Transcript
  • KARAKTERISTIK NANO KITOSAN CANGKANG UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei)

    DENGAN METODE GELASI IONIK

    DESIE RACHMANIA

    DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

    2011

  • RINGKASAN

    DESIE RACHMANIA. C34070088. Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik. Dibimbing oleh PIPIH SUPTIJAH dan AGOES M. JACOEB.

    Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang industri modern, misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan industri tekstil mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian yang menggunakan kitosan, termasuk melakukan modifikasi kitosan secara kimia atau fisik. Sejauh ini sistem pengahantar obat dengan menggunakan kitosan hanya terbatas pada modifikasi kima pada kitosan saja. Oleh karena itu, modifikasi fisik melalui pengaturan ukuran partikel kitosan menjadi hal yang sangat penting. Akan tetapi dalam pembuatan kitosan yang berstabilitas dan berkualitas tinggi, biasanya diperlukan metode yang cukup sulit. Pembuatan nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi material dan metode yang digunakan.

    Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan rendemen kitosan tertinggi akibat pengaruh lama waktu perendaman HCl, menentukan proses gelasi ionik terbaik dengan berbagai perlakuan sizing, menentukan karakteristik nanopartikel yang meliputi morfologi, efisiensi, dan ukuran nanopartikel, menganalisa karakteristik partikel kitosan yang dilakukan dengan metode gelasi ionik menggunakan Fourier Transform InfraRed (FTIR) dan Scanning Electron Microscopy (SEM), menentukan metode pembuatan kitosan yang sederhana, dapat diterapkan dengan mudah di laboratorium. Pengujian yang dilakukan meliputi analisis proksimat, mutu kitosan, perhitungan rendemen kitosan dan nano kitosan, analisis Scanning Electron Miscroscopy (SEM), serta analisis Fourier Transform InfraRed (FTIR). Pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik dengan perlakuan menggunakan perbedaan alat sizing berhasil dilakukan dari hasil preparasi kitosan dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 72 jam dengan rendemen sebesar 13,50% (bk) dan yang terendah diperoleh dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 0 jam dengan rendemen sebesar 11,57% (bk). Rendemen kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada kitosan nanopartikel dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan alat magnetic stirrer yaitu sebesar 81,30%. Sedangkan rendemen terendah ditunjukkan oleh kitosan nanopartikel dengan menggunakan alat homogenizer, yaitu sebesar 40,00%. Ukuran partikel yang diperoleh dengan menggunakan magnetic stirrer sebesar 400 - 450 nm. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan nanopartikel terkecil yang dihasilkan yaitu sebesar 99% dan menunjukan bahwa nano kitosan yang dihasilkan merupakan kitosan murni.

  • KARAKTERISTIK NANO KITOSAN CANGKANG UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei)

    DENGAN METODE GELASI IONIK

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh:

    DESIE RACHMANIA C34070088

    DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

    2011

  • LEMBAR PENGESAHAN

    Judul : Karakterisasi Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik

    Nama : Desie Rachmania

    NIM : C34070088

    Program Sarjana : Teknologi Hasil Perairan

    Menyetujui:

    Pembimbing I Pembimbing II

    NIP. 19531020 1985 03 2 001 NIP. 19591127 1986 01 1 005 Dra. Pipih Suptijah, MBA Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol

    Mengetahui: Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

    NIP. 19580511 1985 03 1 002 Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., Mphil.

    Tanggal Lulus:

  • PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Karakteristik

    Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan

    metode gelasi ionik adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

    apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau

    dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

    dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Bogor, Agustus 2011

    Desie Rachmania

    NRP C34070088

  • DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 18 Desember

    1989. Penulis merupakan anak bungsu dari dua bersaudara

    pasangan Bapak (Alm.) Momon Nurachman dan Ibu Sri

    Handayani.

    Penulis memulai jenjang formal pada pendidikan di

    Sekolah Dasar Islam Pelita dan lulus pada tahun 2001.

    Penulis melanjutkan Sekolah Menegah Pertama

    di SMP Negeri 41 Jakarta dan lulus pada tahun 2004, selanjutnya penulis

    melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 28 Jakarta dan lulus pada

    tahun 2007.

    Pada tahun 2007 penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan

    Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil

    Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani pendidikan

    akademik di IPB penulis pernah aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa

    Teknologi Hasil Perikanan tahun 2009, Paguyuban Penerima Beasiswa Karya

    Salemba Empat Institut Pertanian Bogor tahun 2010 - 2011, asisten praktikum

    m.k. Pengembangan KitinKitosan dan m.k. Teknologi Pengolahan Hasil Perairan

    tahun ajaran 2010-2011. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan kegiatan mahasiswa

    di Institut Pertanian Bogor.

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

    Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

    Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul

    Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

    dengan Metode Gelasi Ionik dengan dosen pembimbing yaitu

    Dra. Pipih Suptijah, MBA. dan Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol.

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

    berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai

    tugas akhir yang berjudul Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei

    (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik dengan baik.

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

    membantu dalam penulisan ini, terutama kepada:

    1) Ibu Dr. Pipih Suptijah, MBA dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol,

    selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

    pengarahannya kepada penulis.

    2) Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS., M.Phil selaku Ketua Departemen

    Teknologi Hasil Perairan sekaligus dosen penguji yang telah memberikan

    nasihat, kritik dan saran dalam penulisan skripsi.

    3) Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb,-Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi

    Teknologi Hasil Perairan atas bimbingan kepada penulis.

    4) Mama dan (Alm.) Papa yang selalu memberikan doa, semangat, cinta kasih

    dan dukungan yang diberikan, baik moril maupun materil serta kasih sayang

    kepada penulis.

    5) Febri Ika Suseno, S.St.Pi yang selalu meberikan motivasi, semangat doa dan

    perhatiannya kepada penulis.

    6) Teman-teman seperjuangan Tim Nano (Nani, Icha dan Zahid). Terima

    kasih atas kebersamaannya.

    7) Sahabat - sahabat dan teman seperjuangan: Siska, Ria, Medal, Fasta atas

    semangat, bantuan dan canda tawa selama ini.

    8) Teman teman Kost Tiara : Mba Tatay, Fasta, Tatha, Aul, Ayu,dan Desti

    atas semangat dan doa yang selalu diberikan.

    9) Tim Nano Kitosan: Taufik (THP 45) dan Yunko atas kebersamaan,

    kekompakan dan perjuangan menuju PIMNAS.

    10) Teman-teman THP 44, 43 dan 45 yang telah mendukung dan memberikan

    semangat kepada penulis.

  • Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini belum sempurna. Oleh

    sebab itu penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang bersifat

    membangun dari pembaca dan semoga tulisa ini dapat bermanfaat bagi pihak yang

    memerlukannya.

    Bogor, Agustus 2011

    Penulis

  • DAFTAR ISI Hal. DAFTAR TABEL. vii

    DAFTAR GAMBAR............................. viii

    DAFTAR LAMPIRAN. x

    1 PENDAHULUAN......... 1 1.1 Latar Belakang... 1

    1.2 Tujuan Penelitian... 3

    2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 4 2.1 Komposisi Kimia Kulit Udang. 4

    2.2 Karakteristik...... 5 2.2.1 Kitosan..... 5 2.2.2 Nano Kitosan... 7

    2.3 Gelasi Ionik....... 7

    2.4 Tripolifosfat (TPP).... 8

    2.5 Surfaktan....... 9

    2.6 Sonikasi..... 9

    2.7 Pengeringan Semprot (Spray Dryer).... 10

    2.8 Scanning Electron Microscopy (SEM)..... 11

    2.9 Fourier Transform Infrared (FTIR). 12

    3 METODOLOGI... 13

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian.. 13

    3.2 Bahan dan Alat. 13

    3.3 Tahap penelitian... 14 3.3.1 Penelitian Pendahuluan... 14 3.3.2 Penelitian Utama..... 15 3.4.2.1 Tahapan pembuatan nano kitosan dengan metode gelasi ionik.... 15 3.4.2.2 Tahapan pengujian dan analisis sifat karakteristik nano kitosan... 15

  • 3.4 Analisis Fisik dan Kimia Sampel. 17 3.4.1 Analisis Proksimat.. 17 3.4.1.1 Analisis kadar air... 17 3.4.1.2 Analisis kadar abu. 17 3.4.1.3 Analisis kadar lemak. 18 3.4.1.4 Analisis kadar protein 18 3.4.1.4 Analisis kadar karbohidrat (by difference).... 19

    3.4.1 Rendemen Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)..... 19

    3.4.2 Derajat Deasetilasi.. 19

    4 HASIL DAN PEMBAHASAN 21

    4.1 Penelitian Pendahuluan.... 21

    4.2 Rendemen Kitosan.. 22

    4.3 Mutu Kitosan... 23

    4.4 Penelitian Utama.......... 26 4.4.1 Rendemen Kitosan Nanopartikel. 26 4.4.2 Hasil Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) 28 4.4.3 Hasil Analisis Fourier Transform Infrared (FTIR).... 35

    5 KESIMPULAN DAN SARAN 37

    5.1 Kesimpulan... 37

    5.2 Saran. 37

    DAFTAR PUSTAKA.. 38

    LAMPIRAN..... 42

  • DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman

    1 Komposisi kimia kulit udang (Litopenaeus vannamei).... 4

    2 Spesifikasi kitosan niaga 6

    3 Komposisi kimia kulit udang hasil uji proksimat.. 21

    4 Rendemen kitosan dari cangkang udang terhadap lamanya waktu perendaman HCl 1N.. 22

    5 Mutu kitosan dari rendemen hasil perendaman 72 jam HCl.. 24

    6 Rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan alat penegcilan ukuran. 27

    7 Ukuran partikel hasil foto SEM.. 29

  • DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman

    1 Struktur kitosan....... 5

    2 Kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik.... 8

    3 Proses pembuatan kitosan 14

    4 Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik. 16

    5 Grafik hasil rendemen kitosan terhadap pengaruh waktu perendaman HCl ..... 23

    6 Grafik hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan metode pengecilan ukuran... 28

    7 Hasil analisis uji SEM... 34 7a. Morfologi partikel kitosan (magnetic stirrer).. 34 7b. Morfologi partikel kitosan (ultrasonik)... 34 7c. Morfologi partikel kitosan (homogenizer)... 34

    8 Grafik derajat deasetilasi pada kitosan berukuran nano (partikel kitosan) dengan alat magnetic stirrer.. 35

  • DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman

    1. Analisis kadar air cangkang udang vannamei.... 43

    2. Analisis kadar abu cangkang udang vannamei.. 43

    3. Analisis kadar protein cangkang udang vannamei.... 44

    4. Analisis kadar lemak cangkang udang vannamei...... 45

    5. Analisis kadar karbohidrat cangkang udang vannamei secara by difference.. 45

    6. Data rendemen kitosan udang vannamei... 46

    7. Analisis kadar air kitosan udang vannamei... 46

    8. Analisis kadar abu kitosan udang vannamei. 47

    9. Analisis kadar protein cangkang udang vannamei 48

    10. Data hasil perhitungan derajat deasetilasi (DD) 48

  • 1

    I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Udang merupakan komoditas andalan dan bernilai ekonomis sebagai salah

    satu hasil perikanan utama Indonesia. Pusat Data, Statistik dan Informasi

    Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2008 menunjukkan ekspor udang

    Indonesia meningkat selama periode tahun 2003 2007 sebesar 4,15 % yaitu dari

    137.636 ton pada 2003 menjadi 160.797 ton pada tahun 2007. Peningkatan

    volume ekspor tersebut mendorong peningkatan nilai produksi udang, yaitu dari

    US$ 850,222 juta pada 2003 menjadi US$ 1,048 miliar tahun 2007. Nilai ekspor

    udang ini mencapai hampir 50 % dari nilai ekspor perikanan sebesar

    US$ 2,3 miliar. Selain itu produksi udang juga meningkat sebesar 16,9 % selama

    periode 2003 2007 yaitu dari 192.926 ton pada 2003 menjadi 352.220 ton pada

    tahun 2007.

