1
Keanekaragaman Makrofauna Bentik di Pantai Bama,
Taman Nasional Baluran
Lericka M. PERMADI1, Raden Y. RAKHMAN
1, Novita SARI, Faridah TSURAYA
1,
Aninditha GHIFFARI1
Ekologi Project 2014, Laboratorium Ekologi 1Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember
ABSTRAK
Bentos adalah biota yang hidup didasar laut yang dapat menempel, merayap atau meliang.
Bentos merupakan suatu istilah yang memiliki makna sama dengan makrofauna bentik.
Makrofauna merupakan sejumlah organisme yang ukuran tubuhnya lebih besar dari 0,5 mm.
sedangkan bentik sendiri berkenaan dengan bentos. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode belt transect sepanjang 100 meter dengan lebar area 0,5 meter kearah
kanan dan kiri garis transek. Transect yang digunakan dalam penelitian ini adalah sama
dengan transek pada lamun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan makrofauna bentik yang
ditemukan di daerah lamun terdapat 18 spesies, dengan total individu sebanyak 26. Spesies
yang dominan pada daerah lamun adalah Holothuria atra yang memiliki nilai dominansi 34,6
% , apabila di hitung dengan metode indeks dominansi simpson tingkat dominansi didaerah
ini tergolong tinggi karena indeks dominansi (C) mendekati 1.
Kata kunci : belt transect, bentos, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan
1. PENDAHULUAN
Makrobenthos merupakan hewan
yang sebagian atau seluruh siklus
hidupnya berada di permukaan sedimen,
baik yang sesil, atau pun yang bergerak
lambat. Faktor lingkungan dan substrat
perairan yang baik merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh dalam kepadatan
dan keanekaragaman makrobenthos. Serta
peranan makrobenthos di perairan sangat
penting dalam rantai makanan (food
chain), karena merupakan sumber
makanan bagi beberapa ikan dan sebagai
salah satu pengurai bahan organik (Odum,
1971)
Bentik adalah biota yang hidup di
dasar atau dalam substrat, baik tumbuhan
maupun hewan. Bentik terbagi dalam 3
macam berdasarkan cara hidupnya yaitu:
Menempel: sponge, teritip, tiram
dan lain-lain
Merayap: kepiting, udang karang
yang kecil-kecil dan lain-lain
Meliang: cacing, kerang dan lain-
lain (Pratiwi, 2006).
Menurut nontji (2008), bentos
adalah biota yang hidupnya melekat,
menancap, merayap, atau meliang
(membuat liang) didasar laut seperti
misalnya kerang, teripang, bintang laut,
dan karal (coral). Zona bentik ditempati
oleh komunitas organism yang secara
kolektif disebut bentos. Salah satu sumber
utama makanan untuk bentos adalah bahan
organic mati yang disebut detritus. Dalam
lautan dan danau, detritus “turun” ke
bawah permukaan air yang produktif pada
zona fotik (Campbell,2004). Hewan bentik
merupakan hewan yang hidup di
2
permukaanataupun didalam dasar perairan,
dan karena biasanya dasar perairan
tertutup oleh sedimen, berarti hewan
tersebut hidup di permukaan atau di dalam
sedimen. Hewan bentik menurutukurannya
dibagi menjadi empat yaitu, Megafauna
(>20 cm),Makrofauna (>0.5 mm – 20 cm),
Meiofauna (>50m – 0,5mm), dan
Mikrofauna ( 5 m – 50m) (meadow, 1990).
kelompok organisme dominan
yang menyusun makrobenthos didasar
perairan diantaranya adalah
Echinodermata. Echinodermata dominan
hidup pada zona intertidal, karena terdapat
berbagai macam substrat seperti pasir,
padang lamun, karang berbatu, dan karang
yang ditumbuhi alga (Widigdo dan
pariwono, 2003).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui keanekaragaman makrofauna
bentik pada area padang lamun dengan
menggunakan metode belt transect dan
pegambilan dilakukan secara hand
collecting
2. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di pantai
bama, taman nasional baluran jawa timur.
