Download - Katekese Liturgi 2015 - Sakramen Perkawinan
-
Katekese Liturgi 2015: Sakramen Perkawinan
2015 Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya
Cetakan I, Desember 2015
Disusun dan diterbitkan oleh:
Tim Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya
Nihil Obstat:
RD. Yosep Indra Kusuma
Surabaya, Desember 2014
Imprimatur:
RD. Agustinus Tri Budi Utomo
Vikjen Keuskupan Surabaya
Surabaya, Desember 2014
Desain Sampul:
Harry Purnomo Suryadarminta
-
Puji Syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Rahim bahwa hanya atas
penyelenggaraan-Nyalah Buku Katekese Liturgi tahun 2015 ini
dapat hadir di tengah-tengah kita. Para umat yang dikasihi Tuhan,
pada tahun 2015 ini, Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya menyedia-
kan bahan Katekese Liturgi bertema: Sakramen Perkawinan dan
Keluarga, sebagai bahan Katekese Liturgi 2015.
Bahan-bahan Katekese Liturgi Sakramen Perkawinan dan Keluarga
ini bisa digunakan dalam dua cara, yakni: pertama, dibacakan
selama tahun 2015 oleh petugas, 5 (lima) menit sebelum Perayaan
Ekaristi pada hari Minggu. Melalui permenungan singkat sebelum
Perayaan Ekaristi ini, diharapkan umat beriman dapat terbantu
semakin memahami, mengerti dan menghayati makna kekayaan
Sakramen Perkawinan dan Keluarga yang dialami setiap harinya; dan
akhirnya diharapkan dapat lebih menghayati makna Sakramen
Perkawinan karena yang menjadi dasar perkawinan Katolik dalam
membangun kesejahteraan hidup keluarga sebagai cerminan cinta
Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Oleh karena itu, kami
menghimbau kepada seluruh umat untuk datang lebih awal, jangan
terlambat ketika mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari Minggu agar
bisa mendengarkan permenungan singkat yang dibacakan dengan
seksama tanpa tergesa-gesa.
Kedua, buku Katekese Liturgi ini bisa juga digunakan sebagai bahan
pendalaman iman di tiap keluarga, KKU, maupun lingkungan.
Harapannya, agar kesempatan untuk mendalami makna Sakramen
Perkawinan dan Keluarga lebih mendalam. Dengan demikian lebih
-
memahami bagaimana harus bersikap sebagai anggota dalam
keluarga.
Dari berbagai masukan yang ada, buku Katekese Liturgi tahun ini
dikemas dalam bentuk tanya-jawab agar lebih memudahkan para
pendengar dalam menangkap pesan katekese. Buku ini berisi 54
pertanyaan dan jawaban yang harapannya dapat mengisi 54 kali
pertemuan selama tahun 2015.
Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya membuka peluang seluas-
luasnya bila ada paroki atau stasi yang ingin mengolah materi-
materi dalam buku ini agar lebih sesuai dengan konteks dan cara
pikir umat di wilayah Anda masing-masing.
Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan,
pengoreksian, pencetakan dan akhirnya pendistribusian buku ini.
Bapa kita di surga yang melihat karya dan usaha kita yang
tersembunyi akan membalasnya kepadamu (bdk. Mat 6:4).
Bersama Bunda Maria, Bunda Gereja, marilah kita mengawali tahun
2015 ini dengan mendalami makna Sakramen Perkawinan dan
Keluarga. Seturut teladan Bunda Maria, yang membuka diri terhadap
rahmat ketika diangkat menjadi Bunda Penyelamat, hendaknya kita
juga mempersilakan Kristus masuk dan bekerja di dalam diri kita
dengan menerima-Nya sepenuh hati. Proses ini akan menuntut
kesabaran dan kesetiaan kita.
Semoga permenungan seputar Sakramen Perkawinan dan Keluarga
ini dapat membantu kita semua lebih memahami dan menghayati
ajaran Gereja Katolik tentang perkawinan dalam upaya
-
mewujudkan Gereja Persekutuan, baik di dalam Keluarga, KKU,
Lingkungan dan Paroki maupun Keuskupan Surabaya. Dengan
demikian, diharapkan umat semakin mencintai Sakramen
Perkawinan dan Keluarganya, baik sebagai suami dan istri maupun
sebagai anak dalam menunaikan kewajiban-kewajiban mereka
karena diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan
iman, harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju
menuju kesempurnaan mereka sendiri dan saling menguduskan.
Semoga Tuhan selalu memberkati tugas dan pelayanan kita semua.
Amin.
Pada Hari Raya SP Maria Dikandung Tanpa Noda,
Surabaya, 7 Desember 2014
Penyusun,
Tim Liturgi Komisi
-
Perkawinan adalah salah satu tahap dari perjalanan manusia sebagai
satu pilihan di antara dua pilihan yang menentukan jalan hidup
manusia. Pilihan lain adalah pilihan untuk tidak menikah. Oleh
karena perkawinan merupakan pilihan yang secara hakiki penting,
maka setiap orang musti mempelajari hal-ikhwal seputar
perkawinan. Dalam hal ini, perkawinan menurut Gereja Katolik.
LATAR BELAKANG
Ada begitu banyak pasangan calon mempelai yang sudah lama ber-
pacaran, namun seringkali mereka belum mempergunakan
kesempatan pacaran itu untuk dapat mempersiapkan diri dalam
membangun keluarga Katolik. Salah satu hal yang sangat penting
namun seringkali terlupakan adalah kurangnya atau tidak pernah
dilaksanakannya pengolahan pengalaman hidup untuk
melangsungkan suatu perkawinan sesuai ajaran Gereja Katolik.
Mengapa demikian? Intinya karena kurangnya pengetahuan mengenai
hal-hal pokok dalan perkawinan Katolik.
Oleh karena itu pentinglah membaca buku Katekese Liturgi
bertema: Sakramen Perkawinan dan Keluarga ini sebagai bekal
awal untuk mempersiapkan perkawinannya dan upaya membangun
keluarga Katolik yang bahagia dan sejahtera.
-
PERMASALAHAN YANG MUNCUL
Sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang
mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian,
mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan Sakramen
Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah
menerima Sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya,
mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu keras di dalam
Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita
melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai
persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi
bahwa Ia menyertai umat-Nya.
Berangkat dari sebuah kegelisahan atau bahkan pesimisme umum
tentang kehidupan keluarga kita dewasa ini, begitu banyak
tantangan yang dihadapi keluarga untuk bisa menghidupkan dan
mengembangkan sebuah tradisi religius dalam rumah tangga.
Berkembanganya teknologi informasi dan komunikasi seperti
fenomena TV, internet, HP, dll, adalah suatu tantangan tersendiri
bagi keluarga untuk menciptakan suasana religius di dalam rumah
tangganya. Satu pertanyaan kritis dan reflektif bagi kita: Ketika
dunia dipengaruhi perkembangan teknologi yang begitu hebat,
budaya materialisme dan hedonisme yang merajalela, apakah orang
tua masih mampu memberikan bekal rohani yang baik bagi anak-
anaknya? Atau dengan situasi demikian, benarkah keluarga
merupakan sebuah komunitas kecil yang memperkembangkan suatu
tradisi religius dalam arti bahwa di dalam ranah keluarga itulah bibit
keimanan sebagaimana diungkapkan dalam agama disemaikan dan
ditumbuhkan dan dengan demikian ikut mempengaruhi
masyarakatnya secara positif?
-
KEBUTUHAN-KEBUTUHAN KATEKESE YANG MENDESAK
Memberikan pengertian, pemahaman agar tumbuh kesadaran dalam
diri umat betapa pentingnya mulai memahami pengetahuan seputar
Sakramen Perkawinan dan bagaimana membina keluarga Katolik
sejak dini.
ALUR PROSES PEMBAHASAN
Perkawinan menurut Kitab Suci (Allah adalah Kasih); perkawinan
menurut ajaran Gereja Katolik (Kitab Hukum Kanonik - KHK),
Sakramen Perkawinan; Liturgi Sakramen Perkawinan, dan Keluarga
sebagai Gereja Kecil.
TUJUAN PEMBAHASAN
Umat dapat lebih memahami dan menyadari arti pentingnya
Sakramen Perkawinan bagi perkembangan kehidupan keluarganya
dalam upaya membagun keluarga yang bahagia dan sejahtera.
HARAPAN
Umat menyadari pentingnya mempersiapkan diri lebih serius dalam
upaya membagun keluarga Katolik sesuai dengan harapan Gereja
Katolik.