    Sekitar 80 90% ekspor udang dilakukan dalam bentuk udang beku tanpa

    kepala dan kulit sehingga menghasilkan limbah yang bobotnya mencapai

    25 30% dari bobot udang utuh (Sudibyo 1991 dalam Maulana 2009). Limbah

    udang yang potensial ini mudah sekali rusak karena degradasi enzimatik

    mikroorganisme sehingga menimbulkan masalah misalnya pencemaran

    lingkungan bagi indutri pengolah dan membahaykan kesehatan. Selain itu limbah

    ini sangat menyita ruang sehingga dibutuhkan tempat tertutup yang luas untuk

    menampungnya. Disisi lain limbah ini dapat didayagunakan sebagai sumber

    bahan mentah penghasil kitin, kitosan dan turunan keduanya yang berdaya guna

    dan serta bernilai tinggi.

    Kulit udang atau kepiting merupakan bahan baku penghasil kitin dan kitosan.

    Kitosan adalah kitin yang telah diasetilasi. Kitosan merupakan polisakarida

    dengan struktur yang mirip dengan selulosa (Savant et al. 2000 dalam

    Kencana 2009). Terdapat 75% dari berat total udang merupakan bagian kulit dan

    kepala. Kulit udang mengandung 15-20% kitin dan kitosan sebesar 50% dari

    kandungan kitin, kadar abu sebesar 20% serta kadar protein sebesar 35% pada

    basis kering (Kelly et al. 2005 dalam Rini 2010). Studi terhadap kitosan telah

    banyak dilakukan baik dalam bentuk serpih, butiran, membran, maupaun gel.

  • 2

    Kemampuan kitosan yang diterapkan dalam berbagai bidang industri modern,

    misalnya farmasi, biokimia, kosmetika, industri pangan, dan industri tekstil

    mendorong untuk terus dikembangkannya berbagai penelitian yang menggunakan

    kitosan, termasuk melakukan modifikasi kitosan secara kimia atau fisik.

    Modifikasi kimia menghasilkan perbaikan stabilitas kitosan melalui

    fungsionalisasi gugus fungsi yang ada, perbaikan ukuran pori kitosan dengan

    menggunakan senyawa porogen, dan dapat menaikkan kapasitas adsorpsi kitosan

    apabila kitosan dipadukan dengan polimer lain. Modifikasi fisik pada kitosan

    mencakup perubahan ukuran partikel atau butir kitosan menjadi lebih kecil untuk

    pemanfaatan yang lebih luas. Oleh karena itu, perkembangan modifikasi fisik

    mengarah ke bentuk nanopartikel (Wahyono 2010).

    Pembuatan nanopartikel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain

    komposisi material dan metode yang digunakan. Untuk nanopartikel kitosan,

    komposisi material yang digunakan adalah kitosan, TPP dan surfaktan (asam

    oleeat). Metode pembuatan nanopartikel merupakan faktor lain yang menentukan

    selain komposisi material. Banyak metode yang dikembangkan untuk

    menghasilkan nanopartikel dan morfologi yang seragam (Wahyono 2010). Sampai

    saat ini penelitian nanopartikel kitosan terus dikembangkan, baik dalam penentuan

    komposisi maupun pencarian metode yang sesuai. Akan tetapi dalam pembuatan

    kitosan yang berstabilitas dan berkualitas tinggi, biasanya diperlukan metode yang

    cukup sulit. Untuk itu, dilakukan teknik atau metode yang prosesnya lebih efisien

    dan sederhana untuk memudahkan dalam pembuatan nano kitosan.

    Pengujian karakteristik nano kitosan dilakukan dengan proses gelasi ionik,

    serta perlakuan pengecilan ukuran (sizing) dilakukan dengan metode magnetic

    stirer, metode homogenizer ultrasonik dan metode sonokimia. Metode ini

    bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan nano kitosan yang terbaik diantara

    ketiga metode tersebut agar nano kitosan yang dihasilkan memiliki stabilitas

    konstan, berukuran partikel terkecil, berkualitas baik, serta mendapatkan metode

    yang paling sederhana dalam pembuatannya, sehingga dapat meningkatkan skala

    produksi.

  • 3

    1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk

    - Mendapatkan rendemen kitosan tertinggi akibat pengaruh lama waktu

    perendaman HCl.

    - Menentukan proses gelasi ionik terbaik dengan berbagai perlakuan sizing.

    - Menentukan karakteristik nanopartikel yang meliputi morfologi, efisiensi,

    dan ukuran nanopartikel dengan SEM.

    - Menganalisis karakteristik partikel kitosan yang dilakukan dengan metode

    gelasi ionik menggunakan Fourier Transform InfraRed (FTIR) dan

    Scanning Electron Microscopy (SEM).

    - Menentukan metode pembuatan kitosan yang sederhana, dapat diterapkan

    dengan mudah di laboratorium.

  • 4

    2 TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Komposisi Kimia Kulit Udang

    Untuk kebutuhan ekspor udang beku, bagian tubuh udang yang dibekukan

    adalah bagian badan (abdomen) hingga ekor (uropod). Bagian kepala dan dada

    (cephaloporax) yang dibungkus oleh kulit udang keras merupakan bagian yang

    dibuang oleh industri pembekuan udang. Kulit udang mengandung

    25-40 % protein, 30-50% kalsium karbonat dan 15-20 % kitin serta komponen

    lain sebagaimana tercantum pada Tabel 1.

    Tabel 1 Komposisi kimia kulit udang Penaeus sp.

    Komposisi Jumlah (%)

    Air 12,86

    Protein 32,75

    Lemak 2,04

    Abu 37,24

    Karbohidrat 36,96

    Kalsium 13,29

    Magnesium 0,85

    Fosfor 1,84

    Besi 0,02

    Mangan 0,0003

    Kitin 18

    Kalium 0,37

    Tembaga 0,005

    Natrium 0,436

    Seng 0,005

    Sulfur 0,419 Sumber: Arlius (1991) dalam Maulana (2007)

    Limbah udang merupakan bahan yang mudah busuk karena adanya proses

    degradasi oleh bakteri pembusuk dan enzim yang berjalan dengan cepat. Hal ini

  • 5

    menyebabkan menurunya mutu komponen yang terdapat dalam limbah, sehingga

    apabila komponen tersebut rusak maka akan mengahsilkan produk yang bermutu

    rendah. Oleh karena itu perlu diupayakan penanganan limbah yang baik agar tidak

    cepat terdegradasi dengan tujuan untuk memperoleh produk yang lebih baik

    (Suptijah et al. 1992 dalam Maulana 2007).

    2.2 Karakteristik

    2.2.1 Kitosan

    Kitosan adalah jenis polimer alami yang dihasilkan dari proses deasetilasi

    kitin. Kitosan mempunyai sifat yang khas yakni bioaktifis, biodegradasi dan tidak

    beracun. Kitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai rantai tidak

    linier dan mempunyai rumus (C6H11NO4)n. Mempunyai sifat tidak

    berbau,berwarna putih dan terdiri dari dua jenis polimer yaitu

    poli (2-deoksi,2-asetilamin,2-glukosa) dan poli(2-deoksi,2- amino glukosa) yang

    berikatan secara beta (1,4). Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer, HNO3

    encer, dan H3PO4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Sifat

    kelarutan kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi.

    Bobot molekul kitosan beragam, bergantung pada degradasi yang terjadi selama

    proses deasetilasi (Sugita 2010). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Struktur kitosan

    (Sumber: Mardliyati 2010)

    Parameter mutu kitosan biasanya dilihat dari nilai derajat deasetilsi, kadar air,

    kadar abu, bobot molekul, dan viskositas. Viskositas kitosan dipengaruhi oleh

    beberapa faktor seperti derajat deasetilasi, bobot molekul, konsentrasi pelarut, dan

    suhu. Gel kitosan terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi antara molekul

    kitosan yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan

    menangkap sejumlah air di dalamnya. Sifat jaringan serta interaksi molekul yang

    mengikat keseluruhan gel menentukan kekuatan, stabilitas, dan tekstur gel. Untuk

  • 6

    memperkuat jaringan di dalam gel biasanya digunakan molekul lain yang

    berperan sebagai pembentuk ikatan silang (Keuteur 1996).

    Penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 150 o

    Derajat deasetilasi menyatakan banyaknya gugus amino bebas dalam

    polisakarida. Kitosan merupakan kitin dengan derajat deasetilasi lebih dari 70%.

    Deasetilasi adalah proses pengubahan gugus asetil (-NHCOCH

    C) menyebabkan

    pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan sehingga

    menurunkan berat molekulnya. Kitosan dengan berat molekul rendah akan lebih

    tepat diterapkan sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan dan antitumor. Kitosan

    menunjukkan sifat-sifat polimer biomedis misalnya nono-toksik, biokompatibel,

    dan biodegradable. Struktur kitosan yang mirip dengan selulosa dan

    kemampuanya membentuk gel dalam suasana asam, membuat kitosan memiliki

    sifat-sifat sebagai matriks dalam sistem pengantar obat (Sutriyo et al. 2005).

    Kitosan biasa dipakai sebagai pengantar obat berdasarkan kekuatan mekanik dan

    keteruraian hayatinya yang lambat. Kitosan berbentuk gel atau lembaran telah

    digunakan sebagai pengantar obat yang merupakan zat antikanker

    (Dhanikula et al. 2004).