Penelitian ini dilaksanakan pada 5 april
2014, dalam penelitian ini dibagi 3 zonasi
yaitu antara lain
Zona Titik Koordinat
S T
Lamun 7°50’38,79” 114°27’41,47”
Mangrove 7°50’40,79” 114°27’39,38”
Transisi 7°50’41,32” 114°27’44,39”
Penelitian ini menggunakan
peralatan dan bahan antara lain: meteran
lapangan, alat tulis anti air, zip lock, toples
kecil, dan kamera. pada setiap zonasi
penelitian digunakan metode belt transect
sepanjang 100 meter yang sejajar dengan
garis pantai, pada metode ini dibuat lebar
area 0,5 meter kearah kanan dan kiri garis
transek yang telah dibuat. Setelah itu,
dilakukan pengamtan dan pengambilan
makrofauna bentik yang ada dai transect
yang telah dibuat. Makrofauna bentik yang
ditemukan diletakkan dalam stoples atau
ziplock dan difoto untuk memudahkan saat
melakukan identifikasi. Semua
makrofauna yang ditemukan kemudian
dilakukan identifikasi sampai dengan
tingkat taksa spesies atau genus serta
dihitung kelimpahannya. Spesies yang
Gambar 1 zona belt transect penelitian makrofauna bentik
3
telah diidentifikasi selanjutnya
dikambalikan lagi ke habitat aslinya.
Selanjutnya dilakukan penelitian
struktur komunitas yang telah diteliti
dengan menggunakan beberapa teknik
perhitungan yaitu indeks diversitas
Shannon-wiener (H’), dan indeks
kesamaan komunitas morishita-horn.
Indeks Shannon-wiener
Dimana:
H’ = indeks diversitas Shannon-
wiener
ni = jumlah individu spesies i
N = jumlah total individu semua
spesies
Indeks dominansi simpson
D = (ni/N)2
Dimana :
D = Indeks Dominansi Simpson
ni = Jumlah Individu tiap spesies
N = Jumlah Individu seluruh
spesies
Indeks morisita horn
Dimana:
Cmh = koefisien Morisita – Horn
ani = total spesies i di site A
bni = total spesies i di site B
aN = total individu di site A
bN = total individu di site B
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Metode dan Sampilng
Makrobentos
3.1.1. Metode Pengukuran untuk
Penentuan Pola spasial
Pola spasial organisme adalah
karakter penting dalam ekologi komunitas.
Ini biasanya yang pertama kali diamati
dalam melihat beberapa komunitas dan
salah satu sifat dasar dari kebanyakan
kelompok organisme hidup. Informasi
mengenai kepadatan populasi dirasakan
belum cukup untuk memberi gambaran
yang lengkap mengenai keadaan suatu
populasi yang terdapat dalam suatu
habitat. Dua populasi mungkin saja
memiliki kepadatan yang sama, tetapi
mempunyai perbedaan yang nyata dalam
pola sebaran spasialnya.
Pengetahuan mengenai penyebaran
sangat penting untuk mengetahui tingkat
pengelompokan dari individu yang dapat
memberikan dampak terhadap populasi
dari rata-rata per unit area (Soegianto,
1994) dan menjelaskan faktor-faktor yang
bertanggung jawab (berperan) dalam suatu
kasus. Alasan lain untuk mengetahui pola-
pola tersebut ialah dapat membantu dalam
mengambil keputusan tentang metode apa
yang akan digunakan untuk mengestimasi
kepadatan atau kelimpahan suatu populasi
(Krebs, 1989). Mengingat pentingnya
pengetahuan mengenai pola sebaran dari
suatu organisme, maka dalam tulisan ini
disajikan beberapa hal pokok yang
berhubungan dengan metodologi dalam
melakukan pengukuran dan analisis untuk
penentuan pola sebaran suatu organisme
bentik.
Tanaman atau hewan dalam
beberapa area geografi menyebar kira-kira
satu dari tiga pola dasar spasial (Gambar
1). Tiga pola dasar spasial yang telah
diakui, yaitu: acak (random),
4
mengelompok (clumped atau aggregated)
dan seragam atau merata (uniform)
(Ludwig & Reynold,1984; Krebs, 1989),
Terdapat derajat keseragaman dan
pengelompokan yang dapat digambarkan,
yaitu suatu organisme lebih atau kurang
mengelompok dalam suatu habitat, tetapi
pola secara acak adalah acak, dan tidak
mungkin dapat dikatakan suatu pola lebih
acak daripada yang lainnya (Krebs, 1989).
Metode pengukuran untuk penentuan
pola spasial dilakukan sebelum melakukan
pendugaan kepadatan atau kelimpahan
suatu oragnisme. Pada dasarnya untuk
menentukan pola spasial dapat dilakukan
dengan berbagai metode, yaitu metode plot
(kwadrat), transek sabuk (belt transect :
contiguous transect’s) dan plotless
(distance methods).
A. Metode belt transect
Metode ini biasa digunakan untuk
mempelajari suatu kelompok hutan yang
luas dan belum diketahui keadaan
sebelumnya. Teknik ini juga paling efektif
untuk mempelajari perubahan keadaan
vegetasi menurut keadaan tanah, topografi,
dan elevasi. Transek dibuat memotong
garis-garis topografi, dari tepi laut ke
pedalaman, memotong sungai atau
menaiki dan menuruni lereng pegunungan
Lebar transek yang umum digunakan yaitu
10-20 meter, dengan jarak antar transek
200-1000 meter tergantung pada intensitas
yang diinginkan. Untuk kelompok hutan
yang luasnya 10.000 ha, intensitas yang
digunakan adalah 2%, dan hutan yang
luasnya 1.000 ha atau kurang,
intensitasnya 10% (Soerianegara &
Indrawan, 1980).
