingkungan pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil
kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi
CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik.
Hambatan pada struktur hukum dalam hal ini pelaksana dari
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 adalah lemahnya
sosialisasi yang dilaksanakan oleh instansi-instansi terkait, mulai dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
tingkat pusat dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara sampai ke
daerah, yaitu tim atau panitia di tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota.
Disamping itu, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga atau
badan-badan terkait berakibat pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2007 yang diawali dengan kegiatan pendataan tenaga
honorer terkesan mendadak sehingga menimbulkan kesulitan karena
tidak siapnya penegak hukum sebagai pelaksana.
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Hambatan dan permasalahan implementasi PP 43 Tahun 2007
dari faktor sarana atau fasilitas pada Pengadaan Calon Pegawai Negeri
Sipil di Kabupaten Klaten dapat dilihat dari aspek :
1) Aspek Perencanaan
Perencanaan kegiatan Pengadaan diawali dari pendataan terkesan
tidak matang, mendadak dan tidak komprehensif, sehingga
menyebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana yang
diperlukan dalam pelaksanaan PP tersebut.
2) Aspek Keuangan
Pelaksanaan kegiatan didukung dengan dana APBD, namun
perencanaan kegiatan yang tidak komprehensif sangat
mempengaruhi kelancaran proses mekanisme anggaran, yaitu
pendanaan kegiatan tidak tepat waktu, membuat instansi terkait
dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten tidak
mempunyai alokasi dana atau anggaran untuk kegiatan ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
d) Faktor Masyarakat
Hambatan yang timbul di dalam masyarakat adalah bahwa
definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran,
sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, khususnya para
tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
e) Faktor Kebudayaan
Adanya sebagian besar pendapat yang menolak dan
menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007
menunjukkan bahwa budaya apriori atau penolakan terhadap
peraturan yang merugikan menjadi indikator lemahnya substansi
hukum yang berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh
struktur hukum, sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan
tersebut menjadi kurang efektif.
Dari kelima faktor yang telah dibahas di atas, faktor hukumnya
sendirilah yang paling dominan. Karena ketidaktegasan isi dari PP nomor
43 tahun 2007 terutama pada pengertian tentang tenaga honorer telah
membawa dampak yang menyebabkan keempat faktor lainnya menjadi
tidak efektif dalam pelaksanaan PP nomor 43 tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Klaten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
B. Implikasi
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka implikasi dari
penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil belum dapat
diimplementasikan oleh pemerintah kabupaten Klaten dengan baik
sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi tenaga honorer yang tidak bisa
diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Belum semua sasaran/target
tenaga honorer yang menjadi prioritas pengangkatan menjadi CPNS dapat
diselesaikan pengangkatannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2007 yaitu : Sebanyak 1241 tenaga honorer Non APBN/APBD
tidak terangkat menjadi CPNS karena prioritas pengangkatan adalah
tenaga honorer APBN/APBD terlebih dahulu, tanpa adanya pasal atau
ketentuan lain yang mengatur tentang pengangkatan tenaga honorer non
APBD/APBN, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan keresahan bagi
tenaga honorer non APBD/APBN bahwa dirinya tidak akan bisa diangkat
menjadi CPNS.
2. Adanya perbedaan persepsi antara tenaga honorer dan aparat pelaksana
dalam menterjemahkan pengertian tenaga honorer menimbulkan berbagai
permasalahan yang mengakibatkan keresahan bagi tenaga honorer. Sampai
saat ini masih ditemui kelompok-kelompok tenaga honorer yang menolak
dan menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007,
menunjukkan adanya budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan
yang dianggap merugikan individu atau sekelompok orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
C. Saran-Saran
Berdasar hasil penelitian yang telah dibahas dan telah disimpulkan di
atas, untuk meminimalisir hambatan, kendala dan permasalahan yang ada
penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Perlu adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 terutama
mengenai pengertian tenaga honorer yang seharusnya lebih dirinci dan
dipertegas mengenai pejabat yang mengangkat, sumber penggajian dan
jenis tenaga honorer yang bisa diangkat menjadi CPNS, agar tidak
menimbulkan bias penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda baik
oleh tenaga honorer maupun aparat pelaksana sehingga peraturan yang ada
bisa diimplementasikan secara efektif dan maksimal di daerah.
2. Perlu segera dibuat peraturan yang mengakomodir dan mengatur tentang
pengangkatan tenaga honorer yang belum bisa diangkat menjadi calon
pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007.
Dan yang benar-benar dibuat berdasarkan kondisi/keadaan tenaga honorer
di daerah sehingga bisa diterapkan dan tidak menimbulkan terlalu banyak
kendala/hambatan dan permasalahan dalam penerapannya.
Untuk masa mendatang pemerintah harus mengurangi perannya,
sektor-sektor pekerjaan yang bisa dikelola swasta sebaiknya bekerja sama
dengan pihak swasta. Pemerintah tidak perlu mengelola secara langsung
sektor-sektor tersebut, karena akan menambah beban keuangan negara.
Jenis-jenis pekerjaan seperti tenaga pembersih (cleaning service) petugas
pengangkut sampah, pemungut restribusi menurut beban kerja sifatnya
insidentil dan pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta tidak
perlu mengangkat pegawai dengan jenis pekerjaan tersebut agar anggaran
negara yang terbatas tidak terbebani dengan menggaji mereka sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
dengan pensiun. Anggaran negara yang terbatas bisa digunakan untuk
menjalin kontrak kerja dengan pihak swasta dan mereka akan
memperkerjakan pegawai untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan
kontrak. Tanggung jawab pekerjaan menjadi lebih jelas dan lebih
membuka kesempatan kerja daripada pemerintah hanya bisa mengangkat
tenaga kerja yang terbatas tetapi harus menanggung beban sampai dengan
pensiun.