-
PENDAHULUAN .................................................................................. i
PENGANTAR ..................................................................................... iv
DAFTAR ISI ....................................................................................... vii
BAGIAN A PERKAWINAN MENURUT KITAB SUCI ............................1
01. Bagaimana pandangan Kitab Suci tentang perkawinan? .......... 1
02. Bagaimana kasih Allah itu diwujudkan dalam perkawinan? .... 2
03. Apakah perkawinan itu merupakah suatu panggilan? ............. 3
04. Apa makna dan tujuan perkawinan sebagai suatu panggilan? . 4
05. Bagaimana memahami bahwa perkawinan itu merupakan
tanda kehadiran misteri kasih-Nya? ............................................... 6
BAGIAN B PERKAWINAN MENURUT AJARAN GEREJA KATOLIK ....8
06. Bagaimana pemahaman Gereja Katolik tentang perkawinan? . 8
07. Bagaimana memahami persekutuan hidup antara seorang pria
dan seorang wanita dalam perkawinan Katolik? ..................... 9
08. Apa yang dimaksud dengan persetujuan pribadi yang tak
dapat ditarik kembali? .......................................................... 11
09. Apa yang dimaksud dengan dan harus diarahkan? .............. 12
10. Apa yang dimaksud dengan saling mencintai sebagai suami-
istri dan kepada pembangunan keluarga?............................. 13
11. Apa yang dimaksud dengan kesetiaan yang sempurna dan
tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh
kematian? ............................................................................ 15
12. Apa yang menjadi paham dasar perjanjian perkawinan
Katolik? ................................................................................. 16
-
13. Bagaimana memahami makna dari sifat kodrati keterarahan
dalam perkawinan Katolik? ................................................... 17
14. Apa saja sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik? ..................... 18
15. Apa yang menjadi pemikiran dasar monogami dalam
perkawinan Katolik? .............................................................. 20
16. Apa yang dimaksud perkawinan Katolik bersifat permanen?
22
17. Ada berapa macam tingkat perkawinan dalam Gereja Katolik?
23
18. Apa syarat-syarat perkawinan Katolik yang sah? ................... 24
19. Apa saja halangan-halangan perkawinan Katolik yang sah? .. 26
20. Apa yang dimaksud dengan halangan nikah umur? ............... 29
21. Apa yang dimaksud dengan halangan nikah impotensi? ....... 30
22. Apa yang dimaksud dengan halangan ikatan perkawinan? .... 31
23. Apa yang dimaksud dengan halangan Agama yang berbeda? 31
24. Apa yang dimaksud dengan halangan Tahbisan Suci? ........... 33
25. Apa yang dimaksud dengan halangan Kaul Kemurnian Publik?
33
26. Apa yang dimaksud dengan halangan penculikan? ................ 34
27. Apa yang dimaksud dengan halangan pembunuhan pasangan?
34
28. Apa yang dimaksud dengan halangan kelayakan publik? ...... 35
29. Apa yang dimaksud dengan halangan hubungan darah? ....... 36
30. Apa yang dimaksud dengan halangan hubungan ipar/
semenda? .............................................................................. 37
31. Apa yang dimaksud dengan halangan adopsi? ....................... 38
-
32. Apa yang dimaksud dengan konsensus atau kesepakatan
nikah dan apa faktor penyebab tidak adanya konsensus serta
bagaimana tata peneguhannya? ............................................ 38
33. Apakah orang Katolik yang menikah di luar Gereja Katolik
dapat menerima Komuni Kudus?........................................... 39
34. Apa konsekuensi bagi seorang Katolik yang memutuskan
untuk menikah secara agama lain? ........................................ 40
35. Apa yang menyebabkan konvalidasi perkawinan tidak dapat
dilakukan? ............................................................................. 42
BAGIAN C SAKRAMEN PERKAWINAN .............................................44
36. Apa yang dimaksud perkawinan sebagai sakramen? ............ 44
37. Apa yang dimaksud dengan Sakramen Perkawinan? ........... 45
38. Apa yang dimaksud dengan Sakramentalitas Perkawinan? .. 46
39. Apa beda Sakramen Perkawinan dan Pemberkatan
Perkawinan? .......................................................................... 47
BAGIAN D LITURGI SAKRAMEN PERKAWINAN .............................50
40. Bagaimana kita memahami dengan baik yang dimaksud
dengan Liturgi Sakramen Perkawinan? ................................. 50
41. Apa dasar yang membedakan adanya beberapa kemungkinan
tata laksana upacara perkawinan? ......................................... 53
42. Bagaimana urutan Tata Liturgi Sakramen Perkawinan yang
dilaksanakan? ........................................................................ 54
43. Bagaimana tata liturgi upacara perkawinan di luar Ekaristi
dilaksanakan? ........................................................................ 54
44. Bagaimana upacara perkawinan apabila dilaksanakan di
rumah? .................................................................................. 55
45. Bagaimana tata laksana upacara perkawinan yang dipimpin
oleh awam? ........................................................................... 55
-
46. Bagaimana pelaksanaan dan tata laksana upacara perkawinan
mempelai Katolik dengan mempelai kristen dari Gereja lain?56
47. Bagaimana pelaksanaan dan tata laksana upacara perkawinan
mempelai Katolik dengan mempelai bukan Kristen? ............. 57
48. Bagaimana upacara convalidatio dilaksanakan? ................... 57
49. Bagaimana upacara pemberkatan suami-istri yang sudah
kawin di luar Gereja dilaksanakan? ....................................... 58
50. Bagaimana upacara perkawinan sipil dilaksanakan? ............. 58
51. Apa unsur-unsur pokok liturgi perkawinan? Dan apa maksud
dari setiap unsur tersebut? .................................................... 59
BAGIAN E KELUARGA SEBAGAI GEREJA RUMAH TANGGA ...........64
52. Apa dasar dan makna Keluarga sebagai Gereja rumah tangga
(Ecclesia domestica)? .............................................................. 64
53. Bagaimana mewujudkan Keluarga sebagai Gereja rumah
tangga (Ecclesia domestica)? ................................................. 67
54. Langkah-langkah atau gerakan konkrit apa saja yang dapat
dilakukan sebagai ungkapan perwujudan Keluarga sebagai
Gereja rumah tangga (Ecclesia domestica)? ........................... 71
PENUTUP ...........................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................76
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................77
PERSYARATAN MENIKAH SECARA KATOLIK ............................. 77
TATA PERAYAAN PERKAWINAN - DALAM MISA (SESAMA
KRISTIANI) ........................................................................... 80
TATA PERAYAAN PEMBERKATAN PERKAWINAN DALAM
PERAYAAN SABDA (UNTUK PASANGAN BEDA AGAMA) ..... 96
TANYA-JAWAB .......................................................................... 115
-
01. Bagaimana pandangan Kitab Suci tentang perkawinan?
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama,
laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej
1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu
mendapatkan teman penolong yang sepadan dengannya (Kej 2:20),
sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu daging (Kej
2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan
oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada
mereka, Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi
dan taklukkanlah itu... (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu
suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan
manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah
yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini
ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: Laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya
sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki
dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh
diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9).
Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu
diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun
tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat
19:8). Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan
-
penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (Yoh
4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan
pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita
mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa
yang merupakan komunitas Tiga Pribadi: Allah Bapa, Putra, dan Roh
Kudus (Trinitas).
02. Bagaimana kasih Allah itu diwujudkan dalam perkawinan?
Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah
Bapa dengan Yesus Sang Putra menghasilkan Roh Kudus.
Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara
Allah Bapa dan Putra itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih
di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak
terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan
dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit
menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia
diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat
menggambarkan kasih Allah itu.
Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang
bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan
buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak
terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia,
wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan
manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertai-Nya dan
memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan
Yesus mengutus Roh Kudus-Nya. Kasih inilah yang direncanakan
-
Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di
dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan
hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita
dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa
Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6, dst.; 62:4, dst.; Yer
2:2; Hos 2:19; Kid 1, dst.) untuk menggambarkan kesetiaan-Nya
kepada umat manusia. Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri
menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya
menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef
5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-
Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25).
03. Apakah perkawinan itu merupakah suatu panggilan?
Perkawinan adalah panggilan untuk saling mengasihi, maka para
suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan
istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada
Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang
disebut sebagai kepala istri (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai
anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang
Kepala. Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari
setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia
ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah.
Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui
Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu dengan-Nya
menjadi satu daging. Pemahaman arti perkawinan dan kesatuan
-
antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena
dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa
semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat
demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan
gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan
banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka
menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada
Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin
bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam
Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka
melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.
Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai perjamuan kawin
Anak Domba (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia
adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan
sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat:
pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh
gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita
mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut
dengan panggilan hidup kita masing-masing.
04. Apa makna dan tujuan perkawinan sebagai suatu
panggilan?
Melihat dasar Kitab Suci ini maka makna perkawinan dapat
diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat
hukum untuk hidup bersama seumur hidup, Katekismus Gereja
Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita
-
yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-
istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. Hal ini berkaitan dengan
gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia,
menyeluruhdan berbuah.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi karunia
satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam
hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan
dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak,
namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan
pasangan itu sendiri. Artinya, bagi istri, suami adalah tanda rahmat
kehadiran Tuhan, dan bagi suami, istri adalah tanda rahmat
kehadiran Tuhan.
Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa
penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan
wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang terpisahkan
seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang
tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan
sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya.
Karena itu harusnya setiap hari pasangan suami-istri selalu
merenungkan, Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan
kepada istriku (suamiku)? Sebab panggilan suami dan istri adalah
untuk saling mengasihi dan memberi, sebagai karunia dan tanda
kehadiran Tuhan, satu sama lain.
-
05. Bagaimana memahami bahwa perkawinan itu merupakan
tanda kehadiran misteri kasih-Nya?
Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan
istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan
yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan
suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika
di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk
mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan
jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan
manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya
manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendak-Nya dengan
mengaruniakan jiwa yang kekal (immortal). Sedangkan hewan dan
tumbuhan tidak mempunyai jiwa. Jadi peran serta manusia dalam
penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat
luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang
diinginkan oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, suami dan istri menjalankan
peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak
mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari
kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/pengasuhan
(Gods maternity) dan pendidikan/pengaturan (Gods paternity)
terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan
manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain
diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan
karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan
dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut
ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan,
-
pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain. Setiap kali kita
merenungkan dalamnya arti perkawinan sebagai gambaran kasih
Allah sendiri, kita perlu bersyukur. Begitu dalamnya kasih Allah
pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencana-Nya bagi kita.
Melalui perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-
Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam
Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita
(self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-
anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita
menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang
disebut kebahagiaan.
-
06. Bagaimana pemahaman Gereja Katolik tentang
perkawinan?
Dalam tahun-tahun setelah Konsili Vatikan II, pemahaman tentang
Perkawinan Kristiani mengalami perkembangan yang pesat.
Perkawinan yang semula dilihat hanya sebagi kontrak, kini
dipandang sebagai perjanjian (covenant, foedus) yang membentuk
suatu persekutuan hidup dan cinta yang mesra.
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 (hukum lama), kan. 1013
dikatakan bahwa tujuan pertama perkawinan adalah mendapat
keturunan dan pendidikan anak; sedangkan yang kedua adalah
saling menolong sebagai suami dan sebagai obat penyembuh atau
penawar nafsu seksual. Namun sekarang, dengan mengikuti ajaran
ensiklik Humanae Vitae dari Paus Paulus VI, cinta suami-istri dilihat
sebagai elemen perkawinan yang esensial. Kodeks baru (KHK 1983)
dalam kan. 1055, berbicara tentang hal itu dalam arti bonum
coniugum (kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
Hak atas tubuh suami-istri dalam kodeks lama merupakan tindakan
yang sesuai bagi kelahiran anak. Konsili Vatikan II dalam Gaudium
et Spes (GS) no. 48 menekankan pemberian atau penyerahan diri
seutuhnya (total self donation, total giving of self). Maka, perkawinan
-
tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan (tubuh),
melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi (persona).
Jadi menurut pemahaman ajaran Katolik, perkawinan adalah
persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita
yang terjadi karena persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik
kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai
suami-istri dan kepada pembangunan keluarga. Dan oleh
karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna dan tidak
mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian.
07. Bagaimana memahami persekutuan hidup antara seorang
pria dan seorang wanita dalam perkawinan Katolik?
Apa yang pertama-tama kelihatan pada perkawinan Katolik?
Jawabnya adalah: Hidup bersama. Namun, hidup bersama itu masih
beranekaragam isinya. Dalam perkawinan Katolik, hidup bersama
itu mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu.
Bersekutu mengisyaratkan adanya semacam kontrak, semacam
ikatan tertentu dengan sekutunya. Bersekutu mengandaikan juga
kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan itu, dan untuk
menjaga persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk mengikatkan
diri kepada sekutunya, dan ada kesediaan pribadi untuk memper-
kembangkan ikatannya itu supaya menjadi semakin erat.
Ikatan ini tidak mengurangi kebebasannya. Justru ikatan itu mengisi
kebebasan orang yang bersangkutan. Pertama-tama karena para
calon mempelai memilih sendiri untuk bersekutu, dan bebas untuk
memilih mau bersekutu dengan siapa, memilih untuk terikat dengan
-
menggunakan kebebasan sepenuhnya; tetapi juga karena kebebasan
itu hanya dapat terlaksana dalam melaksanakan pilihan-nya untuk
bersekutu ini. Dengan kata lain boleh dikatakan bahwa persekutuan
itu membuat orang sungguh-sungguh bebas karena dapat
memperkembangkan kreativitas dalam memelihara dan
mengembangkan persekutuan itu; bukan dengan menghadapkan
diri pada pilihan-pilihan yang baru lagi. Persekutuan hidup antara
seorang pria dan seorang wanita dalam perkawinan Katolik yang
dibangun itu menjadi tugas kehidupan yang harus dihayatinya.
Penekanan pertama di sini adalah seorang dengan seorang: artinya
orang seutuhnya dengan orang seutuhnya. Ini menggambarkan
penerimaan terhadap satu pribadi seutuhnya. Yang diterima untuk
bersekutu adalah pribadi, bukan kecantikan, ketampanan, kekayaan
atau kepandaiannya saja. Ada beberapa catatan untuk penerimaan
satu pribadi ini: Pertama, menerima pribadi itu berarti menerima
juga seluruh latar belakang dan menerima seluruh masa depannya.
Artinya, saya tidak dapat menerima pribadi itu hanya sebagai satu
pribadi yang berdiri sendiri. Selalu, saya harus menerima juga orang
tuanya, kakak dan adiknya, saudara-saudaranya, teman-temannya,
bahkan juga bahwa dia pernah berpacaran atau bertunangan dengan
si ini atau si itu. Lebih jauh lagi, saya juga harus menerima segala
sesuatu yang terjadi padanya di masa mendatang: syukur kalau ia
menjadi semakin baik, tetapi juga kalau ia menjadi semakin buruk
karena penyakit, karena ketuaan, karena halangan-halangan; saya
masih tetap harus menerimanya. Yang ke dua, menerima pribadi
berarti menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Kalau dipikir secara matematis: yang bersekutu itu
satu dengan satu; bukan 3/4 + 1/2, atau 1 + 6/8; lebih-lebih lagi,
-
bukan satu dengan satu setengah, satu seperempat, atau satu tiga
perempat, apalagi dengan dua, tiga, dan seterusnya.
Dengan ungkapan lain lagi: Saya seutuhnya, mau mencintai dia
seutuhnya/apa adanya. Ini berarti, saya mau menerima dia seutuh-
nya, apa adanya; tetapi juga sekaligus saya mau menyerahkan diri
seutuhnya kepadanya saja. Yang lain sudah tidak mendapat tempat
lagi di hati saya, di pikiran saya. Hanya dia saja. Bahkan, anak-anak-
pun tidak boleh melebihi dia di hadapan saya,dalam pelayanan saya.
Penekanan kedua pada seorang pria dengan seorang wanita. Yang
ini kiranya cukup jelas. Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang
sungguh-sungguh wanita yang dapat melaksanakan perkawinan
secara Katolik.
08. Apa yang dimaksud dengan persetujuan pribadi yang tak
dapat ditarik kembali?
Hidup bersekutu itu terjadi karena setuju secara pribadi. Yang harus
setuju adalah yang akan menikah. Dan persetujuan itu dilakukan
secara pribadi, tidak tergantung pada siapapun, bahkan juga pada
pasangannya. Maka, rumusannya yang tepat adalah: Saya setuju
untuk melangsungkan pernikahan ini, tidak peduli orang lain setuju
atau tidak, bahkan tidak peduli juga pasangan saya setuju atau
tidak.Lalu bagaimana kalau pasangan saya kurang atau bahkan
tidak setuju?. Dia hanya pura-pura setuju. Kalau demikian,
bukankah pihak yang setuju dapat dirugikan? Ya, inilah resiko cinta
sejati. Cinta sejati di sini berarti saya setuju untuk mengikatkan diri
dengan pasangan, saya setuju untuk menyerahkan diri kepada
pasangan, saya setuju untuk menjaminkan diri pada pasangan; juga
-
kalau akhirnya persetujuan saya ini tidak ditanggapi dengan baik/
sesuai dengan kehendak saya. Yang menjadi dasar pemahaman ini
adalah karena setiap mempelai membawa cinta Kristus sendiri.
Kristuspun tanpa syarat mengasihi kita, Kristus tanpa syarat
menerima kita dan memberikan Diri-Nya bagi kita.
Persetujuan pribadi untuk bersekutu itu nilainya sama dengan
sumpah/janji dan bersifat mengikat seumur hidup. Sebab
persetujuan itu mengikutsertakan seluruh kehendak, pikiran,
kemauan, perasaan. Pokoknya seluruh kepribadian. Maka
dinyatakan bahwa persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali.
Sebab, penarikan kembali pertama-tama berarti pengingkaran
terhadap diri sendiri, pengingkaran terhadap kebebasannya sendiri,
pengingkaran terhadap cita-cita dan kehendaknya sendiri. Tetapi,
kemudian, juga berarti bahwa pribadinya sudah tidak menjadi utuh
kembali.
09. Apa yang dimaksud dengan dan harus diarahkan?
Kata-kata dan harus diarahkan ini juga dapat diartikan
penegasan terhadap perkawinan sebagai awal dari kehidupan baru
bagi kedua mempelai. Bagaimanapun oleh perubahan situasi
manusia masih dapat berubah. Penegasan ini membantu para
suami/istri untuk melaksanakan isi persetujuan itu.
Sebenarnya, pengalaman untuk membuat dan memelihara dan
memperkembangkan persetujuan pribadi untuk bersekutu itu sudah
harus dipupuk sejak masa pacaran. Maka, ada banyak yang merasa
bahwa persetujuan semacam itu sudah tidak perlu dipertanyakan
lagi. Pokoknya sudah beres, begitu. Semua sudah siap. Namun,
-
kenyataannya persetujuan yang terjadi pada masa pacaran belumlah
memenuhi syarat perkawinan. Dan benarlah, persetujuan yang
dibangun pada masa pacaran baiklah persetujuan sebagai pacar.