    3) dan rantai

    molecular kitin menjadi gugus amina lengkap (-NH2

    Tabel 2 Spesifikasi kitosan niaga

    ) pada kitosan dengan

    penambahan NaOH konsentrasi tinggi. Kemampuan kitosan bergantung pada

    derajat kimia reaktif yang tinggi gugus aminonya(Kusumaningsih et al. 2004

    dalam April 2008).

    No Parameter Ciri

    1 Ukuran partikel Serbuk sampai bubuk

    2 Warna Putih kelabu

    3 Kelarutan 97% dalam 1% asam asetat

    4 Kadar abu (%) 2,0

    5 Kadar air (%) 10,0

    6 Warna Larutan Tak berwarna

    7 N-deasetilasi (%) 70,0 Sumber: (Kencana 2009)

  • 7

    2.2.2 Nano Kitosan

    Nano kitosan yaitu kitosan yang memiliki pertikel yang berbentuk padat

    dengan ukuran sekitar 10 1000 nm. Kitosan dalam bentuk nanopartikel ini pun

    bersifat netral, tidak toksik, dan memiliki stabilitas yang konstan. Nanopartikel ini

    digunakan dalam berbagai rute (aplikasi parental, mucosal misal oral, nasal, dan

    ocular mucosa) yang sangat tidak invasive. Dalam sistem pengantaran obat,

    nanopartikel berperan sebagai pembawa (carrier) dengan cara melarutkan,

    menjebak, mengenkapsulasi, atau menempelkan obat di dalam matriksnya. Baru-

    baru ini, nanopartikel yang berasal dari bahan polimer digunakan sebagai sistem

    pengantaran obat yang potensial karena kemampuan penyebarannya di dalam

    organ tubuh selama waktu tertentu, dan kemampuannya untuk mengantarkan

    protein atau peptida (Mohanraj dan Chen 2006).

    Nanopartikel dari bahan polimer yang biodegradable dan kompatibel

    merupakan salah satu perkembangan baik untuk pembawa obat karena

    nanopartikel diduga terserap secara utuh di dalam system pencernaan setelah

    masuk ke dalam tubuh (Wu et al. 2005 dalam Wahyono 2010). Tujuan utama

    dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai sistem pengantar obat adalah

    untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat permukaan, dan pelepasan zat aktif

    pada tempat yang spesifik di dalam tubuh sebagi sasaran pengobatan. Aplikasi

    nanoteknologi membuat revolusi baru dalam dunia industri dan diyakini

    pemenang persaingan global di masa yang akan datang adalah negara-negara yang

    dapat menguasai nanoteknologi. Ruang lingkup nanoteknologi meliputi usaha dan

    konsep untuk menghasilkan material atau bahan berskala nanometer,

    mengeksplorasi dan merekayasa karakteristik material atau bahan tersebut, serta

    mendesain ulang material atau bahan tersebut ke dalam bentuk, ukuran dan fungsi

    yang diinginkan.

    2.3 Gelasi ionik

    Gelasi atau pembentukan gel merupakan gejala penggabungan atau

    pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jaringan tiga dimensi yang

    sinambung dan dapat memerangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang

    kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran bertekanan (Fardiaz 1989 dalam

    Latifah 2010). Gel yang dapat menahan air dalam strukturnya disebut hidrogel

  • 8

    (Wang et al. 2004 dalam Napthaleni 2010). Hidrogel dapat diklasifikasikan

    menjadi hidrogel kimia dan hidrogel fisika. Contoh hidrogel kimia adalah hidrogel

    kitosan yang berikatan silang secara kovalen (Keuteur 1996). Larutan kitosan

    pada batas konsentrasi tertentu dalam asam asetat 1% dapat membentuk gel. Gel

    kitosan yang terbentuk dapat diperbaiki sifatnya (menurunnya waktu gelasi dan

    meningkatnya kekuatan mekanik gel) dengan penambhan PVA (Wang et al. 2004

    dalam Wahyono 2010).

    Metode yang paling umum dalam pembuatan nanopartikel melalui proses

    gelasi ionik yaitu metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik dan

    metode high speed. Banyak penelitian difokuskan untuk membuat nanopartikel

    dari polimer yang biodegradable: kitosan, gelatin, dan sodium alginat. Salah satu

    contoh metode gelasi ionik ini adalah mencampurkan polimer kitosan dengan

    polianion sodium tripoliposfat yang menghasilkan interaksi antara muatan positif

    pada gugus amino kitosan dengan muatan tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap

    sebagai zat pengikat silang yang paling baik (Mohanraj dan Chen 2006).

    Proses terbentuknya kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik dapat dilihat pada

    Gambar 2.

    Sizing Gelasi Ionik

    Chitosan solution chitosan nanoparticle

    Gambar 2 Kitosan nanopartikel dengan gelasi ionik

    2.4 Tripolifosfat (TPP)

    Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan

    menggunakan senyawa tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat

    silang yang paling baik. Shu dan Zhu (2002) melaporkan bahwa penggunaan

    tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel

    yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki rapatan muatan negatif yang

    tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar. Menurut

    Yongmei dan Yumin (2003) dalam Wahyono (2010), pembentukan nanopartikel

    hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP sebagai zat

  • 9

    pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin

    banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan

    mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi

    semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian -

    bagian yang lebih kecil (Wahyono 2010).

    2.5 Surfaktan

    Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi menggunakan emulsifier yang

    merupakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Berdasarkan penelitian

    Silva et al. (2006) diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil

    ukuran partikel kitosan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah

    glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan

    nonionik (Tween 80 dan Span 80). Beberapa contoh surfaktan nonionik adalah

    Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat) dan Span 80 (sorbitan monooleat).

    Tween 80 dan Span 80 bersifat nontoksik yang umumnya digunakan sebagai

    emulsifier dan penstabil pada bidang pangan dan farmasi. Tarirai (2005) dalam

    Wahyono (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan

    sebagai pembawa obat ibuprofen dengan menggunakan senyawa pengikat silang

    tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat

    silang, yaitu asam oleat, sodium laurit sulfat (SLS) dan Tween 80.

    2.6 Sonikasi

    Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang

    memiliki frekuensi 20 KHz ke atas. Pada alat Ultrasonics Processor Cole-Parmer,

    spesifikasi yang dapat diperoleh yaitu frekuensi yang tidak bisa diubah-ubah

    sebesar 20 KHz dan daya sebesar 130 watt. Pada alat tersebut juga terdapat waktu

    sonikasi, amplitude, dan pulsa gelombang yang dapat diatur sesuai kebutuhan.

    Gelombang suara ultrasonik dapat didengar dan digunakan sebagai alat

    komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis binatang, seperti anjing, kelelawar

    dan lumba - lumba (Tipler 1998).

    Batas atas rentang ultrasonik mencapai 5 MHz untuk gas dan mencapai

    500 Mhz untuk cairan dan padatan. Penggunaan ultrasonik berdasarkan

    rentangnya yang luas ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama termasuk suara

  • 10

    beramplitudo rendah (frekuensi lebih tinggi) dan berkaitan dengan efek fisik

    medium pada gelombang dan biasanya disebut gelombang energi rendah atau

    ultrasonik frekuensi tinggi. Biasanya, gelombang amplitudo rendah digunakan

    dalam tujuan analisis untuk mengukur kecepatan dan koefisien absorpsi

    gelombang dalam medium pada rentang 2 sampai 10 MHz. Yang kedua adalah

    gelombang energi tinggi (frekuensi rendah), yang dikenal dengan ultrasonik

    energi tinggi dan terletak antara 20 100 KHz. Jenis kedua ini digunakan untuk

    pembersihan, pembentukan plastik, dan yang terbaru adalah untuk sonokimia

    (Mason et al. 2002 dalam Komariah 2010).

    Efek kimia dari gelombang ultrasonik, tidak secara langsung berinteraksi

    dengan molekul molekul untuk menginduksi suatu perubahan kimiawi. Ini

    karena panjang gelombang ultrasonik yang terlalu panjang jika dibandingkan

    dengan panjang gelombang molekul molekul. Interaksi gelombang ultrasonik

    dengan molekul molekul terjadi melalui media perantara berupa cairan.

    Gelombang yang dihasilkan oleh tenaga listrik (lewat tranduser) diteruskan oleh

    media cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi akustik

    (Wardiyati et al. 2004 dalam Wulandari 2010), yang menyebabkan terjadinya

    temperatur dan tekanan lokal ektrem dalam cairan dimana reaksi terjadi.

    2.7 Pengeringan Semprot (spray drying)

    Metode pengerinagn semprot (spray drying) merupakan metode yang paling

    mudah dan sederhana untuk mengenkapsulasi suatu bahan karena larutan suspensi

    yang akan dinanoenkapsulasi cukup dimasukkan ke dalam alat pengering semprot

    dengan serbuk nanokapsul sebagai produk. Metode ini dapat dilakukan melalui

    beberapa tahap, yaitu (1) produk yang berupa cairan didispersikan dalam

    penyemprot (sprayer), (2) kontak antara semprotan dengan udara panas, (3)

    pengeringan semprotan, dan (4) pemisahan antara produk kering (aliran serbuk

    bebas) dan udara.

    Keuntungan nanoenkapsulasi dengan metode pengeringan semprot ini

    diantaranya ialah (1) meningkatkan stabilitas serbuk, (2) teknik yang dapat

    dipercaya, (3) biaya yang murah, (4) menghasilkan serbuk berupa mikrokapsul

    yang kecil, (5) teknik yang ramah, terhindar dari penggunaan pelarut organik, (6)

  • 11

    dilakukan satu tahap, atau dengan kata lain prosesnya sinambung (continuous),

    dan (7) merupakan metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk enkapsulasi

    polimer polimer yang berbeda dan suhu berbeda (Yundhana 2008).

    2.8 Scanning Electron Microscopy (SEM)

    Mikroskop merupakan alat untuk melihat benda yang berukuran kecil (mm).

    Salah satu jenis mikroskop adalah SEM (scanning electron microscopy). Scanning

    Electron Microscopy (SEM) menggunakan elektron dan cahaya tampak sebagai

    sumber cahayanya. Elektron menghasilkan gelombang yang lebih pendek

    dibandingkan cahaya foton dengan ukuran 0,1 nm dan menghasilkan gambar

    dengan resolusi yang lebih baik (Lee 1993 dalam Rini 2010).

    Scanning electron microscopy (SEM) menghasilkan gambar dari suatu

    permukaan spesimen dengan kedalaman fokus 500 kali lebih besar dibandingkan

    mikroskop cahaya. Gambar yang dihasilkan memiliki fokus yang baik pada

    kedalaman spesimen, sehingga gambar yang dihasilkan berupa bentuk tiga

    dimensi spesimen. Hal ini disebabkan oleh ketajaman pancaran elektron yang

    menyinari spesimen. Mikroskop SEM memiliki perbesaran hingga 50.000 kali

    (Fujita et al. dalam Rini 2010).

