i
KADAR METALLOTHIONEIN (MT) PADA INSANG TIRAM Crassostrea cucullata
SKRIPSI
Oleh :
WIDYA RAHAYU NIM. 145080101111062
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2018
ii
KADAR METALLOTHIONEIN (MT) PADA INSANG TIRAM Crassostrea cucullata
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh :
WIDYA RAHAYU NIM. 145080101111062
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2018
iii
iv
LEMBAR IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : KADAR METALLOTHIONEIN (MT) PADA INSANG TIRAM Crassostrea cucullata
Nama : Widya Rahayu
NIM : 145080101111062
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING
Pembimbing : Dr. Asus Maizar S. H., S.Pi, MP
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
Dosen Penguji 1 : Dr. Ir. Umi Zakiyah, M. Si
Dosen Penguji 2 : Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP
Tanggal Ujian :
v
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam laporan skripsi yang saya tulis
ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Apabila kemuadian hari terbukti atau dapat dibuktikan laporan ini hasil
penjiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut, sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, 21 Mei 2018
Penulis
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT sehingga
penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan lancar. Sholawat beserta salam
semoga tetap terlimpah tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
yang telah menunjukkan jalan kebenaran menuju kemuliaan dan suasana penuh
dengan ilmu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini tidak lepas
dari bantuan berbagai pihak dan hanya ungkapan terima kasih yang tulus penulis
ucapkan kepada:
1. Orang tua penulis Bapak Nurhafidin dan Mamak Hidar yang telah
mendampingi, mendukung serta memberikan banyak sekali dorongan
positif untuk penulis. Terimakasih atas segala doa tulus dan segala
pengorbanan yang telah dilakukan hingga detik ini untuk penulis.
2. Bapak Dr. Asus maizar S.H., S. Pi, MP atas kesediaan waktu, tenaga dan
pemikirannya untuk membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis
hingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Gembil yang selalu ada dimanapun kapanpun saat dibutuhkkan.
4. Mbak Gres yang ngeloni aku setiap malam hahaha.
5. Devi, Nana dan Reza sebagai partner terbaik dan paling tulus saat
bersama-sama dalam 4 tahun ini.
6. Keluarga B9 Mbak Gres, Mbak Ayu, Mas Gatot, Nanda dan Ilham yang
memberikan semangat dan keceriaan selama mengerjakan laporan
meskipun disambi main Mobile Legends sampai lupa laporan -_-
7. Terimakasih Tim Pak Asus Hokya Hokye Thanks gais.
Malang, 21 Mei 2018
Penulis
vii
RINGKASAN
WIDYA RAHAYU. Kadar Metallothionein (MT) Pada Insang Tiram Crassostrea Cucullata (di bawah bimbingan Dr. Asus Maizar S.H., S. Pi, MP)
Daerah pesisir terdapat adanya aktivitas manusia, dari aktivitas para nelayan, aktivitas pelelangan hasil tangkapan nelayan (TPI), aktivitas adanya wisata mangrove, wisata pantai dan aktivitas-aktivitas lainnya. Adanya aktivitas manusia yang dilakukan di sekitar pesisir menyebabkan adanya polutan atau pencemaran di perairan, pencemaran atau polutan yang ditimbulkan lebih dominan pencemaran yang mengandung logam berat. Logam berat dihasilkan dari adanya aktivitas nelayan yang menggunakan bahan bakar perahu seperti bensin, solar atau sejenisnya serta adanya kebocoran kapal tangki yang berceceran di perairan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang Tiram Crassostrea cucullata dan kadar MT pada insang Tiram Crassostrea cucullata serta menganalisis hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar MT pada insang Tiram Crassostrea cucullata.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei. Penentuan sampel pada penelitian ini terdiri atas 3 stasiun yang berbeda. Pengambilan sampel tiram dilakukan di 3 lokasi, yaitu sub stasiun 1 berlokasi di dermaga, sub stasiun 2 berlokasi di TPI dan sub stasiun 3 berlokasi di daerah mangrove dan wisata pantai yang berdekatan dengan pemukiman penduduk dan aktifitas lainnya, dengan pengulangan pengambilan sampel sebanyak 3 tiram pada tiap stasiun pengamatan. Tiram yang telah dikumpulkan dari lokasi penelitian lalu di beri aerasi dalam wadah dan selanjutnya dibedah untuk diambil jaringan insang, dianalisis kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang tiram menggunakan metode AAS serta untuk mengetahui kadar metallothionein pada insang tiram menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosurbent Assay) dilakukan di Lab. FAAL Fakultas Kedokteran dan dilakukan pengamatan kualitas air yang terdiri dari suhu, pH, DO dan salinitas.
Hasil rata-rata kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang tiram Crassostrea cucullata pada stasiun 1 kadar logam berat Pb berkisar 0.0389-0.0850 ppm, Cd berkisar 0.0161-0.0575 ppm dan Hg berkisar 0.0389-0.0864 ppm. Pada stasiun 2 kadar logam berat Pb berkisar 0.0358-0.0814 ppm, Cd berkisar 0.0167-0.0420 ppm dan Hg berkisar 0.0203-0.0404 ppm. Pada stasiun 3 kadar logam berat Pb berkisar 0.0983-0.1245 ppm, Cd berkisar 0.0231-0.0317 dan Hg berkisar 0.0327-0.0871 ppm. Hasil rata-rata kadar metallothionein pada isang tiram Crassostrea cucullata pada stasiun 1 berkisar 0.43-0.69 ng/ml, pada stasiun 2 berkisar 0.51-0.76 ng/ml dan pada stasiun 33 berhisar 0.60-0.80 ng/ml. Hasil hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata Timur pada stasiun 1 koefisien korelasi (r) Pb sebesar 0.732, Cd sebesar 0.839 dan Hg sebesar 0.815. Pada stasiun 2 koefisien korelasi (r) Pb sebesar 0.747, Cd sebesar 0.798 dan Hg sebesar 0.865. Pada stasiun 3 koefisien korelasi (r) Pb sebesar 0.766, Cd sebesar 0.793 dan Hg sebesar 0.555. Hasil pengukuran kualitas air yang dilakukan didapatkan hasil suhu pada stasiun 1 berkisar 28,2oC-27,8oC, stasiun 2 berkisar 28,9oC-29,5oC dan stasiun 3 berkisar 28,9oC-29,3oC. Pengukuran pH pada stasiun 1 berkisar 7.8-8.3, stasiun 2 berkisar 8.2-8.3 dan stasiun 3 berkisar 8.3-8.4. Pengukuran salinitas pada stasiun 1 berkisar 33-34 ppt, stasiun 2 berkisar 32-33 ppt dan stasiun 3 berkisar 83-34 ppt. Pengukuran DO pada
viii
stasiun 1 berkisar 6.0-7.9 ppm, stasiun 2 berkisar 6.1-7.9 ppm dan stasiun 3 berkisar 6.3-7.5 ppm.
Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa insang tiram memiliki kemampuan dalam menyerap logam berat. Hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata memiliki tingkat korelasi tergolong kuat, hal ini dibuktikan dengan koefisien korelasi (r) >0,5. Berdasarkan pengukuran kualitas air dari beberapa sampel yang diambil tidak menunjukkan adanya hasil yang melebihi ambang batas baku mutu dalam setiap parameternya.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas kelimpahan
rahmat dan hidayahnya-Mu penulis dapat menyajikan Laporan Skripsi yang
berjudul “KADAR METALLOTHIONEIN (MT) PADA INSANG TIRAM
Crassostrea cucullata”. Tujuan dibuatnya Laporan Skripsi ini adalah sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.
Penulis menyadari bahwa Laporan Proposal Skripsi ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak yang bersifat membangun agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak
yang membutuhkan.
Malang, 21 Mei 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ...................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii
LEMBAR IDENTITAS TIM PENGUJI ........................................................... iv
PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi
RINGKASAN ................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian................................................................................ 4
1.4 Kegunaan Penelitian .......................................................................... 5 1.5 Waktu dan Tempat ............................................................................. 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6 2.1 Tiram .................................................................................................. 6 2.1.1 Biologi Tiram ............................................................................ 6 2.1.2 Klasifikasi Crassostrea cucullata ............................................ . 7 2.1.3 Morfologi Tiram......................................................................... 8 2.1.4 Anatomi Tiram ......................................................................... 9 2.1.5 Habitat dan Kebiasaan Makan ................................................. 10 2.2 Logam Berat ...................................................................................... 11 2.2.1 Timbal (Pb) ............................................................................... 12 2.2.2 Kasdmium (Cd)......................................................................... 13 2.2.3 Merkuri (Hg) ............................................................................. 14 2.2.4 Mekanisme Penyerapan Logam oleh Tiram .............................. 15 2.3 Metallothionein (MT) .......................................................................... 16 2.4 Mekanisme Pengikat Logam Berat oleh Metallothionein (MT) ........... 17 2.5 Pengamatan Metallothionein (MT) dengan Metode Enzyme- Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ........................................... 19
xi
2.6 Parameter Kualitas Air ....................................................................... 20 2.6.1 Suhu ......................................................................................... 20 2.6.2 pH ............................................................................................ 20 2.6.3 Salinitas .................................................................................... 21 2.6.4 Oksigen Terlarut ....................................................................... 22 3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ..................................................... 24 3.1 Materi Penelitian ................................................................................ 24 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 24 3.3 Metode Penelitian............................................................................... 24 3.4 Prosedur Penelitian ............................................................................ 26 3.4.1 Penentuan Stasiun Penelitian .................................................. 26 3.4.2 Pengambilan Sampel Tiram Crassostrea cucullata ................... 27 3.5 Prosedur Pengujian Sampel ............................................................... 28 3.5.1 Prosedur Pengukuran Kadar Logam Berat pada Tiram Crassostrea cucullata ............................................................... 28 3.5.2 Prosedur Pengukuran Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassotrea Cucullata ...................................................... 29 3.6 Analisis Data ...................................................................................... 31 3.7 Analisis Kualitas Air Pendukung ......................................................... 32 3.7.1 Suhu ......................................................................................... 32 3.7.2 pH ............................................................................................ 33 2.7.3 Salinitas .................................................................................... 33 2.7.4 Oksigen Terlarut ....................................................................... 33 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 35 4.1 Kondisi Umum Stasiun 1 .................................................................... 35 4.1.1 Sub Stasiun 1 Lokasi Dermaga ................................................ 35 4.1.2 Sub Stasiun 2 Lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ................ 36 4.1.3 Sub Stasiun 3 Lokasi Mangrove ............................................... 37 4.2 Kondisi umum Stasiun 2 ..................................................................... 37 4.2.1 Sub Stasiun 1 Lokasi Dermaga ................................................ 38 4.2.2 Sub Stasiun 2 Lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ................ 39 4.2.3 Sub Stasiun 3 Lokasi Wisata .................................................... 39 4.3 Kondisi umum Stasiun 3 ..................................................................... 40 4.3.1 Sub Stasiun 1 Lokasi Dermaga ................................................ 40 4.3.2 Sub Stasiun 2 Lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ................ 41 4.3.3 Sub Stasiun 3 Lokasi Wisata .................................................... 42
4.4 Analisis Logam Berat pada Perairan................................................... 43 4.5 Analisis Logam Berat pada Insang Tiram Crassostrea cucullata ........ 44 4.6 Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata ....... 48 4.7 Hubungan Kadar Logam Berat terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata ........................................... 52 4.7.1 Hubungan Kadar Logam Berat terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata di Stasiun 1 ............. 52 4.7.2 Hubungan Kadar Logam Berat terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata di Stasiun 2 ............. 54 4.7.3 Hubungan Kadar Logam Berat terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata di Stasiun 3 ............. 55 4.8 Parameter Kualitas Air ....................................................................... 57 4.8.1 Suhu ......................................................................................... 57 4.8.2 pH ............................................................................................ 58 2.8.3 Salinitas .................................................................................... 59
xii
2.8.4 Oksigen Terlarut ....................................................................... 60 5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 61 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 61 5.2 saran .............................................................................................. 61 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63
LAMPIRAN ................................................................................................... 71
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Alur Perumusan Masalah ........................................................................ 4
2. Crassostrea cucullata.............................................................................. 7
3. Morfologi Bivalvia .................................................................................... 9
4. Anatomi Bivalvia .................................................................................... 10
5. Mekanisme Pengikatan Logam Berat dan MT ......................................... 19
6. Bagian Insang Tiram Crassostrea cucullata ............................................ 27
7. Sub Stasiun Dermaga ............................................................................. 36
8. Sub Stasiun TPI ...................................................................................... 36
9. Sub Stasiun Mangrove ............................................................................ 37
10. Sub Stasiun Dermaga ............................................................................. 38
11. Sub Stasiun TPI ...................................................................................... 39
12. Sub Stasiun Wisata ................................................................................. 40
13. Sub Stasiun Dermaga ............................................................................. 41
14. Sub Stasiun TPI ...................................................................................... 42
15. Sub Stasiun Wisata ................................................................................. 42
16. Grafik Rata-rata Logam Berat pada Perairan .......................................... 43
17. Grafik Rata-rata Kadar Logam Berat pada Insang Tiram Crassostrea
cucullta ................................................................................................... 45
18. Grafik Rata-rata Kadar Metallothionein pada Insang Tiram
Crassostrea cucullata.............................................................................. 48
19. Grafik Hubungan Kadar Logam Berat Pb, Cd dan Hg terhadap
Kadar Metallothionein pada Insang Crassostrea cucullata di Stasiun 1 ... 53
20. Grafik Hubungan Kadar Logam Berat Pb, Cd dan Hg terhadap
Kadar Metallothionein pada Insang Crassostrea cucullata di Stasiun 2 ... 54
xiv
21. Grafik Hubungan Kadar Logam Berat Pb, Cd dan Hg terhadap
Kadar Metallothionein pada Insang Crassostrea cucullata di Stasiun 3 ... 56
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kisaran Kadar Metallothionein ................................................................ 51
2. Tabel Hasil Pengukuran Kualitas Air ....................................................... 57
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... 71
2. Peta Lokasi Penelitian............................................................................. 72
3. Data Hasil Kadar Logam Berat pada Perairan ........................................ 74
4. Data Hasil Kadar Logam Berat pada Insang Tiram Crassostrea
cucullata ................................................................................................. 75
5. Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata ............ 77
6. Data Hasil Metallothionein (MT) – Logam Berat (LB) .............................. 79
7. Output Regresi Korelasi .......................................................................... 80
8. Dokumentasi ........................................................................................... 83
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara Kepulauan terbesar di dunia.
Negara dengan garis pantai terpanjang, yaitu 99.093 km dan terdiri dari 17.508
pulau-pulau kecil. Wilayah geografis Indonesia terletak diantara Benua Asia dan
Australia, serta Samudra Hindia dan Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia
sebagai Negara dengan keanekaragaman kondisi ekosistem pesisir dan laut
(Sprintall et al., 2003).
Daerah pesisir terdapat adanya aktivitas-aktivitas manusia yaitu aktivitas
para nelayan, aktivitas pelelangan hasil tangkapan nelayan (TPI), aktivitas
adanya wisata mangrove, wisata pantai dan aktivitas-aktivitas lainnya. Adanya
aktivitas manusia yang dilakukan di sekitar pesisir menyebabkan adanya polutan
atau pencemaran di perairan. Pencemaran yang ditimbulkan lebih dominan ke
pencemaran yang mengandung logam berat. Logam berat dihasilkan dari
adanya aktivitas nelayan yang menggunakan bahan bakar perahu seperti bensin,
solar atau sejenisnya serta adanya kebocoran kapal tangki yang berceceran di
perairan.
Logam berat diketahui dapat terikat di dalam tubuh organisme dalam
jangka waktu lama sebagai racun yang terakumulasi (Fardiaz, 1992 ; Palar,
1994). Menurut Nurhayati (2013), kondisi perairan yang terkontaminasi oleh
berbagai macam logam akan menyebabkan kematian pada biota-biota yang
hidup di perairan, khususnya perairan yang sudah tercemar limbah yang
mengandung zat racun. Biota-biota yang hidup di perairan tercemar dalam waktu
yang lama, selain mengalami keracunan, juga akan mengalami kematian. Hal ini
terjadi karena biota yang hidup di perairan didalam tubuhnya akan
2
terkontaminasi zat pencemar yang mengandung logam berat dari hasil makanan
yang diambil dari sekitar lingkungan tempat mereka hidup.