A. Metode Plot (kwadrat)
Metode plot adalah prosedur yang
umum digunakan untuk sampling berbagai
tipe organisme. Plot biasanya berbentuk
segiempat atau persegi (kwadrat) ataupun
lingkaran. Metode ini digunakan untuk
sampling tumbuh-tumbuhan, hewan-
hewan sessil (menetap) atau bergerak
lambat seperti hewan-hewan yang meliang
(Krebs, 1989).
Ada dua penerapan metode
kwadrat, yaitu metode kwadrat tunggal
dan kwadrat ganda.Pada kwadrat tunggal
yang dipelajari hanya satu petak sampling
dalam suatu areal hutan. Ukuran minimum
kwadrat ditetapkan dengan menggunakan
kurva spesies-area. Biasanya ukuran
minimum ini ditetapkan dengan dasar
penambahan luas petak tidak
menyebabkan kenaikan jumlah spesies
lebih dari 5 % atau 10 %. Sedangkan pada
metode kwadrat ganda, pengambilan
contoh dilakukan pada banyak kwadrat
contoh yang letaknya tersebar merata dan
sebaiknya sistematik. Selanjutnya
dikatakan bahwa dalam penentuan lokasi
dapat dilakukan secara acak atau sistematis
Gambar 2 tiga pola dasar penyebaran spasial dari individu dalam suatu
Gambar 3 metode belt transect
5
ataupun dengan menggunakan kisi-kisi
(Gambar 2) yang bertujuan untuk
meminimumkan bias. Selanjutnya pada
setiap kwadrat dilakukan identifikasi
terhadap semua spesies dan menghitung
jumlah individunya (Krebs, 1989).
B. Metode Jarak (Distance Methods
atau Plotless)
Teknik sampling jarak atau plotless
dikembangkan oleh ahli ekologi tanaman
untuk menghasilkan suatu estimasi yang
cepat terhadap tipe-tipe vegetasi ketika
individu-individu tanaman dibatasi dengan
baik oleh ruang yang jelas, seperti dalam
hutan (Cottam & Curtis 1956). Sampling
jarak jelas sekali lebih efisien daripada
sampling kwadrat ketika individu-individu
dalam kwadrat yang besar (yang
diperlukan untuk menghindari kekosongan
kwadrat, yaitu ketika individu-individu
tersebar sangat jarang).
3.1.2. Sampling Makrobentos
Sampling fauna makrobentik
dilakukan dengan menggunakan metode
a. Metode Traveling kick-net
Metode dengan sebuah alat berupa
hand net yang mempunyai saringan
berpori-pori 0,5 mm. Batuan/ substrat yang
berada di depan mulut alat hand-net
diaduk dengan menggunakan kaki,
sehingga serasah dan fauna makrobentik
akan ikut hanyut masuk ke dalam saringan.
Masing-masing site dilakukan
pengulangan sebanyak tiga kali ulangan.
Standarisasi waktu dilakukan untuk setiap
pengambilan sampel kurang lebih selama
15 menit. Pengawetan spesimen basah
dilakukan dengan menggunakan larutan
alkohol 90%, sehingga diperoleh
konsentrasi akhir dari sampel basah kira-
kira sebesar 70%.
b. Metode Hand Collecting
Pengambilan sampel makrobentos
secara langsung yang dilakukan dengan
cara mengambil secara acak sampel
makrobentos baik yang masih hidup
ataupun yang sudah mati dengan
menggunakan tangan (hand collecting).
Pengambilan sampel dilakukan pada setiap
stasiun dengan cara random atau acak
dengan beberapa kali pengambilan.
Sampel yang telah diambil dimasukkan
kedalam ember/wadah plastik dan diberi
label, kemudian satu persatu sampel
makrobentos dibersihkan dan identifikasi
satu persatu.
c. Metode sampling dengan Bottom
grab/cetok
Pengambilan sampel dilakukan pada
waktu surut terendah untuk mempermudah
dalam pengambilan sampel dan tidak
terkendala dengan arus dan gelombang.