    Mikroskop SEM memiliki lensa yang berbeda dengan mikroskop cahaya.

    Bagian electron gun berfungsi memancarkan elektron. Condensing lenses

    berfungsi untuk memantulkan elektron. Lensa yang berdekatan dengan sampel

    adalah lensa objek. Pancaran elektron yang mengenai permukaan sampel

    diteruskan oleh detektor, sehingga penampakan permukaan sampel dapat terlihat

    pada monitor (Chandler 1980 dalam Rini 2010).

    Elektron bermuatan negatif sehingga untuk mengamati permukaan sampel,

    diperlukan pelapis sampel yang bersifat konduktor. Pelapis yang umumnya

    digunakan antara lain platina, emas, dan perak. Namun, platina relatif mahal

    dibandingkan dengan emas dan perak. Perak memiliki harga yang relatif lebih

    murah dibandingkan dengan platina dan emas, namun memiliki daya konduktor

    yang kurang baik. Sehingga emas lebih banyak digunakan sebagai pelapis sampel

    (Lee 1993 dalam Rini 2010).

  • 12

    2.9 FTIR (Fourier Transform InfraRed)

    FTIR (Fourier Transform InfraRed) merupakan suatu metode spektroskopi IR.

    Spektroskopi InfraRed (IR) dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks

    dalam senyawa tetapi tidak dapat menentukan molekular unsur penyusunnya.

    Pada spektroskopi IR, radiasi IR dilewatkan pada sampel. Sebagian dari radiasi IR

    diserap oleh sampel dan sebagian lainnya diteruskan. Jika frekuensi dari suatu

    fibrasi spesifik sama dari frekunsi radiasi IR yang langsung menuju molekul,

    molekul akan menyerap radiasi tersebut. Spektrum yang dihasilkan

    menggambarkan absoprsi dan transmisi molekular, membentuk sidik jari

    molekular suatu sampel (Kencana 2009).

    Sistem optik Spektrofotometer FTIR dilengkapi dengan cermin yang bergerak

    tegak lurus dan cermin diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan

    menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak (M)

    dan jarak cermin yang diam (F). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2

    yang selanjutnya disebut sebagai retardasi (). Hubungan antara intensitas radiasi

    IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram.

    Sedangkan sisitem optik dari Spektrofotometer IR yang didasarkan atas

    bekerjanya interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform

    Infra Red.

    Pada sistim optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light Amplification by

    Stimulated Emmision of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang

    diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang

    diterima oleh detector secara utuh dan lebih baik. Detektor yang digunakan dalam

    Spektrofotometer FTIR adalah TGS (Tetra Glycerine Sulpahte) atau MCT

    (Mercury Cadmium Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena

    memiliki beberapa kelebihan disbanding detector TGS, yaitu memberikan respon

    yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak

    dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima

    dari radiasi infra merah.

  • 13

    3 METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Febuari 2011 sampai April 2011.

    Pembutan kitosan dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan,

    Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

    Institut Pertanian Bogor. Pengujian analisis Proksimat Kitosan dilakukan di Pusat

    Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan nano kitosan dilakukan

    dengan gelasi ionik dan perlakuan pengecilan ukuran (sizing) dengan metode

    magnetic stirer dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen

    Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

    Pertanian Bogor. Pembuatan nano kitosan menggunakan metode homogenizer

    ultrasonik dilakukan di Laboratorium Kimia Fisik, Departemen Kimia, Fakultas

    Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan

    nano kitosan menggunakan metode sonikasi dilakukan di Laboratorium Biofisik,

    Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut

    Pertanian Bogor. Pengujian nano kitosan dengan SEM dilakukan di Pusat

    Penelitian dan Pengembagan Kehutanan, Bogor dan Laboratorium Geologi

    Kuarter, Institut Teknologi Bandung. Pengujian FTIR (Fourier Transform

    InfraRed) dilakukan di Laboratorium Terpadu, Universitas Islam Negeri,

    Tangerang.

    3.2 Bahan dan Alat

    Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang udang vannamei

    (Litopenaeus vannamei), aquades, asam asetat 0,3%, dan tripoliphospat

    (TPP) 0,1 %, dan surfaktan (Tween 80) 0,1 %.

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beaker glass, timbangan

    digital, gelas ukur, kertas pH, kompor listrik, saringan, alat pengaduk, termometer,

    magnetic stirer, homogenizer ultrasonik, Ultrasonics Processor (Cole-Parmer 20

    kHz 130 watt), pipet, spray dryer, alat uji SEM dan alat uji FTIR.

  • 14

    3.3 Tahap Penelitian

    Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dimulai dari penelitian

    pendahuluan dengan membuat kitosan dan pengujian proksimat kitosaan.

    Penelitian utama membuat nano kitosan dengan perlakuan perbedaan pengecilan

    ukuran menggunakan metode gelasi ionik, dan pengujian serta menganalisis

    karakteristik nanopartikel. Adapun proses penelitian nano kitosan ini dapat dilihat

    sebagai berikut.

    3.3.1 Penelitian pendahuluan

    Penelitian pendahuluan terdiri dari uji proksimat kitosan dari kulit udang

    meliputi uji kadar air, uji kadar abu, uji kadar protein, dan kadar lemak. Diagram

    alir pembuatan kitosan dapat dilihat pada Gambar 3.

    Gambar 3 Proses pembuatan kitosan (Sumber : Suptijah et al. 1992)

    Cangkang udang

    Demineralisasi HCl 1 N, 90 0C, 1 h

    Netralisasi

    Deproteinasi NaOH 3 N, 90 0C, 1 h

    Netralisasi Kitin Deasetilasi NaOH 50 %,

    1400C, 1 h

    Kitosan

    Perendaman HCl 1:7 (selama 0 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam)

  • 15

    Pembuatan kitosan diawali dengan perendaman kulit udang dalam larutan

    HCl 1 N dengan perlakuan waktu perendaman 0 jam, 24 jam, 48 jam dan 72 jam.

    Setelah itu, dilakukan demineralisasi dengan HCl 1 N, pada suhu 90 C selama 60

    menit. Setelah 60 menit, dilakukan netralisasi menggunakan aquades sampai pH

    netral. Kemudian dilakukan deproteinasi dengan NaOH 3 N, pada suhu 90 C

    selama 60 menit, dan dilakukan kembali netralisasi sampai pH netral untuk

    mendapatkan kitin. Setelah itu, dilakukan deasetilasi dengan NaOH 50 %, pada

    suhu 140 % selama 60 menit dan didapatkan kitosan.

    3.3.2 Penelitian Utama

    Perlakuan perendaman kulit udang yang menghasilkan rendemen kitosan

    tertinggi dilanjutkan dalam penelitian utama. Penelitian utama meliputi tahapan

    pembentukan gel yang lunak berantai panjang lurus dari 0,2 gr kitosan 0,2 % yang

    dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 0,3%. Hal ini bertujuan agar dengan mudah

    memutuskan polimer tersebut. Kemudian dilakukan pencampuran bahan-bahan

    dengan terlebih dahulu menentukan konsentrasi bahan (kitosan, asam oleat, dan

    TPP) yang akan dibentuk menjadi emulsi cair.

    3.3.2.1 Tahapan pembuatan nano kitosan dengan metode gelasi ionik

    Kitosan yang telah dilarutkan dalam asam asetat, yang memiliki bentuk gel

    lunak berantai panjang lurus, diambil sebanyak 50 ml. Setelah itu, dilakukan

    pembuatan nanopartikel kitosan dengan gelasi ionik dan perlakuan pengecilan

    ukuran (sizing) dengan metode magnetic stirer, metode homogenizer ultrasonik

    dan metode sonikasi 60 menit. Kemudian ditambahkan 25 ml emulsifier (Tween

    80) 0,2 % yang dapat memisahkan gel antara gel satu dengan gel lainnya.

    Surfaktan (Tween 80) diberikan dengan cara tetes demi tetes ke dalam kitosan

    yang telah mengalami pemotongan, dan didiamkan memutar selama 30 menit.

    Setelah itu, ditambahkan 10 ml tripoliphospat 0,1 % yang bertujuan agar ukuran

    partikel yang dihasilkan tetap stabil. Kemudian didiamkan selama 30 menit.

    3.3.2.2 Tahapan pengujian dan analisis sifat karakteristik nano kitosan

    Sampai tahap ini kemudian dilakukan analisis karakterisasi nanopartikel yang

    dihasilkan dengan SEM untuk mengetahui karakteristik, ukturan dan morfologi

    nanopartikel kitosan serta keadaan missel yang memiliki stabilitas yang konstan.

  • 16

    Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik

    dapat dilihat pada Gambar 4.

    Gambar 4 Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik

    Kitosan dilarutkan dalam asam asetat

    Larutan kitosan dimixer selama 60 menit dengan 3 metode

    Metode magnetic stirer

    Ultrasonik

    Ditambahkan emulsifier (Tween 80) 0,2 % secara tetes demi tetes

    Diamkan selama 30 menit

    Ditambahkan tripoliphospat 0,1 %

    Didiamkan selama 30

    Larutan Nano kitosan

    Dikeringkan dengan spray dryer

    Nano Kitosan yang stabil Uji SEM

    Metode homogenizer

    Uji FTIR

  • 17

    3.4 Analisis Fisik dan Kimia Sampel

    Analisis yang dilakukan untuk kitosan pada penelitian ini antara lain yaitu

    analisis fisik dan kimia. Analisis fisik pada kitosan dilakukan perhitungan

    rendemen kitosan dan nilai derajat deasetilasi. Analisis kimia yang dilakukan

    yaitu analisa proksimat meliputi analisis kadar air, lemak, protein, abu, dan

    karbohidrat (by difference).

    3.4.1 Analisis Proksimat

    Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk

    mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat yang

    dilakukan meliputi:

    3.4.1.1 Analisis kadar air (AOAC 1995) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah

    mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam.

    Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan

    dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali

    hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan

    tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam,

    kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin dan selanjutnya

    ditimbang kembali.

    Keterangan: B = berat sampel (gram) B1B

    = berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan 2

    3.4.1.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995)

    = berat (sampel+cawan) setelah dikeringkan

    Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada

    suhu 600 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan

    ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram

    dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga

    tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu

    600 o

    C selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

  • 18

    Kadar abu ditentukan dengan rumus:

    Kadar abu (berat basah)

    3.4.1.3 Analisis kadar lemak (AOAC 1995)

    Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua

    ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya sampel yang

    telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang

    berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet. Selongsong lemak

    dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan

    pelarut lemak (n-heksana), kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut

    lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak

    menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut

    dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak

    dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam

    desikator sampai beratnya konstan (W3

    Perhitungan kadar lemak : % Kadar lemak =

    ).