Tiram merupakan salah satu sumberdaya laut yang dapat dijumpai di
indonesia. Tiram tumbuh menempel pada substrat keras di pantai. Berbagai
macam spesies dari tiram telah banyak ditemui hampir semua pantai yang ada di
indonesia. Selama ini tiram dikumpulkan dari alam dan dimanfaatkan untuk
konsumsi atau lauk pauk. Menurut Wulandari et al. (2012), tiram termasuk
spesies makrofauna benthik, merupakan salah satu bioindikator terbaik untuk
mengetahui tingkat kontaminasi logam berat di suatu daerah. Tiram merupakan
biota yang potensial terkontaminasi logam berat, karena sifatnya yang filter
feeder yang mengakumulasi bahan-bahan yang tersaring didalam insangnya dan
sessile (menetap) atau mampu menyerap logam berat, sehingga biota ini sering
digunakan sebagai hewan uji dalam pemantauan tingkat akumulasi logam berat
pada organisme laut.
Metallothionein dapat digunakan sebagai biomarker pencemaran karena
kepekaan dan keakuratannya. Hal ini didasarkan pada suatu fenomena alam di
mana logam-logam dapat tersekap di dalam jaringan tubuh organisme yang
dimungkinkan karena adanya protein tersebut. Metallothionein (MT) merupakan
protein pengikat logam (metal-binding protein) yang berperan dalam proses
pengikatan ataupun penyekapan logam di dalam jaringan setiap mahkluk hidup
(Bebianno et al., 2003). Metallothionein merupakan biomarker yang bersifat
universal. Metallothionein tidak hanya dapat digunakan sebagai biomarker pada
penelitian skala laboratorium, tetapi juga dapat digunakan di perairan bebas
sepert laut, danau, teluk maupun sungai. Disamping itu dapat digunakan untuk
deteksi logam berat yang terakumulasi pada organ tubuh ikan maupun yang
terpapar diperairan (Dewi et al., 2014).
3
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan suatu teknik
biokimia untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu
sampel. Penggunaan ELISA melibatkan setidaknya satu antibodi dengan
spesifitas untuk antigen tertentu. ELISA terdiri atas tiga macam yaitu Direct
ELISA, Indirect ELISA dan Sandwich ELISA (Baker, et al. 2007). Diperlukan
adanya penelitian dengan menggunakan teknik ini, untuk menguji kadar MT
yang terakumulasi pada tiram Crassostrea cucullata guna memperkirakan
kondisi perairan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan studi pendahuluan di sekitar, dapat diketahui bahwa di sekitar
daerah tersebut terdapat berbagai aktivitas manusia seperti perikanan,
pemukiman dan kegiatan lainnya di sekitarnya yang dapat menyebabkan
penurunan kualitas air dan mempengaruhi kandungan logam berat Pb, Cd dan
Hg yang ada di perairan tersebut. Salah satu contoh hasil dari kegiatan nelayan
seperti pembersihan kapal akan menghasilkan limbah logam berat Pb. Hal
tersebut dapat mempengaruhi kandungan metallothionein pada tubuh organisme
sebagai protein untuk mengikat logam. Adapun bagan alur perumusan masalah
pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Alur Perumusan Masalah
Dimana:
a. Aktivitas manusia sekitar pesisir yang membuang limbahnya di pesisir
salah satunya logam berat meliputi aktivitas pelabuhan (bongkar muat
kapal dan perbaikan kapal), kegiatan rumah tangga yang menghasilkan
limbah domestik dapat menyebabkan adanya pencemaran di perairan.
b. Pencemaran dipengaruhi oleh kandungan logam berat seperti Pb, Cd dan
Hg akan mempengaruhi kandungan metallothionein pada tubuh organisme
sebagai protein pengikat logam berat.
c. Dengan menganalisis ekspresi MT yang terdapat pada insang tiram
Crassostrea cucullata sebagai biomarker pencemaran logam berat Pb, Cd
dan Hg, diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi dalam upaya
pengelolaan wilayah.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi adalah:
1. Menganalisis kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang tiram
Crassostrea cucullata.
2. Menganalisis kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea
cucullata.
3. Menganalisis hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar
metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata
Terdapatnya
pencemaran
lingkungan
pesisir
(pelabuhan,
domestik dan
pemukiman)
a b
Adanya
logam berat
di perairan
(Pb, Cd dan
Hg)
Mengakibatkan
biota laut
terkontaminasi
(Tiram
Crassostrea
cucullata
Pengikatan
MT pada
logam berat
di insang
tiram
Crassostrea
cucullata
c
5
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi pada ilmuan
dan sumber informasi dalam mengambil keputusan kebijakan pengelolaan
pesisir berdasarkan evaluasi biomarker MT pada insang tiram Crassostrea
cuculata serta dapat mengendalikan aktivitas penduduk dan juga bahan rujukan
bagi ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang biomarker lingkungan dengan
mengetahui kadar logam berat pada insang tiram Crassostrea cucullata.
1.5 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2017 – Maret 2018.
Pembuatan analisis kadar metallothionein dengan prosedur ELISA di
Laboratoriun Fisiologi dan Ilmu FAAL Fakultas Kedokteran dan analisis kadar
logam berat Pb, Cd dan Hg dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Fakultas
MIPA Universitas Brawijaya Malang.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tiram
2.1.1 Biologi Tiram
Tiram Crassostrea sp. termasuk golongan binatang lunak (Mollusca) dan
bercangkang dua (Bivalvia). Bentuk cangkangnya tidak beraturan. Cangkang
atas lebih kecil dibandingkan dengan cangkang bawah, dan bagian atas
cangkang ditandai dengan umbo yang kecil. Crassostrea sp. hidup di daerah
muara yang menempel pada akar-akar bakau, tiang-tiang dermaga, dan
berbagai objek batu-batu karang mati di dasar perairan (Sugianti et al., 2014).
Secara umum Crassostrea sp. termasuk pada binatang yang filter feeder atau
bahkan non selektif filter feeder (makan dengan cara menyaring dan tanpa pilih-
pilih) (Pechenik, 2005).
Menurut Kastoro (1988), jika dilihat dari jenis makanannya maka kerang
dikelompokan menjadi kerang pemakan suspensi (suspention feeder) contohnya
kerang hijau, kerang mutiara, serimping, tiram serta kimah dan kerang pemakan
endapan (deposite feeder) contohnya kerang tahu (Metntrix mereitrix) serta
simping. Dengan cara makan seperti ini maka kerang atau tiram sangat peka
terhadap polutan yang ada di perairan, sehingga menempatkan kerang sebagai
indikator biologis untuk pencemaran perairan. Kerang atau tiram ini juga
digunakan oleh para petambak untuk pengelolaan kualitas air, khususnya untuk
mengurangi partikel tersuspensi atau endapan organik di dalam petakan
tambaknya (Afiati, 2007).
7
2.1.2 Klasifikasi Crassostrea cucullata
Berikut ini adalah klasifikasi dari tiram Crassostrea cucullata menurut
WoRMS (2017).
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Bivalvia
Subclass : Pteriomorphia
Order : Ostreida
Superfamily : Ostreoidea
Family : Ostreidae
Subfamily : Crassostreinae
Genus : Crassostrea
Species : Crassostrea cucullata (Born, 1778)
Gambar 2. Crassostrea cucullata (a) Cangkang Tiram Bagian Dalam (b) Daging Tiram (c) Cangkang Tiran Bagian Luar (Herni, 2011)
a
c
b
8
2.1.3 Morfologi Tiram
Secara morfologi tiram merupakan hewan yang termasuk dalam filum
Moluska dari kelas Bivalvia. Kelas ini termasuk kerang-kerangan, tiram, remis
dan sebangsanya yang mempunyai dua buah cangkang yang setangkup dengan
variasi pada bentuk maupun ukurannya (Umarti, 1990). Bivalvia memiliki bentuk
simetris bilateral, mempunyai cangkang setangkup dan sebuah mantel yang
berupa dua daun telinga atau cuping. Tiram, kerang dan sebangsanya
mempunyai dua cangkang di kedua sisi tubuh. Bentuk cangkangnya digunakan
untuk identifikasi. Sebagian besar Bivalva hidup di laut, hanya sedikit yang hidup
di darat. Sebagian besar mempunyai kelamin terpisah dan menyebar telur dan
sperma ke air untuk pembuahan (Romimohtarto dan Juwana, 2009).
Pada umumnya permukaan luar cangkang bivalvia relatif halus, namun
beberapa jenis mempunyai relief atau ukiran berupa garis-garis konsentrik atau
garis pertumbuhan cangkang dapat dilihat dari besar kecilnya jarak garis
pertumbuhan tersebut. Relief lainnya dapat bergelombang, rusuk meruji (radial
ribs), ataupun kombinasi dari keduanya (Prasad, 1980). Menurut Prawirohartono
(2003), secara umum cangkang tiram tersusun atas zat kapur dan terdii dari tiga
lapisan yaitu :
- Lapisan periostrakum merupakan lapisan terluar dan tipis, tersusun dari zat
kitin berfungsi sebagai pelindung.
- Lapisan prismatik merupakan lapisan tengah yang tebal, tersusun dari
kristal-kristal kapur yang berbentuk prisma
- Lapisan nakreas merupakan lapisan terdalam disebut juga lapisan mutiarra,
tersusun dari lapisan kalsit (karbonat) yang tipis.
9
Gambar 3. Morfologi Bivalvia (Hickman, 1996)
2.1.4 Fisiologi Tiram
Organ respirasi Bivalvia adalah insang (branchia atau stenidia) yang
menggelantung dalam rongga mantel yang terletak disetiap sisi kaki. Setiap
insang tersusun dari dua lamella dibagian dorsal yang saling berhubungan
dengan bantuan penghubung inter lamela yang membagi insang bagian dalam
menjadi bulu air yang terletak vertikal, sedangkan dibagian dorsal buluh air dari
setiap insang berhubungan dengan kamar suprabrankhial yang menuju ke
posterior dan bermuara pada sifon dorsal (Kastawi, 2005). Sistem sirkulasi
Bivalvia terdiri dari jantung yang terletak dibagian bawah usus dalam rongga
pericardium (selaput pembungkus jantung) dan terbagi menjadi dua bagian
aurikel (ventral) dan sebuah ventrikel (dorsal). Dua pembuluh darah mengikuti
sumbu insang, pembuluh aferensia membawa darah yang datang dari ginjal dan
pembuluh aferensia membawanya ke serambi atas jantung. Kedua pembuluh
darah itu dihubungkan dengan jaringan pembuluh darah kapiler yang mengikuti
benang-benang tempat darah diberi oksigen (Romimohtarto & Juwana, 2007).
Sistem saraf Bivalvia terdiri dari tiga ganglion, yaitu ganglion selebral yang
terletak disisi esophagus, ganglion pedal dibagian kaki dan ganglion visceral
pada bawah otot aduktor posterior dan koordinasi dari setiap ganglion dengan
menggunakan saraf penghubung (Kastawi, 2005). Pada mantel terdapat urat-
10
urat yang bias merespon terhadap sentuhan halus atau rangsangan kimia. Alat
penglihatan Bivalvia dengan menggunakan sel-sel berpigmen yang terletak
dalam suatu lekukan berbentuk cangkir dengan lensa tembus pandang yang
terletak pada sisi kanan dan kiri benang insang. Sel-sel tersebut dapat
mendeteksi perubahan cahaya (Romimohtarto dan Juwana, 2009).
Bivalvia merupakan biota laut yang bersifat diosius yaitu setiap kelamin
memiliki sepasang gonad yang terletak dibagian atas usus dan berlanjut menuju
saluran pendek yang bermuara dekat lubang saluran ginjal (Romimohtarto dan
Juwana, 2009). Zigot melekat pada pembuluh air dari insang yang disebut
dengan kamar eram (marsupial). Setiap zigot akan mengalami pembelahan yang
tidak sama dan menjadi larva glokidium dengan dua cangkang yang
mengandung otot aduktor dan sebuah benang panjang (bisus) (Kastawi, 2005).
Gambar 4. Anatomi Bivalvia (Hickman, 1996)
2.1.5 Habitat dan Kebiasaan Makan
Tiram hidup dengan melekatkan diri pada subtrat yang keras tidak dengan
bissusnya tetapi salah satu cangkangnya. Tiram dari kelas Bivalvia mempunyai
cara hidup yang beragam ada yang membenamkan diri, menempel pada
substrat dengan benang bisus (byssus) atau zat perekat lain, bahkan ada yang
berenang aktif (Yasin, 1987). Menurut Romimohtarto & Juwana (2001), ditinjau
dari cara hidupnya, jenis–jenis kerang mempunyai habitat yang berlainan
11
walaupun mereka termasuk dalam satu suku dan hidup dalam satu ekosistem.
Habitat kerang pada umumnya hidup membenamkan dirinya dalam pasir atau
pasir berlumpur, bahkan pada karang-karang batu, bersembunyi dibalik batu,
kayu dan akar tanaman laut, ada yang menempel pada benda-benda keras
seperti batu dan tonggak kayu.
Menurut kebiasaan hidupnya, bivalva digolongkan ke dalam kelompok
makrobentos dengan cara pengambilan makanan melalui penyaringan zat-zat
tersuspensi yang ada dalam perairan atau filter feeder (Heddy, 1994). Makanan
dari Bivalvia sendiri berupa organisme atau zat-zat terlarut yang berada dalam
air. Makanan diperoleh melalui tabung sifon dengan cara memasukkan air
kedalam sifon dan menyaring zat-zat terlarut. Air dikeluarkan kembali melalui
saluran lainnya. Makin dalam kerang membenamkan diri makin panjang tabung
sifonnya (Nontji, 1993).
Proses pemilihan makanan pada Bivalvia dengan menggunakan sensor
syaraf untuk mendeteksi makanan yang bisa dimakan dan makanan yang tidak
(Hughes, 1986). Bahkan pada jenis kekerangan dengan jenis makanan tertentu,
kerang lebih memilih makan beberapa jenis pakan yang hanya disukai karena
nilai nutrisinya atau karena mudah ditangkap (pada Bivalvia) atau mudah
dipotong (pada Gastropoda). Dengan begitu, kekerangan hanya makan
beberapa untuk menjaga kestabilan nutrisi dalam tubuhnya (Setyono, 2006).
2.2 Logam Berat
Logam berat adalah unsur logam dengan berat jenis lebih besar. Logam ini
memiliki karakter seperti berkilau, lunak atau dapat ditempa, mempunyai daya
hantar panas dan listrik yang tinggi dan bersifat kimiawi, yaitu sebagai dasar
pembentukan reaksi dengan asam. Selain itu, logam berat adalah unsur yang
mempunyai densitas lebih besar dari 5 gr/cm3, mempunyai nomor atom lebih
12
besar dari 21 dan terdapat di bagian tengah daftar periodik (Connel dan Miller,
1995). Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari yang paling
toksik adalah Hg,Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Cu. Sementara itu, tingkat toksisitas
terhadap manusia dari yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn,
dan Zn (Supriyanto, 2007).
Logam berat dibagi menjadi dua jenis yaitu logam berat esensial dan logam
berat non esensial. Logam berat esensial adalah logam yang sangat dibutuhkan
oleh organisme dalam jumlah tertentu namun bila dalam jumlah berlebihan
logam tersebut dapat menimbulkan efek toksik, contohnya yaitu Zn, Cu, Fe, Co,
Mn dan lain-lain. Logam non esensial adalah logam yang keberadaannya dalam
tubuh masih belum diketahui manfaatnya bahkan bersifat toksik, contohnya yaitu
Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Widowati et al., 2008). Unsur Logam berat seperti
Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, Pb, dan Zn biasanya erat kaitannya dengan masalah
pencemaran dan toksisitas. Logam berat secara alami ditemukan pada batu-
batuan alami, sehingga logam berat secara normal merupakan unsur dari tanah,
sedimen, air dan organisme hidup. Pencemaran terjadi bila konsentrasinya telah
melebihi batas normal (Alloway dan Ayres, 1993).