Sampel makrozoobentos diambil dengan
menggunakan pipa paralon yang telah
dimodifikasi dengan diameter 5 inchi
(0,127 m) dan panjang 25 cm dengan cara
membenamkan pipa paralon kedalam
substrat perairan. Sampel makrozoobentos
yang telah didapat selanjutnya diayak
melalui 2 tahap pengayakan yakni dengan
ayakan yang memiliki mesh size 5 x 5 mm
untuk tahap I dan kemudian menggunakan
mesh size 1 x 1 mm untuk tahap II. Tujuan
dari 2 tahap pengayakan yakni untuk
mempermudah dalam proses pengerjaan
dilapangan. Makrozoobentos yang
ditemukan di bersihkan dan diberi
formalin 4 % yang telah dicampur dengan
pewarna rose bengal kemudian
Gambar 4 teknik penempatan plot dalam suatu daerah penelitian
6
dimasukkan kedalam kantong dan diberi
label.
3.1.3. Kelebihan dan Kekurangan
Metode Belt Transek dan
Peengambilan Sampel dengan
Hand Counting
Pada penelitian komunitas
makrobentos di pantai Bama, Taman
Nasional Baluran pengambilan sampel
dilakukan dengan cara Hand collecting,
dengan pengambilan pada 3 zonasi yang
berbeda yakni lamun, transisi lamun-
karang, dan mangrove.
Kelebihan dari pengambilan sampel
dengan cara Hand Collecting
dibandingkan dengan teknik pengambilan
sampel yang lain adalah sebagai berikut :
1. Tidak membutuhkan skill penyelam
apabila hand collecting dilakukan
pada daerah pantai/laut yang tidak
terlalu dalam.
2. Akurasi data dapat diperoleh dg baik
dan dalam jumlah banyak.
3. Penyajian struktur komunitas (spt
makrobentos hidup/mati, kekayaan
jenis, dominasi, frekuensi kehadiran,
dan keanekaragaman jenis dapat
disajikan secara menyeluruh.
4. Metode relatif sederhana ddan dapat
dilakukan dengan fasilitas ataupun
tenaga minimalis, dan memberikan
data lebih akurat utk banyak aspek
(karakteristik dan struktur) komunitas
makrobentos.
5. Pengambilan sampel dapat dilakukan
beberapa kali
Kekurangan dari metode ini adalah :
1. Jenis makrobentos yang terambil
kebanyakan hanya pada bagian
permukaan saja, berbeda lagi apabila
digunakan pengambilan sampel
dengan bottom grab yang dibenamkan
ke dasar perairan.
2. Terkadang sifat koleksi dapat berupa
destruktif karena ketidaktahuan jenis
spesies.
Metode pengukuran untuk penentuan
pola spasial dilakukan sebelum melakukan
pendugaan kepadatan atau kelimpahan
suatu oragnisme. Metode yang digunakan
adalah metode belt transek, dimana
metode ini memiliki kelebihan
dibandingkan dengan metode yang lainnya
yaitu :
Untuk mempelajari perubahan
komunitas berdasarkan perubahan
kedalaman (kelandaian), atau
keterbukaan terhadap gelombang
atau arus maka belt transect yang
tegak lurus terhadap garis pantai
paling baik digunakan
Transek dapat ditempatkan sejajar
garis pantai atau tegak lurus terhadap
garis pantai tergantung tujuan yang
ingin dicapai.
Metode yang tertua dan paling
sederhana untuk menentukan pola
spasial suatu organisme.
Kekurangan dari metode ini adalah
ketidakakuratan sampel keanekaragaman
makrobentos yang terambil pada belt
transek ditakutkan akan memperngaruhi
hasil penelitian yang dilakukan.
3.2. Analisis Data
3.2.1. Kelimpahan
Kelimpahan individu suatu spesies
diartikan sebagai banyaknya individu
tersebut individu tersebut yang terdapat
dalam contoh yang diambil. Kelimpahan
sering disebut dengan densitas absolut
(Odum, 1971).
7
Dari data hasil pengamatan yang
telah dilakukan pada zona lamun spesies
yang memiliki kelimpahan lebih yaitu
Holothuria atra sejumlah 9, sedangkan
spesies lainnya hanya memiliki
kelimpahan sebanyak 1. Holothuria atra
dapat melimpah di wilayah lamun
dikarenakan kondisi lingkungan yang
memungkinkan untuk spesies ini hidup.
Kondisi substrat perairan bama yang
berpasir merupakan habitat yang cocok
untuk spesies ini.Holothuria atra
hiduppada substrat berpasir (Lovatelli,
2004).