    Keterangan : W1 W

    = Berat sampel (gram) 2

    W = Berat labu lemak kosong (gram)

    3

    3.4.1.4 Analisis kadar protein (AOAC 1995)

    = Berat labu lemak dengan lemak (gram)

    Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari

    tiga tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein

    dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram,

    kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan satu butir

    kjeltab dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama

    kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin,

    ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40 %,

    kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi

    ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat

    (H3BO3) 2 % dan 2 tetes indicator bromcherosol green-methyl red yang berwarna

    merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna

  • 19

    hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan

    HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan

    dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.

    Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :

    %N =

    Keterangan : Fp = Faktor pengenceran fk = 6,25

    3.4.1.5 Analisis kadar karbohidrat (AOAC 1995)

    Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan

    dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga

    kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena

    karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat

    dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

    % Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)

    3.4.2 Rendemen Kitosan Cangkang Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

    Rendemen merupakan persentasi dari perbandingan serbuk kitosan terhadap

    bobot kulit udang sebelum mengalami perlakuan. Perhitungan persentase

    rendemen dengan rumus sebagai berikut:

    3.4.3 Derajat Deasetilasi (Domsay 1985)

    Kitosan sebanyak 0,2 gram digerus dengan KBr dalam mortar agate

    sampai homogen, kemudian dimasukkan dalam cetakan pelet, dicetak dengan

    dipadatkan dan divakum sampai optimum, selanjutnya pelet ditempatkan dalam

    sel dan dimasukkan ke dalam tempat sel pada spektrofotometer inframerah IR-

    408 yang sudah dinyalakan dan stabil, Kemudian tombol pendeteksian ditekan,

    akan muncul histogram FTIR pada rekorder yang memunculkankan puncak-

    puncak dari gugus fungsi yang terdapat pada sampel kitosan. Histogram yang

    diperoleh dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif misalnya

  • 20

    analisis kuantitatif derajat deasetilasi dari kitosan.

    Pengukuran derajat deasetilasi berdasarkan kurva yang tergambar oleh

    spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0

    ) dan puncak terendah (P) dicatat dan

    diukur dengan garis dasar yang dipilih. Nisbah absorbansi dihitung dengan

    rumus:

    Keterangan:

    P0 dengan panjang gelombang 1.655cm

    = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi -1 atau 3.450 cm-1

    P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang

    .

    1.655cm-1 atau 3.450 cm-1

    Perbandingan absorbansi pada 1.655cm

    .

    -1 dengan absorbansi 3.450 cm-1

    digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Dengan mengukuran

    absorbansi pada puncak yang berhubungan, nilai persen N-deasetilasi dapat

    dihitung dengan rumus:

    Keterangan: A1.655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.655 cm-1

    A

    .

    3.450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.450 cm-1

    1,33 = konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna.

    .

    Log P0 A= P

    A1.655 1 % N-deasetilasi = 1- X A3.450 1,33

  • 21

    4 HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1 Penelitian Pendahuluan

    Pada penelitian pendahuluan dilakukan uji proksimat kulit udang. Uji

    proksimat kulit udang yang dilakukan pada penelitian ini meliputi penentuan

    kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar abu. Berdasarkan uji proksimat,

    kulit udang vanamei memiliki kadar air yakni 15,04 % (bb). Kadar air cangkang

    udang Penaeus notabilis berdasarkan penelitian Emmanuel et al. (2008)

    sebesar 13,3%. Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh perbedaan jenis

    udang dan tingkat kekeringan sampel yang digunakan pada penelitian.

    Berdasarkan uji proksimat, kulit udang vanamei memiliki kadar lemak

    sebesar 0,57% (bb), hal ini menunjukan bahwa kadar lemak pada kulit udang

    tergolong rendah. Menurut literatur kadar lemak pada kulit udang yakni 9,8% (bk)

    (Ravichandran et al. 2009). Perbedaan kadar lemak dipengaruhi oleh jenis udang

    dan fase hidup udang saat panen. Udang pada fase molting mengandung

    kadar lemak yang lebih tinggi (Cuzon dan Guillaume 2001 dalam Rini 2010).

    Hasil analisis kadar protein dan kadar abu kulit udang vanamei menunjukkan

    nilai yang relatif sama dengan hasil penelitian Ravichandran et al. 2009.

    Komposisi kimia kulit udang vanamei hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3 Komposisi kimia kulit udang hasil uji proksimat

    Komposisi Jumlah (%) (bb)

    Air 15,04

    Abu 18,02

    Protein 34,69

    Lemak

    Karbohidrat

    0,57

    31,75

    Keterangan: bb = berat basah

    Kadar protein kulit udang vanamei sebesar 34,69 % (bb). Menurut penelitain

    yang dilakukan oleh Kim et al. (2011) kadar protein cangkang udang

    Litopenaeus vannamei sebesar 40,35% (bb). Kadar abu pada kulit udang

    vannamei sebesar 18,02% (bk). Nilai kadar abu ini lebih rendah dibandingkan

  • 22

    kadar abu yang diteliti oleh Ravichandran et al. (2009) sebesar 21,5% (bk).

    Perbedaan nilai kadar abu diduga dapat disebabkan oleh perbedaan hbitat dan

    lingkungan hidup.

    Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference

    menunjukkan bahwa cangkang udang vannamei mengandung karbohidrat sebesar

    31,75%. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini

    merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara

    kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008).

    4.2 Rendemen Kitosan

    Rendemen kitosan ditentukan berdasarkan persentase berat kitosan yang

    dihasilkan terhadap bahan baku kulit udang kering dengan lamanya

    waktu perendaman HCl. Rendemen kitosan dari kulit udang yang diperoleh

    dengan perlakuan waktu perndaman HCl 1 N selama 0 jam, 24 jam, 48 jam, dan

    72 jam tertera pada Tabel 4 dan Gambar 5.

    Tabel 4 Rendemen kitosan dari cangkang udang terhadap lamanya waktu perendaman HCl 1 N

    No. Perlakuan (Jam)

    Rendemen (%) + stdev

    1. 0 11,57 0,14

    2. 24 12,00 0,7

    3. 48 13,20 0,37

    4 72 13,50 0,37

    Rendemen yang diperoleh untuk setiap perlakuan 11,43% - 13,87%. Hasil

    percobaan Suptijah et al. (1992) menunjukkan rendemen kitin kitosan yang

    diperoleh dari limbah udang 20% - 30%.

    Perlakuan waktu perendaman HCl 1 N yang berbeda memberikan

    pengaruh terhadap rendemen kitosan tersebut. Perlakuan dengan perendaman

    HCl 1 N (72 jam) menghasilkan rendemen tertinggi yakni sebesar 13,50%.

    Perlakuan waktu perendaman HCl 1 N (0 jam) menghasilkan rendemen terendah

    yakni sebesar 11,57 %. Hal ini dipengaruhi oleh kadar air pada kitosan tersebut

    yang relatif rendah yakni sebesar 5,09 %. Data selengkapnya dapat dilihat pada

  • 23

    Lampiran 7. Grafik rendemen kitosan menurut waktu perendaman dengan HCl

    dapat dilihat pada Gambar 5.

    Gambar 5 Grafik rendemen kitosan terhadap pengaruh waktu perendaman HCl

    Perlakuan perendaman dengan HCl 1 N yang berbeda memberikan pengaruh

    terhadap rendemen kitosan. Mineral memiliki sifat larut asam, oleh karena itu

    perendaman cangkang udang dengan HCl 1 N menyebebkan mengembangnya

    matrik cangkang udang sehingga memudahkan pelarut masuk ke dalaam matriks.

    Berdasarkan hal tersebut, waktu perendaman (retention time) kulit udang di dalam

    larutan HCl 1 N akan mempengaruhi penurunan kadar mineral pada proses

    pembuatan kitin. Semakin lama waktu perendaman, maka akan menghasilkan

    semakin banyak rendemen dari kitosan. Hal ini dikarenakan, perendaman

    menyebabkan terbukanya pori-pori cangkang udang yang maksimal, sehingga

    ruang-ruang yang terbentuk memudahkan dicapai oleh pengestrak (HCl), dengan

    demikian mineral mudah terlepas atau terekstrak dengan optimum (Suptijah 1992

    dalam Ariesta 2008).

    4.3 Mutu kitosan

    Kitosan harus memiliki mutu yang baik, dan pengukurannya dapat dilihat dari

    ukuran partikel, warna larutan, kadar air, kadar abu, dan kadar nitrogen. Setelah

    dilakukan proses pembuatan kitosan dengan pengaruh waktu perendaman HCl,

  • 24

    dihasilkan rendemen kitosan terbanyak dan mutu yang memenuhi persyaratan

    Protan Biopolimer (Suptijah et al. 1992). Berdasarkan hasil analisa terhadap

    rendemen kitosan tertinggi, didapatkan mutu kitosan yang dapat dilihat pada

    Tabel 5.

    Tabel 5 Mutu kitosan dari rendemen hasil perendaman 72 jam HCl 1 N

    Parameter Nilai (Penelitian) Protan Biopolimer (Suptijah et al. 1992)

    Ukuran partikel Serpihan - serbuk Serpihan serbuk

    Warna larutan Jernih Jernih

    Kadar air 15 % 10 %

    Kadar abu 0,11 % 2 %.

    Kadar nitrogen 4,73 % 5 %.

    Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ukuran partikel pada kitosan dari

    kulit udang berupa serpihan serbuk. Hal ini sesuai dengan Suptijah et al. (1992)

    yaitu ukuran partikel pada kitosan berupa serpihan serbuk. Pada proses

    pembuatan kitosan dengan ektraksi bahan baku terlihat hancur. Warna larutan

    kitosan tersebut jernih, yang berarti tidak ada zat pengotor yang menempel pada

    permukaan kitosan.

    Kadar abu merupakan parameter untuk mengetahui mineral yang terkandung

    dalam suatu bahan yang mencirikan keberhasilan proses demineralisasi yang

    dilakukan. Kadar abu kitosan hasil penelitian ini yaitu 0,11%. Hal ini

    menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu sesuai

    ketentuan Protan Biopolimer, yakni sebesar 2 %. Kadar abu ini dipengaruhi

    proses pengadukan yang dilakukan selama proses pembuatan kitosan. Pada proses

    tersebut dilakukan pengadukan yang cukup kostan sehingga kadar abu dari kedua

    kitosan tersebut cukup rendah.

    Kadar abu yang rendah menunjukan kandungan mineral yang rendah.