2.2.1 Timbal (Pb)
Timbal atau timah hitam atau Plumbum (Pb) adalah salah satu bahan
pencemar utama saat ini di lingkungan. Timbal (Pb) merupakan logam lunak
berwarna abu-abu kebiruan mengilat serta mudah dimurnikan sehingga banyak
digunakan pada berbagai aktivitas manusia misalnya pertambangan, industri,
dan rumah tangga. Pada pertambangan timbal berbentuk senyawa sulfide (PbS).
(Widowati et al., 2008). Logam Pb bersifat toksik pada hewan dan manusia
karena dapat terakumulasi pada tulang, serta dapat menyebabkan keracunan
akut dan kronis. Keracunan akut biasanya ditandai dengan rasa terbakar pada
13
mulut, adanya rangsangan pada sistem gastrointestinal yang disertai dengan
diare. Gejala kronis umumnya ditandai dengan mual, anemia, sakit di sekitar
mulut, dan dapat menyebabkan kelumpuhan (Darmono, 2001).
Timbal dan persenyawaannya dapat berada di dalam badan perairan
secara melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Timbal
masuk ke badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia
lewat berbagai macam bentuk, diantaranya air buangan (limbah) dari industri
yang berkaitan dengan Pb, air buangan dari pertambangan bijih timah hitam dan
buangan sisa industri baterai. Buangan tersebut jatuh pada jalur-jalur perairan
seperti anak sungai dan selanjutnya menuju lautan (Palar, 1994). Timbal
digunakan sebagai bahan aditif pada bahan bakar kendaraan, khususnya bensin
dimana bahan ini dapat memperbaiki mutu bakar. Bahan ini sebagai anti
knocking (anti letup), pencegah korosi, anti oksidan, anti pengembunan dan zat
pewarna (Naria, 2005).
2.2.2 Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) termasuk dalam kelompok logam golongan transition
metal pada Tabel periodik unsur kimia. Kadmium tergolong dalam logam berat
dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap sulfohidril dan kelarutannya akan
meningkat dalam lemak. Kadmium akan mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh
padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik di
perairan alami yang bersifat basa (Sanusi, 2005). Keracunan kadmium dapat
bersifat akut dan kronis. Organ tubuh yang menjadi sasaran keracunan kadmium
adalah ginjal dan hati. Kasus keracunan akut kadmium kebanyakan dari
menghisap debu dan asap, terutama kadmium oksida (CdO) yang dapat
menyebabkan emfisima atau gangguan paru-paru yang jelas terlihat (Darmono,
1995).
14
Logam Cd atau kadmium mempunyai penyebaran yang sangat luas di
alam. Sumber cadmium dapat berasal dari pabrik peleburan besi, baja, produksi
semen, pembakaran sampah dan penggunaan logam yang berhubungan dengan
hasil produksinya (pabrik baterai, aki, pigmen warna, pestisida, gelas dan
keramik (Darmono, 1995). Sumber Cd dalam laut terutama berasal dari alam
yaitu letusan gunung, debu yang terbawa angin, lahan pertanian yang
menggunakan pupuk yang mengandung kadmium dan aliran sungai yang
berasal dari lahan tersebut. Sumber lainnya merupakan hasil bangunan manusia
berasal dari pertambangan, ekstraksi dan pengolahan Zn (Laws, 1993).
2.2.3 Merkuri (Hg)
Merkuri (Hg) atau air raksa adalah logam yang ada secara alami,
merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair (Agustina,
2010). Merkuri merupakan salah satu jens logam berat yang sangat berbahaya.
Bahaya merkuri khususnya Hg metil (MeHg) telah dikenal luas. Melalui proses
akumulasi secara biologi (bioakumulasi), proses perpindahan secara biologi
(biotransfer) dan pembesaran secara biologi (biomagnifikasi) yang terjadi secara
alamiah, organisme laut mengakumulasi MeHg dalam konsentrasi yang relatif
tinggi (Yasuda, 2000).
Merkuri dalam perairan dapat berasal dari buangan limbah industri listrik,
elektronik, baterai, pabrik bahan peledak, fotografi, pelapisan cermin, industri
bahan pengawet, pestisida, industry kimia, petrokimia, limbah kegiatan
laboratorium dan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan tenaga fosil
(Suryadiputra, 1995). Jenis logam berat air raksa (Hg) tidak termasuk yang
dibutuhkan dalam proses metabolisme, peranannya belum diketahui dengan
jelas pada makhluk hidup. Mereka merupakan bahan pencemar yang berbahaya
akibat dari pembuangan sampah-sampah ke sungai secara berlebihan. Hal ini
15
dapat terjadi melalui tiga cara. Pertama, akibat dari pembuangan sisa industri
yang tidak terkontrol. Kedua, berasal dari lumpur minyak yang kadang-kadang
juga mengandung logam berat dengan konsentrasi yang tinggi. Ketiga, berasal
dari pembakaran minyak (hidrokarbon) dan batubara di daratan, Mereka
melepaskan logam berat ke dalam atmosfer dimana kemudian bercampur
dengan air hujan dan jatuh ke dalam air (Hutabarat dan Evans, 1987).
2.2.4 Mekanisme Penyerapan Logam Berat oleh Tiram
Menurut Darmono (2001), kemampuan organisme air dalam menyerap
(absorpsi) dan mengakumulasi logam berat masuk kedalam jaringan tubuh
melalui beberapa cara yaitu melalui saluran pernapasan (insang), saluran
pencernaan dan difusi permukaan kulit. Penyerapan logam melalui pernafasan
biasanya cukup besar, baik pada organisme air yang masuk melalui insang
mapun hewan darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran pernafasan.
Penyerapan melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen saja tetapi
jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar
walaupun penyerapannya relatif kecil. Proses dalam tubuh hewan, logam di
serap oleh darah berkaitan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan
ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ
detoktifikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Jaringan-jaringan tersebut biasanya
logam juga berkaitan dengan berbagai jenis protein enzim maupun protein lain
yang disebut metaloenzim (Connel dan Miller, 2006).
Proses penyaringan pada bivalvia masuk melalui sifon inkurel dan tersaring
di insang. Penyusun utama lapisan membran insang adalah epitel pipih selapis
dan berhubungan langsung dengan sestem pembuluh dan diduga logam berat
yang masuk bersamaan dengan partikel makanan mengalami difusi melalui
membran insang dan terbawa aliran darah (Barnes, 1968). Insang bivalvia
16
termasuk P. viridis mempunyai mucus atau lendir yang penyusun utamanya
adalah glikoprotein, sehingga diduga logam berat tersebut terikat oleh
metallothionein karena penyusun utamanya adalah sistein yaitu protein yang
tergolong dalam gugus sulfidril (-SH) yang mampu mengikat logam. Oleh karena
sifat mucus insang yang mengalami regenerasi, maka logam berat yang telah
terikat pada mucus insang turut terlepas dari tubuhnya (Overnell dan Sparla,
1990).
2.3 Metallothionein (MT)
Metallothionein (MT) merupakan peptide dengan berat molekul yang
rendah dengan konten sistein tinggi. Proses dalam avertebrate air, MT berperan
penting dalam detoktifikasi logam dan sering disebut sebaga biomarker yang
berguna untuk logam berat beracun (Desouky, 2012). Tiram diakui memiliki
kapasitas konsentrasi penyerapan logam berat yang terdapat pada lingkungan
perairan. Logam berat yang dihasilkan berkaitan dengan keberadaan
detoktifikasi yang efektif yang melibatkan mekanisme perangkap untuk logam
berat yang masuk dengan ligan spesifik dalam sitosol. Metallothionein
merupakan protein dengan molekul rendah, sistein protein yang tinggi berperan
untuk mengikat logam (Couillard et al., 1993).
Metallothionein merupakan protein yang sangat akurat sebagai indikator
pencemaran di suatu perairan. Hal ini didasarkan pada suatu fenomena alam di
mana logam-logam dapat terserap di dalam jaringan tubuh organisme yang
dimungkinkan karena adanya protein tersebut. Dengan demikian, metallothionein
merupakan protein pengikat logam (metal-binding protein) yang berfungsi dan
berperan dalam proses pengikatan/penyekapan logam di dalam jaringan setiap
mahluk hidup (Lasut, 2002). Sifat utama dari MT adalah mengandung 26-33%
asam amino cysteine (Cys) serta tidak mempunyai asam amino aromatik atau
17
histidin. MT merupakan protein (polipeptida) yang mempunyai massa molekul
yang kecil (4-8 kDa). MT adalah protein yang terkonservasi, yang ditemukan
tidak hanya pada berbagai tingkat jaringan/organ (misalnya hati, ginjal, insang,
testis, usus, otot, plasma, eritrosit, sel-sel epitelial dan urine) tetapi ditemukan
juga pada sitoplasma dan nukleus yang ada pada tiram (Anwar, 2008).
Metallothionein merupakan protein pengikat logam (metal-binding protein)
yang memiliki fungsi dalam proses pengikatan logam di dalam jaringan setiap
mahkluk hidup. Biomarker merupakan akhir dari uji ekotoksikologi yang
menunjukkan efek pada organisme hidup. Salah satu kunci fungsi dari biomarker
adalah sebagai tanda peringatan dini, dari suatu pengaruh senyawa toksik
secara biologi dan biomarker dipercaya sebagai respon pada sub organisme
(molekuler, biokimia dan phisiologi) reaksi awal sebelum respon terjadi pada
tingkatan organisasi (spektrum) biologi yang lebih tinggi (Hanson, 2008).
Metallothionein berfungsi sebagai biomarker pencemaran logam berat, sehingga
dapat digunakan sebagai alat untuk monitoring lingkungan perairan yang
tercemar logam berat seperti Cd, Pb dan Hg (Dewi et al., 2014).
2.4 Mekanisme Pengikatan Logam Berat oleh Metallothionein
Metallothionein merupakan protein yang sangat peka dan akurat sebagai
indikator pencemaran. Hal ini didasarkan pada suatu fenomena alam di mana
logam-logam dapat terjerap di dalam jaringan tubuh organisme yang terdapat
adanya protein tersebut. Dengan demikian, metallothionein merupakan protein
pengikat logam (metal-binding protein) yang berfungsi dan berperan dalam
proses pengikatan/penyekapan logam didalam jaringan setiap makhluk hidup
(Lasut, 2002). Keberadaan metallothionein setidaknya memiliki dua fungsi
utama, yaitu membersihkan materi radikal bebas yang terdapat di dalam tubuh
dan detoksifikasi logam untuk mencapai keadaan homeostasis. Adapun salah
18
satu fungsi metallothionein adalah sebagai detoksifikasi logam untuk mencapai
keadaan homeostatis, sehingga adanya metallothionein menyebabkan
organisme menjadi resisten terhadap adanya logam berat dan menyebabkan
toksisitas dari logam berat berkurang (Carpene et al., 2007).
Larva tiram dapat digunakan untuk mengevaluasi metallothionein sebagai
biomarker paparan logam karena konsentrasi logam berat dan MT sangat
berkaitan. Larva tiram yang berukuran lebih kecil dibandingkan induknya atau
tiram dewasa lainnya memiliki respon yang cepat dalam waktu 24 jam terhadap
paparan logam berat, sedangkan induksi MT terjadi secara maksimal pada tiram
yang matang gonad (Damiens et al., 2006). Faktor usia, ukuran, jenis kelamin,
kematangan gonad, perbedaan spesies, perubahan musim, suhu, salinitas,
reproduksi, ukuran dan/atau umur dapat mempengaruhi konsentrasi dan
produksi MT yang nantinya juga berpengaruh terhadap penyerapan daan
akumulasi logam berat dalam tubuh tiram sebagai respon terhadap pemaparan
logam berat (Dabrio et al., 2002).
MT memiliki sekelompok protein intraseluler, terdapat 4 kelompok MT (MTI,
MTII, MTIII, dan MTIV) telah dikenal sampai sekarang menurut Expert Protein
Analysis System (ExPASy) Proteomics Server. Berat molekul 6,0-6,9 kDa,
jumlah asam amino sekitas 61 dan PI sekitar 8,3 hanya MT3 yang berbeda
karena mengandung 68 asam amino dan PI sekitar 4,8. MT terlibat dalam proses
patofisiologi seperti homeostasis ion logam dan detoksifikasi. Pada proses
detoksifikasi pentingnya MT yaitu dimana protein dapat berperan sebagai
penanda biologi pencemaran logam berat dari lingkungan. Perbandingan antara
logam berat dan MT bisa sangat berguna tidak hanya dari aspektoksikologi tetapi
juga dari aspek biokimia (Kriskova et al., 2007).
19
Gambar 5. Mekanisme Pengikat Logam Berat oleh MT (Kriskova et al., 2007)
Gambar 5 menjelaskan mekanisme penyerapan logam berat dimana
metallothionein dalam tubuh tiram memiliki dua domain yang dapat mengikat
logam berat yaitu domain α dan domain β yang berasal dari cluster sistein.
Logam berat dengan kelompok sistein sufhidril membentuk ikatan kovalen, N
terminal merupakan bagian dari protein yang ditandai sebagai domain dan
memiliki empat tempat untuk mengikat ion divalen. Dalam hal ini domain β
berfungsi mengikat tiga ion divalen logam berat, MT mampu mengikat dua belas
ion logam pada ion univalen (Adam, 2006).
2.5 Pengamatan Metallothionein (MT) dengan Metode Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay (ELISA)
Metode ELISA diyakini sebagai metode yang mudah dilakukan serta cukup
sensitif terhadap bahan pencemar khususnya logam berat (Rachmawati et al.,
2004). Metode ELISA adalah tes serologis yang umumnya dilakukan dalam
berbagai bentuk pada tipe antigen dan reagen yang digunakan pada saat
melakukan tes. Teknik tes ELISA hanya dapat mendeteksi antibody spesifik
genus dan tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi serogrup atau serovar.
Prinsip teknik ELISA secara umum adalah antibodi yang terdapat dalam serum
dimasukkan ke dalam anti gen yang sudah difiksasi pada penyangga padat (plat
mikrotiler), yang kemudian dilakukan inkubasi selama waktu tertentu dan dicuci
20
untung menghilangkan antibody yang berlebihan. Selanjutnya ditambahkan
antibody anti-spesies yang dikonjugasi dengan enzim (Setiawan, 2007).
Metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dirancang untuk
mendeteksi dan mengukur peptida, protein, antibodi dan hormon (Boster
Biological Technology, 2011). Cara kerja metode ELISA yaitu dengan
menggunakan aktivitas enzim untuk mendeteksi pengikatan antigen (Ag) dan
antibodi (Ab). Enzim akan mengubah sampel menjadi produk berwarna yang
nantinya akan mengindikasi keberadaan Ag maupun Ab (Bull, 1976).
2.6 Parameter Kualitas Air
2.6.1 Suhu
Suhu perairan merupakan faktor penting dalam pengaruh suatu organisme.
Perubahan suhu dapat mempengaruhi kehidupan komunitas keberadaan jenis
dan muara sungai cenderung bervariasi (Rangan, 1996). Hal tersebut diperkuat
oleh pendapat Riniatsih (2009) yang menyatakan bahwa, suhu mempengaruhi
aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakkan, oleh karena itu suhu di
perairan merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme di
dalamnya. Secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi
dan kelimpahan bivalvia dan gastropoda.
Peranan suhu terhadap akumulasi logam di jaringan sangat besar karena
meningkatnya suhu dapat meningkatkan laju metabolisme pada kerang,
sehingga bioakumulasi pada kerang lebih besar. Hal ini sejalan dengan pendapat
Amriyani et al. (2011) menyatakan bahwa, apabila suhu perairan meningkat
cenderung akan meningkatkan akumulasi dan toksisitas logam berat, hal ini
terjadi karena metabolisme organisme air juga ikut meningkat. Kondisi ini
didukung oleh jenis sedimen yang terdapat pada titik pengambilan kerang yaitu
tipe sedimen lempung berlumpur, dimana sedimen dengan kandungan lumpur
21
(debu) yang tinggi akan meningkatkan akumulasi logam. Kondisi sedimen
dengan fraksi lumpur akan berpengaruh terhadap konsentrasi logam (Hamzah,
2010).
2.6.2 pH
pH adalah ukuran konsentrasi ion hidrogen dari larutan. Perairan dengan
nilai pH=7 adalah netral, pH<7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam,
sedangkan pH>7 dikatakan perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Setyawati
(1986), menegaskan bahwa pH 6,95- 8,35 merupakan kisaran yang masih layak
bagi kehidupan organisme bivalvia. Pada kondisi tertentu pH ini akan berubah-
ubah sesuai dengan sifat zat-zat yang terdapat dalam perairan yang
bersangkutan, seperti adanya penambahan volume air akibat adanya hujan dan
meningkatnya suhu perairan tersebut.