Dari data hasil pengamatan yang
telah dilakukan pada zona lamun spesies
yang memiliki kelimpahan lebih yaitu
Littorina scabra sejumlah 9, Spesies yang
melimpah kedua yaitu Metopograpsus
latifrons sejumlah 8, selanjutnya Pyrene
decussata berjumlah 7, Bathybembix
convexiusculus berjumlah 6, Littoraria
filosa berjumlah 3, Littoraria aberrans
berjumlah 2, dan yang lainnya berjumlah
1. Holothuria atra dapat melimpah di
wilayah lamun dikarenakan kondisi
lingkungan yang memungkinkan untuk
spesies ini hidup. Kondisi substrat perairan
bama yang berpasir merupakan habitat
yang cocok untuk spesies ini. Littorina
scabra merupakan hewan yang hidup di
hutan mangrove dan tebing berbatu atau
batu-batuan (Kesavan, 2009), karena
habitat dari spesies tersebut berada di
hutan mangrove oleh sebab itu spesies
tersebut kelimpahannya tinggi. Sedangkan
spesies lain yang jumlahnya tidak
sebanyak Littorina scabra disebabkan
karena faktor lingkungan yang tidak
mendukung kelimpahan spesies ini. Faktor
lingkungan mencakup kondisi substrat,
suhu, salinitas dan dissolved oxygen.
Dari data hasil pengamatan yang
telah dilakukan pada zona lamun spesies
yang memiliki kelimpahan lebih yaitu
Holothuria atra sejumlah 68, Diadema
1 1 1 1 1 1 1 1
9
1 1 1 1 1 1 1 1 1
0
2
4
6
8
10
Kelimpahan
1 1 1
9
3 2
1
6
8 7
1 1 1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
Ch
aryb
dis
sp
.
Ho
loth
uri
a ed
ulis
Jack
son
aste
r d
epre
ssu
m
Litt
ori
na
scab
ra
Litt
ora
ria
filo
sa
litto
rari
a ab
erra
ns
Turb
o s
uto
sus
Bat
hyb
emb
ix …
Me
top
ogr
apsu
s la
tifr
on
s
Pyr
ene
dec
uss
ata
Nas
sari
us
suff
latu
s
Pat
telo
ida
sacc
har
ina
Lott
ia d
igit
alis
Kelimpahan
1 1 3 4 1
68
1 2 1 1 1 3 1 1 0
10 20 30 40 50 60 70 80
Co
nu
s lit
tera
tus
Cym
asiu
m p
ilear
e
Cyp
raea
tig
ris
Dia
dem
a se
tosu
m
Ech
ino
trix
cal
amar
is
Ho
loth
uri
a at
ra
Luid
ia m
acu
lata
N
assa
riu
s st
ola
tus
Pe
rist
ern
ia u
stu
lata
P
yren
e ve
rsic
olo
r St
rom
bu
s la
bio
sus
Syn
apth
a m
acu
lata
Tr
ach
ycar
diu
m …
Tr
apez
ium
ob
esa
Kelimpahan
diagram 1 kelimpahan spesies di zonasi lamun
diagram 2 kelimpahan zonasi lamun
8
setosum berjumlah 4, Synaptha maculata
dan Cypraea tigris berjumlah 3, Nassarius
stolatus berjumlah 2, sedangkan spesies
lainnya hanya memiliki kelimpahan
sebanyak 1. Holothuria atra dapat
melimpah di wilayah lamun dikarenakan
kondisi lingkungan yang memungkinkan
untuk spesies ini hidup. Kondisi substrat
perairan bama yang berpasir merupakan
habitat yang cocok untuk spesies ini.
Holothuria atra hidup pada substrat
berpasir (Lovatelli, 2004). Selain itu faktor
lingkungan juga berpengaruh terhadap
kelimpahan spesies tersebut. Seperti, suhu,
salinitas, substrat dan dissolved oxygen
(Campbell,.
Habitat dengan kondisi lingkungan
yang relatif tetap atau tidak berubah-ubah
memiliki jumlah spesies yang tinggi
dengan jumlah individu dalam masing-
masing spesies sedikit. Sebaliknya pada
habitat dengan kondisi lingkungan yang
terus menerus mengalami perubahan
secara ekstrim, hanya akan terdapat sedikit
spesies namun dalam jumlah individu yang
besar dalam masing-masing spesies
(Odum, 1971).Ketika kondisi lingkungan
menyediakan semua yang dibutuhkan
organisme maka keanekaragaman jenis
semakin banyak atau beragam tetapi
jumlah anggota spesies semakin sedikit
karena adanya kompetisi dengan
kompetitor lainnya. Tetapi sebaliknya,
ketika kondisi lingkungan berubah-ubah
maka hanya organisme tertentu yang dapat
bertahan hidup sehingga dapat memiliki
banyak anggota karena tidak memiliki
kompetitor tetapi keanekaragaman jenis
berkurang atau tidak beragam.