    Semakin rendah kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan tingkat kemurnian

    kitosan akan semakin tinggi. Selain itu proses pencucian yang baik dan

    diperolehnya pH netral, juga berpengaruh terhadap kadar abu. Dengan pencucian

    ini, mineral yang telah terlepas dari bahan dan berikatan dengan pelarut dapat

  • 25

    terbuang dan larut bersama air (Angka dan Suhartono 2000). Pencucian yang

    kurang sempurna akan mengakibatkan mineral yang sudah terlepas dapat melekat

    kembali pada permukaan molekul kitin.

    Kadar air merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk

    menentukan mutu kitosan. Protan Biopolimer menetapkan standar mutu kadar air

    kitosan adalah 10 % (Bastaman 1989). Dari Tabel 5 diketahui bahwa kadar air

    kitosan sebesar 15 %. Kitosan yang dihasilkan memiliki kadar air yang masih

    cukup tinggi dan melebihi batas maksimum standar mutu kadar air kitosan yang

    telah ditetapkan. Kadar air yang terkandung pada kitosan dipengaruhi oleh proses

    pengeringan, lama pengeringan yang dilakukan, jumlah kitosan yang dikeringkan

    dan luas tempat permukaan tempat kitosan yang dikeringkan (Saleh et al. 1994).

    Benjakula dan Sophanadora (1993) juga menyatakan bahwa kadar air kitosan

    tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah bahan, dan waktu proses tetapi

    dipengaruhi oleh waktu pengeringan yang dilakukan terhadap kitosan.

    Kadar air yang tinggi dipengaruhi oleh kurang meratanya peletakan kitosan

    pada tempat pengeringan, sehingga ada kitosan yang saling menggumpal dan akan

    mempersulit proses pengeringan. Instensitas sinar matahari yang tidak stabil

    (berubah-ubah) juga akan menyebabkan proses pengeringan berlangsung kurang

    sempurna. Selain itu, kadar air kitosan sangat dipengaruhi oleh keadaan

    lingkungan, khususnya kelembaban relatif dari tempat kitosan tersebut disimpan.

    Pada umumnya kitosan disimpan di dalam ruangan. Hal yang harus diperhatikan

    agar dihasilkan kitosan dengan kadar air yang memenuhi persyaratan adalah

    dengan cara pengeringan, cara pengemasan dan cara penyimpanan yang baik.

    Penyimpanan yang baik dengan penutupan yang sempurna merupakan upaya

    untuk mempertahankan mutu kitosan, khususnya kadar airnya.

    Kadar nitrogen merupakan salah satu parameter yang juga diukur untuk

    menentukan mutu kitosan. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang

    berinteraksi dengan gugus lainnya. Keberadaan senyawa lain dalam kitosan yaitu

    bentuk gugus amin (NH2) menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang

    cukup tinggi, sehingga kitosan mampu mengikat air dan larut dalam asam asetat.

    Menurut Protan Biopolimer standar mutu kadar nitrogen kitosan yang telah

    ditetapkan adalah 5 %. Pada Tabel 5 di atas ditunjukkan bahwa kadar nitrogen

  • 26

    kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar yang ditetapkan yakni sebesar

    4,73%.

    Pada penelitian ini dilakukan proses deasetilasi yang sesuai dengan penelitian

    Ariesta (2008), yaitu dengan konsentrasi NaOH 50 % dan suhu proses deasetilasi

    140 C. Hasil analisis kadar nitrogen menunjukkan nilai yang relatif sama dengan

    hasil penelitian Ariesta (2008) yaitu 5 %. Konsentrasi NaOH dan suhu

    deasetilasi yang semakin tinggi, menyebabkan kadar nitrogen cenderung semakin

    kecil. Hal ini didukung oleh pernyataan Benjakula dan Sophanodora (1993)

    bahwa kadar total nitrogen berupa protein yang dapat dihilangkan

    (pada pembuatan kitin) sangat dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang

    digunakan, waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi. Protein yang masih terikat setelah

    proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan

    konsentrasi NaOH yang tinggi. Proses pengadukan yang konstan juga merupakan

    salah satu faktor yang mempermudah panghilangan protein dari kulit udang

    melalui reaksi antara larutan NaOH dengan bahan.

    Menurut Saleh et al. (1994) kadar nitrogen dipengaruhi oleh konsentrasi

    NaOH dan waktu proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang

    digunakan dan semakin lama waktu deproteinasi yang digunkan maka reaksi

    antara protein dengan larutan pembentuk ester (Na-proteinat) akan semakin

    sempurna, sehingga protein yang dihilangkan akan semakin banyak.

    4.4 Penelitian Utama

    Pada penelitian utama dilakukan perhitungan rendemen kitosan nanopartikel

    yang dihasilkan dari berbagai metode alat yang berbeda antara lain magnetic

    stirrer, ultrasonik dan homogenizer. Tahap berikutnya, dari hasil rendemen yang

    tertinggi dilakukan proses karakteristik fisik dari kitosan nanopartikel dengan

    metode gelasi ionic menggunakan ketiga alat tersebut. Parameter yang diamati

    pada penelitian utama meliputi ukuran partikel melalui analisis SEM (Scanning

    Electron Microscopy) dan FTIR (Fourier Transform InfraRed).

    4.4.1 Rendemen Kitosan Nanopartikel

    Rendemen kitosan nanopartikel ditentukan berdasarkan persentase berat

    kitosan nanopartikel yang dihasilkan terhadap berat serbuk kitosan yang

  • 27

    digunakan. Rendemen yang diperoleh untuk setiap perlakuan adalah

    38,5% - 85%. Hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perlakuan metode

    yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan perlakuan alat pengecilan ukuran

    No. Perlakuan (Alat)

    Rendemen (%) + stdev

    1. Magnetic stirrer 81,30 5,30

    2. Ultrasonik 46,88 0,88

    3. Homogenizer 40,00 2,06

    Penggunaan alat ultrasonik atau mekanik dengan waktu sonikasi 60 menit dan

    amplitudo 30% menghasilkan rendemen kitosan nano sebesar 46,88 %. Rendemen

    kitosan nano menggunakan alat homogenizer dengan waktu homogenisasi

    60 menit kecepatan 3000 rpm yaitu sebesar 40,00 %. Sedangkan rendemen

    kitosan nano yang dihasilkan menggunakan alat magnetic stirrer dengan waktu 60

    menit dan 6000 rpm yaitu sebesar 81,30 %. Tabel 6 menunjukkan rendemen

    kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada perlakuan metode pengecilan ukuran

    dengan alat magnetic stirer yaitu sebesar 81,30 %. Sedangkan rendemen terendah

    ditunjukkan oleh kitosan nanopartikel dengan perlakuan menggunakan alat

    homogenizer yaitu sebesar 40,00 %.

    Rendemen yang rendah ini dapat disebabkan oleh proses yang digunakan. Alat

    ultrasonik memiliki kelemahan yaitu memerlukan energi tinggi untuk

    dekomposisi kimia. Selain itu, metode pemecahan menggunakan homogenizer

    memiliki kelebihan antara lain cocok untuk senyawa yang kelarutannya rendah,

    sedangkan kekurangan metode ini antara lain pemecahan partikel padatan

    memerlukan energi dan waktu yang lebih besar, dapat menghasilkan panas, dan

    ukuran partikel yang dihasilkan terbatas, yaitu lebih besar dari 1000 nm.

    Berdasarkan hasil yang diperoleh, rendemen nano kitosan yang tertinggi yaitu

    menggunakan magnetic stirrer, karena dengan alat magnetic stirrer memiliki

    kelebihan yaitu proses homogenisasi antara kitosan serbuk awal dengan bahan

    gelasi ionik, dapat dikendalikan secara merata dengan kecepatan yang tinggi,

    dibanding dengan menggunakan alat lainnya, sehingga lebih efektif menghasilkan

  • 28

    nanopartikel dan dapat menghasilkan rendemen 81,30%, yang sesuai dengan

    persentasi kitosan awal yang digunakan (Wahyono 2010).

    Proses pengeringan semprot (spray drying) juga mempengaruhi rendemen

    hasil nano kitosan yang dihasilkan. Pada pengeringan semprot terjadi kontak

    antara semprotan dengan udara panas, pengeringan semprotan, dan pemisahan

    antara produk kering (aliran serbuk bebas) dan udara (Yundhana 2008). Grafik

    hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan pengecilan ukuran dapat

    dilihat pada Gambar 6.

    Gambar 6 Grafik hasil rendemen kitosan nanopartikel dengan perbedaan

    perlakuan metode pengecilan ukuran 4.4.2 Hasil Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)

    SEM (Scanning Electron Microscopy) digunakan untuk mengamati morfologi

    suatu bahan. Prinsip kerja mikroskop SEM adalah sifat gelombang dari elektron

    berupa difraksi pada sudut yang sangat kecil. Elektron dapat dihamburkan oleh

    sampel yang bermuatan karena memiliki sifat listrik (Samsiah 2009 dalam

    Wulandari 2010). Hasil karakteristik SEM kitosan nanopartikel yang dibuat

    dengan berbagai metode yaitu magnetic stirrer, ultrasonik, dan homogenizer

    menunjukan partikel yang berupa bulatan menyerupai bola dan berkerut. Ukuran

    partikel dapat ditentukan dengan mengukur diameter bola tersebut. Perbesaran

    yang digunakan yaitu mulai dari 1000 kali hingga 20.000 kali.

  • 29

    Setelah dilakukan pengukuran diameter berdasarkan foto SEM diperoleh data

    yang ditunjukkan pada Tabel 7.

    Tabel 7. Ukuran partikel nano kitosan hasil foto SEM

    Perlakuan Metode

    BPPT (2010) Penelitian

    H H1 (nm) H2 (nm) H1(nm) 2(nm)

    Magnetic Stirrer 25,9 28 400 450

    Ultrasonik 1,2 25 1222 1600

    Homogenizer 1,2 25 1375 2000

    Pada Tabel 7 terlihat bahwa dengan menggunakan magnetic stirrer dihasilkan

    ukuran partikel terkecil dan lebih stabil yaitu sebesar 400 nm (H1) dan 450 nm

    (H2). Sedangkan pada perlakuan ultrasonik dan homogenizer dihasilkan ukuran

    pertikel yang lebih besar dan tidak stabil, yaitu dengan perlakuan ultrasonik

    didapatkan ukuran partikel sebesar 1222 nm (H1) dan 1600 nm (H2). Dengan

    perlakuan homogenizer dihasilkan ukuran partikel sebesar 1375 nm (H1) dan

    2000 nm (H2). Hal ini sesuai dengan penelitian BPPT (2010) yaitu partikel

    terkecil dan stabil didapatkan dengan perlakuan magnetic stirrer sebesar 25,9 nm

    (H1) dan 28 nm (H2). Sedangkan partikel yang lebih besar serta tidak stabil

    diperoleh dengan perlakuan ultrasonik dan homogenizer sebesar 1,2 nm (H1)

    dan 25 nm (H2).