Sedimen dapat mengakumulasi logam berat dalam padatan yang ada di
perairan. Sedimen adalah lapisan bawah yang melapisi sungai, danau, teluk,
muara dan lautan. Pada umumnya logam-logam berat yang terdekomposisi pada
sedimen tidak terlalu berbahaya bagi makhluk hidup perairan, perubahan pH
akan berpengaruh terhadap kondisi akuatik yang bersifat dinamis, yang akan
menyebabkan logam-logam yang terendapkan dalam sedimen terionisasi ke
perairan. Hal inilah yang merupakan bahan pencemar dan akan memberikan
sifat toksik terhadap organisme hidup bila jumlah tersebut ada dalam berlebih
atau melewati ambang batas (Siaka, 2008). Suatu perairan yang memenuhi
syarat untuk kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5–7,5. pH air diperairan akan
berubah apabila terdapat bahan asing masuk kedalamnya seperti air limbah dan
buangan industri yang akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik.
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH
antara 7–8,5. (Warlina, 2004)
22
2.6.3 Salinitas
Salinitas adalah tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air yang
dapat mengacu pada kandungan garam dalam tanah. Salinitas di perairan laut
dapat mempengaruhi konsentrasi logam berat yang mencemari lingkungan laut
(Hutagalung, 1991). Menurut Mukhtasor (2007), penurunan salinitas pada
perairan dapat menyebabkan tingkat akumulasi logam berat pada organisme
menjadi semakin besar.
Air laut mempunyai kekeruhan yang cukup tinggi dipengaruhi oleh
masukan massa air sungai yang terjadi didaerah tersebut. Kekeruhan itu juga
disebabkan oleh adanya percampuran air tawar dan air laut, yang menyebabkan
bertambahnya nilai salinitas, sehingga kekuatan ionik semakin bertambah
(Chester, 1990). Bertambahnya kekuatan ionik menyebabkan gaya tarik menarik
antar partikel menjadi lebih kuat dan mengakibatkan terkumpulnya suatu materi
yang sering disebut dengan floc (gumpalan). Apabila resultante gaya tarik
menarik besar maka ukuran floc ini akan semakin besar. Selain itu, partikel-
partikel yang ada di estuari mempunyai kemampuan mengadsorpsi logam berat,
sehingga kadar logam terlarut di kolom air menjadi berkurang, kemudian logam
ini diendapkan dalam sedimen. Estuari bertindak sebagai filter bahan-bahan
kimia, termasuk logam berat yang terbawa oleh aliran sungai. Filter ini bekerja
terutama melalui perubahan dari fase terlarut menjadi fase partikel (Maslukah,
2006).
2.6.4 Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang sangat
vital bagi kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung
berubah-ubah sesuai dengan keadaan atmosfir. Penurunan kadar oksigen
terlarut mempunyai dampak nyata terhadap makhluk hidup air (Edward dan
23
Pulumahuny, 2003). Kadar oksigen terlarut yang tinggi tidak menimbulkan
pengaruh fisiologis bagi manusia. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan
oksigen terlarut dengan jumlah yang banyak. Kebutuhan oksigen ini bervariasi
antar organisme. Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan akan
mempengaruhi system respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar
oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi,
organisme akuatik tidak akan tumbuh dengan baik (Effendi, 2003).
Oksigen terlarut adalah kadar ukuran relatif oksigen yang terlarut
dalam suatu media tertentu contohnya perairan. Oksigen dibutuhkan semua
makhluk hidup untuk pernapasan, pertumbuhan dan metabolisme (Elfinurfajri,
2009). Oksigen terlarut digunakan untuk proses degradasi senyawa organik
dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut, banyak mikroorganisme dalam air
tidak dapat hidup karena oksigen dihasilkan dari atmosfir atau dari reaksi
fotosintesa algae. Oksigen yang dihasilkan dari reaksi fotosintesa algae tidak
efisien, karena oksigen yang terbentuk akan digunakan kembali oleh algae untuk
proses metabolisme pada saat tidak ada cahaya. Kelarutan oksigen dalam air
tergantung pada temperature dan tekanan atmosfir. Berdasarkan data-data
temperature dan tekanan, maka kalarutan oksigen jenuh dalam air pada 25°C
dan tekanan 1 atmosfir adalah 8,32 mg/L (Warlina, 2004).
24
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi penelitian ini adalah kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang
Crassostrea cucullata serta kadar Metallothionein (MT) pada insang Crassostrea
cucullata. Selain itu dilakukan pengukuran kualitas air antara lain suhu, pH,
salinitas dan oksigen terlarut pada media tempat hidup Crassstrea cucullata.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada berbagai
prosedur diantaranya: pengukuran kuaitas air suhu, pH, salinitas dan oksigen
terlarut, pembedahan dan pengambilan jaringan insang Crassostrea cucullata,
kadar logam berat Pb, Cd dan Hg serta pengujian kadar Metallothionein pada
Crassostrea cucullata. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat pada Lampiran 1.
3.3 Metode Penelitian
Metode pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode deskriptif. Menurut Surakhmad (1998), metode deskriptif adalah sebuah
metode yang menggambarkan keadaan atau kejadian disuatu daerah tertentu.
Pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas pada pengumpulan dan
penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan pembahasan tentang data tersebut,
sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum, sistematis,
aktual dan valid mengenai fakta dan sifat-sifat populasi daerah tersebut.
Data dalam penelitian89ol kegiatan lapang ini pengambilan data yang
dikumpulkan meliputi:
25
a. Data Primer
Menurut Wandansari (2013), data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari sumber pertama yaitu individu atau perseorangan yang
membutuhkan pengelolaan lebih lanjut seperti hasil wawancara atau hasil
pengisian kuesioner. Data primer yang digunakan penulis berupa tanya jawab
langsung dengan pihak-pihat terkait. Dalam metode pengumpulan data primer,
peneliti harus melakukan sendiri observasi untuk mengumpulkan data di
lapangan (Nasution, 2009).
Data primer yang diambil dalam penelitian ini meliputi parameter utama
kualitas perairan yang diukur meliputi suhu, pH, salinitas dan oksigen terlarut,
kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata, kadar logam
berat Pb, Cd dan Hg.
b. Data Sekunder
Menurut Wandansari (2013) dan Aedi (2010), data sekunder merupakan
data yang dikumpulkan diolah dan disajikan oleh pihak lain, yang biasanya dalam
publikasi atau jurnal. Disini peneliti hanya bertindak sebagai pihak/ tangan kedua.
Dalam penelitian, data sekunder diperoleh dengan menggunakan metode
documenter dan jurnal yaitu buku-buku ilmiah, pendapat-pendapat pakar, fatwa-
fatwa ulama‟ dan literatur yang sesuai dengan tema dalam penelitian.
Adapun teknik pengambilan data sekunder dalam penelitian skripsi ini
didapatkan dari jurnal, buku, situs web serta kepustakaan yang dapat menunjang
seperti data suhu, pH, salinitas dan oksigen terlarut.
26
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Penentuan Stasiun Penelitian
Penentuan sampel pada penelitian ini didasarkan atas 3 stasiun yang
berbeda. Perbedaan stasiun tersebut dianggap dapat mempengaruhi kadar
bahan pencemar khususnya logam berat sehingga penyerapan logam berat Pb,
Cd, dan Hg oleh tiram juga berbeda. Pengambilan sampel tiram dilakukan di tiga
lokasi, yaitu sub stasiun 1 bertempat di dermaga, sub stasiun 2 terletak di TPI
dan sub stasiun 3 terletak di daerah mangrove dan wisata pantai yang
berdekatan dengan pemukiman penduduk dan aktivitas lainnya. Sub stasiun 1
(Dermaga) merupakan bagian pelabuhan yang digunakan sebagai berlabuhnya
kapal-kapal nelayan. Sub stasiun 2 (TPI) merupakan bagian pelabuhan yang
digunakan sebagai tempat berlabuhnya kapal, tempat pelelangan ikan (TPI),
SPDN (Stasiun Pengisian Disel Nelayan) dan dekat dengan warung-warung
makan untuk nelayan. Sedangkan sub stasiun 3 merupakan daerah mangrove
dan wisata pantai.
Pemilihan lokasi-lokasi tersebut didasarkan pada dugaan jenis cemaran
yang berasal dari sumber buangan limbah yang berbeda. Misalnya pada sub
stasiun 1, diduga cemaran berasal dari limbah oli buangan mesin kapal, atau
limbah perbaikan kapal. Sedangkan sub stasiun 2, diduga cemaran berasal dari
TPI atau SPDN. Untuk sub stasiun 3, diduga cemaran berasal limbah domestik
masyarakat yang memanfaatkan pantai sekitar sebagai tempat pembuangan.
Dari tiga stasiun tersebut, masing-masing stasiun ditentukan tiga titik dan
masing-masing titik diambil tiga sampel tiram. Parameter pendukung yang diukur
antara lain yaitu suhu, pH, salinitas dan oksigen terlarut.
27
3.4.2 Pengambilan Sampel Tiram Crassostrea cucullata
Tiram jenis Crassostrea cucullata hidup menempel di batuan, dinding
dermaga dan akar mangrove sehingga dalam mengambil organisme tersebut
dibutuhkan palu dan tatah. Sampel yang telah diambil kemudian diseleksi baik
dari keutuhan bentuk cangkang dan disortir berdasarkan jenis spesiesnya.
Sampel tersebut kemudian dimasukkan kedalam jerigen yang telah diisi dengan
air, kemudian diberi aerasi dengan menggunakan aerator baterai dan
dimasukkan ke dalam coolbox. Sampel tiram Crassostrea cucullata diambil dari
tiga stasiun yang berbeda yaitu pada daerah pelabuhan, tempat pelelangan ikan
dan sekitar mangrove dimana setiap stasiun dilakukan pengulangan sebanyak
tiga kali pada titik yang berbeda. Sampel air diambil secara langsung dan
ditempatkan pada botol air mineral 600 ml untuk selanjutnya dilakukan analisis di
laboratorium.
Gambar 6. (a) Bagian Insang Tiram Crassostra cucullata (Gofas, 2012)
(b) Bagian Insang Tiram Crassostrea cucullata (Dokumentasi Pribadi, 2018)
a b
28
3.5 Prosedur Pengujian Sampel
3.5.1 Prosedur Pengukuran Kadar Logam Berat pada Tiram Crassostrea cucullata
Pengukuran kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang tiram
Crassostrea cucullata dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption
Spectrophotometry) yang dilakukan di laboratorium Kimia Analitik, Fakultas MIPA
Universitas Brawijaya, Malang:
- Mengambil tiram sebanyak ±2-3 buah tiram untuk di ambil organ
insangnya.
- Menimbang sampel organ insang sebanyak 2 gram kemudian memasukkan
kedalam beaker glass.
- Menambahkan HNO3 pekat sebanyak 30 ml dan didiamkan 1 malam untuk
permulaan dekomposisi.
- Memanaskan sampel selama 2 jam dan dijaga agar tidak sampai meluap.
- Menambahkan HNO3 pekat sebanyak 10 ml kedalam beaker glass dan
dipanaskan selama 2 jam.
- Menambahkan HNO3 pekat sebanyak 10 ml dan dipanaskan selama 3 jam
atau sampai diperoleh larutan jernih kekuning-kuningan (pemanasan
dianjurkan sampai sisa HNO3 menguap kemudian didinginkan).
- Memindahkan larutan kedalam labu ukur 50 ml dan ditambahkan pelarut
akuades sampai tanda batas.
- Mengukur sampel menggunakan AAS dengan memakai lampu katoda yang
sesuai dengan logam yang akan diuji dan dicatat absorbansinya.
29
3.5.2 Prosedur Pengukuran Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata
Tahapan yang dilakukan untuk menentukan kadar Metallothionein secara
kuantitatif adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pengambilan Sampel
- Mengambil tiram sebanyak ±1-2 buah tiram untuk di ambil organ
insangnya.
- Menimbang sampel organ insang tiram Crassostrea cucullata sebanyak
masing-masing 0,1 gram dan mencuci dengan PBS sebanyak tiga kali.
- Memasukkan sampel ke dalam kantong plastik dengan diberi es batu
(maksimum 4 jam untuk proses homogenasi).
- Bila sampel akan dihomogenasikan lebih dari 4 jam maka sampel harus
segera dibekukan pada suhu -20 oC.
2. Tahap Homogenasi
- Menggerus jaringan dalam mortal yang sudah didinginkan dan
ditambahkan 3 ml buffer homogenisasi (0,5 M sukrosa, 20 mM Tris-HCL
buffer, pH 8,6, mengandung 0,01 % ß-mercaptoethanol) dalam plastik atau
tabung kaca.
- Menghomogenisasikan jaringan dengan menggunakan homogenizer
jaringan.
- Menambahkan kedalam homogenate dengan Aliquot (larutan induk)
sebanyak 3 ml. Sebagai kontrol, jumlah yang diketahui dari standar
metallothionein untuk dikalibrasi hasil sampel yang diperoleh. Aliquot dapat
disimpan pada suhu -20 oC.
3. Tahap Ekstraksi
- Mensentrifugasi homogenate di 30.000 x g selama 20 menit untuk
mendapatkan supernatant yang mengandung Metallothionein.
30
- Menambahkan 1,05 ml etanol absolute dingin (-20 oC) dan 80 ml kloroform
per 1 ml supernatan yang dihasilkan.
- Mensentrifugasi sampel dingin (pada 0–4 oC) pada 6000 x g selama 10
menit.
- Menambahkan 3 ml etanol dingin pada supernatant yang dihasilkan dan
disimpan pada suhu -20 oC selama 1 jam.
4. Tahap Pemurnian dan Kuantifikasi Metallothionein
- Mensentrifugasi supernatant pada 6000 x g selama 10 menit.
- Pellet yang dihasilkan, dicuci dengan etanol: kloroform: buffer
homogenisasi (87 : 1 : 12).
- Mensentrifugasi lagi pada 6000 x g selama 10 menit.
- Mengeringkan di bawah aliran gas nitrogen untuk menyelesaikan
penguapan
- Resuspended pellet kering dalam 300 ml dari 5 mM Tris-HCL, 1 mM EDTA,
pH 7.
- Mensuspensikan fraksi metallothionein menjadi 4,2 ml dengan kosentrasi
0,43 mM dengan penambahan 5,5 dithiobis (asam nitrobenzoic) dalam
buffer fosfat 0,2 M, pH 8.
- Mendiamkan selama 30 menit pada suhu kamar untuk mengurangi
konsentrasi sulfhidril.
5. Tahap Estimasi dengan Metode ELISA
- Pembuatan denah plate ELISA dan coating buffer. Denah dibuat
berdasarkan kode sampel.
- Coating antigen dengan kadar antigen yang digunakan adalah (1 : 20)
diencerkan dengan coating buffer dan diinkubasi dengan suhu 4 oC
semalam.
31
- Keesokan harinya mencuci plate menggunakan larutan PBS Tween 0,2
% sebanyak 100 µl dan diulang tiga kali.
- Menambahkan 100 µl antibodi primer anti MT (1 : 400) dalam assay
buffer.
- Menginkubasi plate Elisa pada suhu ruang selama 1 jam sambil dishaker
dengan shaker Elisa plate.
- Mencuci dengan PBS Tween 0,2 % sebanyak 100 µl dan diulang tiga kali.
- Menambahkan 100 µl larutan SAHRP (1 : 1000) dalam assay buffer lalu
inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam sambil dishaker.
- Mencuci dengan PBS Tween 0,2 % sebanyak 200 µl dan diulang tiga kali.
- Menambahkan 100 µl masing-masing lubang substrat sure blue TMB
microwell lalu inkubasi 20–30 menit pada ruang gelap. Jika terjadi reaksi
antara antigen dengan antibodi maka akan berubah menjadi biru.
- Menambahkan 100 µl HCL 1 N sebagai stop reaksi. Pada tahap ini
larutan warna biru berubah menjadi kuning.
- Membaca dengan ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm.
- Hasil absorbansi dikonversi dengan kurva standart dan diketahui nilai
Metallothionein.