Persetujuan yang dibangun pada masa tunangan, baiklah
persetujuan sebagai tunangan. Baru, setelah menikah, persetujuan
itu boleh menjadi persetujuan sebagai suami-istri. Maka, kita lihat,
misalnya adanya pembatasan-pembatasan dalam berpacaran,
menunjukkan bahwa persetujuan itu belum bisa dilaksanakan
sepenuhnya. Secara lebih positif dapat dikatakan bahwa persetujuan
semasa pacaran lebih diarahkan untuk dapat melaksanakan janji
pada saat perkawinan. Supaya janji pada saat perkawinan sungguh
berisi dan memberi jaminan bagi masa depan baik pribadi maupun
pasangannya.
10. Apa yang dimaksud dengan saling mencintai sebagai
suami-istri dan kepada pembangunan keluarga?
Pengalaman menunjukkan bahwa calon mempelai biasanya bingung
dengan ungkapan saling mencintai sebagai suami-istri dan
kepada pembangunan keluarga ini. Mereka merasa sudah saling
mencintai, kok masih ditanya soal ini. Masalahnya, sering tidak
disadari bahwa cinta itu bermacam-macam. Ada cinta sebagai
saudara, ada cinta sebagai sahabat, ada cinta karena belas kasihan,
demikian pula ada cinta suami-istri. Tentu saja, yang namanya cinta
sejati tidak pernah dapat berbeda-beda. Yesus menunjuk cinta sejati
itu sebagai orang yang mengorbankan nyawa-Nya bagi yang
dicintai-Nya. Dan Yesus memberi teladan dengan hidup-Nya sendiri
yang rela sengsara, bahkan sampai wafat untuk kita semua yang
dicintai-Nya. Namun, perwujudan cinta sejati itu ternyata bisa
-
beraneka-ragam. Kekhasan dari cinta suami-istri adalah adanya
keterikatan istimewa yang membuat mereka dapat menyerahkan diri
seutuhnya bagi pasangannya. Dalam hal ini kiranya cinta suami-istri
dapat disejajarkan dengan cinta yang diwujudkan dalam suatu kaul
biara atau janji seorang imam. Bedanya, kalau kaul biara atau janji
seorang imam tertuju kepada Tuhan di dalam umat-Nya; dalam
perkawinan cinta itu tertuju kepada Tuhan di dalam pasangannya.
Yang mau dituju adalah membangun suasana saling mencintai
sebagai suami/istri. Maka, tidak hanya membabi buta dengan
cintanya sendiri. Pokoknya saya sudah mencintai. Ini tidak cukup.
Perjuangan seorang suami/istri adalah di samping memelihara dan
memperkembangkan cintanya, juga mengusahakan supaya pasang-
annya dapat ikut mengembangkan cintanya sebagai suami/istri.
Hidup dalam persekutuan sebagai suami-istri mau tidak mau
mewujudkan suatu keluarga. Harus siap untuk menerima
kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga,
baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di
hadapan masyarakat pada umumnya. Maka, membangun hidup
sebagai suami-istri membawa juga kewajiban untuk mampu
menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya.
Mampu bekerjasama menerima, memelihara dan mendewasakan
anak, mampu bekerjasama menerima atau datang bertamu kepada
keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta membangun Gereja.
Semuanya dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.
-
11. Apa yang dimaksud dengan kesetiaan yang sempurna dan
tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh
kematian?
Setia dalam hal apa? Empat hal yang sudah diuraikan di atas, yakni
persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita,
memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi,
membangun saling mencintai sebagai suami-istri, membangun
hidup berkeluarga yang sehat. Tidak melaksanakan salah satunya
berarti sudah tidak setia. Apalagi kalau kemudian mengalihkan
perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun persekutuan
yang lain, membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun
hubungan saling mencintai sebagai suami-istri dengan orang lain,
membangun suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga
saudara): ini dosanya besar sekali
Satu pedoman untuk kesetiaan yang sempurna adalah Kristus sen-
diri. Ia setia kepada tugas perutusanNya, Ia setia kepada BapaNya, Ia
setia kepada manusia, kendati manusia tidak setia kepada-Nya.
Persekutuan perkawinan terjadi oleh dua pihak, yakni oleh suami
dan istri. Maka, tidak ada instansi atau siapapun yang akan dapat
memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami-istri itu
sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu
dibangun atas dasar kehendak Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang
merestuinya. Maka, pemutusan persekutuan perkawinan bisa
dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi suami/istri. Ini
bisa berarti pembunuhan, karena pribadi itu dihancurkan.
-
Pengecualian ini didengar tidak enak. Namun, nyatanya, misteri
kematian tidak terhindarkan. Karena kematian yang wajar, persetu-
juan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu sudah tidak
mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.
12. Apa yang menjadi paham dasar perjanjian perkawinan
Katolik?
Paham dasar perkawinan Katolik adalah Dengan perjanjian
perkawinan pria dan wanita membantu antara mereka
kebersama-an seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian
itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan
pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan
antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat
Sakramen. (kan 1055 1 ).
1. Perjanjian Perkawinan
Perkawinan itu dari kodratnya adalah suatu perjanjian (covenant,
foedus). Dalam tradisi Yahudi, perjanjian berarti suatu agreement
(persetujuan) yang membentuk (menciptakan) suatu hubungan
sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan mengikat sama
seperti hubungan antara orang-orang yang mempunyai
hubungan darah. Konsekuensinya, hubungan itu tidak berhenti
atau berakhir, sekalipun kesepakatan terhadap perjanjian itu
ditarik kembali. Berdasarkan pilihan bebas dari suami-istri, suatu
perjanjian sesungguhnya akan meliputi relasi antar pribadi
seutuhnya yang terdiri dari hubungan spiritual, emosional dan
fisik.
-
2. Kebersamaan Seluruh Hidup
Dari kodratnya perkawinan adalah suatu kebersamaan seluruh
hidup (consortium totius vitae; consortium asalnya dari
con = bersama, sors = nasib, jadi kebersamaan senasib; totius vitae
= seumur hidup, hidup seutuhnya). Ini terjadi oleh perjanjian
perkawinan. Suami-istri berjanji untuk menyatukan hidup
mereka secara utuh hingga akhir hayat (bdk. janji perkawinan).
3. Antara Pria dan Wanita
Pria dan wanita diciptakan menurut gambaran Allah dan
diperuntukkan satu sama lain, saling membutuhkan, saling
melengkapi, saling memperkaya. Menjadi satu daging (Kej
2:24).
13. Bagaimana memahami makna dari sifat kodrati
keterarahan dalam perkawinan Katolik?
Sifat kodrati keterarahan kepada kesejahteraan suami-istri
(bonum coniugum). Selain tiga bona (bonum = kebaikan)
perkawinan yang diajarkan St. Agustinus, yakni:
a. Bonum prolis: kebaikan anak, bahwa perkawinan ditujukan
kepada kelahiran dan pendidikan anak,
b. Bonum fidei: kebaikan kesetiaan, menunjuk kepada sifat
kesetiaan dalam perkawinan, dan
c. Bonum sacramenti: kebaikan sakramen, menunjuk pada sifat
permanensi perkawinan; Gaudium et Spes no. 48 menambah
lagi satu bonum yang lain, yakni bonum coniugum
(kebaikan, kesejahteraan suami-istri).
-
Sifat kodrati keterarahan kepada anak. Perkawinan terbuka
terhadap kelahiran anak dan pendidikannya. KHK 1983 tidak lagi
mengedepankan prokreasi sebagai tujuan pertama perkawinan yang
mencerminkan tradisi berabad-abad sejak Agustinus, melainkan
tanpa hirarki tujuan-tujuan menghargai aspek personal perkawinan
dan menyebut lebih dahulu kesejahteraan suami-istri (bonum
coniugum).
Perkawinan sebagai Sakramen. Perkawinan Katolik bersifat
sakramental. Bagi pasangan yang telah dibaptis, ketika mereka
saling memberikan konsensus dalam perjanjian, maka perkawinan
mereka menjadi sah sekaligus sakramen.
14. Apa saja sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik?
Kanon 1056 mengatakan: Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah
monogam dan tak terputuskan, yang dalam perkawinan kristiani
memperoleh kekukuhan khusus karena sakramen.
Jadi sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik, yaitu:
1. Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang
wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain,
tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas
mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, PIL, WIL.
2. lndissolubilitas, tak terceraikan, artinya ikatan perkawinan
hanya diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau
keduanya. "Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia" (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu,
dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam
-
suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian,
pengampunan sangat dituntut.
3. Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai
sejak terjadinya konsensus/perjanjian antara dua orang
dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan
disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah
yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri
dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi
sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk.Ef 5:22-
33).
Patut diperhatikan bahwa penafsiran serta penerapannya di dalam
Gereja Katolik tak jarang berbeda dengan di kalangan non-Katolik.
Sifat-sifat hakiki ini berkaitan erat sekali, sehingga perkawian kedua
tidak sah, meskipun suami-istri perkawinan pertama telah
diceraikan secara sipil atau menurut hukum agama lain, karena
Gereja Katolik tidak mengakui validitas atau efektivitas perceraian
itu. Dengan demikian suami-istri yang telah cerai itu di mata Gereja
masih terikat perkawinan dan tak dapat menikah lagi dengan sah.
Andaikata itu terjadi, maka di mata Gereja terjadi poligami suksesif.
Monogami berarti perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita. Jadi, merupakan lawan dari poligami atau poliandri.