3.2.2. Indeks Dominasi Simpsons
Indeks merupakan indeks yang
dapat digunakan untuk mengetahui
pengaruh kualitas lingkungan terhadap
komunitas makrofauna bentik. Pengaruh
kualitas lingkungan terhadap kelimpahan
makrofaunabentik selalu berbeda-beda
tergantung pada jenisnya, karena setiap
makrofauna bentik memiliki adaptasi dan
toleransi yang berbeda terhadap
habitatnya. Indeks tersebut digunakan
untuk memperoleh informasi yang lebih
rinci tentang komunitas makrofaunabentik.
Indeks dominansi digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai jenis
makrofauna bentik yang mendominasi
pada suatu komunitas pada tiap habitat
indeks dominansi yang dikemukakan oleh
simpson, yaitu:
Dengan
C = Indeks dominansi Simpson
S = Jumlah jenis (spesies)
ni = jumlah total individu jenis larva i
N = jumlah seluruh individu dalam total n
Pi=ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i
Kriteria yang digunakan untuk
menginterpretasikandominansi spesies
ikan yaitu:
Mendekati 0 = indeks semakin
rendah atau dominansi oleh satu
spesies makrofaunabentik.
Mendekati 1 = indeks besar atau
cenderung dominansi oleh
beberapa spesies
makrofaunabentik.
9
(Odum, 1971)
Berdasarkan perhitungan indeks
dominansi simpsons menunjukkan bahwa
indeks dominansi makrofaunabentik yang
mendominasi pada suatu komunitas pada
zona lamun adalah 0,144970414 . Angka
tersebut menunjukkan bahwa indeks
dominansi mendekati 0 yang berati zona
lamun tersebut didominasi oleh satu
spesies makrofaunabentik. Pada zona
transisi indeks dominansi simpson
menunjukkan hasil 0,589698. Angka
tersebut menunjukkan bahwa indeks
dominansi mendekati 0 yang berarti pada
zona tesebut telah didominasi oleh satu
spesies makrofaunabentik (Odum, 1971).
Pada zona mangrove indeks dominansi
simpson menunjukkan hasil 0,141723.
Angka tersebut menunjukkan bahwa
indeks dominansi mendekati 0 yang berarti
pada zona tesebut telah didominasi oleh
satu spesies makrofaunabentik.
Berdasarkan indeks simpson yang
diperoleh pada ketiga zonasi menunjukkan
bahwa pada terdapat spesies yang
mendominasi, pada zona lamun dan zona
transisi spesies yang mendominasi adalah
Holothuria atra dari famili holothuriidae.
Spesies ini dapat hidup mendominasi pada
kedua zona (lamun dan transisi)
dikarenakan Holothuria atra merupakan
hewan yang hidup didasar substrat pasir,
lumpur maupun dalam lingkungan
terumbu (Lovatelli, 2004). Substrat dasar
pada zona lamun dan transisi di pantai
Bama merupakan substrat pasir. Pada zona
mangrove terdapat spesies yang
mendominasi pula yaitu Littorina scabra
dari famili littorinidae dikarenakan
Littorina scabra merupakan hewan yang
hidup di hutan mangrove dan tebing
berbatu atau batu-batuan (Kesavan, 2009),
karena habitat dari spesies tersebut berada
di hutan mangrove oleh sebab itu spesies
tersebut dominansinya tinggi.
3.2.3.Indeks Morisitahorn (Dendogram)
Indeks Morisita-Horn melihat
memeperhitungkan tingkat kesamaan
komunitas suatu biota, suatu komunitas
dinyatakan sama atau semakin sama bila
indeks Morisita-Horn mendekati 1, rentan
nilai 0 – 1. Indeks Morisita-Horn dihitung
dengan formula berikut :
Dimana :
IMH = Indeks Kesamaan Komunitas
Morisita-Horn
ani = Jumlah total individu pada tiap –
tiap spesies di komunitas a
bni = Jumlah total individu pada tiap –
tiap spesies di komunitas b
aN = jumlah individu di komunitas a
bN = jumlah individu di komunitas b
da =
db =
(Morisita,1959).
Dalam penelitian makrobentos di
pantai Bama, Baluran ini digunakan tiga
macam zonasi, yaitu zona lamun (Z1),
0.144970414
0.58969827
0.141723
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Zona lamun Zona transisi Zona mangrove
Indeks Dominansi Simpson
Diagram 3 indeks dominansi simpson
10
zona transisi lamun-karang (Z2) dan zona
mangroove (Z3). Ketiga komunitas
tersebut memilki karakter ekologi yang
berbeda, meskipun dalam makrohabitat
yang sama, yaitu Pantai Bama. Sehingga
yang harus dilakukan adalah
membandingkan keanekaragaman spesies
pada tiap zonasi, dimana Z1 : Z2, Z2 : Z3
dan Z1 : Z3. Kemudian dilakukanlah
penghitungan menggunakan rumus Indeks
Morisita-Horn (IMH), diperoleh data
sebagai berikut :
Tabel 1 perbandingan nilai IMH pada tiap zonasi
Dari data tersebut, kemudian dapat
diperoleh dendogram seperti :
Z1 Z2 Z3
0,71999
0,391937
Tabel 2 dendogram Indeks Morisita-Horn
Dendogram diatas, angka yang
diperoleh hasil perbandingan ketiga zonasi
tersebut berada pada kisaran angka 0-1.