3.6 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi kolerasi
dengan model regresi linier sederhana pada software SPSS versi 16.0. Analisis
regresi merupakan alat analisa yang mampu menjelaskan pola hubungan antara
dua variabel atau lebih yang terdiri atas variabel independen (X) dan variabel
dependen (Y), sedangkan koefisien korelasi menunjukkan arah hubungan antara
variabel X dan Y (Sungkawa, 2013). Menurut Sujianto (2009), menyatakan
bahwa regresi sederhana seringkali digunakan untuk mengatasi permasalahan
32
analisis regresi yang melibatkan hubungan dari variable terikat dengan variabel
bebas. Model regresi ini digunakan untuk mengetahui hubungan kadar
metallothionein (MT) yang merupakan variabel terikat (Y) pada lambung
Crassostrea cucullata terhadap kadar logam berat Pb, Cd dan Hg yang
merupakan variabel bebas (X).
3.7 Analisis Kualitas Air Pendukung
Parameter analisis kualitas air pendukung dalam penelitian ini antara lain
suhu, pH salinitas dan oksigen terlarut. Tujuan analisis kualitas air mendukung,
menunjang serta untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan tempat hidup
Crassostrea cucullata.
3.7.1 Suhu
Pengukuran suhu diukur dengan menggunakan DO meter. Menurut Pusat
Pendidikan Kelautan dan Perikanan (2009), prosedur pengukuran kadar oksigen
terlarut dengan menggunakan DO meter sebagai berikut:
- Menyiapkan DO meter dan pastikan dalam kondisi baik.
- Melepaskan sensor dari badan alat.
- Mengkalibrasi dengan cara sesuai yang tercantum dalam buku manual alat.
- Mencelupkan sensor dalam perairan sesuai dengan kedalaman yang
diinginkan.
- Menekan tombol „ON‟ pada alat hingga muncul angka pada layar monitor.
- Mendiamkan beberapa saat hingga angka pada layar monitor dalam
kondisi stabil.
- Angka yang tertera di layar monitor merupakan hasil pengukuran suhu
pada perairan tersebut.
- Mencatat hasilnya dalam lembar kerja.
33
3.7.2 pH
Pengukuran pH di lakukan dengan menggunakan pH meter. Berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) No.06-6989.11-2004, adapun prosedur
pengukuran pH adalah sebagai berikut :
- Melakukan kalibrasi pH meter dengan menggunakan aquades.
- Memasukkan pH meter kedalam air sampel.
- Mencatat dan dicatat hasilnya setelah setelah angka yang tertera pada pH
meter stabil.
3.7.3 Salinitas
Pengukuran salinitas pada penelitian ini diukur dengan menggunakan
salinometer. Menurut Prambudiarto (2014), prosedur pengukuran salinitas di
adalah sebagai berikut:
- Mengkalibrasi sensor yang ada pada salinometer dengan aquades.
- Mengeringkan sensor dengan tissue.
- Menekan tombol start pada salinometer.
- Mencatat hasil yang tertera.
3.7.4 Oksigen Terlarut
Pengukuran oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO meter.
Menurut Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan (2009), prosedur pengukuran
kadar oksigen terlarut dengan menggunakan DO meter sebagai berikut:
- Menyiapkan DO meter dan pastikan dalam kondisi baik.
- Melepaskan sensor dari badan alat.
- Mengkalibrasi dengan cara sesuai yang tercantum dalam buku manual alat.
- Mencelupkan sensor dalam perairan sesuai dengan kedalaman yang
diinginkan.
34
- Menekan tombol „ON‟ pada alat hingga muncul angka pada layar monitor.
- Mendiamkan beberapa saat hingga angka pada layar monitor dalam
kondisi stabil.
- Angka yang tertera di layar monitor merupakan hasil pengukuran DO pada
perairan tersebut.
- Mencatat hasilnya dalam lembar kerja.
35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Stasiun 1
Adapun banagunan-bangunan yang dimiliki oleh PPP Pondokdadap yaitu
Kantor Badan Pengelola Pelabuhan, gedung pertemuan, mess dan
perbengkelan. Fasilitas yang dipersiapkan oleh PPP Pondokpapan cukup
lengkap antara lain: dermaga, Tempat Pelelangan Ikan, pabrik es, sarana air
bersih dan fasilitas penjualan solar khusus nelayan (SPDN). Desa tambakrejo
berdasarkan keadaan topografinya berada pada ketinggian 15 meter dari
permukaan laut. Desa Tambakrejo memiliki luas 2.735.850 km2. Luas tersebut
meliputi daratan dan perbukitan ataupun pegunungan. Peta lokasi penelitian
dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.1.1 Sub Stasiun 1 Lokasi Dermaga
Pengambilan sampel pada sub stasiun 1 yaitu berlokasi di dermaga,
dimana tempat tersebut tidak jauh dari tempat penjualan ikan (pasar ikan) dan
jasa untuk wisata menuju pulau Sempu. Sampel yang ditemukan menempel di
dinding beton tempat bersandarnya kapal nelayan. Pemilihan stasiun ini
dikarenakan dermaga merupakan lokasi atau tempat bersandarnya kapal
sehingga terdapat aktivitas-aktivitas seperti halnya mencuci kapal, pengisian
bahan bakar dan lain-lain, sehingga lokasi ini diduga sebagai lokasi yang
mengalami pencemaran yang mampu mengakibatkan terdapatnya logam berat.
Logam berat merupakan material yang sangat berbahaya tidak hanya bagi
manusia namun juga untuk organisme perairan. Kondisi perairan disekitar
dermaga ditemukan dalam keadaan terselimuti lapisan minyak tipis yang diduga
berasal dari sisa-sisa bahan bakar dan oli kapal yang tumpah kedalam perairan.
Gambar sub stasiun 1 lokasi dermaga dapat dilihat pada Gambar 7.
36
Gambar 7. Sub Stasiun Lokasi Dermaga (Dokumentasi Pribadi, 2018)
4.1.2 Sub Stasiun 2 Lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Pengambilan sampel pada sub stasiun 2 yaitu berlokasi di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI). Sampel yang ditemukan menempel di batuan besar
Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pemilihan stasiun ini dikarena TPI merupakan
lokasi yang berpotensi tercemar khususnya logam berat dan lokasi sekitar TPI
masih mendapatkan pengaruh dari kegiatan manusia meliputi kegiatan
perkapalan dan beberapa kegiatan manusia yang menghasilkan limbah akibat
kegiatan pengisian bahan bakar. Kondisi perairan disekitar TPI ditemukan dalam
keadaan tidak jernih dan banyak sampah di bawah tiang-tiang penyangga TPI.
Gambar sub stasiun 2 lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8. Sub Stasiun Lokasi TPI (Dokumentasi Pribadi, 2018)
37
4.1.3 Sub Stasiun 3 Lokasi Mangrove
Pengambilan sampel pada sub stasiun 3 yaitu berlokasi di Clungup
Mangrove Conservation, yaitu sebuah kawasan yang menjadi lokasi
perlindungan dan rehabilitasi hutan bakau. Sampel yang ditemukan menempel di
di akar dan batang pohon mangrove. Pengambilan sampel dilakukan pada saat
pantai dalam keadaan surut sehingga lebih memudahkan dalam pengambilan
sampel tiram. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari
gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove juga memiliki fungsi
penting bagi biota perairan yaitu sebagai tempat mencari makan, berpijah dan
sebagai tempat perlindungan beberapa organisme air salah satunya adalah
tiram. Gambar sub stasiun 3 lokasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Sub stasiun Lokasi Mangrove (Dokumentasi Pribadi, 2018)
4.2 Kondisi Umum Stasiun 2
Adapun fasilitas-fasilitas lengkap yang dimiliki yaitu berupa toilet,
penginapan, kios makanan minuman serta cindera mata. Fasilitas lain yang
disediakan pengelola pantai adalah panggung hiburan dan pendopo, dimana
panggung hiburan ini digunakan untuk menampilkan hiburan bagi wisatawan
yang diadakan pada moment tertentu. Kabupaten ini berkembang cukup baik
dengan komoditi ikan tuna, tongkol dan cakalang, serta sentra perikanan tangkap
merupakan salah satu destinasi wisata bahari. Destinasi wisata bahari lain yaitu:
38
Pantai Sidem, Brumbun, Sine, Molang, Klatak, Gerangan, Sanggar, Ngalur,
Coro, Lumbung, Dlodo, Pathok, Gebang, dan Kedung Tumpang. Peta lokasi
umum dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.2.1 Sub Stasiun 1 Lokasi Dermaga
Pengambilan sampel pada sub stasiun 1 yaitu berlokasi di dermaga.
Sampel yang ditemukan menempel di batuan besar dan tiang-tiang beton tempat
bersandanya kapal nelayan. Pemilihan stasiun ini dikarenakan dermaga
merupakan lokasi atau tempat bersandarnya kapal sehingga terdapat aktivitas-
aktivitas seperti halnya mencuci kapal, pengisian bahan bakar dan aktivitas
nelayan lainnya sehingga lokasi ini diduga sebagai lokasi yang mengalami
pencemaran. Kondisi perairan disekitar dermaga ditemukan dalam keadaan
banyak sampah disela batu dan tiang. Gambar sub stasiun 1 lokasi dermaga
dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Sub Stasiun Lokasi Dermaga (Dokumentasi Pribadi, 2018)
39
4.2.2 Sub Stasiun 2 Lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Pengambilan sampel pada sub stasiun 2 yaitu berlokasi di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) yang tidak jauh dari pantai. Sampel yang ditemukan
menempel di dinding tangga dan tiang-tiang penyangga Tempat Pelelangan Ikan
(TPI). Pemilihan stasiun ini dikarena TPI merupakan lokasi yang berpotensi
pencemaran limbah ikan yang berasal dari tempat pelelangan ikan dan sisa-sisa
bahan yang tidak digunakan serta beberapa kegiatan manusia yang
menghasilkan limbah. Kondisi perairan disekitar TPI ditemukan dalam keadaan
tidak jernih dan banyak sampah di bawah tiang-tiang penyangga TPI. Gambar
sub stasiun 2 lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dapat dilihat pada Gambar
11.
Gambar 11. Sub Stasiun Lokasi TPI (Dokumentasi Pribadi, 2018)
4.2.3 Sub Stasiun 3 Lokasi Wisata
Pengambilan sampel pada sub stasiun 3 yaitu berlokasi ditempat wisata.
Sampel yang ditemukan menempel di batu-batu karang pinggir pantai. Mayoritas
masyarakat di sekitar pantai merupakan masyarakat nelayan, namun sebagian
masyarakat ada yang turut terlibat dalam penyediaan kebutuhan wisatawan dan
menjadi karyawan di wisata pantai. Kondisi wisata pantai yang berbatasan
langsung dengan TPI, selain sebagai daya tarik juga menyebabkan kondisi
pantai menjadi kotor dan berbau. Terlebih saat ini banyak masyarakat sekitar
40
pantai yang dengan bebas berjualan sebagai pedagang kaki lima membuat
kondisi pantai menjadi kurang tertata rapi dan terlihat kumuh. Gambar sub
stasiun 3 lokasi wisata pantai dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Sub Stasiun Lokasi Wisata (Dokumentasi Pribadi, 2018)
4.3 Kondisi Umum Stasiun 3
Adapun sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan dan usaha
perikanan. Sarana dan prasarana tersebut meliputi sarana dan prasaran pokok
seperti dermaga, kolam pelabuhan, alat bantu navigasi dan pemecah
gelombang/breakwater. Fasilitas fungsional yaitu dua buah Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) yang terdapat di tiap dermaga, instalasi PDAM, instalasi bahan bakar,
instalasi listrik, bengkel, pagar keliling, tempat pengolahan hasil perikanan,
pabrik es dan dua buah cold storage. Adapun fasilitas administrasi berupa kantor
antara lain: kantor syahbandar, kantor Satker PSDKP, kantor Satker Pol-Air,
kantor TPI dan kantor Perum PPS. Fasilitas kesejahteraan yang tersedia hanya
kios/warung sedangkan MCK, poliklinik dan mushola belum tersedia. Peta lokasi
umum dapat dilihat pada Lampiran 2.
4.3.1 Sub Stasiun 1 Wilayah Dermaga
Pengambilan sampel pada sub stasiun 1 yaitu berlokasi di dermaga.
Sampel yang ditemukan menempel di menempel di dinding tangga beton tempat
bersandanya kapal nelayan. Pengambilan sampel tiram dilakukan sekitar pukul
41
05.30 WIB yaitu, pada saat pantai dalam keadaan surut sehingga lebih mudah
dalam proses pengambilan. Pengambilan sampel tiram dilakukan dengan
menggunakan palu dan tatah yang dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak
bagian dari tiram itu sendiri. Pemilihan stasiun ini dikarenakan dermaga
merupakan lokasi atau tempat bersandarnya kapal sehingga terdapat aktivitas-
aktivitas seperti halnya mencuci kapal, pengisian bahan bakar dan aktivitas
nelayan lainnya sehingga lokasi ini diduga sebagai lokasi yang mengalami
pencemaran. Kondisi perairan disekitar dermaga ditemukan dalam keadaan
terselimuti lapisan minyak tipis yang diduga berasal dari sisa-sisa bahan bakar
dan oli kapal yang tumpah kedalam perairan. Gambar sub stasiun 1 lokasi
dermaga dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Sub Stasiun Lokasi Dermaga (Dokumentasi Pribadi, 2018)
4.3.2 Sub Stasiun 2 Wilayah Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Pengambilan sampel pada sub stasiun 2 yaitu berlokasi di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI). Sampel yang ditemukan menempel di batuan besar dan
tiang-tiang beton Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pemilihan stasiun ini dikarena
TPI merupakan lokasi yang berpotensi tercemar khususnya logam berat dan
lokasi sekitar TPI masih mendapatkan pengaruh dari kegiatan manusia meliputi
kegiatan perkapalan dan bersandarnya kapal nelayan di TPI saat bongkar muat
ikan. Kondisi perairan disekitar TPI ditemukan dalam keadaan tidak jernih serta
42
pencemaran udara di sekitar pelabuhan terutama saat panen ikan yaitu bau ikan
mentah yang kurang sedap. Gambar sub stasiun 2 lokasi Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Sub Stasiun Lokasi TPI (Dokumentasi Pribadi, 2018)
4.3.3 Sub Stasiun 3 Wilayah Wisata
Pengambilan sampel pada sub stasiun 3 yaitu berlokasi ditempat wisata
pantai. Sampel yang ditemukan menempel di batu-batu besar pemecah ombak.
Banyak masyarakat sekitar pantai yang memanfaatkan wisata ini dengan
membuka kios dan berjualan di pinggir pantai serta mengakibatkan kondisi
pantai menjadi kotor, terlihat kumuh, kurang tertata rapi dan mengurangi
keindahan pemandangan. Gambar sub stasiun 3 lokasi wisata pantai dapat
dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Sub Stasiun Lokasi Wisata (Dokumentasi Pribadi, 2018)
43
4.4 Analisis Logam Berat pada Perairan
Analisis logam berat dilakukan di Laboratorium Lingkungan Kimia Dasar
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya,
Malang. Adapun logam berat yang dianalisis adalah logam berat Timbal (Pb),
Kadmium (Cd) dan Merkuri (Hg) dimana sampel logam berat yang diambil
disetiap stasiun pengamatan memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Data
tabel kadar logam berat pada perairan dapat dilihat pada Lampiran 3.
Pengamatan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg rata-rata pada perairan di stasiun
1, 2 dan 3 dapat dilihat melalui grafik pada Gambar 16.
Gambar 16. Grafik Rata-rata Kadar Logam Berat pada Perairan
Berdasarkan data hasil grafik diatas dapat diketahui bahwa kadar logam
berat yang diambil pada stasiun 1 diperoleh kadar Pb di air sebesar 0,0855 ppm,
kadar Cd di air sebesar 0,0023 ppm dan kadar Hg di air sebesar 0,0039. pada
stasiun 2 diperoleh kadar Pb di air sebesar 0,0056 ppm, kadar Cd di air sebesar
0,0022 ppm dan kadar Hg di air sebesar 0,0038. pada stasiun 3 diperoleh kadar
Pb di air sebesar 0,0081 ppm, kadar Cd di air sebesar 0,0057 ppm dan kadar Hg
di air sebesar 0,0039. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kadar Pb, Cd dan
Hg di air pada stasiun 3 lebih besar dari pada stasiun 1 dan stasiun 2.
STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
PB 0.0055 0.0056 0.0081
CD 0.0023 0.0022 0.0057
HG 0.0039 0.0038 0.0039
00.0010.0020.0030.0040.0050.0060.0070.0080.009
0.01
Lo
ga
m B
era
t (p
pm
)
44
Tingginya kadar Pb, Cd dan Hg pada perairan di stasiun 3 disebabkan
karena pada lokasi ini banyak terdapat aktivitas kapal motor nelayan yang
melintas maupun yang sedang bersandar untuk pengisian bahan bakar dan
pergantian oli, sehingga dapat menghasilkan limbah logam berat berbahaya
yang dapat terakumulasi pada tiram serta merupakan lokasi pembuangan limbah
domestik warga setempat. Jadi dapat disimpulkan bahwa banyaknya aktivitas
kapal motor nelayan ini mengakibatkan tingginya kadar logam di stasiun 3.
Menurut KEPMENLH (2004), bahwa standar baku mutu air laut untuk perairan
pelabuhan terhadap logam berat Pb sebesar 0,05 mg/l, Cd 0,01 mg/l dan Hg
0,003 mg/l. Hasil ini menunjukkan bahwa perairan Pb, Cd dan Hg masih dalam
batas normal.
4.5 Analisis Logam Berat pada Insang Tiram Crassostrea cucullata Tiram merupakan biota yang potensial terkontaminasi logam berat, karena
sifatnya yang filter feeder atau menyerap makanan termasuk makanan yang
mengandung logam berat. Organisme yang hidup sedentary atau menetap, tidak
bias menghindar dari kontaminan dan mempunyai toleransi tinggi. Terhadap
konsentrasi logam tertentu sehingga dapat mengakumulasi logam lebih besar
dari hewan lainnya (Darmono, 1995). Data tabel kadar logam berat pada insang
tiram dapat dilihat pada Lampiran 4. Pengamatan kadar logam berat Pb, Cd dan
Hg rata-rata pada insang tiram Crassostrea cucullata di stasiun 1, 2 dan 3 dapat
dilihat melalui grafik pada Gambar 17.
45
Keterangan : SS = sub stasiun
Gambar 17. Grafik Rata-rata Kadar Logam Berat pada Insang Tiram Crassostrea cucullata
Berdasarkan data hasil grafik diatas dapat diketahui bahwa insang tiram
Crassostrea cucullata yang diambil pada stasiun 1 mengakumulasi logam berat
tertinggi di sub stasiun 1 yaitu Pb sebesar 0,0850 ppm, pada sub stasiun 2 kadar
logam berat yang tertinggi yaitu Hg sebesar 0,0868, sedangkan pada sub stasiun
3 kadar logam berat tertinggi yaitu Pb dan Hg sebesar 0,0389. Pada stasiun 2
mengakumulasi logam berat tertinggi di sub stasiun 1, 2 dan 3 yaitu Pb sebesar
0,0814 ppm, 0,0550 ppm dan 0,0358 ppm. Pada stasiun 3 mengakumulasi
logam berat tertinggi di sub stasiun 1, 2 dan 3 yaitu Pb sebesar 0,1245 ppm,
0,1243 ppm dan 0,0983 ppm. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kadar Pb,
Cd dan Hg yang terakumulasi dalan insang tiram pada stasiun 3 lebih besar dari
pada stasiun 1 dan stasiun 2.
Tingginya kadar Pb, Cd dan Hg yang terakumulasi dalam insang tiram di
stasiun 3 disebabkan karena pada lokasi ini banyak terdapat aktivitas kapal
motor nelayan yang melintas maupun yang sedang bersandar untuk pengisian
bahan bakar dan pergantian oli, sehingga dapat menghasilkan limbah logam
SS 1 SS 2 SS 3 SS 1 SS 2 SS 3 SS 1 SS 2 SS 3
STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
PB 0.0850 0.0696 0.0389 0.0814 0.0550 0.0358 0.1245 0.1243 0.0983
CD 0.0575 0.0573 0.0161 0.0420 0.0298 0.0167 0.0317 0.0309 0.0231
HG 0.0824 0.0868 0.0389 0.0285 0.0404 0.0203 0.0871 0.0818 0.0327
0.0000
0.0200
0.0400
0.0600
0.0800
0.1000
0.1200
0.1400
0.1600
Lo
gam
Be
rat
(pp
m)
46
berat berbahaya yang dapat terakumulasi pada tiram serta merupakan lokasi
pembuangan limbah domestik warga setempat. Jadi dapat disimpulkan bahwa
banyaknya aktivitas kapal motor nelayan ini mengakibatkan tingginya kadar
logam di stasiun 3. Menurut Dirjen Pengawasan POM No. 03725/B/SK/VII/89,
batas maksimum cemaran logam berat dalam bahan pangan pada Pb sebesar 2
mg/l, Cd 1 mg/l dan Hg 0,5 mg/l, yang terkandung dalam tiram masih di bawah
ambang batas yang telah ditetapkan oleh Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/89.
Bila dilihat dari hasil grafik diatas, insang tiram lebih banyak menyerap
timbal (Pb) dari pada kadmium (Cd) maupun merkuri (Hg). Pada stasiun 3,
insang tiram relatif lebih banyak menyerap logam berat jika dibandingkan dengan
stasiun 1 dan stasiun 2. Menurut Arfiati et al. (2012), kandungan Pb dalam tiram
lebih tinggi dibandingkan dengan dalam air. Hal ini menunjukkan bahwa Pb yang
terdapat dalam air terakumulasi dalam tubuh tiram. Biota air yang hidup di dalam
perairan tercemar logam berat, dapat mengakumulassi logam berat tersebut
dalam jaringan tubuhnya. Menurut Febriyanto et al. (2011), semakin tinggi
kandungan logam berat dalam perairan akan menyababkan semakin tinggi pula
kandungan logam berat yang terakumulasi dalam tubuh tiram tersebut. Menurut
Hutagalung dan Razak (1982), kadar logam berat Pb dan Cd dalam organisme
lebih tinggi dari pada dalam air laut, hal ini membuktikan bahwa unsur Pb dan Cd
telah terakumulasi oleh biota yang diamati.
Tingginya akumulasi logam berat dalam kerang berhubungan erat dengan
sifat hidupnya sebagai biota yang mengambil makanan dengan cara menyaring
air (filter feeder). Hutagalung (1991) menambahkan bahwa, kandungan logam
berat tersebut akan terakumulasi di dalam dagingnya. Organisme air sangat
dipengaruhi oleh keberadaan logam berat di dalam air, terutama pada
konsentrasi yang melebihi batas normal. Organisme air mengambil logam berat
dari badan air atau sedimen dan memekatkannya ke dalam tubuh hingga 100-
47
1000 kali lebih besar dari lingkungan. Akumulasi melalui proses ini disebut
bioakumulasi. Kemampuan organisme air dalam menyerap (absorpsi) dan
mengakumulasi logam berat dapat melalui beberapa cara, yaitu melalui saluran
pernapasan (insang), saluran pencernaan dan difusi permukaan kulit (Darmono,
2001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa diurutkan berdasarkan kadar logam
tiram yang di ambil lebih banyak mengakumulasi logam berat Pb, Hg dan Cd.
Hasil penelitian Mugilaksani (2013) juga menunjukkan hasil yang serupa bahwa,
tiram Crassostrea cucullata yang diamati lebih banyak mengakumulasi logam
berat Pb (1,07 ppm), Hg (0,08 ppm) dan Cd (0,57 ppm). Hal tersebut
menunjukkan bahwa tingkat bioakumulasi tiram terhadap logam berat Pb cukup
tinggi. Menurut Wulandari (2010), faktor akumulasi logam berat pada biota laut
relative berbeda, yang disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat biologis seperti
umur dan fisiologisnya serta bias disebabkan oleh sifat fisik dan kimia ataupun
aktivitas manusia yang terdapat disekitar lokasi penelitian. Logam berat Pb
masuk kedalam tiram melalui aktivitas pernafasan maupun makanan yang
selanjutnya terakumulasi pada lambung, otot dan bagian tubuh lainnya. Sesuai
dengan karakteristik kerang sebagai biota filter feeder dan hidupnya bersifat
sessil (menetap dalam waktu lama), maka logam berat Pb, Cd dan Hg dapat
terakumulasi pada tubuh tiram.
Menurut SNI (2009), batas maksimal cemaran logam berat dalam bahan
pangan, untuk Pb sebesar 1,5 mg/l, Cd 1,0 mg/l dan Hg 1,0 mg/l. Apriadi (2005)
dengan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, kerang jenis Perna viridis
mengakumulasi Pb antara 12.13-13.65 mg/l sementara Hg antara 0.0035-0.0078
mg/l .
48
4.6 Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata
Pengambilan sampel tiram dilakukan di tiga titik tiap sub stasiun
pengamatan. Kadar metallothionein diukur menggunakan metode ELISA
(Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Pada hasil penelitian yang dilakukan
dapat diketahui bahwa tiram yang ada di perairan tersebut mengandung kadar
metallothionein yang berbeda pada setiap titik (ulangan), dimana pada tiram
Crassostrea cucullata terdapat kadar metallothionein. Pengaruh kadar
metallothionein dari tiram tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat pencemaran
yang berbeda pada habitatnya. Nilai rata-rata kadar metallothionein pada insang
tiram dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 18. Grafik Rata-rata Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata
Berdasarkan data hasil grafik diatas dapat diketahui bahwa rata-rata kadar
metallothionein pada insang tiram Crasostrea cucullata di stasiun 1 yaitu, sub
stasiun 1 sebesar 0,63 ng/ml, pada sub stasiun 2 sebesar 0,69 ng/ml dan pada
sub stasiun 3 sebesar 0,43 ng/ml. Rata-rata kadar metallothionein di stasiun 2
yaitu, sub stasiun 1 sebesar 0,71 ng/ml, sub stasiun 2 sebesar 0,76 ng/ml dan
sub stasiun 3 sebesar 0,51 ng/ml. Rata-rata kadar metallothionein di stasiun 3
STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3
SUB STASIUN 1 0.63 0.71 0.80
SUB STASIUN 2 0.69 0.76 0.79
SUB STASIUN 3 0.43 0.51 0.60
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
Me
tall
oth
ion
ein
(n
g/m
l)
49
yaitu, sub stasiun 1 sebesar 0,80 ng/ml, sub stasiun 2 sebesar 0,79 ng/ml dan
sub stasiun 3 sebesar 0,60 ng/ml.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa insang tiram Crassostera cucullata
pada stasiun 3 memiliki kadar methallothionein lebih tinggi dibandingkan dengan
stasiun 1 dan stasiun 2. Tingginya kadar methallothionein pada insang tiram di
stasiun 3 pada kawasan ini mengandung logam berat yang tertinggi bila
dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya, sehingga logam berat yang
teraakumulsi dalam insang tiram kadar logam tersebut mempengaruhi tingginya
kadar methallothionein pada insang tiram. Hal ini sesuai dengan pendapat
Roesijadi (1964) yang menyatakan bahwa, methallothionein merupakan protein
dengan berat molekul rendah yang kehadirannya dipengaruhi oleh induksi logam
dan berperan dalam metabolisme serta detokfikasi logam.
Menurut Santosa (2003), methallothionein merupakan sistem utama yang
dimiliki oleh tubuh organisme dalam mendetokfikasi logam berat seperti Pb, Cd,
Hg dan logam berat lainnya yang terakumulasi dalam tubuh. Ringwood et al.
(2004) menyatakan bahwa, terdapat hubungan positif antara methallothionein
dengan polutan logam berat. Kontaminan logam berat dapat mengakibatkan
kerusakan sistematik suatu organisme dan mengakibatkan meningkatnya
produksi methallothionein. Dengan kata lain, biomarker methallothionein akan
muncul pada perairan yang terkontaminasi logam berat seperti Pb,Cd dan Hg.
Insani dan Carpene (2014) mengungkapkan bahwa, besarnya ukuran tiram (usia
tua) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kadar
methallothionein pada tiram.
Menurut Rumahtalu et al. (2012), protein methallothionein (MT) yang
berperan sebagai protein pengikat logam berat dapat digunakan sebagai
indikator pencemaran, karena keberadaan methallothionein pada tiram berfungsi
sebagai pengikat logam berat yang terakumulasi dalam tubuh. Keberadaan
50
logam berat yang berasal dari aktivitas manusia dapat masuk dan terakumulasi
dalam tiram serta meningkatkan kadar methallothionein dalam tubuh
(Mifbakhuddin et al., 2010). Menurut Suryono (2006), bivalvia mempunyai
kemampuan untuk mendetokfikasi logam berat dengan mensintesis
methallothionein. Sepanjang akumulasi logam berat tersebut bersesuaian
dengan sintesis methallothionein maka kerang dapat terus bertahan hidup.
Ketika akumulasi logam berat dalam tubuh kerang meningkat sintesis
methallothionein mungkin akan mencapai tingkat maksimum.
Menurut Klassen et al. (1999), terikatnya perannya dalam non-essensial
metal homeostasis, terdapat hubungan yang kuat antara level MT dengan
Cadmium (Cd) mauppun logam berat lain yang masuk ke dalam tubuh
organisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Amiard et al. (2006) yang
mengatakan bahwa, tinggi rendahnya kadar MT khususnya pada biota laut
utamanya dipengaruhi oleh logam berat baik yang berasal dari alam maupun dari
kontaminasi limbah kegiatan manusia yang masuk ke dalam perairan dan
selanjutnya ke tubuh biota tersebut. Dalam kondisi biologi yang baik, fisiologi
tiram akan mampu mensintesis methallothionein sesuai dengan banyaknya
logam berat yang masuk ke dalam tubuhnya sehingga logam berat tersebut
menjadi immobile dan tidak menjadi racun.
51
Tabel 1. Kisaran Kadar Metallothionein (MT)
No. Judul Penelitian Hasil
1. Expression, Purification Of Metallothionein Genes From Freshwater Crab (Sinopotamon yangtsekiense) and Development Of An Antimetallothionein ELISA
Jian Yang, Hui Sun, Hao Zhang , Hui Zhou (2017)
MT berkisar 3.90-500 ng/ml
2. Metal bioaccumulation and metallothionein concentrations in larvae of Crassostrea gigas
Gautier Damiens, Catherine Mouneyrac, Franc¸oise Quiniou, Edouard His, Mauricette Gnassia-Barelli, Miche`le Rome´o (2006)
MT berkisar 0.87-4.60 ng/ml
3. A Comparative Study on The Metallothionein Content of Six Marine Benthic Organisms
Cotou, E., V. Roussis, T. Rapti and C. Vagias. (1998)
175.869 µg/g (Mytilus galloprovincialis), 264.041 µg/g (Chlamys varia), 198.207 µg/g (Cerastoderma edule), 172.401 µg/g (Venus verrucosa), 240.484 µg/g (Mactra corralina) dan 101.670 µg/g (Phallusia mamammilata)
52
4.7 Hubungan Kadar Logam Berat Terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata
Hubungan kadar logam berat terhadap kanndungan metallothionein pada
insang tiram Crassostrea cucullata dihitung dengan menggunakan aplikasi SPSS
16.0 hingga didapatkan hasil koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r)
untuk mengetahui hubungan kedua variabel yaitu hubungan antara kadar logam
berat terhadap kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata.
Hubungan fungsional antara dua atau lebih variable dapat diketahui
menggunakan analisis regresi. Dalam analisis regresi dikenal 2 jenis peubah,
yaitu pebuah yang bersifat bebas (independen) yang dinotasikan sebagai X,
serta peubah yang bersifat tidak bebas (dependen) yang dinotasikan sebagai Y
(Sungkawa, 2013).
4.7.1 Hubungan Kadar Logam Berat Terhadap Kadar Metallothionein pada
Insang Tiram Crassostrea cucullata di Stasiun 1
Model analisis regresi ini digunakan untuk mengetahui kadar logam berat
Pb, Cd dan Hg yang merupakan variable bebas (X) terhadap kadar
metallothionein yang merupakan variable terkait (Y) pada insang tiram
Crassostrea cucullata. Hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap
kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata di stasiun 1 dapat
dilihat pada Gambar 19.