    Berdasarkan Gambar 7, kerutan pada partikel semakin berkurang dengan

    adanya pengaruh pemberian surfaktan, TPP dan perlakuan pengecilan ukuran.

    Perbedaan metode pengecilan ukuran pada gelasi ionik ini, memperlihatkan

    bahwa pengaruh alat homogenisasi cenderung mempengaruhi ukuran partikel dan

    meningkatkan kehomogenan ukurannya. Karakteristik nanopartikel kitosan

    dilakukan dengan menggunakan analisis SEM. Secara umum, nanopartikel

    kitosan seluruh formula memiliki ukuran partikel tidak seragam. Hal ini diduga

    karena dalam proses pembuatan nanopartikel, menggunakan perbedaan alat

    pengecilan ukuran dengan kecepatan pengadukan yang berbeda- beda sehingga

    pengendapan partikel-partikel berukuran besar menjadi kurang efektif. Akibatnya,

    partikel yang dihasilkan masih berupa partikel yang berukuran mikro. Hasil

    analisis SEM menunjukkan bahwa peggunaan alat magnetic stirrer dengan waktu

  • 30

    60 menit dan kecepatan maksimal, kisaran nanopartikel yang nanopartikel

    dihasilkan adalah 400 - 450 nm.

    Nanopartikel adalah butiran atau partikel padat dengan kisaran ukuran

    10 - 1000 nm (Mohanraj dan Chen 2006). Nano partikel yang dihasilkan oleh

    magnetic stirrer rata-rata berukuran sekitar 400 - 450 nm. Berdasarkan teori

    kinetik molekul menyatakan bahwa molekul dapat bertumbukan satu dengan

    lainnya. Jadi, reaksi kimia berlangsung sebagai akibat dari tumbukan antara

    molekul-molekul satu dengan lainnya dalam reaksi. Dari segi teori tumbukan dari

    kinetika kimia, maka laju reaksi akan berbanding lurus dengan banyaknya

    tumbukan molekul per detik, atau berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan

    molekul. Semakin cepat putaran, memperbesar intensitas bersentuhan molekul

    pelarut dengan kitosan, sehingga semakin besar intensitas kecepatan putaran dari

    magnetic stirrer maka partikel yang dihasilkan semakin kecil (Chang 2005).

    Pada alat ultrasonik, semakin tinggi persen amplitudo serta lama waktu

    kontak, maka semakin kecil ukuran partikel dan seragam. Hasil dari ultrasonik

    dan homogenizer masih berukuran lebih dari 1000 nm dan partikel masih

    menempel satu sama lain. Hal ini dapat dipengaruhi oleh proses emulsi yang

    kurang stabil sehingga saat proses ultrasonik dan homogenizer partikel yang

    terpecah membentuk partikel yang lebih kecil tetapi mudah bergabung kembali.

    Faktor pengeringan dengan menggunakan pengering semprot juga dapat

    mempengaruhi ukuran partikel karena suhu yang terlibat di dalamnya cukup

    tinggi (180 C). Selain itu, sifat surfaktan (Tween 80) juga mudah larut dalam

    air, sehingga kemungkinan terjadi dalam proses difusi Tween 80 dalam air

    menyebabkan penggabungan partikel proses penggumpalan kembali terjadi. Pada

    dasarnya partikel yang dihasilkan melalui metode ultrasonik dan metode

    homogenizer lebih kecil dibandingkan menggunakan magnetic stirrer. Partikel

    yang lebih kecil mempunyai luas permukaan yang lebih besar. Konsentrasi

    penstabil yang diberikan belum dapat mempertahankan partikel yang sudah

    tersalut sehingga membutuhkan penstabil yang lebih kuat agar tidak bergabung

    atau menyatu kembali (Latifah 2008).

    Berbeda dengan sampel yang menggunkan alat magnetic stirrer, penyebaran

    energi cenderung merata, sehingga seluruh molekul terkena energi yang sama dan

  • 31

    molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama serta distribusi

    ukuran partikelnya cenderung labih homogen. Hal inilah yang menyebabkan

    nanopartikel di dalamnya juga akan dapat terpisah satu sama lain sehingga

    didapatkan nanosfer dengan ukuran terkecil. Selain itu, penggunaan tripolipospat

    dalam proses gelasi juga besar pengaruhnya, yaitu dapat menstabilkan missel

    (emulsi homogen dan sangat kecil) sehingga missel tersebut menjadi lebih stabil.

    Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BPPT yang dilakukan dengan uji PSA

    (Particle Size Analyzer) (Tabel 7), bahwa ultrasonik dan homogenizer memiliki

    kestabilan rendah. Sedangkan dengan magnetic stirrer menghasilkan kestabilan

    tetap, yang bisa dilihat dalam waktu/hari. Magnetic stirrer lebih stabil dalam

    waktu 24 jam, sementara pada ultrasonik dan homogenizer bisa berubah

    kestabilannya mencapai 25 kali lebih meningkat (BPPT 2010).

    Surfaktan yang digunakan untuk obat secara farmakologi harus nontoksik.

    Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan surfaktan dari golongan nonionik

    yang bersifat tidak toksik, yaitu Tween 80. Surfaktan merupakan molekul yang

    diadsopsi oleh permukaan partikel untuk mencegah terjadinya gumpalan (Mustika

    et al. 2006 dalam Latifah 2008). Pengaruh surfaktan dapat menurunkan tegangan

    permukaan antar lapisan larutan bahan dengan kitosan semakin baik dengan

    terbentuknya misel misel, artinya bahan akan menyaluti permukaan matriks

    kitosan atau berada pada inti matriks.

    Penggunaan tripolipospat mengingat sifatnya yang nontoksik.

    Menurut Mi et al. (1999) dalam Wahyono (2010), penambahan TPP bertujuan

    untuk membentuk silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan

    sebagai bahan penguat. Hal ini dapat disebabkan oleh peran TPP sebagai zat

    pengikat silang yang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan

    semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka

    kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan

    menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi

    bagian-bagian yang lebih kecil.

    Pada penelitian ini, konsentrasi kitosan yang digunakan sebesar 0,2% (50 ml)

    dan konsentrasi surfaktan sebesar 0,2% (25 ml), sesuai dengan penelitian

    Kencana (2009) dalam mendapatkan nanokitosan dengan ukuran partikel terkecil

  • 32

    yaitu 300 - 600 nm. Penambahan surfaktan berfungsi untuk menstabilkan emulsi

    partikel dalam larutan dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan

    (aglomerasi) antarpartikel. Dengan adanya surfaktan, partikel-partikel kitosan di

    dalam larutan akan terselimuti dan terstabilkan satu dengan yang lain sehingga

    proses pemecahan partikel akan semakin efektif. Partikel yang telah terpecah akan

    kembali terstabilkan dalam emulsi larutannya, sehingga mencegah terjadinya

    aglomerasi. Silvia et al. (2006) melaporkan bahwa menambahan surfaktan

    Tween 80 dan Span 80 ke dalam larutan kitosan dapat menurunkan diameter

    partikel berturut-turut dari 198 m menjadi 181,3 m dan dari 132,6 m

    menjadi 24,9 m.

    Menurut Yongmei dan Yumin (2003), pembentukan nanopartikel hanya

    terjadi pada konsentasi kitosan dan TPP tertentu. Yongmei dan Yumin berhasil

    membuat nanopartikel kitosan berukuran 20 - 200 nm dengan menggunakan

    konsentrasi kitosan 1,5mg/ml dan konsentrasi TPP 0,7 mg/ml. Selain itu,

    Wu et al. (2005) dalam Wahyono (2010) juga berhasil membuat nanopartikel

    kitosan berukuran 20 - 80 nm dengan menggunakan konsentrasi kitosan 1,44

    mg/ml dan konsentrasi TPP 0,6 mg/ml. Hal ini diduga karena analisis ukuran

    partikel menggunakan peralatan yang memiliki akurasi yang tinggi sehingga

    ukuran partikel yang diperoleh mendekati ukuran sebenarnya.

    Menurut Mi et al. (1999) dalam Komariah (2010), penambahan TPP bertujuan

    untuk membentuk silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan

    sebagai bahan penjerap. Penambahan jumlah TPP akan menurunkan jumlah

    nanopartikel kitosan. Hal ini dapat disebabkan oleh peran TPP sebagai zat

    pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin

    banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan

    mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi

    semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian-bagian

    yang lebih kecil. Oleh karenanya jumlah partikel kitosan yang dihasilkan akan

    semakin sedikit. Untuk itu, pada penelitian ini digunakan formulasi pada ketiga

    metode pengecilan ukuran dengan konsentrasi TPP 0,1% (10 ml) dan

    konsentrasi kitosan sebesar 0,2% (50 ml), agar tidak terjadi penggumpalan

    (aglomerasi) molekul-molekul kitosan. Alasan lain pada konsentrasi kitosan yang

  • 33

    tinggi hingga mencapai 3,0% (b/v) dengan jumlah TPP yang tetap, menyebabkan

    terjadinya penggumpalan (aglomerasi) molekul-molekul kitosan sehingga proses

    pemecahan menjadi kurang efektif, akibatnya jumlah nanopartikel yang dihasilkan

    akan semakin sedikit. Namun, seiring dengan penambahan jumlah konsentrasi

    kitosan, akan menyebabkan peningkatan jumlah nanopartikel kitosan. Hal ini

    menyatakan bahwa, konsentrasi kitosan harus lebih besar dibandingkan dengan

    konsentrasi TPP yang digunakan (Wahyono 2010).

    Pengaruh cara penegecilan ukuran dengan magnetic stirrer dengan kecepatan

    tinggi, akan menyamaratakan energi yang diterima oleh partikel diseluruh bagian

    sisi larutan sehingga ukuran partikel semakin homogen. Meningkatnya

    kehomogenan ukuran partikel juga dapat dilihat pada Gambar 7. Jika dilihat dari

    kehomogenan distribusi ukuran partikel, sampel yang menggunakan alat magnetic

    stirrer (A1) distribusi ukuran partikelnya cenderung lebih homogen dibandingkan

    dengan alat lainnya (A2 dan A3), karena penyebaran energi yang dipantulkan dari

    magnetic stirrer terhadap molekul disekitarnya lebih rata dan lebih konstan.

    Sedangkan, ketika menggunakan homogenizer ultrasonik (A3) dan ultrasonik

    (A2), penyebaran energinya tidak sama, sehingga energi yang dipantulkan pada

    molekul larutan emulsi berbeda beda pula. Terjadinya pemantulan yang berbeda

    beda ini menyebabkan molekul larutan ada yang pecah lebih cepat dan ada juga

    yang pecah lebih lama sehingga menghasilkan ukuran partikel yang lebih besar

    dan tidak homogen (Wulandari 2010).