Hal tersebut menandakan bahwa ketiga
zonasi yang dijadikan objek penelitian
dapat dikatakan sama.
3.2.4. Indeks Diversitas Shannon-
Wiener Tiap Zonasi
Indeks ini didasarkan pada teori
informasi dan merupakan suatu hitungan
rata-rata yang tidak pasti dalam
memprediksi individu species apa yang
dipilih secara random dari koleksi S
species dan individual N akan dimiliki .
Rata-rata ini naik dengan naiknya jumlah
species dan distribusi individu antara
species-species menjadi sama/merata . Ada
2 hal yang dimiliki oleh indeks Shanon
yaitu ;
1. H’=0 jika dan hanya jika ada
satu species dalam sampel.
2. H’ adalah maksimum hanya
ketika semua species S diwakili oleh
jumlah individu yang sama, ini adalah
distribusi kelimpahan yang merata secara
sempurna.
Ini merupakan konsep
keanekaragaman yang relatif paling
dikenal dan paling banyak digunakan
(Magurran, 1988). Indeks Shannon
dihitung dengan formula berikut :
Dimana :
H : Indeks Keragaman Shannon-
Wiener
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah total individu
(Ludwiq,1988)
Tabel 2. Hasil perhitungan nilai H’ berasar
Indeks Diversitas Shannon-Wiener Tiap
Zonasi
Zona Pengamatan Niali H’
Zona 1 2,497519
Zona 2 1,112797
Zona 3 2,178988
Z1 Z2 Z3
Z1 100 0,71999 0,063884
Z2 0,71999 100 0,049743
Z3 0,063884 0,049743 100
Z1:Z2 Z3
0,391937
11
Pada penelitian ini dugunakan tiga
zona yang berbeda. Zona pertama (Z1) di
komuitas lamun, zona kedua (Z2) di
daerah transisi antara lamun-karang dan
zona ketiga (Z3) di komunitas mangroove.
Berdasar hasil perhitungan nilai H’ dengan
rumus Indeks Keragaman Shannon-
Wiener, ada beberapa kisaran nilai yang
dapat menggambarkan keanekaragaman
suatu komunitas, yaitu :
H>3 : Keragaman spesies tinggi
1<H<3 : Keragaman spesies sedang
H<1 : Keragaman spesies rendah
Berdasar kisaran tersebut, ketiga
zona yang digunakan dalam penelitian ini
memliki nilai H’ yang berada dalam
kisaran kategori yang kedua yaitu 1<H<3,
sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga
zona tersebut memiliki tingkat
keanekaragaman sedang. Keragaman
spesies tiap zonasi cukup bak, dimana tiap
zonasi memiliki 10-20 macam spesies.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan makrofauna bentik yang
ditemukan di daerah lamun terdapat 18
spesies, dengan total individu sebanyak 26.
Spesies yang dominan pada daerah lamun
adalah Holothuria atra yang memiliki nilai
dominansi 34,6 % , apabila di hitung
dengan metode indeks dominansi simpson
tingkat dominansi didaerah ini tergolong
tinggi karena indeks dominansi (C)
mendekati 1. Keanekaragaman spesies
banyak ditemukan di zonasi transisi antara
lamun dan karang, dimana terdapat 89
jenis spesies yang ditemukan. Sedangkan
untuk kelimpahan pada zonasi lamun dan
transisi lamun-karang ditemukan spesies
Holothuria atra dan pada zonasi mangrove
ditemukan spesies Littorina scabra yang
ditukan paling melimpah, hal ini
dipengaruhi oleh substrat pada masing-
masing zonasi yang mendukung
kalngsungan hidup spesies tersebut.
5. DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Khairunnisa, et al. 2012. Kondisi
perairan terumbu karang dengan
foraminifera bentik sebagai
bioindikator berdasarkan foram
index di kepulauan banggai, provinsi
sulawesi tengah. – 125 pp. 1990.
Aziz, A 1997. Status of Sea Cucumber
Fisheries And Farming in Indonesia.
Pusat penelitian Oseanologi LIPI.
Jakarta, XXII (1): 9-19 .
Campbell, neil A. 2004. Biologi jilid 3.
Erlangga. Jakarta.
Cottam, G., and J.T. Curtis, 1956. The Use
Of Distance Measure In
Phytosociological Sampling.