53
Gambar 19. Grafik Hubungan kadar Logam Berat Pb, Cd dan Hg terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassotrea cucullata di Stasiun 1
Berdasarkan data hasil regresi linier sederhana dapat diketahui bahwa
kadar logam berat Pb, Cd Hg terhadap kadar metallothionein memiliki nilai
koefisien determinasi (R2) sebesar 0,705, dengan koefisien korelasi (r) sebesar
0,840 dan hubungan fungsional sebesar 70,5 % dan di pengaruhi oleh faktor lain
sebesar 29,5 %. Berdasarkan data diatas maka dapat dikatakan bahwa secara
statistik tingkat hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar
metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata tergolong kuat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sarwono (2006), bahwa tingkat kolerasi tergolong
sangat kuat dalam interval nilai >0,75-0,99. Hasil regresi MT memperlihatkan
persamaan garis linier yang terus meningkat dengan semakin tingginya kadar
logam berat pada insang. Peningkatan kosentrasi dari logam-logam esensial dan
non-esensial di dalam tanah, dapat memacu munculnya metallothionein (Daman,
2010).
y = 2.0266xx + 0.2248 R² = 0.705 r = 0.840
0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1
MT
(n
g/m
l)
Logam Berat (ppm)
Stasiun 1
Y
Linear (Y)
54
4.7.2 Hubungan Kadar Logam Berat Terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassostrea cucullata di Stasiun 2
Model analisis regresi ini digunakan untuk mengetahui kadar logam berat
Pb, Cd dan Hg yang merupakan variable bebas (X) terhadap kadar
metallothionein yang merupakan variable terkait (Y) pada insang tiram
Crassostrea cucullata. Hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap
kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata di stasiun 2 dapat
dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Grafik Hubungan Kadar Logam Berat Pb, Cd dan Hg terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassotrea cucullata di Stasiun 2
Berdasarkan data hasil regresi linier sederhana dapat diketahui bahwa
kadar logam berat Pb terhadap kadar metallothionein memiliki nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,770, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,877 dan
hubungan fungsional sebesar 77,0 % dan di pengaruhi oleh faktor lain sebesar
23,0 %. Berdasarkan data diatas maka dapat dikatakan bahwa secara statistik
tingkat hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar
metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata tergolong kuat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sarwono (2006), bahwa tingkat kolerasi tergolong kuat
y = 2.6398x + 0.351 R² = 0.770 r = 0.877
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0.0000 0.0100 0.0200 0.0300 0.0400 0.0500 0.0600 0.0700
MT
(n
g/m
l)
Logam Berat (ppm)
Stasiun 2
Y
Linear (Y)
55
apabila “r” berkisar >0,50-0,799. Menurut Walpole (1995), bila hasil analisis
regresi menunjukkan nilai koefisien kolerasi (r) pada interval 0,80-1,00,maka
tingkat hubungan antara variable tergolong sangat kuat. Hasil regresi
memperlihatkan persamaan garis linier yang terus meningkat dengan semakin
besarnya konsentrasi logam berat Pb, Cd dan Hg pada insang tiram. Hal ini
menyatakan bahwa besar kandungan logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap
kadar MT pada insang tiram Crassotrea cucullata menunjukkan bahwa
peningkatan kadar logam berat disertai dengan peningkatan MT pada tiram,
karena logam berat seperti Pb, Cd dan Hg memiliki afinitas yang tinggi terhadap
unsur S (sulfur) menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam
enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tidak aktif (Sarjono, 2009).
4.7.3 Hubungan Kadar Logam Berat terhadap Kadar Metallothionein pada
Insang Tiram Crassostrea cucullata di Stasiun 3
Model analisis regresi ini digunakan untuk mengetahui kadar logam berat
Pb, Cd dan Hg yang merupakan variable bebas (X) terhadap kadar
metallothionein yang merupakan variable terkait (Y) pada insang tiram
Crassostrea cucullata. Hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap
kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata di stasiun 3 dapat
dilihat pada Gambar 21.
56
Gambar 21. Grafik Hubungan Kadar Logam Berat Pb, Cd dan Hg terhadap Kadar Metallothionein pada Insang Tiram Crassotrea cucullata di Stasiun 3
Berdasarkan data hasil regresi linier sederhana dapat diketahui bahwa
kadar logam berat Pb terhadap kadar metallothionein memiliki nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,636, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,798 dan
hubungan fungsional sebesar 63,6 % dan di pengaruhi oleh faktor lain sebesar
36,4 %. Berdasarkan data diatas maka dapat dikatakan bahwa secara statistik
tingkat hubungan kadar logam berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar
metallothionein pada insang tiram Crassostrea cucullata tergolong kuat. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sarwono (2006) dan Walpole (1995), bahwa tingkat
kolerasi tergolong kuat apabila “r” berkisar >0,50-0,799. Herista (2012) dalam
penelitiannya menunjukkan behwa, hasil analisis regresi antara kadar logam
berat dengan kadar MT menghasilkan korelasi yang kuat dan bersifat positif.
Dimana tingginya kadar logam berat akan berpengaruh terhadap peningkatan
kadar MT pada tiram Crassostrea cucullata.
y = 0.2728x + 0.0114 R² = 0.636 r = 0.798
0.0000
0.0200
0.0400
0.0600
0.0800
0.1000
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
MT
(n
g/m
l)
Logam Berat (ppm)
Stasiun 3
Y
Linear (Y)
57
4.8 Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur pada penelitian ini adalah parameter
fisika meliputi suhu. Pengukuran parameter kimia meliputi pH, Oksigen terlarut
dan salinitas. Adapun hasil pengukuran kualitas air yang ada di perairan dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tabel Hasil pengukuran Kualitas Air
Parameter Kualitas
Air
Sub Stasiun
Stasiun Penelitian Standart Baku Mutu I II III
Suhu (oC)
1 28,8 29,5 29,9 28-30 (KEPMEN LH No. 51 Th. 2004)
2 28,3 29,2 29,0
3 28,2 28,9 29,3
pH
1 8,3 8,2 8,4 7-8,5 (KEPMEN LH No. 51 Th. 2004)
2 8,3 8,3 8,4
3 7,8 8,3 8,3
Salinitas (ppt)
1 34 32 34 30-34 (KEPMEN LH No. 51 Th. 2004)
2 33 30 34
3 34 33 34
DO (ppm)
1 6,0 6,4 7,5 >5 (KEPMEN LH No. 51 Th. 2004)
2 7,9 6,1 6,3
3 7,3 7,9 6,3
4.8.1 Suhu
Hasil pengukuran suhu pada penelitian ini didapatkan kisaran suhu pada
stasiun 1 sebesar 28,2oC-27,8oC, pada stasiun 2 sebesar 28,9oC-29,5oC dan
pada stasiun 3 sebesar 28,9oC-29,3oC. Berdasarkan data hasil pengukuran suhu
dapat diketahui bahwa suhu pada stasiun 1 mempunyai nilai yang rendah
dibandingkan suhu di stasiun lainnya. Hal ini dikarenakan pengukuran suhu pada
stasiun 1 dilakukan pada pagi hari yaitu pada pukul 05.30-07.00 WIB. Suhu
perairan di lokasi penelitian tidak menunjukkan fluktuasi yang besar hal ini
dikarenakan kondisi cuaca pada saat penelitian berlangsung relatif cerah.
Suhu yang layak untuk pertumbuhan tiram berkisaran antara 27oC-31oC
(Nybakken, 1992). Menurut Simanjuntak (2009), penurunan suhu drastis terjadi
pada malam hari dan akan berpengaruh terhadap penurunan suhu pada saat
58
pagi hari. Sedangkan pada siang hari terjadi kenaikan suhu yang drastis.
Kejadian ini disebabkan karena kondisi lingkungan yang mempengaruhi keadaan
air dan aktivitas organisme yang hidup pada lingkungan air tersebut.
Suhu memegang peranan penting dalam aktivitas biofisiologi tiram didalam
air, seperti aktivitas filtrasi dan metabolism (Winarto, 2004). Suhu
mempengaruhi secara lansung aktivitas organisme seperti pertumbuhan dan
metebolisme bahkan menyebabkan kematian terhadap organisme. Sedangkan
pengaruh tidak langsung meningkatkan daya akumulasi berbagai zat kimia dan
menurunkan kadar oksigen dalam air. Apabila perairan tercemar oleh logam
berat, maka sifat toksisitas dari logam berat terhadap biota air akan semakin
meningkat seiring meningkatnya suhu (Dance, 1977 ; Effendi, 2003).
4.8.2 pH
Hasil pengukuran pH pada penelitian ini didapatkan kisaran pH relatif sama
pada seluruh stasiun sebesar 7,8-8,4. Berdasarkan data hasil pengukuran pH
dapat diketahui bahwa pH pada masing-masing stasiun tersebut tidak terlalu
signifikan dan masih tergolong memiliki nilai yang baik untuk kehidupan
organisme perairan. Pada prinsipnya, habitat tiram di perairan adalah dengan pH
lebih tinggi dari 6.75 (Taufik et al., 2017).
Nilai pH yang didapatkan pada masing-masing stasiun penelitian berbeda.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan aktivitas yang mengakibatkan perubahan
organik pada setiap stasiun (Barus, 1996). Setyawati (1986), menegaskan
bahwa pH 6,95- 8,35 merupakan kisaran yang masih layak bagi kehidupan
organisme Bivalvia. pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena
mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan air. Selain itu ikan
dan makhluk-makhluk akuatik lainnya hidup pada selang pH antara 7-8.5,
59
dengan diketahuinya nilai pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai
atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka.
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi konsentrasi logam. Kenaikan pH
pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan
dari senyawa-senyawa logam. Perubahan dari tingkat stabil dari kelarutan
tersebut biasanya terlihat dalam bentuk pergeseran persenyawaan. Umumnya
pH yang semakin tinggi, kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida
(Palar, 1994). Penurunan pH perairan menyebabkan toksisitas logam berat
semakin besar (Sarjono, 2009).
4.8.3 Salinitas
Hasil pengukuran salinitas pada penelitian ini didapatkan kisaran pH relatif
sama pada seluruh stasiun sebesar 33-34 ppt. Berdasarkan data hasil
pengukuran salinitas dapat diketahui bahwa salinitas pada masing-masing
stasiun tersebut merupakan kisaran yang optimal bagi pertumbuhan tiram.
Variasi salinitas pada perairan dapat disebabkan oleh adanya pengaruh air hujan
atau pemasukan air tawar yang berasal dari muara dan penguapan (Nybakken,
1992).
Salinitas yang optimal bagi kelangsungan hidup bivalvia berkisar antara 27-
340/00 Bivalvia dapat mentolerir salinitas 5-100/00 (Dody, 1996). Salinitas di
perairan laut dapat mempengaruhi konsentrasi logam berat yang mencemari
lingkungan laut (Hutagalung, 1991). Menurut Mukhtasor (2007), penurunan
salinitas pada perairan dapat menyebabkan tingkat akumulasi logam berat pada
organisme menjadi semakin besar.
Bivalvia akan memberikan respon terhadap perubahan salinitas dengan
cara menutup cangkangnya dan menyesuaikan konsentrasi ion, asam amino dan
molekul lainnya untuk menjaga kestabilan volume sel. Pada awalnya laju filtrasi
60
dan respirasi akan mengalami penurunan tetapi berangsur-angsur pulih bila
keseimbangan osmotik tercapai. Waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan
kondisi tersebut tergantung dari perubahan awal salinitas perairan (Gosling,
2003). Apabila penurunan salinitas secara mendadak dari batas kemapuan
organisme untuk menyesuaikan diri, maka organisme yang bersangkutan tidak
mampu beraktivitas dan akhirnya akan mati (Mamesah, 1997).
4.8.4 Oksigen Terlarut
Hasil pengukuran DO pada penelitian ini didapatkan kisaran DO pada
seluruh stasiun sebesar 6,0-7,9 ppm. Berdasarkan data hasil pengukuran DO
dapat diketahui bahwa kadar DO pada masing-masing stasiun tidak memiliki
perbedaan terlampau jauh dan merupakan kisaran yang optimal bagi
pertumbuhan tiram. Kisaran DO di atas menunjukkan bahwa perairan seluruh
stasiun tergolong aman untuk kehidupan biota laut. Sesuai dengan standart baku
mutu dari Keputusan Menteri Lingkunga Hidup No. 51 (2004) yang menyatakan
bahwa kadar oksigen pada perairan adalah >5 mg/L.
Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang sangat
vital bagi kehidupan organisme perairan. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung
berubah-ubah sesuai dengan keadaan atmosfir. Penurunan kadar oksigen
terlarut mempunyai dampak nyata terhadap makhluk hidup air (Edward dan
Pulumahuny, 2003). Menurut Ardi (2002), Indikator pencemaran berdasarkan
kadar oksigen terlarut diklasifikasikan sebagai berikut : tidak tercemar (≥6,5
mg/L), tercemar sedang (4,5-6,5 mg/L) dan tercemar berat (<2,0 mg/L).
61
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah yang telah dilakukan di ketiga stasiun, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hasil analisis kadar logam berat Pb, Cd dan Hg pada tiram Crassostrea
cucullata di dapatkan hasil yang masih dalam bawah kategori aman yang
telah ditetapkan oleh Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/89.
2. Hasil analisis kadar metallothionein pada insang tiram Crassostrea
cucullata didapatkan hasil tertinggi pada stasiun 3 dari pada stasiun 1 dan
stasiun 2. Rata-rata kadar metallothionein pada stasiun 1 sebesar 0,58
ng/ml, pasa stasiun 2 sebesar 0,66 ng/ml dan pada stasiun 3 sebesar 0,73
ng/ml.
3. Hasil analisis menunjukkan bahwa logam berat mempengaruhi MT pada
insang Tiram Crassostrea cuculata di stasiun 1 sebesar 70,6 %, di stasiun
2 sebesar 77,0% dan di stasiun 3 sebesar 63,6 %. Hubungan kadar logam
berat Pb, Cd dan Hg terhadap kadar metallothionein pada insang tiram
Crassostrea cucullata memiliki tingkat korelasi tergolong kuat, hal ini
dibuktikan dengan koefisien korelasi (r) >0,6.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian peningkatan kadar metallothionein pada organ
insang tiram Crasosstrea cucllata memiliki korelasi yang kuat terhadap kadar
logam berat di perairan. Hasil analisis logam berat pada tubuh tiram
menunjukkan kadar yang masih aman bagi kelangsungan hidup tiram, tetapi
nilainya telah mendekati ambang batas yang ditentukan. Pemerintah perlu
melakukan berbagai tindakan pengelolaan dan kegiatan yang dapat menjaga
62
kestabilan lingkungan disertai petunjuk untuk langkah-langkah konkrit yang harus
dilakukan jikalau suatu saat kadar logam berat meningkat melebihi standar
baku.
63
DAFTAR PUSTAKA
Adam V., S. Krizkova, O. Zitka, L. Trnkova, J. Petrlova, M. Beklova, R. Kizek.
2007. Determination of apo-Metallothionein Using Adsorptive Transfer Stripping Technique in Connection with Differential Pulse Voltammetry. Electroanalysis. 2(3) 339 – 347. Aedi,N. 2010. Pengolahan Dan Analisis Data Hasil Penelitian. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Afiati, N. 2005. Karakteristik Pertumbuhan Alometri Cangkang Kerang (Bivalvia :
Arcidae). Jurnal Saintek Perikanan 1, (2): 45-52. Agustina, T. 2010. Kontaminasi Logam Berat pada Makanan dan Dampaknya
pada Kesehatan. Jurnal Teknubuga. 2 (2). Alloway, B.J., and Ayres, D.C. 1993. Chemical Principles of Environmental
Pollution. Chapman and Hall. London. Amiard, J. C., C. Amiard-Triquest, S. Barka, J. Pellerin and P. S. Rainbow. 2006.
Metallothionein in Aquatic Invertebrates: Their Role in Metal Detoxification and Their Use as Biomarker. Review of Aquatic Toxicology. 76: 160-202.
Amriyani, H. Boedi dan H. Agus. 2011. Bioakumulasi Logam Berat Timbal (Pb)
dan Seng (Zn) pada Kerang Darah (Anadara granosa L.) dan Kerang bakalu (Polymesoda bengalensis L.) di Perairan Teluk Kendari. Jurnal Ilmu Lingkungan Volume 9, No. 2 Halaman: 45-50.