Sebenarnya UU Perkawinan RI No. 1 tahun 1974 juga menganut asas
monogami, tetapi asas ini tidak dipegang teguh karena membuka
pintu untuk poligami, tetapi tidak untuk poliandri.
Sebaiknya dibedakan implikasi/konsekuensi moral dan hukum.Di
sini perhatian lebih dipusatkan pada hukum. Dengan berpangkal
-
pada kesamaan hak pria dan wanita yang setara, sehingga poligami
dan poliandri disamakan:
1. Mengesampingkan poligami simultan: dituntut ikatan
perkawinan dengan hanya satu jodoh pada waktu yang sama.
2. Mengesampingkan poligami suksesif, artinya, berturut-turut
kawin cerai, sedangkan hanya perkawinan pertama yang
dianggap sah, sehingga perkawinan berikutnya tidak sah.
Kesimpulan ini hanya dapat ditarik berdasarkan posisi dua
sifat perkawinan seperti yang dicanangkan Kan. 1056:
monogami eksklusif dan tak terputuskannya ikatan
perkawinan. Implikasi dan konsekuensi ini lain - tetapi hal ini
termasuk moral - ialah larangan hubungan intim dengan
orang ketiga.
15. Apa yang menjadi pemikiran dasar monogami dalam
perkawinan Katolik?
Dasar monogami dapat dilihat dalam martabat pribadi manusia yang
tiada taranya pria dan wanita yang saling menyerahkan dan
menerima diri dalam cintakasih total tanpa syarat dan secara
eksklusif. Dasar ini menjadi makin jelas bila dibandingkan dengan
alasan dalam UU Perkawinan yang memperbolehkan poligami,
yakni: bila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri,
cacat badan atau penyakit lain yang tidak dapat disembuhkan, dan
bila istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam pendasaran ini istri diperlakukan menurut sifat-sifat
tertentu, dan tidak menurut martabatnya sebagai pribadi manusia.
-
Bdk. gagasan janji perkawinan: kasih setia dalam suka-duka,
untung-malang, sehat-sakit. Tak jarang dilontarkan argumen
mendukung poligami yang dianggap lebih sosial menanggapi
masalah kekurangan pria, sedangkan penganut monogami tak
tanggap terhadap kesulitan wanita mendapatkan jodoh.
Sifat tak-terputuskannya ikatan perkawinan, didasarkan pada:
1. Sifat Ikatan Perkawinan
Ikatan perkawinan bersifat atau berlaku seumur hidup
karena perkawinan berarti penyerahan diri secara total tanpa
syarat, juga tanpa pembatasan waktu di dunia fana ini.
2. Implikasi
Memang kesesatan saja tentang sifat-sifat hakiki perkawinan
tidak otomatis membuat perkawinan menjadi tidak sah,
tetapi sifat-sifat hakiki ini juga menjadi obyek konsensus
perkawinan (Kan. 1099). Barangsiapa menjanjikan kesetiaan
tetapi tidak menghendaki perkawinan seumur hidup
melakukan simulasi parsial yang membuat perkawinan itu
menjadi tidak sah.
Barangsiapa bercerai, tidak memenuhi janjinya untuk
menikah seumur hidup, dan bila ia menikah lagi, maka
perkawinan itu tidak sah, karena masih terikat pada
perkawinan sebelumnya. Itulah salah satu kesulitan umat
Katolik di Indonesia, di mana 60 % perkawinan setiap tahun
diceraikan.
-
16. Apa yang dimaksud perkawinan Katolik bersifat
permanen?
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik
secara intrinsik (oleh suami-istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh
pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah
dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar
sakramen.
Dasar yang digunakan dalam ikatan perkawinan tercermin didalam
Kitab Suci maupun konsili vatikan antara lain:
a. Dasar Kitab Suci, mis. Mrk 10:2-12; Mat 5:31-32;19:2-12;
Luk.16:18.
b. Ajaran Gereja: Konsili Trente (DS 1807); Konsili Vatikan II (GS
48), Familiaris Consortio 20; Katekismus Gereja Katolik 1644-
1645.
c. Penalaran akal sehat memang dapat mengajukan aneka
argumen untuk mendukung sifat tak-terputusnya perkawinan,
misalnya martabat pribadi manusia yang patut dicintai tanpa
reserve, kesejahteraan suami-istri, terutama istri dan anak-
anak, terutama yang masih kecil. Tetapi argumen-argumen ini
tak dapat membuktikan secara mutlak, artinya tanpa
kekecualian.
-
17. Ada berapa macam tingkat perkawinan dalam Gereja
Katolik?
Perkawinan Katolik bersifat permanen dan tak terceraikan, baik
secara intrinsik (oleh suami-istri sendiri) maupun ekstrinsik (oleh
pihak luar). Dalam hal perkawinan antara orang-orang yang telah
dibaptis, perkawinan itu memperoleh kekukuhan atas dasar
sakramen. Meski demikian, hukum masih mengakui adanya tingkat-
tingkat kekukuhan dalam perkawinan sesuai macam perkawinan itu
sendiri. Adapun dikenal beberapa macam tingkat perkawinan dalam
Gereja Katolik, antara lain:
a. Perkawinan putativum (putatif):
Perkawinan tak sah yang diteguhkan dengan itikad baik
sekurang-kurangnya oleh satu pihak (kan. 1061 1). Secara
hukum perkawinan ini tidak mempunyai sifat kekukuhan dan
ketakterceraian sama sekali.
b. Perkawinan legitimum antara dua orang non-baptis
Perkawinan ini sah, tapi tak sakramental, yang sekaligus
mempunyai sifat kekukuhan, namun bisa diceraikan dengan
Previlegium Paulinum, karena suatu alasan yang berat.
c. Perkawinan legitimum antar seorang baptis dan seorang
non-baptis
Perkawinan ini pun sah, tapi tak sakramental karena salah
satu pasangan belum atau tidak dibaptis.Perkawinan inipun
dapat dibubarkan karena suatu alasan yang berat dengan
Previlegium Petrinum (Previlegi Iman), walaupun telah
memperoleh ciri kekukuhan dalam dirinya.
-
d. Perkawinan ratum (et non consumatum)
Perkawinan sah dan sakramental, tapi belum disempurnakan
dengan persetubuhan (Kan 1061). Tingkat kekukuhan
perkawinan ini sudah masuk kategori khusus atas dasar
sakramen, namun karena suatu alasan yang sangat berat,
masih dapat diputus oleh Paus.
e. Perkawinan ratum et consumatum
Perkawinan sah, sakramental, dan telah disempurnakan
dengan persetubuhan. Perkawinan ini pun mempunyai
kekukuhan khusus atas dasar sakramen, tapi lebih dari itu
bersifat sama sekali tak terceraikan, krn sudah disempurnakan
dengan persetubuhan.
18. Apa syarat-syarat perkawinan Katolik yang sah?
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui
beberapa syarat untuk menjadikan perkawinan sebagai perjanjian
yang sah.
Syarat pertama. Perkawinan Katolik yang sah adalah adanya
kesepakatan atau perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang
pria dan wanita yang telah dibaptis sebab kesepakatan kedua
mempelai ini merupakan unsur yang essensial dan syarat mutlak
untuk perjanjian Perkawinan yang sah, artinya "Kesepakatan antara
orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan
secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat
diganti oleh kuasa manusiawi manapun" (kan 1057 1); dan saling
menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
-
tak dapat ditarik kembali (kan 1057 2); sebab jika kesepakatan ini
tidak ada, maka tidak ada perkawinan.
Kesepakatan ini harus dibuat secara bebas dan sukarela, dalam arti
tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri,
tidak ada paksaan dari pihak manapun dan tidak dihalangi oleh
hukum kodrat atau Gereja. (lih. kanon 1103) Kesepakatan ini
dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati;
perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria
dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu
kerja sarna seksual (lih. kanon 1096). Kesepakatan di sini berarti
tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima
pasangan.
Kesepakatan perjanjian perkawinan ini harus dinyatakan secara
lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara, dinyatakan dengan
isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus hadir pada
saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam
keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada
orang lain.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh
imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin
upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena
kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka Sakramen Perkawinan
diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan
pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat
dengan hak dan kewajiban suami-istri dan terhadap anak-anak di
dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para
saksi adalah mutlak perlu
-
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang
bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perkawinan ini harus
didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. Persiapan ini
mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang
peran masing-masing dan pelaksanaannya.
19. Apa saja halangan-halangan perkawinan Katolik yang sah?
Yang dimaksud halangan-halangan perkawinan Katolik adalah hal-
hal yang membuat perkawinan menjadi tidak sah atau
menggagalkan sebuah perkawinan. Halangan tersebut berkaitan
dengan hukum ilahi dan hukum Gereja.
Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat
diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan
hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah.
Halangan dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu
bersumber dari hukum kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah
sendiri dalam tata ciptaan, khususnya dalam hakikat dan martabat
manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui
pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber
dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan
memasukkannya ke dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) adalah
kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut doktrin
umum, halangan dari hukum ilahi ini adalah:
impotensi seksual yang bersifat tetap (kan. 1084)
ikatan perkawinan sebelumnya (kan. 1085)
-
hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke
bawah (kan. 1091 1)
Halangan dari hukum gerejawi. Halangan nikah dikatakan
bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang
tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang
kelihatan memiliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh
otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan
khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan
mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang
bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi
yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan
melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kan. 114 1).
Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu
setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan
jiwa-jiwa adalah norma hukum tertinggi (kan. 1752).
Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum
yang sangat besar. Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat
semua orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis,
sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat
mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di
dalamnya (kan. 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi
tidak bisa didispensasi, sedangkan dari hukum gerejawi dapat
didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan
yang berlaku.
-
Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan secara
spesifik dalam KHK 1983, yakni:
A. Halangan yang berasal dari perkawinan itu sendiri
1. Halangan umur (kan. 1083)
2. Halangan impotensi seksual yang bersifat tetap (kan. 1084)
3. Ikatan perkawinan (kan. 1085)
B. Halangan berdasarkan hal agama
4. Agama yang berbeda (kan. 1086)
5. Tahbisan Suci (kan. 1087)
6. Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (kan. 1088)
C. Halangan yang Muncul dari Dosa Berat
7. Penculikan (kan. 1089)
8. Pembunuhan pasangan/kriminal (kan. 1090)
9. Kelayakan publik (kan. 1093)
D. Halangan Nikah Berdasarkan Hubungan Persaudaraan
10. Hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke
bawah (kan. 1091 1) dan garis menyamping (kan. 1091 2)
11. Hubungan ipar/semenda (kan. 1092)
12. Halangan adopsi atau pertalian hukum (kan. 1094)
-
20. Apa yang dimaksud dengan halangan nikah umur?
Halangan Nikah Umur (kan. 1083)
Kanon 1083 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur genap
16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak
dapat menikah dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu
dimengerti bersama dengan ketentuan mengenai kematangan
intelektual dan psikoseksual (kan. 1095).
Syarat umur yang dituntut oleh kodeks 1983 adalah laki-laki
berumur 16 tahun dan perempuan berumur 14 tahun dan bukan
kematangan badaniah. Tetapi hukum kodrati menuntut kemampuan
menggunakan akal budi dan mengadakan penilaian secukupnya dan
corpus suo tempore habile ad matrimonium. Hukum sipil sering
mempunyai tuntutan umur lebih tinggi untuk perkawinan dari pada
yang dituntut hukum Gereja. Jika salah satu pihak belum mencapai
umur yang ditentukan hukum sipil, Ordinaris wilayah harus diminta
nasehatnya dan izinnya diperlukan sebelum perkawinan itu bisa
dilaksanakan secara sah (bdk kan. 1071, 1, no.3). Izin semacam itu
juga harus diperoleh dari Ordinaris wilayah dalam kasus di mana
orang tua calon mempelai yang belum cukup umur itu tidak
mengetahui atau secara masuk akal tidak menyetujui perkawinan itu
(bdk. Kan. 1071, 1, no.6).
Sedangkan UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun
untuk pria dan 17 tahun untuk wanita.
-
21. Apa yang dimaksud dengan halangan nikah impotensi?
Halangan Nikah Impotensi (kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual suami-istri
disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita.
Kan. 1084 1 Impotensi merupakan halangan yang menyebab-
kan perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika
impotensi itu ada sejak pra-nikah dan bersifat tetap, entah
bersifat mutlak ataupun relatif
Kan. 1084 2 Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena
keraguan hukum atau keraguan faktum, sementara dalam keraguan,
pernikahan tidak boleh dinyatakan batal.
Kan. 1084 3 Kemandulan tidak melarang ataupun menggagal-
kan pernikahan, dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1098 (bila
ada penipuan dari salah satu pasangan, perkawinan itu tidak sah dan
dapat dibatalkan).
Menurut 1 di atas hanyalah impotensi yang ada sejak sebelum
pernikahan dan tidak dapat disembuhkan yang merupakan halangan
nikah. Impotensi yang timbul setelah pernikahan dan hanya bersifat
sementara serta dapat disembuhkan, tidak merupakan halangan
untuk sahnya pernikahan.
Jadi impotensi merupakan halangan nikah yang bersumber dari
hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi, sebab
dalam pernikahan dituntut kemampuan untuk membangun hidup
sebagai suami-istri yang saling menyerahkan diri seutuhnya dan
-
terarah pada kelahiran dan pendidikan anak; sedangkan pada 3
kemandulan tidak menjadi halangan atau pun menggagalkan nikah.
22. Apa yang dimaksud dengan halangan ikatan perkawinan?
Halangan Ikatan Perkawinan-Ligamen (kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri timbal balik,
utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan
(unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat
hakiki perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami
atau poliandri, baik simultan maupun suksesif. Sifat monogam
perkawinan adalah tuntutan yang bersumber dari hukum ilahi
kodrat, yang tak bisa didispensasi.
Kan. 1085 1 memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya
perkawinan: Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba
dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan
sebelumnya, meskipun perkawinan itu belum disempurnakan
dengan persetubuhan. Salah satu atau kedua pihak masih terikat
oleh suatu perkawinan lain yang sah.
23. Apa yang dimaksud dengan halangan Agama yang berbeda?
Halangan Agama yang Berbeda (kan. 1086)
Kanon 1086 1: Perkawinan antara dua orang, yang di antaranya
satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya
dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan yang lain tidak
dibaptis, adalah tidak sah.
-
Perbedaan agama dan juga perbedaan Gereja merupakan halangan
nikah, sebab dapat menjadi hambatan untuk penghayatan iman
Katolik. Halangan ini dapat didispensasi, asal syarat-syaratnya
dipenuhi (Kanon 1125 dan 1126).
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya untuk
mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek
dan dimensinya: personal-manusiawi dan spiritual-religius
sekaligus. Agar persekutuan semacam itu bisa dicapai dengan lebih
mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan yang
seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap
kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan
keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental dan
pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah
Gereja Katolik menginginkan agar anggotanya tidak melakukan
perkawinan campur, dalam arti menikah dengan orang non-Katolik,
entah dibaptis menjadi Kristen non-Katolik (mixta religio) maupun
tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah norma
moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang
dilarang melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman
adalah suatu nilai yang amat tinggi, yang perlu dilindungi dengan
cinta dan bakti. Misalnya:
- Beda agama: Orang baptis Katolik dengan orang yang tidak
dibaptis. Bisa disahkan jika mendapat dispensasi uskup
dengan syarat.
- Beda gereja: Orang baptis Katolik dengan orang baptis Kristen
dari denominasi tertentu (masuk PGI). Pentekosta, Adven,
-
Bethel, dan denominasi lain yang tidak termasuk dalam PGI
dianggap sebagai beda agama. Dibutuhkan izin dari uskup
dengan izin. Orang yang mengaku diri Katolik tetapi belum
dibaptis (masih simpatisan atau katekumen) dianggap sebagai
orang yang berbeda agama.
24. Apa yang dimaksud dengan halangan Tahbisan Suci?
Halangan Tahbisan Suci (kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh status
kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka
pelayan-pelayan rohani dalam Gereja. Kan. 1087 menetapkan:
Adalah tidak sah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh
mereka yang telah menerima tahbisan suci.
Jadi tahbisan suci diakonat, imamat, dan episkopat dapat
menggagalkan perkawinan. Bisa dimintakan dispensasi dari Takhta
Suci berupa laikalisasi (proses menjadikan seorang tertahbis
menjadi awam kembali) dan dispensasi dari selibat.
25. Apa yang dimaksud dengan halangan Kaul Kemurnian
Publik?
Halangan Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (kan. 1088)
Kanon 1088 menetapkan: Adalah tidak sah perkawinan yang
dicoba dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul
kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam suatu lembaga
religius.
-
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak bisa
dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang
religius terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 2; 598 1)
Mereka yang terikat kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal
dalam suatu tarekat religius tidak bisa melangsungkan perkawinan
secara sah. Untuk halangan ini hanya Takhta Suci yang
berwewenang memberikan dispensasi yang dikenal juga dengan
istilah laisasi.
26. Apa yang dimaksud dengan halangan penculikan?
Halangan yang Muncul dari Dosa Berat: Penculikan (kan. 1089)
Halangan nikah antara pria dengan wanita yang diculik atau
sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud dinikahi. Halangan ini
lebih karena hilangnya kebebasan wanita.
Jadi halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk
menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk
menikah tanpa paksaan apapun. Kemauan bebas adalah syarat
mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.
27. Apa yang dimaksud dengan halangan pembunuhan
pasangan?
Halangan yang Muncul dari Dosa Berat: Pembunuhan (kan.
1090)
Kanon 1090 1: Tidak sahlah pernikahan yang dicoba
dilangsungkan oleh orang yang dengan maksud untuk
-
menikahi orang tertentu melakukan pembunuhan terhadap
suami/istri orang itu, atau terhadap suami/istrinya sendiri.
Kanon 1090 2: Juga tidak sahlah pernikahan yang dicoba
dilangsungkan oleh mereka yang dengan kerjasama fisik atau
moril melakukan pembunuhan terhadap suami/istri.
Halangan nikah bagi pria/wanita yang membunuh pasangannya agar
dapat menikah lagi. Ini disebut halangan criminal conjungicide.
28. Apa yang dimaksud dengan halangan kelayakan publik?
Halangan yang Muncul dari Dosa Berat: Kelayakan Publik (kan.