Ecology 37 451-460.
Darsono, Prapto. 2007. Teripang
(Holothuroidea) : Kekayaan Alam
dalam Keragaman Biota Laut.
Oseana, Volume XXXII, Nomor 2,
Tahun 2007 : 1 – 10 from the
northern China seas. Acta Oceanol.
Sin., 2011, Vol. 30, No. 6, P. 82-85
Gunarto. 2004. Konservasi mangrove
sebagai Pendukung sumber hayati
Perikanan pantai. Jurnal Litbang
Pertanian, 23(1),
Jingwen, Yang, et al. 2011. A new spceies
of Nassarius (Gastropoda,
Nassariidae) Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4,
No. 2, Hlm. 335-345
Kesavan, et al.2009. Shell Injuries in Two
Intertidal Gastropods Littorina
scabra (Linnaeus,1758) and Thais
bufo (Lamarck, 1845) From
Tranquebar, Southeast Coast of
12
India. Annamalai University:India.
vol. 14 (2) : 89-92
Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology.
Harper Collins Publisher, Inc. New
York.
Lovatelli, alessandro and c.
Conand.Advances in Sea Cucumber
Aquaculture and Management. FAO
Fisheries technical paper: Canada.
Ludwig, J.A, and J.F. Reynolds. 1988.
Statistical Ecology. John Wiley &
Sons, Inc. Canada.
Nontji, anugerah.2008.Plankton Laut. LIPI
press. Jakarta.
Odum, E. P. 1971. Fundamental of
Ecology. Thirth Edition WB
Saunders Co. Philadelphia and
London. 546 p
Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar ekologi
edisi ketiga. Gajah mada university
press. Jogjakarta
P.S. Meadows and J.I. Campbell,. An
Introduction to Marine Science.
Blackie Academic and Professional
Glasgow. 118 – 125 pp. 1990.
Pratiwi,rianta. 2006. Biota Laut. Oseana,
Volume XXXI, Nomor 1, Tahun
2006 : 27 – 38. ISSN 0216 -1877.
Rodriguez, Andriana,et al. 2013. A new
species of Diadema (Echinodermata:
Echinoidea: Diadematidae) from the
eastern Atlantic Ocean and a
neotype designation of Diadema
antillarum. Zootaxa 3636 (1): 144–
170.
Ruswahyuni.2008. Struktur Komunitas
Makrozoobentos yang Berasosiasi
Dengan Lamun pada Pantai
Berpasir di Jepara. Jurnal Saintek
Perikanan Vol. 3 No. 2 2008 : 33 –
36.
Safar,Dody. 2011. Pola Sebaran, Kondisi
Habitat dan Pemanfaatan Siput
Gonggong (Strombus turturella) Di
Kepulauan Bangka Belitung.
Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia (2011) 37(2): 339-353
Sampanich, Kitithorn, et al. 2008.
Reproduction and growth Littetoria.
The Raffles bulletin of zoology No.
18 225-233
Septiyadi, Aji. 2011. Pengaruh Material
Lamun Buatan terhadap
Keanekaragaman dan Kelimpahan
Crustacea di Perairan Pulau Pari,
Kepulauan seribu. Universitas Islam
negeri Syarif Hidayatullah : Jakarta
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif.
Usaha Nasional. Surabaya-
Indonesia.
Soerianegara, I. dan A. Indrawan, 1980.
Ekologi Hutan. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Southwood. 2000. Ecological Method.
Bleckwell Science Ltd.oxford.
Widigdo dan pariwono. 2003. Daya
Dukung Perairan di Pantai Utara
Jawa Barat untuk Budidaya Udang.
Jurnal ilmu-ilmu perairan dan
perikanan Indonesia, Juni 2003, jilid
10, nomor 1 : 10-17.
Wolcott, T. G. 1973. Physiology, Ecology,
and Interzonation in Limpets
(Acmaea), a Critical Look at
'Limiting Factors'. Biological
Bulletin. 145: 389- 422
Yoyok sudarso, Tri suryono dan Gunawan
Pratama Yoga. Penyusunan
Biokriteria dengan Menggunakan
Konsep Multimetrik : Studi Kasus
Anak Sungai Cisadane. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia (2009)
35(2): 179-200. Pusat Penelitian
Limnologi-LIPI
13
LAMPIRAN
1. Foto spesies makrofauna bentik
14
2. Tabel perhitungan morisita horn
tabel 1. Perhitungan dendogram berdasarkan indeks morisita-horn Z2:Z3
15
tabel 2. Perhitungan dendogram berdasarkan indeks morisita-horn Z1:Z3
16
tabel 3. Perhitungan dendogram berdasarkan indeks morisita-Horn Z1:Z2