    Dalam waktu yang relatif singkat, sebenarnya sonikasi dapat memecahkan

    partikel hingga ukuran yang sangat kecil. Lamanya sonikasi dapat mengakibatkan

    partikel-partikel yang telah terpecah untuk menggabungkan diri kembali sehingga

    terlihat adanya penggumpalan partikel pada citra SEM tersebut (Kencana 2009).

    Selain itu, sifat tween 80 juga mudah larut dalam air, sehingga kemungkinan

    dalam proses difusi tween 80 juga larut sebagian dalam air sehingga proses

    penggumpalan kembali terjadi.

    Berbeda dengan sampel yang menggunakan alat magnetic stirrer (A1),

    penyebaran energi cenderung merata, sehingga seluruh molekul terkena energi

    yang sama dan molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama

    serta distrinbusi ukuran partikelnya cenderung labih homogen. Hal inilah yang

  • 34

    menyebabkan nanopartikel yang terkungkung di dalamnya juga akan dapat

    terpisah satu sama lain sehingga didapatkan nanosfer dengan ukuran terkecil.

    A1 (magnetic stirrer), H1 A1 (magnetic stirrer), H2

    A2 (ultrasonik), H1 A2 (ultrasonik), H2

    A3 (homogenizer), H1 A3 (homogenizer), H2

    Gambar 7 Morfologi partikel kitosan; A1 (magnetic stirer) H1 dan H2, A2

    (ultrasonik) H1 dan H2, dan A3 (homogenizer) H1 dan H2

  • 35

    Gambar foto SEM pada kode sampel A3 berbeda dengan kode sampel lainnya

    (Gambar 7). Hal tersebut karena terjadi penundaan proses spray dryer setelah

    melakukan proses homogenisasi. Larutan yang telah diproses sebaiknya langsung

    dilakukan proses spray drying agar larutan tersebut tetap terjaga stabilitas

    distribusi partikelnya. Tujuan dilakukan spray drying agar menghasilkan serbuk

    berupa partikel nanokapsul yang kecil, teknik yang ramah sehingga dapat

    terhindar dari penggunaan pelarut organik, dan dapat meningkatkan stabilitas

    serbuk (Yundhana 2008).

    4.4.3 Hasil Analisis FTIR

    Spektrum inframerah digunakan untuk penentuan derajat deasetilasi kitosan

    yang digunakan, mengetahui gugus fungsi kitosan, serta penentuan indeks

    kristalinitas kitosan awal dan kitosan yang telah dilakukan metode pengecilan

    ukuran (magnetic stirrer). Derajat deasetilasi adalah penghilangan gugus asetil

    (COCH3

    ) yang terdapat pada kitin. Kitin yang mengalami proses deasetilasi

    disebut kitosan. Hasil analisis FTIR pada kitosan menunjukkan derajat deasetilasi

    sebesar 99 %. Grafik derajat deasetilasi dapat dilihat pada Gambar 8.

    4000.0 3000 2000 1500 1000 450 .0-2.0

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    14

    16

    18

    20

    22.0

    cm-1

    %T

    Laborato ry T es t Result

    J (2)

    3901.52

    3854.883839.583818.173803.28

    3751.963735.87

    3690.793672.48

    3392.84

    2342.47

    1575.13

    1412.31

    1152.06

    1076.14

    651.62

    Gambar 8 Grafik derajat deasetilasi pada kitosan berukuran nano (partikel terkecil) dengan alat magnetic stirrer

  • 36

    Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa kitosan tersebut telah sesuai dengan

    standar mutu yang telah ditentukan oleh laboratorium Protan diacu dalam Suptijah

    et al. (1992) yaitu 70 %. Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukkan kemurnian

    dari kitosan yang dihasilkan (Bastaman 1989).

    Derajat deasetilasi dari kitosan menentukan banyaknya gugus asetil yang telah

    hilang selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat

    deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina

    menggantikan gugus asetil. Gugus amina lebih reaktif diabandingkan gugus asetil

    karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan

    (Muzzarelli dan Peter 1997 dalam Kencana 2009).

  • 37

    5 KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik dengan perlakuan

    menggunakan perbedaan alat sizing berhasil dilakukan dari hasil preparasi kitosan

    dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 72 jam dengan rendemen

    sebesar 13,50% (bk) dan yang terendah diperoleh dengan perlakuan waktu

    perendaman HCl 1 N selama 0 jam dengan rendemen sebesar 11,57% (bk).

    Rendemen kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada kitosan nanopartikel

    dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan alat magnetic stirrer yaitu

    sebesar 81,30%. Sedangkan rendemen terendah ditunjukkan oleh kitosan

    nanopartikel dengan menggunakan alat homogenizer, yaitu sebesar 40,00%.

    Penggunaan TPP pada penelitian ini dapat menguatkan sifat mekanik kitosan

    yang mudah rapuh dan dapat membentuk ikatan silang ionik antara molekul

    kitosan. Lamanya waktu homogenisasi dapat meningkatkan kehomogenan ukuran

    partikel. Magnetic stirrer dapat mendistribusikan ukuran partikel yang lebih

    homogen dibandingkan menggunakan homogenizer ultrasonik dan ultrasonik.

    Sampel dengan pengaruh alat magnetic stirrer, konsentrasi TPP, surfaktan dan

    waktu yang sesuai menunjukkan bahwa kerutan pada partikel semakin berkurang.

    Gelasi ionik dengan surfaktan dan TPP, menghasilkan partikel sangat kecil

    dan tidak berpolimerisasi. Ukuran partikel yang diperoleh dengan menggunakan

    magnetic stirrer sebesar 400 - 450 nm. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan

    nanopartikel terkecil yang dihasilkan yaitu sebesar 99% dan menunjukan bahwa

    nano kitosan yang dihasilkan merupakan kitosan murni.

    5.2 Saran

    Penelitian selanjutnya dapat divariasikan lagi konsentrasi TPP, surfaktan dan

    waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar kitosan tersebut lebih homogen dan

    lebih sedikit, sehingga didapatkan ukuran partikel akhir sesuai standar nano.

  • 38

    DAFTAR PUSTAKA

    Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut.. Bogor: PKSPL,

    Institut Pertanian Bogor. [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 1995. Official Method of

    Analysis of The Association of Official Analytical Chemyst. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemyst, Inc.

    Ariesta A. 2008. Karakteristik mutu dan kelarutan kitosan dari ampas silase

    kepala udang windu (Penaeus monodon) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Bastaman S. 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan

    from Prawn Shells. Belfast : The Department of Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queens University.

    Benjakula S, Sophanodora P. 1993. Chitosan Production from Carapace and Shell

    of Black Tiger Shrimp (Penaeus monodon) Asean Food Jurnal. 8(4): 145-148.

    BPPT. 2010. Pembuatan Partikel Nano Kitosan dengan Metode Gelasi Ionik

    Menggunakan Magnetic Stirrer. Tanggerang: Balai Pengkaji dan Penerapan Teknologi.

    Chang R. 2005. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Dhanikula AB, Pachagnula R. 2004. Development and characterization of

    biodegradable chitosan films for local delivery of paclitaxel. www.aapsj.org [10 Oktober 2010].

    Domsay T M, Robert. 1985. Evaluation of Infra Red Spectroscopic Techniques

    for analyzing Chitosan. Macromol Chem 186, 1671 Emmanuel, Adeyeye I, Habibat O. Adubiaro, Awodola OJ. 2008. Comparability

    of Chemical Composition and Functional Properties of Shell and Flesh of Penaeus notabili. Journal of Nutrition 7(6):741-747.

    Kencana A. 2009. Perlakuan sonikasi terhadap kitosan: viskositas dan bobot molekul kitosan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

    Keuteur J. 1996. Nanoparticles and Microparticles for drug and vaccine delivery.

    Eur J of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 189: 19-34.

  • 39

    Kim, T. Y and Cho S. Y. 2005. Adsorpsi Equilibria of Reactife Dye Onto Highly Polyaminatid Porous Chitosan Bead. Korean J. Chem Eng. 22 (5) 691- 696.

    Kim JD, Nhut TM, Hai TN, Ra CS. 2011. Effect of Dietary Essential Oils on Growth, Feed Utilization and Meat Yields of White Leg Shrimp L. Vanname. Journal Anim. Sci 24(8):1136-1141.

    Komariah S. 2010. Kombinasi emulsi dan ultrasonikasi dalam nanoenkapsulasi ibuprofen tersalut polipaduan poli (as.laktat) dan poli (- Kaprolakton). [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

    Latifah S. 2010. Stabilitas mikrokapsul ketoprofen dengan penyalut kitosan

    alginat [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

    Malvern. 2010. Berbagai Industri Partikel Nano . http://www.eNews.com

    [12 Desember 2010]. Mardliyati E. 2010. Pengenalan Pemanfaatan Nanopartikel Kitosan sebagai

    Matriks Enkapsulasi. Jakarta: Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi.

    Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.

    Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Maulana H. 2007. Stabilitas larutan kitosan 1,5% sebagai antibakteri pada

    penyimpanan suhu ruang [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Mohanraj UJ and Y chen. 2006. Nanoparticles - A Review. Tropical Journal of

    Pharmaceutical Research 5(1): 561-573. Napthaleni. 2010. Nanoenkapsulasi ketoprofen tersalut kitosan-alginat

    berdasarkan jenis dan ragam konsentrasi surfaktan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

    Pusat Data Statistik. 2008. Jumlah Ekspor Udang di Indonesia. Jakarta:

    Departemen Kelautan dan Perikanan. Rini I. 2010. Recovery dan karakterisasi kalsium dari limbah demineralisasi kulit

    udang jerbung (Penaeus merguiensis deMan) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

  • 40

    Saleh MR, Abdillah, Suerman E, Basmal J, Indriati N. 1994. Pengaruh Suhu, Waktu dan Konsentrasi Pelarut pada Ekstraksi Kitosan dari Limbah Pengolahan Udang Beku terhadap Beberapa Parameter Mutu Kitosan. Jurnal Pasca Panen Perikanan 81:30 43.

    Shu XZ and Zhu KJ. 2002. Controlled Drug Release Properties of Ionically Cross-

    Linked Chitosan beads: The Influence of Anion Structure. International Journal of Pharmaceutics 233: 217-225.

    Silvia. SS. 2005. Physical Propertis and Biocompatibility of Chitosan/ Sury

    Blendet Membran, Jurnal of Material Science 16. 575- 579.

    Steel RGD, JH Torrie.


Top Related