1093)
Halangan nikah kelayakan publik yang timbul dari perkawinan tidak
sah setelah terjadi hidup bersama atau konkubinat (kumpul kebo)
yang diketahui umum. Menurut kan. 1093 halangan nikah yang
timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus tingkat
pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan
pihak wanita. Begitu juga sebaliknya.
Misalkan: pria A kumpul kebo dengan wanita B. A berhalangan
nikah dengan ibu dan atau anak dari B. Sementara B berhalangan
nikah dengan ayah dan atau anak dari A.
-
29. Apa yang dimaksud dengan halangan hubungan darah?
Halangan Berdasarkan Hubungan Persaudaraan: Hubungan
Darah atau Konsanguinitas (kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk melindungi
atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-
tama ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini
dilarang. Hubungan ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan
fisik, psikologis, mental dan intelektual bagi anak-anak yang
dilahirkan.
Kan. 1091 1 menegaskan: Tidak sahlah perkawinan antara
orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan
ke atas dan ke bawah, baik legitim maupun alami.
Kan. 1091 2 menegaskan bahwa dalam garis keturunan
menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat
keempat inklusif.
Jadi yang dikenai halangan adalah mereka yang berhubungan darah
- dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah dalam segala tingkatan
baik yang sah maupun tidak sah - dalam garis menyamping sampai
tingkat keempat inklusif.
Hubungan darah garis lurus dan menyamping tingkat pertama
merupakan halangan kodrati sehingga tidak dapat didispensasi,
sementara untuk tingkat ketiga dan keempat merupakan halangan
gerejawi sehingga masih bisa didispensasi.
-
B. PERKAWINAN MENURUT AJARAN GEREJA KATOLIK
30. Apa yang dimaksud dengan halangan hubungan ipar/
semenda?
Halangan Berdasarkan Hubungan Persaudaraan: Hubungan
Ipar/Semenda atau Afinitas (kan. 1092)
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling
mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan
yang terjadi antar anggota dari dua keluarga itu.
Jadi, hubungan semenda muncul sebagai akibat dari suatu faktor
ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (= ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: Hubungan semenda dalam garis lurus
menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun. Secara
konkret, terhalang untuk saling menikah:
a) antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1],
b) antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya
antara bapak dan anak tiri perempuan.
Jadi yang dikenai halangan adalah hubungan ke-semenda-an dalam
garis lurus dalam tingkat manapun. Hubungan ke-semenda-an
dihitung berdasarkan garis dan tingkat dari orang yang berhubungan
darah dengan suami atau istri. Hubungan ke-semenda-an dalam
garis menyamping/ipar tidak menjadi halangan.
-
31. Apa yang dimaksud dengan halangan adopsi?
Halangan Hubungan Persaudaraan: Adopsi (kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang
analog dengan status yuridis anak kandung.
Kanon 1094 menyatakan: Tidak dapat menikah satu sama lain
dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang
timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping
tingkat kedua.
Jadi yang dikenai halangan nikah bagi mereka yang mempunyai
hubungan dari adopsi dalam garis lurus atau menyamping tingkat
kedua.
32. Apa yang dimaksud dengan konsensus atau kesepakatan
nikah dan apa faktor penyebab tidak adanya konsensus
serta bagaimana tata peneguhannya?
Pengertian Konsensus (kan. 1057, 2) adalah perbuatan kemauan
dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling
menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tak dapat ditarik kembali.
Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor
berikut:
(1) Ketidakmampuan psikologis (kan. 1095)
(2) Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakekat
perkawinan (kan. 1096)
(3) Kekeliruan mengenai pribadi (kan. 1097)
-
(4) Penipuan (kan 1098)
(5) Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat
sakramental perkawinan (kan. 1099)
(6) Simulasi (kan. 1101): simulasi total; simulasi parsial (bonum
prolis, bonum fidei, bonum sacramenti, bonum coniugum)
(7) Konsensus bersyarat (kan. 1102)
(8) Paksaan dan ketakutan (kan. 1103)
Konsensus dirayakan dalam forma canonica (kan. 1108-1123) atau
tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan
dihadapan tiga orang, yakni petugas resmi Gereja sebagai
peneguh, dan dua orang saksi.
33. Apakah orang Katolik yang menikah di luar Gereja Katolik
dapat menerima Komuni Kudus?
Prinsip umumnya adalah: Kalau perkawinan tidak sah menurut
ketentuan kanonik, maka pihak yang Katolik tersebut tidak dapat
menerima Komuni, namun kalau perkawinan tersebut telah
disahkan/ dibereskan secara kanonik, maka orang tersebut dapat
kembali menerima Komuni dalam Gereja Katolik.
Memang menurut norma umumnya, seorang yang Katolik wajib
menikah secara Katolik. Maka, jika salah satu dari pihak yang
menikah (suami atau istri) Katolik, maka pasangan itu
sesungguhnya terikat oleh hukum kanonik Gereja Katolik, sehingga
menurut ketentuan umumnya, mereka harus menikah di Gereja
Katolik.
-
Namun jika karena untuk alasan yang masuk akal, hal ini tidak dapat
dilakukan, dan perkawinan tersebut hendak diberkati secara Kristen
non-Katolik, maka pihak yang Katolik harus meminta izin kepada
pihak Ordinaris -yaitu Keuskupan- agar walaupun diberkati di gereja
non-Katolik, perkawinan tetap dapat dianggap sah oleh Gereja
Katolik. Jika izin ini diperoleh, maka perkawinan itu sah secara
kanonik, dan kelak pihak yang Katolik tetap diperkenankan untuk
menerima Komuni di Gereja Katolik. Hal di atas dimungkinkan jika
baptisan pasangan yang non-Katolik tersebut diakui oleh Gereja
Katolik, artinya: gereja di mana ia dibaptis termasuk dalam daftar
gereja-gereja PGI. Jika kondisi di atas terpenuhi, maka perkawinan
tersebut adalah sakramen, yaitu merupakan tanda dan sarana
keselamatan bagi pasangan tersebut, sehingga tidak terceraikan.
Dasarnya adalah ajaran Katekismus Gereja Katolik dan Kitab Hukum
Kanonik 1983:
KGK 1683 Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita
membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat
kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta pada
kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan
antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen
(KHK kan. 1055 1).
34. Apa konsekuensi bagi seorang Katolik yang memutuskan
untuk menikah secara agama lain?
Jika seorang Katolik memutuskan untuk menikah secara agama lain,
maka perkawinannya itu cacat kanonik. Demikian pula, jika seorang
Katolik menikah di gereja Kristen non-Katolik tanpa izin dari pihak
-
otoritas Gereja Katolik, maka perkawinannya itu cacat kanonik.
Artinya, perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut ketentuan
hukum Gereja, sehingga tidak memenuhi syarat untuk disebut
sebagai perkawinan yang sah secara kanonik.
Jika perkawinan tidak/belum sah di hadapan Tuhan dan Gereja,
maka makna yang seharusnya digambarkan dan diperbaharui
dengan penerimaan Ekaristi itu, tidak ada. Karena jika ikatan
perkawinan itu ternyata tidak/ belum sah di hadapan Tuhan, maka
tidak ada ikatan yang bisa diperbaharui. Melangsungkan perkawinan
tanpa mengikuti ketentuan Gereja, merupakan pelanggaran yang
berat, sebab artinya, sebagai anggota keluarga besar Gereja Katolik,
ia tidak mengindahkan ketentuan keluarganya sendiri dalam hal
yang cukup penting dalam hidup, yaitu dalam hal perkawinannya.
Pelanggaran ini termasuk dosa yang serius apalagi jika ia sampai
pernah meninggalkan iman Katolik, demi melangsungkan
perkawinan itu.
Katekismus mengajarkan:
KGK 1385 Untuk menjawab undangan ini, kita harus mempersiapkan
diri untuk saat yang begitu agung dan kudus. Santo Paulus mengajak
supaya mengadakan pemeriksaan batin: Barang siapa dengan
cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia
berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu
hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru
sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena
barang siapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan,
ia mendatangkan hukuman atas dirinya (1 Kor 11:27-29) Siapa
-
yang sadar akan sebuah dosa besar, harus menerima Sakramen
Pengakuan sebelum ia menerima komuni.
Atas dasar inilah maka, orang Katolik yang menikah secara non-
Katolik tidak dapat menerima Ekaristi, sebelum ia mengaku dosa
dalam Sakramen Pengakuan dosa dan menjalankan penitensinya.
Jika ia tetap menerima Komuni kudus, tanpa mengaku dosa
sebelumnya, atau tanpa berkehendak untuk memperbaiki status
perkawinannya di hadapan Tuhan, maka ia memakan roti/
meminum cawan Tuhan dengan tidak layak, dan karenanya berdosa
terhadap Tubuh dan Darah Tuhan.
Maka, agar orang Katolik yang menikah di luar Gereja Katolik itu
dapat menerima Komuni lagi, ia harus mengaku dosa dalam
sakramen Pengakuan Dosa dan mengadakan konvalidasi
perkawinan. Silakan menghubungi pastor paroki, untuk
mengadakan hal ini, setelah mendiskusikannya dengan
pasangannya yang non-Katolik tersebut.
35. Apa yang menyebabkan konvalidasi perkawinan tidak dapat
dilakukan?