Anwar, Y. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Fragmen cDNA dari Gen Penyandi
Metallothionein dari Kedelai Kultivar Slamet. Skripsi. ITB. Bogor. Apriadi, D. 2005. Kandungan Logam Berat Hg, Pb dan Cr pada Air, Sedimen dan
Kerang Hijau (Perna viridis I.) di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. IPB. Bogor.
Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan
Pesisir. Tesis PSIPB. Bogor
Arfiati, D., Wulandari, E dan Yuli, H. I. 2012. Kandungan Logam Berat Pb pada
Air Laut dan Tiram Crassostrea glomerata sebagai Bioindikator Kualitas
Perairan Prigi Trenggalek, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan. (1) 1.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam
Berat dalam Pangan. ICS 67.220.20. Badan Standarisasi Nasional
(BSN).
Baker GB, Dunn S, Lajtha A, Holt A. 2007. Handbook of neurochemistry and
molecular biology.
Barnes, R., 1982. Invertebrate Zoology. W.B Saunders Company. London.
64
Born. 1778. Oistreidae-Oyster. Articel. Maditerranean Record. Soldhern Turky Barus, T.A. 1996. Metode Ekologi untuk Menilai Suatu Perairan Lotik, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. h. 4-9.
Bebianno, M.J., Cravo, A., Miguel, C., dan Morais, S., 2003. Metallothionein
Concentrations in A Population of Patella aspersa: Variation with Size. Sci. Total Environ., 301:151–161.
Boster Biological Technology. 2011. ELISA Handbook: Principle,
Troubleshooting, Sample Preparation and Assay Protocols.3942 Valley Ave., Suite B, Pleasanton, CA 94566.
Bull. 1976. The enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). World Health
Organ. Carpene E., Giulia A., and Gloria I. 2007. Metallothionein Function and structural
Characteristics. Jurnal of trace elements in medicine and biology 21 S1: 35-39.
Connell, D.W., Dan G.J. Miller. 2006. Kimia Dan Ekotoksikologi Pencemaran.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Couillard, Y, Peter G.C, Campbeil, Andre Tessler. 1993. Response of
Metallothionein Concentratuions in a Freswater Bivalve (Anodonta gradis)
Along an Evironmental Cadmium Gradien. American Society of Limnology
and Oceanography 38(2): 299-313.
Cotou, E., V. Roussis, T. Rapti and C. Vagias. 1998. A Comparative Study on
The Metallothionein Content of Six Marine Benthic Organisms. Rapp.Com Internasional. Mer Medit. (35): 246-247.
Dabrio, M., A.R Rodriguez., G. Bordin., M. J. Bebianno., M. De Ley., I.
Sestakova., M. Vasak and M. Nordberg. 2002. Recent Developments in Quantification Methods for Metallothionein. Journal of Inorganic Biochemistry. 88: 123-134.
Daman, D. 2010. Struktur dan Klasifikasi Metallothionein.
www.damandiri.or.id/file/nurhasyimadunairbab2.pdf.com.
Damiens, Gautier., C. Mauneyracb., F. Quiniouc., E. Hisc., M. Gnassia-Barellia
and M. Romeona. 2006. Metal Bioacumulation and Metallothionein Concentration in Larvae of Crassostrea gigas. J. Envpol. 140 (3): 492-499.
Dance, S.P. 1977. The Encyclopedia of Shells. Blanford Press. London. 288p.
Guilbert, A. 2007. State of The (Bivalvia: Archidae) Fishery In Las Perlas Archipelago, Panama. Submitted as Part Assessment for The Degree of Master of Science (Master Thesis). Centre for Marine Biodiversity and
65
Biotechnology School of Life Sciences Heriot - Watt University Edinburgh. 72 p.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhlik Hidup. Penerbit UI Press.
Jakarta. _______. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungan dengan
Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009 Artikel: Target Kementrian Kelautan
Dan Perikanan 2014. 1 hlm. http://www.dkp.go.id/Departemen Kelautan dan PerikananRI. Htm. Diakses: 24 Desember 2017.
Dewi, N. K., Purwanto dan Henna R. S. 2014. Metallothionein in The Fish Liver
as Biomarker of Cadmium (Cd) Pollution in Kaligarang River Semarang. MANUSIA DAN LINGKUNGAN. 21 (3) : 304-309.
Desauky, M. A. M. 2012. Metallothionein is Up-Regulated in Molluscan
Responses to Cadmium, but Not Alumunium, Exposure. The jurnal of Basic and Applied Biology. (65): 139-143.
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) No.
03725/B/SK/VII/89. Edward dan Pulumahuny. 2003. Kadar oksigen terlarut di Perairan Raha Pulau
Muna, Sulawesi Tenggara. Jurnal. Pusat Riset Oseanografi-LIPI : Jakarta.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. pp 179-182. Elfinurfajri, F. 2009. Struktur Komunitas Fitoplankton serta Keterkaitannya
Dengan Kualitas Perairan di Lingkungan Tambak Udang Intensif. Departemen MSP-FPIK. Institut Pertanian Bogor.
Fardiaz S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 190 hal. Febriyanto, R., Aunurrohim dan I. T. Dwi. 2011. Akumulasi Timbal (Pb) pada
Juvenil Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) secara In Situ di Kali Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.
Gofas, Serge. 2012. Saccostrea cucullata. (Born, 1778). Word Register of Marine
Species. Retrieved 2012-05-24. Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs: Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, UK. 443 pp. Hamzah, F. dan Y. Pancawati. 2010. Fitoremediasi Logam Berat dengan
Menggunakan Mangrove. Ilmu Kelautan. 18 (4): pp 203–212. Hanson, N., 2008. Does Fish Health Matter ? The Utility of Biomarkers in Fish for
Environmental Assessment. Ph.D. Thesis Department of Plant and Environmental Sciences University of Gothenburg.
66
Heddy, S. 1994. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
h. 271. Herista, D. S. 2012. Analisis Kandungan Metallothionein pada Insang Tiram
(Crassostrea cucullata) dari Perairan yang Mengandung Logam Berat Pb, Cd dan Hg di Pelabuhan Pantai Mayangan Probolinggo, Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang.
_____________. 2013. Analisis Kandungan Metallothionein pada Insang Tiram
(Crassostrea cucullata) dari Perairan yang Mengandung Logam Berat Pb, Cd dan Hg di Pelabuhan Pantai Mayangan Probolinggo, Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang.
Hickman, P.C. 1996. Integrated Principles of Zoology. United States of America:
Third Edition America.
Hughes, R.N. 1986. A functional biology of marine gastropods. Croom Helm, London: 245 pp.
Hutabarat, S. Dan S. M. Evans. 1987. Pengantar Oseanografi. Jakarta: UI Press.
Hutagalung, H. P. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. Dalam status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI. Jakarta. Pp 45-59.
Isani, G. dan Carpene, E. 2014. Metallothionein, Unconventional Proteins from Unconventional Animal: A Long Journey from Nematodes to Mammals. Biomolecules. Vol 4. Pp: 435-457.
Kastawi, Y. 2005. Zoologi Avertebrata, Malang: UM Press. h.188-189. Kastoro, Widarsih. 1988. Budidaya Jenis-Jenis kerang (Bivalvia). Laboratorium
Pengembangan Wilayah Pantai, Universitas Diponegoro, Semarang. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KEPMEN-LH) No.51.2004. Baku Mutu Air
Laut Untuk Biota Laut. Jakarta Klassen, C. D., J. Liu and S. Choudhuri. 1999. Metallothionein: an Intracellular
Protein to Protect Againstcadmium toxicity. Annu. Rev. Pharmacol. Toxicol. 39: 267-97.
Kriskova, S., O. Zitka, V Adam, M. Beklova, A. Horna, Z. Svobodova, B. Sures, L.
Trnkova, L. Zeman and R. Kizek. 2007. Possibilities of Electrochemical Techniques in Metallothionein and Lead Detection in Fish Tissuees. Jurnal Czech J. Anim. Sci. Volume 5 Hal: 143-148.
Lasut, Markus T. 2002. Metallothionein: Suatu Parameter Kunci yang Penting
dalam Penetapan Baku Mutu Air Laut (BMAL) Indonesia. Jurnal Ekoton Vol. 2, No. 1 Hal: 61-68.
Laws, E. A. 1993. Aquatic Pollution an Introductory Text.Third Edition. Canada
(US): J Wiley. 611 hlm.
67
Mamesah, J.A.B. 1997. Stuktur Komunitas dan Sebaran Spasial Bivalvia
Hubungannya dengan Karekteristik Lingkungan. Tesis (Jakarta:Universitas Indonesia) h. 261.
Maslukah, L. 2006. Konsentrasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Pola
Sebarannya di Muara Banjir Kanal Barat, Semarang. IPB. Bogor. Mifbakhuddin, R. Astuti dan A. Awaludin. 2010. Pengaruh Perendaman Larutan
Asam Cuka terhadap Kadar Logam Berat Kadmium pada Kerang Hijau. Jurnal Kesehatan. 3 (1): 14-20.
Mugilaksani, E. 2012. Analisis Kadar Metallothionein pada Lambung Tiram
Crassotrea cucullata dari Perairan yang Mengandung Logam Berat Pb, Cd dan Hg di Pelabuhan Perikanan Pantai Mayangan Probolinggo, Jawa Timur. Universitas Brawijaya. Malang.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Naria, Evi. 2005. Mewaspadai dampak Bahan Pencemar Timbal (Pb) di
Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal Komunikasi Penelitian Volume 17 (4).
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung. Tarsito. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara (Jakarta: Djambatan) h. 32. Nurhayati, N. 2013. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Yrama Widya : Bandung. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologis. PT Gramedia,
Jakarta. (Diterjemahkan oleh M. Eidmann, et al.). 459 hal. Overnell, J and Sparia, A M. 1990. The Binding of Cadmium to Crab Cadmium
Metallothionein. Biochem. J. 269: 539-540. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT Bhineka Cipta,
Jakarta. Pechenik, J. A., 2005. Biology of the Invertebrates. Mc. Grow Hill. New York. Prasad, S. N. Life of invertebrates. New Delhi: Vikas Publishing House PVT Ltd,
1980. Rachmawati,S., A,Lee., T,B,Murdiati., I.Kennedy. 2004. Pengembangan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik Untuk Analisis Aflatoksin B1 Pada Pakan Ternak. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner
Rangan, J.K. 1996. Struktur dan Tipologi Komunitas Gastropoda pada Zona
Hutan Mangrove Perairan Pulau Kulu, Kabupaten. Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm.
68
Ringwood, H., J. Hoguet, C. Keppler and M. Gielazyn. 2004. Linkagen Between Cellular Biomarker Responses and Reproductive Success in Oysters Crassostrea virginica. Marine Enviromental Res. 58: 912-922.
Riniatsih, I. dan K. E. Wibowo. 2009. Substrat Dasar dan Parameter Oseanografi
Sebagai Penentu Keberadaan Gastropoda dan Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 14 No. 1 Halaman: 50-59.
Roesejadi, D. 1994. Metallothionein Induction as a Measure of Response to
Metal Exposure in Aquatic Animal.Enviromental Health Perspect. No, 162. Pp: 91-96.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2009. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Djambatan. Jakarta. 540 p. Sanusi, H. S. 2006. Kimia Laut, Proses Fisi Kimia dan Interaksinya dengan
Lingkungan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 188h.
Sarjono, A. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb, dan Hg Pada Air dan
Sedimen di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Setiawan, I. M. 2007. Pemeriksaan Enzim-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
untuk Diagnosis Leptospirosis. Jurnal Ebbers Papyrus. 13 (3) : 125-136. Setyawati, Y. 1986. Distribusi Jenis-Jenis Kerang (Bivalvia) di Pantai Muara
Sungai Ciseukeut, Desa Mekar Sari Kecamatan Cigeulis, Panembang Jawa Barat. Karya Ilmiah. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
SNI. (2004). Air dan Limbah-Bagian11: Cara Uji Derajat Keasaman (pH) Dengan
Menggunakan Alat pH Meter. SNI 06-6989.11-2004. ICS 13.060.50. Badan Standarisasi Nasional.
Sprintall, J., J.T., Potemra, S.L., Hautala, N.A., Bray danW.W., Pandoe. 2003.
'Temperature and Salinity Variability in the Exit Passages of the Indonesian Throughflow', Deep-Sea Research II 50, pp. 2183-2204.
Supriyanto C., Samin Zauinul dan Kamal. 2007. Analisa cemaran Logam Berat
Pb, Cu, dan Cd pada Ikan Air Tawar Dengan Metode Spektrometri Nyala Serapan Atom (SSA). Seminar Nasional III. Yogyakarta.
Surakhmad, W. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik. Torsito
Press. Bandung. Suryadiputra, I. N. 1995 Pengolahan Air Limbah dengan Metode Biologi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryono, Chriana A. 2006. Bioakumulasi Logam Berat Melalui Sistem jaringan
Makanan dan Lingkungan pada Kerang Bulu Anadara inflata. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 11 No. 1 Hal: 19-22.
69
Santosa, S. 2003. Peran Metallothionein pada Autisme. Fakultas Kedokteran.
Universitas Kristen Maranatha. JKM. 2 (2): 23-30. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Graha
Ilmu. Yogyakarta. Setyono, D. E. 2006. Karakteristik Biologi dan Produk Kekerangan Laut. Jurnal
Osean. Volume XXXI, Nomor 1 Hal: 1-7.
Siaka, I. M. 2008. Korelasi Antara Kedalaman Sedimen di Pelabuhan Benoa dan
Konsentrasi Logam Berat Pb dan Cu. Jurnal Kimia Vol 2, No. 2 Halaman: 61-70.
Simanjuntak, M. 2009. Hubungan faktor lingkungan kimia, fisika terhadap
distribusi plankton di Perairan Belitung Timur, Bangka Belitung. Jurnal Perikanan. 11 (1):31-45.
Sugianti, B., Hidayat, E.H., Arta, A.P., Retnoningsih, S., Anggraeni, Y., dan Lafi,
L. 2014. Daftar Mollusca yang Berpotensi sebagai Spesies Asing Invasif di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sungkawa, I. 2013. Penerapan Analisis Regresi dan Korelasi dalam Menentukan
Arah Hubungan antara Dua Faktor Kualitatif pada Tabel Kontingensi. Jurnal Matematika dan Statistik. 13 (1). Hlm 33-41.
Umarti, B.S. Taksonomi Vertebrata Cet. I; Jakarta: Universitas Indonesia press,
1990. Walope, R. W. 2002. Physical Science Fith Edition. McGraw-Hill Book Company.
Arizona. Warlina, L. 2004. Pencemaran air: Sumber, Dampak dan Penanggulangannya.
Makalah Pribadi. Institut Pertanian Bogor. Widowati, W., Sastiono, A., dan Jusuf, R. 2008. Efek Toksik Logam,Pencegahan
dan Penanggulangan Pencemaran. Andi Offset. Yogyakarta. WoRMS. 2016. Klasifikasi Crassostrea cucullata. Diakses tanggal 24 Desember
2017, pukul 13.11 WIB.
Wandansari, N. D. 2013. Perlakuan Akuntansi atas PHH Pasal 21 pada PT. Artha Prima Finance Kotamobagu. Emba. 1 (3) : 558-566.
Wulandari, E. 2010. Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan
Karakteristik Haemocyte Tiram (Crassostrea cucullata) dan Perairan Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi Trenggalek Jawa Timur.Universitas Brawijaya Malang.
Wulandari, E., E. Y. Herawati dan D. Arfiyati. 2012. Kandungan Logam Berat Pb
pada Air Laut dan Tiram Saccostrea glomerata sebagai Bioindikator
70
Kualitas Perairan Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Perikanan 1(1) Hal:10-14.
Yang J, Sun H, Zhang H, Zhou H (2017) Expression, Purification of
Metallothionein Genes from Freshwater Crab (Sinopotamon yangtsekiense) and Development of an Anti-Metallothionein ELISA. PLoS ONE 12(3): e0174482. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0174482
Yasin, M. 1987. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata (Surabaya:
Sinar Wijaya) h. 330. Yasuda, Y. 2000. Enviromental Change in Eurasia. Monsoon. 1 (1). Pp: 1-133.