Konvalidasi perkawinan tidak dapat dilakukan, karena perkawinan
yang sekarang tidak sah, sedangkan perkawinan terdahulu adalah
yang sah: yaitu pasangan bercerai secara sipil, dan salah satu atau
kedua-duanya menikah lagi dengan orang lain, sehingga artinya
mereka hidup dalam ikatan perkawinan yang tidak sah di hadapan
Tuhan. Maka dalam keadaan ini, mereka tidak diperkenankan untuk
menerima Komuni kudus karena status dan kondisi hidupnya
bertentangan dengan kesatuan kasih antara Kristus dengan Gereja-
-
Nya -yang total dan setia seumur hidup- yang ditandai dengan
Ekaristi/Komuni Kudus itu.
Jika mereka diperbolehkan menerima Komuni, maka umat akan
dibawa kepada kebingungan tentang ajaran Gereja tentang
perkawinan yang tak terceraikan. Namun demikian, jika pasangan
ini sungguh menyesal dan bertobat dari perbuatan mereka ini,
mereka dapat mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, yang
dapat membuka jalan kepada penerimaan Ekaristi, asalkan mereka
siap melaksanakan konsekuensinya, yaitu untuk tidak hidup sebagai
suami-istri dengan pasangan yang sekarang (live in perfect
continence), artinya pantang melakukan tindakan-tindakan yang
layak hanya bagi suami-istri. (lih. Paus Yohanes Paulus II, Familiaris
Consortio, 84). Dengan demikian, mereka melaksanakan perintah
Tuhan yang memang menghendaki agar perkawinan bersifat
monogam, dan yang sudah dipersatukan Allah tidak dapat
diceraikan oleh manusia (lih. Mat 19:5-6).
Namun walaupun tidak dapat menerima Komuni Kudus, pasangan
tetap dapat memperoleh rahmat dari Tuhan dalam perayaan
Ekaristi. Mereka tetap dapat menerima Kristus secara rohani,
istilahnya di sini adalah Komuni Rohani (Spiritual Communion).
-
36. Apa yang dimaksud perkawinan sebagai sakramen?
Perkawinan sebagai sakramen, itu maksudnya adalah bahwa
Perkawinan itu menjadi sarana dan tanda kehadiran Kristus yang
menyelamatkan. Jadi artinya, suami menjadi tanda kehadiran
Kristus bagi istrinya, dan demikian pula istri bagi suaminya. Dengan
demikian, perkawinan tersebut menjadi gambaran akan kasih
Kristus (sebagai mempelai pria) kepada Gereja (sebagai mempelai
wanita, lih. Ef 5:22-33).
Nah kesatuan Kristus dan Gereja-Nya ini dirayakan secara istimewa
dalam perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi-lah, pihak yang
Katolik mengambil bagian dalam kasih kesatuan antara Kristus dan
Gereja-Nya, dan dengan demikian memperbaharui kembali janji
perkawinannya di hadapan Tuhan. Karena itu, salah satu syarat
penerimaan Ekaristi bagi umat Katolik yang sudah menikah adalah:
perkawinan mereka sudah sah menurut hukum Gereja. Ikatan
perkawinan yang sah inilah yang diperbaharui dalam sakramen
Ekaristi.
Dalam Ekshortasi Apostoliknya, Familiaris Consortio, Paus Yohanes
Paulus II yang terberkati mengajarkan:
Peran pengudusan dalam keluarga Kristiani mengambil dasar
dari Sakramen Baptis, dan diekspresikan secara tertinggi
dalam Ekaristi, di mana perkawinan Kristiani secara mesra
-
diikatkan. Ekaristi adalah sumber perkawinan Kristiani.
Kurban Ekaristi, menghadirkan perjanjian kasih antara Kristus
dan Gereja-Nya, yang dimeteraikan oleh darah-Nya di kayu
Salib. Di kurban Perjanjian Baru dan kekal ini, pasangan-
pasangan Kristiani terhubung dengan sumber yang darinya
perjanjian perkawinan mereka itu sendiri mengalir, disusun,
dan senantiasa diperbaharui. (Familiaris Consortio, 57)
37. Apa yang dimaksud dengan Sakramen Perkawinan?
Sakramen Perkawinan adalah suatu sakramen yang mengkonsekrasi
penerimanya guna suatu misi khusus dalam pembangunan Gereja,
serta menganugerahkan rahmat demi perampungan misi tersebut.
Sakramen Perkawinan ini, dipandang sebagai suatu tanda cinta-
kasih yang menyatukan Kristus dengan Gereja, menetapkan di
antara kedua pasangan suatu ikatan yang bersifat permanen dan
eksklusif, yang dimeteraikan oleh Allah. Dengan demikian, suatu
pernikahan antara seorang pria yang sudah dibaptis dan seorang
wanita yang sudah dibaptis, yang dimasuki secara sah dan telah
disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat diceraikan sebab
di dalam Kitab Suci tertulis: Justru karena ketegaran hatimulah
maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada
awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu
menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia. Ketika mereka sudah di
rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang
-
hal itu. Lalu kata-Nya kepada mereka: Barangsiapa
menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia
hidup dalam perzinaan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri
menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia
berbuat zina." (Mrk. 10:112).
Sakramen ini menganugerahkan kepada pasangan yang
bersangkutan rahmat yang mereka perlukan untuk mencapai
kekudusan dalam kehidupan perkawinan mereka serta untuk
menghasilkan dan mengasuh anak-anak mereka dengan penuh
tanggung jawab. Sakramen ini dirayakan secara terbuka di hadapan
imam (atau saksi lain yang ditunjuk oleh Gereja) serta saksi-saksi
lainnya, meskipun dalam tradisi teologis Gereja Latin yang
melayankan sakramen ini adalah kedua pasangan yang
bersangkutan.
38. Apa yang dimaksud dengan Sakramentalitas Perkawinan?
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-
orang yang dibaptis (keduanya dibaptis). Kanon 1055 menyebutkan
bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen (1)
sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis
adalah sakramen (2). Kanon ini menandaskan adanya identitas
antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan
sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi: Semua
perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang
dibaptis, dengan sendirinya merupakan sakramen (2). Dalam hal
ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai untuk
menerimanya sebagai sakramen. Artinya, perkawinan dua orang
-
dibaptis non-Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai
sakramen meskipun mereka tidak menganggapnya demikian.
Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkatan pastor
karena yang menjadi pelayan Sakramen Perkawinan adalah kedua
mempelai sendiri yang berjanji. Orang-orang yang dibaptis tidak
bisa menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas
mengecualikan sakramentalitas perkawinan. Perkawinan antara
orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam
martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak
dituntut untuk mengadakan perjanjian nikah baru, namun dapat
meminta berkat pastor. Perkawinan sakramental ini disempurnakan
melalui persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi. Dengan
demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum.
Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut
(indissolubilitas absolut).
39. Apa beda Sakramen Perkawinan dan Pemberkatan
Perkawinan?
Sakramen Perkawinan adalah janji perkawinan yang saling
diberikan dan dijalankan oleh dua orang yang dibaptis dalam nama
Bapa, Putra dan Roh Kudus. Mereka berjanji setia satu sama lain
sampai mati memisahkan mereka, dan mereka berjanji saling
menghormati dan mencintai, dengan modelnya atau contohnya
adalah Tuhan Yesus Kristus yang mencintai secara total umat
manusia (modelnya bukan artis atau manusia yang mencintai
Tuhan, tapi Tuhan yang mencintai umat manusia seluruhnya).
-
Sedangkan Pemberkatan Perkawinan adalah janji perkawinan
yang saling diberikan oleh seorang dibaptis dan tidak dibaptis di
hadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti isi janjinya sama:
setia sampai mati memisahkan, saling mencintai dan menghormati,
hanya modelnya yang berbeda karena yang Katolik akan memakai
model Yesus yang mencintai, sedang yang Islam memakai muhamad
atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha
atau orang tuanya sebagai model. Pernikahan beda agama demikian
oleh karenanya tidak menjadi sakramen karena pihak yang tidak
Katolik tidak atau belum mengimani diri sendiri sebagai tanda dan
sarana keselamatan Allah bagi pasangannya, bahkan dia tidak/
belum percaya pada sakramen itu. Kalau pihak non-Katolik
kemudian hari menjadi Katolik dan percaya bahwa dirinya adalah
sakramen, maka perkawinan mereka otomatis menjadi sakramen,
tidak perlu ada pembaruan pernikahan beda agama yang telah
mereka lakukan di gereja.
Yang paling berbeda antara upacara sakramen dengan pemberkatan
adalah pertanyaan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan
janji, doa dari imam, juga pihak non-Katolik tentu saja tidak
diwajibkan untuk berdoa secara Katolik.
Tatacara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus
Persiapan Perkawinan. Intinya adalah pasangan masing-masing
menjawab beberapa pertanyaan mengenai keikhlasan hati untuk
melangsungkan perkawinan, mereka mengucapkan janji perkawinan
dengan intinya adalah kesetiaan, saling mengasihi dan
menghormati sampai kematian memisahkan, pengesahan
perkawinan oleh imam, doa pemberkatan oleh imam bagi pasangan
-
itu, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan, penandatanganan
dokument perkawinan.
Tidak ada tatacara yang membuat orang non-Katolik menjadi orang
Katolik secara tidak langsung, karena orang non-Katolik bersama
yang Katolik akan menyusun teks upacara perkawinan dan pihak
non-Katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang Katolik. Maka
tatacara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Yang
mengganggu biasanya justru kalau pernikahan itu dilangsungkan di
mesjid kare